32
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Perkembangan Kemiskinan, Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah, Daya Beli, dan Infrastruktur Sosial di Propinsi Jawa Barat Gambaran perkembangan kemiskinan, angka harapan hidup, angka melek huruf dan Rata-rata Lama Sekolah, Daya Beli, dan Infrastruktur Sosial di Propinsi Jawa Barat dilakukan secara deskriptif secara umum dari semua Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat. 6.1.1. Tingkat Kemiskinan Jawa Barat Kemiskinan merupakan suatu fenomena yang kompleks dan masih menjadi isu strategis yang menjadi perhatian baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Penanganan masalah kemiskinan di Jawa Barat menjadi prioritas pertama dari delapan isu strategis Pemerintah Propinsi Jawa Barat yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Propinsi Jawa Barat Tahun 2007. Berbagai kebijakan dilakukan dalam rangka menanggulangi masalah kemiskinan, dalam hal ini termasuk juga dengan melakukan pendataan jumlah penduduk miskin. Penghitungan jumlah penduduk miskin pada tahun 2003-2006 dilakukan dengan pendekatan pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan. Pendekatan ini bersifat makro dan melakukan perhitungan penduduk miskin sampai pada tingkat Kabupaten/Kota. Garis kemiskinan yang digunakan untuk menghitung jumlah penduduk miskin Jawa Barat pada tahun 2003 adalah Rp 130503 perkapita/bulan, pada tahun 2004 adalah Rp 137929 perkapita/bulan dan Rp 185702 perkapita/bulan pada tahun 2006. Berdasarkan batas kemiskinan tersebut, pada tahun 2003

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Perkembangan … · rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun keatas di Jawa Barat relatif terus membaik. Angka melek huruf penduduk dewasa (15

Embed Size (px)

Citation preview

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Perkembangan Kemiskinan, Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah, Daya Beli, dan Infrastruktur Sosial di Propinsi Jawa Barat

Gambaran perkembangan kemiskinan, angka harapan hidup, angka melek

huruf dan Rata-rata Lama Sekolah, Daya Beli, dan Infrastruktur Sosial di Propinsi

Jawa Barat dilakukan secara deskriptif secara umum dari semua Kabupaten/Kota

di Propinsi Jawa Barat.

6.1.1. Tingkat Kemiskinan Jawa Barat

Kemiskinan merupakan suatu fenomena yang kompleks dan masih

menjadi isu strategis yang menjadi perhatian baik bagi pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah. Penanganan masalah kemiskinan di Jawa Barat menjadi

prioritas pertama dari delapan isu strategis Pemerintah Propinsi Jawa Barat yang

tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Propinsi Jawa Barat

Tahun 2007. Berbagai kebijakan dilakukan dalam rangka menanggulangi masalah

kemiskinan, dalam hal ini termasuk juga dengan melakukan pendataan jumlah

penduduk miskin. Penghitungan jumlah penduduk miskin pada tahun 2003-2006

dilakukan dengan pendekatan pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam

memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan. Pendekatan ini bersifat makro

dan melakukan perhitungan penduduk miskin sampai pada tingkat

Kabupaten/Kota.

Garis kemiskinan yang digunakan untuk menghitung jumlah penduduk

miskin Jawa Barat pada tahun 2003 adalah Rp 130503 perkapita/bulan, pada

tahun 2004 adalah Rp 137929 perkapita/bulan dan Rp 185702 perkapita/bulan

pada tahun 2006. Berdasarkan batas kemiskinan tersebut, pada tahun 2003

persentase penduduk miskin mencapai 12.90 persen terus menurun menjadi 12.10

persen pada tahun 2004.

Akan tetapi penurunan angka kemiskinan tersebut tidak berlanjut pada

tahun berikutnya. Pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin Jawa Barat

meningkat menjadi 13.06 persen. Peningkatan jumlah penduduk miskin ini

diperkirakan karena adanya peningkatan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)

sebanyak dua kali pada tahun 2005. Pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin di

Jawa Barat kembali meningkat menjadi 14.49 atau meningkat 1.43 point dari

tahun 2005. Angka kemiskinan ini meningkat karena adanya peningkatan harga

bahan makanan terutama untuk sub kelompok padi-padian, umbi-umbian dan

hasilnya. Hal ini terlihat dari peningkatan secara signifikan pada Indeks Harga

Konsumen untuk sub kelompok padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya yang

mencapai 124.06 pada Desember 2005 meningkat menjadi 165.13 pada Desember

2006 untuk Kota Bandung sebagai ibu kota Jawa Barat. Kenaikan IHK ini

merupakan peningkatan tertinggi dibandingkan dengan peningkatan IHK sub

kelompok lain dan terjadi di sebagian besar Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa

Barat. Perkembangan jumlah penduduk miskin tiap Kabupaten/Kota di Propinsi

Jawa Barat pada Tahun 2003-2006 dapat dilihat pada Gambar 4.

Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa pada tahun 2003-2004

jumlah penduduk miskin menurun di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Hal

ini diduga karena adanya perbaikan kinerja pemerintah dalam meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi pada tahun 2004-2006 jumlah penduduk

miskin ini kembali meningkat pada hampir seluruh Kabupaten/Kota di Jawa

Barat.

77

0

5

10

15

20

25

Tingk

at K

emisk

inan

(%)

Kabupaten/ Kota

2003

2004

2005

2006

Gambar 4. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003-2006

78

Tabel. 13. Jumlah Kabupaten/Kota Menurut Persentase Penduduk Miskin Tahun 2002-2006

Tahun Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin

Jawa Barat

Jumlah Kabupaten/Kota dengan Persentase di Atas Rata-Rata Jawa

Barat

Jumlah Kabupaten/Kota

dengan Persentase di Bawah Rata-Rata Jawa

Barat 2003 12.56 13 9 2004 11.82 13 9 2005 12.77 13 9 2006 14.24 13 9

Sumber : BPS, Data dan Informasi Kemiskinan

Berdasarkan Tabel 13 diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi kemiskinan

penduduk di Jawa Barat dari tahun ke tahun relatif sama karena setiap tahun,

jumlah Kabupaten/Kota dengan persentase jumlah penduduk miskin yang berada

di bawah rata-rata persentase jumlah penduduk miskin Jawa Barat tidak berubah.

Hal ini juga menggambarkan bahwa persentase jumlah penduduk miskin di Jawa

Barat, banyak terdapat diwilayah pedesaan. Gambaran ini terlihat dari kenyataan

bahwa seluruh Kabupaten di Jawa Barat kecuali Kabupaten Bekasi, Kabupaten

Bogor, dan Kabupaten Bandung, yang identik dengan wilayah pedesaan, memiliki

persentase jumlah penduduk miskin di atas rata-rata persentase jumlah penduduk

miskin di Jawa Barat. Kabupaten yang memiliki persentase jumlah penduduk

miskin melebihi rata-rata propinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Sukabumi,

Cianjur, Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Kabupaten Cirebon,

Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, dan Karawang.

Secara rata-rata persentase jumlah penduduk miskin yang terendah adalah

Kota Bekasi. Hal ini dikarenakan banyaknya Industri yang berkembang di Kota

Bekasi yang didukung oleh letaknya yang dekat dengan Ibu Kota Negara sehingga

memiliki akses dan tingkat pertumbuhan baik serta disokong oleh sumberdaya

manusia yang berkualitas sehingga kesejahteraan rakyat menjadi lebih terjamin.

79

Sedangkan rata-rata persentase jumlah penduduk miskin yang tertinggi adalah

Kabupaten Majalengka. Hal ini dikarenakan pertumbuhan dan kemajuan wilayah

yang sulit berkembang dan kualitas sumberdaya yang rendah.

6.1.2. Angka Harapan Hidup di Jawa Barat

Faktor kesehatan merupakan salah satu indikator penting penunjang

pembangunan manusia karena tingkat produktivitas manusia secara langsung bisa

tergali dengan optimal ketika kondisi tubuhnya sedang maksimal. Dengan kata

lain, orang yang sehat lebih produktif dibandingkan orang yang sakit. Berikut

merupakan kaitan antara kesehatan dengan pembangunan manusia.

Sumber: Departemen Kesehatan RI dalam BPS Jawa Barat

Gambar 5. Kaitan Investasi Bidang Kesehatan dengan Pembangunan Manusia

Berdasarkan Gambar 5 di atas terlihat bahwa perbaikan kesehatan yang dihasilkan

oleh adanya investasi kesehatan akan dapat meningkatkan kualitas sumber daya

manusia, produktivitas manusia dan akhirnya dapat menyebabkan pertumbuhan

ekonomi dan pengurangan kemiskinan.

Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat diukur salah satunya dari

tingkat mortalitas. Ukuran mortalitas yang digunakan untuk mengukur kemajuan

pembangunan manusia adalah angka kematian bayi (AKB) dan angka harapan

Investasi Kesehatan Perbaikan Fisik dan Mental (Perbaikan Kesehatan)

Pertumbuhan Ekonomi

Pengurangan Kemiskinan Peningkatan Kualitas SDM

Peningkatan Produktivitas

80

hidup (AHH). Panjang usia hidup berhubungan negatif dengan rendahnya angka

kematian dan tingginya angka kesehatan. Semakin tinggi kesehatan menyebabkan

semakin rendahnya angka kematian sehingga memperbesar harapan hidup.

Angka harapan hidup Jawa Barat semakin meningkat dari 64.94 pada

tahun 2003 menjadi 66.57 pada tahun 2005 dan 67.40 tahun 2006. Angka harapan

hidup Kabupaten/Kota juga memiliki kecenderungan yang sama seperti wilayah di

atasnya yaitu Propinsi Jawa Barat. Dari tahun 2003 sampai dengan 2006 angka

harapan hidup Kabupaten/Kota di Jawa Barat mengalami peningkatan. Hal ini

dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan Gambar 6 tersebut dapat dilihat bahwa

dari tahun ke tahun angka harapan hidup Kabupaten/Kota di Jawa Barat semakin

meningkat, meskipun dengan peningkatan yang berbeda. Secara Keseluruhan,

angka harapan hidup tertinggi adalah Kota Bandung kemudian Kota Depok.

Rata-rata angka harapan hidup masing-masing Kota ini adalah 72.55 dan 72.53.

Hal ini dapat dipahami melihat Kota Bandung merupakan Ibu Kota Propinsi Jawa

Barat sehingga sarana dan prasarana sosial dan ekonomi memadai, dan Kota

Depok merupakan wilayah yang dekat dengan Ibu Kota Negara dan dijadikan

wilayah yang menyokong ibukota sehingga infrastrukturnya juga baik, sedangkan

rata-rata angka harapan hidup paling rendah adalah Kabupaten Garut yaitu sebesar

62.43. Hal ini terjadi karena Kabupaten Garut merupakan salah satu wilayah

tertinggal yang ada di wilayah Propinsi Jawa Barat dengan infrastruktur sosial

yang relatif lebih terbatas dibandingkan dengan Ibu Kota Propinsi.

81

67

54

56

58

60

62

64

66

68

70

72

74

Angk

a Ha

rapa

n Hi

dup

(Tah

un)

Kabupaten/ Kota

2003

2004

2005

2006

Gambar 6. Perkembangan Angka Harapan Hidup Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003-2006

82

6.1.3. Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah di Propinsi Jawa Barat

Pendidikan merupakan salah satu elemen penting pembangunan dan

perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Pendidikan juga berperan penting

dalam meningkatkan kualitas hidup individu dan masyarakat. Semakin tinggi

tingkat pendidikan masyarakat maka akan semakin baik kualitas sumber dayanya.

Komponen pendidikan atau pengetahuan diukur dari kombinasi angka melek huruf

dan rata-rata lama sekolah dari penduduk 15 tahun keatas.

Pencapaian pendidikan yang dicerminkan oleh angka melek huruf dan

rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun keatas di Jawa Barat relatif terus

membaik. Angka melek huruf penduduk dewasa (15 tahun keatas) di Propinsi

Jawa Barat selama periode 2003-2006 mengalami perkembangan. Hal ini

menggambarkan semakin berkurangnya jumlah penduduk dewasa yang buta

huruf. Pada tahun 2003 angka melek huruf Jawa Barat mencapai 93.62 persen

terus mengalami peningkatan setiap tahun dan mencapai 94.52 persen pada tahun

2005 kemudian 94.90 persen pada tahun 2006.

Rata-rata lama sekolah di Propinsi Jawa Barat juga menunjukan

perkembangan setiap tahunnya, dari 7.2 tahun pada tahun 2003 kemudian

meningkat menjadi 7.37 pada tahun 2004 dan pada 7.46 tahun pada tahun 2006.

Akan tetapi pencapaian komponen pendidikan ini belum begitu besar. Hal ini

terjadi karena laju pertumbuhan angka melek huruf mengalami penurunan pada

tahun 2005-2006 dan diperkuat dengan penurunan laju pertumbuhan rata-rata lama

sekolah yang terjadi sepanjang waktu dalam periode analisis yang terjadi karena

masih banyaknya penduduk yang tidak tamat SD.

83

0

0.05

0.1

0.15

0.2

2003-2004

2004-2005

2005-2006

00.10.20.30.40.50.6

2003-2004 2004-2005 2005-2006

(a) (b) Gambar 7. Laju Pertumbuhan Rata-Rata Lama Sekolah (a) dan Angka

Melek Huruf (b) di Jawa Barat Tahun 2003-2006

Hampir seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat memiliki kecenderungan

yang sama dengan wilayah diatasnya, di mana angka melek huruf penduduk

berusia 15 tahun keatas semakin meningkat dari tahun 2003 sampai dengan tahun

2006. Secara rata-rata, angka melek huruf paling tinggi adalah Kota Bandung

yaitu mencapai 99.245 persen sedangkan wilayah dengan rata-rata angka melek

huruf yang paling rendah adalah Kabupaten Indramayu.

Dilihat dari indikator Rata-rata Lama Sekolah, rataan paling tinggi yaitu

Kota Bekasi, 10.73 tahun atau mencapai setara SMU. Kemudian yang paling

rendah adalah Kabupaten Indramayu dengan rata-rata mencapai 5.72 atau setara

SD. Berdasarkan pada kedua kecenderungan angka melek huruf dan rata-rata lama

sekolah di atas dapat disimpulkan bahwa wilayah perkotaan relatif memiliki angka

yang tinggi, baik untuk melek huruf maupun rata-rata lama sekolah dibandingkan

dengan wilayah perdesaan. Hal ini diduga terkait dengan kesadaran masyarakat

Kota yang lebih tinggi terhadap pendidikan. Perkembangan angka melek huruf

dan rata-rata lama sekolah menurut Kabupaten/Kota dapat dilihat pada Gambar 8.

dan Gambar 9. berikut.

84

Gambar 8. Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003-2006

85

0

20

40

60

80

100

120

Angk

a M

elek

Hur

uf (%

)

Kabupaten/ Kota

2003

2004

2005

2006

Gambar 9. Perkembangan Angka Melek Huruf Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003-2006

86

6.1.4. Kemampuan Daya Beli di Propinsi Jawa Barat (PPP)

Berdasarkan kesepakatan UNDP, kemampuan daya beli atau purchasing

power parity (PPP) digunakan untuk menggambarkan kondisi ekonomi

masyarakat dalam perhitungan indeks pembangunan manusia. Kemampuan daya

beli tersebut merupakan konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan. Oleh

sebab itu, daya beli masyarakat suatu wilayah dapat dibandingan dengan daya beli

masyarakat di wilayah lain.

Secara umum, kemampuan daya beli penduduk Propinsi Jawa Barat telah

mengalami perbaikan dalam kurun waktu 2003-2006. Pada tahun 2003, daya beli

masyarakat mencapai Rp 553700 meningkat menjadi Rp 561100 pada tahun 2006.

Akan tetapi, dalam kurun waktu empat tahun peningkatan daya beli penduduk

Propinsi Jawa Barat masih relatif kecil, yaitu hanya 7.4 poin. Relatif lambatnya

peningkatan kemampuan daya beli masyarakat Jawa Barat tersebut, kemungkinan

disebabkan oleh kebijakan makro ekonomi nasional seperti adanya pencabutan

subsidi BBM pada tahun 2005 dan adanya larangan impor beras yang

menyebabkan kenaikan harga beras sebesar 33 persen secara nasional antara bulan

Februari 2005 dan Maret 2006 (World Bank, 2006). Fenomena tersebut

menunjukan bahwa setiap perubahan kebijakan makro ekonomi nasional,

berdampak serius terhadap ketatnya daya beli masyarakat. Sebagian besar,

kemampuan daya beli masyarakat Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat juga

mengalami peningkatan. Rata-rata kemampuan daya beli yang paling tinggi

adalah Kota Depok. Hal ini diduga karena Kota Depok memiliki posisi yang

strategis yaitu dekat dengan ibu kota Negara dan dijadikan sebagai penyokong ibu

Kota,

87

480000

500000

520000

540000

560000

580000

600000

620000

Purc

hasin

g Po

wer

Par

ity (R

p/Bu

lan

Kabupaten/ Kota

2003

2004

2005

2006

Gambar 10. Perkembangan Kemampuan Daya Beli Masyarakat Kabuten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003-2006

88

sehingga laju perekonomian Kota Depok tidak berbeda jauh dengan ibu kota

Jakarta (BPS Jawa Barat, 2005). Kondisi ini membawa penduduk Kota Depok

memiliki tingkat penghasilan yang cukup tinggi dan daya beli yang tinggi pula.

Pada Gambar 10. dapat dilihat perkembangan kemampuan daya beli menurut

Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

6.1.5. Pengangguran Terbuka di Propinsi Jawa Barat

Pengangguran merupakan suatu fenomena yang diduga menjadi salah satu

penyebab kemiskinan di suatu wilayah. Pengangguran yang dimaksud dalam

kajian ini adalah pengangguran terbuka yaitu angkatan kerja dewasa yang tidak

bekerja dan yang sedang mencari pekerjaan. Banyaknya penduduk yang bekerja

akan berdampak pada peningkatan kemampuan penduduk tersebut dalam

pemenuhan kebutuhan secara lengkap karena adanya peningkatan pendapatan.

Berlawanan dengan pernyataan tersebut, pengangguran akan mengurangi

kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya yang akhirnya akan

membawa masyarakat ke dalam kemiskinan.

Secara rata-rata, tingkat pengangguran Kabupaten/kota di Jawa barat,

tahun 2003-2004 mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 rata-rata tingkat

pengangguran Kabupaten/Kota di Jawa Barat mencapai 9.92 persen kemudian

meningkat menjadi 12.10 persen tahun 2004. Akan tetapi pada tahun berikutnya

yaitu tahun 2005 dan 2006 rata-rata tingkat pengangguran terbuka

Kabupaten/Kota di Jawa Barat kembali mengalami penurunan secara bertahap

yaitu mencapai 11.69 persen pada tahun 2005 dan 10.62 persen pada tahun 2006.

Perkembangan tingkat pengangguran terbuka Kabupaten/Kota di Jawa Barat dapat

dilihat secara lengkap pada Gambar 11.

89

0

5

10

15

20

25

Tingk

at P

enga

nggu

ran

Terb

uka

(%)

Kabupaten/ Kota

2003

2004

2005

2006

Gambar 11. Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2003-2006

90

Berdasarkan Gambar 11 tersebut, Kabupaten/Kota yang memiliki rata-rata

tingkat pengangguran tertinggi dari tahun 2003-2006 adalah tingkat pengangguran

wilayah gabungan Kabupaten Bandung dengan Kota Cimahi dan tingkat

pengangguran yang paling rendah adalah Kabupaten Ciamis. Tingginya tingkat

pengangguran tersebut di duga karena tingginya migrasi yang masuk, terutama di

Kota Cimahi, sehingga menimbulkan persaingan dalam memperoleh pekerjaan.

Kondisi tersebut juga terjadi di kota-kota lain di Propinsi Jawa Barat. Hal tersebut

terbukti dengan besarnya rata-rata tingkat pengangguran seluruh kota di Jawa

Barat yang melebihi rata-rata tingkat pengangguran Jawa Barat.

6.1.6. Angka Beban Ketergantungan di Propinsi Jawa Barat

Angka beban ketergantungan merupakan perbandingan antara jumlah

penduduk usia tidak produktif dengan jumlah penduduk usia produktif. Semakin

tingginya persentase dependency ratio atau angka beban ketergantungan

menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang

produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak

produktif. Sebaliknya semakin rendah angka beban ketergantungan menunjukan

semakin rendahnya beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif untuk

membiayai hidup penduduk tidak produktif.

Rata-rata angka beban ketergantungan Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa

Barat berfluktuasi dari tahun 2003-2006. Pada tahun 2003 angka beban

ketergantungan mencapai 50.74 persen. Angka ini mengalami peningkatan pada

tahun 2004 sebesar 0.86 poin, menurun kembali pada tahun 2005 menjadi 51.03

persen, dan menjadi 51.02 persen pada tahun 2006. Dengan kata lain, secara

umum rata-rata angka beban ketergantungan Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa

91

Barat meningkat dari tahun 2003-2006. Hal ini terjadi karena struktur penduduk

Propinsi Jawa Barat masih tergolong struktur penduduk muda dimana jumlah

penduduk usia muda lebih banyak dari pada penduduk dewasa. Akan tetapi angka

ini mulai mengalami penurunan pada tahun 2004-2005, dengan kata lain mulai

terjadi pergeseran struktur penduduk sehingga jumlah penduduk usia produktif

yakni penduduk usia 15-45 tahun meningkat dan akhirnya mempengaruhi

besarnya rasio beban ketergantungan. Secara rata-rata, kabupaten/kota yang

mempunyai angka beban ketergantungan tertinggi adalah wilayah Kabupaten

Garut sedangkan wilayah dengan angka beban ketergantungan yang paling rendah

adalah wilayah Kota Bandung. Perkembangan angka beban ketergantungan dapat

dilihat pada Gambar 12.

6.1.7. Infrastruktur Sosial Propinsi Jawa Barat

Infrastruktur merupakan salah satu komponen penting dalam

pembangunan baik pembangunan ekonomi maupun pembangunan manusia. Oleh

sebab itu pembangunan infrastruktur sosial menjadi penting untuk menunjang

perbaikan kualitas sumber daya manusia. Infrastruktur sosial yang dikemukakan

dalam pembahasan ini terdiri dari infrastruktur pendidikan dan kesehatan.

Infrastruktur pendidikan tersebut terdiri dari bangunan sekolah baik SD, SMP,

SMA, dan SMK, sedangkan infrastruktur kesehatan terdiri dari rumah sakit,

puskesmas, puskesmas pembantu, puskesmas keliling, dan balai pengobatan.

Perkembangan Infrastruktur sosial menurut kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat

dapat dilihat pada Tabel 14.

92

0

10

20

30

40

50

60

70

Angk

a Be

ban

Kete

rgan

tung

an (%

)

Kabupaten/ Kota

2003

2004

2005

2006

Gambar 12. Perkembangan Angka Beban Ketergantungan Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003-2006

93

Tabel 14. Infrastruktur Sosial Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat 2002-

2006

Infrastruktur Sosial Pendidikan Kesehatan

SD SMP SMA SMK Rumah sakit Puskesmas Puskesmas

Pembantu Puskesmas

keliling

Balai peng- obatan

Tahun

2003 19 772 2 294 840 637 125 979 1447 461 2 504 2004 20 510 2 594 1 046 844 152 993 1 436 516 2 640 2005 20 068 2 694 1 046 816 177 994 1 465 526 3 149 2006 19 949 2 933 1 175 944 205 1 004 1 452 575 2 881

Sumber: BPS Jawa Barat, Propinsi Jawa Barat dalam Angka (diolah) Berdasarkan Tabel 14 menunjukan bahwa secara umum dari tahun 2003-

2006 jumlah infrastruktur sosial di Propinsi Jawa Barat mengalami peningkatan,

terutama pada infrastruktur kesehatan. Hal ini terlihat dari semakin tingginya

jumlah rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling

pada tahun 2003-2006, meskipun ada penurunan jumlah balai pengobatan secara

nyata pada tahun 2006. Hal itu menunjukan bahwa perbaikan dan peningkatan

dukungan pemerintah terhadap peningkatan sarana kesehatan harus terus di

lakukan dan ditingkatkan untuk menjamin aksesibilitas masyarakat terhadap

sarana kesehatan.

Perkembangan jumlah infrastruktur pendidikan di Propinsi Jawa Barat

bervariasi disetiap tahun. Jumlah Sekolah Dasar tahun 2003-2004 mengalami

peningkatan dari 19772 unit menjadi 20510 unit. Akan tetapi peningkatan ini

tidak bertahan lama, jumlah Sekolah Dasar kembali menurun sampai tahun 2006.

Jumlah Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Kejuruan semakin

meningkat setiap tahun dari tahun 2003-2006.

80

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Skor

Infr

astr

uktu

r Sos

ial

Kabupaten/ Kota

2003

2004

2005

2006

Gambar 13. Perkembangan Skor Infrastruktur Sosial Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat 2003-2006

95

Secara umum, jumlah Sekolah Menengah Atas dan kejuruan juga menunjukan

perkembangan yang sama, yakni mengalami peningkatan dalam rentang waktu

analisis, meskipun pada tahun 2004-2005 terjadi penurunan jumlah SMK.

Untuk mengetahui perkembangan infrastruktur sosial secara umum yang

meliputi sarana pendidikan dan kesehatan setiap Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa

Barat digambarkan melalui Gambar 13. Secara umum, rata-rata perkembangan

skor infrastruktur sosial Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat setiap tahun

bervariasi. Skor infrastruktur sosial menurun pada tahun 2003-2004 sebesar 1.23

poin, kemudian meningkat pada tahun 2005 dan kembali menurun pada tahun

2006. Rata-rata skor infrastruktur sosial yang paling tinggi adalah gabungan

Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi, sedangkan rata-rata skor infrastruktur yang

paling rendah adalah Kota Sukabumi.

6.2. Analisis Hubungan Antara Komponen Pembangunan Manusia dengan Kemiskinan di Propinsi Jawa Barat

6.2.1. Evaluasi Model

Analisis hubungan pembangunan manusia dengan kemiskinan di Propinsi

Jawa Barat dilakukan dengan mengevaluasi dan menginterpretasi hasil regresi

data panel yang terdiri dari 22 Kabupaten/Kota sebagai komponen cross section

dan dengan komponen time series yaitu data tahunan dari tahun 2003 sampai

dengan 2006. Estimasi dilakukan dengan menggunakan metode pooled least

square. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa data dalam unit cross

section yang digunakan tidak menunjukan heterogenitas antar waktu yang nyata.

Hal ini terlihat dari kondisi perubahan sebagian besar unit cross section terjadi

pada arah yang sama untuk setiap unit time series. Disamping itu, dilihat dari

96

signifikansi data dan kesesuaian dengan teori ekonomi, metode tersebut

memberikan hasil estimasi yang terbaik.

Hasil estimasi dengan metode pooled least square disajikan secara lengkap

pada Lampiran 2, dapat dilihat pada Tabel 15, dari hasil estimasi yang diperoleh,

kita dapat melakukan uji asumsi penting ekonometrika yang terdiri atas uji

multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Selain itu, kemampuan

model yang digunakan dalam menjelaskan keragaman yang terjadi juga dapat

diketahui. Adanya multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat hasil t dan F-

statistik hasil regresi. Dari hasil regresi dapat dilihat bahwa F-statistik signifikan

pada tingkat kepercayaan 95 persen (taraf nyata 5 persen) dengan nilai

probabilitas F-statistik sebesar 0.000. Uji signifikansi individu juga dapat

diketahui dengan melihat probabilitas t-statistik dan membandingkannya dengan

taraf nyata yang digunakan.

Tabel 15. Hasil Estimasi dengan Menggunakan Model Pool Least Square dengan Pembobotan (Cross Section Weight) dan White Cross Section Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 4.653827 0.510309 9.119630 0.0000LOG(AHH?) 0.097625 0.051681 1.888980 0.0625

AMH? -0.006932 0.079854 -0.086806 0.9310LOG(RLS?) -0.209394 0.014532 -14.40944 0.0000LOG(PPP?) -0.342590 0.038138 -8.982884 0.0000LOG(INF?) 0.000191 0.001903 0.100529 0.9202UNMPLY? -0.290001 0.043074 -6.732562 0.0000DPNDN? 0.110420 0.034284 3.220717 0.0018

Weighted Statistics R-squared 0.954529 Sum squared resid 0.080798

Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 0.878094Unweighted Statistics

R-squared 0.707572 Sum squared resid 0.089659Durbin-Watson stat 0.792161

97

Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan terdapat empat variabel yang

signifikan dari tujuh variabel penjelas, atau lebih dari 50 persen jumlah variabel

penjelas signifikan pada taraf nyata 5 persen sehingga asumsi adanya

multikolinearitas dapat diabaikan. Uji asumsi penting ekonomika yang kedua

adalah uji autokorelasi. Statistik DW yang diperoleh dari hasil estimasi dalam

penelitian ini menunjukan adanya autokorelasi positif dimana DW-statistik yang

dihasilkan yaitu 0.88 dan jatuh pada wilayah kurang dari dl. Jika gejala

autokorelasi ini diabaikan, maka estimasi yang diperoleh tidak efisien meskipun

masih tidak bias dan konsisten. Estimasi standar error dan varian koefisien

regresi yang diperoleh underestimate sehingga uji-t, uji-F menjadi tidak sahih lagi

untuk digunakan.

Gejala autokorelasi ini dapat diatasi dengan metode pembedaan pertama

(The First Difference Methode). Data ditransformasikan dan hasilnya dapat dilihat

pada Lampiran 3. estimasi selanjutnya dilakukan dengan metode least square

dengan hasil estimasi disajikan secara lengkap pada Lampiran 4. dan secara

ringkas pada Tabel 16.

Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 16 tersebut, terlihat bahwa asumsi

adanya multikolinearitas dapat diabaikan karena empat dari tujuh variabel

penjelas signifikan. Kemudian gejala autokerelasi yang terdeteksi pada estimasi

awal, sudah diatasi hal ini terlihat dari statistik DW yang bernilai 1.5. Meskipun

nilai tersebut masih berada pada wilayah tidak ada kesimpulan akan tetapi residual

tiap individu berfluktuasi tidak sistematis dan tidak menunjukan suatu

kecenderungan tertentu dalam setiap waktu. Hal tersebut mengindikasikan bahwa

sudah tidak terdapat autokorelasi.

98

Tabel 16. Hasil Estimasi data hasil transformasi dengan Pembobotan (Cross Section Weight) dan White Cross Section Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 2.199449 0.456437 4.818741 0.0000

LOG(AHH_TRAN?) -0.064619 0.026971 -2.395903 0.0198AMH_TRAN? -0.106275 0.075440 -1.408735 0.1643

LOG(RLS_TRAN?) -0.098826 0.008532 -11.58312 0.0000LOG(PPP_TRAN?) -0.140146 0.037132 -3.774326 0.0004LOG(INF_TRAN?) 0.001126 0.001444 0.780006 0.4386UNMPLY_TRAN? -0.352970 0.037300 -9.463022 0.0000DPNDN_TRAN? 0.019461 0.026554 0.732870 0.4666

Weighted Statistics R-squared 0.933737 Sum squared resid 0.038298

Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 1.491028Unweighted Statistics

R-squared 0.538411 Sum squared resid 0.042072Durbin-Watson stat 1.184608

-.08

-.04

.00

.04

.08

.12

.16

.20

1 2 3

RESID_BGRRESID_SMIRESID_CNJRRESID_BDGCMHRESID_GRTRESID_TSKRESID_CMSBNJRRESID_KNGNRESID_CRBNRESID_MJLGKRESID_SMDG

RESID_INDRRESID_SBGRESID_PWKTRESID_KRWGRESID_BKSRESID_KBGRRESID_KSMIRESID_KBDGRESID_KCRBNRESID_KBKSRESID_KDPK

Gambar 14. Residual Unit Cross Section

Langkah selanjutnya dalam mengevaluasi hasil regresi adalah mendeteksi

adanya heteroskedastisitas. Karena dalam mengestimasi model diatas diberi

perlakuan cross section weights, serta White Heteroskedasticity-consisten Standar

Error and Covariance maka asumsi adanya heteroskedastisitas dapat diabaikan.

99

Nilai R2 atau koefien determinasi sebesar 0.9337 yang menunjukkan bahwa

tingkat kemiskinan sebesar 93.37 persen dapat dijelaskan oleh variasi angka

harapan hidup (AHH), angka melek huruf (AMH), kemampuan daya beli (PPP),

skor infrastruktur sosial (INF), tingkat pengangguran (UNMPLY), dan angka

beban ketergantungan (DPNDN), sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain

diluar model. Hasil ini diperkuat dengan probabilitas F-statistik yang signifikan

pada taraf nyata lima persen yaitu sebesar 0.000. Berdasarkan hasil estimasi dan

evaluasi model tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa model tersebut

merupakan model terbaik untuk digunakan dalam penelitian ini.

6.2.2. Interpretasi Model

Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa variabel yang signifikan

mempengaruhi kemiskinan di Propinsi Jawa Barat pada selang kepercayaan 95

persen adalah variabel angka harapan hidup (AHH), rata-rata lama sekolah (RLS),

kemampuan daya beli (PPP), dan tingkat pengangguran terbuka (UNMPLY).

Sedangkan variabel yang mempengaruhi kemiskinan di Propinsi Jawa Barat

secara tidak nyata adalah variabel angka melek huruf (AMH), infrastruktur sosial

(INF), dan angka beban ketergantungan (DPNDN).

Variabel angka harapan hidup yang menggambarkan derajat kesehatan suatu

masyarakat, berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan di

Propinsi Jawa Barat pada taraf nyata lima persen. Nilai koefisien regresi dari

variabel angka harapan hidup sebesar -0.06. tanda negatif pada koefisien regresi

tersebut menunjukan bahwa variabel angka harapan hidup memiliki hubungan

negatif atau berhubungan terbalik dengan tingkat kemiskinan di Jawa Barat.

Artinya semakin tinggi angka harapan hidup maka semakin rendah tingkat

100

kemiskinan Propinsi Jawa Barat, ceteris paribus. Hubungan negatif dan

signifikannya variabel angka harapan hidup tersebut telah sesuai dengan hipotesis

yang telah dibuat. Tingginya angka harapan hidup mencerminkan derajat

kesehatan yang semakin baik. Dengan semakin baiknya derajat kesehatan maka

produktivitas masyarakat akan semakin baik dan akhirnya tingkat kesejahteraan

akan meningkat dan secara umum akan menurunkan tingkat kemiskinan.

Variabel rata-rata lama sekolah pun mempunyai pengaruh signifikan dan

negatif terhadap tingkat kemiskinan. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah maka

tingkat kemiskinan akan semakin menurun, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan

hipotesis yang telah dikemukakan sebelumnya. Tingginya rata-rata lama sekolah

mencerminkan kondisi pendidikan suatu masyarakat semakin baik. tingkat

pendidikan yang semakin baik akan meningkatkan kemampuan individu yang

terkait dalam meningkatkan asetnya dan meningkatkan posisi tawarnya dalam

memperoleh kesempatan bekerja. Kemampuan ini mendorong pada peningkatan

pendapatan, akhirnya peningkatan kesejahteraan dan pengurangan tingkat

kemiskinan secara umum.

Variabel kemampuan daya beli atau purchasing power parity (PPP) juga

menunjukkan hubungan negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di

Propinsi Jawa Barat pada taraf nyata lima persen. Semakin tinggi kemampuan

daya beli masyarakat, semakin rendah tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat,

ceteris paribus. Hubungan negatif dan signifikan pada variabel kemampuan daya

beli ini telah sesuai dengan hipotesis yang telah dikemukakan sebelumnya.

Semakin tinggi kemampuan daya beli berarti kemampuan masyarakat secara

101

ekonomi dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya juga semakin baik, dengan

demikian tingkat kemiskinan akan semakin menurun.

Berdasarkan hasil estimasi, variabel tingkat pengangguran juga dinyatakan

sebagai variabel yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kemiskinan di Propinsi

Jawa Barat. Tanda dari nilai koefisien regresi variabel tingkat pengangguran

adalah negatif, yang menyatakan bahwa semakin rendah tingkat pengangguran

maka tingkat kemiskinan akan semakin tinggi. Hubungan negatif dan signifikan

pada variabel tingkat pengangguran tersebut tidak sesuai dengan hipotesis yang

telah dibuat. Hal ini dapat dijelaskan melalui beberapa kemungkinan. Pertama,

tingginya migrasi masuk di Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil survei sosial

ekonomi 2005 terungkap bahwa tingginya laju pertumbuhan ekonomi di Propinsi

Jawa Barat tidak hanya karena pertumbuhan penduduk alami, tetapi juga

tingginya migrasi masuk dibandingkan dengan migrasi keluar. Dari pertumbuhan

penduduk 2.10 persen per tahun, sekitar 1.53 persen adalah laju pertumbuhan

alami, sisanya diperoleh dari migrasi masuk. Dari data tersebut dapat diartikan

bahwa dari 820057 jiwa, sebanyak 597494 jiwa merupakan pertambahan

penduduk dari selisih angka kelahiran dikurangi kematian dan sisanya 222563

jiwa merupakan selisih dari migrasi masuk dan migrasi keluar serta 49 persen dari

penduduk migran tersebut datang untuk mencari kerja dan kehadirannya

menambah beban Jawa Barat.4

Hal tersebut mengakibatkan tingginya persaingan antara penduduk migran

dengan penduduk asli, bahkan penduduk migran dapat mengambil kesempatan

penduduk setempat untuk memperoleh pekerjaan. Sehingga upaya perluasan

4 http : //64.203.71.11/ kompas-cetak/ 0603/18/ jabar/590.htm (diakses tanggal 3 mei 2008)

102

kesempatan kerja yang dilakukan oleh pemerintah tidak mampu meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Kedua, kondisi kebijakan ekonomi makro nasional,

seperti kebijakan pencabutan subsidi BBM, menyebabkan inflasi. Akibatnya,

peningkatan pendapatan nominal masyarakat sebagai akibat dari adanya perluasan

kesempatan kerja tidak mampu mengimbangi kenaikan harga ini atau dengan kata

lain, secara riil, pendapatan yang diperoleh tidak mampu mendongkrak

kemampuan masyarakat untuk memenuhi konsumsinya. Sehingga penurunan

tingkat pengangguran tidak berpengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan

bahkan kemiskinan di Propinsi Jawa Barat semakin meningkat.

Pada hasil estimasi, dapat dilihat bahwa variabel angka melek huruf (AMH)

berpengaruh tidak signifikan terhadap variabel tingkat kemiskinan dalam taraf

nyata lima persen. Insignifikansi dari variabel angka melek huruf ini

mengindikasikan bahwa pada kenyataannya, kondisi melek huruf yang

menggambarkan kemampuan baca masyarakat Jawa Barat bukanlah faktor yang

menentukan perubahan tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Hal ini dapat terjadi

karena berdasarkan informasi dari berita daerah Propinsi Jawa Barat (2007)

mengenai Isu Strategis Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat diketahui

bahwa Penduduk Jawa Barat yang masih buta aksara sebagian besar yaitu

penduduk usia lanjut dan penduduk yang secara geografis sulit menjangkau sarana

pendidikan. Sehingga upaya pemberantasan buta huruf yang dilakukan tidak

secara maksimal diterjemahkan pada peningkatan produktifitas, peningkatan

pendapatan dan penurunan tingkat kemiskinan pada akhirnya.

Variabel Infrastruktur sosial juga menujukan hal yang sama dengan variabel

angka melek huruf, variabel ini tidak signifikan pada taraf nyata lima persen.

103

Peningkatan infrastruktur sosial yang terjadi dalam jangka waktu yang diamati

tidak mampu menekan tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat. Hal ini terjadi

terkait dengan tidak meratanya infrastruktur sosial, baik infrastruktur pendidikan

maupun infrastruktur kesehatan. Disamping itu, sarana dan prasarana yang telah

dibangun untuk mengurangi ketidakmerataan infrastruktur sosial, belum

dimanfaatkan secara optimal karena terbatasnya jumlah dan kualitas SDM (Pemda

Jawa Barat, 2007). Sehingga peningkatan infrastruktur sosial yang terjadi tidak

mencerminkan perubahan yang searah dalam hal aksesibilitas masyarakat

terhadap pendidikan dan kesehatan. Disamping itu, aksesibilitas masyarakat

terhadap pendidikan dan kesehatan tidak dapat dijamin secara langsung oleh

tingginya jumlah infrastruktur tersebut, biaya pendidikan dan kesehatan yang

terjangkau dan kualitas pelayanan yang diberikan melalui sarana pendidikan dan

kesehatan tersebut juga termasuk kedalam cakupan aksesibilitas tersebut.

Demikian juga dengan variabel angka beban ketergantungan (DPNDN),

variabel tersebut tidak signifikan pada taraf nyata lima persen. Perubahan pada

variabel angka beban ketergantungan sangat sedikit bahkan tidak berpengaruh

terhadap perubahan tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat. Naik turunnya

angka beban ketergantungan tidak bisa secara langsung diartikan sebagai naik

turunnya tanggungan ekonomi penduduk usia produktif terhadap usia belum/tidak

produktif. Meskipun penduduk usia kurang 15 tahun dan penduduk usia diatas 65

tahun termasuk penduduk tidak produktif faktanya banyak diantara mereka yang

bekerja membantu ekonomi rumahtangga. Sehingga tingkat pendapatan perkapita

tidak menurun secara drastis sejalan dengan meningkatnya jumlah beban

ketergantungan seperti yang digambarkan dalam penelitian Nurhayati (2007).

104

6.3. Implikasi Kebijakan

Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat, maka dapat dirumuskan beberapa

implikasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa

Barat dalam rangka menekan tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat, yaitu

sebagai berikut.

1. Peningkatan aksesibilitas dan kualitas kesehatan masyarakat. Hal ini dapat

dilakukan dengan pemerataan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan seperti

dokter dan bidan, mendorong penyediaan sarana dan prasarana kesehatan yang

mudah diakses dan murah, terutama untuk daerah terpencil dan di Kabupaten

yang memiliki IPM atau secara khusus memiliki angka harapan hidup di

bawah rata-rata angka harapan hidup Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat.

Kemudian peningkatan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin,

serta peningkatan pelaksanaan dan realisasi program-program kesehatan lain

yang telah dirumuskan Pemerintah Propinsi.

2. Meningkatkan pelaksanaan program-program dengan prioritas peningkatan

aksesibilitas, kualitas, daya saing, dan tata kelola pendidikan yang telah

dirancang Pemerintahan Propinsi Jawa Barat, seperti rehabilitasi,

penambahan, serta pemerataan sarana dan prasarana pendidikan,

meningkatkan angka partisipasi sekolah masyarakat miskin dan mengurangi

angka Drop Out dengan memberikan bantuan beasiswa kepada siswa yang

kurang mampu dan siswa yang berprestasi. Kemudian meningkatkan kualitas

dan kuantitas pendidikan non formal untuk memfasilitasi masyarakat dalam

komunitas dan lokasi yang sulit menjangkau pendidikan, seperti

105

pengembangan kejar paket A, B, dan C dan pengembangan keaksaraan

fungsional dengan sistem pembelajaran yang disesuaikan dan kualitas

pengajar yang baik.

3. Mempertahankan dan meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat miskin

dan tertinggal. Hal ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pelaksanaan

program terkait peningkatan daya beli yang telah dilakukan oleh Pemerintah

Propinsi Jawa Barat seperti seperti peningkatan ketahanan pangan secara

berkelanjutan untuk membentengi kesejahteraan masyarakat dari peningkatan

harga pangan sebagai akibat dari ketidakstabilan kebijakan makro nasional hal

tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan akses terhadap permodalan

bagi petani yang disertai dengan pendampingan dan penyuluhan-penyuluhan

pertanian untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya terutama

untuk Kabupaten-Kabupaten dimana sebagian besar penduduknya bekerja

dalam sektor pertanian. Peningkatan daya beli dapat dilakukan dengan

peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan keterampilan masyarakat

terutama peningkatan pendidikan di luar sekolah. Hal itu dapat dilakukan

dengan pembinaan dan pengembangan lembaga kursus dan memberikan

pelatihan-pelatihan keterampilan kepada mayarakat.

4. Mengoptimalkan pelaksanaan program peningkatan kompetensi dan

perlindungan tenaga kerja seperti peningkatan keterampilan ketenagakerjaan

dan peningkatan akses peluang kerja dan pasar kerja bagi masyarakat Propinsi

Jawa Barat seperti pelatihan dan penempatan dengan pola magang dan

perluasan lapangan kerja melalui pengembangan usaha produktif.

106

5. Pengendalian laju pertumbuhan alamiah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara

memudahkan akses masyarakat terhadap alat dan kontrasepsi dan

pendewasaan usia kawin. Pengendalian laju pertumbuhan penduduk ini

penting untuk menekan tingginya angka beban ketergantungan muda yang

mungkin akan semakin tinggi dan akhirnya berpengaruh terhadap tingkat

kemiskinan.