Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
SERIAL KEPUSTAKAAN
SEL PINEALOSIT DALAM KELENJAR PINEAL
LEMBAR PENGESAHAN
oleh:
dr. Gede Wirata, S.Ked
(1991280520170112001)
BAGIAN ANATOMI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2017
6
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nya artikel kepustakaan yang berjudul “Sel Pinealosit dalam Kelenjar
Pineal” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Tulisan kepustakaan ini disusun dalam perencanaan dasar untuk
pengembangan karya tulis bagian antomi sebagai salah satu bacaan bagi maasiswa
baru yang berminat pengetahuan mikroanatomi. Dalam penyusunan tulisan ini,
berbagai bantuan, petunjuk serta saran dan masukan penulis dapatkan dari banyak
pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Pihak Dekanat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan
yang telah diberikan, baik secara moral maupun material.
2. Tim Departemen Anatomi FK UNUD yang kami hormati, atas masukan
dan bimbingan atas kajian ilmu lama untuk dikembangkan kembali.
3. Seluruh civitas akademika Universitas Udayana, yang penulis banggakan,
dan pihak-pihak yang turut mendukung baik secara moral maupun
material, yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya,
kritik dan saran yang bersifat membangun, sangat penulis harapkan dalam rangka
penyempurnaan. Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat
bagi perkembangan dunia pendidikan, kesehatan dan pengetahuan secara luas.
Denpasar, 10 Januari 2018
Penulis
7
DAFTAR ISI
Isi Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
BAB II PINEAL DARI SEGI MIKROANATOMIS ................................. 2
2.1 Kelenjar Pineal ................................................ .............................. 2
2.1.1 Anatomi Kelenjar Pineal .................. .............................. 2
2.1.2 Vaskularisasi .................................... .............................. 3
2.1.3 Inervasi Saraf ................................... .............................. 5
2.1.3.1 Inervasi Simpatetik............... .............................. 5
2.1.3.2 Inervasi Sentral Parasimpatetik .......................... 5
2.1.4 Fisiologi Kelenjar Pineal ................................................. 6
2.1.4.1 Biosintesis dan Metabolisme Melatonin ............. 7
2.1.4.2 Kontrol Terang-Gelap ......................................... 10
2.1.4.3 Produk Pineal Lainnya ........................................ 13
2.2 Histologi Pinealosit ...................................................................... 13
BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia kedokteran dewasa ini sangat mendukung terhadap peningkatan
kualitas kesehatan dan daya hidup manusia. Hal ini disebabkan banyaknya
penemuan-penemuan baru cara pengobatan maupun pencegahan berbagai penyakit.
Bahkan sebelum era keemasan abad ke-18 pun banyak tokoh-tokoh maupun saintis
yang banyak berjasa terhadap tendensi kemajuan IPTEK akhir-akhir ini, khususnya
perkembangan ilmu pengetahuan kelenjar pineal atau pineal body.
Kelenjar pineal juga disebut badan pineal, epiphysis cerebri, atau juga disebut
"mata ketiga" oleh kalangan praktisi supranatural.2 Kelenjar pineal umumnya
memproduksi hormon melatonin yang merupakan derivat triptofan. Hormon
melatonin dihasilkan dalam suasana gelap atau malam hari. Produksi melatonin juga
meningkat bila seseorang tidur dalam keadaan lampu padam serta meditasi menutup
mata. Pada tradisi spiritual tertentu, fungsi fisiologis kelenjar pineal dikaitkan dengan
ide sebagai jembatan yang menghubungkan dunia fisik dan rohani, juga mengontrol
berbagai bioritme tubuh. Pineal bekerja selaras dengan kelenjar hipotalamus yang
mengarahkan haus, lapar, hasrat seksual tubuh dan jam biologis yang menentukan
proses penuaan manusia.1
Berkaitan dengan serangkaian peran pineal yang besar demikian, para
pembaca yang belum memahami betul tentang konsep dasar pabrik pineal tersebut
akan bertanya-tanya apakah itu kelenjar pineal dan mengapa jarang diterangkan
secara mendalam dalam pendidikan sekolah hingga perkuliahan dasar pun. Memang
pada kenyataannya penelitian demi penelitian mengenai pineal sangat sedikit, bukan
berarti terbatas. Ruang lingkup yang dicari adalah fungsi-fungsi melatonin yang luas
dalam tubuh. Tanpa memahami rumah melatonin tersebut, tidak berimbang rasanya
bila hanya memorsir mencerna kerja melatonin. Berikut penulis membangun konsep
kembali ilmu anatomi pineal yang sudah lama mengendap menjadi sesuatu yang
harus diketahui mendalam.
2
BAB II
PINEAL DARI SEGI MIKROANATOMIS
2.1 Kelenjar Pineal
Banyak penelitian internasional yang telah mengembangkan aktivitas
kelenjar Pineal, meliputi penelitian dari segi anatomi3,4
, histologi5, fisiologi
6, dan
peran farmakologi kelenjar Pineal pada era sebelum 70-an.7 Keseluruhan
penelitian tersebut mengkerucut pada peran kelenjar Pineal yang berkaitan erat
dengan aksis neuroendokrin-reproduksi8, peran maturasi seksual
9, peran luas
melatonin dalam dunia onkologi10-12
, peran fotoperiodik dalam irama
sirkadian13,14
, peran refleks vestibulosimpatis15
, mekanisme tidur, perkembangan
ilmu human mood disorders, mekanisme antistressogenik dalam sistem
hipotalamo-hipofiseal-adrenal, dan fungsi lain yang belum terjamah dunia sains
yakni kelenjar Pineal yang dikaitkan dengan ‘kursi jiwa’ atau mata ketiga dalam
fenomena spiritual serta modulasi intuisi.16
Selain itu, penemuan penting
mengenai aktivitas kelenjar Pineal lainnya seperti: jalur saraf dalam kaskade
sinyal fototransduksi4 dan penemuan kalsifikasi kelenjar Pineal serta stimulasi
Solar Flare.
Gambar 1. Klasifikasi organ pineal mamalia17
2.1.1 Anatomi Kelenjar Pineal
Terdapat variabilitas morfologi kompleks dalam organ pineal mamalia,
baik intra maupun interspesies. Variabilitas tersebut mencerminkan perbedaan
3
adaptif spesifik masing-masing spesies dalam fungsi pineal, seperti halnya respon
individu terhadap faktor lingkungan (misalnya, musi tahunan atau waktu harian).
Dari beberapa upaya yang dilakukan dalam klasifikasi anatomi, klasifikasi
Vollrath (2011) yang paling sering dikutip (Gambar 1). Hal ini didasari pada
posisi organ relatif terhadap diencephalon dan ventrikel ketiga, serta pada bentuk
dan ukuran pineal. Pineal tipe A terletak proksimal pada aspek posterior
diencephalon yang bersentuhan langsung dengna cairan CSF pada ventrikel ketiga
dan dilalui serabut saraf dari SSP, sedangkan pineal yang memanjang mencapai
diencephalon menuju dekat cerebellum merupakan tipe proksimo-intermediet-
distal (atau tipe ABC). Di antara tipe A dan ABC, terdapat tipe AB dimana
panjang organ pinealnya bertambah 2 kali ukuran lebarnya. Bila terdapat
penurunan ukuran bagian pineal, maka penulisan huruf Latin digantikan menjadi
huruf Yunani. Misalnya, tipe αβC mengisyaratkan bahwa ukuran bulk atau
gelembung organ pineal besar dan terletak pada bagian distal atau posisi
superfisial, sedangkan bagian proksimal dan intermedietnya menipis. Tipe αC
merupakan ciri bahwa bagian parenkim intermediet pineal tereduksi, seperti
halnya pada pineal hamster.17
Kelenjar pineal manusia diklasifikasikan sebagai tipe A.17
Posisinya
sekitar 1-2 mm dari garis tengah membuat sebuah titik referensi yang ideal
sebagai bidang midsagittal. Pineal tersebut mulai berkembang di bulan kedua
kehamilan, sebagai perlekukan dari ependyma yang melapisiaspek diencephalic
dari ventrikel ketiga, antara habenular dan commissura posterior, yang
mempertahankan jembatan (pineal stalk) yang terdiri dari lamina rostral dan
caudal (Gambar 2). Dengan demikian pineal(yang dikelilingi oleh lapisan pial)
terbenam di dalam pineal resess yang berisi cairan CSF, tepat di bawah splenium.
Rata-rata panjang kelenjar pineal orang dewasa 5-9 mm, lebar 1-5 mm,
danketebalan 3-5 mm; berat rata-rata pineal pada orang dewasa sekitar 100-180
mg, dengan sedikit variasi terkait dengan usia atau jenis kelamin.18
2.1.3 Vaskularisasi
Diperkirakan bahwa dalam pineal tikus, aliran darah (4 ml/menit/g) lebih
tinggi daripada di dalam kelenjar endokrin lainnya, termasuk ginjal. Pineal
4
mamalia, termasuk manusia, kaya akan vaskularisasi (Gambar 2). Pineal
menerima suplai darah berlebihan dari cabang arteri koroid posterior (termasuk
cabang-cabang quadrigeminal, talamik, posteromedial, dan posterolateral) yang
berasal dari arteri serebral yang tentu saja melalui aspek posterior dari
mesensefalon. Alirannya ke dalam sinus langsung melalui vena jalur pendek yang
bermuara ke vena serebral internal dan vena basalis Rosenthal, yang membentuk
vena serebral Galen. Vena dan arteri sering masuk ke jaringan pineal melalui
hilum vaskular sebagai pembuluh yang berpasangan. Keberadaan sistem kapiler
internal ditandai oleh jaringan kapiler besar dan sinusoid di dalam septa yang
memisahkan lobulus yang terletak di pusat kelenjar tersebut, sedangkan daerah
tepi menyajikan jaringan pembuluh darah lebih sedikit dan lebih tipis. Pada
kebanyakan mamalia, termasuk tikus dan manusia, pineal adalah organ
circumventricular yang kurang diselubungi oleh sawar darah-otak, dan bereaksi
terhadap aksi obat langsung pada bagian tepinya.19
Gambar 2. Bagian mikrostruktur anatomi kelenjar pineal.2
2.1.4 Inervasi Saraf
Serabut saraf simpatis dan parasimpatis, serabut yang berasal dari sistem
saraf pusat, menginervasi kelenjar pineal Mamalia (Gambar 2). Meskipun kelenjar
pineal sebagai bagian dari forebrain yang terletak dekat ke arah midbrain, struktur
kelenjar pineal berbeda dengan struktur otak lainnya dalam penerimaan saraf
aferen dari otak sendiri. Saraf yang paling penting adalah serabut simpatis pasca
ganglion tak bermielin yang berasal dari ganglia servikal superior (SCG, superior
5
cervical ganglia) dan membentuk nervus conarii bilateral, yang berjalan rostral
sepanjang vena Galen sebelum memasuki pineal posterior. Jalur aferen lain
memasuki pineal anterior melalui commissura pedunculus, dengan serabut yang
lebih banyak pada habenular daripada commissura posterior. Serabut saraf ketiga
(bermielin), “traktus pineal ventro-lateral”, disebut sebagai traktus yang berasal
dari regio pretektal posterior dan lateral menuju komisura posterior; Namun,
tidak diketahui traktus manakah yang bersifat pinealofugal atau pinealopetal atau
keduanya. Traktus aferen tunggal tidak bermielin (midline tract) yang berasal dari
batang otak pada area tektal rostral ditemukan dalam fetus manusia pada
pertengahan kehamilan. Kebanyakan terminal saraf tidak mengadakan kontak
hubungan dengan pinealosit, tetapi ditemukan di ruang perivaskular dan dekat
penjuluran pinealosit.20
2.1.4.1 Inervasi Simpatetik
Pada manusia dan mamalia lainnya, studi yang paling berkembang dan
terbaik untuk mempelajari persarafan pineal adalah jalur simpatis noradrenergik
(NE) yang dibentuk oleh sel tubuh yang terletak di SCG dan mencapai pineal
melalui saraf conarii. Neuron pascaganglion ini menerima input regulasi dari
suprachiasmatic nucleus (SCN) hipotalamus, yang pada gilirannya menerima
input langsung dari sel-sel ganglion retina melalui traktus retinohipothalamikus
monosinapsis. Neuropeptida Y (NPY) terlokalisasi dengan NE dalam serabut
simpatis pascaganglion pada kebanyakan mamalia, dan memodulasi transmisi
noradrenergik, baik melalui prasinaps maupun pascasinaps20
.
2.1.4.2 Inervasi Sentral, Parasimpatetik, dan Peptidergik
Ada bukti kuat bahwa serabut saraf sentral memasuki kelenjar pineal
manusia melalui habenular, komisura posterior dan pineal stalk. Serabut ini
berasal dalam hipotalamus, limbik, dan struktur visual pada kebanyakan mamalia
lainnya, dan tampaknya mengandung berbagai peptida (substansi P, vasopressin,
oksitosin atau neurophysins) pada monyet. Penemuan ini mengemukakan bahwa
peptida tersebut analog dengan serabut neurosekretorik yang ditemukan pada
6
hipofisis. Namun, sejauh ini pengetahuan serabut saraf tersebut belum ditelusuri
sepenuhnya pada manusia.20
Demikian pula, persarafan parasimpatis pada pineal belum diselidiki
secara menyeluruh pada manusia. Srabut yang mengandung neurotransmitter
utama dalam neuron parasimpatis, asetilkolin (Ach), telah ditemukan pada
beberapaspesies mamalia, termasuk sapi dan tikus. Pineal manusia memiliki
sekelompok sel interneuron atau sel intrapineal yang menunjukkan aktivitas
asetilkolinesterase pada monyet. ‘Neuron pineal’ manakah yang dianggap sebagai
sel-sel ganglion parasimpatis otonom sejati masih kontroversial. Ada beberapa
bukti bahwa serabut parasimpatis yang berasal dari ganglia pterygopalatine
mamalia mengandung vasoactive intestinal peptide (VIP) dan neuropeptida
lainnya. Pada manusia, ada spekulasi bahwa ganglia Marburg dan Pastori, yang
terletak di luar parenkim pineal, utamanya di atas dan di dalam vena Galen,
mungkin bagian dari rangkaian parasimpatis pineal.20
Selain NPY yang terlokalisasi dengan NE dalam serabut simpatis, banyak
peptida lainnya ditemukan dalam serabut saraf yang berakhir di perivaskular dan
area intraparenkimal primata selain manusia dan mamalia lainnya, termasuk:
substansi P, vasopressin, oksitosin, dan luteinizing releasing hormone. Tidak
diketahui di mana peptida tersebut berasal. Percobaan pada hewan pengerat
melacak serabut saraf yang imunoreaktif terhadap VIP dalam ganglion
pterigopalatina, SCG, dan paraventricular nucleus (PVN) hipotalamus; PVN juga
mengandung vasopressin dan oksitosin pada badan sel saraf ditemukan dalam
pineal, sementara substansi P berasal habenula.20
2.1.5 Fisiologi Kelenjar Pineal
Kelenjar pineal dikatakan kursi jiwa, juga disebut sebagai Third Eye.
Kelenjar kecil ini diyakini terlibat dalam pencapaian tingkat kesadaran yang lebih
tinggi, bertindak sebagai gerbang ke dimensi di luar realita. Dari ratusan
penelitian, ternyata ada hal yang menarik berkaitan dengan kecerdasan intuitif dan
kecerdasan spiritual dengan keberadaan beberapa hormon di kelenjar pineal
tersebut. Hormon-hormon itu adalah: Melatonin, Pinolin, Hormon 5-Meo-DMT,
Dimethyltryptamin (DMT).
7
Melatonin memiliki dua reseptor yaitu MT1 dan MT2 yang merupakan
reseptor – reseptor membran yang memiliki tujuh domain membran dan termasuk
dalam keluarga besar dari reseptor berpasangan protein G. Aktivasi dari reseptor
ini akan menginduksi berbagai respon yang dimediasi oleh protein G.21
Sementara di dalam sitosol, melatonin berinteraksi dengan kalmodulin.
Nuclear binding receptors telah diidentifikasi di dalam limfosit dan monosit
manusia.7 Sekresi melatonin menngikuti irama sirkadian dan dapat dipengaruhi
oleh siklus terang – gelap, dimana pada kondisis gelap pinealosit akan mensekresi
melatonin. Sekresi melatonin dimulai pada pukul 22.00 – 23.00 dan memuncak
pada 03.00 – 04.00. Konsentrasi terendah melatonin didapatkan pada pukul 07.00
– 09.00 pagi. Konsentrasi melatonin sangat bergantung pada umur. Bayi yang
berumur kurang dari 3 bulan mensekresi melatonin dalam jumlah yang sangat
kecil dan menjadi teratur setelah 3 bulan kelahiran. Sekresi melatonin pada bayi
berumur kurang dari 3 bulan belum optimal. Sekresi ini menjadi semakin teratur
setelah usia 3 bulan yang kemudian meningkat mengikuti irama sirkadian pada
usia 5 – 6 bulan. Sekresi melatonin tertinggi (rata – rata 250 pg/ml) adalah pada
umur 1 – 3 tahun. Mendekati usia pubertas, sekresi melatonin akan mulai
berkurang. Pada orang dewasa muda normal, rerata sekresi melatonin pada siang
hari berkisar pada 10 pg/ml dan 60 pg/ml pada malam harinya. Siklus harian
melatonin sebanding dengan siklus pagi hingga malam dan bertahan pada subjek
normal jika menetap di suasana gelap.
2.1.5.1 Biosintesis dan Metabolisme Melatonin
Pineal sudah lama dianggap sebagai organ sekretori, dan sebutan lain
'faktor pineal' dan 'ekstrak' telah digunakan dalam penelitian dan klinis selama
lebih dari satu abad. Namun, tidak sampai tahun 1958, salah satu 'faktor' diisolasi
dan diidentifikasi dalam pineal sapi sebagai indolamin N-asetil-5-met-
oksitriptamin. Substansi tersebut dinamakan 'Melatonin' karena kemampuannya
untuk mempengaruhi melanofor kulit katak dan reaksi kimianya terhadap
serotonin (5-HT, 5-hidroksitriptamin). Melatonin merupakan produk yang paling
penting dan sangat baik dipelajari dari semua produk pineal, meskipun beberapa
indol dan peptida lain disintesis dan disekresi oleh kelenjar pineal mamalia.22
8
Axelrod (2010) telah menunjukkan bahwa pinealosit memuat semua
mesin yang diperlukan untuk sintesis melatonin.23
Kaskade biokimianya terlampir
pada Gambar 7. Pinealosit mengambil triptofan dari darah dan mengubahnya
menjadi serotonin melalui hidroksilasi dan dekarboksilasi; serotonin kemudian
dikonversi menjadi N-acetil-serotonin oleh enzim N-acetil transferase (NAT); N-
acetil-serotonin dimetilasi menjadi melatonin oleh enzim hidroksiindol-O- metil
transferase (HIOMT).24
Melatonin adalah molekul yang sangat lipofilik, serta memiliki sifat
hidrofilik; pada biosintesisnya dilepaskan ke dalam kapiler, hingga 70%-nya
terikat albumin. Paruh waktunya dalam darah setelah infus intravena sekitar 30
menit, tapi pola eliminasi bifasik dengan waktu paruh sekitar 3 dan 45 menit juga
telah diamati setelah pemberian oral. Melatonin dimetabolisme terutama di hati
tetapi juga di ginjal, menjalani hidroksilasi dan kemudian konjugasi ke dalam
bentuk sulfat dan glukuronida. Patologi hati dan ginjal (misalnya, sirosis dan
gagal ginjal kronis) diketahui mengubah clearance rates. Pada manusia, metabolit
utamanya adalah 6-sulfatoksimelatonin (aMT6s); konsentrasi urin meningkat
sampai 90% setelah administrasi melatonin.
Selain darah, air liur, dan urin, melatonin juga terdeteksi dalam CSF
mamalia, termasuk primata, di mana konsentrasinya jauh lebih tinggi daripada di
dalam darah, dan di ruang anterior mata, dengan kadar ekuivalen dengan kadar di
dalam darah, kemungkinan karena produksi oleh badan siliar. Seperti yang
dilansir oleh Cagnacci dalam Maachi (2004), melatonin juga ditemukan di dalam
cairan terkait reproduksi, seperti semen, air ketuban, dan ASI, serta dalam folikel
preovulasi. Kadar melatonin terdeteksi dalam plasma, CSF, air liur dan urin
menggunakan teknik terbaru yang dieliminasi melalui pinealektomi.
9
Gambar 3. Struktur kimia dan sistesis melatonin ( dikutip atas ijin Arendt dalam Maachi, 2004)
Dua subtipe reseptor melatonin (Mel1a dan Mel1b juga disebut MT1 dan
MT2) telah teridentifikasi pada manusia, berdasarkan afinitas pengikatan
(pikomolar atau nanomolar) dan lokalisasi kromosom (kromosom 4q35 atau
11q21-22). mRNA MT1 telah terdeteksi dalam SCN hipotalamus, yang
mengontrol produksi ritmis melatonin dari kelenjar pineal. Reseptor MT1 dan
MT2 telah ditemukan dalam otak kecil dan dalam sel batang, amakrin horizontal,
dan sel ganglion retina. Selain itu, protein yang 45% identik dengan reseptor MT1
dan MT2 ditemukan dalam hipotalamus manusia dan hipofisis. Protein ini
dikodekan oleh G-protein coupled receptor (H9) dengan ligan yang tidak
diketahui, yang dikloning dari kelenjar pituitari manusia. Di luar SSP, reseptor
melatonin manusia terletak pada limfosit, sel epitel prostat, sel granulosa dari
folikel preovulasi, spermatozoa, dalam lapisan mukosa/submukosa usus
besar dan pada trombosit. Bahkan dengan tidak adanya reseptor, molekul
melatonin yang sangat difus memberikan efek sistemik pada tingkat sel yang
paling dasar, dengan memodulasi fungsi sitoskeletal dan mitosis melalui ikatan
dengan kalmodulin.
Melalui metode radioimmunoassay (RIA), rata-rata produksi melatonin
pada orang dewasa yang sehat diperkirakan sebesar 28,8 μg/hari, dan sebesar 39,2
10
μg/ malam pada kelompok orang-orang muda yang sehat dan 14,8 μg/ malam
pada kelompok wanita dalam fase folikuler dari siklus menstruasi. Demikian pula,
teknik spektrometri massa-kromatogrrafi gas menunjukkan konsentrasi plasma
harian yang sedikit lebih rendah pada wanita (21,6 μg) dibandingkan pada pria
(35,7 μg), dengan laju sekresi konstan pada malam hari (μg/jam: 4.6 pada laki-
laki, 2,8 pada wanita) dan tidak ada perbedaan yang berkaitan dengan usia.
Waktu, durasi dan jumlah produksi melatonin nokturnal, menunjukkan perbedaan
individual, sehingga konsentrasi yang sangat rendah dapat diamati pula bahkan
pada individu yang sehat maupun individu muda. Produksi melatonin bebas
kondisi tidur-bangun. Paparan medan elektromagnetik, digunakan untuk
merangsang aktivitas pineal tikus, tampaknya memiliki sedikit atau tidak berefek
pada produksi melatonin manusia. Melatonin, bagaimanapun, dipengaruhi oleh
latihan dan perubahan postural, dengan konsentrasi plasma nokturnal dan saliva
menurun ketika bergerak dari posisi berdiri ke posisi terlentang dan sebaliknya.
2.1.5.2 Kontrol Terang-Gelap dan Irama Sirkadian dari Melatonin
Perpaduan faktor regulasi yang paling menonjol dalam produksi
melatonin pineal adalah pergantian harian cahaya dan malam. Kadar melatonin
yang tinggi pada malam hari dibandingkan siang hari pada semua organisme
dipelajari sejauh ini, terlepas dari pola aktivitas dan istirahat manusia. Pada
manusia sehat, konsentrasi melatonin plasma mulai naik dari nilai ambang
(umumnya = 5 pg/ml) pada malam hari, mencapai tingkat maksimum di tengah
malam dan mulai menurun lagi sebelum kebiasaan waktu bangun.
Dalam kondisi pencahayaan diurnal yang normal pola ini sangat stabil di
siang hari, dan profil melatonin nokturnal dianggap sebagai penanda fase yang
sangat reliable dari sistem waktu endogen. Dengan tidak adanya informasi
lingkungan terang-gelap (eksperimen terinduksi atau blindness), tingkat melatonin
bervariasi dengan periodisitas sedikit berbeda selama 24 jam ('sirkadian'). Irama
sirkadian dari melatonin digerakan secara endogen. Irama ini menghilang bila ada
lesi pada SCN, yang mengindikasikan input dari pemacu sirkadian endogen
utama, terletak di SCN, diperlukan untuk keberadaan dan sinkronisasi dengan
siklus eksternal siang-malam.
11
Sinyal fotik retina mencapai SCN melalui saluran retinohipotalamikus
monosinaptik (RHT), yang berasal dari subset kecil sel ganglion retina. Pada
mamalia, termasuk manusia, sel ganglion ini terbukti mengandung dasar
fotopigmen, melanopsin, dinamakan demikian karena pertama terisolasi dari
melanofor dermal kulit katak. sel ganglion yang mengandung melanopsin bersifat
fotoreseptif secara intrinsik, dan sangat sensitif terhadap cahaya dengan panjang
gelombang pendek 484 nm. Fakta bahwa penekanan yang diinduksi cahaya
terhadap produksi melatonin pineal pada manusia juga menunjukkan puncak
sensitifitas terhadap panjang gelombang pendek dengan kuat menunjukkan
bahwa sel-sel ganglion yang mengandung melanopsin terlibat dalam transmisi
input cahaya ke dalam pineal. Memang, penelitian pada hewan telah menunjukkan
bahwa melanopsin diperlukan untuk beberapa fungsi visual tak berbentuk,
termasuk ritme sirkadian photoentrainment, refleks cahaya pupil, dan supresi
melatonin dengan dukungan cahaya. Namun, pada hewan yang kekurangan
melanopsin, hal tersebut tidak sepenuhnya terganggu, yang menunjukkan bahwa
sel ganglion yang mengandung melanopsin pada origin RHT juga dapat
menerima dan mengirimkan input fotik dari fotoreseptor klasik, sel batang dan sel
kerucut.
Rangsangan GABA-ergik dari SCN mencapai subdivisi parvoselular
PVN. Saraf eferen dari PVN berjalan melalui berkas medial otak depan dan
formasi retikular dan memproyeksikannya menuju kolumna intermediolateral
(ILM) dari sumsum tulang belakang servikal, di mana serabut adrenergik
preganglion lalu mengirimkan rangsangan ke SCG; serabut adrenergik pasca
ganglion mencapai pineal dari SCG, dan melepaskan NE (Gambar 4).
Pada Gambar 5 menampilkan reseptor β-adrenergik pada pinealosit yang
diaktifkan oleh keluarga subunit protein G, dan pada gilirannya merangsang
produksi adenilat siklase. Reseptor α1-adrenergik mempotensiasi aktivitas β-
adrenergik melalui peningkatan tajam aktivitas Ca2+
dan aktivasi protein kinase
C (PKC) dan prostaglandin. Pada akhirnya, stimulasi sinergis α1 dan β-adrenergik
menghasilkan peningkatan cAMP intraseluler, yang meningkatkan produksi N-
asetiltransferase (NAT).
12
Gambar 4. Sistem neural meregulasi N-asetiltransferase (NAT) pineal pada tikus. Stimulus
cahaya dideteksi oleh mata, membangun sinyal yang ditransmisikan melalui traktus
retinohipotalamikus menuju SCN (nukleus suprakiasmata), yang berisi circadian clock. Lintasan
neuralnya meliputi paraventricular nucleus (PVN), kolumna intermediolateral (IML), superior
cervical ganglion (SCG), dan kelenjar Pineal (dikutip atas ijin Takahashi dalam Maachi, 2004).
Gambar 5. Regulasi adrenergik dalam biosintesis melatonin dan ekspresi gen ICER dalam sel
kelennjar Pineal (dikutip atas ijin Takahashi dalam Maachi, 2004). AC, adenilat siklase; G protein;
PKC, protein kinase C; PLC, phospholipase C; CRE, cAMP-responsive element; CREBP, CRE-
binding protein; NAT, N-acetyltransferase; HIOMT, hydroxyindole-O-methyltransferase; CREM
P2, CREM gene P2 promotor. Tanda panah kuning menandakan interaksi.
Pada tikus, aktivasi gen inducible cAMP early represor (ICER), yang
dapat di autoregulasi secara negatif, adalah mekanisme kontrol untuk membatasi
13
produksi melatonin nokturnal. Pada mekanisme pengaturan parasimpatis,
berdasarkan pengamatan pinealosit tikus yang mampu mengungkapkan semua
elemen dari sistem glutamatergik, pemberian glutamat dapat menghambat
aktivitas NAT; di samping itu, Ach dapat memicu eksositosis yang dimediasi
mikrovesikel glutamat dan menghambat sintesis NE yang distimulasi cAMP.
2.1.5.3 Produk Pineal Lainnya
Selain melatonin, beberapa indol aktif secara fisiologis ada dalam
kelenjar pineal mamalia, termasuk 5-metoksitriptofol, yang menampilkan ritme
sirkadian yang seperti halnya melatonin. Namun, sedikit penelitian yang pernah
dilakukan terkait sintesis dan kejelasan fisiologisnya. Selain neurotransmitter
yang telah disebutkan di atas dan VIP, banyak peptida non-indol lainnya telah
terdeteksi dalam pineal, dan sering terkait dengan fungsi reproduksi. Beberapa
terkait dengan persarafan peptidergik pineal, termasuk vasopressin (VP), oksisitin,
VIP, NPY, peptida histidine isolecine (PHI), calsitonin gen-related peptide
(CGRP), substnasi P, dan somatostatin.22
2.2 Histologi Pinealosit
Secara mikroskopis, kelenjar Pineal terdiri dari dua jenis sel, yaitu: sel
pinealosit dan sel astroglia. Pinealosit, bersifat basofilik, berukuran besar, inti
reguler, dan banyak mitokondria. Sel ini yang bertugas memproduksi melatonin
(derivat triptofan). Astroglia, memiliki prosesus sitoplasmik yang panjang,
ditemukan pada area perivaskular, dan di antara pinealosit.25
Pineal manusia sering digambarkan sebagai kelenjar dengan inti pusat
yang terdiri dari lobulus dan korteks atau tepi dengan distribusi neuron yang lebih
merata. Pinealosit manusia memiliki inti yang menonjol dan tampak granular,
dengan penjuluran sitoplasma yang berakhir pada pedunkulus proksimal dan
disajikan ke kapiler, sebuah ciri konfigurasi dari kelenjar endokrin (Maachi,
2004). Neuroglia (sebagian besar astrosit tetapi juga mikroglia) terdistribusi
merata, dan biasanya ditemukan di sekitar pinealosit dan di celah perifer (Al-
Hussain, 2006).
14
Sementara itu, pinealosit mamalia tidak memiliki kemampuan sensitivitas
cahaya, pinealosit mempertahankan karakteristik fotoreseptor pineal yang
ditemukan pada spesies anamniotik, reptil dan spesies burung, termasuk
imunoreaktivitas terhadap protein fotoreseptor- spesifik seperti rodopsin, S-
antigen, dan recoverin (Kappers, 2009). Keseragaman fotoreseptor lainnya adalah
konsentrasi organel (mitokondria dan kompleks Golgi) pada region anukleus.25
Gambar 6. Gambaran anatomis dan persarafan yang melayani kelenjar pineal. Gambar berikut
disketsa oleh seorang ahli neuroanantomi Jerman pada tahun 1961, Johannes Ariens Kappers,
setelah mendemonstrasikan bahwa kelenjar pineal tikus dewasa sebagian besar dilayani oleh
sistem saraf simpatis yang bermula dari ganglion servikal superior (SCG) yang memasuki
tengkorak sepanjang jalur pembuluh darah pineal dan akhirnya menembus pineal pada bagian
ujung gelembung pineal superior. Sebagian sistem saraf lainnya memasuki kelenjar pineal melalui
pineal stalk yang utamanya parasimpatis. Kelenjar pineal dikelilingi oleh jaringan pembuluh vena
besar, vena Galen, yang memudahkan sekresi pineal ke dalamnya.6
Deposit kapur (acervuli) adalah karakteristik radiografi yang paling dapat
dilihat dengan jelas di dalam pineal. Acervuli tampak pada jaringan parenkim dan
jaringan interseluler sebagai pengerasan lapisan berisi garam kalsium dan
magnesium, hidroksiapatit, dan trace element. Deposit kapur granular muncul
sejak lahir, tapi densitas mereka meningkat seiring usia, bertahan pada usia
dewasa muda.2 Studi radiografi yang pernah dilakukan gagal menunjukkan
15
korelasi antara tingkat kalsifikasi dan fungsi sekresi. Namun, densitas kalsifikasi
yang terdeteksi oleh CT dapat digunakan untuk memperkirakan ukuran jaringan
fungsional, yang telah dilaporkan berkorelasi negatif dengan usia dan dengan
insidens chronic daytime sleepiness dan gangguan tidur. Glial dan kista
ependymal jinak (frekuensi jarang) sering diamati, dan dapat menyebabkan
degradasi morfologi dan fungsional jaringan pineal.26
Populasi pinealosit dklasifikasikan berdasarkan ukuran badan sel dan
nukleus, lobul nukleus, isi sitoplasma dan densitas pewarnaannya, sehingga
ditemukan 3 tipe histologis pinealosit, yaitu:
1. Pinealosit tipe I (light pinealocytes)
Pinealosit tipe I merupakan sel mayoritas dalam kelenjar pineal manusia,
baik anak-anak maupun dewasa (Gambar 7). Selnya berbentuk bundar atau
oval dengan rentang diameter rata-rata 7 hingga 11 μm. Nukleusnya
berbentuk oval atau bundar juga dengan kisaran diameter rata-rata 5,8μm dan
memiliki dinding membran nukleus yang tidak berlipat-lipat secara teratur.
Terdapat pula kondensasi material kromatin di dalam membran dalam (inner
surface) selubung nukleusnya. Sel ini mengandung vesikel-vesikel pada
penjuluran dan terminal sitoplasmiknya.5
Gambar 7. Sel pinealosit tipe I. (a) Membran nukelus yang reguler tanpa lipatan nuklear pada
dua sel (L) pinealosit tipe I; (b) Vesikel (V) dalam penjuluran dan terminal sitoplasma sel
pinealosit tipe I.5
16
2. Pinealosit tipe II (dark pinealocytes)
Sel pinealosit tipe II ini berbentuk oval atau bundar yang memanjang
dengan kisaran diameter rata-rata 7 hingga 12 μm (Gambar 8). Nukelusnya
tidak teratur dan berukuran besar dengan kisaran diameter 6,4 μm. Sejumlah
lipatan membran nukleus ditemukan dengan bantuan mikroskop cahaya
maupun mikroskop elektron. Terdapat invaginasi pada bagian sitoplasmanya
yang masuk ke dalam lipatan nuklear tadi, sehingga tampak adanya pelet
nuklear di bawah pemeriksaan mikroskop cahaya. Pelet sangat baik dilihat
dengan pewarnaan rangkap (light green dan acid fuchsin). Pada pewarnaan
ini, nukleus pinealosit tipe II membentuk rupa padatan gelap seperti spons
yang tumpang tindih dengan sitoplasmanya. Terdapat pula kondensasi
material kromatin di dalam membran dalam (inner surface) selubung
nukleusnya. Sitoplasma sel pinealosit tipe II mengandung banyak pigmen
yang dapat dilihat pada lipatan nukelarnya, bahkan sejumlah RE kasar dapat
dilihat jelas pada invaginasi sitoplasma ke dalam lipatan nuklear tersebut.5
3. Pinealosit tipe III
Beda halnya dengan kedua sel pinealosit tersebut di atas, sejumlah sel lain
dapat terlihat dengan karakteristik badan sel dan inti selnya yang memanjang
dan tipis (Gambar 9). Diameter sel paling panjang berkisar antara 12 hingga
32 μm dan diameter terpendeknya berkisar antara 0,5 hingga 1,4 μm.
Nukleusnya hampir memenuhi ruang sel tipe III ini dan menyisakan beberapa
ruang sempit bagi sitoplasmanya. Diameter nukelus terpanjang berkisar
antara 8 hingga 20 μm dan diameter terpendeknya berkisar antara 0,4 hingga
1,3 μm. Sel ini hampir selalu menghasilkan vakuola berisi material cair dan
akumulasi sekret bahan guna membentuk kompartemen ekstraselular.
Karakteristik khas sel tipe III ini membedakannya dengan sel pinealosit tipe I,
tipe II dan sel glia.5
17
Gambar 5. Foto mikrograf elektron pada sel pinealosit tipe II (a dan b). Pelipatan membran
nukleus dengan sejumlah RE kasar (tanda panah tipis) dan pigmen sitoplasma (tanda panah tebal)
yang melakukan invaginasi membentuk lipatan nukleus.5
Gambar 6. Foto mikrograf elektron pada sel pinealosit tipe III (a dan b). Sel tipe III memiliki
ukuran dan morfologi yang sangat berbeda dengan tipe I dan II serta sel glia sekitarnya (g). Pada
ujung akhir sel tipe III muncul vakuola (diperbesar pada b).5
BAB III
KESIMPULAN
Pinealosit memainkan peranan penting dalam menjaga stabilitas kelenjar
pineal. Populasinya dalam pineal menghasilkan hormone melatonin. Kelenjar pineal
sepintas terlihat sangat kecil apabila sudah berhasil dieksplorasi ke dalam otak
tengah, tetapi produk hormonnya sangat dibutuhkan oleh semua komponen fisiologis
tubuh. Tidak hanya manusia saja, melainkan organisme mulai dari golongan aves
hingga mamalia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lokhorst GJ. Descartes and the Pineal Gland . USA: Stanford Encyclopedia of
Philosophy; 2013. [Diakses pada tanggal 7 Maret 2017] URL :
https://plato.stanford.edu/entries/pineal-gland/
2. Sahai A. Pineal Gland History & Lesser Known Facts [powerpoint]. India: King
George’s Medical Faculty; 2011.
3. Axelrod J. The Pineal Gland: A Neurochemical Transducer [Artikel]. Science
1974; 184 (Issue 4144): 1341-8
4. Standering S. “Ventricular System & Subarachnoid Space”, chapter 10, pp. 240-
241, “Diencephalon”, chapter 21, p. 324, “The nervous System” chapter 24, p.
380, “Eye”, chapter 40, p. 692. In: Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of
Clinical Practice. 40th ed. Churchill Livingstone: Elsevier; 2008.
5. Hussain SMA. The Pinealocytes of the Human Pineal Gland: A Light and
Electron Microscopic Study. Folia Morph 2006; 65 (3): 181-7
6. Wurtman RJ dan Axelrod J. 1965. The Pineal Gland [Article]. [Diunduh pada
tanggal 18 Februari 2017]
URL : http://wutrmanlab.mit.edu/static/pdf/40.pdf
7. Srinivasan V. The Pineal Gland : Its Physiological and Pharmacological Role
[Review Article]. Ind. J. Physiol. Pharmac 1989; 33 (No. 4): 263-72
8. Manca ME, Manunta ML, Spezzigu A, Torres-Rovira L, Gonzales-Bulnes A,
Pasciu V, dkk Melatonin Deprivat Modifies Follicular and Corpus Luteal Growth
Dynamics in a Sheep Model. Reproduction 2014; 147: 885-95
9. Olcese J. Melatonin Receptors in The Human Reproductive Tract [Article] 2007;
47-56.
URL:https://www.yumpu.com/en/document/view/17620359/melatonin-receptors-
in-the-human-reproductive-tract
10. Cutando A, Lopez-Valverde A, Arias-Santiago S, Vicente JD, De Diego RG.
Role of Melatonin in Cancer Treatment [Review]. Anticancer Research 2012; 32:
2747-54
11. Renzi A, Glasser S, DeMorrow S, Mancinelli R, Meng F, Franchitto A, dkk
Melatonin Inhibits Cholangiocyte Hyperplasia in Cholestatic Rats by Interaction
with MT1 but not MT2 Melatonin Receptors. Ann J Physiol Gastrointest Liver
Physiol 2011; 301: 634-43
12. Han Y, DeMorrow S, Invernizzi P, Jing Qi, Glaser S, Renzi A, dkk Melatonin
Exerts by an Autocrine Loop Antiproliferative Effects in Cholangiocarcinoma; Its
Synthesis is Reduced Favoring Cholangiocarcinoma Growth. Ann J Physiol
Gastrointest Liver Physiol 2011; 301: 623-33
13. Zats M, Gastel JA, Heath III JR, Klein DC. Chick Pineal Melatonin Synthesis:
Light and Cyclic AMP Control Abundance of Serotonin N-Acetyltransferase
Protein. J. Neurochem 2000; 74: 2315-21
14. Zhang B-L, Zannou E, dan Sannajust F. Effects of Photoperiod Reduction on Rat
Circadian Rhytms of BP, Heart Rate and Locomotor Activity. Am J Physiol
Regulatory Integrative Comp Physiol 2000; 279: 169-78
15. Cook JS, Chester AR. Melatonin Attenuates The Vestibulosympathetic but not
Vestibulocollic Reflexes in Humans: Selective Impairment of the Utricles. J Appl
Physiol 2010; 109: 1697 – 1701
16. Purucker G. Man in Evolution. Chapter 16. The Pineal and Pituitary Glands.
Theosophical University Press; 2011: 208.
17. Vollrath L. Comparative Morphology of the Vertebrate Pineal Complex . Dalam
Kappers JA, Pevet P, editor. The Pineal Gland of Vertebrates Including Man [e-
book]. Elsevier: Progress in Brain Research; 2011: Vol 53: 25-38
18. Macchi MM dan Bruce JN. Human Pineal Physiology And Functional
Significance of Melatonin. Frontiers in Neuroendocrinology2004; 25: 177–195
19. Hodde KC. The Vascularization of the Rat Pineal Organ. Dalam Kappers JA,
Pevet P, editor. The Pineal Gland of Vertebrates Including Man [e-book].
Elsevier: Progress in Brain Research; 2011: Vol 53: 39-44
20. Ueck M. Innervation of the Vertebrate Pineal . Dalam Kappers JA, Pevet P,
editor. The Pineal Gland of Vertebrates Including Man [e-book]. Elsevier:
Progress in Brain Research; 2011: Vol 53: 45-90
21. Dubocovich ML, Delagrange P, Krause DN, Sugden D, Cardinali DP, Olcese J.
International Union of Basic and Clinical Pharmacology. LXXV. Nomenclature,
Classification, and Pharmacology of G Protein-Coupled Melatonin Receptors.
Pharmacol Rev 2010; 62: 343-80
22. Balemans MGM. Indole Metabolism in the Pineal Gland of the Rat; Some
Regulatory Aspects . Dalam Kappers JA, Pevet P, editor. The Pineal Gland of
Vertebrates Including Man [e-book]. Elsevier: Progress in Brain Research; 2011:
Vol 53: 221-40
23. Eren TC, Reiter RJ. Axelrod, the Pineal and the Melatonin Hypothesis: Lessons
of 50 Years to Shape Chronodisruption research. Neuro Endocrinol Lett 2010; 31
(5): 585-7
24. Illnerova H dan Vaněček J. Effect of One-Minute Exposure to Light at Night on
Rat Pineal Serotonin N-acetyltransferase. . Dalam Kappers JA, Pevet P, editor.
The Pineal Gland of Vertebrates Including Man [e-book]. Elsevier: Progress in
Brain Research; 2011: Vol 53: 241-244
25. Miline R. Different Populations of Pinealocytes in the Pineal Gland of the Mole-
Rat (Spalax leucodon, Nordmann) . Dalam Kappers JA, Pevet R, editor. The
Pineal Gland of Vertebrates Including Man [e-book]. Elsevier: Progress in Brain
Research; 2011: Vol 53: 207-12
26. Kappers JA. The Pineal Organ: An Introduction. Dalam Wiley J dan Sons, editor.
The Pineal Gland. CIBA Foundation Symposium: Novartis Foundation
Symposia; 2009: 3-26