117
I NYOMAN SUARKA ANAK AGUNG GEDE BAWA DWI CIPTA MEDIATAMA 2018 FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO I NYOMAN SUARKA ANAK AGUNG GEDE BAWA DWI CIPTA MEDIATAMA 2018

BAHASA JAWA KUNO

  • Upload
    others

  • View
    35

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

I NYOMAN SUARKAANAK AGUNG GEDE BAWA

DWI CIPTA MEDIATAMA2018

FONOLOGIBAHASA JAWA KUNO

FON

OLO

GI B

AH

ASA

JAWA

KU

NO

I NY

OM

AN

SUA

RK

AA

NA

K A

GU

NG

GE

DE

BAW

AD

WI C

IPTA M

ED

IATAM

A2018

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO

I NYOMAN SUARKA

ANAK AGUNG GEDE BAWA

PENERBIT CV. DWI CIPTA MEDIATAMA

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO

PENULIS

I Nyoman Suarka

Anak Agung Gede Bawa

ISBN : 978-979-18728-9-8

LAYOUT

CV. DWI CIPTA MEDIATAMA

DESAIN SAMPUL

Ari Suprapta

PENERBIT CV. DWI CIPTA MEDIATAMA

Jln. Gunung Soputan I No.9, Denpasar 80119, Bali

Phone : (0361) 482 500, E-mail:[email protected]

Cetakan I, Oktober 2018

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO iiii

PRAKATA

Puji syukur di panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmatNya, buku Fonologi Bahasa Jawa Kuno dapat disusun dan diselesaikan pada waktunya. Buku ini merupakan tindak lanjut dari penelitian Hibah Grup Riset Universitas Udayana yang dibiayai dari Dana PNBP Tahun Anggaran 2018 dengan Surat Perjanjian Penugasan Nomor 383-53/UN14.4.A/LT/2018 tertanggal 28 Maret 2018.

Buku ini memuat persoalan fonologis dalam bahasa Jawa Kuno seperti persoalan fonem dan aksara, cara pelafalanbunyi, distribusi fonem, pola persukuan, serta perubahan bunyi dalam bahasa Jawa Kuno. Karena itu, buku ini diharapkan dapat menambah khazanah perbendaharaan referensi kejawakunaan yang selama ini masih sangat terbatas adanya. Pengayaan bahan ajar kejawakunaan sangat dibutuhkan dalam upaya perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan Bahasa Jawa Kuno sebagai warisan budaya bangsa. Peran Bahasa Jawa Kuno sangat strategis dalam upaya pemajuan kebudayaan dan peradaban bangsa.

Sangat disadari bahwa buku ini berhasil disusun juga berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Udayana dan Ketua LPPM Unud yang telah memberikan dana penelitian dan penerbitan buku ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Putu Eka Sura Adnyana, I Made Gede Wira Bhuwana Putra, Komang Uchi Seni Purnama, I Wayan Degus Jaya, dan Pande Putu Abdi Jaya Prawira, mahasiswa Program Studi Sastra Jawa Kuno, yang telah membantu peneliti mengumpulkandan mengolah data. Semoga budi baik adik-adik mendapat pahala mulia dari Tuhan Yang Maha Pengasih.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, buku ini dipersembahkan kepada pembaca budiman untuk dikritik dan disempurnakan lebih jauh. Denpasar, Oktober 2018

Penulis

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO vii

DAFTAR ISI

PRAKATA ..........................................................................

DAFTAR ISI .......................................................................

BAB I PENDAHULUAN ...................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................

BAB III METODE PENELITIAN .................................

BAB IV FONEM DAN AKSARA JAWA KUNO

(AKSARA KAWI) ..........................................................

Fonem dan Aksara Jawa Kuno ……………………………

Cara Pelafalan Bunyi Bahasa Jawa Kuno ………………....

Bunyi Vokal ……………………………………………......

Bunyi Konsonan …………………………………………...

BAB V DISTRIBUSI FONEM DAN POLA

PERSUKUAN BAHASA JAWA KUNO .........................

Distribusi Fonem Bahasa Jawa Kuno …………………......

Pola Persukuan Bahasa Jawa Kuno …………………….....

BAB VI PERUBAHAN BUNYI DALAM BAHASA JAWA KUNO ....................................................................

Asimilasi …………………………………………………

Disimilasi ………………………………………….. .........

Kaidah Berurutan………………………………………......

Penggabungan Vokal (Sandi) ………………………….......

i

ii

1

4

6

8

8

14

15

16

21

21

62

77

77

82

83

86

Zeroisasi …………………………………………………

Anaptiksis …………………………………………….....

Metatesis ………………………………………………..

Monoftongisasi dan Diftongisasi ………………………..

Onek-onekan, guru laghu, dan guru basa: model pelafalan bunyi-bunyi dalam bahasa Jawa Kuno ………

BAB VII PENUTUP ......................................................

DAFTAR PUSTAKA ......................................................

91

95

99

100

101

106

109

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 1

BAB I

PENDAHULUAN

Bahasa Jawa Kuno merupakan salah bahasa Nusantara termasuk kelompok bahasa Austronesia. Bahasa Jawa Kuno telah berkembang sejak abad ke-9 hingga abad ke-15 di Jawa. Bahasa Jawa Kuno memiliki keistimewaan karena karya sastranya berasal dari abad ke-9 dan ke-10. Bahasa Jawa Kuno menampakkan karakteristik yang sangat kuat sebagai bahasa Nusantara. Di satu sisi, bahasa Jawa Kuno mendapat pengaruh luar biasa dari bahasa Sansekerta, namun di sisi lain, bahasa Jawa Kuno dalam segala struktur dan ciri-ciri pokok tetap menunjukkan diri sebagai bahasa Nusantara (Zoetmulder, 1985:1—8).

Teeuw (1983:77—80) menyebutkan bahwa bidang penelitian bahasa Jawa Kuno merupakan bagian penting dalam rangka penelitian bahasa-bahasa dan sastra di Indonesia. Setidaknya ada tujuh alasan strategis diajukan Teeuw berkelindan dengan keistimewaan penelitian bahasa dan sastra Jawa Kuno, yaitu (1) bahasa Jawa Kuno merupakan bahasa pengantar kebudayaan pramodern Indonesia yang terpenting. Berkat bahasa Jawa Kuno, kita dapat memahami dan mendalami kebudayaan bangsa Indonesia yang pernah tumbuh dan berkembang pada masa lampau; (2) bahasa Jawa Kuno memiliki ciri khas, terutama dalam hal puitik; (3) bahasa Jawa Kuno memiliki peran strategis dalam sejarah bahasa Jawa dan bahasa-bahasa Nusantara lainnya; (4) bahasa Jawa Kuno memiliki urgensi dalam perbandingan bahasa-bahasa Nusantara atau bahasa-bahasa dalam rumpun Austronesia; (5) bahasa Jawa Kuno memiliki khazanah sastra pramodern Indonesia yang unggul, yang mengandung harta karun keindahan, kearifan, kebajikan yang mampu memberikan sumbangan yang khas pada khazanah sastra Indonesia dan sastra dunia; (6) bahasa dan sastra Jawa Kuno merupakan sumber dari banyak hasil sastra Nusantara, terutama sastra Jawa, sastra Sunda, sastra Bali, sastra Sasak, sastra Melayu; serta (7) bahasa dan sastra

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO2

Jawa Kuno merupakan pintu utama diplomasi kebudayaan pada masa Majapahit. Ketujuh alasan Teeuw tentang betapa pentingnya penelitian bahasa Jawa Kuno dilakukan merupakan pandangan yang layak dipertimbangkan dalam upaya penelitian bahasa Jawa Kuno lebih lanjut sebagaimana dilakukan tim peneliti grup riset ini.

Suarka (2014:239—241) menjelaskan bahwa bahasa Jawa Kuno telah dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa resmi prasasti-prasasti yang dikeluarkan Raja Udayana di Bali pada abad ke-10. Bahasa Jawa Kuno dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa resmi prasasti karena potensinya sebagai bahasa yang kaya dengan nilai-nilai religius dan sosial budaya yang dapat dijadikan sumber rasa kebanggaan dan identitas kerajaan Bali pada saat itu. Kebijakan Raja Udayana mampu menciptakan ruang yang memungkinkan tumbuh subur serta berkembangnya bahasa dan sastra Jawa Kuno di Bali. Hasil pertumbuhan dan perkembangan bahasa dan sastra Jawa Kuno diwarisi hingga saat ini melalui dokumentasi ribuan naskah lontar.

Bahasa Jawa Kuno merupakan bahasa yang tidak lagi memiliki penutur asli. Demikian pula peminatnya sangat terbatas. Lagi pula, hasil-hasil penelitian dan buku-buku referensi tentang bahasa Jawa Kuno sangat terbatas. Di sisi lain, sebagaimana dijelaskan di atas, kedudukan dan fungsi bahasa Jawa Kuno sangat penting dan strategis dalam berbagai aspek sebagai warisan budaya bangsa Indonesia.Berkelindan dengan permasalahan tersebut, penelitian fonologi bahasa Jawa Kuno dipandang penting dilakukan dalam upaya pelestarian, pewarisan, dan pemberdayaan bahasa Jawa Kuno sebagai sumber pengembangan bahasa Indonesia, terutama di bidang fonologi, di samping menyediakan dan memperkaya sumber referensi dalam pembelajaran bahasa Jawa Kuno di berbagai perguruan tinggi yang mengajarkan matakuliah bahasa Jawa Kuno di Indonesia, khususnya matakuliah Fonologi Bahasa Jawa Kuna.

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi:

(a) Bagaimana fonem dan huruf bahasa Jawa Kuno?

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 3

(b) Bagaimana cara pelafalan bunyi bahasa Jawa Kuno?

(c) Bagaimana distribusi fonem bahasa Jawa Kuno?

(d) Bagaimana pola persukuan bahasa Jawa Kuno?

(e) Bagaimana perubahan bunyi dan hukum sandi bahasa Jawa Kuno?

Secara khusus penelitian ini menggali unsur-unsur fonologi bahasa Jawa Kuno, antara lainfonem dan huruf, cara pelafalan dan fungsi bunyi, distribusi fonem, hukum sandi, pola suku kata, korespodensi bunyi, serta fitur distingtif bahasa Jawa Kuno. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan memperkaya sumber-sumber referensi tentang bahasa Jawa Kuno yang masih langka, terutama di bidang fonologi.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Persoalan fonologi bahasa Jawa Kuno telah diteliti beberapa peneliti terdahulu sebagai berikut.

Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) membahas fonologi bahasa Jawa Kuno dalam buku berjudul Struktur Bahasa Jawa Kuno. Persoalan fonologi yang dibahas masih terbatas pada permasalahan abjad, fonotaktik, dan morfofonemik. Namun demikian, buku tersebut memiliki relevansi dalam penelitian ini sebagai sumber informasi fonologi bahasa Jawa Kuno, baik untuk diikuti, dikembangkan, maupun dicermati ulang.

Seregeg (2003) menyinggung persoalan aksara bahasa Jawa Kuno atau bahasa Kawi yang membedakannya atas dua bagian, yaitu aksara swara (vokal) dan aksara wyanjana (konsonan), dengan pandangan bahwa aksara Jawa Kuno atau Kawi sama seperti aksara bahasa Sansekerta. Penelitian fonologi bahasa Jawa Kuno dalam buku tersebut sangat terbatas, yakni sebatas melihat jenis aksara dan keberadaan hukum sandi dalam bahasa Jawa Kuno. Akan tetapi, buku tersebut relevan dengan penelitian ini sebagai sumber informasi dalam pengembangan masalah fonologi bahasa Jawa Kuno, terutama dari segi ejaan atau huruf.

Ranuh (tanpa tahun) membahas aspek fonologi bahasa Jawa Kuno, yakni hukum sandi atau disebutnya sandi swara, dalam buku berjudul Çakuntala Peladjaran Bahasa Kawi, Jilid 1. Dalam bahasa Jawa Kuno, sandi swara dibedakan atas sandi dalam dan sandi luar. Buku tersebut digunakan sebagai bahan ajar atau buku pelajaran bahasa Kawi untuk siswa SMA sederajat. Cara pembahasan persoalan fonologi bahasa Jawa Kuno dilakukan secara pragmentaris. Namun demikian, buku tersebut juga relevan dengan penelitian ini, terutama dalam upaya membahas hukum sandi yang ada dalam bahasa Jawa Kuno.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 5

Simanjuntak (1990) membahas tentang teori fitur distingtif dalam fonologi generatif. Dalam buku tersebut dibahas persoalan mengapa fonologi generatif penting dalam kancah pembicaraan fonologi ke depan, serta apa dan bagaimana teori fitur distingtif dalam fonologi generatif, termasuk perkembangan dan kritik atas teori fitur distingtif dari berbagai kalangan. Buku tersebut memiliki relevansi dengan penelitian ini dalam membahas fitur distingtif bahasa Jawa Kuno yang memang belum pernah dibahas dalam penelitian fonologi bahasa Jawa Kuno sebelumnya.

Pastika (2005) membahas fonologi bahasa Bali berdasarkan pendekatan generatif transformasi. Ada beberapa pokok pikiran dan konsep-konsep tentang fonologi yang dijelaskan dalam buku tersebut dijadikan landasan dalam penelitian ini karena bahasa Jawa Kuno dan bahasa Bali memiliki kedekatan fonologis. Konsep-konsep yang dijadikan landasan dalam penelitian ini, yakni syarat-syarat struktur morfem dan proses-proses fonologi. Syarat struktur morfem yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah syarat-syarat positif yang dibatasi hanya mengungkapkan rangkaian ruas fonologis yang dibolehkan dalam morfem pangkal, tidak termasuk rangkaian ruas fonologis yang dibolehkan dalam afiks. Syarat-syarat positif sttuktur morfem itu digunakan untuk mendapatkan pola-pola kanonik dari bentuk asal morfem. Pola-pola kanonik memberikan informasi tentang pembatasan umum dari rangkaian ruas (konsonan atau vokal) dalam gambaran fonologis kata-kata atau entri leksikal bahasa Jawa Kuno.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO6

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini direncanakan mengambil lokasi di beberapa tempat penyimpanan naskah lontar sastra kakawin dan sastra parwa, seperti Gedong Kirtya Singaraja; Perpustakaan Lontar Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali; UPT Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana; Kolektor Lontar I Dewa Gede Catra di Amlapura, Karangasem.

3.2 Jenis Pendekatan dan Sumber Data

Penelitian fonologi bahasa Jawa Kuno dirancang sebagai penelitian bahasa secara sinkronik melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan data berupa kata-kata, frase, dan kalimat bahasa Jawa Kuno, baik yang ada di dalam teks kakawin,parwa, tutur, kamus, buku.

Sumber data primer penelitian ini adalah Kamus Jawa Kuna-Indonesia (Zoetmulder dan S.O. Ronson, 1995); teks sastra kakawin, parwa, dan sastra tutur. Sumber data sekundernya meliputi buku, jurnal, serta laporan hasil penelitian yang gayut dengan penelitian ini.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan metode simak, yakni dengan menyimak penggunaan bahasa Jawa Kuno dalam teks-teks berbahasa Jawa Kuno, seperti kakawin dan parwa. Penerapan metode simak dalam upaya pengumpulan data dibantu dengan teknik sadap dan teknik catat. Teknik sadap maksudnya penyadapan penggunaan bahasa (Mahsun, 2007:92), yakni bahasa Jawa Kuno secara tertulis dalam lontar sastra kakawin dan sastra parwa. Penerapan teknik sadap dilengkapi dengan teknik catat, yakni data yang telah terkumpul dicatat dalam kartu data agar mudah diklasifikasi dan tidak hilang.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 7

3.4 Teknik Analisis Data

Dalam analisis data, penelitian ini menggunakan metode padan intralingual, yakni dengan cara menghubungbandingkan unsur-unsur yang bersifat lingual, yaitu unsur-unsur fonologi bahasa Jawa Kuno, baik dengan teknik hubung-banding menyamakan (HBS) maupun hubung-banding membedakan (HBB) serta teknik hubung-banding menyamakan hal pokok (HBSP). Di samping itu, dalam analisis data juga diterapkan metode padan ekstralingual dengan cara menghubungkan masalah fonologi bahasa Jawa Kuno dengan hal-hal yang berada di luar bahasa atau konteks (Mahsun, 2007: 118—121).

3.5 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data disajikan menggunakan metode informal, menggunakan uraian melalui kata-kata termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis. Di samping itu, penyajian hasil analisis data juga menerapkan metode formal dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang yang berlaku dalam bidang ilmu linguistik. Teknik penyajiannya disesuaikan dengan format laporan hasil penelitian Hibah Grup Riset Universitas Udayana.

3.6 Bagan Alir Penelitian

Penelitian fonologi bahasa Jawa Kuno yang telah dilakukan peneliti terdahulu dijadikan bahan referensi untuk memperluas wawasan fonologis peneliti dalam mengkaji sistem fonologi bahasa Jawa Kuno lebih lanjut. Penelitian fonologi bahasa Jawa Kuno dimulai dari pendeskripsian dan analisis secara komprehensif serta mendalam tentang satuan-satuan fonologi bahasa Jawa Kuno. Hasil analisis tersebut berupa kaidah-kaidah fonologi bahasa Jawa Kuno. Selanjutnya, kaidah-kaidah fonologi bahasa Jawa Kuno itu disajikan dalam bentuk buku referensi (tercetak dan ber-ISBN) sebagai bahan ajar matakuliah Fonologi Bahasa Jawa Kuno di setiap program studi yang menawarkan matakuliah Fonologi Bahasa Jawa Kuno atau bahasa Kawi yang ada di Indonesia.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO8

BAB IV

FONEM DAN AKSARA JAWA KUNO (AKSARA KAWI)

Fonem dan Aksara Jawa Kuno

Bahasa Jawa Kuno memiliki sejarah masa perkembangan sangat panjang, meliputi masa berabad-abad. Bahasa Jawa Kuno pertama kali ditemukan dalam Prasasti Sukabumi tertanggal 25 Maret 804. Prasasti Sukabumi merupakan piagam pertama yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Sejak saat itu pula, bahasa Jawa Kuno dipakai dalam kebanyakan dokumen resmi. Karena itu, tanggal 25 Maret 804 diklaim sebagai tonggak awal sejarah bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder, 1985: 3—4).

Seiring dengan perkembangan bahasa Jawa Kuno yang meliputi masa sangat panjang, tampaknya aksara Jawa Kuno juga mengalami perkembangan. Pada masa awal, bahasa Jawa Kuno ditulis menggunakan aksara Jawa Kuno atau juga disebut aksara Kawi, yakni jenis aksara yang berasal dari aksara Pallawa. Casparis (1975) membagi tahapan perkembangan aksara Jawa Kuno, yaitu:

(1) Aksara Jawa Kuno/Aksara Kawi Tahap Awal meliputi masa periode 750—925 M. Bentuk hurufnya terdiri atas tipe bentuk kuna, sebagaimana ditemukan dalam Prasasti Dinoyo di Malang, Prasasti Sangkhara di Sragen, Prasasti Plumpungan di Salatiga; serta tipe bentuk standar, seperti ditemukan dalam Prasasti Rukam dan Prasasti Munduan di Temanggung, dan Prasasti Rumwiga di Bantul.

(2) Aksara Jawa Kuno/Aksara Kawi Tahap Akhir meliputi masa periode 925—1250 M. Aksara Jawa Kuno/Kawi periode ini ditemukan dalam Prasasti Lemahabang di Lamongan, Prasasti Cibadak di Sukabumi, dan Prasasti Ngantang di Malang.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 9

(3) Aksara Jawa Kuno periode Majapahit meliputi masa periode 1250—1450 M. Aksara Jawa Kuno/Kawi jenis ini ditemukan dalam Prasasti Kudadu di Mojokerto, Prasasti Adan-adan di Bojonegoro, dan Prasasti Singhasari di Malang.

Tampaknya setelah periode Majapahit berakhir, aksara Jawa Kuno/aksara Kawi tidak lagi digunakan menuliskan bahasa Jawa Kuno. Pada periode berikutnya, ada kemungkinan peran aksara Jawa Kuno/Aksara Kawi digantikan oleh aksara Jawa, aksara Bali, aksara Sunda, dan aksara Buda dalam penulisan bahasa Jawa Kuno, terutama penulisan bahasa Jawa Kuno di dalam karya sastra, baik sastra parwa, kakawin, maupun tutur-tattwa. Jawa, Bali, Sunda merupakan wilayah pewaris bahasa dan sastra Jawa Kuno yang diduga memiliki aksara berasal dari aksara Jawa Kuno/aksara Kawi.

Di Bali, sejak bahasa Jawa Kuno mulai masuk ke Bali pada abad ke-11, yakni pada masa pemerintahan Raja Udayana Warmadewa sampai saat ini masih tetap dipelihara dan ditulis dengan menggunakan aksara Bali Swalalita. Bahasa Jawa Kuno dipakai media dalam penggubahan karya sastra kakawin, parwa, dan tutur-tattwa. Demikian pula, bahasa Jawa Kuno digunakan dalam seni pertunjukan wayang, baik wayang kulit maupun wayang orang serta dramatari, seperti dramatari gambuh, arja, dan sendratari.

Aksara Bali Swalalita memiliki 15 fonem vokal, terdiri atas a, à, i, ì, u, ù, å, æ, í, e, ai, o, au, ê, ö. Fonem /í/ (í dirga) yang ada di dalam aksara Jawa Kuno/Aksara Kawi tidak ditemukan dalam vokal aksara Bali Swalalita. Sementara itu, fonem konsonan aksara Bali Swalalita terdiri atas 33 buah, meliputik, kh, g, gh, ò,c, ch, j, jh, ñ, þ, þh, ð, ðh, ó, t, th, d, dh, n, p, ph, b, bh, m, y, r, l, w, ú, û, s, h. Akan tetapi, bunyi ð, ðh, dan dh ditulis dengan lambang aksara yang sama, yakni /ŒÒ/ yang disebut dengan istilah d-madu.

Demikian pula, masyarakat di sekitar wilayah Merapi-Merbabu sebagai pewaris tradisi sastra Jawa Kuna di Jawa Tengah memiliki aksara sendiri dalam menuliskan bahasa Jawa Kuno, yang disebut aksara Buda (van der Molen, 1983, Wiryamartana, 1990).

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO10

Namun demikian, pembicaraan fonem bahasa Jawa Kuno dalam penelitian ini tetap berdasarkan hasil identifikasi aksara Jawa Kuno dengan bentuk standar sebagaimana dikemukakan oleh Holle (1882).

Fonem ialah satuan bunyi terkecil yang dapat membedakan makna (Haryanta, 2012:73). Fonem juga merupakan bunyi fungsional. Fonem dilambangkan dengan huruf yang diapit di antara dua garis miring (Verhaar, 2010:67). Sebagaimana bahasa-bahasa umumnya, bahasa Jawa Kuno memiliki fonem yang dilambangkan dengan huruf Jawa Kuno. Hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa fonem bahasa Jawa Kuno terdiri atas fonem vokal dan fonem konsonan (Mardiwarsito dkk., 1984; Zoetmulder dkk., 1995).

Sebagaimana dikemukakan Holle (1882), fonem konsonan bahasa Jawa Kuno terdiri atas 33 fonem, yaitu k, kh, g, gh, ò,c, ch, j, jh, ñ, þ, þh, ð, ðh, ó, t, th, d, dh, n, p, ph, b, bh, m, y, r, l, w, ú, û, s, h yang dilambangkan dengan huruf (aksara Jawa Kuno) sebagai berikut.

Sumber: Aksara Kawi – Wikipedia bahasa Indonesia

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 11

Fonem vokal bahasa Jawa Kuno terdiri atas 16 fonem, terdiri atas a, à, i, ì, u, ù, e, ai, o, au,ê, ö, å, æ, í, í yang dilambangkan dengan huruf (aksara) Jawa Kuno sebagai berikut.

Sumber: Aksara Kawi – Wikipedia bahasa Indonesia

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO12

Zoetmulder (1985; 1995) menyatakan bahwa fonem vokal bahasa Jawa Kuna hanya berjumlah 13 buah, terdiri atas a, à, ê, ö, i, ì, u, ù, å, e, ai, o, au. Vokal æ, í, dan í (dirga) tidak ditemukan pemakaiannya dalam kosa kata Jawa Kuno, baik pada karya sastra parwa, kakawin, maupun tutur-tattwa.

Bahasa, aksara, dan sastra Jawa Kuno banyak mendapat pengaruh dari aksara, bahasa, dan sastra Sanskerta (Holle, 1882; Brandes, 1889, Casparis, 1975; Zoetmulder, 1985). Diduga bahwa aksara Jawa Kuno berasal dari aksara Pallawa yang kemudian dimodifikasi di Jawa sekitar abad VIII. Dalam setiap bahasa, akulturasi merupakan faktor perubahan yang penting, dan perkembangan yang dialami bahasa Jawa Kuno. Dalam proses modifikasi aksara Pallawa, aksara Jawa Kuno tetap mempertahankan ciri-cirinya sebagai aksara Nusantara. Salah satu bukti adalah munculnya vokal ě (pepet) dan ö (pepet panjang) yang tidak ditemukan dalam aksara Pallawa ataupun dalam bahasa Sanskerta. Proses akulturasi dalam bahasa Jawa Kuno menunjukkan keunikan bahwa unsur-unsur asing dibaurkan ke dalam bahasa Jawa Kuno sedemikian rupa sehingga susunan dan sifatnya sebagai sebuah bahasa Nusantara tetap utuh. Dalam proses meminjam dan mencangkokkan kata-kata Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno umumnya tidak mengalami perubahan fonetis. Tidak ditemukan jejak bahwa kata-kata Sanskerta disesuaikan dengan pola-pola bunyi dalam bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder, 1985:13).

Bahasa Jawa Kuno tidak lagi memiliki penutur asli. Lagipula, bahasa Jawa Kuno hanya diwarisi melalui bahan-bahan tertulis. Akan tetapi, jika dapat diasumsikan bahwa versi lisan bahasa Jawa Kuno itu tidak jauh berbeda dengan versi tertulis (Zoetmulder, 1985: 11), maka ada kemungkinan dari segi artikulasi fonetis, baik tempat maupun cara artikulasi terhadap konsonan dan vokal bahasa Jawa Kuno diinterpretasikan berdasarkan perbandingan dengan bahasa Sanskerta atau sistem yang disanskertakan, kecuali vokal ê, ö yang tidak ada dalam bahasa Sanskerta sehingga diperbandingkan dengan

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 13

bahasa Jawa dan bahasa Bali. Dengan demikian, konsonan bahasa Jawa Kuno dapat dikelompokkan menurut artikulasi fonetisnya sebagai berikut.

gutturals (kaóþhya) : k, kh, g, gh, ÿ

palatals (tàlavya) : c, ch, j, jh, ñ

linguals (mùrdhanya) : þ, þh, ð, ðh, ó

dentals (daóþya) : t, th, d, dh, n

labials (oûþhya) : p, ph, b, bh, m

sibilan (uûma) : s (dental), û (lingual), ú (palatal)

semivokal : y, r, l, w

aspirat (visarga) : h

Fonem vokal bahasa Jawa Kuno dapat dikelompokkan menurut artikulasi fonetisnya, yakni posisi lidah dan bentuk bibir sebagai berikut.

bunyi rendah-depan-tak bulat : a, à

bunyi tinggi-depan-tak bulat : i, ì

bunyi tinggi-belakang-bulat : u, ù

bunyi tengah-depan-tak bulat : e

bunyi agak rendah-depan-tak bulat : ai

bunyi tengah-belakang-bulat : o

bunyi agak rendah-belakang-bulat : au

bunyi tengah-pusat-tak bulat : ê, ö

bunyi tengah-pusat-tak bulat : å, æ

bunyi tengah-pusat-tak bulat : í, í

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO14

Cara Pelafalan Bunyi Bahasa Jawa Kuno

Cara melafalkan bunyi bahasa menggunakan alat ucap. Muslich (2009) menyatakan bahwa organ-organ tubuh yang digunakan sebagai alat ucap dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu (1) komponen supraglotal, terdiri atas rongga kerongkongan, rongga hidung, dan rongga mulut. Alat-alat ucap pada rongga mulut bagian atas, meliputi bibir atas (labium), gigi atas (dentum), pangkal gigi atas (alveolum), langit-langit keras (palatum), langit-langit lunak (velum), anak tekak (uvula). Alat-alat ucap pada rongga mulut bagian bawah meliputi bibir bawah (labium), gigi bawah (dentum), ujung lidah (apeks), tengah lidah (lamina), belakang lidah (dorsum), dan akar lidah (radiks); (2) komponen laring, di dalamnya terdapat pita suara yang berfungsi sebagai klep yang mengatur arus udara antara paru-paru, mulut, dan hidung; (3) komponen subglotal, terdiri atas paru-paru kiri dan kanan, saluran bronkial, dan saluran pernafasan (trakea).

Alat ucap dalam bahasa Jawa Kuno terdiri atas kaóþha (tenggorokan), tālu (anak tekak), oûþhya (bibir), mūrdhā (langit-langit), danta (gigi), dan jihwā (lidah). Alat-alat ucap bisa berperan sebagai alat ucap aktif (artikulator) dan alat ucap pasif (titik artikulasi). Alat ucap tersebut mengalami berbagai kemungkinan pertemuan dalam menghasilkan bunyi yang di kalangan fonetisi disebut artikulasi (Muslich, 2009).

Bahasa Jawa Kuno dikatagorikan sebagai bahasa mati karena tidak lagi digunakan oleh penutur aslinya dalam berkomunikasi sehari-hari. Sekalipun di Bali bahasa Jawa Kuno masih digunakan secara lisan dalam seni pertunjukan wayang misalnya, hal itu tidak dapat dijadikan bukti valid karena orang Bali bukanlah penutur asli bahasa Jawa Kuno. Karena itu, pelafalan bunyi bahasa Jawa Kuno sulit dipastikan sehingga hanya bisa dilakukan interpretasi melalui perbandingan, baik dengan bahasa Sanskerta (aksara Pallawa) sebagai asalnya maupun bahasa (aksara) Bali dan bahasa (aksara) Jawa sebagai bentuk perkembangannya. Dengan demikian, cara pelafalan aksara Jawa Kuno/aksara Kawi dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 15

Bunyi Vokal:

[a] diucapkan dengan cara mengaturdepan lidahdalam posisi merendah sehingga menjauh dari langit-langit keras dan posisi bibir merata atau tidak bulat. Rahang bawah diturunkan sejauh-jauhnya dari rahang atas. Misalnya, [a] pada [aran], pada [abala]. Di Bali, [a] pada akhir kata bahasa Jawa Kuno diucapkan seperti [ǝ] sesuai dengan dialek Bali. Misalnya, [a] pada [abhaya] akan diucapkan [abhayǝ]

[ā] diucapkan seperti [a] tetapi lebih panjang. Misalnya, [ā] pada [ādika], pada [abhāwa], pada [ābhā]. Di Bali, [ā] pada akhir kata bahasa Jawa Kuno diucapkan seperti [ǝ] tetapi lebih panjang. Misalnya, [ā] pada [ābha] akan diucapkan [ābhǝ]

[i] diucapkan dengan cara mengatur depan lidah dalam posisi meninggi mendekati langit-langit keras dan posisi bibir merata atau tidak bulat. Misalnya, [i] pada [ika], pada [ilik], pada [iki]

[ī] diucapkan seperti [i] tetapi lebih panjang. Misalnya, [ī] pada [īśa], pada [iûīka], pada [akûohióī]

[u] diucapkan dengan cara menaikkan bagian belakang lidah mendekati langit-langit keras dan posisi bibir membulat. Misalnya, [u] pada [uga], pada [ubub], pada [udu]

[ù] diucapkan seperti [u] tetapi lebih panjang. Misalnya, [ù] pada [ùna], pada [mùrka], pada [wadhù]

[e] diucapkan dengan cara menaikkan bagian depan lidah dan posisi bibir merata atau tidak bulat. Misalnya, [e] pada [ebeg], pada [jaleśa], pada [jambe]

[ai] diucapkan dengan mengatur posisi lidah agak rendah dan posisi bibir merata atau tidak bulat. Misalnya, [ai] pada [aig], pada [aiśwarya], pada [daitya]

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO16

[o] diucapkan dengan menaikkan bagian belakang lidah sehingga agak mendekati langit-langit keras dan posisi bibir membulat. Misalnya, [o] pada [ogha], pada [obor]

[au] diucapkan dengan mengatur posisi lidah agak merendah dan posisi bibir membulat. Misalnya, [au] pada [auûadha], pada [śauca], pada [saubhāgya]

[ě] diucapkan dengan mengatur posisi lidah merata di bagian tengah, rahang bawah dalam posisi netral, dan posisi bibir tidak membulat. Misalnya, [ě] pada [êðêk], pada [rêÿkà]

[ö] diucapkan seperti [ê] tetapi lebih panjang. Misalnya, [ö] pada [öd], pada [söÿ], pada [rêÿö]

[å] diucapkandengan mengatur posisi lidah merata di bagian tengah dan sedikit digetarkan, rahang bawah dalam posisi netral, dan posisi bibir tidak membulat. Misalnya, [å] pada [åûi], pada [tåûóa]

Bunyi Konsonan:

[k] diucapkan dengan cara mengatur pangkal lidah sebagai artikulator agar menyentuh langit-langit lunak sebagai titik artikulasi. Misalnya, [k] pada [kajar], pada [kakara], pada [karttika], pada [padik]

[kh] diucapkan seperti [k] tetapi disertai hembusan h (aspirat). Misalnya, [kh] pada [khadga], pada [mekhala], pada [mukhya], pada [mukha]

[g] diucapkan dengan cara mengatur pangkal lidah sebagai artikulator agar menyentuh langit-langit lunak sebagai titik artikulasi. Misalnya, [g] pada [gadā], pada [gagak], pada [aděg]

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 17

[gh]diucapkan seperti [g] tetapi disertai hembusan h (aspirat). Misalnya, [gh] pada [ghana], pada [wighna], pada [aghåóa], pada [amogha]

[ÿ] diucapkan dengan cara arus udara yang mengalir melalui rongga mulut ditutup rapat, tetapi dialirkan lewat rongga hidung. Misalnya, [ÿ] pada [ÿaran], pada [amaÿan], pada [mariÿ]

[c] diucapkan dengan cara mengatur posisi bagian tengah lidah sebagai artikulator agar menyentuh langit-langit keras sebagai titik artikulasi. Arus udara ditutup rapat, lalu dilepas secara perlahan-lahan. Misalnya, [c] pada [cakar], pada [cacad], pada [waca].

[ch] diucapkan seperti [c] tetapi diikuti dengan h (aspirat) dihembus. Misalnya, [ch] pada [chāyā], pada [chidra], pada [chedaÿga], pada [iccha]

[j] diucapkan dengan cara mengatur posisi bagian tengah lidah sebagai artikulator agar menyentuh langit-langit keras sebagai titik artikulasi. Arus udara ditutup rapat, lalu dilepas secara perlahan-lahan. Misalnya, [j] pada [jaga], pada [gajah], pada [yajña], pada [paÿkaja]

[jh] diucapkan seperti [j] disertai h (aspirat) yang dihembuskan. Misalnya, [jh] pada [jhag], pada [nirjhara], pada [jhaþiti], pada [jharjharita]

[ñ] diucapkan dengan mengatur bagian tengah lidah agar menyentuh langit-langit keras, dan arus udara yang mengalir melalui rongga mulut ditutup rapat, tetapi dialirkan lewat rongga hidung. Misalnya, [ñ] pada [ñaman], pada [kañcana], pada [yajña]

[þ] diucapkan dengan cara ujung lidah sebagai artikulator menyentuh kaki gigi atas sebagai titik artikulasi. Misalnya, [þ] pada [þika], pada [kuþāra], pada [tuûþa]

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO18

[þh] diucapkan seperti [þ] diikuti h (aspirat) yang dihembuskan. Misalnya, [þh] pada [þhara], pada [anteûþhikarya], pada [påûþha]

[ð] diucapkan dengan cara ujung lidah (apeks) sebagai artikulator menyentuh kaki gigi atas (alveolum) sebagai titik artikulasi. Misalnya, [ð] pada [ðah], pada [ðêðês], pada [ðaðaÿan]

[ðh] diucapkan seperti [ð] disertai h (aspirat) yang dihembuskan. Misalnya, [ðh] pada [dāðhā]

[ó] diucapkan dengan cara ujung lidah (apeks) sebagai artikulator menyentuh kaki gigi atas (alveolum) sebagai titik artikulasi, arus udara yang melewati rongga mulut ditutup rapat, tetapi arus udara dialirkan lewat rongga hidung. Misalnya, [ó] pada [aóþêÿ], pada [nirbaóa]

[t] diucapkan dengan cara ujung lidah menyentuh gigi atas. Misalnya, [t] pada [tabêh], pada [śaratala], pada [sarat]

[th] diucapkan seperti [t] disertai h (aspirat) yang dihembuskan. Misalnya, [th] pada [thàni], pada [sthiti], pada [yatha], pada [pathya]

[d] diucapkan dengan cara ujung lidah menyentuh gigi atas. Misalnya, [d] pada [dadi], pada [bhadra], pada [śabda], pada [padma], pada [sad]

[dh] diucapkan seperti [d] disertai h (aspirat) yang dihembuskan. Misalnya, [dh] pada [dhwaja], pada [dhyana], pada [madhya], pada[dhana], pada [dhanurdhara], pada [mudha]

[n] diucapkan dengan cara ujung lidah menyentuh gigi atas danarus udara yang melewati rongga mulut ditutup rapat, tetapi dialirkan lewat rongga hidung. Misalnya, [n] pada [ndak], pada [naga], pada [nagantun]

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 19

[p] diucapkan dengan cara bibir bawah sebagai artikulator menyentuh bibir atas sebagai titik artikulasi. Misalnya, [p] pada [panah], pada [sapta], pada [tapa], pada [harěp]

[ph] diucapkan seperti [p] diikuti h (aspirat) yang dihembuskan. Misalnya, [ph] pada [phala], pada [phālguna], pada [phalāśrama]

[b] diucapkan dengan cara bibir bawah sebagai artikulator menyentuh bibir atas sebagai titik artikulasi. Misalnya, [b] pada [bapa], pada [sabda], pada [atab]

[bh] diucapkan seperti [b] diiukti h (aspirat) yang dihembuskan. Misalnya, [bh] pada [bhaga], pada [wibhawa], pada [sabhya], pada [sabha]

[m] diucapkan dengan cara ujung lidah menyentuh gigi atas danarus udara yang melewati rongga mulut ditutup rapat, tetapi dialirkan lewat rongga hidung. Misalnya, [m] pada [mala], pada [mambaÿ], pada [karma], pada [malam]

[s] diucapkan dengan cara ujung lidah menyentuh gigi atas dan arus udara dihambat sedemikian rupa, tetapi tetap dapat keluar lewat rongga mulut. Misalnya, [s] pada [sada], pada [pastha], pada [raras]

[ś] diucapkan dengan cara mengatur bagian tengah lidah menyentuh langit-langit keras dan arus udara dihambat sedemikian rupa, tetapi tetap dapat keluar lewat rongga mulut. Misalnya, [ś] pada [śrī], pada [paścat]

[û] diucapkan dengan cara ujung lidah sebagai artikulator menyentuh kaki gigi atas sebagai titik artikulasidan arus udara dihambat sedemikian rupa, tetapi tetap dapat keluar lewat rongga mulut. Misalnya, [û] pada [ûadpaða], pada [śiûya], pada [wiûaya], pada [warûa]

[y] diucapkan dengan cara mengatur bagian tengah lidah sebagai artikulator menyentuh langit-langit keras sebagai

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO20

titik artikulasi, dan udara keluar melalui rongga mulut dengan menutupkan velik pada dinding faring. Misalnya, [y] pada [yoni], pada [haywa], pada [apuy]

[r] diucapkan dengan cara mengatur ujung lidah menyentuh gusi atau kaki gigi atas serta arus udara ditutup dan dibuka berulang-ulang secara tepat. Misalnya, [r] pada [rawi], pada [karóa], pada [sêkar]

[l] diucapkan dengan cara mengatur ujung lidah menyentuh gusi atau kaki gigi atas serta arus udara ditutup sedemikian rupa sehingga masih bisa keluar melalui sisi rongga mulut. Misalnya, [l] pada [lwah], pada [lama], pada [kalpa], pada [alal]

[w] diucapkan dengan cara mengatur bibir bawah sebagai artikulator menyentuh bibir atas sebagai titik artikulasi. Misalnya, [w] pada [wana], pada [sawya], pada [bhawa]

[h] diucapkan dengan cara udara yang keluar dari paru-paru digesekkan ke tenggorokan. Misalnya, [h] pada [hulun], pada [duhka], pada [pêjah]

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 21

BAB VDISTRIBUSI FONEM DAN POLA PERSUKUAN BAHASA JAWA

KUNO

Distribusi Fonem Bahasa Jawa KunoDistribusi fonem ialah persebaran fonem ke berbagai posisi.

Menurut Parera (1983) distribusi fonem bisa berfokus pada lingkungantutur, kata, morfem, unsur suprasegmental, dan suku kata. Namun, modeldistribusi fonem semacam itu tidak bisa ditemukan dalam semua bahasa(Muslich, 2009). Oleh karena itu, distribusi fonem bahasa Jawa Kunodalam penelitian ini lebih banyak dilihat dari suku kata dan kata didasaripertimbangan situasi dan kondisi bahasa Jawa Kuno sebagai bahasa yangtidak lagi digunakan sebagai medium komunikasi sehari-hari dan tidaklagi memiliki penutur asli.

A. Fonem Vokal:Distribusi fonem vokal bahasa Jawa Kuno dilihat dalam

hubungannya dengan suku kata atau kata adalah masing-masing sebagaiberikut.

FonemVokal

Distribusi dalam hubungannya dengan suku kata dan atau kataAwal Tengah Akhir

/a/ [aběn] ‘serang’[abdhi] ‘samudera’

[adyut] ‘sinar’[agni] ‘api’

[aho] ‘siang hari’[aji] ‘teks suci’[akěn] ‘seperti’

[alěh] ‘letih’[ambět] ‘lentur’[aóðěg] ‘henti’[aÿgěh] ‘tetap’

[añjing] ‘anjing’[apuh] ‘kapur’[ardi] ‘gunung’[astri] ‘doa-doa’

[atus] ‘ratus’[awe] ‘memberi

isyarat’[ayut] ‘tergila-gila’

[bahni] ‘api’[caóði] ‘candi’

[dagdhi]‘terbakar’

[ganti] ‘gilir’[hasti] ‘gajah’[jaÿgut] ‘dagu’[kantên] ‘jelas’[lampus] ‘mati’

[maksih] ‘masih’[nandini] ‘lembu

putih’[pasti] ‘tentu’

[raśmi] ‘pesona’[sadyuh] ‘sorga’[tambiÿ] ‘pinggir[wagyu] ‘geger’

[yan] ‘jika’

[bhīma]‘menakutkan’

[citra] ‘lukisan’[dina] ‘hari’[eka] ‘satu’

[guhya] ‘rahasia’[hima] ‘kabut’

[ika] ‘itu’[jihwa] ‘lidah’[kita] ‘kamu’[lima] ‘lima’

[megha] ‘awan’[nitya] ‘selalu’

[ora] ‘tidak’[peda] ‘kejam’

[ruddha]‘terhalang’[tīra] ‘tepi’

[ūrdha] ‘tinggi’[wīja] ‘bibit’

BAB VDISTRIBUSI FONEM DAN POLA PERSUKUAN

BAHASA JAWA KUNO

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO22

[yuddha] ‘perang’/ā/ [ābhā] ‘semarak’

[ācāri]‘perempuan’

[ādi] ‘permulaan’[āgama] ‘agama’[āhuti] ‘korban

suci’[ājña] ‘perintah’[ākrti] ‘bentuk’

[ālocita]‘pertimbangan’[ānana] ‘mulut][āpti] ‘harap’

[ārya] ‘ningrat’[āśih] ‘berkah’[ātma] ‘jiwa’

[āwaraóa]‘halangan’

[āyuûa] ‘umur’

[bāp] ‘banyak’[ācārya] ‘guru’

[dān] ‘siap’[gāóðewa] ‘busur

panah’[hāt]

‘keprihatinan’[jāhnawi] ‘sungai’

[kārya] ‘tugas’[lāÿgūla] ‘ekor’

[māÿśa] ‘daging’[nāstika] ‘kafir’

[pādya] ‘airpembasuh’

[rājya] ‘istana’[sāk] ‘pecah’

[tāmra] ‘tembaga’[wāhya] ‘tampak

luar’[yātra] ‘ziarah’

[alā] ‘menjulur’[bhrā] ‘kilau’

[ceûþā] ‘isyarat’[daÿstrā] ‘taring’

[gadā] ‘gada’[hiÿsā] ‘luka-luka’

[iÿā] ‘gerak’[jihwā] ‘lidah’[kanyā] ‘dara’[lambā] ‘bulu’

[maÿkā] ‘maka’[nanā] ‘rusak’[ÿkā] ‘di sana’

[pāramitā]‘kebajikan’[ratā] ‘rata’

[sabhā]‘pertemuan’

[tatā] ‘aturan’[ulā] ‘ular’

[wêÿā] ‘lubang’[yathā] ‘seperti’

/i/ [ibha] ‘gajah’[icuk] ‘bujuk’[idêr] ‘putar’[igêl] ‘tari’

[ihatra] ‘di sini’[ijyā] ‘korban’

[ika] ‘itu’[ilir] ‘alir’[ilu] ‘ikut’

[imbuh] ‘tambah’[inak] ‘enak’[iÿêr] ‘gerak’

[iñcut] ‘lika-liku’[ipuk] ‘pelihara’

[iraÿ] ‘malu’[isêp] ‘hisap’

[iti] ‘demikian’[iwak] ‘ikan’

[biÿgêl] ‘gelangkaki’

[bintaÿ] ‘bintang’[biñcaÿ] ‘rindu’

[cihna] ‘ciri’[cipta] ‘pikiran’[digda] ‘tekun’

[dik] ‘arah’[dhik] ‘ancaman’[gimbal] ‘gimbal’

[giÿgaÿ]‘guncang’

[hir] ‘pelan-pelan’[jihma] ‘bohong’

[kimburu]‘cemburu’

[lintaÿ] ‘bintang’[liÿ] ‘kata’

[adi] ‘permulaan’[bahni] ‘api’

[bari] ‘sekejap’[camêti] ‘cemeti’[candiki] ‘kolam’

[dadi] ‘jelma, jadi’[dami] ‘jerami’[êmbi] ‘tangis’[eÿgi] ‘goyah’[gaóði] ‘busur’[ganti] ‘ganti’[gupi] ‘bicara’

[hani] ‘padikuning’

[hari] ‘singa’[idi] ‘usik’[iki] ‘ini’

[jampi] ‘obat

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 23

[iya] ‘sungguh’ [liñcak] ‘lincah’[minda] ‘biri-biri’

[miÿmaÿ]‘terbalik’

[nimna] ‘kasar’[nindya] ‘cela’

[ÿis] ‘cepat’[pióða] ‘rupa’[pinta] ‘pinta’[piÿhe] ‘putih’

[piñcang]‘pincang’

[rimbas] ‘kapak’[rióði] ‘bola’

[riÿgit] ‘wayang’[riñci] ‘rinci’

[simpaÿ]‘simpang’

[siódêt] ‘jerat’[siÿ] ‘apapun’[siñjaÿ] ‘kain’

[timbal] ‘timbal’[tindak] ‘tindak’[tióðes] ‘tindas’[tiÿgal] ‘tinggal’[tiñjo] ‘tinjau’

[wighna]‘bencana’[wiÿkiÿ]

‘punggung’

penawar’[janmi] ‘manusia’[jāti] ‘status lahir’[kasturi] ‘kesturi’

[kaki] ‘kakek’[kalambi] ‘baju’

[kawi] ‘pujangga’[lagi] ‘lagi’

[lindi] ‘pesona’[mandi] ‘mujarab’[mantri] ‘menteri’

[maÿsi] ‘tinta’[nami] ‘nama’

[nīti] ‘ilmu politik’[paðahi]

‘genderang’[pêti] ‘hitam’[peni] ‘barang

mulia’[pipi] ‘pipi’

[prāói] ‘mahlukhidup’

[rabi] ‘istri’[åûi] ‘pendeta’[riÿi] ‘tajam’

[rukmi] ‘emas’[sagi] ‘jenis hewan

air’[sêmi] ‘tunas’

[siddhi] ‘sukses’[taji] ‘taji’[têpi] ‘tepi’

[titi] ‘aturan’[tåpti] ‘puas’

[uri] ‘belakang’[wahni] ‘api’[wêli] ‘beli’

/ī/ [īrûya] ‘dengki’[īs] ‘alir’

[īśa] ‘yangberkuasa’

[īśāna] ‘namaSiwa’

[bhīma]‘mengerikan’

[bhīru] ‘penakut’[bhīûaóa]

‘menakutkan’[bhīta] ‘takut’

[bāóī] ‘bahasa’[bhaÿgī] ‘cara’[bratī] ‘pertapa’

[ceþī] ‘pembantu’[dampatī] ‘suami-

istri’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO24

[īśitwa]‘keunggulan’[īśwara] ‘raja’[īśwari] ‘ratu’

[dīkûā] ‘inisiasi’[dīna] ‘murung’[dīpa] ‘lampu’[dhīra] ‘berani’

[dīrgha] ‘panjang’[gīta] ‘nyanyian’

[grhīta] ‘diterima’[hīna] ‘hina’[hīs] ‘aliran’

[jīwa] ‘hidup’[kīróa] ‘tersebar’

[kīrti] ‘jasa’[krīda] ‘main’[līlā] ‘main’

[līna] ‘musnah’[mīna] ‘ikan’

[nāgawīthī] ‘jalannaga’

[nīca] ‘hina’[pīta] ‘kuning’

[prīti]‘kesenangan’[samīpa] ‘di

samping][śarīra] ‘tubuh’

[śīghra] ‘segera’[tīrtha] ‘air suci’

[wīja] ‘benih’[wīra] ‘pahlawan’[wwīt] ‘asal-usul’

[dhyayī] ‘kusuk’[dewatī] ‘dewi’[gharióī] ‘istri’[hênī] ‘pasir’[hilī] ‘arus’

[lakûmī] ‘semarak’[luÿgī] ‘naik’[mahiûī] ‘ratu’[mālinī] ‘nama

metrum’[mañjarī]

‘serangkai bunga’[metrī] ‘kebajikan’

[nadī] ‘sungai’[narī] ‘perempuan’

[nawamī]‘kesembilan’

[padminī] ‘wanitaulung’

[påthiwī] ‘tanah’[purī] ‘istana’[putrī] ‘putri’

[rāgī] ‘tergila-gila’[rewatī] ‘namagugus bintang’

[rirī] ‘lemahlembut’

[śacī] ‘istri DewaIndra’

[śikharióī]‘gunung’

[smarī] ‘Ratih’[śåī] ‘kesuburan’

[sukī] ‘pusat roda’[swī] ‘desakan’[tamwī] ‘tamu’[tandrī] ‘lesu’

[ūróī] ‘berpakaianwol’

[usī] ‘serang’[wāgiśwarī] ‘dewi

bicara’[waitarinī] ‘nama

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 25

sungai’[yakûī] ‘raksasa

perempuan[yogī] ‘pertapa’[yuwatī] ‘gadis

remaja’/u/ [ubhaya] ‘janji’

[ubêÿ] ‘keliling’[ucap] ‘ucap’

[ucul] ‘timbul’[udaka] ‘air’

[uðul] ‘menganga’[ugra] ‘hebat’

[ugug] ‘enggan’[uhuh] ‘teriak’

[uhut]‘memberitahu’

[ujar] ‘ujar’[ujwala] ‘menyala’[ukêl] ‘gulungan’[ukih] ‘tangkap’

[ulah] ‘ulah’[ulêÿ] ‘jalin’

[umah] ‘rumah’[umbaÿ] ‘apung’[unata] ‘tinggi’[uóðuh] ‘kocok’

[unmatta]‘bingung’

[upadi] ‘pengganti’[upêk] ‘tekan’

[uroja] ‘buah dada’[urut] ‘utas’[usap] ‘usap’[usên] ‘cepat’[utêk] ‘otak’

[uwah] ‘ulang’[uyuh] ‘airkencing’

[abuk] ‘sombong’[buntal] ‘tombak’[cuóðuk] ‘temu’

[duk] ‘waktu’[ðumpil] ‘ikut

serta’[êluk] ‘bengkok’

[êmuk]‘selubung’

[guluÿ]‘gelinding’

[hub] ‘pelindung’[iÿguÿ] ‘goyang’[jrum] ‘tipu daya’[kum] ‘merendam

diri’[lumpat] ‘lompat’[mudgara] ‘palu’[nuknuk] ‘himpit’

[ÿuk] ‘pertikelpenegas’

[ñamut] ‘samar’[oyuh] ‘ayo’

[pukpuk] ‘jenisburung’[sugya]

‘mungkin’[śuddhi] ‘murni’

[tuÿgir]‘punggung’

[turóa] ‘dengancepat’

[upup] ‘cekik’[wruh] ‘tahu’

[wuÿkuk]‘bongkok’

[yukti] ‘cocok’

[abu] ‘abu’[adu] ‘adu’

[bahu] ‘sering’[camuru] ‘anjing’[cupu] ‘pot keci’

[dadu] ‘dadu’[ðalu] ‘saling

tatap’[ênu] ‘jalan’[êru] ‘ujung’

[ewu] ‘seribu’[garu] ‘garu’

[gisu] ‘bingung’[halu] ‘pentung’[hyu] ‘ikan hiu’[jalu] ‘laki-laki’[juru] ‘kepala’[kayu] ‘pohon’[ketu] ‘tanda’[lêsu] ‘lemah’[luru] ‘pucat’

[madhu] ‘madu’[mululu]

‘menyembur’[namu] ‘lenyap’

[ÿêlu] ‘sakitkepala’

[ñambu] ‘jambu’[oru] ‘campur-

baur’[padu] ‘sudut’[pitu] ‘tujuh’

[rabu] ‘lumpurkering’

[renu] ‘pasir’[sādhu] ‘baik’

[setu] ‘jembatan’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO26

[yuyut] ‘buyutlelaki’

[tiru] ‘tiru’[ulu] ‘telan’

[wibhu] ‘kuasa’[yuyu] ‘kepiting’

/ū/ [ūha] ‘mengerti’[ūna] ‘kurang’

[ūnādika] ‘sesuatuyang dikerjakan

atau tidakdikerjakan’

[ūnarātri] ‘kurangsemalam’

[ūr] ‘pergi’[ūr.dha] ‘luhur’[ūrdhabhāwana]‘meditasi yang

agung’[ūrdhadeha]

‘bagian atas badan’[ūrmi] ‘ombak’

[ūróā] ‘permata didahi’

[ūróī] ‘memakaipakaian wol’[ūta] ‘yang

ditenun’[ūtagahana] ‘amat

dalam’

[amūrti] ‘tanpabentuk’

[bhūh] ‘bumi’[bhūmi] ‘bumi’[bhūr] ‘bumi’[cūla] ‘cula’

[cūróa] ‘bedak’[cūrnita] ‘remuk’

[dūm] ‘bagi’[dhū.pa] ‘dupa’

[dūra] ‘jauh dari’[gūdha]

‘tersembunyi’[gupgūp] ‘gugup’

[ghūróa]‘bergema’

[krūra] ‘galak’[kūÿ] ‘cinta’

[kūr.ma] ‘penyu’[lūd] ‘lagipula’

[lūm] ‘layu’[luÿ] ‘pucuk’

[muhūrta] ‘satuanwaktu’

[mūlya] ‘mulia’[mūrcha’ pingsan’

[ÿūni] ‘lebihdulu’

[pūh] ‘patah’[pūrwa]

‘permulaan’[pūta] ‘murni’[rūg] ‘hancur’[rūkûa] ‘lesu’[rūm] ‘indah’[sampūróa]‘sempurna’[samūha]

‘kumpulan’

[asū] ‘mengikatmenjadi satu][birū] ‘biru’

[bhrū] ‘kening’[dudū] ‘bukan’[gulū] ‘leher’[hapū] ‘kapur’

[hêmū]‘mengandung’[hênū] ‘jalan’

[hrū] “anak panah’[igū] ‘goyang’[ilū] ‘air liur’[itū] ‘ukuran’

[kêmū] ‘kumur’[kihū] ‘ambruk’

[kipū] ‘kipu’[kukū] ‘mendekur’

[kusū] ‘suram’[lampū]

‘menyerah’[layū] ‘lari cepat’

[lêbū] ‘debu’[lióðū] ‘gempa’[lulū] ‘lolong’[lurū] ‘jatuh’

[namū] ‘kata seru’[nyū] ‘kelapa’

[rêmpū] ‘hancur’[riÿgū] ‘goyang’

[rurū] ‘gugur’[tawū] ‘timba’[tū] ‘benang’[turū] ‘tidur’

[ulū] ‘bergantung’[wadhū] ‘istri’[walū] ‘labu’

[wêlū] ‘keliling’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 27

[śūóya] ‘kosong’[tūb] ‘pukul’[tūs] ‘aliran’[tūt] ‘ikut’

[ulūka] ‘burunghantu’

[wūk] ‘busuk’[wūt] ‘campur’

/e/ [ebeg] ‘tutuppelana’

[edan] ‘gila’[egar] ‘riang[eka] ‘satu’

[elik] ‘benci’[embuh] ‘imbuh’[ena] ‘datanglah’

[eóðe] ‘jenisperisai’

[eÿgi] ‘goyah’[eñcok] ‘mendarat’

[epek] ‘telapaktangan’[er] ‘air’

[esêm] ‘senyum’[estu] ‘nyata’[ewer] ‘tarik’

[eyuÿ] ‘goyah’

[adeÿ] ‘diam’[baðeg]

‘minuman keras’[beñjiÿ] ‘esok

pagi’[chedya] ‘rusak’[ceÿkok] ‘lekuk’[den] ‘adakala’[deÿ] ‘dendeng’

[eñjer] ‘potongankain’

[ewer] ‘tarik’[gempor] ‘lesu’

[geñjoÿ]‘goncang’

[heÿ] ‘bagianluar’

[her] ‘tunggu’[jeÿgot] ‘janggut’

[jer] ‘cair’[kabeh] ‘semua’

[ken] ‘kain’[ler] ‘ke utara’[les] ‘hindar’[men] ‘hibur’

[meÿkene] ‘jadi’[nêÿgeh] ‘konon’

[netra] ‘mata’[ÿel] ‘lelah’

[ñer] ‘merasuk[per] ‘banjir’[pet] ‘cari’

[reh] ‘status’[reges] ‘tidak

berdaun’

[abe] ‘sedikitkesempatan’[ade] ‘beda’

[bade] ‘wadahmayat’

[cabe] ‘cabai’[cale] ‘cela’[de] ‘oleh’

[dede] ‘bukan’[êmbe] ‘embek’[gade] ‘gadai’[gale] ‘tolak’[hale] ‘salah’

[ike] ‘ini’[inte] ‘intai’[jahe] ‘jahe’

[jambe] ‘buahpinang’

[kale] ‘gelanglengan’

[kêle] ‘sembrono’[lale] ‘tembok’[lambe] ‘bibir’

[maÿke] ‘sekarang’[mêne] ‘kini’[ÿkene] ‘sini’[pahe] ‘beda’

[paóðe] ‘pandaibesi’

[rame] ‘indah’[rare] ‘bayi’

[sale] ‘jenis buah’[samage] ‘jenis

pohon’[tabe] ‘ampun’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO28

[sep] ‘cepat’[seûþawa] ‘kritik’

[tembak]‘tembak’

[teÿkek] ‘jenisburung’

[upekûa] ‘sabar’[weh] ‘beri’

[weśma] ‘rumah’[yen] ‘jika’

[tambe]‘permulaan’

[unte] ‘gulung’[ure] ‘jurai’

[wage] ‘nama hari’[we] ‘matahari’

/ai/ [aih] ‘kata seru’[aig] ‘cepat’

[air] ‘air’[aiśanya] ‘timur

laut’[aiśwarya]

‘kekuasaan’

[bhaikûa]‘mengemis’[bhairawa]

‘menakutkan’[caitya] ‘makam

suci’[daitya] ‘raksasa’[daiwa] ‘takdir’[jaimini] ‘nama

pendeta’[kailaśa] ‘nama

gunung’[maitri]

‘kebajikan’[maithuna]‘sanggama’

[nairiti] ‘baratdaya’

[naiyāyika] ‘tahu’[śaila] ‘gunung’

[sainya] ‘prajurit’[śaiwa] ‘pemuja

Siwa’[waibhatsya]‘memuakkan’[wai.cit.ryan]‘kecakapan’

[waidya] ‘tabib’

[wai] ‘matahari’[wuyai] ‘uye’

[lêngai] ‘berjalan’

/o/ [obor] ‘siksa’[ocak] ‘guncang’

[odod] ‘urat darah’[ogha] ‘wanita

[aboÿ] ‘tidaksudi’

[acokûa] ‘najis’[ārogya] ‘sehat’

[aho] ‘siang’[ambo] ‘pengiring’

[ba.o] ‘bangau’[bo] ‘bau busuk’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 29

rindu’[okok] ‘genta sapi’

[olih] ‘oleh’[om] ‘memang’

[on] ‘jika’[oÿkara] ‘suku kata

suci’[opak] ‘dorong’

[orêg] ‘huru-hara’[oûadha] ‘obat’

[otot] ‘otot’[owah] ‘ubah’[owêl] ‘segan’

[oya] ‘ada’[oyuh] ‘ayo’

[bobot] ‘hamil’[bontit] ‘keriting’[codya] ‘paksa’[cor] ‘sumpah’

[doh] ‘jauh’[dok] ‘burung

hantu’[êcok] ‘taruhan’

[eÿgok] ‘goyang’[goh] ‘sapi’

[goóðala] ‘anting-anting’

[hol] ‘peluk’[hop]

‘memikirkan’[iÿoÿ] ‘aku’[jog] ‘tiba’

[joÿ] ‘payung’[kol] ‘peluk’[kon] ‘suruh’[lod] ‘laut’

[lolya] ‘resah’[mok.ûa] ‘lenyap’

[mon] ‘jika’[nohan]

‘beruntung’[nom] ‘muda’

[ÿgon] ‘tempat’[poûya] ‘nama

bulan’[potra] ‘cucu’[ron] ‘daun’[ros] ‘ruas’[ton] ‘lihat’

[tos] ‘keturunan’[ubon] ‘ternak’

[uðoda] ‘gantung’[woh] ‘buah’[wot] ‘bawa’

[yogya] ‘benar’[yojya]

‘disatukan’

[cañco] ‘terkenal’[do] ‘dua’

[ergulo] ‘mawarputih’

[gêlo] ‘kasar’[go] ‘lembu’[hano] ‘enau’[ho] ‘jernih’[ijo] ‘hijau’[iko] ‘itu’

[jro] ‘dalam’[ko] ‘kau’

[kamalo] ‘jenistumbuhan’

[lañjo] ‘jenispenyakit’[logoko]

‘bungkuk’[lo] ‘lebar’

[maÿ.ko] ‘jadi’[me.ÿo] ‘toleh’[meñ.co] ‘beo’

[namo] ‘hormat’[ndo] ‘permintaan’

[pado] ‘hambawanita’

[pióðo] ‘dua kali’[rêko] ‘konon’

[reÿo] ‘tertinggal’[ro] ‘dua’

[sato] ‘binatang’[tamo] ‘kegelapan’[tam.po] ‘minuman

keras’[wado] ‘jenis keris’

[wiro] ‘sedih’

/au/ [auûadha] ‘obat’ [kaulawa] ‘salah -

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO30

[aum] ‘aksara suci’ satu dari 11karaóa’

[kaumara] ‘anakmuda’

[kaurawa]‘keturunan

wangsa Kuru’[kau.śa.la]

‘kemakmuran’[kaustubha] ‘jenis

permata’[pauûya] ‘nama

bulan’[śauca] ‘kesucian’[śrauta] ‘telinga’

/ě/ [êbak] ‘serang’[êcok] ‘taruhan’

[êdul] ‘keraskepala’

[êgêp] ‘terengah-engah’

[êhah] ‘mengeluh’[êkah] ‘merintih’[êluh] ‘air mata’

[êmbat] ‘gemulai’[ênah]

‘meletakkan’[êóðas] ‘kepala’

[êÿgêp]‘pura’pura’

[êñêt] ‘sunyisenyap’

[êpêp] ‘sembunyi’[êri] ‘duri’

[êsah] ‘desah’[êtêt] ‘tolak’

[êwel] ‘caci maki’[êyeh] ‘air’

[abên] ‘serang’[aÿên]

‘pemikiran][bantêr] ‘hebat’[bêndu] ‘marah’

[cakêt] ‘jepit’[cêÿga]

‘sombong’[ðêm] ‘sunyi’

[dêÿ.ki] ‘irihati’[êmbêk] ‘isak

tangis’[êsês] ‘deru’

[eñcêp] ‘cibir’[esêm] ‘senyum’[gêg] ‘kencang’

[gulêm]‘mendung’

[hêlêd] ‘telan’[hirêÿ] ‘hitam’

[idêr] ‘edar’[igêl] ‘tari’

[jêÿêr] ‘terdiam’[ji.êm] ‘kamar

tidur’[kêcêk] ‘cakap’

[kitêr] ‘itar’[lêmbu] ‘sapi’

[raóðê] ‘pohonkapuk’

[raÿrê] ‘pohonkapuk’

[wêðê] ‘basi,busuk’

[bākapê] ‘jenisikan’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 31

[liÿêr] ‘pikat’[mêndêm]‘mabuk’

[melêm] ‘jenisikan’[nêb]

‘pengendaliandiri’

[nênêh] ‘tepat’[ÿêr] ‘partikel

deskriptif’[ñêg] ‘partikel

deskriptif’[orêg] ‘gempar’[owêl] ‘segan’[pêtêÿ] ‘gelap’[purêt] ‘kerdil’

[rêmbês] ‘kucur’[riÿgêk] ‘putar’

[sêb] ‘asap’[siðêp] ‘salah

sangka’[têbêÿ] ‘tebal]

[tiÿkêr]‘terlindung’

[ubêd] ‘ganggu’[ulêm] ‘layu’

[wêltêk] ‘pancar’[wintên] ‘intan’

/ö/ [öb] ‘naung’[öd] ‘pendek’

[ölwan] ‘lahap’

[adöh] ‘tindas’[ayöm] ‘teduh’[böh] ‘bengkak’[bök] ‘penuh’

[döh] ‘kata seru’[döm] ‘sunyi’

[êsör] ‘potong’[gajöÿ] ‘gayung’[gêgöÿ] ‘pegang

erat’[göÿ] ‘besar’

[hamöÿ] ‘berbaubusuk’

[höb] ‘naungan’

[alö] ‘gaduh’[asö] ‘maju’

[bêntêlö]‘bergelang’

[bun.tê.lö] ‘?’[dêdö]

‘berdekatan’[dêlö] ‘pandang’

[êlö] ‘tak tahumalu’

[ênö] ‘siram’[gêgö] ‘pegang’

[halêlö]‘mengaum’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO32

[iÿöt] ‘sadar’[jöÿ] ‘kaki’

[kawör] ‘takut’[köl] ‘tahan’

[köm] ‘rendam’[löm] ‘lemah’[löÿ] ‘sinar’

[ÿöt] ‘?’[ÿör] ‘pertikel

deskriptif’[ÿös] ‘pertikel

deskriptif’[ñöt] ‘pertikel

deskriptif’[pöh] ‘perah’

[pöm] ‘tertutup’[pöÿ] ‘mumpung’[saÿlök] ‘lengket’

[söb] ‘hembus’[söh] ‘lebat’

[sök] ‘penuh’[söÿ] ‘cahaya’

[taÿgöÿ] ‘tabah’[töb] ‘lebat’[usör] ‘jenistumbuhan’

[wök] ‘babi’[wör] ‘terbang’

[hêlö] ‘lahap’[iwö] ‘namun’,

memperhatikan’[kapö] ‘kuping’

[kêdö] ‘inginsekali’

[laÿö] ‘pengalamanestetik’

[lö] ‘tegang’[lêgö] ‘lalai’

[maÿö] ‘terpesona’[mêÿö]

‘menganga’[pakö] ‘paku’[parö] ‘dekat’

[rêÿö] ‘dengar’[riwö] ‘sibuk’[sênö] ‘sinar’

[sêóðö] ‘sedih’[taÿgö] ‘tetap

bertahan’[têgö] ‘sulitbergerak’[u.ö] ‘?’

[walêlö] ‘seteguk’[wêrö] ‘mabuk’

/å/ [åcu] ‘jenis balai’[åju] ‘lurus’

[åóa] ‘hutang’[åûi] ‘pendeta’[åta] ‘benar’

[åtu] ‘musim’

[adåśya] ‘idaktampak’

[aghåóa] ‘kejam’[bhåti] ‘bantuan’

[bhåtya]‘pasukan’

[dåwya] ‘milik’[dhåti]

‘keteguhan’[gåha] ‘rumah’[ghåóā] ‘belas

kasih’[håbuk] ‘tepung

sari’[håtśalya] ‘luka di

[bhartå] ‘suami’[dhatå] ‘gelar

Dewa Brahma’[pitå] ‘leluhur’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 33

Berdasarkan distribusi fonem vokal bahasa Jawa Kuna di atas dapat dijelaskan lebih jauh bahwa fonem /e/ yang berada di akhir kata dasar tertentu seringkali digantikan dengan [-ay] atau [-ya]. Misalnya, pada [awe] dan [away]; [rare] dan [raray], [gawe] dan [gaway]; [jule] dan [julay]; [kale] dan [kalay]; [lale] dan [lalay]; atau pada [rame] dan [ramya]; [maÿke] dan [maÿkya]; [maÿgale] dan [maÿgalya].

Fonem /ê/ bahasa Jawa Kuno tidak ditemukan distribusinya di tengah kata dasar yang berawal /y/. Fonem /ö / bahasa Jawa Kuno tidak ditemukan distribusinya di tengah kata dasar yang berawal fonem /c/, /m/, /o/, /r/, dan /y/. Demikian pula, fonem vokal /ö / bahasa Jawa Kuno tidak ditemukan distribusinya di akhir kata dasar yang berakhir fonem /c/, /j/, /n/, /o/, dan fonem /y/. Fonem vokal /å / tidak ditemukan distribusinya di tengah kata dasar yang dimulai dengan fonem /c/, /ě/, /e/, /i/, /l/, /o/, /r/, /u/, /y/. Sementara itu, fonem vokal /æ//í/ belum ditemukan distribusi pemakaiannya di dalam bahasa Jawa Kuno (lihat Zoetmulder dkk, 1995; Warna dkk., 2011).

hati’[jåmbhana]‘menguap’

[kåpā] ‘sayang’[kåśa] ‘kurus’

[måcchika]‘kalajengking’

[måga] ‘binatangburuan’

[nåpa] ‘raja’[nåśaÿsa] ‘kejam’[pådana] ‘piutang’

[påûþha]‘punggung’

[śågāla] ‘srigala’[såja] ‘ciptaan’[tåóa] ‘rumput’[tåûóa] ‘cinta’[wåddha] ‘tua’

[wåkûa] ‘pohon’

Berdasarkan distribusi fonem vokal bahasa Jawa Kuna di atasdapat dijelaskan lebih jauh bahwa fonem /e/ yang berada di akhir katadasar tertentu seringkali digantikan dengan [-ay] atau [-ya]. Misalnya,pada [awe] dan [away]; [rare] dan [raray], [gawe] dan [gaway]; [jule] dan[julay]; [kale] dan [kalay]; [lale] dan [lalay]; atau pada [rame] dan[ramya]; [maÿke] dan [maÿkya]; [maÿgale] dan [maÿgalya].

Fonem /ê/ bahasa Jawa Kuno tidak ditemukan distribusinya ditengah kata dasar yang berawal /y/. Fonem /ö / bahasa Jawa Kuno tidakditemukan distribusinya di tengah kata dasar yang berawal fonem /c/, /m/,/o/, /r/, dan /y/. Demikian pula, fonem vokal /ö / bahasa Jawa Kuno tidakditemukan distribusinya di akhir kata dasar yang berakhir fonem /c/, /j/,/n/, /o/, dan fonem /y/. Fonem vokal /å / tidak ditemukan distribusinya ditengah kata dasar yang dimulai dengan fonem /c/, /ě/, /e/, /i/, /l/, /o/, /r/,/u/, /y/. Sementara itu, fonem vokal /æ//í/ belum ditemukan distribusipemakaiannya di dalam bahasa Jawa Kuno (lihat Zoetmulder dkk, 1995;Warna dkk., 2011).

Berdasarkan tingkat frekuensi distribusinya, fonem /ê/ bahasaJawa Kuno jarang berada di akhir kata dasar, sebagaimana pula fonemsemivokal /å/. Fonem diftong /ai/ dalam bahasa Jawa Kuno langkaditemukan pemakaiannya di akhir kata dasar, kemungkinan digantikanoleh /ay/ atau /ya/. Fonem diftong /au/ tidak ditemukan pemakaiannya diakhir kata dasar. Fonem vokal /ī/, /ö/, /å/, dan diftong /ai/, serta /au/ jika

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO34

Berdasarkan tingkat frekuensi distribusinya, fonem /ê/ bahasa Jawa Kuno jarang berada di akhir kata dasar, sebagaimana pula fonem semivokal /å/. Fonem diftong /ai/ dalam bahasa Jawa Kuno langka ditemukan pemakaiannya di akhir kata dasar, kemungkinan digantikan oleh /ay/ atau /ya/. Fonem diftong /au/ tidak ditemukan pemakaiannya di akhir kata dasar. Fonem vokal /ī/, /ö/, /å/, dan diftong /ai/, serta /au/ jika dilihat distribusinya di awal kata dasar, dapat dikatakan fonem yang memiliki frekuensi distribusi terbatas pada kata-kata dasar tertentu. Kata-kata bahasa Jawa Kuno yang dimulai dengan fonem vokal /å/, diftong /ai/, dan /au/ kebanyakan merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta.

A. Fonem Konsonan

Distribusi fonem konsonan bahasa Jawa Kuno dilihat dalam hubungannya dengan kata dasar atau morfem asal adalah sebagai berikut.

dilihat distribusinya di awal kata dasar, dapat dikatakan fonem yangmemiliki frekuensi distribusi terbatas pada kata-kata dasar tertentu. Kata-kata bahasa Jawa Kuno yang dimulai dengan fonem vokal /å/, diftong /ai/,dan /au/ kebanyakan merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta.

A. Fonem KonsonanDistribusi fonem konsonan bahasa Jawa Kuno dilihat dalam

hubungannya dengan kata dasar atau morfem asal adalah sebagai berikut.

FonemKonsonan

Distribusi dalam hubungannya dengan kata dasar/morfemasal

Awal Tengah Akhir/b/ [babah] ‘pintu’

[bāyu] ‘angin’[bacot] ‘hidung’

[bêbêd] ‘ikat’[bêbêÿ]

‘terbendung’[bêtah] ‘tahan’

[böh] ‘bengkak’[bela] ‘bela’

[berag] ‘gembira’[bero] ‘juling’

[bibi] ‘ibu’[bilih] ‘boleh jadi’

[bodhi] ‘pohonbodi’

[bontit] ‘keriting’[bra.ta] ‘sikap’

[brêk] ‘keroyok’[brekot]

‘terhuyung’[bris] ‘tebal’[brokosokan]‘hantu hutan’

[bubar] ‘bubar’[bubul] ‘tembus’[buhaya] ‘buaya’

[abda] ‘tahun’[babar] ‘hancur’[bomboÿ] ‘adu’[cabwal] ‘cebol’[dibya] ‘mulia’[êmbih] ‘tangis’

[ebeg] ‘tutuppelana’

[gêbrad] ‘cepatdan berulang-

ulang’[hêmban] ‘bawa’[ibêr] ‘terbang’

[jambul] ‘jambul’[kabeh] ‘semua’

[labdha] ‘berhasil’[mambaÿ]

‘kelompok rakyat’[nabda] ‘berbunyi’

[obor] ‘obor’[piambêk]‘sendiri’

[prabala] ‘kokoh’[rabdha] ‘siap’[sabraÿ] ‘asing’[têmbiÿ] ‘sisi’[ubêÿ] ‘itar’

[wibajra] ‘tanpakekerasan’

[abab] ‘nafas’[cacab] ‘debur,

wabah’[cêb] ‘partikel

deskriptif’[êbêb] ‘isap’

[halab] ‘tampaksejenak’

[höb] ‘naungan’[i.bab] ‘sobek’[jub] ‘subur’

[kêkêb] ‘tutup’[kêlêb]

‘tenggelam’[lablab] ‘nama

jabatan’[mwab]

‘mendidih’[nêb] ‘endap’

[pa.rab] ‘nama’[rab[ ‘getar’

[rêbab] ‘rebab’[rurub] ‘tutup’[sab] ‘genang’[silib] ‘selinap’[têlêb] ‘hebat’[tub] ‘lebat’

[ubub] ‘ububan’[urab] ‘kobar’

[wwab]

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 35

‘mendidih’

/bh/ [bhadra] ‘untung’[bhāryā] ‘istri’[bhasma] ‘abu’[bheda] ‘beda’

[bhairawa]‘menakutkan’

[bhīna]‘menakutkan’

[bhīru] ‘penakut’[bhoga]

‘makanan’[bhoja] ‘makan’[bhrā] ‘kilauan’

[bhramara] ‘lebah’[bhåÿga] ‘lebah

hitam’[bhrukuþi] ‘alis’

[bhūbhāga]‘daerah’

[bhujaga] ‘ular’[bhuwana] ‘bumi’

[abheda] ‘tersusunrapat’

[bībhatsa] ‘jijik’[durbhaga] ‘sial’

[durbhiksa]‘kelaparan’[gambhīra]

‘seram’[ibha] ‘gajah’

[ibhakara] ‘belalaigajah’

[jåmbhana]‘menguap’[kubhikûa]‘kelaparan’

[lobha] ‘rakus’[nabha] ‘langit’

[nabhastala]‘udara’

[prabhā] ‘sinar’[prabhata] ‘fajar’[rabhasa] ‘kejam’[sabhaya] ‘takut’

[sambhrama]‘sambut’

[ubhaya] ‘janji’[waibhatsya]‘memuakkan’

[wibhuh]‘melingkupi’

-

/c/ [cabar] ‘pengecut’[cabe] ‘cabe’

[cacad] ‘cacat’[cacah] ‘potong’[cêcêd] ‘kelakar’

[cêcêk] ‘titik,cecak’

[celeÿ] ‘babi’[celu] ‘rindu’

[cicir] ‘kesasar’

[ācāra] ‘adat’[añco] ‘jala’

[bacot] ‘hidung’[cañcala] ‘getar’[durācāra] ‘jahat’

[êcok] ‘jenistaruhan’

[gêcêk] ‘terburu-buru’

[hañcaÿ] ‘?’

-

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO36

[cidra] ‘cacat’[crol] ‘palsu’

[codya] ‘paksa’[cora] ‘pencuri’[culik] ‘culik’

[cunduk] ‘temu’[cwalika] ‘suku

bangsa’

[iccha] ‘hasrat’[iñcut] ‘berliku-

liku’[kacaÿ] ‘kacang’

[laca]

/ch/ [chanda] ‘prosodi’[chattra] ‘payung’[chāyā] ‘cahaya’[cheda] ‘irisan’[chedya] ‘rusak’

[acchedya] ‘kebal’[gucchaka]‘rumpun’[iccha]

‘keinginan’[mleccha]‘biadab’[mūrchā]‘pingsan’[mūrchita]‘pingsan’

[nicchā] ‘tolak’[tuccha] ‘hina’

-

/d/ [dadah] ‘kurban’[dadak] ‘tiba-tiba’

[dadali] ‘jenisburung’

[dadar] ‘gosok’[dadi] ‘menjadi’[dagan] ‘kaki’

[dagdha] ‘bakar’[dāhana]

‘pembakaran’[dakûióa] ‘selatan’

[dalu] ‘malam’[dama] ‘cinta

kasih’[dāna] ‘dana’

[daÿū] ‘dahulu’[dêdêg] ‘tinggi’[dêlö] ‘pandang’[dede] ‘bukan’[deśa] ‘desa’

[deûþi] ‘jenis ilmu

[adbhuta]‘mengagumkan’[bada] ‘bujuk’[bheda] ‘beda’

[candramā]‘bulan’

[codya] ‘paksa’[dêdêr] ‘saling

merapat’[êdul] ‘keras

kepala’[edan] ‘gila’

[gadgada] ‘gagap’[hadyan] ‘tuan’[hidu] ‘air liur’[idêk] ‘injak’

[jadi] ‘jenis buah’[kadācit] ‘pada

waktu’[kidaÿ] ‘kijang’[ladiÿ] ‘lading’

[alad] ‘jilat’[bahud] ‘angkuh’

[bêbêd] ‘ikat’[cacad] ‘cacat’

[cod] ‘jenisburung’

[êlêd] ‘telan’[öd] ‘pendek’

[gêbrad]‘mempercepat’[hêlêd] ‘sekali

telan’[jêbad] ‘kesturi’[kampid] ‘sayap’

[lad] ‘iris’[lūd] ‘lagipula’[mêlêd] ‘rindu’[odwad] ‘akar’

[parad]‘mengikir’

[parud] ‘parut’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 37

hitam’[dilat] ‘lidah’

[dīna] ‘murung’[dodot] ‘kain’[doh] ‘jauh’

[drawya] ‘milik’[dudug] ‘sampai’[durlabha] ‘sukar

didapatkan’[dweûa] ‘benci’

[dyastu]‘sekalipun’

[mada] ‘mabuk’[medinī] ‘bumi’[nāda] ‘bunyi’[nindya] ‘cela’

[odod] ‘uratdarah’

[pada] ‘baris’[peda] ‘keras hati’

[radin] ‘bersih’[rudita] ‘tangis’

[sādara] ‘hormat’[sodama]

‘kunang-kunang’[tadwat] ‘begitu’

[udaka] ‘air’[wadana] ‘mulut’

[rampad]‘rampok’

[rêgêd] ‘kotor’[rêÿkêd] ‘lebat’[riwêd] ‘susah’[sad] ‘nyata’

[sarad]‘makanan’

[subud] ‘tangkis’[tad] ‘tidak’

[talad]‘bungkusanmakanan’

[tud] ‘tandanbunga pisang’[udud] ‘isap’[ulad-alid]

‘goyah’[uwad-awid]

‘tarik-menarik’[walad] ‘potong’

[wwad] ‘akar’[yad] ‘jika’

/dh/ [dhana] ‘uang’[dhani] ‘tempat

menyimpan’[dhanuh] ‘busur’[dhānya] ‘beras’

[dhara]‘pembawa’

[dhāraka] ‘tabah’[dhārana]

‘menguasai’[dharani] ‘tanah’

[dharma]‘kewajiban’

[dhairya] ‘teguh’[dhīh]

‘kecerdasan’[dhikkāra] ‘kutuk’

[dhīra] ‘teguh’[dhåti] ‘keputusan’

[dhūpa] ‘dupa’

[ādhāra] ‘tempat’[baddhaka]‘tahanan’

[biddhanāga]‘langit-langit’

[dagdha]‘terbakar’

[digdhā] ‘langitmerah’

[gandha] ‘bauharum’

[gandharwa]‘mahluk setengah

dewa’[jagaddhita]

‘kesejahteraandunia’

[jaladhara] ‘awan’[jaladhi] ‘laut’

[krodha] ‘marah’

-

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO38

[dhwaja]‘bendera’[dhwasta]‘tumbang’[dhyāna]‘meditasi’

[dhyayī] ‘kusuk’

[kûuradhara]‘tajam’

[labdha] ‘berhasil’[lubdhaka]‘pemburu’

[madhubrata]‘kumbang’

[madhyama]‘menengah’

[nidhāna] ‘wadah’[nirdhuma] ‘tak

berasap’[oûadha] ‘obat’

[prabaddha]‘himpun’

[pradhana]‘utama’

[pratidhwani]‘gema’

[rodha] ‘tindih’[ruddha]

‘terhalang’[sādhaka] ‘ahli’

[sādhya] ‘tercapai’[udadhi] ‘laut’

[udhāni] ‘sadar’[uddhata] ‘sengit’

[wādhaka]‘rintangan’

[widha] ‘bentuk’[yuddha] ‘perang’

/ð/ [ðaða] ‘dada’[ðaðal] ‘robek’

[ðaduÿ] ‘talibesar’

[ðahar] ‘makanan’[ðêðêk] ‘dedak’[ðêh] ‘kata seru’[ðêÿên] ‘teman’[ðeðel] ‘cabut’[ðiðik] ‘sedikit’[ðimin] ‘dahulu’[ðomas] ‘delapan

[aðam] ‘matang’[aðeÿ] ‘sepi’

[baðyag]‘minuman keras’

[baóðaÿ]‘tawanan’

[caóði] ‘candi’[cióðaga]‘pandan’

[ðêðêt] ‘tebal’[dêóða] ‘denda’

[êðêk] ‘bungkuk’

[ûað] ‘enam’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 39

ratus’[ðudat] ‘robek’

[ðuðuk] ‘bongkar,duduk’

[ðuðut] ‘tarikkeluar’

[ðuhuÿ] ‘keris’[ðukuh]

‘pertapaan’[ðulaÿ] ‘dulang’

[ðumpak]‘tendang’[ðuÿkul]

‘bungkam’[ðusun] ‘dusun’[ðuwêt] ‘jenis

pohon’[ðuyuÿ] ‘duyung’

[êðêm] ‘padam’[gaday] ‘gadai’

[gêðoÿ] ‘gedung’[giðê-giðö]‘gemetar’

[haðaÿ] ‘hadang’[hiðêp] ‘pikiran’[iðêm] ‘rindu’

[ióðaÿ] ‘pertapawanita’

[jaða] ‘bodoh’[kaðat] ‘lambat’

[kiðukus]‘runduk’

[lêóðö] ‘bujur’[lióðuÿ] ‘lindung’

[maóðaga]‘bubur’

[maóðala]‘wilayah’

[nāði] ‘nadi’[pêðêk] ‘abdi’

[puóðut] ‘ambil’[raóða] ‘janda’[raóðu] ‘pohon

kapok’[saóðiÿ] ‘sisi’

[saóðuÿ]‘sandung’

[têða] ‘makan’[tióðih] ‘tindih’

[uðik] ‘naik’[uðul] ‘menganga’[waðawa] ‘kuda

betina’[wiðure] ‘biduri’

/ðh/ - [dåðha] ‘teguh’ -/g/ [gabah] ‘gabah’

[gabus] ‘gabus’[gêcêk] ‘terburu-

buru’[gocara] ‘diskusi’

[agra] ‘puncak’[agrodha]‘beringin’

[bagas] ‘jenishewan air’

[adêg] ‘berdiri’[baðog] ‘makan’

[badyag]‘minuman keras’[caÿkag] ‘loncat’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO40

[gadā] ‘gada’[gagā] ‘gaga’

[gajih] ‘lemak’[galak] ‘galak’

[gamêl] ‘pegang’[gêlis] ‘cepat’[gêlö] ‘kejam’[geger] ‘geger’

[gempor] ‘lusuh’[gigal] ‘lepas’[gilir] ‘gilir’[go] ‘sapi’

[goða] ‘goda’[grah] ‘lemah’

[grêbêg]‘gemuruh’

[gåha] ‘rumah’[gugu] ‘percaya’[guhya] ‘rahasia’

[gyā] ‘segera’[gyat] ‘kaget’

[bhagna] ‘hancur’[cagêr] ‘jamin’

[cêÿga]‘sombong’

[dagdha] ‘hangus’[digjaya]‘menang’

[êgêp] ‘terengah-engah’

[egar] ‘riang’[gadgada] ‘gagap’

[gêgêh] ‘teguh’[haga-haga] ‘liar’

[higā] ‘tulangrusuk’

[iguh] ‘goyang’[igul] ‘liak-liuk’

[jaga] ‘jaga’[jaÿga] ‘jenis

tanaman’[kaga] ‘burung’[laga] ‘lawan’

[lagna] ‘telanjang’[maga] ‘kecewa’[maÿgala] ‘doa’[naga] ‘gunung’

[nêÿguh] ‘konon’[ÿgwan] ‘tempat’

[ogya] ‘benar’[pagêh] ‘tetap’

[pêÿgak] ‘curam’[rêÿgaÿ]

‘renggang’[riÿgit] ‘wayang’

[sadigawe]‘menghalangi’

[sugyan]‘mungkin’

[tagih] ‘tagih’[têguh] ‘teguh’[ugra] ‘kuat’[uraga] ‘ular’

[wagug] ‘bingung’

[cêÿgêg] ‘hiasanrambut’

[dêlêg] ‘tegak’[dudug]

‘sepanjang’[êlêg] ‘lecut’[ebeg] ‘tutup

pelana’[gaðag] ‘celana

panjang’[gêbog] ‘batangpohon pisang’[ilag] ‘tidakmungkin’

[jujug]‘langsung’

[jugug]’gonggong’

[kêtug] ‘dentum’[kêg] ‘dengkur’

[lêgêg]‘terhalang’

[lisig] ‘cerdas’[mêgêg]

‘tercengang’[mêlêðog] ‘retak’[pajêg] ‘rencana’

[pilêg] ‘pilek’[rampog]‘serang’

[rêgag] ‘kecewa’[sêsêg] ‘gemetar’[sisig] ‘memoles

gigi’[taóðêg] ‘tidak

mau’[têgêg] ‘bingung’

[ugug] ‘segan’[ulug] ‘tak

cukup’[warêg] ‘puas’

[wêwêg]‘tercengang’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 41

[wêgig] ‘nakal’[yogya] ‘benar’

/gh/ [ghana] ‘awan’[ghanāgama]

‘musim hujan’[ghaóþa] ‘genta’

[ghāra] ‘istri’[gharinī] ‘istri’

[ghasita]‘dihabiskan’

[ghaþa] ‘periuk’[ghātaka]

‘pembunuhan’[ghaþi] ‘jam’

[ghora] ‘hebat’[ghoûa] ‘huruf

hidup’[ghoûana]

‘pengumuman’[ghotaka] ‘kuda’[ghrāóa] ‘hidung’[ghrātā] ‘pencium’[ghåta] ‘mentega’

[ghūróa]‘bergema’

[ghūróita] ‘riuh’[ghūróitatara]‘sangat keras’

[ghyana] ‘awan’[ghyaþita] ‘jam’[ghyor] ‘partikel

hormat’[ghyora] ‘dahsyat’

[aghoûa]‘konsonan tak

bersuara’[aghåóa] ‘kejam’

[bhrūnaghna]‘menggugurkan

janin’[dāgha] ‘ingin’

[dirgha] ‘panjang’[dirghya]‘panjang’

[jaghana] ‘pantat’[kåtaghna] ‘kejam’

[lāghawa]‘tangkas’

[laghu] ‘pendek’[māgha] ‘nama

bulan’[megha]

‘mendung’[nirghana] ‘tak

berawan’[ogha] ‘wanita

jatuh cinta’[raghu] ‘nama

wangsa’[raghawa]

‘keturunan Raghu][saÿgha] ‘jumlah’

[saÿghya]‘rombongan’[wighata] ‘tak

terganggu’[wighna]

‘rintangan’

-

/h/ [habalaÿ] ‘lempar’[habêt] ‘pukul’[haða] ‘tulang

daun’[haji] ‘raja’

[ahita] ‘musuh’[bahni] ‘api’

[brahma]‘minuman keras’

[cihna] ‘ciri’

[abah] ‘pakaiankuda’

[bêlah] ‘belah’[caÿgah] ‘garpu’[cawuh] ‘tanpa

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO42

[hala] ‘jahat’[hamba] ‘hamba’

[hana] ‘ada’[haÿan] ‘ringan’

[hapit] ‘apit’[harip] ‘kantuk’[hêb] ‘naung’

[hêli] ‘pergantian’[höt] ‘sempit’[hema] ‘emas’[her] ‘tunggu’

[hiÿsā]‘membunuh’

[hilaÿ] ‘hilang’[hudan] ‘hujan’[hulu] ‘kepala’[hol] ‘peluk’

[homa] ‘kurbanapi’

[hrêbuk] ‘serbuk’[hrêdaya] ‘hati’[hyaÿ] ‘dewa’[hyun] ‘ingin’

[dahat] ‘sangat’[êhah] ‘mengeluh’[gahwara] ‘dalam

gua’[guhya] ‘rahasia’[ihatra] ‘ di sini’

[jahya] ‘jahe’[jahnawi] ‘sungai’

[kahal] ‘keras’[kahit] ‘kait’

[lahru] ‘musimkemarau’

[luhuÿ] ‘lebihbaik’

[mahantên]‘paviliun’

[mihat] ‘lihat’[nahan]

‘demikian’[nihan] ‘begini’[pahit] ‘pahit’

[pahula] ‘hadiah’[rahi] ‘dahi’

[rahuÿ] ‘raung’[sahur] ‘jawab’[sihuÿ] ‘taring’[tahên] ‘tahan’[têhêr] ‘lalu’[uhuh] ‘jerit’

[uhut] ‘larang’[wāhya] ‘bagian

luar’[wehweh] ‘beri’

pikir’[döh] ‘kata seru’

[dyah] ‘katasandang’

[êhah]‘mengeluh’

[embuh]‘tambah’

[gagah] ‘berdiritegak’

[gubah] ‘gorden’[harih] ‘hibur’[hênah] ‘letak’[iguh] ‘goyang’[kakah] ‘keras’[kêdêh] ‘ingin

sekali’[lampah]

‘perjalanan’[luh] ‘air mata’

[malah] ‘bahkan’[manah] ‘pikiran’[nênêh] ‘cocok’[nyuh] ‘kelapa’[olah] ‘gerak’

[osah] ‘gelisah’[pagêh] ‘teguh’[pejah] ‘mati’

[rêÿih] ‘rengek’[rêrêh] ‘diam’[sah] ‘pergi’[sih] ‘kasih’

[têðuh] ‘teduh’[titah] ‘rencana’[uwah] ‘ulang’

[weh] ‘beri’[yayah] ‘ayah’

/j/ [jaba] ‘luar’[jabuÿ] ‘jenis

tumbuhan’[jada] ‘bodoh’

[jadi] ‘nama buah’[jaga] ‘jaga’

[aja] ‘jangan’[ājñā] ‘perintah’

[bajra] ‘kilat’[bija] ‘bibit’

[doja] ‘bendera’[gajah] ‘gajah’

-

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 43

[jagat] ‘dunia’[jahit] ‘bahan

tenun’[jahloka] ‘hewan

air’[jaja] ‘dada’[jajar] ‘deret’

[jaka] ‘perjaka’[jala] ‘air’

[jalir] ‘pelacur’[jamah] ‘jamah’

[jambat] ‘panjanglebar’

[janma] ‘manusia’[janur] ‘janur’[joÿ] ‘perahu’[japa] ‘doa’[jara] ‘tua’

[jasuÿ] ‘bawangputih’

[jāti] ‘kelahiran’[jawuh] ‘hujan’[jiwita] ‘hidup’[jaya] ‘menang’

[gobraja]‘kandang sapi’

[haji] ‘raja’[hañjawar] ‘jenis

pohon’[ijiÿ] ‘sembunyi’[ijya] ‘korban’[jajah] ‘jelajah’

[jajal] ‘coba’[kajaÿ] ‘tabir’[kêjêÿ] ‘kaku’[lajêÿ] ‘lari’[lajja] ‘malu’

[majja] ‘sungsum’[majyum] ‘obat

bius’[nija] ‘pembawaan

lahir’[ojwala] ‘bersinar’

[pajaÿ] ‘sinarbulan’

[pijêr] ‘selalu’[rāja] ‘raja’

[rujit] ‘sobek’[sajêÿ] ‘tuak’

[sajjana] ‘orangbijak’

[tajêm] ‘tajam’[tujah] ‘tikam’

[ujar] ‘ujar’[ujwalita]‘menyala’

[waja] ‘gigi’[yajña] ‘korban’

/jh/ [jhara] ‘air terjun’[jhatiti] ‘seketika’

[nirjhara] ‘airterjun’

-

/k/ [kabêt] ‘lambat’[kabeh] ‘semua’[kacah] ‘debur’

[kacaÿ] ‘kacang’[kadācit]

[akûara] ‘huruf’[akûi] ‘mata’

[bakta] ‘bawa’[bhakti] ‘bakti’[cakra] ‘cakra’

[ajak] ‘ajak’[awak] ‘tubuh’[babak] ‘lecet’

[biÿkuk]‘bengkok’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO44

‘kebetulan’[kadal] ‘kadal’[kaga] ‘burung’[kagok] ‘aneh’[kahal] ‘keras

kepala’[kahi] ‘pasti’[kajaÿ] ‘tabir’[kajar] ‘jenistumbuhan’

[kaka] ‘kakak’[kakap] ‘kakap’

[kala] ‘jahat’[kalasā] ‘tikar’[kamal] ‘asam’[kampuh] ‘kain’[kanaka] ‘emas’[kanyā] ‘gadis’[kon] ‘suruh’

[kapan] ‘kapan’[kapwa] ‘semua’[karana] ‘sebab’

[kariÿêt]‘keringat’

[kasaÿ] ‘petipakaian’

[kaûþa] ‘jahat’[kathā] ‘cerita’[katara] ‘jelas’

[kawah] ‘kawah’[kawi] ‘pujangga’

[cakûu] ‘mata’[daksa] ‘cakap’[dikûa] ‘inisiasi’[êkah] ‘desah’

[eka] ‘satu’[golaka] ‘bola’[goksira] ‘susu

sapi’[hāraka]

‘makanan’[hêÿkara]

‘sombong’[iksu] ‘tebu’[ikut] ‘ikut’

[jaka] ‘perjaka’[jukuÿ] ‘sampan’[kêkêb] ‘tutup’[kinkin] ‘usaha’[lakûa] ‘sepuluh

ribu’[lakûmi]

‘semarak’[maksih] ‘masih’[makûika] ‘lalat’

[nakûatra]‘bintang’

[nālika] ‘jam’[okih] ‘tangkap’[pakpak] ‘bujuk’[pakûa] ‘paksa’[rakûa] ‘jaga’

[rakta] ‘merah’[sākûāt] ‘seperti’

[sakta] ‘ketagihan’[têkyak] ‘tokek’[tikûó] ‘tajam’[ukêl] ‘gulung’

[ukta] ‘perkataan’[waktra] ‘mulut’[wākya] ‘ujaran’[yakûa] ‘yaksa’[yukti] ‘benar-

benar’

[cacak] ‘decak’[cucuk] ‘paruh’[dawak] ‘diri’[diÿkik] ‘intip’[ênêk] ‘sedih’[êntak] ‘rintih’[galak] ‘galak’

[gulak] ‘berputar’[hawuk] ‘abu’[hêbak] ‘serbu’

[iluk] ‘ikut’[inak] ‘enak’

[jambak]‘jambak’

[jalak] ‘jenisburung’

[kapuk] ‘kapok’[kêcêk] ‘obrol’

[lek] ‘bulan’[limbak]

‘gelombang’[maÿkuk]‘jongkok’[marak]

‘sehingga’[nak] ‘anak’

[namuk]‘nyamuk’

[ombak] ‘ombak’[otêk] ‘otak’

[pacêk] ‘paku’[pucak] ‘puncak’

[racik] ‘ramu’[rakrak]

‘bingung’[sabuk] ‘sabuk’[sêsök] ‘sesak’[têkêk] ‘cekik’[têÿgêk] ‘leher’[uðik] ‘maju’[upêk] ‘pilu’

[wāk] ‘bicara’[wök] ‘babi

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 45

hutan’

/kh/ [khaga] ‘burung’[khāóðawa] ‘nama

hutan’[khaóþhanātha]

‘gelar Siwa’[khara] ‘keledai’

[khyāti] ‘terkenal’

[ākhya] ‘sebutan’[duhkha] ‘duka’

[duhkhita] ‘derita’[gomukha]

‘kawah neraka’[kathākhya]

‘cerita’[lekha] ‘tulisan’[likhita] ‘tulisan’[mekhala’ ikat

pinggang’[mukha] ‘mulut’[nakha] ‘kuku’

[rekha] ‘gambar’[sakhā] ‘teman’[śākhā] ‘cabang’[sakhi] ‘teman

wanita’[waikhānasa]

‘pertapa’[weśākha] ‘nama

bulan’

-

/l/ [lābha] ‘untung’[labdha] ‘berhasil’[laca] ‘petunjuk’

[ladi] ‘layani’[laga] ‘lawan’[lahur] ‘lancar’

[lajêr] ‘tiangutama’

[lajjita] ‘malu’[lāka] ‘merah’

[lakûaóa] ‘tanda’[lala] ‘ranum’[lêbur] ‘lebur’

[lêmês] ‘lemas’[liman] ‘gajah’[lanā] ‘kekal’

[lindi] ‘menarik’[liÿgih] ‘duduk’

[alah] ‘kalah’[alêh] ‘lelah’[bhalla] ‘anak

panah’[balmīka] ‘sarang

semut’[calya] ‘cacat’

[ciplak] ‘kecap’[dalih] ‘sangka’

[dilah] ‘lidah api’[êlêg] ‘lecut’

[êluk] ‘bengkok’[galba] ‘jambak’

[gilis] ‘gilas’[halisyus] ‘angin

topan’[hili] ‘arus’[ilat] ‘lidah’

[abul] ‘sembur’[alal] ‘rindu’

[babal] ‘tembus’[bogol] ‘tanpa

senjata’[cabwal] ‘kerdil’[cêmbul] ‘hitam’[ðaðal] ‘robek’

[dêl] ‘kusut’[êdul] ‘tahan’

[êpil] ‘sembunyi’[gasul] ‘kejam’[gubêl] ‘peluk’[hawal] ‘ulang

kali’[hol] ‘peluk’[igêl] ‘tari’

[igul] ‘liak-liuk’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO46

[lipur] ‘hibur’[liraÿ] ‘enau’

[liriÿ] ‘lirikan’[lastari] ‘lestari’

[listuhayu]‘cantik’

[latah] ‘bingung’[lêtêh] ‘noda’[lêwih] ‘lebih’[luwar] ‘pisah’[lwah] ‘sungai’[lyab] ‘penuh’[lyan] ‘lain’

[ilik] ‘benci’[jalma] ‘manusia’

[jilak] ‘juling’[kalpa] ‘aturan’[kilwiûa] ‘dosa’[lalêh] ‘pesona’[liÿlaÿ] ‘murni’

[mālya] ‘karanganbunga’

[mêlêÿ] ‘berkilau’[nalaÿsa] ‘kesal’

[nīlotpala] ‘terataibiru’

[olah] ‘kelakuan’[olih] ‘hasil’

[pallawa] ‘tunas’[pilis] ‘pelipis’

[salwaÿ] ‘celah’[śilpika] ‘perajin’[talutuh] ‘noda’[tiliÿ] ‘condong’

[ulyar]‘bercahaya’

[ulyat] ‘meregang’[wallaba]‘kekasih’

[wilwa] ‘pohonmaja’

[yugala] ‘jodoh’

[jêjêl] ‘sesak’[jêmbul] ‘hitam’[kadal] ‘kadal’[kol] ‘peluk’

[manol] ‘jenisburung’

[maÿgêl] ‘marah’[ÿel] ‘lelah’

[ÿilil] ‘menjulangtinggi’

[oñjal] ‘bawa’[owêl] ‘segan’

[pandêl] ‘endap’[papal] ‘patah’

[rampal] ‘pecah’[raÿkal]

‘rangkak’[sambal] ‘nama

jabatan’[sêsêl] ‘sesal’[tahil] ‘ukuran

berat’[tal] ‘pohon tal]

[ulul] ‘atap’[ukal] ‘pukul’

[waÿkyul]‘cangkul’

[wêl] ‘cebol’

/m/ [mbaÿ] ‘sisi’[mben] ‘besok’

[macan] ‘macan’[mada] ‘mabuk’[maga] ‘kecewa’[maha] ‘besar’

[mahiûa] ‘kerbau’[maja] ‘pohon

maja’[mêja] ‘jiwa’

[makara] ‘udang’[makuþa]‘mahkota’

[mêlêk] ‘meluas’

[amba] ‘luas’[ambêk] ‘pikiran’

[bāma] ‘kiri’[bhūmi] ‘bumi’

[cambra] ‘anjing’[campah] ‘ejek’[dambha] ‘loba’

[dampati] ‘suami-istri’

[êmbêÿ]‘berlinang’

[êmbun] ‘ubun-ubun’

[gambhīra] ‘lebar’

[aðam] ‘matang’[alam]

‘terpesona’[balêm] ‘tenang’

[baóðêm]‘lempar’

[caÿkêm] ‘mulut’[cotom] ‘wadah’[dalêm] ‘dalam’[dom] ‘jarum’

[garêm] ‘garam’[gêgêm]

‘genggam’[höm] ‘kumpul’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 47

[mêlik] ‘jauh’[mamêÿ] ‘kosong’

[mami] ‘kami’[manah] ‘pikiran’

[mona] ‘diam’[mapaÿ] ‘tiba-

tiba’[mpu] ‘pendeta’[mrak] ‘burung

merak’[mrik] ‘harum’[masa] ‘bulan’

[mastaka] ‘kepala’[mataÿ]

‘sehingga’[mitra] ‘teman’

[mawa] ‘dan juga’[mawi] ‘mungkin’

[maya] ‘maya’[mayan]

‘meskipun’

[gampaÿ]‘gampang’

[hamba] ‘hamba’[hambêÿ]‘terhenti’

[imbuh] ‘tambah’[impên] ‘ringkas’[jamjam] ‘puas’[jampyan] ‘obat’

[kambaligi]‘asam’

[kampuh] ‘kain’[lampus] ‘mati’

[limbak]‘gelombang’[mambaÿ]

‘kelompok rakyat’[mami] ‘kami’[nama] ‘nama’

[namuk] ‘nyamuk’[ombak] ‘ombak’

[parampara]‘beriringan’[pramatta]‘gembira’

[rampas] ‘rampas’[sêmbah]‘sembah’

[tumpês] ‘hancur’[umpêt] ‘umpat’

[wimba]‘bayangan’

[yamani] ‘neraka’

[hêlêm] ‘kelak’[iðam] ‘idam’

[idêm] ‘setengahmekar’

[jamjam] ‘puas’[jarum]

‘perantara’[köm] ‘rendam’[krêm] ‘bersatu

padu’[lamlam]

‘terpesona’[lum] ‘layu’

[malêm] ‘malam’[nêm] ‘enam’

[nwam] ‘muda’[om] ‘tentu’

[pöm] ‘rahasia’[pêóðêm] ‘kubur’

[rêm] ‘gelap’[rūm] ‘harum’

[sêlêm] ‘selam’[siram] ‘siram’[tām] ‘tidak’

[tamtam] ‘ramah’[ukêm] ‘jenis

hewan air’[ulam] ‘ikan’

/n/ [na] ‘demikian’[nābhi] ‘pusar’

[nibrata] ‘pertapa’[nica] ‘nista’

[nadī] ‘sungai’[nidra] ‘tidur’

[ndi] ‘di mana’[nagara] ‘negara’

[nigraha]‘hukuman’

[anta] ‘akhir’[bandha] ‘ikat’

[candra] ‘bulan’[danta] ‘gigi’

[êntak]‘mengerang’

[ena] ‘ke mari’[gandha] ‘bau’[hantêb] ‘berat’

[induÿ] ‘ibu’

[apan] ‘karena’[baribin]‘bingung’

[bun] ‘kabut’[crêmin] ‘cermin’

[cuntên]‘menemui’[dandan]

‘berkemas’[don] ‘tujuan’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO48

[nahan]‘demikian’

[nihan] ‘begini’[nija] ‘tak cocok’[nêkêt] ‘terpikat’[nêknêk] ‘himpit’[nalasa] ‘sedih’[nīla] ‘biru tua’[nimitta] ‘tanda’[nimna] ‘dasar’[nandana] ‘anak

laki-laki’[ninda] ‘fitnah’

[napuÿsaka]‘banci’

[nipuóa] ‘pandai’[naryama]

‘pemimpin’[nora] ‘bukan’[naûþa] ‘hilang’[niûþa] ‘nista’[natha] ‘raja’

[nitya] ‘selalu’[nawa] ‘sembilan’

[niwedya]‘sesajen’

[naya] ‘siasat’[niyata] ‘pasti’

[janma] ‘manusia’[jênêk] ‘asyik’[kêna] ‘kena’

[kênêp] ‘tidur’[lana] ‘selalu’[līna] ‘mati’

[manda] ‘lemah’[mīna] ‘ikan’[ninda] ‘cela’[nini] ‘nenek’[onta] ‘unta’

[pantês] ‘pantas’[pinta] ‘pinta’

[rantas] ‘pecah’[runtuh] ‘roboh’[sanmata] ‘puji’[sinwam] ‘sulur’[tandaÿ] ‘tindak’[tindak] ‘langkah’[undur] ‘undur’[unêÿ] ‘rindu’[wanti] ‘ulang’[wanya] ‘lain’[yantra] ‘alat’

[êbun] ‘embun’[gêlon] ‘kasar’[guntên] ‘guru’

[hantên] ‘jabatan’[hayun] ‘datar’

[ikan] ‘ikan’[ikihên] ‘ini’[jajan] ‘jenis

ikan’[jantên] ‘suami’

[kon] ‘suruh’[kinkin] ‘usaha’

[len] ‘lain’[lon] ‘lambat’

[mben] ‘besok’[mon] ‘jika’

[ndan] ‘tetapi’[nohan] ‘untung’[opwan] ‘kalau’

[pan] ‘sebab’[pisan] ‘satu kali’

[rantên] ‘adiklaki-laki’[rapwan]

‘sehingga’[santên] ‘intisari’[santun] ‘tepung

sari’[ton] ‘lihat’

[tuntun] ‘tuntun’[ulun] ‘abdi’

[wêlun]‘beterbangan’

[yan] ‘jika’/ó/ - [aóða] ‘telur’

[aóimā] ‘atom’[bāóa] ‘anak

panah’[bhāóða] ‘barang

dagangan’[caóða] ‘bengis’

[cióðe] ‘jenis kainsutra’

-

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 49

[daóða] ‘tongkat’[droóa] ‘timba’

[êóðêk] ‘jongkok’[êóðut] ‘lumpur’

[eóðe] ‘jenisperisai’

[gaóa] ‘kawanan’[guóðala] ‘anting-

anting’[haóðap] ‘rendah’[ióða] ‘menjelma’

[inoûóa] ‘panasterik’

[jīróa] ‘tua’[jiûóu] ‘menang’[karóa] ‘telinga’[karuóa] ‘kasih’[lakûaóa] ‘tanda’[lióðih] ‘serbu’

[maóðaga] ‘buburnasi’

[maóðala]‘wilayah’

[nipuóa] ‘pandai’[nirbāóa]‘nirwana’[paóðita]

‘terpelajar’[puóðut] ‘ambil’[raóa] ‘perang’[rióðiÿ] ‘dekat’[saóða] ‘tiang’[sióði] ‘sindir’

[taóða] ‘bendera’[tuóða]

‘moncong’[uóða] ‘angkat’[uóðuh] ‘kocok’

[wāóðira]‘beringin’

/ÿ/ [ÿabar] ‘kobar’[ÿak] ‘pertikel’

[ÿambus] ‘dengus’

[aÿap] ‘terbuka’[aÿga] ‘anggota

badan’

[aðeÿ] ‘reda’[alaÿ]

‘melintang’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO50

[ÿaÿā] ‘pedas’[ÿêlu] ‘sakit

kepala’[ÿêr] ‘pertikel

penegas’[ÿês] ‘pertikel

penegas’[ÿel] ‘lelah’

[ÿgan] ‘denganjelas’

[ÿgwan] ‘tempat’[ÿhulun] ‘hamba’[ÿikik] ‘mengikik’

[ÿilil] ‘tinggi’[ÿis] ‘tiba-tiba’

[ÿkā] ‘sana’[ÿke] ‘sini’

[ÿko] ‘engkau’[ÿlih] ‘tidak

berdaya’[ÿrês] ‘kesakitan’

[ÿūni] ‘dulu’[ÿunÿun] ‘sedih’

[ÿwaÿ] ‘aku’

[baÿêt] ‘cepat’[buÿkah]‘pangkal’

[caÿcaÿ] ‘ikat’[cuÿkiÿ] ‘keras

kepala’[daÿū] ‘dulu’

[diÿkik] ‘intip’[êÿgah] ‘desah’

[êÿgon] ‘tempat’[eÿgi] ‘cemas’

[gaÿga] ‘air suci’[gêÿgöÿ] ‘kuat’[haÿan] ‘ringan’[haÿsa] ‘angsa’

[iÿgil]‘menjulang’

[iÿguÿ] ‘goyang’[jaÿan] ‘sayur’[jiÿga] ‘jingga’

[kaÿkuÿ]‘kangkung’

[kaÿśa]‘perunggu’

[liÿga] ‘lingga’[liÿgih] ‘duduk’

[maÿkā]‘demikian’

[miÿiÿ] ‘harum’[nêÿgêh] ‘konon’

[ÿasÿas]‘khawatir’

[oÿkara] ‘sukukata suci’

[paÿgih] ‘temu’[puÿgêl] ‘patah’

[raÿgah] ‘cabang’[rêÿrêÿ] ‘musim

hujan’[saÿkêp] ‘lengkap’[suÿsaÿ] ‘terbalik’

[têÿgêk] ‘leher’[tuÿtuÿ] ‘puncak’

[baluÿ] ‘tulang’[binaÿ] ‘merah’[celeÿ] ‘babi’

[curiÿ] ‘jenis alatmusik’

[dalaÿ] ‘dalang’[dulaÿ] ‘suap’[ênêÿ] ‘sunyi’

[eÿ] ‘bagian luar’[gaðiÿ] ‘gading’

[guÿ] ‘besar’[harêÿ] ‘arang’[hiruÿ] ‘hidung’[imêÿ] ‘bingung’

[ituÿ] ‘hitung’[jaguÿ] ‘jagung’[jaÿkuÿ] ‘jenis

burung’[kambaÿ]‘terapung’[kumbaÿ]

‘kumbang’[laÿgêÿ]

‘langgeng’[laÿkuÿ] ‘lebih’

[maliÿ] ‘pencuri’[miÿmaÿ]‘terbalik’

[naÿhiÿ] ‘hanya’[napuÿ] ‘netral’

[ÿoÿ] ‘aku’[oraÿ] ‘orang’

[pêniÿ] ‘renggut’[piliÿ] ‘pelipis’

[raÿkaÿ]‘rangkak’

[rêÿgiÿ] ‘licah’[siluhuÿ]

‘sembunyi’[suÿsuÿ]

‘songsong’[tambaÿ] ‘tali’

[têmbaÿ] ‘pukul’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 51

[uÿgah] ‘naik’[uÿguh] ‘berada’[waÿkaÿ] ‘cacat’

[wuÿkuk]‘bungkuk’

[uliÿ] ‘raung’[uluÿ] ‘jenis

burung’[wwaÿ]

‘manusia’/ñ/ [ñaman] ‘segar’

[ñambu] ‘jambu’[ñamu] ‘lenyap’

[ñamuûþi]‘menggenggam’[ñamut] ‘samar’[ñapñap] ‘suram’

[ñêg] ‘pertikeldeskriptif’

[ñêñêr] ‘amatelok’

[ñêp] ‘dingin’[ñêpñêp]‘linglung’

[ñer] ‘rasuk,luluh’

[ñöt] ‘partikeldeskriptif’

[ñen] ‘inilah’[ñwak] ‘kata seru’

[añco] ‘jala’[añjali] ‘puja’

[bañcana]‘bencana’

[bañwal] ‘lucu’[cañcala] ‘getar’

[cañco] ‘terkenal’[êñêt] ‘sunyi’[eñcêp] ‘cibir’

[gañcaÿ] ‘cepat’[hañar] ‘baru’[iñjiÿ] ‘pagi’[jañji] ‘janji’

[kañcana] ‘emas’[lañcaÿ] ‘kasar’

[mañura] ‘merak’[ñêñêr] ‘amat

elok’[oñjal] ‘ambil’[pañca] ‘lima’

[rañca] ‘bingung’[sañcaya]‘kumpul’

[taña] ‘tanya’[uñak] ‘tikam’

[wañcira] ‘kijang’

-

/p/ [pabaye] ‘namajabatan’

[pacaryan] ‘wadahsampah’

[pêðaÿ] ‘pedang’[pêgat] ‘putus’[pahat] ‘sadap’[pajaÿ] ‘sinar

bulan’[pakûa] ‘paksa’[pêkik] ‘bagus’

[apan] ‘sebab’[bapa] ‘ayah’

[bapra] ‘dinding’[cāpa] ‘busur’[cipta] ‘cipta’[dīpa] ‘lampu’[dipta] ‘sinar’

[êpêp] ‘sembunyi’[êpek] ‘ambil’

[gampaÿ] ‘mudah’[gêpuk] ‘pukul’

[alap] ‘ambil’[bāp] ‘banyak’

[cêp] ‘kata seru’[ðaðap] ‘perisai’[êgap] ‘terengah-

engah’[eñcep] ‘cibir’[garap] ‘raba’

[halêp] ‘cantik’[idêp] ‘batin’[jêjêp] ‘tahu’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO52

[pêlêk]‘tenggelam’[pilih] ‘pilih’

[paman] ‘paman’[panah] ‘panah’[pênuh] ‘penuh’[poûya] ‘nama

bulan’[pêpês] ‘retak’[pêpêt] ‘tutup’

[paryaÿka]‘tempat tidur’

[prabhā] ‘sinar’[pracêta] ‘terang’[pasaÿ] ‘pasang’

[pāśa] ‘jerat’[pati] ‘mati’

[pêtêÿ] ‘gelap’[puguh] ‘tegar’

[pupul] ‘kumpul’[pwaÿkulun]‘hambamu’

[pyak] ‘galak’

[hapêk] ‘pengap’[hapit] ‘apit’

[ipik] ‘muncul’[ipuk] ‘pelihara’

[japa] ‘doa’[kapwa] ‘semua’

[kipit] ‘cepat’[lapat] ‘samar’[liput] ‘liput’

[mapaÿ] ‘tiba-tiba’

[mpu] ‘pendeta’[napuÿ] ‘netral’

[opak]‘menganjurkan’[papag] ‘temu’[pipil] ‘pungut’

[rampad] ‘rampas’[ripta] ‘dokumen’

[sapta] ‘tujuh’[sipta] ‘kata’

[tapak] ‘jejak’[tapwan] ‘belum’

[upabhoga]‘makanan’[upadeśa]‘intruksi’

[wilāpa] ‘puisi’[yapwan] ‘jika’

[kakap] ‘kakap’[laóðêp]‘runcing’

[mêÿgêp] ‘pura-pura’

[nêp ] ‘jenispohon’

[papag] ‘sambut’[prāpta] ‘tiba’

[rêrêp] ‘istirahat’[rêsêp] ‘resap’[sasap] ‘rata’

[sikêp] ‘tangkap’[tap] ‘susun’

[tatap]‘mengatasi’

[usap] ‘usap’[ulap] ‘silau’

/ph/ [phala] ‘buah’[phalabi]‘kekasih’

[phalguna] ‘namabulan’

[phira] ‘binatangbuas’

- -

/r/ [rāt] ‘dunia’[rabhasa] ‘kejam’[rubuh] ‘roboh’

[racana] ‘susunan’‘racut’ bawa’

[radin] ‘bersih’

[aran] ‘nama’[baribin]‘bingung’

[carma] ‘kulit’[darpa] ‘binal’[êrêb] ‘potong’

[abêr] ‘lambat’[babar] ‘hancur’[bubar] ‘bubar’

[cacar]‘masakan’

[clor] ‘curang’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 53

[radyan] ‘tuan’[raga] ‘nafsu’[ragêt] ‘tanda’[rahagi] ‘sinar’

[rahasya] ‘rahasia’[rajya] ‘kerajaan’

[rajuÿ] ‘hewanair’

[rakêt] ‘lekat’[rakûa] ‘jaga’

[rambaÿ] ‘luas’[rêmêk] ‘hancur’[rantas] ‘pecah’[rênêb] ‘rimbun’

[rapuh] ‘letih’[rêpat] ‘susun’[raras] ‘cantik’[rêrêb] ‘tutup’

[raśmi] ‘pesona’[rasuk] ‘pakai’

[ratna] ‘permata’[ratêÿ] ‘masak’

[rawas] ‘hanyut’[rêwêk] ‘sergap’[ryak] ‘ombak’

[garawal]‘terburu-buru’

[harûa] ‘senang’[irir] ‘kipas’[jrih] ‘takut’

[karóa] ‘telinga’[liriÿ] ‘lirikan’

[mārdawa]‘merdu’[marma]

‘mendalam’[nartaki]

‘penyanyi wanita’[naryama]

‘pemimpin’[orêg] ‘huru-hara’

[orog] ‘bakar’[parwa] ‘paruh’[prêm] ‘tidur’

[raryan] ‘istirahat’[riris] ‘gerimis’[sarpa] ‘ular’[srêg] ‘sengit’[tarka] ‘terka’

[tirtha] ‘air suci’[ūrdha] ‘tinggi’[urug] ‘timbun’

[wīrya] ‘kekuatan’[yātra]

‘perjalanan’

[dadar]‘mengasah’

[dulur] ‘teman’[ênêr] ‘arah’[ewer] ‘tarik’

[gantar] ‘terang’[gubar] ‘gong

kecil’[hur] ‘daripada’

[idêr] ‘edar’[jênar] ‘kuning’[kêtêr] ‘getar’

[kober] ‘bendera’[lor] ‘utara’

[mār] ‘sebar’[natar] ‘tanah’[olur] ‘julur’

[puyur] ‘gemar’[ririr] ‘landai’

[samar] ‘samar’[titir] ‘berkali-

kali’[tutur] ‘sadar’[ukir] ‘ukir’[ukur] ‘ukur’

[wör] ‘terbang’[wuwur] ‘tabur’

[yar] ‘jika’

/s/ [sabha] ‘rapatumum’[sabraÿ]

‘seberang’[sêbit] ‘robek’

[saciwa] ‘sekutu’sicil] ‘kikir’

[sadā] ‘selalu’[siddha] ‘sukses’[sadyuh] ‘sorga’[sagraha] ‘siap’[sahya] ‘sangat

kuat’

[astra] ‘anakpanah’

[asti] ‘adalah’[basah] ‘basah’[bhasma] ‘abu’[dastar] ‘ikat

kepala’[ðusun] ‘dusun’

[êsês] ‘deru’[esêm] ‘senyum’[gasal] ‘ganjil’

[gêsêÿ] ‘hangus’[hasta] ‘tangan’

[alas] ‘hutan’[apus] ‘ikat’

[bagus] ‘bagus’[bobos]

‘melarikan diri’[cawis] ‘siap’

[daryas] ‘burunghantu’

[dêlês] ‘jenisular’

[ênês] ‘diam-diam’

[gabus] ‘asah’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO54

[sajjana] ‘orangbijak’

[sakûi] ‘saksi’[salisuh] ‘lestari’

[sambut] ‘sambut’[sana] ‘tempat’[saput] ‘tutup’[sara] ‘kolam’[sthira] ‘teguh’[sarwi] ‘sambil’[sasar] ‘sesat’[satya] ‘jujur’

[sawaÿ] ‘seperti’[sparśana]‘sentuhan’

[srêt] ‘gagap’[sor] ‘kalah’[sisih] ‘sisi’

[hāsya] ‘tawa’[isêr] ‘geser’

[jasun] ‘bawangputih’

[kasturi] ‘kesturi’[kisik] ‘desis’[laÿse] ‘tirai’

[maÿsa] ‘mangsa’[nastapa] ‘sedih’[osah] ‘gelisah’[pastha] ‘inti’

[prastāwa] ‘saat’[rasa] ‘rasa’

[rêsya] ‘kereta’[sasya] ‘jagung’

[taskara] ‘pencuri’[usên] ‘cepat’

[wistara] ‘jelas’

[grêmus] ‘cakar’[huwus] ‘telah’

[hyas] ‘hias’[iÿis] ‘ringis’

[kawês] ‘kagum’[lêlês] ‘lenyap’[lumis] ‘linang’

[mêlês]‘berkilau’

[nyus] ‘keriput’[ÿrês] ‘haru’

[pupus] ‘tumpas’[pras] ‘adopsi’[raras] ‘pesona’

[raris] ‘terus’[sus] ‘kering’

[totos]‘keturunan’

[ulês] ‘tutup’[wus] ‘akhir’[yas] ‘hias’

/ś/ [śabara] ‘namasuku’

[śabda] ‘bunyi’[śaca] ‘persiapan’[śaci] ‘istri Indra’

[śaka] ‘namasuku’

[śākhā] ‘dahan’[śāla] ‘rumah’

[śama] ‘tenang’[śānta] ‘sentosa’[śaÿku] ‘tombak’

[śeûa] ‘sisa’[śewa] ‘pengikut

Siwa’[śighra] ‘segera’[śikha] ‘puncak’[śila] ‘tingkah

laku’[śilā] ‘batu’

[śobha]‘cemerlang’

[aśani] ‘petir’[āścarya] ‘heran’

[baśa] ‘kekuasaan’[darśana] ‘contoh’[daśa] ‘sepuluh’[eśānya] ‘timur

laut’[gaśca] ‘sangat’

[håtśalya] ‘luka dihati’

[hutāśana] ‘api’[iśa] ‘yangberkuasa’[iśitwa]

‘keunggulan’[kaśa] ‘jenis

rumput’[kaśmala] ‘najis’

[lalāśa] ‘kaintenun’

[maśaka]‘nyamuk’

-

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 55

[śoca] ‘suci’[śodha] ‘murni’[śoka] ‘sedih’[śubha] ‘baik’[śuci] ‘suci’

[śuddha] ‘bersih’[śudra] ‘nama

kasta’[śukti] ‘kerang

mutiara’[śūla] ‘tombak’

[śūnya] ‘kosong’[śūra] ‘pahlawan’[śuśrūûa] ‘patuh’[śyena] ‘burung

elang’

[maśāka] ‘ukuranberat’

[nāśa] ‘musnah’[niścala] ‘kokoh’[niścaya] ‘pasti’[ośwāsa] ‘nafas’

[paścat] ‘lalu’[paścima] ‘barat’[rāśi] ‘tumpukan’[raśmi] ‘pesona’[śaśa] ‘kelinci’

[śāśwata] ‘abadi’[tatśeûa] ‘sisa’

[tośwāsa] ‘nafas’[uśwāsa] ‘tarik

nafas’[wiśiróa] ‘hancur’[wiśiûþa] ‘khusus’

[yaśa]‘kehormatan’

/û/ [ûað] ‘enam’[ûaûþi] ‘enam

puluh’[ûaûþhi] ‘yang

keenam’[ûaþ] ‘enam’

[ûaþpada]‘kumbang’

[ûoðaśa] ‘enambelas;

[aûþa] ‘delapan’[aûþi] ‘jenis

chanda’[apekûa] ‘hormat’[bakûa] ‘menari’[bhakûa] ‘makan’

[cakûu] ‘mata’[ceûþa] ‘usaha’

[duûkara] ‘sulit’[duûþa] ‘jahat’

[ghoûa]‘keributan’[ghoûita]‘perintah’

[harûa] ‘senang’[iûīkā] ‘alang-

alang’[iûþi] ‘ingin’

[jyeûþha]‘pertama’

[jyotiûa] ‘ahliperbintangan’[kaûþa] ‘jahat’

-

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO56

[kāûþha] ‘kayu’[loûþa] ‘bongkahan

tanah’[meûa] ‘domba’[mokûa] ‘lepas’

[nakûtra] ‘bintang’[oûþha] ‘bibir’[oûþra] ‘unta’

[pāruûya] ‘kejam’[puruûa] ‘ulung’

[rêûi] ‘guru’[rūkûa] ‘suram’[såûþa] ‘ciptaan’[sūkûma] ‘halus’

[tiûþa] ‘buah dada’[twiûþa] ‘kera’[uûa] ‘malam’[uûóa] ‘panas’

[weûa] ‘pakaian’[wiûþaka] ‘bata’

[yuûa] ‘usia’/t/ [ta] ‘partikel

penegas’[tā] ‘tidak ada’[tabaÿ] ‘jenistumbuhan’

[tabêh] ‘pukul’[tuccha] ‘hina’

[taðah] ‘makan’[tadin] ‘tinggal’[tagih] ‘tagih’[tagu] ‘tergila-

gila’[tahap] ‘minuman’

[tahên] ‘tahan’[tajêm] ‘tajam’[tajo] ‘periuk’

[taÿkis] ‘tangkis’[takut] ‘takut’

[talaga] ‘kolam’[talêh] ‘gairah’

[tambak]‘dinding’

[atag] ‘kerah’[atgata] ‘cemas’[bataÿ] ‘duga’

[butêÿ] ‘marah’[catra] ‘payung’[citta] ‘pikiran’[ðatêÿ] ‘datang’[dūta] ‘utusan’[êntak] ‘rintih’

[êntas] ‘seberang’[estu] ‘nyata’[gati] ‘jalan’

[gīta] ‘nyanyian’[hatur] ‘tampak’[hita] ‘untung’[itêk] ‘hidup’[iti] ‘begitu’

[jatmika] ‘sopan’[juti] ‘tipu’

[kathā] ‘cerita’[kita] ‘kamu’

[lantas] ‘lurus’

[atat] ‘burungkakatua’

[awat] ‘awal’[bañcut] ‘cabut’[biñjat] ‘nama

jabatan’[cat] ‘cat’

[crêt] ‘sembur’[dawut] ‘cabut’

[dukut] ‘rumput’[emut] ‘ingat’[gênêt] ‘kuat’

[gêñjut] ‘ayun’[hêlêt] ‘sekat’[höt] ‘sempit’[iÿut] ‘marah’

[iñcut] ‘berliku-liku’

[jagat] ‘dunia’[jahit] ‘kain

tenun’[kabêt] ‘lambat’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 57

[tampuh] ‘tiba-tiba’

[taóðiÿ] ‘tanding’[tanêh] ‘tindih’

[taÿgama] ‘cepat’[tañcêb] ‘tancap’

[tapak] ‘jejak’[tarajaÿ] ‘terjang’[tarima] ‘terima’[tasak] ‘matang’[tatab] ‘ketuk’

[tawur] ‘korban’[têbah] ‘tepuk’[têðun] ‘turun’[teja] ‘sinar’[tiba] ‘jatuh’[tolih] ‘toleh’

[trêjuÿ] ‘jurang’[trêk] ‘terhalang’[tuduh] ‘perintah’

[tyup] ‘tiup’

[lintu] ‘berturut-turut’

[mata] ‘mata’[mitra] ‘teman’[nātya] ‘tarian’[nitya] ‘selalu’[otwat] ‘otot’[pati] ‘mati’

[pūta] ‘bersih’[ratā] ‘datar’

[rati] ‘senang’[satya] ‘jujur’[sutra] ‘sutra’

[tattwa] ‘hakikat’[uttama] ‘utama’[wastu] ‘nyata’

[yatna] ‘hati-hati’

[kalit] ‘rebut’[liput] ‘liput’[lot] ‘gigih’

[mahat] ‘orangsuci’

[mihat] ‘lihat’[nêkêt] ‘lengket’

[pikat] ‘pikat’[pulut] ‘lekat’[rāt] ‘dunia’

[riwut] ‘topan’[sat] ‘kering’

[sêbit] ‘sobek’[tasmāt] ‘karena

itu’[tat] ‘tidak’

[ulyat] ‘regang’[upêt] ‘fitnah’

[widyut] ‘petir’[wwat] ‘bawa’

[yapwat] ‘kalau’[yat] ‘jika’

/th/ [thāni] ‘kekal,daerah’

[atha] ‘maka’[athawa] ‘atau’

[catuûpatha]‘perempatan’

[daśaratha] ‘namaraja’

[gāthā] ‘bait’[kathā] ‘cerita’

[kathamapi]‘tetapi’

[kathana]‘dongeng’

[manmatha]‘nafsu cinta’[manthana]

‘tongkatpengebor’

[nātha] ‘raja’[pastha] ‘inti’

[pathya] ‘cocok’[ratha] ‘kereta’

-

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO58

[sārathi] ‘kusir’[sthāna] ‘tempat’[tathāpi] ‘tetapi’

[tathāgatā]‘Buddha’[upastha]‘kelamin’[upasthita]‘unggul’

[wastha] ‘gelar’[yathā] ‘seperti’

/þ/ [þaÿkasāyaka]‘jenis senjata’

[þekþekan] ‘jenisserangga’

[þikā] ‘gambar’[þok] ‘partikelonomatope’

[þoÿ] ‘partikelonomatope’

[aûþa] ‘delapan’[aþi] ‘ikat rambut’[baþaÿ] ‘bangkai’

[bhaþþa] ‘tuan’[caþaka]

‘sombong’[cêþþa] ‘ahli’

[duûþa] ‘dusta’[dwiûþa] ‘kiasan’

[êþþahāsa] ‘tertawalebar’

[gaþik] ‘gesek’[ghaþa] ‘kolam’[hoûþra] ‘unta’[iûþa] ‘ingin’[iûþi] ‘ingin’

[jaþā] ‘rambutdipilin’

[karkaþa] ‘ketam’[kuþa] ‘benteng’[kūþa] ‘puncak’[lalāþa] ‘dahi’[laþi] ‘bibir’

[mañjeþi] ‘jeniskain’

[muûþi] ‘tinju’[naþya] ‘tarian’[niûþa] ‘nista’[oûþra] ‘unta’

[pêþa] ‘gambar’[pêþak] ‘putih’

[rāûþra] ‘negara’

-

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 59

[sakaóþaka] ‘duri’[santuûþa] ‘amat

puas’[taþāka] ‘kolam’[tāþakā] ‘nama

raksasa’[ucchiûþa] ‘sisa’

[upadåûþa]‘contoh’

[wåûþi] ‘hujan’[yaûþi] ‘tongkat’

/þh/ - [apaþha] ‘kutuk’[dhaniûþhā] ‘nama

gugus bintang’[dharmeûþhi]‘amat saleh’

[guûþha] ‘ibu jari’[jyeûþha] ‘kepala’

[jyeûþhi]keunggulan’[kaniûþha]‘termuda’

[kaóþha] ‘leher’[niûþha] ‘nista’

[niûþhura] ‘kejam’[parameûþhi]

‘Yang Tertinggi’[pāþha] ‘hafalan’

[pratiûþha]‘berdiri’

[sargeûþhāni]‘berada di dunia

yang tercipta’[śaþha] ‘sesat’

[wiûþha] ‘diam’

-

/w/ [wā] ‘bara pijar’[waca] ‘baca’

[wāda] ‘ucapan’[wadana] ‘mulut’[wagêd] ‘ulung’[wah] ‘banjir’[waja] ‘gigi’

[awak] ‘tubuh’[awur] ‘kacau’[bawa] ‘bawa’

[baya] ‘mungkin’[cawis] ‘siap’

[cuwa] ‘kecewa’[dawā] ‘panjang’

-

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO60

[wāk] ‘bicara’[wāla] ‘anak-

anak’[wāma] ‘kiri’

[wana] ‘hutan’[waÿal] ‘berani’[wañci] ‘curang’[wara] ‘terpilih’

[wās] ‘jelas’[wāta] ‘ingin’[wawa] ‘bawa’[wayah] ‘usia’[wêdi] ‘takut’

[we] ‘matahari’[wicara] ‘diskusi’

[woÿ] ‘orang’[wrā] ‘urai’

[wåddha] ‘tua’[wuda] ‘telanjang’

[wwit] ‘asal’[wyāghra]‘harimau’

[dewa] ‘dewa’[êwel] ‘umpat’[ewer] ‘tarik’[gawa] ‘bawa’

[giwaÿ] ‘gempar’[hawan] ‘jalan’[huwā] ‘lepas’

[iwa] ‘memang’[iwêÿ] ‘namun’[jawuh] ‘hujan’

[kawi] ‘pujangga’[lawan] ‘lawan’

[mawa] ‘dan juga’[nawa] ‘sembilan’

[owah] ‘ubah’[pawana] ‘angin’[rawi] ‘matahari’[sawah] ‘sawah’[tawa] ‘lemah’

[taya] ‘tidak ada’

/y/ [ya] ‘partikelpenegas’

[yadi] ‘meskipun’[yah] ‘partikel

penegas’[yajña] ‘korban’[yakti] ‘sungguh’[yamani] ‘neraka’

[yan] ‘jika’[yapwan] ‘jika’

[yar] jika’[yaśa] ‘kemuliaan’

[yatha] ‘seperti’[yawat] ‘kalau’[yayā] ‘pasti’[yen] ‘jika’

[yodha] ‘pejuang’[yoga] ‘yoga’

[yogya] ‘patut’[yuddha] ‘perang’

[yuga] ‘usia

[aywa] ‘jangan’[bayaÿ] ‘ragu-

ragu’[byūha] ‘aturan’[cyuta] ‘jatuh’[dyun] ‘periuk’[dyūta] ‘judi’

[êyêh] ‘air seni’[eyor] ‘guyur’[gyā] ‘ingin’

[gyuk] ‘gempar’[hyaÿ] ‘dewa’[hyun] ‘ingin’

[indriya] ‘indria’[iya] ‘benar-

benar’[jaya] ‘jaya’[jyoti] ‘sinar’[kāya] ‘tubuh’

[layah] ‘condong’[maya] ‘maya’

[apuy] ‘api’[daraway] ‘alir’[ðaray] ‘anak

kecil’[gaday] ‘gadai’[gaway] ‘kerja’[halay] ‘salah’[hêlay] ‘helai’[ilay] ‘cara’

[julay]‘sembrono]

[kalay] ‘gelanglengan’

[kasay] ‘bedakwangi’

[lalay] ‘tunas’[lambay] ‘bibir’

[palupuy]‘contoh’

[panay] ‘periuk’[pilay] ‘nama

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 61

Berdasarkan tabel data distribusi konsonan bahasa Jawa Kuno di atas dapat dijelaskan bahwa fonem konsonan /bh/, /c/, /ch/, /dh/, /ðh/, /gh/, /j/, /jh/, /kh/, /ó/, /ñ/, /ph/, /ś/, /û/, /þ/, /þh/, /w/ tidak bisa menempati posisi di akhir kata dasar atau morfem asal. Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984:33) menyatakan bahwa fonem konsonan bahasa Jawa Kuno yang tidak bisa menempati posisi di akhir kata dasar atau morfem asal hanya sebelas konsonan, yaitu /b/, /bh/, /c/, /ð/, /dh/, /kh/, /ph/, /þ/, /th/, /þh/, dan /w/. Penelitian ini telah menemukan sebanyak tujuh belas fonem konsonan yang tidak bisa menempati posisi di akhir kata dasar atau morfem asal bahasa Jawa Kuno. Ada kemungkinan hal itu disebabkan alat ucap penutur bahasa Jawa Kuno tidak memungkinkan melafalkan fonem-fonem tersebut ketika berada di akhir kata dasar atau morfem asal.

Fonem konsonan bahasa Jawa Kuno yang tidak ditemukan menempati posisi awal kata dasar atau morfem asal adalah /ðh/, /ó/, dan /þh/. Konsonan /ch/ ditemukan di awal lima kata dasar atau morfem asal. Konsonan /jh/ ditemukan di awal dua kata dasar. Konsonan /kh/ ditemukan di awal lima kata dasar. Konsonan /ph/ ditemukan di awal empat kata dasar atau morfem asal. Konsonan /û/ ditemukan di awal enam kata dasar atau morfem asal. Konsonan /þ/ hanya ditemukan di awal lima kata dasar atau morfem asal. Konsonan /th/ hanya ditemukan di awal satu kata dasar atau morfem asal, yakni pada kata [thāni] ‘kekal, daerah’. Karena itu dapat dikatakan bahwa konsonan tersebut memiliki frekuensi distribusi terbatas di awal kata dasar atau morfem asal pada bahasa Jawa Kuno.

dunia’[yugala]

‘pasangan’[yukti] ‘benar’[yuûa] ‘usia’[yuta] ‘juta’

[yuwa] ‘muda’[yuyut] ‘cicit’[ywa] ‘partikel

penegas’

[naya] ‘siasat’[oya] ‘ada’

[payuÿ] ‘payung’[raya] ‘raya’

[sadyuh] ‘sorga’[tayuÿ] ‘miring’[uyak] ‘kejar’

[wyatara] ‘kira-kira’

[yuyu] ‘kepiting’

jabatan’[raray] ‘anak

kecil’[rumbay] ‘subur’[sampay] ‘jijik’

[saway] ‘panggil’[tambay]

‘permulaan’[tamuy] ‘tamu’

[uray] ‘urai’[way] ‘matahari’

[wway] ‘air’

Berdasarkan tabel data distribusi konsonan bahasa Jawa Kuno diatas dapat dijelaskan bahwa fonem konsonan /bh/, /c/, /ch/, /dh/, /ðh/,/gh/, /j/, /jh/, /kh/, /ó/, /ñ/, /ph/, /ś/, /û/, /þ/, /þh/, /w/ tidak bisa menempatiposisi di akhir kata dasar atau morfem asal. Mardiwarsito dan HarimurtiKridalaksana (1984:33) menyatakan bahwa fonem konsonan bahasa JawaKuno yang tidak bisa menempati posisi di akhir kata dasar atau morfemasal hanya sebelas konsonan, yaitu /b/, /bh/, /c/, /ð/, /dh/, /kh/, /ph/, /þ/,/th/, /þh/, dan /w/. Penelitian ini telah menemukan sebanyak tujuh belasfonem konsonan yang tidak bisa menempati posisi di akhir kata dasaratau morfem asal bahasa Jawa Kuno. Ada kemungkinan hal itudisebabkan alat ucap penutur bahasa Jawa Kuno tidak memungkinkanmelafalkan fonem-fonem tersebut ketika berada di akhir kata dasar ataumorfem asal.

Fonem konsonan bahasa Jawa Kuno yang tidak ditemukanmenempati posisi awal kata dasar atau morfem asal adalah /ðh/, /ó/, dan/þh/. Konsonan /ch/ ditemukan di awal lima kata dasar atau morfem asal.Konsonan /jh/ ditemukan di awal dua kata dasar. Konsonan /kh/ditemukan di awal lima kata dasar. Konsonan /ph/ ditemukan di awalempat kata dasar atau morfem asal. Konsonan /û/ ditemukan di awalenam kata dasar atau morfem asal. Konsonan /þ/ hanya ditemukan di awallima kata dasar atau morfem asal. Konsonan /th/ hanya ditemukan di awalsatu kata dasar atau morfem asal, yakni pada kata [thāni] ‘kekal, daerah’.Karena itu dapat dikatakan bahwa konsonan tersebut memiliki frekuensidistribusi terbatas di awal kata dasar atau morfem asal pada bahasa JawaKuno.

Konsonan bahasa Jawa Kuno yang tidak ditemukan di tengahkata dasar atau morfem asal adalah /ph/. Sementara itu, konsonan /ðh/dan /jh/ hanya ditemukan satu kali berada di tengah kata dasar ataumorfem asal, yakni pada kata [dåðha] ‘teguh’ dan [nirjhara] ‘air terjun’.Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) tidak ada menjelaskan

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO62

Konsonan bahasa Jawa Kuno yang tidak ditemukan di tengah kata dasar atau morfem asal adalah /ph/. Sementara itu, konsonan /ðh/ dan /jh/ hanya ditemukan satu kali berada di tengah kata dasar atau morfem asal, yakni pada kata [dåðha] ‘teguh’ dan [nirjhara] ‘air terjun’. Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) tidak ada menjelaskan konsonan-konsonan bahasa Jawa Kuno yang tidak bisa menempati posisi di awal atau di tengah kata dasar atau morfem asal pada bahasa Jawa Kuno.

Pola Persukuan Bahasa Jawa Kuno

Pola persukuan adalah suatu urutan berulang dari tempat vokal dan konsonan yang terdapat pada suku kata dalam suatu bahasa. Pola persukuan itu juga disebut pola kanonik (Pastika, 2005) atau istilah yang juga sering dipakai ialah fonotaktik (phonotactics). Fonotaktik dapat diartikan sebagai urutan fonem yang dimungkinkan dalam suatu bahasa atau pemerian dan sistem pengaturannya dalam bidang fonemik (Saputra, 2012).

Pola persukuan dalam sebuah bahasa dapat dipahami melalui dua teori, yaitu (1) teori sonoritas dan (2) teori prominans. Teori sonoritas menjelaskan bahwa sebuah rangkaian bunyi bahasa yang diucapkan oleh penutur selalu terdapat puncak-puncak kenyaringan (sonoritas) di antara bunyi-bunyi yang diucapkan. Puncak kenyaringan tersebut ditandai dengan denyutan dada yang menyebabkan paru-paru mendorong udara keluar. Satuan kenyaringan bunyi yang diikuti dengan satuan denyutan dada yang menyebabkan udara keluar dari paru-paru disebut satuan silaba atau suku kata. Sementara itu, teori prominans lebih menitikberatkan pada gabungan sonoritas dan ciri-ciri suprasegmental, terutama jeda (juncture). Ketika rangkaian bunyi diucapkan, selalu terdengar satuan kenyaringan bunyi, juga terasa jeda di antaranya, yakni kesenyapan sebelum dan sesudah puncak kenyaringan. Batas di antara bunyi-bunyi puncak itu ditandai dengan tanda tambah (+) (Muslich, 2009:73). Lebih jauh, Muslich (2009:74—75) menjelaskan bahwa berdasarkan teori sonoritas dan teori prominans diketahui bahwa sebagian besar struktur kata terdiri atas satu bunyi sonor berupa vokoid, baik tidak didahului dan diikuti

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 63

kontoid, didahului dan diikuti kontoid, didahului kontoid saja, maupun diikuti oleh kontoid saja, yang dapat dirumuskan:

Bunyi vokal ditandai dengan V, bunyi konsonan ditandai dengan K, dan bunyi semi konsonan ditandai dengan A1/2K (cf. Saputera, 2012). Berdasarkan rumus tersebut dapat dijelaskan bahwa vokal (V) merupakan unsur yang harus ada pada setiap suku kata atau silaba. Dengan demikian, konsonan (K) dipandang sebagai unsur manasuka.

Dalam praktiknya lebih lanjut, persoalan penyukuan kata atau silabisasi dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) silabisasi fonetis, yakni penyukuan kata didasarkan pada realitas pengucapan yang ditandai oleh satuan hembusan napas dan satuan bunyi sonor; (2) silabisasi fonemis, yakni penyukuan kata didasarkan pada struktur fonem bahasa bersangkutan; dan (3) silabisasi morfologis, yakni penyukuan kata didasarkan pada proses morfologis ketika sebuah kata dibentuk.

Berdasarkan teori silabisasi di atas, silabisasi dalam bahasa Jawa Kuno tampak menunjukkan keunikan atau bahkan penyimpangan. Misalnya, jika dikatakan bahwa vokal merupakan unsur yang harus ada dalam setiap suku kata, maka dalam bahasa Jawa Kuno justru ditemukan suku kata yang hanya terdiri atas satu konsonan, seperti [ŋ] dan [n] sebagai partikel penentu atau partikel penegas.

Contoh:

/karaóa nira n ðatêŋ/ ‘sebabnya ia itu datang’

/maŋkana ŋ krāmanya/ ‘begitulah aturannya’

Keberadaan bahasa Jawa Kuno yang tidak memiliki penutur asli ataupun bahasa yang diwarisi hanya melalui tulisan pada naskah

(K) V (K)

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO64

dan prasasti, membawa konsekuensi penentuan pola penyukuan kata bahasa Jawa Kuno dapat dilakukan berdasarkan silabisasi fonemis dan morfologis, yakni silabisasi tersebut diinterpretasikan berdasarkan pada struktur fonem dan proses morfologis ketika sebuah kata dibentuk. Di sisi lain, pengaruh bahasa Sansekerta yang dominan dalam bahasa Jawa Kuno juga dipertimbangkan dalam menentukan silabisasi sebuah morfem asal pangkal. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa Sansekerta kadangkala mempunyai silabisasi sebuah morfem asal pangkal atau kata dasar berbeda dengan silabisasi bahasa-bahasa Nusantara. Hal itu disebabkan ada bunyi-bunyi dalam bahasa Sansekerta yang dianggap sebagai satu fonem justru di dalam bahasa-bahasa Nusantara dipandang sebagai dua fonem berbeda. Misalnya, [kû] dalam kata [akûara]. Dalam bahasa Sansekerta, kata [akûara] dibangun oleh silaba: V+KV+KV. Namun, dalam bahasa-bahasa Nusantara, baik dalam bahasa Jawa, bahasa Bali, maupun bahasa Indonesia kata [akûara] akan disilabisasi fonemis menjadi VK+KV+KV karena bunyi [kû] dibedakan menjadi dua bunyi yang berbeda, yaitu [k] dan [s] sesuai dengan struktur fonem bahasa Jawa Kuno.

Berdasarkan teori silabisasi dan beberapa pertimbangan di atas, silabisasi atau pola kanonik dalam bahasa Jawa Kuno dapat dirinci sebagai berikut.

yakni penyukuan kata didasarkan pada struktur fonem bahasabersangkutan; dan (3) silabisasi morfologis, yakni penyukuan katadidasarkan pada proses morfologis ketika sebuah kata dibentuk.

Berdasarkan teori silabisasi di atas, silabisasi dalam bahasa JawaKuno tampak menunjukkan keunikan atau bahkan penyimpangan.Misalnya, jika dikatakan bahwa vokal merupakan unsur yang harus adadalam setiap suku kata, maka dalam bahasa Jawa Kuno justru ditemukansuku kata yang hanya terdiri atas satu konsonan, seperti [ŋ] dan [n]sebagai partikel penentu atau partikel penegas.Contoh:

/karaóa nira n ðatêŋ/ ‘sebabnya ia itu datang’/maŋkana ŋ krāmanya/ ‘begitulah aturannya’Keberadaan bahasa Jawa Kuno yang tidak memiliki penutur asli

ataupun bahasa yang diwarisi hanya melalui tulisan pada naskah danprasasti, membawa konsekuensi penentuan pola penyukuan kata bahasaJawa Kuno dapat dilakukan berdasarkan silabisasi fonemis danmorfologis, yakni silabisasi tersebut diinterpretasikan berdasarkan padastruktur fonem dan proses morfologis ketika sebuah kata dibentuk. Di sisilain, pengaruh bahasa Sansekerta yang dominan dalam bahasa Jawa Kunojuga dipertimbangkan dalam menentukan silabisasi sebuah morfem asalpangkal. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa Sansekerta kadangkalamempunyai silabisasi sebuah morfem asal pangkal atau kata dasarberbeda dengan silabisasi bahasa-bahasa Nusantara. Hal itu disebabkanada bunyi-bunyi dalam bahasa Sansekerta yang dianggap sebagai satufonem justru di dalam bahasa-bahasa Nusantara dipandang sebagai duafonem berbeda. Misalnya, [kû] dalam kata [akûara]. Dalam bahasaSansekerta, kata [akûara] dibangun oleh silaba: V+KV+KV. Namun,

No Struktur SukuKata

Contoh

1 K [n] ‘pertikel konjungtif’[ŋ] ‘partikel konjungtif’

2 V [i] ‘di’3 KV [bi] ‘istri’

[bo] ‘bau busuk’[dhā] ‘kata seru: baik, bagus’[de] ‘oleh’[du] ‘pojok’[ge] ‘terburu-buru’[go] ‘lembu’[ho] ‘jernih’[ka] ‘ke’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 65

[lö] ‘tegang’[na] ‘seperti’[ni] ‘pertikel konektif’[ri] ‘di’[si] ‘si’

4 VK [ah] ‘kata seru’[Ah] ‘suku kata suci’[an] ‘pertikel konektif’[aŋ] ‘pertikel penentu’[Aŋ] ‘suku kata suci’[ih] ‘kata seru’[iŋ] ‘di’, ‘pada’[uh] ‘kata seru’[er] ‘air’[oh] ‘kata seru’

5 KVA1/2K [luy] ‘kembali’[way] ‘air’

6 KKVA1/2K [wway] ‘air’[dway] ‘mundur’

7 KVK [baŋ] ‘merah’[bāp] ‘penuh’[bar] ‘tiba-tiba’[bok] ‘onomatope (benda jatuh)’[bong] ‘tak sudi’[bor] ‘partikel deskriptif’[bos] ‘suram’[bot] ‘berat, gaya’[bhūh] ‘bumi’[bun] ‘embun’[buŋ] ‘tunas bambu’[bhūr] ‘bumi’[cat] ‘cat’[cĕb] ‘partikel deskriptif’[cĕt] ‘sekejap’[dan] ‘siap’[don] ‘tuju’[göŋ] ‘besar’[höb] ‘sembunyi’[hĕt] ‘sempit’[jag] ‘dengan cepat’[jöŋ] ‘kaki’[kon] ‘suruh’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO66

[luŋ] ‘tunas’[mār] ‘lemah’[nir] ‘tidak’[ŋel] ‘lelah’[ñĕp ] ‘dingin’[pöh] ‘perahan susu’[sĕb] ‘asap’[tan] ‘tidak’[ton] ‘lihat’[weh] ‘beri’

8 KKV [bhrā] ‘cahaya’[bhrū] ‘alis’[gro] ‘raung’[hru] ‘anak panah’[hwa] ‘hening’[jro] ‘dalam’[kre] ‘baju baja’[lwā] ‘lebar’[mpu] ‘yang mulia’[nda] ‘pertikel deiktik: lihatlah’[ndi] ‘di mana, yang mana’[pra] ‘para’[rwa] ‘dua’[rwi] ‘duri’[śrī] ‘makmur’[sru] ‘cepat’[twa] ‘uwak’[wrā] ‘tergerai’[wre] ‘kera’[wri] ‘takut’[ywa] ‘partikel penegas’

9 KKVK [brĕm] ‘berem’[brĕk] ‘keroyok’[bwat] ‘berat’[byuh] ‘banyak’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 67

[byut] ‘lebat’[clor] ‘curang, palsu’[dyun] ‘periuk’[dyus] ‘mandi’[grĕt] ‘kusut’[grit] ‘decit’[groŋ] ‘jurang’[hraŋ] ‘gemuruh’[hrih] ‘malu’[jrih] ‘takut’[jriŋ] ‘jenis pohon’[jrit] ‘jerit’[krap] ‘lari’[krig] ‘muncul’[krut] ‘keriput’[lwir] ‘seperti’[lyab] ‘penuh’[lyud] ‘lumpur’[lyus] ‘lentur’[mwaŋ] ‘dan’[mwah] ‘dan’[ndan] ‘tetapi, kemudian’[ŋgan] ‘seolah-olah’[ŋhiŋ] ‘tetapi’[prah] ‘kebiasaan’[pras] ‘adopsi’[prih] ‘usaha’[ryak] ‘ombak’[sraŋ] ‘tanding’[srĕg] ‘dahsyat’[srik] ‘semerbak’[tyas] ‘hati’[tyup] ‘tiup’[wwaŋ] ‘manusia’[wrin] ‘takut’[wrih] ‘tahu’

10 KKKV [ndwa] ‘di mana, yang mana’[strī] ‘istri’

11 KKKVK [ŋgwan] ‘tempat’[kryak] ‘pertikel onomat’[kryan] ‘bangsawan’[kryaŋ] ‘gemerincing’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO68

Berdasarkan data di atas dapat dijelaskan bahwa dalam bahasa Jawa Kuno, pola persukuan, silabisasi, atau pola kanonik terdapat sebelas jenis silaba. Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) hanya menemukan sepuluh jenis silaba dalam bahasa Jawa Kuno, yaitu V, K, KV, VK, KVV, KVK, KKV, KKVK, KKKV, dan KKKVK. Contoh pola KVV dalam bahasa Jawa Kuno menurut Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984:34) terdapat pada kata [luy]. Dengan demikian, bunyi [y] pada kata [luy] dianggap sebagai vokal. Akan tetapi dalam penelitian ini, bunyi [y] dalam kata [luy], [way], [wway], [dway] dikatagorikan sebagai semi konsonan sehingga ditandai A1/2K.

Kombinasi pola persukuan atau pola kanonik bahasa Jawa Kuno tersebut membentuk kata dasar bahasa Jawa Kuno sebagai berikut.

JumlahSuku

PolaPersukuan

Contoh

1(ekasuku)

1. K [n] ‘pertikel konjungtif’[ŋ] ‘partikel konjungtif’

2. V [i] ‘di’3. KV [bi] ‘istri’

[bo] ‘bau busuk’[dhā] ‘kata seru: baik, bagus’[de] ‘oleh’[du] ‘pojok’[ge] ‘terburu-buru’[go] ‘lembu’[ho] ‘jernih’[ka] ‘ke’[lö] ‘tegang’[na] ‘seperti’[ni] ‘pertikel konektif’[ri] ‘di’[si] ‘si’

4. VK [ah] ‘kata seru’[Ah] ‘suku kata suci’[an] ‘pertikel konektif’[aŋ] ‘pertikel penentu’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 69

[Aŋ] ‘suku kata suci’[ih] ‘kata seru’[iŋ] ‘di’, ‘pada’[uh] ‘kata seru’[er] ‘air’[oh] ‘kata seru’

5.KVA1/2K

[luy] ‘kembali’[way] ‘air’

6.KKVA1/2K

[wway] ‘air’[dway] ‘mundur’

7. KVK [baŋ] ‘merah’[bāp] ‘penuh’[bar] ‘tiba-tiba’[bok] ‘onomatope (benda jatuh)’[bong] ‘tak sudi’[bor] ‘partikel deskriptif’[bos] ‘suram’[bot] ‘berat, gaya’[bhūh] ‘bumi’[bun] ‘embun’[buŋ] ‘tunas bambu’[bhūr] ‘bumi’[cat] ‘cat’[cĕb] ‘partikel deskriptif’[cĕt] ‘sekejap’[dan] ‘siap’[don] ‘tuju’[göŋ] ‘besar’[höb] ‘sembunyi’[hĕt] ‘sempit’[jag] ‘dengan cepat’[jöŋ] ‘kaki’[kon] ‘suruh’[luŋ] ‘tunas’[mār] ‘lemah’[nir] ‘tidak’[ŋel] ‘lelah’[ñĕp ] ‘dingin’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO70

[pöh] ‘perahan susu’[sĕb] ‘asap’[tan] ‘tidak’[ton] ‘lihat’[weh] ‘beri’

8. KKV [bhrā] ‘cahaya’[bhrū] ‘alis’[gro] ‘raung’[hru] ‘anak panah’[hwa] ‘hening’[jro] ‘dalam’[kre] ‘baju baja’[lwā] ‘lebar’[mpu] ‘yang mulia’[nda] ‘pertikel deiktik: lihatlah’[ndi] ‘di mana, yang mana’[pra] ‘para’[rwa] ‘dua’[rwi] ‘duri’[śrī] ‘makmur’[sru] ‘cepat’[twa] ‘uwak’[wrā] ‘tergerai’[wre] ‘kera’[wri] ‘takut’[ywa] ‘partikel penegas’

9. KKVK [brĕm] ‘berem’[brĕk] ‘keroyok’[bwat] ‘berat’[byuh] ‘banyak’[byut] ‘lebat’[clor] ‘curang, palsu’[dyun] ‘periuk’[dyus] ‘mandi’[grĕt] ‘kusut’[grit] ‘decit’[groŋ] ‘jurang’[hraŋ] ‘gemuruh’[hrih] ‘malu’[jrih] ‘takut’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 71

[jriŋ] ‘jenis pohon’[jrit] ‘jerit’[krap] ‘lari’[krig] ‘muncul’[krut] ‘keriput’[lwir] ‘seperti’[lyab] ‘penuh’[lyud] ‘lumpur’[lyus] ‘lentur’[mwaŋ] ‘dan’[mwah] ‘dan’[ndan] ‘tetapi, kemudian’[ŋgan] ‘seolah-olah’[ŋhiŋ] ‘tetapi’[prah] ‘kebiasaan’[pras] ‘adopsi’[prih] ‘usaha’[ryak] ‘ombak’[sraŋ] ‘tanding’[srĕg] ‘dahsyat’[srik] ‘semerbak’[tyas] ‘hati’[tyup] ‘tiup’[wwaŋ] ‘manusia’[wrin] ‘takut’[wrih] ‘tahu’

10. KKKV [ndwa] ‘di mana, yang mana’[strī] ‘istri’

11.KKKVK

[ŋgwan] ‘tempat’[kryak] ‘pertikel onomat’[kryan] ‘bangsawan’[kryaŋ] ‘gemerincing’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO72

Dalam penelitian ini ditemukan 11 (sebelas) jenis pola persukuan atau pola kanonik yang membentuk kata dasar bahasa Jawa Kuno yang tergolong ekasuku. Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) hanya menemukan 8 (delapan) macam pola persukuan pada kata dasar bahasa Jawa Kuno yang tergolong ekasuku.

Kata dasar bahasa Jawa Kuno yang terdiri atas dua suku (dwisuku) memiliki pola-pola kanonik sebagai berikut.

Jumlah Suku Pola Persukuan Contoh

2 (dwisuku) 1. V+KV [e+wu] ‘seribu’

2. V+KVK [a+lap] ‘ambil’

3. V+KVA1/2K [a+puy] ‘api’

4. V+KKV [i+ccha] ‘hasrat’

5. VK+KV [ar+tha] ‘kekayaan’

6. VK+KKV [ir+ûya] ‘dengki’

7. VK+KVK [am+bêk] ‘pikiran’

8. VK+KKVK [am+pyal] ‘jnis bam-bu’

9. KV+KV [ba+pa] ‘ayah’

10. KV+KVK [sa+hut] ‘gigit’

11. KV+KKV [tu+ccha] ‘kosong’

12. KVK+KV [mūr+kha] ‘kejam’

13. KVK+KVK [tuŋ+tuŋ] ‘ujung’

14. KVK+KVA1/2K [paó+ðay] ‘pande’

15. KVK+KKV [śās+tra] ‘ilmu penge-tahuan’

16. KVK+KKVK [tam+pyak] ‘deburan’17. KKV+KV [pra+bhū] ‘raja’18. KKV+KVK [nda+tan] ‘sama seka-

li tidak’19. KKV+KKV [wya+ghra] ‘macan’20. KV+KKVK [ka+gyat] ‘kaget’21. KV+KKKVK [ra+kryan] ‘tuan’22. KKVK+KV [wyar+tha] ‘sia-sia’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 73

Berdasarkan data pola persukuan atau pola kanonik di atas, penelitian ini telah menemukan 22 (dua puluh dua) jenis pola persukuan atau pola kanonik kata dasar bahasa Jawa Kuno yang dibangun dua segmen suku kata (dwisuku). Sementara Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) hanya menemukan 16 (enam belas) jenis pola persukuan pada kata dasar bahasa Jawa Kuno yang terbangun atas dua suku kata (dwisuku).

Kata dasar bahasa Jawa Kuno dengan pola persukuan atau pola kanonik terdiri atas tiga suku kata (trisuku) dapat disimak sebagai berikut.

Jumlah Suku Pola Persukuan Contoh3 (trisuku) 1. V+KV+KV [u+ru+ru] ‘memabukkan’

2. VK+KV+KV [ut+phu+la] ‘pucuk’3. VK+KKV+KV [uj+jwa+la] ‘kilauan’4. VK+KKVK+KV [an+tyan+ta] ‘luar biasa’5. KV+KV+KV [sā+ga+ra] ‘samudera’6. KV+KV+KVK [sa+ka+rĕŋ] ‘sebentar’7. KV+KV+KVA1/2K [pa+lu+puy] ‘contoh’8. KV+KV+KKVK [di+ŋa+ryan] ‘betapa luar

biasa’9. KV+KVK+KV [ka+laŋ+ka] ‘noda’10. KV+KVK+KVK [ta+luk+tak] ‘jenis kincir

air’11. KV+KVK+KKV [ma+taŋ+nya] ‘karena itu’12. KV+KKV+KV [bi+pra+ya] ‘maksud’13. KVK+KVK+KV [mar+yan+ta] ‘batas’14. KVK+KV+KVK [tam+bi+luŋ]‘wadah’15. KVK+KV+KV [waŋ+ka+wa] ‘pelangi’16. KVK+KV+KKV [sam+ba+ddha] ‘hubun-

gan’17. KVK+KKV+KV [sam+bhra+ma] ‘sibuk’18. KVK+KVK+KKV [sam+ban+ddha] ‘sebab’19. KKV+KV+KV [pra+bhā+ta] ‘fajar’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO74

20. KKV+KV+KVK [pri+ha+wak] ‘sendiri’21. KKV+KVK+KV [sphu+liŋ+ga] ‘percikan

api’22. KKV+KVK+KVK [tri+wak+wak] ‘jenis bu-

rung’23. KKV+KKVK+KV [pra+tyak+ûa] ‘jelas’24. KKVK+KV+KV [brāh+ma+óa] ‘pertapa’25. KKVK+KVK+KV [brāh+mok+ta] ‘ucapan’

Berdasarkan data di atas pola persukuan atau pola kanonik pada kata dasar bahasa Jawa Kuno yang terdiri atas tiga suku (trisuku) ditemukan sebanyak 25 (dua puluh lima) jenis pola kanonik. Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) hanya menemukan 18 (delapan belas) jenis pola persukuan trisuku pada kata dasar bahasa Jawa Kuno.

Pola persukuan atau pola kanonik kata dasar bahasa Jawa Kuno yang terdiri atas empat suku (catursuku) dapat disimak sebagai berikut.

Jumlah Suku Pola Persukuan Contoh4 (catursuku) 1. V+KV+KV+KV [u+dā+sī+na] ‘netral’

2. V+KV+KKV+KV [a+nu+gra+ha] ‘an-ugerah’

3. VK+KVK+KV+KV [an+tar+lī+na] ‘lenyap’4. VK+KVK+V+KKV [an+tar+i+kûa] ‘langit’5. KV+KV+KV+KV [tu+ha+ga+na] ‘tetap’6. KV+KV+KVK+KV [ p a + r i + p a k + w a ]

‘matang’7. KV+KV+KKV+KV [pa+ri+gra+ha] ‘pem-

berian’8. KV+KV+KVK+KKV [ m a + h i + r a n + d h r a ]

‘lubang tanah’9. KV+KVK+V+KV [ka+tham+a+pi] ‘akan

tetapi’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 75

10. KV+KVK+KV+KV [pu+nar+bha+wa] ‘la-hir kembali’

11. KV+KV+KV+KVK [ t a + l a + p a + k a n ] ‘telapak kaki’

12. KV+KVK+KV+KVK [ t a + l a m + p a + k a n ] ‘telapak kaki’

13. KVK+KVK+KV+KV [dur+lak+ûa+óa] ‘mala petaka’

14. KVK+KV+KV+KV [sam+bo+dha+na] ‘na-sihat’

15. KVK+KKV+KKV+KV [paŋ+kti+kra+ma] ‘ter-atur’

16. KKV+KVK+KV+KKV [prā+yaś+ci+tta] ‘to-bat’

17. KKV+KV+KKV+KV [pra+ti+ûþhi+ta] ‘di-tempatkan’

18. KKV+KV+KV+KV [pra+ni+dhā+na] ‘rin-du’

19. KKV+KV+KKVK+KV [ p r a + t i + s p a r + d h i ] ‘saingan’

20. KKV+KKV+KV+KV [pra+sta+ra+na] ‘kursi’21. KKV+KKV+KVK+KV [pra+nni+keû+þa] ‘jenis

hiasan’

Berdasarkan data pola persukuan atau pola kanonik kata dasar bahasa Jawa Kuno yang memiliki segmen empat suku kata (catursuku) di atas dalam penelitian ini ditemukan 21 (dua puluh satu) jenis pola persukuan. Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) hanya menemukan 7 (tujuh) jenis pola persukuan pada kata dasar bahasa Jawa Kuno yang memiliki empat silaba (catursuku).

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO76

Penelitian ini juga telah menemukan kata dasar bahasa Jawa Kuno yang memiliki pola persukuan terdiri atas lima silaba (pancasuku) sebagai berikut.

Jumlah Suku

Pola Persukuan Contoh

5 (panca-suku)

1. KV+KVK+KV+KV+KVK [ka+ram+ba+la+ngan] ‘jenis perhiasan’

2. KV+KV+KVK+KV+KVK [ka+ma+lan+ti+ngan] ‘jenis laba-laba’

3. KV+KV+KVK+KV+KV [ta+la+mas+ta+ka] ‘je-nis pohon’

4. KV+KV+KV+KV+KV [pa+ri+po+ûi+ta] ‘tekun’5. KV+KV+KKV+KV+KV [ p a + r a + b y ā + p ā + r a ]

‘menganggu urusan orang lain’

6. KKV+KVK+KV+KV+KV [pra+sup+ta+pa+da] ‘tertidur lelap’

Kata dasar bahasa Jawa Kuno yang memiliki silaba lima suku kata seperti tersebut di atas, tidak semata-mata merupakan unsur serapan dari bahasa Sansekerta, melainkan juga merupakan kata-kata asli Nusantara. Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) tidak ada menemukan kata dasar bahasa Jawa Kuno yang memiliki silaba lima suku (pancasuku).

Ada pula kata dasar bahasa Jawa Kuno memiliki segmen atau silaba terdiri atas delapan suku kata, yakni [pa+ras+pa+ro+pa+sar+pa+na] ‘saling tolong menolong’ dengan pola kanonik KV+KVK+KV+KV+KV+KVK+KV+KV. Zoetmulder dan S.O Robson (1982:1291) menyatakan bahwa kata [parasparopasarpana] merupakan unsur serapan dari bahasa Sansekerta.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 77

BAB VI

PERUBAHAN BUNYI DALAM BAHASA JAWA KUNO

Bunyi-bunyi lingual condong berubah karena lingkungannya. Perubahan bunyi lingual tersebut dapat berdampak pada dua kemungkinan, yaitu perubahan fonetis dan perubahan fonemis. Perubahan fonetis adalah apabila perubahan bunyi lingual itu tidak sampai membedakan makna ataupun mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama. Perubahan fonemis adalah perubahan bunyi lingual yang telah menimbulkan perbedaan makna ataupun mengubah identitas fonem sehingga bunyi-bunyi tersebut merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis (Muslich, 2009:118). Namun, dalam analisis perubahan bunyi pada bahasa Jawa Kuno pada penelitian ini meliputi asimilasi, disimilasi, kaidah berurutan, penggabungan vokal (sandi), zeroisasi, anaptiksis, metatesis, diftongisasi, dan monoftongisasi.

Asimilasi

Asimilasi ialah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau hampir sama. Asimilasi terjadi karena bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling memengaruhi dan dipengaruhi (Muslich, 2009:118). Schane (dalam Pastika, 2005:20) mengatakan bahwa asimilasi sebagai proses fonologi merupakan suatu ruas menerima ciri-ciri dari suatu ruas yang berdekatan. Asimilasi dibedakan atas empat macam, yaitu (i) konsonan mengasimilasi ciri-ciri vokal; (ii) vokal mengasimilasi ciri-ciri konsonan; (iii) konsonan mengasimilasi ciri-ciri konsonan; dan (iv) vokal mengasimilasi ciri-ciri vokal.

Keberadaan bahasa Jawa Kuno yang hanya diwarisi hingga kini melalui tradisi tulis (pernaskahan), menyulitkan kita untuk menganalisis asimilasi fonetis secara tepat. Bahasa Jawa Kuno saat ini tidak lagi memiliki penutur asli yang memang dapat dipastikan

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO78

kebenaran fonetisnya. Lagipula, fonem-fonem yang biasanya diklaim sebagai lingkup alofon dari fonem yang sama, baik dalam posisi sonoran maupun posisi koda, justru dalam bahasa Jawa Kuno akan menjadi fonem yang berbeda. Misalnya, bunyi nasal pada kata tentang dan tendang dalam bahasa Indonesia. Bunyi nasal pada tentang diucapkan apiko-dental karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [t] juga apiko-dental. Bunyi nasal pada tendang diucapkan apiko-alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [ð] juga apiko-alveolar (Muslich, 2009: 120). Perubahan bunyi semacam itu sulit diidentifikasi dalam bahasa Jawa Kuno karena kita tidak dapat memastikan bagaimana suatu kata diucapkan oleh penutur asli bahasa Jawa Kuno. Sebagai contoh kata aóða ‘telur, tangga, ombak’;andha ‘buta, gelap’; andaka ‘nama gajah, sapi jantan, mati’; andhaka ‘nama suku’, aóðêg ‘henti’;aóðêk ‘henti, duduk’;aóðêh ‘tekan’;andêl ‘tetap’;aóðêm ‘jatuh’;andoŋ ‘jenis tanaman hias’; andul ‘jenis tanaman hias’. Perubahan bunyi nasal pada kata-kata tersebut lebih dikenal sebagai asimilasi fonemis daripada asimilasi fonetis. Karena itu, pembahasan asimilasi bunyi bahasa Jawa Kuno dalam penelitian ini lebih pada asimilasi fonemis.

Asimilasi fonemis pada bahasa Jawa Kuno tampak jelas terlihat pada asimilasi Nasal (anuswara) sebagai bentuk konsonan mengasimilasi ciri-ciri konsonan. Prefiks N- (aN-, maN-, paN-) selalu berasimilasi dengan bunyi obstruen yang mengikutinya. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut.

1) /aN-+babar/ [amabar], [ambabar] ‘membeberkan’

2) /maN-+babar/ [mamabar], [mambabar] ‘membeberkan’

3) /paN-+babar/ [pamabar], [pambabar] ‘pembeber’

4) /aN-+bhakûa/ [amakûa], [ambhakûa] ‘memakan’

5) /maN-+bhakûa/ [mamakûa], [mambhakûa] ‘memakan’

6) /paN-+bhakûa/ [pamakûa], [pambhakûa] ‘pemakan’

7) /aN-+cumbana/ [añumbana] ‘mencium’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 79

8) /maN-+cumbana/[mañumbana] ‘mencium’

9) /paN-+cumbana/ [pañumbana] ‘pencium’

10) /aN-+dadi/ [andadi], [aŋdadi] ‘menjadi’

11) /maN-+dadi/ [mandadi], [maŋdadi] ‘menjadi’

12) /paN-+dadi/ [pandadi], [paŋdadi] ‘penjelma’

13) /aN-+dhana/ [andhana], [aŋdhana] ‘memberi dana’

14) /maN-+dhana/ [mandhana], [maŋdhana] ‘memberi dana’

15) /paN-+dhana/ [pandhana], [paŋdhana] ‘pemberian dana’

16) /aN-+grĕk/ [aŋgrĕk] ‘mendorong’

17) /maN-+grĕk/ [maŋgrĕk] ‘mendorong’

18) /paN-+grĕk/ [paŋgrĕk] ‘pendorong’

19) /aN-+hulu/ [aŋhulu] ‘menghulu’

20) /maN-+hulu/ [maŋhulu] ‘menghulu’

21) /paN-+hulu/ [paŋhulu] ‘penghulu’

22) /aN-+jĕnĕŋ/ [añjĕnĕŋ], [aŋjĕnĕŋ] ‘berhenti’

23) /maN-+jĕnĕŋ/ [mañjĕnĕŋ], [maŋjĕnĕŋ] ‘berhenti’

24) /paN+jĕnĕŋ/ [pañjĕnĕŋ], [paŋjĕnĕŋ] ‘perhentian’

25) /aN-+kol/ [anol] ‘memeluk’

26) /maN-+kol/ [manol] ‘memeluk’

27) /paN-+kol/ [panol] ‘pemeluk’

28) /aN-+lurug/ [aŋlurug] ‘menyerang’

29) /maN-+lurug/ [maŋlurug] ‘menyerang’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO80

30) /paN-+lurug/ [paŋlurug] ‘penyerang’

31) /aN-+panah/ [amanah] ‘memanah’

32) /maN-+panah/ [mamanah] ‘memanah’

33) /paN-+panah/ [pamanah] ‘yang dipakai memanah’

34) /aN-rasa/ [aŋrasa] ‘merasa’

35) /maN-+rasa/ [maŋrasa] ‘merasa’

36) /paN-+rasa/ [paŋrasa] ‘perasa’

37) /aN-+sabraŋ/ [anabraŋ] ‘menyeberang’

38) /maN-+sabraŋ/ [manabraŋ] ‘menyeberang’

39) /paN-+sabraŋ/ [panabraŋ] ‘penyeberang’

40) /aN-+śabda/ [anabda] ‘bersuara’

41) /maN-+śabda/ [manabda] ‘bersuara’

42) /paN-+śabda/ [panabda] ‘penyuara’

43) /aN-+ton/ [anon] ‘melihat’

44) /maN-+ton/ [manon] ‘melihat’

45) /paN-+ton/ [panon] ‘pelihat’

46) /aN-+wawa/ [amawa] ‘membawa’

47) /maN-+wawa/ [mamawa] ‘membawa’

48) /paN-+wawa/ [pamawa] ‘pembawa’

49) /aN-+yogya/ [aŋyogya] ‘membenarkan’

50) /maN-+yogya/ [maŋogya] ‘membenarkan’

51) /paN-+yogya/ [paŋyogya] ‘pembenaran’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 81

52) /aN-+aran/ [aŋaran] ‘bernama’

53) maN-+aran/ [maŋaran] ‘bernama’

54) /paN-+aran/ [paŋaran] ‘yang bernama’

55) /aN-+ādi/ [aŋādi] ‘menjadi yang pertama’

56) /maN-+ādi/ [maŋādi] ‘menjadi yang pertama’

57) /paN-+ādi/ [paŋādi] ‘penjadi pertama’

58) /aN-+inum/ [aŋinum] ‘meminum’

59) /maN-+inum/ [maŋinum] ‘meminum’

60) /paN-+inum/ [paŋinum] ‘yang meminum’

61) /aN-+īśitwa/ [aŋīśitwa] ‘mengungguli’

62) /maN-+īśitwa/ [maŋīśitwa] ‘mengungguli’

63) /paN-+īśitwa/ [paŋīśitwa] ‘yang mengungguli’

64) /aN-+ěluk/ [aŋěluk] ‘membengkok’

65) /maN-+ěluk/ [maŋěluk] ‘membengkok’

66) /paN-+ěluk/ [paŋěluk] ‘pembengkok’

67) /aN-+öd/ [aŋöd] ‘memendek’

68) /maN-+öd/ [maŋöd] ‘memendek’

69) /paN-+öd/ [paŋöd] ‘yang memendek’

70) /aN-+egar/ [aŋegar] ‘menghibur’

71) /maN-+egar/ [maŋegar] ‘menghibur’

72) /paN-+egar/ [paŋegar] ‘penghibur’

73) /aN-+upāya/ [aŋupāya] ‘berupaya’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO82

74) /maN-+upāya/ [maŋupāya] ‘berupaya’

75) /paN-+upāya/ [paŋupāya] ‘pengupaya’

76) /aN-+ūha/ [aŋūha] ‘memikir’

77) /maN-+ūha/ [maŋūha] ‘memikir’

78) /paN-+ūha/ [paŋūha] ‘pemikiran’

79) /aN-+oûadha/ [aŋoûadha] ‘mengobati’

80) /MaN-+oûadha/ [maŋoûadha] ‘mengobati’

81) /paN-+oûadha/ [paŋoûadha] ‘pengobatan’

Data di atas menunjukkan bahwa asimilasi prefiks N- (aN-, maN-, paN-) mengalami dua proses fonologi, yaitu (1) prefiks N- (aN-, maN-, paN-) mengasimilasi bunyi obstruen yang mengikutinya (lihat data 1—53); dan (2) bunyi obstruen itu akan dilesapkan setelah asimilasi terjadi. Prefiks N- /ŋ-/ akan tetap /ŋ-/ jika dibubuhkan pada morfem pangkal yang dimulai dengan vokal apapun (lihat data 52—81). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa asimilasi nasal /ŋ-/ tersebut merupakan asimilasi wajib.

Disimilasi

Disimilasi ialah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda (Muslich, 2009:120). Disimilasi pada bahasa Jawa Kuno dapat terjadi pada vokal dan konsonan.

Disimilasi vokal dalam bahasa Jawa Kuno ditunjukkan pada data sebagai berikut.

1) /ubat+ubat/ [ubat abit] ‘memukul-mukul’

2) /ulad+ulad/ [ulad alid] ‘berubah-ubah’

3) /ugal+ugal/ [ugal agil] ‘bergoyang-goyang’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 83

4) /ular+ular/ [ular alir] ‘bergerak kian ke mari’

5) /urah+urah/ [urah arih] ‘bergerak terus menerus’

6) /umak+umak/ [umak amik] ‘komat-kamit’

7) /uwad+uwad/ [uwad awid] ‘tarik menarik’

8) /kitip+kitip/ [katap kitip] ‘gerak-gerik’

Data 1—7) di atas menunjukkan bahwa /a/ pada suku terakhir atau pasangan /a/-/a/ berubah menjadi [i] pada bentuk pengulangannya. /u/ pada suku awal atau pasangan /u/-u/ berubah menjadi [a] pada bentuk pengulangannya. Data 8) menunjukkan bahwa /i/, baik pada suku kata awal maupun pada suku kata terakhir berubah menjadi [a].

Disimilasi konsonan pada bahasa Jawa Kuno dapat dijelaskan sebagai berikut.

a) /nir+tåûóa/ [niståûóa] ‘tanpa cinta’

b) /nir+þhura/ [niûþhura] ‘tanpa kasih sayang’

c) /nir+śaraóa/ [niśśaraóa] ‘tanpa pertolongan’

Data di atas menunjukkan bahwa: (1) bunyi /r/ pada ruas atau suku kata pertama ataupun pasangan /r/-/r/ berubah menjadi [s, û, ś]; (2) perubahan /r/ disesuaikan dengan konsonan homorgan yang mengikutinya; dan (3) perubahan tersebut menembus batas fonem, yakni [r] merupakan alofon dari fonem /r/, [s] adalah alofon dari fonem /s/, [û] alofon adalah dari fonem /û/, dan [ś] merupakan alofon dari fonem /ś/, sehingga disebut disimilasi fonemis.

Kaidah Berurutan

Kaidah berurutan merupakan salah satu dari empat jenis kaidah fonologi selain kaidah-kaidah yang mengubah ciri, kaidah pelesapan dan penyisipan; serta kaidah yang menggunakan variabel (Schane dalam Pastika, 2005:21). Jika ruas-ruas mengalami perubahan, ada tiga hal yang perlu diketahui, yaitu (i) ruas-ruas

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO84

mana yang berubah; (ii) bagaimana ruas-ruas itu berubah; dan (iii) dalam keadaan bagaimana ruas-ruas itu berubah.

Kaidah berurutan di dalam bahasa Jawa Kuno dapat dilihat sebagai berikut.

(a) /dur+śasana/ [duśśasana] ‘tidak beretika’

(b) /nir+kala/ [niûkala] ‘tidak terbagi’

(c) /nir+cala/ [niścala] ‘tidak bergerak’

(d) /nir+priya/ [niûpriya] ‘tidak menyenangkan’

(e) /nir+sahāya/ [nissahāya] ‘tanpa kawan’

(f) /nir+teja/ [nisteja] ‘tidak bersinar’

Data (a—f) di atas menyatakan bahwa ruas atau prefiks /dur-/ berubah menjadi [duś], dan /nir-/ berubah menjadi [niû], [niś], [nis]. Perubahan tersebut terjadi karena penyesuaian dengan bunyi homorgan yang mengikutinya. Perubahan prefiks /dur-/ dan /nir-/ tersebut merupakan kaidah berturutan wajib.

Kaidah berurutan lainnya dalam bahasa Jawa Kuno juga dapat disimak sebagai berikut.

(i) /bapa+ku/ [bapaŋku] ‘ayahku’

(ii) /ari+ku/ [ariŋku] ‘adikku

(iii) /ibu+ku/ [ibuŋku] ‘ibuku’

(iv) /bapa+ta/ [bapanta] ‘ayahmu’

(v) /ari+ta/ [arinta] ‘adikmu’

(vi) /ibu+ta/ [ibunta] ‘ibumu’

(vii) /anak+ku/ [anakku] ‘anakku’

(viii) /anak+ta/ [anakta] ‘anakmu’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 85

(ix) /panah+ta/ [panahta] ‘panahmu’

(x) /ujar+ta/ [ujarta] ‘katamu’

Data (i—x) di atas menyatakan bahwa: (1) pronomina pertama posesif /-ku/ dan pronomina kedua posesif /-ta/ jika bergabung dengan morfem asal pangkal berakhir dengan vokal ataupun koda dapat terjadi kaidah berurutan fonologis berupa penambahan bunyi nasal /ŋ/ dan /n/; (2) bunyi nasal /ŋ/ tetap [ŋ] karena homorgan dengan bunyi /k/ dan nasal /ŋ/ menjadi /n/ menyesuaikan dengan bunyi /t/ homorgan; (3) pronomina pertama posesif (-ku) dan pronomina kedua posesif (-ta) akan tetap jika melekat pada morfem asal pangkal berakhir konsonan atau sonoran; (4) kaidah berurutan tersebut menjadi wajib; dan (5) perubahan bunyi pada data (i—x) merupakan kaidah berurutan katagori asimilasi fonemis karena telah melampui batas fonem, yakni /a/ merupakan alofon dari fonem [a], /i/ alofon dari fonem [i], /u/ alofon dari fonem [u], /k/ alofon dari fonem [k], /r/ alofon dari fonem [r], dan /h/ alofon dari fonem [h].

Kaidah berurutan pada bahasa Jawa Kuno juga ditemukan dalam frase bilangan sebagai berikut.

a) /rwa+puluh/ [rwaŋ puluh] ‘dua puluh’

b) /tĕlu+puluh/ [tĕluŋ puluh] ‘tiga puluh’

c) /tĕlu+tahun/ [tĕluŋ tahun] ‘tiga tahun’

d) /lima+iwu/ [limaŋ iwu] ‘lima ribu’

e) /saŋa+atus/ [saŋaŋ atus] ‘sembilan ratus’

f) /pat+puluh/ [pataŋ puluh] ‘empat puluh]

g) /nĕm+puluh/ [nĕmaŋ puluh] ‘nem puluh’

h) /pat+wĕngi/ [pataŋ wĕngi] ‘empat malam’

Data a—h) di atas menyatakan bahwa: (i) kata bilangan pertama (induk) yang berakhir dengan vokal (koda) akan mendapat

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO86

penambahan [ŋ] setelah vokal akhir, jika diikuti oleh kata bilangan kedua (modifikator) dalam frase bilangan; (ii) kata bilangan pertama (induk) yang berakhir dengan konsonan (sonoran) akan mendapat penambahan [aŋ] setelah konsonan akhir, jika diikuti oleh kata bilangan kedua (modifikator) dalam frase bilangan bahasa Jawa Kuno; (iii) kaidah berurutan tersebut bersifat wajib; dan (iv) kaidah fonologi pada frase bilangan tersebut merupakan asimilasi fonemis karena telah melampaui batas fonem.

Penggabungan vokal (Sandi)

Penggabungan vokal bersama-sama kaidah berurutan merupakan salah satu dari kaidah fonologi selain kaidah-kaidah yang mengubah ciri, kaidah pelesapan dan penyisipan; serta kaidah yang menggunakan variabel (Schane dalam Pastika, 2005:21). Dalam bahasa Jawa Kuno, kaidah penggabungan vokal dinamakan sandhi. Zoetmulder (1995: 1012) mengatakan bahwa sandhi adalah hubungan efonik bunyi-bunyi. Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984:37) mengatakan sandi adalah hasil luluhan dua vokal.

Kaidah penggabungan vokal (sandi) dalam bahasa Jawa Kuno dibedakan atas dua jenis, yaitu:

(1) sandi dalam, yakni penggabungan vokal yang terjadi di dalam morfem asal pangkal atau kata dasar.

Misalnya:

/ma+aran/ [mȃran] ‘bernama’

/a+iraŋ/ [eraŋ] ‘malu’

/sa+umah/ [somah] ‘suami/istri’

/rĕŋö+ĕn/ [rĕŋön] ‘dengarkan’

/mari+an/ [maren] ‘henti’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 87

(2) sandi luar, yakni penggabungan vokal yang terjadi di luar morfem asal pangkal.

Misalnya:

/māsa+abda/ [māsȃbda] ‘masa tahun’

/nara+indra/ [narendra] ‘raja’.

/wrĕka+udara/ [wrĕkodara] ‘nama Bhima’

/muni+indra/ [munȋndra] ‘pendeta agung’

/tuhu+uttama/ [tuhûttama] ‘sungguh mulia’

Kaidah penggabungan vokal (sandi) pada bahasa Jawa Kuno dapat dijelaskan lebih jauh sebagai berikut.

1) /a+a/ [ȃ] /bapa+anak/ [bapȃnak] ‘ayah anak’

2) /a+ā/ [ȃ] /ma+ābhā/ [mȃbhā] ‘bersinar’

3) /ā+a/ [ȃ] /bhrā+abaŋ/ [bhrȃbaŋ] ‘bersinar merah’

4) /ā+ā/ [ȃ] /mahā+ādi/ [mahȃdi] ‘maha utama’

5) /a+i/ [e] /ŋka+i/ [ŋke] ‘di sana di’

6) /a+ī/ [e] /nara+īśwara/ [nareśwara] ‘raja’

7) /ā+i/ [e] /mahā+iûudhi/ [maheûudhi] ‘tempat anak pa nah yang besar’

8) /ā+ī/ [e] /mahā+īśwara/ [maheśwara] ‘raja besar’

9) /a+u/ [o] /ma+ulah/ [molah] ‘bergerak’

10) /a+ū/ [o] /jana+ūna/ [janona] ‘orang bacal’

11) /i+i/ [ȋ] /kapi+indra/ [kapȋndra] ‘raja kera’

12) /i+ī/ [ȋ] /ādi+īśa/ [ādȋśa] ‘penguasa utama’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO88

13) /ī+i/ [ȋ] /śrī+indra/ [śrȋndra] ‘raja yang mulia’

14) /ī+ī/ [ȋ] /nārī+īśwarī/ [nārȋśwarī] ‘ratu’

15) /u+u/ [û] /sādhu+uttama/ [sādhûttama] ‘bijak dan mulia’

16) /u+ū/ [û] /ranu+ūta/ [ranûta] ‘danau yang san gat dalam’

17) /ū+u/ [û] /birū+urub/ [birûrub] ‘bercahaya keb iruan’

18) /ū+ū/ [û] /birū+ūróā/ [birûróā] ‘permata biru’

Data 1—18) di atas menyatakan bahwa: (i) vokal /a/ dan /ā/ jika bergabung dengan vokal /a/ dan /ā/ akan berubah menjadi [ȃ]; (ii) vokal /a/ dan /ā/ jika bergabung dengan vokal /i/ atau /ī/ akan berubah menjadi [e]; (iii) vokal /a/ dan /ā/ jika bergabung dengan vokal /u/ atau /ū/ akan berubah menjadi [o]; (iv) vokal /i/ dan /ī/ jika bergabung dengan vokal /i/ atau /ī/ akan berubah menjadi [ȋ]; (v) vokal /u/ dan /ū/ jika bergabung dengan vokal /u/ atau /ū/ akan berubah menjadi [û]; (vi) dalam penggabungan tersebut vokal /a, ā, i, ī, u, ū/ mengalami pelesapan; (vii) penggabungan vokal dalam bahasa Jawa Kuno merupakan kaidah besar karena penggabungan vokal tersebut terjadi dalam banyak kata dan kelompok kata; (viii) penggabungan vokal tersebut merupakan kaidah wajib.

Ada pula penggabungan vokal (sandi) dalam bahasa Jawa Kuno menimbulkan perubahan dan pelesapan dari salah satu vokal yang bergabung, sebagai berikut.

(1) /i+a/ [ya] /kadi+a/ [kadya] ‘seperti’

(2) /i+ā/ [yā] /ri+ādikāla/ [ryādikāla/ ‘pada zaman purba’

(3) /ī+a/ [ya] /śrī+adhipati/ [śryadhipati] ‘tuan raja yang mulia’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 89

(4) /ī+ā/ [yā] /śrī+ādikāwi/ [śryādikāwi] ‘pujangga yang terkemuka’

(5) /i+u/ [yu] /ri+uri/ [ryuri] ‘di belakang’

(6) /i+ū/ [yū] /jaladhi+ūta/ [jaladhyūta] ‘lautan dalam’

(7) /ī+ū/ [yū] /strī+ūrdha/ [stryūrdha] ‘wanita unggul’

(8) /i+e/ [ye] /ri+eñjiŋ/ [ryeñjiŋ] ‘pada pagi hari’

(9) /ī+e/ [ye] /nārī+eka/ [nāryeka] ‘wanita tunggal’

(10) /i+o/ [yo] /mari+ombak/ [maryombak] ‘berhenti berombak’

(11) /ī+o/ [yo] /dewī+oûadhi/ [dewyoûadhi] ‘dewi obat’

(12) /u+a/ [wa] /tuhu+aji/ [tuhwaji] ‘raja sejati’

(13) /u+ā/ [wā] /guru+ājñā/ [gurwājñā] ‘perintah guru’

(14) /ū+a/ [wa] /daŋū+alaŋghya/ [daŋwalaŋghya] ‘dulu tak terkalahkan’

(15) /ū+ā/ [wā] /dudū+ālekhana/ [dudwālekhana] ‘bukan lukisan’

(16) /u+i/ [wi] /ibu+iŋsun/ [ibwiŋsun] ‘ibuku’

(17) /u+ī/ [wī] /wadhu+īrûya/ [wadhwīrûya] ‘wanita suka iri hati’

(18) /ū+i/ [wi] /lampū+isun/ [lampwisun] ‘menyerahkan diriku’

(19) /ū+ī/ [wī] /lĕbū+īśwara/ [lĕbwīśwara] ‘debu kaki raja’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO90

(20) /u+e/ [we] /laku+eñjiŋ/ [lakweñjiŋ] ‘berjalan pagi-pagi’

(21) /ū+e/ [we] /dudū+esuk/ [dudwesuk] ‘bukan besok’

(22) /ö+a/ [wa] /rĕngö+akĕn/ [rĕngwakĕn] ‘dengarkan’

(23) /ö+i/ [wi] /lĕbö+iŋsun/ [lĕbwiŋsun] ‘keinginanku’

(24) /e+a/ [aya] /gawe+akĕn/ [gawayakĕn] ‘membuatkan’

(25) /e+i/ [ayi] /gawe+inak/ [gawayinak] ‘membuat enak’

(26) /e+u/ [ayu] /gawe+ulah/ [gawayulah] ‘membuat ulah’

(27) /e+o/ [ayo] /gawe+oûadhi/ [gawayoûadhi] ‘membuat obat’

(28) /a+ĕ/ [a] /wawa+ĕn/ [wawan] ‘agar dibawa’

(29) /ā+ĕ/ [ā] /lĕbā+ĕn/ [lĕbān] ‘agar dilapangkan’

(30) /i+ĕ/ [i] /wri+ĕn/ [wrin] ‘ditakuti’

(31) /ī+ĕ/ [ī] /hilī+ĕn/ [hilīn] ‘dialirkan’

(32) /u+ĕ/ [u] /tuhu+ĕn/ [tuhun] ‘benar-benar’

(33) /ū+ĕ/ [ū] /dudū+ĕn/ [dudūn] ‘bukanlah’

(34) /e+ĕ/ [e] /gawe+ĕn/ [gawen] ‘kerjakanlah’

(35) /ö+ĕ/ [ö] /rĕŋö+ĕn/ [rĕŋön] ‘dengarkanlah’

Data (1—35) di atas menyatakan bahwa: (a) vokal /i/ dan /ī/ jika mengalami penggabungan (sandi) dengan vokal /a, ā, u, ū, e, o/ akan berubah menjadi [y] danvokal yang diajak bergabung tidak mengalami pelesapan; (b) vokal /u/ dan /ū/ jika mengalami penggabungan (sandi) dengan /a, ā, i, ī, e, o/ akan berubah menjadi [w] danvokal yang diajak bergabung tidak mengalami pelesapan; (c)

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 91

vokal /ö/ jika mengalami penggabungan dengan vokal /a, ā, i, ī, u, ū, e, o/ akan berubah menjadi [w] danvokal yang diajak bergabung tidak mengalami pelesapan; (d) vokal /e/ jika bergabung dengan vokal /a, ā, i, ī, u, ū, o/akan berubah menjadi [ay]danvokal yang diajak bergabung tidak mengalami pelesapan; (e) vokal /ĕ/ pada prefiks /-ĕn/ jika mengalami penggabungan dengan vokal /a, ā, i, ī, u, ū, e, o, ö/ di akhir morfem asal pangkal akan mengalami pelesapan yang mungkin disebabkan vokal /ĕ/ tergolong vokal lemah. Pastika (2005:88) mengatakan bahwa ciri ketidaktegangan yang dimiliki vokal /ĕ/ mengakibatkan vokal /ĕ/ sering dilesapkan pada lingkungan tertentu.

Zeroisasi

Zeroisasi adalah penghilangan fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan (Muslich, 2009:123). Zeroisasi biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Jawa Kuno.

Zeroisasi yang ditemukan dalam Bahasa Jawa Kuno meliputi tiga jenis sebagai berikut.

(1) Aferesis ialah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada awal kata dasar.

Misalnya:

/abhyāsā/ [bhyās] ‘kebiasaan’

/ālocita/ [locita] ‘pertimbangan’

/māśa/ [āśā] ‘putus asa’

/asih/ [sih] ‘kasih sayang’

/bobotoh/ [botoh] ‘penjudi’

/adan/ [dan] ‘siap’

/hade/ [ade] ‘lain’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO92

/haðêp/ [aðêp] ‘hadap’

/hyas/ [yas] ‘hias’

/hyaŋ/ [yaŋ] ‘dewa’

/ksetra/ [setra] ‘kuburan’

/lalasta/ [lasta] ‘pinggir sungai’

/lulumut/ [lumut] ‘lumut’

/ndamah/ [mah] ‘ayo’

/hêmas/ [mas] ‘emas’

/êmbên/ [mbên] ‘besok’

/ndak/ [dak] ‘partikel deiktik, lihatlah’

/aŋgān/ [gān] ‘tampak’

/hrêguŋ/ [rêguŋ] ‘deru’

/saŋaskāra/ [askāra] ‘penyucian’

/asiŋ/ [siŋ] ‘apapun’

/tapsara/ [apsara] ‘bidadara’

/tatan/ [tan] ‘tidak’

/wuwus/ [uwus] ‘kata-kata’

/wuyuŋ/ [uyuŋ] ‘marah’

/wwaya/ [waya] ‘ada’

/wwit/ [wit] ‘asal-usul’

/wway/ [way] ‘air’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 93

(2) Sinkop ialah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem di tengah kata dasar.

Misalnya:

/āyuûya/ [āyuûa] ‘hidup’

/bandyaga/ [bandaga] ‘pedagang’

/brahmahatya/ [brahmātya] ‘membunuh (pendeta)’

/caóþaka/ [caþaka] ‘sombong’

/caŋwli/ [cawli] ‘kain kasa’

/daŋhan/ [daŋan] ‘busur’

/daraway/ [draway] ‘alir’

/gambhìra/ [gabhìra] ‘luas’

/icchā/ [ica] ‘hasrat’

/jiriŋ/ [jriŋ] ‘tajam’

/kamaŋkara/ [kamakara] ‘lupa diri’

/karamayan/ [karamyan] ‘jenis tanaman melata’

/karêyah/ [krêyah] ‘kera’

/kisyapum/ [kisapum] ‘pangkuan’

/laŋghyana/ [laŋghana] ‘durhaka’

/laŋwi/ [laŋi] ‘renang’

/mahāyati/ [mayati] ‘pendeta’

/mahottama/ [mottama] ‘paling utama’

/majyum/ [majum] ‘obat tidur’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO94

/marakata/ [markata] ‘zambrud’

/maranyan/ [marayn] ‘supaya’

/nalaŋsa/ [nalasa] ‘kesal’

/palestra/ [palatra] ‘mati’

/saŋskāra/ [saskāra] ‘pelantikan’

/taŋkis/ [takis] ‘tangkis’

/utpêtti/ [upêti] ‘lahir’

(3) Apokop ialah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem di akhir kata dasar.

Misalnya:

/apuh/ [apu] ‘kapur’

/bhuwah/ [bhuwa] ‘langit’

/dhanuh/ [dhanu] ‘busur’

/gajah/ [gaja] ‘gajah’

/goh/ [go] ‘lembu’

/pitarah/ [pitara] ‘nenek moyang’

/ratih/ [rati] ‘kesenangan’

/riŋih/ [riŋi] ‘tajam’

/tuŋleh/ [tuŋle] ‘nama hari’

/wibhuh/ [wibhu] ‘kuasa’

/wuh/ [wù] ‘teriak’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 95

Zeroisasi yang terjadi pada bahasa Jawa Kuno, baik dalam bentuk aferesis, sinkop, maupun apokop tidak hanya disebabkan penghematan demi memudahkan dalam pengucapan sebagaimana terjadi pada bahasa-bahasa di dunia, melainkan juga untuk memenuhi kaidah metrum, terutama dalam sastra kakawin yang bahasanya diikat oleh jumlah suku kata dalam satu baris (wrětta) dan komposisi suku kata panjang (guru) dan suku kata pendek (laghu) dalam satu baris (mātra).

Anaptiksis

Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi vokal lemah biasanya terdapat dalam kluster (Muslich, 2009:126). Namun, dalam bahasa Jawa Kuno, bentuk anaptiksis tidak hanya berupa penambahan vokal di antara dua konsonan, melainkan konsonan bahkan suku kata, baik untuk memperlancar ucapan maupun memenuhi kaidah metrum, terutama dalam sastra kakawin.

Anaptiksis ada tiga jenis, yaitu:

1) Protesis, yakni proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada awal kata dasar atau morfem pangkal asal.

Misalnya:

/wasāna/ [awasāna] ‘kesimpulan’

/wasthā/ [awasthā] ‘keadaan’

/gělö/ [gěgělö] ‘kejam’

/balaŋ/ [habalaŋ] ‘lempar’

/kêóþa/ [kêkêóþa] ‘tepi’

/pu/ [mpu] ‘tuan, pendeta’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO96

/beñjiŋ/ [mbeñjiŋ] ‘besok’

/besuk/ [mbesuk] ‘besok’

/lumut/ [lulumut] ‘lumut’

/mas/ [hêmas] ‘emas’

/dak/ [ndak] ‘hendak’

/ŋoŋ/ [iŋoŋ] ‘aku’

/pêcut/ [pêpêcut] ‘cambuk’

/pêlik/ [pêpêlik] ‘jenis hiasan’

/rata/ [rarata] ‘rata’

/tuŋge/ [tutuŋge] ‘musik’

/watara/ [sawatara] ‘kira-kira’

/wyati/ [awyati] ‘langit’

/kamantyan/ [sakamantyan] ‘lalu’

2) Epentesis ialah proses penambahan atau pembubuhan bunyi di tengah kata dasar atau morfem asal pangkal.

Misalnya:

/grêbêg/ [gêrêbêg] ‘gemuruh’

/griŋ/ [gêriŋ] ‘sakit’

/jriŋ/ [jiriŋ] ‘runcing’

/krêcêk/ [kêrêcêk] ‘gising’

/krêðap/ [kêrêðap] ‘kedip’

/krêŋês/ [kêrêŋês] ‘gilas’

/klêwuŋ/ [kêlêwuŋ] ‘cekung’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 97

/marayan/ [maranyan] ‘agar’

/mêtah/ [mêntah] ‘mentah’

/mêta/ [mêtta] ‘mabuk’

/nalasa/ [nalaŋsa] ‘sedih’

/naŋiŋ/ [naŋhiŋ] ‘tetapi’

/ŋlih/ [ŋělih] ‘lemas’

/nåśaŋsa/ [nåśaŋsya] ‘lalim’

/palatra/ [palastra] ‘mati’

/pacatanda/ [pañcatanda] ‘pejabat tinggi’

/pajut/ [pañjut] ‘lampu’

/parokûa/ [parokûya] ‘sembunyi’

/patola/ [patawala] ‘kain cita’

/patra/ [pattra] ‘daun’

/pramata/ [paramata] ‘permata’

/puca/ [puccha] ‘lalai’

/sênaddha/ [sênnaddha] ‘siap’

/siŋit/ [siŋhit] ‘mirip’

/sipiŋ/ [simpiŋ] ‘jenis kerang’

/swah/ [suwah] ‘jiwa’

/tapak/ [tampak] ‘jejak’

/tan/ [taman] ‘tidak’

/tan/ [tapwan] ‘tidak’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO98

/tuŋa/ [tuŋha] ‘pinggir’

/udaraga/ [udayaraga] ‘jenis kain’

/yan/ [yapwan] ‘jika’

3) Paragog ialah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada akhir kata dasar atau morfem pangkal.

Misalnya:

/awaruthi/ [awaruthinì] ‘pasukan’

/bhawiûya/ [bhawiûyati] ‘kemudian’

/paramananda/ [paramanandana/ ‘jiwa semesta’

/prajadhipa/ [prajadhipati] ‘raja’

/prihati/ [prihatin] ‘sedih’

/candra/ [candrama] ‘bulan’

/kanya/ [kanyaka] ‘gadis’

/waluy/ [waluya] ‘kembali’

/upajiwa/ [upajiwana] ‘penghidupan’

/ikana/ [ikanaŋ] ‘itu’

/karóaweûþa/ [karóaweûþana] ‘anting-anting’

/kulawandhu/ [kulawandhuwarga] ‘keluarga’

Data di atas menunjukkan bahwa kata-kata bahasa Jawa Kuno yang mengalami anaptiksis, baik protesis, epentesis, maupun paragog bukan hanya bunyi-bunyi lemah, melainkan juga bunyi-bunyi kuat bahkan melewati batas suku kata. Anaptiksis itu terjadi bukan sekadar memudahkan pengucapan melainkan juga memenuhi kaidah sastra kakawin.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 99

Metatesis

Metatesis ialah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing (Muslich, 2009:125). Dalam bahasa Jawa Kuno, kata-kata yang mengalami metatesis tidak terlalu banyak atau termasuk kaidah kecil. Kata-kata yang mengalami metatesis dalam Bahasa Jawa Kuno, misalnya:

(1) /wêltih/ [wlêtih] ‘beras bertih’

(2) /wêltik/ [wlêtik] ‘serak’

(3) /wêltuk/ [wlêtuk] ‘letup’

(4) /lumumpat/ [mlumpat] ‘melompat’

(5) /lumaku/ [mlaku] ‘jalan’

(6) /krêcêk/ [kêrcêk] ‘bising’

(7) /krêðap/ [kêrðap] ‘kedip’

(8) /krêtêg/ [kêrtêg] ‘dentum’

Monoftongisasidan Diftongisasi

Monoftongisasi ialah perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) menjadi vokal tunggal (monoftong). Diftongisasi ialah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan (Muslich, 2009:125—126). Dalam Bahasa Jawa Kuno, monoftongisasi dan diftongisasi tidak hanya berupa vokal melainkan juga semivokal. Monoftongisasi dan diftongisasi dalam bahasa Jawa Kuno dapat dijelaskan lebih jauh sebagai berikut.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO100

Kata Dasar Monoftongisasi Diftongisasi Arti(1) Om Om Aum ‘suku kata

suci’(2) api api apuy ‘api’(3) oûadha oûadha auûadha ‘obat’(4) awe awe away ‘lembai’(5) bale bale balay ‘balai’(6) baye baye bayai ‘jabatan’(7) berawa berawa bhairawa ‘dahsyat’(8) cetra cetra caitra ‘nama bulan’(9) drawe drawe draway ‘alir’(10) dherya dherya dhairya ‘teguh’(11) detya detya daitya ‘daitia’(12) dewa dewa daiwa ‘takdir’(13) dure dure duray ‘nama buah’(14) eh eh aih ‘hai’(15) er er air ‘air’(16) erāwana erāwana airāwana ‘nama gajah’(17) eśānya eśānya aiśānya ‘timur laut’(18) eśwarya eśwarya airśwarya ‘kuasa’(19) gawe gawe gaway ‘buat’(20) wwe wwe wway, wai ‘air’(21) gule gule gulay ‘gulai’(22) rare rare raray ‘bayi’(23) komara komara kaumara ‘kanak-kanak’(24) poûya poûya pauûya ‘nama bulan’(25) kośala kośala kauśala ‘kemakmuran’(26) śoca śoca śauca ‘suci’

Data (1—26) di atas menyatakan bahwa: (a) vokal-vokal dalam bahasa Jawa Kuno yang dapat mengalami diftongisasi ataupun monoftongisasi adalah vokal /o/ menjadi /au/ dan vokal /e/ menjadi /ai/ atau /ay/; (b) diftongisasi dan monoftongisasi pada bahasa Jawa Kuno bisa terjadi di awal, di tengah, dan di akhir morfem asal

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 101

pangkal; (c) adakalanya vokal /e/ jika berada di akhir morfem asal pangkal, selain mengalami diftongisasi menjadi /ay/ atau /ai/ dapat juga mengalami asimilasi fonemis menjadi /ya/. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kata /bhage/ menjadi [bhagya] ‘bahagia’, /madhe/ menjadi [madhya] ‘madia’, /waluy/ menjadi [waluya] ‘kembali’. Namun kasus tersebut terjadi secara terbatas pada beberapa kata sehingga dapat dikatagorikan kaidah terbatas dan tidak wajib.

Onek-onekan, guru laghu, dan guru basa: model pelafalan bunyi-bunyi dalam bahasa Jawa Kuno

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa bahasa Jawa Kuno tidak lagi memiliki penutur asli sehingga bagaimana bunyi-bunyi bahasa Jawa Kuno dilafalkan atau realisasi fonetis bunyi-bunyi bahasa Jawa Kuno tidak dapat dipastikan, melainkan hanya bisa diinterpretasi, terutama melalui penutur pewarisnya, yakni orang Bali.

Orang-orang Bali Hindu merupakan pewaris bahasa dan sastra Jawa Kuno. Bahasa Jawa Kuno mulai masuk ke Bali pada masa pemerintahan Raja Udayana Warmadewa pada abad ke-10. Hal ini dapat dibuktikan melalui kemunculan Prasasti Bwahan A berangka tahun 916 Saka (996 M) sebagai prasasti Bali Kuno pertama yang menggunakan bahasa Jawa Kuno (Goris, 1954; Suarka, 2014). Sejak kemunculan Prasasti Bwahan A, penggunaan bahasa Jawa Kuno dalam prasasti Bali Kuno diterapkan oleh raja-raja Bali Kuno selanjutnya. Pada masa Kerajaan Gelgel di bawah pemerintahan Dalem Watur Enggong pada abad ke-16, intensitas penggunaan bahasa Jawa Kuno semakin meningkat, tidak hanya dalam penggubahan karya sastra kakawin,parwa, tutur/tattwa,purana, dan babad, melainkan juga dalam seni pertunjukan dan praktik keagamaan Hindu di Bali. Meskipun demikian, lafalisasi bunyi-bunyi bahasa Jawa Kuno yang dilakukan orang-orang Bali belum dapat dipastikan kebenaran, kepastian, ataupun ketepatannya, sekali lagi karena orang Bali bukan merupakan penutur asli bahasa Jawa Kuno. Hal ini dapat dibuktikan melalui abjad bahasa Bali yang dinamakan Anacaraka, hanya terdiri atas delapan belas konsonan

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO102

dan enam vokal. Konsonan beraspirat seperti /ch/, /kh/, /gh/, /ph/, /bh/, /th/, /dh/; ataupun retofleks seperti /þ/, /þh/, /ð/, /ðh/, /ó/; serta sibilant /ś/ (palatal) dan /û/ (retofleks) yang dikenal dalam abjad Jawa Kuno justru tidak dikenal dalam abjad bahasa Bali (wrehastra). Ada kemungkinan alasannya adalah orang-orang Bali sulit melafalkan fonem-fonem tersebut. Ada upaya berkompromi terhadap fonem-fonem bahasa Jawa Kuno yang sulit direalisasikan secara fonetis oleh orang Bali dengan memadukan bunyi-bunyi yang sejatinya berbeda ke dalam lambang bunyi yang sama, yang dikenal dengan istilah aksara mamadu, seperti da-madu. Bunyi ð, ðh (retofleks) dan dh (dental) dilambangkan dengan fonem yang sama [Œ].

Sebagai pewaris bahasa Jawa Kuno, meskipun orang-orang Bali Hindu bukan penutur asli bahasa Jawa Kuno, mereka memiliki model pelafalan bunyi-bunyi bahasa Jawa Kuno, yaitu onek-onekan, guru laghu, dan guru basa yang biasa dilakukan dalam pembacaan karya sastra Jawa Kuno, seperti kakawin, parwa, purana, tutur/tattwa, dan babad.

Onek-onekan ialah cara melafalkan bunyi bahasa Jawa Kuno yang ditulis dengan aksara Bali, terutama vokal panjang/o/, / I/, /U / dengan tujuan guna dapat membedakan vokal panjang itu sebagai dirgha atau sandi. Bunyi vokal panjang seperti /o/, / I/, /U / bisa menjadi dirgha dan juga sandi. Vokal panjang /o/ bisa dialihaksarakan [ā] jika dirgha dan juga bisa menjadi [ã] jika merupakan sandi. Demikian pula vokal panjang / I/ dapat dialihaksarakan menjadi /ì/ jika dirgha dan /î/ jika sandi; vokal /U / menjadi /ù/ jika dirgha dan /ü/ jika sandi. Sebagai contoh dapat dilihat sebagai berikut.

Vokal Dirgha Sandi

/o/ [kāla] ‘waktu’

[kala] ‘jahat’

[kakãji] ‘kakanda raja’

/ I/ [bhìta] ‘takut’

[biti] ‘tusuk gigi’

[narîśwari] ‘ratu’

/U / [lurù] ‘jatuh’

[luru] ‘pucat’

[prabhüttama] ‘raja utama’

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 103

Orang Bali jika melafalkan (ngonek) aksara dirgha /ā/ pada [kāla] ‘waktu’ adalah dengan ciri-ciri punggung lidah berada pada posisi rendah belakang tak bulat dan diucapkan lebih panjang daripada vokal /a/ pada [kala] ‘jahat’. Vokal /ì/ pada [bhìta] ‘takut’ dilafalkan dengan ciri-ciri punggung lidah berada di posisi tinggi tegang dan diucapkan lebih panjang daripada vokal /i/ pada [biti] ‘tusuk gigi’. Vokal /ù/ pada [lurù] ‘jatuh’ dilafalkan dengan ciri-ciri punggung lidah berada di posisi belakang bulat tegang serta diucapkan lebih panjang daripada vokal /u/ pada [luru] ‘pucat’.

Vokal /ã/ sebagai sandi pada [kakãji] ‘kakanda raja’ diucapkan dengan dua tahap pelafalan, yaitu pertama dilafalkan dengan ciri-ciri punggung lidah berada di belakang tak bulat seperti pelafalan bunyi /ə/ sehingga dilafalkan [kakə], dan kedua, dilanjutkan pelafalan bunyi /a/ pada [aji] dengan ciri-ciri punggung lidah berada pada posisi rendah-belakang. Dengan demikian vokal /ã/ sebagai sandi pada [kakãji] ‘kakanda raja’ ketika dilafalkan (onek) menjadi [kakəaji]. Oleh karena itu, jika cara vokal /ã/ pada [kakãji] dilafalkan (onek) sama dengan vokal /ā/ sebagai dirgha seperti pada [kāla] ‘waktu’ dipandang kurang tepat dan bahkan bisa menimbulkan kesalahan arti.

Vokal /î/ sebagai sandi pada [narîśwari] ‘ratu’ dilafalkan dua tahap. Pertama, vokal /î/ dilafalkan dengan posisi punggung lidah tinggi tegang tak bulat [i], kedua, dilanjutkan dengan cara mengalihkannya ke posisi kendur [I] menjadi [nariIśwari].

Vokal /ü/ sebagai sandi pada [prabhüttama] ‘raja utama’ dilafalkan dua tahap, yaitu dilafalkan dengan posisi punggung lidah di belakang bulat dan tegang [u], kemudian dilakukan pengenduran [U] sehingga menjadi [prabhuUttamə].

Guru laghu di samping sebagai kaidah metrum dalam sastra kakawin juga dapat dipandang sebagai cara melafalkan bunyi-bunyi bahasa Jawa Kuno, terutama bunyi vokal. Sebagai kaidah metrum, guru yang umumnya ditandai (-) merupakan suku kata panjang, terdiri atas suku kata terbuka (koda) yang mendapat vokal panjang

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO104

ataupun diftong dan suku kata tertutup (sonoran). Laghu yang umumnya ditandai (u) adalah suku kata pendek, terdiri atas suku kata terbuka (koda) tanpa vokal panjang ataupun diftong. Contoh guru dan laghu dalam sastra kakawin dapat dilihat sebagai berikut.

[saŋśùrãmrihayajña riŋ samara mahyunilaŋanikaŋ paraŋmuka] ‘seorang ksatria berupaya melakukan kurban suci di medan perang, hendak menghilangkan segala kejahatan musuh’ (Kakawin Bharatayuddha, I.1.1)

Larik kakawin Bharatayuddha di atas terdiri atas dua puluh tiga suku kata (wrčtta) dengan komposisi gurulaghu (mātra): /---/uu-/u-u/uu-/uuu/uuu/-u-/uu. Suku kata yang dapat dikatagorikan guru adalah suku kata 1, 2, 3, 6, 8, 12, 19, 21. Suku kata yang dikatagorikan laghu adalah suku kata 4, 5, 7, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 22. Suku kata 23 bisa dianggap guru dan juga bisa laghu karena posisinya berada di akhir larik.

Vokal /a/ pada [saŋ], [yaj], [mah], [kaŋ], dan [raŋ] sebagai suku kata tertutup atau guru sehingga dilafalkan dengan posisi punggung lidah rendah belakang tak bulat kendur, [sAŋ], [yAj], [mAh], [kAŋ], [rAŋ] dan wajib diucapkan lebih panjang daripada vokal /a/ pada [ha], [ña], [sa], [ma], [ra], [la], [ŋa], [pa] yang berkatagori suku kata pendek (laghu). Vokal /ã/ pada [rã] sekalipun berada pada suku kata terbuka, tetapi karena merupakan vokal panjang (sandi) sehingga wajib diucapkan panjang seperti pengucapan vokal /ã/ pada kasus [kakãji] di atas.

Vokal /i/ pada [ri], [ni], [ni] dilafalkan dengan ciri-ciri ruas fonetis depan tak bulat tegang tinggi serta tidak dipanjangkan karena berkatagori laghu. Vokal /i/ pada [riŋ] dilafalkan dengan posisi ruas fonetis depan tak bulat tinggi kendur menjadi [rIŋ] serta wajib dipanjangkan meskipun bukan vokal panjang, tetapi karena merupakan suku kata tertutup berkatagori guru.

Vokal /u/ pada [yu] dan [mu] dilafalkan dengan ciri-ciri ruas fonetis belakang bulat tegang dan tidak dipanjangkan karena berkatagori laghu. Sementara itu, vokal /ū/ merupakan vokal panjang

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 105

(dirgha) sekalipun berada pada suku kata terbuka, tetapi karena suku kata tersebut berkatagori guru sehingga dilafalkan dengan ciri-ciri ruas fonetis belakang bulat tegang dan wajib dipanjangkan.

Data di atas menyatakan bahwa (1) pelafalan vokal dalam bahasa Jawa Kuno ditentukan oleh posisinya dalam morfem asal pangkal; (2) panjang pendek pengucapan vokal bahasa Jawa Kuno tidak hanya ditentukan oleh keberadaan fonem vokal sebagai vokal panjang atau vokal pendek, melainkan juga posisi vokal tersebut pada suku kata berkatagori guru maupun laghu; (3) pelafalan vokal panjang sebagai dirgha dan sebagai sandi wajib dibedakan.

Guru basa merupakan cara melafalkan kata/kalimat (membaca kata/kalimat) guna mendapatkan arti kata atau kalimat. Guru basa diterapkan dalam pembacaan teks bahasa Jawa Kuno yang ditulis menggunakan aksara Bali dengan sistem silabik. Berhadapan dengan teks seperti itu, pembaca hanya akan berhadapan dengan deretan suku kata tanpa putus. Apalagi teks tersebut merupakan teks sastra parwa, tutur/tattwa, purana, dan babad dengan bentuk bahasa tidak diikat oleh kaidah matra. Karena itu, kemungkinan kesalahan dalam pembacaan teks sangat tinggi. Perhatikan contoh berikut.

kkojimhorojyuai[Õir (Prastanikaparwa)

Data di atas dapat saja menghasilkan berbagai macam hasil bacaan, bukan hanya karena pembaca tidak mengenal dan tidak mampu membaca aksara Bali, melainkan juga jika pembaca tidak mengenal guru basa. Ada kemungkinan teks tersebut dibaca: /kakə jimə harə jayu distirə/ atau /kakaji maharə jayu distirə/ dan seterusnya. Jika dibaca seperti itu, maka teks itu akan kehilangan arti atau makna. Karena itu, berdasarkan guru basa, teks tersebut mesti dibaca: /kakəaji māharājə yuðiûþirə/ ‘kakanda Maharaja Yudistira’. Pelafalan (pembacaan) fonem dengan guru basa membantu pengguna atau pembaca bahasa Jawa Kuno dalam menemukan arti atau makna kata dan kalimat.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO106

BAB VII

PENUTUP

Bahasa Jawa Kuno memiliki fonem vokal sebanyak 13 (tiga belas) buah, terdiri atas vokal /a/, /ā/, /i/, /ī/, /u/, /ū/, /e/, /ê/, /ö/, /å/, /o/, /ai/, dan /au/. Fonem konsonan bahasa Jawa Kuno berjumlah 33 (tiga puluh tiga) buah, terdiri atas /b/, /bh/, /c/, /ch/, /d/, /dh/, /ð/, /ðh/, /g/, /gh/, /j/, /jh/, /k/, /kh/ /l/, /m/, /n/, /ÿ/, /ñ/, /p/, /ph/, /r/, /s/, /ś/, /û/, /t/, /th/, /þ/, /þh/, /w/, dan /y/. Fonem konsonan tersebut memiliki frekuensi distribusi beragam.

Cara pelafalan bunyi bahasa Jawa Kuno hanya bersifat interpretatif karena bahasa Jawa Kuno tidak memiliki penutur asli lagi. Interpretasi pelafalan fonem bahasa Jawa Kuno dilakukan dengan cara membandingkan pelafalannya dengan pelafalan fonem bahasa Sansekerta sebagai bahasa yang banyak mempengaruhi bahasa Jawa Kuno dan bahasa Bali serta bahasa Jawa yang diduga banyak mendapat pengaruh bahasa Jawa Kuno.

Dilihat dari distribusi fonem, ada fonem konsonan bahasa Jawa Kuno yang tidak ditemukan menempati posisi di awal kata dasar atau morfem asal, yakni /ðh/, /ó/, dan /þh/. Ada pula fonem konsonan bahasa Jawa Kuno yang tidak ditemukan menempati posisi di akhir kata dasar atau morfem asal, yaitu /bh/, /c/, /ch/, /dh/, /ðh/, /gh/, /j/, /jh/, /kh/, /ó/, /ñ/, /ph/, /ś/, /û/, /þ/, /þh/, /w/.

Penelitian ini berhasil menemukan 11 (sebelas) jenis pola suku kata/silaba/kanonik bahasa Jawa Kuno melebihi hasil penelitian Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) yang hanya menemukan 10 (sepuluh) jenis pola suku kata/silaba/kanonik bahasa Jawa Kuno. Kesebelas macam pola suku kata/silaba/kanonik tersebut membentuk kata-kata Jawa Kuno. Penelitian ini berhasil menemukan 11 (sebelas) pola kanonik eka suku/satu suku, 22 (dua puluh dua) pola kanonik dwi suku/dua suku, 25 (dua puluh lima) pola kanonik tri suku/tiga suku, 21 (dua puluh satu) pola kanonik catur

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 107

suku/empat suku, dan 6 (enam) pola kanonik panca suku/lima suku. Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984) hanya menemukan 8 (delapan) jenis pola kanonik ekasuku, 16 (enam belas) pola kanonik dwisuku, 18 (delapan belas) pola kanonik trisuku, dan 7 (tujuh) pola kanonik catursuku. Pola kanonik pancasuku tidak ditemukan dalam penelitian Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana (1984).

Penelitian ini juga menemukan bentuk-bentuk perubahan bunyi pada bahasa Jawa Kuno meliputi asimilasi, disimilasi, kaidah berurutan, penggabungan vokal (sandi), zeroisasi, anaptiksis, metatesis, diftongisasi, dan monoftongisasi.

Masyarakat Bali Hindu sebagai pewaris bahasa Jawa Kuno mengenal istilah onek-onekan, guru laghu, dan guru basa sebagai model atau cara melafalkan atau membaca teks Jawa Kuno, baik teks sastra kakawin, parwa, tutur/tattwa, purana, maupun babad. Pelafalan vokal dalam bahasa Jawa Kuno ditentukan oleh posisinya dalam morfem asal pangkal. Panjang pendek pengucapan vokal bahasa Jawa Kuno tidak hanya ditentukan oleh keberadaan fonem vokal sebagai vokal panjang atau vokal pendek, melainkan juga posisi vokal tersebut pada suku kata berkatagori guru maupun laghu. Pelafalan vokal panjang sebagai dirgha dan sebagai sandi wajib dibedakan guna dapat menemukan arti atau makna kata dan kalimat.

Saran

Sesuai amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, bahasa dan sastra Jawa Kuno merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah dinamika perkembangan dunia. Melihat keberadaan bahasa dan sastra Jawa Kuno sebagai warisan budaya bangsa Indonesia, pemerintah perlu menjadikan bahasa dan sastra Jawa Kuno sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa.Karena itu, studi kebahasaan Jawa Kuno perlu dilakukan secara intensif oleh berbagai pihak, baik pemerintah, kelompok peneliti maupun peneliti

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO108

perorangan mengingat bahasa Jawa Kuno, termasuk sastranya, memiliki peranan strategis dalam pengembangan dan pengayaan bahasa Indonesia. Di samping itu, sumber referensi ataupun buku teks tentang bahasa Jawa Kuno masih sangat terbatas adanya sehingga perlu lebih dikembangkan dan ditingkatkan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO 109

DAFTAR PUSTAKA

Bawa, I Wayan dan I Wayan Pastika. 2002. Austronesia: Bahasa, Budaya, dan Sastra. Denpasar: CV Bali Media.

Haryanta, Agung Tri. 2012. Kamus Kebahasaan dan Kesusastraan. Surakarta: Aksarra Sinergi Media.

Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Mardiwarsito, L. Dan Harimurti Kridalaksana. 1984. Struktur Bahasa Jawa Kuna. Ende Flores: Nusa Indah.

Muslich, Masnur. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Pastika, I Wayan. 2005. Fonologi Bahasa Bali Sebuah Pendekatan Generatif Transformasi. Kuta-Bali: Pustaka Larasan.

Ranuh, I G.K. t.th. Çakuntala Peladjaran Bahasa Kawi, Jilid 1. Singaraja: NV Bali Dharma.

Seregeg, I Wayan. 2003. “Wyakarana Kawi”. Stensilan. Gerokgak, Buleleng.

Simanjuntak, Mangantar. 1990. Teori Fitur Distingtif dalam Fonologi Generatif. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Suarka, I Nyoman. 2014. “Raja Udayana dan Politik Bahasa Kerajaan”, Raja Udayana Warmadewa. Editor I Ketut Ardhana & I Ketut Setiawan. Denpasar: Pustaka Larasan bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Gianyar dan Pusat Kajian Bali Unud.

Surada, I Made. 2009. Kamus Sanskerta-Indonesia. Surabaya: Pāramita.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT Gramedia.

FONOLOGI BAHASA JAWA KUNO110

Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-asas Linguistik Umum. Cetakan ketujuh. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Cetakan kedua. Jakarta: Djambatan.

_______1993. Bahasa Parwa, Jilid I, II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_______. 1994. Sekar Sumawur: Bunga Rampai Bahasa Jawa Kuna, Jilid I, II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Zoetmulder, P.J. and S.O. Robson. 1982. Old Javanese-English Dictionary I, II. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

_______1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Jilid 1, 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.