335
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU PANDAWA & KURAWA HERMAWAN 1 PANDAWA KURAWA

Banjir darah di tegal kuru

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

1 PANDAWA KURAWA

Page 2: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

2 PANDAWA KURAWA

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

Karya

Hermawan

Page 3: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

3 PANDAWA KURAWA

Novel ini aku persembahkan untuk kedua

orang tuaku sebagai tanda baktiku dan

untuk adikku tercinta semoga kalian tetap

sehat dan berada bersama Allah SWT

Page 4: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

4 PANDAWA KURAWA

DAFTAR ISI

1. AWAL BARATAYUDA ( Janji Wiratha ).........................................8

2. GUGURNYA SANG PUTRA GANGGA..........................................31

3. MAJUNYA SANG PROFESOR.......................................................44

Page 5: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

5 PANDAWA KURAWA

4. GUGURNYA CALON RAJA MUDA HASTINA..............................58

5. KEMARAHAN SANG ADIPATI.....................................................78

6. KEGELISAHAN DURYUDANA.....................................................87

7. SUMPAH ARJUNA.......................................................................113

8. MAJUNYA BURISRAWA.............................................................137

9. TEGAKNYA HARGA DIRI SANG PROFESOR.............................151

10. GUGURNYA SANG PROFESOR..................................................166

11. GUGURNYA PRAMUGARI PRINGGODANI................................182

12. DURSASANA GUGUR.................................................................193

13. GUGURNYA SANG PUTRA SURYA...........................................221

14. SIASAT ASWATAMA.................................................................244

15. PENGAKUAN KEMBAR.............................................................271

16. MENGENAL MASA LALU.........................................................296

17. SALYA GUGUR.........................................................................308

18. AKHIR BARATAYUDA..............................................................322

PRAKATA

Sebuah sejarah yang panjang yang mengisahkan darah yang bergejolak

dari sebuah negara yang harus di perebutan oleh dua orang yang masih keturunan

sama. Yaitu keturunan Prabu Barata. Terselip suatu peristiwa yang mengilhami

Page 6: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

6 PANDAWA KURAWA

bahwa suatu peperangan dapat membuat negera tersebut menderita dan membawa

bencana tapi apakah suatu kekekuasan harus di peroleh dengan tindakan

kekerasan?. Dan mengapa agar suatu kekuasaan yang bukan miliknya harus

dipertahanan dengan menempuh perang ?.

Sebenarnya apa yang ada di pikiran manusia. Mengapa kekuasan dan

kewibawan yang berarti harus ada kemewahan dan keindahan dalam

pemerintahan ..??. Apa yang sebenarnya itu ?”.

Dari kisah yang saya tulis yang mengkisah dua keturunan yang berseteru.

Yaitu kurawa dan Pandawa. Kisah ini mengilhami kisah perang Baratayauda.

Dalam kisah ini pasti ada dua kubu. Yang satu baik dan jahat. Pandawa yang

merupakan kubu baik dan merupakan trah raja yang sah sebagai penerus kerajaan

Hastina. Tapi apa yang terjadi ..?”. Setelah Pandawa dewasa ia malah mendapat

perlakuan kasar dari para saudara Kurawa. Tapi mereka tetap diam selama masih

dalam Kebenaran. Saat mengumumkan Puntadewa sebagai pewaris tahta kerajaan

Hastina. Kurawa mulai menggunakan rencana licik agar kekuasan jatuh padanya.

Tapi apa yang didapatkan .../?”

Bahwa Kebenaran pasti Menang. Selama Pandawa masih dalam

Kebenaran maka kemenanagan akan datang. Sesuai janji yang tertulis dalam buku

yang pernah ditulis oleh eyang mereka tentang nasib kerajaan yang ditentukan

lewat perang jika hubungan damai tidak berhasil.

Dalam buku ini kisah patriot seorang anak Pandawa yang rela mati demi

kemenangan para junjungan. Walaupun sekarang banyak generasi muda yang

telah hilang semangat patriot tanah air bahkan rela negara dijajah.

Page 7: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

7 PANDAWA KURAWA

Tapi itu semua belum cukup. Bagaimana bahwa kebenaran itu harus

ditegakkan. Sesuai dengan agama yang kita anut.

Buku ini saya tulis hanya untuk sebagai contoh sikap hidup yang selalu

memegang teguh sikap Kebenaran sesuai dengan agama yang dianut. Dan untuk

memberikan gambaran bahwa Kebenaran akan selalu menang walaupun tidak

begitu cepat.

Demikian kata – kata yang dapat saya tulis dan ungkapkan. Bila dalam

penulisan kata atau kalimat tidak berkenan. Saya mohon maaf. Dan saya

menunggu saran dan kritik dari Anda untuk kemajuan buku yang saya tulis ini.

Sekian terima kasih

PENULIS

AWAL BARATAYUDA ( Janji Wirata )

Dan ketika pagi merekah, berangkatlah dengan suara gemuruh lasykar

besar dari Negara Wirata. Merah menyala busana barisan terdepan bagaikan

Page 8: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

8 PANDAWA KURAWA

semburat sinar matahari fajar yang membias mega dari puncak gunung

gemunung ketika hendak menerangi jagat.

Susul menyusul warna warni barisan yang lain bergerak bersama, yang

berwarna kuning kumpul sesama kuning terlihat seperti sekumpulan burung

podang yang menguasai pucuk ranting-ranting pohon besar. Barisan yang

berwarna putih berkumpul sesama putih, sehingga kelihatan bagaikan kumpulan

burung kuntul menyebar memenuhi rawa rawa. Demikian juga barisan dengan

seragam berwarna hijau, biru, hitam, ungu dan sebagainya terkumpul sesamanya.

Terlihat dari kejauhan, bebarisan prajurit dengan seragam berwarna warni

elok bagaikan kelompok kembang setaman. Suara gemerincing kendali dan

kerepyak ladam kuda membentur bebatuan jalan, bercampur dengan irama tidak

beraturan tangkai tombak yang saling beradu menambah hingar bingarnya suara

barisan. Kemeriahan barisan ditingkah dengan suara tetabuhan tambur, suling,

kendang dan bende serta kelebatnya bendera bersimbol warna warni, bagai hiasan

pesta, indah dipandang mata ! Debu akhir kemarau membubung tinggi dibelakang

barisan menambah dramatis dalam pandangan siapapun yang melihat.

Diatas awan para dewa, dewi, hapsara, hapsari menyebar bunga mewangi,

memuji, hendaknya barisan Pandawa dan sekutunya akan unggul dalam perang.

Pada barisan terdepan adalah lasykar setia dari Jodipati berbendera hitam

dengan gambar gajah. Terlihat sang Werkudara yang selamanya tidak pernah

berkendara, tetap dengan jalan kaki menggenggam gada super besar ditangannya.

Dibelakangnya Patih Gagakbongkol mengiring langkah gustinya dengan tegap.

Page 9: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

9 PANDAWA KURAWA

Berikutnya nampak Arjuna dengan kereta kencananya yang berhias

sesotya gemerlap, lasykarnya berbendera merah keemasan dengan gambar kera

ditengahnya. Disampingnya duduk istrinya, Wara Srikandi, anak Prabu Drupada,

seorang wanita berwatak prajurit.

Susul menyusul dibelakangnya sesama barisan saudara Pandawa yang

lain, Prabu Punta dengan memangku surat Jamus Kalimasadda, duduk diatas

kereta. Disampingnya duduk Wara Drupadi dengan rambut terurai melambai

ditiup angin. Dalam benak Sang Dewi terpikir, inilah saat yang ditunggu untuk

keramas dengan darah Dursasana, seorang yang coba mempermalukannya pada

pesta permainan dadu dahulu. Atas perlindungan dewa, kain kemben yang coba

dilepas sang Dursasana menjadi tak berujung. Saat itulah Draupadi bersumpah

untuk tidak bergelung sebelum keramas dengan darah Dursasana.

Susul menyusul dibelakangnya, kembar bungsu Pandawa Nakula dan

Sadewa, dengan berbendera ungu bergambar dewa kembar, Batara Aswin-Aswan.

Pada barisan sekutu, barisan Dwarawati dipimpin Prabu Kresna beserta

sang adik ipar Arya Setyaki, disambung barisan dari Wirata dengan pengawak

Prabu Matswapati diiring kedua Putranya Utara dan Wiratsangka. Resi Seta, putra

Sulung baginda Matswapati yang sedang dalam semedi di Selaperwata atau

Sukarini-pun segera disusul utusan untuk memintanya turun gunung, diberi warta

bahwa Baratayuda segera terjadi.

Dibelakangnya, lasykar Pancalareja/Pancalaradya prabu Drupada

didampingi Pangeran Pati Arya Drestajumna, atau Trustajumena. Dibelakangnya

Page 10: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

10 PANDAWA KURAWA

kembali menyusul raja raja sekutu yang lain yang mengharap kemukten dengan

ikut serta dalam perang suci ini.

Tak ketinggalan barisan yang dipimpin anak-anak muda Pandawa,

Gatutkaca dengan pasukan raksasa dan manusia biasa dari Pringgandani,

kemudian putra sang Arjuna, Abimanyu, putra sang Punta, Pancawala dan saudara

muda yang lain.

Sampailah barisan di tepi lapangan yang maha luas, tegal Kurukasetra.

Barisan yang mengumpul menjadi satu bagaikan pasangnya air samudra yang

meleber ke daratan. Beberapa pesanggrahan dibangun untuk menjadi base camp

dibeberapa tepi strategis. Prabu Puntadewa beserta para sesepuh menamai

pesanggrahan utama sebagai Pesanggrahan Randuwatangan. Dengan penguat

batang kayu pohon randu, dipadu patut dengan segala hiasan hingga menyerupai

istana.

Pesanggrahan untuk para senapati dengan nama pasanggrahan

Randugumbala, pesanggrahan dengan bahan kayu semak randu, sedang

pesanggrahan untuk prajurit garda depan dengan nama Glagahtinunu,

pasanggrahan dengan lahan rumput glagah yang dibakar terlebih dahulu.

Begitupun juga di pihak Kurawa, mereka membuat pesanggrahan yang

dihias bagaikan istana yang sesungguhnya, dinamakan Pesanggrahan Bulupitu,

pesanggrahan utama dimana para calon senapati dihimpun dalam satu naungan,

sementara para prajurit melingkup disekitar pesanggrahan.

Ditempat lain Adipati Karna menempati pesanggrahan Ngurnting, Prabu

Salya mesanggrah di Karangpandan.

Page 11: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

11 PANDAWA KURAWA

Persiapan di pihak Pandawa dimatangkan, Dewi Kunti sudah datang

diantar kembali iparnya Arya Yamawidura beserta putra sang Yamawidura, Arya

Sanjaya ke Randuwatangan.

“Kanjeng Ibu, putra putra paduka mengharap restumu untuk mengemban

tugas suci ini”. Puntadewa memulai pokok pembicaraan setelah haru biru berlalu,

menyesali mengapa perang harus terjadi. Tetapi pada dasarnya mereka adalah

kesatria waskita, yang dianugrahi hati penuh kebijaksanaan.

Kunti dengan penuh wibawa menguatkan batin anak anaknya,“Anak

anakku, watak satria adalah mempunyai hati yang teguh. Tidak pernah merasa

ragu dalam bertindak. Bila sudah dikatakan dahulu bahwa negara akan

dikembalikan setelah masa perjanjian lewat, maka janji itu adalah hutang yang

harus dibayar, dan kalian pantas untuk mendapatkan apa yang dijanjikan”.

“Sedangkan kamu semua adalah kesatria yang diidamkan oleh ayahmu

dahulu, semua anak Pandu adalah anak anak yang teguh memegang janji.

Sekarang ini adalah saat yang tepat untuk kalian semua berbakti kepada

mendiang ayahmu, menjaga kebanggaan akan sikap yang ditanamkan sejak kamu

masih kecil”

Sementara kebulatan tekad terlahirkan, Yamawidura , paman para

Pandawa dan Kurawa, tidak tega ikut dalam perang, dalam pikirannya masih

berkecamuk rasa sesal, kedua pihak adalah bagian dari darah dagingnya. Dan

minta pamitlah Arya Yamawidura kembali ke Panggombakan, kadipaten dalam

lingkungan kerajaan Astina.

Page 12: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

12 PANDAWA KURAWA

Pesanggrahan Bulupitu. Prabu Duryudana dalam sidang darurat penetapan

senapati.

Hadir didalamnya Prabu Salya dari Mandaraka sudah diundang datang.

Demikian juga Resi Bisma dan Begawan Durna.

“ Para sesepuh semua dan saudaraku, tidak sabar rasaku ini hendak mulai

menumpas Pandawa yang tidak tahu tata”. Duryudana mengambil inisiatif awal

dengan menunjuk seorang senapati.

“Eyang Bisma, dengan segala hormat, kami para Kurawa meminta

kanjeng Eyang menjadi senapati pertama”. Strategi Duryudana menunjuk. Dalam

pikirnya, Baratayuda akan dibuat sesingkat mungkin.

Ia berkesimpulan, siapapun dari pihak Pandawa tidak akan mampu

menanggulangi krida Sang Bisma Jahnawisuta, satria dengan nama muda

Dewabrata, sarat dengan ilmu kaprawiran dilambari kesaktian hasil dari mesu raga

olah batin pada sepinya pertapan Talkanda menjadikannya seolah tanpa tanding.

Sebenarnyalah Resi Bisma ada dalam situasi batin yang bertentangan

dengan pihak yang ia bela. Dalam hatinya, kesatria Pandawa-lah yang terkasih ini

tersimpan dalam relungnya.

Tetapi intuisi seorang Pandita waskita mengatakan, “inilah saatnya bagiku

untuk mengunduh segala pakrti yang aku pernah perbuat dimasa lalu”.

Dalam benaknya terbayang, ketika ia pernah muda dan salah langkah,

membunuh putri Kasi bernama Dewi Amba tanpa sengaja, untuk menghindari

batalnya sumpah kepada sang ibu sambung, dewi Durgandini, bahwa ia akan

Page 13: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

13 PANDAWA KURAWA

menjalani hidup sebagai brahmacarya, seorang yang tak kan pernah menyentuh

perempuan.

Terngiang dalam telinganya akan ajakan sang Dewi Amba ketika

menjelang ajalnya menjemput, bahwa ia akan menggandeng tangan sang

Dewabrata saat ia akan bertarung dengan prajurit wanita entah kapan. Dan dalam

pengamatannya prajurit wanita yang pantas menjadi sarana kemuliaan adalah

prajurit Pandawa. Kelompok satria utama yang pantas mengantarnya kembali ke

alam tepet suci.

Satu hal lagi, Bisma akan kembali bertarung dengan Seta, seorang putra

sulung raja Wirata yang sama sama gemar bertapa. Ketika itu mereka sepakat

akan kembali bertarung mengadu kesaktian akibat dipisahkan Hyang Naradda,

karena pertempuran mereka oleh suatu sebab menimbulkan panas hingga sampai

ke Kahyangan Jonggring Salaka. Dan momen ini tak dapat ia tinggalkan melihat

Wirata ada di pihak Pandawa.

Ketika itu kedua adiknya Citragada dan Wicitrawirya, diserahi putri

penengah dan terakhir sehingga dewi Amba tetap mengharap untuk dinikahi

Dewabrata. Namun sumpah Dewabrata kepada ibu tiri, Dewi Durgandini, yang

khawatir tahta akan jatuh kepada Dewabrata atau anak turunnya, menyebabkan

Dewabrata bersumpah untuk tetap melajang seumur hidupnya.

Demikianlah, Senapati utama telah ditunjuk, dengan senapati pendamping

Prabu Salya dan Pandita Durna. Formasi serangan mematikan telah disusun sesuai

dengan ambisi sang Prabu Duryudana yang tidak mau mengulur waktu segera

mengeluarkan jurus maut berisi orang orang sakti andalan.

Page 14: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

14 PANDAWA KURAWA

Kata sepakat telah bulat, strategi telah disusun, pilihan jatuh pada gelar

Wukir Jaladri, gunung karang ditepi laut dengan deburan ombaknya. Kokohnya

pertahan karang laut dengan gerakan ombak laut yang dahsyat siap melumat

barisan prajurit Pandawa. Gemuruh langkah cepat prajurit yang bergerak maju

bagaikan membelah langit. Jumlah besar prajurit dari ujung hingga ke ujung

lainnya hampir tak kelihatan, ditambahkan dengan pandangan yang tertutup debu

yang mengepul. Kembali bebunyian penyemangat ditalu, tambur, suling, kendang,

gong beri ditabuh membahana memekakkan telinga.

Randuwatangan. Segala kemungkinan sedang dirembug, Baginda

Matswapati memberikan usul, “ Anak anak dan cucu cuku, negaraku, bahkan

jiwaku beserta anak- anakku sudah aku pertaruhkan untuk kejayaan Pandawa.

Sumpahku telah terucap, ketika cucu Pandawa sudah menyelamatkan keselamatan

keluarga dan negara Wirata dari musuh dari dalam, Kencakarupa, Rupakenca dan

Rajamala, dan musuh dari luar Para Kurawa lan sraya prajurit dari Trikarta Prabu

Susarman”. Demikian Matswapati membuka usulannya.

“Dari itu, perkenankan sebagai senapati, angkatlah anak anakku.

Ketiganya sekalian aku serahkan segala strategi gelar peperangan kepadamu

sekalian”.

“Sebagai pengayom dan pengarah laku, segala tindak yang akan dilakukan

untuk aku serahkan kepada Kanda Prabu Kresna” Puntadewa meminta Kresna

untuk mengambil alih segala kebijakan dan strategi.

“Baiklah Eyang dan adikku para pandawa, aku terima usul eyang Baginda

Matswapati. Uuntuk maju pertama kali sebagai senapati adalah eyang Seta

Page 15: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

15 PANDAWA KURAWA

sebagai senapati pertama dan utama, sedangkan sebagai pendamping adalah eyang

Utara dan eyang Wirasangka”. Kresna memberikan ketetapan.

Gegap gempita penyambutan para prajurit. Siapa yang tak tahu Resi Seta?

Putra pertama Baginda Matswapati, guru sang Gatutkaca yang memiliki ajian

Narantaka. Ajian yang bisa disejajarkan dengan ajian Lebur Seketi kepunyaan

ayah Duryudana, Adipati Drestarastra. Bahkan bila Lebur seketi dapat meleburkan

benda apapun yang diraba, maka Narantaka lebih dari itu, perbawa

sekelilingnyapun menjadi panas terbakar bila aji ini dirapal.

Kesaktian Resi Seta bila dibandingkan, jauh diatas dari kesaktian adik

adiknya, Utara, apalagi Wratsangka yang agak penakut.

Walaupun para Pendawa menyebut ketiga putra Wirata sebagai eyang,

namun itu hanya sebatas sebutan menurut garis keturunan. Karena sesungguhnya

Utara dan Wiratsangka adalah orang orang yang masih sebaya dengan para

Pandawa, bahkan saking panjangnya umur Baginda Matswapati, putra pertama

Resi Seta adalah sebaya Bisma sedangkan putri terakhir, Dewi Utari, malah

sebaya dengan anak anak Pandawa.

Ketika strategi perang belum dibicarakan, Wara Srikandi yang bertugas

mengamati garda depan di Glagahtinunu dengan tergesa menghadap sidang.

Lapornya “Semua yang hadir, sekarang para Kurawa sudah mendatangi palagan

dengan menggelar strategi perang Wukir Jaladri. Kami di garda depan sudah

sempat berhadapan dengan barisan depan mereka, tetapi kami sendiri dan Setyaki

serta kakang Udawa berkesimpulan untuk kembali terlebih dulu sebagai wujud

Page 16: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

16 PANDAWA KURAWA

kita semua menggelar peperangan ini bukanlah perang ampyak, melainkan

perang dengan memakai aturan “.

Braja Tiksna Lungid. Gelar serupa seberkas bola api meteor dirancang Sri

Kresna untuk menghadapi gelar lawan, meteor panas dan tajam yang mampu

meremukkan karang laut sekalipun. Gelar frontal yang dirancang langsung

berhadapan antar kedua senapati utama, untuk menghindari kelemahan para

pendamping, Utara dan Wratsangka. Namun sewaktu waktu gelar dapat dirubah

menjadi Garuda Nglayang dengan kedua sayap diisi senapati pendamping, dengan

back up Werkudara terhadap Arya Utara dan Arjuna terhadap Arya Wratsangka

disisi kiri dan kanan.

Diceritakan, kedua pihak barisan telah berhadapan. Gemetar sang Arjuna

melihat suasana yang tergelar didepan mata. Keraguan hati Arjuna disikapi Sri

Kresna. Didekatinya Arjuna yang berdiri termangu.

“Kanda Kresna, apalah artinya peperangan ini. Perang yang terjadi sesama

saudara. Mereka yang saling berhadapan adalah kakaknya, adiknya, keponakan,

paman dan seterusnya. Bahkan guru dan murid juga terlibat” demikian sang

Arjuna tersentuh rasa kemanusiaannya.

Lanjutnya “Apakah masih ada gunanya saya meneruskan suasana

seperti ini, apakah tidak sebaiknya apa yang terlihat didepan mata disudahi

saja?”.

“Iparku, bukankan sudah menjadi ketetapan dalam sidang bahwa inti dari

peperangan ini bukan lagi berkisar pada kembalinya Astina sebagai hal yang

Page 17: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

17 PANDAWA KURAWA

utama, walaupun demikianlah kenyataannya” Kresna mulai mencoba

menghilangkan keraguan yang kembali meliputi batin Arjuna”.

“Tetapi darma dari satria yang tersandang dalam jiwa adalah menegakkan

aturan yang sudah ditetapkan. Dan lagi, perang ini bukan sekedar perang

memperrebutkan negara, tetapi dibalik itu, perang ini adalah sarana memetik hasil

pakarti para manusia didalamnya dan juga alat untuk meluwar janji yang telah

terucap, perang idaman para brahmana, jangka para dewa. . . . . . . .. . . .” Banyak

banyak nasihat yang dikatakan Kresna untuk menguatkan hati Arjuna.

“Tetapi apakah aku dapat tega melepas anak panah, bila dihadapanku

adalah orang yang aku agungkan?” Tanya Arjuna.

“Dalam perang bukanlah tempat untuk murid membalas jasa kepada guru,

bukan membalas kebaikan antara yang memberi dan menerima kebaikan, tetapi

dalam peperangan itu adalah berhadapannya kebaikan dan angkara murka. Lagi

pula banyak satria yang akan membantu menghadapi orang yang kau agungkan,

jadi tidak perlulah kamu sendiri yang menghadapinya. Tapi bila memang harus

bertanding juga, sembahlah terlebih dulu para junjunganmu sebelum kamu

bertempur, niscaya beliaupun akan menghormati kamu, Arjuna” Kresna

menjelaskan.

Demikianlah, maka perang campuh berlangsung sengit. Suara dentang

pedang beradu memekakkan telinga. Gesekannya memancarkan bunga api bagai

keredap kilat, mengerikan. Saling bunuh terjadi, siapa yang terlena akan terkena

senjata lawan. Teriakan kesakitan para prajurit dan hewan tunggangan yang

terkena senjata membuat giris prajurit yang berhati lemah. Dilain pihak, prajurit

Page 18: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

18 PANDAWA KURAWA

yang haus darah terus merangsek penuh nafsu membunuh. Sementara di angkasa

hujan anak panah bagai ditumpahkan dari langit.

Pertempuran antara kedua senapati utama Seta dan Bisma juga

berlangsung seru, keduanya pernah beradu kesaktian kala itu, kembali bertempur

dengan peningkatan ilmu kanuragan yang tak pernah mereka tinggalkan

pengasahannya, sehingga tingkat kemampuan bertempur mereka berdua semakin

tinggi. Arena pertarungan seakan menjadi kepunyaan mereka, karena lingkaran

hawa panas keluar dari lingkaran peperangan, sebab tak ada prajurit yang berani

mendekati arena pertarungan antar keduanya.

Ditempat lain, pertempuran senapati pendamping juga berlangsung seru.

Senapati Kurawa, walaupun keduanya sudah tua, namun mereka dengan

kesaktiannya yang mapan dan matang mampu mengatasi kekuatan dua anak muda

Wirata. Tidak heran, karena semasa muda keduanya adalah satria pilih tanding.

Bahkan Durna dengan kekurangan fisik, walau hanya bertangan tunggal, tetapi

posisinya selalu diatas angin. Sehingga terus merangsek dan mendesak

Wratsangka. Ketika matahari sudah tergelincir kearah barat, Durna menyudahi

pertempuran. Wratsangka terkena pusaka Cundamanik, gugur sebagai tawur

perang.

“Wratsangka tewas . . . , Wratsangka tewas . . . . .!!” Teriakan para

prajurit Kurawa memberikan kipasan angin segar kepada kawan kawannya.

Motivasi prajurit Kurawa yang sudah mengendor kelelahan, berkobar

kembali ketika mendengar tewasnya Wiratsangka.

Page 19: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

19 PANDAWA KURAWA

Dilain pihak, gugurnya Wiratsangka membuat kedua kakaknya menjadi

makin liwung, beringas. Seta dengan ajiannya, Narantaka, kobaran api dari kedua

tapak tangannya meluluh lantaklah prajurit kecil yang menghalanginya. Hewan

tunggangan para senapati seperti kuda, gajah bahkan kereta perang banyak remuk

redam dan gosong terkena amuk Resi Seta. Demikian juga kroda sang Utara, yang

tak lama kemudian mampu merobohkan pertahanan Prabu Salya. Kereta yang

ditumpanginya Salya terkena sabetan gada Utara, pecah berantakan. Prabu Salya

selamat namun si kusir, patih Mandaraka Tuhayata, ikut tewas tertebas.

Putra Salya, Arya Rukmarata yang mencoba melidungi ayahnya akhirnya

tewas terkena panah Resi Seta yang sementara menghindari peperangan dengan

Bisma ketika mendengar adiknya terkasih tewas ditangan Durna.

Dendam membara menguasai hati Sang Seta. Dicarinya Durna yang segera

dilindungi rapat oleh para pengikut setianya. Bisma tak tinggal diam,

dibayanginya Seta hingga tidak dengan leluasa melampiaskan dendamnya kepada

Durna.

Sementara itu, Prabu Salya sangat terpukul. Anak lelaki tampan kekasih

hatinya tewas melindunginya. Tewas dengan dada tertembus panah. “Jagad dewa

batara..!, anakku …., kau yang aku harapkan menjadi penggantiku kelak, ternyata

malah mendahului aku. Seperti apa derasnya air mata yang tertumpah, bila ibumu

Setyawati mendengar kabar tentang kematianmu ngger….. “. Bagai kehilangan

seluruh kekuatannya, Prabu Salya membelai jasad anak tercintanya.

Tiba tiba Prabu Salya berdiri. Disapunya pandangan dengan nanar,

mencari dimana Utara berada. Kemarahannya menggelegak dengan hebatnya.

Page 20: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

20 PANDAWA KURAWA

Sementara Utara yang sedang ganti berhadapan dengan Kartamarma dan Durjaya

segera diterjang.

“Berikan lawanmu Kartamarma, Durjaya, orang ini pantas menjadi

korbanku hari ini!!!”

Kembali pertempuran yang terputus berlangsung. Kemarahannya

memaksa mengeluarkan raksasa bajang dari dalam tubuhnya. Tertebas gada sang

Utara, raksasa bajang bukannya mati, malah membelah diri menjadi dua. Dua dua

tertebas, raksasa bajang bertambah banyak dengan jumlah ganda. Itulah ajian

Candabirawa. Aji pemberian mertuanya, Resi Bagaspati.

Kerepotan Utara melayani lawan yang semakin banyak. Terlena sang

Utara, panah Prabu Salya, Kyai Candrapati yang dari tadi tertuju kepadanya

segera dilepaskan, mengena tubuh Utara, gugur pula ia sebagai kusuma bangsa

dalam peperangan pada ujung hari.

Senja telah datang di hari pertama itu. Dan hari pertama pertempuran telah

ditetapkan berakhir ketika sangkakala ditiupkan. Bangkai kuda, gajah kendaraan

para prajurit terkapar bersama ribuan sekalian prajurit.

Hari pertama itu mengawali delapan belas hari pertempuran yang akan

berlangsung penuh hingga selesai, dan empatbelas hari diantaranya berlangsung

ketika Bisma madeg senapati.

Malam telah larut. Api pancaka sudah hampir padam. Api suci yang

membakar kedua putra Wirata, Arya Utara dan Wratsangka, yang gugur sebagai

prajurit gagah berani. Kesunyian malam mulai mencekam, bintang dilangit

berkelipan menyebar, sebagian berkelompok membuat rasi. Menjadi pedoman

Page 21: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

21 PANDAWA KURAWA

bagi manusia atas arah mata angin diwaktu malam mati bulan, serta menjadi titi

waktu kegiatan manusia sepanjang tahun, yang akan berulang dan terus berulang

entah sampai kapan. Angin semilir menyebarkan bau harum bunga liar. Lebah

malam terbang dengan dengung khasnya mencari bunga dan menghisap sari

kembang.

Para prajurit yang letih dalam perang seharian memanfaatkan malam itu

sebagai pemulihan tenaga yang esok hari peperangan pasti dilakoninya kembali.

Dalam pikiran mereka berkecamuk pertanyaan, apakah besok masih dapat

menikmati kembali terbenamnya matahari? Bagi para prajurit pihak Pandawa,

kalah menang adalah darma. Kebajikan dalam membela kebenaran akan memberi

kemukten dialam kelanggengan bila tewas, atau mendapatkan kedua duanya,

dialam fana juga dialam baka nanti, bila nyawa masih belum terpisahkan dari

raga.

Malam itu Resi Seta duduk gelisah. Rasa sasar sebelum mampu

membalaskan dendam kematian adik adiknya masih terus berkecamuk. Sesal

kenapa perang cepat berlalu hingga tak sempat dendam itu terlampiaskan saat itu

juga.

“Belum lega rasaku sebelum aku dapat membekuk kedua manusia yang

telah menyebabkan kematian kedua adikku”. Sayang, aturan perang tidak

mengijinkan perang diwaktu malam terus berlangsung.

Resi Seta terus terjaga, hingga ayam hutan berkokok untuk pertama kali

barulah mata terpejam. Didalam mimpinya yang hanya sekejap, terlihat kedua

Page 22: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

22 PANDAWA KURAWA

adiknya tersenyum melambaikan tangannya. Mereka sangat bahagia, mengharap,

bila saatnya ketiganya akan berkumpul kembali.

Hari baru telah menjelang. Kembali hingar bingar membangunkan Seta

dari tidur. Hari itu gelar perang masih memakai formasi sehari lalu.Belum

matahari naik sejengkal campuh pertempuran berlangsung kembali. Kali ini Salya

dan Durna disimpan agak kebelakang. Sebagai gantinya, Gardapati dan Wersaya ,

dua raja sekutu Kurawa di masukkan dalam barisan depan sebagai pengganti

tombak kembar penggedor pertahanan lawan.

Dari pihak Randuwatangan, Werkudara dan Arjuna menjadi pengganti

posisi Utara dan Wratsangka untuk mengimbangi laju serang dua sayap Kurawa.

Dari jauh hujan panah sudah berlangsung. Seta dengan amukannya mencari biang

kematian kedua adiknya. Direntangnya busur dan anak panah ditujukan kepada

Salya, sayang luput dan hanya mengenai kereta perangnya yang kembali remuk.

Kartamarma dengan gagah berani menghadang, tetapi bukan tandingan

Seta. Kembali nasib baik masih menaungi Kartamarma, hanya kendaraannya yang

remuk, sementara Kartamarma selamat.

Bisma mencoba membantu, dilepas anak panah kearah Seta, terkena di

dadanya, tetapi tidak tedas, bahkan anak panah patah berkeping. Bukan main

marah Seta, kembali ia mengamuk semakin liwung. Kali ini Durna sebagai

sasaran anak panahnya, namun Duryudana membayangi, yang kemudian terkena

anak panah Seta. Walau tidak terluka, Duryudana mundur kesakitan dengan

menggandeng Durna menyingkir mencari selamat.

Page 23: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

23 PANDAWA KURAWA

Sebagai Senapati utama dari kedua pihak, Bisma dan Seta kembali

bertarung. Saling serang dengan gerakan yang semakin lama makin cepat. Seta

yang sebenarnya memiliki kesaktian lebih tinggi dari Bisma tidak bisa lekas

menyudahi pertempuran. Perhatiannya masih terpecah dengan rasa penasaran

untuk membela kematian adik adiknya. Dengan sengaja Seta menggeser arena

pertandingan mendekati Durna. Namun kesempatan itu tidak dapat ditemukannya.

Durna sangat dilindungi, demikian juga dengan Salya, keduanya seakan dijauhkan

dari dendam membara Seta.

Hari berganti, pertempuran seakan tak hendak padam. Sudah berjuta

prajurit tewas, tak terhitung lagi remuknya kereta perang dan bangkai kuda serta

gajah kendaraan para prajurit petinggi. Bau anyir darah dan jasad yang mulai

membusuk, mengundang burung burung pemakan bangkai terbang berkeliaran

diatas arena pertempuran. Pertarungan kedua senapati linuwih hanya dapat

dipisahkan oleh tenggelamnya matahari.

Hingga suatu hari, keseimbangan kekuatan keduanya mulai goyah,

kelihatan Seta lebih unggul dari Bisma, secara fisik maupun kesaktian. Mulai

merasa diatas angin Seta sesumbar“Hayo Bisma, keluarkan semua kesaktianmu,

setidaknya aku akan mundur walaupun setapak”.

“Jangan merasa jadi lelaki sendirian dimuka bumi ini, lawan aku, hingga

tetes darah penghabisan pun aku tak akan menyerah”. Bisma tidak mau kalah

menyahut.

Tetapi apa daya, tenaga Seta yang sedikit lebih muda mampu terus

mendesak pertahanan Bisma. Merasa terus terdesak, tak terasa posisi Bisma

Page 24: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

24 PANDAWA KURAWA

sampai hingga ketepi bengawan Gangga. Terjatuh ia dari tepi jurang bengawan

yang kelewat luas dan dalam.

Tertegun Seta dibibir jurang, ditungguinya timbul Bisma ke permukaan air

beberapa saat, namun hingga sekian lama jasad Bisma tak kunjung muncul.

Diceritakan, Bisma yang terjerumus kedalam palung bengawan, ternyata

tidak tewas. Samar terdengar ditelinganya sapaan seorang perempuan,

“Dewabrata, inilah saat yang aku tunggu, kemarilah ngger. . . !”

Dicarinya suara itu yang ternyata keluar dari mulut seorang wanita cantik

dengan dandanan serba putih.

“Siapakah paduka sang dewi, yang mengerti nama kecil hamba. Pastilah

paduka bukan manusia biasa. Malah dugaanku padukalah yang hendak

menjemput hamba dari alam fana ini….” Dewabrata menjawab dengan seribu

tanya.”

Wanita itu menggeleng “ Bukan . . . , akulah Gangga ibumu”

“Benarkan itu, selamanya aku belum pernah melihatnya. Dan seumur

hidup ini aku selalu merindukan wajah itu.”

“Ya, akulah ibumu ini”, sang dewi mendekat membelai anaknya. Ibu yang

dahulu adalah seorang bidadari yang dipersunting Prabu Sentanu.

“Pantaslah kamu tidak mengenal wajah ibumu ini, karena aku telah

meninggalkan kamu sewaktu masih bayi”. Sambung Sang Batari.

Beginilah cerita singkatnya ngger anakku ,“Pada suatu hari ayah Prabu

Sentanu, ayahmu, yaitu Prabu Pratipa sedang bertapa. Saat sudah mencapai hari

Page 25: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

25 PANDAWA KURAWA

matangnya semadi, aku duduk dipangkuan sang Prabu Pratipta, nyata kalau aku

terpesona oleh aura sang prabu yang bersinar kemilau dan juga ketampanannya.

Dari kencantikan yang aku punya, sebenarnya Prabu Pratipa juga sangat

terpesona denganku, namun tujuan utamanya bukanlah jodoh yang sang

Prabu dikehendaki. Maka Prabu Pratipa berjanji, bila dia mempunyai anak lelaki

kelak, maka ia akan menjodohkannya dengan diriku, disaksikanlah janji itu oleh

alam semesta.

Benar, takdir mempertemukan kembali aku dengan anak Prabu Pratipa,

Raja Muda Sentanu, ketika Sang Prabu sedang cengkeraman berburu.

Demikianlah, aku dan ayahmu saling jatuh cinta, dan kembali ke Astina

bersama sama.

Sayang seribu kali sayang, ada satu permintaan ku yang diasa kelewat

berat ketika diutarakan kepada ayahmu. Setiap aku melahirkan, maka anak itu

harus dihanyutkan di bengawan Gangga.

Sekian lama ayahmu, Sentanu tidak dapat memutuskan persoalan yang

maha berat baginya.

Asmara akhirnya mengalahkan logika. Kecantikanku yang selalu belalu

dihadapannya setiap waktu, memancing gairah kelelakian Prabu Sentanu hingga

disanggupinya permitaan yang satu itu.

Hari berganti, bulan berlalu dan tahun tahunpun susul menyusul

menjelang. Lahir satu demi satu anak anakku. Belum sampai menyusu, bayi

merah dihanyutkan di Bengawan Gangga. Hingga akhirnya lahir anakku yang ke

sembilan.

Page 26: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

26 PANDAWA KURAWA

Anak yang lahir ini sangat mempesona Prabu Sentanu, dengan aura cahaya

cemerlang, senyum cerah dan tingkah lucu meluluhkan cinta sang Sentanu

terhadapku. Anak itu adalah kamu Dewabrata! Tambahan lagi kesadaran

ayahmu terhadap rasa kemanusiaan, mengalahkan cinta berlandas birahi terhadap

diriku.

Pertengkaran sebab dari perbedaan pendapat berlangsung setelah itu dari

hari kehari, hingga terucap kata kataku, bahwa aku harus meninggalkan Astina

kembali ke alam kawidodaren”.

Demikan Sang Batari Gangga mengakhiri cerita masa lalunya.

Memang demikaian adanya. Prabu Sentanu saat ditinggal istrinya, sangat

kesulitan mencarikan susuan untuk anaknya. Ratusan wanita tewas ketika

mengharap dapat dipersunting Sang Prabu, sebagai ganti atas air susu yang

dilahap putera kerajaan, Raden Dewabrata, atau Jahnawisuta alias Raden

Ganggaya . Kelak Sang Sentanu dapat menemukan kembali pengganti ibu

Dewabrata sekaligus istrinya, yaitu Dewi Durgandini, kakak Raden Durgandana

yang ketika bertahta menggantikan ayahndanya bergelar Sang Baginda

Matswapati.

Durgandini sendiri mengalami cerita asmara rumit antara Palasara kakek

moyang Pandawa, dan Sentanu.Itulah kenapa Bisma Jahnawisuta, Sang Putra

Bengawan, tidak pernah bertemu ibunya hingga saat Baratayuda tiba.

“Nah sekarang katakan, ada apa denganmu, kenapa kamu ada disini,

anakku..?” Sang Batari menyelidik atas peristiwa yang tak terduga ini.

Page 27: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

27 PANDAWA KURAWA

Lalu Dewabrata menceritakan dari awal hingga ia terjerumus kedalam

lautan.

“Pertolongan ibu sangat aku harapkan, agar aku tidak mendapat seribu

malu atas tanggung jawab Negara yang telah dibebankan diatas pundak ini, ibu!”

“Baiklah, sekarang kembalilah ke medan pertempura, Aku bekali dengan

senjata panah sakti bernama Cucuk Dandang, lepaskan kearah lawanmu”. Kasih

ibu sekali ini memberikan tunjangan terhadap anak yang sedang dalam kesulitan.

Gembira sang Bisma menerima pusaka itu. Niat untuk berlama- lama

melepas kangen dengan sang ibu diurungkan. Segera ia memohon pamit.

Seta kembali mengamuk di palagan setelah yang ditunggu tidak juga

timbul. Tandangnya membuat giris siapapun yang ada didekatnya. Namun tidak

sampai separuh hari, kembali ia dikagetkan dengan kemunculan Bisma.

“ Seta, jangan kaget, aku telah kembali. Waspadalah, apa yang kau lihat?”

Bisma datang dengan senyum lebar. Menggenggam busur serta anak panah

ditangan, kali ini ia yakin dapat mengatasi kroda sang Seta.

“ Hmm . . . , Bisma, apakah kamu baru berguru kembali? Atau kamu

kembali datang hendak menyerahkan nyawa?” Seta menyahut dengan masih

menyimpan percaya diri yang besar.

Segera tanpa membuang waktu, Bisma merentang busur dengan terpasang

anak panah Kyai Cucuk Dandang. Panah dengan bagian tajam berbentuk paruh

burung gagak hitam, melesat dengan suara membahana dari busurnya, tembus

dada hingga kejantung. Menggelegar tubuh sang resi terkena panah , jatuh kebumi

seiring muncratnya darah dari dada sang satria.

Page 28: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

28 PANDAWA KURAWA

Sorak sorai para Kurawa membelah langit senja. Dursasana terbahak

kegirangan. Durmagati berceloteh riang. Kartamarma dan adipati Sindureja

Jayadrata menari bersama, Srutayuda, Sudirga, Sudira dan saudara lainnya

memainkan senjatanya seakan perang telah berakhir dengan kemenangan didepan

mata.

Sementara itu, para Pendawa dan anak anaknya mendekati Resi Seta yang

berjuang melawan maut. Dengan lembut Arjuna memangku Seta dengan kasih.

Perlahan Seta membuka mata, “Cucuku Pendawa . . . . . Sudah tuntas …

Perjuanganku sudah berakhir, tetaplah berjuang… kebenaran ada pada pihakmu . .

. . . “

Kresna sangat marah dengan kematian Resi Seta, dihunusnya panah

Cakrabaswara hendak ditujukan kepada Resi Bisma.

Waspada sang Resi Bisma, didatanginya Kresna sambil mengingatkan

“Duh Pukulun Sang Wisnu yang aku hormati, apakah paduka Sang Kesawa

hendak mengubah jalannya sejarah yang sudah ditetapkan. Bukankan sumpah

dewi Amba, yang akan menjemput titah paduka

Adalah prajurit wanita”

Tersadar Kresna dengan perkataan itu, segera Kresna mundur dari

peperangan. Begitu pula Werkudara, melihat junjungannya tewas Werkudara

mengamuk hebat, dicabutnya pohon randu besar dan disapunya para prajurit

lawan didepannya hingga terpental bergelimpangan. Jadilah mereka korban yang

tak sempat menghindar. Yang masih sempat berkelit melarikan diri kocar kacir

mencari selamat.

Page 29: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

29 PANDAWA KURAWA

Senja hari menyelamatkan barisan Kurawa hingga korban yang lebih besar

terhindarkan.

Kembali Matswapati kehilangan putranya. Bahkan sekarang ketiga tiganya

telah sirna. Kesedihannya sangat mendalam, hilang semua putra yang diharapkan

menjadi penggantinya kelak. Pupus sudah harapan akan kejayaan penerus

keluarga Matswa. Tetapi dasarnya ia adalah raja besar yang menggenggam sabda

brahmana raja. Tak ada kata sesal yang terucap.

“Cucu-cucuku, jangan kamu semua merasa bersalah atas putusnya darah

Matswa, aku masih punya satu harapan besar atas darah keturunanku. Lihatlah di

Wirata, eyangmu Utari sudah mengandung jalan delapan bulan, anak dari

Abimanyu, anakmu itu Arjuna !” Matswapati memberikan pijar sinar kepada

Pandawa, agar rasa bersalah atas terlibatnya dengan dalam Wirata dalam perang.

“Bukankah keturunanku dan keturunanmu nanti sudah dijangka, akan

menjadi raja besar setelah keduanya, Abimanyu dan Utari, mendapat anugrah

menyatunya Batara Cakraningrat dan Batari Maninten?” Relakan eyang-eyangmu

Seta, Utara dan Wratsangka menjalani darma sehingga dapat meraih surga. Aku

puas dengan labuh mereka, yang nyata gagah berani menjalani perannya sebagai

prajurit utama, yang gugur sebagai kusuma negara.”

Malam itu Matswapati memberikan nasihat pembekalan kepada pemuka

pihak Pandawa yang hadir dalam sidang di pesanggrahan Randuwatangan, setelah

upacara pembakaran jenasah Seta selesai dilakukan.

Page 30: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

30 PANDAWA KURAWA

Barata

GUGURNYA SANG PUTRA GANGGA

Segala bentuk kegembiraan terpancar pada setiap wajah yang hadir pada

sidang yang digelar di pesanggrahan Bulupitu. Malam setelah tewasnya senapati

Pendawa, Resi Seta. Prabu Duryudana dengan senyum sumringah duduk pada

kursi dampar kebesaran yang direka persis bagaikan dampar yang ada di balairung

istana Astina.

“Eyang Resi, kemenangan lasykar Kurawa sudah diambang pintu! “ Dada

Prabu Duryudana membuncah penuh dengan rasa pengharapan besar bahwa saat

kemenangan akan segera datang.

Page 31: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

31 PANDAWA KURAWA

Lanjutnya “ Tidak percuma perang yang melelahkan selama tigabelas hari

telah berlangsung. Ditangan senapati seperti Eyang Bisma, tiada satupun prajurit

Pendawa yang akan dapat menandingi kesaktian paduka, Eyang!”

“Tidaklah berlaku, wangsit Dewata yang sebelumnya mengatakan, bahwa

siapapun yang mendapat perlindungan dari Prabu Kresna akan jaya dalam perang.

Pada kenyataannya siapa yang dapat menandingi tokoh sepuh sakti

mandraguna seperti Eyang Bisma?!!” Berkata lantang Prabu Duryudana, dengan

mulut penuh dalam jamuan yang diselenggarakan malam itu menyambut

kemenangan.

Demikan pula raja seberang sekutu Kurawa seperti Prabu Gardapati dari

Negeri Kasapta dan Wersaya dari Negara Windya yang sudah datang saat perang

dimulai serta, Prabu Bogadenta yang juga datang menyusul dari Turilaya serta

semua yang hadir sepakat, bahwa perang segera berakhir dengan kemenangan

ditangan.

Setelah menghela nafas panjang, dengan sareh Sang Jahnawi Suta

menyahut

“Ngger Cucu Prabu, jangan merasa sudah tak ada lagi rintangan yang

harus dilalui. Walaupun banyak orang menganggap, kalau aku sebagai manusia

sakti tanpa tanding, tetapi ada pepatah mengatakan, diatas langit masih ada langit.

Jalan didepan kita masih panjang. Angger tahu, kekuatan Pandawa ada dipundak

kedua saudaramu yang juga musuhmu, Werkudara dan Arjuna. Bila angger sudah

dapat mengatasinya, barulah kekuatan Pandawa akan berkurang dengan nyata!!.”

Page 32: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

32 PANDAWA KURAWA

“Apalagi, dibelakang mereka ada berdiri Prabu Kresna, seorang

penjelmaan Wisnu yang sungguh waskita dalam memberikan pemecahan berbagai

masalah. Jadi tetaplah waspada!!”

Sidang malam itu menetapkan, mereka akan menggelar formasi perang

Garuda Nglayang di esok hari, barisan mengembang dengan kedua sayap dihuni

Prabu Salya di sayap kiri, Resi Bisma di sayap kanan. Harya Suman pada kepala

serta Pandita Durna yang sudah terbebas dari ancaman Resi Seta menjadi paruh

serangan.

Sementara pada anggota badan Garuda, terdapat Prabu Duryudana diapit

dan dilindungi oleh para raja telukan, dibelakangnya Harya Dursasana siap pada

daerah pertahanan untuk menghalau para prajurit musuh yang dapat diperkirakan

menyusup ke dalam.

Rencana telah ditetapkan ketika sidang berakhir. Malam itu Prabu

Duryudana tidur mendengkur dengan nyenyaknya, seiring dengan kepuasan hati

dan kenyangnya perut. Mimpi indahlah Prabu Duryudana bertemu istrinya yang

molek jelita, Dewi Banuwati, yang segera dipondongnya keatas tilam rum.

Malam bertambah larut, dalam malam tak ada yang dapat diceritakan

selain sinar rembulan yang tengah purnama menerangi jagat raya. Sinarnya yang

temaram mampu membuat hati manusia terpengaruh menjadi romantis, terkadang

bagi pribadi lain akan menyebabkan kelakuannya menjadi lebih beringas,

sebagian lain menjadi murung.

Page 33: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

33 PANDAWA KURAWA

Burung malam melenguh membuat suara giris bagi yang mendengar

dengan hati dan pikiran yang kalut dan ketakutan, namun bagi yang sedang

gembira, suara itu bagaikan nyanyian malam pengantar tidur. Sementara serigala

pemukim hutan sekeliling Tegal Kurukasetra menggonggong dengan suara pnjang

membuat bulu roma berdiri, gerombolan liar itu tengah mengendus, kapan kiranya

suasana menjadi aman bagi mereka untuk memulai pesta pora.

Kembali fajar menyapa, segenap para prajurit dari kedua belah pihak

kembali siaga dengan senjata ditangan. Jumlah barisan yang semakin menyusut

tidak menjadi alasan bagi mereka berkecil hati. Bahkan mereka bangga menjadi

prajurit linuwih yang mampu melewati hari-hari panjang dan sulit mengatasi

musuh hingga saat ini, ternyata nyawa mereka masih tetap mengait pada raga.

Bende beri bersuara mengungkung, bersambut seruling yang ditiup dengan

irama pembangkit semangat dan ditingkah suara tambur bertalu berdentam

menggetarkan dada, berirama senada detak jantung yang mulai terpacu.

Pada malam sebelumnya juga sudah digelar sidang di pesanggrahan

Randuwatangan atau Hupalawiya. Garuda Nglayang, gelar sebelumnya yang

ditiru oleh prajurit Astina masih tetap dipertahankan. Prabu Kresna yang sudah

paham dengan apa yang harus dilakukan setelah bertemu dengan Resi Bisma hari

kemarin, masih menyimpan Wara Srikandi dibarisan tengah, yang sewaktu waktu

dipanggil untuk mengatasi kroda sang Dewabrata.

Sedangkan Drestajumna, adik Wara Srikandi, menjadi senapati utama.

Drestajumna, putra Prabu Drupada, dengan tameng baja menyatu didada sejak

Page 34: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

34 PANDAWA KURAWA

lahir sebagai manusia yang dipuja dari kesaktian ayahnya, ditakdirkan menjadi

prajurit trengginas sesuai dengan perawakannya yang langsing sentosa.

Kembali hujan panah dari Resi Bisma bagai mengucur dari langit. Segera

Arjuna melindungi barisan dengan melepas panah pemunah. Bertemunya ribuan

anak panah diangkasa bagaikan gemeratak hujan deras menimpa hutan jati kering

diakhir musim kemarau panjang.

Bertemunya kedua barisan besar dengan formasi yang sama campuh satu

sama lain terdengar seperti bertemunya gelombang samudra menerpa tebing laut.

Gemuruh mengerikan.

Pedang kembali ketemu pedang atau pedang itu menerpa tameng.

Dentangnya memekakkan telinga dibarengi dengan berkeradap bunga api yang

semakin membakar semangat. Kembali teriakan kemenangan mengatasi lawan

bercampur teriakan kesakitan prajurit yang roboh sebagai pecundang.

Disisi lain, Werkudara dengan gada besar Rujakpolo yang tetap melekat di

genggaman tangannya yang kokoh, menyapu prajurit yang mencoba menghadang

gerakannya. Gemeretak tubuh patah dan remuk membuat giris prajurit kecil hati,

membuat gerakan Sang Bima makin masuk kedalam barisan Kurawa. Bantuan

dari Setyaki yang sama-sama mempertontonkan cara mengerikan dalam

membantai musuh dengan gada Wesikuning, membuat kalang kabut barisan sayap

itu. Tak terhitung banyaknya korban prajurit dan adik-adik Prabu Duryudana

seperti Durmuka, Citrawarman, Kanabayu, Jayawikatha, Subahu dan banyak lagi.

Bahkan kuda dan gajah tunggangan bergelimpangan. Juga kereta perang yang

Page 35: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

35 PANDAWA KURAWA

remuk tersabet gada kedua satria yang mengamuk dengan kekuatan tenaga yang

menakjubkan.

Bubarlah sayap kiri yang dihuni pendamping Prabu Salya, seperti Resi

Krepa, Adipati Karna dan Kartamarma serta Jayadrata. Mereka terdesak ke sayap

kanan mengungsi dibelakang sayap seberang yang masih terlindung oleh Sang

Resi Bisma.

Waspada Sang Bisma dengan keadaan ini, kembali panah sakti neracabala

dikaitkan pada busurnya, mengalirlah ribuan anak panah yang menghalangi laju

serangan. Bahkan Bima dibidik dengan panah sakti Cucukdandang yang

mengakhiri krida Resi Seta sebagai senapati Pandawa.

Oleh kehendak dewata, Werkudara tidak terluka dengan hantaman panah

sakti itu tetapi rasa kesakitan hantaman anak panah itu menyebabkan mundurnya

serangan bergelombang yang sedari tadi sulit untuk ditahan.

Kali ini Sri Kresna tidak lagi menunda korban yang berjatuhan.

“Yayi Wara Srikandi, sekarang tiba saatnya bagimu untuk

menyumbangkan jasa bagi kemenangan Pandawa. Kemarilah sebentar!” Prabu

Kresna melambaikan tangannya kearah Wara Srikandi untuk berdiri lebih

mendekat.

Apa yang harus aku lakukan Kakang Prabu?!” Srikandi maju mendekat

dengan segenap pertanyaan bergulung dibenaknya.

Page 36: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

36 PANDAWA KURAWA

“Sekarang sudah tiba waktu bagimu untuk mengantar Eyang Bisma

menuju peristirahatannya yang terakhir” Prabu Kresna mengawali penjelasannya.

“Apakah adikmu yang perempuan ini mampu mengatasi kesaktian Eyang Bisma .

. .?! Sedangkan prajurit lelaki dengan otot bebayu yang lebih sentosa tak mampu

untuk membuat kulit Eyang Bisma tergores sedikitpun..!”

“Nanti dulu, akan aku jelaskan masalahnya. . . . . !” Tersenyum Prabu

Kresna melihat kebimbangan dalam hati Wara Srikandi.

Sambungnya sambil memancing ingatan Wara Srikandi yang pernah

diceritakan oleh suaminya, Arjuna, “Mungkin yayi Srikandi sudah mendengan

cerita asmara tak sampai dari Dewi Amba ketika Eyang Bisma masih bernama

Dewabrata ?!”

Aku tahu, tapi apa hubungannya dengan adikmu ini?! Apakah aku yang

diharapkan dapat menjadi sarana bagi Dewi Amba untuk menjemput Eyang

Dewabrata?”

“Nah, ternyata otakmu masih encer seperti dulu !” Prabu Kresna masih

sambil tertawa mendengar jawaban dari madu adiknya, Subadra.

Tersipu Wara Srikandi dengan pujian yang dilontarkan oleh kakak

iparnya. Hatinya menjadi sumringah oleh harapan dapat mengatasi kesulitan yang

tengah dialami oleh keluarga suaminya, Arjuna.

Arjuna yang dari tadi ada juga didekatnya juga tersenyum lega. Segera

dipegang lengan istrinya dan mengajakanya dengan lembut “ Ayolah istriku,

Page 37: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

37 PANDAWA KURAWA

jangan lagi membuang waktu, kasihan para prajurit yang rusak binasa oleh

amukan Eyang Bisma.”

Segera Wara Srikandi digandeng Arjuna naik kereta perang.

Diceriterakan, arwah sang Dewi Amba yang masih menunggu saat untuk

menjemput kekasih hatinya, segera menyatu dalam panah Wara Srikandi,

Sarotama, pinjaman sang suami. Kegembiraan sang Amba teramat sangat. Cinta

Dewi Amba yang terhalang oleh hukum dunia, sebentar lagi sirna, berganti

dengan cinta abadi di alam kelanggengan.

Resi Bisma ketika melihat majunya Wara Srikandi ke medan pertempuran

tersenyum. Dalam hatinya mengatakan -“Inilah saatnya bagiku untuk bertemu

dengan cinta sejatiku Dewi Amba sekaligus mengakhiri do’a ibundaku”.

Memang benar kata hati Resi Bisma, bahwa Dewabrata waku itu

dimintakan kepada Dewa oleh Dewi Durgandini dapat menjadi orang yang

berumur panjang dan tidak mudah dikalahkan bila bertemu musuh, sebagai

pengganti atas pengorbanannya tidak mengusik keturunan ayahnya dengan Dewi

Durgandini.

Permintaan ini juga sudah dibuktikan ketika Dewabrata bertemu sang guru

sakti Rama Parasu. Ketika itu Dewabrata dicoba ilmu kesaktiannya oleh sang guru

sambil dengan diam-diam mengajarkan dan menurunkan ilmu kesaktian selama

berbulan-bulan tanpa henti.

Page 38: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

38 PANDAWA KURAWA

Seketika sang Jahnawisuta menarik nafas panjang sambil memejamkan

mata. Dalam benaknya bergulung-gulung peristiwa masa lalu bagiakan gambar-

gambar yang diputar ulang bingkai demi bingkai, menjadikannya seakan-akan

peristiwa perjalanan hidupnya itu baru saja terjadi.

Ketika membuka matanya kembali, didepan matanya Wara Srikandi

dengan senyum mengambang di bibirnya sudah dalam jarak ideal untuk melepas

anak panah. Berdebar gemuruh jantung Dewabrata ketika melihat wajah Srikandi

bagai senyum kekasih hatinya, Dewi amba. Tak pelak lagi, kekuatan sang

Dewabrata bagaikan dilolosi otot bebayu dalam raganya. Memang demikian,

ketika panah Sarutama yang tergenggam ditangan Srikandi, seketika perbawa

Dewi Amba seakan melekat pada raganya. Tiada salahlah pandangan Resi Bisma

saat ini.

Maka ketika panah sakti melesat dari busur dalam genggaman Dewi Wara

Srikandi, maka terpejamlah matanya, seakan pasrah tangannya digandeng oleh

Dewi Amba.

Titis bidikan Srikandi yang terkenal sebagai murid terkasih olah senjata

panah Sang Arjuna. Terkena dada Sang Resi panah Sarotama menembus

jantungnya, rebah seketika di tanah berdebu Padang Kurusetra.

Seketika itu juga perang berhenti tanpa diberi aba-aba. Prabu Duryudana

dan Prabu Puntadewa seketika berlari sambil mengajak adik adik mereka masing-

masing, menyongsong raga sang senapati yang rebah ditanah basah tergenang

merah darah yang membuncah.

Page 39: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

39 PANDAWA KURAWA

Kedua belah pihak seakan melupakan permusuhan sejenak, karena kedua

raja ini memangku bersama raga pepunden mereka.

“ Duryudana, Puntadewa, sudah cukup kiranya perjalanan hidupku ini.

Lega rasa dalam dada ketika kamu berdua datang pada saat bersamaan

menyongsong raga rapuh, melupakan segala permusuhan dan peperangan menjadi

terhenti. . . .”

Tersendat dan gemetar suara Resi Bisma kepada kedua cucu trah Barata.

“ Terimakasihku kepada kalian berdua yang telah datang menyongsong

aku dan mendukung ragaku ini. Perlakuanmu berdua adalah tanda bakti yang tak

terhingga kepadaku”. Sambil sesekai nafasnya tersengal ia melanjutkan, “Kalian

berdua ada pada jalanmu masing-masing, teruskanlah peperangan ini, untuk

membuktikan pendapat diri siapa yang benar dalam peristiwa ini”.

Terdiam kedua pihak dengan pikiran menggelayut pada benak masing

masing. Seakan tanpa sadar mereka berdua mendekap raga eyangnya dengan erat.

“Lepaskan sejenak ragaku ini ngger, eyang mau berbaring”. Akhirnya mereka

tersadar atas permintaan Resi Bisma kali ini.

“Dursasana, ambilkan bantal untuk eyangmu !!” Perintah Prabu

Duryudana gemetar.

Seketika Dursasana pergi dan kembali dengan bantal putih bersih

ditangannya. Yang diambil Dursasana sebuah bantal empuk dan bau wangian –

wangian.

Page 40: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

40 PANDAWA KURAWA

Kecewa Prabu Duryudana ketika Bisma berkata “Bukan itu ngger yang

aku mau . . . Aku menghendaki bantal layaknya seorang prajurit di medan

perang”.

Kali ini Werkudara yang juga berdiri disisi raga eyangnya segera

melompat tanpa diperintah. Ketika kembali ditangannya tergenggan beberapa

potong gada patah dan pecah. Disorongkan barang barang itu ke bawah kepala

sang resi.

Tersenyum Bisma merasa puas, “Nah beginilah seharusnya bantal seorang

prajurit . . . .!”

Melotot jengkel Prabu Duryudana kepada Werkudara dengan pandangan

kurang senang.

Nafas satu demi satu mengalir dari hidung sang Resi Bisma, sebenar

bentar wajahnya menyeringai menahan sakit didadanya. Darah yang masih

mengalir dari dadanya membuat cairan tubuhnya berkurang. Sekarang yang terasa

adalah haus yang tak tertahankan. Terpatah patah perintah Sang Resi kepada

cucu-cucunya, “Kerongkonganku kering, tolong aku diberi minum walau hanya

setetes”.

Melompat Prabu Duryudana tak hendak tertinggal langkah. Segera

kembali kehadapan sang Senapati sepuh yang sedang meregang nyawa,

dibawanya secawan anggur merah segar.

Page 41: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

41 PANDAWA KURAWA

“Eyang pasti akan hilang rasa hausnya kalau mau merasakan anggur

mewah kerajaan”. Bangga Prabu Duryudana bersujud dihadapan eyangnya hendak

meneteskan minuman.

Sekali lagi kekecewaan Duryudana terpancar dari wajahnya ketika Resi

Bisma kembali menolak pemberiannya.

Habis kesabaran dua kali ditolak pemberiannya, dengan sugal ia

memerintahkan kepada adik adiknya untuk meninggalkan raga sang resi dengan

suara lantang, “Dursasana, Kartamarma, Citraksa dan kalian semua!! Tinggalkan

orang tua yang sedang sekarat itu!! Tidak ada guna lagi kalian menunggu hingga

ajalnya tiba.! Ayo semua kembali ke pakuwon masing masing . . . !”

Prabu Kresna yang dari tadi juga berada di tempat kejadian, segera

membisikan sesuatu kepada Raden Arjuna, “Yayi, celupkan ujung anak panahmu

Pasupati ke wadah kecil berisi air minum kuda perang, berikan kepada Eyangmu”.

Tanpa sepatah kata bantahan, Arjuna mematuhi perintah kakak iparnya.

Dipersembahkan air minum itu kepada Resi Bisma yang tersenyum meneguk air

pemberian cucunya itu. Senyum untuk terakhir kali.

Kidung layu-layu berkumandang. Sementara itu, taburan bunga sorga para

bidadari dari langit, mengalir bagaikan banjaran sari wewangian, mengantar

kepergian satria pinandita sakti berhati bersih. Ia telah menjalani hidup dengan

cara brahmacari, tidak akan menyentuh perempuan, demi kebahagiaan ayah dan

ibunda tercintanya. Perjalanan hidup yang kontradiktif dengan jiwa yang

Page 42: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

42 PANDAWA KURAWA

bersemayam dalam raga yang berumur panjang. Sekarang segalanya telah

berakhir dengan senyum.

Bergandeng tangan dengan kekasih yang sangat memujanya selama ini,

kekasih yang dengan sabar menanti kapan kiranya dapat bersatu tanpa halangan

dari hukum dunia yang selama ini mengungkung mereka berdua, Dewi Amba dan

Raden Dewabrata, hingga mereka berdua tak mampu bersatu didunia. Sekaranglah

saat bahagia itu menjelang.

Barata

MAJUNYA SANG PROFESOR

Bagai tersaput kabut suasana dalam sasana Bulupitu. Gelap pekat dalam

pandangan Prabu Duryudana. Kesedihan yang teramat dalam dibarengi dengan

kekhawatiran akan langkahnya kedepan setelah gugurnya Resi Bisma, membuat

Page 43: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

43 PANDAWA KURAWA

Duryudana duduk tanpa berkata sepatahpun. Sebentar sebentar mengelus dada,

sebentar sebentar memukul pahanya sendiri. Sebentar kemudian mengusap usap

keningnya yang berkerut. Hawa sore yang sejuk menjelang malam, tak

menghalangi keluarnya keringat dingin yang deras mengucur dan sesekali

disekanya, namun tetap tak hendak kering. Dalam hatinya sangat masgul, malah

lebih jauh lagi, ia memaki maki dewa didalam hati, kenapa mereka tidak berbuat

adil terhadapnya.

Tak sabar orang sekelilingnya dalam diam, salah satunya adalah Prabu

Salya. Dengan sabar ia menyapa menantunya.

“Ngger, apa jadinya bila pucuk pimpinan terlihat patah semangat, bila itu

yang terjadi, maka prajuritmu akan terpengaruh menjadi rapuh sehingga gampang

rubuh bila terserang musuh”.

Terdiam sejenak Prabu Salya mengamati air muka menantunya. Ketika

dilihat tak ada perubahan, kembali ia melanjutkan,

“Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi. Memang benar,

kehilangan senapati sakti semacam Resi Bisma, eyangmu itu, tak mudah untuk

digantikan oleh siapapun. Namun tidakkah angger melihat, aku masih berdiri

disini. Lihat, raja sekutu murid-murid Pandita Durna, yang disana ada Gardapati

raja besar dari Kasapta. Disebelah sana lagi ada Prabu Wersaya dari Negara

Windya, sedangkan disana berdiri Raja sentosa bebahunya, Prabu Bogadenta dari

Negara Turilaya, Prabu Hastaketu dari Kamboja, Prabu Wrahatbala dari Kusala,

disebelah sana ada lagi Kertipeya, Mahameya, Satrujaya, Swarcas *) dan tak

Page 44: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

44 PANDAWA KURAWA

terhitung raja raja serba mumpuni olah perang lainnya yang aku tidak dapat

disebu satu persatu.

Para manusia sakti mandraguna masih berdiri disekelilingmu. Belum lagi

gurumu Pandita Durna masih berdiri dengan segudang kesaktian dan perbawanya.

Ada kakakmu Narpati Basukarna. Dan jangan remehkan juga pamanmu Sangkuni,

manusia dengan ilmu kebalnya. Masih kurangkah mereka menjadi

penunjang berdirinya kekuatan Astina?”

Sekali lagi Prabu Salya mengamati wajah menantunya yang sebentar air

mukanya berubah cerah, mengikuti gerakan tangan mertuanya menunjuk para raja

dan parampara yang ada di balairung.

Sejenak kemudian, pikiran dan hati Prabu Duryudana mencair, tergambar

dari air mukanya yang menjadi cerah.

Tak lama kemudian, sabda Prabu Duryudana terdengar “ Rama Prabu

Mandaraka, Bapa Pandita Durna, Kakang Narpati Basukarna dan para sidang

semua, terliput mendung tebal seluruh jagatku, tatkala gugurnya Eyang Bisma,

seakan akan patah semua harapan yang sudah melambung tinggi, tiba-tiba

tebanting di batu karang, remuk redam musnah segalanya”.

Sejenak Prabu Duryudana terdiam. Setelah menarik nafas dalam dalam, ia

melanjutkan “Namun setelah Rama Prabu Salya membuka mata saya, bahwa

ternyata disekelilingku masih banyak agul agul sakti, terasa terang pikirku, terasa

lapang dadaku!. Terimakasih Rama Prabu, paduka telah kembali membangkitkan

semangat anakmu ini”.

Page 45: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

45 PANDAWA KURAWA

“Ngger anak Prabu, sekarang anak Prabu tinggal memilih, siapakah

gerangan yang hendak diwisuda untuk menjadi senapati selanjutnya. Silakan

tinggal menunjuk saja. Ssemua sudah menanti titah paduka, angger Prabu”.

Pandita Druna memancing dan mencadang tandang dan mengharap menjadi

senapati pengganti.

“Baiklah, besok hari, mohon perkenannya Paman Pandita Durna untuk

menyumbangkan segala kemampuan gelar perang, mengatur strategi bagaimana

agar secepatnya para Pandawa tumpas tanpa sisa”

Gembira Pandita Durna terlihat dari wajahnya yang berseri seri. “Inilah

yang aku harap siang dan malam, agar menjadi pengatur strategi yang nyatanya

sudah aku mengamati dari hari kehari, apa yang seharusnya aku lakukan untuk

kejayaan keluarga Kurawa”.

“Sukurlah kalau demikan, ternyata tak salah aku memilih Paman Pandita

yang sudah mengamati bagaimana cara menumpas musuh. Perkenankan Paman

Pandita membuka gelar strategi itu”. Kali ini senyum Prabu Duryudana makin

lebar.

“Begini ngger, seperti yang sudah pernah diutarakan oleh Resi Bisma,

kekuatan Pendawa itu sebenarnya ada pada Werkudara dan Arjuna. Nah, sekarang

mereka menggelar perang dengan formasi Garuda Nglayang, dengan sayap kiri

ditempati oleh Werkudara, sedangkan di sayap kanan ada di pundak Arjuna”.

“Bila kedua sayap itu dibiarkan utuh, maka kita akan keteteran

menghadapi serangan kedua orang itu. Cara satu satunya adalah bagaimana kita

Page 46: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

46 PANDAWA KURAWA

melepas tulang sayap itu sehingga kekuatannya akan menjadi hilang. Satu hari

saja mereka dipisahkan dari barisan, segalanya akan berjalan mulus untuk

kemenangan kita”. Sejenak Pandita Durna menghentikan beberan strategi.

Matanya mengawasi para yang hadir didalam balairung. Setelah yakin bahwa

semua penjelasan awal dimengerti, terlihat dari anggukan hadirin, Durna

meneruskan.

“Sekarang bagaimana caranya?” Kembali ia berhenti. Matanya kembali

menyapu satu demi satu hadirin dengan percaya diri sangat tinggi. Lanjutnya

“Nak angger, untuk memuluskan langkah kita melolosi kekuatan Pandawa satu

demi satu, besok hari akan digelar barisan dengan tata gelar Cakrabyuha. Gelar ini

diawaki ruji-ruji terdiri dari Prabu Salya, Nak Mas Adipati Karna, Adipati

Jayadrata, Yayi Resi Krepa , Kartamarma, Prabu Bogadenta, Dursasana ,

Aswatama, Prabu Haswaketu, Kertipeya serta Wrahatbala. Semuanya

membentuk lingkaran, sedangkan dalam poros adalah anak Prabu Duryudana”.

Merasa tidak disebut, Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya berbareng

mengajukan pertanyaan, “Adakah kekurangan kami sehingga kami tedak

dipercaya terlibat dalam susunan gelar?”

Terkekeh tawa Pandita Durna mengamati mimik muka ketidak puasan

yang terpancar dari kedua Raja Seberang ini.”Jangan khawatir, justru kamu

berdua akan aku beri peran yang cukup besar untuk gelar strategi perang esok hari

!” Sambungnya sambil memainkan tasbih yang selalu melekat ditangannya.

Page 47: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

47 PANDAWA KURAWA

Wajah wajah yang tadinya menampakkan rasa kecewa, wajah Prabu

Gardapati dan Prabu Wersaya kembali sumringah “Apakah peran kami berdua ?

Sebesar apa sumbangan yang bisa kami berikan agar jasa kami selalu dikenang

dibenak saudara-saudara kami Kurawa?” Tak sabar Gardapati mengajukan

pertanyaan.

“Naaa . . . Begini Gardapati, Wersaya, besok secara pelan dan pasti,

pancing kedua sayap kanan dan kiri Werkudara dan Janaka untuk mejauh dari

barisan utama dan ajaklah mereka bertempur hingga ke pinggir hutan pinggir

pantai. Anak Prabu Gardapati dan Wersaya, segera tancapkan senjata saktimu

ketanah berpasir, bukankah senjata pusakamu dapat membuat pasir menjadi

hidup dan berlumpur, mereka terperosok masuk dalam perangkap pasir itu.

Semakin kuat mereka bergerak, pasir hidup itu akan menarik mereka kedalam.

Pasti keduanya akan segera tewas”.

Sementara itu di Pesanggrahan Randuwatangan, Prabu Matswapati, Prabu

Puntadewa dan Prabu Kresna serta segenap para prajurit utama juga mengadakan

pertemuan membahas langkah yang dituju untuk mencapai posisi unggul di esok

hari.

Namun sebelumnya, mereka mengadakan upacara pembakaran jasad Resi

Bisma secara sederhana, namun dilimputi dengan suasana tintrim dan khidmad.

Walau sejatinya Resi Bisma adalah senapati lawan, namun kecintaan para

Pandawa terhadap leluhurnya taklah menjadi sekat terhadap rasa bakti mereka.

Page 48: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

48 PANDAWA KURAWA

Prabu Punta yang duduk berdiam diri dengan rasa sedih atas kematian

Resi Bisma, tak juga memulai sidang. Namun Prabu Kresna segera memecah

kesunyian, menyapa Prabu Punta. Tetapi yang terlontar dari jawaban Prabu

Puntadewa, adalah penyesalan diri. Mengapa perang terjadi sehingga

menyebabkan tewasnya Resi Bisma.

Kembali Kresna menasihati adik-adiknya. Semua diuraikan lagi, mengapa

perang ini harus berlangsung dan intisarinya perang Baratayuda sesungguhnya

apa.

Cair kebekuan hati Prabu Punta, segera inti pembicaraan sidang

ditanyakan kepada Prabu Puntadewa.“Yayi Prabu, sidang sudah menanti titah

paduka untuk langkah yang akan kita arahkan besok hari. Adakah yang perlu yayi

sampaikan dalam sidang ini ?”

“Terimakasih kakang Prabu yang selama ini sudah membimbing kami

semua, pepatah mengatakan kakang Prabu dan kita semua, sudah terlanjur basah,

alangkah lebih baik kita mencebur sekalian” Prabu Puntadewa sejenak terdiam.

Dalam pikirannya masih diliputi dengan peristiwa yang sore tadi berlangsung.

Selain itu dalam hal strategi, siapa yang tak kenal dengan Raja Dwarawati yang

diketahui memiliki ide-ide cemerlang. Maka tidak ragu lagi Prabu Punta

melanjutkan. ”Selanjutnya, segala pengaturan langkah, silakan kakang Batara

untuk mengatur langkah kita dibawah perintah paduka “.

“Dhuh yayi, kehormatan yang diberikan kepadaku akan aku junjung

tinggi, segala kepercayaan akan kami jalankan demi kejayaan kebenaran”.

Page 49: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

49 PANDAWA KURAWA

Senapati yang kemarin belum akan diganti, masih ada ditangan Adimas

Drestajumna. Kemarilah lebih mendekat, yayi Drestajumna, Paparkan semua

strategi gelar yang akan dimas terapkan besok hari”. Prabu Kresna mulai

mengatur kekuatan langkah.

Segera Drestajumna maju menghaturkan sembahnya “Kanda Prabu, segala

tata gelar yang kemarin dijalankan, ternyata ampuh untuk mengusir dan mendesak

majunya prajurit Kurawa. Dari itu kanda, besok, gelar itu masih saya

pertahankan”

“Bagus! Kali ini berhati-hatilah, mereka masih punya banyak orang sakti”.

Prabu Kresna mengingatkan.

Dengan tegas Drestajumna melanjutkan “Saya harap, semua para satria

yang ada pada posisi penting, jangan sampai keluar dari tata baris yang

digariskan. Hal ini penting agar kekuatan kita merata sehingga sentosa menghalau

serangan musuh.

Demikianlah. Cakrabyuha dan Garuda Nglayang berbenturan pagi itu,

selagi matahari masih belum menuntaskan basahnya embun. Ringkik kuda dan

sorak prajurit yang bertenaga segar di pagi itu memicu semangat tempur semua

lasykar yang sudah berhari-hari terperas keringatnya. Kali ini, para generasi muda

mulai menampakkan kematangannya setelah pengalaman hari hari kemarin.

Pancawala anak Prabu Puntadewa mengamuk disekitar Raden Drestajumna.

Tandangnya trampil memainkan senjata membuat banyak korban dari

Pihak Kurawa semakin banyak berguguran. Sementara tak kalah pada sayap

Page 50: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

50 PANDAWA KURAWA

seberang, krida pemuda bernama Sanga-sanga, putra Arya Setyaki, bersenjata

gada, juga mengamuk membuat giris lawan. Gerakan dan perawakannya yang

bagai pinang dibelah dua dengan sang ayah, hanya beda kerut wajah membuat

banyak lawan tertipu. Kedua orang ini sepertinya nampak ada dimana-mana.

Tak hanya itu, dibagian lain terlihat dua satria yang kurang lebih sama

bentuk perawakan dan kesaktiannya, Raden Gatutkaca dan Raden Sasikirana,

kedua orang bapak anak tak mudah dibedakan caranya berperang membuatnya

terperangah prajurit lawan. Tak kurang ratusan prajurit Astina tewas ditangan

keduanya termasuk patih dari Negara Windya dan Giripura.

Sementara di sayap gelar garuda nglayang, Werkudara segera dihadang

oleh Gardapati. Setelah bertempur sekian lama, kelihatan bahwa Gardapati

bukanlah tanding bagi Bimasena. Khawatir segera dapat dibekuk, Gardapati

segera bersiasat sesuai yang dipesankan oleh Pandita Durna “Werkudara!

Ternyata perang ditempat ramai seperti ini membuat aku kagok. Ayoh kita

mencari tempat sepi, agar kita tahu siapa sesungguhnya yang memang benar benar

sakti. Kejar aku..!!”

Lupa pesan panglima perang, Werkudara menyangupi “Ayo. .! Apa

maumu akan aku layani. Dimanapun arenanya, aku akan hadapi kamu”.

Gembira Gardapati sambil terus bercuap sesumbar, memancing langkah

lawannya menuju ketempat yang ditujunya.

Page 51: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

51 PANDAWA KURAWA

Disisi sayap lain Wersaya menjadi lawan tanding Arjuna. Sama halnya

dengan Gardapati, Wersaya mengajak Janaka pergi menyingkir menjauh dari

arena di Kurusetra.

Diceritakan, sepeninggal kedua pilar kanan kiri barisan, angin kekuatan

berhembus di pihak Kurawa. Semangat yang tadinya kendor oleh amukan para

satria muda Pendawa, kembali berkobar. Tak sampai setengah hari, Garuda

nglayang dibuat kucar-kacir oleh barisan Cakrabyuha Kurawa. Kali ini banyak

prajurit Hupalawiya yang menjadi korban amukan dari sekutu Kurawa.

Haswaketu, Wrahatbala dengan leluasa mengobrak abrik pertahanan lawan.

Dursasana dan Kartamarma serta Jayadrata demikian juga. Ketiganya segera

merangsek maju hingga mendekati pesanggrahan para Pandawa. “Maju terus, kita

sudah hampir mendekati pesanggrahan Randuwatangan” teriak prajurit Kurawa.

Disisi lain, teriakan dari dalam barisan membahana memecah langit

“Bakar pesanggrahan Randu watangan kita akan terus melaju”. Tanpa adanya

kedua kekuatan di kedua sayap, Garuda nglayang bagaikan garuda lumpuh.

Keadaan barisan Randuwatangan makin kacau, mereka berlarian salang

tunjang tanpa ada yang dapat mengatur ulang barisan yang makin terpecah belah.

Murka sang Drestajumna melihat barisannya terdesak hebat. Segera dicari

tahu sebabnya. Dipacu kereta perangnya melihat apa yang terjadi. Begitu sudah

ketemu sebab musababnya, segera ia memacu kembali kereta kearah Prabu

Kresna.

Page 52: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

52 PANDAWA KURAWA

“Duh kakang Prabu, lebih baik saya melepas gelar senapati. Akan aku

lepas kalungan bunga tanda senapati ini bila kejadiannya seperti ini”. Ucap

Drestajumna memelas.

“Bila saya sudah tidak dianggap lagi, perintah saya kepada kakang Arjuna

dan Werkudara dianggap bagai angin lalu, saya sudahi saja peran saya sampai

disini” sambungnya sambil bersiap melepas kalungan bunga tanda peran senapati.

“Lho . . ! Nanti dulu. Ada rembuk kita rembuk bersama”. Kresna tetap

tersenyum tanpa terpengaruh kisruh yang menimpa prajurit Randuwatangan atau

Mandalayuda, meredakan kisruh hati Raden Drestajumna.

Katanya lagi “Tidaklah pantas bagi satria sakti semacam Drestajumna,

satria pujan yang terjadi dari api suci yang ketika ayahmu Prabu Drupada

bersemadi meminta seorang putra sakti mandraguna. Karana yang lahir terdahulu

adalah selalu anak perempuan” sejenak Prabu Kresna berhenti, menelan ludah

“Tidaklah pantas seorang yang telahir sudah bertameng baja didada dan

punggungnya menggendong anak panah, melepas tanggung jawab yang sudah

diberikan”.

Tersadar Sang Senapati dengan apa yang sudah terjadi “ Aduh kakang

Prabu, seribu salah yang telah aku perbuat, kiranya kakang Prabu dapat memberi

pintu maaf seluas samudra. Apakah yang harus aku perbuat untuk memulihkan

kekuatan, kakangmas”.

Page 53: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

53 PANDAWA KURAWA

“Baiklah. . ! Bila satu rencana gagal, tentu rencana cadangan harus kita

terapkan. Kita panggil satria lain sebagai pilar pengganti dan kita ubah gelar yang

sesuai dengan keadaan saat ini”. Kresna membuka nalar Drestajumna.

Siapakah menurut kakanda yang pantas untuk keadaan seperti saat ini?”

Sambar Drestajumna.

“Tak ada lain, keponakanmu, anak Arjuna, Abimanyu. Segera kirim

utusan untuk menjemput dia” Sri Kresna memberi putusan. Maka berangkatlah

sang Gatotkaca ke Plangkawati.

Syahdan. Ksatrian Plangkawati, Raden Abimanyu atau Angkawijaya

sedang duduk bertiga. Ketika itu ia diminta pulang ke Plangkawati terlebih dulu

menunggui kandungan Retna Utari yang sedang menjelang kelahiran putranya.

Disamping kiri kanannya duduk putri Sri Kresna, Dewi Siti Sundari. Sedang disisi

lain Dewi Utari yang tengah mengandung tua. Kedua tangan Dewi Siti Sundari

dan Dewi Utari tak hendak lepas dari tangan sang suami.

“Mimpiku semalam sungguh tidak enak kakangmas, siang ini jantungku

merasa berdebar tak teratur. Gelisah kala duduk, berdiri berasa lemas kaki ini.

Apa gerangan yang akan terjadi” demikian keluh Utari kepada suaminya.

“Utari, jangan dirasa rasa. Mungkin itu bawaan dari anakmu didalam

kandungan. Aku sendiri tidak merasai apapun” hibur Abimanyu.

Siti Sundari juga tak juga diam, pegangan tangannya semakin erat

menggelendoti suami tercintanya. “Akupun begitu, malah dari kemarin, banyak

Page 54: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

54 PANDAWA KURAWA

perabot yang aku pegang, terlepas pecah. Aku punya firasat buruk kakang”.

Semakin menggelayut pegangan Siti Sundari.

“Aku tidak mengandung seperti keadaan eyang Utari, apakah ini tanda

tanda aku juga mau hamil kakang”.Tambah Siti Sundari yang menyebut madunya

masih dengan garis keturunan, eyang.

“Mudah mudahan dewata menjadikan ucapanmu menjadi nyata” hibur

Abimanyu sambil tersenyum kearah Siti Sundari. Senyum itulah yang membuat

anak dari Prabu Kresna itu, rela menerjang tata susila, ketika kunjungan

Abimanyu ke Dwarawati selalu diajaknya Abimanyu kedalam keputren, hingga

mereka segera dikawinkan.

Terpotong pembicaraan suami dengan kedua istrinya, ketika Raden

Gatutkaca sampai dengan cepat, setelah diberi perintah oleh Sang Senapati.

Dengan terbang di angkasa, tanpa membuang waktu sampailah ia di Plangkawati.

“Adimas, mohon maaf atas kelancanganku mengganggu kemesraan kalian

bertiga. Sesungguhnya kedatanganku, adalah sebagai utusan dari para sesepuh

yang sedang dalam kesulitan di arena peprangan. Dimas diminta sumbangan

tenaganya untuk bergabung dengan kami di Kurusetra”.

Gatutkaca mencoba mengawali pembicaraan. Dalam hatinya ia sangat

tidak enak karena mengganggu kemesraan mereka, karena kedua istri adiknya

dilihatnya tengah menggelayut dipundak sang adik.

Page 55: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

55 PANDAWA KURAWA

Kaget seketika para istri Abimanyu. Seketika itu juga, pecahlah tangis

mereka.

Namun lain halnya dengan Abimanyu sendiri. Tersenyum sang

Angkawijaya. Wajahnya cerah bagai kanak-kanak mendapat mainan baru.

“Sudahlah Utari, Siti Sundari istriku, tak ada yang perlu kamu berdua khawatirkan

atas keselamatanmu, aku akan menjaga diriku baik-baik”.

Seribu ucapan Abimanyu menjelaskan arti dari tugas negara disampaikan

kepada istrimya, namun tangis keduanya malah be tambah tambah. Semakin erat

kedua istri Angkawijaya memegangi lengan suaminya. Ketika Angkawijaya

berdiri hendak pergi, keduanya masih juga memegangi erat selendang sang suami.

Tanpa ragu, diirisnya selendang hingga keduanya terlepas. Dengan cepat ia

berjalan memanggil Raden Sumitra, saudara seayah. Sesampai Angkawijaya ke

istal, kandang kuda, diajaknya serta saudaranya itu.

Sekelabatan lenyaplah kuda sang Angkawijaya yang bernama bernama

Kyai Pramugari yang berlari kencang, diiringi tangis kedua.

Barata

Page 56: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

56 PANDAWA KURAWA

GUGURNYA CALON RAJA MUDA HASTINA

Sementara itu, ketika Harya Werkudara dan Raden Arjuna yang dipancing

jauh keluar arena oleh Prabu Gardapati dan Wersaya, telah lupa akan pesan dari

senapati pengatur perang, Drestajumna.

Mereka punya pertimbangan bahwa tidak sepantasnya seorang kesatria

menghindar dari tantangan musuh.

Maka ketika mereka sudah terlepas dari induk peperangan, tak ada lagi

perasaan bahwa mereka telah masuk dalam perangkap licik lawan.

Tanding antara mereka dalam dua kelompok terjadi dengan sengit. Tetapi

sebetulnya tidaklah berat bagi kedua satria Pendawa ini untuk mengakhiri tanding

itu.

Page 57: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

57 PANDAWA KURAWA

Tepat ketika matahari diatas kepala, dikenakai senjata sakti Gardapati dan

Wersaya tanah yang diinjak kedua satria Pandawa dengan cepat amblas berubah

menjadi pasir lumpur yang menyedot tubuh Arjuna dan Werkudara. Semakin

mereka melawan tenaga sedot pasir lumpur, makin mereka tenggelam.

Gardapati terbahak menyaksikan lawannya terperangkap dalam pasir

lumpur yang bagaikan hidup, menyeret tubuh didalamnya semakin dalam.

“Kalian berdua, berdoalah kepada dewa, pamitlah kepada saudara

saudaramu, bicaralah kepada ayahmu Pandu, bahwa hari ini kalian akan menyusul

ayahmu ke Candradimuka menggantikannya jadi kerak neraka itu”.

Sementara Abimanyu yang mendengarkan ayah dalam keadaan bahaya

segera maju ke palagan untuk menolongnya. Maka ia segera berangkat menemui

Uwak atau mertua menanyakan bagaimana selanjutnya...?”.

Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan

debu mengepul diudara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama

Abimanyu sudah ada dihadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna.

“Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu

kali ini, ngger !” Sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada

sang menantu menyongsong kematian atau membiarkannya maju memperbaiki

formasi baris. Tetapi isi kitab jalan certita Baratayuda, Jitapsara di dalam

ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang seharusnya terjadi. Isi kitab itu

lebih berpengaruh dalam benaknya.

Page 58: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

58 PANDAWA KURAWA

Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya,

“ Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya

dapat terlibat dalam perkara yang sedang menggayuti para orang tua orang tua

kami”

“Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah,

sekaranglah saatnya bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan

gantilah dengan tata gelar baru”. Perintah sang uwa

“Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan

saya untuk ditempatkan pada garda depan”. Pinta Abimanyu.

“Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali Prabu

Kresna menegaskan kepada Raden Drestajumna.

“Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas

permintaan anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !”.

Demikian putusan Sang Senapati.

Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar

kacir perlahan lahan membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri

sedangkan Gatutkaca ada pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian

kepala, sedangkan pada ekor adalah Wara Srikandi.

Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid.

Demikian besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala

para prajurit Randuwatangan. Amukan Abimanyu diatas punggung kuda

Page 59: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

59 PANDAWA KURAWA

Pramugari, bagaikan banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai

mengerti segenap kemauan penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang

mengurung. Gerakannya gesit bagai sambaran burung sikatan. Olah panah yang

dimiliki penungangnya untuk menumpas musuh dari jarak jauh, dan keris

Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama membawa puluhan

korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi, Citradirgantara,

Yutayuta, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan banyak lagi, telah tewas.

Bahkan Arya Dursasana yang hendak meringkus terkena panah Abimanyu.

Walaupun tidak tedas, namun kerasnya pukulan anak panah menjadikannya ia

muntah darah. Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi palagan.

Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas

tersambar Kyai Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan kesakitan

berkumandang dari mulut Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu Wrahatbala

dari Kusala.

Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun

lawan, ia terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya telah berhadapan.

Gerakan Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat

muda, tetapi dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan

bahkan telah menewaskan ratusan prajurit dalam waktu singkat. Oleh rasa yang

sudah kadung rendah diri, gerakannya menjadi serba canggung. Tak lama ia

menyusul temannya dari Kamboja terkena oleh pusaka yang sama. Tersambar

Kyai Pulanggeni, raga Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya dan tak

lama jatuh bergelimpang ke tanah.

Page 60: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

60 PANDAWA KURAWA

Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang

Sumitra yang maju bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat oleh Adipati

Karna. Niat Adipati Karna sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak

maju terlalu ketengah dalam pertempuran. Perasaan seorang paman terhadap

keponakannya kadang masih menggelayuti hatinya. Teriakannya untuk mengusir

keponakannya tak dihiraukan, maka lepas anak panah menuju ke kedua satria

anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra terkena didadanya. Gugurlah salah

satu lagi putra Arjuna.

Dibagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena

panah Prabu Salya rebah menjadi kusuma negara.

Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas

dalam waktu singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya

Swarcas, membisikkan strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu.

Ditetapkan kemudian mereka berempat, Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan

Suryabasa akan maju bersama mengeroyok Abimanyu. Tak peduli hal itu

tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat menghabisi tenaga baru

yang berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa.

Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja

sakti dari berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan

bergelombang dengan senjata ditangan masing masing lawannya. Bahkan sesekali

Abimanyu dapat mengenai pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke

empat lawannya yang malah bagai dipedayai.

Page 61: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

61 PANDAWA KURAWA

Kelihatanlah kekuatan masing masing pihak, tak lama kemudian.

Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu,

sebab dari rasa kesemutan yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada

saat itulah Kyai Pulanggeni menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari

atas punggung kudanya. Tiga lawan tersisa menjadi ciut nyalinya.

Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu persatu lawan

Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban selanjutnya.

Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan

mereka saling serang. Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan

Swarcas, jatuh terguling tak bangun lagi.

Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang

barusan sudah terjadi.

“Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan

menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka

!”. Kata kata Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya

dentam detak jantung kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai

dirinya lagi.

Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya

dari kedua arah. Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-

asaan, membuat Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua.

Tanpa membuang waktu lagi, disudahi pertempuran keroyokan itu dengan sekali

Page 62: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

62 PANDAWA KURAWA

ayunan Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri keduanya mau tak mau membuat hampir

semua mata mengarahkan pandangannya kearah kejadian.

Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam

hatinya ia mengatakan,

“Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya.

Kalau hal seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa. . !”.

Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka

menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal akalannya,

“Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol

kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu, maka kita harus menggunakan

kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni ?”

“Eee. . . Kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya.

Pasti setuju!” Sangkuni mengamini.

“Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus

teruskan, maka akan kalah kita . Minta pendapatnya nak angger Adipati! ”.

Seakan Durna minta pertimbangan, padahal didalam otaknya sudah tersimpan

rencana licik bagaimana cara mengatasi keadaan yang sudah mengkawatirkan itu.

“Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu ! ”. Jawab

Narpati Basukarna sekenanya.

Page 63: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

63 PANDAWA KURAWA

“Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger

Adipati. Anak angger yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah

yang dapat mengatasi masalah ini”. Durna mulai membuka strategi.

“Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” Berat hati Karna

menyahut.

“Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah.

Kemudian Anak Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan

rayulah. Katakan kehebatannya dan pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah

Abimanyu dari belakang. Bila sudah terkena satu panah, tidak lama lagi pasti akan

gampang langkah kita”. Pandita Durna menjelaskan strateginya.

“Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing”.

Adipati Awangga itu segera melangkah menjalankan strategi yang telah

dirancang.

Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran

bendera putih Patih Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan

terhenti. Dalam hati para prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang

dihentikan? Sementara orang mengerti, bila perang terus berlanjut, maka

kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu.

Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu:

“Berhentilah anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang

masih remaja sudah dapat membuat takluk barisan Kurawa. Uwakmu sungguh

Page 64: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

64 PANDAWA KURAWA

ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat . . . ” Setelah mendekat, dipeluknya

Abimanyu dengan hangat, layaknya seorang paman terhadap keponakan yang

telah berhasil berbuat hal yang menakjubkan.

“Apakah sungguh begitu uwa Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah

takluk, dan memang demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari,

layaknya seorang senapati takluk terhadap lawan”. Bangga Abimanyu.

Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan

kemampuan memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah

ulung. Dibidiknya punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu

dengan darah menyembur dari lukanya.

Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang

terluka, mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk

diberi laporan.

“Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu

terluka dipunggungnya, untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri

urusan lagi”. Tutur Adipati Karna.

Terkekeh kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil.

Pikirnya biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar

dicapai kembali. Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan.

Page 65: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

65 PANDAWA KURAWA

Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali

menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju

menyongsong serangan.

“Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah

hilang. Akan aku kubur sifat culas kalian, sekalian dengan yang raga

menyandangnya. Hayo majulah kalian bersama-sama. Tak akan mundur walau

setapakpun walau Duryudana sekalipun yang maju !!”.

Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih

lantang dan berdirinya masih tetap tegar.

Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya,

aba aba keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh

warga Kurawa, sementara yang dekat melontarkan tombak dan nenggala serta

trisula bertubi tubi. Dalam waktu singkat, segala macam senjata menancap

ditubuh satria muda itu.

Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan

amukannya. Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor

landak, oleh banyaknya anak panah dan tombak yang menancap di sekujur

tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih jauh lagi, ujud dari satria tampan ini

bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh senjata seperti karangan

bunga yang terrangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar mayang yang

mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus yang

Page 66: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

66 PANDAWA KURAWA

memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti

halnya untaian melati menghiasi pinggang.

Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya

menjadi makin berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau anyir darah

Abimanyu, malah mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari

turun menyaksikan kegagahan sang prajurit muda belia. Dalam pendengaran para

bidadari, suasana yang dilihat bercampur dengan kembalinya denting padang yang

beradu dan tetabuhan kendang, suling serta tambur penyemangat, bagaikan pesta

penganten yang berlangsung dengan iringan gamelan berirama Kodok Ngorek!

Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala

menghindar dari pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga

bahwa sang suami sudah beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa

bila ia berlaku poligami, maka bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya

dengan senjata apapun.

Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana

raksasa boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia

perkawinannya dengan Putri Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga

rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau tak terjadi apapun akhirnya antar kedua

istri pertama dengan madunya, namun sumpah tetaplah sumpah, ia berketatapan

hati, inilah bayaran atas janjinya.

Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarjakusuma, putra Prabu

Duryudana yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan.

Page 67: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

67 PANDAWA KURAWA

Padahal selamanya sebagai anak manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam

keprajuritan, sehingga sifat penakutnya sangat kentara.

Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana

menghina Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini

memanjakannya, Abiseca dan Secasrawa.

Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk menamatkan riwayat

Abimanyu. Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas gugurnya satru

sakti yang akan dipamerkan kepada ayahnya.

“E . . E . . E . . . , Abimanyu, bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku

menjadi penganten bila aku kali ini membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil

alih. Rama Prabu pasti gembira tiada terkira, kalau aku berhasil memotong

lehermu”.

Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak sedang bermain main, ia

maju semakin mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya yang sedikit

membiarkannya, memandang enteng kejadian didepan matanya.

Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat

ide, tidak dapat membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota terbunuh,

maka akan hancur juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah

Sarjakusuma yang ingin segera menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang

tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, dengan tenaga terakhir , sang prajurit

muda masih mampu menusukkan Kyai Pulanggeni ke dada tembus ke jantung

putra mahkota Astina, tak ayal lagi tewaslah Lesmana Mandrakumara,

Page 68: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

68 PANDAWA KURAWA

berbarengan dengan senyum terakhir mengembang dibibir prajurit muda gagah

berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi janjinya.

Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan

beda karakter bumi dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum

lama beranjak dari kulminasi. Kedua pihak bagai dikomando segera

menyingkirkan pahlawan mereka masing masing.

Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban

menyusul ke peperangan, telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan

gugurnya sang suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi

bersamanya , sebab dalam kandungan tuanya terkadang terasa ada pemberontakan

didalam, seakan sang jabang bayi sudah tak sabar hendak mengikut kedalam

perang besar keluarga besarnya. Kemauan besar Retna Utari untuk ikut serta

kemedan perang, terhalang oleh madu dan anaknya yang masih ada di dalam gua

garba. Bahkan sang ibu mertua, Wara Subadra juga melarang Utari untuk pergi.

Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur,

jantung wanita muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ketengah

palagan tanpa menghiraukan bahaya yang mengintip diantara tajamnya kilap

bilah-bilah pedang dan runcingnya ujung tombak. Sesampai di hadapan jenasah

suaminya yang tetancap ratusan anak panah. Tidak terbayang sebelumnya akan

keadaannya yang begitu mengenaskan, Siti Sundari lemas dan kemudian tak

sadarkan diri. Suasana kesedihan bertambah mencekam dengan pingsannya sang

istri prajurit muda itu.

Page 69: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

69 PANDAWA KURAWA

Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti berarak. Burung burung

didahan tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap madu. Jangankan

sulur gadung dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga perdu,

seperti bunga melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi

kusuma negara yang gugur, di lepas siang .

Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar

apa yang terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang

terselip dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang

prajurit muda, Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya

meniti tangga tangga kesucian abadi menuju swargaloka. Raga sepasang suami

istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka telah kembali ke pangkuan ibu

pertiwi.

Memang demikian, ketika itu, Pandu, ayah Werkudara adalah penghuni

Kawah Candradimuka, sebelum Werkudara sebagai anaknya mampu

mengentaskan ayahnya dari penderitaan atas kesanggupannya menghuni kawah

itu, ketika atas tangis istri mudanya, Dewi Madrim, yang ingin beranjangsana

menaiki lembu Andini, tunggangan Batara Guru.

“Tidak bertindak ksatria, bila dengan cara begini perangmu. Dunia akan

mengenangmu sebagai raja dengan cara perang yang paling pengecut!” Arjuna

menyahut dengan gerakan hati hati, karena bila ia bergerak, maka sedotan lumpur

makin menyeretnya tenggelam.

Page 70: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

70 PANDAWA KURAWA

Dilain pihak, Werkudara adalah satria yang telah tertempa lahir dan

batinnya. Perjuangan menempuh kesulian dalam alur hidupnya telah

menjadikannya kokoh luar dalam. Maka ketika sedang terjepit seperti ini tak lah

ia patah semangat. Ajian Blabag Pengantol-antol dikerahkan untuk mendorongnya

keluar dari seretan lumpur. Tidak percuma, ketika berhasil melompat keluar dari

pasir berlumpur maka Gardapati yang lengah segera digebuk dengan Gada

Rujakpolo, pecah kepalanya seketika tewaslah salah satu andalan perang pihak

Kurawa.

Pada saat yang sama Arjuna sudah dapat merayu Wersaya agar mendekat.

Namun setelah pancingannya mengena, ditariknya tangan Wersanya. Dengan

meminjam tenaga lawan keluarlah Arjuna dari kubangan lumpur. Pertarungan

sengit kembali terjadi, namun seperti semula, kesaktian Arjuna jauh diatas

Wersaya. Dengan tidak membuang waktu, diselesaikan pertempuran itu dengan

tewasnya Wersaya diujung keris Kyai Kalanadah.

Kedua satria yang telah kembali dari pertempuran yang jauh dari

induknya, dan mendapati perang telah usai. Namun mereka pulang dengan

menemukan suasana duka mendalam yang terjadi di pesanggrahan

Randuwatangan.

Melihat kenyataan didepan mata, Arjuna yang sangat menyesal telah

meninggalkan peperangan terjatuh pingsan. Kehilangan anak kesayangannya

membuatnya sangat terpukul. Demikian juga sang istri Wara Subadra tak henti

hentinya menangisi kepergian putra tunggalnya yang masih belia.

Page 71: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

71 PANDAWA KURAWA

Tak ketinggalan Retna Utari yang tak diperbolehkan bela pati oleh Prabu

Kresna, duduk dihadapan jasad kedua orang yang sangat dicintai dengan lelehan

air mata bagai hendak terkuras dari kedua matanya.

Sore itu juga, api pancaka segera dinyalakan untuk membakar kedua raga

suami istri belia itu. Suasana petang sebelum matahari tenggelam, seolah

mendadak seperti dipercepat waktunya oleh mendung yang menutup suasana sore

seperti mendung yang menggelayut pada semua yang hadir dalam upacara itu.

Begitu hening suasana balairung di Pasanggrahan Bulupitu siang

menjelang sore itu karena perang berhenti lebih cepat dari biasanya. Bahkan

keheningan itu menjadikannya helaan nafas berat Prabu Duryudana terdengar satu

satu. Kadang ia berdiri berjalan mondar mandir, kemudian duduk kembali.

Sebentar sebentar ia mengelus dada dan bergumam dengan suara tidak jelas.

Suasana itu juga berimbas pada keadaan di sekelilingnya. Namun orang

orang disekelilingnya sangatlah paham apa yang bergejolak dalam benak Prabu

Duryudana. Mereka mengerti betapa berat keadaan yang membebani jiwa raja

mereka. Putra lelaki satu satunya sebagai penerus generasi trah Kurawa telah

gugur, maka tiada satupun yang berani membuka mulutnya.

Bahkan Prabu Salya pun. Ia juga tersangkut dalam peristiwa tewasnya

Lesmana Mandrakumara, karena Lesmana adalah cucunya juga.

Lama pikiran Prabu Duryudana mengembara kemana mana dengan

kenangan terhadap pangeran pati yang dicintainya. Akibatnya ia merasa raganya

menjadi bagai lumpuh.

Page 72: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

72 PANDAWA KURAWA

Setengah hari telah berlalu, pada akhirnya bagai bergumam, ia memanggil

nama pamannya.

“Paman Harya Sangkuni!”

Yang dipanggil setengah kaget, ia merasa bersalah dengan kejadian yang

telah berlangsung. Dalam pikirnya, hukuman apakah yang hendak dijatuhkan

terhadap dirinya atas keteledoran membiarkan sang pangeran memasuki palagan

peperangan. Namun ditegarkan hatinya ia menjawab.

“Daulat sinuwun memanggil hamba “

“Ini siang atau malam?”

Pertanyaan Duryudana melegakan. Kelegaan yang menyesak dada

Sangkuni terasa terurai. Dengan suara lembut malah ia balik bertanya.

“Mengapa begitu paduka anak angger membuka sidang ini dengan

mempertanyakan waktu, ini siang atau malam, “

Bagai terbuka saluran beban yang memberati hatinya, Prabu Duryudana

mengeluarkan isi pikirannya.

“Siapa orangnya yang kuat menjalani, kejadian yang menimpa para

Kurawa, Duryudana dan para saudaranya. Seberat-beratnya beban yang disandang

manusia adalah, bila sudah menjadi lawan para dewata. Tetapi saya lebih percaya

bila bukan itu yang sedang terjadi, yang salah bukan para dewa.”

Page 73: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

73 PANDAWA KURAWA

“Yang saya percaya adalah, bahwa ada salah satu Pandawa yang

menyelonong untuk meminta kepada dewa, bila terjadi perang, maka maksudnya

adalah supaya membuat gelap jagad saya, seperti yang disandang sekarang ini”.

Setelah menarik nafas panjang ia melanjutkan.

“Anak lelaki yang hanya satu, satria Sarujabinangun, Lesmana

Mandrakumara yang siang malam aku mengharap, saya rancang, setelah selesai

Baratayuda Jayabinangun akan saya lungsuri keprabon, supaya “nyakrawati

mbahudenda” di dunia, di negara Astina. Tidak terduga apa yang akan terjadi

sebelumnya, cucu andika, gugur dalam peperangan”.

“Gugurnya Lesmana tidak urung membuat lumpuh bahu saya kanan dan

kiri”.

Sejenak sang Prabu kembali terdiam. Banyak kata yang hendak ia

sampaikan berjejalan untuk segera dilepaskan dari sesak didadanya.

“Kata para pintar dan piwulang para brahmana, sabda para muni, manusia

diberi wenang mepunyai cita cita apa saja. Walau lakunya lewat banyak jalan, ada

yang berusaha melewati cara dengan kerasnya bekerja, ada pula yang meraihnya

dengan cara laku tapa. Diumpamakan mereka tidak takut berjalan dalam

lelayaran luasnya samudra atau bertapa didalam gua gelap, tapi kemuliaan yang

hanya untuk kepentingan pribadi itu tidaklah berlaku apa apa dalam hidup.

Buatku, yang membuat laku kerja keras, itu adalah laku untuk mejadikan mukti

keturunanku, supaya besok aku dapat memperpanjang jaya keterunanku, dengan

cara menang dalam perang Baratayuda”.

Page 74: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

74 PANDAWA KURAWA

Bicara Prabu Duryudana yang tadinya bagai bergumam, tiba tiba menjadi

ketus.

“Tetapi semuanya menjadi terbalik, semuanya menjadi terbalik!

“Yang terjadi adalah, para orang tua hanya yang ikut mengayom dalam

kemuliaanku diam saja. Bertopang dagu, duduk ngedangkrang tidak ikut dalam

repotnya penandang ! Padahal pada kenyataannya para orang tua itu tidak hanya

ngayom kepada kemuliaan negara. Padahal semestinya mereka bergerak tanpa

memperoleh perintah, tanpa harus diberi aba aba dan keluh kesah saya. Semestnya

mereka mengerti bahwa mereka mempunyai pekerjaan luhur, Yaitu menjalankan

perang dalam Baratayuda. Tetapi semuanya tidak ada nyatanya, semua

hanya berhenti dalam kata kata. Cuma berhenti dalam rembug, yang dirembug

siang malam hanya rembug yang tak ada kenyataannya. Padahal rembug kalau

tidak dilakukan tidaklah ada nyatanya !”

“Apakah harus saya sendiri yang melangkah kedalam peperangan

menyerang para Pandawa”.

Terdiam kembali Prabu Duryudana setelah segenap sesak di dadanya

dialirkan dihadapan semua parampara dan para prajurit yang hadir. Satu persatu

yang sedang hadir dalam sidang dipandanginya. Namun semua wajah menunduk

diam. Mereka terlihat memberi kesempatan kepada rajanya untuk mengeluarkan

segala unek unek yang terpendam didadanya.

Page 75: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

75 PANDAWA KURAWA

Barata

KEMARAHAN SANG ADIPATI

Namun tidak dengan Resi Krepa, kelihat keheningan yang kembali

melingkup sidang, ia membuka mulutnya.

“Seribu maaf, anak prabu. Saya dari Timpurusa ipar Pandita Durna .Saya

yang sanggup menjadi kekeset paduka, saya yang bernama Krepa”.

Krepa memperkenalkan kembali keberadaannya dalam sidang. Setelah

diawasinya semua yang menghadap di Bulupitu, ia melanjutkan.

“Awalnya saya pergi dari Timpurusa karena tertarik dan ada hubungannya

dengan persaudaraan ku dengan Pendita Durna. Karena kakak saya adalah wanita

bernama Kerpi. Karena kecintaanya kepada kakak ipar hamba Kumbayana.

Kkarena paduka menjadikannya sebagai penasihat Kurawa, saya juga tidak akan

ketinggalan. Walaupun tidak disuruh, hamba mengabdi datang ke Astina karena

terdorong oleh gregetnya hati, dalam pengharapan hamba, agar hamba tidaklah

Page 76: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

76 PANDAWA KURAWA

terpisah dari saudara ipar hamba, kakang Kumbayana. Tetapi apa yang

terjadi, ada kalanya bergeser dari rancangan semula. Semula hamba datang

tujuannya adalah ikut menikmati kemuliaan. Ikut memperlindungi raga saya yang

tak lagi muda, tetapi saya menemukan keadaan Astina telah menjadi glagah alang

alang, karena tersaput oleh api perangan. Sebab dari telah terjadinya perang

Baratayda Jaya Binangun”.

Setelah sejenak menelan ludah membasahi kerongkongannya, kembali

Krepa dengan percaya diri meninggi, melanjutkan jual dirinya.

“Mesti saja, tidak besar atau kecil, tua atau muda, saya terkodrat jadi

lelaki. Sekali lelaki tetaplah lelaki, dan saya sebagai lelaki pastilah berbekal

keberanian. Dan bila sinuwun hendak menanyakan berani dalam hal apa, silakan

sinuwun menanyakan”.

Krepa memancing.

“Berani dalam hal apa paman. Akan aku dengarkan”.

Penasaran, Prabu Duryudana menyahut.

“Bicaralah Krepa,akan saya dengarkan tidak hanya akan aku dengarkan

dengan telinga, tapi aku juga akan mendengarkan dengan rasa”.

Mendapat angin, Krepa makin percaya diri.

“Sukurlah, apakah sebabnya bila saya berbekal keberanian. Berapa lama

manusia hidup dalam dunia, lumrahnya hidup didunia ini hanya diumpamakan

cuma mampir minum. Ada kalanya orang harus memilih, hamba juga bisa

memilih negara yang lain. Hamba juga dapat memilih raja yang lain. Terapi

Page 77: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

77 PANDAWA KURAWA

memang dari awal hamba sudah memilihnya, walaupun menjadi gagang

keringpun akan aku lakukan”.

“Tidak ada satupun orang yang mempunyai cita cita mengabdi dengan

sepenuh hati tak akan memperoleh nama harum, namun para orang yang

sebaliknya, mengabdi dengan setengah hati, itu adalah terserah mereka sendiri”.

“Dan pengabdian saya akan saya berikan dalam bentuk pengorbanan jiwa

raga dari atas pucuk rambut hinggga ke bawah keujung kaki”.

“Tetapi saat ini belum ada sarana yang bisa hamba pakai untuk

membuktikan, sebab perang Baratayuda ini sudah ditata oleh sang senapati. Yaitu

orang yang telah didapuk menjadi pengatur perang”.

Merasa dikenai hatinya atas segala ucapannya diawal pembicaraan, Prabu

Duryudana memotong.

“Kalau begitu, kalau yang aku bilang tadi, mencaci orang lain, terapnya

kurang tepat?!”.

Makin berani Krepa dengan kepala yang makin besar.

“Baiklah, silakan untuk dirasakan sendiri. Sekarang bila menggunakan

hitung hitungan waktu, kalau saya dianggap kurang berkemauan, saya dimarahi

karena saya hanya ikut merasakan kemukten saja. Apakah hal itu sudah benar?

Karena saya mengabdi ke Astina belumlah selama yang lain!”.

“Dan bila saya mengatakan berdasarkan keheranan, disini ada yang lebih

lama dan yang juga mempunyai babat, bibit, bobot dan bebetnya”.

“Maksud paman Krepa?”

Page 78: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

78 PANDAWA KURAWA

Duryudana meminta keterangan lebih lanjut karena dengan jumawa Krepa

memandangnya dengan sedikit memancing.

Kerpa menggeser duduknya yang mulai dirasa kurang nyaman, lanjutnya,

“Bibit disini ada yang tadinya hanya sekedar anak kusir, terus babatnya hanya ikut

orang tuanya, bebetnya, keadaannya hanyalah orang biasa , sekarang bobotnya

mempunyai jabatan tinggi karena dalam jabatannya ia adalah telah diberi gelar

senapati perang dan seharusnya ikut campur tangan dalam menata negara. Tidak

kurang kurang paduka telah memberkatinaya setinggi langit, dan meluberinya

segala kemewahan termasuk memberikannya kadipaten yang tidak aku sebut

namanya”.

“Sekarang ia telah dihormati, dan punya nama harum. Namun bukan oleh

karena kepribadiannya, tetapi karena diperolehnya dari pengayoman dari paduka

sinuwun. Lagi pula dia sebenarnya bukanlah manusia yang biasa saja. Sebenarnya

dialah seseorang turun dewa yang memberi kecerahan siang”.

“Tetapi kesulitan yang paduka sandang hingga membawa korban cucu

hamba Lesmana Mandrakumara, tetap menjadikannya orang tersebut hanya

berdiam diri. Tidaklah ia memberikan pemecahan masalah yang membuat beban

yang paduka sandang menjadi ringan. Orang itu hanya membutakan mata,

menulikan terlinga. Bila aku umpamakan, orang itu, bila berdiri, berdirinya adalah

condong. Condongnya dalam berdiri bukanlah memberikan cagak kekuatan

kepada teman, tetapi condongnya adalah mengayomi lawan”.

“Yang ditunjang oleh orang itu adalah musuh, yang pada kenyataanya

adalah masih saudara tunggal wadah. Dengan demikian, paduka hendaknya sekali

Page 79: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

79 PANDAWA KURAWA

sekali mendindak orang yang bersalah. Sekali sekali hendaknya sinuwun

menindak orang yang membuat kekuatan Kurawa menjadi ringkih!”.

Sebenarnya apa yang dimaui Krepa sudah dirasakan oleh Adipati Karna.

Ia tidak syak lagi, bahwa Krepa menyindirnya. Namun demikian ia tahu siapa

Krepa. Dibiarkannya ia mengoceh dihadapan adik iparnya.

Dilain pihak, ipar Krepa, Begawan Durna Kumbayana, menjadi khawatir

dengan kata kata nyinyir Krepa. Akhirnya Durna berusaha mendinginkan suasana.

“Sinuwun, perkenankan hamba memadamkan api yang belum terlanjur

berkobar.

“Mengapa diumpamakan begitu?”

Duryudana yang sebenarnya sudah paham akan keadaan yang terjadi

mempertanyakan.

“Hamba mengerti, yang dimaui Krepa itu adalah orang yang hari ini juga

ikut duduk bersama sinuwun”. Kemudian sambung Durna memohon.

“Bila saya diperkenankan hamba akan wawancara dengan adik ipar saya

resi Krepa”.

“Terserahlah Paman Pendita, bila hasilnya adalah untuk memperkuat

persatuan Kurawa silakan Paman”. Pesan Prabu Duryudana.

“Krepa!! Kamu itu pintar tetapi jangan keterlaluan. Pintar boleh tapi

jangan hendaknya untuk meminteri. Kamu memang sudah terkenal doyan bicara,

tetapi kata katamu hendaknya membuat dingin suasana. Berkatalah dengan lambar

air kesabaran”.

Page 80: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

80 PANDAWA KURAWA

Berkata Pendita Durna dengan mata tajam memandangi adik iparnya.

Yang dipandang hanya diam menunduk membuat Pendita Durna melanjutkan.

“Kalau api yang kau sulut itu akhirnya akan mengobarkan ketentraman.

Kalau yang terbakar hanya sebagian saja tidak mengapa. Lha kalau yang berkobar

adalah seluruh keluarga besar, merambat kepada para pembesar, tidak urung akan

merambat kepada semua rakyat!”

“Ketahuilah Krepa, bertindak selangkah, berbicara satu kalimat saja, selalu

menjadi perhatian para rakyat kecil, baik buruknya rakyat kecil adalah bagaimana

para pejabat berlaku.

Para pejabat seharusnya merasa dijadikan panutan oleh rakyat kecil.

Semua harus bisa menjadi contoh!”

“Pejabat yang kau sebut tadi diam bukannya tidak merasa. Ketahuilah

Krapa! Kamu datang ke negara Astina bukanlah siapa siapa yang membawa.

Tetapi aku yang membawa. Datang ke Astina kamu diberi jabatan sebagai

penasihat. Disini aku mengingatkan kepadamu, kata katamu tadi hendaknya kamu

cabut. Sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi!

Karena itu jangan biasakan memanaskan suasana, karena disini

suasananya sudah terlanjur menjadi makin panas !”.

“Sumbanglah para Kurawa dengan ide ide yang bermanfaat agar semua

menjadi tenteram sehingga perang dimenangkan oleh Para Kurawa. Itu mauku !!”\

Panjang lebar Durna memberikan nasehat kepada adik iparnya yang

dikenal berhati batu itu.

Page 81: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

81 PANDAWA KURAWA

“Benar apa yang dikatakan paman Pendita Durna. Ibarat orang yang

melangkah di samudra pasir, melangkah dipadang pasir. Ia tidak berharap

menemukan emas sebakul, namun yang diharap adalah setetes air pengobat

dahaga.”

Prabu Duryudana menyahut mengamini.

Namun kaget semua yang hadir, ketika Krepa menjawab dengan perasaan

tinggi hati.

“Hamba minta maaf sebesar besarnya sinuwun, tetapi, bila kata kata yang

telah aku sampaikan aku cabut kembali maka betapa malunya aku”.

“Bila diumpamakan kata kata hamba tadi adalah seperti halnya hamba

melepaskan anak panah, siapakah yang merasa perih ialah yang terkena anak

panah tadi”.

Adipati Karna yang dari tadi terdiam menahan sabar, sudah mencapai

batas ledakan didadanya. Segera ia melangkah kehadapan sang Prabu Duryudana.

“Mohon maaf yayi prabu Duryudana”.

Merasa apa yang hendak terjadi adalah kobaran api amarah, maka prabu

Duryudana malah berkata dengan nada memelas.

“Kakang Prabu kami minta pengayoman”

“Apa dasarnya”.Jawab Karna.

“Pengayoman itu adalah hendaknya kakang prabu berlaku sabar”.

Kembali Duryudana berusaha meredam kemarahan kakak iparnya.

“Saya tidak ingin menanggapi suara sumbang, yang suara itu bermaksud

memecah barang yang utuh. Suara itu kami anggap angin liwat, tetapi bila

Page 82: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

82 PANDAWA KURAWA

kemarahan yang terpendam ini tidak tersalurkan dalam ledakan didada, maka

tindakan yang aku lakukan mejadi ngawur. Tidak aku salahkan bila sementara

orang yang tega memotong leher orang bila sudah terjadi hal yang seperti ini”.

Disambarnya tangan Krepa. Diseretnya ia keluar dari arena pertemuan.

Kaget setengah mati Krepa diperlakukan seperti itu. Namun tak ada lagi

kesempatan membela diri, dihajarnya Krepa hingga babak belur.

Tak hanya itu, segera dicabutnya keris pusaka Kaladete dari warangka,

tanpa ragu dipotong leher Krepa. Tewas seketika.

Geger para Kurawa melihat kejadian yang berlangsung tiba tiba itu.

Semua tidak menyangka kejadian yang sangat cepat akan membawa

korban.Aswatama adalah seorang yang semasa kecil ditinggal ayahnya, Pandita

Durna Kumbayana. Dan selalu dalam asuhan Ibu tirinya Dewi Kerpi dan sang

paman Arya Krepa. Melihat apa yang terjadi terhadap pamannya, dengan segera ia

melompat mendekati Adipati Karna yang berdiri puas menyaksikan

menggelundungnya kepala orang pandir yang nyinyir menyindir dirinya.

Aswatamam memandang apa yang terjadi didepan matanya merasa bagai

dipukul dadanya dengan palu godam, marahnya hingga mencapai ubun ubun.

Merah menyala dadanya. Matanya menyala nyalang, gemeratak giginya dengan

sudut bibir yang bergetar. Seluruh badannya bergetar memerah bagai warna bunga

wora wari.

“Karna bila kamu memang lelaki jantan ini Aswatama yang akan sanggup

berhadapan dengan saling adu dada. Tidak sepantasnya kamu membunuh paman

Page 83: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

83 PANDAWA KURAWA

Krepa dengan tidak memberi kesempatan membela diri”. Berdiri Aswatama

dengan berkacak pinggang, mata melotot dan memelintir kumisnya.

Tersenyum sinis Karna mendengar tantangan Aswatama.

“Heh Aswatama! Kamu anak Kumbayana kan? Anak dari guru para

Pandawa dan Kurawa sekaligus. Kalau memang kamu sebagai orang sakti

keturunan bidadari selingkuh macam Wilutama. Majulah kesini akan aku susulkan

kamu kepada pamanmu yang kurang ajar itu!”

Pertarungan tanpa diberi aba dimulai. Saling serang kedua orang yang

dibakar kemarahan hanya berlangsung sekejap. Para petinggi di balairung yang

menyusul keluar Adipati Karna telah sampai dipinggir arena.

Prabu Duryudana memegangi Adipati Karna sedangkan Pandita Durna

memegangi anaknya. Aswatama.

“Anakku Aswatama ayolah segera meminta maaf kepada sinuwun Prabu

Duryudana. Kamu telah membuat malu bapakmu!”

Menurut apa yang dikatakan bapaknya, segera Aswatama menghaturkan

sembah.

“Sinuwun apapun yang hendak paduka lakukan terhadap hamba, tak akan

hamba menolaknya”.

“Mulai hari ini aku perintahkan kepadamu Aswatama, segera menjauh dari

pandangan mataku. Aku muak melihat tampangmu. Jangan sekali sekali

mendekat, bila tidak aku panggil!”

Lemas Aswatama mendengar perkataan junjungannnya. Dengan gontai

dan wajah menunduk dilangkahkan kakinya menjauh dari pandangan mata

Page 84: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

84 PANDAWA KURAWA

bapaknya yang berkaca kaca, melihat anak kesanyangannya pergi dengan hati

remuk.

Aswatama telah kehilangan paman kesayangannya yang mengasuhnya

dengan rasa sayang bagai seorang ayah kandung, dan kehilangan kepercayaan

sebagai seorang prajurit negara.

Barata

KEGELISAHAN DURYUDANA

Ketika itu di Pesanggrahan Bulupitu, segala kebijakan gelar perang tetap

ada di tangan senapati Pandita Durna. Tekad sang Senapati kali ini adalah hendak

mengembalikan nama baik yang tercoreng tebal, setelah kecolongan dengan

tewasnya putra Pangeran Pati Astina Raden Lesmana Mandrakumara. Kematian

Pangeran Pati yang berbuntut panjang dengan kericuhan di pasanggrahan

Bulupitu hingga menewaskan iparnya Krepa dan diusirnya anak semata

wayangnya Aswatama, mengharuskan kali ini nama baiknya akan pulih, dengan

memenangkan peperangan kali ini.

Maka ditunjuknya pendamping sakti dari negara sebrang.

Page 85: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

85 PANDAWA KURAWA

“Baik, sekarang aku minta anakmas Setyarata dan Setyawarman menjadi

pendamping senapati”.

Pandita Durna menujuk kedua orang yang disebut itu dengan jempolnya.

Yang ditunjuk sejenak kaget namun kemudian menjadi berseri seri. Kehormatan

sebagai pendamping senapati Durna adalah hal yang merupakan kehormatan tiada

tara bagi mereka.

“Sedangkan anakmas Kertipeya akan saya beri tugas khusus untuk

menghadang Werkudara agar tidak mudah menumpahkan dendamnya kepada

Jayadrata”. Kertipeya mengiyakan dengan perasaan bangga dan keyakinan diri

tinggi.

“Dan untuk perkara membekuk Arjuna, menurut telik sandi saat ini Arjuna

sedang dalam keadaan tertekan jiwanya dan tidak memperdulikan peperangan,

karena kematian anak kesayangannya. Nah dengan keadaan yang dialami Arjuna,

akan aku jalankan cara khusus untuk menawan Arjuna, yaitu dengan perangkap

asmara.” Pendita Durna adalah ahli strategi, maka diuraikan kepada kedua

pendamping senapati, mengenai strategi yang hendak dirancangnya itu.

“Kalau Arjuna masuk dalam perangkap asmara, maka tak akan lama ia

bakal tertawan dan tinggal dengan gampang membunuhnya”. Kembali Pendita

Durna berhenti bicara. Kemudian mendekat kearah Prabu Bogadenta. “Bukankan

anakmas Bogadenta datang bersama dengan Saudara perguruanmu yang cantik

itu? Anak angger Bogadenta dan saudara seperguruanmu akan aku pasrahi untuk

menawan Arjuna”.

Page 86: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

86 PANDAWA KURAWA

Bogadenta belum sepenuhnya mengerti akan rancana Pandita Durna

“Bagaimana maksud paman Pendita? Apakah aku harus mencari keberadaan

Arjuna, dan aku harus bersama Murdaningsih dan gajah tunggangan saudara

seperguruanku Murdaningkung, ?

“Benar anakmas, nanti bila Arjuna sudah diketemukan, saudara

seperguruanmu harus merayu Arjuna agar lengah, kemudian bunuhlah dengan

belalai tunggangan gajah Murdaningkung !”. Durna memutus.

Memang benarlah demikian. Prabu Bogadenta yang datang dari

kerajaannya, Turilaya, ke Astina, disertai dengan saudara perguruannya seorang

wanita cantik, liar dan sakti bernama Murdanigsih yang memiliki hewan Gajah

putih bernama Murdaningkung.

Pertemuan itu terjadi ketika mereka berguru bersama sama menuntut ilmu

kanuragan. Bahkan setelah penuh ilmu, mereka dihadiahi suatu ajian, yang

membuat mereka akan hidup kembali ketika salah satunya terbunuh, bila salah

satunya menetesi air mata kesedihan terhadap kawan seperguruannya.

“Kemudian aku utus anakmas Kertipeya menghadapi Werkudara, secara

fisik aku kira tak beda jauh kekuatannya dibanding Werkudara, bila Werkudara

sudah dilumpuhkan, maka menawan Puntadewa adalah hal yang sangat mudah !”.

Secara fisik Prabu, Kertipeya memang gagah perkasa tinggi besar

sehingga layak ditandingkan dengan Werkudara.

Page 87: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

87 PANDAWA KURAWA

“Nah sekarang anak angger Bogadenta kami persilakan untuk berangkat

ke sisi hutan Minangsraya, perbatasan Kurusetra, kebiasaan Arjuna diwaktu

sedang sedih, biasanya dia akan pergi ke tempat sepi untuk menyegarkan kembali

kelelahan jiwanya”.

Selesai segala petunjuk sang senapati, sambil menghaturkan sembah,

mundurlah Bogadenta untuk memenuhi tugas meringkus Arjuna.

Sepeninggal Raja Turilaya, Pandita Durna segera memulai pasang strategi

kesukaannya yang dianggap ampuh untuk memenangkan peperangan hari ini.

Dalam pikirannya hanya muridnya, Arjuna yang dapat memecah gelar

Cakrabyuha, kecuali Abimanyu yang telah tewas di hari kemarin.

“Untuk yang akan melakukan tugas di peperangan Kurusetra, gelar yang

hendak aku rakit adalah Cakrabyuha. Walau gelar ini telah dapat diobrak abrik

oleh Abimanyu waktu itu, namun akan aku bangun kembali, dengan kepercayaan,

tak akan lagi gelar dapat dihancurkan tanpa adanya Arjuna yang tengah pergi

entah kemana, karena setengah gila memikirkan tewasnya anak kesayangannya

itu”.

Dilain pihak, Pesanggrahan Randugumbala, Gelar Perang Garuda

Nglayang dari pihak Pandawa diterapkan kembali, setelah mengubahnya kemarin

hari dengan Supiturang. Dengan sayap kanan ditempati Raden Werkudara, dan

disebelah kiri, karena ketiadaan Arjuna, adalah Arya Setyaki sebagai pengganti.

Paruh garuda ditempati Sang Senapati Raden Drestajumna sedangkan pada ekor

ditempati oleh Wara Srikandi.

Page 88: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

88 PANDAWA KURAWA

Berangkatlah kedua wadyabala kedua belah pihak, dengan suara gemuruh

menuju medan peperangan dihari itu.

Segera setelah barisan lawan masing masing terlihat, pecahlah perang

campuh kembali. Bagaikan kilat kelebat batang gada sang Setyaki mengamuk

dengan Wesi Kuning ditangannya. Banyak prajurit kecil terpukul gada pecah

brantakan tulang belulangnya, bahkan yang menunggang kuda terguling beserta

kuda kuda tunggangannya. Porak poranda tertebas gada satu sisi gelar

Cakrabyuha.

Dihadapannya menghadang Raden Durcala salah satu saudara Prabu

Duryudana. Sama sama bersenjata gada, ia tak tahan melihat banyaknya korban

yang jatuh pada salah satu juring ruji barisan.

Heh Setyaki ! Jangan hanya berani melawan prajurit kecil. Datanglah

kemari hadapi Durcala kalau kamu sebagai seorang prajurit sejati !”.

Segera setelah keduanya berhadapan, saling pukul dan gada serta hindaran

pukulan berlangsung sengit. Durcala tak lama kemudian keteteran menahan

serangan lawannya. Menyesal ia berhadapan dengan lawan ini. Ia salah

memperkirakan kehebatan lawannya. Namun sudah kepalang basah, dengan

sekuat tenaga ia menahan serangan lawan yang bertubi tubi datangnya bagaikan

banjir bandang. Lama kelamaan susutnya tenaga mengharuskan ia bersembunyi

disela sela rapatnya prajurit lain yang sedang beradu tenaga dengan lawannya

masing masing.

Page 89: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

89 PANDAWA KURAWA

Setyaki yang panas, tak hendak melepaskan lawannya yang sudah diujung

kekuatannya. Maka ketika melihat lawannya terjebak dalam sudut yang tak lagi

memungkinkan ia menghindar, karena dibelakangnya terdapat reruntuhan kereta

perang, maka sabetan gada Wesi Kuning mengakhiri perlawanan Durcala.

Citrabahu yang melihat saudaranya terpupuh gada, marah bukan kepalang.

Segera pertempuran antara Setyaki dengan Citrabahu memperpanjang amukan

Setyaki. Tenaga Setyaki yang bertubuh kecil padat, sejatinya ia bertenaga raksasa.

Citrabahu yang bertempur dalam keadaan marah dan kehilangan akal seakan akan

menjadi bulan bulanannya. Tanpa perlawanan berarti, dihentikan gerak limbung

Citrabahu dengan sekali pukul dikepalanya. Pecahnya kepala Citrabahu tanpa

sempat ia berteriak.

Raden Upamandaka dan Citrawarman bersepakat maju bersama untuk

menghentikan korban yang semakin besar. Dikerubutnya Arya Setyaki dari dua

arah dengan cecaran secara bergelombang. Namun Setyaki bukan prajurit lemah,

walau serangan keduanya bagai siraman air bah, tetapi tetap dapat ditahannya,

bahkan dengan garangnya ia menyerang keduanya bergantian, hingga membuat

kedua lawannya kerepotan menyerang dan berkelit berganti ganti. Sama dengan

lawan sebelumnya, kewaspadaan Upamandaka yang terkesima dengan

kegarangan Setyaki, menurun. Terlena sekejap dibayar dengan mahal.

Penggungnya tersenggol gada Setyaki yang menyebabkan ia kehilangan

keseimbangan. Tak menyia-nyiakan kesempatan yang terpampang didepan

matanya, sekali lagi dikenainya pinggang Upamandaka dengan kekuatan penuh,

terkapar Upamandaka tak bisa bangun selama lamanya.

Page 90: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

90 PANDAWA KURAWA

Melihat saudaranya terkapar tak bangun lagi Citrawarman gemetaran.

Sukmanya bagai ikut tercabut bersama lepas sukma Upamandaka. Tak ayal lagi

gerakannya menjadi kacau balau. Tak ada lagi harapan untuk menang, ia

melarikan diri. Namun kejaran Setyaki yang dilambari tenaga raksasanya berhasil

menghentikan langkah Citrawarman dengan menebas kakinya. Teriakan ngeri

menghambur dari mulut Citrawarman yang kemudian terhenti, ketika sekali lagi

gada Wesi Kuning menerpa kepalanya.

Tak ada lagi Kurawa berani mendekati amukan Setyaki membuat bubar

mawut, satu sisi ruji Cakrabyuha. Dibagian lain Wara Srikandi juga mengamuk

dengan luncuran anak panahnya. Salah satu musuh yang memperhatikan

datangnya anak panah mendekatinya dengan tujuan menghentikan hujan panah

yang membawa banyak korban. Ia adalah Wiringsakti.

Dengan mengendap endap ia berhasil mendekati kearah Wara Srikandi,

tanpa ragu dihadapinya untuk mengadu kesaktian

“Siapa kamu yang berani mengganggu kerjaku ?!” Srikandi yang merasa

terusik, menghentikan lepasan anak panahnya.

“Inikah Srikandi, yang telah berhasil membunuh Eyang Bisma ?!” Yang

ditanya tidak segera menjawab pertanyaan Srikandi, malah ia kembali balik

bertanya.

“Sekali lagi siapa namamu sebelum kamu mati tanpa membawa nama ?.

Dari ciri cirinya pastilah kamu salah satu saudara Kurawa !” Tak sabar, tanpa

mempedulikan pertanyaan balik si pengganggu, Srikandi menghardik.

Page 91: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

91 PANDAWA KURAWA

“Akulah Wiringsakti ! Salah seorang Kurawa yang hendak membalaskan

kematian Eyang Bisma !” Jumawa Wiringsakti akhirnya menjawab. Senang

hatinya ketika ia berhadapan langsung dengan Srikandi, karena dalam hatinya

mengatakan, inilah kesempatan memperlihatkan jasanya terhadap kakak

sulungnya, Prabu Kurupati-Duryudana, bila berhasil nanti.

“Jangan banyak cakap, majulah akan aku antarkan kau kehadapan Eyang

Bisma !”

Semula Wiringsakti menganggap enteng prajurit wanita ini. Ia hendak

meringkusnya dengan tangan kosong. Harapannya ia akan menangkap hidup

hidup sebagati sandera. Karena lama kelamaan Wiringsakti terdesak, senjata

pedang sudah ada dalam genggamannya. Tetap saja, ia tak juga berhasil mengenai

tubuh lawannya dengan senjatanya, mulailah ia geregetan. Dengan gerakan yang

mulai makin kasar, tak ragu lagi ia hendak meringkus lawannya dengan secepat

cepatnya. Namun yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Ketika ada jarak

terbuka diantara mereka, dengan cepat Wara Srikandi memasangkan anak panah

pada busurnya. Kelincahan gerak pemanah wanita ini tidak diragukan lagi,

lepasnya anak panah yang meluncur dari jarak yang tak terlampau jauh, mengenai

dada Wiringsakti tembus ke jantung, menggelepar Wiringsakti, jatuh di tanah

berdebu.

Subasta, Suwarman, Habayuda dan beberapa saudaranya tak ragu lagi

untuk meringkus Wara Srikandi bersama-sama. Harapan mereka, satu tawanan

Page 92: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

92 PANDAWA KURAWA

bila dapat diringkusnya, akan sangat berharga untuk membuat semakin lemah dan

semakin hancur jiwa Arjuna, bila mengetahui istrinya ada dalam tangan Kurawa.

Namun yang diharapkan, menjadi mentah kembali. Gatutkaca yang

melihat keroyokan terjadi, segera turun dari angkasa, satu demi satu para

pengeroyok itu dipuntir lehernya, tak sanggup mereka bangun kembali selamanya.

Diceritakan, adalah amukan ditempat lain, Werkudara yang terbawa

dendam atas kematian Abimanyu mencari keberadaan Jayadrata si biang kematian

kemenakannya. Berteriak Werkudara dan prajurit Jodipati termasuk Patih Gagak

bongkol dan juga anak Antareja , Danurwenda, serta anak Gatutkaca, Sasikirana,

mengamuk sambil memanggil nama Jayadrata yang hendak dibunuhnya. Sapuan

gada Rujakpolo ditangan Wekudara-Bimasena mobat mabit kanan kiri menyasar

lawan didepannya. Korban berjatuhan banyaknya tak terhitung lagi. Dengan cara

seperti ini, jeri prajurit Kurawa lari tunggang langgang. Banyak para Kurawa yang

tewas, membuat Kertipeya segera menghadang Werkudara untuk menghindari

lebih banyak lagi prajurit yang menjadi korban.

Merasa dihalangi dalam menambah kurban ditangannya, tambah tambah

liwung amukannya. Tak pelak lagi Kertipeya menjadi sasaran amukan berikutnya.

Namun Kertipeya bukan prajurit rucah, tanding kekuatan berlangsung sengit. Silih

ungkih singa lena. Bagaimanapun akhirnya dapat ditebak. Kematangan tempur

Werkudara yang tertempa kerasnya ujian alam, telah berhasil mengungguli

Kertipeya. Terlena sekejap Kertipeya, tahu tahu gada Rujakpolo telah berada

didepan mukanya. Tak sanggup menghindar karena sudah dekat senjata lawan, ia

Page 93: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

93 PANDAWA KURAWA

hanya bisa berteriak ketika pusaka super berat itu menimpa kepalanya. Pecah

kepala Kertipeya dengan isi otak yang berceceran. Satu lagi sekutu Kurawa

menjadi korban.

Satyarata dan Setyawarman maju berbarengan. Anggapan mereka, tenaga

mereka masing masing masih masih dibawah Kertipeya. Bila digabungkan, maka

pikirnya akan melebihi kekuatan temannya, Kertipeya. Tanpa ragu mereka berdua

menghadang amukan Bimasena. Keroyokan terjadi kembali kali ini. Pusat

perhatian Bima terpecah dengan serangan dari dua arah. Bila salah satu dicecar,

yang lain mengganggunya. Jengkel Werkudara dibuatnya. Dapat akal yang lebih

mudah, diletakkan gadanya, dengan tangan kosong dicengkeramnya musuh satu

persatu, kemudian saling dibenturkan kepalanya. Kembali teriakan kedua

pecundang mengakhiri perlawanan.

Begawan Durna yang tidak heran dengan tandang muridnya itu segera

waspada. Dipanggilnya Patih Sangkuni dan Jayadrata.

“Adi Cuni, kamu melihat Werkudara mengamuk itu ?”

“Ya Wakne Gondel, para prajurit Jodipati yang dipimpinannya

meneriakkan nama Jayadrata. Menurutmu bagaimana, kakang ?” Minta penjelasan

Patih Sengkuni.

“Sekarang aku minta kamu segera temani Jayadrata. Segera serahkan

Jayadrata untuk sementara ke orang tuanya di pesanggrahan Giri Ancala. Katakan

alasannya dengan tepat kepada Resi Sempani, ayahnya agar tidak salah paham !”.

Page 94: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

94 PANDAWA KURAWA

Perintah Durna Kumbayana.

“Baik wakne Gondel, segera aku jalankan perintahmu”,

Sengkuni bersiap mengajak Jayadrata.

Tetapi Jayadrata yang diperintahkan mundur dulu oleh Durna dan

Sangkuni keberatan.

“Saya tidak takut dengan Werkudara .Kenapa saya harus diminta mundur

?!”

“Tidak ragu aku dengan kesaktianmu, tapi aku berharap hari ini saja,

anakku Jayadrata mundur dahulu “ Durna memberikan pengertian.

“Tapi ini bukan ciri Jayadrata yang menghindar dari musuh. Mati adalah

batas terakhir bisanya hamba mundur dari pertempuran, bapa” kembali Jayadrata

mengemukakan keberatannya.

“Hari ini saja, sebab banyak hal yang aku hendak lakukan untuk

menumpas Pendawa. Bila saatnya tiba, kembali anakmas Jayadrata aku

perkenankan untuk mengambil peran dalam perang besar ini ngger !”

Bujuk rayu Durna sementara berhasil mengantarkan kembali Jayadrata

kehadapan ayahnya, Sempani.

“Raden Patih Sangkuni, apakah perang sudah berakhir sehingga andika

datang ke pesanggrahan kami ini ?”

Page 95: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

95 PANDAWA KURAWA

“Maafkan kami kakang Panembahan atas gangguanku terhadap semadi

paduka kakang, yang siang malam memuji unggulnya Kurawa” Sangkuni

memulai penjelasannya.

“Perang belum berakhir, tetapi ada bahaya yang mengancam jiwa putramu

Jayadrata. Untuk itu aku sementara aku mengembalikan putramu ke

pesanggrahan ini demi keselamatannya”.

Keheranan Sempani mendengar tutur Patih Sengkuni.

“Andika meremehkan anak saya ? Dari kecil saya mengajarkan ilmu

jayakawijayan dan sikap sebagai prajurit sejati. Didalamnya terdapat salah satu

watak prajurit yang ditanamkan, menjunjung tinggi sikap dan harga diri seorang

prajurit yang tidak mengenal menyerah. Tidak ! Kami keberatan untuk menerima

anakku !”

“Dasarnya adalah begini kakang. Bila ini adalah dikatakan mundur, maka

jangan dikatakan ini mundur yang sebenarnya, ini mundur untuk maju kembali

dengan kemenangan . Ini adalah strategi. Pada saatnya nanti Jayadrata akan diberi

peran yang lebih besar dalam perang ini. Untuk hari ini saja, karena ini hanya

untuk memancing rasa penyesalan Pandawa lebih panjang. Seperti halnya

penasaran dan sesal dalam yang dialami oleh Arjuna. Setengah gila dan tiada lagi

mengambil peran dalam peprangan ini. Bila ini yang terjadi, maka amukan Bima

yang sia sia, akan melumpuhkan perasaannya. Sehingga selanjutnya makin

gampang untuk meringkusnya”. Sengkuni menjelaskan strategi yang hendak

dijalankan oleh Pandita Durna.

Page 96: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

96 PANDAWA KURAWA

Sejenak Begawan Sempani berpikir. Kemudian katanya.

“Bila untuk meringkus Bima, serahkan kepadaku ! Anakku Jayadrata,

masuklah ke gedung baja perlindungan. Bila terjadi apa apa, ada suara apapun

yang ada diluar, jangan sekali kali kamu mencoba untuk mengintipnya dari

jendela udara, apalagi keluar dari baja perlindungan itu, sampai aku kembali

menemuimu.”

Syahdan, sesampainya di medan peperangan, segera Begawan Sempani

mempreteli tasbihnya yang terbuat dari butiran buah gemitri. Dengan disertai

rapal mantra saktinya, dipuja butir butir tasbihnya menjadi Jayadrata-Jayadrata

tiruan yang segera mengamuk merubung sang Bimasena.

Digebuk satu terbelah menjadi dua, digebuk dua terbelah menjadi empat,

digebuk empat menjadi duabelas Jayadrata dan seterusnya, hingga Jayadrata

tiruan memenuhi palagan peprangan. Jengkel Werkudara mengatasi keadaan itu,

diletakkan gadanya kemudian digulingkannya dengan kakinya.

Tergilas Jayadrata tiruan. Lebur satu persatu, namun bangun menjadi

berlipat lipat ganda. Ngeri Werkudara melihat kejadian itu !

Hilang akal, ia yang segera mundur dengan seribu tanya, bagaimana untuk

mengatasi tiruan Jayadrata alias Tirtanata. Orang yang sebenarnya terjadi karena

air rendaman bungkus yang melingkup Bratasena, Werkudara muda ketika lahir.

Sedangkan di Pasanggrahan bulupitu. Prabu Duryudana merasakn

kesedihakn yang mendalam atas kematian putranya. Saat merasakan kesediah

Page 97: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

97 PANDAWA KURAWA

Duryuna segera menemui sang istri yang ada didalam taman sari Astina. Taman

yang bernama Kadilengeng.

Yang tengah duduk dibawah pohon Nagasari, duduk diatas batu yang

tertata rapi, itulah prameswari raja Astina, putri dari raja Mandaraka Prabu Salya,

yang bernama Dyah Banuwati atau Banowati.

Bila diceritakan kecantikannya, maka tak ada kata kata yang sanggup

menggambarkan. Dari pucuk rambut hingga ujung jari kaki, sedikitpun tiada

cacatnya. Kulit kuning bagai sepuhan emas. Kenes serba pantas, menarik hati.

Bila berbicara ceriwis, namun tetap pandai menata kata. Lirikan matanya dan

senyum bibirnya, menampakkan aura yang menyinar. Dasarnya ia adalah wanita

yang pandai mempadu padan busananya, maka tiadalah aneh, bila ia selalu

menjadi buah bibir.

Jangankan golongan jelata atau lebih lagi para satria, bahkan para raja pun

banyak yang terpikat akan kecantikannya. Ketika Dyah Banuwati masih belia

hingga kinipun, sang Prameswari masih menjadi inspirasi kidung cinta. Panjang

rambutnya ketika tertiup angin bagai melambai lambai merayu. Dadanya yang

terlilhat padat berisi, siapapun yang melihat akan terpesona karena Sang Dewi

adalah wanita yang pandai merawat diri dengan segala jejamuan yang

menyebabkannya awet muda. Walau kini sang dewi menginjak sudah setengah

umur, namun tetap, kecantikannya bagai berrebut dengan sinar rembulan.

Ketika itu, siang dan malam ia merasa prihatin dengan terjadinya perang

Baratayuda Jayabinangun.

Page 98: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

98 PANDAWA KURAWA

Keheranan sang dewi, ketika terbuka pintu taman, terlihat datangnya sang

suami. Seketika ia bergegas menyambut kedatangannya, ia menghaturkan sembah

sebelumnya, kemudian ia menggandeng tangan sang Prabu.

“Sembah bektiku kepada kakanda prabu”. Dengan senyum yang mesra

disambutnya sang Prabu. Senyum yang mesra itu sebenarnya adalah senyum

sandiwara, karena selamanya sang dewi tak kan pernah mencintai Prabu

Duryudana.

“Ya! Kanjeng ratu, sembah bektimu bagiku, menjadikanku bagai tersiram

sejuknya air pegunungan”. Prabu Duryudana juga tersenyum melihat istrinya

menghaturkan sembah.

“Kenapa begitu bicara kakanda Prabu?” Sang Dewi seolah tak mengerti.

“Itu karena rinduku kepada kanjeng ratu telah memenuhi isi dadaku.

Ketika aku melangkah ke peperangan, pisah dengan istri, mulailah rasa rindu itu

tertimbun dihatiku”.

Dengan segala kejujuran hati, Prabu Duryudana menyampaikan rasa

rindunya. Bila perang telah berhenti dan kesibukan mengatur lasykar sudah usai di

hari hari kemarin yang melelahkan, yang tertinggal dalam benak sang Prabu

selama ini adalah bayangan istri tercintanya.

Rasa cinta sang Prabu terhadap istrinya, Banuwati, tercurah habis

kepadanya. Tetapi sebaliknya, bagi Dewi Banuwati, kenangan indah semasa muda

bercengkerama dengan Permadi, Arjuna muda, membekas dalam dihatinya.

Page 99: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

99 PANDAWA KURAWA

Sehingga kawin paksa yang terjadi dengan Prabu Duryudana, tak pelak lagi

menjadikan rasa penasaran yang tak kunjung terlampiaskan dan membuahkan

sebuah janji serta selingkuh berkepanjangan.

“Kita kan sudah bukan lagi penganten baru, sudah berusia lebih dari

tigapuluh tahun dan sudah berputra dewasa. Harusnya tidak lagi perasaan itu

dimunculkan!”. Tukas sang dewi.

“Ya, terus terang saja . . . . , rasa itu yang telah menggelayut dalam

dadaku”. Jawab Duryudana terus terang.

Akhirnya Duryudana mengalihkan pembicaraan.

“Aku hendak menanyakan beberapa hal. Pertama, sejak aku

meninggalakan puraya agung ke peperangan, bagaimana keadaannya semua yang

ada di Kedaton ini ?”.

“Para abdi saling bergilir berjaga jaga, tak ada yang melalaikan

pekerjaanya”. Banuwati menjawab singkat.

“Sukurlah . Yang kedua, lalu bagaimana mengenai kesehatanmu ?”.

Pertanyaan basa basi terlontar dari mulut Prabu Duryudana.

“Tetep sehat sehat saja. Tetapi bila menanyakan ketentraman hati hamba ,

pastilah tidak tenteram. Negara yang dalam ancaman pastilah berakibat pada

ketenteraman batin hamba, sinuwun”. Jawaban basa basi membalas pertanyaan

suaminya.

Page 100: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

100 PANDAWA KURAWA

“Ya !”, jawab singkat Duryudana sambil mengangukkan kepalanya.

“Apakah perang sudah selesai sehingga paduka kembali ?”. Tanya Dewi

Banuwati ketika sang Prabu terdiam sejenak.

“Nanti dulu. Yang Ketiga, kamu jangan kaget. Karena kanjeng ratu dan

aku sendiri, telah kehilangan harta yang nilainya melebihi seluruh isi istana !.”

Ragu Prabu Duryudana hendak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.

Tak sabar Banuwati mengejar. “Sabda paduka yang tersirat demikian

mohon dibuat terang saja, mengapa mengatakan hal yang mengandung

perumpamaan seperti itu ?”

“Nanti dulu . . . . , akan aku pikirkan bagaimana caranya aku akan

mengatakan kepadamu. Karana dalam hitungan, jangan jangan setelah aku

mengatakan berita ini kepadamu, jangan sampai kanjeng ratu menjadi sakit

bahkan meninggal. Kalau hal ini yang terjadi lebih baik aku yang

menggantikannmu. . . .” Prabu Duryudana terdiam. Demikian juga istrinya yang

makin penasaran, namun tetap memberikan waktu bagi suaminya. Dengan lirih

akhirnya coba memulai dengan cerita yang hendak dipanjang panjangkannya.

“Yayi kanjeng ratu . . . , memang bukan kemauanku. Pesanggrahan

anakmu yang dikepung wadya penjaga yang jagaannya begitu sangat rapat.

Tetapi apa sebabnya, Lesmana yang selalu dalam pandangan mataku. Tanpa ijin

dariku, ia maju ke medan pertempuran”. Kemudian Prabu Duryudana terdiam

lagi.

Page 101: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

101 PANDAWA KURAWA

“Saya percaya, walaupun begitu Pandawa tak ada satupun yang tega

membunuh Lesmana, terutama Arjuna. Kalaupun ia tega maka ia berarti tega

terhadap “anunya” sendiri” !. Tak sabar sang Dyah Banuwati menyambar, sampai

sampai ia menyerempet menyebut nama selingkuhannya.

“Aku tidak mengerti”. Pura pura tak mengerti Duryudana menjawab

dengan tidak senang.

“Anunya itu, artinya keponakannya sendiri”. Banuwati berkilah

sekenanya. Pikirnya, diketahui suaminyapun, ia tak akan berani memarahi. Ia

mengetahui benar, bahwa Duryudana adalah tipe suami takut istri.

“Tapi ini beda dengan pengharapanmu, Lesmana bukan bertanding dengan

Arjuna”. Pelahan Duryudana memberi penjelasan

“Lalu siapa ?”. Tak sabar Banuwati hendak mencari tahu.

“Ketika itu ia bertanding dengan Abimanyu. Sewaktu ia berada di

peperangan ia mendekati Abimanyu dengan membawa pusakanya kyai Kokop

Ludira. Namun ia kalah cepat, ia terkena pusaka Abimanyu. Hari itu anakmu

gugur di medan peperangan !!”.

Bersiap Duryudana hendak menangkap istrinya yang dikira akan kaget

atau jatuh pingsan, atau lebih jauh lagi akan terhenti detak jantungnya. Namun apa

yang terjadi, ia cuma memandang dengan tatapan kosong, termangu, malah

sejenak kemudian ia menyalahkan anak dan suaminya.

Page 102: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

102 PANDAWA KURAWA

“Jadi anak selalu semaunya sendiri, bertindak tanpa ijin dari orang tua, ya

begitulah jadinya !”.

Terheran Duryudana, sambil menggelengkan kepala, ia bergumam

“Dikabari anaknya mati bukannya sedih, susah, malah tidak kaget sama sekali . . .

. .”.

“Apakah susah dan sedih harus dipamerkan? Kejadian seperti itu bukan

salah Lesmana tetapi salah paduka, kalau hamba boleh mengatakan!”. Jawab

Banuwati ketus.

“Salahku ada dimana?” Dikerasi istrinya, Duryudana melembek.

“Paduka itu kurang waspada sinuwun”, kali ini ia menyalahkan suaminya.

“Baratayuda bukan perang yang hanya memperhatikan orang seseorang,

selain harus menjaga diriku sendiri, aku juga harus bertanggung jawab atas

keselamatan semua, tanggung jawab ada pada pundakku . Dan aku tidak

menyangka, bahwa ia berani beraninya maju ke peperangan !”. Ia memberikan

alasan.

“Ya itulah, kenapa Lesmana tidak menerima perintah paduka ! ”. Kembali

Banuwati menyalahkan anaknya.

“Begitukah ?” Bingung Prabu Duryudana menghadapi keadaan ini.

“Penyesalanku, sedihku, itu harus berdasarkan apa ?” Kembali Banuwati

mempertanyakan hal mengapa ia harus menyesal. “Bila ia tunduk dan patuh

Page 103: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

103 PANDAWA KURAWA

kepada orang tuanya, makanya tidaklah aku harus menyesal. Hidupnya Lesmana

kebanyakan menambah nambah rasa malu, tak ada lain !”.

Kekesalan Banuwati mulai mengungkit ungkit peristiwa lama. “Berapa

kali ia gagal menikah? Berapa kali …..? Apakah itu namanya tidak memalukan

orang tua…. ? Jadi anak kok begitu sialnya !, yang ditiru itu siapa sih sebenarnya

?!”

Tak mau berlarut larut dalam ketegangan, Duryudana mengalihkan

perhatian. “Tetapi ada sebagian yang membuatku bangga, tidak ada yang

melebihi kebanggaan itu. Matinya juga membawa kematian si Abimanyu !”

Kali ini justru Prabu Duryudana menjadi bertambah heran, terperangah

dengan peristiwa yang ada dihadapannya. Dewi Banuwati yang diberitahu

kematian Abimanyu malah menangis tersedu sedu. Maka, setengah menggumam,

ia menumpahkan rasa herannya.

“Aneh sekali, aneh sekali kejadian ini. Dikabari anaknya, Lesamana, mati,

marah marah kepadaku, menyalahkan Lesmana. Tetapi dikabari Abimanyu tewas,

kamu malah menangis sesenggrukan….. !”

Setelah beberapa saat didiamkan dalam tangisnya oleh Prabu Duryudana,

Banuwati menjawab disela sela sedunya. “Kalau Lesmana mati kan hanya saya

dan paduka yang bersedih. Tetapi kalau Abimanyu yang tewas pastilah banyak

orang yang ikut merasakan sedihnya. Seperti Arjuna, aku membayangkan betapa

ia kehilangan, bagaimana sikapnya. Yang kedua adalah Wara Subadra, ia telah

Page 104: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

104 PANDAWA KURAWA

kehilangan anak nya yang tunggal, belum lagi istri istrinya Siti Sundari dan Utari.

Padahal Eyang Utari sedang mengandung, bagaimana rasanya dia.”

Setengah sugal, Duryudana menjawab. “Itu bukan urusanku . . . . !, itu

bukan perkaramu !. Abimanyu isrinya dua atau selusinpun, masa bodoh amat !!

“Ternyata rasa cintamu itu telah berpaling . . . . !

“Kali ini Prabu Duryudana yang marah marah,“Siang malam tak ada

gunanya aku menyellimutimu dengan sutra. Aku basuh kakimu dengan air mawar,

makan aku ladeni minum aku bawakan, dimanja setinggi langit, aku jaga bagai

jimat. Tetapi apa yang terjadi, apakah dasarnya kamu memprihatinkan musuh ?”

“Hamba manusia juga sinuwun”. Mencoba berkilah Banuwati.

“Ya memang !”. Tak senang dengan jawab istrinya, prabu Duryudana

menyahut sekenanya.

“Kalau manusia itu harus menggunakan rasa kemanusiaan !”. Namun

yang terjadi justru sang Dewi yang meneruskan kalimatnya.

Makin tak senang , ditantangnya istrinya berdebat. “Yang tidak

mempunyai rasa kemanusiaan itu aku atau Pendawa ?”

“Paduka berkata begitu itu atas dasar apa ?!” Yang diajak berdebat malah

makin galak.

Page 105: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

105 PANDAWA KURAWA

“Tidak lah aneh kalau Pandawa itu mengerti bahwa Kurawa itu adalah

saudara tuanya. Kalau manusia yang masih waras harusnya ingat itu !. Bisma itu

gurunya, itupun Pandawa berani membunuhnya !”.

“Jelas, Bisma itu mengikut Kurawa ! Tapi begitu aku melihat gugurnya

satria tiga, Seta, Utara dan Wratsangka, yang pernah dingengeri, yang memberi

tumpangan ketika ia telah selesai menjalankan pembuangannya selama duabelas

tahun, menjadi pengemis sudra. Dihidupi oleh orang Wirata, tetapi akhirnya ia

membalasnya dengan mengorbankan orang-orang yang telah berbuat baik. Itulah

tandanya bahwa ia adalah orang orang yang terbuang sebenar-benarnya !”

“Pandawa sudah bagaikan hewan hutan yang lapar, yang hendak memakan

tuannya !”.

Diungkitnya kejelekan Pandawa dari sudut pandangnya sendiri.

“Sinuwun, apakah aku diperkenankan mengatakan sesuatu kembali ?”

Disalahkan para Pandawa yang menjadi pujaan hatinya, panas hati Dewi

Banuwati.

Dengan ketus Prabu Duryudana menjawab. “Boleh saja, tetapi aku tidak

mau kau kalahkan !”. Beringsut Prabu Duryudana, dan kemudian berdiri

mendekati jendela. Panas hati dan suasana telah memaksanya mencari semilirnya

sejuk angin.

Page 106: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

106 PANDAWA KURAWA

“Hamba tak mau mengalahkan sinuwun ! Tetapi bila Pandawa dikatakan

telah kehilangan rasa kemanusiaan apakah memang begitu semestinya ?! “ Jawab

Banuwati dengan nada tinggi.

“Memang begitu !” Kembali ketus jawaban Duryudana.

“Yang tipis rasa kemanusiaanya sebenarnya adalah paduka sendiri !”.

Jawab Banuwati terus terang.

“Perkara yang mana ?” Kembali tanya Duryudana dengan pandangan yang

tajam.

Makin meruncing pertengkaran, tetapi sang istri semakin berani

menyampaikan rasa yang tersimpan dalam di lubuk hatinya.

“Tetapi sebenarnya hamba agak takut mengatakannya dan ini adalah

sebuah rahasia. Sudah lama hamba menahannya tetapi lama kelamaan sudah tidak

kuat lagi menahannya. Saya mengatakannya sekarang juga !”.

“Tunggu apa lagi, katakan !” Duryudana mempersilakan istrinya kembali

membuka isi hatinya.

“Sebenarnya yang tipis rasa kemanusiaannya adalah paduka sendiri. Kalau

dalam lubuk hati paduka yang paling dalam mengatakan, seharusnya yang

bertahta di Astina itu Pandawa atau Kurawa ! Namun kapankan Pandawa itu

menagih haknya ?.

Page 107: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

107 PANDAWA KURAWA

Tidak pernah ! Bahkan mereka mampu membuat negara dari keringatnya

sendiri, Negara Amarta !. Pandawa tidak diberikan secuwilpun tanah Astina. Tapi

mereka selalu diusahakan untuk selalu disengsarai, difitnah. Akhirnya dengan

dalih permainan dadu, Astina dan Amarta dijadikan taruhan dan para Pendawa

diusir paksa, sehingga mereka menjadi manusia hutan selama bertahun tahun. Jadi

yang tipis rasa kemanusiaannya itu sebenarnya Pendawa atau Kurawa ?!”

Bagai bendungan yang jebol, segala unek unek ditumpahkan dihadapan

suaminya. Dalam hati, inilah saatnya, selagi ia ditantang untuk terus terang.

“Aku tidak peduli . . . . . ! Aku – tidak – peduli . . . ! ” jawab Duryudana

tandas.

“Silakan sinuwun mengatakan !” Kali ini Sang Dewi yang menantang.

“Perkara permainan dadu, kamu jangan menyalahkan aku. Dimanapun

yang namanya permainan pasti tidak ada yang mau kalah !”.

“Itu bab permainan dadu. Lalu bagaimana mengenai negara Astina itu ?!”

Saling bantah makin seru.

“Mereeka tidak becus mengurus negara. Sudah terlalu lama

mereka bergaul dengan segala macam binatang hutan !”. Alasan sekenanya

disampaikan, berharap ia tak diserang lagi.

Namun kembali ia dicecar pertanyaan.

Page 108: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

108 PANDAWA KURAWA

“Itu kan waktu setelah pembuangan di hutan ! Bagaiman mengenai

sebelum itu ?”

“Itu salah mereka, mengapa mereka tiada pernah meminta negara Astina!”.

Jengkel Prabu Duryudana dengan tarik urat yang berlarut larut.

“Itu namanya paduka seperti mengulum madu, terasa manis, hingga tak

hendak melepehnya. Sinuwun kalaupun kata kataku sebagai istri, sebagai belahan

jiwa, tak ada satupun yang hendak diperhatikan, bila demikian halnya, silakan

hamba dikembalikan saja ke Mandaraka”. Tak lagi hendak berlarut larut

bertengkar, sang Dewi menantang.

“Baik . . . , kapan ?!” Keceplosan kata, sang Prabu menerima tantangan

istrinya..

“Ketimbang aku melihat runtuhnya negara Astina atas angkara murka

paduka, sekarang juga lebih baik segera pulangkan hamba ke Mandaraka !.”

Jawab senang Banuwati

“Kamu menantang ?!” Gertak Prabu Duryudana.

“Sukurlah bila kehendakku paduka laksanakan !”

Berbalik badan Banuwati hendak pergi dari hadapan suaminya. Tetapi

langkahnya tertahan oleh cengkeraman tangan sentosa Prabu Duryudana

dilengannya.

Page 109: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

109 PANDAWA KURAWA

Sadar apa yang dilakukan, Prabu Duryudana kemudian ia mengendurkan

pegangannya. Katanya memelas.

“Mau kemana ?”

“Bukankan sinuwun sudah mengatakan, bahwa sinuwun merelakan saya

kembali ke Mandaraka ?!” Masih dengan setengah marah dan nada merajuk,

Banuwati bertanya balik.

Jurus bujuk rayu diterapkan oleh sang Prabu, agar sang Dewi tetap berada

di istananya, Kadilengeng, tempat ia memanjakan istrinya setinggi langit, Itulah

kenyataannya, di kedalaman hatinya, seluruh jiwa, rasa dan raga serta cinta buta

Prabu Duryudana mengatakan, tak ada wanita lain yang sanggup menggantikan

keberadaan istri yang cantik molek itu.

Tak kasat mata, bagaimanapun jerat kecantikan Banuwati telah

mencengkeram Sang Prabu hingga ke tulang sungsumnya, jauh melebihi kekuatan

cengkeraman, tangan sentosa Duryudana . . . . .

Barata

SUMPAH ARJUNA

Page 110: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

110 PANDAWA KURAWA

Dursilawati. Satu satunya wanita trah Kurawa. Ia adalah istri dari

Jayadrata-Tirtanata. Atas hubungan adik kakak ipar inilah Jayadrata, anak Raja

Sindu, menjalin persaudaraan rapat dengan para Kurawa. Sejatinya Jayadrata

adalah anak kepenginan dari Dewi Drata dan Prabu Sempaniraja karena telah

bertahun tahun tidak mempunyai anak. Maka ditemukan sarana atau cara untuk

mendapatkan anak. Atas wangsit dewata, dengan meminumkan air rendaman

bungkus Bima-Werkudara, kepada istri Sang Prabu Sempani. Kebetulan kala itu

bungkus yang melimput Bratasena, nama Werkudara muda, setelah bungkus

pecah. Pecah oleh kekuatan Gajah Sena. Namun kedekatan secara kejadian, tidak

membuat Jayadrata rapat terhadap para Pendawa.

Di kasatrian Banakeling itu, sang Dewi Dursilawati hanya duduk berdua

dengan anak tunggal kesayangannya Raden Wisamuka. Masih muda belia, namun

berjiwa keras, menurun dari sang ayah Raden Jayadrata.

“Ibu, apakah ibu akan bangga bila mempunyai anak yang dapat

mengangkat derajat keluarga sehingga ke tataran yang lebih tinggi ?” Wisamuka

memancing ibunya ketika basa basi telah usai dibicarakan.

“Apa maksud pertanyaanmu anakku ?” Terheran sang ibu ketika anaknya

menanyakan hal yang tak terduga.

“Tolong jawab dulu pertanyaanku, ibu. Setelah itu akan aku sampaikan

maksudku” tanpa menghiraukan pertanyaan ibunya Wisamuka mengejar jawaban

ibunya.

Page 111: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

111 PANDAWA KURAWA

“Baiklah, semua orang tua, pasti mengharapkan agar anaknya menjadi

manusia atau satria yang berguna bagi nusa, bangsa, agama. Pada akhirnya harkat

dan derajat manusia itu akan terangkat oleh laku budi luhur itu. Perilaku anak itu

secara langsung maupun tidak, membawa naik martabat bagi orang tua si anak”

Jawab sang ibu akhirnya.

“Bila demikian, cita cita atau keinginan kanjeng ibu dapat terujud dalam

waktu singkat”

Bahagia terpancar dari raut wajah Wisamuka, ketika ibunya menjawab

runtut pertanyaanya.

“Sekarang katakan maksudmu dengan pertanyaan yang kau ajukan itu”.

Ibunya tidak sabar dengan perubahan raut muka anak kesayangannya. Anak satu

satunya.

“Aku telah mendengar berita yang santer, bahwa pada perang Baratayuda,

ada prajurit muda belia yang seumur denganku, tetapi telah dapat mengobrak

abrik barisan Kurawa. Alangkah gagahnya dia. Bila ia tidak ditahan dengan akal

akalan oleh para Kurawa, saya yakin, ia adalah prajurit yang dapat mengakhiri

perang dengan kemenangan. Alangkah bangganya orang tuanya”. Bicara

Wisamuka , tak tahu bahwa ayahnya terlibat dalam kecurangan itu. Jiwa mudanya

yang bergelora hanya berpikir, bagaimana ia ingin memperlihatkan akan

keberadaannya, sebagai anak muda yang merasa setingkat kemampuannya dengan

anak Janaka.

Page 112: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

112 PANDAWA KURAWA

Ia meneruskan ketika ibunya hanya memandanginya penuh selidik.

“Aku juga bisa seperti Abimanyu itu. Dan belajar dari kejadian yang lalu,

kuncinya adalah kewaspadaan agar tidak terkena reka daya. Dengan waspada itu

perkenankan anakmu hendak maju ke peperangan “.

Wisamuka menyatakan maksud yang sebenarnya.

“Jangan gegabah, anakku, Apalagi ayahmu sudah berpesan agar jangan

sekali-kali kamu berangkat ke palagan, bila tidak mendapat ijin dan restu dari

ayahmu !”. Larang ibunya.

“Tidak ibu, kapan lagi aku dapat memperlihatkan kepiawaianku terhadap

penguasa negara. Apakah aku harus menunggu perang menjadi selesai. Tidak !

Sekaranglah saatnya !”. Wisamuka yang tadinya duduk manis disamping ibunya,

kemudian berdiri. Sang ibupun ikut bangkit dari kursinya, kemudian dipeganginya

tangan anaknya.

“Wisamuka, sekarang ibu mau bertanya kepadamu nak, Apakah kamu

sayang terhadap ibumu ?”. Dibimbingnya anak muda itu kembali duduk.

Wisamuka tak hendak menurut perlakuan ibunya. Namun ibunyalah sekarang

yang duduk kembali, dan melihat kedalaman mata anaknya seakan hendak

menyelami isi dalam hati buah hatinya.

“Pasti ibu, bukankan yang hendak aku lakukan adalah ujud rasa sayangku

kepada keluarga Banakeling, terutama ibuku ?”. Wisamuka malah kembali

bertanya.

Page 113: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

113 PANDAWA KURAWA

“Bukan ! Bukan seperti itu caranya. Bila kamu sayang ibumu, maka turuti

apa yang ayah ibumu katakan”. Si ibu menyanggah pertanyaan anaknya.

“Aku bukan anak kecil lagi, yang bila jatuh masih menangis dan berlari

kepangkuan ibunya. Sekarang anakmu sudah dewasa, sudah dapat memilih mana

yang harus aku lakukan atau mana yang tidak. Aku mohon pamit, ibu”. Kembali

anaknya membantah.

Dengan lemah lembut layaknya seorang ibu, didekatinya kembali anaknya

setelah sang ibu bangkit dari duduknya. Diraihnya kepala anaknya yang sudah

lebih tinggi jauh diatas ibunya. Dielus rambut itu sambil berkata.

“Wisamuka, kasihani ibumu. Apa kata ayahmu nanti bila mengetahui

anaknya dibiarkan pergi tanpa ijinnya. Apakah kamu tega bila ibumu dimarahi

ayahmu ?”.

“Sudahlah ibu, nanti aku akan ketemu dulu dengan ayah. Boleh atau

tidaknya serahkan kepada ayah setelah nanti aku ketemu disana”.

Dursilawati tahu tabiat anaknya. Dijeratnya pasti dia akan memutus jerat

itu dan dipalang jalannya ia akan melompat. Akhirnya dilepaskan pegangannya,

anak itu menyembah khidmat dihadapan ibunya. Itulah sembah anaknya yang

terakhir.

Kenapa demikian ? Sebelum ia bertemu dengan ayahnya di pesanggrahan

Bulupitu, Wisamuka, dalam perjalanannya ketemu dengan Arjuna di hutan tempat

ia berjalan tanpa tujuan dengan jiwa yang kosong.

Page 114: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

114 PANDAWA KURAWA

Jiwa yang setengah sakit ditinggal anaknya yang sangat dicintainya,

membuat Arjuna bagaikan menemukan segarnya udara alam swargaloka, ketika

Wisamuka terlihat berjalan sendirian. Dalam pandangan matanya, Abimanyu-lah

yang berjalan mendekatinya.

Memang secara fisik, ciri Abimanyu dengan Wisamuka tidak jauh

berbeda, keduanya masih muda belia dengan sosok dan ciri yang hampir sama.

Makin kaburlah pandangan Arjuna Janaka menyaksikan satria remaja dengan ciri

yang bagai pinang dibelah dua dengan anaknya.

“Anakku tampan, kemarilah, aku sudah rindu dengan kamu, anakku”.

Wisamuka tercengang. Tak dinyana ia bertemu dengan Arjuna ditempat

yang tak terduga. Setahu Wisamuka, pamannya sedang ada dalam larutnya

peperangan di Kurusetra. Belum sempat ia menjawab, rangkulan Arjuna membuat

ia kaget. Tetapi karana yang keluar dari mulut Arjuna – lah, yang akhirnya

membuat ia makin mengerti sebab musababnya.

“Abimanyu anakku, mengapa sekian lama kamu baru datang ? Kemana

sajakah selama ini ? Tidakkah kamu kasihan terhadap ayah dan ibumu yang

sangat rindu akan kedatanganmu ?”

Sejenak Wisamuka tak tahu ia harus berbuat apa. Namun otak

cemerlangya segera bekerja. Inilah kesempatan yang ia idamkan ! Gelar pahlawan

akan dengan mudah didapatnya, karena pamannya itu sedang tidak sepenuhnya

Page 115: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

115 PANDAWA KURAWA

sadar diri. Terpikir ia segera melakukan tindakannya, tapi pertimbangannya

menyarankan untuk menguji kewaspadaan pamannya terlebih dahulu.

“Paman Janaka, aku Wisamuka anak Banakeling. Aku bukan Abimanyu!”.

“Jangan main main, ayolah kita pulang. Ibumu pasti sudah menunggu

setelah sekian lama kamu pergi.”. Jawaban pamannya membuat ia makin yakin,

kali ini ia akan menjadi pahlawan.

Segera ia melepaskan pelukan Arjuna. Tanpa ragu dipukulnya tubuh

Arjuna dengan sekuat tenaga. Harapannya segera ia dapat melumpuhkan Arjuna

dan dipersembahkan ke hadapan Prabu Duryudana.

Namun harapan itu tak terpenuhi. Bahkan dengan senyum dibibirnya,

Arjuna malah merayunya.

Kembali tangan Wisamuka mengayun memukul bertubi tubi ke dada

Arjuna.

“Pukulanmu masih kuat, tapi jangan main main begitu. Nanti aku akan

ajarkan cara memukul yang lebih baik bila kamu ingin menjadi prajurit yang

tanpa tanding”.

Tak menyangka diperlakukan seperti itu, Wisamuka melolos senjatanya.

Sebilah keris sakti sudah siap ditangannya untuk menamatkan riwayat pamannya.

Tidak menangkap hidup hiduppun tak apa. Cukuplah dengan kepala Arjuna yang

gampang ditenteng, bukti sebagai pahlawan akan tersemat didadanya.

Page 116: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

116 PANDAWA KURAWA

Ditusuknya dada Arjuna dengan sigap. Tak menghindar Arjuna, bahkan

kembali senyumnya membayang.

“Sudahlah Abimanyu, jangan bermain dengan senjata, marilah pulang

bersamaku. Kamulah satu satunya yang aku harapkan siang malam dalam segala

laku prihatin yang pernah aku jalani. Nanti juga aku berikan keris yang lebih sakti

dengan pamor yang lebih berkilau. Bila kamu mau pulang sekarang juga,

sekarangpun aku berikan keris Kalanadah melengkapi pusakamu yang telah aku

berikan sebelumnya, Kyai Pulanggeni”.

Diceritakan, Batara Narada yang kepanasan, karena sesuatu tak wajar

terjadi di arcapada, yang berkekuatan hendak merobah alur cerita Baratayuda. Ia

segera menerawang, mencari penyebab keanehan. Setelah diketahui penyebabnya,

sukma Abimanyu segera diperintahkan untuk menggugah alam sadar ayahnya.

Sesampainya di hadapan ayahnya, segera ia menyembah. Arjuna adalah satria

sakti kesayangan para dewa. Dengan hanya badan halus, kedatangan Abimanyu

menggugah kesadarannya, setelah sapaan anaknya menyentuh kalbu.

“Kanjeng rama, perkenankan putramu menjelaskan, jangan lagi kanjeng

rama menyesali kematianku, anakmu sudah menemukan kebahagiaan sejati”.

“Sekarang bangkitlah rama ! Dihadapanmu adalah trubusan musuh, anak

uwa Jayadrata. Bila rama berkenan, rama dapat menuntaskan utang yang

disandang uwa Jayadrata !”

Page 117: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

117 PANDAWA KURAWA

Terang benderang hati sang Arjuna, terlihat Wisamuka tak jauh darinya,

didekatinya Wisamuka yang tak mengira Arjuna sudah sadar. Kaget Wisamuka

ketika rambutnya dijambak dan tangannya ditelikung, segera dipagas leher

Wisamuka, tak bernyawa ia.

Bersamaan dengan jatuhnya raga di rerumputan hutan.

Terceriterakan, Dewi Dursilawati yang tak tega melepas anaknya

sendirian, menyusul bersama Patih Sindulaga. Sempat tersusul oleh kedua orang

itu, namun keadaan sudah terlambat. Yang terlihat dihadapannya adalah, tubuh

orang kesayangannya yang telah terpisah dengan kepalanya. Darah segar masih

mengucur dari luka akibat luka terkena keris Arjuna.

Melihat anak junjungannya tewas, Patih Sindulaga, hendak bela pati.

Tidak ada keraguan bagi patih Sindulaga terhadap siapa yang mengakhiri hidup

anak junjungannya, karena yang terlihat didepannya, adalah hanya manusia yang

dikenalnya dengan nama Arjuna.

Melihat Sindulaga menyerang, maka dilolos anak panah dari

gendongannya, terpasang pada busur, segera direntang dan dilepas dengan suara

membahana. Panah meluncur mengenai dada Patih Sindulaga tembus ke jantung,

tewas Sindulaga menyusul Wisamuka.

Tak rela anaknya terbunuh, kemudian pengawal setianya juga

menyusulnya, Dewi Dursilawati menghunus patremnya, rasa sesal sedih campur

Page 118: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

118 PANDAWA KURAWA

aduk, membawa tangannya ringan mengayunkan keris kecilnya kedada. Tamat

riwayat Dursilawati.

Termangu Arjuna melihat ketiga orang yang ada hubungannya dengan

Jayadrata. Biang kematian anaknya. Kembali melihat kematian, kembali pula

kesedihan membeban di hatinya.

Terucap dalam cerita. Dewi Murdaningsih wanita liar yang cantik dan

mempunyai daya pikat luar biasa, telah sampai ke tempat Arjuna berada.

Murdaningsih yang muda tetapi telah matang, datang dengan dandanan

serba menantang. Dadanya yang setengah terbuka menampakkan sekilas sisi

cengkir gading. Kukunya dibiarkan sedikit panjang dengan pulasan warna merah

dadu serasi dengan kulit sang dewi yang kuning gading cenderung putih. Matanya

yang sedikit sipit dihiasi sekeliling kelopaknya dengan pulasan lembut serasi.

Begitu juga bibirnya yang terpulas warna merah delima, kontras dengan kulit

putih wajahnya. Senyum merekah dibibirnya, memperlihatkan giginya yang putih

tertata bagai deretan mutiara. Maka semakin menambah daya tarik ia terhadap

lawan jenis. Bau harum merangsang kelelakian juga menghambur dari tubuh sang

Dewi. Siapapun akan terpesona dengan kecantikan dan gerak geriknya.

Berkendara seekor gajah putih yang berjalan dengan anggun. Terpesona

Arjuna melihat apa yang tampak dihadapannya. “Bidadari manakah gerangan

yang hendak menyejukkan hati yang terlanjur gersang ini ?” Pikir Arjuna.

Page 119: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

119 PANDAWA KURAWA

Tempat hening dan kondisi jiwa Arjuna yang labil, ditambah watak dasar

Arjuna yang memang gampang jatuh cinta, menyebabkan semakin mudah jerat

asmara mengurung sukmanya.

“Bidadari manakah yang ada dihadapanku ini, selama aku merajai taman

surga, belum pernah aku melihat sosok seperti andika. Siapakah gerangan andika

sang Dewi ?” Sapa Arjuna dengan senyum terkulum. Senyum yang sanggup

menjerat wanita manapun, hingga ia digilai para wanita. Memang demikian apa

yang terjadi di masa lalu, atas hadiah mengenyahkan Prabu Niwatakawaca waktu

hendak meminang Dewi Supraba, oleh Sang Hyang Jagatnata, Arjuna dihadiahi

tahta di karang kawidadaren dengan jejuluk Prabu Kiritin atau Kirita. Tak pelak

lagi, hampir semua sosok bidadari dikenalnya.

Namun kali ini, wanita asing dihadapannya datang dengan ciri ciri yang

belum pernah dikenalnya, dirasa lebih cantik dari yang pernah ia temui. Biasalah

demikian, tak perlu diceritakan lagi.

Pertanyaan Arjuna dibalas dengan lirikan mata dan tebaran pesona yang

membuat Arjuna semakin mabuk kepayang.

Pelahan atas perintah Dewi Murdaningsih, si gajah merunduk.

Mambiarkan tuannya turun dari punggungnya. Dengan luwesnya Dewi

Murdaningsih turun dari punggung gajah dan segera berjalan semakin dekat ke

tempat Arjuna berada.

Page 120: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

120 PANDAWA KURAWA

Disekeliling Arjuna dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.

Bagai kerbau tercocok hidungnya, Arjuna ikut berputar badannya mengikuti gerak

sang Dewi.

Kemudian tangan Murdaningsih yang lembut meraih kedua tangan Arjuna

dan berkata memuji. Tetap ia tak berhenti bergerak lincah.

“Ternyata tanah Jawa terdapat lelaki yang sempurna segalanya, tak ada

tandingannya dibanding di negaraku. Satria bagus, siapa nama andika ?” Pujian

Murdaningsih mengabaikan pertanyaan mengenai namanya.

“Tadinya aku berpikir, hanya rupamu yang cantik, sehingga jiwaku

terpasung, mataku tak sanggup untuk berkedip. Tetapi begitu andika sang Dewi

mengucapkan kata kata, sekalimat demi sekalimat, hatiku runtuh terbawa sapuan

arus kidung cinta yang mengalun bersama sapa suaramu, sang Dewi ?” Aku

Arjuna penengah Pendawa”. Arjuna menyebut nama memperkenalkan diri.

“Ooh, inikah satria dengan nama harum yang menjadi inspirasi kidung

cinta ? Inikah satria dengan sorot mata yang mampu meruntuhkan hati wanita

siapapun. Bahkan wanita dengan keangkuhan setinggi langitpun, akan takluk

dihadapan yang namanya Raden Arjuna. Saking orang banyak yang memuja,

sampai sampai ada yang mengatakan, kerikilpun, bila andika berjalan, mereka

minta andika pijak ?”

“Bahagianya hatiku, karena tidak sia sia aku datang dari jauh, ketemu

dengan andika Raden, seakan sukmaku telah tertawan ditanah ini, dan tak hendak

Page 121: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

121 PANDAWA KURAWA

aku pulang ke Turilaya”. Kembali pujian yang dikatakannya melupakan perintah

kakak seperguruannya, tentang tugas yang sebenarnya diemban.

“Puja pujimu teramat tinggi sang Dewi, membawaku terbang ke awan.

Melayang sukmaku mendengar pujian dari bibirmu yang sungguh bagus itu. Tapi

siapakah sang Dewi sebenarnya ?” Kembali Arjunapun yang lalai akan kewajiban

yang seharusnya dilaksanakan, ia menanyakan nama wanita itu.

“Masihkan aku perlu menyebut namaku ?” Murdaningsih manja mengulur

rasa penasaran lawan bicaranya.

“Ya sudahlah aku pergi saja, kalau kamu tak mau memperkenalkan

dirimu”. Sambil melepaskan pegangan tangan Murdaningsih, Arjuna kemudian

melangkah pergi, jurus rayu itu diterapkan.

“Eeh…, nanti dulu, jadi lelaki kok merajuk !” Murdaningsih mengejar,

menyambar tangan Arjuna.

“Bukan merajuk, tapi apa gunanya aku berhadapan muka dengan orang

yang tak aku kenal”Arjuna menyanggah.

“Aku Murdaningsih, sengaja datang kemari untuk menemuimu, Raden.

Nama dan cerita yang beredar di negaraku, membuat sasar rasaku, sehingga jauh

jauh aku datang untuk membuktikan kebenaran cerita itu”. Kali ini Murdaningsih

menumpahkan isi hatinya.

“Terus apa yang andika lihat pada diriku, sang Dewi ?” Pancing Arjuna.

Page 122: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

122 PANDAWA KURAWA

“Seperti yang aku katakan tadi, aku tak akan lagi pulang ke Turilaya.

Hatiku telah tertambat disini, bawalah diriku kemana Raden pergi”.

Suasana hutan yang sunyi sungguh gampang berubah menjadi suasana

romantis, membuat kedua insan yang dimabuk asmara itu lupa segala galanya.

Arjuna lupa akan tugas negara sebagai prajurit, sedangkan Murdaningsih lupa

bahwa tujuannya adalah untuk meringkus Arjuna. Sekarang yang ada hanyalah

puja puji serta kidung asmara, berisi rayuan yang berhamburan dari mulut kedua

asmarawan dan asmarawati itu.

Namun tidak demikian dengan gajah Murdaningkung. Ia adalah seekor

gajah dengan sifat yang sudah bagaikan manusia. Melihat keadaan tidak sesuai

dengan apa yang digariskan, tidak ada keraguan dalam otaknya segera mendekati

kedua insan yang tengah memadu kasih. Diulurkan belalai, Arjuna yang tidak

waspada, diangkat tinggi dan dilempar dari sisi Murdaningsih.

Terjerembab Arjuna ditanah hutan yang lembab. Belum sempat ia berdiri

sempurna, gajah Murdaningkung kembali memburunya. Tak ada usaha lain

kecuali Arjuna menghindar melompat dari raihan belalai yang kembali hendak

meringkusnya. Kemarahan yang amat sangat merasuki ubun ubunnya karena

terganggu kesenangannya. Segera diraihnya anak panah yang tersandang

dipunggungnya dan dilepas busur yang tersandang dibahunya. Terpasang anak

panah pada busurnya, segera ditarik tali busur dan meluncur mengenai kepala

gajah itu. Lelehan otak bercampur darah mengalir dari tubuh besar yang terguling.

Mati seketika gajah Murdaningkung.

Page 123: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

123 PANDAWA KURAWA

Dewi Murdaningsih yang terpana melihat kejadian yang begitu cepat

membunuh gajah kesayangannya, kemudian berlari memburu kearah gajah

kesayangannya sambil menangis.

Air mata sang Dewi yang jatuh ditubuh gajah itu secara ajaib

membangunkan sang gajah dari kematian.Terheran Arjuna melihat kejadian itu.

Begitu juga Murdaningsih yang baru kali ini membuktikan kesaktian yang

diberikan gurunya.

Pada saat itu, Prabu Bogadenta yang dari tadi mengikuti perjalanan adik

seperguruannya , muncul ditengah kejadian.

Taulah sekarang Arjuna siapa mereka sebenarnya ketika mendengar Prabu

Bogadenta memarahi adik seperguruannya.

“Adikku yang cantik, sekali ini kamu terjebak oleh ketampanan lawanmu.

Tadinya aku tak ragu lagi untuk melepaskan kamu sendiri. Tapi setelah kamu tak

mampu menahan godaan Arjuna . Sekarang aku ambil alih peran kamu.”

“Arjuna ,Ssekarang kamu sudah ada dalam genggamanku jangan sampai

kamu melawan, percuma hanya membuang tenaga. Sekarang mendekatlah

ulurkan kedua tanganmu akan aku ikat tanganmu dan aku bawa kehadapan Prabu

Duryudana. !”

“Siapa kamu !” Tanya Arjuna penasaran

Page 124: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

124 PANDAWA KURAWA

“Prabu Bogadenta dari Turilaya.” Bangga sang Prabu memperkenalkan

dirinya

“Kamu boleh menawanku kalau kamu sudah bisa melangkahi jasadku.”

Arjuna menantang.

“Rupanya kamu hendak meraih sorga. Majulah !”

Kali ini Arjuna mendapatkan lawan yang sepadan. Saling serang dengan

tempo tinggi terjadi hingga hutan menjadi riuh oleh geretak ranting patah dan

tumbangnya pepohonan runtuh tersapu serangan kedua pihak. Kali ini Arjuna

tidak membuang waktu. Ketika serangan agak berkurang, Arjuna melompat

mundur, kemudian bidikan anak panah meluncur mengenai dada Prabu

Bogadenta. Tewas seketika sang Prabu.

Gajah Murdaningkung berlari mendekati tuannya dan meneteskan air mata

sedih atas kematiannya. Keajaiban kembali terjadi, bagai terbangun dari tidur,

bangkit kembali Prabu Bogadenta dari kematiannya.

Pusing Arjuna mengatasi lawan yang tiga tiganya saling bisa menolong

sesama kawannya.

Prabu Kresna yang dari kemarin mencari Arjuna mendengar keributan

yang terjadi segera menghampiri yang dicari cari.

“Aduh adikku, ternyata kamu ada disini !”

Page 125: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

125 PANDAWA KURAWA

Melihat kedatangan Prabu Kresna segera Arjuna bersimpuh “Sembah

baktiku kanda”

Penuh selidik Prabu Kresna berkata “Ya aku terima, tetapi lain kali

jangaan seperti ini. Aku tahu betapa remuk hatimu dengan kematian anak

kesayanganmu. Darma satria sudah kau lupakan sekarang. Padahal seandainya

kamu masih ingat akan janji setia Pandawa, bahwa mati salah seorang Pandawa,

maka yang lain akan mengikuti kematian yang satu itu. Bila itu terjadi, maka

kamu yang akan dituduh sebagai biang dari kematian saudaramu. Alangkah

malunya kamu. Jiwa satriamu akan luntur dan menjadi contoh buruk sepanjang

tergelarnya jagad”.

“Kanda, adikmu minta pengayoman “ Tercetus kata pasrah Arjuna.

“Apa yang bisa aku ayomi” jawah Kresna.

“Saya keteteran menghadapi lawan lawan itu.” Aku Arjuna

“Baik aku sekarang mengerti. Tapi tegakah kamu dengan wanita cantik itu

?”. Tanpa ada yang tersembunyi dari mata Arjuna, alasan Kresna menanyakan

tentang wanita cantik itu.

“Terpaksa kanda”. Sekenanya Arjuna menjawab.

“Penyakitmu belum sembuh sembuh juga ! Aku tahu, aku percaya. Kamu

adalah jago memanah tanpa tanding. Kecepatan memanahmu dalam satu waktu

Page 126: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

126 PANDAWA KURAWA

dengan jumlah lepasan anak panahnya tak ada yang bisa mengalahkan. Itu yang

belum kamu lakukan !”.

Belum habis bicara Prabu Kresna, Arjuna sudah bersiap dengan ketiga

anak panahnya yang terpasang dalam satu busur. Dengan cara yang tidak mudah

ditiru siapapun, anak panah yang terluncur dari satu busur menuju sasaran masing

masing. Mengenai ketiga pendatang dari Turilaya, tamat riwayat ketiganya

bersamaan.

“Ayoh Arjuna, kita segera pulang. Jangan lagi berpaling, jangan lagi

menyesali yang sudah terjadi. Istrimu sudah menunggumu”.Tersipu malu Arjuna

mendengar kata kakak iparnya.

Palagan peperangan Kurusetra, Arjuna kaget dengan keadaan pasukannya

yang terdesak hebat oleh amukan Jayadrata tiruan yang jumlahnya tak terhitung,

membuat ngeri siapapun yang melihatnya. Bahkan kakaknya, Werkudara mundur.

Setelah diberi keterangan oleh Prabu Kresna mengenai kejadian yang

sebenarnya, segera Arjuna melepaskan panah neracabala. Ribuan anak panah

segera terlepas dari busurnya menghalau amukan ribuan Jayadrata, setelah itu

disapunya seluruh bangkai Jayadrata dengan ajian Guntur Wersa, berupa hujan

lebat dengan banjir yang menyapu hebat seluruh padang Kurusetra didepan

Arjuna. Ia telah diberitahu sebelumnya oleh Prabu Kresna, bahwa Jayadrata tiruan

akan tak dapat berbuat apapun jika dalang yang menggerakkannya telah

dilumpuhkan.

Page 127: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

127 PANDAWA KURAWA

Ketika banjir melanda Kursetra di pertahanan prajurit Randuwatangan,

Bagawan Sempani yang tak mau terlanda hujan terpaksa meninggalkan pabaratan,

kembali buru buru ke pesanggrahannya, tidak kuat dengan air hujan dan kerasnya

arus banjir yang hendak melandanya.

Lenyap ribuan Jayadrata tiruan, tetapi rasa penasaran Arjuna belum sirna.

Yang diarah dari usaha yang sebenarnya adalah Jayadrata asli. Jayadrata yang

menjadi penyebab gugurnya Abimanyu anaknya. Betapapun matinya

Wersakusuma masih saja belum memuaskan rasa dihatinya.

Dari rasa penasaran itu, yang keluar dari mulut Arjuna akhirnya sepotong

kalimat sumpah.

“Kakanda Prabu, bila nanti sampai matahari tenggelam hari ini, Jayadrata

asli tidak dapat aku bunuh, maka hamba akan naik pancaka, untuk bakar diri !”.

Sumpah Arjuna terdengar oleh banyak orang yang segera bersambung lidah

mencapai telinga lawan. Geger lawan yang segera menutup rapat jalan kearah

persembunyian Jayadrata.

Sedangkan Prabu Kresna terdiam sejenak, kemudian kata tanya ditujukan

kepada Arjuna “Begitukah ? Padahal hari sudah mendekati sore. Apa usahamu

untuk melaksanakan sumpahmu ?” Tanya Prabu Kresna menjajagi sumpah adik

iparnya.

“Semua usaha akan aku pasrahkan kepada kanda Prabu”. Ternyata Arjuna

mengandalkan kakak iparnya.

Page 128: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

128 PANDAWA KURAWA

Tersenyum Prabu Kresna. “ Oooh begitu, akhirnya aku juga yang kau

andalkan !” Bila memang itu maumu ayo ikut aku !

Prabu Kresna mengajak Arjuna mencari tempat yang strategis dalam

menlihat tempat persembunyian Jayadrata

“Tunggu disini. Lihat apa yang ada didepanmu?” Itulah tempat

berlindungnya Jayadrata !”

Apa yang harus hamba lakukan sekarang kanda Prabu ?

“Aku akan membuat suasana menjadi petang seakan matahari sudah

tenggelam. Bila nanti itu sudah terjadi, segera nyalakan api pancaka,

berpakaianlah serba putih, dan perintahkan seluruh prajurit untuk berhenti dan

menyaksikan ritual kematianmu dalam api suci !”

Berbalik badan Kresna melangkah dengan masih berkata.“Tunggulah

sebentar, akan aku atur segala sesuatu yang bersangkut dengan bagaimana kamu

harus melakukan pancingan agar Jayadrata dapat ditemukan”.Segera bergerak

Prabu Kresna mendekati saudara saudara Pendawa, untuk menjelaskan apa yang

hendak dilakukan, kemudian ia melepaskan senjata Cakra Baswara keangkasa.

Senjata cakra adalah senjata sakti yang sejatinya adalah bagaikan senjata

yang terkendali oleh rasa yang ada pada hati dan diri Prabu Kresna. Mempunyai

kesaktian triwikrama sebagaimana yang berlaku pada diri Prabu Kresna.

Page 129: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

129 PANDAWA KURAWA

Segera dalam keremangan sore setelah prahara hujan buatan dari Arjuna,

maka tak terasalah bahwa sinar matahari yang tertutup senjata cakra bagai

menyambung ke masa senja yang sebenarnya.

Api pancaka sudah disulut, para Pandawa yang sudah dibisiki oleh Prabu

Kresna akan tindakan yang hendak dilakukan, mengenakan pakaian serba putih.

Tidak hanya para prajurit Pandawa yang hendak menyaksikan peristiwa itu, para

Kurawapun ikut juga tersulut rasa penasarannya, menyaksikan dengan

kegembiraan yang tiada terkira. Dalam hatinya mereka mengatakan, bahwa

sekaranglah saatnya salah satu bahu Pendawa akan lumpuh dengan kematian

Arjuna.

Arjuna yang sudah diberi pembekalan segera naik ke panggung ,

bersembunyi dalam kobaran api berseberangan dengan tempat Jayadrata berada.

Jayadrata, seorang manusia keras hati, pada dasarnya ia tidak rela dengan

keadaan yang memaksanya bersembunyi bagai seorang pecundang. Rasa

penasaran mengalahkan ingatannya yang telah ditanamkan pada benaknya, bahwa

ia tak boleh terpengaruh oleh apapun yang terjadi disekitarnya. Maka ketika

suasana makin meriah dengan teriakan yang menyebutkan Arjuna bakar diri,

pertama yang dilakukan adalah melihat dari celah lubang udara. Gelapnya suasana

membuat ia tak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi diluar. Makin

penasaran, sekarang lehernya dikeluarkan untuk melihat dengan lebih jelas yang

terjadi diluar sana.

Page 130: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

130 PANDAWA KURAWA

Kejadian berlangsung sangat cepat. Ketika kepala Jayadrata keluar dari

lubang persembunyian, matahari muncul kembali setelah Cakra dikendalikan

untuk segera bergeser dari tempatnya. Secepat itu pula, Kyai Pasopati segera

dilepaskan. Putus leher Jayadrata menggelinding keluar dari bunker baja.

Kembali suasana terang matahari sore membuat gaduh suasana.

Werkudara sigap segera mengejar kepala Jayadrata. Saking geregetan

ditendangnya kepala Jayadrata yang jatuh itu menjadi bulan bulanan para prajurit

Hupalawiya. Kepala itu pada akhirnya mendarat didepan Resi Sempani.

Orang tua itu menangis memelas, melihat betapa nista jasad anaknya yang

dibuat permainan itu.

“Jayadrata anakku, walau kamu sudah tidak berbadan lagi, sebenarnya

kamu belumlah mati. Kamu masih hidup !”

Ajaib. Kepala yang tadinya tak berdaya, dengan mata terbuka, menyala

dendam terpancar dari bola mata itu !

“Gigitlah patrem ini, mengamuklah kamu atas kemauanku !” Sabda sang

Resi melayangkan kepala tanpa badan kembali ke medan pertempuran.

Kembali geger suasana di Kurusetra. Sepotong kepala mengamuk dengan

keris tergigit di giginya. Perasaan ngeri menghinggapi seluruh prajurit

Randuwatangan melihat kejadian yang membuat bulu tengkuk berdiri. Puluhan

prajurit kecil menjadi korban disisa hari dengan cara yang tak terkira. Tidak hanya

itu, putra lain Arjuna, Raden Gandawardaya, Raden Gandakusuma dan dan Raden

Page 131: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

131 PANDAWA KURAWA

Prabukusuma tewas oleh amukan kepala yang melayang layang mengerikan.

Sepotong kepala dengan senjata dimulutnya !

Tidak mau banyak lagi yang menjadi korban, Kresna segera mencari tahu

dimana Resi Sempani yang diketahuinya menjadi penyebab kejadian mengerikan

ini. Setelah ditemukan, segera dihampiri Sempani yang tengah mengucapkan

berulang ulang ucapan sakti penyebab amukan kepala anaknya. “Hiduplah

Jayadrata, jangan mati”.

Berulang kalimat ini diucapkan.

Kresna hendak mengganggu dengan membalikkan kata kata namun awas

perasaan Sempani dengan akal akalan Kresna. Tetap ia mengucapkan kata mantra

dengan benar.

Tidak mau kalah akal Prabu Kresna, segera menjadi lalat yang

mengganggu bibir dan hidung. Sehingga salahlah ia mengucapkan kata mantra

sakti hingga terbalik, “ Matilah Jayadrata ! Sadar dengan ucapannya, dan kaget

dalam hatinya yang segera ia maju ke peperangan. Tidak terima ia dengan akal

akalan yang dilakukan Kresna.

Kepala Jayadrata yang kembali terkulai ditanah, kali ini tak dibiarkan

utuh, gada Rujakpolo atau gada Lukitasari Werkudara, segera menghancurkan

kepala itu menjadi tak berbentuk lagi.

Namun bahaya belum berakhir, sekarang berganti bahaya datang dari

amukan Sempani. Pendeta tua, bekas raja sakti itu mendesak maju dengan sebilah

Page 132: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

132 PANDAWA KURAWA

pedang menebas-nebas ganas bengis, siapapun yang menghalangi krodanya.

Drestajumna mencoba menghentikan amukan Sempani. Sesama menggunakan

pedang ia mencoba melayani permainan pedang jago tua itu. Tetapi kekuatan

orang tua itu tidak dapat dianggap enteng. Saling serang berlangsung hingga

matahari sudah menyentuh ufuk.

Tidak mau bertele tele, Kresna segera mendekati Arjuna. “Adimas, segera

kembali turunkan hujan, Sempani adalah orang yang tidak tahan terhadap

dinginnya hujan”.

Demikianlah, tak percuma Arjuna bernama Indratanaya, yang berarti anak

Batara Indra, dewa hujan. Maka hujan senja hari kembali turun dengan lebat.

Ternyata memang tidak salah, orang tua itu menggigil kedinginan, terkena

hujan yang turun dingin dilangit senja. Ia jatuh terduduk tak berdaya yang

kemudian napas tuanya memburu keluar satu persatu dan akirnya satu tarikan

nafas mengakhiri hidup ayah prajurit sakti Jayadrata.

Jayadrata seorang yang sejatinya mempunyai kedekatan kejadian dengan

Bimasena, tetapi sepanjang hidupnya ada dipihak lawan, karena hubungan

kekerabatan kakak adik ipar yang dekat dengan Prabu Duryudana , ia lebih

memilih tinggal di kesatrian Banakeling, daripada menjadi raja di tlatah Sindu . ...

Barata

Page 133: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

133 PANDAWA KURAWA

MAJUNYA BURISRAWA

Pegal, sebal, rasa Prabu Duryudana. Kembali ke Astina disela sela perang,

dirancang bakal mengendurkan rasa tegang. Tetapi yang terjadi adalah rancangan

yang berubah menjadi mentah. Yang ditemui di taman Kadilengeng bukan

layanan penuh kasih sang istri yang didadamba siang dan malam sepeninggalnya

dari istana. Yang ditemui ternyata hanyalah keruwetan yang menambah kusut

masai keadaan hati didalam. Ricuh di taman Kadilengeng masih meninggalkan

rasa sebah tetapi rindu terhadap sang istri, belum terlampiaskan. Sehingga rasa

hati itu akhirnya terbayang diwajah kusut sang Prabu.

Untuk mengobati segala rasa itu, segera ia mandi. Didalam mandinya,

tetap yang terbayang adalah sang istri, Dewi Banowati.

Page 134: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

134 PANDAWA KURAWA

Setelah mandi ia berganti busana kependitaan hendak bersamadi

menenangkan batin. Ubarampe persembahan utama telah disediakan berupa

sebongkah kemenyan sebesar kepala kerbau yang diletakkan diatas pedupaan.

Segera disulut dengan api secara hati hati, namun berkali kali gagal. Dalam sekian

kali usaha akhirnya berhasil ia menyalakan pedupaan itu. Segera upacara

dilakukan dengan duduk bersila, ia berusaha memusatkan perasaan heningnya,

menutup semua sembilan lubang tubuhnya.

Bau kembang gadung dan semerbak bunga menur tercampur akar akaran,

mewangi tercampur dengan asap dupa yang berkeluk meliuk naik keangkasa

berbaur mega, yang bila terlihat bagai bayangan sosok dewata.

Tak lagi samar akan sinar pamor sang suksma yang melayang

dikeheningan sepi. Yang tersimpan didalam kalbu sang Prabu hanyalah kunci

pembuka pintu hati. Dalam keadaan yang setengah sadar, bagai pesat laju

lepasnya mimpi, sang sukma Duryudana menyusup dalam kesejatian rasa.

Namun belum tuntas dalam melakukan ritual itu, bayangan Dewi

Banowati kembali membayang menggoda pemusatan rasa sang Prabu. Gagal sang

Prabu mencapai puncak pemuja, kembali ia berusaha dari awal. Namun kembali ia

gagal

Berkali kali berusaha, berkali itu pula ia gagal dan gagal lagi. Murka sang

Prabu Duryudana, ditendangnya pedupaan hingga pecah berantakan. Dalam

hatinya ia memaki dewata yang dikiranya berbuat rencana buruk buat dirinya.

Page 135: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

135 PANDAWA KURAWA

Merasa tak lagi ada gunanya ia kembali ke Astina, segera dipanggilnya

tunggangan sang Prabu, berrupa gajah putih bernama Kyai Pamuk. Segera dipacu

tunggangan itu kembali ke Pesanggrahan Bulupitu, dengan secepat cepatnya. Ia

hendak melampiaskan kekesalan yang menggunung tumpuk menumpuk

didadanya.

Tak beberapa lama saking cepat lari sang gajah, sore itu sudah kembali ke

pesanggrahan Bulupitu, yang ditinggalkan setelah ricuh tempo hari.

Kembali ia menemukan kenyataan sangat pahit. Berita kematian adik

iparnya, Jayadrata, membuatnya semakin murka.

“Paman Pendita Durna, sudah berapa hari andika menjadi senapati ?

Kesanggupan andika paman dalam menumpas Pandawa, meringkus Puntadewa

selama itu tak kelihatan nyatanya ! Gugurnya anakku yang merupakan

kehilangan lebih dari seisi harta kekayaan negara, sekarang telah andika tambahi

dengan menyusulnya adipati Banakeling, Jayadrata ! Itukah yang andika telah

lakukan dalam ujud pengabdian sebagai senapati ! Kalau boleh aku sebut, andika

adalah seorang guru yang telah melakukan pilih kasih. Paduka sang Penembahan

telah melakukan perbuatan dengan standar ganda. Raga andika ada di sekitar para

Kurawa,namun dikedalaman hati, para Pandawalah yang bersemayam dalam hati.

“Itu dapat dilihat dari pencapaian selama andika menjadi senapati. Hanya

matinya Abimanyu-kah yang dapat andika lakukan ? Taklah itu seimbang dengan

gugurnya Pangeran Pati Astina, satu satunya anakku lelaki sebagai penyambung

keturunanku. Apakah aku sendiri yang harus maju menjadi senapati !”

Page 136: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

136 PANDAWA KURAWA

Pandita Durna yang dicerca sedemikian bertubi tubi, malu dalam hatinya.

Melihat Prabu Duryudana masih hendak menyambung kata katanya, tak tahan ia.

Segera pergi ia tanpa pamit. Dalam lubuk hatinya, sangatlah sakit diperlakukan

demikian. Apalagi peristiwa kemarin hari, yang menyebabkan tewasnya adik

iparnya, dan diusirnya Aswatama, membuat ia merasa bagai terkeping keping

hancurnya hati.

Kejadian di Bulupitu menjadikan Prabu Salya sangat prihatin.

“Aduh anak Prabu, sudahkah anak Prabu berpikir jernih dengan kata

katamu tadi ?” Salya yang dari tadi diam, berbicara ia mengingatkan. “Akan

susut kekuatan Kurawa bila ia tidak lagi ada pada pihak kita. Ia belumlah

melangkah ke palagan dengan kekuatan dirinya. Selama ini ia baru menggunakan

kekuatan orang orang disekelillingnya. Seharusnya anak Prabu memberi

kesempatan kepadanya dengan lebih luas untuk meringkus para Pandawa dengan

kekuatannya sendiri.”

Sesal sang Prabu tiada guna. Dipanggilnya patih Sangkuni “Paman Harya,

segera susul Pandita Durna, sampaikan rasa sesalku yang tak kuat menahan beban

rasa yang menggelayut didadaku. Mintalah ia segera untuk kembali ke Bulupitu”.

“Daulat titah anak Prabu. Malam ini juga akan aku cari beliau. Tak akan

pamanmu pulang, sebelum Kakang Durna ditemukan. Namun bolehkah hamba

ditemani Aswatama ?”

Tanya Sangkuni ragu, karena setahu ia , Aswatama telah menjadi orang

yang tak disukai sang Prabu, ketika terjadi ricuh di Bulupitu. Namun otaknya

Page 137: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

137 PANDAWA KURAWA

yang encer mengatakan, Aswatama-lah yang hendak dijadikan pasal untuk

merayu kembalinya Dahyang Durna, bila ia ketemu nanti.

“Terserahlah Paman mau ditemani siapa. Yang penting adalah kembalinya

Pandita Durna”.

Mundur Patih Harya Sangkuni sambil menghaturkan sembah.

Sesampainya diluar, diperintahkan prajurit pecalang untuk menghadirkan

Aswatama. Malam gelap itu ia ditemani anak Durna berjalan tanpa tujuan,

mencari seseorang dengan jejak yang tak nampak. Sasar susur kedua orang itu

malam yang pekat mencari keberadaan Pandita Durna. Tak terasa mereka telah

jauh meninggalakan medan Kurusetra.

Sementara di Bulupitu, merenung Prabu Duryudana memikirkan situasi

yang terjadi atas barisannya. Setengah menyerah, setengah semangat berganti

ganti terrasa didalam hatinya. Bagaimanapun juga, adanya orang tua itu telah

menjadikan rasa dan pikirnya semangat, karena kesaktian gurunya itu sebenarnya

sejajar dengan keberadaan Resi Bisma ketika itu, yang sama sama murid dari

Ramaparasu. Petapa sakti yang panjang umurnya. Pertapa yang hidup sebelum

jaman Ramayana berlaku hingga ia mempunyai murid Dewabrata dan

Kumbayana yang kemudian ia dipanggil dewata sebagai penghuni kahyangan.

Prabu Duryudana akhirnya ia berpikir akan negaranya, Astina, bila ia maju

sendiri ke peperangan sebagai senapati.

Bahkan sempat terlintas dipikirannya, bila ia mati dalam peperangan,

maka suksesi kepemimpinan akan dikemanakan.

Page 138: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

138 PANDAWA KURAWA

Teringat tentang hal ini, dipanggilnya adiknya Arya Dursasana. Dalam

pikirnya, ia harus menyiapkan pangeran pati baru sebagai pengganti anak

sulungnya Lesmana Mandrakumara.

“Adikku Dursasana, tahukah kenapa aku panggil kamu ?” Duryudana

membuka pembicaraan dengan maksud menjajagi hati adik kesayangannya.

“Tidak kanda prabu. Kalaupun hamba sudah dipanggil pastilah hamba

bakal dipercaya menjadi senapati. Ngiler rasanya bagaikan ngidam rujak

cempaluk. Cepatlah kanda Prabu mengatakan, sekaranglah hamba harus

melangkah kemedan pertempuran sebagai seorang senapati melawan Pandawa”.

Sudah menunggu sekian lama saya mengharap maju sebagai senapati, ikut

perang di hari hari kemarinpunpun serba dibatasi. Apalagi dijadikan senapati.

Hari ini hamba dipanggil, gembiranya hati adikmu ini bagaikan mendapat

ganjaran yang tiada ternilai harganya. Perkenankan adikmu ini, untuk segera

melangkah ke peperangan “. Harapan akan tugas sebagai senapati memenuhi dada

Dursasana.

“Jauh dari yang kamu harapkan”. Tegas kata sang Prabu.

“Hah . . . Bagaimana sebenarnya ?. Kecewa berat Dursasana mendengar

jawaban kakak sulungnya itu dengan seribu tanya dihatinya.

“ Hari ini, kamu saya suruh kamu pulang ke istana”. Makin tak mengerti ia

mendengar jawaban kakaknya. Belum jelas apa yang dimaksud kakaknya, ia

melanjutkan “Apakah ada musuh yang menerabas dari belakang ?”

Page 139: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

139 PANDAWA KURAWA

“Ada pekerjaan yang harus kamu lakukan. Jagalah kakak mu Banuwati”

Kaget setengah tak percaya ia mendengar titah kakaknya. Sampai sampai ia

menanyakan kembali perintah itu, tapi jawabannya sama saja.

Tidak puas Dursasana menawar “Bagaimanapun saya seorang prajurit,

yang seharusnya maju ke medan perang. Kenapa haru kembali ke istana ? Kalau

boleh kali ini hamba menolak perintah paduka”

“Apa kamu tidak takut aku ?” Tanya Duryudana mempengaruhi adiknya.

“Takut ? Pasti. Karena kanda prabu adalah raja hamba, juga kakak sulung

hamba”. Kecewa Dursasana makin dalam. Keringat dingin yang mengalir

diwajahnya dibiarkan mengalir. Ia tak peduli dengan keadaan dirinya ketika

batinnya berontak hebat.

“Yang saya ingin sampaikan adalah, kekhawatiranku akan terjadinya apa

apa terhadap kakak iparamu dan terhadap kamu sendiri”. Dijelaskannya maksud

dari semua perintah terhadap adiknya.

Tabiat Dursasana dikenal sebagai seorang Kurawa pemberani cenderung

ugal ugalan. Maka ketika diberi tugas menjaga wanita, batinnya sangat tidak

terima. Tetapi apa daya, rasa bakti terhadap kakaknya mengalahkan segalanya.

Maka berangkatlah dengan langkah gontai, Raden Arya Prawira

Dursasana. Semangat menggebu gebu diawal, terkubur oleh perintah kakaknya

yang menyebabkan ia merasa, seakan didandani dengan bedak tebal dimukanya,

dipoles bibirnya dengan gincu, sementara gelung rambutnya dirubah seperti

Page 140: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

140 PANDAWA KURAWA

bentuk gelung malang, gelung para wanita. Dalam perasaannya ia juga bagai

dipakaikan kain minting minting bak dandanan wanita.

Hari telah berganti lagi, pagi baru menjelang. Kekosongan senapati

membuat putra Mandaraka, Burisrawa, adik Banuwati, tanpa diperintah telah

mengambil alih peran Pandita Durna. Segera ia menyusun barisan tanpa pola

menyerang maju ke padang Kuru dengan ampyak awur awur, serabutan membabi

buta.

Ketika dilapori bahwa hari itu pasukan Bulupitu datang dengan pimpinan

Burisrawa, Werkudara yang sedang berjaga di garis depan, pesanggrahan

Randugumbala segera bersiap menghadang.

Tetapi Setyaki, yang dari dulu sudah menjadi musuh bebuyutan, segera

menyelonong kehadapan Arya Werkudara.

“Kanda Arya, ini yang aku tunggu dari kemarin ! Sekaranglah waktunya

yang tepat untuk menuntaskan dendam berkepanjangan antara aku dengan

Burisrawa” ingatan Setyaki berbalik ke masa masa lalu, yang berkali kali gagal

menuntaskan permusuhan bebuyutan dengan Burisrawa. Terakhir kali ingatnya, ia

bertempur sewaktu mengikut Prabu Kresna ketika didaulat menjadi kusirnya

sebagai duta terakhir sebelum pecah perang.

“Bungkik, apa yang menjadi bekal kamu dalam menghadapi Burisrawa

yang berbadan lebih besar dan kekuatan bagaikan orang hutan” Tanya Werkudara

meyakinkan tekad Setyaki.

Page 141: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

141 PANDAWA KURAWA

“Yang paling utama adalah tekad !” Jawab Setyaki yakin.

“Tekad tidak cukup !” Kembali Werkudara menjawab

“Jadi harus bagaimana ?” Tanya Setyaki memancing.

“Sebelum kamu maju menghadapi Burisrawa, akan aku uji dulu

kekuatanmu !“ Werkudara menawarkan cara

“Silakan kanda Arya !” Setyaki bersiap diri.

“Angkat Gada Lukitasari punyaku, bila kau sanggup mengangkatnya,

kamu pantas menghadapi Burisrawa”. Ujian pertama ditawarkan.

Segera disorongkan batang gada kehadapan Setyaki, dengan sekali usaha,

terangkat gada super berat Arya Bimasena.

“Bagus , kamu memang pantas menyandang nama Bima Kunting !” .

Bima Kunting artinya adalah Bima dengan tubuh kecil. Dijuluki demikian,

Setyaki tetap bangga.

“Tapi itu belum cukup ! Satu lagi, bila kamu bisa kuat menerima pukulan

gadaku ini, kamu boleh berangkat sekarang !.” Kembali ujian kedua ditawarkan.

“Silakan kanda.” Kembali Setyaki bersiap diri.

Dipukulnya Setyaki dengan gada Rujakpolo. Gelegar suara benturan

badan Setyaki dengan batang gada bahkan menggetarkan tanah tempat Setyaki

berpijak. Gelegar suara itu bagai menerpa batang baja. Setyaki tetap bergeming.

Gembira Werkudara menyaksikan kekuatan adik misannya.

Page 142: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

142 PANDAWA KURAWA

“Ayoh berangkat akan aku awasi dari jauh !” Werkudara memberi aba aba

Bangga Setyaki lulus dalam ujian yang tidak ringan itu.

Semakin percaya diri Setyaki menghadapi Burisrawa. Iapun sesumbar.

“Nanti siapapun yang kalah, tak ada seorangpun yang boleh membantu !”

Maka berhadapanlah kedua satria yang sudah lama saling mendendam.

Bara dendam memercikkan semangat untuk saling mengalahkan dalam arena

resmi ini. Mereka berdua bertekad untuk menyelesaikan adu kekuatan dengan

kemenangan.

“Heee Setyaki yang datang menjemput aku, sudah bosan rasanya aku

melihat kamu lagi. Kali ini adalah kali yang terakhir. Aku tak mau melihat

tampangmu lagi. Biar aku tekuk kamu sekarng ! Tidak mungkin kamu

mengalahkan aku !”

“Apapun katamu, sekarang tak ada lagi yang bakal menunda kematianmu

!”.

“Apa yang kamu andalkan ? Besarnya badan, lebih besar aku. Kekuatan

pasti lebih kuat aku. Majulah kemari orang kecil, terkena sambaran kakiku lunas

nyawamu !”

“Jangan banyak mulut, serang aku sekarang juga !”

Adu kekuatan mulanya berjalan seimbang. Pukulan tangan kosong dada

Setyaki dilancarkan Burisrawa. Berkelit sambil memiringkan badan Setyaki

Page 143: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

143 PANDAWA KURAWA

menghindar sambil mengayunkan sapuan kaki kanannya. Tak mau terkena sasaran

kaki Setyaki, Burisrawa meloncat. Sambil berbalik badan, kakinya mengarah ke

leher Setyaki.

Kali ini benturan tak dapat dielakkan lagi, Setyaki merunduk sambil

mengerahkan kekuatan ditangannya, kaki Burisrawa ditebas dengan tangan

berkekuatan penuh. Benturan keras terjadi. Sementara tangan Setyaki kesemutan,

Burisrawa mendaratkan kakinya dengan terpincang pincang.

Kembali adu kekuatan kaki dan tangan keduanya berlangsung silih

berganti. Saling serang dengan kekuatan raksasa, diselingi dengan ketangkasan

beradu gada.

Setengah hari telah berlalu. Lama kelamaan kekuatan tenaga dari kedua

satria itu makin dapat ditebak keseimbangannya. Walaupun Setyaki bertenaga

raksasa penjelmaan raksasa Singa Mulangjaya, namun Burisrawa adalah anak raja

Mandaraka yang hampir tak pernah betah tinggal di istana. Ia lebih suka berkelana

dihutan hutan hingga kesisi lautan. Berguru pada berbagai orang sakti, hingga

Batari Durga dan Betara Kala sekalipun pernah menjadi gurunya. Tak heran ia

menjadi manusia dengan kekuatan gorila, karena rajinnya ia mencari kesaktian

dan menyadap kekuatan alam.

Maka pada suatu saat, Setyaki terkunci oleh gerak pitingan Burisrawa.

Setyaki mengerahkan seluruh kekuatannya, tetapi bagai terjepit ragum baja

raksasa, rontaannya tak sanggup ia lepas dari jepitan kekuatan raksasa Burisrawa.

Page 144: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

144 PANDAWA KURAWA

Bangga Burisrawa akan usahanya menjepit Setyaki “Disini akhir hidupmu

Setyaki. Akan aku patahkan tulang belulangmu sedikit demi sedikit, agar kamu

tahu, betapa sakitnya berani beraninya melawan Burisrawa !”.

Belas kasih Prabu Kresna melihat adik istrinya, Setyaboma, terjepit oleh

kekuatan raksasa Burisrawa. Tapi di awal sudah ada perjanjian antar keduanya,

bahwa peperangan tanding itu tidak boleh dibantu oleh siapapun. Tak kurang akal,

Kresna memanggil Arjuna hendak melakukan sandiwara agar adik iparnya itu

dapat ditolong.

“Arjuna, aku masih ragu terhadap trauma atas kematian anak anakmu.

Apakah jiwamu sudah penuh kembali seperti semula atau belum ! Karena masih

banyak para sakti yang masih bermukim di pesanggrahan Bulupitu. Ujian akan

aku berikan, hingga aku tahu sampai dimana kembalinya pemusatan pikirmu.

Sekarang aku uji pemusatan pikiranmu, dengan memanah sehelai rambut yang

ada ditanganku ini, kenai dengan panahmu Kyai Pasopati . . !”

“Marilah kanda Prabu, akan aku buktikan kembalinya kekuatan jiwa

ragaku” mantap Arjuna menerima tantangan ujian itu.

Terlepas panah Pasupati memutus rambut yang terpegang Prabu Kresna,

tetapi sejatinya, arah yang diharapkan Prabu Kresna adalah searah dengan

keberadaan Burisrawa yang tengah memiting Setyaki. Maka tak ayal lagi

terserempet Kyai Pasupati, lengan Burisrawa terputus, tergeletak jatuh ketanah.

Page 145: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

145 PANDAWA KURAWA

Merasa pitingan lawan kendor, disertai raungan kesakitan Burisrawa,

Setyaki punya kesempatan meraih gadanya. Dipukul kepala Burisrawa berkali

kali, tewas seketika Burisrawa.

Bangga Setyaki melihat lawannya tergeletak tak bernyawa lagi.

“Huh Burisrawa . . . ! Sumbarmu bagai hendak memecahkan langit !

Kepentok kesaktianku, mati kamu sekarang !” Berkacak pinggang Setyaki

didepan jasad Burisrawa.

“Setyaki siapa yang membunuh Burisrawa ?” Kresna yang menyusul

kearah Setyaki menjajagi rasa bangga Setyaki.

“Tentu saja adikmu yang gagah sentosa ini !” Kebanggaan Setyaki belum

habis juga

“Coba lihat sekali lagi, apa penyebab kamu bisa lepas dari pitingan

lawanmu ?” Tanya Kresna.

“Oooh . . . . . Jadi lengannya telah putus lebih dulu sebelum hamba pukul

kepalanya ?”

“Makanya jadi orang jangan pandir, hayuh minggir , lihat ayah Burisrawa,

Prabu Salya tidak terima !” Buru - buru Setyaki diseret Prabu Kresna agar

menjauhi jasad Burisrawa.

Memang yang terjadi adalah Prabu Salya hendak maju kemedan perang.

Tapi tak tega Prabu Duryudana segera memegangi Prabu Salya, agar berlaku

Page 146: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

146 PANDAWA KURAWA

sabar terlebih dulu. Duryudana merasa belum saatnya sang mertua untuk

bertindak walaupun tahu betapa sedihnya hati orang tua itu tatkala melihat

anaknya lelaki yang tinggal satu itu, setelah kematian kakak Burisrawa,

Rukmarata, maka yang tertinggal adalah ketiga anak perempuannya, Erawati,

Surtikanti dan Banuwati.

Barata

TEGAKNYA HARGA DIRI SEORANG PROFESOR

Page 147: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

147 PANDAWA KURAWA

Sejenak kita kembali kepada saat padang Kurusetra bergejolak, atas

kehendak Adipati Karna dalam menjalankan perang di waktu malam. Kita beralih

ke tempat yang lain namun dalam waktu yang bersamaan, di hutan Minangsraya.

Ditempat ini terlihat bentangan suasana alam nan luas. Suasana yang tergelar

samar dan muram, seperti halnya cahaya kunang kunang. Tak berdaya sinarnya,

kalah tertelan oleh cahaya bulan purnama di awang awang. Ketika itu pranata

mangsa telah menunjuk pada musim kemarau dan awan tipis berarak di kaki

langit, menjadikan terpesona yang melihatnya. Bahkan juga mahluk seisi

hutanpun ikut terpana, batang pohon kayu besar-pun terbakar.

Gambaran suasana yang ada di hutan Minangsraya ini, saat Pandita Durna

yang terlunta lunta dan sakit hati, dijatuhi murka sang Duryudana. Duduk bersila

dibawah pohon baniyan, resi Durna mengheningkan cipta. Semua pancaindriya

dimatikan, hanya rasa jati yang dimunculkan. Terseret sukma sang begawan

kedalam alam layap leyep, alam samar. Dan pesatlah laju suksma sang Pandita

melesat keharibaan sang gurunadi, guru sejati, Ramaparasu.

Kaget sang Ramaparasu melihat datangnya Kumbayana yang menampakkan

wajah murung.

Sembah bakti telah dihaturkan ke haribaan Ramaparasu atau

Ramabargawa. Kemudian Kumbayana menyampaikan segala isi hatinya.

“Guru, hamba telah kehilangan harta yang tak bernilai harganya. Bahkan

seluruh raga ini telah terasa bagai terseret runtuhan gunung Mahameru. Luluh

lantak sudah tak berujud lagi”

Page 148: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

148 PANDAWA KURAWA

“Apa sebab kamu merasa demikian, segala kesaktian, guna kawijayan

kanuragan, kasantikan telah kau terima dariku waktu lalu, bagaikan telah tertuang

habis mengalir kepadamu. Dan bila kamu merasa telah kehilangan harta yang tak

ternilai seperti yang kau sebutkan tadi, segera jelaskan apa maksudnya.” Rama

Bargawa menanyakan, namun dalam hatinya ia tidak syak lagi, bahwa didepan

telah menjelang peristiwa besar yang menanti garis perjalanan Kumbayana

muridnya.

“Bapa Guru, hamba telah kehilangan kepercayaan dari junjungan hamba

Prabu Duryudana dalam mengemban tugas sebagai seorang senapati. Inilah yang

hamba anggap kehilangan yang terbesar dalam hidup. Kehilangan kepercayaan

yang berturut turut terjadi, setelah putra kesayangan hamba satu satunya

Aswatama, telah diusir jauh dari pandangan mata junjungannya. Dan kini

kehilangan kepercayaan dari seorang raja mengenai kegagalan hamba dalam

melakukan tugas, adalah, bagai runtuh dan leburnya harga diri. Sekali telah

runtuh, banyak waktu dan usaha yang teramat sulit untuk mendirikannya kembali,

malah mungkin tak kan pernah lagi terbangun kepercayaan itu lagi” sedih

Kumbayana memuntahkan isi hatinya, mukanya tertunduk dalam, menanti jawab

sang guru yang apapun ucapannya nanti, dalam niatnya ia akan menjalankan

sepenuh hati.

“Jadi apa maksudmu sekarang ? Apalagikah yang harus aku berikan untuk

mengatasi masalahmu ?” Sang guru sebenarnya berwatak keras sepanjang

hidupnya, namun sekarang tersentuh hatinya menanyakan maksud Kumbayana.

Page 149: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

149 PANDAWA KURAWA

“Berilah hamba pencerahan. Krisis kepercayaan yang terjadi pada diri

hamba sekarang, telah menutup nalar hamba terhadap segala pertimbangan dan

keputusan yang harus hamba ambil. Sekali lagi mohon pencerahannya bapa guru.”

Memohon dengan seribu hormat Kumbayana kepada sang guru.

“Sekarang kamu sedang menimbang perkara apa ?” Kembali Ramaparasu

menegaskan pertanyaannya.

“Haruskah hamba meneruskan peran yang sedang hamba pikul dipundak

ini, apakah cukup disini riwayat Kumbayana, dan kemudian beban itu kami

letakkan ? Kemudian hamba minta kerelaan paduka guru, agar hamba

dapat menjadi abdi paduka guru selama lamanya !” Kumbayana mengakhiri

kalimat itu dengan kesan mendalam bagi sang guru bahwa ia benar benar ada

dalam keputus asaan yang berat.

“Kumbayana, pantang bagi manusia sepertimu yang walaupun pada

kenyataanya kamu adalah seorang pandita, namun dalam jiwamu masih

bersemayam jiwa satria yang kuat. Seharusnya kamu tidaklah meletakkan beban

yang disandangkan ke punggungmu, bila belum memperoleh kata perintah

berhenti dari yang memberi beban. Apalagi menyerah kemudian memilih pergi ke

alam kesejatian”. Sejenak Rama Parasu berhenti berbicara, ia mengamati

perubahan air muka Kumbayana. Lanjutnya “Bila alam kesejatian yang hendak

kau raih, jalan kearah itu janganlah dilalui melewati keputus asaan. Segeralah

kembali ke medan Kurusetra. Tak perlulah kamu kembali kehadapan Duryudana,

tapi segeralah kerjakan apa yang menjadi tugasmu. Menang atau kalah itu adalah

Page 150: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

150 PANDAWA KURAWA

darma satria. Menang kamu harus meneruskan darmamu, dan bila kalah, jalan

kesejatianlah itulah benar yang seharusnya kau lalui menuju tepet suci. Itu adalah

seharusnya jalan utama bagi seorang kesatria yang harus dilalui ”

“Baik, hamba akan menuruti segala sabda paduka Guru.” Mengangguk

Kumbayana, mengerti yang dimaksudkan oleh gurunya.

“Terimalah bekal sarana sakti dalam menuntaskan tugas itu. Bulu merak

ini mampu membuatmu tak kan terlihat dengan mata telanjang. Syaratnya adalah

kamu tidak boleh bicara ketika menggunakannya. Tetapi bila anak anakmu

Pandawa kuasa untuk mengantarmu kealam abadi nanti, itu pertanda bahwa

merekalah yang sebenarnya berlaku benar dan pantas memenangi perang, atau

sebaliknya.”

Kembali ke raga, sukma sang Kumbayana, setelah mendapatkan

pembekalan dari sang gurunadi. Langkah ringan Pandita Durna diayun kembali ke

Kurusetra. Ia telah menimbang nimbang tentang hal dihadapannya. Mukti dan

mati sekarang terlihat bagai hanya tersekat oleh lembaran setipis kulit bawang.

Ketidak percayaan akan kemampuannya sebagai senapati, akan ia balikkan

menjadi keberhasilan bagi negara tempat ia mengayom, bagi dirinya sendiri dan

terpenting bagi anak turunnya Aswatama. Itulah tekad yang menguat di hatinya.

Apapun kejadiannya nanti, telah tidak menjadi beban lagi baginya.

Malam tinggal sepotong. Malam yang ditempat lain, di padang Kurusetra

baru saja terhenti persabungan nyawa, prajurit Pringgandani melawan prajurit dari

negara Awangga dan segenap jajahannya. Malam dengan pemandangan dan

Page 151: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

151 PANDAWA KURAWA

peristiwa yang mengerikan. Namun ditempat ini, langkah Pandita Durna seakan

diberkati alam semesta. Pemandangan alam yang dilalui menampakkan asrinya

hamparan keindahan bagai sebuah tamasya. Bulan lepas purnama mengambang

dilangit, sinarnya terbias oleh air telaga bening bagai bayangan seekor kura kura

yang mengambang. Sementara sisa gelap malam masih mengelipkan bintang

bintang yang menyebar bagai terpencarnya sari bunga tertiup angin. Ayam hutan

berkokok merdu dari arah ladang pegagan, ketika sang Pendita telah sampai

dipinggir hutan menjelang terang fajar.

Dan ketika semburat merah matahari kembali menerangi hamparan perdu

pinggir hutan Minangsraya, dilihatnya Patih Sangkuni berjalan diiring oleh anak

terkasihnya Aswatama. Dapat akal ia untuk menguji ilmunya, segera ajian Laring

Merak dirapal menurut petunjuk sang guru. Dicolek patih Sangkuni dengan gaya

kocak kebiasaan mereka berdua yang sering bercanda.

“Aswatama, kamu mencolek colek aku, ada apa ?!” Sangkuni yang

terheran, menanyakan ke Aswatama ketika punggungnya merasa ada yang

menyentuh.

“Hamba tidak melakukan itu paman” sanggah Aswatama.

“Lha kalau begitu, pasti disini banyak jin setan periprayangan yang

kerjaannya mengganggu manusia !” Sangkuni setengah berbisik mengatakan

kepada Aswatama.

Page 152: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

152 PANDAWA KURAWA

“Tapi hamba tak diganggunya. Mungkin hamba orang yang tidak banyak

dosa jadi tidak diganggu.” Jawab Aswatama sekenanya.

“Kalau begitu aku ini manusia yang banyak dosa, begitu ?” Kembali

Sangkuni menegaskan.

“Ya begitu, memang kenyataannya !” Terkekeh Pandita Durna menyahut.

Maka tampaklah sosok Durna dihadapan keduanya.

Gembira Patih Sangkuni segera merangkul Pandita Durna. Kemudian

berganti sang Pandita merangkul anak tunggal kesayangannya, Aswatama.

“Lha Wakne Gondel, sudah dua malam aku mencarimu, ayolah kakang,

Sinuwun sudah mengharapkan wakne Gondel untuk meneruskan peran andika

sebagai senapati. Sinuwun Prabu Duryudana menyampaikan rasa sesal yang tak

terkira. Maklumlah, beliau banyak beban dipunggungnya yang kian berat. Apalagi

kematian putra lelaki satu satunya, telah meruntuhkan moral perangnya. Tugas

wakne Gondel sekarang adalah, mengangkat kembali moral sinuwun Prabu

Duryudana.”

“ Ya aku sanggupi. Hari ini sebelum matahari tenggelam, aku sanggup

menyelesaikan perang dengan kemenangan !“. Pendeta Durna menjanjikan.

“ Anakku Aswatama, untukmu aku pesankan, jangan dulu kamu ikut

dalam pertempuran ini, pergilah menjauh dari arena. Kalau aku sudah dapat

membuktikan kerjaku, pasti sinuwun Duryudana akan mengampuni kesalahan

kamu “.

Page 153: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

153 PANDAWA KURAWA

Berita kembalinya Pandita Durna telah memberi bahan bakar semangat

baru bagi prajurit Kurawa. Prabu Duryudana gembira mendengar kedatangan

kembali agul agul sakti sebagai senapati. Melebihi kegembiraan ketika malam

tadi, kakak iparnya, Adipati Karna telah berhasil membunuh Gatutkaca.

Walaupun sang Pendita tidak langsung menghadap, namun kesediaannya

kembali mengatur peperangan yang disampaikan oleh pamannya, Sangkuni, telah

menjadikannya Duryudana bangkit kepercayaan dirinya lagi.

Perang campuh pun kembali berlangsung siang itu. Telah tersedot habis

tenaga dalam peprangan malam kemarin, sisa prajurit Kurawa yang selamat dari

kehancuran perang malam telah kembali bertarung mengadu peruntungan siang

ini.Melihat kelelahan yang mendera para prajurit Bulupitu, sang Senapati tidak

tega. Maka diambil alihlah kendali peperangan dengan peran utama ada pada

tangan Pandita Durna sendiri. Amukan sang Senapati tua, yang kembali dari

pengasingan diri kemarin hari, membawa korban sedemikian besar bagi para

prajurit Amarta. Senjata Jayangkunang ditangannya dengan ajian laring merak

yang membuatnya tidak kasat mata. Mengerikan bagai seberkas api ndaru braja

berkobaran ditengah palagan peperangan, menghanguskan siapapun yang berani

menghadang gerakannya. Gerakannya yang kadang mematikan nyala kerisnya dan

berpindah posisi amukannya membuat lawan kerepotan dalam menentukan

dimana arena amukannya akan terjadi.

Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi prajurit Amarta,

Drestajumna segera menghadap Sri Kresna dan Arjuna.

Page 154: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

154 PANDAWA KURAWA

“Dhuh para sekti, kami meminta pertimbangan kepada paduka, apakah

yang harus kita lakukan agar dapat menghentikan amukan senapati yang tak

terlihat dengan mata para prajurit”.

“Adimas Drestajumna, sudah aku pikirkan sebelum dimas sampai

dihadapanku. Aku akan mengutus kakakmu Arjuna, untuk menghentikan jatuhnya

korban dari tangan Pandita Durna”. Tenang Prabu Kresna memberikan ketegaran

hati kepada sang senapati Pandawa.

“Adikku Arjuna, hanya kamulah yang dapat menghentikan amukan

gurumu Resi Kumbayana. Hanya pesanku, jauhkan rasa yang mengatakan itu

adalah gurumu yang harusnya kamu hormati dan patuhi semua perkataannya.

Ingatlah kata kataku waktu lalu, yang mengatakan, ini adalah perang dimana tidak

ada balas budi antara guru dengan muridnya. Yang ada hanyalah perang dimana

tempat itu adalah arena untuk meluwar segala janji dan memetik yang kita

tanam”. Kresna mengulangi pesan yang pernah ia sampaikan ketika perang baru

saja berlangsung. Ketika itu ragu hati Arjuna menyaksikan lawannya adalah para

saudara sendiri, paman, eyang, bahkan gurunya sendiri, hingga membuat

semangatnya luluh dan ia jatuh terduduk dengan badan yang gemetar.

“Kata kata kanda Prabu akan kami junjung tinggi dan akan hamba

laksanakan. Mohon petunjuk kanda Prabu selanjutnya” Mantap Janaka menjawab.

“Baiklah. Sarana untuk melihat keberadaan lawanmu adalah rumput

Sulanjana yang kamu miliki sejak lama, pergunakanlah untukmu sendiri dan

Page 155: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

155 PANDAWA KURAWA

orang orang yang kamu percayai dalam membantu usahamu, adimas”. Pesan

Prabu Kresna mengakhiri pembicaraan.

Maka beranjaklah Arjuna mengatur barisan dan menggunakan sarana agar

dapat melihat dimana adanya musuh yang tidak terlihat itu. Sementara Kresna

memberi pesan juga, agar mengulur waktu karena dirinya hendak mencari

keberadaan Werkudara yang meninggalkan Tegal Kuru tanpa pamit hendak

kemana.

Prabu Drupada yang mendapatkan jatah rumput sulanjana segera

menghadang gerakan Pandita Durna. Ia merasa masih punya ganjalan dengan

teman karibnya dahulu. Setengah memaksa kepada Arjuna dan anaknya

Drestajumna, agar ia dapat melayani senapati Bulupitu itu.

Maka ketika sari rumput sulanjana sudah diteteskan pada matanya,

Drupada dengan mudahnya mendapati dimana Begawan Durna berada.

“Heh Kumbayana, tak ada gunanya kamu bersembunyi dalam ajianmu.

Ayolah kita menentukan siapa sejatinya yang lebih benar dalam persoalan trah

Barata ini”.

“Ooh . . Kakang Sucitra, baik aku layani segenap kesaktian yang kamu

miliki. Lupakan saat dahulu ketika bersama sama berguru. Lupakan saat kita

sudah melewati simpang jalan dan kamu sudah mukti wibawa di Pancalaradya,

yang mengakibatkan kamu kurang berkenan, karena aku kurang tata susila ketika

aku menemuimu. Peristiwa yang membuat marah adik iparmu Gandamana dan

Page 156: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

156 PANDAWA KURAWA

membuat cacat seluruh ragaku. Tapi dalam pertemuan ini, persahabatan kita harus

berakhir dalam permusuhan. Salah satu dari kita harus berakhir masa

pengabdiannya sebagai tokoh yang membawa kebenaran dalam sudut pandang

kita masing masing”.

Maka bersiaplah kedua tokoh tua itu. Serangan demi serangan segera

mengalir gencar. Pada mulanya anggauta tubuh sang Drupada yang lebih lengkap

ditambah dengan ajiannya Lembu Sekilan mampu mendesak posisi sang Pandita

yang hanya bertangan fungsi tunggal. Namun pandita Durna adalah seorang guru

yang setiap kali menurunkan ilmunya bukan menjadi berkurang, tetapi malah

semakin matang. Sementara Prabu Drupada adalah seorang raja yang walaupun

sakti pada masa mudanya, tetapi kehidupan istana yang lebih menjanjikan

kemewahan pelayanan membuat ia kurang terasah kemampuan fisiknya.

Maka kembali lelaku pengasahan ilmu yang berkesinambungan-lah yang

unggul. Hal ini yang membuat Durna berada diatas angin. Apalagi ketika ada

kesempatan terbuka, sang pandita mampu menancapkan senjatanya. Tembus dada

sang Sucitra tua hingga kejantungnya.

“Kumbayana, aku mengakui kesaktianmu lebih unggul dariku,

dan rasanya sudah dekat ajalku . . . . . “ terpatah kata kata Sucitra yang sudah

roboh ditanah yang bersimbah darah. Ia menyampaikan isi hati dihadapan

Kumbayana yang masih berdiri mematung. Dengan nafas yang makin satu satu

keluar dari mulut yang berlumur darah, Drupada lirih melanjutkan, “namun . . .

Persahabatan kita hendaknya tidak berhenti . . . . Sampai disini. Aku akan sabar

Page 157: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

157 PANDAWA KURAWA

menungguimu kembali ke alam kelanggengan bersamamu . . . Mudah mudahan

waktu tunggu . . . . Ini tak akan lama”

Termangu sang Kumbayana ketika melihat teman seperguruan tewas

ditangannya. Seketika tersadar ketika sorak sorai membahana mengabarkan

tewasnya Prabu Drupada.

Dilain pihak, sesal sang Arjuna melihat mertuanya tewas. Tetapi itu tak

lah berguna. Kehendak keras Prabu Drupada yang memintanya agar diberi

kesempatan bertarung dengan teman lamanya, ternyata adalah saat ia

mengantarkan jiwanya menuju keabadian.

Tak ada pilihan lagi bagi Arjuna-Dananjaya untuk mengatasi runtuhnya

moral prajuritnya, karena gugurnya Prabu Drupada. Maka majulah ia kehadapan

gurunya.

“Sembah baktiku kami haturkan kehadapan Bapa Guru” Dananjaya

mengaturkan sembahnya.

“Ya, aku terima. Betapapun kamu sebagai musuhku, kamu tidak lupa akan

suba sita. Inilah yang aku kagumi dari watak para anak Pandu” Durna terkesima

dengan apa yang terjadi dihadapannya.

Lanjutnya “Lain dari itu, kesaktian anak Pandawa tidak aku ragukan lagi.

Ajian Laring Merak yang aku banggakan tidaklah ada artinya dihadapanmu.

Marilah kita mengakhiri cerita masa lalu. Sudah saatnya Baratayuda menentukan,

mana pakarti kita sebelumnya yang harus dipanen pada saat ini”.

Page 158: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

158 PANDAWA KURAWA

Sekali lagi Arjuna melakukan sembahnya dan bangkit untuk melakukan

kewajiban sebagai seorang prajurit yang tak lagi mengenal status sebagai guru dan

murid.

Pertempuran tangan kosong telah dimulai. Arjuna yang masih ada

perasaan sedikit segan terhadap gurunya, bertempur dengan setengah hati.

Pukulan dan gerak yang dilancarkan tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga,

maka tak lama kemudian punggungnya terkena sabetan kaki gurunya hingga ia

merasa kesakitan. Tersengat rasa Arjuna yang berubah menjadi panas karena rasa

sakit yang mendera bagian tubuh yang dikenai oleh Pandita Durna, kali ini ia

bersungguh sungguh. Kesempurnaan raga dan timbunan kesaktian yang ditambah

dengan tenaga yang lebih baik karena faktor usia, membuat ia mendesak sang

Pandita.

Mundur Durna sejenak dan mencipta api berkobar dari senjatanya.

Kobaran dahsyat api dari ajian guntur geni melanda medan Kurusetra membuat

lari tunggang langgang prajurit Amarta.

Waspada sang Dananjaya, segera mencipta mendung pekat melayang

diatas palagan. Seketika hujan deras disertai prahara melanda medan Kuru

memadamkan kobaran api. Itulah ajian guntur wersa-prahara dari gurunya sendiri

yang disempurnakan oleh Batara Indra. Adu kesaktian pengabaran berlangsung

silih berganti. Segala bentuk kesaktian yang diciptakan Pandita Durna berhasil

dipunahkan Arjuna, bahkan mendesak balik pertahanan Durna.

Page 159: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

159 PANDAWA KURAWA

Ketika ilmunya dapat dipunahkan, segera Kumbayana melolos keris

kecilnya Cis Jayangkunang dan kembali perang tanding senjata keris berlangsung

seru. Perimbangan pertempuran berlangsung mengagumkan dengan keris

Pulanggeni ditangan Arjuna, hingga banyak prajurit dari kedua pihak berhenti

menonton tanding senjata itu.

Kematangan Sang Begawan dalam menggunakan ilmu kesaktiannya

menjadikan peperangan berlangsung dengan seimbang. Hingga Kresna kembali

dari pencarian terhadap Werkudara yang berhasil membunuh Dursasana,

pertempuran masih tetap berlangsung sengit. Maka yang terjadi selanjutnya

adalah perang strategi. Bila secara wajar pertempuran akan memakan waktu dan

berlarut larut, maka segera ia menyusun strategi.

“Werkudara, ketahuilah, bahwa gurumu itu dalam bertempur mempunyai

tujuan tertentu”.

“Apa maksudmu ? Werkudara menukas.

“Nanti dulu, aku akan menunjukkan kepadamu sesuatu. Ingatlah, beberapa

hari ini gurumu meninggalkan peperangan karena sakit hati atas ketidak

percayaan Duryudana kepada anak bapak Sokalima. Misi dari gurumu sekarang,

tidak lain adalah mengembalikan harga dirinya dan sekaligus mengembalikan

kepercayaan junjungannya kepada anak tercintanya, Aswatama. Semua yang ia

lakukan adalah bermuara kepada kemukten bagi anak yang dicintainya itu”.

Sejenak Kresna diam dan menyelidik, apakah kata katanya dimengerti oleh adik

sepupunya itu.

Page 160: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

160 PANDAWA KURAWA

Yang dipandanginya mengangguk setengah mengerti. “Teruskan

dongengmu, biar aku tidak setengah setengah menelan omonganmu”

“Kamu lihat siapa yang menaiki gajah dan berperan sebagai senapati

pendamping ?” Kresna bertanya, namun kembali ia meneruskan “Itu adalah raja

dari negara Malawapati, Prabu Permeya”.

“Terus apa hubungannya dengan reka dayamu ?” Kembali Bima

memotong.

“Gajah yang dinaiki itu bernama Hestitama, bunuh prabu Permeya dengan

gajahnya sekalian, kemudian kabarkan pada semua prajurit agar mereka

mengatakan Aswatama telah tewas !”

Melompat Werkudara dengan menimang gada Rujakpolo. Dihampiri

Permeya yang duduk pongah diatas gajahnya. Terkejut Permeya ketika

dihadapannya telah berdiri dengan teguh sosok Werkudara. Terkesiap darahnya

ketika melihat gada ditangan Bima-Werkudara berputar mengancam dirinya. Tak

pelak lagi mentalnya jatuh. Memang demikian, kesaktian Permeya memang tak

sebanding dengan Werkudara. Maka disertai mental yang telah runtuh, tak sulit

Werkudara menebas keduanya, Permeya beserta tunggangannya, gajah Estitama.

Tanpa bisa mengaduh, keduanya tewas dengan isi kepala terburai.

Seperti direncanakan oleh Sri Kresna, geger para prajurit meneriakkan

Aswatama telah tewas. Dan berita itu tak lama kemudian sampai ditelinga

Begawan Durna.

Page 161: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

161 PANDAWA KURAWA

Barata

GUGURNYA SANG PROFESOR

Bingung dan gundah rasa Sang Begawan mendengar teriakan bersahut

sahutan yang mengabarkan kematian putranya Aswatama. Ia bertanya kesana

kemari tentang kebenaran berita itu kepada beberapa prajurit yang ditemuinya.

“Heh prajurit, apa benar Aswatama tewas ?”

“Benar begitu, ini yang saya dengar !” Jawab beberapa prajurit yang ia

tanya.

Ia berketetapan hati ia akan menanyakan kepada para Pandawa yang

dianggapnya dapat berkata jujur. Bertemulah ia dengan Nakula dan Sadewa

“Anakku kembar, kamu berdua adalah dua orang yang lugu, cepat

katakan, apa benar Aswatama telah tewas ?”

“Itu yang saya dengar bapa, bahwa Aswatama telah tewas” keduanya

menjawab seadanya. Namun jawaban keduanya yang tak mengurangi rasa

Page 162: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

162 PANDAWA KURAWA

penasaran, bahkan makin makin membuat ia bertambah bingung dan tubuhnya

menjadi lunglai.” Ah . . Sama saja, bohong ! Kamu berdua memang tidak bisa

dipercaya !” Ketus sang Begawan, diputuskannya untuk mencari Puntadewa yang

selamanya tak pernah bohong.

Melihat gelagat bahwa Pendita Durna hendak mencari tahu atas berita

kematian anaknya kepada sepupunya Puntadewa, Kresna mendekati Puntadewa

dan mengingatkan. “Adimas Puntadewa, kami hanya mengingatkan kepadamu

agar berbuat sesuatu ketika nanti Bagawan Durna datang kepadamu, dan

menanyakan tentang keberadaan Aswatama. Perbuatan dan perkataan adinda

Prabu nanti bila berhadapan dengan Bapa Pandita, adalah titik dimana Pendawa

akan unggul atas Kurawa atau sebaliknya”.

Kata kata bersayap Sri Kresna dimengerti oleh Puntadewa, “Akan kami

lakukan apa yang diperingatkan oleh kanda Prabu”

Demikiankah, memang benar, Begawan Durna yang sudah kalang kabut

pikirannya datang kepada Puntadewa menanyakan perihal anaknya.

“Puntadewa anakku, kamu adalah satu diantara manusia langka yang

mempunyai darah yang berwarna putih. Manusia berdarah putih yang bila darah

itu menimpa bumi dapat menyebabkan bumi menjadi terbelah. Hati orang yang

berdarah putih mempunyai kerelaan yang tiada terkira, apapun yang orang minta,

tidak memandang itu dari golongan apapun, pasti akan ia kabulkan. Kata katanya

juga tak akan pernah bohong barang sekalimatpun” Durna memuji-muji

Puntadewa dan berharap ia mengatakan sejujurnya apa yang terjadi. Lanjutnya,

Page 163: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

163 PANDAWA KURAWA

“Sekarang aku sudah berhadapan dengan manusia semacam itu. Sekarang

katakan, apakah benar Aswatama mati? Itu hal yang bohong, bukan ? Aswatama

sekarang masih hidup, bukankah begitu ?!” Setengah mendesak agar ia

mengatakan hal yang sebenarnya dan mengharapkan agar anaknya masih dalam

keadaan hidup.

Tetapi terbawa oleh kekalutan pikiran dan riuhnya suasana peperangan,

maka ketika Puntadewa yang pantang berbohong mengatakan, “Bapa Guru, yang

kami tahu, memang Hestitama mati” dan ia mengatakannya dengan tekanan

kalimat pada kata tama sementara kalimat Hesti terucap pelan. Diterima dengan

salah, maka jatuhlah Durna terkulai bersandar tebing batu. Setengah tega,

ditinggalkan gurunya yang ada antara sadar dan tidak. Dalam hati Begawan

Durna, jelaslah, Puntadewa yang tak pernah bohong mengatakan Aswatama telah

tewas.

Ternyata tidak hanya kalutnya hati dan riuhnya suasana perang yang

mengakibatkan Durna salah terima, sukma raja Paranggelung, Prabu Palgunadi

yang sewaktu muda bernama Bambang Ekalaya atau Ekalawiya yang masih

membayangi kehidupan Begawan Kumbayana di alam madyantara-pun, punya

peran untuk meniupkan kalimat Aswatama ditelinga sang Begawan.

Nah Bapa Guru, sekarang adalah waktunya bagi muridmu untuk

membawamu ke alam dimana tak ada lagi aturan yang membatasimu, agar tidak

menerima murid selain dari darah Barata. Bapa guru tak lagi dapat bertindak pilih

kasih kepada setiap muridmu. Mari guru akan kita selesaikan perkara yang masih

Page 164: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

164 PANDAWA KURAWA

belum selesai waktu lalu” kata Prabu Palgunadi yang melihat “guru imaginasi”-

nya menjadi tak berdaya atas keyakinan bahwa anaknya sudah tewas.

Demikianlah, diceritakan pada waktu itu, Prabu Palgunadi yang sangat

gandrung dengan ilmu kanuragan. Walau ia sudah menjadi raja dengan segala

kemewahan duniawi dan beristri cantik yang setia, Dewi Anggrahini, tetapi ia

sangat kepincut dengan ilmu jaya kawijayan dan kanuragan yang diajarkan oleh

Durna. Maka ia merelakan meninggalkan kerajaannya dan menyatakan niatnya

berguru kepada Begawan Durna.

Jelas saja ia ditolak, karena Begawan Durna sudah diberi batasan, bahwa

yang berhak menyerap ilmu darinya adalah hanya trah Barata, alias putra putra

dari Adipati Drestarastra dan Prabu Pandu, serta putra Raden Yamawidura.

Dengan perasaan sedih, Palgunadi pergi dari hadapan Begawan Durna.

Kerasnya tekad Palgunadi makin menjadi-jadi ketika ia ditolak berguru di

Sokalima. Dengan ditemani istri setianya ia membangun arca berujud Begawan

Durna ditempat pengasingannya. Dipusatkan pikirannya seakan setiap kali ia ada

didepan arca Durna, ia sedang menerima ilmu kanuragan, kasantikan beserta

segenap wejangannya.

Waktu berlalu, dan tahunpun berganti. Ketrampilan tata perkelahian dan

olah panah sang Palgunadi sedemikian hebatnya, oleh karena ketekunannya dalam

memusatkan pikiran dihadapan arca yang direka sebagai sang guru sejatinya.

Page 165: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

165 PANDAWA KURAWA

Maka ketika ia sedang berkelana di hutan, bertemulah ia dengan Permadi-

Arjuna. Harga diri memperebutkan buruan menjadikan perang tanding diantara

keduanya.

Berhari hari tanding tiyasa berlangsung dengan imbang. Tetapi dalam olah

permainan panah, Arjuna kalah oleh ketrampilan Palgunadi.

“Heh Arjuna, jangan menyesal kamu berhadapan dengan murid Sokalima,

Begawan Durna. Masihkan kamu hendak menyamai kesaktianku ? Taklah kamu

bakal mengalahkan murid terkasihnya !” Masygul dipermalukan, bahkan sumbar

sang Palgunadi yang menyebut nama gurunya adalah juga sebagai guru

musuhnya, ia kembali ke pertapaan Sukalima dan mengadukan peristiwa itu dan

menuduh, bahwa gurunya telah secara diam diam berselingkuh dengan menerima

murid selain saudara sedarah Barata-nya.

Tak terima dengan tuduhan itu, ia ingin membuktikan ketidak benaran

tuduhan itu,dengan mengajak Arjuna ketempat Palgunadi berada.

Setelah bertemu, Ekalaya terkesiap hatinya. Sangat bersuka cita ia

sehingga tak dapat berbuat apapun, kekagumannya atas Sang Begawan seakan

mengunci segenap tindakannya. Setelah tersadar, ia menjatuhkan diri berlutut

dihadapan Begawan Durna, dan dengan takzim ia menghaturkan sembah, “Guru,

perkenankan muridmu menghaturkan bakti atas kunjunganmu terhadap muridmu

ini. Sungguh anugrah yang tak terhingga kedatangan paduka guru, sehingga

sejenak hamba tak dapat berbuat sesuatu apapun dalam menerima kedatangan

paduka guru yang tiba tiba ini”

Page 166: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

166 PANDAWA KURAWA

Panas hati Arjuna melihat adegan didepannya, “Benarlah ternyata, bahwa

bapa Durna telah menyalahi janji dihadapan para sesepuh kami”

“Eits, nanti dulu . . .! Inikah orang yang mengaku sebagai muridku? Bila

memang sungguh begitu, lakukan layaknya seorang murid dihadapan gurunya”.

Durna yang merasa terdesak oleh tuduhan yang dilontarkan dengan rasa

kecemburuan yang besar dari Arjuna coba berkelit dengan susah payah.

“Apakah yang Guru hendak perintahkan kepada muridmu ini, akan hamba

kerjakan sesuai kemampuan kami” mantap jawaban Palgunadi mengharap ia tidak

disisihkan dari statusnya sebagai murid Sokalima. Tersenyum ia seakan segenap

permintaan sang guru maya itu bakal ia penuhi. Tak tahu, bahwa olah rekayasa

guru Durna mempunyai tujuan memunahkan segala ketrampilannya dalam olah

warastra.

“Begini Palgunadi, bila kamu hendak diakui sebagai muridku, maka

berikanlah cincin yang menyatu pada jari manismu itu !” Akal Durna seketika

terang sewaktu melihat cincin Gandok Ampal yang menyatu pada jari manis

Ekalaya.

“Aduh Sang Resi, adakah cara lain agar hamba dapat menukar

permintaanmu, duh sang Guru ?” Memelas kata kata Ekalaya mendengar

permintaan itu. Cincin Gandok Ampal yang melekat pada jarinya adalah

penyeimbang gerak jari tangan yang menjadikan ia dapat dengan jitu membidik

sasaran. Bahkan benda itu telah menyatu dalam kulit daging sehingga bila

dilepaskan nanti, maka sama artinya ia menyerahkan kesaktian bahkan nyawanya.

Page 167: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

167 PANDAWA KURAWA

Ketika ia masih berpikir dan gurunya pun berpikir sembari menunggu

keputusan kata akhir dari Palgunadi, Arjuna menyelonong menyampaikan

usulnya.

“Bapa Guru dan juga Palgunadi, bila tidak keberatan, maka cincin itu

dapat dipertahankan melekat pada jarinya, asalkan ditukar dengan yang ada

dibelakangmu itu, Palgunadi”

“Apa yang kamu maksudkan Arjuna ?” Tanya Palgunadi yang heran

dengan permintaan Arjuna.

“Wanita dibelakangmu dapat kamu tukar dengan cincin yang melekat

dijarimu. Bukankan itu hal yang bersifat adil Bapa Guru ? Jelas Arjuna sambil

meminta pertimbangan kepada gurunya dan dijawab Sang Guru dengan

menganggukkan kepalanya.Memerah muka Palgunadi ketika sang istrinya disebut

sebagai tanda tetukar atas pengakuan sebagai murid Sokalima. Kedua permintaan

antara guru dan murid Sokalima itu telah menyudutkan pilihan atas kuatnya hasrat

memiliki sesuatu. Ia akan merelakan nyawanya bila cincin itu ia serahkan,

sedangkan kehormatan seorang suami akan memberontak bila seorang istri

diminta lelaki lain.

Berpikir keras Palgunadi menimbang yang manakah yang hendak ia pilih.

Samar ia mendengar guru maya-nya mengingatkankan, “Palgunadi, aku tak punya

cukup waktu aku menungguimu. Cepat putuskan pertimbanganmu”

Kaget Palgunadi, terputus angan angannya ketika ia diminta segera

memutuskan pilihannya. Sejenak ia berbalik badan memandangi Anggraini.

Page 168: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

168 PANDAWA KURAWA

Wanita cantik itu tertunduk gelisah. Pilihan yang berat bagi suaminya. Anggraini

adalah istri yang sangat mengerti sekali akan watak suaminya. Ia tahu betapa

suaminya sangat gandrung dengan olah ilmu kanuragan aliran Sokalima. Pastilah

ia tak akan mundur dalam mempertahankan status ilusinya, bahwa ia adalah murid

perguruan Sokalima. Dan saat ini status guru-murid ilusi itu akan berganti dengan

status diakui penuh, bila ia dapat menyerahkan salah satu dari dua pilihan itu.

Angan itu terputus ketika suara istrinya menanyakan beberapa hal,“Kanda,

apakah rela bila seorang suami menyerahkan istrinya ? Apakah benar tindakan

seorang suami yang merelakan istrinya dijamah lelaki lain ? Tidakkah seorang

suami terusik kehormatannya bila belahan jiwanya dimiliki oleh orang yang tidak

berhak memiliki . . . .”

“Baiklah . . . “ , potong Palgunadi sebelum istrinya meneruskan

kalimatnya panjang lebar, “ Sekarang aku akan memutuskan !” Sejenak ia terdiam

dan kembali menghadap Begawan Durna, yang tersenyum puas terhadap apapun

yang Palgunadi hendak pilih. Bila ia memilih istrinya diserahkan kepada Arjuna,

maka ia akan melihat, betapa Palgunadi akan tersiksa dan goyah lahir-batinnya

hingga ia merana, bahkan dapat berujung pada kematiannya. Bila ia akan

menyerahkan cincin dijarinya, ia sangat yakin, cincin itu adalah keseimbangan

jiwa raga bagi Palgunadi, dan ia akan tewas bila ia menyerahkan cincin sekaligus

jarinya.

“Guru, aku telah memutuskan. Aku serahkan . . . . . Cincinku beserta

segenap jiwa dan ragaku” Tegar Ekalaya dengan pilihan hatinya. Bagaimanapun

Page 169: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

169 PANDAWA KURAWA

status murid Sokalima adalah kebanggaan tiada tara baginya. Kebanggaan yang

sejatinya adalah semu dan membabi buta, telah mengantarkannya pada keputusan

yang tak mengherankan bagi setiap manusia yang bersikap sangat fanatik terhadap

kepercayaan yang sudah tertanam dalam sanubari, sebagai dogma yang tak mudah

diasak. Bahkan, bagi sebagian orang seperti itu, mengorbankan jiwa raganya

sekalipun ia rela melakukannya demi mempertahankan kebanggaan serta

kebenaran yang dipercayainya. Padahal semua kebenaran adalah nisbi, dan

kebenaran bagi suatu pihak, golongan atau perseorangan belum tentu benar bagi

yang lain. Kebenaran sejati hanya terpancar dari hukum alam semesta.

Terkekeh Begawan Durna senang, tak peduli ia sebagai manusia yang

timpang rasa keadilannya. Tak salah, bahwa ia telah diberi batasan serta janji

bahwa hanya kepada trah Barata-lah ia boleh menurunkan ilmunya. Tak terbatas

pada orang Pandawa dan Astina serta trah Yamawidura yang sekarang tinggal di

Astina, tetapi Kurawa sabrang yang terpental pada kejadian Pandawa Traju-pun )

tetap menjadi muridnya. Sekarang ia akan mengenyahkan satu trubusan yang

mencederai janji itu, sekaligus membuktikan kepada murid terkasihnya, Arjuna,

bahwa ia tidak ingkar janji.

“Segera letakkan jarimu diatas batu itu, relakan bahwa apa yang terjadi

adalah atas dasar kesungguhanmu dan kesetiaanmu pada perguruan Sokalima”

“Baik bapa Guru, satu kata kata yang hendak aku sampaikan kepadamu,

bila aku mati karena peristiwa ini, ini adalah suatu tanda bagi seorang guru yang

Page 170: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

170 PANDAWA KURAWA

pilih pilih menjatuhkan kasih bagi murid muridnya…..” Antara rela dan tidak

Palgunadi megutarakan isi hatinya.

“Sudahlah jangan banyak cakap, aku akan melaksanakannya sekarang

juga” Durna tidak mau terpengaruh kata kata Palgunadi dengan memotong

pembicaraannya.

Segera Palgunadi meletakkan telapak tangannya diatas batu, bersamaan

dengan dicabutnya senjata Cundamanik. Putus jari manis Palgunadi beserta cincin

Gandok Ampal dengan sekali iris. Tak dinyana begitu putus jari, yang seharusnya

hanya cedera yang ia alami, tetapi kemudian yang terjadi adalah tubuh Palgunadi

bergetar hebat. Desis kesakitan yang amat sangat keluar dari mulutnya, kemudian

ia terkapar terbujur meregang nyawa. Tewas sang Palgunadi.

Tertegun Begawan Durna dan Arjuna melihat kejadian dihadapannya,

hingga ia lengah. Cundamanik yang ada ditangan Durna secepat kilat ada pada

genggaman Anggraini yang kemudian menusukkan keris ditangannya ke dada

tembus di jantung. Menyusul sang istri setia kepangkuan suami tercinta ke alam

sunya ruri. Terbujur dua orang yang saling mencinta itu dengan meninggalkan bau

harum memenuhi sekitar tubuh keduanya.

Belum lagi tersadar sepenuhnya Begawan Durna, ia dikejutkan denga

suara yang terngiang di telinganya, “Bapa Guru, telah sempurna aku

sebagai muridmu. Tetapi ajaranmu yang sebenarnya masih aku tunggu, sampai

aku melihat waktu yang tepat untuk kembali mencecap ilmu darimu.

Page 171: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

171 PANDAWA KURAWA

Melihat sang Drestajumna diatas kereta senapati dengan pikiran kosong,

sedih dan rasa duka mendalam setelah kematian ayahnya Prabu Drupada, maka

bergeraklah sukma Palgunadi menuju kearah Drestajumna. Segera berubah raut

muka Drestajumna menjadi liar ketika sukma Ekalaya menyatu dalam raganya.

“Durna ! Dimana kamu? Aku akan bela pati atas kematian ayahandaku. Ini

adalah anaknya yang dari lahir sudah menggenggam busur ditangan kiri dan

menggendong anak panah dipunggungku. Aku yang akan meringkusmu dan akan

aku jadikan bulan bulanan kepalamu !” Sesumbar Drestajumna liar dengan mata

jelalatan mencari dimana Durna berada.

Maka gembira hati Drestajumna ketika melihat Begawan Durna mengeluh

panjang pendek menyesali kematian anaknya semata wayang.“Aswatamaaaaa . . .

. , huuu . . . Kamu adalah harapanku, satu satunya penyambung keturunan

Atasangin. Kamu yang siang malam aku gadang gadang bakal menggantikan

peran bapakmu. Sukur kalau kamu dapat aku jadikan raja agung binatara dan

menguasai jagad. Anakku bagus tampan Aswatama ,kamu adalah anak yang

bukan sembarangan, tetapi kamu adalah manusia linuwih. Kamulah anak

setengah dewa, karena ibumu Wilutama adalah seorang bidadari. Maka kamu

pasti akan dapat dengan mudah menguasai banyak jajahan. Bahkan negara

Astinapun dapat kamu kuasai bila kamu sudah bertahta di Atasangin nanti.

Anakku . . . , dimana jasadmu sekarang. Bila mungkin akan aku mintakan kepada

ibumu agar kamu dapat dihidupkan kembali. Wilutama . . . , pertemukan aku

dengan anak tampanmu. . .” Menangis mengenaskan Durna sambil mulutnya

meracau, berdiri condong bersandar tebing batu.

Page 172: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

172 PANDAWA KURAWA

Malang begawan Durna, Drestajumna yang dalam penguasaan arwah

Palgunadi melihat keberadaan Begawan Durna yang menangis meraung raung

mengenang nasib anaknya. Tak satupun sosok Kurawa didekatnya karena mereka

sibuk mencari keberadaan Aswatama yang diperintahkan untuk menjauh dari

medan peperangan. Para Kurawa sebenarnya bermaksud untuk mempertemukan

Aswatama dengan ayahnya agar selesai masalah kekalutan jiwa yang menimpa

Begawan Durna.

Tanpa sepatah kata, Drestajumna segera meraih tubuh renta dan

menjadikan tubuh itu sebagai layaknya kucing memainkan seekor tikus. Tak

hanya sampai disitu, ditebasnya leher Begawan Durna. Kepala menggelinding

ditanah berdebu dan dijadikan bola tendang dan kemudian dilemparkan jauh jauh.

Tewas Sang Kumbayana dan sukmanya dijemput oleh sahabatnya, Sucitra,

yang tidak menunggu lama kedatangan karibnya itu ketika muda. “Lhadalah, tidak

usah terlalu lama aku menunggumu, sahabat” sambut Sucitra dengan senyum

mengambang di bibirnya dan kedua tangan mengembang menyambut kehadiaran

Kumbayana. Keduanya berangkulan, layaknya sahabat kental yang sudah lama

tidak saling jumpa.

Kumbayana yang menyambut uluran kedua tangan Sucitra dan dengan

hangat membalasnya. “Hebatlah anakmu yang mengerti kemauan ayahnya, yang

tak harus lama menunggu kedatanganku. Walaupun aku juga tahu bahwa muridku

Palgunadi-pun sudah lama menunggu dan menyatu dalam raganya” Kumbayana

memuji anak Sucitra yang telah mengantarkan ke hadapan sahabatnya.

Page 173: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

173 PANDAWA KURAWA

Bergandengan tangan dengan ceria keduanya melangkah menapaki tangga suci

keabadian.

Diceritakan, ketika kepala itu telah hilang dari pandangan mata

Drestajumna, barulah ia merasakan keletihan yang tiada terkira. Sukma Ekalawiya

yang telah meninggalkan raganya menyadarkannya apa yang terjadi

dihadapannya. “Aduh betapa berdosanya aku yang telah tega membunuh guru

para pepundenku Pandawa. Betapa nistaku yang telah menghajar manusia sepuh

yang sudah tak berdaya, walaupun ia telah menewaskan ayahandaku, tetapi ia

melakukan dengan jiwa kesatrianya”. Drestajumna menyesali tindakannya.

Dipejamkan matanya seolah hendak mengusir bayangan yang

memperlihatkan betapa ia telah secara keji membunuh guru para darah Barata.

Betapa ia menjadi giris ketika ia membayangkan bila murid muridnya tidak terima

atas perilaku yang telah ia lakukan. Tetapi semakin dalam dipejamkan mata itu,

semakin kuat bayangan yang menghantui hatinya.

Ketika ia membuka kembali matanya, dihadapannya telah berdiri Prabu

Kresna dan Werkudara.

Geragapan, ia kaget setengah mati karena rasa bersalah. Tetapi sejenak

kemudian ia menjadi merasa sejuk hatinya, ketika Prabu Kresna meraihnya dan

memeluk tubuhnya. Dan mengatakan, “Drestajumna, tidak ada yang perlu kamu

sesali. Segalanya adalah sudah garis takdir dari yang maha kuasa. Bukan salahmu,

sebagai titis Wisnu aku mengetahui bahwa tindakan kamu bukan atas

kehendakmu sendiri. Sukma Palgunadi yang telah membalas ketidak adilan

Page 174: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

174 PANDAWA KURAWA

perilakunya dalam memperlakukan dirinya sebagai murid, adalah ganjaran yang

setimpal. Segera ambil kembali kereta senapati perang, sebelum sore menjelang”

Ketika itu, berita kematian Pendita Durna telah sampai ketelinga

Aswatama yang tengah bersembunyi. Ia langsung memperlihatkan diri dan

bertemu ia dengan Patih Sengkuni. “Paman Harya, benarkah ayahandaku telah

gugur ?” Tak sabar ia menanti jawaban Sengkuni.

“Benar anakku, kematian orang tuamu sungguh membuat siapapun

menjadi miris dan menimbulkan rasa tak tega. Dipenggalnya kepala orang tuamu

dan dijadikannya bola sepak yang ditendang kesana kemari”. Sengkuni

menceritakan peristiwa yang terjadi dengan dibumbui cerita yang didramatisir.

“Siapa yang melakukan, Paman Harya !” Muntap kemarahan Aswatama,

kembali ia memerah mukanya dengan mata yang menyala nyalang, gemeratak

giginya dan sudut bibirnya bergetar.

“Pelakunya adalah Drestajumna . . . . !”. Belum selesai Sangkuni

mengucapkan nama pelaku pembunuh orang tuanya, Aswatama telah melompat

kearah palagan peperangan, sambil menghunus keris warisan orang tuanya, kyai

Cundamanik. Dicarinya Drestajumna dengan kobaran api dari bilah keris yang

menyala berkobar menyambar nyambar dengan bunyi yang menggelegar

bergemuruh ditangannya.

Gentar Drestajumna yang melihat amukan anak Durna, dan ia berlari

mundur karena merasakan tenaganya yang telah terkuras tadi dirasakannya tak

kan lagi cukup untuk menghadapi amukan Aswatama.Dan selagi ia mundur, ia

Page 175: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

175 PANDAWA KURAWA

bertemu dengan Setyaki yang segera mencengkeram bahu sang senapati dengan

kemarahan, “Inikah senapati Hupalawiya? Ketika menghadapi orang tua yang

dalam keadaan tanpa daya telah tega memenggal kepalanya? Inikah Senapati

Randuwatangan? Yang dengan gagah berani membulan bulani kepala dari guru

para pepunden Pandawa. Tetapi apa yang terjadi, ketika melihat amukan anaknya,

senapati gagah itu ia telah “tinggal gelanggang colong playu” dengan muka pias

pucat bagai segumpal kapas !”

“Setyaki, aku menjadi senapati bukan atas kemauanku sendiri. Aku jadi

senapati adalah karena jejak laku sepanjang hidupku dimasa lalu yang dapat

mengatasi segala kesulitan yang menghadang dihadapanku dan tak pernah gagal

dalam melakukan tugas. Janganlah mencercaku tanpa dasar. Apakah kamu akan

berusaha menggantikanku? Langkahi dulu mayatku sebelum kamu melakukan

itu!”

Keduanya segera berhadapan dengan kuda kuda kaki yang siap

menyerang. Tetapi hardikan yang keras telah menghentikan langkah keduanya.

Suara hardikan itu datang dari mulut Prabu Kresna, “Setyaki, Drestajumna

berhentilah! Alangkah memalukan bila ini menjadi tontonan musuh. Betapa

hinanya kamu berdua yang tak urung juga akan mendera aku sebagai seorang

penasihat perang”.

Kedua orang yang bersengketa itu akhirnya sama sama duduk bersimpuh

menghadap Sang Prabu. “Setyaki, jangan menjadi pandir dan seolah olah kamulah

yang paling benar. Tanyakan dulu latar belakang peristiwa pada yang

Page 176: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

176 PANDAWA KURAWA

bersangkutan. Jangan sesuatu dibawa dalam hawa amarah. Mengertikah kamu,

Setyaki? Setyakipun mengangguk.”Mintalah maaf atas kelancanganmu” kembali

Setyaki mengangguk dan meminta maaf atas kelakuannya tadi.

“Werkudara! Temui Aswatama cegahlah amukannya!” Kresna

memberikan perintah kepada Werkudara yang selalu mengikuti kemana Kresna

pergi. Kembali Werkudara masuk kedalam arena pertempuran yang masih

berlangsung sengit menjelang usai sore hari. Dengan langkah tegap dan kembali

menimang gada Rujakpolo dihampirinya Aswatama yang dengan garang ingin

memburu Derstajumna.

Aswatama yang dihadang Werkudara makin marah. Segala usaha

dikerahkan untuk mendesak lawannya, tetapi ia bagaikan sedang berusaha

menembus kokohnya benteng baja.

Merasa tak ada urusan dengan Werkudara, ia memutuskan untuk mundur

dengan mengucapkan sumpah, “Ingat orang orang Pancala, aku akan datang

kembali menuntut balas atas kematian ayahku. Aku tak akan mati sebelum

membasmi orang Pancala lelaki ataupun perempuan, beserta turunnya, tumpes

kelor !”

Barata

GUGURNYA PRAMUGARI PRINGGODANI

Sesungguhnya Dursasana waktu mendapat tugas dari kakaknya sudah

enggan segera berangkat ke istana. Namun kematian Burisrawa kawan karibnya

Page 177: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

177 PANDAWA KURAWA

yang hanya bisa ia saksikan dari jauh, sebab ia sudah menyanggupi kembali ke

Astina, menjadikan ia terpicu untuk segera berangkat malam kemarin.

Keengganan yang berkepanjangan memaksa dirinya menunda keberangkatannya,

namun kini ia terpaksa kembali ke peperangan dengan hati yang panas terluka.

Tak disangka oleh siapapun tadinya, malam kemarin itu sepeninggal

Dursasana ternyata menjadi malam yang mengerikan. Prabu Salya yang terluka

hatinya karena kematian putra kebanggaannya, satria Madyapura Arya Burisrawa,

memarahi orang orang disekelilingnya. Sesabar-sabarnya Prabu Salya, kematian

putra lelakinya yang terakhir kalinya ini, membuat ia betul-betul kehilangan

kendali diri. Kemarahan melebar hingga lagi-lagi murka itu menyerempet kepada

Adipati Karna. Tidak terima menjadi tumpuan kemarahan, Adipati Karna segera

menyatakan madeg senapati malam itu juga. Dua kali ia telah dikenai hatinya oleh

mertuanya dan sekali oleh resi Krepa, membuat ia kembali bergolak

kemarahannya. Kemarahan yang tidak dapat dilampiaskan sebagaimana ia

melampiaskan kepada Krepa, membuatnya ia memilih jalan lain untuk

melampiaskan kekesalan hatinya.

Adipati Karna adalah seorang adipati dengan pengaruh kuat terhadap

negara negara jajahannya, segera ia menyusun barisan yang berisi prajurit jajahan

Awangga. Tak peduli lagi tentang tata krama perang yang berlaku, dengan

menyalakan obor beribu-ribu ia menggerakkan pasukannya yang berujud para

raksasa dari negara Pageralun yang dipimpin oleh Prabu Gajahsura, negara

Pagerwaja yang dipimpin oleh Kelanasura dan negara Pagerwatangan dengan

Lembusaka.

Page 178: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

178 PANDAWA KURAWA

Majunya Adipati Karna sebagai senapati dan akan menggempur lasykar

Randuwatangan malam itu benar benar tanpa tata krama, barisan raksasa

membakari beberapa pasanggrahan garis depan dengan tiba tiba. Arya

Drestajumna dan Wara Srikandi serta Setyaki yang lelah siang tadi bertarung

sudah harus kembali menahan serangan musuh. Berita serangan itu akhirnya

sampai ketelinga penghuni Randuwatangan.

Arjuna yang dari tadi duduk tenang segera menggeser duduknya. Panasnya

hati mendengar kejadian yang tidak lazim, membuat ia menawarkan diri untuk

menandingi majunya senapati Kurawa malam itu “Kanda Prabu, perkenankan

adikmu ini hendak menandingi kesaktian kanda Basukarna. Bagi kami, kanda

Adipati adalah jodoh kami dalam perang. Hamba mohon sekarang kami diijinkan.

Inilah saat yang hamba nantikan kanda Prabu”.

“Arjuna, bila majunya Karna ada pada waktu yang benar, maka aku

ijinkan kamu untuk menandinginya. Tapi sekarang yang terjadi adalah perang

dengan tidak menggunakan tata aturan perang yang sudah disepakati. Perang

waktu malam adalah tindakan yang bukan watak satria. Tenanglah lebih dulu,

jangan terbawa oleh hawa kemarahan”. “Werkudara, bila anakmu aku wisuda jadi

prajurit untuk menghadapi musuh malam ini, apakah kamu setuju ?” Kresna yang

dihadapi oleh Werkudara malam itu menanyakan kerelaannya.

“Anakku dilahirkan memang sebagai prajurit. Sudah semestinya peristiwa

malam ini menjadi harapan bagi anakku untuk diberi kehormatan sebagai

senapati. Tetapi kenapa harus Gatutkaca yang harus menjadi senapati malam ini

?”. Sahut Werkudara.

Page 179: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

179 PANDAWA KURAWA

“Anakmulah yang mempunyai mata Suryakanta, yang dapat awas diwaktu

malam, dan kotang Antrakusuma yang menyorot hingga dapat menerangi

sekelilingnya”. Kresna menjelaskan dengan menyembunyikan kenyataan yang ia

telah ketahui dari kitab Jitapsara. Saat inilah Gatutkaca harus pergi untuk

menghadap hyang widi wasa.

“Apakah bila anakku ada apa-apanya, kamu bertanggung jawab atas

penunjukanmu atas Gatutkaca ?” Kembali Werkudara dengan rasa was-was,

naluri seorang ayah, menanyakan kepada Kresna.

“Aku adalah manusia yang mungkin dapat melakukan kesalahan, tetapi

bila sampai anakmu gugur nanti, itu adalah mati dalam membela negara, mati

sempurna sebagai kusuma bangsa, bukan mati sia sia. Kejadiannya akan tercatat

dalam lembar sejarah dengan nama harum yang tak kan pernah tersapu oleh angin

jaman. Masihkah kamu ragu ?” Kembali Kresna meyakinkan hati adik iparnya

yang masih saja ragu.

“Aku menurut apa kata katamu “ Werkudara akhirnya merelakan.

“Baik, adikku Drestajumna, panggil keponakanmu Gatutkaca

menghadapku. Sekarang juga ”.

Segera menghadap Raden Gatutkaca kehadapan uwaknya, yang

mengatakan bahwa kesaktian Gatutkaca-lah yang mampu membendung serangan

Adipati Karna. Begitu mengetahui ia diberi kehormatan untuk menjadi senapati

untuk berhadapan dengan Sang Arkasuta-Karna. Bangga hati Gatutkaca. Raden

Arjuna-pun ikut memuji kesaktiannya yang dimiliki sang keponakan. Tersenyum

Page 180: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

180 PANDAWA KURAWA

lega hati dan gembira sang Gatutkaca setelah penantiannya, kapan ia akan

diwisuda menjadi senapati dalam peperangan besar, segera malam ini terlaksana.

“Uwa Prabu, Rama Kyai, dan semua sesepuh, perkenankan hamba hendak

berpamitan untuk maju ke medan pertempuran. Walaupun dalam dada ini

tersimpan kemantapan diri yang besar, namun kesaktian uwa adipati Karna

memang tidak dapat dianggap enteng. Dan tugas yang diberikan oleh para sesepuh

dan orang tua kami, menjadikan rasa hamba bagaikan diberi kehormatan yang

demikian tinggi, sejajar dengan derajat dari uwa Adipati Karna. Dan juga

pemberian kesempatan sebagai senapati ini, putramu mengupamakan, sebagai

hendak meraih bongkahan inten permata didalam taman surga”. Pamit Sang

Purbaya kepada Prabu Kresna dan para sesepuh yang menyatakan sebagai meraih

kebahagian sorga. Ia telah tidak sengaja berkata bagaikan pengucapan kata

pamitan terakhir kalinya.

Kaget sang paman, Arjuna yang mendengar kata kata keponakannya itu.

Kata kata terakhir ucapan Garutkaca, dalam pikiran Arjuna seperti halnya pamitan

seseorang yang hendak mati. Segera dirangkulnya pundak Gatutkaca dengan air

mata yang mulai menetes dikedua belah pipinya.

“Aduh anakku, kepergian adikmu Abimanyu sudah aku relakan. Ketika

melihat sifat dan kesaktian yang kamu miliki, seakan tergantikan semua yang ada

pada diri anakku. Namun dengan pernyataanmu tadi, aku merasakan adanya

keanehan dalam ucapanmu tadi”.

“Permadi, tidak layaklah seorang satria memberi bekal tangis serta

mengucapkan kata kata seperti itu kepada seorang senapati ketika ia hendak

Page 181: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

181 PANDAWA KURAWA

menunaikan tugasnya. Minggirlah, biar aku kalungi rangkaian melati buyut Prabu,

sebagai tanda, bahwa sekaranglah saatnya Gatutkaca aku wisuda menjadi

senapati”. Kata kata yang diucapkan Prabu Matswapati mau tidak mau membuat

Arjuna menyisih memberikan kesempatan untuk eyangnya mengalungkan bunga

sebagai tanda senapati.

Tak diceritakan persiapan prajurit Pringgandani, yang digerakkan oleh

paman paman dari Raden Gatutkaca, Brajawikalpa, Brajalamatan dan para braja

yang lain. Maka malam itu, campuh perang begitu mengerikan. Kedua pasukan

yang berujud raksasa saling serang dengan suara raungan sebagaimana para

raksasa. Suaranya terdengar bagai auman singa lapar dipadang rumput yang

sedang berpesta bangkai kijang. Obor ditangan kiri dan senjata ditangan kanan

mobat mabit membuat suasana perang menjadi begitu lain dari biasanya.

Gemerlap pedang yang memantul dari cahaya merah obor berkilat bagai petir

yang menyambar nyambar. Obor yang terpental jatuh seiring jatuhnya prajurit

raksasa yang menjadi pecundang, tak urung membuat tanah yang mulai tergenang

merah darah menjadi semakin merah. Bagaikan banjir api! Dan diangkasapun

terang obor dimedan Kuru seakan menelan sinar sang hyang wulan.

Tandang sang Gatutkaca tak kalah membikin giris siapapun yang

melihatnya. Gerakannya bagai kilat hingga yang terlihat adalah ujud Gatutkaca

seribu. Sigap tangannya menyambar nyambar kepala lawan. Yang lunak

ditempelengnya hingga hancur, sedangkan yang liat dipuntirnya kepala hingga

terlepas.

Page 182: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

182 PANDAWA KURAWA

Ketiga sraya dari negara taklukan Awangga tak berdaya. Kelumpuhannya

tinggal menunggu waktu kapan ia didekati oleh sang Gatutkaca, maka kepalanya

akan segera lepas dari lehernya.

Benarlah, tanpa perlawanan berarti ketiga sraya itu berhasil disudahi oleh

tangan kekar Gatutkaca.

Tetapi tidak hanya musuh yang tewas, kecepatan gerak dengan terbatasnya

pandangan karena gelap malam dan sama sama berujud raksasa, para braja paman

Gatutkaca ikut tewas oleh trengginasnya gerakannya yang begitu cepat.

Adipati Karna tidak dapat berbuat sesuatu lagi, selain harus menghadapi

Gatutkaca sendiri. Maju ia setelah melihat prajuritnya banyak berkurang. Segera

Raden Gatutkaca dan Adipati Karna saling berhadapan. Adu kesaktian dan

kekuatan saling dikeluarkan untuk melumpuhkan lawannya. Babak pertama Karna

yang merasa keteter segera menerapkan ajiannya, Kalalupa. Ujud raksasa keluar

dari tapak tangan Adipati Karna semakin banyak, menambah jumlah para raksasa

yang dari ketiga negara jajahan Awangga. Dikerubut oleh makin banyak raksasa

dengan perawakan yang sama, akhirnya membuat Gatutkaca keteteran. Segera

serangan balik dilancarkan. Aji Narantaka warisan sang guru sekaligus buyut,

Resi Seta, segera dirapal. Kobaran api menyembur dari kedua tapak tangan sang

senapati, berkobar makin hebat padang Kurusetra oleh nyala api tambahan dari aji

Narantaka. Semburan api dengan gemuruh keras membasmi raksasa jadian dari

telapak tangan Karna. Mundur sang Adipati ngeri melihat semburan dahsyat api

yang keluar dari ajian Narantaka senapati Pringgandani.

Page 183: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

183 PANDAWA KURAWA

Terpesona Prabu Karna, dengan kesaktian sang Gatotkaca. Namun hal ini

membawanya mengubah cara perangnya dengan menaiki kereta Jatisura, dengan

kusirnya, yang juga patih Awangga, Patih Hadimanggala.

Malam yang sudah mencapai sunyi lewat tengah malam dihari lain, malam

ini tidak berlaku. Geriap para raksasa yang sedang bertempur dengan geramannya

masih membuat susana malam bagai terserang angin ribut. Kali ini ditambah

dengan perbawa kesiur angin lesatan kereta Adipati Karna.

Diatas kereta, sang Adipati menyiapkan senjata Kunta Druwasa. Pusaka

dewata yang dahulunya hendak dihadiahkan kepada Arjuna untuk memutus tali

pusat Jabang Tetuka, bayi Gatutkaca, Atas keculasan Suryatmaja, nama Karna

muda, pusaka itu jatuh ketangannya. Sedangkan Arjuna hanya mendapat

sarungnya. Sarung itulah yang akhirnya bersemayam dalam puser sang Gatutkaca,

ketika tali pusar berhasil diputus.

Waspada sang Gatutkaca ketika melihat Adipati Karna menghunus senjata

Kunta Druwasa, dan bersiap melepaskan anak panahnya itu. Adipati Karna

diuntungkan dengan sinar kutang Antrakusuma yang menyorot melebihi pijar

sinar purnama didada musuhnya. Gatutkaca menghindari dengan naik lebih tinggi

terbangnya, bersamaan lepasnya senjata Kunta. Ia melesat keatas awan, dengan

harapan taklah panah Kunta berhasil mencapainya.

Syahdan, Kala Bendana, paman sang Gatutkaca, si raksasa boncel yang

berhati bersih. Ia yang terbunuh tidak sengaja oleh keponakannya ketika bersaksi

atas menduanya Abimanyu dalam beristri, dalam peristiwa Gendreh Kemasan, Ia

masih tetap setia menunggu sang keponakan di alam madyantara.

Page 184: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

184 PANDAWA KURAWA

Rasaksa lucu yang kini berujud sukma setengah sempurna itu, hendak

menjemput sang keponakan pada waktunya, ketika perang besar Baratayuda

berlangsung. Saat inilah yang ditunggu. Maka ia bersiap berkeliling diatas arena

tegal Kuru malam itu.

Maka ketika melihat lepasan sang Kunta Druwasa, disambarnya anak

panah yang sebenarnya tak kuat sampai di sasaran diatas awan itu dan dibawanya

menghadap Gatutkaca.

Kaget sang Gatutkaca ketika melihat sang paman datang keatas awan

dengan membawa Kyai Kunta Druwasa sambil menyapa.

“Anakku Gatutkaca, sudah sampai saatnya pamanmu menjemputmu, Mari

anakku, aku gandeng tanganmu menuju sorga “.

Takzim Gatutkaca menghormat pamannya.“Oh, paman . . . Aku tidak

mengelak akan kesediaanku sesuai dengan janjimu. Putramu ikhlas, mari paman.

Tapi perkenankan anakmu meminta sesuatu darimu”. Tak dapat menolak

Gatutkaca atas ajakan pamannya. Ia telah pasrah dan mengaku segala

kesalahannya dimasa lalu. Ia minta sesuatu sebagai permintaan terakhir terhadap

pamannya.

“Dengan senang hati, anakku. Apa permintaanmu ?” Senyum sang paman

menanyakan permintaan keponakannya.

“Kematianku harus membawa korban dipihak musuh sebanyak

banyaknya, hingga perang malam ini berakhir”. Jawab Gatutkaca mantap.

“Baik aku bisa melakukannya !”

Page 185: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

185 PANDAWA KURAWA

Maka diarahkannya pusaka Kunta itu ke arah pusar sang Gatutkaca yang

tersenyum menerima takdirnya. Melayang sukma Raden Gatutkaca ketika pusaka

Kyai Kunta Druwasa masuk kedalam sarungnya. Dengan rasa kasih,

digandengnya tangan kemenakannya menuju swarga tunda sanga. Penantian

panjang sang paman akan keinginannya pergi berbarengan ke suarga bersama

kemenakan tersayang, hari ini berakhir.

Bersatunya Kunta Druwasa kedalam sarungnya, menimbulkan akibat yang

hebat. Sejenak kemudian diiringi suara mendesing, kemudian disusul suara

gelegar hebat bagai suara meteor, raga Gatutkaca melesat menuju medan

peperangan dibawah sana. Kecepatan lesatan raga Gatutkaca tak terkira cepatnya

menimpa kereta perang Adipati Karna beserta sang kusir Hadimanggala. Tewas

seketika sang patih. Remuk kereta Jatisura terkena tubuh sang Gatutkaca yang

meledak menggelegar, menimbulkan lubang besar bertumbak-tumbak luasnya.

Begitu pula dengan putra Adipati Karna, Warsakusuma yang ikut ayahnya

dalam peperangan juga tewas. Namun Adipati Karna berhasil menghindar.

Akibatnya, arena bagai terkena bom dengan daya ledak tinggi, hingga

menewaskan banyak barisan prajurit. Gelombang kejut yang terjadi dari ledakan

tubuh sang Gatutkaca menimbulkan hawa panas yang dahsyat hingga mampu

meleleh luluh lantakkan apapun yang ada disekitar jatuhnya raga. Jangankan

tubuh manusia, hewan tunggangan dan para raksasa, persenjataan yang terbuat

dari logam-pun, cair meleleh, kemudian menjadi abu. Dan seketika perang

terhenti !

Page 186: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

186 PANDAWA KURAWA

Berhenti perang meninggalkan luka dalam dihati Werkudara. Segera

dicarinya Adipati Karna yang lari tinggalkan gelanggang peperangan.

Segera Sri Kresna menghentikan tindakan Werkudara. Disabarkan hati

adik iparnya agar menunda dendamnya. “Lebih baik beritahu istrimu lebih dulu

mengenai kejadian yang berlangsung malam ini. “Mari kita datang bersama

dengan saudaramu yang lain untuk menghibur hatinya”.

“Kalau mau pergi ke Pringgandani, pergilah ! Aku tidak tega melihat

apa yang akan terjadi disana !”. Werkudara pergi sendirian kearah tak tentu

dengan hati yang kosong. Kerasnya baja perasaan sang Bimasena tidak kuasa

untuk membayangkan, lebih jauh lagi melihat dengan mata kepalanya sendiri,

betapa hancur perasaan istri yang sangat dicintainya. Istri sakti yang tindakannya

dimasa lalu berbuah jasa yang sangat besar bagi kelangsungan hidupnya, bahkan

bagi kelangsungan hidup dan kejayaan seluruh keluarga Pandawa.

Kedatangan para Pandawa di sisa malam tanpa suaminya, membuat Dewi

Arimbi terkesiap hatinya. Naluri seorang ibu mengatakan ada sesuatu yang terjadi

terhadap suami atau terlebih lagi bagi anaknya. Maka begitu diberitahu akan

peristiwa yang terjadi malam tadi, ia berkeputusan untuk mengakhiri hidup

dengan bakar diri dalam api suci. Demikan juga dengan Dewi Pregiwa, keduanya

sepakat untuk bersama sama mengiring kepergian anak dan suami mereka. Semua

saudara ipar dan Prabu Kresna tidak kuasa untuk membendung keinginannya.

Maka upacara segera dimulai.

Page 187: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

187 PANDAWA KURAWA

Dengan busana serba putih, sang Arimbi naik ke agni pancaka,

menggandeng menantunya. Ia telah memutuskan pilihannya, tetap bersama suami

atau mendampingi anak tunggal kekasih hatinya.

Barata

DURSASANA GUGUR

Page 188: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

188 PANDAWA KURAWA

Kembali kita ke taman Kadilengeng. Siang belum lagi menjelang, Dewi

Banowati mencoba menyenangkan hati dengan berjalan jalan ditaman sari. Taman

yang jalur jalannya lajur demi lajur dihampar batu akik hijau merah biru putih dan

keemasan. Diterpa sinar matahari yang belum naik sempurna memancarkan sinar

semburat bagai warna pelangi. Disuatu tempat yang menjadi kesukaannya, sang

Dewi duduk diatas batu marmer putih mengkilap yang direka pokok kayu.

Terpesona sang Dewi memandang taman yang asri itu dengan berbagai macam

tanaman. Tanaman hias dalam jambangan yang ditata teliti, berpasang pasang,

serasi warnanya dengan paduan bunga bunga yang harum mewangi. Tidak hanya

dalam jambangan, bunga bunga perdu juga menghias hamparan taman

bergerombol disela sela rumput lembut.

Bertambah indah suasana taman dengan terbangunnya rekaan telaga yang

berair biru bening dengan berbagai macam ikan warna emas, merah, putih dan

warna tembaga yang ditebar. Bila diterpa sinar matahari, seakan ikan ikan itu

bagaikan bintang bintang malam yang saling bertukar tempat.

Tersenyum puas sang Dewi dengan kerja para abdi dalem yang setiap

waktu memelihara dengan penuh cinta. Sejenak ia melupakan keresahan hati

memikirkan perang yang belum juga usai. Resah hati yang membawanya setiap

malam membakar sesaji dengan pedupaan yang bertumpuk tumpuk. Dalam setiap

pemujaan sang Dewi selalu berharap, agar segeralah selesai perang yang sedang

berkecamuk. Untuk kemenangan siapa, hanya Dewi Banowati saja yang tahu.

Page 189: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

189 PANDAWA KURAWA

Belum puas Sang Dewi menikmati indahnya suasana, kali ini ia kembali

kaget dengan kedatangan adik iparnya, Raden Dursasana. Ketika diketahui yang

datang adalalah adik ipar yang tidak ia senangi, yang bertingkah laku mirip

dengan adiknya sendiri, Burisrawa, setengah malas ia melambaikan tangannya

agar iparnya itu segera mendekat. Dursasana segera menyampaikan sembahnya,

kemudian duduk dengan takzim.

Terheran Dewi Banowati dengan kedatangan adik iparnya bergantian

dengan suaminya yang hari hari kemarin datang. Dalam hatinya ia bertanya, ada

kejadian apa lagi di peperangan. Siapa lagikah korban peperangan yang hendak

dilaporkannya. Mudah mudahan hati ini kuat mendengar apapun yang terjadi.

Atau ada sesuatukah yang sangat perlu, hingga adik iparnya yang dikenal sebagai

manusia yang penuh kekerasan meninggalkan peperangan yang keras itu, tetapi

malah datang ke taman sari. Tempat indah penuh kelembutan. Seribu tanya ia

simpan sejenak.

Basa basi sang Dewi bertanya, “Baik baik sajakah kedatanganmu, adikku

?”.

“Sembah hamba kehadapan kakanda Banowati”. Dursasana menghaturkan

baktinya.

“Apakah perang sudah selesai ?” Tak sabar sang Dewi ingin mengetahui

apa yang terjadi.

Dursasanapun mulai mengawali menceriterakan kenapa ia diminta untuk

kembali ke istana.

Page 190: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

190 PANDAWA KURAWA

“Pertama, kami mengabarkan kepada kanda Dewi, bahwa adik paduka

Arya Burisrawa telah tewas dalam peperangan”.

Dewi Banuwati kembali hanya terdiam sesaat, seperti yang pernah terjadi

ketika putranya, Lesmana Mandrakumara, tewas. Ia hanya melihat kedepan

dengan tatapan kosong, tak ada rasa sedih yang terbersit dari wajahnya.

Banuwati dan Burisrawa, walaupun kakak beradik, dan pada

kesehariannya keduanya sering bersama ada di Astina. Tetapi keduanya tidaklah

seperti kakak beradik yang dekat dihati satu sama lain. Banuwati malah lebih

dekat kepada adiknya yang jauh, dan lebih senang bersama ayah ibunya di

Mandaraka, Arya Rukmarata, yang kini juga telah tewas.

Sama seperti adik iparnya, Dursasana, Burisrawa adalah manusia yang liar

dan cenderung ugal ugalan. Kesamaan itu yang membuat Burisrawa dekat dengan

Dursasana. Mereka hanya renggang bila Burisrawa sudah bosan dengan suasana

resmi istana, dan kabur ke hutan hingga berbulan bulan, baru ia kembali lagi ke

Astina. Apalagi setelah Burisrawa gagal mempersunting Wara Sumbadra kala itu,

hingga ia bersumpah, tak akan ia pulang ke Mandaraka, bila ia belum bisa

mempersunting dewi impiannya yang gagal, atau memperistri wanita yang mirip

dengan Sumbadra, seperti yang pernah diceriterakan.

Akhirnya setelah diam sebentar, kata pasrahlah yang terucap dari bibir

Banuwati “Perang itu, kalau tidak kalah ya menang. Kalau tidak membunuh, ia

akan dibunuh. Kalau Burisrawa terbunuh, itu adalah bagian dari kodrat perang itu

sendiri”

Page 191: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

191 PANDAWA KURAWA

Mahfum dengan watak kakak iparnya, Dursasana kembali melanjutkan,

“Yang kedua, adikmu diutus kanda Prabu, untuk kembali ke istana”.

“Dan hal inilah yang saya tidak mengerti, kenapa saya sebagai pangeran

sepuh yang sekarang dijadikan pangeran pati sekaligus, harus disingkirkan, dan

harus dikembalikan ke istana. Terus terang saja, kali ini saya ditugaskan oleh

kakanda Prabu, untuk menjagai keberadaan paduka kanda Banowati”.

“Kalau begitu, kanda Prabu sebenarnya sedikit banyak mempunyai rasa

curiga terhadap aku, begitukah ? Banuwati mulai kesal dengan apa yang

sebenarnya terjadi. Pikirnya, apakah ini buntut dari kericuhan kemarin ketika

suaminya datang ?

“Ya, kira kira begitu. Saya juga tidak pernah bertanya lebih jauh kepada

kanda Prabu, karena saya ini apalah. Hanya sebagai adiknya dan hanya sebagai

abdinya. Dititahkan apapun hamba tidak akan sanggup menolak”. Dursasana

sudah mulai jengah. Inilah suasana yang sudah ia ia bayangkan sebelumnya.

Suasana yang paling tidak senangi, bergaul dengan wanita, apalagi wanita itu

adalah kakak iparnya yang walau cantik, namun dimatanya ada sinar yang warna

cahayanya sebagai sorot warna ndaru braja, komet berracun. Hal inilah

yang membuat Dursasana menjadi serba salah duduknya. Bergeser geser mencari

posisi yang enak, namun tak juga ia menemukan posisi duduk yang nyaman.

Gerah rasa seluruh tubuhnya, walau angin pagi masih tersisa bertiup membawa

uap embun yang baru saja kering. Tak urung keringat sudah membasahi seluruh

tubuhnya.

Page 192: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

192 PANDAWA KURAWA

“ Menungguiku, apaku yang ditunggui. Katakan ! Kamu itu jadi seorang

satria kok begitu bodoh, begitu dungunya ! “ berubah menjadi galak Dewi

Banuwati. Suasana indahnya taman sudah hilang dari perasaannya.

“Apa sebabnya, saya yang hanya diperintah, kenapa saya dibodoh-

bodohkan, didungu dungukan. Silakan kanda Dewi menjelaskan . . ” Dursasana

menyabarkan diri. Mungkin bila ini bukan istri kakaknya ia sudah berdiri marah

atau bahkan tangannya sudah melayang. Tabiat Dursasana yang tidak sabaran

sebenarnya sudah mencapai ambang batas kekuatan menahan, namun rasa hormat

kepada kakak sulungnya, tak pelak lagi mengorbankan habis sifat urakan yang

menjadi ciri dari lahir. Bahkan gerakan tangannya yang biasanya tak pernah diam

seakan terkunci ketat erat.

“Sebenarnya kamu itu sedang dicoba oleh kakakmu itu. Satria itu

seharusnya berperang. Tetapi kakakmu mengatakan kamu harus kembali ke

istana. Kenapa kamu menerima perintah itu dengan begitu lugunya. Apakah itu

bukan dikatakan sebagai satria bodoh yang penakut dan jeri akan tumpahnya

darah !”

Menuding nuding sang Dewi sambil bangkit dari duduknya dan berkacak

pinggang. Panas hatinya dicurigai akan berbuat yang tidak tidak.

“Bukan itu kanda Dewi, yang memerintah tidak salah, yang diperintah

juga tidak salah. Tetapi kenapa hamba yang diperintah dimarahi seperti ini ? Tapi

terus terang kemarahan ini menjadi bahan pelajaran dimasa datang. Dan takut

hamba terhadap kemarahan paduka kanda Dewi, hamba lebih takut akan

Page 193: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

193 PANDAWA KURAWA

kemurkaan kanda Prabu Duryudana”. Masih mencoba sabar Dursasana. “Dan bila

hamba disuruh maju perang, maka betapapun saktinya lawan, akan hamba

laksanakan titah kanda Prabu dengan senang hati”

“Duh . . Sumbarmu ! Seperti bisa memecahkan balok besi, menjilat

panasnya besi membara ! Sinis dewi Banawati berkata.

“Dapat hamba buktikan ! Bila kanda Dewi mengatakan hamba ini satria

bodoh yang takut perang, hal itu adalah sebaliknya. Dan bila hamba diperintah

untuk menjagai wanita, yang terjadi sebenarnya adalah . . . . . , kanda Prabu itu

orang yang kelewat sabar . .”. Berhenti sejenak Dursasana ragu mengatakan,

namun sejurus kemudian ia melanjutkan. “Tidak ada orang yang sabar didunia ini

melebihi kanda Prabu. Walaupun di istana ini sebenarnya terdapat tanaman yang

sangat berbisa, yang selalu tumbuh dan tumbuh dengan subur, yang pada akhirnya

akan membuat gatal orang senegara. Tapi karena besarnya cinta kanda Prabu

terhadap tanaman itu, maka yang terlihat, hanya bentuk dan rupanya yang cantik

saja, sementara bisa racunnya tidak dihiraukan . . . “.

Kamu mengatakan begitu, aku ini kamu anggap apa ? Bagaikan mendidih,

darah diubun ubun dewi Banuwati, yang merasa dikenai hatinya.

“Nanti dulu . . , kalaupun hamba mengatakan perumpamaan terdapat

tanaman berbisa yang dipelihara kanda Prabu, terus terang saja kanda Banowati,

yang sebagai istri kanda Prabu, sebenarnya, paduka kanda Dewi tidak cinta lahir

batin kepada kanda Prabu Duryudana. Kalau dilihat sepintas, perilaku kanda Dewi

terhadap kanda Prabu itu seperti cinta yang sebenar benarnya. Tetapi hal itu hanya

Page 194: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

194 PANDAWA KURAWA

terhenti dalam tata lahir, dan dalam hati kanda Dewi yang sebenarnya, orang

dinegara Astina ini sudah tahu semuanya. Termasuk hamba sendiri”. Keterus

terangan Dursasana makin menjadi-jadi, ia memuntahkan seluruh isi hatinya. Ia

melampiaskan belenggu rasa yang dari tadi menjerat erat

“Bagaimana ? Apa yang kamu ucapkan tadi itu, dihatiku cinta sama siapa

?” Banuwati menantang. Walaupun jawaban yang akan diucapkan oleh adik

iparnya itu sebenarnya dirasa mudah untuk ditebak jawabannya, tapi ia masih

hendak mencoba mencocokkan dengan perkiraannya.

“Terus terang tadinya hamba tidak akan mengatakan sampai kesitu, tapi

karena kanda Dewi sendiri yang menantang, akan hamba buka yang sebenarnya

terjadi. Kanda pasti tahu, sesuatu yang tersimpan dihati kelamaan akan menjadi

penyakit, sekarang sebaiknya hamba keluarkan unek unek dihati hamba”.

Dibawah sorot mata tajam kakak iparnya ia melanjutkan curahan isi

hatinya. Terlanjur basah, mandi sajalah sekalian, pikirnya. Masalah ada aduan

yang sampai kepada kakak sulungnya, itu soal nanti. Sekarang sekarang, nanti ya

nanti. Kebiasaannya dalam berpikir pendek, menjadikannya ia meneruskan kata

katanya dengan lancar.

“Saya memperhatikan setiap kali ada perang tanding antara Kurawa dan

Pandawa, bila ada warga Pandawa yang menang, paduka bergembira dengan

membagi bagikan hadiah kepada abdi dalem dan siapapun. Itu salah satu

buktinya. Sebaliknya ? Contoh terakhir, ketika putra Paduka, Lesmana

Page 195: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

195 PANDAWA KURAWA

Sarojakusuma tewas, paduka menyalahkan kanda Prabu dan putra paduka sendiri,

tetapi ketika Abimanyu yang tewas, paduka menangis histeris. Itu kejadiannya !

Maka pada setiap semedi, paduka kanda Dewi selalu memohon dewata,

kapan kiranya Baratayuda berakhir dan Kurawa kalah serta musnah. Dengan

demikian kanda Dewi dapat segera melaksanakan keinginan kanda Dewi untuk

menjadi keset Arjuna. Iya kan ? Habis sudah, tumpah ruah segala kesah hati

Dursasana tercurah.

“Keparat kamu Dursasana ! Kamu megucapkan sesuatu tanpa perhitungan.

Ketahuan kamu sebagai satria yang takut darah, malah menguak rahasia orang

lain. Kalau memang kamu sebagai satria sejati, dan kalau aku diberi wewenang

untuk menjagokan, kamu aku adu dengan Arjuna, berani kamu ? Habis kesabaran

Banuwati. Kebanggaanya akan Arjuna dimunculkan dengan tidak malu malu lagi.

“Jangankan Arjuna, Pendawa lima maju bersama tak akan hamba mundur

sejangkah !” Kembali Dursasana sesumbar. Panas hatinya sudah semakin

membakar perasaannya. Bahkan tempat yang didudukinya sudah terasa bagai

beralaskan paku membara.

“Sumbarmu ! Tetapi kamupun bisa menang bila aku adu kamu dengan

Arjuna, bila sudah terjadi kodok memakan liang nya !” Banuwati yang sudah

terkena dengan telak isi hati dan kelakuan dibelakang suaminya serta bosan

dengan kericuhan yang terjadi segera berbalik badan meninggalkan Dursasana

yang tertawa senang sekaligus panas hatinya karena kata kata kakak iparnya.

Page 196: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

196 PANDAWA KURAWA

Berdiri Arya Dursasana, setelah ditinggalkan Banuwati, lega rasanya

seakan ia sudah terbebas sangkar yang mengurungnya. Dipandanginya kepergian

Banuwati dengan berkacak pinggang dan muka yang ditengadahkan. Puas tetapi

panas.

“Kena kamu Banuwati ! Lagakmu seperti orang yang suci, tidak

menengok ke tengkuk sendiri menuduh orang yang tidak tidak. Aku buka

rahasiamu, mencak mencak seperti orang kalap. Kamu anggap aku ini apa ? Kalau

kamu bukan istri kakakku sudah aku . . . . . . . Huhh . . ! Apakah aku kelihatan

seperti orang yang bergelung malang dengan bibir berpoles gincu, diberi bedak

tebal mukaku dan dipakaikan kemben tubuhku ? Lihat apa yang akan aku lakukan

untuk membuktikan kata kataku.

Hari ini tak usah aku meminta ijin dari kanda Prabu, akan aku penggal

kepala Arjuna, sekaligus semua saudaranya”. Panas hati Dursasana membawa

keputusannya untuk kembali melangkah ke hamparan padang Kuru.

Kembali remuk hati Aswatama. Belum lagi jelas pulihnya kepercayaan

Prabu Duryudana kepadanya setelah terjadinya kericuhan di Bulupitu waktu lalu

hingga menewaskan paman terkasihnya, Resi Krepa, kembali kematian ayahnya

bagaikan meremuk redamkan sisa bagian hatinya yang masih utuh. Remuknya

hati dibawanya menyingkir dari palagan peperangan disore yang mulai mendung.

Seribu hitungan langkah yang ia rencanakan selanjutnya berkecamuk dalam

pikirannya. Rencana bagaimana cara membalaskan sakit hati atas pokal orang

Page 197: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

197 PANDAWA KURAWA

Pancalaradya utamanya, dan orang Pandawa bersaudara atas kematian orang

tuanya secara keseluruhan.

“Bapa, disini aku akan bersumpah untukmu atas perilaku Drestajumna.

Belum merasa lega hati anakmu, bila belum bisa menumpas anak anak

Pancalaradya. Sanggup anakmu ini melakoni usaha apapun, bahkan menjadi

hewan paling hina-pun anakmu akan tetap berusaha menuntut balas atas

kematianmu ”.kilat dan serentak suara gelegarnya menjadi saksi sumpah

Aswatama.

Sedih hati Aswatama membawanya mengenang orang orang yang

dicintainya. Pamannya, Krepa, yang menganggapnya sebagai anak kandungnya

sendiri, pamannya itu yang telah mencurahkan segala kasih sayang kepada

dirinya, tak terbatas pada rasa sayang seorang paman. Dirinya yang ditinggal

ayahnya sedari kecil di Timpuru telah mendekat-lekatkan hatinya kepada

pamannya itu. Sedangkan ayahnya yang menikahi ibu sambungnya, Krepi, bukan

atas nama cinta, tetapi semata mata hanyalah berdasar usaha melepas beban

mengasuh dirinya sebagai anak bayi Aswatama kecil. Dalih menikahi Krepi

adalah perilaku yang menghindari diri dari kerepotan itu, demi mengejar angan

tinggi seorang perantau muda yang haus akan pengalaman dan cecapan kebebasan

masa mudanya.

Angan kebebasan berpetualang yang membawa ayahnya menjadi rusak

raga atas hajaran Raden Gandamana, namun ayah tercintanya juga diberkati

Page 198: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

198 PANDAWA KURAWA

kesaktian pinunjul ketika berguru kepada Rama Bargawa dan menjadi guru ilmu

kanuragan para Kurawa dan Pandawa.

Kemudian bayangan angan Aswatama menerawang mengenang kasih

sayang sang ayah ketika ia menyusul ke Sokalima. Ayahnya yang merasa bangga

dengan sosok dirinya yang merupakan keturunan satu satunya. Bagi ayahnya

adalah pelecut semangat hidup, ketika raganya telah rapuh dan tak lagi sempurna.

Sosok dirinya yang mengingatkan atas sosok muda ayahnya, hingga ia dilimpahi

kasih sayang tak terhingga dari ayahnya itu.

Tidak berpanjang panjang angan Aswatama, ketika Harya Suman yang

mencari dirinya telah menemukannya.

“Aswatama, jangan lagi menyesali kematian orang tuamu berpanjang

panjang, marilah anakku, aku iring langkahmu menuju balairung Bulupitu.

Sinuwun Prabu Duryudana berkenan memanggilmu”

Ragu Aswatama mendengar perkataan Harya Suman. Dalam benaknya

masih tersimpan ingatan, bagaimana junjungannnya Prabu Duryudana sangat

marah, ketika ia berusaha membela pamannya terkasih, Resi Krapa, ketika

pertengkaran pamannya itu dengan Adipati Karna, yang berujung pada kematian

pamannya.

Harya Suman sangat mengerti perasaan Aswatama, maka ia melanjutkan.

“Sinuwun Prabu Duryudana memanggilmu atas kemurahan hati beliau,

yang menganggap orang tuamu telah menjadi pahlawan atas gugurnya dalam

Page 199: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

199 PANDAWA KURAWA

membela para Kurawa dan melihat kesetiaanmu kepada negara. Ayolah anakku,

jangan ragukan kata kata pamanmu. Aku yang akan menjadi jaminan atas sabda

Prabu Duryudana”.

“Baiklah paman, hamba mengerti akan keadaan ini” Aswatama menuruti

kata kata Patih Sangkuni. Ia ingin mengumpulkan kembali kekuatannya lahir dan

batin. Dengan bergabung kembali ke barisan Kurawa, seribu kemungkinan akan ia

dapatkan dalam usahanya membalaskan sakit hati kepada trah Pancala. Hitungan

dalam kepalanya juga mengarah kepada suatu agenda tersendiri yang hanya ia

yang tahu.

Kembali seorang dari saudara Pendawa terkena tekanan jiwa karena

kematian anak tercinta. Padahal mereka tahu, kematian bagi seseorang yang

masuk dalam arena pertempuran pilihannya adalah mukti atau mati. Tetapi tetap

saja terjadi, setelah kematian Abimanyu anak Arjuna yang menjadikan Arjuna

kehilangan pegangan diri, kali ini Sang Bima Sena-pun mengalami hal yang sama.

Tidaklah ia menyalahkan siapapun, Prabu Kresna, Karna atau dirinya sendiri.

Kerelaannya melepas kepergian anaknya menjadi senapati malam itu adalah atas

niat suci. Namun kenyataan yang terjadi tidak urung membuat perasaannya yang

teguh sedikit banyak telah terguncang. Ketiga anak lelakinya telah mendahuluinya

meraih surga. Yang pertama ketika mengikhlaskan Antareja menjadi tawur atas

kejayaan trah Pandawa sebelum pecah perang waktu lalu .

Kemudian berita telah sampai pula ditelinganya, ketika Antasena juga

telah merelakannya akhir hidupnya atas keinginannya untuk tidak menyaksikan

Page 200: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

200 PANDAWA KURAWA

dan mengalami perang Barata, asalkan para orang tuanya unggul dalam perang

itu. Ia dengan sukarela tersorot mata api yang tajam Batara Badawanganala,

hingga lebur menjadi abu.*)

Maka ketika anak lelaki keduanya tersambut rana dalam peperangan, maka

remuk redam hatinya tanpa dapat mengalirkan air mata. Dengan pikiran yang

kosong Werkudara berjalan menjauhi arena peperangan. Tak terasa langkahnya

sampai dipinggir bengawan Cingcingguling ketika waktu belum lagi menjelang

siang. Rasa lelah semalaman dalam menghadapi barisan raksasa dari Pagerwaja,

Pageralun dan Pagerwatangan, membebani raga sang Bima, ditambah jiwa yang

terluka menganga, merana ditinggalkan semua anak tercintanya. Walau amuknya

semalam telah menelan korban kedua adik dari Patih Sengkuni, Anggabasa dan

Surabasanta, namun tetap ia tidak puas sebelum membalas kematian terhadap

Adipati Karna. Rebahlah dibawah randu hutan dipinggir bengawan, sang Bima

melepas lelah.

Satu bingkai demi bingkai bayangan peristiwa masa lalu mengalir bagai

kejadian yang baru saja terjadi. Dibayangkannya sosok sang istri yang begitu

menyayanginya dengan segenap jiwa dan raga. Wanita yang sesuai dengan angan

angan ketika ia memilih istri. Wanita yang lembut namun perkasa dan sakti

mandraguna.

Berkelebat bayangan kejadian pahit manis perjalanan kasih, hidup dan

perjuangannya dengan sang istri. Saling bahu membahu dengannya ketika

membangun Negara Amarta dari asal hutan Wisamarta yang demikian angker

Page 201: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

201 PANDAWA KURAWA

dengan penunggu para lelembut sakti. Para Drubiksa penghuni hutan yang

ternyata mereka adalah pemilik negara maya dalam hutan itu, bahkan telah

menyatu dalam jiwa masing masing pribadi para Pandawa. Terpesonanya diri

ketika melihat perubahan ujud raseksi Arimbi yang begitu perkasa dan sakti,

menjadi sedemikian cantik karena sabda sang ibu, Prita-Kunti Talibrata, ketika

menyaksikan Arimbi yang demikian cantik budi perilakunya dalam membantu

anak anaknya, sehingga tercetus kata mantra Sabda Tunggal Wenganing Rahsa ke

telinga Arimbi.

Istri yang telah memberikan warna hidup hingga lebih cerah ketika ia

melahirkan seorang putra yang walau masih ujud bayi merah, Jabang Tetuka,

tetapi oleh olah para Dewata, anaknya itu dibuat cepat dewasa dengan kekuatan

bagaikan berotot kawat tulang besi. Ia telah berhasil membebaskan Kahyangan

Jonggring Saloka dengan mengenyahkan Prabu Kalapercona dan para

punggawanya yang sedemikian sakti. Putra yang sangat ia banggakan dengan

sosok yang dambaan yang melekat pada angan angannya. Putra sempurna yang

merajai negara tinggalan dari orang tua ibunya, sekaligus musuh Pandu, orang

tuanya, yaitu Prabu Trembuku. Itulah Negara Pringgandani.

Tetapi belum semua kelebat bayangan masa lalunya usai, angan angannya

itu buyar, ketika terdengar suara berisik yang dikenalinya. Warna suara itu, suara

teriakan sesumbar itu. Itulah suara sesumbar dari Dursasana.

Manusia berangasan yang sedang panas hatinya sekembali dari taman

Kadilengeng di istana Astina, nyerocos sepanjang jalan. Tantangan dari iparnya,

Page 202: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

202 PANDAWA KURAWA

Banuwati, untuk mengalahkan Arjuna, serta hinaan kepadanya yang dituduh

sebagai manusia yang takut darah, menjadikannya ia sangat bernafsu untuk segera

menaklukkan Pandawa.

Sekarang hati Werkudara menjadi gembira bukan main, seakan ia menjadi

anak kecil yang mendapat mainan baru. Dalam hatinya mengatakan, inilah

pelampiasan dendam atas kematian anaknya tadi malam.

Bangun ia dari rebahannya, segera diketatkan segala pakaian yang

melekat ditubuhnya siap untuk bertempur kembali. Kelelahan jiwa raga yang

mendera, berganti dengan kesegaran yang mengalir dari dalam rasa hati.

Melompat sang Bima menuju kearah suara yang nyerocos sesumbar tak henti

hentinya.

Demikan juga dengan Dursasana yang merasa sangat senang, ketika

melihat Werkudara menghadang langkahnya. Tidak disangka, belum sampai

dimedan peperangan, orang yang dicari muncul lebih cepat dari pada yang ia

bayangkan.

“Hee . . .Wekudara, kamu ternyata ada disini ! Tidak usah repot repot

mencarimu ditengah banyaknya manusia yang sedang menyabung nyawa

! Sekalian aku hendak membalaskan kematian anakku Dursala karena ulah

anakmu Gatutkaca ! Kalimat yang terucap disertai tawa yang mengalir dari

mulutnya tanda kegembiraan karena keinginannya akan segera terwujud.

“Apa maumu ?!” Bimasena menyahut sekenanya.

Page 203: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

203 PANDAWA KURAWA

“Sekarang atau nanti, di Palagan Kurusetra atau disini sama saja.

Sekaranglah waktunya untuk kita mengadu kesaktian, satu lawan satu, siapakah

sebenarnya yang mempunyai kaki yang lebih kokoh, lengan yang lebih kekar dan

tenaga yang paling kuat diantara kita berdua !” Yakin Dursasana kali ini dapat

menjadi pahlawan ketika nanti ia dapat merobohkan tulang punggung trah

Pandawa ini.

“Waspadalah, ayo kita mulai !” Siaga Werkudara setelah ia berhenti

berucap.

Maka tanding antara tulang punggung kedua bersaudara Pandawa dan

Kurawa mulai berlangsung. Kaki kanan Dursasana mengayun ke dada Werkudara

dielakkan dengan sedikit memiringkan badan. Merasa tidak akan bisa mengenai

sasaran, segera Dursasana menarik kembali serangannya, kemudian ganti tangan

kirinya hendak menyapu pundak Bima. Gerakan Dursasana yang lurus menyerang

pundaknya segera ditangkis dengan tangan kanan, benturan kedua tangan terjadi.

Sentuhan tangan keduanya memulai kontak tenaga sebagai penjajakan atas

kekuatan diantara keduanya. “He he he . . . . Bagus juga kekuatanmu, jangan

keburu senang dengan berhasil menghindari serangan pertamaku. Ayolah

sekarang ganti kamu yang menyerang, aku tidak akan mengelak seberapapun

kekuatan yang hendak kau kerahkan”

“Jangan banyak mulut, terimalah kerasnya tapak kakiku !”

Kembali keduanya siap dengan kuda kudanya. Kali ini kaki kanan

Werkudara diangkat mengarah dada Dursasana yang mencoba menahan dengan

Page 204: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

204 PANDAWA KURAWA

kedua tangannya yang bersilang didepan dadanya. Ketika kaki Werkudara beradu

dengan tangan Dursasana, segera Werkudara menambah daya kedut pada kakinya

hingga Dursasana terpaksa menahan. Sejenak kemudian kekuatan kaki Werkudara

telah mendesak tahanan serangan Dursasana yang terpaksa menggulingkan diri.

Werkudara mencecar dengan hendak menginjaknya, namun waspada Dursasana

yang segera menyapu gerakan kaki Werkudara sambil meloncat bangun. Benturan

kaki keduanya terjadi dengan kerasnya dilambari dengan kekuatan ajian masing

masing.

Terlempar keduanya beberapa langkah kebelakang dengan mulut masing

masing mendesis menahan nyeri tulang kering mereka. Kemudian mulut

Dursasana mengalirkan sumpah serapah seperti kebiasaanya.

Kembali Dursasana mengayunkan kaki mengarah ke lambung Werkudara

yang sudah siap dengan kuda kudanya. Tetap dengan mulut yang tak mau diam

dengan caci makinya. Kaki beradu kaki berulang terjadi, berganti kanan kiri

diselingi sambaran kepalan tangan dari keduanya. Saling serang dan elak

berlangsung seimbang pada mulanya. Tanding keduanya bagaikan perkelahian

seekor gajah dengan seekor harimau. Gerak sentosa Werkudara yang kokoh maju

setapak setapak menahan dan menyerang balik Dursasana yang berkelahi bagai

seekor singa. Hutan pinggir sungai bagai terbabat oleh sabetan tangan dan kaki

kedua musuh abadi itu. Tanaman perdu patah rata tanah, sedangkan yang besar

besar batangnya bertumbangan bahkan ada yang rungkat beserta akarnya.

Page 205: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

205 PANDAWA KURAWA

Tapi yang berkembang kemudian adalah akibat dari jejak laku dari

keduanya. Werkudara yang telah tertempa secara fisik dan telah menyerap segala

kesaktian dari Ajian Bandung Bandawasa, Blabag Pengantol-antol hingga

menyatunya saudara tunggal bayu serta kekuatan raksasa Kumbakarna yang ia

peroleh di sekitar hutan Kutarunggu. Ketika itu Kresna yang menyamar menjadi

Begawan Kesawasiddi dan memberi wejangan Hastabrata kepada Arjuna,

sehingga Werkudara mendapat tambahan kekuatan selagi ia mencari keberadaan

Kresna dan Arjuna. Usaha “tarak brata” inilah yang membuat ia lama kelamaan

menjadikannya Werkudara unggul telak daripada Dursasana yang jarang

melakukan usaha peningkatan ilmu kesaktian dengan lebih enak tinggal di istana.

Ketika Dursasana gagal mengungguli dengan kekuatan tangan kosong,

berganti ia mencoba menggunakan limpung dan kemudian gada. Werkudara

melayani kemauan Dursasana dengan kuku pancanaka dan batang gada

Lukitasari. Dengan langkah mantap, Werkudara melayani serangan bertubi tubi

dari Dursasana. Namun tetap saja, walau Dursasana mengerahkan segala

kesaktiannya, keteguhan Werkudara tetap tak tergoyahkan.

Merasa keteteran dengan tandang Werkudara, Dursasana mencoba

mencari akal lain dengan berusaha menguras tenaga lawan. Ia berlari dan

melawan dengan berulang ulang kemudian melompati kali Cingcingguling.

“Werkudara . . . . Ayuh kejar aku keseberang! Kamu tunjukkan seberapa

kuat tenaga seribu gajah yang kamu miliki ! “ Ia berharap sebelum kaki

Werkudara menapak tebing seberang ia sudah kembali menyerang sehingga

Page 206: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

206 PANDAWA KURAWA

lawannya kehilangan keseimbangan kemudian serangan beruntun dilancarkan

hingga lawan dengan mudah disasarnya.

Ketika perkelahian itu berlangsung, Prabu Kresna yang kehilangan

adiknya, segera melacak jejak Werkudara. Pengalaman ketika ia kehilangan jejak

Arjuna ketika adiknya itu terkena tekanan jiwa atas kematian Abimanyu,

membuat intuisi Kresna segera menemukan dimana adanya Werkudara yang

mengalami kesamaan peristiwa seperti Arjuna ketika itu.

Maka ketika dilihatnya yang dicari sedang bertempur diarena yang tidak

resmi dan ia berketapan hati Dursasana akan dikalahkannya, maka diutusnya

seseorang untuk menjemput Drupadi.

Dan memang benar. Tak lama kemudian usaha Dursasana dalam

mengubah strategi menjadi tak berarti karena kalah unggul kekuatan dan

kesaktiannya. Tambahan lagi, ketika campur tangan pihak ketiga juga ikut

bermain. Sarka dan Tarka, kedua arwah tumbal yang tak rela atas kematiannya

masih juga melanglang di alam madyantara juga hendak menuntut balas atas

kematiannya.

Maka begitu kesempatan itu datang, juntaian akar pohon tepi sungai

menjadi sarana atas dendam keduanya. Kaki Dursasana yang diperkirakan

menginjak tebing sungai dengan mulus, tersandung akar dan goyah langkahnya.

Kesempatan ini digunakan sepenuhnya oleh Werkudara yang dengan sigap

menjambak rambut lawannya, dan kakinyapun mengunci gerak lawannya. Dengan

Page 207: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

207 PANDAWA KURAWA

tenaga penuh dipuntirnya tubuh Dursasana bagaikan seekor buaya memutar

mangsanya, Werkudara memperlakukan tubuh musuhnya.

Pucat pasi wajah Dursasana ketika sudah terkunci tak bisa bergerak lagi

dengan tulang yang sudah patah pada beberapa bagian. “ Adikku Werkudara,

lepaskan aku ! Berikan kakakmu sedikit rasa kemanusiaanmu. Kendurkan

pitinganmu, aku mengaku kalah, ampuni aku, berikan aku hidup. . . . . . . .”

Memelas kata kata permohonan ampun meluncur dari mulut Dursasana.

“Tutup mulut buayamu yang kotor ! Kamu harus ingat ketika kamu masih

dalam keadaan jaya, tingkah lakumu sungguh sangat membuat jengkel saudara

sepupumu. Sekarang waktunya kamu menuai tindakanmu dahulu yang selalu

mencari kematian kami semua bersaudara anak Pandu. Bahkan kakak iparku

Drupadi hendak kau buat malu ketika kamu menang dalam judi dadu, hingga

sumpahnya harus aku luwar, agar ia dapat kembali bergelung”. Mendengar

permohonan ampun tidak digubris, dengan muka yang memerah marah dan

gemetar, kemudian berubah pucat pasi tanda keputus asaan mendera dadanya.

Maka takdir menjemput akhir hidup manusia yang selalu berjalan dalam

kepongahan itu dengan sumpah serapah yang masih membuncah dari mulutnya.

Kekesalan Bima terlampiaskan dengan memelintir anggauta tubuh lawannya

hingga tercerai berai. Tidak puas juga, bagian anggauta badan Dursasana yang

sudah tercerai berai dilemparkan kesegala penjuru.

Memang demikian, Dewi Drupadi, ia pernah mempunyai janji, ia tak kan

pernah bergelung rambutnya apabila ia belum berkeramas dengan darah

Page 208: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

208 PANDAWA KURAWA

Dursasana. Janji itu terucap ketika ia hendak dipermalukan oleh Dursasana di

arena judi dadu. Janji itu terucap disaksikan oleh semua yang hadir dalam arena

itu termasuk Prabu Kresna. Walaupun ia tak dapat dipermalukan karena

pertolongan dewa, kain yang menutup tubuhnya tak dapat dilepas seakan tiada

berujung. Maka kesempatan itu tak hendak dilalukan. Bima yang teringat akan

sumpah kakak iparnya segera menyedot darah Dursasana dengan mulutnya hingga

kumis dan jenggotnya tergenang merah darah. Sampai ditempat kakak iparnya

Draupadi, dituangkannya darah Dursasana dari mulut dan perasan darah dari

jenggot dan kumisnya, yang kemudian dipersembahkan dihadapan Drupadi yang

dengan senang hati menjadikannya luwar atas janjinya ketika itu.

Ular sawah menelan telur ayam,

Padahal sungguh sedang dieram

Di dalam perut telur itu menetas

Merayap keluar dari mulut ular

Anak ayam menghilang ke hutan

Ular sawah tidur kekenyangan,

Kematian Dursasana yang mengenaskan segera tersebar ke segala penjuru

pertempuran. Dengan rasa ngeri diceritakan bagaimana Bima tidak lagi bertindak

seperti manusia. Ia menghancurkan wajah Dursasana yang buruk rupa,

menggocohnya sampai menjadi bubur, menyobek perutnya dengan pisau,

Page 209: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

209 PANDAWA KURAWA

mengeluarkan ususnya, dan menghirup darah sebanyak-banyaknya. Demikianlah

diceritakan dalam Kakawin Bharata-Yuddha:

Pada waktu itu berbicaralah Bhima dengan suara yang lantang dan tidak

menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya.

”Wahai kelompok pahlawan semuanya dan khususnya dewa-dewa yang

menjelma di dunia ini! Lihatlah Bhima ini yang sedang akan memenuhi janjinya

di tengah medan pertempuran. Darah Dussasana inilah yang akan saya minum.

Lihatlah!

”Dan untuk dewi Draupadi inilah hari yang terakhir untuk mengurai

rambutnya. Terima ini dengan ikhlas hati, wahai Dussasana dan rasakan pahalamu

untuk membuat kejahatan yang terus menerus. Bah, bahwa kau ini tetap meronta-

ronta dan tidak tinggal diam, wahai kamu anjing yang tidak sopan, pada waktu ini

kamu akan dibunuh. Apa yang kau pikir dalam hatimu? Akan kau lanjutkan

perbuatanmu yang jahat itu? Buktinya, kamu berusaha untuk bangkit lagi!”

Demikianlah ucapan Bhima yang pendek tegas. Setelah Bhima meringkus

Dussasana dengan tangannya dan dapat memegang perutnya, perut inilah yang

disudet. Pada ketika itu Dussasana telah tidak sadarkan akan dirinya lagi;

kemudian dada yang telah disudet itu dibuka lebih lebar lagi. Kelihatannya

seolah-olah Dussasana yang tetap hatinya dan gagah berani itu tetap dengan

dendamnya mencoba untuk menerjang dan menggigit. Ketika Bhima minum

darahnya itu, Dussasana secara mata gelap memukul-mukul ke kiri dan ke kanan,

Page 210: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

210 PANDAWA KURAWA

meronta-ronta dan mencoba memegang Bhima, padahal badannya telah

berkejatan.

Sangat mengerikan kelihatannya, ketika Bhima minum darah dan dengan

ketetapan hati menarik usus Dussasana dari perutnya. Kelihatannya seolah-olah ia

akan menunjukkan bagaimana ia pada suatu ketika dapat memuaskan apa yang

dikehendakinya. Rambutnya dapat disamakan dengan mega merah, matanya dapat

disamakan dengan matahari yang dengan sinarnya yang berkilauan, sedangkan

suara yang keluar dari tenggorokan dapat disamakan dengan petir dan suara yang

keluar dari mulutnya sebagai tanda kepuasan dapat disamakan dengan halilintar.

Mukanya yang penuh dengan darah itu dapat disamakan dengan mega

merah yang kena sinar matahari. Bhima yang berjalan dengan angkuhnya itu

dapat diumpamakan sebagai gunung yang menjolak ke atas. Dengan segera ia

melempar-lemparkan mayat Dussasana ke atas, disertai oleh kata-kata seperti

guruh yang berkumpul. ”Inilah pembantumu, bah!” Demikianlah ucapan Bhima

dan dilemparkannya mayat Dussasana itu ke arah Suyodhana.

Drupadi mendengar semuanya. Ia berada dalam tenda di belakang garis

pertempuran di Kurusetra. Seorang penjaga dipanggilnya.

”Bawalah bokor ini kepada Bima,” katanya.

Bima yang wajahnya penuh darah mengerti makna bokor itu. Drupadi

ingin menyanggul rambutnya sekarang juga. Maka dicarinya mayat Dursasana

yang telah dilemparnya. Para prajurit menyingkir ngeri melihat cara Bima

Page 211: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

211 PANDAWA KURAWA

memeras darah dari mayat Dursasana. Perang memang hanya kekejaman. Benar

dan salah hanya kekerasan. Apakah tidak ada cara lain untuk menjadi ksatria?

”Inilah air kutukan itu, Dewi.”

Bokor itu berisi darah, namun Drupadi melihatnya sebagai tirta amerta

yang bercahaya. Ia tidak berpikir tentang dendamnya terhadap Dursasana, ia ingin

melengkapkan putaran roda kehidupan. Di dalam tenda diangkatnya bokor emas

itu ke atas kepalanya.

Pada senja di hari kematian Dursasana itu, orang-orang melihat cahaya

berkilat menyemburat ke langit dari tenda Drupadi. Cahaya terang yang

memancar-mancar. Para pengawal berlarian menuju tenda itu. Namun mereka

berpapasan dengan dayang-dayang yang berwajah pucat.

”Dewi Drupadi…”

”Kenapa Dewi Drupadi?”

”Mandi darah.”

Pengawal pertama yang menyibak tenda terkejut. Drupadi bersamadi

dengan seluruh tubuh bersimbah darah. Cahaya memancar dari tubuhnya,

semburat ke angkasa. Lunas sudah piutangmu Dursasana tak terlunaskan piutang

pada kesuciansemua kejahatan ada bayarannya meski kebaikan tidak minta

balasan Pada malam hari Drupadi berkumpul dengan lima suaminya. Hari itu

Karna juga telah gugur.

Page 212: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

212 PANDAWA KURAWA

”Apa hasil perang ini,” kata Drupadi, ”putra-putra Pandawa yang perkasa

seperti Irawan, Abimanyu, dan Gatotkaca telah gugur. Kita akan menang, tapi apa

arti kemenangan ini selain pelampiasan dendam yang tidak terpuaskan. Orang-

orang yang kita hormati telah tiada. Kemenangan ini akan kita persembahkan

kepada siapa?”

Kresna bicara.

”Bharatayudha adalah suatu penebusan, Drupadi. Resi Bhisma menebus

kelalaiannya kepada Dewi Amba. Mahaguru Dorna menebus rasismenya kepada

Ekalaya dari Nisada. Esok pagi Salya akan menebus kebenciannya terhadap

Bagaspati, mertuanya sendiri. Kita hidup dalam lingkaran karma. Kodrat tak

terhindarkan, tapi tidak untuk disesali, seperti penghayatan dirimu sebagai

perempuan dengan suami lima. Bahkan Salya pun tidak punya niat jahat, karena ia

dulu adalah Sumantri yang mengingkari Sukasrana. Bagaimanakah caranya kita

menghindari diri kita Drupadi? Tidak bisa. Bharatayudha hanyalah jalan bagi

setiap orang untuk memenuhi karmanya, melengkapkan perannya, untuk

membersihkan dunia. Kelak anak Utari yang bernama Parikesit akan menjadi raja,

saat itu dunia bersih bagai tanpa noda, tapi tetap saja ada yang bernama

malapetaka. Maka hidup di dunia bukan hanya soal kita menjadi baik atau

menjadi buruk, tapi soal bagaimana kita bersikap kepada kebaikan dan keburukan

itu. Perang ini penuh perlambangan. Siapakah yang lebih jahat Drupadi,

Dursasana yang menelanjangimu atau Bima yang menghirup darah Dursasana?

Perang ini adalah sebuah pertanyaan. Apakah jalan kekerasan para ksatria bisa

Page 213: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

213 PANDAWA KURAWA

dibenarkan?”

Drupadi menjawab.

”Aku Drupadi, seorang perempuan, terus terang menghendaki darah

Dursasana, untuk memberi pelajaran kepada penghinaan.”

”Jawabannya bisa lebih panjang Drupadi. Engkau seorang perempuan

telah memberi pelajaran tentang bagaimana perempuan menghidupkan diri

dengan dendam. Sama seperti dendam Amba kepada Bhisma, sama seperti

dendam Gandari kepada penglihatan karena mendapat suami dalam kebutaan.

Perang ini memberi peringatan, wahai Drupadi, betapa dendam bisa begitu

mengerikan. Para Pandawa adalah ahli bertapa, namun di seluruh anak benua tiada

pembunuh yang lebih besar daripada mereka.”

”Kresna yang bijak, ingatlah bahwa para Pandawa selalu membela

kebenaran.”

”Tidak ada yang keliru, duhai Drupadi yang cerdas, bahkan mereka akan

selalu dilindungi para dewa. Tapi renungkanlah kembali makna kekerasan.”

”Dunia ini penuh kekerasan, Kresna. Terutama aku, perempuan, yang

selalu jadi korban.

”Maka memang menjadi pilihan, Drupadi, kita akan menghindari atau

menggunakan kekerasan.”

Page 214: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

214 PANDAWA KURAWA

Drupadi berdiri.

”Kresna, engkau sungguh pandai bicara. Tapi engkau belum pernah

menjadi korban. Itulah masalahmu Kresna, engkau mengerti segalanya, namun

engkau tidak pernah merasakannya. Aku adalah korban, dan aku menggunakan

hak diriku sebagai korban untuk menjawab nasibku dengan kemarahan. Engkau

mengatur segala-galanya. Kau korbankan Gatotkaca, agar Karna melepaskan

Konta, sehingga Arjuna bisa menandinginya. Apakah engkau tidak pernah

mendendam Kresna, engkau memutar leher Sishupala hanya karena kata-kata,

engkau membunuh Salwa orang bodoh yang mengacau Dwaraka. Itukah

pelajaranmu untuk dunia? Aku sudah menjadi korban, dan dari seseorang yang

sudah menjadi korban, engkau memintanya berjiwa besar. Apakah itu tidak terlalu

berlebihan? Biarlah Resi Bhisma atau Karna atau Yudhistira berjiwa besar, tapi

aku Drupadi, seorang perempuan, menggunakan hak diriku sebagai korban untuk

melakukan pembalasan.”

”Itu hanya membuktikan, wahai Drupadi, bukan hanya kejantanan menjadi

korban kekerasan.”

”Kresna, Kresna, bagimu pelaku kekerasan adalah korban. Lantas harus

diberi nama apa korban kekerasan itu sendiri?”

Yudhistira berdiri.

”Kresna kakakku, Drupadi istriku. Janganlah diteruskan lagi. Masih

banyak yang harus kita atasi.”

Page 215: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

215 PANDAWA KURAWA

Drupadi menarik nafas. Wajahnya terang dan bercahaya, dalam tatapan

kagum kelima suaminya.

Barata

GUGUR SANG PUTRA SURYA

Malam kembali jatuh. Di Pesanggrahan Bulupitu, Prabu Duryudana sangat

berduka dengan apa yang terjadi pada peperangan hari tadi. Kematian demi

kematian para sanak saudara bahkan gurunya, telah membuat ia merasa telah

terlolosi otot dan tulang tulang dari sekujur tubuhnya. Kematian gurunya Pendita

Durna-lah yang membuat serasa lumpuh. Ditambah lagi dengan kematian adiknya

Dursasana yang sudah ia terima dari abdi telik sandi. Kematiannya yang diluar

arena resmi sangat ia sesalkan. Ditambah lagi dengan kematiannya yang sangat

menyedihkan dengan badan yang tercerai berai, membuahkan dendam kepada

Werkudara.

Page 216: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

216 PANDAWA KURAWA

“Rama Prabu, sekaranglah waktunya putramu untuk maju sendiri kemedan

pertempuran” Duryudana tidak lagi terkendali rasa hatinya ketika orang orang

terkasihnya tewas satu persatu.

“Pikirkanlah baik baik langkah yang hendak kau ambil, anak mantu

Prabu”. Salya mencoba menyabarkan hati menantunya. Kemudian ia mencoba

memberikan pilihan. “Barangkali dengan telah tewasnya banyak andalan pihak

kita, anak Prabu mempunyai pertimbangan untuk mengakhiri saja perang ini. Dan

bila anak Prabu berkenan akan tindakan ini, aku sanggup untuk menjadi perantara

dalam menyampaikan pesan perdamaian kepada adik adikmu Pandawa”.

“Tidak rama Prabu, akan sia sia pengorbanan yang telah diberikan oleh

para prajurit dan senapati yang telah gugur. Tidak layak putramu berdamai dengan

Para Pandawa dengan landasan bangkai para prajurit dan bergelimang dengan

darah para bebanten perang”. Duryudana menjawab dengan tegas. Perasaan

dendam yang membara didadanya atas kematian adik terkasihnya, Dursasana,

telah mendorongnya mengatakan bantahan atas pilihan tawaran dari Prabu Salya.

“Baiklah, bila demikian. Anak Prabu masih mempunyai satria agul-agul

yang kiraku dapat mengatasi keadaan ini dengan memenangi perang. Disini masih

berdiri kokoh seorang calon senapati yang bukan orang sembarangan. Orang itu

adalah anak dewa penerang hari, yang telah kuasa memenangi pertempuran

malam dengan korban yang tak terkira jumlahnya termasuk senapati muda

Gatutkaca”. Tutur Salya sambil melirik mantunya yang paling ia tidak sukai dari

ketiga mantu yang lain sambil tersenyum penuh arti. Senyum yang keluar bukan

Page 217: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

217 PANDAWA KURAWA

dari hati yang tulus. Senyum yang setengah mengejek, karena rasa yang terlanjur

tidak suka terhadap mantu itu. Juga senyum sinis itu disebabkan atas hasil

kemenangan yang dicapainya baru baru ini yang tidak dilakukan dengan cara

kesatria, layaknya perang yang terjadi di waktu waktu sebelumnya yang terjadi

diwaktu yang wajar, siang hari.

“Terimakasih rama Prabu, anakmu setuju atas kehendak rama. Hanya

kepada kanda Adipati, kami menyandarkan kekuatan para Kurawa dalam

memenangi perang ini. Kami harap kanda Adipati dapat melaksanakan segala

gelar perang yang akan terlaksana besok pagi”.

“Kehormatan yang tiada terkira yang saya cadang siang dan malam telah

terucap dari sabda paduka adinda Prabu. Ada satu permintaan yang akan kami

sampaikan kepada adinda Prabu, dalam perang nanti, kami pasti akan berhadapan

dengan adimas Arjuna. Ini sudah menjadi takdir yang sudah terucap dari sabda

Batara Narada waktu lalu, bahwa kami berdua adimas Arjuna bakal bertemu

kembali dalam medan Baratayuda. Dari itu, para Pandawa akan menampilkan

adimas Arjuna sebagai senapati dari pihak Hupalawiya”. Kembali Adipati Karna

mengingatkan akan peristiwa masa lalu ketika anugrah Kuntawijayandanu yang

hendak diberikan kepada Arjuna sebagai pemutus tali pusar Gatutkaca, telah salah

diterimakan kepada Karna-Suryatmaja.

Perkelahian keduanya terjadi ketika Arjuna tidak terima atas kesalahan

pemberian pusaka itu, dan bahwa ia juga telah dibebani tugas oleh kakaknya,

Bratasena Werkudara, untuk mendapatkan senjata yang bisa memutus tali pusar

Page 218: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

218 PANDAWA KURAWA

keponakannya. Pertempuran yang kemudian dipisah oleh Narada, dijanjikannya

bakal terlaksana hingga salah satunya tewas pada saat Perang Baratayuda

berlangsung nanti.

“Permintaan apakah yang hendak kanda sampaikan. Kalau masih dalam

jangkauan kami, pasti akan kami kabulkan” Duryudana setengah menyanggupi

permintaan yang hendak ia sampaikan.

“Adinda Prabu, Bila terjadi perang tanding dengan kereta perang nanti

antara kami dengan dimas Arjuna, tidak urung adimas Arjuna akan dikusiri oleh

Prabu Kresna. Bila ini yang terjadi, mohon kesanggupannya agar kami dikusiri

juga oleh manusia yang setimbang dengan derajat Prabu Kresna”. Sejenak Karna

diam, ragu dalam hati ia hendak menyampaikan maksudnya kepada adik iparnya

itu.

Jeda kesunyian itu kemudian diseling dengan pertanyaan sang Prabu.

“Kanda, apakah kanda hendak dikusiri oleh Kartamarma, ataukah oleh paman

Harya Sangkuni? Akan kami perintahkan kapanpun, pasti keduanya dengan

senang hati akan memenuhi kehendak kanda Adipati”.

Adipati Karna tersenyum hambar. Perasaan sungkan yang ia pendam

sedari tadi telah ia keluarkan dan ia buang sedikit demi sedikit. Keinginan

membalas perlakuan mertuanya yang selalu tidak cocok dihatinya, dalam

peristiwa ini, bagaikan suatu sarana untuk melawan balik sikap mertuanya itu.

Bagaimanapun permintaan seorang senapati akan dipenuhi tanpa harus tercampuri

Page 219: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

219 PANDAWA KURAWA

oleh urusan pribadi. Dan urusan negara ini akan dijadikan dalih dalam melawan

sikap mertuanya itu. Inilah saatnya, pikir Karna.

“Adinda Prabu, bukan seorang Kartamarma atau Paman Sengkuni yang

aku kehendaki. Keduanya belum setimbang dengan derajat yang disandang oleh

Prabu Kresna. Satu satunya orang yang dapat menyamai derajatnya, adalah . . .

Rama Prabu Salya”.

Terkejut Salya dengan permintaan yang diajukan oleh menantunya. Tidak

senang ia berkata. “Ooh . . , inikah ujud bakti seorang menantu terhadap

mertuanya? Aku ini dianggap apa? Derajat Prabu Kresna yang kau anggap sebagai

dalih agar mertuamu ini mau kau perintahkan aku sebagai kusirmu? Sekali

menjadi mantu kualat, tetap menjadi menantu kualat juga. Belum juga sembuh

rasa hati atas tuduhanmu diawal perang, telah kau lukai hati ini sekali lagi dengan

permintaanmu yang merendahkan derajat raja Mandaraka”. Tanpa diduga

sebelumnya oleh Karna, rayuannya atas derajat yang ia lontarkan kepada

mertuanya, tidak mempan mengatasi anggapan rendah seorang kusir bagi dirinya.

Bahkan kembali Salya mengungkit ungkit sakit hatinya atas tuduhan menantunya

diawal perang.

“Rama Prabu, bila rama tidak berkenan atas permintaan kanda Adipati,

baiklah sekarang putramu sendiri yang akan maju kemedan Kurusetra. Saya

relakan jiwaku demi kemenangan yang hendak aku raih. Putramu minta diri untuk

berangkat malam ini juga”. Duryudana mencoba untuk menarik perhatian ayah

Page 220: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

220 PANDAWA KURAWA

mertuanya. Ia berharap mertuanya akan menyanggupi permintaan kakak iparnya

bila ia mengancam akan bertindak sendiri.

Kembali diluar dugaan, Salya berkata sambil tertawa sumbang. “Anak

mantu Duyudana, aku ini orang tua yang sudah makan asam garam kehidupan.

Tidak usahlah merajuk seperti itu. Dalam pendengaranku, kata kata anakmas

Duryudana tadi, bukan keluar dari lubuk hati anakmas sendiri. Tidak usahlah

memaksa dengan ancaman halus seperti yang anak Prabu katakan, aku akan

menuruti keinginan menantuku Awangga yang tampan itu, anak mantu yang

membuat anakku Surtikanti mabuk kepayang”. Akhirnya Salya menyanggupi

permintaan itu. Karna yang mendengar permintaannya dikabulkan bukannya

senang, namun ia malah tersenyum kecut penuh arti.

“Terimasih rama Prabu, yang telah mengabulkan permintaan anakmu ini.

Mohon perkenannya adinda Prabu Duryudana, mulai malam ini kanjeng rama ada

dalam tugas sebagai kusir senapati Awangga”. Adipati Karna akhirnya

mengatakan kalimat seperti itu. Telah telanjur basah ia dalam melawan rasa benci

dari sang mertua, maka sekalianlah basah dengan memerintahkan peran itu dari

saat ini juga.

“Baiklah anakku tampan, perintahkan kepada kusirmu tugas apa yang

hendak kau perintahkan untuk mengantarmu?” Salya sudah muak dengan tingkah

menantunya sekalian memanjakan semu kemauan menantunya.

“Mohon maaf rama, mohon rama menemani kami untuk kembali sejenak

ke Awangga. Anakmu mantu ingin ketemu sejenak dengan putri rama, Surtikanti.

Page 221: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

221 PANDAWA KURAWA

Sudah lama anakmu tidak memberi kabar ataupun berita. Dan pasti ia ingin

mengetahui keselamatan suaminya. Sekali lagi mohon perkenannya. Ketemu

dengan istri bukanlah masalah pribadi, ini sebagian dari tugas seorang senapati.

Ketemu dengan istri adalah sebagai penguat jiwa, sebagai penambah moral bagi

seorang lelaki sekaligus suami dalam menjalankan tugas. Apalagi ini adalah tugas

luar biasa, tugas yang taruhannya adalah nyawa”. Karna mencoba memberi

penjelasan kepada mertuanya.

Namun sang mertua yang sudah pegal hatinya setengah hati menjawah.

“Dalih apapun yang kamu hendak berikan kepadaku, taklah menjadi sebuah arti.

Mari ikuti aku, kita segera berangkat ke Awangga”

“Anak mantu Duryudana, perkenankan kami mohon diri sejenak. Kusir ini

akan mengantarkan senapati agung”. Prabu Salya meminta diri.

“Semoga keselamatan rama Prabu dan Kanda Adipati menyertai

perjalanan ini nanti” demikian Duryudana mengakhiri sidang dan beranjak

mengikuti Prabu Salya dan Adipati Karna sampai di gapura pesanggrahan.

Lenyap bayang dua sosok menantu dan mertua itu di keremangan malam.

Tetapi dua sosok tubuh yang lain muncul. Mereka adalah Harya Sangkuni dan

Aswatama. Segera keduanya menghaturkan sembah kepada junjungannya.

Diajaknya kemudian keduanya menuju balairung pesanggrahan. Setelah

basa basi sejenak, dan menceritakan apa yang terjadi baru saja, berkata Prabu

Duryudana, “Aswatama, telah saya cabut kata kataku mengenai pengusiranmu

dari hadapanku. Kematian ayahmu sebagai seorang tawur peperangan adalah

Page 222: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

222 PANDAWA KURAWA

labuh seorang pahlawan sejati. Sebagai seorang anak pahlawan, selayaknya kamu

harus aku berikan perlakuan layaknya seorang anak pahlawan. Sedangkan

perilakumu semasa pembuangan, aku lihat tetap bersikap sebagaimana prajurit

yang setia terhadap negara. Itulah yang mendasari kamu aku dekatkan kembali

dihadapanku”.

“Terimakasih atas kepercayaan gusti Prabu terhadap hamba. Akan kami

pelihara sikap kesetiaan kami terhadap negara ini dengan kesanggupan hamba

sebagai mata mata atas kedua parampara paduka gusti Prabu. Kenapa hamba

mengatakan sanggup menjadi orang yang setia, dan hubungannya dengan kedua

parampara paduka yang barusan pergi. Mohon seribu maaf, karena keduanya

adalah masih ada hubungan batin dan jiwa dengan musuh paduka para Pandawa.

Prabu Salya adalah uwak dari kembar Nakula dan Sadewa. Sedangkan kanda

Adipati Karna adalah saudara tunggal wadah dengan para Pandawa melalui bibi

paduka Dewi Kunti. Maka menurut hamba, keduanya harus diawasi benar benar

pergerakannya. Sekali lagi sinuwun Prabu, hamba mohon maaf.

Hubungan gusti Prabu dengan mertua paduka kali ini hamba

kesampingkan”. Aswatama menghaturkan kata kata itu dengan hati hati.

Sebenarnya ia khawatir mengatakan itu. Namun angin mengarah kepada

dirinya hingga diberanikan dirinya mengutarakan isi hatinya.

Takut ia dengan kemurkaan kembali gustinya, ia menunduk dalam. Tetapi

hatinya menjadi besar, ketika Patih Sengkuni mengamini kata katanya.” Anak

Prabu, benar apa yang dikatakan Aswatama. Segala sesuatu dapat saja terjadi

Page 223: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

223 PANDAWA KURAWA

dengan keduanya. Kami sependapat, dan Aswatama akan membuktikan

keterangan yang diberikan besok hari ketika perang esok hari telah usai”.

Maka malam itu ketika sudah larut, Aswatama tak segera dapat

memejamkan matanya. Kenangan masa lalu dan rencana kedepan hilir mudik

mengisi kepalanya. Tapi putusannya adalah, siapapun yang akan memenangi

Baratayuda tidaklah menjadi persoalan baginya. Tak ada lagi untung rugi yang ia

hitung hitung dalam perkara ini. Yang utama adalah bagaimana ia dapat

membalaskan sakit hati terhadap pembunuh ayah dan pamannya, baik itu melalui

tangannya sendiri maupun melalui tangan orang lain. Sekarang telah diputuskan,

bahwa dirinya akan menjadi seorang oportunis sejati. Kurawa menang, dirinya

aman, tetapi bila Pandawa yang menang, kembali ke Timpuru atau Atasangin

menjadi pilihan terakhir. Bahkan dibayangkannya ia dapat menggulung kedua

pihak yang sedang berperang, Pendawa dan Kurawa sekaligus, dan kemudian

bertahta diatas bangkai mereka, nyakrawati mbahu denda di kerajaan Astina

dengan permaisuri Dewi Banuwati. Entahlah ini dipikirkan ketika ia masih terjaga

atau sudah terlelap dalam mimpi besarnya.

Tak lama sang Adipati tiba di Awangg. Surtikanthi telah menyambut

kedatangannya. Suasana ketika Adipati Karna bertemu dengan istri tercintanya,

Surtikanti. Maka ia segera meminta sang istri untuk menemani. Surtikanthi

menuruti perintah sang suami. Maka pada waktu esok pagi. Saat waktu yang

masih menampakan aroma pagi yang semerbak. Dan telah bersiap pasuakan

Awangga yang dipimpin patih Adimanggala. Maka sambil mohon restu sang

Adipati berangkat ke Tegal Kuru.

Page 224: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

224 PANDAWA KURAWA

Yang terjadi kemudian adalah waktu pagi yang terik, dimana pertempuran

sengit berkecamuk kembali di padang Kurukasetra yang sudah berhari hari

menjadi panggung ajang drama pertempuran yang mengerikan. Sisa sisa tenaga

prajurit yang kini mulai jenuh dan lelah, hanya punya pilihan, segera perang

selesai. Entah dirinya yang menjadi korban atau ia membunuh lawan lawannya

dengan cepat.

Hawa panas menjelang penghujan menyengat menguatkan bau anyir darah

dan busuk bangkai manusia dan hewan tunggangan para adipati serta segenap

pembesar perang yang tak lagi sempat dirawat oleh sesama prajurit. Berserakan

senjata yang bergeletakan mencuat diantara reruntuhan kereta perang, sungguh

membuat meremang bulu kuduk orang orang yang bermental lemah. Belum lagi

erangan para prajurit terluka menahan rasa sakit yang tak terkira, tetapi tidak

kunjung ajal menjemput. Suara rintihan itu bagai nyanyian peri prayangan.

Sementara burung gagak pemakan bangkai berputar kekitar diangkasa yang biru

dengan gumpalan awan disana sini, menanti kapan waktunya untuk kembali

berpesta pora.

Di salah satu sisi medan pertempuran, terdengar pembicaraan dua orang

prajurit yang sama sama terluka, entah kepada sesama teman atau lawan. Yang

mengalami luka serius menyandar pada pokok pohon kering, sementara lawan

bicaranya tadi tertelungkup dengan sesekali terbatuk memuntahkan darah segar

dari mulutnya.

Page 225: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

225 PANDAWA KURAWA

“Sesungguhnya apakah yang kita dapat dari peperangan yang kita jalani,

kisanak?

“Inilah yang kita dapat! Kebinasaan! Hukum alam telah menuliskan,

keseimbangan alam telah mengharuskan manusia melakukan kekerasan, saling

baku bunuh untuk kembali ke keseimbangan baru, baik itu melewati perang

seperti ini, bencana alam, atau manusia dengan sadar mengerem lajunya jumlah

turun. Kita ini sedang ada didalam bagian dari putaran proses itu, kisanak”.

Keduanya berbincang diantara desing anak panah dan denting senjata serta

gelegarnya meriam dengan sesekali berhenti menahan rasa sakit, suara

pembicaraan keduanya kadang tertelan oleh kemeretak roda kereta dan derap

ladam kuda yang melintas disekitar mereka. Sementara kepulan debu dan asap

sendawa mengepul menyesakkan nafas.

Diceriterakan, adalah Raden Sanjaya. Yang merasa tertantang setelah

bertemu dengan Wara Srikandhi dan menyatakan hendak memberi sesumbang

jiwa raga terhadap para Pandawa. Akan tetapi niat baik Randen Sanjaya telah

dianggap sebagai manusia yang bersifat oportunis.

“Sanjaya, kalau kamu hendak membela para Pandawa, kenapa tidak dari

semula, kenapa baru sekarang ketika Kurawa sudah lemah, ketika kamu sudah

merasa, tak akan para Kurawa menang atas Pandawa. Apakah itu jiwa dan watak

seorang prajurit?. Apakah itu bukan manusia yang bertujuan untuk mencari

kemuliaan dan kesenangan belaka?. Apakah sekiranya bila kamu tidak bergabung

dengan para Pandawa, Pandawa tidak akan menang? Malah aku kira, permintaan

Page 226: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

226 PANDAWA KURAWA

bergabungnya kamu dengan para Pandawa adalah sebagai mata mata. Kenapa aku

sebut begitu, karana sejak lahir, kamu adalah warga Panggombakan yang ada

dalam wilayah Astina !”.

Tersentuh rasa panas hati Sanjaya yang dituding mencari kemuliaan atas

kemenangan Pandawa, maka ia bersumpah akan menandingi kesaktian Adipati

Karna. Berangkat ke medan perang Sanjaya dengan hati terluka oleh tuduhan

yang tidak beralasan dari Wara Srikandi. Andai saja Sumbadra tidak terlambat

dalam mencegah keberangkatan Sajaya yang sudah melangkah ke medan Kuru,

maka mungkin kejadiannya akan berbeda. Memang Wara Sumbadra tahu, betapa

ayah dari Senjaya, Raden Yamawidura, adalah seorang yang berjasa sangat besar

pada Pandawa. Ketika terjadi peristiwa bale Sigala-gala, orang tua Sanjaya telah

membaui hal yang mencurigakan ketika pesta itu diadakan oleh usul Sengkuni.

Ketika itu Raden Yamawidura menyelamatkan para Pandawa dari api yang

membakar pesanggrahan mereka, ketika mereka terbius tidur oleh para Kurawa.

Kemudian mereka membakar habis seluruh pesanggrahan.\

Yamawidura yang menjelma menjadi garangan putih, telah membuat

lubang bawah tanah menembus sapta pratala dan menyelamatkan kemenakannya.

Kemenakan yang selalu terlihat benar dimatanya, tetapi karena sesuatu hal ia

harus sembunyi sembunyi menyelamatkannya. Hal itulah yang dikatakan Wara

Sumbadra kepada Wara Srikandi, yang kemudian telah membuat sesal dihati

Srikandi.

Page 227: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

227 PANDAWA KURAWA

Namun rasa bersalah Wara Srikandi ketika mendengar keterangan dari

Sumbadra, menjadi tidak berarti, ketika putra Yamawidura itu telah melangkah ke

palagan.

Maka didalam peperangan Kurusetra itu, Sanjaya mencari sosok Adipati

Karna. Ia hendak memperlihatkan kesungguhannya dalam menyatakan diri ada di

pihak Pandawa. Ia berteriak lantang menantang Adipati Karna.

Ketika putra Awangga kedua yaitu Raden Wersasena mengetahui ayahnya

ditantang oleh Raden Sanjaya, kemarahan anak muda itu terbangkit.

Dihampirinya Sanjaya, ia tidak rela bila ayahnya ditantang oleh sesama anak

muda lain.

“Heh Sanjaya! Sejak kapan kamu telah memberontak terhadap negara

yang telah menghidupimu, yang telah memberi kumuliaan terhadap orang tuamu

dan keluargamu?”.

“Sejak dulu memang aku lebih bersimpati terhadap putra uwa’ Pandu

Dewanata. Sekaranglah aku hendak memperlihatkan betapa aku telah merasa

salah, membiarkan saudara tuaku para Padawa ada dalam kesengsaraan yang

berlarut larut. Sekarang katakan, dimana senapati Kurawa berada?”

“Tak usah kamu mencari dimana senapati itu, hadapi dulu putra Awangga

sebagai putra senapati. Langkahi dulu mayatku sebelum kamu bisa berhadapan

dengan ayahku!”.

“Baik, akan aku turuti kata katamu. Waspadalah!”

Page 228: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

228 PANDAWA KURAWA

Pertempuran dua anak muda itu berlangsung sengit. Kelihatan mereka

mencoba mengerahkan segenap kesaktiannya, untuk menentukan siapa salah

satunya yang harus tewas ditangan masing masing.

Semakin lama semakin tegas terlihat, bahwa Sanjaya lebih unggul

daripada Warsasena. Ketika sampai di puncak kemampuannya, Sanjaya

menyudahi perlawanan Warsasena dengan menewaskannya. Kemarahan Adipati

Karna tidak terbendung ketika mendengar anak lelakinya yang tinggal satu telah

tewas.

Sorak sorai bala tentara telah mengatakan akhir dari pertempuran kedua

anak muda itu. Segera Adipati Karna mendekati Sanjaya untuk mempertanggung

jawabkan perbuatannya. Pertempuran kembali terjadi. Tetapi kesaktian Sanjaya

ternyata tidaklah imbang dihadapan Adipati Karna. Sekarang berganti, terdesak

Sanjaya, dan tak lama kemudian keris Kyai Jalak mengakhiri hidup Raden

Sanjaya. Ia gugur dalam usahanya membuktikan darma baktinya terhadap saudara

saudara sepupunya para Pandawa.

Diceriterakan, telah tiba saat kedua satria pilihan dari kedua pihak akan

bertemu dalam pertempuran atas nama darma satria. Ketika telah terdengar aba-

aba bahwa Senapati dari Pihak Wirata telah siap siaga, maka segera Adipati Karna

meloncat menaiki kereta perangnya. Tetapi oleh suasana hati Prabu Salya yang

masih tetap panas, ada saja masalah kecil yang menjadikannya tidak berkenan.

Ketika melihat menantunya telah menaiki kereta, dan ia masih ada dibawah,

kemarahannya kembali meledak. “Apakah kamu bukan manusia yang mengerti

Page 229: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

229 PANDAWA KURAWA

tata bagaimana menghormati orang tua, keparat! Orang tua masih dibawah, kamu

sudah duduk nangkring diatas kereta!”.

Namun Adipati Karna mencoba membela diri, serba salah telah mendera

hatinya dari waktu ke waktu “Mohon seribu maaf rama Prabu, maksud hamba

dari semula, adalah hanya menetapi darma. Disini derajat kusir ada dibawah

senapati”.

“Sudah tak terhitung berapa kali rasa sakit yang pernah melukai hatiku

karena kelakuanmu. Sewaktu Prabu Kresna menjadi duta di awal perang kemarin,

kamu sudah melukai hatiku dalam pasamuan agung. Belum sembuh luka itu,

sekarang kamu melakukan hal yang sama, aku kamu jadikan seorang kusir. Kalau

tidak sungkan dengan anak Prabu Duryudana, aku tidak sudi melihat mukamu

yang membuat aku muak. Dan kamu tidak berwenang untuk memerintah aku!”.

Kejengkelan Prabu Salya tidak juga reda.

“Rama, sekali lagi putra paduka mohon maaf, kami persilahkan rama

Prabu untuk menaiki kereta. Ketahuilah rama, sudah ada tanda tanda dalam diri

putramu, detak jantung didada ini mengisyaratkan kematian putramu sudah

menjelang. Kami persilakan rama Prabu untuk mengantarkan kematianku, rama

Prabu . . . . ”.

Campur aduk perasaan kedua manusia menantu dan mertua itu mengawali

langkahnya menuju ke palagan peperangan. Inilah titik dimana perasaan yang

tidak sepenuhnya bulat telah melemahkan moral perang senapati Kurawa.

Page 230: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

230 PANDAWA KURAWA

Baru saja kereta bergerak, mendadak melayang bagai awan hitam

bergulung diatas palagan. Itulah Naga Raja Guwa Barong, Prabu Hardawalika.

Seekor naga yang mengincar kematian Arjuna. Adipati Karna yang melihat

keanehan naga mengarah ketempat ia bersiap, segera menghentikan laju geraknya

dan menanyakan maksudnya “Heh kamu mahluk yang mencurigakan, siapa kamu

dan apa maksudmu membuat keruh suasana peperangan!”.

“Aku penjelmaan raja raksasa dari Guwa Barong. Aku bermaksud hendak

membantu kamu menandingi Arjuna”. Naga raksasa itu dengan tidak ragu

mengatakan maksudnya.

Tetapi sungguh tidak disangka, jawaban yang diterima adalah bentakan

yang menyuruhnya ia pergi. “ Heh naga mrayang, Arjuna adalah saudaraku.

Kalaupun aku berselisih sehari tujuh kalipun, tak akan pecah persaudaraanku.

Menyingkirlah atau akan aku percepat sempurnanya kematianmu!”.

“Haaah . . Perbuatan yang sia sia. Ternyata aku mengatakan hal ini kepada

tempat mengadu yang salah. Tetapi hal ini tidak akan menghalangiku untuk

membalas kematianku moyangku”. Melayang kembali Hardawalika kearah

berlainan untuk mencari keberadaan Arjuna.

Kresna yang tidak pernah terhalangi kewaspadaanya sedikitpun, segera

tahu apa yang ada dihadapannya, ketika awan mendung tiba tiba membayang

diatasnya.

“Arjuna, diatas pertempuran itu ada seekor naga penjelmaan Prabu

Hardawalika. Lepaskan panahmu, sempurnakan kematian Prabu Hardawalika”.

Page 231: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

231 PANDAWA KURAWA

Tidak lagi membuang waktu, segera dipentangnya busur yang telah diisi

anak panah. Melesat anak panah menempuh bayangan naga, sirna seketika ujud

dari naga Hardawalika yang kembali membuat suasana palagan menjadi terang.

Syahdan, kedua Senapati dari kedua belah pihak telah sama sama bergerak

mendekat. Maka suasana palagan peperangan menjadi gaduh, kemudian setelah

jarak keduanya menjadi semakin dekat kejadiannya justru menjadi terbalik.

Peperangan segera terhenti bagai dikomando. Suasana yang berkembang

menjadikannya Arjuna termangu. Prabu Kresna yang melihat suasana hati Arjuna

segera dapat menebak apa yang dipikirkannya.

“Arjuna, tatalah rasa hatimu! Hari ini sudah sampai waktumu harus

meladeni tanding dengan kakakmu, Adipati Karna”.

“Kanda, bagaimankah hamba dapat melayani tanding yuda dengan kanda

Adipati Karna. Suasana beginilah yang selalu mengingatkan akan Ibu Kunti”

keluh Arjuna.

Kresna telah tahu apa yang melatar belakangi maksud dari keberpihakan

Karna terhadap Kurawa. Hal itu telah ia dengar sendiri tatkala ia bertemu

dengannya empat mata, ketika ia telah usai menjadi duta terakhir sebelum pecah

perang. Semuanya bagi Kresna sudah tidak ada hal yang meragukan. Namun ia

tidak mengatakan apapun tentang itu terhadap Arjuna.

“Adikku, hari ini pejamkan matamu, tutuplah telingamu. Kamu hanya

wajib mengingat satu hal, darma seorang satria yang harus mengenyahkan

kemurkaan. Walaupun saudaramu itu adalah salah satu saudara tuamu, tetapi ia

Page 232: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

232 PANDAWA KURAWA

tetaplah ada pada golongan musuh. Dan ketahuilah, bahwa majunya kakakmu

Adipati Karna itu, tidak seorangpun yang ditunggu, kecuali dirimu. Dan tidak ada

seorangpun di dunia ini yang diwajibkan untuk mengantarkan kematiannya,

kecuali dirimu.

Mari aku dandani kamu sebagaimana layaknya seorang senapati, dan

akulah yang akan menjadi kusirmu”. Selesai berdandan busana Keprajuritan,

segera mereka menaiki kereta Prabu Kresna, kereta Jaladara. Kereta perang

dengan empat ekor kuda yang berasal dari empat benua yang berwarna berbeda

setiap ekornya, merupakan hadiah Para Dewa. Bila dibandingkan dengan kereta

Jatisura milik Adipati Karna yang telah remuk dilanda tubuh Gatutkaca, kesaktian

kereta Jaladara bisa berkali kali lipat kekuatannya.

Suasana berkembang makin hening, diangkasa telah turun para dewata

dengan segenap para durandara dan para bidadari. Mereka hendak menyaksikan

peristiwa besar yang terjadi dipadang Kuru. Sebaran bunga bunga mewangi turun

satu satu bagai kupu kupu yang beterbangan.

Karna yang melihat kedatangan Arjuna berhasrat untuk turun dari

keretanya. Kresna yang melihat keraguan memancar dari wajah Arjuna

mengisyaratkan untuk menyambut kedatangannya. Berkata ia kepada Arjuna

“Lihat! Kakakmu Adipati Karna sudah turun dari kereta perangnya, segera

sambut dan ciumlah kakinya”.

Arjuna segera turun berjalan mendapatkan kakak tertua tunggal wadah

dengannya

Page 233: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

233 PANDAWA KURAWA

“Baktiku kanda Adipati”, Arjuna duduk bersimpuh dihadapan Adipati

Karna setelah menghaturkan sembahnya.

“Arjuna, seumpama aku seorang anak kecil, pastilah aku sudah menagis

meraung raung. Tetapi beginilah orang yang menjalani kewajiban. Aku bela bela

diriku membutakan mata menutup rasa hati untuk mencapai kamukten. Sekarang

aku sudah mendapatkannya dari Dinda Prabu Duryudana. Dan sekarang aku harus

berhadapan dan tega berkelahi sesama saudara sekandung!”. Karna menumpahkan

isi hatinya.

“Kanda Adipati, hamba disini memakai busana senapati bukan untuk

menandingi paduka kanda Prabu. Tetapi membawa pesan dari ibu kita, Kunti,

untuk kembali berkumpul bersama saudara paduka Para Pandawa. Air mawar

bening pembasuh kaki sudah disiapkan oleh adik adik paduka, Kanda Adipati”.

Arjuna mencoba meluluhkan hati kakak tunggal ibu itu.

Kembali Adipati Karna menegaskan apa yang terrasa didalam hatinya. “

Lihat, air mataku jatuh berlinangan. Tetapi aku katakan, tidak tepat apa yang

kamu katakan. Sudah berulang kali kamu memintaku untuk berkumpul bersama

sama dengan saudaraku Pandawa. Begitu juga dengan Kanda Prabu Kresna, yang

ketika itu datang kepadaku dan bicara empat mata. Sekarang sama halnya dengan

dirimu, yang juga kembali mengajakku untuk berkumpul bersama. Bila aku

menuruti permintaanmu, hidupku akan seperti halnya burung yang ada dalam

sangkar emas. Tetapi hidupku tidak bisa bebas. Hidupku hanya kamu beri makan

Page 234: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

234 PANDAWA KURAWA

dan minum belaka. Apakah kamu senang bila mempunyai saudara dengan

keadaan seperti yang aku katakan?”.

Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Sesaat kemudian Karna

melanjutkan.”Tak ada seorangpun didunia ini yang dapat mengantarkan aku

menuju alam kematianku, kecuali hanyalah dirimu, dinda Arjuna! Dan bila aku

nanti mati dalam perang tanding itu, sampaikan baktiku pada ibunda Kunti, yang

tak sekalipun aku memberi ketentraman batin dalam hidupnya . . . “

Serak terpatah patah suara Adipati Karna ketika ia melanjutkan curahan isi

hati terhadap Arjuna.

Kembali suasana menjadi hening. Akan tetapi tiba tiba ia berkata dengan

nada tegas. “Hari ini adalah hari yang baik. Ayolah kita bertanding untuk

menentukan siapa yang lebih perwira, lebih bertenaga, lebih sakti!”.

“Kanda, berikan kepadaku seribu maaf atas kelancangan hamba berani

dengan saudara yang lebih tua”. Kembali Arjuna menghaturkan sembah, berkata

ia, yang kemudian mengundurkan diri kembali menaiki kereta Jaladara.

Maka perang tanding dengan andalan ketepatan menggunakan anak panah

berlangsung dengan seru. Keduanya sesama putra Kunti tidak sedikitpun berbeda

ujudnya dalam busana keprajuritan. Keduanya menggunakan topong yang sama,

sehingga banyak prajurit yang sedari tadi berhenti menonton sulit untuk

membedakan yang mana Arjuna dan manakah yang Karna, kecuali pada kereta

yang dinaikinya.

Page 235: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

235 PANDAWA KURAWA

Pada suatu ketika topong kepala Adipati Karna terpental terkena panah

Arjuna. Sejenak Karna meminta Prabu Salya untuk berhenti, dan berkata.

“Rama prabu, hampir saja hamba menanggung malu. Topong kepala

hamba terpental oleh panah adi Arjuna”.

“Sudah aku katakan, tak hendak aku ikut campur dalam peristiwa ini. Aku

hanya kusirmu. Tapi kali ini mari aku benahi rambutmu biar aku gelung”.

Setengah hati Prabu Salya mendandani kembali putra menantunya.

Kembali adu ketangkasan olah warastra berlangsung. Kali ini Kunta

Wijayandanu ada ditangan Karna. Waspada Prabu Salya dengan melihat senjata

kedua setelah Kunta Druwasa yang telah sirna digunakan oleh Adipati Karna

ketika berhadapan dengan Gatutkaca. Maka pada saat menantunya itu melepas

anak panah, kendali kereta ditarik, kemudian kuda melonjak. Panah yang

sejatinya akan tepat mengenai sasaran, hanya mengenai topong kepala Arjuna dan

mencabik segenggam rambutnya.

“Aduh Kanda Prabu, topong hamba jatuh terkena panah kanda Adipati.

Apakah ini sebagai perlambang kekalahan yang akan menimpa hamba?”. Arjuna

menanyakan.

“Bukan ! Itu peristiwa biasa. Biarlah aku tambal rambutmu dengan

rambutku. Sekarang aku akan menggelung rambutmu kembali”. Jawab Kresna,

yang kemudian menerapkan kembali gelung rambut baru pada kepala Arjuna.

Page 236: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

236 PANDAWA KURAWA

Kembali kedua putra Kunti berdandan dengan cara yang sama. Semakin

bingung para yang melihat pertempuran dua satria yang hampir kembar itu.

Bahkan para dewata dan segenap bidadari dan durandara, melihatnya dengan

terkagum.

Adu kesaktian telah berlangsung lama, segala macam kagunan dan ilmu

pengabaran telah dikeluarkan. Saling mengimbangi dan saling memunahkan

kawijayan antara kesaktian mereka berdua.

Namun Arjuna masih memegang satu senjata yang belum digunakan.

Itulah panah Kyai Pasupati, yang bertajam dengan bentuk bulan sabit.

“Arjuna !”, Kresna memberikan isyarat, “Sekaranglah saatnya!. Hanya

sampai disini hidup kakakmu Adipati. Segera lepaskan senjatamu Pasupati untuk

mengantarkan kakakmu ke alam kelanggengan!”.

Panah Pasupati telah tersandang pada busur gading Kyai Gandewa, lepas

anak panah berdesing bagai tak terlihat. Walau Arjuna melepaskannya sambil

memejamkan mata karena tak tega dan rasa bersalah, namun panah dengan bagian

tajam yang menyerupai bulan sabit itu mengenai leher Adipati Karna.

Tajamnya Kyai Pasupati tiada tara, sampai-sampai, kepala Adipati Karna

dengan senyum yang masih tersungging dibibirnya tak bergeser sedikitpun dari

lehernya. Jatuh terduduk jasad Adipati Karna bersandarkan kursi kereta.

Geragapan Prabu Salya yang merasa khawatir dan setengah bersalah. Turun dari

kereta ia, kemudian menghilang dari pabaratan, kembali ke Bulupitu.

Page 237: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

237 PANDAWA KURAWA

Namun kejadian sejak dari awal pertempuran tadi, tidak terlepas dari

sepasang mata yang selalu mengawasi setiap gerakan sekecil apapun yang

dilakukan Prabu Salya. Itulah sepasang mata Aswatama!

Barata

SIASAT ASWATAMA

Kidung layu layu kembali mengalun di Padang Kuru, awan mendung yang

menandai pergantian musim telah menitikkan airnya walau hanya rintik rintik.

Meski begitu, rintik hujan itu sudah cukup menandai kesedihan yang melingkupi

Para Pandawa. Bagaimanapun Karna-Suryatmaja adalah saudara sekandung,

walau ia terlahir bukan atas keinginan sang ibu. Meski demikian, ia adalah sosok

Page 238: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

238 PANDAWA KURAWA

yang sudah memberi warna kepada orang orang disekitarnya dan para saudara

mudanya.

Ia adalah sosok yang tegar dan teguh dalam memegang prisip kesetiaan

kepada Negara yang telah memberinya kemuliaan hidup. Tetapi sekaligus ia

tokoh yang kontroversial, sebab ia adalah tokoh yang secara tersamar menegakkan

prinsip, bahwa keangkaramurkaan harus tumpas oleh laku kebajikan. Ia telah

menyetujui bahwa perang Baratayuda harus terjadi, sebab dengan demikian ia

telah mempercepat tumpasnya laku angkara yang disandang oleh Prabu

Duryudana. Raja yang telah memberinya kemukten. Dengan terbunuhnya Adipati

Karna yang menyisakan dendam pembelaan dari Kyai Jalak yang gagal, maka

secara kenyataan adalah, telah terhenti perang campuh para prajurit di arena

padang Kurusetra. Dikatakan demikian karena jumlah prajurit Kurawa yang

tinggal, boleh diumpamakan telah dapat dihitung dengan jari saja. Ditambah lagi

kenyataan, bahwa para Kurawa seratus, yang tinggal hanya duapuluh orang

termasuk Prabu Duryudana dan Kartamarma. Maka lengkaplah apa yang disebut

sebagai kenyataan, bahwa perang Baratayuda sebenarnya sudah berakhir. Tetapi

pengakuan terhadap kekalahan itu, belumlah terucap dari bibir Prabu Duryudana.

Sore ketika Adipati Karna telah gugur, mendung gelap yang disusul oleh

rintik hujan, juga seakan mentahbiskan suasana dalam hati Panglima Tertinggi

Kurawa yang juga terlimput oleh gelap. Dihadapannya Prabu Salya dengan sabar

menunggu ucapan apa yang hendak terlontar dari bibir menantunya. Demikian

juga Patih Harya Suman dan Raden Kartamarma, hanya tertunduk lesu. Keduanya

berlaku serba canggung menyikapi keadaan dihadapannya. Keraguan akan hasrat

Page 239: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

239 PANDAWA KURAWA

menyampaikan usulan dan pemikiran, telah dikalahkan oleh rasa takut akan

murka junjungannya.

Hal ini juga berlaku pada perasaan Aswatama yang sesungguhnya hanya

berderajat rendah, hanya sebagai tuwa buru. Sebuah derajat rendah yang hanya

mengurus segala keperluan para Kurawa dalam menyelenggarakan kegemaran

mereka berburu dihutan. Derajat rendah itulah yang diberikan oleh penguasa

Astina, ketika mendiang ayahnya diangkat menjadi guru bagi sekalian anak anak

Pandawa dan Kurawa. Derajat yang sampai saat inipun masih tetap tersandang,

walaupun waktu demi waktu telah berlalu. Apalagi ketika ia harus kehilangan

kepercayaan dari Prabu Duryudana, pada saat ia membela pamannya Krepa. Juga

tewasnya ayah tercinta yang merupakan gantungan baginya dalam mengabdi

kepada Prabu Duryudana, telah lengkap meruntuhkan ketegaran dirinya terhadap

penguasa tertinggi Astina. Lengkap sudah perasaan takut yang mencekam

jiwanya. Padahal sesuatu yang hendak diajukan sebagai saksi mata atas suatu

peristiwa di medan perang, telah mendesak kuat dalam hati untuk disampaikan.

Tetapi mulutnya terkunci, tetap tak berani mengatakan sesuatu apapun.

Dan iapun hanya diam tertunduk, duduk di tempat paling belakang dari pembesar

yang hadir.

Dalam ketidak sabaran menunggu sabda Prabu Duryudana, akhirnya Prabu

Salya berbicara. “ Anak Prabu, walaupun paduka anak Prabu tidak mengatakan

dengan sepatah kata, namun saya sudah merasa, pastilah perkiraan saya benar.

Page 240: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

240 PANDAWA KURAWA

Pasti anak Prabu merasa kehilangan Senapati yang menjadi bebeteng negara,

kakak iparmu, anak menantuku, Adipati Karna”.

Tetap bergeming Prabu Duryudana mendengarkan kata kata pemancing

dari Prabu Salya, sehingga kembali ia melanjutkan.

“Menurut tata cara, seharusnya aku tetap diam menunggu. Tetapi oleh

karena terdorong oleh gemuruh dalam dada, perkenankan aku mertuamu

menyampaikan isi hati ini”

“Rama Prabu, itulah yang sebenarnya yang aku nanti. Besar hati anakmu

tanpa dapat diumpamakan, karena sebegitu besarnya perhatian yang rama Prabu

berikan terhadap putramu”. Akhirnya beberapa patah kata meluncur dari bibir

Prabu Duryudana, terbawa oleh rasa penasaran, apakah yang hendak dikatakan

oleh ayah mertuanya.

Mencoba tersenyum Prabu Salya. Senyum getir, karena suasana yang

dihadapi tidaklah nyaman dirasakan. Tetapi ia tetap berusaha menguatkan hati

Prabu Duryudana .“Kalaupun aku tidak memperhatikan anak Prabu, aku ini

seakan menjadi manusia yang tidak lengkap panca indraku. Setelah saya timbang

timbang, ternyata pancaindriaku masih lengkap. Oleh karena itu, aku akan

menyampaikan sesuatu”.

“Waktu sepenuhnya aku serahkan kepada rama Prabu”. Duryudana kali ini

mencoba pula tersenyum, walau terasa hambar.

Page 241: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

241 PANDAWA KURAWA

Melihat menantunya serba kikuk, Prabu Salya tertawa. Walaupun tawa itu

terdengar sumbang, namun Ia mencoba memecah kebuntuan suasana. “Terhitung

selama perang berlangsung, aku baru bisa tertawa kali ini. Begitu anak Prabu

mengatakan bahwa waktu telah sepenuhnya anak Prabu berikan, itu artinya anak

Prabu masih mempunyai kepercayaan kepadaku”.

Prabu Salya kemudian mengangkat dan mengungkit peristiwa yang

berlangsung pada masa lalu, ketika ia sedang ada pada balairung istananya di

Mandaraka.

Ketika itu ia sedang merembuk bagaimana ia berrencana hendak

memberikan negara kepada anak turun, serta bagaimana ia menyampaikan cara

dalam menata negara. Ketika itu, tiba tiba ia dikejutkan dengan kedatangan dua

orang utusan yang belum dikenalnya. Ketika mereka mendekat dan memberikan

surat. Ternyata mereka berdua mengundang untuk mendatangi pahargyan di suatu

tempat yang merupakan pesanggrahan yang baru dibangun, pesanggrahan yang

begitu indah. Disitu telah menunggu para wanita yang muda muda dan begitu

cantik cantik. “Disitulah aku disuguhi makanan yang serba nikmat diiring

tetabuhan dan kidung yang menyenangkan hati”. Prabu Salya meneruskan,

“Tanpa ragu makanan yang serba nikmat itu aku makan dengan begitu lahapnya .

Bawaannya aku belum makan ketika berangkat, maka sekejap aku telah

menghabiskan sebagian besar hidangan yang telah tersaji”.

Setelah merenung sejenak, Prabu Salya menyambung, “Begitu aku sudah

merasa kenyang, tiba tiba anak Prabu Duryudana datang dari belakang tanpa aku

Page 242: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

242 PANDAWA KURAWA

ketahui, dan memeluk aku. Sebagai orang yang mengerti akan tata krama dan

balas budi dan terdorong oleh rasa puas karena semua kesenangan yang tersaji

telah aku nikmati, maka ketika paduka anak Prabu meminta saya untuk bersedia

berdiri di pihak anak Prabu ketika perang Baratayuda berlangsung nanti, seketika

aku menyanggupi. Dan ini adalah peristiwa yang mengharuskan aku menyaksikan

darah yang tertumpah. Darah yang mengalir dari tubuh tubuh anak kemenakanku

sendiri”.

Suasana kembali hening ketika Prabu Salya mengakhiri cerita yang

berujung sesal. Kejadian awal dari mengapa ia terseret-seret dalam peristiwa besar

ini. Maka ketika tak ada lagi yang membuka mulut, Prabu Duryudana memanggil

Patih Harya Sangkuni.

“Paman, tinggal berapakah Kurawa sekarang?”

Geragapan Patih Sangkuni menjawab pertanyaan itu, setelah rasa

terkejutnya hilang. “Kalau tidak salah hitung, tinggal duapuluh orang saja”.

“Apakah mereka menjadi ketakutan karena jumlah yang tinggal sedikit

itu?”

“Sama sekali tidak, bahkan mereka mengharap, kapan gerangan hendak

diperintah untuk beradu dada dengan para Pandawa”.

“Bagus! Kenapa begitu?“ Prabu Duryudana mempertegas pertanyaannya.

“Mereka itu mengingat dan merasa, bahwa hidup mereka semua adalah

ada dalam perlindungan dari anak Prabu. Kenikmatan yang mereka terima selama

Page 243: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

243 PANDAWA KURAWA

ini, adalah berkat pemberian dari anak Prabu. Maka ketika mereka dihadapkan

dalam peristiwa seperti ini, tak lain dan tak bukan, bahwa mereka telah rela

menjadi tetameng, bahkan bebanten dalam membela kejayaan anak Prabu”. Jawab

Sangkuni, yang adalah manusia super licik. Maka kata katanya kemudian lancar

nyinyir mengalir menggelincirkan lawan bicaranya.

“Jagad dewa batara! Bila demikian, walaupun Kurawa cuma tinggal

duapuluh orang, itu sudah cukup memberiku rasa besar hati. Mereka itulah

manusia yang mengerti akan rasa kemanusiaan, manusia yang mengerti akan rasa

kebaikan, manusia yang mengerti apa itu kewajiban. Bila demikian Paman, semua

orang yang masih hidup di Astina, ternyata masih punya rasa bela negara, tanpa

memandang dari mana asal muasalnya. Seumpama ada seseorang pembesar,

seseorang yang menjadi sesembahan. Walaupun ia tidak dalam peperintahan

negara Astina, tetapi ia memiliki kulit daging yang mukti wibawa di negara

Astina ini. Hidupnya diliputi oleh segala kemewahan, dipuji puji dan diagung

agungkan orang senegara. Namun ketika negara itu menjadi ajang kebrutalan

musuh, menurut Paman Sangkuni bagaimana seharusnya manusia itu bersikap?”

Prabu Duryudana yang sedari kecil ada pada asuhan pamannya, sangat

mengerti, umpan apakah yang tengah ia pasang. Maka semakin lancarlan kata

katanya mengikuti arah pembicaraan pamannya itu.

“Wah, kalau saya . . . . Ini kalau saya . . ., saya akan segera

bertindak! Segera saya akan melangkah ke palagan peperangan, mengatasi musuh

Page 244: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

244 PANDAWA KURAWA

yang hendak berbuat semena mena atas negara ini. Ini kalau saya . . .! “ dengan

jumawa Patih Harya Suman menjawab.

“Apakah ada Paman, orang yang saya telah berikan semua rasa mukti

wibawa, tetapi tidak mengerti akan balas budi itu?”

“Ada saja ! Itulah istri paduka sendiri, Dewi Banuwati!”

Prabu Salya yang sudah kenyang makan asam garam, sebenarnya sudah

tahu apa maksud pembicaran mereka berdua. Tetapi ia masih dengan sabar dan

senyum mengembang di bibir mengikuti pembicaraan mereka. Ia menjadi

penasaran, sandiwara itu akan sampai mana ujungnya. Maka ia tetap terdiam

ketika Prabu Duryudana kembali mengajukan pertanyaan kepada pamannya.

“Apakah ada orang yang lain selain istriku?”

“Tidak, tidak ada lagi! Walaupun istri Paduka anak Prabu adalah wanita

yang pada mulanya juga sudah mukti wibawa di Negara Mandaraka, tetapi ketika

ia diperistri oleh paduka anak Prabu, ia telah mendapatkan jauh lebih tinggi

derajat dan kemukten yang tiada taranya. Itulah, dari rasa sayang Paduka Angger

Anak Prabu yang tiada terkira, sebetulnya dalam kenyataannya, negara Astina

telah dipasrahkan seutuhnya kepada istri Paduka , Dewi Banuwati.”

“Itulah memang yang menjadi niat saya! Kalau demikian, yayi Banowati

itu , seberapapun bobotnya harus menanggung semua baik buruk atas negara

Astina ini?”.

“Tak jauhlah dari yang paduka kehendaki”.

Page 245: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

245 PANDAWA KURAWA

“Tetapi paman, ia adalah seorang wanita. Apakah mungkin, wanita yang

seharusnya hanya aku manjakan, bersolek, mempercantik diri, harus maju ke

medan perang adu kesaktian dengan para Pendawa”.

“Lho kalau perlu memang demikian! Kalau semua para luhur sudah tidak

mau tutun tangan, maka istri sendiripun harus ikut. Saya kira istri Paduka pun

tidak akan rela melihat paduka kerepotan”. Sandiwara dengan dialog antar

keduanya masih berlangsung, masih mengalir lancar. Dan Prabu Salya masih tetap

sabar dalam duduknya.

Dan sampai disini Duryudana sedikit mentok, keteteter dengan kepiawaian

pamannya mengolah kata. “Ya . . . . . Tetapi . . . . . Apakah ini . . . . . . , apakah

aku harus menangis dihadapan istriku? Si Paman jangan menyangka aku takut

akan darah, tetapi istri itu . . . Yang sejatinya bukan sanak, tapi ia sudah

merasakan enak, sudah aku ajak menikmati kenikmatan dan mukti wibawa.

Waktu dalam keadaan enak, ia sudah merasakan kenikmatan. Tetapi ketika

menemukan papa sengsara, seharusnya ia tidak menghindar dari segala kesulitan.

Tetapi saya tak bisa hidup tenang tanpa dia, paman. Seumpama saya melangkah

ke medan pertempuran berdua dengan istriku, Dewi Banowati, menurut si paman

bagaimana?”

“Saya sangat setuju . . .sangat setuju!”

Tidak syak lagi, Prabu Salya yang mendengarkan dengan seksama dan

tadinya tak hendak memotong pembicaraan mereka, sudah mengerti kemana

gerangan arah pembicaraan itu. Tetapi saat ini ia menjadi gerah. Dan berkatalah

Page 246: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

246 PANDAWA KURAWA

Prabu Salya, setelah menarik nafas dalam dalam. Ia berusaha menekan

perasaannya yang tiba tiba panas bagai terbakar bara api.

“Jagad Dewa Batara! Aku merasakan tidak ada sesuatu apapun terjadi.

Tetapi kepala saya bagai terbakar panasnya bara api. Panasnya sedemikian

menyengat hingga sampai ke dada ini. Di seluruh jagad ini tidak ada yang

menandingi kepiawaian dari anak Prabu, apalagi bila sudah dipadukan dengan

kepiawaian mengolah kata dari Patih Sengkuni. Tetapi kepintaran itu. Bila sudah

manunggal, dan kemudian dipakai di jalan yang tidak sesuai dalam keutamaan,

bisa menjadi kabur dan ludes terbakar api. Saya mengerti. Kalau saya dibolehkan

menggambarkan, anak Prabu saat ini sedang dalam posisi berpeluk tangan, tapi

kelihatan olehku dari sini, Paduka anak Prabu seperti melambaikan tangannya.

Melempar sesuatu kearah utara, tapi yang dikenai adalah benda yang diarah

selatan, seperti halnya orang yang sedang memancing di air keruh. Yah, saya

sudah tua. Tak usahlah disindir, saya ini sudah kenyang makan asam garam.

Gambalangnya begini, paduka anak Prabu sekarang sedang bersedih atas

gugurnya anak mantuku Adipati Karna. Paduka sebetulnya mengatakan, kenapa,

orang tua yang sudah dibuat mukti wibawa karena anak nya, tetapi orang itu

sekarang diam saja. Bukankah itu yang Paduka maksudkan?”

Sudah disengaja Prabu Duryudana menyindir mertuanya itu. Tetapi ia sudah

kadung basah, maka walau dengan debaran dada, ia mengatakan, “Silakan bila

rama Prabu mengatakan demikian. Tetapi itu memang benar!”.

“Saya sudah mengatakan tadi, apakah saya hendak mengangkat muka

melihat tingginya sosok para Pandawa? Apakah saya tidak kuasa untuk

Page 247: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

247 PANDAWA KURAWA

merangkul betapapun besarnya ujud para Pandawa? Apakah saya harus gemetar

melihat kesaktian Pandawa? Yang terlihat olehku, Pandawa itu adalah sebagai

anak anak belaka. Bila aku mau, tandang para Pandawa dapat aku hentikan kurang

dari setengah hari! Dalam setengah hari itu, mereka sudah pulang ke kahyangan

Batara Yama. Oleh sebab itulah, saya hendak menjalankan sabda paduka dengan

dua landasan. Ketika bebanten para Kurawa dimulai dari gugurnya Eyang Bisma,

sampai Resi Durna, jagad sudah mengingatkan kepada paduka anak mantu, bahwa

Baratayuda seharusnya dihentikanlah! Apakah sebenarnya pokok persoalannya?

Siapakah sebenarnya yang menang, dan siapakah sebenarnya yang dikalahkan?

Oleh sebab itu, silakan anak Prabu merasakan, betapa sengsaranya yang sudah

gugur dalam perang ini. Itu yang pertama!”

“Kedua siapapun akan mengerti. Siapakan Prabu Karna itu? Adipati Karna

itu manusia bukan manusia selayaknya manusia. Ia adalah anak Batara Surya

yang menerangi jagat. Walaupun ini hanya cerita yang kadung dilebih lebihkan,

tapi sewaktu terlahir dari goa garba Kunti, ia sudah mengenakan anting anting dan

permata kawaca. Belum lagi jumlah pusakanya, kunta Druwasa, Wijayandanu,

siapakah yang kuat menadahkan dadanya pada pusaka itu? Keris kyai Jalak,

siapapun tak mampu menadahkan dadanya. Bahkan bila ditujukan ke gunung ,

gunung itu akan menjadi runtuh, dan bila dikenakan terhadap lautan, samudra

itupun akan mendidih. Walau demikian, Arjuna dapat mengalahkan dengan panah

bertajam bentuk bulan sabit, Kyai Pasupati. Lepasnya panah Arjuna telah

membawa kematian baginya. Bila anak Prabu hanya menuruti kehendak hati, aku

hanya bisa berharap, anakku Banuwati kelak tidak menjadi janda”.

Page 248: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

248 PANDAWA KURAWA

Diceritakan, Aswatama yang sedari tadi menahan beban perkara yang

menghimpit dadanya, lama - kelamaan ia menggeser duduknya maju mendekati

Prabu Duryudana. Ia seakan terpicu, ketika mendengar peristiwa tanding satria

sakti linuwih itu diungkap kembali. Keberaniannya tumbuh saat ia harus

mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Melihat gerak dan raut muka Aswatama

yang mengandung sejuta keinginan untuk mengatakan susuatu, Prabu Duryudana

memberikan sasmita kepadanya untuk mendekat.

“Aswatama adakah sesuatu yang hendak kamu katakan?”

“Perkenankan Paduka memberi seribu maaf, karena hamba berani

beraninya memutus pembicaraan para agung”. Beriring sembah, Aswatama

meminta waktu.

“Bila memang ada sesuatu yang penting untuk disampaikan, saya

memberimu maaf. Silakan apa yang hendak kamu katakan?!”

Sejenak Aswatama terdiam. Bagaiamanapun ia harus menata hati untuk

menyampaikan cerita yang menyangkut pembesar negara. Dalam pikirnya,

sekarang atau tidak sama sekali. Dan ia telah terlanjur maju, tak ada lagi jalan

kembali terbentang dihadapannya. Maka dengan tatag ia berkata, “Ketika sedang

ramainya tetanding antara Sinuwun Adipati Karna dan Arjuna, mestinya

Arjunalah yang mati”.

“Apa sebab kenapa kamu bicara terbalik dengan kenyataan?” Terheran

Prabu Duryudana mendengar kata kata Aswatama.

Page 249: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

249 PANDAWA KURAWA

“Jalannya kereta yang dikendarai oleh sinuwun Adipati yang dikusiri oleh

Prabu Salya, saya lihat sudah benar. Dan lepasnya panah kunta seharusnya telah

pas mengenai leher Arjuna. Tetapi arah panah itu meleset, oleh sebab adanya

seseorang pembesar yang telah melakukan kecurangan”

Sampai disini Prabu Duryudana sudah dapat menebak. Tetapi ia hendak

mendengar sendiri, beranikah Aswatama menyampaikan dengan mulutnya

sendiri. “Siapa pembesar yang melakukan itu?

“Tidak lagi hamba menutup nutupi, jalannya kereta yang seharusnya sudah

benar. Namun tiba tiba kendali kekang kuda ditarik, sehingga kuda menjadi binal

dan kereta menjadi oleng. Panahpun tidak mengenai leher Arjuna, hanya

mengenai sejumput rambutnya saja. Maka hamba berani bicara, bahwa gugurnya

gusti Adipati Karna bukan karena Arjuna, tetapi oleh pakarti Prabu Salya!”

“Iblis keparat kamu Aswatama!”

Memerah muka Prabu Salya. Tak disangka seseorang mengamati dengan

sempurna perbuatannya. Hendak dikemanakan muka itu bila rahasia itu

terbongkar, maka yang bisa diperbuat adalah memaki sejadi jadinya Aswatama

dan bertamengkan kekuasaan anak menantunya itu.

“Heh Asatama! Kamu anak Durna kan? Kamu disini pangkatmu hanya

tuwa buru. Paling tinggi tugasmua hanya memberi makan kuda kuda kendaraan

para Kurawa! Tahukah kamu, bahwa derajatmu hanya dibawah celanaku yang aku

pakai ini. Kamu telah melakukan kesalahan. Kesalahanmu, pertama, kamu sudah

berani beraninya memotong pembicaraan para agung. Kedua kamu sudah berani

Page 250: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

250 PANDAWA KURAWA

mengatakan yang bukan bukan! Kamu sudah berani menuduh aku telah

menyebabkan gugurnya mantuku. Dimana ada mertua yang tega terhadap anak

menantu. Kemana kamu ketika gugurnya Bapakmu ketika itu? Kelihatan batang

hidungmupun tidak! Kamu berniat merenggangkan hubungan antara aku dengan

Prabu Duryudana, begitukah maksud dari kata katamu tadi?! Hayoh iblis, kalau

kamu memang anak Durna, segera ucapkan japa mantramu, hunus kerismu

Cundamanik pemberian ibumu Batari Wilutama, bidadari yang berlaku selingkuh

selamanya! Dalam hitungan yang ketujuh kamu tidak berani melangkah

menghadapi Prabu Salya, akan kutebas batang lehermu!”

“Aduh rama Prabu, rama kami persikan berlaku sabar! Aswatamu itu

hanya berderajat rendah. Tidak sepantasnyalah rama Prabu melayani Aswatama”

maka Prabu Duryudana segera menghentikan langkah Prabu Salya ketika melihat

mertuanya seakan telah kehilangan pengamatan dirinya.

“Belum lega rasanya bila aku tidak memenggal kepala Aswatama”. Masih

dengan kata marah Prabu Salya dalam hadangan Prabu Duryudana.

“Rama Prabu, jangankan hanya seorang Aswatama, dewapun tak akan

mampu bila berhadapan dengan rama Prabu ketika sedang murka seperti itu.

Mohon diingat rama Prabu, jangan mendengarkan suara orang cari muka seperti

Aswatama.

Rama mesti mengingat, masih banyak kewajiban yang harus dijalankan.

Mohon bersabar rama Prabu”.

Page 251: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

251 PANDAWA KURAWA

“Huh Aswatama, bila tidak dalam sidang agung ini, kepalamu sudah

terpisah dari tubuhmu. Jangankan kamu, bila orang tuamu masih adapun, tak akan

mundur sejangkah menghadapi orang tuamu itu!” Masih juga belum berhenti

kemarahan Prabu Salya, bahkan ia mengungkit ungkit ayah Aswatama.

Setelah suasana terkendali, Prabu Duryudana mendekati Aswatama. Ia

telah membuat keputusan dengan menimbang bobot antara kedua orang yang

bersilang pendapat itu. “Aswatama, jangan membuat suasana menjadi bertambah

ruwet. Aku sudah tak lagi membutuhkan kamu. Pergilah!”

“Aduh Sinuwun, bila sudah tak lagi sinuwun mendengarkan kenyataan

yang terjadi di palagan peperangan, kami minta diri sinuwun”. Luka hati

Aswatama kembali kambuh, bahkan sekarang semakin parah. Keputusan hari

kemarin bahwa ia akan menjadi seorang oportunis sejati telah mengeras. Dirinya

yang dibobot ringan oleh Prabu Duryudana, mundur dari hadapannya dengan

sejuta rencana tumbuh didalam rongga kepalanya.

Aswatama segera pergi ke istana. Melepas kuda terbaik dari dalamnya,

melepas tali yang mengikat ke toggak, kemudian ia memacu kudanya dengan

kecepatan penuh meninggalkan percikan lumpur kotor. Ia seakan ingin membuang

segala keruwetan yang mendera dadanya. Beban yang menindihnya, seakan

hendak ia angkat dan campakkan, dengan cara memacu kuda itu sekencang

kencangnya bagai dikejar setan. Tujuan yang semula telah ia rancang dengan rasa

was-was, saat ini tidak lagi mendera dadanya. Sepenuh hati rencana telah

digenggamnya tanpa keraguan sedikitpun. Banuwati, ya, Banuwati! Ia hendak

Page 252: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

252 PANDAWA KURAWA

menuju ke hadapannya. Ia adalah anak dari Prabu Salya dan istri dari Prabu

Duryudana. Setelah kejadian di balairung tadi, sebuah rencana yang tertanam dari

hari hari terakhir kemarin telah tumbuh subur. Dihatinya juga telah timbul tekad

bahwa ia tak lagi merasa sebagai bawahan Prabu Duryudana.

Junjungannya dimasa lalu yang telah menilai kecil perannya selama ini. Ia

merasa sadar sekarang bahwa dimasa lalunya ia telah dikerdilkan dengan hanya

diberi derajat yang hanya dipandang sebelah mata. Kekesalan yang terpendam

mencapai puncaknya ketika ia telah dibobot ringan dengan pengusiran yang kedua

kali terhadap dirinya.

Dendam membara juga berkobar dalam dadanya kepada Prabu Salya,

orang tua Banowati. Ia hanya bisa berkata dalam hati, jangankan kepada

menantunya Prabu Salya tega, kepada mertuanya-Resi Bagaspati-pun ia sampai

hati menghabisi hidupnya hanya karena perasaan malu mempunyai mertua

berujud raksasa. Tapi kata katanya tersekat pada korongkongan, tak terlahirkan

oleh perasaan tidak enak kepada Prabu Duryudana. Maka ia hanya dapat

mendendam, kepada Banuwati-lah ia hendak lampiaskan. Dan malam dengan

hujan rintik itu telah membawanya menuju taman Kadilengeng. Malam ketika

melintas kutaraja Astina, ia tak menemui kesulitan apapun. Semua prajurit tunggu

istana telah mengenal Aswatama dengan baik. Dan taman Kadilengeng telah ada

didepan mata.

Tinggalkan malam di Mandaraka. Ditempat yang lain, Aswatama dengan

kebulatan tekad telah memasuki Taman Kadilengeng di lepas sore itu. Dan di

Page 253: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

253 PANDAWA KURAWA

taman itu, Dewi Banuwati tengah duduk didampingi oleh para dayang dayang-

nya. Mereka dengan setia memberikan bermacam hiburan yang ditujukan agar

junjungannya dapat melupakan kemelut yang sedang menyelubungi negaranya.

Ketika Aswatama masuk ke Taman Kadilengeng, suasana hingar bingar

mendadak terhenti. Hampir semua mata menuju kearah kedatangan Aswatama.

Semua menerka nerka, pasti ada sesuatu yang sangat penting hendak disampaikan

oleh sang tamu. Sosok tamu yang semua sudah mengenalnya sebagai anak

Pedanyang Sokalima, anak dari Sang Pujangga Astina.

Begitu pula dengan Dewi Banuwati, yang memendam seribu tanya. Ada

apakah gerangan berita yang dibawa dari peperangan. Dalam suasana perang yang

sudah berhari hari berlangsung, maka pastilah kejadian demi kejadian akan cepat

berganti waktu demi waktu dan segala kemapanan pasti goyah dengan cepat.

Tidak menunggu lama, diperintahkan oleh Dewi Banuwati para dayang dayang-

nya untuk segera menjauh darinya. Berita mengenai segala perubahan di

peperangan hendak ia bicarakan empat mata saja dengan Aswatama.

Sembah bakti Aswatama telah dihaturkan. Basa basi telah diucapkan oleh

keduanya. Bagi Aswatama, kebiasaan pada waktu waktu yang telah lampau, tetap

ia lakukan demi siasat yang hendak ia jalankan. Kebiasaan yang masih berlaku

hormat kepada istri Prabu Duryudana. Walau dalam hatinya ia mengatakan

bahwa ia tak akan lagi menjadi abdi negara Astina, tetapi pesona kecantikan Sang

Dewi masih membuat dirinya juga tak berdaya dihadapan Banuwati.

Page 254: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

254 PANDAWA KURAWA

Pada masa lalu, kekagumannya kepada kecantikan Banowati dipendamnya

dalam-dalam. Karena dalam pikirannya, tidak sepantasnyalah ia mengagumi

kecantikan dari junjungannya. Padahal dalam hatinya yang paling dalam, senyum

Banuwati telah lama mengguncangkan hatinya. Setiap kali ia menyaksikan

kemanjaan sikap dari Banuwati, ketidak berdayaannya atas keinginannya untuk

memiliki Sang Dewi semakin menindih perasaannya. Tidak pantaslah juga, ia

mengidam idamkan Banuwati yang cantik, Banuwati yang manja, Banuwati yang

sorot matanya menyinarkan pesona bagi siapa saja yang menapnya. Tapi bagi

Aswatama, tidak ada keberanian baginya untuk menatap mata itu. Ketika itu,

keberaniannya hanya sebatas memandang pesona itu dari sudut matanya saja.

Tetapi saat ini sekuat tenaga ia hendak meruntuhkan tabu tabu atas masa

lalu. Dan pada saat yang dipandang tepat nanti, ia ingin mereguk dengan segenap

isi jiwanya, pesona yang terpancar dari sosok seorang Banuwati.

“Aswatama, apakah perang sudah usai?” Itulah yang setiap kali diucapkan

Sang Dewi ketika ada seseorang yang kembali dari peperangan. Kembali

pertanyaan itu diucapkan. Aswatama dengan getar di dadanya mendengarkan

ucapan dari bibir merah Banuwati masih dengan angan angannya. Sangat jarang

Aswatama berhadapan langsung dengan Sang Dewi, bisa dikatakan tak lebih dari

hitungan jari sebelah tangannya. Maklumlah jabatan yang ia sandang tidak

memungkinkan sering bertemu, walau ia sudah berada di istana sejak dari muda.

Pertanyaan Banuwati dengan nada yang kenes, sesuai sifat dasarnya, membuat

runtuh jantung Aswatama yang berdentang keras. Begitu kuat ternyata pesona

Page 255: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

255 PANDAWA KURAWA

yang terpancar dari sosok Banuwati dari dekat. Hal inilah yang membuat kata-

kata yang disusun sebelumnya, menjadi berantakan tak karuan.

Tetapi gugupnya Aswatama dimata Dewi Banuwati dartikan lain.

Dimatanya, kegugupan itu mengisyaratkan telah terjadi sesuatu hal dalam

peperangan yang menentukan yang kehidupan negara selanjutnya. Dan

Aswatama merasakan kesan yang memancar dari mata Banuwati itu. Maka

timbullah keberaniannya untuk segera melakukan tindakan yang semula

dirancangnya. Kembali ia dikejutkan dengan pertanyaan Banuwati mengulang.

Serta merta Aswatama menjawab, setelah terkaget dengan ulangan

pertanyaan itu.

“Memang ada yang hamba akan laporkan Sang Dewi, mengenai kejadian

penting di palagan peperangan.”

“Cepat katakan, Aswatama! “ Tak sabar Banuwati segera menyahut.

“Apakah Paduka Ratu berkenan dengan apa yang hendak hamba

katakan?”.

“Ya ya. . . Segera katakanlah.”

“Saat sekarang kekuatan Kurawa sudah dapat dikatakan lumpuh, dan

tinggal menunggu saat saat terakhir perlawanan. Maka Baginda Prabu Duryudana

memerintahkan kepada hamba untuk membawa Paduka Sang Dewi, keluar dari

taman Kadelengeng”.

Page 256: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

256 PANDAWA KURAWA

Oooh begitukah? Biarkan saja aku tetap di Keputren ini. Tak akan ada

sesuatu yang membuat aku khawatir akan keselamatan diriku. Datar saja ucapan

Dewi Banuwati, tak ada sedikitpun kecemasan membayang di wajahnya oleh

sebab dari berita yang disampaikan Aswatama. Berita kekalahan Kurawa,

sepertinya adalah hanya merupakan masalah kecil baginya. Aswatama hanya

mengangguk anggukkan kepalanya, dan ia tidak terlalu heran dengan sikap

Banuwati.

Sejenak Aswatama terdiam, kemudian otaknya kembali bekerja. Katanya

kemudian.

“Tetapi ini adalah perintah dari Gusti Prabu Duryudana. Hamba akan

bersalah bila tidak menjalankan titah yang telah digariskan”.

“Kembalilah ke Kurusetra. Katakan kepada kanda Prabu. Bahwa tak perlu

ada yang dikhawatirkan tentang keselamatanku. Musuh Kurawa pada perang

Baratayuda adalah para Pandawa. Mereka itu adalah para kesatria yang tahu

bagaimana memperlakukan musuh, mereka tak akan mungkin mencelakakan aku.

Apalagi sifat dimas . . . . “ Terhenti ucapan yang sudah ada dikerongkongannya

dan segera ditelan kembali. Dan warna merah dadu menghiasi wajah Sang Dewi

atas ketelanjurannya, walau terputus. Namun Aswatama segera tahu apa yang

hendak Banuwati ucapkan. Dan ini telah membuat otak Aswama seketika terang

benderang

“Tetapi perkenankan hamba berterus terang. Gusti Prabu Duryudana

sudah berada di suatu tempat. Mereka sudah menunggu jemputan ini. Disana

Page 257: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

257 PANDAWA KURAWA

sudah menunggu pula ayahnda Paduka Prabu Salya beserta Para Pandawa. Atas

kehendak ayahanda Paduka Sang Dewi, perdamaian diantara yang sedang

berperang hendak diselenggarakan. Dan diperkenankan Gusti Ratu sebagai saksi

atas perdamaian itu. Dari pihak Kurawa akan langsung dipimpin oleh Gusti Prabu

Duryudana, sedangkan dari Pihak Pandawa akan dipimpin oleh Raden

Arjuna.” Sengaja Aswatama menyebut nama Arjuna untuk memancing kenangan

terhadap kekasih gelapnya.

“Ah . . .”, Banuwati berdesah, senyum dibibirnya hampir saja terkembang,

tetapi segera dipalingkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya. Dari

sudut matanya, Aswatama mencuri pandang terhadap raut muka Sang Dewi

Banuwati yang dengan susah payah hendak menyembunyikan perasaan yang

berkecamuk dihatinya. Namun senyum sekilas tadi telah mengembangkan sejuta

asa di hati Aswatama. Dalam hatinya mengatakan, “Inilah saatnya!”

Sejenak hening disekitar mereka. Aswatama membiarkan saja perasaan

Banuwati melayang layang. Namun Aswatama sudah tahu, apa pikiran yang

membayang di rongga kepala Banuwati.

Tetapi tak lama suasana itu hening itu berlangsung, kemudian Banuwati

memecahkan kesunyian.

“Bila begitu yang akan terjadi, apapun yang menurut rama Prabu Salya

lakukan, hendaknya dilakukan. Tetapi yang aku sesalkan, kenapa baru sekarang

kanda Prabu hendak berdamai setelah kekalahan nampak dipelupuk matanya.

Perdamaian yang sebelumnya telah membawa banyak korban!” Sejenak Dewi

Page 258: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

258 PANDAWA KURAWA

Banowati terdiam, kemudian ia menyambung. “Tetapi baiklah, Aswatama, kapan

kita hendak berangkat?”

“Sinuwun Prabu Duryudana tidak mau membuang-buang waktu lagi.

Malam ini juga hamba dititahkan untuk segera mengantarkan Kusuma Dewi ke

hadapannya”. Jawab Aswatama setelah menarik napas panjang. Kelegaan

memenuhi dadanya, setelah sekian lama merasa tertindih beban yang begitu

berat.

“Kita perlu pengawal untuk perjalanan malam ini Aswatama!”

“Tidak perlu Gusti Ratu, ini akan memperlambat perjalanan kita.

Sedangkan malam terus berjalan dan akan semakin larut bila waktu dibuang untuk

mempersiapkan segala sesuatu. Toh kita besok sudah kembali lagi ke Astina”.

Berpikir tangkas Aswatama segera menolak usul yang disampaikan Dewi

Banuwati.

“Baiklah Aswatama, kita pergi sekarang!”.

Maka dengan persiapan singkat, Dewi Banuwati berganti busana dan

segera menaiki kuda. Dan Aswatama menaiki kudanya pula. Tak kecurigaan

apapun ketika mereka melewati penjagaan demi penjagaan, pengawalan

terakhirpun telah melepasnya. Dan tak terasa malam makin merambat dan

perjalanan mereka semakin cepat.

Batas negara telah terlewat dan sawah kemudian ladang pegagan sudah

mereka lalui. Hujan yang turun sore tadi telah lama reda,langit hanya menyisakan

Page 259: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

259 PANDAWA KURAWA

awan bergumpal di sana sini. Namun sebagian, masih menampakkan bintang

bintang yang berkelipan malu malu. Kemudian tibalah mereka di padang perdu

dan kemudian hutan dengan tumbuhan kayu besar yang makin pepat. Dan malam

semakin merambat larut, sementara perjalanan terus berlanjut.

“Aswatama, apakah tempat itu masih jauh?” Tanya Banuwati yang merasa

curiga dengan perjalanan malam yang seperti tak berujung.

“Tinggal beberapa yojanya kita akan sampai?” Aswatama berkilah

“Benarkah? Aku lihat kita malah berputar putar arah tidak karuan bahkan

kita memasuki hutan dan jurang yang curam di kanan kiri kita!” Tanya Banuwati

ketika sampai pada tempat yang lapang ditumbuhi beberapa pohon pohon perdu

ditepi jurang.

“Mhmm . . . , baiklah! Sekarang aku tidak lagi hendak menyembunyikan

apa sejatinya yang kulakukan terhadapmu”. Sejenak Dewi Banuwati bagai

terhenti jantungnya. Ia mendengar ucapan Aswatama yang bernada lain dari

biasanya. Tetapi sekuat tenaga ditenangkan hatinya. Doa akan keselamatannya ia

panjatkan untuk mengatasi kejadian yang tidak diperhitungkan sebelumnya.

Dilain pihak, Aswatama yang sudah sekian lama bersikap hormat sebagai anak

Pedanyangan, ketika mengabdi pada Prabu Duryudana, kini berusaha bersikap

tegak. Secara naluri Banuwati menjauhkan kudanya dari kuda tunggangan

Aswatama.

Aswatama turun dari kudanya dan menambatkan di sebatang pohon.

“Tempat yang agak lapang ini memungkinkan aku berterus terang terhadap

Page 260: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

260 PANDAWA KURAWA

Banuwati.”, demikian pikirnya dengan debar dada yang masih bergemuruh. Tetapi

setelah diingat bahwa ia hanya berdua saja dengan Banuwati, dan apalah artinya

wanita tanpa pendamping dihadapan lelaki yang terkodrat lebih kuat. Maka jebol-

lah keraguan yang semula melimputi dirinya. Dipandangnya Banuwati dari ujung

rambut hinggga ke ujung kaki dengan mata nyalang. Senyum aneh tersungging di

bibir Aswatama bagai orang yang mabuk tuak.

Banuwati yang dipandang seperti itu merasa risih, dan ketakutan mulai

membayang diwajahnya. Kembali hatinya dibesarkan, walau degup jantungnya

masih juga tidak hendak reda. Setelah menarik nafas dalam dalam, ia menanya,

dengan tetap duduk diatas punggung kuda.

“Sekarang katakan apa sebenarnya yang kamu kehendaki, Aswatama?”

Bergetar bibir Banuwati menanyakan maksud Aswatama. Padahal sebenarnya

pertanyaan itu telah diketahui jawabnya. Namun ia masih menunggu jawab

Aswatama yang masih dengan senyum kemenangan dibibirnya. Kemudian

dilihatnya Aswatama berdiri didepan kuda, dan berkata dengan dada tengadah.

“Didunia ini tidak genap dua hitungan jumlah perempuan yang memiliki

pesona yang begitu hebat. Pesona yang kamu miliki itu! Raja Astina yang begitu

agung-pun bertekuk lutut. Menurut apa yang kamu perintahkan dengan tidak ada

suatu katapun yang bernada menentang. Bahkan suatu contoh, bila keinginanmu

untuk ketemu Arjuna tidak diturut, hanya sedikit kata rayuan dan seribu alasan,

permintaan itu akhirnya dikabulkan. Benar benar Prabu Duryudana bagai kerbau

yang dicocok hidungnya. Dan pesona dari dirimu tidak urung telah menebar

Page 261: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

261 PANDAWA KURAWA

keseluruh lingkunganmu. Pesonamu juga telah menyusup menembus dalam

dijantungku. Setiap dirimu lewat didekatku, terasa dadaku hendak pecah. Ya,

terus terang saja! Sudah lama aku memendam perasaan ini terhadapmu,

Banuwati. Perasaan cinta yang tadinya hampir tak mungkin kesampaian karena

aku dulu mengabdi kepada Prabu Duryudana! Dan sekarang, Duryudana ada

dalam keadaan sekarat. Daripada keduluan yang lain, terimalah takdirmu bahwa

Aswatama adalah pemilik yang sah dari Banuwati untuk selanjutnya he he he . . . .

! Masih dengan ketawanya, Aswatama mendekat dan memandang dengan

nyalang sosok Banuwati yang tertegun duduk diatas kuda. Tanpa berkedip, di

kegelapan yang hanya tersinari bintang, sosok siluet Banuwati dikeremangan itu

makin mempesona dimata anak Pedanyangan yang dimabuk keberhasilan itu.

Hilang kewaspadaannya, dan tidak terpikir bahwa suatu saat, kuda itu dapat

dilecut hingga lari dan tak dapat dikejar.

Sementara di dalam otak Banuwati berputar mencari celah untuk dapat

melarikan diri. Tanpa sesadarnya kuda diarahkan mundur kembali menjauhi

Aswatama yang selalu mengikuti langkah kemana saja kuda Banuwati bergerak.

Banuwati yang lambat laun bisa menguasai dirinya, kemudian berusaha

tersenyum. Ia sudah dapat melihat dengan jelas, langkah apa yang seharusnya

dilakukan untuk mengatasi kesulitan yang menjepit dirinya.

“Ooh . . . Begitukah? Siapapun, termasuk kamu dapat saja menjadi

suamiku bila ia memiliki kecekatan berpikir. Dan gerak cepatmu telah

membawamu untuk memboyong aku kemana kamu suka. Bawalah aku ke

Page 262: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

262 PANDAWA KURAWA

Timpuru atau ke Atasangin, kesanalah kita akan mukti wibawa meneruskan

kejayaan Astina! Lihat bintang bintang dilangit adalah saksinya!”

Sang Dewi mengatakan sambil menunjuk ke langit dimana bintang-

bintang masih bergelayutan. Tanpa sadar bagai tersihir, Aswatama juga ikut

mendongak ke langit. Dan saat yang sedikit itu digunakan dengan sempurna oleh

Banuwati. Secepat kilat ditariknya kendali dan dipacu kuda itu tanpa menoleh

kanan kiri. Kaget setengah mati Aswatama dan terlanggar kuda Banuwati.

Bergulingan ia menahan sakit didadanya, dan merah padam mukanya oleh

perasaan marah yang tidak terkirakan. Segera ia menuju kearah kudanya dengan

tertatih tatih, dilepaskan ikatannya dengan terburu buru. Sumpah serapah

membuncah dari mulutnya. Terlambat sedikit, kuda yang ditunggangi Banowati

telah menghilang dikelebatan hutan dan pekatnya malam. Derap kaki kuda yang

bergulung gulung menggema diantara tebing telah memperlambat usaha

Aswatama dalam menelusuri jejak Banuwati. Sementara kabut telah turun setelah

malam menjadi dingin menjelang pagi. Sempurnalah kesulitan Aswatama dalam

melacak jejak buruannya.

Dewi Banuwati yang terlepas dari tangan Aswatama ternyata tidak mahir

mengendalikan kudanya. Terpental pental ia diatas punggung kuda yang menjadi

liar menyelusup diantara pepatnya pepohonan hutan. Walau sekuat tenaga

Banuwati bergayut, namun tetap ia tak berhasil menguasai keseimbangan badan

diatas pelana. Ia terhempas dan terperosok ke dalam kelebatan perdu yang tumbuh

menyebar ditebing jurang. Aswatama mencari Banowati. Tetapi tidak kunjung

ketemu maka ia segera kembali ke Sokalima.

Page 263: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

263 PANDAWA KURAWA

Barata

PENGAKUAN KEMBAR

Sementara itu di balairung Bulupitu, sepeninggal Aswatama, perasaan

marah dan setengah dipermalukan oleh Aswatama., masih mendekam didalam

Page 264: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

264 PANDAWA KURAWA

hati Prabu Salya. Hingga ia tak lagi berminat mengatakan sesuatu apapun.

Suasana hening melimputi suasana sidang. Mereka yang hadir seperti terpaku

ditempatnya. Hanya dalam pikiran masing masing yang berputar putar

menanggapi peristiwa yang baru saja terjadi. Ketika kesunyian itu masih saja

terjadi, Prabu Duryudana akhirnya berkata kepada pamannya.

“Paman Harya Sengkuni, sungguh tidak masuk akal apa yang dikatakan

oleh Aswatama. Seorang ayah menegakan kematian anaknya, walau itu hanya

anak menantu. Apakah ia hanya bercerita atas karangan ia sendiri? Apakah ada di

dunia peristiwa semacam itu Paman?”

Patih Sengkuni kemudian mengangkat wajahnya. Dipandangi wajah Prabu

Duryudana dengan perasaan ragu. Ia hendak menyelami apa sesungguhnya

kehendak keponakannya dengan mengatakan demikian. Tapi ini memang menjadi

watak Sengkuni, bahkan dengan nada meyakinkan ia mengipaskan kembali

suasana yang sudah mengendap dengan jawabannya, “Ooooh Sinuwun, ada saja!

Jangankankan mertua yang tega atas menantunya, sebaliknya menantu yang

melakukan pembunuhan terhadap mertuanya juga juga ada. Bahkan ia telah

membunuh mertuanya dengan tangannya sendiri”.

“Dimana peristiwa itu terjadi Paman? Siapakah orang yang telah tega

berbuat demikian?” Prabu Duryudana kembali terbawa oleh arus pembicaraan

Pamannya. Ia telah tahu apa yang dikehendaki pamannya. Dan jawaban Patih

Harya Sangkuni dengan tidak lagi ragu “Tidak jauh dari sini, bahkan . . . “

“Cukup . . . . . !” Kali ini Prabu Salya menukas dengan ketus. Bara

kemarahan yang belum sempurna padam kini sudah kembali berkobar. Bahkan ia

Page 265: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

265 PANDAWA KURAWA

sudah tak lagi dapat mengendalikan nalarnya. Maka tak lagi ia berpikir panjang

dan segera menyambung kata katanya, “Jangan lagi sandiwara seperti yang kau

ucapkan tadi itu diteruskan. Aku sudah mengerti arah pembicaraan itu, Suman!

Bukankah engkau hendak mengatakan bahwa pada masa lalu aku telah

membunuh ayah mertuaku sendiri? Itukah yang kamu maksudkan dan kamu

hubungkan dengan kematian anakku Basukarna? Sudahlah, aku ini sudah tahu

arah tujuan dengan kata katamu. Kamu hendak memanasi aku kembali, agar aku

mau maju ke Medan Kurukasetra ! Tanpa kamu panasi dengan kata kata itupun

aku sudah mempunyai tekad, besok aku akan maju ke palagan peperangan.

Lihatlah, esok anak anak Pandawa akan aku kirimkan ke alam kelanggengan. Aku

ulangi, tidak perlu mamakan waktu lama, tak sampai setengah hari semua

keinginanmu akan terwujud!”

“Lho Sinuwun Prabu Salya, bukan maksud kami menceritakan tentang

Paduka Prabu Salya, tapi bila paduka merasakan itu, ya silakan saja” Patih

Sangkuni menjawab dengan nada merendah. Tetapi dalam hatinya ia tertawa

terbahak bahak, menyaksikan pancingannya berhasil diasambar sasarannya.

Sesak didalam dada Prabu Salya mendengar Patih Sangkuni yang masih

saja memberi jawaban. Namun kini yang bicara adalah paman dari Prabu

Duryudana.

Maka ia tidak bisa gegabah menyalurkan kemarahan sebagaimana

dilakukan terhadap Aswatama. Tidak hendak berlarut larut dalam kemarahan, ia

menghela nafas panjang. Ia berusaha sekuat tenaga untuk memadamkan bara yang

Page 266: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

266 PANDAWA KURAWA

membakar hatinya. Karena ia tak lagi mau termakan provokasi Sangkuni, ia

berkata kepada Prabu Duryudana dengan berusaha setenang yang ia bisa.

“Baiklah anak Prabu Duryudana, saya meminta waktu sekejap saja. Aku

ingin kembali dulu menemui ibumu, Setyawati. Rasa kangenku terhadap ibumu

tak lagi dapat ditahan. Mohon jangan bergerak dulu ke medan Kuru sebelum aku

kembali dari Mandaraka”.

“Baiklah rama Prabu, doa kami menyertai kepulangan rama” Duryudana

melepaskan kepulangan sementara Prabu Salya dengan rasa keraguan yang tetap

menekan dadanya. Bahkan dalam hati kecilnya rasa frustrasi telah menuntunnya

ke tindakan seorang pengecut.

“Paman Harya Sangkuni, segala merah hijaunya perang dan jalannya

pertempuran aku serahkan kepada si paman untuk besok hari. Ikuti segala perintah

dari Rama Prabu Salya. Besok aku tidak akan ikut campur urusan perang yang

sudah aku berikan sepenuhnya kepada si paman dan rama Prabu Salya”.

Malam itu juga kereta kebesaran Prabu Salya bergerak kencang menuju ke

keputren Mandaraka. Prabu Salya pulang ke Mandaraka dengan hati masgul.

Dan kedatangan Prabu Salya pada saat lepas sore itu benar benar mengejutkan

Prameswari Mandaraka, Dewi Setyawati.

“Sinuwun kanda Prabu, kaget dan gembira rasa hati ini, ketika melihat

Paduka Sinuwun telah berada kembali di Mandaraka. Apakan perang sudah

selesai? Siapakah yang unggul dalam perang yang pasti melelahkan jiwa dan raga

itu?”

Page 267: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

267 PANDAWA KURAWA

“Pastilah kedatanganku membuat kamu berdua menjadi kaget. Dan perlu

dinda Setyawati, bahwa perang belumlah benar benar selesai. Kedatanganku

sesungguhnya hanya melepas kangen, sebab, aku merasa sudah terlalu lama, sejak

pecah perang, baru kali ini aku kembali ke Mandaraka meninggalkanmu.

Ketahuilah, bahwa esok hari aku akan menjadi senapati perang. Dan

sebagai seorang senapati, ibaratnya adalah seperti orang yang siap bepergian.

Karena rasa sayangku terhadapmu, bila aku pergi nanti, maka kita harus pergi

berdua. Secara kebetulan, bahwa kita berdua adalah orang yang punya hari lahir

yang sama, maka bila kita pergi, sebaiknya juga kita pergi juga bersama-sama”.

Mendengar kata kata suaminya, Dewi Setyawati nampak tertegun. Sebagai

seorang wanita anak Resi Bagaspati, yang tidak lain seorang pandita yang tak

diragukan kewaskitaanya, ia sudah mempunyai firasat buruk terhadap apa yang

dikatakan suaminya. Ia telah merelakan anak anak lelakinya habis dalam

peperangan itu, tapi kali ini, ia tidak akan lagi rela melepas suaminya menjadi

bebanten perang seperti yang terjadi pada anak anaknya. Maka ia bangkit dari

duduknya dan bergelayut pada selendang suaminya. Prabu Salya yang melihat

tingkah istrinya itu, kemudian tersenyum kepadanya. “Apa yang menjadi

kekhawatiranmu Dinda Ratu, aku akan mendengarkan apa yang menjadi isi

hatimu”, kata Salya masih dengan senyumnya.

“Kanda, anak- anak lelaki kita, satu demi satu sudah gugur dalam

membela Negara Astina. Bahkan anak perempuan kita Surtikanti juga telah bela

pati atas kematian suminya Basukarna. Terlepas dari siapakah yang benar dalam

perang itu, hamba sudah pasrah. Tapi, untuk kali ini, hamba tidak akan melepas

Page 268: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

268 PANDAWA KURAWA

kepergian paduka kemedan perang. Cukuplah sudah pengorbanan kita untuk

mukti wibawa anak kita Banuwati. Malah bila mungkin, mintalah anak mantu kita

menyudahi pertempuran, dan anak kita sekalian diminta untuk kembali ke

Mandaraka. Negara Mandaraka sudah tidak lagi mempunyai Pangeran Pati,

biarkan anak mantu Prabu Duryudana-lah yang sekiranya dapat kita turunkan

negara ini untuknya. Dan kita sudah saatnya untuk menikmati hari tua ini di

Pertapaan Argabelah dengan memasrahkan diri kepada dat yang maha kasih.

Mohon maaf kanda Prabu untuk kelancangan hamba memberikan pilihan

kemungkinan yang tak lagi mengorbankan seorangpun.”

Masih dengan senyumnya, Prabu Salya malah berkata memuji. Makin

rapat sang istri memeluk suaminya. Prabu Salya pun membalas dengn memegang

tangan istrinya “Itulah kenapa dari dulu aku menyayangimu, seorang anak

gunung, yang jauh dari keramaian kota dan tata krama kerajaan. Tetapi dalam

dirimu yang dikaruniai kecantikan yang sempurna, yang telah mampu merampas

segenap sukmaku. Sampai sekarang walaupun engkau sudah berputra putri

dewasa, kecantikan itu tidak pudar dimakan oleh waktu, malah semakin bersinar.

Dan tak kalah dari yang telah aku ucapkan tadi, adalah mengenai sosok dirimu

secara keseluruhan. Dasar pemikiran cemerlang yang kamu punya itu, selalu

muncul setiap kali aku merasa buntu dalam menjalankan tata kenegaraan. Hingga

segala pertimbangan atas buah pikiranmu selalu menuntun aku keluar dari

masalah pelik. Maka, walaupun kita dikatakan tidak pernah terpisah sejengkalpun

seumpamanya, dari muda hingga rambut kita sudah dua warna, tetapi ketika aku

berpisah walau sekejap, rasa kangen ini selalu saja memenuhi dadaku. Dan bukan

Page 269: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

269 PANDAWA KURAWA

oleh karena permintaan rama Resi Bagaspati, bila aku memperistrimu aku tidak

boleh menduakan dinda Setyawati. Tetapi memang tidak ada gunanya aku

menduakanmu. Dari dirimu, semua rasa tentram, rasa bahagia dalam mengarungi

bahtera kehidupan ini, rasanya sudah dinda berikan tanpa henti hari demi hari,

tahun demi tahun. Jangan lagi dipikirkan yang akan terjadi besok, lihat, malam ini

suasana sangat indah! Kenapa kita tidak menikmati karunia yang telah dewata

limpahkan?

Jatuh kedalam pelukan mesra, Dewi Setyawati ke dada suaminya.

Sanjungan suaminya yang dikenalnya sejak lama dan selalu saja dengan nada

yang romantis telah berkali-kali ia dengar. Tapi kali ini sungguh ia dibuat terbang

sukmanya. Dibimbingnya sang istri ke peraduan. Sudah tidak muda lagi

keduanya, tetapi kemesraan diantaranya tetap terjalin waktu demi waktu. Tidak

heran, bahwa lima orang putra putri telah lahir dari buah kasih mereka. Dan nama

Setyawati adalah benar-benar sebagai ujud dari nama Endang Pujawati semasa

gadisnya. Mereka berdua adalah manusia manusia yang dikaruniai kasih setia

yang dalam satu sama lain.

Dipandangnya wajah istrinya ketika ia sudah terlelap terbuai mimpi indah.

Dalam hatinya tak dapat dipungkiri, ia sangat mencintai istrinya. Dan Prabu Salya

sangat memanjakan istrinya dengan berlaku setia penuh. Mungkin ia hendak

membayar kesalahan yang telah dilakukan atas permintaannya dulu ketika rasa

malunya mempunyai mertua berujud raksasa. Tetapi sesampainya di Mandaraka

ketika memboyong istrinya, ia malah mendapat murka dari ayahnya, Prabu

Mandrapati. Ia mengatakan hal yang sebenarnya terjadi atas mertuanya, tetapi ia

Page 270: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

270 PANDAWA KURAWA

tidak mengetahui bahwa Resi Bagaspati adalah saudara seperguruan ayahnya.

Diusirlah Narasoma, Salya muda, ketika itu, yang diikuti oleh Madrim adiknya.

Dari situlah ia menyerahkan Dewi Madrim dan Dewi Kunti ke tangan Pandu, atas

pengakuan kekalahannya. Padahal ia telah memenangkan sayembara pilih dan

berhak memboyong Kunti puteri Mandura. Kenangan masa lalu Salya terhenti

ketika ia memutuskan sesuci dan masuk ke sanggar pamujan, meninggalkan sang

istri yang masih terlelap tidur.

Kokok ayam yang pertama di pagi buta telah lama berlalu. Matahari di

hari belum lagi bersiap menerangi semesta dengan cahaya merah diufuk timur.

Dalam balutan busana putih di sanggar itu, Prabu Salya dikejutkan dengan

kedatangan seorang utusan yang mengatakan telah menunggu dua orang tamu

yang hendak menghadap.

Barata

Bayangan jingga belum lagi terbias diantara mega mega di langit timur,

ketika Aswatama telah berada jauh jaraknya dalam pencarian jejak Banuwati.

Kelamnya hutan dan kabut menjelang pagi amat mempersulitnya dalam melacak

lari kuda yang ditumpangi Banuwati. Jejak kaki kuda dan patahan ranting yang

masih baru kadang masih dapat terlihat sebagai tanda lacaknya, namun sejatinya

kuda itu telah lama kehilangan penumpangnya yang terperosok jatuh di tempat

yang sudah jauh tertinggal.

“Keparat Banuwati, kau telah membuat dendamku makin dalam! Ya, tidak

ada yang dapat aku katakan, belum akan mati dengan dada lapang Aswatama, jika

aku belum berhasil membunuh perempuan celaka yang berlindung dibalik

Page 271: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

271 PANDAWA KURAWA

kecantikan parasnya!” Perasaan sesal dan dendam melonjak lonjak dalam dada

Aswatama. Segenap sisi hutan telah ia selusuri meneliti dengan seksama tanda

tanda dimana adanya Dewi Banowati, namun Sang Dewi seolah ditabiri oleh

kekuatan gaib yang tak kasat mata.

Barata

Sementara itu di Mandaraka, abdi istana telah menghadirkan kedua orang

tamu yang sedari lepas tengah malam menunggu, kapan kiranya akan ditemui oleh

tuan rumah. Prabu Salya yang masih belum beranjak dari tempat sesuci telah

mengira, siapa sebenarnya yang hendak menghadap. Firasatnya mengatakan,

bukan orang lain yang hendak bertemu dengannya. Maka ia masih tetap dalam

busana putih yang ia kenakan ketika ia memuja Hyang Maha Agung, dan juga

belum hendak beranjak dari sanggar pemujan.

Prabu Salya menarik nafas panjang ketika ia melihat dihadapannya

berjalan dua sosok yang sangat ia kenal dengan baik. Dialah kemenakannya,

Nakula dan Sadewa. Kemenakannya yang lahir dari gua garba adik perempuannya

Madrim. Adik perempuan satu satunya yang sangat ia kasihi. Seketika tangannya

dilambaikan kearah kedua satria yang baru saja dipanggilnya menghadap. Sambil

tetap duduk ditempat semula, tangannya mengusap usap kepala kemenakannya

dengan sepenuh kasih ketika Nakula dan Sadewa bersimpuh dan menghaturkan

sembah bakti kepadanya.

“Pinten, Tangsen, duduklah dekat kemari” Masih disertai senyum, Sang

Uwak, ketika melepaskan elusan tangannya. Prabu Salya terbiasa memanggil

kemenakannya dengan panggilan kecil, Pinten dan Tangsen, kepada Nakula dan

Page 272: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

272 PANDAWA KURAWA

Sadewa. Ia masih saja menganggap kemenakannya masih saja selayaknya kanak

kanak, walau mereka sebetulnya sudah lepas dewasa. Panggilan itu seakan ia

ucapkan sebagaimana ia dengan segenap kasih ingin menumpahkannya kepada

anak yang terlahir piatu itu. Dan masih tercetak kuat dalam benaknya, betapa

sejak kecil keduanya telah ditinggalkan oleh sepasang orang tuanya, sehingga tak

terkira betapa kasihsang Uwak tertumpah kepada kedua kemenakannya itu.

Nakula dan Sadewa beringsut sejengkal memenuhi keinginan uwaknya.

Tanya seputar keselamatan masing masing telah mereka ucapkan dengan singkat,

hingga kemudian Prabu Salya membuka pembicaraan ke hal selain basa basi.

“Kedatanganmu kemari, aku merasakan seperti halnya ibumu hadir dalam

diri kamu berdua. Kembar, alangkah malangnya kamu berdua ditakdirkan terlahir

sebagai anak piatu”. Sejenak Prabu Salya yang baru saja membuka kata, terdiam.

Matanya menerawang mengingat adiknya Madrim dengan segala tingkah

polahnya.

“Didunia ini, siapakah orangnya yang tidak mengenal Prabu Pandu

Dewanata, ayahmu. Tidak ada seorangpun yang bisa memberikan keterangan

selengkap yang aku berikan mengenai keberadaan ayahmu, kecuali keterangan itu

datang dari diriku. Dulu sewaktu ibumu hamil, ia ngidam kepengin naik Lembu

Andini. Padahal ia tahu, Lembu Andini itu kendaraan Hyang Guru. Itupun ia

mengendarainya hanya sendirian saja”.

Yang diajak bercerita masih diam sambil sesekali mengangguk anggukkan

kepalanya. Dibiarkannya uwaknya berceritera. Walaupun cerita itu sudah berkali

kali ia dengar dari mulut uwaknya, Prabu Salya.

Page 273: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

273 PANDAWA KURAWA

“Pinten, Tangsen, aku akan menceritakan kembali apa yang terjadi pada

kedua orang tuamu. Dengarkan ya”. Prabu Salya menyambung, “Ibumu,

Madrim, ternyata meniru tindakan Istri Batara Guru, yaitu Dewi Uma, yang juga

ingin menaiki Lembu Andini berdua dengan Batara Guru, suaminya. Walau

banyak suara sumbang ingin menggagalkan permintaan Uma atas keinginannya

itu, tetapi cinta Batara Guru terhadap Dewi Uma mengalahkan keberatan

parampara kahyangan Jonggiri Kaelasa”.

Cerita yang diceritakan Prabu Salya melebar, namun demikian Nakula dan

Sadewa masih saja mendengarkan dengan sesekali mengangguk kecil. “Waktu

demi waktu berlalu, berdua melanglang jagat menaiki lembu Andini. Tak lah

aneh, bila segala keinginan Batari Uma dituruti, karena cinta mereka sebagai

suami istri yang baru mereka jalani. Mereka lupa bahwa berdua ada punggung

Lembu Andini. Kekuatan asmara telah menggiring mereka melakukan olah

asmara diatas punggung Lembu Andini. Hingga kemudian meneteslah kama

salah, jatuh kelautan dan menjelma menjadi raksasa yang dinamai Batara Kala.

Dialah putra Batara Guru dengan Dewi Uma, yang membuat jagat yang semula

tentram menjadi kisruh, yang suci-bening menjadi tercemar, yang tegak menjadi

berantakan”.

“Tetapi ternyata perbuatan itu telah ditiru mentah mentah oleh ayahmu,

Pandu. Walau Dewa telah memberi peringatan, tetapi ayahmu telah berlaku terlalu

tinggi hati, mentang-mentang ayahmu telah sangat berjasa bagi Kahyangan.

Ayahmu lupa bahwa ia telah diberikan anugrah ketika ia telah berhasil

menyingkirkan musuh Kahyangan, Prabu Nagapaya. Ganjaran yang telah Dewa

Page 274: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

274 PANDAWA KURAWA

berikan berupa Minyak Tala. Bahkan ayahmu telah berjudi dengan nasibnya,

dengan menyanggupi diri untuk menjadi kerak Kawah Candradimuka. Itulah

ayahmu, watak tinggi hati dan rasa cinta terhadap ibumu yang tiada terkira,

membuat ia lupa segalanya”.

Walau mereka berdua telah berkali kali mendengar cerita tentang kedua

orang tuanya, tetapi tidak urung Nakula dan Sadewa telah meruntuhkan air

matanya. Kali ini uwaknya menceriterakan kembali peristiwa yang mengiringi

riwayat kejadian atas diri mereka berdua.

“Perlukah aku ceritakan bagaimana kematian kedua orang tuamu? “

Sejenak Nakula Sadewa terdiam. Mereka teringat, kedatangan mereka sebenarnya

adalah dalam tugas negara. Seperti perintah yang diberikan oleh Prabu Kresna,

mereka diberikan kewajiban untuk bagaimana melululuhkan hati uwaknya, agar

dalam perang di terang hari nanti, uwaknya akan merelakan hidupnya untuk

kejayaan Para Pandawa. Kresna telah mengetahui, bila tidak ada usaha untuk

membuat Prabu Salya merelakan kematiannya, maka Para Pandawa tak akan

dapat mengalahkan senapati bentukan Prabu Duryudana kali ini, yaitu Prabu

Salya.

Maka Nakula dan Sadewa telah mengambil keputusan untuk mengulur

perasaan Prabu Salya, agar nanti dengan gampang masuk mengutarakan

maksudnya.

Mereka pun menjawab, “ Uwa Prabu, kami akan mendengarkan apa yang

hendak Uwa Prabu ceriterakan”

Page 275: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

275 PANDAWA KURAWA

“Baiklah. Ketika kamu dikandung ibumu menjelang kelahiranmu, terjadi

pemberontakan oleh sebuah negara yang ada dalam bawahan Negara Astina.

Negara Pringgondani yang dipimpin oleh Prabu Trembuku hendak memisahkan

diri dari kekuasaan Astina. Prabu Trembuku yang merasa sudah kuat dan mampu

mengalahkan ayahmu telah dengan berani melakukan pememberontakan. Dalam

perang tanding antara ayahmu dan Prabu Trembuku, ayahmu dapat mengalahkan

kesaktian Prabu Trembuku yang kala itu menggunakan pusaka berujud keris yang

bernama Kala Nadah. Sekali lagi kukatakan, ayahmu adalah orang yang tinggi

hati. Prabu Trembuku, oleh ayahmu, sudah dianggap tak berdaya, hingga ayahmu

Pandu lengah. Ketika sesumbar atas kemenangannya, ayahmu melangkah hendak

berdiri diatas tubuh Kala Trembuku, sebagai tanda atas kemenangannya. Namun

Trembuku ternyata masih kuat untuk menusukkan senjata keris Kala Nadah ke

telapak kaki ayahmu. Berhari hari Keris Kyai Kala Nadah mengeram dikakinya.

Tak ada seorangpun yang mampu mencabut keris Kala Nadah, hingga membuat

kesehatan ayahmu menurun hari demi hari. Dan akhirnya, ketika kamu berdua

terlahir kedunia, yang disertai kematian ibumu karena kehabisan darah, ayahmu

juga ikut wafat setelah memberi nama buat kamu berdua”.

Sebentar prabu Salya membenahi tempat duduknya dan bergeser

duduknya. Kemudian ia melanjutkan ceritanya. “Kegaiban terjadi, ketika kedua

orang tuamu telah wafat, tiba tiba saja jasad keduanya telah hilang tak berbekas.

Sudah menjadi suratan takdir bahwa kematian kedua orang tuamu adalah menuai

apa apa yang mereka tanam. Janji ayahmu Pandu untuk sanggup menjadi kerak

Neraka Yomani, telah berbuah. Ucapan orang tuamu ketika meminjam Lembu

Page 276: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

276 PANDAWA KURAWA

Andini, sanggup mukti waktu itu, dan sanggup sengsara kemudian telah menjadi

kenyataan”.

“Keris perenggut nyawa ayahmu diberikan oleh pamanmu,Yamawidura,

kepada Arjuna kakakmu. Sejak saat kamu berdua menghirup udara dunia, kamu

sudah ada dalam asuhan ibu dari Puntadewa, Werkudara dan Arjuna, ya Kunti

itulah yang memberi perlindungan atasmu sebagaimana ia memperlakukan

kasihnya terhadap anak kandungnya.

Maka itu Pinten, Tangsen, perlakukan ibumu, Kunti, dengan kasih yang

sepenuh hati. Perlakukan ibumu Kunti, seperti saudara saudaramu tua menyayangi

ibunya”.

“Semua titah Uwa Prabu sudah hamba lakukan, sebagaimana Ibu Kunti

dengan tak membeda bedakan kasihnya antara kami berdua dengan saudara

saudara kami yang lahir dari rahim ibu Kunti”. Jawab Nakula dan Sadewa

serentak dengan suara yang sedikit serak, ketika uwaknya menghentikan ceritanya

sesaat.

“Baik”, sekali ini Prabu Salya kembali menghela nafas panjang dengan

senyum puas, “Selain dari pada itu anak anakku, kamu berdua hendaklah tidak

pernah menyerah dalam menjalani Perang Baratayuda ini. Tetaplah ada pada

kedekatan jarakmu dengan kakakmu Puntadewa. Aku lihat kamu sekarang malah

datang kehadapanku di Mandaraka. Apa yang hendak kau sampaikan Pinten,

Tangsen”.

Kedua bersaudara kembar itu saling berpandangan. Keduanya merasa

pintu telah terbuka. Kemudian bersepakat dengan sinar matanya, siapakah yang

Page 277: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

277 PANDAWA KURAWA

hendak menyampaikan hal penting sebagai utusan dari Prabu Kresna. “Siapakah

diantara kami Para Pandawa yang tidak merasa khawatir, sebab kami telah

mendengar bahwa terang tanah hari ini, Uwa Prabu sudah diangkat wisuda

sebagai senapati perang Astina. Tak lain yang akan dihadapi adalah kami semua

saudara Pandawa”.

Berdebaran dada Nakula yang hendak menyatakan inti dari maksud

kedatangannya. Kembali dengan suara parau ia mengatakan, “Maka Uwa Prabu,

dari pada memperpanjang cerita, yang tidak urung nanti Para Pandawa akan

runtuh di medan Kuru, maka kami akan menyerahkan kematian kami sekarang

juga, Uwa. Dan akan jelaslah bahwa kematian kami, kemenakan Paduka Uwa

Prabu, adalah atas tangan Paduka Uwa Salya”.

Terkaget sejenak Prabu Salya mendengarkan uraian kedua kemenakannya,

dengan suara meninggi ia mengatakan, “ Heh . . . Apa yang kamu ucapkan?

Sedari tadi aku menceriterakan bagaimana keperwiraan orang tuamu, Pandu, juga

dengan segala kelemahannya. Bagaimana orang tuamu yang semua orang di jagat

ini telah tahu, ternyata ia juga adalah bagaikan seekor harimau yang sangat

ditakuti. Kesaktian dan kewibawaan orang tuamu ibarat bisa menunduk-

runtuhkan gunung Himawan. Tetapi apa yang terjadi terhadapmu, tidaklah

membekas apa yang ada pada Pandu yang melekat pada dirimu. Harimau

itu ternyata hanya beranak dua ekor tikus!”

Hening melimputi suasana sanggar pamujan, dengan pikiran berputar

putar pada rongga kepala ketiga manusia didalam sanggar itu. Namun sejenak

Page 278: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

278 PANDAWA KURAWA

kemudian dengan suara berat Salya bertanya kepada kedua kemenakannya,

“Baratayuda itu sebenarnya siapa yang berperkara?”

Hampir serempak kedua satria itu menjaawb, “Itu perkara hamba Para

Pandawa dan Kurawa”.

“Bila benar begitu, kenapa perkara itu justru merembet kepada para

pepundenmu, para orang tua orang tua yang seharusnya kamu beri kemukten.

Kamu berikan kebahagian. Malah orang tua orang tua itu telah kamu jadikan

korban. Dan bila kamu adalah manusia manusia yang berakal, tentunya kamu

tidak akan menghadapku dan menyatakan minta aku bunuh disini. Itu seperti

halnya kamu sudah melihat hal yang sudah pasti, sehingga kamu telah mengambil

kesimpulan.” Kata Prabu Salya dengan kalimat yang bertekanan.

“Kalau kamu berdua datang bukan kepada Prabu Salya, maka tentu yang

kau datangi sudah menumpahkan rasa iba. Tapi bagiku, kedatangan kamu berdua

hanya merupakan gambaran dari betapa kamu berdua adalah sebetul betulnya

manusia yang berjiwa kerdil”. Ketus Prabu Salya menyambung.

“Werkudara kakakmu, adalah seorang manusia yang teguh bukan hanya

tergambar dari kewadagannya, tetapi keteguhannya merasuk jauh hingga ke lubuk

hati dan jiwanya yang paling dalam. Aku telah menjadi saksi, betapa dengan

keteguhannya, dengan segala kekuatannya ia berrenang dalam banjir darah yang

ia ciptakan. Arjuna yang begitu titis dalam olah panah, sehingga sudah begitu

banyak para sraya Prabu Duyudana yang tumbang oleh ketepatan olah warastra.

Mereka adalah sebenar benarnya anak Pandu Dewanata. Dan tak kalah dari orang

tuanya, orang muda Pandawa seperti Abimanyu dan Gatutkaca, telah bersimbah

Page 279: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

279 PANDAWA KURAWA

darah, dengan gagah berani mereka telah merelakan jiwanya, gugur menjadi

kusuma bangsa”.

Lho sedangkan kamu itu apa? Datang berdua ke Mandaraka menyerahkan

jiwa! Kamu takut menjalani peperangan heh?

“Terserahlah yang Uwak katakan . . . .” Nakula menjawab dengan lesu.

“Pinten, Tangsen, bukan Prabu Salya, bila menjadi samar dengan segala

ulahmu. Dari aku mendengar berita kedatanganmu, melihat sosok kamu berdua,

melilhatmu mencium kaki dengan air mata yang berlinangan; aku sejatinya sudah

tahu. Itu bukan gambaran sosok anak Pandu !!

Keheningan kembali menyungkup. Hanya pandangan mata tajam Prabu

Salya menghujam kearah kedua kemenakannya berganti ganti. Namun sebentar

kemudian Prabu Salya mengatakan dengan nada tinggi hal yang membuat kedua

satria kembar itu terhenyak, “Kedatanganmu kemari adalah ada yang

menyuruhmu, iya apa iya . . ?! “

Menohok rasa kalimat tanya yang dilontarkan Prabu Salya, tak ada kata

lain, Sadewa kali ini yang menjawab setelah terbungkam beberapa saat, “Kami

mohon maaf yang sebesar-besarnya Uwa Prabu . . . . .”

“Tidak . . , aku tidak akan memberimu maaf. . !” Masih dengan suara

tinggi Prabu Salya menjawab ketus. Ia kecewa dengan kedua kemenakannya.

“Harus bagaimana hamba berdua Uwa Prabu?” Tanya Sadewa.

“Kamu berdua harus mengaku dulu, kamu sebetulnya disuruh seseorang

untuk berbuat seperti itu?” Prabu Salya masih bersikeras.

Page 280: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

280 PANDAWA KURAWA

“Ini hal yang sebenar-benarnya hamba lakukan atas kemauan kami sendiri

. . .” Nakula dan Sadewa masih mencoba ingkar.

“Tidak . . . . Tidak mungkin!! Kenyataan yang terjadi sekarang adalah

macan yang beranak tikus. Ooooh Pandu, apa yang terjadi dengan anak

kembarmu. Apakah bila kamu sudah berlinangan air mata dihadapanku, maka

Salya akan larut. Ketahuilah, dalam perang nanti, siapa yang menjadi musuh

Duryudana, ia akan menjadi musuh Salya pula!” Prabu Salya masih mencoba

mengancam

“Silakan Uwa memarahi kami berdua . . . Tetapi biar bagaimanapun,

silakan uwa Prabu untuk membunuh hamba berdua, sekarang juga di Mandaraka

ini”. Sadewa tetap pada pendiriannya. Bagaimanapun pembekalan dari Prabu

Kresna ketika ia hendak pergi ke Mandaraka telah ia coba lakukan dengan

sepenuh kekuatan untuk memenuhinya.

“Ketahuilah Pinten, Tangsen, aku masih berharap besar kepadamu berdua

sepeninggal kakakmu Burisrawa dan Rukmarata. Aku masih berharap akan ada

sejumput ketenteraman yang bisa kau berikan kepada uwakmu ini, sebab kamu

berdua adalah masih darah dagingku sendiri”.

“Dari tata lahirku, aku ada di pihak Kurawa. Tapi tertanam dalam dalam

dihati ini, Pandawa adalah kebenaran sejati dalam perang Barata ini”.

“Hmm . .”“Sekarang katakan kepadaku, begini, Pinten, Tangsen. Tirukan

kata kataku: Uwa Prabu, bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru

sebagai senapati Astina, kami para Pandawa minta kepada Uwa, hendaknya Uwa

Prabu menyerahkan nyawanya; Ayo katakan itu kepadaku . . . !“ Prabu Salya

Page 281: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

281 PANDAWA KURAWA

menggeram menahan pepatnya rasa hati. Akhirnya dengan nada datar ia

mengatakan kepada kedua kemenakannya. Kalimat yang ia reka dan akan ia

katakan inilah yang seharusnya Nakula dan Sadewa katakan terus terang kepada

dirinya.

Nakula dan Sadewa kembali saling pandang. Namun tak ada kata sepakat

apapun yang tersimpul dari pandangan sinar mata masing masing.

Keduanya mengalihkan pandangannya ketika Prabu Salya kembali

memecah kesunyian, dengan pertanyaan disertai suara yang dalam. “Kamu berdua

menginginkan unggul dalam perang Baratayuda, begitu bukan? Sekarang

jawablah!”

“Tidak salah apa yang uwa Prabu tanyakan”. Jawab Sadewa.

“Sebab itu, tirukan kata kata yang aku ucapkan tadi”. Kembali Salya

memerintahkan kepada kedua kemenakannya dengan setengah memaksa.

Kedua satria kembar itu kembali saling pandang. Kali ini Nakula bertanya

kepada adiknya, Sadewa. “Bagaimana adikku, apa yang harus aku lakukan?”

“Tersesrahlah kanda, saya akan duduk dibelakang kanda saja.” Jawab

Sadewa lesu

Kembali Nakula bersembah dengan mengatakan, “Dosa apakah yang akan

menimpa kami . . . .” Baru berapa patah kata Nakula berkata , namun dengan

cepat Prabu Salya memotong ucapan yang keluar dari bibir Nakula

“Bukan!! Bukan itu yang harus kamu katakan! Tetapi katakan dan

tirukan kalimat yang telah aku ucapkan tadi”.

Page 282: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

282 PANDAWA KURAWA

Sinar mata memaksa dari Prabu Salya telah menghujam ke mata Nakula

ketika ia memandang uwaknya. Seakan tersihir oleh sinar mata uwaknya, maka

ketika Prabu Salya menuntun kalimat demi kalimat itu, Nakula menuruti kata

yang terucap dari bibir Prabu Salya bagai kerbau yang tercocok hidungnya.

“Uwa Prabu . . ““Uwa Prabu”, tiru Nakula

“Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati

Astina . . . .,”

“Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati

Astina,”

“Kami para Pandawa minta kepada Uwa . . . .”

“Kami para Pandawa minta kepada Uwa “

“Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa Uwa di peperangan. . .”

Sesaat Nakula tak berkata sepatah katapun, hingga kalimat terakhir itu

diulang oleh Prabu Salya. Dengan kalimat yang tersendat, akhirnya Nakula

menggerakkan bibirnya, “Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa di

peprangan nanti”.

Bangkit Prabu Salya begitu kemenakannya mengucapkan kalimat terakhir

itu. Dirangkulnya Nakula, dielusnya kepala kemenakannya itu dengan penuh

kasih.

Setelah beberapa saat berlalu dengan keheningan, Prabu Salya melepas

pelukan, kemudian duduk kembali. Katanya, “Kembar, itulah kalimat yang aku

tunggu. Aku rela mengorbankan jiwa untuk kejayaan Para Pandawa. Dari semula

aku tidak berlaku masa bodoh terhadap peristiwa yang terjadi dalam perang ini.

Page 283: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

283 PANDAWA KURAWA

Aku tidak samar dengan siapa sejatinya yang benar dan siapa yang salah, siapa

yang jujur dan siapa yang curang. Dalam hal ini, Pandawa berhak mengadili siapa

yang salah dalam perang Barata ini”. Keduanya hanya menganggukkan kepala

dengan lemah.

“Begini Pinten, Tangsen, mulai saat ini, uwakmu akan turun tahta.

Dengarkan kata kataku, aku akan turun tahta keprabon Mandaraka”. Nakula dan

Sadewa menatap mata uwaknya dengan pandangan tidak mengerti. Sejurus

kemudian Prabu Salya meneruskan, “Setelah aku, uwakmu, turun tahta, seisi

Kerajaan Mandaraka dengan segenap jajahan dan bawahannya, aku akan serahkan

kepada kamu berdua. Mulai saat ini, kamu berdua aku wisuda sebagai Raja-raja

baru di Mandaraka. Kamu berdua akan aku beri nama Prabu Nakula dan Prabu

Sadewa”.

Sejenak Nakula dan Sadewa terdiam. Dengan sang uwak mengatakan hal

ini, maka jelaslah bahwa Prabu Salya tidak lagi bermain dalam tata lahir. Dengan

menyerahkan Negara Mandaraka, maka sudah begitu terang benderang,

kesanggupannya menyerahkan nyawa di Medan Kurusetra adalah tumbuh dan

terlahir dari dalam hati yang terdalam. Maka Nakula dan Sadewa yang diberi

kepercayaan hanya berkata menyanggupi “Hamba, uwa Prabu, semua yang uwa

Prabu katakan akan hamba junjung tinggi”.

Kemudian Prabu Salya melanjutkan, “Kewajiban kamu berdua adalah;

Nakula, kamu akan aku berikan tugas sebagai raja yang menangani urusan di

dalam negara. Sedangkan Sadewa, kamu kuberikan kewajiban sebagai raja yang

menangani urusan di luar negara. Yang saya maksudkan adalah, Sadewa,

Page 284: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

284 PANDAWA KURAWA

melakukan hubungan ketatanegaraan denga raja raja diluar Mandaraka.

Sedangkan Nakula, lakukan penggalangan dengan raja raja jajahan yang ada

dalam lingkup Negara Mandaraka”.

“ Menjadi raja itu sebenarnya tidaklah mudah tetapi juga tidak sulit. Tetapi

ibarat orang yang hendak bepergian, ia haruslah membawa bekal yang cukup. Bila

selayaknya orang yang bepergian dengan arti yang sebenarnya, cukuplah dengan

bekal uang dan barang barang tertentu. Tetapi bila berbicara mengenai bekal bagi

orang yang hendak menjadi pemimpin negara, haruslah kamu berdua memiliki

sedikitnya empat hal yang harus kamu berdua kuasai”.

“Uwa Prabu, kami akan mendengarkan segala petuah yang hendak paduka

berikan kepada kami berdua”, keduanya mengatakan kesanggupannya.

“Pertama, pujilah Asma yang Maha Agung atas kekuasaannya terhadap

alam semesta. Mengertilah, bila kamu menjumpai sesuatu yang ada, pastilah ada

yang menciptakan. Pencipta itu langgeng namun yang diciptakan akan rusak atau

berganti oleh berlalunya waktu. Ikuti perubahan yang terjadi dan janganlah tetap

tinggal dalam sesuatu yang tidak langgeng. Bergeraklah dalam perubahan bila

tidak ingin terlindas oleh perubahan itu. Maka benarlah sebagian orang

mengatakan perubahan itulah, langgeng yang sebenarnya.”.

“Kedua, lakukan tata cara bersembah, menurut tata cara yang telah

digariskan atas kepercayaan masing masing. Jangan pernah memaksa tata cara dan

kepercayaan lain yang sudah mereka anggap benar. Tetapi tegakkan terlebih dulu

tata cara bersembah yang telah menjadi kepercayaanmu itu. Dan hendaknya kamu

berdua jangan mengatur segala hal mengenai kepercayaan secara resmi dalam

Page 285: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

285 PANDAWA KURAWA

negara. Dengan keresmian pembentukan wadah kepercayan kepada yang Maha

Tunggal oleh negara, ini akan mengakibatkan kapercayan yang telah terbentuk

oleh negara akan menguasai dan bertindak sewenang wenang atas kepercayaan

kelompok kepercayaan kecil yang lain. Awasi saja agar kepercayaan itu tumbuh

dengan kewajaran dalam jalur yang lurus, tidak saling mengalahkan atas

kebenaran menurut kepercayaan masing masing. Ciptakan kebebasan terhadap

setiap pribadi dalam menentukan kepercayaan yang dipilih. Katakan kepada setiap

pribadi dan golongan; jangan kalimat dalam kitab suci mereka, dipahami secara

sempit, hingga mereka terkungkung oleh langit yang mereka ciptakan sendiri dari

ajaran yang dianut”.

“Ketiga, pahami kebenaran sejati. Jangan pernah menyalahkan kebenaran

yang dianut orang lain dan jangan menyalahkan juga kebenaran yang sudah

menjadi kepercayaanmu sendiri. Bila kamu senang menyalahkan kebenaran yang

dianut orang lain apalagi kelewat mengatakan kepada pihak lain, bahwa

kebenaran yang paling benar adalah kebenaran yang kau anut, maka mereka yang

kau katai akan kembali menyalahkan kebenaran yang kau anut. Tentu kamu sudah

tahu apa akibatnya”.

“Bila itu yang kau lakukan, maka kamu sudah bersifat Adigang, Adigung

dan Adiguna. Sifat yang dimiliki oleh watak tiga binatang, yaitu; Adigang, sifat

atau watak kijang, Adigung, watak seekor gajah dan Adiguna watak ular. Kijang

yang menyombongkan dirinya dengan mengandalkan kecepatan larinya. Gajah

yang mengandalkan dirimya yang paling besar dan kuat sedangkan ular yang

sombong mengandalkan bisa atau racunnya yang mematikan. Bila sifat itu yang

Page 286: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

286 PANDAWA KURAWA

kamu majukan dalam menata negara, itu seperti halnya kamu tidak akan dapat

menata negara dengan berlandaskan rasa keadilan. Kedilan yang sebenar benarnya

adil dan dapat dirasakan oleh orang banyak adalah, tetaplah dalam perilaku yang

berlapang dada terhadap perbedaan dan mengertilah akan rasa peri kemanusiaan”.

Nakula dan Sadewa yang mendengarkan petuah uwaknya tetap ditempat

bagai terpaku pada lantai sanggar. Keduanya hanya duduk tertunduk dan

mengangguk kecil bila sang uwak memandangnya meminta apakan ia memahami

apa yang dikatakannya.

“Dan keempat, tetaplah selalu mencari ilmu dan pengetahuan yang selalu

baru. Bisalah kamu berdua menyatukan antara ilmu dan pengetahuan. Orang

yang menguasai imu itu sebenarnya bagaikan manusia yang berjalan dalam pekat

malam namun diterangi dengan sinaran yang cukup terang, atau orang yang

berjalan dalam licin namun ia bertongkat. Dan ilmu itu sejatinya berkuasa

mengurai sesuatu barang atau keadaan yang kusut. Ilmu itu harus kamu jalankan

atas landasan budi pekerti yang luhur. Orang yang berilmu dan berpengetahuan

tinggi, akan menghancurkan sesamanya bila tidak berjalan diatas landasan budi

pekerti yang luhur. Sebaliknya perilaku luhur budi yang didorong oleh ilmu

pengetahuan akan menciptakan tata dunia yang tentram tertib dan adil ”.

Sampai disini Prabu Salya diam dan memandang kembali kedua

kemenakannya. Yang dipandang hanya mengangguk tanda mengerti.

Lanjutnya“Sedikitnya empat hal inilah yang kamu harus penuhi ketika

kamu menjadi raja.“Sekarang kembalilah. Kembalilah ke pesanggrahan

Page 287: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

287 PANDAWA KURAWA

Hupalawiya. Terang tanah yang sebentar lagi datang, aku sudah akan datang

kembali ke medan Kurukasetra sebagai seorang senapati perang”.

“Baiklah Uwa Prabu, kami berdua undur diri, hendaklah kejadian nanti di

Medan Kuru tidaklah menjadi timbulnya dosa baru bagi kami sendiri atau Para

Saudara kami Pandawa nanti”. Serempak keduanya memohon diri setelah

dianggap cukup semua peristiwa yang akan menentukan masa depan keduanya,

uwaknya Prabu Salya serta saudaranya Para Pandawa.

“Ya, ya anakku, semoga semua akan berjalan baik. Puja keselamatan aku

panjatkan kepada yang Maha Adil untuk kejayaan Para Pandawa”.

Undur diri Nakula dan Sahadewa dengan perasaan campur aduk.

Kebesaran hati sang uwak telah mengusik ketidak tegaan kemenakannya. Terpikir

bagaimana saudara saudaranya harus menyingkirkan rasa tega terhadap orang tua

yang sebenarnya tidak condong dalam mengayomi Para Kurawa, walau uwaknya

itu telah menyatakan kesanggupannya menyerahkan jiwa untuk kemenangan Para

Pandawa.

Barata

Page 288: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

288 PANDAWA KURAWA

MENGENANG MASA LALU

Prabu Salya yang ditingalkan oleh kedua kemenakannya segera beranjak

dari Sanggar Pemujaan. Ia teringat dengan kewajibannya bahwa hari ini harus

segera kembali ke medan Kurukasetra. Ketika ia menengok kedalam tilam sari,

dilihatnya istrinya Dewi Setyawati masih tertidur pulas memeluk guling.

Termangu Prabu Salya memandang tubuh istrinya yang tergolek bagai boneka

kencana. Ragu dalam hati Salya meninggalkan tempat istrinya berbaring diam

dengan tarikan nafas yang teratur. Tetapi ia segera menetapkan diri akan

kewajiban dan kesanggupannya terhadap menantunya, Prabu Duryudana. Tanpa

membuang waktu lagi, bergegas ia berganti busana pamujan ke busana

keprajuritan. Diperhatikan pusakanya seksama dengan perasaan yang tidak

menentu.

Berangkatlah Prabu Salya dengan tanpa pamit dengan istrinya. Namun

perasaan bersalah menghentak dalam dadanya. Ia telah meninggalkannya dengan

sembunyi-sembunyi. Sepucuk surat telah ia letakkan di sisi pembaringan.

Page 289: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

289 PANDAWA KURAWA

Kereta yang ditumpangi Prabu Salya yang melaju pesat di dini hari yang

masih berembun. Semilir angin pagi yang menusuk tulang namun memberi

kesegaran baru. Segala yang dilalui seakan akan bergerak cepat kearah belakang

bagai scene cerita yang berkeradapan bingkai demi bingkai. Gambaran masa lalu,

ketika ia pertama kali ketemu dengan istri tercintanya, Setyawati. Tidaklah

mengherankan bahwa masa lalu itu terlintas, kegalauan hati masih berkecamuk

ketika ia meninggalkan sang istri, telah membawanya mengenang masa lalu

ketika dirinya masih muda.

Bingkai gambar itu dimulai saat pertama kali tatapan mata Salya muda itu

saling bertumbuk dengan sinar mata Endang Pujawati, nama muda Setyawati.

Kejadian di Pertapaan Argabelah ketika dirinya tersuruk suruk

meninggalkan kerajaan Mandaraka, setelah diusir oleh ayahndanya, Prabu

Mandrakesywara.

Ayahnya yang kecewa dengan perintah kepada dirinya agar segera

menikah telah ditolaknya dengan halus. Permintaan itu disodorkan oleh ayahnya

waktu itu, agar ketika ayahndanya menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada

putranya, maka dirinya sudah bertaut dengan seorang wanita. Namun dirinya yang

waktu itu masih bernama Narasoma, mengajukan syarat, bahwa dirinya harus

menikah dengan wanita yang serupa persis dengan ibunya. Ayahnya yang salah

memahami permintaan dirinya akhirnya mengusir dirinya hingga terlunta lunta

sampai di Pertapaan Argabelah.

Page 290: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

290 PANDAWA KURAWA

Tumbukan sinar mata di pertapaan Argabelah itu telah memercikkan api

dan mengobarkan asmara keduanya. Maka ketika Endang Pujawati pun terbakar

api itu, diseretnya sang ayah, Begawan Bagaspati, untuk menemui dirinya.

Terperanjat dirinya waktu itu, ketika melihat ayah Pujawati yang ternyata berujud

seorang raksasa. Dalam hati bergolak sebuah pertanyaan, benarkah Pujawati,

wanita dengan sejuta pesona, berayah seorang pendeta raksasa? Tetapi pertanyaan

ketidak mungkinan itu ditepisnya sendiri. Seketika akalnya berputar, bagaimana

caranya memetik “bunga cempaka mulia indah nan mewangi, tetapi ditunggui

oleh seekor buaya putih”. Apa kata ayahnya bila ia berbesan dengan seorang

raksasa?!

“Pujawati, inikah satria yang kau katakan telah mempesonamu?” Begawan

Bagaspati menanyakan kepada anaknya. Namun pertanyaan itu hanya basa basi

saja. Dalam kenyataannya Begawan Bagaspati telah mengetahui apa yang sedang

terjadi pada keduanya. Maka tanpa menunggu jawaban ayahnya, Begawan

Bagaspati menanyakan kepada Narasoma.

“Raden siapakah andika sebenarnya?” Sapa Bagaspati.

“Heh Pendeta Raksasa, siapakah namamu?”, Sifat tinggi hati Salya muda

tak mau kalah.

“Ooh tidak mau mengalah rupanya satria ini. Baiklah, namaku adalah

Begawan Bagaspati. Sedangkan siapakah nama andika, Raden?” Tanya Bagaspati

kembali.

Page 291: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

291 PANDAWA KURAWA

“Akulah anak Raja Mandaraka, Prabu Mandrakesywara. Namaku

Narasoma”. Kata Narasoma waktu itu dengan muka tengadah. Dirinya tak

memungkiri bahwa dimasa muda, berwatak degsura. Namun dilain pihak

Begawan Bagaspati seakan terhenyak. Mandrakesywara adalah salah seorang

saudara seperguruannya, bertiga bersama seorang saudara seperguruan yang lain,

yang bernama Begawan Bagaskara yang juga berujud seorang raksasa. Namun ia

tak mengatakana sesuatau apapun. Sifat Narasoma dan alasan yang tidak bisa ia

ungkapkan, menuntunnya untuk tidak mengatakan sedikitpun mengenai jati

dirinya.

“Raden, perkenankan andika menyembuhkan sakit yang diderita oleh

anakku ini”. Bagaspati menjelaskan.

“Lho, kamu itu seorang pendita, yang pasti memiliki segala ilmu agal alus.

Tidakkah kamu dapat menyembukan penyakit anakmu sendiri?”

“Tapi penyakitnya adalah penyakit asmara, Raden. Hanya seorang yang

dapat menyembuhkan penyakit itu kecuali andika Raden. Bersediakah Raden

mengobati anakku?”. Bagaspati berterus terang dengan bahasa halus. Tanyanya

mengharap.

Sepercik sinar telah menerangi akal pikiran Narasoma ketika itu. Terbuka

kesempatan bagaimana cara melenyapkan duri yang menghalangi hubunganku

dengan wanita yang menjadi pujaan hati. “Baiklah, aku mempunyai syarat agar

putrimu dapat sembuh dari sakit itu. Syaratnya kamu harus menjawab teka teki

dariku. Sanggupkah?”

Page 292: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

292 PANDAWA KURAWA

Silakan Raden memberi teka teki kepadaku. Akan kujawab semampuku,

bila aku tahu jawabannya”. Begawan Bagaspati adalah seorang Pendeta yang

sudah tak lagi samar dengan polah tingkah manusia. Ia adalah manusia sakti yang

mengetahui setiap keadaan didepan dengan penglihatannya yang tajam

berdasarkan getar isyarat dan gelagat yang ia terima. Meskipun demikian ia masih

juga ingin melihat dengan seutuhnya getaran itu dengan lebih jelas. Maka ia

masih tetap ingin mendengarkan langsung kata teka teki dari mulut Narasoma.

“Ini teka-teki ku, dengarkan baik baik. Suatu hari ada seekor kumbang

jantan yang sedang terbang tak bertujuan. Terlihat olehnya ada setangkai bunga

cempaka yang sedang mekar dengan indahnya. Penuh dengan sari madu yang

membuat sang kumbang begitu terpesona dan terbitlah rasa lapar ingin menghisap

sari madu itu. Namun ternyata didekat bunga mekar itu, terdapat seekor buaya

putih yang sedang menunggui. Sedangkan kumbang hanya dapat menghisap sari

madu bunga cempaka itu, bila buaya putih penunggu telah terbunuh”.

Sampai disini Begawan Bagaspati menarik nafas panjang. Ia sudah

mengetahui maksud dari teka teki yang diberikan oleh Narasoma. Maka katanya

kepada Pujawati, “Raden, tidak usah kau teruskan teka teki itu hingga selesai.

Aku sudah dapat menebak teka teki itu. Pujawati, pergilah ke sanggar pamujan,

siapkan segenap perangkat upacara kematian. Bentangkan selembar mori putih

dan kekutug kemenyan beserta mertega sucinya. Segeralah anakku Pujawati”.

Seketika tercekat kerongkongan Pujawati. Kegelisahan telah merayapi

jantungnya, namun ia masih saja meminta keterangan kepada ayahnya.

Page 293: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

293 PANDAWA KURAWA

“Untuk apa dan siapa yang hendak diupacarai, Bapa?” Gemetar suara

Pujawati.

“Sudahlah nanti kamu juga akan tahu sendiri. Bukankah engkau

menghendaki Narasoma menjadi kekasih hatimu? Inilah syarat yang harus kamu

sediakan dalam menjawab teka teki dari calon suamimu, Pangeran Pati

Mandaraka, Raden Narasoma. Segeralah kamu lakukan apa permitaanku

Pujawati”.

Dipandangnya Pujawati dengan sinar mata yang seakan menyihir Pujawati

agar segera meninggalkan keduanya.

Sebagai anak yang selalu patuh, Pujawati mohon diri disertai pandangan

Narasoma yang terpesona dengan tingkah dan kecantikannya. Dilain pihak

Pujawati lengser dengan dihinggapi perasaan yang amat gundah.

Sepeninggal Pujawati, Begawan Bagaspati melangkah lebih dekat ke

depan Narasoma. Kemudian ia mengatakan “Raden Narasoma, calon menantuku

yang bagus, aku tidak samar dengan apa yang kau maui dengan teka teki yang kau

ucapkan. Baiklah, aku akan meminta syarat bila menghendaki Pujawati sebagai

istrimu”.

“Katakan Begawan, tentu aku akan kabulkan semua persyaratan yang kau

ajukan”. Narasoma penuh percaya diri menyanggupi.

“Bila nanti kamu sudah beristrikan Pujawati, cintai dia dengan sepenuh

kasih sayang. Janganlah kau perlakukan anakku dengan sia sia, walaupun ia hanya

Page 294: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

294 PANDAWA KURAWA

seorang anak perempuan gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata

pergaulan kerajaan. Selanjutnya, bila nanti kamu sudah kembali ke Mandaraka,

tidak urung nanti kamu akan menggantikan kedudukan ayahmu, Prabu

Mandrakesywara. Walaupun kamu berwenang untuk mengambil selir

seberapapun banyaknya, tetapi hendaknya engkau tetap setia dengan seorang

Pujawati saja. Peganglah teguh janjimu bila tidak ingin menemui petaka”.

“Persyaratan yang mudah. Baiklah begawan, sekarang katakan jawaban

atas pertanyaan teka-teki itu”. Jawab Narasoma, masih terbawa oleh pesona

terhadap kecantikan seorang wanita. Maka segalanya mudah saja baginya

menyangupi. Tetapi sesaat kemudian kembali Narasoma mengungkit tentang

pertanyaan teka teki yang belum terjawab. Pertanyaan yang sebenarnya mudah

jawabannya bagi seorang Bagaspati.

“Jawabannya gampang gampang susah. Gampang untuk mengucapkan

dengan lidah, tetapi tidak gampang menyelesaikan dengan tindakan. Begini bagus

Narasoma, kumbang jantan yang kau maksud disini adalah dirimu itu. Sedangkan

rasa lapar pada si kumbang dan ingin menghisap madu itu adalah, rasa asmara

yang tak tertahankan. Kembang cempaka mulya disini diartikan sebagai anakku

Pujawati. Tidaklah samar lagi, siapa yang kau sebut sebagai buaya putih

penunggu kembang cempaka, itu adalah aku sendiri”. Sejenak Begawan Bagaspati

diam. Diamati raut wajah Narasoma yang tegang dan memendam gejolak pada

matanya. Lanjut Begawan Bagaspati.

Page 295: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

295 PANDAWA KURAWA

“Penjelasannya adalah, kamu kepengin menyunting anakku Pujawati,

tetapi dirimu malu mempunyai mertua semacam aku ini. Maka kamu

menginginkan, agar aku disingkirkan dari madyapada ini, agar kamu tidak

mendapat malu didepan orang tuamu. Itukah yang kau maksud dengan teka teki

itu, raden?”

Getaran hebat menjalari seluruh jantung Narasoma. Walaupun

perumpamaan itu sudah yakin akan dijawab dengan mudah oleh Begawan

Bagaspati, namun tak urung ia terjerumus dalam jurang rasa salah yang teramat

dalam. Setelah diredam rasa itu dengan segala kekuatannya ia menjawab dengan

gemetar; “Aduh Panembahan, benar tanpa sedikitpun yang tertinggal. Namun aku

memintakan seribu maaf atas keinginanku yang sedemikian itu. Aku tidak ingkar,

itulah sejatinya maksud dari teka teki itu”.

Sedikitpun tak ada raut marah atau kecewa Begawan Bagaspati terbayang

diwajahnya Bahkan ia mengatakan kepada Narasoma, “Aku tidak kecewa dengan

apa yang menjadi kehendakmu. Tetapi sungguhkah persyaratanku atas

keinginanmu menyunting anakku dapat kau pegang teguh?”

“Ya, aku berjanji untuk memegang teguh persyaratan yang kau minta”.

Serta merta Narasoma menjawab terdorong keterkejutan karena sikap Bagaspati

yang dialaminya.

“Baiklah lega rasanya hati ini. Menantuku yang tampan, perkenankan aku

menyebutmu menantuku sekarang. Tak ada waktu lagi kedepan aku menyebutkan

kau sebagai menantuku, karena aku telah mengiklaskan jiwaku sekarang.

Page 296: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

296 PANDAWA KURAWA

Lekaslah agar tidak membuang waktu, segeralah cabut pusakamu, tancapkan ke

dada ini”.

“Maafkan aku rama Begawan, semoga semua yang aku lakukan kalis dari

semua dosa dosa”. Narasoma mencoba menjawab sambil tetap meredam getar di

dada.

Maka keris pusaka Narasoma telah dihunus. Dipandangnya sejenak keris

pusaka yang selama ini tak pernah mengecewakan dirinya. Tetapi ketika keris itu

menyentuh dada Begawan Bagaspati, keris pusaka itu bagai menumbuk lembaran

baja yang begitu tebal. Berdentang memercikkan api, ujung keris yang menerpa

dada Begawan Bagaspati, tetapi segores lukapun tak nampak pada dada Sang

Begawan. Tetapi tidak kalah kaget begawan Bagaspati dengan kegagalan yang

dialami oleh Narasoma.

Dengan murka Narasoma berkata. “Heh Begawan Bagaspati, ternyata

ucapanmu tidak lahir terus ke batinmu. Janjimu hanya sebatas sampai ke bibir

saja, tidak terus ke hatimu. Kenapa kamu tidak juga merelakan jiwamu? Malah

kamu mempertontonan kesaktianmu!”

“O o o . . . , Sabar Raden, ada suatu yang terlupa. Didalam tubuhku masih

terpendam ajian yang dinamai Aji Candabhirawa. Ujudnya hanyalah manusia

kerdil berwajah raksasa, tetapi bila ia dilukai oleh senjata, maka ia akan

bertambah jumlahnya menjadi seratus. Bila mereka dilukai kembali, mereka akan

berlipat jumlahnya menjadi seribu dan seterusnya. Ajian ini akan sekalian aku

Page 297: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

297 PANDAWA KURAWA

serahkan kepadamu dengan syarat kamu harus memelihara Candabirawa dengan

sebaik-baiknya”.

“Ya,Baklah, rama Begawan, aku akan menerima segala yang kau

kehendaki. Katakan syarat itu.

“Sebentar aku hendak semadi, untuk menyuruh Candabhirawa keluar dari

dalam hatiku”.

Beberapa saat Begawan Bagaspati mengatupkan tangannya, terpejam mata

dalam khusuknya tepekur, menguncupkan empat panca indera, hanya indera

perasa yang ia kerahkan dengan tajam. Sesaat terloncat ujud manusia kerdil

dengan wajah yang menakutkan! Itulah Candabhirawa!

Mencium kaki seketika Candabhirawa dengan takzim. Kemudian ia

menanyakan “ Oooh Begawan . . , ada apakah gerangan, hamba disuruh keluar

dari gua garba paduka Sang Resi?”

“Sudah sampai waktuku untuk aku pergi ke keabadian sejati. Untuk itu

sudah aku sediakan sosok pengganti untuk kamu mengabdi. Lihat, siapakah yang

berdiri didepanmu. Itulah sosok yang akan kau huni sebagai penerus dari kejayaan

Candabhirawa”.

Namun terbayang kekecewaan Candabhirawa, ketika ia melihat sosok

yang dilihatnya. Sosok yang dilihatnya menyiratkan manusia yang kurang

melakoni tindak prihatin. Sosok yang lebih mementingkan kesenangan pribadi

Page 298: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

298 PANDAWA KURAWA

belaka dan terkesan sombong. Maka dengan memelas ia mengatakan kepada

Bagaspati.

“Aduh Bapa Resi, bisakah hamba ikut Bapa untuk selama lamanya?

Hamba melihat hal yang berbeda dari pada yang biasanya hamba alami ketika

bersama dengan kebiasaan Bapa Begawan. Yang aku lihat pada sosok itu tidaklah

akan membuat aku betah tinggal pada raganya” meratap Candabirawa dikaki Sang

Begawan. Begitu kecewa ia membayangkan perpisahan dengan Bagaspati.

“Raden! Raden sudah mendengar sendiri keluhan dari Candabirawa.

Maka bila raden berkenan untuk diikuti oleh Candabhirawa bersama dengan

kesaktiannya yang tiada tara, maka Raden harus berjanji sekali lagi untuk

menyanggupi permintaan Aji Candabhirawa”.

“Akan aku penuhi perminatanmu Begawan, dengan segala kemampuan

yang ada padaku. Apakah permintaannya?”

“Candabhirawa akan lapar, bila raden kenyang. Candabhirawa akan sedih

bila Raden senang senang berlebihan dan segala sesuatu akan terbalik bila Raden

merasakan kenikmatan yang berlebihan. Sanggupkah Raden hidup dalam suasana

yang serba sederhana?”

“Baik, aku bersedia! Hendaknya bumi dan langit menjadi saksi.” Kembali

Narasoma mengucap janji.

“Sekarang ulangi lagi apa yang sudah Raden lakukan tadi. Segeralah,

mumpung Pujawati belum kembali”. Sinar mata Begawan Bagaspati menerobos

Page 299: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

299 PANDAWA KURAWA

dinding hati Narasoma yang sedang terguncang menerima peristiwa yang datang

secara bertubi tubi. Maka tanpa berpikir panjang, kembali keris pusakanya

dicocokkan ke dada Begawan Bagaspati. Tak ayal lagi percobaan kedua ini telah

berhasil. Tembus dada raksasa Bagaspati. Darah menyembur dari luka Begawan

Bagaspati, bergetar seluruh tubuh sang Begawan. Tetapi ia tewas sesaat kemudian

dengan bibir tersenyum puas.

Rasa bersalah yang berusaha ia tepiskan tak segera pergi. Gemetar

tangannya yang masih menggenggam kerisnya, hingga ia tidak dapat melakukan

apapun. Ia masih berdiri termangu mangu, hingga ia dikejutkan dengan suara

yang menyapanya.

“Narasoma menantuku, aku titipkan anakku Pujawati sesuai dengan

janjimu. Hingga nanti bila perang besar tiba dan kau jumpai senapati yang

berdarah putih, pada saat itulah aku hendak menjemputmu bersama sama dengan

anakku Pujawati. Aku akan menunggu di alam madya, hingga waktu itu tiba”.

Terkesiap Narasoma ketika terdengar suara itu.

Barata

Page 300: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

300 PANDAWA KURAWA

SALYA GUGUR

Tetapi seketika angan Salya buyar oleh suara gemuruh prajurit yang

menunggu kedatangannya hingga siang hari di medan Kuru. Ya, kedatangan Salya

di Tegal Kuru itu telah terlambat. Matahari di hari itu telah menuntaskan basah

embun sedari lama.

Pada saat yang sama, kesiangan Sang Dewi Satyawati terbangun dari

mimpi indah, ketika sinar matahari menerobos celah jendela kamarnya.

Geragapan Sang Dewi membenahi pakaiannya yang kusut, menyisir rambunya

dengan jari. Tatapan matanya seketika tertuju pada sepucuk surat yang tergeletak

di pembaringan. Dibacanya dengan seksama surat itu yang menyatakan ia telah

pergi kembali ke Kurusetra dan telah diserahkan negara Mandaraka kepada

kemenakannya Nakula dan Sadewa.

Setengah teriak ia memanggil Endang Sugandini, saudara dekat putri dari

Begawan Bagaskara. Endang Sugandini telah menjadi kawan setia Setyawati

sejak ia dikalahkan oleh Prabu Salya dan diruwat dari ujudnya semula, raseksi

bernama Tapayati, emban Prabu Kurandageni dari negara Girikedasar.

Yang dipanggil buru-buru datang. Yang dijumpainya, sedang menangis

tersedu, “Sugandini, tenyata malam tadi adalah malam yang penuh kenangan. Aku

sudah merasa bahwa malam tadi adalah malam terakhir bagi aku bersama kanda

Prabu Salya. Sugandini aku akan pergi menyusul Kanda Prabu ke peperangan”.

“Kusumaratu, hamba tidak mau paduka pergi seorang diri. Hamba akan

ikut bersama paduka kemedan Kuru”.

Page 301: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

301 PANDAWA KURAWA

Sementara itu di Pandawa Mandala Yudha, Nakula dan Sadewa telah

kembali dari Mandaraka. Telah diceritakan dengan lengkap apa yang terjadi

sepanjang lepas tengah malam hingga ia tiba kembali di Pesanggrahan

Hupalawiya. Setelah semuanya menjadi jelas bagi Prabu Kresna, ia membuka

pembicaraan penting dengan Prabu Puntadewa.

“Sudah tiba waktu yang dijanjikan paman Prabu Salya, dinda

Puntadewa!”.

“Apakah yang kanda Kresna maksudkan?” Tanya Prabu Puntadewa.

“Dinda, sudah saatnya dinda maju menjadi Senapati, menandingi senapati

Kurawa, Paman Prabu Salya”.

“Kanda hamba tidak ingin lagi melihat mengalirnya darah yang tertumpah

dari dada orang-orang tua kami yang hamba hormati”. Kembali Kresna melihat

sifat asli dari Prabu Puntadewa.

“Tetapi ingatlah, berkali kali sudah kanda katakan, perang ini bukan lagi

tempat untuk berbakti antara orang muda terhadap orang yang lebih tua, tetapi

perang yang terjadi adalah perang yang berdasar atas keutamaan dan

berpayungkan atas keadilan”. Jurus pertama Kresna ajukan dalam membujuk

Prabu Puntadewa untuk mau maju sebagai senapati.

“Bila begitu kanda, kanda Prabu telah menentukan bahwa Uwa Prabu

Salya adalah orang yang tidak berlaku adil. Dimanakah letak ketidak adilan yang

terdapat pada diri Uwa Salya”. Jawab Prabu Puntadewa tenang.

Page 302: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

302 PANDAWA KURAWA

“Tidakkah dinda melihat, bahwa Prabu Duryudana adalah sosok yang

melakukan tindak angkara. Tetapi dinda lihat sendiri, paman Prabu Salya tetap

membela tingkah pakarti yang dilakukan oleh kanda Duryudana”. Terus

mendesak Kresna untuk meyakinkan Prabu Puntadewa.

“Tetapi hamba tidak bisa mengatakan bahwa Prabu Salya tidak bertindak

adil. Mestinya kanda Prabu Kresna tahu, bahwa kanda Prabu Duryudana adalah

salah seorang dari menantu Prabu Salya. Bila ada seorang mertua yang membela

menantu, apakah ini bisa desebut salah” Prabu Puntadewa menjawab.

“Benar disatu sisi tapi tidak benar disisi yang lain. Memang benar bahwa

Prabu Duryudana adalah menantu pada garis kekeluargaan. Tetapi dalam sisi

kebenaran semesta, tindakan Prabu Salya adalah salah. Prabu Duryudana yang

tidak bertindak dalam garis kebenaran, tidak selayaknya dibela oleh Paman Prabu

Salya. Tidakkah dinda ketahui siapa yang seharusnya memiliki bumi Astina.

Mestinya bukankah dinda Puntadewa?!”. Kresna masih ngotot merayu Prabu

Punta.

“Tetapi kanda, saya sudah merelakan hal itu. Biarkan kanda Prabu

Duryudana tetap menikmati manisnya madu yang terkulum. Perang Baratayuda

dimualai bukan atas kemauan hamba, diakhiri sekarangpun juga bukan kemauan

hamba”.

Krena menghela nafas panjang. Sulit sekali merasakan bagaimana ia harus

menundukkan hati manusia yang begitu kukuh dalam memegang kesucian.

Namun sejenak kemudian, rayuannya kembali mengalun, “Dinda, ini adalah

Page 303: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

303 PANDAWA KURAWA

perang Baratayuda. Yang sudah banyak memakan korban bukan saja dari prajurit

kecil, tapi sudah meluas mengorbankan para orang orang tua kita dan anak anak

kita yang harus kita lindungi dan orang yang seharusnya kita beri kemukten. Bila

dahulu sewaktu peprangan dimulai dinda diam saja, sekarang begitu sudah banyak

makan korban dengan mudahnya dinda hendak menghentikan. Mengapa pada

awal pecah perang dinda diam saja”.

Masih dengan tenang Puntadewa menjawab, “Bila dulu hamba diam saja,

itu tidak berarti hamba setuju. Tapi apalah saya ini, bila saudara kami yang empat

sudah mempunyai kemauan yang tak dapat dihalangi, maka peristiwa yang

seharusnya terjadi itu terjadilah. Biarlah semua orang didunia mengatakan, bahwa

Puntadewa adalah seorang raja yang tidak teguh dalam menjalankan negara, dan

tidak becus dalam memimpin adik adiknya. Hamba adalah orang yang siap untuk

diberi cap sebagai raja yang pantas untuk dicela, tidak bisa dijadikan tauladan.

Hamba menjadi raja bukan atas kemauan hamba, dan semua pengaturan tata

negara sudah hamba berikan kepada saudara kami yang empat”.

Diam, suasana balairung kembali sunyi. Kresna setengah putus asa.

Akhirnya ia berkata kepada Werkudara, “Werkudara, bisakah kamu memberi

usulan bagaimana kakakmu itu bisa maju menandingi senapati Astina paman

Prabu Salya?”.

“Hlaaa, jangankan aku. Yang sebagai adiknya. Kamu sendiri yang selalu

menjadi tempat untuk mengurai kekusutanpun, tak lagi diturut omongannya!” .

Jawaban Werkudara tidak membuat Kresna puas.

Page 304: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

304 PANDAWA KURAWA

“Arjuna, kamu tentunya bisa memberikan sumbang saran?”. Pertanyaan

Kresna beralih ke Arjuna.

“Aduh kanda, hamba yang sebaga saudara muda, apalah daya yang hamba

miliki kanda Kresna”.

“Dimas Nakula Sadewa, bagaimana?” Kresna menanya kepada kembar

dengan jawaban yang sudah ia perkirakan.

Yang disebut namanya hanya saling pandang.

“Jadi bagaimana Werkudara?” Kembali pertanyaan ditujukan kepada

Werkudara.

“Baiklah, kanda Puntadewa. Bila sudah tidak ada rasa memiliki adik

adikmu ini. Sekarang aku dan saudaramu yang empat akan melakukan bakar diri”.

“Silakan dinda. Tetapi setahuku, orang yang hendak bunuh diri dengan

mengatakan kepada orang lain, itu biasanya perbuatan yang tidak sungguh

sungguh”.

Jawab Puntadewa. Kresna yang mendengar jawaban Puntadewa tersenyum

kepada Werkudara penuh arti.

“Kresna, aku sudah tidak sanggup!” Keluh Bima seenaknya.

Kesunyian kembali menggenang, keputus asaan Kresna membuat ia tak

kuasa untuk memutar otak yang seakan kusut. Tapi tiba tiba Puntadewa berkata,

“Kanda, bila hamba diminta menjadi senapati menandingi senapati dari Astina

Page 305: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

305 PANDAWA KURAWA

hamba sanggup, tetapi hamba harus tetap kalis dari dosa. Hamba sanggup

melakukan itu bila jaminan itu ada, kanda”.

Terang pikiran Prabu Kresna seketika mendengar kalimat kalimat yang tak

terduga meluncur dari bibir Prabu Punta. Maka dengan sepenuh hati ia

meyakinkan keinginan yang tertuang dari hati Prabu Puntadewa. “Baiklah dinda,

saya pastikan dinda akan tetap suci dan tidak terlumuri dosa, bila yang

memerintah paduka adalah Sang Hyang Wisnu. Lihatlah dinda, kanda akan

memperlihatkan diri dalam bentuk Wisnu, dan dengarkan apa yang pukulun Sang

Hyang Wisnu hendak katakan”.

Perlahan Prabu Kresna memuja semedi, dikerahkan kekuatan untuk

membuka pintu batinnya dan mampu memperlihatkan kesejatian dirinya dalam

rupa Batara Wisnu. Telah tercapai maksudnya, berkata ia kepada Prabu

Puntadewa, “Heh titah ulun Puntadewa, hendaknya kamu segera maju ke medan

perang. Tandingi kekuatan Prabu Salya dengan sarana Pusaka Jamus

Kalimasadda. Lepaskan pusakamu untuk menyirnakan jasad Prabu Salya”.

Tersenyum Kresna ketika ia telah berhasil membujuk Prabu Puntadewa.

Canggung gerak Prabu Puntadewa ketika menaiki kereta dengan sepasang kuda

perang putih dengan didampingi oleh Nakula dan Sadewa. Sedangkan Arjuna dan

Werkudara pun tidak mengambil jarak yang cukup jauh dalam menjaga

keselamatan kakak sulungnya.

Sementara di padang Kurusetra, amuk Prabu Salya seakan tak terbendung.

Berbagai macam senjata telah mengenai sosok Prabu Salya, namun tak satu

Page 306: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

306 PANDAWA KURAWA

senjata yang mampu melukai kulit Sang Senapati.Tak diketahui orang yang

sedang berada di peperangan, Sukma Sang Bagaspati melayang menunggu saat

yang ditunggu tunggu. “ Salya menantuku, sekarang sudah saatnya bagiku untuk

menjemput kamu. Narasaoma, aku tidak membenci kamu walaupun kamu telah

membunuhku. Tapi kehendakku, belum akan kembali ke tepet suci bila tidak

bersama dengan anak dan menantuku. Nah sekarang lah waktunya. Aku akan

menyatu dalam tubuh Puntadewa. Salya tunggu kedatanganku”. Melayang sukma

Bagaspati menyatu dalam diri Prabu Punta.

Ketika melihat kedatangan Puntadewa yang menaiki kereta itu, hatinya

tercekat. Ia sudah merasa terdapat aura aneh yang terpancar pada diri lawannya.

Semakin dekat Prabu Puntadewa, semakin berdebar jantung Prabu Salya.

Firasatnya mengatakan inilah saat yang ia janjikan. Namun kemudian Prabu Salya

teringat kembali akan keberadaan ajiannya yang diturunkan oleh mertuanya,

Begawan Bagaspati. Aji Candabirawa.

Sejurus kemudian dipusatkannya segenap rasa dalam pamuja, meloncat

dari goa garba ujud mahluk bajang berwajah raksasa. Itulah Aji Candhabhirawa!

“Raden Narasoma, hendak menyuruh apa kepadaku, Raden?!” Tanya

Candabirawa.

“Sekali lagi aku meminta kerjamu. Lihat didepanku, dialah musuhku,

Prabu Puntadewa. Bunuh dia!” Tanpa membantah, Candabirawa segera berlalu

dari hadapan Prabu Salya. Ia kemudian mengamuk sejadi jadinya kearah para

prajurit pengawal Prabu Puntadewa. Sementara Prabu Puntadewa sendiri

Page 307: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

307 PANDAWA KURAWA

telah rapat dijaga oleh para prajurit dan Arjuna serta Werkudara. Terkena senjata

para prajurit yang terbang bagaikan gerimis yang tercurah dari langit,

Candabirawa membelah diri. Menjadi sepuluh, seratus, seribu dan tanpa hitungan

lagi yang dapat terlihat. Geger para prajurit Hupalawiya lari salang tunjang

melihat kejadian disekelilingnya yang begitu nggegirisi. Kresna segera bertindak

menghentikan rangsekan musuh dalam ujud mahluk kerdil yang begitu

menyeramkan itu. Perintah Kresna untuk bertindak tanpa melawan amukan

Candabirawa disebarkan ke seluruh prajurit yang segera menyingkir.

Ketika serangan berhenti, maka para mahluk kerdil itupun ikut terhenti,

saling berpandang dan termangu mangu sejenak. Sebagian lagi larut menjadi

semakin sedikit. Tetapi tak lama kemudian mereka bergerak kembali kearah

dimana Prabu Puntadewa berada. Ketika sudah dekat jarak antara para manusia

kerdil itu, tiba-tiba gerombolan itu berhenti mendadak. Mereka kemudian saling

berbisik. “Heh teman temanku semua, kita sudah memperbanyak diri. Tapi begitu

aku melihat ke arah Prabu Puntadewa, kelihatan olehku disitu bersemayam

sesembahanku yang lama, Begawan Bagaspati. Teman, kita telah lama merasakan

lapar dan capek ikut Prabu Salya yang kurang memperhatikan kita, terbawa oleh

kesenangan yang ia jalankan sehari hari. Prabu Salya kebanyakan bersuka ria dari

pada melakukan olah penyucian diri. Akan lebih baik bila kita ikut kepada

sesembahan kita yang lama! Mari kawan semua, kita kembali ke haribaan

Begawan Bagaspati”.

Bagai arus bah mengalir, para mahluk kerdil berwajah raksasa segera larut

dalam raga Prabu Puntadewa. Peristiwa ajaib yang dilihat Prabu Salya

Page 308: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

308 PANDAWA KURAWA

membuatnya jantung Prabu Salya semakin berdebar. Guncang moral Prabu Salya,

hingga terasa menyentuh dasar jantungnya yang terdalam. Semakin yakin ia

bahwa saat yang djanjikannya telah tiba.

Prabu Puntadewa telah bersiap melepaskan panah dengan pusaka Jamus

Kalimasadda yang disangkutkan pada bedhor anak panah. Busur telah terpegang

pada tangan kirinya dan terutama ketetapan hati telah diambil. Tak akan menjadi

dosa bila Batara Wisnu yang memerintahkan membunuh musuh.

Walau Prabu Puntadewa tidak sesering para saudaranya berolah warastra,

tetapi sejatinya ia adalah salah satu murid Sokalima yang tidak jauh kemampuan

olah senjata panah dibanding dengan Arjuna. Sebagaimana Arjuna yang

mempunyai hati lebih tegar, maka Puntadewa sejatinya adalah pemanah jitu, baik

menuju sasaran diam setipis rambut maupun sasaran bergerak secepat burung

sikatan. Hatinya yang suci dan cenderung peragu-lah yang membuat ia tidak

seterkenal adiknya, Arjuna, dalam olah warastra.

Maka ketika anak panah meluncur dari busurnya, tidaklah ia

melakukannya untuk kedua kali. Sekali ia melepaskan anak panah kearah Prabu

Salya, maka menancaplah anak panah itu kedada bidang Prabu Salya. Kulit Salya

yang kebal terhadap berbagai macam senjata telah terpecah, rebah Prabu Salya!

Sakit di dada Prabu Salya tak terasakan, hanya kepuasan hati yang terasa

ketika ia telah menyender di bangkai gajah. Ia telah memenuhi janji terhadap

kemenakannya, Nakula dan Sadewa. Janji itu telah terlaksana dengan sempurna.

Page 309: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

309 PANDAWA KURAWA

Senyum lemah di bibir Prabu Salya ketika menarik nafas dan

menghembuskannya untuk terakhir kalinya.

Seketika perang berhenti. Prabu Punta yang tidak lagi ingin melihat

tumpahnya darah segera memberi aba aba kembali ke pakuwon, sedangkan

prajurit Kurawa dengan sendirinya telah mundur mencari pembesar yang

sekiranya masih bisa menaungi.

Hanya Patih Sengkuni yang merasa telah putus asa telah berbuat nekad.

Kenyataan yang begitu pahit seakan tidak dapat diterimanya dengan akal

sehatnya. Kurawa seratus dengan bantuan begitu banyak raja seberang, telah

tumpas oleh krida Para Pandawa. Dengan sesumbarnya yang mengesankan

sebagai manusia yang telah kehilangan asa, ia gentayangan mengincar kematian

Para Pandawa.

Patih Sengkuni adalah seseorang yang sejak kelahirannya telah ditakdirkan

membawa watak culas. Kelahirannya ditandai dengan terusirnya seorang dewa

dari pusat Kahyangan, Paparjawarna. Dewa yang memang memangku sifat culas

yaitu Batara Dwapara. Terusirnya Batara Dwapara itu bersamaan dengan lahirnya

Harya Suman, nama kecil dari Sengkuni atau Sakuni.

Putra Prabu Gandara itu telah disusupi oleh Batara Dwapara yang

diperbolehkan oleh Sang Hyang Wenang untuk menitis kepada seorang anak

manusia yang tertakdir sebagai tukang memanasi suasana. Maka sepanjang

hidupnya, ia telah berlaku mengipas segala bentuk bara angkara sekecil apapun

menjadi berkobar liar menyambar-nyambar.

Page 310: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

310 PANDAWA KURAWA

Dengan tidak lebih duapuluh Kurawa yang tersisa, Harya Sengkuni

mengamuk menarik perhatian Prabu Kresna dan Werkudara yang masih saja siaga

menghadapi suasana yang mungkin saja terjadi.

“Werkudara! Lihat Sangkuni mengamuk! Jangan dikira ia yang bertubuh

bungkuk dan lemah, dapat kamu kalahkan dengan segenap kekuatan tenagamu.

Tetapi sebenarnyalah ia adalah seorang yang kebal senjata. Tetapi otakmu harus

kau gunakan juga. Mungkin kamu dulu sudah ketahui, bahwa ia telah

berlumurkan minyak Tala ketika cupu berisi minyak Tala peninggalan orang

tuamu Prabu Pandu menjadi rebutan dan jatuh ke sumur dalam. Ketika itu Pendita

Kumbayana telah berhasil mengangkat cupu itu, tetapi karena masih jadi rebutan

dan minyak Tala itupun tumpah. Sangkuni telah melumuri dirinya dengan minyak

Tala dengan bergulingan diatas tumpahan minyak. Tetapi ada yang terlewat, yaitu

bagian duburnya. Bagian itulah yang kamu dapat jadikan sasaran awal untuk

menyobek kulit dagingnya!”

Melompat Werkudara tidak sabar untuk menyelesaikan tugas di ujung sore

itu. Didekati Sangkuni yang terbungkuk bungkuk sesumbar maciya ciya tanpa

memperhatikan sekelilingnya. Ilmu kebalnya telah membuat ia bagaikan tak ada

yang bisa mengalahkannya. Lengah Arya Suman!

Dan sejumlah Kurawa yang mencoba menghadang menjadi sasaran

amukan Werkudara. Mereka bagaikan laron yang masuk kedalam kobaran api.

Tumpas Kurawa yang menghadang.

Page 311: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

311 PANDAWA KURAWA

“Hayoh keparat Pandawa! Maju kemari bila masih bernyali melawan

Harya Suman . . . . !” Belum habis kata kata Sangkuni, Werkudara telah

menyambar tubuh lawannya yang memang tidak lagi gesit setelah raganya

dirusak oleh Patih Gandamana. Patih Astina ketika Prabu Pandu Dewanata

bertahta.

Pundak Harya Sangkuni dipegang erat, kemudian diangkat kakinya

sehingga ia terbalik. Sejurus kemudian kuku Pancanaka Werkudara telah

mendarat di sela sela bokong Sengkuni. Sementara kaki Werkudara telah

menahan salah satu kaki Sengkuni yang satu lagi. Belah raga Sengkuni dengan

jerit mengiring kematiannya.

“Werkudara, belum cukup kamu menangani raga Sengkuni. Ingat sumpah

ibumu, Kunti, ketika ia telah dilecehkan olehnya, sehingga kemben ibumu

melorot dan menjadi tontonan dan sorakan orang-orang Kurawa. Ketika itu ibumu

bersumpah, tak akan berkemben bila tidak menggunakan kulit dari Patih Sengkuni

yang telah mempermalukannya. Kuliti sekalian dinda!”

Barata

Senja telah menjelang usai gugurnya sang senapati utama, Prabu Salya.

Layung senja oleh terbawa awan mendung melayang menyorotkan cahaya jingga,

ketika Dewi Setyawati telah sampai di medan Kurukasetra. Berdua dengan

Endang Sugandini, Dewi Satyawati seakan berenang dalam genangan darah.

Sebentar sebentar ia membolak balik jenazah yang terkapar, mencari cari jangan

jangan jenazah itu adalah sang suami. Sementara mendung makin tebal terkadang

Page 312: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

312 PANDAWA KURAWA

seleret petir menyambar menerangi walau sesaat sosok demi sosok yang ia

perkirakan adalah raga Prabu Salya.

Ketika untuk kesekian kali kilat menerangi medan perang itu, Dewi

Setyawati tak lagi ragu terhadap sosok yang ia perkirakan sebagai jenazah

suaminya. Menjerit Dewi Setyawati memanggil nama suaminya. Dipeluk sosok

yang belum lagi kering darah didadanya. “Kanda Prabu, paduka telah

meninggalkan hamba. Paduka gugur sebagai tawur perang ini. Walau paduka

telah tidak lagi bernyawa, namun sikap tubuh dalam gugur paduka, seakan akan

melambai mengajak hamba turut serta”. Sejenak Setyawati menciumi jenazah

suaminya yang sudah semakin dingin. Ditetapkannya hatinya untuk menyusul

kematian suami tercintanya, “ Marilah kanda, ajakan kanda untuk pergi bersama

seperti yang Paduka ucapkan semalam, tak kan kuasa hamba tolak”. Segera diraih

cundrik, sejenis keris kecil yang terselip di pinggang Dewi Setyawati, tewas Sang

Dewi menyusul kekasih hatinya. Sementara Begawan Bagaspati dengan senyum

menjemput dan menggandeng anak dan menantunya menapaki keabadian.

Endang Sugandini yang sama sama mencari jenazah Prabu Salya tak jauh

dari Dewi Setyawati segera datang menghampiri, ketika mendengar jerit saudara

sekaligus temannya karibnya. Melihat Prabu Salya dan Dewi Setyawati yang

keduanya saling berpeluk, terpekik. Tanpa pikir panjang segera ia juga melepas

cundrik yang menancap di dada Dewi Setyawati, kemudian menyusul Salya dan

Setyawati.

Page 313: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

313 PANDAWA KURAWA

BARATA

AKHIR BARATAYUDA

Malam itu di Pesanggrahan Pandawa Mandalayuda, Prabu Puntadewa

masih duduk di bangunan yang dirupa sebagai pendapa. Diantaranya duduk Prabu

Matswapati dan Prabu Kresna.

“Eyang Baginda, tak ada rasa sedih seperti yang terjadi pada saat ini.

Kemenangan demi kemenangan telah kami dapatkan hari demi hari disepanjang

Perang Baratayuda Jayabinangun ini. Namun kemenangan demi kemenangan

telah dibeli dengan jatuhnya tawur para saudara, orang tua, guru, dan semua orang

yang sepantasnya hamba beri kemukten. Puncaknya, hari ini, tangan hamba telah

mengantarkan Uwa Prabu Salya ke tepet suci. Sekecil ujud debupun, hamba tidak

Page 314: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

314 PANDAWA KURAWA

mengira, bahwa gerak tangan hamba ini akan menjadi lantaran perginya Uwa

Mandaraka”.

Prabu Matswapati menarik nafas panjang. Apa yang dikatakan oleh Prabu

Puntadewa adalah hal yang sangat dipahaminya. Sesal sekecil apapun pasti

membekas di dada Puntadewa yang begitu teguh memegang kesucian diri. Maka

sejurus kemudian ia berkata, “Cucu Prabu, sebagaimana telah terjadi pada trah

Matsya, tumpasnya anak anak lelaki yang aku punyai Seta, Utara dan Wratsangka

pada mulanya telah membuat sesal dan sedih. Tetapi semoga cucu Prabu

menjadikan contoh dari perasaanku terhadap takdir. Semua kejadian yang telah

terjadi hendaknya dipasrahkan saja kepada Yang Maha Mengatur. Berikanlah jiwa

ini keringanan beban, serahkan segalanya kembali kepada-Nya, sehingga kita

menjadi ringan dalam melangkahi hari hari didepan.

Kalimat yang dikatakan Eyangnya yang sangat dihormati telah sedikit

memberi pencerahan di hati Prabu Puntadewa yang segera mengatakan isi hatinya

yang masih terpendam “Sabda Eyang Baginda Matswapati sedapat mungkin akan

hamba akan lakukan. Tetapi Eyang, masih ada beberapa saudara kita Kurawa

termasuk Kanda Prabu Duryudana masih belum kelihatan dalam perang hari ini.

Maka perkenankan hamba mohon kepada Kanda Prabu Kresna, mumpung dalam

pertemuan ini juga hadir, agar besok hari untuk bersama sama membimbing

saudara saudara kami Pandawa, untuk mencari keberadaan kanda Prabu

Duryudana. Ajaklah kanda Prabu untuk kembali ke Astina”.

Page 315: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

315 PANDAWA KURAWA

Sejenak Prabu Puntadewa terdiam, seakan ada sesuatu yang penting

hendak disampaikan; “Eyang, hamba akan pasrahkan seutuhnya Negara Astina

untuk membangun kembali diatas reruntuhan yang terjadi dalam perang. Hamba

bersaudara telah mengambil keputusan untuk hanya menempati Negara yang kami

bangun dengan keringat dan darah kami sendiri, Negara Indraparahasta atau

Amarta!”

Tersenyum Prabu Matwapati, sangat mengerti ia akan keluhuran budi

cucu yang satu itu. Keputusan yang sebenarnya telah disampaikannya pada

sebelum korban berjatuhan dan menjadi luluh lantak. Walau kemenangan sudah

dikatakan telah ada di tangan, tetapi keputusan semula masih saja ia

pegang “Cucu Prabu Punta, begitu luhur budimu. Untukmu kaki Kresna, segera

setelah sidang sore ini terlaksana, bersiaplah untuk mencari keberadaan Prabu

Duryudana. Eyangmu sangat setuju dengan putusan yang diambil oleh cucu

Puntadewa, yang hanya mengambil Negara yang dibangun atas landasan hutan

Mertani ketika itu.

Maka ketika cerah mentari pagi telah menerangi hari, Prabu Kresna telah

berada diluar Medan Kuru yang hari itu menjadi demikian sepi. Hiruk pikuk

peperangan yang telah berlangsung sejak delapan belas hari telah menyisakan

pemandangan yang begitu mengerikan.

Namun Prabu Kresna teringat akan ucapannya ketika Prabu Baladewa

yang disisihkan dengan tipu dayanya, agar tidak ikut ikutan dalam perang, dan

harus bertapa di Grojogan Sewu atau air terjun dengan seribu alur. Tetapi ia

Page 316: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

316 PANDAWA KURAWA

berjanji bahwa walaupun hanya sekejap sajapun, kakaknya diberi waktu untuk

menyaksikan perang itu.

Disitu Prabu Baladewa bertapa memuja ke hadapan Dewa, agar

diberikanlah kerukunan antara saudara saudaranya Kurawa dan Pandawa. Ketika

itulah Kresna sudah sampai di tempat Prabu Baladewa bersemedi.

“Dosa besarlah namanya, Werkudara, bila seseorang membangunkan

orang yang sedang bertapa. Tetapi kali ini ada hal yang tidak dapat ditunda lagi.

Mari dinda, bantu aku mengheningkan cipta untuk membangunkan kanda

Baladewa dengan aji Pameling”. Kata Kresna kepada Werkudara setelah berada di

hadapan Prabu Baladewa yang selalu dijaga putranya Raden Setyaka.

Segera Prabu Kresna bersemadi membisikkan aji Pameling kearah telinga

hati Prabu Baladewa. Demikianlah pesat cipta Prabu Kresna telah mampu

mengubah jalannya waktu. Terkena aji Pameling, Prabu Baladewa seketika

terbangun dari tapa. Bagai bangun dari tidur dengan mimpi yang nggegirisi,

dihadapannya telah berdiri Kresna dan Werkudara.

“Dinda kamulah yang aku tunggu, apakah Baratayuda sudah dimulai. Atau

bahkan perang sudah selesai?”

“Kurawa sudah tumpas hari ini kanda Prabu. Tetapi ada satu yang masih

kita cari, Prabu Duyudana”. Jawab Kresna.

“Jagad dewa batara, ternyata tragis akhir hidup para Kurawa. Sudahlah,

sekian saja Werkudara, cukup sampai disini kita menyudahi pertengkaran yang

Page 317: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

317 PANDAWA KURAWA

membawa kehancuran. Kamu harus ingat bahwa Pandawa dan Kurawa adalah

berasal dari satu turun. Turun dari Eyang Wiyasa. Betapapun pasti Eyang Wiyasa

sangat sedih melihat apa yang sudah terjadi”.

“Sudah aku ingatkan kanda Prabu Duryudana sejak semula tapi itulah

yang terjadi” Jawab Werkudara.

“Mari Kanda, kita cari dimana dinda Duryudana sekarang berada. Dinda

Punta sudah merelakan Negara Astina tetaplah menjadi milik Kurawa”. Ajak

Kresna

Perjalanan kemudian dilanjutkan kembali dengan mengerahkan ketajaman

insting Kresna. Tak lama kemudian terlihat seekor gajah yang dengan tenangnya

merumput.

“Lihat kanda, kita bertemu dengan gajah yang tidak asing lagi. Gajah

Kyai Pamuk. Tetapi lihat lagi, dipunggung gajah itu terlihat busana dari Prabu

Duryudana, serta bermacam senjata. Hamba pikir di telaga itulah Prabu

Duryudana bersembunyi dibawah rimbunnya tanaman teratai merah yang

mengambang”.

“Aku juga berpikir begitu. Biarlah aku akan memanggil Prabu Duryudana.

Betapa kangennya rasa hati ini walau tidak sampai sebulan aku telah terpisah. Dan

akan aku tebus tapaku untuk kedamaian antara saudara saudaraku Pandawa dan

Kurawa”. Baladewa menimpali.

Page 318: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

318 PANDAWA KURAWA

Dengan lantang kemudian Baladewa memanggil manggil Prabu

Duryudana , “Dinda Prabu, ternyata dinda ada disini. Sudah kangen rasa ini untuk

bertemu dengan dinda Prabu Duryudana. Saya kakakmu Prabu Baladewa. Dinda,

perkenankan dinda keluar dari air telaga walaupun hanya sebentar. Kita dapat

berbicara dari hati kehati”.

Suara itulah yang ditunggu tunggu Prabu Duryudana. Walau sayup suara

Prabu Baladewa karena lebarnya telaga, namun ia telah yakin, yang ditunggu

sudah tiba. Keluar dari tempat persembunyian ditengah telaga dan segera

mendekati arah Prabu Baladewa. Berrangkulan keduanya tanpa menghiraukan

sekelilingnya.

“Terimakasih kanda telah bersusah payah mencari kami, kanda. Kandalah

yang selama ini hamba tunggu. Bukannya hamba lari dari tanggung jawab, ngeri

atau pengecut, tetapi hamba ingin melawan musuh hamba dengan olah gada. Olah

gada yang kanda Prabu ajarkan. Selayaknya kanda Prabu menjadi saksi

ketrampilan olah gada yang aku tekuni. Sepantasnya guru menjadi saksi kesaktian

muridnya”.Duryudana berkilah.

“Oooh dinda, kami datang bukan untuk menantang perang. Tetapi justru

kami datang dengan ajakan berdamai. Telah banyak para orang tua tua kita yang

menjadi tawur perang! Kami beserta para Pandawa telah bersepakat untuk

mengajak paduka dinda untuk kembali ke Astina, dan melupakan kejadian yang

telah lalu, yang sejatinya kita bisa jadikan pelajaran kita melangkah kedepan”.

Baladewa mencoba memberikan penjelasan.

Page 319: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

319 PANDAWA KURAWA

“Para Pandawa sudah menerima bahwa mereka rela menyerahkan Negara

Astina dan hanya meminta negara Amarta yang mereka bangun dengan jerih

payah sendiri”.

Namun jawaban Prabu Duryudana tidak menjadikannya persoalan selesai

“Tidak, tidak kanda! Kanda telah mengecilkan hamba. Prajurit kami telah gugur

berribu ribu jumlahnya. Apa gunanya hamba yang tinggal sendirian takut mati.

Tidak! Hamba adalah raja besar. Raja yang sudah bertahun tahun hidup dalam

kemuliaan. Tidak selayaknya hamba melepaskan begitu saja tanggung jawab itu”.

Dibiarkannya Prabu Duryudana menumpahkan rasa hatinya oleh

Baladewa, sesat kemudian Duryudana menyambung “Kalah atau menang,

Pandawa akan kecewa. Seumpama saya yang menang itu sudah menjadi

kewajiban kami untuk membangun kembali kemuliaan kami, dan kemuliaan

Prabu Duryudana akan menyudul hingga kelangit tujuh. Tetapi bila Pandawa yang

menang, mereka akan kecewa. Negara Astina sudah hancur. Mereka hanya akan

merawat anak anak yatim dan janda janda korban perang. Mereka hanya akan

menemukan reruntuhan demi reruntuhan”.

Menarik nafas panjang Prabu Baladewa yang kemudian menggelengkan

kepala lemah, katanya “Keterlaluan dinda Duryudana yang mempunyai watak

gunung. Tak bisa diperlakukan rendah. Baiklah sekarang kanda akan menuruti

kemauan dinda Prabu”.

Page 320: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

320 PANDAWA KURAWA

“Paduka Kanda Prabu Baladewa hendaknya menjadi saksi, kami minta

perang tanding gada dengan salah seorang Pendawa, yang mempunyai sosok

seimbang”. Jawab Duryudana.

Demikianlah, setelah selesai mengenakan kembali busana keprajuritan

yang terletak dipunggung gajah, maka Duryudana telah berhadapan dengan

Werkudara. Satu lawan satu! Kresna mendekati Werkudara sebelum perang

tanding dimulai dengan membisikkan sesuatu yang disusul anggukan kepala

Werkudara penuh arti.

Ketika Prabu Duryudana bergeser, maka Werkudara-pun bergeser pula. Ia

menyadari sepenuhnya, bahwa Duryudana itu sudah siap untuk meloncat

menyerangnya.

Tetapi Werkudara-pun sadar, bahwa Duryudana mulai serangan gadanya

dengan menjajagi kemampuannya, sebagaimana juga akan dilakukan oleh

Werkudara.Demikianlah, maka sejenak kemudian Duryudana meloncat

menyerang dengan penggada tepat kearah dada. Namun seperti yang diduga oleh

Werkudara, Duryudana belum mempergunakan tataran ilmunya yang tertinggi.

Meskipun demikian namun pukulan itu seakan-akan telah meluncur secepat lidah

api dan melontarkan angin yang keras mendahului gerak tangan Duryudana yang

terjulur itu.

Werkudara bergeser selangkah menyamping. Meskipun ia tahu bahwa

lawannya belum menyerang dengan sepenuh kemampuan, namun Werkudara

tidak mau merendahkannya. Karena itu, sejak awal ia telah mulai mengetrapkan

Page 321: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

321 PANDAWA KURAWA

ilmu kebalnya Bandung Bandawasa. Ilmu yang dapat melindungi ujud wadagnya,

meskipun ia masih belum yakin jika serangan lawannya cukup kuat dengan

lambaran ilmu yang sangat tinggi, hingga serangan itu akan dapat menyusup, dan

memecahkan perisai ilmu kebal itu.

Berapa saat, pertarungan berjalan semakin seru.Tetapi baik Werkudara

maupun Duryudana tidak mau tergesa-gesa. Justru karena masing-masing melihat

kelebihan lawannya, mereka harus mebuat perhitungan yang sebaik-baiknya

dalam pertempuran itu. Bagaimanapun mereka tidak boleh membuat kesalahan

yang akan dapat menjerumuskan mereka kedalam kesulitan yang gawat.

Serangan-serangan Duryudana itu semakin cepat menyambar nyambar

Werkudara dari segala arah. Langkahnya seakan-akan sama sekali tidak diberati

oleh bobot tubuhnya. Seperti seekor burung sikatan Duryudana itu meloncat

menyambar dan sekali sekali mematuk dengan gadanya.

Sengitnya perang tanding masih diawasi dengan tegang oleh Prabu Kresna

dan Baladewa. Sebentar sebentar mimik muka keduanya menegang, sebentar

kemudian kembali cair. Terasa kesiur angin panas dari ayunan gada mulai

menampar tubuh keduanya dan memaksanya sedikit menjauh dari arena

pertempuran. Sementara pukulan gada keduanya dari waktu ke waktu semakin

dahsyat. Keduanya telah sampai pada tataran teringgi kemampuannya. Kekuatan

yang bagaikan taufan saling menghantam badan keduanya, tetapi mereka adalah

manusia manusia pilihan yang telah tertempa oleh pengalaman berguru dan

pengalaman tempur yang panjang.

Page 322: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

322 PANDAWA KURAWA

Duryudana melontarkan gelombang-gelombang pukulan gada yang

dahsyat beruntun susul menyusul. Namun Werkudara dengan ajian Blabak

Pengantol antol dan dibantu sukma Kumbakarna yang menyatu selagi Werkudara

ada di lereng gunung Kutarunggu, sangat sulit ditaklukkan. Sementara tamparan

serangan itupun mulai terasa bagaikan panasnya uap air yang sedang mendidih

menyengat tubuhnya. Arena perang tanding telah menjadi hangus bagai terkena

sengatan halilintar. Bahkan suara gelegar benturan kedua gada pusaka terdengar

membahana bagai sejuta guruh dilangit berpetir.

Namun kekuatan Duryudana adalah kekuatan simbol dari angkara murka

yang tidak begitu saja dapat diatasi oleh laku kebaikan. Maka perang tanding itu

sudah seharian tanpa ada kelihatan siapa yang bakal unggul. Setingkat demi

setingkat Duryudana itu meningkatkan ilmunya yang nggegirisi. Kekuatan angin

yang melanda Werkudara oleh kesiur gadanya menjadi semakin dahsyat. Bahkan

kemudian angin itu mulai berputar, Werkudara mulai merasa dirinya dihisap oleh

pusaran angin yang begitu panas. Seolah-olah pusaran air yang mempunyai

kekuatan tidak terbatas telah menghisapnya keatas. Sedangkan udara panas

semakin lama menjadi semakin panas menerpa kulitnya. Namun aji Blabak

Pangantol antol telah menerapkan dirinya bagai terpaku dalam tanah. Dalam satu

kesempatan ketika Duryudana melompat menyerang, maka dikenai pahanya

sebelah kiri Prabu Duryudana dengan penggada yang bagai bobot gunung

Semeru. Dengan keluh terahan, disusul kata kata kotor, ambruk Prabu Duryudana!

Page 323: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

323 PANDAWA KURAWA

Tetapi begitu Duryudana mencoba bangkit, sekali dua kali, tiga kali gada

Werkudara masih saja menggempur tubuhnya. Remuk rempu tubuh Duryudana

tak berujud lagi.

Prabu Baladewa murka melihat Prabu Duryudana yang sudah tidak

berdaya terkena hajaran gada Werkudara. Walau ia mengerti bahwa kekuatan

Duryudana tiada tara namun kekuatan gada Werkudara yang bagai bobot gunung

Mahameru pasti akan menghancurkan sosok Duryudana.

“Keparat Werkudara ayoh tandingi aku Baladewa. Jangan mentang

mentang kamu menang, sehingga kamu berlaku sia sia terhadap pihak yang kalah.

Duryudana sudah tidak berdaya kamu perlakukan seperi layaknya binatang

buruan! Ayoh tandingi Baladewa!”

Kresna yang dari tadi siaga menjaga agar tidak ada peristiwa yang

mengkhawatirkan terjadi, telah menyongsong gerak Prabu Baladewa, “Sabar

kanda, sabar. Hamba sudah bilang sebelumnya, kemauan hati tak lah kuasa untuk

membelokkan takdir. Baratayuda dalah peristiwa luwarnya kaul atau janji, itu hal

yang pertama. Kedua adalah arena tagih menagih antara yang menghutangi dan

yang diberi hutang, baik dalam hal rasa ataupun budi pekerti. Dan ketiga adalah,

syarat bagi hilangnya angkara murka. Hilangnya angkara itu kanda, tidaklah bisa

sirna bila tidak bersamaan dengan yang menyandangnya”.

Kresna yang melihat di mata kakaknya sudah surut kemarahannya segera

menyambung, “Mestinya ada banyak peristiwa yang tentunya kanda Prabu sudah

mengerti bahwa Prabu Duryudana juga mempunyai hutang budi, hutang pati dan

Page 324: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

324 PANDAWA KURAWA

hutang seribu malu yang disandang manusia manusia yang telah ia hutangi. Maka

kanda, ikhlaskan kematian Prabu Duryudana. Marilah kita bersama melangkah

kedepan dalam satu tindakan bersama sama para saudara kita Pandawa, yang telah

terbukti menjadi sarana hilangnya angkara”.

Hari kembali buram di sore itu sewaktu perang tanding berakhir. Kembali

langit membiaskan layung senja yang entah kapan sore berlayung itu akan

berakhir. Demikianlah, setelah merawat jenazah Duryudana maka ketiganya telah

kembali menghadap Baginda Matswapati di Hupalawiya.

Golongan Kurawa, Kartamarma dan Aswatama masih berkeliaran. Namun

Perang Dunia ke empat ini praktis telah berakhir . . . .

Surak surak manengker gumuruh

Swaraning wadya surak gambira

Unggul Baratayuda para Pandawa

Labuh Negara Astina balane

Kurawa gugur tengahing palagan

Pandawa . . . Pandawa unggul ing prang Baratayuda.

Perang Baratayudha telah usai, Resiwara Bisma telah moksha ke alam

kadewatan sesuai dengan waktu yang diinginkannya, setelah kematian Prabu

Suyudana sebagai penutup Perang Baratayudha.

Page 325: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

325 PANDAWA KURAWA

Resiwara Bisma dalam perjalanannya menuju surga bertemu dengan Dewi

Amba, kekasih pujaan didunia. Ia kelihatan bahagia. Hal itu tidak akan terjadi

kalau ia masih hidup. Karena didunia ia seorang Brahmacari.

Kurawa pun sudah habis, semua sudah gugur di medan perang Kurusetra.

Demikian pula Pandawa juga telah kehilangan banyak sanak saudaranya.

Dewi Drupadi, juga mengalami hal yang serupa, ia telah kehilangan

ayahnya, Prabu Drupada. Keluarga Wirata, telah kehilangan Prabu Matswapati,

Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka dalamPerang Baratayudha.

Terlebih lagi Pandawa disamping telah kehilangan sanak saudaranya, juga

kehilangan saudara saudaranya Para Kurawa, Eyangya, Gurunya, sahabat serta

kerabatnya. Namun yang menjadikan Keluarga Pandawa mempunyai semangat

hidup mereka masih memiliki Ibu Kunti dan Eyang Abiyasa.

Dengan kemenangan Pandawa, maka Pandawa beserta seluruh keluarga

tang tersisa memasuki Istana Astina. Kedatangan Para Pandawa disambut

oleh Dewi Kunti. Dewi Kunti terharu, karena betapa mahalnya untuk sebuah

kemerdekaan Indraprasta, terlalu banyak yang menjadi korbannya. Dewi Kunti

juga mengucapkan terima kasihnya pada Kresna yang telah mendampingi Para

Pandawa selama Perang Baratayudha.Kedatangan Pandawa telah diketahui oleh

Uwa Prabu Drestarastra dan Uwa Dewi Gendari. Para Pandawa dijemput oleh

Paman Yama Widura yang merangkulnya penuh keharuan. Dalam perang

Baratayudha, Paman Yama Widura kehilangan satu orang puteranya, Sang

Yuyutsu, yang telah gugur di medan pertempuran Barata Yudha dipihak Pandawa.

Page 326: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

326 PANDAWA KURAWA

Ketika meeka sedang berbincang bincang, datanglah Sanjaya, anak

Paman Yama Widura pertama, yang disuruh Uwa nya Prabu Drestarastra,

agar Pandawa keistana Kasepuhan, karena Prabu Drestarastra telah menunggu

kedatangan para Pandawa.

Sementara itu Prabu Sri Batara Kresna merasakan fiirasat yang

buruk.Prabu Kresna membisikkan agar para Pandawa berhati hati dan waspada

dalam menghadapi segala kemungkinan yang ada, karena ini mungkin perang

belum selesai. Pandawa memakluminya. Mereka segera menemui Uwa Prabu

Drestarastra.

Prabu Drestarastra sedang duduk serimbit dengan Dewi Gendari. Prabu

Drestarastra memeluk satu persatu para Pandawa.Walaupun ia memeluk para

Pandawa, namun sebenarnyan hatinya merindukan anak anak kandungnya sendiri

, yaitu Para Kurawa yang telah tiada. Sekarang giliran Werkudara yang hendak

dipeluk Prabu Drestarastra. Werkudara segera mendekati Uwa nya. Namun Prabu

Kresna menarik tangan Werkudara, sambil berbisik, tidak perlu mendekati. Biar

saja uwa nya yang datang menjemput. Prabu Drestarastra menangisi kematian

putera puteranya para Kurawa, karena tidak satupun yang disisakan hidup, oleh

Para Pandawa. Sebenarnya Pandawa bisa saja menyisakan Suyudana untuk hidup.

Tetapi semuanya sudah terjadi. Prabu Drestarastra akhirnya berdiri mendekati

Wekudara. Sementara itu Werkudara berdiri dekat sebuah patung raksasa sebesar

Werkudara.Werkudara menghindar ketika uwa nya mengulurkan kedua tangannya

untuk memeluknya. Tetapi yang tersentuh adalah Patung raksasa yang

Page 327: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

327 PANDAWA KURAWA

menghalangi Werkudara dan patung pun menjadi hancur lebur.dari kedua tangan

uwa nya masih mengeluarkan api yang menyala nyala.

Semua terjadi karena uwa nya telah menyalurkan aji Kumbalageni yang

sebenarnya ditujukan untuk membunuh Werkudara. Keadaan menjadi hening

tidak satupun orang berkata. Prabu Drestarastra menyesal telah membunuh

Werkudara. Ia mohon maaf kepada Dewata karena ia tak mampu menahan nafsu

balas dendam pada Pandawa khususnya Werkudara yang telah membunuh

Suyudana anaknya yang paling dicintainya. Andaikata ia mampu, Werkudara

akan dihidupkannya. Ia menyesal tak bisa menjaga amanat Pandu adiknya, untuk

menjaga keselamatan Pandawa.Namun Dewi Gendari berkata lain, ia menyesal

melihat kegagalan Prabu Drestarastra untuk membunuh Werkudara.

Dewi Gandari bersupata, bahwa Kresna juga akan mengalami penderitaan

Bangsa Kuru, karena Kresna adalah yang membunuh seluruh para Kurawa,

walaupun tidak dengan tangannya sendiri Maka bangsa Yadawa, juga akan

mengalami hal yang sama, Bangsa Yadawa akan mengalami perpecahan, hingga

terjadi pertumpahan darah antar bangsa Yadawa sendiri, yang pada akhirnya

bangsa Yadawa tertumpas habis dengan sendirinya.. .

Prabu Kresna terperanjat mendengar supata Dewi Gendari. Keadaan

menjadi hening, tidak satu pun orang bersuara. Prabu Drestarastra merasa bahagia

ketika mengetahui Werkudara masih hidup. Werkudara kemudian merangkul

Prabu Drestarastra, Prabu Destarastra mengharap diantara yang masih hidup

jangan ada pertengkaran lagi, jangan ada pembunuhan lagi. Prabu Batara Kresna

Page 328: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

328 PANDAWA KURAWA

mohon maaf kepada Prabu Drestarastra dan Ibu Gendari serta siapa saja yang

dendam pada Prabu Kresna dan juga atas nama Pandawa, yang didalam perang

Bartayudha juga memakan korban banyak para putera Pandawa, termasuk juga

kehilangan saudara saudara saudara para Kurawa. Maupun Kurawa. Prabu

Drestarastra akhirnya merelakan kepergian seluruh para putreranya, yaitu Para

Kurawa.

Para Pandawa kemudian mohon pamit untuk memasuki pakuwon

Pandawa. Disanalah para Pandawa beristirahat, Sementara itu Dewi Utari telah

melahirkan sorang anak yang tampan. Arjuna memberi nama Parikesit.Setelah

kelahiran Parikesit, Prabu Sri Batara Kresna berpesan agar Para Pandawa tidak

boleh lengah, tetap waspada, dan jagalah bayi Parikesit dari segala yang

mengancam. Prabu Kresna berpesan agar jangan sampai bayi ditegakan tidak

dijaga, dan dibawah kaki Parikesit, ditaruh senjata pusaka Pulanggeni yang sudah

dilepas dari warangkanya..Setelah banyak berpesan Prabu Sri Batara Kresna

berpamitan kembali ke Dwarawati. Karena Dwarawati dalam keadaan

darurat.Sampai di tengah malam Pandawa masih kuat untuk berjaga menunggui

bayi Parikesit yang tidur di tempat nya.

Sementara itu Aswatama yang sudah lama menghilang dari medan perang

Kurusetra, yang sejak pengangkatan Prabu Salya menjadi senapati, dimana

Aswatama memprotes pengangkatan itu, karena sudah jelas kelihatan curangnya

Prabu Salya yang menyelamatkan kermatian Arjuna dari Karna.

Page 329: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

329 PANDAWA KURAWA

Kini Aswatama telah muncul kembali.. Kali ini ia telah menghimpun

kekuatan baru, yaitu bergabung dengan Resi Krepa dan Kertawarma. Kertamarma

adalah adik Prabu Suyudana yang satu satunya masih hidup. Para Pandawa dan

bahkan Prabu Drestarastra tidak menyangka, ternyata masih ada sisa Kurawa yang

masih hidup.

Mereka berencana mau memberontak ke Astina, untuk merebut kembali

Astinapura ketangan Kurawa, Tetapi mereka tak ada keberanian. Pertapaan

Sokalima walaupun luasnya sama dengan kerajaan Pancala, namun tidak memiliki

perajurit. Mereka memutuskan akan memasuki Istana Astina secara diam diam,

pada malam hari dan akan membunuh orang orang Pandawa sebanyak banyaknya.

Sebenarnya Aswatama sudah membuat terowongan di taman Kadilengen,

dan sudah tembus ke Goa. Sekarang Aswatama dengan bekal sebuah oncor

sebagai penerang jalan,dan ditemani Kertawarma dan Resi Krepa memasuki.

Namun ditengah jalan, mereka terkejut karena ada sebagian tanah yang gugur

sehingga menutup jalan masuk ke goa. Aswatama terpuruk, terlebih lebih ketika

api oncor padam, tidak tahu harus bagaimana. Tiba tiba saja ada cahaya yang

menerangi Goa. Ternyata Dewi Wilutama datang menolong.

Dewi Wilutama adalah ibu Aswatama. Dewi Wilutama menerangi goa

dengan sinar dari kedua telapak tangannya. Pintu goa yang telah dilalui juga

roboh dan menutupi pintu goa. Sehingga walaupun mereka pulang juga tidak bisa

keluar. Mereka terjebak didalam goa, pulang tidak bisa, terus juga tidak bisa.

Page 330: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

330 PANDAWA KURAWA

Dewi Wilutama menanyakan,apakah mereka mau mmembatalkan niatnya

sehingga mau kembali ke jalan semula, atau mau meneruskan kehendaknya.,

Aswatama ingin meneruskan perjalanannya ke Astina. Dewi Wilutama tidak mau

membantu keinginan dan tidak mau ikut bertanggung jawab atas perbuatan

Aswatama yang akan dilakukan. Dewi Wilutama membuka jalan ke pintu

depan Goa. Sehingga apabila mereka berniat mau pulang kembali, bisa

lewat kepintu goa semula. Dan akan keluar dengan mudah.

Namun, Dewi Wilutama tidak tega pada Aswatama,karena Aswatama

sudah tidak bisa dihentikan niatnya. Akhirnya Dewi Wilutama memberikan

senjata untuk menyingkirkan tanah tanah yang menghalangi perjalananannya.

Ibunda Dewi Wilutama tidak ikut bertanggung jawab apa yang hendak dilakukan

oleh Aswatama, dan disarankankan anaknya pulang saja kembali ke Sokalima.

Resi Krepa ganti membujuk Aswatama agar pulang saja kembali ke

Sokalima. Akhirnya Resi Krepa meninggalkan mereka semua, kembali ke

pertapaannya. Dewi Wilutama sebelum meninggalkan Aswatama

meninggalkan pusaka cahaya, yang akan menerangi goa, sampai Aswatama

keluar dati goa, dan sampai ditaman Kadilengen, maka kembalilah Dewi

Wilutama kembali kekahyangan..

Dalam waktu singkat Aswatama beserta Kertawarma telah memasuki

Istana Astinapura. Kertawarma tidak mengikuti kepergian Aswatama yang

memasuki Istana Astinapura. Kertawarma menunggu diluar istana. Ia

bersembunyi di luar Istana.

Page 331: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

331 PANDAWA KURAWA

Aswatama membaca mantera agar orang orang yang ada didalam Istana

Astina tertidur.Sementara itu seluruh penghuni Istana telah tertidur semua.

Memasuki kamar pertama, terlihat Pancawala dan Drestajumna sedang tidur

dengan nyenyaknya. Tanpa pikir panjang lebar, ditebasnya calon Raja Astina

baru, Pancawala dan Pembunuh ayahnya, Drestajumna sehingga terpelantinglah

kedua kepalanya.

Dendam masih membara ia membuka kamar yang kedua, terlihat Srikandi

tidur tergeletak tidak berdaya, ia kelihatan lemah gemulai seperti wanita wanita

biasa lainnya, walaupun dalam perang Baratayudha ia kelihatan gagah perkasa

bagaikan seorang pria jantan dalam menghadapi musuh musuhnya. Ia akan segera

membunuhnya, tetapi dirasanya percuma saja karena tidak merasakan sakitnya

kalau dibunuh, Srikandi tidak akan merasakan kematiannya. Dengan cepat penuh

dendam Aswatama menjambak rambut Srikandi. Srikandi terbangun, dan terkejut

ada Aswatama masuk kamar dan dirinya sudah di pegang oleh Aswatama. Ia

berusaha melawan tetapi tidak berdaya. Aswatama menjambak Srikandi dan

membentur-benturkan kepala Srikandi ke dinding kamar, hingga tewas.

Dendam masih membara, ia melihat Dewi Sembadra sedang tertidur

pulas,langsung dibunuh sebagai pembayar utang Arjuna, demikian pula Niken

Larasati dan Sulastri terbunuh.

Dilihatnya pula Dewi Banowati istri Prabu Suyudana, dengan pandangan

sinisnya, menganggap Banowati, adalah seorang wanita murahan, dengan

mudahnya selingkuh drngan Arjuna. Tanpa ampun lagi Banowati dibunuhnya.

Page 332: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

332 PANDAWA KURAWA

Aswatama tidak mengetahui posisi dimana Parikesit tidur karena pengaruh

senjata Pulanggeni, dan pasti pula ada didalam lindungan Dewata. Aswatama

melihat pula Dewi Drupadi, namun ketika akan membunuhnya terdengar, seperti

ada suara tangisan bayi, Aswatama terkejut. Ia mengalihkan niatnya untuk

membunuh Drupadi, dan ia melihat dengan mata batinnya suatu tempat yang

penuh kabut. Aswatama melihat bayi itu. Aswatama memandang benci kepada

Parikesit, karena Pancawala sudah terbunuh, maka bayi ini adalah pewaris tahta

Astina pura. Segera Aswatama berusaha menikam bayi itu. Tetapi kekuasaan

dewa yang menentukan lain. Tiba tiba saja keris Pulanggeni yang terletak

dibawah kaki jabang Parikesit,tertendang sang bayi, dan keris Pulanggeni

terpental dan menembus dada Aswatama, Aswatama tewas.

Sementara ada keributan dan suara tangisan mereka yang terhindar dari

pembunuhan, seperti Dewi Untari dan dewi Drupadi. Menjadikan Werkudara dan

Arjuna terbangun dari tidurnya. Mereka langsung keluar dari Keputren.

Sementara itu, Kertawarma bersiap memukul Werkudara, andaikata melewati

persembunyiannya. Werkudara akhirnya melewati persembunyian Kertawarma.

Melihat Werkudara berjalan melewati persembunyiannya, Kertawarma segera

memukul Werkudara dengan gadanya dengan keras, namun Wekudara dapat

menangkisnya.

Terjadilah perkelahian, antara Werkudara dan Kertamarma.Kepala

Kertawarma pecah terkena pukulan Gada Rujakpala, Kertamarma pun tewas

Pandawa pagi ini dirundung duka. Semua istri Arjuna yang berada di Istana

terbunuh semua, juga Dewi Drupadi kehilangan puteranya Pancawala, Srikandi

Page 333: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

333 PANDAWA KURAWA

dan Drestajumna. Arjuna semakin tersayat hatinya, melihat jasad dewi Banowati

yang wajahnya dirusak oleh Aswatama..

Seluruh keluarga Pandawa berduka. Prabu Kresna kecewa tidak bisa ikut

menjaga ketentraman Istana Astina. Prabu Kresna sendiri masih

menghadapi pergolakan keluarga Yadawa. Prabu Kresna minta agar Puntadewa

segera menyiapkan pemerintahan Astina. Untuk itu dibutuhkan pengangkatan

seorang raja. Kemudian mereka merencanakan pelantikan seorang raja. Setelah

mereka berembug maka ditunjuklah Parikesit menjadi Raja Astina. Mengingat

Parikesit masih bayi, maka Puntadewa diminta untuk menjadi wali. Maka

diangkatlah Prabu Puntadewa mewakili Parikesit. Dengan gelar Prabu

Kalimataya. Uwa Drestarastra merestui pengangkatan Puntadewa menjadi Ratu

Wali. Prabu Kalimataya dalam pemerintahannya dibantu oleh Sadewa, Sadewa

ditunjuk menjadi patih Kerajaan Astinapura.

Sedangkan Nakula menjadi raja di Mandaraka menggantikan uwanya,

Prabu Salya. Prabu Salya lebih mencintai kedua anak Dewi Madrim adiknya. Lagi

pula seluruh anaknya tewas dalam perang Baratayudha.Sedangkan Sadewa

menjadi patih di Astinapura, mendampingi Prabu Parikesit.

Barata

Page 334: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

334 PANDAWA KURAWA

Nama : Hermawan

Alamat : Jln Menteri 4 Gg Sejahtera no 90 Martapura

Email : [email protected]

No : 082155969038

Bank : Mandiri syariah No rek : 7041610427 an Banjarbaru Kalimatan Selatan

Saya dulu lulusan SMK Muh Prambanan Yogyakarta tahun 2008. Pernah

disekolah SMP N 2 Prambanan. Sekarang masih kuliah di STKIP – PGRI

Page 335: Banjir darah di tegal kuru

BANJIR DARAH DI TEGAL KURU

PANDAWA & KURAWA

HERMAWAN

335 PANDAWA KURAWA

Banjarmasin jurusan Matematika. Saya ini bukan siapa – siapa, saya menulis baru

kali pertama. Disini saya menulis hanya sebagai cara saya memperkenalkan

budaya Indonesia yang hampir tak di ingat oleh generasi muda, semangat ini saya

tunjukkan agar generasai muda tidak melupakan budaya sendiri. Agar kemajuan

suatu bangsa dapat bangkit sehebat negera lain didunia.