45
BAB I PENDAHULUAN a. Latar belakang Salah satu Undang-undang yang paling ramai dibicarakan pada era reformasi adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 (selanjutnya disingkat dengan UU 32/2002) tentang Penyiaran. Pada tahapan masih dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU)yang dibahasa di DPR pro dan kontra bermunculan. Pembahasan RUU ini termasuk paling ramai dibicarakan masyarakat dan berlangsung a lot dan memakan waktu sekitar tiga tahun, hingga dapat disahkan pada bulan Desember 2002. Undang-Undang Penyiaran mengatur hal-hal apa saja yang boleh dilakukan oleh suatu lembaga penyiaran dan mereka yang bekerja pada lembaga penyiaran dan hal apa saja yang dilarang. Undang-Undang memuat sanksi bagi kesalahan yang dilakukan pekerja di bidang Penyiaran, karena itu sepatutnya setiap manusia penyiaran memahami Undang-Undang ini. Jenis pelanggaran dalam UU Penyiaran terbagi atas dua, yaitu Pelanggaran Kode Etik dan Pelanggaran Teknis Administratif (Non-Kode Etik). Pelanggaran non-Kode Etik terkait dengan hal-hal yang bersifat teknik administratif, misalnya pelanggaran ketentuan mengenai izin pelanggaran ketentuan mengenai izin penyelenggaraan siaran, ketentuan mengenai jangkauan atau frekuensi siaran, ketentuan muatan local, ketentuan mengenai hak siar, ketentuan mengenai

Web view... hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, ... tercantum dalam Pancasila dan Undang ... wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar belakang

Salah satu Undang-undang yang paling ramai dibicarakan pada era reformasi adalah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 (selanjutnya disingkat dengan UU 32/2002) tentang

Penyiaran. Pada tahapan masih dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU)yang

dibahasa di DPR pro dan kontra bermunculan. Pembahasan RUU ini termasuk paling ramai

dibicarakan masyarakat dan berlangsung a lot dan memakan waktu sekitar tiga tahun, hingga

dapat disahkan pada bulan Desember 2002.

Undang-Undang Penyiaran mengatur hal-hal apa saja yang boleh dilakukan oleh suatu

lembaga penyiaran dan mereka yang bekerja pada lembaga penyiaran dan hal apa saja yang

dilarang. Undang-Undang memuat sanksi bagi kesalahan yang dilakukan pekerja di bidang

Penyiaran, karena itu sepatutnya setiap manusia penyiaran memahami Undang-Undang ini.

Jenis pelanggaran dalam UU Penyiaran terbagi atas dua, yaitu Pelanggaran Kode Etik

dan Pelanggaran Teknis Administratif (Non-Kode Etik). Pelanggaran non-Kode Etik terkait

dengan hal-hal yang bersifat teknik administratif, misalnya pelanggaran ketentuan mengenai

izin pelanggaran ketentuan mengenai izin penyelenggaraan siaran, ketentuan mengenai

jangkauan atau frekuensi siaran, ketentuan muatan local, ketentuan mengenai hak siar,

ketentuan mengenai kepemilikan lembaga penyiaran, ketentuan mengenai laporan keuangan

dan lain-lain.

Maka dalam makalah ini kami mengangkat studi kasus terkait pelanggaran Non-Kode

Etik dengan hal ketentuan mengenai kepemilikan lembaga penyiaran pada lembaga penyiaran

Media Nusantara Citra dan Trans Corporation.

b. Tujuan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka makalah ini

bertujuan:

1. Memahami maksud dan tujuan dari Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun

2002

2. Mengetahui sejauh mana penerapan Undang-Undang Penyiaran Nomor 2 Tahun

2002 dan kinerja Komisi Penyiaran Indonesia

3. Mengetahui dan mengkaji praktek kepemilikan lembaga penyiaran yang mampu

menciptakan persaingan yang sehat

c. Rumusan masalah

1. Bagaimana penerapan UU Nomor 32 Tahun 2002 pasal 5 poin (g) yang berbunyi

“mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di

bidang penyiaran” ? (studi kasus PT. Media Nusantara Citra Tbk)

2. Bagaimana peran Komisi Penyiaran Indonesia dalam menyikapi studi kasus

terkait tugasnya pada Pasal 8 ayat 3 (c) yang berbunyi “ikut membangun iklim

persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industry terkait” ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2002

TENTANG

PENYIARAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

b. bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui

penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara, dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan

seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan

merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita

Proklamasi 17 Agustus 1945;

d. bahwa untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan

terlaksananya otonomi daerah maka perlu dibentuk sistem penyiaran nasional yang

menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang

guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

e. bahwa lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai

peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki

kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media

informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial;

f. bahwa siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas,

memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku

khalayak, maka penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga

nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan

kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,

huruf c, huruf d, dan huruf e maka Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Penyiaran dipandang tidak sesuai lagi, sehingga perlu dicabut dan membentuk

Undang-undang tentang Penyiaran yang baru;

Mengingat :

1. Pasal 20 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), Pasal 28F, Pasal 31 ayat

(1), Pasal 32, Pasal 33 ayat (3), dan Pasal 36 Undang-Undang Dasar

1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-undang Dasar

1945;

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3473);

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999

Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3817);

4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3821);

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3839);

6. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3881);

7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3886);

8. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3887);

9. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor

4220);

Dengan persetujuan bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENYIARAN.

BAB I

ketentuan umum

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan

gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak,

yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.

2. Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau

sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum

frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara

serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

3. Penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar, yang menyalurkan gagasan dan

informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur

dan berkesinambungan.

4. Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan

gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka

maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.

5. Siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat

tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak

dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.

6. Siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio

atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau

mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran untuk mempengaruhi

konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan.

7. Siaran iklan layanan masyarakat adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui

penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan,

dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, dan/atau pesan-pesan lainnya

kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku

sesuai dengan pesan iklan tersebut.

8. Spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk

penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan,

merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas.

9. Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik,

lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran

berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya

berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

10. Sistem penyiaran nasional adalah tatanan penyelenggaraan penyiaran nasional

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menuju tercapainya

asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran nasional sebagai upaya mewujudkan cita-cita

nasional sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

11. Tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang adalah kondisi informasi

yang tertib, teratur, dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam

penyiaran antara pusat dan daerah, antarwilayah di Indonesia, serta antara Indonesia dan

dunia internasional.

12. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden atau

Gubernur.

13. Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada

di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini

sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.

14. Izin penyelenggaraan penyiaran adalah hak yang diberikan oleh negara kepada lembaga

penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran.

BAB II

ASAS, TUJUAN, FUNGSI, DAN ARAH

Pasal 2

Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,

keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.

Pasal 3

Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya

watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa,

memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri,

demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.

Pasal 4

(1) Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media

informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.

(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyiaran juga

mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.

Pasal 5

Penyiaran diarahkan untuk :

a. menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

b. menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa;

c. meningkatkan kualitas sumber daya manusia;

d. menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa;

e. meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional;

f. menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam

pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup;

g. mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang

penyiaran;

h. mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan,

dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi;

i. memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab;

j. memajukan kebudayaan nasional.

BAB III

PENYELENGGARAAN PENYIARAN

Bagian Pertama

Umum

Pasal 6

(1) Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional.

(2) Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Negara

menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran

guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(3) Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil

dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.

(4) Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran.

Bagian Kedua

Komisi Penyiaran Indonesia

Pasal 7

(1) Komisi penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) disebut Komisi

Penyiaran Indonesia, disingkat KPI.

(2) KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai

penyiaran.

(3) KPI terdiri atas KPI Pusat dibentuk di tingkat pusat dan KPI Daerah dibentuk di tingkat

provinsi.

(4) Dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya, KPI Pusat diawasi oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan KPI Daerah diawasi oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.

Pasal 8

(1) KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili

kepentingan masyarakat akan penyiaran.

(2) Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPI mempunyai

wewenang:

a. menetapkan standar program siaran;

b. menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;

c. mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar

program siaran;

d. memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran

serta standar program siaran;

e. melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Peme-rintah, lembaga penyiaran, dan

masyarakat.

f. (3) KPI mempunyai tugas dan kewajiban :

g. menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan

hak asasi manusia;

h. ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;

i. ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri

terkait;

j. memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;

k. menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sang-gahan, serta kritik dan apresiasi

masyarakat terhadap penye-lenggaraan penyiaran; dan

l. menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin

profesionalitas di bidang penyiaran.

Pasal 9

(1) Anggota KPI Pusat berjumlah 9 (sembilan) orang dan KPI Daerah berjumlah 7 (tujuh)

orang.

(2) Ketua dan wakil ketua KPI dipilih dari dan oleh anggota.

(3) Masa jabatan ketua, wakil ketua dan anggota KPI Pusat dan KPI Daerah 3 (tiga) tahun

dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

(4) KPI dibantu oleh sebuah sekretariat yang dibiayai oleh negara.

(5) Dalam melaksanakan tugasnya, KPI dapat dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan

kebutuhan.

(6) Pendanaan KPI Pusat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan

pendanaan KPI Daerah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 10

(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota KPI harus dipenuhi syarat sebagai berikut:

a. warga negara Republik Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

c. berpendidikan sarjana atau memiliki kompetensi intelektual yang setara;

d. sehat jasmani dan rohani;

e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

f. memiliki kepedulian, pengetahuan dan/atau pengalaman dalam bidang penyiaran;

g. tidak terkait langsung atau tidak langsung dengan kepemilik-an media massa;

h. bukan anggota legislatif dan yudikatif;

i. bukan pejabat pemerintah; dan

j. nonpartisan.

(2) Anggota KPI Pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan KPI

Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atas usul masyarakat

melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka.

(3) Anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI Daerah secara administratif

ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.

(4) Anggota KPI berhenti karena:

a. masa jabatan berakhir;

b. meninggal dunia;

c. mengundurkan diri;

d. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum

tetap; atau

e. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 11

(1) Apabila anggota KPI berhenti dalam masa jabatannya karena alasan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, yang

bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya.

(2) Penggantian anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI Daerah secara

administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penggantian anggota KPI sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) diatur lebih lanjut oleh KPI.

Pasal 12

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian kewenangan dan tugas KPI sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8, pengaturan tata hubungan antara KPI Pusat dan KPI Daerah, serta

tata cara penggantian anggota KPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ditetapkan dengan

Keputusan KPI Pusat.

Bagian Ketiga

Jasa Penyiaran

Pasal 13

(1) Jasa penyiaran terdiri atas:

a. jasa penyiaran radio; dan

b. jasa penyiaran televisi.

(2) Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselengga-rakan oleh:

a. Lembaga Penyiaran Publik;

b. Lembaga Penyiaran Swasta;

c. Lembaga Penyiaran Komunitas; dan

d. Lembaga Penyiaran Berlangganan.

Bagian Keempat

Lembaga Penyiaran Publik

Pasal 14

(1) Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a

adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara,

bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk

kepentingan masyarakat.

(2) Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas Radio

Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia yang stasiun pusat penyiarannya

berada di ibukota Negara Republik Indonesia.

(3) Di daerah provinsi, kabupaten, atau kota dapat didirikan Lembaga Penyiaran Publik

lokal.

(4) Dewan pengawas dan dewan direksi Lembaga Penyiaran Publik dibentuk sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Dewan pengawas ditetapkan oleh Presiden bagi Radio Republik Indonesia dan Televisi

Republik Indonesia atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; atau oleh

Gubernur, Bupati, atau Walikota bagi Lembaga Penyiaran Publik lokal atas usul Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, setelah melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka

atas masukan dari pemerintah dan/atau masyarakat.

(6) Jumlah anggota dewan pengawas bagi Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik

Indonesia sebanyak 5 (lima) orang dan dewan pengawas bagi Lembaga Penyiaran Publik

Lokal sebanyak 3 (tiga) orang.

(7) Dewan direksi diangkat dan ditetapkan oleh dewan pengawas.

(8) Dewan pengawas dan dewan direksi Lembaga Penyiaran Publik mempunyai masa kerja

5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa kerja berikutnya.

(9) Lembaga Penyiaran Publik di tingkat pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia dan Lembaga Penyiaran Publik di tingkat daerah diawasi oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(10)Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Penyiaran Publik disusun oleh KPI bersama

Pemerintah.

Pasal 15

(1) Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Publik berasal dari :

a. iuran penyiaran;

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah;

c. sumbangan masyarakat;

d. siaran iklan; dan

e. usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.

(2) Setiap akhir tahun anggaran, Lembaga Penyiaran Publik wajib membuat laporan

keuangan yang diaudit oleh akuntan publik dan hasilnya diumumkan melalui media

massa.

Bagian Kelima

Lembaga Penyiaran Swasta

Pasal 16

(1) Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b

adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia,

yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.

(2) Warga negara asing dilarang menjadi pengurus Lembaga Penyiaran Swasta, kecuali

untuk bidang keuangan dan bidang teknik.

B. Penjelasan UU no 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

Bagian Umum

Bahwa kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan, dan memperoleh

informasi, bersumber dari kedaulatan rakyat dan merupakan hak asasi manusia dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Dengan demikian,

kemerdekaan atau kebebasan dalam penyiaran harus dijamin oleh negara. Dalam kaitan ini

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui, menjamin dan

melindungi hal tersebut. Namun, sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan

Indonesia, maka kemerdekaan tersebut harus bermanfaat bagi upaya bangsa Indonesia dalam

menjaga integrasi nasional, menegakkan nilai-nilai agama, kebenaran, keadilan, moral, dan

tata susila, serta memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam hal ini kebebasan harus dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan

seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan masyarakat

informasi yang makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan hak untuk

mendapatkan informasi. Informasi telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah

menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tersebut telah membawa implikasi

terhadap dunia penyiaran, termasuk penyiaran di Indonesia. Penyiaran sebagai

penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum, perannya makin sangat strategis,

terutama dalam mengembangkan alam demokrasi di negara kita. Penyiaran telah menjadi

salah satu sarana berkomunikasi bagi masyarakat, lembaga penyiaran, dunia bisnis, dan

pemerintah. Perkembangan tersebut telah menyebabkan landasan hukum pengaturan

penyiaran yang ada selama ini menjadi tidak memadai.

Peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan sebagian tugas-tugas umum

pemerintahan, khususnya di bidang penyelenggaraan penyiaran, tidaklah terlepas dari

kaidah-kaidah umum penyelenggaraan telekomunikasi yang berlaku secara universal. Atas

dasar hal tersebut perlu dilakukan pengaturan kembali mengenai penyiaran. Undang-undang

ini disusun berdasarkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

1. penyiaran harus mampu menjamin dan melindungi kebebasan berekspresi atau

mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis, termasuk menjamin kebebasan

berkreasi dengan bertumpu pada asas keadilan, demokrasi, dan supremasi hukum;

2. penyiaran harus mencerminkan keadilan dan demokrasi dengan menyeimbangkan

antara hak dan kewajiban masyarakat ataupun pemerintah, termasuk hak asasi setiap

individu/orang dengan menghormati dan tidak mengganggu hak individu/orang lain;

3. memperhatikan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, juga harus

mempertimbangkan penyiaran sebagai lembaga ekonomi yang penting dan strategis,

baik dalam skala nasional maupun internasional;

4. mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya di

bidang penyiaran, seperti teknologi digital, kompresi, komputerisasi, televisi kabel,

satelit, internet, dan bentuk-bentuk khusus lain dalam penyelenggaraan siaran;

5. lebih memberdayakan masyarakat untuk melakukan kontrol sosial dan berpartisipasi

dalam memajukan penyiaran nasional; untuk itu, dibentuk Komisi Penyiaran

Indonesia yang menampung aspirasi masyarakat dan mewakili kepentingan publik

akan penyiaran;

6. penyiaran mempunyai kaitan erat dengan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit

geostasioner yang merupakan sumber daya alam yang terbatas sehingga

pemanfaatannya perlu diatur secara efektif dan efisien;

7. pengembangan penyiaran diarahkan pada terciptanya siaran yang berkualitas,

bermartabat, mampu menyerap, dan merefleksikan aspirasi masyarakat yang

beraneka ragam, untuk meningkatkan daya tangkal masyarakat terhadap pengaruh

buruk nilai budaya asing.

BAB I Ketentuan Umum

Pasal 1 ;

Pada pasal 1 menjelaskan aspek -aspek tengtang penyiaran, seperti apa yang

dimaksud dengan siaran, penyiaran, penyiaran radio, penyiaran televise, siaran iklan, siaran

iklan niaga, siaran iklan layanan masyarakat, Spektrum frekuensi radio, lembaga penyiaran,

sistem penyiaran nasional, tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang,

pemerintah, . Komisi Penyiaran Indonesia serta Izin penyelenggaraan penyiaran. Semua

konsep tersebut menjadi pembahasan dalam UU no 32 tahun 2002 ini, maka pada pasal 1 ini

dibahas agar tidak mengalami kerancuan.

BAB II, tentang Asas, tujuan, fungsi dan Arah

Pasal 2 :

Pasal 2 menyebutkan asas yang digunakan dalam penyiaran yaitu menggunakan asas

manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika,

kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Selain itu dlam pasal 2 juga menyatakan

bahwa penyiaran harus dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan Undang –Undang Dasar

Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pasal 3:

Pasal 3 ini membahas mengenai tujuan dari penyiaran. Tujuan dari penyiaran

disebutkan dalam undang – undang ini adalah untuk memperkukuh integrasi nasional,

terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan

bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang

mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.

Cukup jelas disebutkan tujuan dari penyiaran pada pasal 4.

Pasal 4:

Sementara pada pasal 4 UU no 32 tahun 2002 menjelaskan mengenai fungsi dari

penyiaran. Jelas disebutkan pada pasal 4, funsi dari penyiaran sebagai media informasi,

pendidikan, hiburan yang sehat, kontro dan perekat sosial. Selanjutnya untuk menjalankan

fungsi tersebut, penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaa.

Pasal 5 :

Pasal 5 pada Bab 2 ini membahas arah dari peniaran Indonesia. Penyiaran diarahkan

untuk : menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama

serta jati diri bangsa, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, menjaga dan

mempererat persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan

disiplin nasional, menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat

dalam pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup, mencegah

monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran,

mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan

memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi, memberikan informasi yang benar,

seimbang, dan bertanggung jawab, serta memajukan kebudayaan nasional.

BAB III tentang Penyelenggaraan Penyiaran

Bagian Pertama membahas bagian umum dari penyelenggaraan penyiaran.

Pasal 6 :

Pada pasal 6 terdapat 4 ayat mengenai bagian umum penyelenggaraan penyiaraan.

1. Pada ayat pertama menjelaskan penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem

penyiaran nasional.

2. Ayat kedua menindaklanjuti poin pertama yang menyatakan dalam penyelenggaraan

sistem penyiaran nasional , Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang

digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran sebesar-besarnya untuk kemakmuran

rakyat. Selanjutnya pada

3. Ayat ketiga menyatakan dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran

dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk

stasiun jaringan dan stasiun local. Yang dimaksud dengan pola jaringan yang adil dan

terpadu adalah pencerminan adanya keseimbangan informasi antardaerah serta antara

daerah dan pusat.

4. Dan pada ayat keempat untuk penyelenggaraan penyiaran dibentuk sebuah komisi

penyiaran.

Bagian kedua membahas Komisi Penyiaran Indonesia

Pasal 7

Pada pasal 7 undang – undang ini membahas komisi penyiaran yang terdiri dari 4 ayat

yaitu :

1. Komisi penyiaran yang dimaksud pada pasal 6 ayat 4, disebut Komisi Penyiran

Indonesia dan disingkat menjadi KPI.

2. Pada ayat kedua menyebutkan KPi merupakan lembaga yang independen yang

mengatur hal – hal tentang penyiaran.

3. Pada ayat ketiga menyatakan pembagian KPI. KPi terdiri dari KPI pusat yang

dibentuk ditingkat pusat, dan KPI daerah yang dibentuk ditingkat provinsi.

4. Sementara pada ayat keempat membahas pengawasan dari KPI , dalam menjalankan

fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya, KPI Pusat diawasi oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan KPI Daerah diawasi oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. Yang dimaksud dengan diawasi adalah

pelaksanaan tugas KPI dipantau dan dikontrol agar sesuai dengan ketentuan undang-

undang ini.

Pasal 8 :

Pasal 8 Undang – undang no 32 tahnun 2002 membahas fungsi, tugas dan kewajiban

dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), terdiri dari 3 ayat yaitu :

1. Pasal 8 ayat satu menyatakan fungsi dari KPI yaitu berfungsi mewadahi aspirasi serta

mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran, sebagai wujud peran serta

masyarakat.

2. Ayat 2 memuat wewenang dari KPI dalam menjalankan fungsinya yang terdapat pada

ayat 1. Wewenang tersebut terbagi menjadi 5 poin, yaitu :

a) Menetapkan standar program siaran

b) Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran. Pedoman

perilaku penyiaran tersebut diusulkan oleh asosiasi/masyarakat penyiaran kepada

KPI.

c) Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar

program siaran. Yang dimaksud dengan mengawasi pelaksanaan peraturan adalah

mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh KPI.

d) Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku

penyiaran serta standar program siaran. Sanksi yang dapat dikenakan terhadap

pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran dan standar program

siaran.

e) Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Peme-rintah, lembaga

penyiaran, dan masyarakat.

3. Ayat ketiga menyebutkan dengan sangat jelas tugas dan kewajiban KPI yang terdiri

dari 6 poin yaitu :

a. menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai

dengan hak asasi manusia;

b. ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;

c. ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri

terkait;

d. memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;

e. menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sang-gahan, serta kritik dan

apresiasi masyarakat terhadap penye-lenggaraan penyiaran; dan

f. menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin

profesionalitas di bidang penyiaran.

Pasal 9 :

Pasal 9 Undang – undang no 32 tahnun 2002 membahas keanggotaan KPI yang terdiri

dari 6 ayat, yaitu :

1. Ayat 1 menyatakan jumlah anggota KPI. Anggota KPI Pusat terdiri dari 9 (sembilan)

orang dan KPI Daerah berjumlah 7 (tujuh) orang.

2. Ayat 2 mengatur pemilihab ketua dan wakil ketua KPI. ) Ketua dan wakil ketua KPI

dipilih dari dan oleh anggota.

3. Pada ayat 3 mengatur masa jabatan anggota KPI. Masa jabatan ketua, wakil ketua dan

anggota KPI Pusat dan KPI Daerah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali hanya

untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

4. Pada ayat keempat menyebutkan KPI dibantu oleh sebuah sekretariat yang dibiayai

oleh negara.

5. Sementara pada pasal kelima menyebutkan dalam melaksanakan tugasnya, KPI dapat

dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan.

6. Ayat 6 mengatur tentang pendanaan KPI. Pendanaan KPI Pusat berasal dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara dan pendanaan KPI Daerah berasal dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 10 :

Pasal 10 Undang – undang no 32 tahnun 2002 membahas keanggotaan KPI yang

terdiri dari 4 ayat, yaitu :

1. Pasal 10 ayat 1 mengemukakan syarat untuk menjadi anggota KPI yaitu :

a. warga negara Republik Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

c. berpendidikan sarjana atau memiliki kompetensi intelektual yang setara;

d. sehat jasmani dan rohani;

e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

f. memiliki kepedulian, pengetahuan dan/atau pengalaman dalam bidang penyiaran;

g. tidak terkait langsung atau tidak langsung dengan kepemilik-an media massa;

h. bukan anggota legislatif dan yudikatif;

i. bukan pejabat pemerintah; dan

j. nonpartisan.

2. Pada ayat kedua menjelaskan bagaimana kepemilihan anggota KPI. Anggota KPI

Pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan KPI Daerah

dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atas usul masyarakat melalui

uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka.

3. Sementara pada ayat ketiga menjelaskan kelanjutan mengenai keanggotaas KPI.

Anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI Daerah secara administratif

ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.

4. Pasal keempat menjelaskan alasan – alasan berhentinya menjadi anggota KPI, yaitu :

a) masa jabatan berakhir;

b) meninggal dunia;

c) mengundurkan diri;

d) dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan

hukum tetap; atau

e) tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Pasal 11 :

Pasal 11Undang – undang no 32 tahnun 2002 membahas penggantian keanggotaan

KPI yang terdiri dari 3 ayat, yaitu :

1. pada ayat 1 menyatakan penggantian anggota KPi, Apabila anggota KPI berhenti

dalam masa jabatannya karena alasan dalam Pasal 10 ayat (4) huruf b, huruf c, huruf

d, dan huruf e, yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis

masa jabatannya.

2. Ayat 2 sangat jelas menyatakan Penggantian anggota KPI Pusat secara administratif

ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan

anggota KPI Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.

3. Ayat 3 juga jelas menyebutkan Ketentuan mengenai tata cara penggantian anggota

KPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh KPI.

Pasal 12 :

Dalam pasa 12 juga sangat jelas dinyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai

pembagian kewenangan dan tugas KPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengaturan

tata hubungan antara KPI Pusat dan KPI Daerah, serta tata cara penggantian anggota KPI

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ditetapkan dengan Keputusan KPI Pusat.

Bagian III membahas jasa penyiaran

Pasal 13 :

Pasal 13 Undang – undang no 32 tahnun 2002 membahas jasa penyiaran yang terdiri

dari 2ayat, yaitu :

1. Pada pasal 1 menyebutkan bahwa jasa penyiaran terdiri dari jasa penyiaran

televise dan jasa penyiaran radio.

2. Pada ayat 2 jasa penyiaran tersebut diselenggarakan oleh lembaga –lemba yang

berwenang yaitu lembaga penyiaran public, lembaga penyiaran swasta, lembaga

penyiarankomunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan.

Bagian Keempat membahas Lembaga Penyiaran Publik

Pasal 14 :

Pasal 14 Undang – undang no 32 tahnun 2002 membahas lembaga penyiaran public

yang terdiri dari 10 ayat, yaitu :

1. Ayat 1 membahas mengenai landasan dari lembaga penyiaran publik, sifat dan

fungsinya

2. Ayat dua mengatur pusat lembaga penyiaran.

3. Ayat ketiga menyebutkan pengembangan lembaga penyiaran local

4. Pada ayat keempat mengatur lembaga pengawas dan dewan direksi dari

lembaga penyiaran sesuai undang – undang yang berlaku.

5. Pada ayat kelima mengatur penetapan lembaga pengawas lembaga penyiaran

6. Ayat 6 mengatur jumlah anggota lembaga pengawas penyiaran

7. Pada ayat 7, Dewan direksi diangkat dan ditetapkan oleh dewan pengawas

8. Semetara pada ayat 8 menjelaskan masa jabatan Dewan pengawas dan dewan

direksi Lembaga Penyiaran Publik.

9. Pasal 9 mengatur pengawasan Lembaga Penyiaran Publik

10. Pasal 10 jelas menyatakan Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga

Penyiaran Publik disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

Pasal 15 :

Pasal 15 Undang – undang no 32 tahnun 2002 membahas pembiayaan dan keuangan

lembaga penyiaran public yang terdiri dari 2 ayat, yaitu :

1. Ayat 1 membahas pembiayaan Lembaga Penyiaran Publik

2. Sementara ayat 2 membahas keuangan dari Lembaga Penyiaran Publik.

Bagian Lima, membahas Lembaga Penyiaran Swasta

Pasal 16 :

Pasal 16 Undang – undang no 32 tahnun 2002 membahas tentang aspek dari lembaga

penyiaran swasta, terdiri dari 2 ayat, yaitu :

1. ayat 1 menjelaskan apa itu Lembaga Penyiaran Swasta.

2. Ayat 2 menyatakan batasan kepengurusan dari lembaga penyiaran swasta, yaitu

Warga negara asing dilarang menjadi pengurus Lembaga Penyiaran Swasta, kecuali

untuk bidang keuangan dan bidang teknik.

C. KAJIAN STUDI KASUS

1. Kasus

EKONOMI & KEUANGAN - selasa 29 Maret 2011 | 01:25

KAIP Pertanyakan Soal Monopoli Media Penyiaran

Jakarta, Pelita

Tim Komite Advokasi untuk Independen Penyiaran (KAIP) mendatangi Komisi Penyiaran

Indonesia (KPI). Mereka mempertanyakan rencana merger SCTV dan Indosiar serta

kepemilikan media penyiaran yang cenderung berpusat di satu pemilik atau korporasi.

Kami mengadukan (merger ini) ke KPI agar memberikan solusi kepada pihak-pihak yang

terkait akan dilaksanakan (merger ini) untuk diberikan solusi, kata anggota KAIP Wirawan

Adnan yang dihubungi di Jakarta, Senin (28/3).

KAIP mempertanyakan rencana merger dua stasiun televisi nasional antara SCTV dan

Indosiar dan kepemilikan Media Nusantara Citra (MNC) yang mengendalikan 99 persen

saham RCTI, 99 persen saham Global TV dan 75 persen saham MNC.

Demikian juga dengan Viva Media yang memegang kendali ANTV dan TVOne serta Trans

Corporation yang memiliki TransTV dan Trans7.

KAIP menilai, kepemilikan lembaga penyiaran swasta seperti televisi dikhawatirkan

memunculkan pemusatan usaha. Selain itu, penyebaran informasi yang akan dilakukan dua

stasiun televisi yang dipegang satu orang saja ditakutkan terjadi semena-mena.

Selama ini, telah terjadi pelangaran UU Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran namun

didiamkan oleh pemerintah, kata Adnan.

Anggota KPI Bidang Infrastruktur Penyiaran Iswandi Syahputra membenarkan sejumlah

pengacara telah mendatangi kantornya mempertanyakan merger yang terjadi di lembaga

penyiaran di Indonesia.

Hal ini yang terjadi pada rencana merger SCTV dengan Indosiar yang masih dalam proses

pembicaraan antara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Badan Pengawas

Pasar Modal (Bapepam), dan KPI.

Sampai saat ini belum ada keputusan apakah (merger) dibenarkan atau tidak, ungkap Iswandi.

Kekhawatiran ketidakadilan akan muncul, ujar Iswandi, tatkala merger SCTV dan Indosiar

tidak disetujui pemerintah. Karena, tiga kelompok media sebelumnya tidak dipermasalahkan

kepemilikannya oleh pemerintah.

Untuk itu, KPI mendorong kasus ini diselesaikan melalui pengadilan agar transparan. Kelak,

keputusan pengadilan bisa dijadikan dasar hukum yurisprudensi untuk kasus-kasus

sebelumnya, jelasnya.

Adnan menambahkan, rencananya KAIP akan menemui Komisi Pengawas Persaingan Usaha

(KPPU) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Menurutnya, gugatan yang dilakukan KAIP mewakili kepentingan rakyat dan hal ini

dibolehkan dalam konstitusi. KAIP terdiri dari Wirawan Adnan, Soleh Amin, Lutfi Hakim,

dan Munarman sebagai koordinator.(dew)

Terkait dengan undang-undang Penyiaran No 32 tahun 2002 pasal 5 (g) yang

berbunyi mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat dalam

bidang penyiaran. Namun pada kenyataanya, kondisi persaingan lembaga penyiaran di

Indonesia saat ini mulai menunjukkan pada arah yang kurang sehat. Seperti yang terjadi pada

lembaga penyiaran Media Nusantara Citra (MNC) dengan mendominasi kepemilikan saham

PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Global Informasi Bermutu (GIB), Citra

Televisi Pendidikan Indonesia (Citra TPI), PT MNC Network (MNCN).

2. Analisa Studi Kasus

Perusahaan (Media Nusantara Citra) memiliki, baik langsung maupun tidak langsung,

lebih dari 50% saham anak perusahaan berikut: (sumber; catatan atas laporan keuangan

konsolidasi PT. Media Nusantara Citra Tbk tahun 2009 dan 2010)

Terkait pada keterangan yang diperoleh pada lampiran laporan keuangan konsolidasi

tersebut terbukti bahwa PT Media Nusantara Citra menguasai lebih dari 50 % dari saham

perusahaan anak perusahaannya. Berdasarkan prospektusnya, perseroan merupakan

integrated media company. Anak usahanya meliputi tiga stasiun televisi, yaitu RCTI, Global

TV, dan TPI. Selain itu ada jaringan radio yang terdiri dari Trijaya Network, Radio ARH, dan

Radio Dangdut TPI. Sementara media cetak yang dimiliki MNC antara lain Harian Sindo,

Tabloid Genie, dan Tabloid Realita. Tidak hanya itu, perusahaan ini juga menguasai 100%

saham situs okezone.com.

Hal ini mengindikasikan adanya pemusatan atau sentralisasi kepemilikan beberapa

bentuk lembaga penyiaran pada satu naungan perusahaan yang dalam hal ini adaalah PT

Media Nusantara Citra Tbk. Ketika terjadi kecenderungan sentralisasi maka kekuasaan

berada pada tangan satu pihak (monopoli) dan nyatalah bahwa permasalahan ini berbenturan

dengan Undang-undang Penyiaran NO 32 tahun 2002 pasal 5 (g).

Pengertian monopoli menurut Undang-Undang Nomor 5 Tentang Larangan Praktek

Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat BAB 1 Ketentuan Umum Pasal 1 poin 1

berbunyi “monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau

atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.”

Lebih lanjut tentang praktek monopoli dijelaskan dalam Pasal 1 poin 1 berbunyi

“Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha

yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa

tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan

kepentingan umum.”

Padahal, praktik monopoli tidak dibenarkan dalam Undang-Undang Penyiaran Nomor

32 Tahun 2002 dan didukung oleh menurut Undang-Undang Nomor 5 Tentang Larangan

Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat BAB IV Kegiatan Yang Dilarang

Bagian Pertama Monopoli Pasal 17 yang berbunyi:

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang

dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan

usaha tidak sehat.

(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau

pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:

a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau

b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan

atau jasa yang sama; atau

c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh

persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Berdasarkan lampiran laporan keuangan konsolidasi tersebut terbukti bahwa PT

Media Nusantara Citra menguasai lebih dari 50 % dari saham perusahaan anak

perusahaannya. Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan pasal di atas.

Tindakan PT MNC terkait dengan kepemilikan saham yang mendominasi tersebut

sangat tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tentang Larangan Praktek Monopoli

Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat BAB V POSISI DOMINAN Bagian Ketiga Pemilikan

Saham Pasal 27 yang berbunyi: Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada

beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada

pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaam yang memiliki

kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut

mengakibatkan:

a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh

persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;

b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh

puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

RCTI, TPI, dan Global TV bersinergi di bawah satu payung raksasa perusahaan

media: Media Nusantara Citra. TPI yang kini berganti nama menjadi MNC TV telah dua

setengah tahun lebih bergabung dengan PT MNC (dikutip dari Artine Utomo pada artikel

“Televisi Batavia” dalam blog Julian Hutabarat’s Jurnal). Bergabungnya TPI ke PT MNC

bisa mengakibatkan adanya tindakan monopoli jika dikaitkan dengan Undang-Undang

Nomor 5 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Bagian

Keempat Penggabungan, Peleburan, dan Peingambilalihan Pasal 28 yang berbunyi:

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(2) Pelaku usaha dilaragg melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila

tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan

usaha tidak sehat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang

sebagaimana dimaksud ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Dominasi kepemilikan saham yang mengarah pada tindakan monopoli yang dilakukan

oleh PT MNC dapat dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50

Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta Bab V

Pembatasan Kepemilikan Dan Penguasaan Serta Kepemilikan Silang Bagian Pertama

Pembatasan Kepemilikan dan Penguasaan Paragraf 2 Jasa Penyiaran Televisi Pasal 32 yang

berbunyi:

(1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran

televisi oleh 1 (satu) orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di

beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi sebagai berikut:

a. 1 (satu) badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran jasa

penyiaran televisi, yang berlokasi di 2 (dua) provinsi yang berbeda;

b. paling banyak memiliki saham sebesar 100% (seratus perseratus) pada badan hukum ke-1

(kesatu);

c. paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus) pada badan

hukum ke-2 (kedua);

d. paling banyak memiliki saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada badan hukum ke-3

(ketiga);

e. paling banyak memiliki saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan hokum ke-4

(keempat) dan seterusnya;

f. badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf

e, berlokasi di beberapa wilayah provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,

dan huruf e, memungkinkan kepemilikan saham sebesar 100% (seratus perseratus) untuk

Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi yang berada di daerah perbatasan wilayah

nasional dan/atau daerah terpencil.

(3) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,

dan huruf e, memungkinkan kepemilikan saham lebih dari 49% (empat puluh sembilan

perseratus) dan paling banyak 90% (sembilan puluh perseratus) pada badan hukum ke-2

(kedua) dan seterusnya hanya untuk Lembaga Penyiaran Swasta yang telah mengoperasikan

sampai dengan jumlah stasiun relai yang dimilikinya sebelum ditetapkannya Peraturan

Pemerintah ini.

(4) Kepemilikan Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa

saham yang dimiliki oleh paling sedikit 2 (dua) orang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali untuk disesuaikan

dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan informasi masyarakat.

Merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. PT Media Nusantara Citra

terbukti melanggar aturan, berdasarkan lampiran laporan keuangan konsolidasi yang

menyatakan bahwa PT Media Nusantara Citra menguasai lebih dari 50 % dari saham

perusahaan anak perusahaannya.

Dominasi kepemilikan saham yang mengarah pada tindakan monopoli yang dilakukan

oleh PT MNC dapat dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50

Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta Bab V

Pembatasan Kepemilikan Dan Penguasaan Serta Kepemilikan Silang Bagian Pertama

Pembatasan Kepemilikan dan Penguasaan Paragraf 2 Jasa Penyiaran Televisi Pasal 32.

Menyangkut dengan pasal 5 ayat 7 yang berbunyi penyiaran diarahkan untuk

“mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat dalam bidang

penyiaran” . dan pasal 8 ayat 3 poin C, mengenai tugas dan kewajiban KPI ” ikut membangun

iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri terkait”. Pada kasus ini KPI

belum menjalankan tugas dan kewajibannya membangun persaingan yang sehat dalam

lembaga penyiaran, terbukti dengan adanya praktek monopoli dalam lembaga penyiaran,

dengan adanya dominasi kepemilikan saham.

Seharusnya KPI mengambil sikap, secara tegas mempertanyakan kekeliruan yang

terjadi pada PT. MNC sebagahai bentuk dari tugas dan kewajiban KPI membangun iklim

persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri terkait. Adanya Peraturan

Pemerintah No. 50 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta diberlakukan, maka KPI

akan menjadikannya dasar hukum untuk menindak stasiun televisi yang melakukan praktek

monopoli dalam penyiaran. Jika stasiun televisi tidak mematuhi, maka KPI akan

memperkarakan pelanggaran tersebut secara hukum dengan sanksi terberat berupa

pencabutan ijin siaran melalui putusan pengadilan

Perusahaan tersebut hendaknya mematuhi Undang-Undang tentang penyiaran dengan

kesadaran sendiri tanpa ada peringatan dari KPI. Sehingga setiap Perusahaan penyiaran tidak

melakukan praktek monopoli yang menyebabkan ketidakseimbangan pasar. Pengamatan

kami dalam hal ini, Perusahaan yang bergerak dalam penyiaran baru mematuhi Undang-

Undang mengenai penyiaran setelah KPI melayangkan surat peringatan tegas atau mendapat

kritikan dari masyarakat. Jika tidak, mereka terkesan tidak mengindahkannya.

BAB III

KESIMPULAN

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang

Penyiaran Pasal 5 poin g, jelas bahwa PT Media Nusantara Citra telah melanggar Undang-

Undang yang berlaku dalam hal dominasi kepemilikan saham (monopoli). Monopoli adalah

penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu

oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

Terkait pelanggaran yang dilakukan oleh PT Media Nusantara Citra, maka berlaku

pula Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pasal 17, 27 dan 28. Serta didukung dengan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan

Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta Bab V Pembatasan Kepemilikan Dan Penguasaan

Serta Kepemilikan Silang Bagian Pertama Pembatasan Kepemilikan dan Penguasaan

Paragraf 2 Jasa Penyiaran Televisi Pasal 32

Dalam hal ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus bersikap tegas dalam

menindak monopoli dalam penyiaran yang dilakukan oleh PT MNC Tbk. Karena tindakan

monopoli dalam dunia penyiaran televise dapata menyebabkan iklim persaingan yang tidak

sehat. Jika stasiun televisi tidak mematuhi, maka KPI harus memperkarakan pelanggaran

tersebut secara hukum dengan sanksi terberat berupa pencabutan ijin siaran melalui putusan

pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA