51
163 TRANSFORMASI NILAI BUDAYA MELALUI PEMBINAAN SENI ANGKLUNG STUDI KASUS DI SAUNG ANGKLUNG UDJO (DRA. RITA MILYARTINI, M.Si./UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA) A. PENDAHULUAN Artikel ini merupakan bagian dari disertasi penulis terkait “Model Transformasi Nilai Budaya Melalui Pembinaan Seni Di Saung Angklung Udjo, untuk Mengembangkan Ketahanan Budaya”. Riset ini dilatar belakangi oleh munculnya xenocentrisme yakni lebih besarnya apresiasi masyarakat terhadap seni budaya bangsa lain, dibandingkan seni budaya bangsa sendiri yakni Indonesia. Melalui media elektronik seperti televisi dan radio, maupun internet, beragam informasi yang sarat dengan nilai-nilai budaya asing diperkenalkan. Simbol-simbol budaya asing yang diperkenalkan melalui media massa tersebut, semakin kuat berkembang, dan menggeser keberadaan produk budaya dari ragam suku bangsa di Indonesia. Dalam bidang seni budaya, kita bisa cermati fenomena ini dalam beberapa pertunjukan musik seperti Java Jazz

Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

163

TRANSFORMASI NILAI BUDAYA MELALUI PEMBINAAN SENI ANGKLUNG

STUDI KASUS DI SAUNG ANGKLUNG UDJO

(DRA. RITA MILYARTINI, M.Si./UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA)

A. PENDAHULUAN

Artikel ini merupakan bagian dari disertasi penulis terkait “Model Transformasi

Nilai Budaya Melalui Pembinaan Seni Di Saung Angklung Udjo, untuk

Mengembangkan Ketahanan Budaya”. Riset ini dilatar belakangi oleh munculnya

xenocentrisme yakni lebih besarnya apresiasi masyarakat terhadap seni budaya bangsa

lain, dibandingkan seni budaya bangsa sendiri yakni Indonesia.

Melalui media elektronik seperti televisi dan radio, maupun internet, beragam

informasi yang sarat dengan nilai-nilai budaya asing diperkenalkan. Simbol-simbol

budaya asing yang diperkenalkan melalui media massa tersebut, semakin kuat

berkembang, dan menggeser keberadaan produk budaya dari ragam suku bangsa di

Indonesia.

Dalam bidang seni budaya, kita bisa cermati fenomena ini dalam beberapa

pertunjukan musik seperti Java Jazz Festival, maupun pertunjukan piano oleh David

Foster yang harga tiketnya bisa mencapai Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), per

orang. Bandingkan dengan festival gamelan internasional yang dapat dilihat secara

gratis, atau paling mahal harga tiketnya hanya Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).

Kenyataannya pertunjukan seperti Java Jazz mampu menyedot jumlah penonton sesuai

target penjualan, bahkan banyak yang kehabisan tiket pertunjukan. Sementara itu

penonton pertunjukan festival gamelan internasional tidak sebanyak pengunjung Java

Jazz Festival. Fenomena ini menandakan hegemoni kesenian yang datang dari negara

asing di Indonesia. Masyarakat Indonesia lebih tertarik dan menghargai musik yang

berakar pada tradisi budaya bangsa lain, dibandingkan musik bangsanya sendiri.

Page 2: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

164

Fenomena serupa juga terjadi pada ragam seni tradisi Jawa Barat di kota Bandung.

Melihat sekelompok orang berkumpul sambil menyanyikan tembang Sunda diiringi

kecapi suling, adalah fenomena yang langka. Dua puluh tahun lalu, sajian tembang atau

kawih diiringi kecapi suling, gamelan, wayang golek atau tari-tarian wayang, masih

populer digunakan dalam upacara perkawinan. Namun sekarang frekuensinya jauh

menurun. Demikian pula dengan pengamen jalanan, hampir tidak ada lagi yang

menggunakan angklung, kecapi, atau suling Sunda untuk mengamen.

Ada barang baru, barang lama dilupakan, begitu kira-kira kondisi kesenian bangsa

kita. Tampaknya kesenian kita kurang menarik bagi masyarakat. Ada kemungkinan hal

ini terjadi karena upaya kita dalam membina dan mengembangkan seni budaya bangsa

belum maksimal. Kreativitas seni yang didasari budaya bangsa sendiri, masih terbatas.

Informasi terkait kreasi seni berbasis kekayaan seni tradisi suku-suku bangsa Indonesia,

belum didukung sepenuhnya oleh media massa, khususnya media massa elektronik kita.

Ki Hajar Dewantara hampir setengah abad lalu mengingatkan kita.

Kalau rakyat kita berwatak budak, tentulah juga keseniannya akan bersifat kebudakan, baik dalam arti hanya bisa meniru atau terikat (beku), yakni tidak berani mengadakan perubahan baru, karena terperintah oleh kebiasaan (adat yang mati). Berhubung dengan keterangan tersebut, maka perlulah kita menjaga jangan sampai rakyat kita hanya meniru saja kesenian barat, lalu kehilangan garis hidup dan menjadi permainan dari gelombang keadaan yang berganti-ganti. (Dewantara, 1962:327-328).

Kita perlu memikirkan dan menyikapi pemikiran Ki Hajar Dewantara, dalam

perbuatan nyata melalui pendidikan seni. Hal ini penting dilakukan agar kita tidak terus-

menerus berada dalam situasi kebudayaan yang terombang-ambing karena proses

globalisasi.

Sejarah menunjukkan bahwa salah satu kekuatan manusia Indonesia adalah

kemampuan imajinasi dan artistiknya. Lubis mengatakan sebagai berikut.

Janganlah kita terus-menerus membelakangi sumber-sumber pengucapan artistik manusia Indonesia dari zaman lampau itu. Dia masih mengandung kekayaan besar sebagai sumber inspirasi dan dapat mendorong dan mengembangkan daya imajinasi dan kreatif artistik manusia Indonesia kini. (Lubis, 2008:73)

Page 3: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

165

Pernyataan Muchtar Lubis di atas dimaksudkan untuk memberi arah, bahwa

pembangunan bangsa Indonesia selayaknya didasari oleh pemahaman yang mendalam

mengenai kekayaan tradisi seni budaya Indonesia. Berdasarkan kandungan nilai budaya

tersebut, maka kita dapat mengembangkan daya imajinasi dan kreativitas sesuai

tuntutan situasi dan kehidupan masyarakat Indonesia kini.

Pada bahasan berikutnya akan digambarkan bagaimana Udjo Ngalagena (1929 –

2001) mengoptimalkan seni angklung sebagai medium untuk mentransformasikan nilai

budaya. Wujud dari transformasi nilai budaya yang berhasil dilakukan adalah

berkembangnya fungsi, struktur dan bentuk seni angklung. Sejumlah karya kreatif yang

dihasilkan memberi nilai positif bagi kehidupan masyarakat sekitar, maupun bangsa

Indonesia. Pengalaman Udjo Ngalagena (1929 – 2001) membina seni di Saung

Angklung Udjo (SAU) dapat dijadikan inspirasi dalam mengoptimalkan peran

pendidikan seni dalam mengembangkan budaya dan karakter bangsa.

Data dalam artikel ini diperoleh melalui tudi kasus eksplanatoris dengan

pendekatan kualitatif. Tehnik pengumpulan data yakni melalui wawancara mendalam,

observasi, studi dokumen, dan kajian pustaka. Wawancara mendalam dilakukan pada

enam orang putra-putri Udjo Ngalagena, siswa SAU, pelatih, pegawai, orangtua dan

sahabat Udjo Ngalagena. Analisis dan interpretasi data dilakukan dengan menggunakan

pendekatan multi disipliner terkait bidang ilmu budaya, seni, pendidikan (khususnya

pendidikan nilai), psikologi, dan sosiologi.

B. PEMBAHASAN

1. Kerangka Teoretis

Berlandaskan pandangan Daszko dan Sheinbergh (2005), Jorgensen (2003)

maupun Lubis (1988), transformasi dapat dimaknai sebagai perubahan mindset yang

terjadi karena keinginan untuk tetap survive. Selanjutnya Dazko dan Sheinberg (2005)

mengatakan bahwa wujud transformasi merupakan kreasi dan perubahan dalam

keseluruhan bentuk, fungsi atau struktur. Bila kita pahami dengan baik uraian tersebut,

Page 4: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

166

maka sesungguhnya ada dua bentuk transformasi yakni transformasi yang teramati

secara fisik, dan transformasi yang terjadi di dalam diri individu sebagai penggerak

dari proses transformasi.

Transformasi dimulai dari dalam diri individu, yang mau belajar dari

pengalaman hidup dan pengetahuan yang telah ia miliki. Ia akan merenungkan dan

melihat dengan kritis apa yang telah ia lakukan dalam menjalankan tujuan-tujuan yang

ingin ia capai. Berdasarkan hal tersebut ia memutuskan untuk melakukan perubahan

yang mendasar. Kinerja yang dilakukan oleh individu tersebut berdampak pada

perubahan-perubahan yang teramati secara fisik, berupa sejumlah kreasi.

Secara lebih teknis Jorgensen (2003) menjabarkan sembilan kemungkinan

wujud transformasi yakni: modifikasi, akomodasi, integrasi, assimilasi, inversi, sintesis,

transfigurasi, konversi dan renewal. Berdasarkan dua konsep transformasi yang

ditawarkan Dazko &Sheinberg (2005) serta Jorgensen (2003) ini, maka wujud

transformasi dalam konteks “perubahan” baik fungsi, bentuk atau struktur tidak

memiliki batas yang tegas. Artinya bisa saja terjadi perubahan struktur sekaligus bentuk

yang dikatakan oleh Jorgensen sebagai modifikasi yakni suatu proses reorganisasi

beberapa elemen dari suatu kondisi atau fungsi sesuatu, tanpa mengubah esensinya,

atau akomodasi yakni kompromi atau penyesuaian dengan yang lain, seperti seekor

bunglon yang menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Modifikasi dan

akomodasi juga bisa bersifat dialektis, misalnya suatu modifikasi terjadi karena

mengakomodasi situasi eksternal yang berubah. Oleh karenanya transformasi dapat

disimpulkan sebagai suatu perubahan mindset dalam diri individu yang menyebabkan

terjadinya perubahan dalam bentuk, fungsi atau struktur, tetapi tetap mencirikan adanya

keterkaitan dengan sesuatu yang ada sebelumnya.

Transformasi budaya dalam pandangan Lubis (2008), memiliki makna melihat

secara kritis keberadaan diri saat ini, mencoba untuk mengevaluasi mengapa hal itu

terjadi, artinya melihat kembali apa-apa yang telah dilakukan di masa lampau.

Berdasarkan evaluasi diri, kemudian perlu dirumuskan upaya untuk melakukan

perubahan, dan penyesuaian dalam menghadapi tantangan di masa depan. Selaras

dengan pandangan Lubis (2008), melalui proses pengkajian terhadap artifak budaya

Page 5: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

167

Sunda, khususnya terkait pantun, Sumardjo (2003: 353) menjelaskan bagaimana suatu

proses transformasi nilai budaya dapat terwujud bila didasari oleh pemahaman yang

utuh terhadap nilai-nilai budaya yang telah ada.

Transformasi nilai baru bisa terjadi kalau nilai-nilai lama kita fahami secara utuh, dan nilai-nilai baru yang kita inginkan terwujud akan berdasarkan nilai-nilai lama tadi. “Perkawinan” antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru inilah yang akan menciptakan terjadinya keselamatan dan kesejahteraan. Bagaimanapun, kita masing-masing memiliki akar budaya di wilayah masing-masing. Kita berkembang atas akar yang berbeda-beda. Tetapi kita harus bersatu, dan persatuan itu adalah suatu perkawinan nilai-nilai.

Kajian terhadap konsepsi ketahanan budaya menurut Hatta (2008), Henderson

(2003), dan Vanbreda (2001 ) menjelaskan bahwa ketahanan budaya merupakan

kemampuan untuk mempertahankan sekaligus mengembangkan nilai budaya dalam

situasi yang sulit sekalipun. Kemampuan untuk survive merupakan kata kunci yang

menghubungkan konsep tentang transformasi nilai budaya dengan konsepsi ketahanan

budaya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa keberhasilan transformasi nilai

budaya adalah munculnya ketahanan budaya.

Bagaimana agar nilai budaya dapat ditransformasikan? Kita perlu mengkaji

bagaimana nilai budaya dapat berkembang di masyarakat. Brofenbrener (1989),

Baumrind (1973) dalam Mussen (1992), Parson (1937) dalam Puspitawati ( 2009),

dan Spranger (1950) dalam Suryabrata (2005), menjelaskan bahwa proses sosialisasi

nilai budaya memiliki sifat dialektis, dan dinamis. Selanjutnya dijelaskan bahwa

kebudayaan terjelma dari nilai-nilai yang dimilliki oleh individu, namun di sisi lain

tumbuh dan berkembangnya individu juga di pagari oleh sistem nilai budaya yang ada.

Pemahaman anak akan nilai budaya dipengaruhi oleh lingkungan terdekat seperti

keluarga hingga lingkungan yang lebih luas di luar lingkungan keluarga. Konfigurasi

nilai budaya pada kebudayaan kelompok masyarakat yang satu, dengan kelompok

masyarakat lainnya akan berubah lebih lama atau lebih cepat, bergantung pada dinamika

perubahan dan penyesuaian nilai budaya dari individu-individu dalam suatu kelompok

masyarakat.

Page 6: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

168

Selanjutnya Egan (dalam Mulyana, 2004), dan Superka (1976) menjelaskan

secara lebih teknis terkait strategi pendidikan nilai termasuk nilai budaya. Egan

(UNESCO, 1991) menjelaskan bahwa perkembangan minat dan kepedulian anak

terhadap nilai berlangsung dalam empat tahapan yakni tahapan mitos, romantis, filosofis

dan ironis. Tahapan ini berkorelasi dengan pertumbuhan fisik dan bertambahnya usia

anak. Secara rinci Mulyana (2004:130) menggambarkannya dalam bentuk tabel di

bawah ini.

Tabel Perkembangan Minat dan Keperdulian Anak terhadap Nilai

oleh K. Egan (UNESCO, 1991) – diadaptasi oleh Mulyana

Jenis tahapan/usia Karakteristik PerkembanganTahap mitos ( 5-10 tahun)

Anak belajar melalui cara bermain dan berceritera. Mereka bahagia bermain dengan obyek mainan yang melibatkan perasaan mereka. Pada tahap ini nilai moral merupakan perhatian utama yang dibedakan secara hitam putih seperti baik dan jelek, sayang dan benci, suka dan tidak suka, dsb.

Tahap romantis (8-15 tahun)

Pada rentang usia ini anak berharap banyak terhadap informasi yang dapat memberikan uraian tentang manusia, semangat hidup, petualangan, perkembangan teknologi, olahraga, sampai pada wilayah persoalan yang asing bagi dirinya.

Tahap filosofis(14 – 20 tahun)

Tahap ini didominasi oleh keinginan remaja untuk menyederhanakan urutan pengalaman melalui pengambilan kesimpulan yang dibuat sendiri atau melalui tatanan hukum dan peraturan yang sudah baku. Pada tahap ini pula biasanya anak merasa frustasi apabila ada perlakuan-perlakuan khusus atau ada pertentangan dalam penegakan hukum.

Tahap ironis(20 tahun ke atas)

Pada tahap ini, remaja akhir atau orang dewasa mencoba untuk mencari kesimpulan-kesimpulan yang lebih jelas berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Tetapi penarikan kesimpulan dan penjelasan, termasuk pada hal-hal yang kontradiktif dan membingungkan, tidak hanya dihargainya tetapi juga disenanginya. Pada tahap ini anak remaja akhir atau orang dewasa tidak lagi merasa frustasi dengan adanya sesuatu yang manasuka, bertentangan atau berlawanan.

Dalam konteks pendidikan nilai khususnya terkait pendidikan persekolahan

Superka (1976) telah mengembangkan lima pendekatan. Pendekatan tersebut adalah: (1)

Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach); (2) Pendekatan perkembangan

moral kognitif (cognitive moral development approach); (3) Pendekatan analisis nilai

Page 7: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

169

(values analysis approach); (4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification

approach); dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).

Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) memberi penekanan pada

penanaman nilai-nilai sosial dalam diri anak. Proses penanaman nilai dilakukan dengan

cara memberi contoh yang dapat dijadikan teladan, melakukan penguatan positif dan

negatif, simulasi, dan permainan peran. Melalui cara demikian diharapkan anak akan

menerima nilai-nilai sosial tertentu dan terjadi perubahan perilaku sosial yang lebih

sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan.

Pendekatan perkembangan moral kognitif merupakan pendidikan nilai moral

yang memperhatikan tahapan perkembangan moral. Menurut Elmubarok (2008)

pendekatan ini didasari oleh hasil-hasil riset tentang perkembangan kognitif terkait nilai

moral yang dikemukakan oleh sejumlah ahli seperti Dewey, Piaget dan Kohlberg.

Proses pembelajaran nilai moral menurut pendekatan ini dilakukan melalui diskusi

kelompok terkait dilema moral. Dilema moral yang faktual, maupun hipotetik,

dijadikan bahan diskusi kelompok. Siswa didorong untuk memberikan pertimbangan

moral dan memutuskan posisinya dalam bila mereka menjadi bagian dalam situasi

dilematis tersebut. Penekanan pendekatan ini adalah pada kemampuan memberikan

pertimbangan nilai, bukan pada pengambilan keputusan terkait mana yang benar dan

mana yang salah.

Pendekatan analisis nilai memiliki kemiripan dengan pendekatan perkembangan

moral kognitif. Perbedaan utama terletak pada cakupan pembahasan nilai yang lebih

menekankan pertimbangan nilai moral secara sosial bukan pribadi. Metode yang

digunakan adalah pembelajaran individu maupun kelompok dengan kegiatan studi

pustaka, penyelidikan lapangan dan diskusi.

Pendekatan klarifikasi nilai memiliki kelebihan mengkombinasikan kemampuan

berpikir rasional dan kesadaran emosional untuk membantu siswa dalam mengkaji

perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Melalui proses demikian siswa dibantu untuk

mengenali hal-hal apa yang bernilai bagi dirinya, hal-hal apa yang bernilai bagi orang

lain, dan belajar memahami pola perilaku mereka. Metoda yang digunakan antara lain

dialog, menulis, dan diskusi dalam kelompok kecil maupun besar.

Page 8: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

170

Pendekatan pembelajaran berbuat memberikan penekanan yang berbeda

dibandingkan pendekatan pendidikan nilai lainnya. Melalui pendekatan ini siswa diberi

kesempatan untuk melakukan aktivitas-aktivitas nyata yang didasari pertimbangan

moral secara individu maupun kelompok, dan bermanfaat bagi kehidupan. Pengalaman

berbuat diharapkan mampu berimplikasi pada tumbuhnya kesadaran afektif dalam

memutuskan pilihan nilai moral, dan membentuk warganegara yang aktif dalam

membangun kesadaran moral di masyarakat.

Kelima pendekatan pendidikan nilai ini lebih terkait dengan pendidikan nilai di

sekolah, namun dapat dijadikan inspirasi dalam proses pendidikan nilai dalam keluarga.

Pendekatan penanaman nilai misalnya merupakan pendekatan yang lazim dilakukan

dalam pendidikan keluarga di Indonesia.

Berdasarkan proses terbentuknya nilai budaya yang memiliki sifat interaktif,

dinamis dan berkembang maka transformasi nilai budaya juga memiliki ciri-ciri

tersebut. Oleh karena itu perubahan cara pandang yang terjadi dalam proses

transformasi nilai budaya memiliki sifat meluas, artinya tidak hanya terjadi pada satu

individu, namun berpengaruh juga pada cara pandang individu lain dalam kelompok

masyarakat tersebut.

2. Pembahasan Hasil Penelitian

Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa fenomena yang mencirikan terjadinya

transformasi nilai budaya di SAU. Pembahasan akan diawali oleh karakteristik Udjo

sebagai pemimpin SAU, perubahan cara pandang yang terjadi dalam diri Udjo terhadap

fungsi angklung, dilanjutkan dengan perubahan bentuk maupun struktur ragam jenis

angklung, dan seni yang dikembangkan di SAU. Bahasan diakhiri oleh bukti-bukti

ketahanan budaya yang tampak di SAU

a. Karakteristik Udjo sebagai pimpinan SAU

Untuk memahami karakteristik Udjo digunakan pisau analisis teori Henderson

(2003) terkait personal resiliensy, yang intinya mencakup tiga aspek yakni sikap

terhadap diri sendiri, sikap terhadap orang lain dan sikap terhadap pekerjaan/tugas.

Hasil analisis data tentang sikap terhadap diri sendiri menjelaskan bahwa Udjo memiliki

Page 9: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

171

kemampuan mengontrol diri, memotivasi diri, menghargai diri sendiri, percaya diri dan

berpandangan positif tentang masa depan. Refleksi diri menjadi hal yang esensial dalam

mengembangkan kemampuan untuk mengontrol diri sendiri. Udjo memiliki kebiasaan

untuk menuliskan hasil refleksi diri dalam buku hariannya. Sebagai contoh kemampuan

mengontrol diri adalah kutipan dari buku hariannya berikut ini.

Kelembutan bisa mengalahkan kegalakan... Tibatan ...upat simuat mending ge nanya sorangan. naha aing teh enggeus bener? [Ind: daripada mengumpat. Lebih baik bertanya pada diri sendiri. Apakah saya sudah benar?] (Syafii, 2009).

Dalam menghadapi berbagai tantangan hidup, Udjo memiliki kemampuan untuk

memotivasi diri. Berdasarkan kajian terkait biografi Udjo yang dilakukan oleh

Supriyatna (2000) diperoleh contoh-contoh cara Udjo memotivasi diri. Beberapa kata

motivasi dituliskannya di sejumlah ruang tempat berlatih seni.

Tenang, sabar, serta kelapangan dada membuat alam akan tersenyum... Gumelar ka dunya mawa hirup jeung huripna. Tinggal usaha motekarna [Ind: Lahir ke dunia. Membawa hidup dan kehidupannya. Tinggal mau berusaha] (Supriyatna, 2000:33)

Bahagian terbesar dari hidup kita yang kita lakoni, yang kita jalani, yang kita tempuh adalah di luar rencana kita, di luar cita-cita kita, bahkan di luar sepengetahuan dan kemauan kita.Semuanya itu terjadi semata-mata atas kehendakNya (Supriyatna,2000:31-32)

Udjo juga dapat menghargai diri sendiri sehingga memiliki kepercayaan diri.

Sebagai contoh adalah ungkapan Udjo dalam wawancara sebagai berikut: “ mau

dibantu atau tidak oleh pemerintah, bapa mah teras wae ngalatih angklung ka

murangkalih“ (Dokumen P4ST, wawancara Udjo, 1997). Informasi lain diperoleh

melaui penegasan Daeng putra ke delapan Udjo berikut ini. “Mau ditonton atau tidak

yang penting bapa mah mau main itu ya main saja” (wawancara Daeng, 5 Mei 2011).

Sikap positif dalam diri Udjo yang tak kalah penting adalah memiliki pandangan

positif tentang masa depan pribadi. Udjo sering mengatakan dalam berbagai kesempatan

bahwa ia ingin hidupnya ada berguna bagi sesama insan. Udjo yakin bahwa ia memiliki

kemampuan untuk mewujudkannya melalui seni angklung. “Saung angklung tidak ingin

hidup sesaat tetapi dari generasi ke generasi ...Bapa mengharap Saung Angklung yang

akan datang jauh lebih baik daripada sekarang. (Syafii, 2009:138)

Page 10: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

172

Aspek ke dua terkait personal resiliency, yakni sikap terhadap orang lain. Udjo

adalah individu yang senang membantu orang lain. Dalam bahasan tentang karakter

Udjo sebagai pribadi tampak bahwa ia merupakan sosok yang murah hati. Ia senang

berbagi kebahagiaan untuk orang lain. Saung Angklung yang dipimpinnya ditujukan

untuk memberikan kebahagiaan untuk anak-anak.” I will make every body happy, for

the future children, with my capacity through love, patient and wisdom” (Dokumen

P4ST, wawancara Udjo, 1997). Udjo ingin menolong warga sekitar yang hidup dalam

kondisi ekonomi lemah, oleh karenanya ia memberikan beasiswa bagi anak-anak di

SAU, ia merekrut tukang gali, dan tukang becak untuk dididik menjadi pengrajin

angklung.

Udjo juga memiliki kemampuan untuk membangun hubungan positif dengan

orang lain. Ia tidak pantang menyerah menghadapi orang yang bersikap sinis padanya.

Memberikan senyum ramah, berbagi rezki dan sengaja memberikan penganan pada

tetangga yang kurang simpatik merupakan upaya yang diterapkan Udjo dalam

membangun hubungan positif. “Ceuceub ka hiji jalmi hartosna nyiksa ka diri sorangan.

Kikituna dunya jadi heurin. naon rugelna jadi jalmi anu someah, naon rugelna jadi

jalmi anu leah” [Ind: membenci seseorang artinya menyiksa diri sendiri. Apa ruginya

menjadi orang yang baik budi. Apa ruginya menjadi orang yang bijaksana] (Supriyatna,

2000:32).

Kemampuan berkomunikasi yang baik juga menyebabkan Udjo diterima

kehadirannya oleh banyak teman, dan warga Padasuka. Udjo memiliki rasa humor yang

baik. Sebagai contoh saat ada tamu yang datang berkunjung, tak jarang Udjo

mengatakan: “Silahkan diminum air berani”. Kalimat ini diucapkan Udjo saat

mempersilahkan tamu minum teh. Air berani merupakan ungkapan dari suguhan yang

hanya terdiri dari teh tawar tanpa teman makanan kecil lainnya. ( Wawancara Sam, 19

Februari 2012). Bahkan dalam kondisi sakit, Udjo masih dapat berkelakar: “Apa bapak

boleh bilang aduh? Apa tuhan nggak marah?” (Syafii, 2009: 116).

Keterampilan sosial lain yang dimiliki Udjo adalah kemampuannya untuk

bersikap fleksibel, terhadap orang lain. Sejumlah contoh nyata antara lain: (1) tentang

Page 11: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

173

kebebasan yang diberikan Udjo pada para pengrajin asuhannya, untuk menjual

angklung pada pihak lain; (2) membuat partitur lagu Halo-halo Bandung dari gordyn

kamar hotel, untuk memenuhi permintaan mendadak dari panitia pertunjukan di

Yogyakarta (Syafii, 2009); dan (3) Mendadak menyiapkan putri bungsunya Mutiara

menjadi dirigen untuk acara Ladies Night pada pertemuan APEC 1994 di Istana Bogor.

Hal ini ia lakukan karena kesalahan panitia tidak menginformasikan bahwa ada

peraturan tidak boleh mengikutsertakan lelaki dewasa, dalam acara tersebut. (Syafii,

2009).

Aspek ke tiga yang perlu diungkap terkait ada tidaknya ciri-ciri personal

resiliency pada Udjo adalah sikapnya terhadap pekerjaan. Contoh di atas tentang sikap

fleksibel Udjo terhadap orang lain, juga merupakan indikasi kecakapan Udjo untuk

mengendalikan, dan mengambil keputusan untuk memecahkan masalah terkait tugas

dan pekerjaan. Udjo juga merupakan individu yang apik dalam melaksanakan

pekerjaan. Merencanakan aktivitas dan hal-hal penting yang harus dipersiapkan atau

diperbaiki pada buku agendanya, merupakan kebiasaan yang telah mempribadi dalam

diri Udjo. Sikap apik ini juga teramati saat mengajar angklung Sunda pada siswa-siswa

SAU tahun 1997. Ia segera meminta pegawainya mengambil pisau raut dan melaras

angklung yang nadanya terdengar sumbang. Sikap mandiri dan terus belajar juga

menjadi ciri Udjo dalam melaksanakan tugas.

Analisis di atas, telah mengungkap Udjo sebagai pimpinan SAU memiliki

karakteristik individu dengan ketahanan budaya personal yang baik. Kemampuan untuk

bersikap kritis terhadap diri sendiri, membina hubungan sosial dengan baik, serta ulet

dalam melaksanakan tugas dan mewujudkan cita-cita merupakan kekuatan yang

dimiliki Udjo sebagai pimpinan SAU.

b. Perubahan Cara Pandang Udjo Terkait Fungsi Angklung

Udjo memiliki ketertarikan yang amat kuat terhadap angklung. Sejak kecil ia telah

belajar mengenal angklung dari pengamen angklung. Ia juga bermain angklung bersama

tetangga di sekeliling rumahnya, untuk mengisi waktu luang di malam hari.

Page 12: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

174

Pengalaman berkesenian sejak kecil, masa mengikuti pendidikan mulai dari

sekolah rakyat hingga menjadi guru telah membekali Udjo menjadi sosok pendidik seni

yang menguasai musik “Sunda” dan musik “Barat”. Pengetahuan tentang dua wilayah

ilmu musik ini merupakan modal berharga dalam mengembangkan instrumen angklung

maupun ilmu mendidik angklung.

Inovasi yang dilakukan oleh Daeng Soetigna dengan membuat angklung diatonis,

telah menyadarkan Udjo sebagai seorang pendidik, untuk mengembangkan potensi

angklung Sunda yang semula ia gunakan sebagai hiburan bersama keluarga dan

tetangga. Cara pandang Udjo terhadap angklung juga berubah setelah belajar ilmu

terkait pelarasan angklung diatonis dari Daeng Soetigna. Ia mulai berfikir, bila angklung

secara diatonis bisa dibuat dan digunakan sebagai media pendidikan musik di sekolah,

berarti ada peluang juga untuk mengembangkan angklung yang berlaras pentatonis

sebagai media pendidikan.

Kalau Daeng Soetigna terkenal dengan angklung diatonisnya, saya juga ingin

membuat sesuatu, angklung Sunda, ternyata berhasil” (wawancara Udjo, 17 Juli

1997).

Biasanya angklung Sunda yang digunakan oleh pengamen, larasnya tidak

sepenuhnya salendro, sehingga sejumlah literatur menyatakan nyalendro atau mirip

salendro. Angklung yang dibuat Udjo memiliki dasar pengembangan dari waditra

gamelan. Berdasarkan wawancara tanggal 17 Juli 1997 (dokumen P4ST UPI), Udjo

menjelaskan bahwa ia melakukan suatu proses pengamatan dahulu terhadap sejumlah

gamelan hingga ke kota Solo, kemudian ia juga membeli suling dari Cirebon. Ia

membandingkan suara yang dihasilkan oleh gamelan Sunda, suling Cirebon dan

gamelan Jawa . Kesimpulan yang ia peroleh ternyata suara gamelan berbeda-beda tetapi

memiliki kesan yang sama.

Hasil pengamatan ini kemudian memantapkan Udjo untuk membuat angklung

dengan laras salendro, madenda dan degung. Udjo memilih relasi nada yang digunakan

di Konservatori Karawitan Solo sebagai patokan untuk melaras Angklung Sunda. Ia

menetapkan terlebih dahulu nada gis sebagai patokan, untuk da (tugu). Kemudian

Page 13: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

175

berdasarkan relasi nada gamelan milik Konservatori Karawitan Solo, ia menentukan

frekuensi nada lain (la, ti, na, mi, dst). Kombinasi dua cara, yakni penggunaan rasa

terkait relasi nada, dan penetapan frekuensi, adalah resep untuk melaras Angklung

Sunda.

Upaya yang dilakukan Udjo dalam membuat angklung Sunda merupakan

inovasi, karena sebelumnya angklung Sunda yang berkembang di masyarakat belum

sepenuhnya berlaras salendro. Sebagai contoh nada angklung Badeng dari daerah Garut

dan angklung Dogdog Lojor dari Sukabumi. Menurut penelitian Masunah dkk. (2003),

setiap angklung Badeng terdiri dari tiga bilah bambu yang memiliki nada berbeda,

sementara seluruh angklung Dogdog Lojor pada prinsipnya hanya terdiri dari tiga nada

yang mirip salendro.

Keberhasilan Udjo dalam mengembangkan angklung Sunda ia lanjutkan dengan

niat utamanya “ingin ikut membina kebudayaan/kesenian” . Tahun 1966 ia

mengembangkan sebuah program latihan angklung yang bertujuan untuk

mengembangkan bakat musik anak, dan melestarikan budaya Sunda. Dari data yang

terdapat pada Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya tercatat bahwa antara

tahun 1967-1978 Udjo bekerja sebagai tenaga Ahli Kanwil Depdikbud Jabar.

Kepercayaan pemerintah terhadap Udjo, menjadi motivasi untuk terus mengembangkan

program latihan angklung yang melibatkan keluarga, masyarakat sekitar dan murid-

murid SD tempat isterinya mengajar.

Lingkungan alam sekitar Padasuka tempat tinggal Udjo, dan anak-anak berlatih

angklung memiliki kekhasan tersendiri. Dari Padasuka terdapat jalan tembus menuju

gunung Manglayang. Menurut Narawati, dkk. (2009) daerah ini termasuk kaki gunung

(tutugan) Manglayang, yang merupakan salah satu kantong ragam seni Sunda buhun

[Ind: lama]. Kesenian Calung, angklung, gamelan, pencak silat, dan lain-lain masih

subur di daerah ini. Pada waktu itu Padasuka termasuk daerah pinggiran kota atau lebih

tepat dikatakan sebagai ‘kampung’. Kalau hujan turun, jalan menjadi becek karena

tidak beraspal, dan di sana-sini masih banyak kebon. Suasana ini menarik perhatian

Daeng Soetigna yang menyarankan Udjo untuk mengembangkan pertunjukan wisata

Page 14: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

176

budaya. Suasana lingkungan ini amat selaras dengan bunyi angklung Sunda yang

dikembangkan oleh Udjo.

Berdasarkan informasi Syafii (2009), pada saat itu Daeng Soetigna juga sudah

mengemas sejumlah pertunjukan angklung di hotel-hotel. Udjo terus mengikuti Daeng

sambil belajar bagaimana mengemas pertunjukan, sekaligus mencoba memahami

keinginan wisatawan terutama wisatawan asing. Melalui proses ini Udjo memperoleh

pemahaman bahwa ia harus mengemas pertunjukan seni tradisi yang atraktif agar

menarik bagi wisatawan asing.

Berbekal pengalaman dan pemahaman mengikuti pertunjukan Daeng Soetigna

inilah, kemudian Udjo berupaya untuk mengembangkan pertunjukan wisata di SAU.

Berdasarkan tulisan Syafii (2009), wawancara Yayan (Maret 2010), Sam (Maret 2010)

dan Hety (April 2010), untuk mewujudkan hal tersebut ia mendapat dukungan dari

beberapa pihak selain Daeng Soetigna, yakni Oeyeng Soewargana, Yayasan Bakti

Haruman, dan biro perjalanan Nitour. Kunjungan perdana wisatawan asing ke SAU

terjadi pada bulan September 1968, dan menghadirkan enam turis asing dari Perancis

Masa depan angklung menjadi semakin terbuka setelah pada tahun 1968 turun

Surat keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang menetapkan

angklung sebagai pelajaran seni budaya di sekolah. Angklung diatonis semakin populer

dan permintaan produksi angklungpun meningkat. Udjo merupakan salah seorang murid

Daeng Soetigna yang tidak hanya memiliki ilmu bermain dan mengajar angklung, tetapi

juga memiliki keterampilan membuat angklung. Usaha kecil-kecilan dalam

memproduksi angklung diatonis sebenarnya telah dimulainya sejak tahun 1962

(wawancara Udjo, Juli 1997). Oleh karena itu saat permintaan angklung diatonis

meningkat, SAU dapat berperan aktif sebagai produsen maupun penyalur (suplier)

angklung guna memenuhi kebutuhan angklung dalam dunia pendidikan.

Pada tahun 1970an Udjo sampai pada pemikiran bahwa ketiga hal yang terjadi di

SAU yakni pembinaan seni angklung untuk anak-anak, pertunjukan wisata dan produksi

angklung memiliki keterkaitan satu sama lain. Ketidak berdayaan salah satu akan

Page 15: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

177

berdampak pada yang lain. Ia menyadari bahwa keterkaitan antara tiga hal ini

merupakan kekuatan yang dapat menghasilkan adanya keberlangsungan hidup

kesenian.

Bagaimana caranya agar pendidikan, pertunjukan wisata, dan produksi alat

musik itu tetap berlangsung? Udjo memilih menggunakan kiat yang berakar pada

budaya Sunda. Ia menerapkan pemberdayaan potensi yang dimiliki oleh keluarga dan

masyarakat sekitar. Setelah melampaui masa-masa penuh perjuangan yang sulit,

ternyata Udjo berhasil membuat landasan yang kuat bagi berkembangnya kegiatan

pendidikan, pertunjukan wisata dan produksi alat musik bambu di SAU. Melalui strategi

kudu akur sareng batur sakasur, sadapur, sasumur dan salembur, Udjo tidak hanya

berhasil menjaga dan mengembangkan kegiatan wisata yang ditunjang oleh pendidikan

dan produksi alat musik, tetapi juga melestarikan dan mengembangkan budaya Sunda di

daerah Padasuka. Daeng putra Udjo yang ke delapan menjelaskan sebagai berikut.

Yang hebat dari beliau [Udjo] ialah ia bisa membuat suatu daerah yang jauh dari

mana-mana menjadi tempat wisata dan menciptakan budaya bukan hanya kesenian.

Yang banyak, orang itu menciptakan kesenian seperti topeng, wayang. Budaya

masyarakat diciptakan Udjo, yang dimaksud budaya masyarakat seperti budaya di

Baduy. Keterlibatan anak dan masyarakat dapat menciptakan kesan kedaerahan

(wawancara Daeng, 5 mei 2011).

Di setiap pertunjukan khususnya di SAU, Udjo senantiasa menyatakan: “saya

mendapat pesan dari bapak angklung dunia, Daeng Soetigna untuk meneruskan misinya

memperkenalkan angklung ke semua orang di seluruh dunia agar dikenal di mana-mana,

dengan sebuah gagasan, bahwa melalui penampilan kesenian musik angklung, akan

dapat membantu mendorong terciptanya kedamaian di dunia yang kita cintai dan kita

tinggali ini”.

Pernyataan Udjo tersebut merupakan penegasan bahwa ia melanjutkan perjuangan

Daeng Soetigna, menggunakan angklung sebagai media untuk menciptakan perdamaian

dunia.

Page 16: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

178

Pernyataan Udjo ini telah ia buktikan dengan menggunakan musik angklung

sebagai media diplomasi budaya. Salah satu contoh diplomasi budaya yang dilakukan

Udjo adalah membawa misi budaya ke kepulauan Solomon. Pada saat itu situasi di

Indonesia khuususnya di daerah Papua dan Timor Timur memang sedang bergejolak.

Kehadiran Udjo dan tim sebagai duta pemerintah Indonesia, mendapat sambutan kurang

hangat dari sebagian warga Solomon. “Indonesia harus pergi dari sana, kalian penjajah,

harus angkat kaki dari Papua dan Timor Timur, teriak seseorang di depan pintu utama

hotel menggunakan bahasa Inggris” (Syafii, 2009:85). Udjo dan tim bisa memahami

sikap mereka. Namun Udjo mendapat amanah menjalankan misi diplomatik.

Melalui pertunjukan angklung untuk amal (pengumpulan dana untuk

pengembangan budaya lokal di Solomon), membuat angklung, dan berlatih angklung,

Udjo dan tim berhasil membangun apresiasi warga Solomon tentang Indonesia. Pada

saat pertunjukan hadirin larut menikmati dan ikut melantunkan lagu-lagu yang

disajikan, bahkan menjelang akhir pertunjukan ada sejumlah penonton yang menyanyi

bersama di atas panggung. MC (master of ceremony) mengatakan “ kami mengucapkan

terimakasih kepada rombongan angklung dari Indonesia yang sudah bersedia pentas.

Hasilnya akan kami gunakan untuk pembangunan kebudayaan setempat” (Syafii, 2009:

86).

Antusiame warga dalam mengikuti kegiatan membuat angklung juga tinggi,

terbukti dalam waktu satu minggu Udjo dan tim berhasil membimbing warga membuat

satu set angklung lengkap (melodi, bas dan akompanyemen). Warga Solomon juga

dibimbimbing untuk bermain angklung sambil membaca partitur. Mereka sangat senang

dan berterimakasih atas kesempatan belajar yang diberikan.

Pengalaman membawa misi kesenian sebagai media untuk diplomasi budaya

juga dilakukan oleh Daeng sebagai penerus Udjo, ketika ia dan rombongan berkunjung

ke London. Biasanya dalam lingkup kerajaan ada tatacara yang sangat ketat, dan formal.

Namun pada saat pertunjukan di istana Buckingham, Daeng berupaya mengembangkan

pertunjukan yang interaktif dan penuh dengan humor.

Pangeran Andrew bisa tertawa cekakan, saya berusaha merubah suasana kaku kerajaan menjadi cair. Pangeran Andrew bicara kira-kira isinya: ‘seharusnya

Page 17: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

179

diplomat belajar dari you bagaimana communicate dan pencintraan’. Daeng menjelaskan oh bukan karena saya tetapi karena bambu, bahwa bambu adalah luar biasa. Dulu bambu digunakan untuk berperang, sekarang saya datang membawa bambu untuk misi perdamaian. Saya mengajak orang untuk tertarik dan mau berkomunikasi. Orang harus belajar dari bambu, dari kebersamaan bambu dengan harmonisasi bambu. Saya jadi bicaranya diplomatis, tidak sekedar as artis. (Wawancara Daeng, 5 mei 2011).

Sampai pada bahasan ini terlihat adanya perubahan pemikiran Udjo tentang

fungsi angklung. Berdasarkan data diperoleh lima fase pemikiran Udjo terkait

kehidupannya sebagai pendidik dan seniman angklung. Perhatikan gambar berikut ini.

Diagram Perubahan Cara Pandang Udjo Terhadap Fungsi Angklung (Milyartini, 2012)

b. Perubahan dalam Struktur Ragam Jenis Angklung (Instrumen).

Secara umum, angklung yang diproduksi di SAU ada tiga kelompok yakni

angklung pentatonis, angklung diatonis dan angklung untuk souvenir. Ragam jenis

angklung yang diproduksi SAU ini merupakan indikasi adanya pengembangan dari

angklung Sunda yang ada di masyarakat, dan angklung diatonis yang dikembangkan

oleh Daeng Soetigna. Masing-masing kelompok memiliki karakteristik tersendiri. Pada

bagian berikut akan dijelaskan bagaimana transformasi nilai budaya dapat teramati

dalam wujud angklung yang diproduksi di SAU.

fase 1 angklung sebagai media hiburan di masyarakat

fase 2 angklung sebagai media pendidikan musik

fase 3 angklung untuk pertunjukan

fase 4 Integrasi pendidikan, pertunjukan dan produksi instrumen untuk membangun wisata budaya berbasis pertunjukan angklung

fase 5 angklung sebagai medium pelestarian, pengembangan budaya dan diplomasi budaya

Page 18: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

180

Angklung Sunda yang dikembangkan Udjo memiliki perbedaan dibandingkan

angklung yang biasa digunakan oleh pengamen angklung pada umumnya. Udjo

mengembangkan angklung dengan laras salendro, madenda dan degung (pelog).

Konsep pelarasan angklung Sunda Udjo memilliki kekhasan tersendiri, karena Udjo

tetap memperhatikan kesan salendro, madenda maupun degung, namun menetapkan

frekuensi nada da sebagai patokan melaras nada lainnya. Hal ini dinyatakan Udjo

(dokumen wawancara P4ST, Juli 1997) sebagai berikut.

Kalau melaras sama saja dengan mengikuti suara gamelan dan mengukur dekat

dengan nada diatonis apa... Anu dicandak ayeuna teh nu konservatori karawitan

Solo, da antawis 400 ka 430 hertz “ [Ind: yang digunakan sebagai rujukan sekarang

adalah bunyi gamelan dari konservatori Solo sekitar 400 sampai 430 hertz].

Setelah menentukan patokan nada, Udjo kemudian mengolah kesesuaian bunyi

gamelan dengan nuansa suara bambu. Hal ini dilakukan mengingat bambu sebagai

bahan baku pembuatan angklung memiliki karakteristik bunyi tergantung pada tingkat

kekeringan, usia bambu dan ketebalan bambu. Untuk menghasilkan angklung berlaras

pentatonis ini, Udjo telah menghabiskan begitu banyak bambu dan waktu.

Angklung kreasi Udjo oleh mantan kepala stasiun RRI Bandung - Darya diberi

nama angklung Sunda Modern. Mengapa disebut sebagai angklung Sunda Modern?

Alasannya, Angklung Sunda yang berkembang di beberapa tempat di Jawa Barat seperti

angklung Sered di Tasikmalaya, angklung Buncis di Arjasari, angklung Badeng di Garut

atau angklung dogdog lojor di Sukabumi, biasanya lebih bersifat ritmis. Angklung

Sunda yang dibuat Udjo tidak hanya bersifat ritmis, tetapi juga membentuk bunyi

melodis seperti melodi gambang, saron dan bonang pada gamelan. Berdasarkan

argumen tersebut Darya mengatakan bahwa angklung yang dibuat oleh Udjo disebut

sebagai Angklung Sunda Modern.

Diantara putra-putri Udjo, hanya Sam yang menguasai ilmu membuat angklung

berlaras pentatonis. Ia terus berupaya untuk melestarikan ilmu membuat angklung

Sunda melalui sejumlah percobaan. Menurut Sam prinsip pembuatan angklung Udjo

terinspirasi oleh teori laras salendro bedantara yang dikemukakan oleh R. Machyar.

Page 19: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

181

Hasilnya ia merumuskan hubungan skala nada pentatonik dan diatonis (kromatik). Sam

Udjo pada tahun 2008 menyusunnya dalam tabel seperti di bawah ini.

Page 20: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

Tabel Skema Sistem Pelarasan Angklung Sunda Udjo

(Sumber dokumen Sam Udjo, 2008)

TANGGA NADA DIATONIS

g gis a ais 30a

b c1 cis1

-30bd1 dis1

10ce1 f1 fis1

-40dg1 gis1 a1 ais1

50eb1 c2 cis2

-20fd2

PURWASWARA LARAS SALENDRO

Tu Si Ga Pa Lo Tu Si Ga

SALENDRODA TUGU

1 (da)

5(la)

4(ti)

3(na)

2(mi)

1(da)

5(la)

4(ti)

MADENDALA LOLORAN

3 2 1 5 4 3 2 1

DEGUNGLA GALIMER

1 5 4 3 2 1 5 4

CATATAN: a. lebih rendah 30 hertz dari nada aisb. lebih tinggi 30 hertz dari nada cis oktaf satuc. lebih rendah 10 hertz dari nada dis oktaf satud. lebih tinggi 40 hertz dari nada fis oktaf satue. lebih rendah 50 hertz dari nada ais oktaf satuf. lebih tinggi 20 hertz dari nada cis oktaf duaTu = tugu ; Si = singgul; Ga = galimer; Pa = Panelu; Lo=loloran

Page 21: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

Berdasarkan skema tersebut, kita melihat Udjo telah melakukan adaptasi dari pengembangan

angklung oleh Padaeng yang menggunakan sistem pelarasan diatonis, menjadi sistem

pelarasan salendro, madenda, dan degung.

Bila dicermati dengan baik diagram di atas terlihat bahwa frekuensi nada singgul dan

galimer pada gembyangan berikutnya berbeda dengan aturan Machyar. Konsep gembyang

menurut Machyar memiliki kesamaan dengan konsep oktaf (octafsinterval), sehingga

terdapat perbedaan frekuensi dua kali lipat dari frekuensi aslinya. Contoh nada a1 adalah 440

hertz, maka nada a2 adalah 880 hertz.

Bila mengikuti konsep Machyar (1940), seharusnya nada singgul pada gembyangan

berikutnya, memiliki frekuensi dua kali lipat frekuensi singgul yang pertama. Atau dengan

kata lain juga memiliki frekuensi 30 hertz lebih rendah dari nada ais oktaf satu (a♯1 ). Namun

pada skema angklung Udjo nada singgul pada gembyangan berikutnya lebih rendah 50 hertz

dari nada ais oktaf satu. Oleh karena itu kita dapat simpulkan bahwa skema tersebut

diperoleh melalui pendekatan perasaan laras, bukan berdasarkan patokan teoretis tentang

perbandingan jarak nada yang dikembangkan oleh Machyar.

Setelah Udjo Ngalagena wafat, inovasi anklung tetap dilanjutkan oleh putra-putra

Udjo.lain melakukan inovasi. Inovasi angklung Sunda dilanjutkan oleh Sam Udjo putra ke

dua dan inovasi angklung diatonis PaDaeng dikembangkan oleh Yayan, putra ke enam.

Satu set angklung Sunda saat ini terdiri dari beberapa instrumen. Satu set ini

sesungguhnya merupakan penyempurnaan dari kombinasi instrumen yang awal. Menurut

Hety putri ke empat Udjo, awalnya angklung Sunda yang dibuat Udjo ini, dimainkan dengan

calung tiga atau empat set, serta kendang dan gong. Penggunaan calung kemudian diganti

dengan gambang, dan angklung dikembangkan dalam jenis yang lebih beragam. Saat ini

secara umum ada empat kelompok instrumen dalam satu set angklung Sunda, yakni

angklung, gambang, kendang, dan gong. Kelompok instrumen angklung terdiri dari angklung

melodi, angklung rincik, angklung panerus dan angklung jenglong. Kelompok gambang

terdiri dari gambang rincik, gambang panerus, gambang melodi dan jengglong gambang.

Instrumen-instrumen tersebut dimainkan bersama kendang dan goong.

Angklung diatonis PaDaeng juga dikembangkan dalam struktur kemasan yang baru.

Pengalaman melayani permintaan masyarakat untuk memberi pelatihan maupun pertunjukan

wisata dan lawatan ke luar negeri telah memotivasi Yayan untuk mengembangkan angklung

yang diberi nama angklung toel. Angklung toel ini berlaras diatonis tetapi memiliki

kelebihan dibandingkan angklung diatonis sebelumnya. Yayan menjelaskan bahwa

pembuatan angklung toel dilatarbelakangi oleh pengalamannya mengajar ibu-ibu yang sulit

Page 22: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

menggetarkan angklung terutama untuk lagu dengan irama yang agak cepat. Selain itu

permintaan untuk tampil atau melatih di luar negeri juga perlu mempertimbangkan jumlah

orang yang akan berangkat, karena berkaitan dengan jumlah anggaran yang tersedia. Semakin

banyak orang yang berangkat semakin banyak dana yang harus disiapkan.

Angklung toel yang dibuatnya pada tahun 2010 masih digantung melingkar mirip

tangga yang melingkar. Sejumlah angklung dirangkai sedemikian rupa dengan menggunakan

bahan semacam karet gelang, dan digantung pada ancak yang berbentuk melingkar. Untuk

memainkannya cukup disentuh seperti orang yang menepuk pundak (toel) dari depan. Pada

waktu itu peneliti mengantar seorang dosen dari Universitas Negeri Yogyakarta untuk

membeli angklung yang akan ia gunakan sebagai media mengajar di Cina. Yayan

menjelaskan bahwa ia belum puas dengan konstruksi susunan angklung tersebut. Tinggi

ancak untuk menggantung angklung sebagian masih menghalangi pandangan mata, sehingga

terlihat kurang estetis bila dilihat dari depan oleh penonton. Oleh karena itu produk angklung

toel ini belum dipasarkan, karena masih dalam proses riset.

Pada tanggal 6 mei 2011, saat kunjungan ke SAU di area souvenir shop terlihat

angklung toel telah mengalami perubahan konstruksi. Angklung toel tidak lagi disusun

melingkar tetapi digantungkan secara terbalik di atas batang bambu dan dirakit sedemikian

rupa menggunakan karet dan semacam pengait. Tinggi tempat menggantung angklung ini

sekitar satu meter, sehingga tidak menghalangi pandangan mata pemain musik. Konstruksi

kemasan angklung yang baru ini memungkinkan pemain angklung toel, berkomunikasi

dengan pemain musik lain maupun penonton. Konstruksi ini memungkinkan angklung

dimainkan dengan cara digetarkan ke depan-belakang hanya dengan menggunakan satu atau

dua jari.

Satu set angklung Toel terdiri dari nada diatonis sebanyak dua oktaf setengah mulai

dari nada E rendah hingga nada d2. Nada-nada natural dan nada-nada kromatis diletakkan

pada baris yang berbeda. Susunannya seperti susunan bilah nada pada piano. Nada natural

berada pada baris depan, sementara nada kromatis disusun di belakang nada natural

membentuk satu baris terpisah.

Page 23: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

Foto Angklung Toel Rakitan Kecil Tampak Samping(Milyartini 2012)

Yayan berharap agar melalui angklung toel, angklung lebih diminati oleh masyarakat,

karena dapat dimainkan sendiri dan diletakkan di ruang keluarga. Angklung Toel juga dapat

dipecah menjadi tiga set, dimana setiap set terdiri dari sepuluh buah angklung. Satu set

angklung melodi yang jumlahnya sekitar tiga puluh buah (30) dan biasanya membutuhkan

sekitar 15 sampai 30 pemain, dengan menggunakan angklung toel cukup dimainkan oleh tiga

orang pemain.

Selain angklung berlaras pentatonis, dan diatonis. SAU juga telah memproduksi

angklung untuk souvenir yang ukurannya lebih kecil tetapi memiliki laras diatonis. Satu set

angklung ini terdiri dari delapan buah angklung satu oktaf mulai dari nada c1 sampai c2.

Ada pula miniatur angklung yang difungsikan sebagai leontin kalung, dan dibagikan secara

gratis kepada para pengunjung SAU yang akan menyaksikan pertunjukan.

c. Perubahan dalam Bentuk Pertunjukan

Pertunjukan angklung Sunda yang semula hanya dimainkan oleh putra-putri Udjo

terdiri dari satu set instrumen angklung, calung, goong dan kendang. “Satu set angklung

dimainkan oleh seorang anak, calung oleh empat orang anak, dan kendang serta goong

dimainkan oleh orang lain yang lebih dewasa” (Hetty, wawancara april 2010). Permainan

angklung Sunda ini hanya dipertontonkan pada teman-teman Udjo, atau memenuhi undangan

untuk main angklung di tempat tertentu.

Page 24: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

Sejalan dengan berkembangnya pertunjukan wisata di SAU, maka Udjo berkreasi

untuk mengemas pertunjukan angklung Sunda. Pertunjukan angklung di saung angklung

Udjo mengalami beberapa kali perubahan. Pada awal pendirian pertunjukan angklung hanya

disajikan di halaman rumah untuk memenuhi permintaan biro perjalanan wisata. Angklung

yang dipertunjukkan adalah angklung Sunda berlaras pentatonis. Jumlah pemain lebih banyak

karena telah melibatkan kemenakan Udjo dan anak-anak tetangga di sekitar rumah Udjo.

Tamu-tamu yang hadir sudah dijemput di muka mulut gang dengan semacam upacara adat

dan diarak menggunakan bendi (alat transportasi yang dapat menampung sampai 7 orang,

ditarik oleh seekor kuda).

Kehadiran turis asing juga menjadi pertimbangan untuk mengemas kembali

pertunjukan angklung di SAU. Pertunjukan angklung Sunda dikemas dalam sajian yang

disebut helaran, dimana dilakukan rekonstruksi arak-arakan angklung mengiringi seorang

anak yang baru disunat atau dalam bahasa Sunda disebut sebagai budak sunat. Arak-arakan

Budak Sunat ini kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan angklung Sunda mengiringi tarian

Buncis, yakni tarian yang dilatar belakangi oleh lagu-lagu kaulinan urang lembur atau lagu

permainan anak dari daerah Sunda.

Selain itu juga disajikan pertunjukan angklung diatonis. Penyajian lagu berlaras

diatonis dilandasi oleh asumsi bahwa lagu berlaras diatonis lebih dikenal oleh para turis.

Selain suguhan angklung pentatonis dalam bentuk arak-arakan atau helaran, juga disajikan

pertunjukan angklung diatonis dalam bentuk sajian pertunjukan lagu-lagu populer Indonesia

maupun Barat yang dimainkan oleh banyak anak.

Salah satu paket pertunjukan yang menjadi unggulan di SAU adalah angklung

interaktif. Pada kegiatan ini para turis dibimbing untuk memainkan lagu berlaras diatonis

baik lagu-lagu asing seperti Lightly Row, maupun lagu Indonesia seperti Rasa Sayange.

Pertunjukan ini amat menyenangkan, karena para turis diberi kesempatan untuk mengalami

proses estetik dalam menghasilkan suatu karya musik secara bersama-sama.

Kemasan pertunjukan di SAU juga mengalami perkembangan sejalan munculnya ide

Udjo maupun putra-putranya dalam menghadapi tantangan atau permasalahan. Sekitar tahun

1970an Udjo mulai mengembangkan pertunjukan arumba, sebagai singkatan dari alunan

rumpun bambu. Munculnya pertunjukan arumba ini dilatar belakangi oleh pengalaman Udjo

dalam melatih ibu-ibu. Menurut Handiman (wawancara 11 februari 2012) “Latar belakang

arumba, melatih ibu-ibu, da ibu-ibu sok teu sumping” [Ind: latar belakang arumba, melatih

ibu-ibu, karena ibu-ibu suka tidak datang].

Page 25: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

Untuk mengatasi hal ini dan terinspirasi oleh calung renteng, Udjo minta bantuan

pada Burhan (Ujang) membuat alat semacam gambang yang memiliki tabung sebagai

penguat suaranya (mirip silofon). Udjo membuat orkes arumba yang terdiri dari angklung

melodi, angklung akompanyemen, gambang, bas pukul bambu dan perkusi seperti bongo.

Handiman menjelaskan bahwa susunan alat bisa berubah begitu pula dengan jumlah nada

pada gambang. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan.

Kemasan pertunjukan angklung juga diperbaharui oleh Daeng Oktaviandi putra ke

delapan Udjo. Ia mengamati bahwa rata-rata anak yang belajar di SAU kalau sudah remaja

sekitar usia SMA berhenti berlatih angklung. Ia menilai bahwa salah satu faktor penyebabnya

adalah kurangnya tantangan bagi pemain dan merasa malu kalau harus terus bermain

angklung helaran. Oleh karena itu ia mengemas pertunjukan angklung diatonis yang disebut

sebagai angklung Orkestra. Dalam pertunjukan angklung orkestra, seorang pemain tidak

hanya memainkan satu sampai tiga angklung melainkan bisa mencapai dua oktaf. Tentu saja

hal ini menuntut keterampilan bermain yang lebih tinggi. Tahun 1997, Udjo membanggakan

hasil kerja putranya ini dengan julukan pertunjukan angklung supra modern.

Saat ini pertunjukan di SAU disajikan secara rutin pada pagi hari dan sore hari. Pagi

hari dimulai pukul 10.00 sampai pukul 12.00, dan sore hari pukul 15.30 sampai 17.30. Tidak

jarang dalam satu hari jumlah tamu banyak sehingga ditambah pertunjukan siang pada jam

13.00 sampai jam 15.00. Materi pertunjukan meliputi pertunjukan wayang golek, helaran, tari

tradisional, calung, Arumba, angklung mini, Angklung PaDaeng, bermain angklung bersama,

angklung orkestra, Angklung Jaipong dan menari bersama..

Selain pertunjukan rutin yang digelar di Bale Karesmen, sejak tahun 2000an, juga

dilakukan pertunjukan di luar SAU untuk melayani permintaan dari instansi pemerintah,

swasta maupun perorangan. Salah satu pertunjukan musik angklung yang baru diluncurkan

pada akhir tahun 2011 adalah BABENJO singkatan dari bambu band Udjo. Format

pertunjukan ini terdiri dari angklung melodi, gitar bass, gambang arumba, drum, dan gitar

listrik. Sebenarnya kombinasi alat ini bisa berubah, tergantung kebutuhan namun intinya

merupakan kombinasi antara instrumen bambu dengan alat-alat musik yang lazim digunakan

dalam band. Melalui Babenjo Taufik bermaksud merespon perkembangan industri musik

dengan tetap memperhatikan misi utamanya untuk melestarikan dan mengembangkan musik

bambu. Ia menjelaskan bahwa ia melanjutkan amanah orangtuanya keep the old one create

the new one. Ia menyadari bahwa upayanya ini, bila dipandang dari aspek musikal mungkin

saja tidak disukai atau bahkan ditentang ayahnya kalau saja beliau masih hidup. Taufik

Page 26: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

memahami bahwa pak Udjo amat memperhatikan kualitas bunyi yang dihasilkan oleh

kombinasi angklung dengan alat musik lainnya. Dominasi kekuatan suara alat-alat musik

band menjadi alasan mengapa Udjo selalu menentang upaya mencampur adukkan karakter

bunyi suara angklung dengan instrumen yang memilliki kekuatan suara lebih besar seperti

drum dan instrumen musik yang menggunakan listrik sebagai sumber energinya.

Taufik memilih untuk tetap mengembangkan Babenjo karena jenis musik pop adalah

jenis musik yang mendominasi dunia bisnis musik saat ini. Ia berpikir untuk memodifikasi

kombinasi alat musik angklung agar dapat membawakan jenis musik yang makin beragam. Ia

meyakini bahwa dalam melakukan perubahan selalu saja ada pihak yang akan memberinya

perlawanan dan ada pihak yang memberikan dukungan. Ia merasa kuat karena yang

dijalankan adalah amanah ayahnya keep the old one and create the new one.

d. Perkembangan Bentuk Layanan Pendidikan Seni

Bentuk layanan pendidikan seni di SAU yang semula dilakukan oleh Udjo adalah

latihan Angklung untuk keluarga dan masyarakat sekitar. Layanan pendidikan ini kemudian

dikembangkan dengan melibatkan siswa sekolah dasar di sekitar Padasuka. Pelatihan

angklung dilakukan sendiri oleh Udjo sampai sekitar tahun 1980an. Kemudian Udjo mulai

dibantu melatih oleh putra-putranya yakni Sam, Nan, Yayan dan Daeng. Proses ini dapat

berlangsung terus hingga sekarang.

Latihan seni yang dilakukan di SAU menjadi berkembang. Tidak hanya pelatihan

angklung, tapi juga seni lain untuk menunjang pertunjukan wisata. Latihan seni ini antara lain

adalah latihan gamelan, latihan tari Jaipong, Topeng Cirebon, dan Pencak Silat. Bila latihan

angklung dilakukan oleh Udjo dan putra-putranya, maka latihan ini dipimpin oleh pelatih dari

luar.

Berkembangnya permintaan masyarakat terhadap pertunjukan angklung, dan perhatian

masyarakat terhadap SAU, membuat tim manajemen SAU berfikir untuk mengembangkan

sistem pembinaan yang lebih baik. Pembinaan seni yang dikembangkan dapat

dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama pembinaan seni internal, yaitu pembinaan seni

yang diperuntukkan bagi anak-anak di saung angklung Udjo. Ke dua adalah pembinaan seni

eksternal, yakni layanan pembinaan seni kepada pihak di luar Saung Angklung Udjo yang

membutuhkan.

Saat ini bentuk pembinaan seni secara internal tidak lagi ditangani langsung semua

oleh putra-putri Udjo, tetapi sudah dilakukan upaya pembinaan yang lebih terstruktur dan

melibatkan alumni maupun pihak luar. Latihan telah dibagi dalam kelompok berdasarkan usia

Page 27: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

dan dibuat jadwal secara rutin. Kelompok siswa yang sekolah pagi berlatih siang hari,

sementara kelompok siswa yang sekolah siang berlatih pagi hari.

Pembinaan seni secara eksternal ada yang dilakukan secara rutin sebagai hasil dari

bentuk kerjasama dan ada yang dilakukan secara insidental. Contoh pembinaan seni secara

eksternal yang dilakukan secara rutin adalah kerjasama dengan departemen luar negeri

berupa pelatihan angklung selama tiga bulan bagi siswa asing. Bentuk layanan eksternal

lainnya adalah pembinaan angklung bagi orang lanjut usia (lansia) di Universitas Padjajaran

Bandung, maupun bagi penderita stroke. Bentuk layanan pembinaan yang bersifat insidental

misalnya pelatihan angklung bagi anak-anak down sindrom kerjasama dengan ISDI (Ikatan

Syndrom Down Indonesia), pembinaan angklung bagi anak yang bekerja sebagai pemulung

kerjasama dengan “Sekolah Kami - Bintaro” yakni sebuah sekolah yang sengaja dibentuk

oleh seorang ibu yang tertarik untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak yang

bekerja sebagai pemulung.

Keberhasilan SAU melakukan pembinaan seni, tidak lepas dari penciptaan atmosfir

berkesenian. Atmosfir berkesenian di SAU terbentuk karena empat faktor. Pertama yakni

pemilihan aktivitas seni yang didominasi oleh kesenian masal yakni kesenian yang

melibatkan banyak orang. Ke dua penataan lingkungan belajar. Faktor ke tiga yakni strategi

pembinaan yang dikembangkan dan faktor ke empat yakni integrasi antara aktivitas

pendidikan seni, pertunjukan wisata dan produksi alat musik.

Penggunaan angklung sebagai medium dalam mendidik keluarga dan masyarakat,

memberikan nilai tambah bagi berkembangnya nilai budaya lain. Bermain angklung secara

masal, membutuhkan kerjasama dan komunikasi batin antara individu yang satu dan lainnya.

Kelebihan permainan musik angklung secara masal, adalah kebermaknaan satu bunyi dalam

keseluruhan bunyi musik yang dihasilkan. Hilangnya satu nada dalam sebuah permainan

musik angklung akan berdampak pada berkurangnya keutuhan karya. Bila permainan tidak

dilakukan secara kompak, maka akan semakin banyak nada yang hilang, muncul ruang waktu

yang kosong, dan sebuah karya musik seperti ‘gigi yang ompong’. Gigi bersih utuh dan

lengkap akan nyaman dipandang, demikian pula dengan karya musik yang dimainkan dengan

bersih dan utuh akan nikmat didengar. Diperlukan suatu usaha untuk menghasilkan keutuhan

lagu, dibutuhkan kesabaran dalam berlatih, dibutuhkan kerjasama untuk saling membantu dan

dibutuhkan disiplin serta saling menghargai kapan ia menggoyangkan angklung dan kapan

angklungnya harus diam. Bila pemain angklung egois semua, maka sulit menghasilkan karya

yang diinginkan.

Page 28: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

Bentuk kesenian yang melibatkan orang banyak menjadi karakter seni pertunjukan

yang dipelajari dan disajikan dalam wisata budaya di SAU. Hal ini menjadi faktor

instrumental yang amat penting dalam membentuk sikap kerjasama, mandiri, dan saling

menghargai. Melalui kegiatan berlatih seni yang digeluti setiap hari mereka dilatih mengolah

rasa empati, kemampuan bekerjasama, dan disiplin untuk menghasilkan pertunjukan seni

yang berkualitas. Kegiatan ini membentuk komunikasi batin yang dipupuk dan dibina dengan

baik, sehingga mampu mempribadi dalam diri anak didik di SAU.

Faktor kedua yang terkait atmosfir berkesenian adalah penataan lingkungan belajar.

Lingkungan di SAU menggambarkan kedekatan dengan alam. Rumpun bambu, taman

dengan lapang hijau, saung-saung kecil dari bambu, bunga-bunga anggrek dan tanaman hias

yang menarik, kandang kambing yang bersih, memberikan kenyamanan tersendiri, yang

kontras dengan situasi keramaian kota di luar SAU. Anak-anak yang berlatih kesenian di

SAU juga senang bermain di taman belakang SAU. Mereka bisa bermain bulutangkis,

enggrang, mengamati ikan di kolam, dan petak umpet. Sebagian aktivitas berlatih dilakukan

dalam ruang terbuka sehingga memungkinkan siswa lain atau bahkan keluarganya melihat

bagaimana siswa berlatih. Sambil berkelakar Taufik (maret 2010) menjelaskan bahwa

keberadaan anak usia dini yang ikut aktivitas berkesenian di SAU karena sejak bayi dalam

kandungan ibunya mereka juga sudah ikut bermain angklung. Seperti dijelaskan pada Bab

empat, bahwa suasana belajar seni di tempat terbuka memungkinkan terjadinya enkulturasi.

Alat musik seperti angklung, arumba, kendang, dan gamelan biasanya tetap ada di

Bale Karasmen. Di sini anak-anak dapat masuk dan keluar dengan leluasa karena bentuk Kale

Karasmen adalah arena seperti saung besar yang beratap tanpa ada dinding penyekat.

Seperangkat angklung tradisional juga sering diletakkan di salah satu saung terbuka yang ada

di halaman belakang. Sejumlah anak sering datang lebih awal sebelum jam latihan, mereka

bermain-main musik sendiri, mencoba-coba nada meniru musik yang pernah mereka dengar.

Manajemen SAU membiarkannya agar anak-anak memiliki kesempatan untuk bereksplorasi

sendiri dengan bebas.

Sistem pengelolaan SAU yang didasari oleh silih asih, silih asuh dan silih asah, juga

berkontribusi terhadap pembentukan karakter individu yang terlibat dalam aktivitas produksi

seni wisata budaya di SAU. Berdasarkan studi Shidiq (2007) diperoleh temuan bahwa

karyawan di PT SAU memiliki kemampuan komunikasi interpersonal yang efektif.

Kemampuan tersebut antara lain tercermin dari sikap terbuka dalam memberi informasi dan

Page 29: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

menerima kritik, memiliki empati yang baik tercermin dari keperdulian terhadap persoalan

yang dihadapi rekan kerja, tidak memotong pembicaraan teman dan saling membantu dalam

menghadapi persoalan. Selain itu juga memiliki sikap mendukung terhadap tugas dan peran

masing-masing karyawan, misalnya mau menerima penjelasan rekan kerja terkait tugas

tertentu, menghargai perbedaan pandangan dalam menjalankan tugas, dan lebih

mengutamakan kesetaraan individu sebagai sesama manusia dibandingkan perbedaan jabatan.

Karakteristik ini sesuai dengan budaya kerjasama atau gotong-royong yang dimililki

masyarakat Indonesia.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi penelitian, tampak bahwa putra-putri

Udjo memiliki karakter sederhana, menghargai keberadaan orang lain, bersikap terbuka,

senang bekerjasama dan mau menerima kritik maupun saran. Karakteristik umum yang

nampak pada putra-putri Udjo maupun anggota SAU merupakan identitas yang menjadi

indikator munculnya ketahanan budaya. Seperti dijelaskan oleh McCubin dalam VanBreda

(2011) bahwa munculnya karakter atau identitas budaya menunjukkan indikasi adanya

ketahanan budaya.

Faktor ketiga yakni strategi pembinaan yang didasari oleh nilai budaya Sunda dan

konsep pendidikan musik yang dipahami Udjo melalui proses pendidikan sejak jaman

Belanda hingga pendidikan Sekolah Guru di jaman kemerdekaan. Strategi pembinaan

didasari oleh nilai cinta yang diwujudkan dalam bentuk silih asih, silih asuh dan silih asah.

Penggunaan kalimat perintah melalui bentakan, menyalahkan, atau memukul anak yang salah

dalam memainkan musik tidak lagi hadir dalam proses pembelajaran angklung di SAU.

Upaya pembinaan yang dilakukan lebih menekankan pada berkembangnya rasa senang

bermain angklung dan rasa cinta pada seni budaya. Sistem reward and punishment

diberlakukan namun dalam bingkai kasih sayang.

Reward berupa pemberian beasiswa bagi anak-anak yang menunjukkan komitmen

tinggi dalam berlatih, memberi kesempatan mengikuti pertunjukan bagi yang telah menguasai

permainan musik dengan baik, memberi point reward yang dapat ditukarkan dengan sejumlah

uang sesuai besaran point yang diraih, serta memberi kesempatan untuk menjadi duta

Indonesia dalam pertunjukan di luar negeri. Punishment yang diberlakukan adalah mendapat

point minus bagi yang terlambat datang berlatih atau membuang sampah sembarangan. Tidak

diikutkan dahulu dalam pertunjukan bila belum menguasai permainan dengan baik.

Pembinaan seni angklung juga dilakukan secara bertahap. Contohnya anak-anak yang

baru masuk akan mengikuti pembelajaran angklung dengan cara meniru seniornya.

Kemudian bermain satu angklung bersama teman-teman yang jumlahnya bisa mencapai 40

Page 30: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

orang sambil membaca partitur. Bila sudah mampu akan diberi tanggung jawab yang lebih

yakni bermain beberapa angklung sambil membaca partitur. Semakin terampil memainkan

angklung dan berkembang kemampuan musikalnya seorang anak akan dipercaya untuk

memainkan satu set angklung dengan beberapa pemain lainnya, dan akhirnya memainkan

satu set angklung dalam paduan musik yang menggabungkan instrumen lain seperti dalam

pertunjukan kesenian arumba, dan angklung orkhestra.

Faktor ke empat adalah integrasi antara pendidikan, pertunjukan dan produksi alat

musik, khususnya angklung. Ketiga hal ini dikelola dalam satu payung manajemen, sehingga

perkembangan maupun kebutuhan antara ketiga hal ini dapat terpantau dengan baik. Sektor

pendidikan membutuhkan dukungan bidang pertunjukan agar anak-anak yang telah

mengikuti proses pembelajaran termotivasi untuk meningkatkan kemampuannya. Sebaliknya

sektor pertunjukan amat memerlukan sumberdaya pemain yang disuplai oleh bidang

pendidikan, dan kebutuhan peralatan serta pemeliharaannya dari sektor produksi. Sektor

produksi tidak hanya dibutuhkan dalam konteks pendidikan angklung di SAU namun juga

untuk melayani kebutuhan sekolah dan masyarakat lainnya.

d. Ketahanan Budaya

Saung Angklung Udjo (SAU) merupakan pionir wisata seni budaya di kota Bandung

yang terus bertahan dan berkembang selama kurang lebih empat puluh enam tahun. Di sini

ada pertunjukan seni, pelatihan seni, produksi alat musik bambu, souvenir shop, guest house,

musholla, dan rumah makan. Setiap hari sekitar lima ratus orang terlibat aktif dalam produksi

wisata senibudaya ‘Sunda’ di SAU. Tahun 2011 dalam satu hari frekuensi pertunjukan di

dalam SAU mencapai tiga sampai empat kali. Jumlah pengunjung setiap pertunjukan bisa

mencapai dua ratus sampai tiga ratus orang. Selain itu mereka juga melayani pertunjukan di

luar SAU baik di dalam maupun di luar negeri.

Ketahanan budaya muncul dalam kemampuan melestarikan budaya silih asih, asah

dan asuh bagi pengembangan seni, budaya, kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan

hidup. Kemampuan mengembangkan seni dapat diamati dari ragam instrumen angklung yang

dikembangkan, ragam layanan pendidikan angklung, ragam kemasan pertunjukan angklung

dan seni Sunda lainnya, Kemampuan mengembangkan budaya nampak dalam melestarikan

sikap kerjasama, kerja keras, mandiri, dan kreatif dalam aktivitas produktif yang beragam.

Aktivitas produktif yang dimaksud antara lain dalam mengelola program latihan, mengelola

pertunjukan, mengelola kebersihan dan keasrian lingkungan, mengembangkan produksi

Page 31: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

angklung, dan lain-lain. Kemampuan mengembangkan kesejahteraan sosial nampak pada

upaya pemberian beasiswa bagi warga sekitar yang aktif berkesenian di SAU, bantuan

layanan Posyandu bagi warga Padasuka, pembinaan Karangtaruna di wilayah Padasuka,

penyediaan tiga mushola untuk peribadatan muslim warga dan pengunjung SAU, serta

penggunaan lapangan parkir SAU untuk shalat Idul Adha maupun Idul Fitri. Kemampuan

melestarikan lingkungan hidup nampak dalam bentuk pengelolaan sampah secara mandiri,

pembuatan air bersih secara mandiri, perlindungan satwa burung di lingkungan SAU, dan

penghijauan di dalam SAU serta di daerah Padasuka.

C. KESIMPULAN

Udjo Ngalagena (1929 – 2001) telah membuktikan bahwa dengan sikap ulet, kritis,

visioner, fleksibel dalam membangun hubungan sosial, dan integratif terhadap faktor

eksternal yang bersifat membangun, ia berhasil mengembangkan ketahanan budaya.

Kemampuan untuk membudayakan nilai silih asih, asuh dan asah melalui pembinaan seni,

telah berimplikasi pada peningkatan kualitas pada ragam sektor kehidupan. Berkembangnya

seni budaya, kesantunan perilaku, kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat, merupakan

sebagian bukti ketahanan budaya yang tampak di SAU.

Kerja keras Udjo dalam membumikan dan memuliakan angklung masih memerlukan

bantuan para pendidik seni di Indonesia. Realitas menunjukkan bahwa angklung belum

membumi sebagai media pendidikan seni di Indonesia. Semoga artikel ini dapat membangun

semangat untuk memberdayakan seni tradisi Indonesia dalam proses pembangunan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Baumrind, D. (1973). “The Development of Instrumental Competence Through Socialization”. In Minnesota Symposia on Child Psychology (vol.7). Mineapolis: University of Minnesota Press.

Bronfenbrenner, U. (1989). Ecological Systems Theory. In R. Vasta (Ed.). Anuals of Child Development, 6, 187-251.

Daszko, Marcia. & Sheinberg, Sheilla. (2005). Survival is Optional, Only Leaders With Knew Knowledge Can Lead The Transformation. [Online].Tersedia: http://www.Theory of Transformation. [11 januari 2009]

Dewantara, Ki Hajar. (1962). Pendidikan. Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa.

Page 32: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

Elmubarok, Zaim. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus dan Menyatukan yang Tercerai. Bandung: Alfabeta.

Hatta, Meutia F. (2008). Membangun Ketahanan Budaya Bangsa Melalui Kesenian. [Online]. Tersedia: http://www.bappenas.go.id / . [20 Desember 2009].

Henderson, N. & Milstein. (2003) Resilliency in Schools Making It Happen for Students and Educators. Thousand Oaks, California: Corwin Press, Inc.

Jorgensen, Estellle. R. (2003). Transforming Music Education. Bloomingtoon, Indiana: Indiana University Press.

Lubis, Mochtar. (1988). Transformasi Budaya untuk Masa Depan. Jakarta: Haji Masagung.

Machyar A.K.,R. (1940). Pangawikan Rinenggaswara (Ringkesan Elmuning Kanajagan). Jakarta: Noordhoff.Kolff.N.V.

Masunah, J. dkk. (2003). Angklung di Jawa Barat Sebuah Perbandingan. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional UPI.

Mulyana, Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Mussen, P. H. et.al. (1992). Perkembangan dan Kepribadian Anak. Jakarta: Arcan.

Narawati, Tati. et.al. (2009). Seni Wisata : Kemasan Indrustri Kreatif di Jawa Barat. Laporan Penelitian Unggulan Strategis Nasional DIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Parson, Talcott. (1937). The Structure of Social Action. New York: McGraw-Hill.

Puspitawati, Herien (2009). Teori Struktural Fungsional dan Aplikasinya dalam Pendidikan Keluarga. Bogor : Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia – IPB.

Shidiq, Arif H.J. (2011). Efektivitas Komunikasi Antar Pribadi di Lingkungan PT. Saung Angl;ung Udjo Bandung. Skripsi pada Universitas Pajajaran Bandung: tidak diterbitkan.

Spranger, E. (1950). Lebensformen.Tubingen: Neomatius.

Sumardjo, Jakob. (2003). Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda -Tafsir-tafsir Pantun Sunda. Bandung: Kelir.

Superka, D.P. (1976 ). Values Education Sourcebook. Colorado: Social Science Education Consortium, Inc.

Supriyatna, Nanan. (2000). Biografi Seniman Udjo Ngalagena. Thesis Magister. pada Universitas Gadjah Mada: tidak diterbitkan.

Suryabrata, Sumadi. (2005). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Syafii, Sulhan. (2009). Udjo Diplomasi Angklung. Bandung: Gramedia.

Page 33: Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan …file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_MUSIK... · Web viewsingkatan dari bambu band Udjo. Format pertunjukan ini terdiri dari

UNESCO. (1991). Values and Ethics and the Science and Technology Curiculum. Bangkok: Principal Regional Office for Asia and the Pasific University Press.

VanBreda, A.D. (2001). Resilience Theory: A Literature Review. [Online]. Tersedia: http://[email protected] [3 oktober 2011].

Biodata Penulis:

1. Dosen Jurusan Pendidikan Musik – FPBS Universitas Pendidikan Indonesia.2. Sarjana Pendidikan Musik – IKIP Jakarta 19873. Magister Kajian Wilayah Amerika – Universitas Indonesia 2000.4. Mahasiswa Program Doktor Prodi Pendidikan Umum/Nilai SPS UPI.5. Peneliti pada Pusat Studi Pendidikan Seni Universitas Pendidikan Indonesia