6
ABSES Abses adalah pengumpulan eksudat purulen yang terjebak di dalam jaringan yang kemudian membentuk rongga yang secara anatomis sebelumnya tidak ada dengan jaringan fibrotik disekitarnya sebagai respon tubuh terhadap adanya infeksi. Patofisiologi Kejadian abses bermula dari trauma mayor ataupun minor yang diikuti masuknya bakteri . Eksudat kemudian terakumulasi, jika tidak segera diekskresikan atau di absorbsi tubuh, maka akan memicu terbentuknya kapsul fibrous sebagai respon tubuh untuk melokalisir untuk membatasi penyebaran lebih lanjut. Proses abses merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran atau perluasan infeksi ke bagian lain tubuh. Organisme atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat. Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul, oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah pus menginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam pus. Etiologi Penyebab utama terjadinya abses yaitu adanya benda asing yang diikuti bakteri pyogenic. (Staphylococcus Spp, Esceriscia coli, Streptococcus β haemoliticus Spp, Pseudomonas, Mycobakteria, Pasteurella multocida, Corino bacteria, Achinomicetes) dan juga bakteri yang bersifat obligat anaerob (Bakteriodes sp, Clostridium, peptostreptococcus,fasobakterium). Kemungkinan terbentuknya abses meningkat pada: Adanya kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi Daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang

bahan abses

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tatalaksana abses

Citation preview

ABSESAbses adalah pengumpulan eksudat purulen yang terjebak di dalam jaringan yang kemudian membentuk rongga yang secara anatomis sebelumnya tidak ada dengan jaringan fibrotik disekitarnya sebagai respon tubuh terhadap adanya infeksi.

Patofisiologi Kejadian abses bermula dari trauma mayor ataupun minor yang diikuti masuknya bakteri . Eksudat kemudian terakumulasi, jika tidak segera diekskresikan atau di absorbsi tubuh, maka akan memicu terbentuknya kapsul fibrous sebagai respon tubuh untuk melokalisir untuk membatasi penyebaran lebih lanjut. Proses abses merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran atau perluasan infeksi ke bagian lain tubuh. Organisme atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat.Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul, oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah pus menginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam pus.

Etiologi Penyebab utama terjadinya abses yaitu adanya benda asing yang diikuti bakteri pyogenic. (Staphylococcus Spp, Esceriscia coli, Streptococcus haemoliticus Spp, Pseudomonas, Mycobakteria, Pasteurella multocida, Corino bacteria, Achinomicetes) dan juga bakteri yang bersifat obligat anaerob (Bakteriodes sp, Clostridium, peptostreptococcus,fasobakterium).

Kemungkinan terbentuknya abses meningkat pada: Adanya kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi Daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang Individu dengan gangguan sistem imun. Individu dengan gangguan vascular

Gejala Klinis Terbentuk indurasi disertai reaksi inflamasi disekitarnya yang lama-kelamaan terbentuk masa kistik dengan temperatur yang lebih hangat dibandingkan jaringan sehat dan hiperemi. Pada palpasi akan didapatkan adanya fluktuasi sebagai akibat banyaknya eksudat yang terbentuk dan berbau busuk. Gejala sistemik yang dapat terjadi adalah demam. Gejala local yang bisa timbul adalah: adanya masa nyeri teraba hangat pembengkakan kemerahan Jika masih ragu, lakukan aspirasi dengan spuit berjarum besar di daerah yang paling fluktuatif.

Pada pemeriksaan laboratorium bisa menunjukan peningkatan leukosit.

Terapi Terapi utama adalah drainase. Drainase dilakukan dengan menginsisi bagian yang paling fluktuatif dan dinding yang paling tipis. Adakalanya terbetuk septa-septa dalam satu abses sehingga diperlukan multiple insisi. Pemberian antibiotik idealnya adalah sesuai dengan tes kultur dan resistensi, namun mengingat hasil kultur setidaknya membutuhkan waktu 3 hari, maka diberikan antibiotik broad spectrum sesuai pola kuman penyebab terbanyak dan pola resistensi yang berbeda di setiap daerah. Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA) yang didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat melalui komunitas, digunakan antibiotik lain: klindamisin, trimethoprim-sulfamethoxazole, doksisiklin. Klindamisin diberikan dengan dosis 150mg setiap 6 jam pada dewasa dan anak-anak dengan dosis 8-16 mg/kg/hari dalam dosis terbagi 3 selama 5-10 hari. Klindamisin efektif untuk infeksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob, Streptococcus spp, Pneumococcus spp, dan Staphylococcus spp. Kontraindikasi penggunaan klindamisin pada hipersensitif atau alergi terhadap klindamisin dan linkomisin. Keamanan pada ibu hamil dan menyusui tidak diketahui secara pasti. Pada bayi dan neonates harus monitor sistim organ.Efek samping pada penggunaan klindamisin adalah: Saluran pencernaan: mual, muntah, diare Reaksi hipersensitif: rash, urtikaria, pruritus Hati: ikterik, peningkatan SGOT dan SGPT Darah: leukopenia, eosinofilia, trombositopenia Musuloskeletal: poliatritis ginjal: proteinuria, oligouria

Cotrimoxazole (Trimethoprim-sulfamethoxazole) diberikan dengan dosis (160mg/800mg) setiap 12 jam selama 5-10 hari pada dewasa. Dosis pada anak-anak adalah usia 6mg-6 bulan: 120 mg setiap 12 jam usia 6 bln -6 tahun: 240 mg setiap 12 jam usia 6- 12 tahun: 480mg setiap 12 jam

Cotrimoxazole adalah antibiotik yang merupakan kombinasi Sulfamethoxazole dan Trimethoprim dengan perbandingan 5 : 1. Kombinasi tersebut mempunyai aktivitas bakterisid yang besar karena menghambat pada dua tahap sintesis asam nukleat dan protein yang sangat esensial untuk mikroorganisme. Cotrimoxazole mempunyai spektrum aktivitas luas dan efektif terhadap bakteri gram-positif dan gram-negatif, misalnya Streptococcus spp, Staphylococcus spp, Pneumococcus spp, Neisseria spp,. Klebsiella, Shigella dan Vibrio cholerae. Cotrimoxazole juga efektif terhadap bakteri yang resisten terhadap antibakteri lain seperti H. influenzae, E. coli. P. mirabilis, P. vulgaris dan berbagai strain Staphylococcus spp.Kontraindikasi pada pemakaian cotrimoxazole: Penderita dengan gangguan fungsi hati yang parah, insufisiensi ginjal, wanita hamil, wanita menyusui, bayi prematur atau bayi berusia dibawah 2 bulan. Penderita anemia megaloblastik yang terjadi karena kekurangan folat. Penderita yang hipersensitif/alergi terhadap trimetoprim dan obat-obat golongan sulfonamida.Efek samping pada pada pemakaian cotrimoxazole: Efek samping jarang terjadi pada umumnya ringan, seperti reaksi hipersensitif/alergi, ruam kulit, sakit kepala dan gangguan pencernaan misalnya mual, muntah dan diare. Leukopenia, trombositopenia, agranulositosis, anemia aplastik, diskrasia darah. Walaupun sifatnya jarang dapat terjadi reaksi hipersensitivitas yang fatal pada kulit atau darah seperti sindrom Steven Johnson, toxic epidermal, necrosis fulminant, hepatic necrosis.

Doksisiklin merupakan antibiotik sintetik / buatan spektrum luas yang merupakan turunan dari oksitetrasiklin. Fungsi utamanya adalah sebagai bakteriostatik / penghambat pertumbuhan bakteri dengan cara menghambat sintesis protein bakteri. Doksisiklin hanya menghambat bakteri yang membelah secara cepat. Secara umum, obat ini diserap hampir sempurna setelah konsumsi, dan kelebihannya adalah obat ini tidak dipengaruhi penyerapannya oleh susu atau makanan.Dosis doksisiklin adalah: Dewasa dan anak lebih dari 8 tahun dengan berat badan 45 kg atau lebih : Hari pertama 200 mg dibagi dalam 2 dosis setiap 12 jam dilanjutkan dengan 100 mg/hari. Pengobatan harus dilanjutkan minimal 1-2 hari setelah tanda-tanda dan gejala infeksi menghilang. Anak-anak lebih dari 8 tahun dengan berat badan kurang dari 45 kg : hari pertama 4,4 mg/kgBB/hari terbagi dua dosis setiap 12 jam, selanjutnya 2,2 mg/kgBB 1 kali sehari atau dalam 2 dosis setiap 12 jam. Untuk infeksi berat dapat diberikan 2,2 mg/kgBB setiap 12 jam.

Efek samping yang terjadi biasanya berhubungan dengan dosis doksisiklin yang tinggi. Saluran pencernaan merupakan organ yang paling sering terkena efek ini. Mual, muntah, diare, radang pada lidah, sulit menelan, radang pada usus dengan pertumbuhan jamur pada usus merupakan beberapa efek samping yang dapat ditemui. Kelainan pada kulit seperti kemerahan, gatal juga ditemui pada pasien yang ternyata memiliki alergi terhadap komponen doksisiklin. Pada kasus jarang, kelainan darah seperti trombositopenia, anemia hemolitik, eosinofilia juga dapat ditemui sebagai efek dari konsumsi doksisiklin. Alergi / hipersensitivitas terhadap komponen obat merupakan kontraindikasi mutlak dari penggunaan doksisiklin. Doksisiklin juga sebaiknya tidak digunakan pada ibu hamil karena dapat menyebabkan pewarnaan pada gigi janin yang permanen. Selain itu, juga pernah dilaporkan adanya gangguan pertumbuhan tulang pada janin. Penggunaannya doksisiklin juga tidak disarankan pada ibu yang menyusui karena doksisiklin dikeluarkan juga pada air susu.

Teknik Operasi 1. Tindakan a dan antiseptik, jika abses setelah pecah, maka mulai painting dari arah luar kedalam (bagian yang kotor diusap terakhir).2. Drepping3. Anestesi dengan chlor ethyl topical(disemprot)4. Siapkan kasa dan neerbeken untuk menampung eksudat5. Insisi dengan pisau no 11, kemudian lebarkan dengan klem

6. Tekan sampai pus/eksudat minimal

7. Lakukan debridement jaringan nekrotik dengan kuret atau kasa.8. Irigasi dengan NaCl 0,9 % sampai jernih 9. Bilas dengan H2O210. Cuci dengan antisetik povidon iodine (betadin), chlorhexidin (savlon) dll11. Jika kemungkinan eksudat masih ada atau diperkirakan masih produktif sebaiknya dipasang drain (dengan penroos drain atau potongan karet hand scoon steril)12. Rawat sebagai luka terbuka (tidak dijahit)