Upload
ruqayyahal-furqan
View
31
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tingkat kerusakan akibat gempabumi tidak hanya tergantung kepada
besarnya magnitudo dan jaraknya dari pusat gempabumi. Pada beberapa kasus
kejadian gempabumi merusak di dunia, ternyata kondisi geologi lokal sangat
berperanan dalam menciptakan kerusakan bangunan rumah saat terjadi
gempabumi. Fenomena semacam ini dikenal sebagai local site effects (Sun et
al., 2005; Mirzaoglu & Dykmen, 2003; Nguyen et al., 2004). Untuk
menggambarkan adanya respon lapisan tanah permukaan terhadap
gelombang gempabumi yang mengenainya, Singh (2003) mengamati beberapa
rekaman accelerogram yang dicatat pada beberapa kondisi geologi yang
berbeda, ternyata pola accelerogram berubah mengikuti variasi kondisi geologi.
Untuk mengetahui potensi bahaya efek tapak lokal saat terjadi gempa bumi
suatu wilayah, perlu kajian efek tapak lokal melalui kegiatan survei pengukuran
mikrotremor untuk mengetahui karakteristik dinamis kondisi geologi lokal
(Nakamura, 1989). Metode ini dianggap lebih murah dan mudah dilaksanakan,
sehingga pemetaan daerah rawan bencana dapat dengan cepat dibuat (Beroya dan
Aydin, Hardesty, dkk, 2010).
Survei dilakukan untuk melihat karakteristik lapisan sedimen tanah
sehingga efek geologi dan topografi dapat dikurangi ketika bencana terjadi (Irjan
dan A. Bukhori 2011). Studi mikrotremor ini telah digunakan untuk menganalisa
karakteristik tanah, yaitu frekuensi natural (fo), Faktor amplifikasi (Am),
Ketebalan sedimen (h), dan Indeks kerentanan tanah (kg) (Lermo dan Chaves –
Gracia 1993 ; Konno dan Ohmachi, 1998 ; Bodin dan Horton, 1999 ; Smith,
2000; Huang dan Tseng, 2002; Woolery dkk, 2009 ; Y. Zaslavsky, et al. 2005).
Analisis tingkat kerawanan bahaya gempabumi sangat diperlukan untuk
keperluan mitigasi bencana, terutama untuk kesiapsiagaan dalam menghadapi
bencana gempabumi. Tidak adanya informasi tentang daerah-daerah yang rawan
terhadap bahaya gempabumi sangat menyulitkan pemerintah setempat dalam
1
mencegah banyaknya korban jiwa yang ditimbulkan akibat gempabumi tersebut.
Oleh karena itu, analisis tingkat kerawanan bahaya gempabumi dilakukan
supaya dapat memberikan informasi tentang daerah-daerah yang rawan terhadap
bahaya gempabumi dengan menggunakan analisis HVSR.
Diharapkan dari analisis HVSR, dihasilkan peta kerentanan seismik (Kg)
dan peta percepatan tanah (PGA) sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengurangi
resiko akibat gempabumi, dan dapat dijadikan sebagai rujukan dalam
pengembangan wilayah yang aman terhadap bahaya gempabumi.
1.2 Rumusan Masalah
Kendari merupakan Kota dengan pembangunan yang cukup pesat. Di
berbagai tempat dalam Kota ini banyak dibangun pusat pemukiman, ruko (rumah
toko) ataupun bangunan-bangunan lain yang tentunya ditujukan untuk
kemakmuran masyarakat. Namun pembangunan tanpa mempertimbangkan
kondisi topografi dan geologi permukaan tentu merupakan sesuatu yang cukup
menghawatirkan tingkat ketahanan bangunan tersebut terhadap gempa.
Lokasi yang awalnya adalah rawa kemudian ditimbun untuk dijadikan
lokasi pembangunan di Kota Kendari ini sangat mirip dengan kasus di Meksiko.
Untuk itu perlu dilakukan penelitian pada tempat yang mewakili tanah bekas rawa
dan tanah keras, untuk mengetahui berapa besar pengaruh gempabumi terhadap
bangunan-bangunan di dua wilayah tersebut, dengan cara penelitian mikrotremor
menggunakan TDS (Telemetry Digital Seismometry) portable.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Menentukan frekuensi resonansi, faktor amplifikasi gelombang, indeks
kerentanan seismik dan percepatan tanah maksimum.
b. Membuktikan teori yang menyatakan bahwa pada tanah lunak
kerentanan seismiknya lebih besar dari tanah keras
1.4 Keutamaan Penelitian
Mikrozonasi suatu wilayah dapat memberikan informasi yang lebih detil
mengenai kondisi wilayah yang diteliti. Informasi ini berupa frekuensi resonansi,
2
faktor amplifikasi gelombang, indeks kerentanan seismik, percepatan tanah
maksimum, dan jika dikembangkan bisa menjadi peta kerentanan seismik suatu
wilayah.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi Mikrotremor
Mikrotremor adalah vibrasi tanah yang disebabkan oleh aktivitas
lalulintas, industri, dan aktivitas manusia lain di permukaan Bumi. Sumber-
sumber vibrasi tanah yang disebabkan oleh faktor alam dapat berupa interaksi
angin dan struktur bangunan, arus dan gelombang laut periode panjang juga
mempengaruhi vibrasi mikrotremor (Motamed et al., 2007; Petermans et al.,
2006). Contoh tampilan data mikrotremor dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2.1. Tampilan mikrotremor pada perangkat lunak (Mirzaoglu & Dykmen, 2003)
Metode analisis HVSR yang dikembangkan oleh Nakamura (1989) menghitung
rasio spektrum fourier dari sinyal mikrotremor komponen horizontal terhadap
komponen vertikalnya. Hasil analisis HVSR akan menunjukkan suatu
puncak spektrum pada frekuensi predominan (Nakamura, 1989). Frekuensi
resonansi (fo) dan faktor amplifikasi (A) yang menggambarkan karakteristik
dinamis tanah dihasilkan dari analisis HVSR (Nakamura et al., 2000).
Metode analisis HVSR diakui secara luas sangat handal dalam
mengestimasi frekuensi resonansi lapisan tanah permukaan lokal (Molnar et
al., 2007; Jensen, 2000). Panou et al. (2004) mengkaji hubungan antara
spektrum HVSR dengan data kerusakan gempabumi, hasilnya menunjukkan
adanya korelasi antara data kerusakan dengan pola spektrum HVSR tertentu.
Nilai intensitas kerusakan yang tinggi terjadi pada zona frekuensi resonansi
rendah dengan faktor amplifikasi yang tinggi, sebaliknya tingkat kerusakan
rendah terjadi pada zona frekuensi resonansi yang tinggi dengan faktor
4
amplifikasi rendah.
Penelitian Qaryouti & Tarazi (2007) menunjukkan bahwa faktor
amplifikasi spektrum HVSR meningkat pada formasi ketebalan sedimen yang
lebih tebal dan halus. Hasil penelitian HVSR yang dilakukan Singh et al. (2003)
di kawasan bekas rawa Mexico juga menginformasikan hal yang serupa,
dimana faktor amplifikasi meningkat pada daerah yang tersusun oleh lapisan
sedimen halus bekas rawa. Mucciarelli et al. (1996) menyatakan bahwa
Metode HVSR mampu memprediksi persebaran kerusakan gempabumi masa
lampau dan masa yang akan datang.
1. HORIZONTAL TO VERTICAL SPECTRUM RATIO (HVSR)
Nakamura (1989) menyatakan bahwa efek sumber dapat dihilangkan
dari data mikrotremor dengan membandingkan spektrum horisontal terhadap
spektrum vertikal dari data rekaman mikrotremor pada satu stasiun pengukuran
seismometer tiga komponen. Nakamura (1989) mengasumsikan bahwa hanya
data mikrotremor horisontal saja yang terpengaruh oleh tanah, sementara
karakteristik spektrum sumber tetap terdapat di komponen vertikal.
Site effect (TSITE) pada lapisan sedimen permukaan, biasanya
digambarkan dengan cara membandingkan spektrum (TH) antara komponen
horisontal rekaman seismogram pada dataran aluvial (SHS) dengan komponen
horisontal rekaman seismogram pada singkapan batuan keras (SHB).
(2.1)
Beberapa asumsi yang digunakan dalam Metode Nakamura disajikan pada
Gambar 3 sebagai berikut.
5
Gambar 2.2. Model cekungan yang berisi material sedimen halus (Slob, 2007)
1. Data Mikrotremor tersusun atas beberapa jenis gelombang, tetapi
utamanya adalah gelombang Rayleigh yang merambat pada lapisan
sedimen di atas batuan dasar.
2. Efek gelombang Rayleigh (TV) pada noise terdapat pada spektrum
komponen vertikal di dataran aluvial (SVS), tetapi tidak terdapat pada
spektrum komponen vertikal di batuan dasar (SVB).
(2.2)
3. Komponen vertikal mikrotremor tidak teramplifikasi oleh lapisan
sedimen di dataran aluvial.
4. Efek gelombang Rayleigh pada rekaman mikrotremor adalah ekivalen
untuk komponen vertikal dan horisontal. Untuk rentang frekuensi lebar
(0,2-20,0 Hz), rasio spekrum antara komponen horisontal dan vertikal di
batuan dasar mendekati nilai satu.
(2.3)
5. Pada kondisi tersebut (Rumus 1.3), rasio spektrum antara komponen
horisontal dan vertikal dari mikrotremor yang terrekam di
permukaan memungkinkan efek Gelombang Rayleigh (ERW)
6
untuk dieliminasi, menyisakan hanya efek yang disebabkan oleh
kondisi geologi lokal. Inilah konsep dasar Metode Horizontal to Vertical
Spectrum Ratio atau yang populer disebut sebagai Metode HVSR:
(2.4)
maka site effect yang terjadi
adalah :
(2.5)
Rumusan ini menjadi dasar perhitungan rasio spektrum
mikrotremor komponen horizontal terhadap komponen vertikalnya, atau
dapat dirumuskan sebagai berikut:
(2.6)
Ket: HS (komponen horizontal), VS (komponen vertikal), dan S (sinyal).
Metode HVSR sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi respon
resonansi pada cekungan yang berisi material sedimen. Fenomena resonansi
dalam lapisan sedimen yakni terjebaknya gelombang seismik di lapisan
permukaan karena adanya kontras impedansi antara lapisan sedimen dengan
lapisan batuan keras yang lebih dalam. Interferensi antar gelombang seismik
yang terjebak pada lapisan sedimen berkembang menuju pola resonansi
yang berkenaan dengan karakteristik lapisan sedimen.
2. SURVEI MIKTREMOR
Survei data primer berupa pengukuran mikrotremor secara langsung di
lapangan,sebanyak lokasi yang diinginkan. Setiap lokasi dilakukan
pengukuran mikrotremor minimal selama 30 menit dengan frekuensi sampling
100 Hz. Contoh peralatan dan pengambilan data mikrotremor di lapangan
disajikan pada Gambar 4 s/d Gambar 7. Survei mikrotremor yang dilakukan
mengacu kepada aturan-aturan yang ditetapkan oleh SESAME European
7
Research Project (2004) (Tabel 1).
Gambar 2.3. Seismometer periode pendek (sensitive velocity sensor) tipe TDS-303
(3komponen), frekuensi sampling 100 Hz
Gambar 2.4 Digitizer TDS-303
B. MIKROTREMOR
Mikrotermor merupakan getaran tanah selain gempabumi, bisa berupa
getaran akibat aktivitas manusia maupun aktivitas alam. Mikrotremor dapat juga
diartikan sebagai getaran harmonik alami tanah yang terjadi secara terus menerus
8
disebabkan oleh getaran mikro di bawah permukaan tanah dan kegiatan alam
lainnya. Serta dapat juga diakibatkan oleh gangguan setempat seperti : lalu lintas,
industri atau getaran permukaan udara yang diteruskan ke permukaan tanah.
Mikrotremor merupakan simpangan (amplitudo) getaran (vibrasi) yang sangat
kecil dan terus menerus dari tanah atau struktur. Karakteristik mikrotremor
mencerminkan karakterisitik batuan di suatu daerah. Dengan seismograph tertentu
yang memiliki perbesaran dalam orde 104 - 106 kali, getaran tersebut dapat
direkam. Getaran tersebut dapat mempunyai periode antara 0.05 – 2.00 detik atau
bahkan sampai 4.00 detik. Amplitudo mikrotremor biasanya berada antara 0.001 –
0.01 mm.
Pengukuran mikrotremor banyak dilakukan pada studi penelitian struktur
tanah untuk mengetahui keadaan bawah permukaan tanah. Omori mengamati
mikrotremor pertama kali tahun 1908, dan beberapa ahli seismologi serta insinyur
gempabumi lainnya untuk menyelidiki alam atau menerapkan hasil penyelidikan
mikrotermor tersebut dalam pekerjaan masing-masing (Ishiyama; Hasanudin).
Sebab karakteristik dinamika tanah atau struktur selama terjadinya gempa dapat
diperkirakan dengan menggunakan analisis mikrotremor.
Dari hasil pengukuran mikrotremor dapat diketahui sifat getaran dalam
berbagai jenis lapisan tanah dan juga dapat ditentukan perioda dominannya,
displacement (jarak) dan kecepatan (velocity) dari lapisan tanah yang diselidiki.
Dalam pelaksanaanya terdapat beberapa metoda dalam pengukuran
mikrotermor, salah satunya adalah dengan perbandingan spektrum komponen
horizontal terhadap komponen vertikal (Horisontal to Vertikal Spectral Ratio-
HVSR). Metoda HVSR pertama kali diperkenalkan oleh Nogoshi dan Iragashi
yang menyatakan adanya hubungan antara perbandingan komponen horisontal
dan vertikal terhadap kurva elipsitas pada gelombang Rayleigh yang kemudian
disempurnakan oleh Nakamura yang menyatakan bahwa perbandingan spektrum
H/V sebagai fungsi frekuensi berhubungan erat dengan fungsi site transfer untuk
gelombang S.
Teknik ini dapat digunakan untuk mengindentifikasikan frekuensi dasar
lapisan lapuk. Metoda ini menunjukan adanya korelasi bagus dengan frekuensi
9
natural dasar medium pada lapisan yang lapuk (soft soil). Daryono (2009)
menggunakan teknik HVSR untuk mengetahui respon lapisan tanah di Bantul,
Yogjakarta. Hasil penelitiannya menunujukan adanya menunjukan adanya
korelasi positif, secara kualitatif, antara frekuensi natural dan amplifikasi dengan
tingkat kerusakan yang terjadi akibat gempabumi Bantul 27 Mei 2006,
Yogyakarta.
Kerusakan akibat gempabumi perlu diketahui dengan baik melalui fakta
struktur selama terjadinya gempabumi yang banyak tergantung pada kondisi
tanah. Fenomena ini dapat diterangkan melalui resonansi dengan gerakan
gempabumi yaitu kerusakan hebat struktur akibat bencana alam bila frekuensi
struktur bertepatan atau hampir mendekati frekuensi natural gerakan tanah.
Dengan demikian jika kita telah mengetahui kondisi tanah, maka selanjutnya kita
dapat memperkirankan luas kerusakan pada bangunan gedung yang tidak
memiliki frekuensi natural yang sama dengan tanah (contruction site) nya.
1. Analisis Spektral
Analisis spektral dilakukan dengan menggunakan metoda Fast Fourier
Transform (FFT) yaitu proses transformasi dari bentuk domain waktu ke bentuk
domain frekeunsi. Jika variasi data random sebagai fungsi waktu adalah f(k) maka
transformasi fourier yang dijabarkan adalah sebagai berikut :
(2.7)
Dimana :
(2.8)
f(n) = amplitudo frekuensi ke-n
f(k) = amplitudo frekensi ke-k
N = jumlah data
k = indeks data
n = indeks frekuensi
10
(2.9)
2. Periode Dominan
Periode dominan memiliki keterkaitan yang sangat dekat dengan kedalaman
lapisan sedimen lunak (Nakamura, 1989). Periode yang tinggi menunjukan
sedimen lunak yang tebal dan sebaliknya periode dominan yang rendah
menunjukan sedimen lunak yang tipis. Daerah yang memiliki periodedominan
tinggi umumnya memiliki kerentanan untuk mengalami kerusakan wilayah yang
cukup tinggi jika terlanda gempabumi. Hali ini dikarenakan periode dominan
bebanding lurus dengan nilai penguatan goncangan/ampilfikasi.
Periode dominan memiliki nilai semakin tinggi di daerah lembah dan di
sepanjang sesar. Hal ini menunjukan bahwa di lembah dan daerah sepanjang sesar
disusun oleh sedimen lunak juga tebal. Lembah adalah cekungan pengendapan
sehingga dapat dipahami bahwa endapan sedimen lunak di lembah lebih tebal
daripada di puncak, sebaliknya di puncak bukit, proses erosi mencapai tingkat
maksimum sehingga tidak ditemukan endapan sedimen lunak yang tebal.
Nilai periode dominan di suatu wilayah juga berkonstribusi pada nilai
amplifikasi di wilayah tersebut. Periode dominan tinggi pada suatu wilayah
menunjukan kecenderungan suatu wilayah untuk mengalami penguatan
goncangan/amplifikasi yang tinggi sehingga rentan mengalami kerusakan.
Wilayah yang memiliki nilai periode dominan tinggi umumnya adalah wilayah
pedaratan yang disusun oleh endapan permukaan. Namun demikian, besarnya
nilai perode dominan di wilayah endapan permukaan (alluvium) tidak mutlak
sama. Hal ini menunujukan ketebalan alluvium di wilayah ini tidak sama.
3. Frekuensi Alamiah
Setiap bangunan memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda bergantung
pada ketinggian bangunan, sehingga dalam mendirikan bangunan harus
disesuaikan dengan karakterisisktik frekuensi alamiah daerah tersebut. Sebagai
contoh adalah tipikal bangunan berdasarkan frekuensi alamiah berikut (Tabel 2.1).
11
Tabel 2.1. Contoh Tipe Alamiah Bangunan (Kramer, 1995)Frekuensi Alamiah (Hz) Periode Dominan (sec)
Bangunan 1 lantai 10 0.1Bangunan 2 lantai 5 0.2Bangunan 3-4 lantai 2 0.5Bangunan tinggi 0.5 – 1 2 – 1Bangunan beresiko tinggi 0.17 5.8 - 6
Berdasarkan tipe bangunan di atas dapat disusun suatu peta zonasi frekuensi
yang dapat digunakan untuk menentukan daerah mana yang cocok untuk
bangunan dengan tipe tertentu.
4. Faktor Amplifikasi
Faktor amplifikasi gempabumi adalah perbandingan percepatan maksimum
gempabumi di permukaan tanah dengan batuan dasar. Kandungan frekuensi dan
amplitudo gelombang gempabumi, yang menjalar dari batuan dasar (bedrock) ke
permukaan bumi akan berubah saat melewati endapan tanah. Proses ini dapat
menghasilkan percepatan yang besar terhadap struktur dan menimbulkan
kerusakan yang parah, terutama saat frekuensi gelombang seismik sama dengan
resonansi frekuensi struktur bangunan buatan manusia. Menurut Nakamura
Nakamura et al. (2000) nilai faktor amplifikasi suatu tempat dapat diketahui dari
tinggi puncak spektrum kurva HVSR hasil pengukuran mikrotremor di tempat
tersebut. Beberapa peneliti telah menemukan adanya korelasi antara puncak
spektrum H/V dengan distribusi kerusakan struktur bangunan akibat gempa dan
intensitas goncangan tanah selama gempa secara signifikan dipengaruhi oleh
kondisi geologi dan kondisi tanah setempat. Batuan sedimen yang lunak diketahui
memperkuat gerakan tanah selama gempa dan karena itu rata-rata kerusakan yang
diakibatkan lebih parah dari pada lapisan keras.
Terdapat dua sebab terjadinya amplifikasi gelombang gempa yang dapat
mengakibatkan kerusakan bangunan. Pertama, adanya gelombang yang terjebak di
lapisan lunak (Nakamura, 2000), sehingga gelombang tersebut terjadi superposisi
12
antar gelombang, jika gelombang tersebut mempunyai frekuensi yang relatif
sama, maka terjadi proses resonansi gelombang gempa. Akibat proses resonansi
ini, gelombang tersebut saling menguatkan. Kedua, adanya kesamaan frekuensi
alami antara geologi setempat dengan bangunan. Ini akan mengakibatkan
resonansi antara bangunan dan tanah setempak. Akibatnya, getaran tanah pada
bangunan lebih kuat.
Gambar 2.5 Amplifikasi Gelombang Seismik
Besaran amplifikasi dapat diestimasi dari kontras impedansi antara bedrock
dan sedimen permukaan. Dengan kata lain, kontras parameter perambatan
gelombang (densitas dan kecepatan) pada bedrock dan sedimen permukaan
Semakin besar perbedaan parameter tersebut, semakin besar pula nilai amplifikasi
perambatan gelombangnya. Nilai amplifikasi dipengaruhi oleh variasi formasi
geologi, ketebalan dan sifat-sifat fisika lapisan tanah dan batuan, kedalaman
bedrock dan permukaan air bawah tanah dan permukaan struktur bawah
permukaan.
C. NILAI TINGKAT KERENTANAN SEISMIK
Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi yang ditentukan oleh
faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang
mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi bahaya
(hazards). Sedangkan nilai tingkat kerentanan seismik berdasarkan kerapatan
material batuan daerah setempat. Hubungan antara nilai kerentanan seismik
13
dengan kerapatan material batuan dasar menunjukan bahwa semakin kecil batuan
dasar cenderung memiliki nilai kerentanan seismik yang semakin tinggi. Untuk
mengetahui nilai tingkat kerentanan seismik dengan menggunakan persamaan
Nakamura (2000) yaitu :
(2.10)
Dimana :
Kg = Indeks Kerentanan Seismik
Ao = Faktor Amplifikasi
fo = Frekuensi Dominan
D. PERCEPATAN TANAH MAKSIMUM (PEAK GROUND
ACCERALATION, PGA)
Percepatan getaran tanah maksimum adalah nilai percepatan getaran tanah
yang terbesar yang pernah terjadi di suatu tempat diakibatkan oleh gempabumi
(Sri Brotopuspito et al., 2006 dalam Setiawan, 2009). Percepatan tanah
merupakan parameter yang perlu dikaji untuk setiap gempabumi, kemudian
dipilih percepatan maksimum atau Peak Ground Acceleration (PGA) untuk
dipetakan agar bisa memberikan pengertian tentang efek paling parah yang
dialami suatu lokasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya nilai percepatan tanah
pada suatu tempat yaitu magnitudo gempa, kedalaman hiposenter, jarak episenter,
kondisi tanah dan tingkat kepadatan tanah di tempat tersebut. Semakin besar
magnitudo suatu gempa berarti besar energi yang dipancarkan dari sumber gempa
tersebut semakin besar pula. Semakin dalam hiposenter dan semakin jauh jarak
episenter maka percepatan permukaan tanah yang timbul menjadi semakin kecil.
Jadi, percepatan permukaan tanah yang timbul berbanding lurus dengan
magnitudo dan berbanding terbalik dengan jarak episenter, kedalaman hiposenter,
dan kepadatan tanah.
Perhitungan percepatan tanah pada suatu daerah dapat dilakukan dengan
beberapa cara, diantaranya yaitu pengukuran langsung dengan Accelerograph.
14
Accelerograph merupakan instrument yang terdiri dari accelerometer dan
accelerogram. Accelerometer adalah sensor yang digunakan untuk mengukur
percepatan tanah dari gelombang seismik, sedangkan accelerogram merupakan
rekaman dari percepatan tersebut. Accelerograph dipasang pada lokasi
pengamatan untuk mengukur percepatan tanah yang diakibatkan oleh gempabumi
di sekitar lokasi tersebut.
Selain pengukuran secara langsung, perhitungan percepatan tanah bisa
menggunakan metode empiris. Metode yang digunakan dalam penulisan ini
adalah metode Kannai yang memperhitungkan karateristik lapisan tanah (1966
dalam Brotopuspito dkk., 2006), yang dirumuskan pada persamaan
sebagai berikut :
α g=G (T ) α0 (2.11)
α 0=iT
100,16 M −(1,66+ 3,66
R ) log R+ 0,167− 1,83R (2.12)
G (T )= 1
√1−( TT0 )
2
+( 0,2
√T 0
TT0 )
2
(2.13)
Bila terjadi resonansi (T = T0) maka harga G(T) akan mencapai maksimum.
Gelombang yang melalui lapisan sedimen akan menimbulkan resonansi yang
disebabkan karena gelombang gempabumi mempunyai spektrum yang lebar
sehingga hanya gelombang gempabumi yang sama dengan periode dominan tan
dari lapisan sedimen yang akan diperkuat.
Dengan besarnya harga perbesaran G(T) maka percepatan tanah pada permukaan
akan menjadi maksimum yang dapat ditulis dengan persamaan berikut:
α g=5
√T 0
100,16 M−(1,66+3,66
R )log R+0,167−1,83R (2.14)
15
Keterangan:
G(T) = faktor perbesaran
α0 = percepatan tanah pada base rock (gal)
αg = nilai percepatan tanah titik pengukuran (gal)
T = periode gelombang gempabumi (det)
T0 = periode dominan tanah titik pengukuran (det)
M = magnitudo gempabumi (Skala Richter)
R = jarak hiposenter (km).
E. GEOLOGI REGIONAL
Di daerah Kendari, batuan dasar secara tidak selaras ditindih oleh formasi
Meluhu berumur Triassic, yang terdiri dari sandstone, shale dan mudstone.
Formasi Meluhu disusun oleh 3 kelompok wilayah, yaitu; wilayah Toronipa
merupakan kelompok yang paling tua, kemudian Watutaluboto dan Tuetue yang
merupakan kelompok termuda. Wilayah Toronipa terdiri dari endapan sungai
meandering dan didominasi oleh sandstone diselingi batuan sandstone
konglomerat, mudstone dan shale. Wilayah Watutaluboto adalah pengendapan
tidal-delta yang didominasi oleh mudstone dengan sisipan lapisan tipis sandstone
dan batuan konglomerat. Wilayah Tuetue terdiri dari mudstone dan sandstone
yang naik ke atas laut dangkal marjinal, napal dan limestone. Sandstone di
wilayah Toronipa terdiri dari litharenite, sublitharenite dan quartzarenite berasal
dari daur ulang sumber orogen. Fragmen batuan metamorf di dalam sandstone
mengindikasikan bahwa area sumber formasi Meluhu didominasi oleh batuan
dasar metamorfik. Batuan metamorf itu mungkin tertutup oleh sedimen tipis.
(Armstrong, 2012: 4, 20, 21 dan 22)
Sulawesi secara garis besar merupakan bagian dari negara republik
indonesia dan juga merupakan kepualauan yang diapik oleh ketiga lempeng besar
dunia yaitu, lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik.
Pulau Sulawesi secara umum memiliki tiga struktur regional yaitu, accretionary
16
complex yang terletak pada bagian barat yang terbentuk pada zaman Pre-
cretaceous, batuan metamorfh dapat ditemukan pada central Sulawesi dan juga
pada bagian tenggara yang juga terdapat ophiolite complex pada bagian timur
dan juga pada tenggara. Batuan metamorfh termasuk baik dalam benua maupun
samudra, sebagai akibat dari tusukan yang berlebihan pada lempeng bumi yang
menjurus ke arah bagian barat berakhir pada Sulawesi bagian barat dan
pengangkatan (up-lift) membentuk dearah pegunungan yang memiliki ketinggian
hampir 3000 meter.
Sama halnya dengan Sumatera dan Jawa yang memiliki bukit barisan pada
Sumatera, Sunda orogeny pada daerah Jawa, yang terbentuk karena adanya
tumbukan antara lempeng Eurasia dan Indo-Australia yang mana tumbukan
tersebut menyebabkan terjadinya pengangkatan (up-lift) yang menyebabkan
terbentuknya orogeny (pegunungan). Untuk Sulawesi sendiri juga memiliki
orogeny yang disebut sebagai neogene orogeny. Noegene orogeny terbentuk
sebagai akibat dari adanya tumbukan antara dua fragmen benua (Button-Tukang
Besi dan Baggai-Sula) pada Sulawesi bagian timur. Benua-benua kecil
melepaskan diri dari central New Guinea, pengangkutan ke barat disepanjang
daerah sistem sesar Sorong-Yapen oleh karena pergerakan pada lempeng di laut
Philipine, dan di ikuti oleh pendinginan daerah bagian timur pada garis tepi di
ophiolite complex.Microcontinents (benua-benua kecil) tertekan/tertusuk di
bawah pada ophiolite, pengangkatan menyebabkan perlipatan, pensesaran, dan
memunculkan ophiolite dan pelagic mencakup diatas 3000 meter a.s.l.
Orogeny terbentuk karena adanya tumbukan antara dua lempeng besar
yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia yang mengakibatkan
terjadinya pengankatan (up-lift) yang diikuti oleh intrusif magma yang
menyebabkan terbentuknya orogeny (pegunungan). Dengan terbentuknya
orogeny pada pulau Sulawesi yang disebut sebagai neogene orogeny secara
otomatis menyebabkan terbentuknya aktivitas magmatic terjadi pada daerah
Sulawesi. Aktivitas magmatic pada Sulawesi terbntuk pada daerah Sulawesi
bagian Barat. Magma terbentuk akibat aktivitas yang ada karena cretaceaous
sampai eocene terjadi kristalisasi magma yang menyebabkan intrusif batuan yang
17
tererupsi selama jangka waktu yang pendek pada pertengahan Miocene sampai
Pliocene (3-18 Ma) pemanasan lithosper. Pada akhir Miocene Australian-New
Guinea tersubduksi dibawah timur tanah sunda.
Kita sering mendengar tentang sesar semangko, yaitu sesar yang terletak di
Sumatera, yang terbentang dari Kutacane di Aceh sampai pantai Liwa di
Lampung. Sesar semangko terbentang di sepanjang Sumatera dengan Padang
Panjang, Sumatera Barat sebagai central sesar yang bergerak secara dextral
(menganan). Terlepas dari sesar semangko yang ada di Sumatera, di Sulawesi
sendiri terdapat sesar Palu-Koro. Sesar Palu-Koro sendiri terbentuk dari
tumbukan yang juga dihasilkan oleh NNW-SSE Palu-Koro dengan gerakan sesar
sinistral (mengiri). Pergerakan sesar ini juga di karenakan oleh gaya
transtensional, yang terdiri dari gaya transpressive (menekan) dan extensional
(perluasan). Pergerakan transtensional selama masa quaternary (masih
berlangsung hingga masa kini) membentuk kepingan-kepingan basin seperti
danau Poso, Matano dan Towuti, dan Palu depression
18
19