28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kerusakan akibat gempabumi tidak hanya tergantung kepada besarnya magnitudo dan jaraknya dari pusat gempabumi. Pada beberapa kasus kejadian gempabumi merusak di dunia, ternyata kondisi geologi lokal sangat berperanan dalam menciptakan kerusakan bangunan rumah saat terjadi gempabumi. Fenomena semacam ini dikenal sebagai local site effects (Sun et al., 2005; Mirzaoglu & Dykmen, 2003; Nguyen et al., 2004). Untuk menggambarkan adanya respon lapisan tanah permukaan terhadap gelombang gempabumi yang mengenainya, Singh (2003) mengamati beberapa rekaman accelerogram yang dicatat pada beberapa kondisi geologi yang berbeda, ternyata pola accelerogram berubah mengikuti variasi kondisi geologi. Untuk mengetahui potensi bahaya efek tapak lokal saat terjadi gempa bumi suatu wilayah, perlu kajian efek tapak lokal melalui kegiatan survei pengukuran mikrotremor untuk mengetahui karakteristik dinamis kondisi geologi lokal (Nakamura, 1989). Metode ini dianggap lebih murah dan mudah dilaksanakan, sehingga pemetaan daerah rawan bencana dapat dengan cepat dibuat (Beroya dan Aydin, Hardesty, dkk, 2010). Survei dilakukan untuk melihat karakteristik 1

BAB1 DAN II MIKRO.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB1 DAN II MIKRO.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tingkat kerusakan akibat gempabumi tidak hanya tergantung kepada

besarnya magnitudo dan jaraknya dari pusat gempabumi. Pada beberapa kasus

kejadian gempabumi merusak di dunia, ternyata kondisi geologi lokal sangat

berperanan dalam menciptakan kerusakan bangunan rumah saat terjadi

gempabumi. Fenomena semacam ini dikenal sebagai local site effects (Sun et

al., 2005; Mirzaoglu & Dykmen, 2003; Nguyen et al., 2004). Untuk

menggambarkan adanya respon lapisan tanah permukaan terhadap

gelombang gempabumi yang mengenainya, Singh (2003) mengamati beberapa

rekaman accelerogram yang dicatat pada beberapa kondisi geologi yang

berbeda, ternyata pola accelerogram berubah mengikuti variasi kondisi geologi.

Untuk mengetahui potensi bahaya efek tapak lokal saat terjadi gempa bumi

suatu wilayah, perlu kajian efek tapak lokal melalui kegiatan survei pengukuran

mikrotremor untuk mengetahui karakteristik dinamis kondisi geologi lokal

(Nakamura, 1989). Metode ini dianggap lebih murah dan mudah dilaksanakan,

sehingga pemetaan daerah rawan bencana dapat dengan cepat dibuat (Beroya dan

Aydin, Hardesty, dkk, 2010).

Survei dilakukan untuk melihat karakteristik lapisan sedimen tanah

sehingga efek geologi dan topografi dapat dikurangi ketika bencana terjadi (Irjan

dan A. Bukhori 2011). Studi mikrotremor ini telah digunakan untuk menganalisa

karakteristik tanah, yaitu frekuensi natural (fo), Faktor amplifikasi (Am),

Ketebalan sedimen (h), dan Indeks kerentanan tanah (kg) (Lermo dan Chaves –

Gracia 1993 ; Konno dan Ohmachi, 1998 ; Bodin dan Horton, 1999 ; Smith,

2000; Huang dan Tseng, 2002; Woolery dkk, 2009 ; Y. Zaslavsky, et al. 2005).

Analisis tingkat kerawanan bahaya gempabumi sangat diperlukan untuk

keperluan mitigasi bencana, terutama untuk kesiapsiagaan dalam menghadapi

bencana gempabumi. Tidak adanya informasi tentang daerah-daerah yang rawan

terhadap bahaya gempabumi sangat menyulitkan pemerintah setempat dalam

1

Page 2: BAB1 DAN II MIKRO.docx

mencegah banyaknya korban jiwa yang ditimbulkan akibat gempabumi tersebut.

Oleh karena itu, analisis tingkat kerawanan bahaya gempabumi dilakukan

supaya dapat memberikan informasi tentang daerah-daerah yang rawan terhadap

bahaya gempabumi dengan menggunakan analisis HVSR.

Diharapkan dari analisis HVSR, dihasilkan peta kerentanan seismik (Kg)

dan peta percepatan tanah (PGA) sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengurangi

resiko akibat gempabumi, dan dapat dijadikan sebagai rujukan dalam

pengembangan wilayah yang aman terhadap bahaya gempabumi.

1.2 Rumusan Masalah

Kendari merupakan Kota dengan pembangunan yang cukup pesat. Di

berbagai tempat dalam Kota ini banyak dibangun pusat pemukiman, ruko (rumah

toko) ataupun bangunan-bangunan lain yang tentunya ditujukan untuk

kemakmuran masyarakat. Namun pembangunan tanpa mempertimbangkan

kondisi topografi dan geologi permukaan tentu merupakan sesuatu yang cukup

menghawatirkan tingkat ketahanan bangunan tersebut terhadap gempa.

Lokasi yang awalnya adalah rawa kemudian ditimbun untuk dijadikan

lokasi pembangunan di Kota Kendari ini sangat mirip dengan kasus di Meksiko.

Untuk itu perlu dilakukan penelitian pada tempat yang mewakili tanah bekas rawa

dan tanah keras, untuk mengetahui berapa besar pengaruh gempabumi terhadap

bangunan-bangunan di dua wilayah tersebut, dengan cara penelitian mikrotremor

menggunakan TDS (Telemetry Digital Seismometry) portable.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Menentukan frekuensi resonansi, faktor amplifikasi gelombang, indeks

kerentanan seismik dan percepatan tanah maksimum.

b. Membuktikan teori yang menyatakan bahwa pada tanah lunak

kerentanan seismiknya lebih besar dari tanah keras

1.4 Keutamaan Penelitian

Mikrozonasi suatu wilayah dapat memberikan informasi yang lebih detil

mengenai kondisi wilayah yang diteliti. Informasi ini berupa frekuensi resonansi,

2

Page 3: BAB1 DAN II MIKRO.docx

faktor amplifikasi gelombang, indeks kerentanan seismik, percepatan tanah

maksimum, dan jika dikembangkan bisa menjadi peta kerentanan seismik suatu

wilayah.

3

Page 4: BAB1 DAN II MIKRO.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi Mikrotremor

Mikrotremor adalah vibrasi tanah yang disebabkan oleh aktivitas

lalulintas, industri, dan aktivitas manusia lain di permukaan Bumi. Sumber-

sumber vibrasi tanah yang disebabkan oleh faktor alam dapat berupa interaksi

angin dan struktur bangunan, arus dan gelombang laut periode panjang juga

mempengaruhi vibrasi mikrotremor (Motamed et al., 2007; Petermans et al.,

2006). Contoh tampilan data mikrotremor dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2.1. Tampilan mikrotremor pada perangkat lunak (Mirzaoglu & Dykmen, 2003)

Metode analisis HVSR yang dikembangkan oleh Nakamura (1989) menghitung

rasio spektrum fourier dari sinyal mikrotremor komponen horizontal terhadap

komponen vertikalnya. Hasil analisis HVSR akan menunjukkan suatu

puncak spektrum pada frekuensi predominan (Nakamura, 1989). Frekuensi

resonansi (fo) dan faktor amplifikasi (A) yang menggambarkan karakteristik

dinamis tanah dihasilkan dari analisis HVSR (Nakamura et al., 2000).

Metode analisis HVSR diakui secara luas sangat handal dalam

mengestimasi frekuensi resonansi lapisan tanah permukaan lokal (Molnar et

al., 2007; Jensen, 2000). Panou et al. (2004) mengkaji hubungan antara

spektrum HVSR dengan data kerusakan gempabumi, hasilnya menunjukkan

adanya korelasi antara data kerusakan dengan pola spektrum HVSR tertentu.

Nilai intensitas kerusakan yang tinggi terjadi pada zona frekuensi resonansi

rendah dengan faktor amplifikasi yang tinggi, sebaliknya tingkat kerusakan

rendah terjadi pada zona frekuensi resonansi yang tinggi dengan faktor

4

Page 5: BAB1 DAN II MIKRO.docx

amplifikasi rendah.

Penelitian Qaryouti & Tarazi (2007) menunjukkan bahwa faktor

amplifikasi spektrum HVSR meningkat pada formasi ketebalan sedimen yang

lebih tebal dan halus. Hasil penelitian HVSR yang dilakukan Singh et al. (2003)

di kawasan bekas rawa Mexico juga menginformasikan hal yang serupa,

dimana faktor amplifikasi meningkat pada daerah yang tersusun oleh lapisan

sedimen halus bekas rawa. Mucciarelli et al. (1996) menyatakan bahwa

Metode HVSR mampu memprediksi persebaran kerusakan gempabumi masa

lampau dan masa yang akan datang.

1. HORIZONTAL TO VERTICAL SPECTRUM RATIO (HVSR)

Nakamura (1989) menyatakan bahwa efek sumber dapat dihilangkan

dari data mikrotremor dengan membandingkan spektrum horisontal terhadap

spektrum vertikal dari data rekaman mikrotremor pada satu stasiun pengukuran

seismometer tiga komponen. Nakamura (1989) mengasumsikan bahwa hanya

data mikrotremor horisontal saja yang terpengaruh oleh tanah, sementara

karakteristik spektrum sumber tetap terdapat di komponen vertikal.

Site effect (TSITE) pada lapisan sedimen permukaan, biasanya

digambarkan dengan cara membandingkan spektrum (TH) antara komponen

horisontal rekaman seismogram pada dataran aluvial (SHS) dengan komponen

horisontal rekaman seismogram pada singkapan batuan keras (SHB).

(2.1)

Beberapa asumsi yang digunakan dalam Metode Nakamura disajikan pada

Gambar 3 sebagai berikut.

5

Page 6: BAB1 DAN II MIKRO.docx

Gambar 2.2. Model cekungan yang berisi material sedimen halus (Slob, 2007)

1. Data Mikrotremor tersusun atas beberapa jenis gelombang, tetapi

utamanya adalah gelombang Rayleigh yang merambat pada lapisan

sedimen di atas batuan dasar.

2. Efek gelombang Rayleigh (TV) pada noise terdapat pada spektrum

komponen vertikal di dataran aluvial (SVS), tetapi tidak terdapat pada

spektrum komponen vertikal di batuan dasar (SVB).

(2.2)

3. Komponen vertikal mikrotremor tidak teramplifikasi oleh lapisan

sedimen di dataran aluvial.

4. Efek gelombang Rayleigh pada rekaman mikrotremor adalah ekivalen

untuk komponen vertikal dan horisontal. Untuk rentang frekuensi lebar

(0,2-20,0 Hz), rasio spekrum antara komponen horisontal dan vertikal di

batuan dasar mendekati nilai satu.

(2.3)

5. Pada kondisi tersebut (Rumus 1.3), rasio spektrum antara komponen

horisontal dan vertikal dari mikrotremor yang terrekam di

permukaan memungkinkan efek Gelombang Rayleigh (ERW)

6

Page 7: BAB1 DAN II MIKRO.docx

untuk dieliminasi, menyisakan hanya efek yang disebabkan oleh

kondisi geologi lokal. Inilah konsep dasar Metode Horizontal to Vertical

Spectrum Ratio atau yang populer disebut sebagai Metode HVSR:

(2.4)

maka site effect yang terjadi

adalah :

(2.5)

Rumusan ini menjadi dasar perhitungan rasio spektrum

mikrotremor komponen horizontal terhadap komponen vertikalnya, atau

dapat dirumuskan sebagai berikut:

(2.6)

Ket: HS (komponen horizontal), VS (komponen vertikal), dan S (sinyal).

Metode HVSR sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi respon

resonansi pada cekungan yang berisi material sedimen. Fenomena resonansi

dalam lapisan sedimen yakni terjebaknya gelombang seismik di lapisan

permukaan karena adanya kontras impedansi antara lapisan sedimen dengan

lapisan batuan keras yang lebih dalam. Interferensi antar gelombang seismik

yang terjebak pada lapisan sedimen berkembang menuju pola resonansi

yang berkenaan dengan karakteristik lapisan sedimen.

2. SURVEI MIKTREMOR

Survei data primer berupa pengukuran mikrotremor secara langsung di

lapangan,sebanyak lokasi yang diinginkan. Setiap lokasi dilakukan

pengukuran mikrotremor minimal selama 30 menit dengan frekuensi sampling

100 Hz. Contoh peralatan dan pengambilan data mikrotremor di lapangan

disajikan pada Gambar 4 s/d Gambar 7. Survei mikrotremor yang dilakukan

mengacu kepada aturan-aturan yang ditetapkan oleh SESAME European

7

Page 8: BAB1 DAN II MIKRO.docx

Research Project (2004) (Tabel 1).

Gambar 2.3. Seismometer periode pendek (sensitive velocity sensor) tipe TDS-303

(3komponen), frekuensi sampling 100 Hz

Gambar 2.4 Digitizer TDS-303

B. MIKROTREMOR

Mikrotermor merupakan getaran tanah selain gempabumi, bisa berupa

getaran akibat aktivitas manusia maupun aktivitas alam. Mikrotremor dapat juga

diartikan sebagai getaran harmonik alami tanah yang terjadi secara terus menerus

8

Page 9: BAB1 DAN II MIKRO.docx

disebabkan oleh getaran mikro di bawah permukaan tanah dan kegiatan alam

lainnya. Serta dapat juga diakibatkan oleh gangguan setempat seperti : lalu lintas,

industri atau getaran permukaan udara yang diteruskan ke permukaan tanah.

Mikrotremor merupakan simpangan (amplitudo) getaran (vibrasi) yang sangat

kecil dan terus menerus dari tanah atau struktur. Karakteristik mikrotremor

mencerminkan karakterisitik batuan di suatu daerah. Dengan seismograph tertentu

yang memiliki perbesaran dalam orde 104 - 106 kali, getaran tersebut dapat

direkam. Getaran tersebut dapat mempunyai periode antara 0.05 – 2.00 detik atau

bahkan sampai 4.00 detik. Amplitudo mikrotremor biasanya berada antara 0.001 –

0.01 mm.

Pengukuran mikrotremor banyak dilakukan pada studi penelitian struktur

tanah untuk mengetahui keadaan bawah permukaan tanah. Omori mengamati

mikrotremor pertama kali tahun 1908, dan beberapa ahli seismologi serta insinyur

gempabumi lainnya untuk menyelidiki alam atau menerapkan hasil penyelidikan

mikrotermor tersebut dalam pekerjaan masing-masing (Ishiyama; Hasanudin).

Sebab karakteristik dinamika tanah atau struktur selama terjadinya gempa dapat

diperkirakan dengan menggunakan analisis mikrotremor.

Dari hasil pengukuran mikrotremor dapat diketahui sifat getaran dalam

berbagai jenis lapisan tanah dan juga dapat ditentukan perioda dominannya,

displacement (jarak) dan kecepatan (velocity) dari lapisan tanah yang diselidiki.

Dalam pelaksanaanya terdapat beberapa metoda dalam pengukuran

mikrotermor, salah satunya adalah dengan perbandingan spektrum komponen

horizontal terhadap komponen vertikal (Horisontal to Vertikal Spectral Ratio-

HVSR). Metoda HVSR pertama kali diperkenalkan oleh Nogoshi dan Iragashi

yang menyatakan adanya hubungan antara perbandingan komponen horisontal

dan vertikal terhadap kurva elipsitas pada gelombang Rayleigh yang kemudian

disempurnakan oleh Nakamura yang menyatakan bahwa perbandingan spektrum

H/V sebagai fungsi frekuensi berhubungan erat dengan fungsi site transfer untuk

gelombang S.

Teknik ini dapat digunakan untuk mengindentifikasikan frekuensi dasar

lapisan lapuk. Metoda ini menunjukan adanya korelasi bagus dengan frekuensi

9

Page 10: BAB1 DAN II MIKRO.docx

natural dasar medium pada lapisan yang lapuk (soft soil). Daryono (2009)

menggunakan teknik HVSR untuk mengetahui respon lapisan tanah di Bantul,

Yogjakarta. Hasil penelitiannya menunujukan adanya menunjukan adanya

korelasi positif, secara kualitatif, antara frekuensi natural dan amplifikasi dengan

tingkat kerusakan yang terjadi akibat gempabumi Bantul 27 Mei 2006,

Yogyakarta.

Kerusakan akibat gempabumi perlu diketahui dengan baik melalui fakta

struktur selama terjadinya gempabumi yang banyak tergantung pada kondisi

tanah. Fenomena ini dapat diterangkan melalui resonansi dengan gerakan

gempabumi yaitu kerusakan hebat struktur akibat bencana alam bila frekuensi

struktur bertepatan atau hampir mendekati frekuensi natural gerakan tanah.

Dengan demikian jika kita telah mengetahui kondisi tanah, maka selanjutnya kita

dapat memperkirankan luas kerusakan pada bangunan gedung yang tidak

memiliki frekuensi natural yang sama dengan tanah (contruction site) nya.

1. Analisis Spektral

Analisis spektral dilakukan dengan menggunakan metoda Fast Fourier

Transform (FFT) yaitu proses transformasi dari bentuk domain waktu ke bentuk

domain frekeunsi. Jika variasi data random sebagai fungsi waktu adalah f(k) maka

transformasi fourier yang dijabarkan adalah sebagai berikut :

(2.7)

Dimana :

(2.8)

f(n) = amplitudo frekuensi ke-n

f(k) = amplitudo frekensi ke-k

N = jumlah data

k = indeks data

n = indeks frekuensi

10

Page 11: BAB1 DAN II MIKRO.docx

(2.9)

2. Periode Dominan

Periode dominan memiliki keterkaitan yang sangat dekat dengan kedalaman

lapisan sedimen lunak (Nakamura, 1989). Periode yang tinggi menunjukan

sedimen lunak yang tebal dan sebaliknya periode dominan yang rendah

menunjukan sedimen lunak yang tipis. Daerah yang memiliki periodedominan

tinggi umumnya memiliki kerentanan untuk mengalami kerusakan wilayah yang

cukup tinggi jika terlanda gempabumi. Hali ini dikarenakan periode dominan

bebanding lurus dengan nilai penguatan goncangan/ampilfikasi.

Periode dominan memiliki nilai semakin tinggi di daerah lembah dan di

sepanjang sesar. Hal ini menunjukan bahwa di lembah dan daerah sepanjang sesar

disusun oleh sedimen lunak juga tebal. Lembah adalah cekungan pengendapan

sehingga dapat dipahami bahwa endapan sedimen lunak di lembah lebih tebal

daripada di puncak, sebaliknya di puncak bukit, proses erosi mencapai tingkat

maksimum sehingga tidak ditemukan endapan sedimen lunak yang tebal.

Nilai periode dominan di suatu wilayah juga berkonstribusi pada nilai

amplifikasi di wilayah tersebut. Periode dominan tinggi pada suatu wilayah

menunjukan kecenderungan suatu wilayah untuk mengalami penguatan

goncangan/amplifikasi yang tinggi sehingga rentan mengalami kerusakan.

Wilayah yang memiliki nilai periode dominan tinggi umumnya adalah wilayah

pedaratan yang disusun oleh endapan permukaan. Namun demikian, besarnya

nilai perode dominan di wilayah endapan permukaan (alluvium) tidak mutlak

sama. Hal ini menunujukan ketebalan alluvium di wilayah ini tidak sama.

3. Frekuensi Alamiah

Setiap bangunan memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda bergantung

pada ketinggian bangunan, sehingga dalam mendirikan bangunan harus

disesuaikan dengan karakterisisktik frekuensi alamiah daerah tersebut. Sebagai

contoh adalah tipikal bangunan berdasarkan frekuensi alamiah berikut (Tabel 2.1).

11

Page 12: BAB1 DAN II MIKRO.docx

Tabel 2.1. Contoh Tipe Alamiah Bangunan (Kramer, 1995)Frekuensi Alamiah (Hz) Periode Dominan (sec)

Bangunan 1 lantai 10 0.1Bangunan 2 lantai 5 0.2Bangunan 3-4 lantai 2 0.5Bangunan tinggi 0.5 – 1 2 – 1Bangunan beresiko tinggi 0.17 5.8 - 6

Berdasarkan tipe bangunan di atas dapat disusun suatu peta zonasi frekuensi

yang dapat digunakan untuk menentukan daerah mana yang cocok untuk

bangunan dengan tipe tertentu.

4. Faktor Amplifikasi

Faktor amplifikasi gempabumi adalah perbandingan percepatan maksimum

gempabumi di permukaan tanah dengan batuan dasar. Kandungan frekuensi dan

amplitudo gelombang gempabumi, yang menjalar dari batuan dasar (bedrock) ke

permukaan bumi akan berubah saat melewati endapan tanah. Proses ini dapat

menghasilkan percepatan yang besar terhadap struktur dan menimbulkan

kerusakan yang parah, terutama saat frekuensi gelombang seismik sama dengan

resonansi frekuensi struktur bangunan buatan manusia. Menurut Nakamura

Nakamura et al. (2000) nilai faktor amplifikasi suatu tempat dapat diketahui dari

tinggi puncak spektrum kurva HVSR hasil pengukuran mikrotremor di tempat

tersebut. Beberapa peneliti telah menemukan adanya korelasi antara puncak

spektrum H/V dengan distribusi kerusakan struktur bangunan akibat gempa dan

intensitas goncangan tanah selama gempa secara signifikan dipengaruhi oleh

kondisi geologi dan kondisi tanah setempat. Batuan sedimen yang lunak diketahui

memperkuat gerakan tanah selama gempa dan karena itu rata-rata kerusakan yang

diakibatkan lebih parah dari pada lapisan keras.

Terdapat dua sebab terjadinya amplifikasi gelombang gempa yang dapat

mengakibatkan kerusakan bangunan. Pertama, adanya gelombang yang terjebak di

lapisan lunak (Nakamura, 2000), sehingga gelombang tersebut terjadi superposisi

12

Page 13: BAB1 DAN II MIKRO.docx

antar gelombang, jika gelombang tersebut mempunyai frekuensi yang relatif

sama, maka terjadi proses resonansi gelombang gempa. Akibat proses resonansi

ini, gelombang tersebut saling menguatkan. Kedua, adanya kesamaan frekuensi

alami antara geologi setempat dengan bangunan. Ini akan mengakibatkan

resonansi antara bangunan dan tanah setempak. Akibatnya, getaran tanah pada

bangunan lebih kuat.

Gambar 2.5 Amplifikasi Gelombang Seismik

Besaran amplifikasi dapat diestimasi dari kontras impedansi antara bedrock

dan sedimen permukaan. Dengan kata lain, kontras parameter perambatan

gelombang (densitas dan kecepatan) pada bedrock dan sedimen permukaan

Semakin besar perbedaan parameter tersebut, semakin besar pula nilai amplifikasi

perambatan gelombangnya. Nilai amplifikasi dipengaruhi oleh variasi formasi

geologi, ketebalan dan sifat-sifat fisika lapisan tanah dan batuan, kedalaman

bedrock dan permukaan air bawah tanah dan permukaan struktur bawah

permukaan.

C. NILAI TINGKAT KERENTANAN SEISMIK

Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi yang ditentukan oleh

faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang

mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi bahaya

(hazards). Sedangkan nilai tingkat kerentanan seismik berdasarkan kerapatan

material batuan daerah setempat. Hubungan antara nilai kerentanan seismik

13

Page 14: BAB1 DAN II MIKRO.docx

dengan kerapatan material batuan dasar menunjukan bahwa semakin kecil batuan

dasar cenderung memiliki nilai kerentanan seismik yang semakin tinggi. Untuk

mengetahui nilai tingkat kerentanan seismik dengan menggunakan persamaan

Nakamura (2000) yaitu :

(2.10)

Dimana :

Kg = Indeks Kerentanan Seismik

Ao = Faktor Amplifikasi

fo = Frekuensi Dominan

D. PERCEPATAN TANAH MAKSIMUM (PEAK GROUND

ACCERALATION, PGA)

Percepatan getaran tanah maksimum adalah nilai percepatan getaran tanah

yang terbesar yang pernah terjadi di suatu tempat diakibatkan oleh gempabumi

(Sri Brotopuspito et al., 2006 dalam Setiawan, 2009). Percepatan tanah

merupakan parameter yang perlu dikaji untuk setiap gempabumi, kemudian

dipilih percepatan maksimum atau Peak Ground Acceleration (PGA) untuk

dipetakan agar bisa memberikan pengertian tentang efek paling parah yang

dialami suatu lokasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya nilai percepatan tanah

pada suatu tempat yaitu magnitudo gempa, kedalaman hiposenter, jarak episenter,

kondisi tanah dan tingkat kepadatan tanah di tempat tersebut. Semakin besar

magnitudo suatu gempa berarti besar energi yang dipancarkan dari sumber gempa

tersebut semakin besar pula. Semakin dalam hiposenter dan semakin jauh jarak

episenter maka percepatan permukaan tanah yang timbul menjadi semakin kecil.

Jadi, percepatan permukaan tanah yang timbul berbanding lurus dengan

magnitudo dan berbanding terbalik dengan jarak episenter, kedalaman hiposenter,

dan kepadatan tanah.

Perhitungan percepatan tanah pada suatu daerah dapat dilakukan dengan

beberapa cara, diantaranya yaitu pengukuran langsung dengan Accelerograph.

14

Page 15: BAB1 DAN II MIKRO.docx

Accelerograph merupakan instrument yang terdiri dari accelerometer dan

accelerogram. Accelerometer adalah sensor yang digunakan untuk mengukur

percepatan tanah dari gelombang seismik, sedangkan accelerogram merupakan

rekaman dari percepatan tersebut. Accelerograph dipasang pada lokasi

pengamatan untuk mengukur percepatan tanah yang diakibatkan oleh gempabumi

di sekitar lokasi tersebut.

Selain pengukuran secara langsung, perhitungan percepatan tanah bisa

menggunakan metode empiris. Metode yang digunakan dalam penulisan ini

adalah metode Kannai yang memperhitungkan karateristik lapisan tanah (1966

dalam Brotopuspito dkk., 2006), yang dirumuskan pada persamaan

sebagai berikut :

α g=G (T ) α0 (2.11)

α 0=iT

100,16 M −(1,66+ 3,66

R ) log R+ 0,167− 1,83R (2.12)

G (T )= 1

√1−( TT0 )

2

+( 0,2

√T 0

TT0 )

2

(2.13)

Bila terjadi resonansi (T = T0) maka harga G(T) akan mencapai maksimum.

Gelombang yang melalui lapisan sedimen akan menimbulkan resonansi yang

disebabkan karena gelombang gempabumi mempunyai spektrum yang lebar

sehingga hanya gelombang gempabumi yang sama dengan periode dominan tan

dari lapisan sedimen yang akan diperkuat.

Dengan besarnya harga perbesaran G(T) maka percepatan tanah pada permukaan

akan menjadi maksimum yang dapat ditulis dengan persamaan berikut:

α g=5

√T 0

100,16 M−(1,66+3,66

R )log R+0,167−1,83R (2.14)

15

Page 16: BAB1 DAN II MIKRO.docx

Keterangan:

G(T) = faktor perbesaran

α0 = percepatan tanah pada base rock (gal)

αg = nilai percepatan tanah titik pengukuran (gal)

T = periode gelombang gempabumi (det)

T0 = periode dominan tanah titik pengukuran (det)

M = magnitudo gempabumi (Skala Richter)

R = jarak hiposenter (km).

E. GEOLOGI REGIONAL

Di daerah Kendari, batuan dasar secara tidak selaras ditindih oleh formasi

Meluhu berumur Triassic, yang terdiri dari sandstone, shale dan mudstone.

Formasi Meluhu disusun oleh 3 kelompok wilayah, yaitu; wilayah Toronipa

merupakan kelompok yang paling tua, kemudian Watutaluboto dan Tuetue yang

merupakan kelompok termuda. Wilayah Toronipa terdiri dari endapan sungai

meandering dan didominasi oleh sandstone diselingi batuan sandstone

konglomerat, mudstone dan shale. Wilayah Watutaluboto adalah pengendapan

tidal-delta yang didominasi oleh mudstone dengan sisipan lapisan tipis sandstone

dan batuan konglomerat. Wilayah Tuetue terdiri dari mudstone dan sandstone

yang naik ke atas laut dangkal marjinal, napal dan limestone. Sandstone di

wilayah Toronipa terdiri dari litharenite, sublitharenite dan quartzarenite berasal

dari daur ulang sumber orogen. Fragmen batuan metamorf di dalam sandstone

mengindikasikan bahwa area sumber formasi Meluhu didominasi oleh batuan

dasar metamorfik. Batuan metamorf itu mungkin tertutup oleh sedimen tipis.

(Armstrong, 2012: 4, 20, 21 dan 22)

Sulawesi secara garis besar merupakan bagian dari negara republik

indonesia dan juga merupakan kepualauan yang diapik oleh ketiga lempeng besar

dunia yaitu, lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik.

Pulau Sulawesi secara umum memiliki tiga struktur regional yaitu, accretionary

16

Page 17: BAB1 DAN II MIKRO.docx

complex yang terletak pada bagian barat yang terbentuk pada zaman Pre-

cretaceous, batuan metamorfh dapat ditemukan pada central Sulawesi dan juga

pada bagian tenggara yang juga terdapat ophiolite complex pada bagian timur

dan juga pada tenggara. Batuan metamorfh termasuk baik dalam benua maupun

samudra, sebagai akibat dari tusukan yang berlebihan pada lempeng bumi yang

menjurus ke arah bagian barat berakhir pada Sulawesi bagian barat dan

pengangkatan (up-lift) membentuk dearah pegunungan yang memiliki ketinggian

hampir 3000 meter.

Sama halnya dengan Sumatera dan Jawa yang memiliki bukit barisan pada

Sumatera, Sunda orogeny pada daerah Jawa, yang terbentuk karena adanya

tumbukan antara lempeng Eurasia dan Indo-Australia yang mana tumbukan

tersebut menyebabkan terjadinya pengangkatan (up-lift) yang menyebabkan

terbentuknya orogeny (pegunungan). Untuk Sulawesi sendiri juga memiliki

orogeny yang disebut sebagai neogene orogeny. Noegene orogeny terbentuk

sebagai akibat dari adanya tumbukan antara dua fragmen benua (Button-Tukang

Besi dan Baggai-Sula) pada Sulawesi bagian timur. Benua-benua kecil

melepaskan diri dari central New Guinea, pengangkutan ke barat disepanjang

daerah sistem sesar Sorong-Yapen oleh karena pergerakan pada lempeng di laut

Philipine, dan di ikuti oleh pendinginan daerah bagian timur pada garis tepi di

ophiolite complex.Microcontinents (benua-benua kecil) tertekan/tertusuk di

bawah pada ophiolite, pengangkatan menyebabkan perlipatan, pensesaran, dan

memunculkan ophiolite dan pelagic mencakup diatas 3000 meter a.s.l.

Orogeny terbentuk karena adanya tumbukan antara dua lempeng besar

yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia yang mengakibatkan

terjadinya pengankatan (up-lift) yang diikuti oleh intrusif magma yang

menyebabkan terbentuknya orogeny (pegunungan). Dengan terbentuknya

orogeny pada pulau Sulawesi yang disebut sebagai neogene orogeny secara

otomatis menyebabkan terbentuknya aktivitas magmatic terjadi pada daerah

Sulawesi. Aktivitas magmatic pada Sulawesi terbntuk pada daerah Sulawesi

bagian Barat. Magma terbentuk akibat aktivitas yang ada karena cretaceaous

sampai eocene terjadi kristalisasi magma yang menyebabkan intrusif batuan yang

17

Page 18: BAB1 DAN II MIKRO.docx

tererupsi selama jangka waktu yang pendek pada pertengahan Miocene sampai

Pliocene (3-18 Ma) pemanasan lithosper. Pada akhir Miocene Australian-New

Guinea tersubduksi dibawah timur tanah sunda.

Kita sering mendengar tentang sesar semangko, yaitu sesar yang terletak di

Sumatera, yang terbentang dari Kutacane di Aceh sampai pantai Liwa di

Lampung. Sesar semangko terbentang di sepanjang Sumatera dengan Padang

Panjang, Sumatera Barat sebagai central sesar yang bergerak secara dextral

(menganan). Terlepas dari sesar semangko yang ada di Sumatera, di Sulawesi

sendiri terdapat sesar Palu-Koro. Sesar Palu-Koro sendiri terbentuk dari

tumbukan yang juga dihasilkan oleh NNW-SSE Palu-Koro dengan gerakan sesar

sinistral (mengiri). Pergerakan sesar ini juga di karenakan oleh gaya

transtensional, yang terdiri dari gaya transpressive (menekan) dan extensional

(perluasan). Pergerakan transtensional selama masa quaternary (masih

berlangsung hingga masa kini) membentuk kepingan-kepingan basin seperti

danau Poso, Matano dan Towuti, dan Palu depression

18

Page 19: BAB1 DAN II MIKRO.docx

19