Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR TERHADAP PENURUNAN KEMISKINAN DI KABUPATEN
TERTINGGAL
PERWITA SARI NRP. H 151090294
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2011
Perwita Sari NRP : H 151090294
ABSTRACT
PERWITA SARI. Impact Analysis of Infrastructure Development Program to Reduce Poverty on Underdeveloped Region. Under direction of NUNUNG NURYARTONO and LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Raising up welfare and reducing poverty are some of the government goals in
underdeveloped region. Therefore the ministry of underdeveloped region accelerate these by implementing P2IPDT, which is an infrastructure development program in underdeveloped region. The purpose of this study is to analyse the impact of this programs on the economy, inequality and poverty reduction. Using dynamic panel data model, the result shows that P2IPDT has significant and positive impact to per capita GDRP in the medium and long run. However, increased of per capita GDRP is not only comes from increased of P2IPDT but also from increased of inequality. Therefore this condition makes the economy unable to reduce poverty on underdeveloped region.
Keywords: P2IPDT, economy, inequality, poverty, dynamic panel data model
RINGKASAN
PERWITA SARI. Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan” (Kementrian Keuangan, 2011). Visi pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan. Salah satunya adalah penerapan program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). Kebijakan tersebut dilakukan mengingat masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori sebagai daerah tertinggal di Indonesia (183 kabupaten atau sekitar 40,39%) dan masih tingginya rata-rata persentase jumlah penduduk miskin di daerah tertinggal (sebesar 17,47% pada tahun 2009).
Angka kemiskinan yang tinggi di kabupaten tertinggal ini ternyata diikuti oleh kinerja perekonomian yang buruk. Data empiris menunjukkan bahwa pada tahun 2009, rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KBI hanya sebesar Rp Rp 1.997,05 juta atau sekitar 42,23 persen dari rata-rata nasional, sedangkan rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KTI hanya sebesar Rp 1.189,09 juta atau sekitar 25,14 persen dari rata-rata nasional. Perbedaan yang cukup signifikan dari rata-rata output, baik di wilayah KBI maupun KTI dengan rata-rata nasional ini mengindikasikan bahwa di Indonesia masih terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi yang cukup besar. Ketimpangan pembangunan ekonomi tersebut juga diikuti dengan ketimpangan pendapatan rumahtangga. Pada Tahun 2008, angka gini rasio Indonesia adalah sebesar 0,37 dimana menurut Todaro dan Smith (2006) angka ini sudah tidak lagi mencerminkan pendapatan masyarakat yang relatif merata.
Pemerintah dalam hal ini Kementrian PDT, telah berupaya memberikan bantuan stimulus untuk pembangunan infrastruktur daerah tertinggal. Pada Tahun 2007 Kementrian PDT mengucurkan dana untuk program P2IPDT sebesar Rp 105,37 milyar dan pada Tahun 2008 naik lebih dari dua kali lipat menjadi sebesar Rp 274,82 milyar. Upaya mendorong perekonomian kabupaten tertinggal melalui peningkatan infrastruktur sejalan dengan penelitian-penelitian empiris sebelumnya (Aschauer 1989, Munnel 1992, Canning dan Pedroni 1999, Perkins, et al 2005, Seetanah, et al 2009, Prasetyo 2010). Sarana dan prasarana infrastruktur dibutuhkan tidak hanya oleh rumah tangga namun juga oleh dunia usaha, melalui peningkatan infrastruktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mendorong perekonomian. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh program pembangunan infrastruktur dan kaitannya terhadap perekonomian, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di kabupaten tertinggal.
Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada 82 kabupaten yang termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal yang ditetapkan oleh Kementrian PDT Tahun 2005. Pemilihan 82 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan pada pertimbangan ketersediaan data, dimana 82 kabupaten yang terpilih tersebut mendapatkan dana bantuan P2IPDT secara kontinu setiap tahunnya.
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang dihimpun dari Kementrian PDT dan Badan Pusat Statistik (BPS), periode 2007-2009. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrik. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum dan sesudah implementasi program P2IPDT. Analisis ekonometrik digunakan untuk melihat pengaruh infrastruktur terhadap perekonomian dan kemiskinan. Beberapa metode ekonometrik yang digunakan diantaranya metode data panel statis, data panel dinamis dan panel instrumental variable. Penggunaan berbagai metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan, robustness model, serta validitas di antara berbagai metode estimasi yang digunakan.
Analisis deskriptif menunjukkan bahwa dinamika pertumbuhan di kabupaten tertinggal pada kurun waktu 2006 (sebelum implementasi P2IPDT) dan 2009 (setelah implementasi P2IPDT) membaik, tercermin dari adanya peningkatan rata-rata PDRB atas dasar harga konstan. Dinamika ketimpangan menunjukkan angka yang meningkat (semakin timpang) pada kurun waktu yang sama, sedangkan dinamika kemiskinan membaik yang ditunjukkan dengan adanya penurunan rata-rata persentase kemiskinan. Program P2IPDT dilaksanakan pada kurun waktu 2007-2009 pada 5 bidang infrastruktur yaitu transportasi, energi, informasi dan telekomunikasi, ekonomi dan sosial. Infrastruktur energi merupakan infrastruktur yang diprioritaskan oleh Kementrian PDT, dimana infrastruktur energi merupakan jenis infrastruktur dengan cakupan kabupaten penerima bantuan dan nilai proporsi bantuan yang terbesar tiap tahunnya.
Hasil estimasi total bantuan menunjukkan bahwa variabel yang nyata secara statistik terhadap perekonomian kabupaten tertinggal (didekati dengan nilai PDRB per kapita) adalah PDRB per kapita tahun sebelumnya, bantuan stimulus infrastruktur, inflasi tahun sebelumnya dan gini rasio. Variabel populasi penduduk ternyata tidak signifikan memengaruhi perekonomian kabupaten tertinggal. Bantuan stimulus infrastruktur nyata positif memengaruhi perekonomian dalam jangka panjang, sedangkan untuk variabel indeks gini dan inflasi juga menunjukkan arah yang positif. Sementara, hasil estimasi pengaruh perekonomian terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa variabel yang nyata memengaruhi tingkat kemiskinan adalah tingkat kemiskinan tahun sebelumnya, PDRB per kapita dan pengeluaran pemerintah. Variabel PDRB perkapita nyata positif memengaruhi tingkat kemiskinan sedangkan variabel pengeluaran nyata negatif memengaruhi penurunan kemiskinan. Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan investasi infrastruktur P2IPDT dan kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan menyebabkan kenaikan PDRB per kapita di kabupaten tertinggal. Hal ini menyebabkan kondisi tersebut belum mampu menurunkan persentase penduduk miskin di kabupaten tertinggal.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PENURUNAN
KEMISKINAN DI KABUPATEN TERTINGGAL
PERWITA SARI NRP. H 151090294
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
Judul Penelitian : Analisis Pengaruh Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal
Nama : Perwita Sari
NRP : H 151090294
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Ketua Anggota
Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc.Agr
Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ali Said, MA atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr. selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Rasa terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis selama ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Bapak dan Ibu yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan.
Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman pada Direktorat Diseminasi Statistik, khususnya kepada Ir. Agoes Subeno, M.Si yang telah membantu memberi dukungan dalam proses perkuliahan hingga dalam penyelesaian tesis ini.
Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.
Bogor, Mei 2011
Perwita Sari
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Perwita Sari lahir pada tanggal 6 Februari 1980, di Jakarta. Penulis merupakan anak keenam dari delapan bersaudara, dari pasangan Bapak Drs. Sukidjo Hardjo Utomo dan Ibu K.T. Wahyuni. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Ulujami 02 Pagi, Jakarta pada tahun 1992, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMPN Negeri 56 Melawai, Jakarta pada tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 70 Bulungan, Jakarta dan lulus pada tahun 1998.
Setelah menamatkan pendidikan di tingkat SMU, pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2002 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Kemudian bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur selama lebih kurang 1,5 tahun, pada tahun 2004 penulis dipindahtugaskan ke Badan Pusat Statistik Kabupaten Merauke, Provinsi Papua dan sejak tahun 2009 hingga sekarang penulis bertugas di Direktorat Diseminasi Statistik, BPS, Jakarta.
Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor setelah sebelumnya mengikuti program alih jenjang pada perguruan tinggi yang sama. Program Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor ini merupakan kerja sama BPS dan IPB.
xvii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .....................................................................................
DARTAR GAMBAR ................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xx
xxi
xxiii
I.
II.
PENDAHULUAN ...........................................................................
1.1. Latar Belakang .........................................................................
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ......
2.1. Kerangka Teori ..........................................................................
2.1.1. Konsep Kemiskinan ......................................................
2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi .................................................
2.1.3. Konsep Ketimpangan Pendapatan ................................
2.1.4. Konsep Infrastruktur .....................................................
2.1.5. Strategi Pengentasan Kemiskinan di Daerah Tertinggal
2.1.6. Konsep dan Kriteria Kabupaten Tertinggal ..................
2.1.7. Operasionalisasi Kebijakan Kabupaten Tertinggal .......
2.1.8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal .........................................................
2.1.9. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kemiskinan .........
2.1.10. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................
2.1.11. Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan .........................
2.1.12. Pengaruh Investasi Infrastruktur ...................................
2.2. Kerangka Pemikiran ................................................................
2.3. Hipotesis Penelitian ..................................................................
1
1
7
8
9
9
11
11
11
14
18
21
22
23
25
27
28
30
31
32
34
36
xviii
III.
IV.
V.
METODE PENELITIAN ..............................................................
3.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................
3.2. Metode Analisis ........................................................................
3.2.1. Analisis Deskriptif .......................................................
3.2.2. Analisis Pengaruh Bantuan Stimulus Infrastruktur terhadap Perekonomian, Ketimpangan dan Penurunan Kemiskinan ................................................................. 3.2.2.1. Analisis Data Panel ........................................
3.2.2.2. Pengaruh Infrastruktur, Ketimpangan Pendapatan terhadap Perekonomian …….…
3.2.2.3. Pengaruh Peningkatan Perekonomian terhadap Kemiskinan ………………………..
3.2.3. Uji Spesifikasi Model ..................................................
3.2.4. Definisi Operasional ....................................................
KERAGAAN DAN DINAMIKA KABUPATEN TERTINGGAL SERTA UPAYA PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KABUPATEN TERTINGGAL ……………………………...................................
4.1. Keragaan Kabupaten Tertinggal .............................................
4.1.1. Keragaan Kabupaten Tertinggal Kawasan Barat
Indonesia ......................................................................
4.1.2. Keragaan Kabupaten Tertinggal Kawasan Timur
Indonesia ......................................................................
4.2. Dinamika Kabupaten Tertinggal ............................................
4.2.1. Dinamika Pertumbuhan ................................................
4.2.2. Dinamika Ketimpangan ...............................................
4.2.3. Dinamika Kemiskinan ..................................................
4.3. Bantuan Stimulus Infrastruktur ..............................................
ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL ...............................................................................
5.1. Hasil Estimasi ...........................................................................
37
37
37
37
38
38
44
49
51
52
53
53
55
57
58
58
61
64
70
81
81
xix
VI.
VII.
5.1.1. Analisis Pengaruh Bantuan Infrastruktur terhadap Perekonomian Kabupaten Tertinggal .............................
5.1.2. Analisis Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal .............................
5.2. Uji Spesifikasi Model Panel Data Dinamis ..............................
KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................
6.1. Kesimpulan ...............................................................................
6.2. Implikasi Kebijakan ..................................................................
6.3. Saran .........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................
83
89
91
93
93
94
96
97
xx
DAFTAR TABEL
Nomor
Hal
1.1.
Jumlah Bantuan Stimulus P2IPDT Kabupaten Tertinggal di Indonesia, Tahun 2007 dan 2008 (Juta Rupiah)
6
4.1. Cakupan Kabupaten Penerima P2IPDT dan Proporsi Nilai Bantuan P2IPDT per jenis Bantuan di Kabupaten Tertinggal, Tahun 2007-2009
78
5.1. Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan P2IPDT (Total dan per Jenis Bantuan) menggunakan Panel Data Statis dan Dinamis
84
5.2. Hasil Estimasi Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Menggunakan Metode Panel Statis, Panel Dinamis dan Panel Instrumental Variabel
90
xxi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Hal
1.1. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Maju dan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2008
2
1.2. Perbandingan Rata-Rata PDRB Kabupaten Tertinggal di Wilayah KBI dan KTI dengan Rata-Rata PDRB Nasional
3
1.3. Perkembangan Indeks Gini di Indonesia, Tahun 2002-2008
4
2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle
19
2.2. Kurva Lorenz
21
2.3. Skenario Pembangunan Daerah Tertinggal
23
2.4. Mekanisme Transmisi dari Investasi Publik
33
2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian
35
4.1. Perbandingan Persentase Kabupaten Tertinggal KBI, KTI dan Nasional, Tahun 2005 dan 2010
54
4.2. Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KBI menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010
56
4.3. Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KTI menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010
57
4.4. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
59
4.5. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
60
4.6. Perbandingan Angka Indeks Gini Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
62
4.7. Perbandingan Angka Indeks Gini Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
63
xxii
4.8. Rata-Rata Penurunan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009
65
4.9. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
66
4.10. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
67
4.11. Perbandingan Pertumbuhan Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT), menurut Provinsi Tahun 2006-2009
71
4.12. Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT) di KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
72
4.13. Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT) di KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
73
5.1. Growth Incidence Curve Kabupaten Tertinggal di Indonesia, Tahun 2008-2009
86
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Hal
1.
Perkembangan Rata-rata Garis Kemiskinan Kabupaten Tertinggal menurut Provinsi, Tahun 2006-2009
104
2.
Daftar 183 Kabupaten Tertinggal di Indonesia
105
3.
Jumlah dan Persentase Kabupaten Tertinggal menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010
111
4.
Dinamika PDRB atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009
112
5.
Dinamika Ketimpangan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009
113
6.
Dinamika Kemiskinan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009
114
7.
Hasil Analisis Kuadran (Dinamika Pertumbuhan dan Kemiskinan) di Kabupaten Tertinggal
115
8.
Rata-rata Bantuan P2IPDT, Tahun 2007-2009
119
9.
Hasil Output Stata 120
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014
telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah “Terwujudnya
Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan” (Kementrian Keuangan,
2011). Visi pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah
dalam mengambil berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut antara lain
adalah percepatan pembangunan daerah tertinggal dalam rangka penanggulangan
kemiskinan. Upaya melaksanakan kebijakan tersebut adalah dengan membentuk
Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (Kementrian PDT) yang dalam Perpres
No. 9 tahun 2005 memiliki tugas pokok dan fungsi membantu Presiden dalam
merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal.
Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal dilakukan mengingat
masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori sebagai daerah tertinggal, yakni
sebesar 40,39 % (183 kabupaten) dan masih banyaknya penduduk kabupaten
tertinggal yang masuk kategori miskin. Data empiris menunjukkan bahwa pada tahun
2008, masih terdapat lebih dari 34 juta (15,1 %) penduduk Indonesia masih hidup di
bawah garis kemiskinan (BPS, 2008). Dari sejumlah penduduk miskin 66,26 %
berlokasi di wilayah kabupaten yang tergolong maju dan 33,74 % penduduk miskin
berlokasi di wilayah kabupaten tertinggal (Gambar 1.1). Gambar 1.1 juga
memperlihatkan kondisi bahwa pulau dengan persentase jumlah penduduk miskin
yang tinggal di wilayah kabupaten tertinggal terbanyak adalah Pulau Sumatera dan
Jawa yang tercatat memiliki persentase jumlah penduduk miskin di kabupaten
tertinggal masing-masing sebesar 9,39 % dan 8,68 %.
Kenyataan bahwa masih cukup banyaknya penduduk miskin yang berlokasi di
wilayah kabupaten tertinggal ini sangatlah ironis, hal ini menimbulkan dugaan awal
bahwa kemiskinan yang terjadi di kabupaten tertinggal ini dapat dikategorikan
sebagai kemiskinan yang kronis (chronic poverty). Dugaan ini cukup beralasan
mengingat berbagai keterbatasan dan keterbelakangan daerah tertinggal jika
2
dibandingkan dengan daerah lain yang tergolong maju, diantaranya rendahnya
kualitas sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia,
rendahnya kualitas maupun kuantitas infrastruktur, dan letak geografis yang jauh dari
pusat-pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan akses penduduk menjadi terbatas.
Sumber : BPS (2008), diolah
Gambar 1.1. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Maju dan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2008
Kemiskinan di kabupaten tertinggal ini semakin kronis apabila diikuti oleh
rendahnya output maupun pertumbuhan ekonomi wilayah kabupaten tertinggal. Data
empiris menunjukkan bahwa meskipun tiap tahunnya rata-rata produk domestik
regional bruto (PDRB) kabupaten tertinggal baik di wilayah Kawasan Barat
Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) tiap tahunnya mengalami
kenaikan, namun besaran nominalnya masih di bawah capaian rata-rata nasional
(Gambar 1.2.). Gambar 1.2 juga menunjukkan bahwa pada tahun 2009, rata-rata
PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KBI hanya sebesar Rp 1.997,05 juta atau
hanya sekitar 42,23 persen dari rata-rata nasional, sedangkan rata-rata PDRB
kabupaten tertinggal di wilayah KTI hanya sebesar Rp 1.189,09 juta atau sekitar
25,14 persen dari rata-rata nasional. Perbedaan yang cukup signifikan dari rata-rata
Sumatera (9,39%)
Jawa (8,68%)
Bali&NT (5,59%)
Kalimantan
Sulawesi (5,00%)
Maluku (1,34%)
Papua (2,28%)
Kab. Tertinggal33,74%
Kab. Maju66,26%
output ant
Indonesia
antarwilay
Sumber:
Gambar
Ket
pendapata
pendapata
masih cuk
tahun 200
dan Smith
masyaraka
untuk men
meningkat
50100150200250300350400450500
tara wilaya
masih ter
yah.
BPS (2010),
r 1.2. PerbWilay
impangan p
an rumahtan
an masyarak
kup besar d
09, angka in
h (2006) an
at yang rela
ningkat tiap
tkan angka
000000000000000000000
20
ah KBI, KT
rjadi ketimp
, diolah
andingan Ryah KBI da
pembanguna
ngga. Hal in
kat di Indo
dan menunj
ndeks gini In
ngka ini su
atif merata.
p tahunnya
kemiskinan
006
TI dan rata-
pangan pem
Rata-Rata Pan KTI den
an ekonomi
ni terlihat da
onesia, yang
jukkan tren
ndonesia ad
udah tidak
Kondisi ke
a perlu diw
n.
2007KBI KTI
-rata nasion
mbangunan
PDRB Kabngan Rata-
i tersebut ju
ari masih tin
g tercermin
kenaikan u
dalah sebesa
lagi mence
etimpangan
waspadai ter
200Nasiona
nal mengin
n ekonomi
bupaten Te-Rata PDR
uga diikuti d
ngginya ket
n dari angk
untuk period
ar 0,36 dima
erminkan di
yang mem
rkait dengan
08al
dikasikan b
yang cuku
ertinggal diRB Nasional
dengan ketim
timpangan d
ka indeks g
de 2004-20
ana menuru
istribusi pen
miliki kecend
n potensiny
2009
3
bahwa di
up besar
i l
mpangan
distribusi
gini yang
007. Pada
ut Todaro
ndapatan
derungan
ya dalam
4
Sumber: BPS (2009a), diolah Gambar 1.3. Perkembangan Indeks Gini di Indonesia, Tahun 2002-2009
Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal yang bertujuan untuk
mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan
ketimpangan dioperasionalisasikan pada berbagai program bantuan. Hal tersebut
merupakan stimulus bagi daerah tertinggal untuk mendorong peningkatan
pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan adanya pemerataan pendapatan. Salah
satu bantuan stimulus tersebut adalah Program Percepatan Pembangunan
Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilakukan oleh Kementrian
PDT sejak Tahun 2006. Program dan instrumen ini dimaksudkan untuk membantu
kabupaten tertinggal agar dapat menjadi kabupaten yang terbuka dan mampu
berinteraksi dengan “dunia luar” sehingga akses ke berbagai faktor produksi menjadi
semakin mudah untuk dijangkau, yang pada gilirannya dapat membuka peluang
semakin bergeraknya perekonomian kabupaten tertinggal.
Upaya mendorong perekonomian kabupaten tertinggal dan mengentaskannya
dari ketertinggalan yang telah dilakukan Kementrian PDT melalui instrumen P2IPDT
ini sudah cukup tepat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Aziz (1994)
bahwa untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya, terdapat beberapa alternatif
pengembangan suatu daerah. Alternatif tersebut dapat berupa investasi yang langsung
diarahkan pada sektor produktif atau investasi pada bidang social overhead, seperti
0,330,32
0,32
0,34
0,36
0,38
0,37
0,36
0,290,3
0,310,320,330,340,350,360,370,380,39
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
5
pembangunan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan prasarana infrastruktur
lainnya.
Studi terdahulu menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur baik berupa
sarana dan prasarana transportasi, jaringan listrik dan telekomunikasi serta pengadaan
air bersih sangatlah penting dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat di
suatu wilayah (Aschauer,1989; Munnel,1992; Canning dan Pedroni,1999;
Sibarani,2002 dan Prasetyo,2010). Sarana dan prasarana infrastruktur dibutuhkan
tidak hanya oleh rumah tangga namun juga oleh dunia usaha. Sehingga peningkatan
infrastruktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat
pertumbuhan ekonomi. Daerah dengan infrastruktur yang memadai mempunyai
keuntungan yang lebih besar dalam menarik investasi masuk ke daerahnya sehingga
menyebabkan daerah akan menjadi lebih cepat berkembang dibandingkan dengan
daerah yang memiliki infrastruktur yang kurang memadai. Hal ini dikarenakan
terbukanya keterisolasian daerah sehingga akses ke berbagai faktor produksi
dimungkinkan untuk membuka peluang bergeraknya perekonomian daerah.
Pemerintah melalui Kementrian PDT, telah berupaya memberikan bantuan
stimulus untuk pembangunan infrastruktur daerah tertinggal. Tabel 1.1
memperlihatkan bahwa dana yang digulirkan Kementrian PDT untuk percepatan
pembangunan infrastruktur pedesaan daerah tertinggal mengalami kenaikan yang
sangat signifikan. Tercatat pada tahun 2007 Kementrian PDT mengucurkan dana
untuk program P2IPDT sebesar Rp 105,37 milyar dan meningkat lebih dari dua kali
lipat pada tahun 2008, menjadi sebesar Rp 274,82 milyar. Pola sebaran bantuan yang
diberikan cukup sesuai mengingat share bantuan simulus infrastruktur paling besar
diberikan pada daerah yang sejatinya merupakan daerah dengan indeks infrastruktur
yang rendah (Prasetyo, 2010).
6
Tabel 1.1. Jumlah Bantuan Stimulus P2IPDT Kabupaten Tertinggal di Indonesia Tahun 2007 dan 2008 (Juta Rupiah)
Pulau Tahun
2007 2008
Sumatera 29.030,53 82.253,27 (27,55) (29,93)
Jawa 11.949,41 31.219,42 (11,34) (11,36)
Bali dan Nusa Tenggara 10.864,06 34.489,76 (10,31) (12,55)
Kalimantan 4.646,99 25.613,11 (4,41) (9,32)
Sulawesi 27.239,17 55.733,26 (25,85) (20,28)
Maluku 8.566,90 16.269,27 (8,13) (5,92)
Papua 13.076,91 29.240,72 (12,41) (10,64)
Jumlah 105.373,98 274.818,82 (100,00) (100,00)
Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah Cat: Angka dalam kurung menunjukkan nilai proporsi
Kondisi ini mencerminkan bahwa pemerintah memiliki perhatian yang cukup
serius untuk melakukan pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal yang
dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal sehingga
dapat mengurangi kemiskinan melalui percepatan pembangunan infrastruktur. Studi
empirik yang mengkaji mengenai dampak kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan
ekonomi dan penurunan kemiskinan kabupaten tertinggal kiranya perlu dilakukan
untuk mendeskripsikan implementasi bantuan infrastruktur yang telah dilaksanakan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini menganalisis pengaruh program
percepatan pembangunan infrastruktur dalam meningkatkan perekonomian serta
kaitannya dengan ketimpangan pendapatan dan penurunan kemiskinan di kabupaten
tertinggal. Kajian mengenai pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal juga
menjadi relevan untuk diteliti, mengingat pola pembangunan infrastruktur yang
diterapkan haruslah sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan dasar daerah
tertinggal.
7
1.2. Perumusan Masalah
Upaya campur tangan yang dilakukan pemerintah dalam mengurangi
ketertinggalan dan mengurangi jumlah rakyat miskin di kabupaten tertinggal
dilakukan dengan membentuk Kementrian PDT yang tugas, pokok dan fungsinya
adalah membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang
pembangunan daerah tertinggal (Perpres No. 9, Tahun 2005). Upaya yang dilakukan
oleh Kementrian PDT adalah melaksanakan berbagai program bantuan yang
diberikan kepada 183 (seratus delapan puluh tiga) kabupaten yang termasuk kategori
kabupaten tertinggal di Indonesia. Salah satu program yang dilaksanakan Kementrian
PDT adalah Program Pengembangan Sarana dan Prasarana melalui instrumen
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT).
Program dan instrumen ini bermaksud membantu kabupaten tertinggal agar dapat
menjadi suatu kabupaten yang terbuka dan mampu berinteraksi dengan “dunia luar”
sehingga akses ke berbagai faktor produksi menjadi semakin mudah untuk dijangkau,
yang pada gilirannya dapat membuka peluang semakin bergeraknya perekonomian
kabupaten tertinggal.
Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa program bantuan yang
dilaksanakan Kementrian PDT mampu secara signifikan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi kabupaten tertinggal di Kawasan Timur Indonesia (Sari, 2009). Namun
kajian mengenai dampaknya terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan
pendapatan belum banyak dilakukan. Kajian tersebut perlu dilakukan mengingat
keterbatasan anggaran pemerintah (keterbatasan ruang fiskal), sehingga pemerintah
tidak mungkin selamanya mampu memberikan dana bantuan, untuk itu kabupaten
tertinggal harus mampu secara aktif dan mandiri meningkatkan pertumbuhan
ekonominya dengan mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, yang
diukur dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang disertai penurunan angka
kemiskinan dan pemerataan distribusi pendapatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan studi mengenai dinamika
pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masing-masing
kabupaten tertinggal. Terkait dengan besaran belanja modal pemerintah pusat yang
8
dilaksanakan oleh Kementrian PDT melalui instrumen P2IPDT, perlu dilakukan
kajian apakah instrumen P2IPDT memiliki pengaruh yang signifikan pada
peningkatan perekonomian kabupaten tertinggal. Lebih jauh perlu diteliti pengaruh
peningkatan perekonomian yang dicapai kabupaten tertinggal terhadap kemiskinan
dan ketimpangan pendapatan. Hal ini perlu dilakukan mengingat masih banyaknya
penduduk miskin yang tinggal di kabupaten tertinggal (33,74% dari total jumlah
penduduk miskin di Indonesia). Berdasarkan fakta tersebut, penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di
kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah
adanya implementasi program P2IPDT?
2. Bagaimana pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal?
3. Bagaimana pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian kabupaten
tertinggal dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perekonomian kabupaten
tertinggal?
4. Bagaimana hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan
ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai antara lain:
1. Menganalisis dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di
kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah
adanya implementasi program P2IPDT.
2. Menganalisis pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal yang saat ini
telah dilakukan oleh Kementrian PDT.
3. Menganalisis pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian kabupaten
tertinggal dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perekonomian kabupaten
tertinggal.
4. Menganalisis hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan
ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal.
9
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian antara lain:
1. Deskripsi mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang
terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT
dan setelah adanya implementasi program P2IPDT diharapkan dapat digunakan
untuk menilai dampak dari adanya program P2IPDT di kabupaten tertinggal,
sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alat evaluasi bagi Kementrian PDT.
2. Analisis pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai pelaksanaan program pembangunan
infrastruktur di daerah tertinggal dan diharapkan dapat memberikan masukan
pada pengambil kebijakan, sehingga dapat lebih meningkatkan dampak positif
dari pelaksanaan kebijakan.
3. Analisis mengenai pengaruh program P2IPDT melalui studi ekonometrik
diharapkan dapat memberikan masukan bagi Kementrian PDT tentang pentingnya
program P2IPDT bagi kesejahteraan masyarakat kabupaten tertinggal.
4. Analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi perekonomian diharapkan
dapat memberikan masukan bagi Kementrian PDT maupun pemangku kebjakan
yang lain untuk lebih memfokuskan kebijakan maupun programnya pada
peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan untuk mendorong
meningkatnya aktifitas ekonomi suatu daerah.
5. Analisis hubungan perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan
pendapatan diharapkan dapat digunakan oleh Kementrian PDT dan pemangku
kebijakan yang lain sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan yang
tidak hanya pro pada pertumbuhan namun juga pro terhadap rakyat miskin.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi tiga hal. Pertama, memberikan deskripsi
dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten
tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya
implementasi program P2IPDT. Kedua, melakukan studi ekonometrik mengenai
10
pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian dan faktor-faktor yang
memengaruhi perekonomian. Ketiga, melakukan studi ekonometrik untuk melihat
hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada kabupaten tertinggal,
dimana analisis deskriptif yang dilakukan mencakup 199 kabupaten yang
dikategorikan tertinggal oleh Kementrian PDT pada tahun 2005, sedangkan analisis
ekonometrik difokuskan pada 82 kabupaten tertinggal di Indonesia (KBI dan KTI)
yang termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal yang telah ditetapkan oleh
Kementrian PDT. Pemilihan 82 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan pada
kontinuitas dana yang digulirkan oleh Kementrian PDT, dimana 82 kabupaten yang
dipilih merupakan kabupaten yang mendapatkan dana bantuan stimulus infrastruktur
(P2IPDT) secara terus menerus (2007-2009), selain juga mempertimbangkan faktor
ketersediaan data pendukung lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kerangka Teori
2.1.1. Konsep Kemiskinan
Berbagai konsep mengenai kemiskinan dikemukakan oleh para ahli,
diantaranya Bellinger (2007) yang berpendapat bahwa kemiskinan memiliki dua
dimensi yaitu dimensi pendapatan dan nonpendapatan. Kemiskinan dalam dimensi
pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah,
sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan,
ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan. Kemiskinan dari sisi
pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat
dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut.
Todaro dan Smith (2006) berpendapat bahwa kemiskinan absolut adalah
sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum
tertentu, atau dapat dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan internasional, selain
kemiskinan absolut, beberapa ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator jurang
kemiskinan total yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat
mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis tersebut. Kemiskinan
relatif merupakan ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan,
biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan
nasional, indeks gini merupakan salah satu contoh ukuran kemiskinan relatif.
World Bank (1990) menyatakan bahwa garis kemiskinan berbeda untuk tiap
negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar negara
adalah garis kemiskinan internasional yang menggunakan pendapatan perkapita
sebesar US$ 1 per hari. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing
Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Studi yang dilakukan oleh
Chen dan Ravallion (2008) menyatakan bahwa menurut standar PPP dari
International Comparison Program (ICP) tahun 2005 bahwa garis kemiskinan
internasional sebesar US$ 1 per hari tidak lagi sesuai dengan nilai PPP tahun 2005,
12
untuk itu Chen dan Ravallion menyatakan bahwa garis kemiskinan internasional yang
lebih tepat dengan menggunakan nilai PPP tahun 2005 dari ICP adalah sebesar US$
1,25 per hari.
Badan Pusat Statistik (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi
seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kalori perkapita
per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480
kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada
tahun 2008 sebesar Rp 204,896/kapita/bulan untuk daerah perkotaan dan Rp
161,831/kapita /bulan untuk daerah pedesaan. Garis kemiskinan juga berbeda-beda
untuk tiap daerah tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing daerah.
Perkembangan garis kemiskinan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Penghitungan indikator kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) tidak terbatas pada jumlah dan persentase penduduk miskin, BPS juga
menghitung rasio kedalaman kemiskinan (poverty gap ratio) dan Indeks keparahan
kemiskinan (poverty severity index) dengan menggunakan metode Foster-Greer-
Thorbecke (FGT), yang dirumuskan sebagai:
∑=
−=
q
1i
i
zyz
N1P
α
α (2.1)
dimana:
z = besarnya garis kemiskinan yang ditetapkan.
N = jumlah penduduk.
q = banyaknya penduduk yang di bawah garis kemiskinan.
yi
α = 0,1 dan 2.
= rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan (i = 1, 2, 3, .......q), yi < q.
Jika α = 0 maka diperoleh persentase penduduk miskin (P0); jika α = 1 adalah
rasio kedalaman kemiskinan (P1); dan jika α = 2 adalah Indeks keparahan kemiskinan
(P2). Rasio kedalaman kemiskinan P1 merupakan ukuran rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas kemiskinan. Semakin
13
tinggi nilai P1 berarti semakin besar kesenjangan pengeluaran penduduk miskin
terhadap garis kemiskinan atau menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin
semakin terpuruk. Sedangkan P2
Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS sejak pertama
kali hingga saat ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan kebutuhan
dasar (basic needs). Kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan
dalam memenuhi kebutuhan dasar, dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun
non makanan yang bersifat mendasar.
sampai batas tertentu dapat memberikan gambaran
mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan dapat juga
digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
Beberapa ahli yang mendalami masalah kemiskinan membagi ukuran
kemiskinan tidak hanya berdasarkan P1 maupun P2
saja, namun berdasarkan tipe
kemiskinan. Tipe kemiskinan menurut Jalan dan Ravallion (1998) dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu chronic poverty dan transient poverty. Kemiskinan kronis
(chronic poverty) dapat diartikan kondisi dimana suatu individu yang tergolong
miskin pada suatu waktu, kemiskinannya terus meningkat dan berada pada tingkat
kesejahteraan yang rendah dalam jangka panjang. Kemiskinan sementara (transient
poverty) dapat diartikan sebagai kondisi dimana kemiskinan yang terjadi pada suatu
waktu hanya merupakan kondisi sementara yang tidak bersifat permanen, yang
dikarenakan penurunan standar hidup individu dalam jangka pendek. Kebijakan yang
berbeda diperlukan dalam menangani kedua tipe kemiskinan. Investasi jangka
panjang untuk orang miskin seperti peningkatan modal fisik maupun modal manusia
merupakan kebijakan yang sesuai untuk menangani kasus chronic poverty,
sedangkan asuransi dan skema stabilisasi pendapatan yang memproteksi rumahtangga
dari guncangan ekonomi (economic shocks) akan menjadi kebijakan yang penting
ketika tipe kemiskinan yang terjadi adalah transient poverty.
14
2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi keduanya merupakan
fenomena ekonomi yang saling berhubungan. Sampai dengan Tahun 1960, teori
pembangunan ekonomi diperlakukan sebagai perluasan dari teori ekonomi
konvensional dan untuk itu pembangunan dapat dikatakan hampir sama dengan
pertumbuhan (Reungsri, 2010). Hall (1983) menyatakan bahwa pertumbuhan secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai peningkatan dalam produksi nasional maupun
pendapatan nasional, namun Seers (1969) berargumen bahwa pembangunan tidak
hanya berarti pertumbuhan, namun juga harus mengikutsertakan aspek sosial seperti
adanya penurunan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran.
Menurut Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu
proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-
menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat
pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Tiga komponen
pertumbuhan ekonomi yang penting bagi setiap masyarakat adalah:
1. Akumulasi modal, dimana akumulasi modal termasuk di dalamnya semua
investasi baru dalam tanah, peralatan fisik dan sumberdaya manusia melalui
perbaikan di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan keja
2. Pertumbuhan jumlah penduduk yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan
angkatan kerja
3. Kemajuan teknologi yang secara luas diartikan sebagai cara baru dalam
menyelesaikan pekerjaan.
Sukirno (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah
perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan
nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase
kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan
pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Pendapatan nasional ini dihitung
berdasarkan jumlah seluruh output barang dan jasa yang dihasilkan oleh
perekonomian suatu negara. Pendapatan nasional atau jumlah seluruh output barang
dan jasa ini dikenal sebagai Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
15
PDB merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output
barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. PDB dapat mengukur
pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena PDB merupakan nilai tambah yang
merupakan refleksi dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara (Mankiw, 2007).
Nilai PDB ini merupakan indikator yang umum digunakan sebagai gambaran tingkat
pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Terdapat dua pendekatan yang lazim digunakan dalam penghitungan PDB,
yaitu pendekatan produksi dan pendekatan pengeluaran. Metode penghitungan PDB
terbagi menjadi dua jenis, yaitu atas dasar harga berlaku yang menghitung nilai
tambah yang dihasilkan dari seluruh kegiatan ekonomi dengan mengalikan total nilai
tambah dengan harga pada tahun berjalan dan atas dasar harga konstan yang dihitung
dengan mengalikan seluruh nilai tambah dari hasil kegiatan ekonomi dengan harga
pada tahun dasar. Data PDB yang digunakan untuk mengukur besaran nilai
pertumbuhan ekonomi adalah PDB atas dasar harga konstan. Nilai PDB pada
dasarnya merupakan penjumlahan dari seluruh nilai Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) dari masing-masing provinsi/kabupaten di suatu negara (BPS, 2005).
Pengaruh peningkatan investasi infrastruktur yang akan diteliti dalam studi
kali ini diukur dengan melakukan pendekatan kuantitatif pada indikator
pembangunan ekonomi. Indikator pembangunan ekonomi diukur melalui nilai Produk
Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDB
maupun PDRB secara umum digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kinerja
perekonomian (Sen, 1988).
Teori Pertumbuhan Harrod Domar
Teori pertumbuhan pertama kali dikemukakan oleh Harod dan Domar, yang
menggunakan model Keynesian untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi dalam
perekonomian tertutup. Teori ini kemudian dikenal lebih luas dengan model
pertumbuhan Harrod-Domar. Model pertumbuhan Harrod-Domar didasarkan pada
tiga asumsi.
16
Pertama, bahwa perekonomian menyebabkan terjadi peningkatan tabungan (S)
dalam proporsi yang konstan (s) terhadap pendapatan nasional (Y):
S=sY (2.3)
dimana s merupakan rasio tabungan baik marginal mapun rata-rata.
Kedua, bahwa perekonomian berada pada keseimbangan, dimana investasi yang
direncanakan sama dengan tabungan yang direncanakan:
I=S (2.4)
Ketiga, bahwa investasi dipengaruhi oleh ekspektasi kenaikan pendapatan nasional
(ΔY) dan koefisien teknis tetap v yang dikenal sebagai Incremental Capital Output
Ratio (ICOR):
I=v ΔY (2.5)
Model pertumbuhan Harrod-Domar kemudian mendefinisikan pertumbuhan
ekonomi (gy
g
) sebagai perubahan pendapatan tiap satu satuan pendapatan:
y
Mensubstitusikan hubungan pada persamaan (2.4) dan (2.5) memberikan definisi
alternatif untuk pertumbuhan sebagai:
= (2.6)
gy
Persamaan (2.7) berimplikasi bahwa jika ketiga asumsi yang mendasari teori ini
terpenuhi, maka perekonomian akan tumbuh pada suatu level yang dipengaruhi oleh
parameter s dan v. Meskipun demikian, paling tidak dalam prakteknya ada dua
asumsi yang tidak mungkin dipegang, yakni bahwa nilai ICOR yang tetap
berimplikasi bahwa terdapat hubungan yang tetap antara jumlah stok kapital dan
output, kedua bahwa input tenaga kerja tidak dimasukkan dalam model, sehingga hal
ini menyebabkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar ini memiliki asumsi
yang lemah.
= (2.7)
Teori Pertumbuhan Solow
Mankiw (2007) menyatakan bahwa model pertumbuhan Solow dirancang
untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan angkatan
17
kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana
pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan.
Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi.
Dengan kata lain, output per pekerja (y) merupakan konsumsi per pekerja (c) dan
investasi per pekerja (i):
y = c + I (2.8)
Model Solow mengasumsikan bahwa setiap tahun orang menabung sebagian s
dari pendapatan mereka dan mengkonsumsi sebagian (1-s), hubungan ini dapat
dinyatakan sebagai:
c = (1-s)y (2.9)
y = (1-s)y + I (2.10)
Meskipun model Solow telah mampu memasukkan tenaga kerja sebagai faktor yang
memengaruhi pertumbuhan, namun model ini gagal menjelaskan bagaimana dan
mengapa kemajuan teknologi terjadi. Romer (1986) kemudian menggagas model
alternatif dengan memasukkan kemajuan teknologi ke dalam model, namun demikian
tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak akan mencapai tingkat pareto
optimal. Model Romer (1986) tersebut kemudian dikenal sebagai teori pertumbuhan
endogen.
Teori Pertumbuhan Endogen
Kelemahan dari teori pertumbuhan neoklasik kemudian memicu
berkembangnya teori pertumbuhan endogen. Paul Romer merupakan salah satu
penggagas teori ini dengan model pertumbuhan endogen yang memasukkan
kemajuan teknologi ke dalam model. Romer dalam Capello (2009) juga menyatakan
bahwa selain kemajuan teknologi, salah satu sumber pertumbuhan adalah berasal dari
eksternalitas yang terjadi akibat adanya akumulasi stok pengetahuan teknis yang
kemudian berkolaborasi dengan modal tetap pada suatu waktu tertentu dalam
mencapai tingkat output tertentu.
18
Robert Lucas juga merupakan ahli ekonomi yang juga merupakan penggagas
teori pertumbuhan endogen. Lucas dalam Capello (2009) menyatakan hal yang sama
dengan apa yang dikemukakan Romer, bahwa modal yang menentukan tingkat output
yang dicapai dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu modal fisik dan modal
manusia. Kombinasi keduanya dalam fungsi produksi dapat meningkatkan tingkat
output tertentu.
Teori pertumbuhan endogen menyatakan bahwa perbaikan dan kemajuan
teknologi dihasilkan dari investasi yang secara langsung menyebabkan pertumbuhan,
sehingga investasi dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang
(Economic Planning Advisory Commission, 1995). Reungsri (2010) juga menyatakan
bahwa investasi merupakan salah satu faktor penting pada model pertumbuhan
endogen, investasi dapat menyebabkan perbaikan pada kapasitas produksi dan
kenaikan laba yang berimplikasi pada adanya pertumbuhan ekonomi. Pada teori
pertumbuhan neoklasik, adanya asumsi “law of diminishing return” membawa pada
argumentasi bahwa investasi tidak mampu memengaruhi pertumbuhan. Namun pada
teori pertumbuhan endogen, meskipun dibawah asumsi “law of diminishing return”
investasi tetap mampu meningkatkan pertumbuhan. Sebagai contoh, adanya
kemajuan teknologi yang didanai dari investasi akan mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, selain itu, tenaga kerja ahli yang didapat dari hasil pendidikan
maupun pelatihan juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan
pemikiran tersebut, dalam penelitian ini peranan investasi terutama investasi
infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi didekati dengan menggunakan model
pertumbuhan endogen.
2.1.3. Konsep Ketimpangan Pendapatan
Glaeser (2006) menyatakan ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi
dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan
ditentukan oleh tingkat pembangunan, heterogenitas etnis, ketimpangan juga
berkaitan dengan kediktatoran dan pemerintah yang gagal menghargai property
rights.
19
Bourguignon (2004) menyatakan bahwa ketimpangan merujuk pada adanya
disparitas pendapatan relatif penduduk. Disparitas dalam pendapatan ini didapat
setelah menormalisasi seluruh pengamatan dengan rata-rata populasi sehingga
membuatnya sebagai skala yang independen terhadap pendapatan. Ketimpangan
pendapatan memiliki hubungan yang cukup erat dengan pertumbuhan ekonomi dan
kemiskinan, sehingga dikembangkanlah kerangka konseptual the poverty-growth-
inequality triangle untuk melihat hubungan antara ketiga variabel.
Sumber: Bourguignon (2004)
Gambar 2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle
Ketimpangan pendapatan terjadi apabila sebagian besar penduduk memperoleh
pendapatan yang rendah dan pendapatan yang besar hanya dinikmati oleh sebagian
kecil penduduk. Semakin besar perbedaan pendapatan yang diterima masing-masing
kelompok menunjukkan semakin besarnya ketimpangan. Adanya ketimpangan yang
tinggi antara kelompok kaya dan miskin menurut Todaro dan Smith (2006) akan
menimbulkan setidaknya dua dampak negatif yaitu:
1. Terjadinya inefisiensi ekonomi.
2. Melemahkan stabilitas dan solidaritas sosial.
Kemiskinan absolut dan penurunan kemiskinan
“Strategi Pembangunan”
Distribusi dan Perubahan Distribusi pendapatan
Tingkat pendapatan agregat dan pertumbuhan
20
Terdapat beragam ukuran dalam menilai ketimpangan pendapatan suatu
wilayah. Indeks gini adalah salah satu ukuran dalam mengukur ketimpangan, selain
itu terdapat beberapa ukuran lainnya, antara lain Indeks Theil, kriteria Bank Dunia
dan Indeks Williamson. Indeks gini merupakan ukuran ketimpangan yang paling
sering digunakan. Hal ini disebabkan penghitungan indeks gini yang relatif mudah
dan dapat menggunakan berbagai pendekatan baik pengeluaran atau pendapatan,
sehingga dapat mengukur perbedaan tingkat daya beli masyarakat secara riil.
Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini menggunakan indeks gini dalam mengukur
ketimpangan pendapatan.
Indeks gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang nilainya berkisar antara
nol dan satu. Nilai indeks gini nol artinya tidak ada ketimpangan (pemerataan
sempurna) sedangkan nilai satu artinya ketimpangan sempurna. Ketimpangan
pendapatan dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai ketimpangan rendah,
sedang atau tinggi. Pengelompokkan yang dilakukan sesuai dengan ukuran
ketimpangan yang digunakan. Nilai indeks gini pada negara-negara yang
ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-
negara yang distribusi pendapatanya relatif merata, nilainya antara 0,20 hingga 0,35
(Todaro dan Smith, 2006).
Indeks gini dihitung dengan menggunakan Kurva Lorenz. Indeks gini
dirumuskan sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara Kurva Lorenz dan
garis diagonal (luas bidang A) dengan luas separuh segi empat dimana Kurva Lorenz
berada (luas bidang BCD). Rumusan di ilustrasikan pada gambar 2.2. sebagai berikut:
Indeks gini = Luas bidang A
Luas bidang BCD (2.11)
21
Sumber: Todaro dan Smith (2006)
Gambar 2.2. Kurva Lorenz
2.1.4. Konsep Infrastruktur
Konsep infrastruktur memiliki pengertian yang berbeda-beda menurut sudut
pandang kepentingannya, belum terdapat kesamaan pandangan antar lembaga, negara
dan antar disiplin ilmu mengenai konsep infrastruktur. Dari sisi ekonomi,
infrastruktur dapat dipandang sebagai sumberdaya modal yang digunakan dalam
aktifitas konsumsi, produksi dan investasi. Implikasi atas pengertian ini mendorong
timbulnya klasifikasi infrastruktur menjadi infrastruktur ekonomi dan infrastruktur
sosial (Torrisi dalam Riadi (2010)).
Kodoatie (2003) menyatakan bahwa infrastruktur merupakan pendukung
utama fungsi-fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat, maka infrastruktur secara lebih jelas merupakan fasilitas-fasilitas dan
struktur-struktur fisik yang dibangun guna berfungsinya sistem sosial dan sistem
ekonomi menunjuk pada suatu keberlangsungan dan keberlanjutan aktivitas
masyarakat dimana infrastruktur fisik mewadahi interaksi antara aktivitas manusia
dengan lingkungannya.
22
Hudson, et al. (1997) menyatakan bahwa keberhasilan dan kemajuan
kelompok masyarakat tergantung pada infrastruktur fisik untuk pendistribusian
sumber daya dan pelayanan publik. Kua1itas dan efisiensi infrastruktur
mempengaruhi kualitas hidup kesehatan sistem sosial dan keber1anjutan kegiatan
perekonomian dan bisnis. Grigg (1988) menyatakan bahwa infrastruktur adalah
semua fasilitas fisik yang sering disebut dengan pekerjaan umum.
World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga komponen utama,
yaitu:
1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk
menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (tenaga listrik,
telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi
dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan
sebagainya).
2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi.
3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan
koordinasi.
2.1.5. Strategi Pengentasan Kemiskinan di Daerah Tertinggal
Pemerintah memiliki perhatian yang cukup serius dalam mengembangkan
kabupaten tertinggal. Bukti keseriusan pemerintah dalam hal ini adalah, dengan
dibentuknya Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal yang memiliki tugas
pokok dan fungsi membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi
di bidang pembangunan daerah tertinggal, sesuai Peraturan Presiden Nomor. 09 tahun
2005 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia. Tugas pokok dan fungsi ini kemudian
disempurnakan melalui Peraturan Presiden Nomor. 90 tahun 2006, dimana
Kementrian PDT mempunyai penambahan fungsi operasional kebijakan di bidang:
1. Bantuan infrastruktur pedesaan
2. Pengembangan ekonomi Lokal
3. Pemberdayaan Masyarakat.
23
Perhatian pemerintah pada kabupaten tertinggal tidak hanya pada pengentasan
kabupaten-kabupaten tertinggal, namun juga berupaya untuk mengurangi jumlah
penduduk miskin di kabupaten tertinggal. Hal ini sejalan dengan tema Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) 2009 yakni peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengurangan
kemiskinan. Tema RKP tersebut tertuang pada skenario pembangunan daerah
tertinggal yang dilaksanakan oleh Kementrian PDT (Gambar 2.3).
Sumber: Kementrian PDT (2008)
Gambar 2.3. Skenario Pembangunan Daerah Tertinggal
2.1.6. Konsep dan Kriteria Kabupaten Tertinggal
Konsep dan kriteria kabupaten tertinggal tertuang dalam Keputusan Menteri
Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor. 001/KEP/M-PDT/I/2005. Dalam
Keputusan Menteri tersebut kabupaten tertinggal adalah daerah kabupaten yang
relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional dan
berpenduduk yang relatif tertinggal. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah
tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain:
Kondisi
• Tahun 2004 199 kabupaten tertinggal
• Awal Tahun 2008 28 kabupaten terentaskan (perlu dibina sampai tahun 2009)
Upaya-Upaya
• Kerangka Regulasi Rancangan Inpres
PPDT Rancangan UU PPDT Stranas PPDT RAN PPDT RAD PPDT
• Kerangka Anggaran Mainstreaming DAK per Bidang DAK SPP-DT
Kondisi yang Diharapkan Tahun 2009
• 40 kabupaten terentaskan • Meningkatnya pendapatan
masyarakat • Berkurangnya penduduk
miskin • Tercapainya rehabilitasi
daerah pasca konflik dan bencana
Kendala
Antara lain belum optimalnya koordinasi, sinkronisasi dan sinergitas kegiatan
Tema RKP 2009
Peningkatan Kesejahteeraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan
24
a. Geografis
Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau karena
letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir dan
pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit
dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi.
b. Sumberdaya alam
Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi sumberdaya alam, daerah yang
memiliki sumberdaya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan
daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi dan daerah tertinggal akibat
pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan.
c. Sumberdaya Manusia
Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan atau
institusi yang belum berkembang.
d. Prasarana dan Sarana
Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi,
kesehatan, penddikan dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di
daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan utuk melakukan aktivitas ekonomi
dan sosial.
e. Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial
Seringnya suatu daerah mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat
menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi
f. Kebijakan Pembangunan
Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa kebijakan yang
tidak tepat seperti kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal,
kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan serta tidak dilibatkannya
kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan.
25
Sebaran daerah tertinggal secara geografis digolongkan menjadi beberapa
kelompok, antara lain:
a. Daerah yang terletak di wilayah pedalaman, tepi hutan, dan pegunungan yang
pada umumnya tidak atau belum memiliki akses ke daerah lain yang relatif lebih
maju
b. Daerah yang terletak di pulau-pulau kecil, gugusan pulau yang berpenduduk dan
memiliki kesulitan akses ke daerah lain yang lebih maju
c. Daerah yang secara administratif sebagian atau seluruhnya terletak di perbatasan
antarnegara baik batas darat maupun laut
d. Daerah yang terletak di wilayah rawan bencana alam baik gempa, longsor,
gunung api, maupun banjir.
e. Daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir.
Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan
pendekatan berdasarkan pada perhitungan 6 kriteria dasar yaitu: perekonomian
masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan
lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah. Berdasarkan pendekatan
tersebut, maka dalam Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, ditetapkan
183 kabupaten yang dikategorikan kabupaten tertinggal. Daftar kabupaten tertinggal
tersaji pada Lampiran 2.
2.1.7. Operasionalisasi Kebijakan Pembangunan Kabupaten Tertinggal
Upaya pengentasan kabupaten tertinggal dilakukan dengan
mengimplementasikan kebijakan pembangunan daerah tertinggal secara terpadu dan
tepat sasaran serta tepat kegiatan, maka KPDT melaksanakan program prioritas yang
diarahkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh
semua daerah tertinggal ke dalam bidang-bidang kegiatan, antara lain:
a. Bidang Pembangunan Infrastruktur Pedesaan dengan melaksanakan program
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT)
yang dilakukan dengan melakukan penyediaan sarana dan prasarana transportasi
26
dan komunikasi, pelayanan sosial dasar dan pemberdayaan masyarakat adat
terasing.
b. Bidang Pemberdayaan Masyarakat dengan melaksanakan tiga program yaitu:
1. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) yang
dilakukan dengan menyediakan “block grant” untuk mendukung
pengembangan ekonomi lokal, penyediaan sarana dan prasarana lokal dan
pemberdayaan masyarakat serta peningkatan kapasitas pemerintah daerah,
dunia usaha dan masyarakat.
2. Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT) yang
dilakukan melalui manajemen marketing dan regional, pengembangan sistem
distribusi barang dan jasa, pelayanan informasi, maupun pengembangan
jaringan prasarana antar wilayah (transportasi dan komunikasi)
3. Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP) yang dilakukan
melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi/komunikasi,
pengembangan ekonomi lokal, pelayanan sosial dasar dan pelayanan lintas
batas
c. Bidang Pengembangan Ekonomi Lokal dengan melaksanakan dua program
prioritas yaitu:
1. Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT)
yang dilakukan melalui penyiapan lahan dan investasi dalam kegiatan usaha
di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan,
pertambangan rakyat, pariwisata berikut industri pengolahan dan pendukung
yang dikelola secara kemitraan antara pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat
2. Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan (P4DT) yang dilakukan melalui
pembangunan pusat pelayanan jasa dan distribusi/kota penyangga, termasuk
kawasan industri terpadu dan kawasan perdagangan bebas atau kawasan
ekonomi khusus.
27
2.1.8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) Instrumen Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal
(P2IPDT) dilaksanakan di bawah tanggung jawab Deputi Bidang Peningkatan
Infrastruktur Kementrian PDT. Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur selain
sebagai penanggungjawab instrumen, juga melaksanakan fungsi operasionalisasi
kebijakan di bidang infrastruktur pedesaan. P2IPDT dicanangkan dan dilaksanakan di
kabupaten tertinggal sebagi solusi mengatasi ketimpangan infrastruktur.
Instrumen ini merupakan salah satu bentuk kegiatan pokok dari pemerintah
kepada daerah tertinggal di bidang pembangunan infrastruktur pedesaan dan menjadi
stimulan kegiatan pendukung atau pendorong dan pemicu pembangunan infrastruktur
daerah melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi, informasi dan
telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi, dalam membentuk bantuan sosial,
dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, bagi terciptanya pertumbuhan
ekonomi lokal. Bantuan stimulan bersifat komplementer dan integral terhadap sektor
terkait dan dengan program daerah yang bersangkutan.
Instrumen P2IPDT dilaksanakan pada kabupaten tertinggal, dengan tujuan
antara lain:
a. Sebagai bahan dari implementasi kebijakan pengembangan infrastruktur pedesaan
dalam bidang transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan
energi di daerah tertinggal yang dapat difasilitasi oleh Kementrian PDT.
b. Merupakan upaya Kementrian PDT dalam mengurangi keterisolasian daerah
tertinggal agar menjadi daerah maju yang setara dengan daerah lainnya.
c. Memberikan arah dan panduan teknis terhadap pelaksanaan program P2IPDT di
daerah tertinggal.
d. Menjamin terlaksananya koordinasi pusat dan kabupaten dalam pelaksanaan
bantuan stimulan infrastruktur pedesaan.
Ruang lingkup dari instrumen P2IPDT pada dasarnya adalah melaksanakan kegiatan
mulai dari perencanaan, pelaksanaan koordinasi, pemantauan, pengawasan,
pelaksanaan koordinasi dan pelaporan yang meliputi:
28
a. Bantuan peningkatan infrastruktur transportasi
b. Bantuan peningkatan infrastruktur informasi dan telekomunikasi
c. Bantuan peningkatan infrastruktur ekonomi
d. Bantuan peningkatan infrastruktur energi.
2.1.9. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kemiskinan
Schiller (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang dapat menjadi
penyebab kemiskinan, antara lain:
1. Kurangnya motivasi atau keterampilan individu
2. Adanya hambatan sosial terhadap akses pada kesempatan (society’s barrier to
opportunity)
3. Kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan dan
partisipasi kerja
Hasil penelitian dari Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya
mengunakan fixed effect model menyimpulkan bahwa penurunan jumlah penduduk
miskin dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang didekati dari besaran Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB), namun besarnya pengaruh tersebut relatif tidak
besar. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap
kemiskinan, namun besaran pengaruhnya masing-masing relatif kecil. Peningkatan
pangsa sektor pertanian dan pangsa sektor industri terhadap PDRB juga cukup
signifikan mengurangi kemiskinan. Variabel yang signifikan dan relatif paling besar
pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan ialah pendidikan.
Iradian (2005), dalam studi mengenai peranan pertumbuhan, ketimpangan dan
pengeluaran pemerintah menunjukkan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin
dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan, perubahan
ketimpangan pendapatan yang didekati dengan variabel indeks gini dan perubahan
pengeluaran pemerintah yang diukur melalui persentasenya terhadap PDB. Iradian
(2005) menggunakan dua metode ekonometrik, yakni Ordinary Least Square (OLS)
dan Generalized Method of Moment (GMM). Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa koefisien regresi dari pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan
29
dan perubahan ketimpangan pendapatan signifikan secara statistik dalam mengurangi
kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi akan mengurangi kemiskinan jika dibarengi
dengan penurunan ketimpangan sedangkan penurunan kemiskinan akan sulit terjadi
jika pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan adanya peningkatan ketimpangan
pendapatan.
Hajiji (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Riau dapat
meningkatkan ketimpangan pendapatan, namun ketimpangan pendapatan tersebut
tidak memiliki efek yang signifikan pada tingkat kemiskinan. Penelitian tersebut
menggunakan analisis regresi data panel untuk melihat hubungan antara
pertumbuhan, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Penelitian tersebut juga
menyimpulkan bahwa efek positif dari pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi
kemiskinan mendominasi efek negatif dari adanya ketimpangan pendapatan.
Fan, et al. (2002) menganalisis peranan pertumbuhan, ketimpangan dan
pengeluaran pemerintah melalui investasi publik di daerah pedesaan Cina dalam
mengurang kemiskinan. Fan, et al. mengembangkan model persamaan simultan untuk
mengestimasi efek perbedaan jenis pengeluaran pemerintah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah berperan dalam mendorong investasi
yang juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah dalam hal ini,
tidak hanya berperan dalam meningkatkan pertumbuhan, namun juga mampu
mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah pedesaan Cina.
Seetanah, et al. (2009) membandingkan model panel data fixed effect dan
GMM dinamis dalam melihat pengaruh investasi publik khususnya investasi
infrastruktur dalam mengurangi kemiskinan di negara berkembang. Hasil penelitian
menggunakan kedua model tersebut mendukung pernyataan bahwa infrastruktur
transportasi dan komunikasi merupakan alat yang efisien dalam memerangi
kemiskinan di pedesaan. Sehingga, kebijakan pemerintah seharusnya memperhatikan
pentingnya perbaikan akses penduduk miskin pada infrastruktur transportasi dan
komunikasi.
30
2.1.10. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Stern (1991) mengemukakan adanya postulat penting bahwa terdapat tiga
faktor standar yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor tersebut
adalah manajemen organisasi, alokasi sumberdaya dan infrastruktur.
Manajemen Organisasi
Organisasi yang diatur dengan baik, menurut Stern dapat meningkatkan
output melalui minimalisasi pemborosan sumberdaya dan perbaikan efisiensi,
sedangkan manajemen yang buruk dapat menyebabkan terjadinya penuruanan
produktifitas. Sebagai contoh selama tahun 1960 hingga 1970, India berhasil
meningkatkan tingkat tabungannya, namun karena adanya manajemen yang buruk,
kondisi ini gagal meningkatkan pertumbuhan ekonominya (Ahluwalia 1985).
Alokasi Sumberdaya
Faktor kedua yang dapat memengaruhi pertumbuhan menurut Stern adalah
alokasi sumberdaya. Stern menemukan bahwa pengaturan alokasi sumberdaya oleh
institusi di negara-negara berkembang sangat bervariasi. Hal ini menyebabkan
terjadinya distorsi ekonomi yang menyebabkan distribusi sumberdaya menjadi
optimal. Distribusi sumberdaya yang optimal ini mengakibatkan tumbuhnya
perekonomian dan berdampak pada pemerataan sosial.
Infrastruktur
Infrastruktur menjadi faktor ketiga yang menurut Stern dapat memengaruhi
pertumbuhan. Infrastruktur sangat penting untuk produktifitas dan pertumbuhan.
Kwik dalam Haris (2009) menyatakan bahwa infrastruktur merupakan roda
penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta,
infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara
ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur memengaruhi marginal
productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro,
31
ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya
produksi.
2.1.11. Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan
Distribusi pendapatan dan kaitannya terhadap pertumbuhan dan kemiskinan
telah menjadi perhatian utama bagi para ekonom. Banyak penelitian telah mengkaji
hubungan triangular antara ketiga variabel ini, termasuk Bourguignon (2004) yang
menggagas konsep The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Iradian (2004), pada
penelitiannya di Armenia menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak
memiliki dampak pada ketimpangan, namun ketimpangan dapat memberikan efek
negatif pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi
kemiskinan apabila pertumbuhan tersebut memiliki dampak yang kecil pada
ketimpangan pendapatan.
Gelaw (2010) menggunakan estimasi model fixed effect dalam meneliti
hubungan triangular antara pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa kemiskinan dapat terus menjadi tinggi jika suatu negara gagal
mencapai pertumbuhan yang cepat dan berkelanjutan, yang dalam hal ini haruslah
didukung dengan adanya penurunan pada ketimpangan pendapatan.
Lopez (2003), meskipun tidak menganalisis dampak pada kemiskinan,
mendukung pernyataan bahwa terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan pendapatan. Penelitian ini mengkaji dampak kebijakan pro growth yaitu
perbaikan pada sektor pendidikan dan infrastruktur pada pertumbuhan dan
ketimpangan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan di sektor
pendidikan dan infrastruktur serta tingkat inflasi yang rendah dapat mendorong
pertumbuhan dan pemerataan pendapatan yang progresif. Selain itu, pembangunan di
sektor keuangan, keterbukaan dalam perdagangan dan penurunan government size
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan peningkatan pada
ketimpangan pendapatan.
Laabas dan Limam (2004) menggunakan sistem persamaan simultan dalam
melihat hubungan antara investasi publik, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan
32
ketimpangan pendapatan. Penelitian tersebut menggunakan tiga variabel endogen
yaitu pertumbuhan, ketimpangan dan pendapatan. Hasil estimasi menyimpulkan
bahwa investasi diketahui memiliki hubungan yang erat dengan tingginya
pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu wilayah. Faktor penting yang lain dalam
penelitian tersebut adalah faktor kelembagaan yang merupakan salah satu sumber
pertumbuhan yang penting karena dapat berdampak pada kontribusi pelaku ekonomi
dalam memberikan insentif pada pertumbuhan.
2.1.12. Pengaruh Investasi Infrastruktur
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa infrastruktur merupakan
salah satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi (Stern, 1991). Infrastruktur
merupakan roda penggerak perekonomian, sedangkan dari sudut pandang alokasi
pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif
pembangunan nasional dan daerah. Reungsri (2010) menyatakan bahwa infrastruktur
sebagai representasi dari investasi publik memiliki pengaruh pada dua aspek, yaitu
aspek ekonomi dan sosial.
Aspek Ekonomi (Pertumbuhan)
Investasi infrastruktur yang merupakan investasi publik berdampak pada
pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dapat menggunakan investasi infrastruktur ini
sebagai alat untuk menaikkan investasi swasta atau untuk menurunkan permintaan.
Paradigma ekonomi Keynesian, investasi dapat menstimulus pengeluaran pemerintah
yang kemudian berdampak pada terjadinya crowding out dan crowding in investasi
swasta (Gambar 2.1). Infrastruktur bukanlah merupakan faktor yang dapat secara
langsung memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur memengaruhi
pertumbuhan dengan memfasilitasi produktifitas melalui penyediaan sarana dan
prasarana yang memadai.
33
Investasi Publik
PDB
Investasi Swasta
PDB
Return to Capital
Investasi Swasta
Crowding In
Investasi Swasta
Suku Bunga Riil
PDB
Crowding Out
Aspek Sosial (Pemerataan)
Infrastruktur, selain memiliki pengaruh pada aspek ekonomi, juga memiliki
dampak pada aspek sosial, antara lain mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat, diukur dengan adanya penurunan
kemiskinan, pemerataan dan redistribusi pendapatan dan mitigasi dalam memerangi
degradasi lingkungan.
Sumber: Aromdee, et al. (2005)
Gambar 2.4. Mekanisme Transmisi dari Investasi Publik
Aschauer (1989) menyatakan bahwa investasi publik pada infrastruktur sangat
penting sebagai salah satu sumber pendukung pertumbuhan ekonomi. Aschauer
meneliti hubungan antara output agregat dengan stok dan aliran pengeluaran
pemerintah dan menyimpulkan bahwa infrastruktur inti seperti jalan, jalan tol,
bandara dan sistem transportasi massal merupakan peranan pemerintah yang penting
dalam meningkatkan pertumbuhan dan perbakan produktifitas.
Munnel (1992) juga menganalisis kebijakan pemerintah dalam hal investasi
infrastruktur dan kaitannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dalam memberikan stimulus ekonomi yang cepat, investasi
34
publik pada infrastruktur memiliki efek positif yang signifikan terhada pertumbuhan
ekonomi.
Canning dan Pedroni (1999) menyimpulkan bahwa telefon dan jalan sebagai
pendukung infrastruktur mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi
dalam jangka panjang. Canning menggunakan metode error correction model dalam
menganalisis pengaruh jangka panjang antara infrastruktur dan pertumbuhan
ekonomi.
Perkins, et al. (2005) meneliti hubungan antara investasi infrastruktur
ekonomi dan pertumbuhan ekonomi di Afrika Selatan. Penelitian ini menggunakan
metode F-tests yang dikembangkan oleh Pesaran, Shin dan Smith. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa infrastruktur ekonomi dan pertumbuhan memiliki hubungan dua
arah. Investasi yang tidak memadai pada infrastruktur dapat menciptakan bottlenecks
dan hilangnya kesempatan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
2.2. Kerangka Pemikiran
Dalam upaya memberikan masukan untuk perbaikan strategi dan kebijakan
yang diambil oleh KPDT dalam mengefektifkan program yang dilaksanakan, maka
kiranya diperlukan suatu studi mengenai pengaruh program peningkatan infrastruktur
Kementrian PDT terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan
pendapatan. Untuk memberikan gambaran mengenai alur pemikiran dalam penelitian
ini, berikut digambarkan kerangka pemikiran penelitian, seperti tergambar di bawah
ini.
35
Aspek Pertumbuhan
Transmisi langsung (sisi mikro)
Transmisi tidak langsung (sisi makro)
Aspek Pemerataan
Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian
Kabupaten Tertiggal
Pendapatan Nasional dan Pertumbuhan
Ekonomi
Tenaga Kerja
Peningkatan Produktifitas
Peningkatan Pendapatan
Riil/Konsumsi Masyarakat
Ketimpangan Pendapatan
Penurunan Kemiskinan
Strategi Pembangunan Ekonomi untuk Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten
Tertinggal
Investasi Infrastruktur (P2IPDT)
Transportasi Informasi dan telekomunikasi
Ekonomi
Sosial Energi
36
2.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah:
1. Terjadi perbaikan pada dinamika kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan kinerja
perekonomian di kabupaten tertinggal.
2. Investasi infrastruktur dalam hal ini adalah instrumen P2IPDT Kementrian
PDT, sebagai representasi dari investasi publik pemerintah memiliki pengaruh
positif dalam meningkatkan perekonomian.
3. Peningkatan kinerja perekonomian di kabupaten tertinggal mampu
menurunkan ketimpangan pendapatan.
4. Peningkatan kinerja perekonomian di kabupaten tertinggal dapat menurunkan
tingkat kemiskinan.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari
berbagai publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), diantaranya publikasi indikator
kesejahteraan rakyat dan produk domestik regional bruto, selain itu digunakan
pula data Suvei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Data mengenai bantuan
stimulus infrastruktur juga digunakan dalam penelitian ini, yang bersumber dari
Kementrian PDT. Data yang dihimpun mencakup 199 kabupaten tertinggal yang
ditetapkan Kementrian PDT tahun 2005 dan digunakan untuk melakukan analisis
deskriptif, sedangkan analisis ekonometrik dilakukan pada 82 kabupaten tertinggal
yang secara kontinu mendapatkan bantuan stimulus infrastruktur dari Kementrian
PDT tiap tahunnya.
3.2. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis
ekonometrik. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan deskripsi
mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di
kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah
adanya implementasi program P2IPDT. Analisis ekonometrik digunakan untuk
melihat pengaruh infrastruktur terhadap perekonomian dan kemiskinan. Beberapa
metode ekonometrik yang digunakan diantaranya metode data panel statis, data
panel dinamis dan panel instrumental variable. Penggunaan berbagai metode
estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat
kebaikan, robustness model, serta validitas di antara berbagai metode estimasi
yang digunakan.
3.2.1. Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis sederhana
yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan
menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun narasi dengan tujuan untuk
38
memudahkan pembaca dalam menafsirkan hasil observasi. Salah satu analisis
deskriptif yang digunakan adalah teknik analisis kuadran.
Analisis kuadran digunakan untuk melihat hubungan dan dinamika
pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan serta pertumbuhan ekonomi dan
kemiskinan kabupaten tertinggal, pada dua periode waktu, yaitu 2005 dan 2009.
Pemilihan Tahun 2005 sebagai tahun awal dimana program P2IPDT belum
diimplementasikan, dan Tahun 2009 di pilih untuk melihat kondisi terkini di
kabupaten tertinggal. Dua periode waktu tersebut diharapkan dapat memberikan
gambaran dinamika pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan kabupaten
tertinggal.
3.2.2. Analisis Pengaruh Bantuan Stimulus Infrastruktur terhadap Perekonomian, Ketimpangan dan Penurunan Kemiskinan
Studi mengenai peranan program P2IDT dalam mendorong kinerja
perekonomian, menurunkan ketimpangan dan kemiskinan ini dilakukan dengan
menggunakan metode analisis regresi. Analisis regresi dilakukan dengan tujuan
utama adalah untuk memperkirakan nilai dari variabel tak bebas pada nilai
variabel bebas tertentu (Supranto, 2000). Berdasarkan pemikiran tersebut penulis
menggunakan metode ini untuk menjelaskan pengaruh program P2IDT dalam
meningkatkan perekonomian, menurunkan ketimpangan dan kemiskinan. Pada
penelitian ini analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi data panel.
3.2.2.1. Analisis Data Panel
Analisis data panel adalah bentuk analisis data longitudinal yang cukup
populer di kalangan peneliti bidang ilmu sosial dan ilmu perilaku. Data panel
adalah data silang dari sekumpulan variabel yang di survei secara periodik.
Penggunaan analisis panel data dalam estimasi ekonometrika memiliki beberapa
kelebihan dan kelemahan. Baltagi (2005) menyatakan bahwa panel data memiliki
kelebihan antara lain:
1. Dapat mengontrol heterogenitas individu
2. Panel data memberikan data yang lebih lengkap dengan kolinieritas yang
rendah dan derajat bebas yang lebih besar serta lebih efisien
39
3. Panel data baik digunakan untuk mengkaji mengenai penyesuaian dinamis
(dynamic of adjustment)
4. Panel data lebih handal dalam mengidentifikasi dan mengukur efek
individu maupun efek waktu yang tidak dapat dilakukan dalam teknik
analisis deret waktu (time series) maupun analisis antar individu (cross
section)
5. Panel data dapat digunakan untuk membangun dan menguji model dengan
perilaku yang kompleks.
Namun demikian, analisis panel data memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1. Masalah dalam desain dan pengumpulan data, termasuk masalah cakupan
dan kelengkapan data
2. Gangguan yang timbul akibat kesalahan pengukuran (measurement errors)
3. Mengatasi data deret waktu yang pendek
4. Terdapat hubungan antar individu
Analisis Data Panel Statis
Analisis data panel statis merupakan analisis data longitudnal yang tidak
melibatkan variabel lag dependent dalam model. Terdapat beberapa tipe model
analisis data panel statis, antara lain:
1. Constant coefficient model (Pooled OLS) adalah salah satu tipe model data
panel yang memiliki koefisien yang konstan untuk intersep dan slope. Untuk
model data panel ini dapat menggunakan metode ordinary least squares
regression model.
2. Tipe model data panel lainnya adalah fixed effect model (FEM), dimana model
ini memiliki konstan slope namun memiliki intersep yang bergantung pada
data panel dari serangkaian grup observasi. Model ini dikenal juga sebagai
Least Squares Dummy Variable Model, karena sebanyak i-1 variabel dummy
digunakan dalam model ini. Persamaan model ini adalah sebagai berikut:
yit = αi + x’it β + uit
dimana u
; i=1,….,N; t=1…..,T (3.1) it =μi + vit , untuk one way error component dan uit = μi + λt+ vit
untuk two way error component.
40
3. Random Effect Model (REM), dalam model ini terdapat perbedaan intersep
untuk setiap individu dan intersep tersebut merupakan variabel random atau
stokastik. Sehingga dalam model random effects terdapat dua komponen
residual, yakni residual secara menyeluruh εit
(3.2)
dan residual secara individu.
Persamaan model random effects dapat ditulis sebagai berikut:
Metode estimasi yang digunakan pada model analisis regresi data panel
statis, didasarkan pada asumsi struktur matriks varians dan covarians residualnya,
yang terdiri dari 3 metode, yaitu:
1. Ordinary Least Square (OLS/LSDV), jika struktur matriks varians-covarians
residualnya diasumsikan bersifat homokedastik dan tidak ada cross sectional
correlation,
2. Generalized Least Square (GLS)/Weighted Least Square (WLS): Cross
Sectional Weight, jika struktur matriks varians-covarians residualnya
diasumsikan bersifat heterokedastik dan tidak ada cross sectional correlation,
3. Feasible Generalized Least Square (FGLS)/Seemingly Uncorrelated
Regression (SUR), jika struktur matriks varians-covarians residualnya
diasumsikan bersifat heterokedastik dan ada cross sectional correlation.
Analisis Data Panel Dinamis
Baltagi (2005) menyatakan bahwa hubungan di antara variabel-variabel
ekonomi pada kenyataan banyak yang bersifat dinamis. Analisis data panel
dinamis dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis yang melibatkan
variabel lag dependen sebagai variabel regresor di dalam model. Keuntungan
penggunaan panel data dinamis adalah bahwa panel data dinamis dapat mengkaji
mengenai analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Sebagai ilustrasi,
model data panel dinamis adalah sebagai berikut:
yit = δ yi,t-1 + uit
dengan δ menyatakan suatu skalar, x’
; i=1,….,N; t=1…..,T (3.3)
it menyatakan matriks berukuran 1xK dan β
matriks berukuran Kx1. Pada model ini, uit diasumsikan mengikuti model one
way error component sebagai berikut:
41
uit =μi + vit
dengan u
(3.4)
it ~ IID(0, ) menyatakan pengaruh individu dan vit
Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan
efisiensi baik pada FEM maupun REM terkait perlakuan terhadap
~ IID(0, )
menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa
literatur disebut sebagai transient error.
. Dalam
model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena merupakan
fungsi dari maka yi,t-1 juga merupakan fungsi dari . Karena adalah fungsi
dari uit maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor yi,t-1 dengan uit. Hal
ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model
data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila tidak berkorelasi
serial sekalipun.
Pendekatan method of moments dapat digunakan untuk mengatasi masalah
bias dan inkonsistensi. Arrelano dan Bond menyarankan suatu pendekatan
generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu
yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM
merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat
untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang
sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood..
Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan.
Beberapa kelemahan metode GMM, yaitu: (i) GMM estimator adalah
asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam
ukuran contoh yang terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan
sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak
(software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. Terdapat dua jenis
prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model
linear autoregresif, yakni:
1. First-difference GMM (FD-GMM atau AB-GMM)
2. System GMM (SYS-GMM)
42
First-differences GMM (AB-GMM)
Metode first-differences GMM (AB-GMM) dikembangkan oleh Arellano
dan Bond. Metode first-differences dilakukan untuk mendapatkan estimasi δ yang
konsisten di mana N → ∞ dengan T dan mengeliminasi pengaruh individual.
Persamaan dinamis dengan first-differences kemudian dapat dijabarkan sebagai
berikut:
yit - yit-1 = δ (yi,t-1 - yi,t-2) + (vit - vit-1
Pendugaan dengan metode least square (OLS) akan menghasilkan penduga δ yang
inkonsisten karena y
); t=2,….., T (3.5)
it dan vit-1 berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila T →
∞. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat
menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, yi,t-2 akan
digunakan sebagai instrumen. Di sini, yi,t-2 berkorelasi dengan (yit - yit-1) tetapi
tidak berkorelasi dengan, vit-1 dan vit
Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa v
tidak berkorelasi serial.
it ~ IID pada
seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi
tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi
dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan
matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat
dianjurkan bagi sampel berukuran kecil) menekankan ketidakberadaan
autokorelasi pada vit
Jika model data panel dinamis yang mengandung variabel eksogenus,
maka Persamaan (3.3) dapat dituliskan kembali menjadi
dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis.
yit = x’it β + δ yi,t-1 + µi + vit
Parameter persamaan (3.6) juga dapat diestimasi menggunakan
generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi
yang dibuat terhadap x’
(3.6)
it
, selain itu sekumpulan instrumen tambahan yang
berbeda dapat pula dibangun.
System GMM (SYS-GMM)
Pendekatan system GMM berkembang berdasarkan pemikiran Blundell
dan Bond. Ide dasar dari penggunaan metode system GMM adalah mengestimasi
sistem persamaan baik pada first-differences maupun pada level yang mana
43
instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari deret.
Blundell dan Bond dalam Baltagi (2005) menyatakan pentingnya pemanfaatan
initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel
dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model autoregresif data
panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut:
yit = δ yi,t-1 + μi + vit
dengan E(μ
(3.7)
i) = 0, E(vit) = 0 dan E(μi vit
) = 0 untuk i =1, 2,…, N; t = 1, 2,…,T.
Dalam hal ini, Blundel dan Bond memfokuskan pada T = 3, oleh karenanya hanya
terdapat satu kondisi ortogonal sedemikian sehingga δ tepat teridentifikasi (just
identified). Pada System GMM, Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya
presisi dari penduga first-difference GMM dengan masalah lemahnya instrumen
yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi τ.
Analisis Data Panel Instrumental Variable
Metode data panel instrumental variable dikenal sebagai solusi dalam
mengatasi masalah endogenous regressors, dimana variabel bebas berkorelasi
dengan error. Metode instrumental variable merupakan salah satu cara untuk
mendapatkan estimasi parameter yang konsisten (Baum, 2009). Verbeek ( 2008)
menyatakan bahwa apabila variable bebas dalam model merupakan variabel
endogen, maka estimasi dengan OLS menjadi bias dan tidak konsisten, untuk itu
diperlukan suatu teknik estimasi yang lebih baik, salah satunya adalah estimasi
instrumental variable. Model instrumental variable dapat direpresentasikan
dalam bentuk persamaan:
yit = xitβ1+ εit
Jika x
(3.8)
it merupakan variabel endogen, dimana E(xit,εit) ≠ 0, maka penggunaan
estimasi dengan metode OLS tidak lagi menghasilkan estimasi yang tidak bias
dan konsisten. Penggunaan teknik instrumental variable dapat mengatasi masalah
ini, dengan menggunakan suatu variabel lain (zit) yang berkorelasi dengan yit,
namun tidak berkorelasi dengan error. Variabel zit haruslah memiliki korelasi
yang erat dengan xit, sehingga xit memengaruhi yit hanya melalui instrumen zit.
Estimasi dengan teknik instrumental variable tersebut dapat menggunakan
metode two stage least squares (2SLS) estimator. Secara umum, estimator ini
44
dapat diinterpretasikan sebagai penggunaan estimator yang sama dalam dua tahap.
Kedua tahap tersebut dapat diestimasi dengan menggunakan teknik least square
estimator. Pada tahap pertama, persamaan reduced form diestimasi dengan
menggunakan OLS (regresi variabel endogen dengan semua instrumen). Pada
tahap kedua persamaan struktural diestimasi, juga dengan menggunakan OLS,
dengan mengganti nilai variabel endogen dengan nilai prediksi dari hasil regresi
sebelumnya yang menggunakan persamaan reduced form (Verbeek, 2008).
Verbeek (2008) juga menyatakan bahwa permasalahan dapat timbul dalam
penggunaan teknik instrumental variable ini adalah pada masalah “lemahnya
instrumen”. Masalah ini timbul apabila instrumen yang digunakan memiliki
korelasi yang lemah dengan variabel endogennya, sehingga kondisi ini
menyebabkan hasil estimasi dengan teknik instrumental variable menjadi bias.
3.2.2.2. Pengaruh Infrastruktur, Ketimpangan Pendapatan terhadap Perekonomian
Analisis mengenai pengaruh infrastruktur dan ketimpangan terhadap
perekonomian dalam penelitian ini menggunakan analisis ekonometrik panel data
statis dan dinamis. Penggunaan dua metode estimasi ini diharapkan dapat melihat
perbandingan hasil estimasi dan melihat kebaikan serta robustness model. Panel
data statis digunakan dalam penelitian ini untuk melihat secara sederhana
pengaruh infrastruktur dan ketimpangan terhadap perekonomian, tanpa melihat
pengaruh waktu (time lag) dalam permodelan. Panel data dinamis juga digunakan
dalam penelitian ini, untuk melihat pengaruh waktu mengingat adanya time lag
dari pengaruh infrastruktur yang menyebabkan dampak investasi infrastruktur
tidak hanya dirasakan pada saat yang sama namun juga pada jangka panjang.
Penggunaan model panel data dinamis juga dilakukan mengingat adanya
pengaruh ekspektasi nilai output dari para pelaku pasar, yang dapat memengaruhi
nilai output saat ini juga menjadi salah satu alasan penggunaan. Persamaan
dinamis sederhana yang digunakan dalam penelitian ini, merujuk pada penelitian
Calderon dan Serven (2008). Model panel data dinamis pada penelitian tersebut
digambarkan ke dalam satu persamaan dinamis sederhana, yaitu:
45
yit – yit-1 = αyit-1 + φ’ K it + γ’Zit + μ t + η t + εit
= αy
(3.9)
it-1 + β’Xit + μt + η i + εit (3.10)
Dimana:
y = tingkat output
K = ukuran ketimpangan pendapatan
Z = bantuan stimulus infrastruktur
Persamaan 3.9 diperoleh dengan menggabungkan faktor-faktor dari pertumbuhan,
ketimpangan dan infrastruktur, dimana Xit = (K’it, Z’it
Ditinjau dari sisi ekonometrik, persamaan tersebut di atas berpotensi
memiliki tiga permasalahan endogeneity. Masalah tersebut antara lain:
) dan β’= (φ’, γ’).
1. Permasalahan endogeneity yang muncul akibat adanya lag dependent variabel
yang ikut dalam persamaan sebagai variabel bebas yang menyebabkan adanya
korelasi antara lag dependent variabel tersebut dengan error. Lag dependent
variabel tersebut ternyata juga memiliki pengaruh pada ukuran ketimpangan
pendapatan (K) dan bantuan stimulus infrastruktur (Z). Munculnya
permasalahan endogeneity tersebut menyebabkan estimasi dengan metode
ordinary least square (OLS) menjadi tidak lagi konsisten (Verbeek, 2008).
2. Permasalahan endogeneity juga berpotensi terjadi pada persamaan tersebut
mengingat ketimpangan (K) memiliki memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan, sehingga terjadi reverse causality antara pertumbuhan ekonomi
dan ketimpangan pendapatan (Heshmati, 2004).
3. Permasalahan endogeneity muncul akibat terdapat banyak faktor yang
memengaruhi keputusan pengambil kebijakan dalam menentukan besaran
nilai bantuan stimulus infrastruktur. Hal ini menyebabkan variabel bantuan
stimulus infrastruktur tidak lagi murni sebagai variabel eksogen yang tidak
berkorelasi dengan error, namun menjadi variabel endogen. Kondisi ini
menyebabkan perlunya diterapkan teknik estimasi menggunakan variabel
instrumen untuk memodelkan faktor-faktor yang memengaruhi nilai bantuan
stimulus infrastruktur. Calderon dan Serven (2008) dalam penelitiannya
46
melibatkan lag dependent infrastruktur sebagai instrumen internal dan
kepadatan penduduk sebagai instrumen eksternal.
Ketiga permasalahan endogeneity tersebut menurut Verbeek (2008) dapat
diatasi dengan menerapkan metode generalized method of moment (GMM).
Penerapan metode GMM dalam analisis panel data dinamis dapat mengurangi
bias pada penggunaan teknik OLS dan standard error yang dihasilkan menjadi
lebih efisien jika dibandingkan dengan penggunaan estimasi two stage least
square (2SLS).
Penggunaan metode analisis panel dinamis meskipun memiliki kelebihan
dalam menangani masalah endogeneity (khususnya pada penanganan data dengan
pengaruh time lag), namun metode ini hanya dapat diterapkan pada permodelan
dengan satu persamaan. Kelemahan ini menyebabkan teknik analisis panel data
dinamik tidak dapat digunakan untuk melihat secara simultan pengaruh
infrastruktur terhadap penurunan kemiskinan (melalui jalur pertumbuhan).
Metode analisis panel instrumental variable digunakan untuk menjawab
permasalahan ini, mengingat kelebihan metode ini dalam menangani regresi
dengan lebih dari satu persamaan melalui penggunaan variabel instrumen.
Pemilihan faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi,
didasarkan oleh berbagai variabel yang digunakan dalam penelitian-penelitian
terdahulu. Faktor-faktor yang memengaruhi aktifitas perekonomian dan
pertumbuhan ekonomi daerah yang dikaji dalam penelitian ini antara lain:
Infrastruktur
Infrastruktur, terbukti merupakan senjata yang ampuh dalam mendorong
perekonomian.. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan berbagai
peneliti, antara lain Aschauer (1989) yang menyatakan bahwa peran pemerintah
dalam investasi publik sangatlah penting dalam mendorong pertumbuhan.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah positif
meningkatkan output dengan elastisitas berkisar antara 0,38 dan 0,56. Penelitian
Aschauer diperkuat oleh Munnel (1992) yang menyatakan bahwa investasi publik
di bidang infrastruktur berpengaruh positif terhadap pertumbuhan. Canning dan
Pedroni (1999) menyimpulkan bahwa infrastruktur telepon dan jalan aspal positif
47
memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Prasetyo (2010) juga meneliti mengenai
pengaruh infrastruktur. Dalam penelitiannya Prasetyo menyimpulkan bahwa
Variabel human capital memiliki dampak terbesar dibandingkan variabel lain
dengan elastisitas sebesar 0,34. Variabel listrik dan jalan berpengaruh secara
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional dengan tingkat elastisitas
listrik sebesar 0,33 lebih tinggi daripada jalan (0,13), sedangkan infrastruktur air
bersih tidak berpengaruh secara statistik.
Ketimpangan Pendapatan
Ketimpangan pendapatan merupakan faktor lain yang mampu
memengaruhi perekonomian. Heshmati (2004) dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa ketimpangan pendapatan yang diukur melalui indeks gini,
investasi dan pendidikan memiliki pengaruh pada perekonomian. Penelitian ini
juga mendukung hipotesis Kuznets yang menyatakan bahwa hubungan antara
perekonomian (log PDRB per kapita) dan ketimpangan pendapatan dapat
digambarkan sebagai kurva U terbalik. Iradian (2005) meneliti pengaruh
ketimpangan (indeks gini), pendapatan per kapita, inflasi dan investasi terhadap
pertumbuhan. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif
antara ketimpangan dan pendapatan dan terdapat hubungan positif antara investasi
dan pertumbuhan ekonomi.
Inflasi
Penggunaan variabel inflasi sebagai salah satu faktor yang memengaruhi
perekonomian didasarkan atas hasil penelitian yang dilakukan oleh Mallik dan
Chowdurry (2001) yang menyatakan bahwa inflasi dan pertumbuhan memiliki
hubungan jangka panjang yang positif. Motley (1993) menyatakan bahwa negara
dengan tingkat inflasi yang rendah memiliki kecenderungan untuk mencapai
tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Hasil penelitian dari Li dan Zou
(2002) dengan menggunakan analisis panel data dari berbagai negara,
menyimpulkan bahwa inflasi dapat menurunkan capaian pertumbuhan ekonomi.
48
Penduduk
Faktor demografi merupakan faktor yang cukup penting dalam
menentukan perekonomian wilayah. Tingkat fertilitas (Ogawa dan Suits, 1981),
pertumbuhan penduduk (Klasen dan Lawson, 2007), tingkat migrasi (Manitoba
Bureau of Statistics, 2008) merupakan faktor-faktor demografi yang
memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Indikator demografi yang baik serta tingkat
fertilitas yang rendah dapat mendorong peningkatan pembangunan.
Berdasarkan penelitian terdahulu, serta merujuk pada penelitian Iradian
(2005) maka persamaan (3.9) dan (3.10) dapat dituliskan kembali menjadi:
Yit = αit + β1Yit-1 + β2GINIit + β3P2IPDTit + β4(P2IPDTit)2 + β5INFit-1
β
+
6POPit + β7DWILit + εit
Keterangan:
(3.11)
Yit
Y
= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i
periode ke-t
it-1
GINI
= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i
periode ke-(t-1)
it
P2IPDT
= Indeks gini kabupaten ke-i periode ke-t
it
ke- t (juta rupiah)
= Besaran bantuan stimulus infrastruktur kabupaten ke-i periode
(P2IPDTit)2
INF
= Kuadrat Besaran bantuan stimulus infrastruktur kabupaten ke-i
periode ke-t (juta rupiah)
it-1
kabupaten periode t-1 (persen)
= Inflasi kabupaten yang didekati dengan nilai GDP deflator
POPit
DWIL
= Jumlah penduduk kabupaten i periode t (jiwa)
it
= Dummy variabel wilayah (0=KBI dan 1=KTI)
Model analisis menggunakan persamaan 3.11 di atas tidak mampu
menjawab masalah jenis bantuan apa yang paling besar memengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Faktor ketersediaan data, dimana masing-masing
kabupaten tertinggal tidak secara kontinu mendapatkan satu jenis bantuan yang
49
sama tiap tahunnya menyebabkan penulis mengalami sedikit hambatan dalam
permodelan. Untuk itu dilakukan permodelan dengan menggunakan dummy
variable jenis bantuan seperti pada persamaan di bawah ini:
Yit = αit + β1Yit-1 + β2GINIit + β3DTRANSPit + β4DENERGIit + β5DINFOTELit
β
+
6DSOSit + β7DEKONit + β8INFit-1 + β9POPit + β10DWILit +εit
(3.12)
Keterangan:
Yit
Y
= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i
periode ke-t
it-1
DTRANSP
= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i
periode ke-(t-1)
it
DENERGI
= Dummy variabel bantuan transportasi (0=tidak dapat dan 1=dapat)
it
DINFOTEL
= Dummy variabel bantuan energi (0=tidak dapat dan 1=dapat)
it
DSOS
= Dummy variabel bantuan infotel (0=tidak dapat dan 1=dapat)
it
DEKON
= Dummy variabel bantuan sosial (0=tidak dapat dan 1=dapat)
it
GINI
= Dummy variabel bantuan ekonomi (0=tidak dapat dan 1=dapat)
it
INF
= Indeks gini kabupaten ke-i periode ke-t
it-1
POP
= Inflasi kabupaten yang didekati dengan nilai GDP deflator
kabupaten
it
DWIL
= Jumlah penduduk kabupaten i periode t (jiwa)
it
= Dummy variabel wilayah (0=KBI dan 1=KTI)
3.2.2.3. Pengaruh Peningkatan Perekonomian terhadap Kemiskinan
Dalam penelitian ini, pengaruh peningkatan perekonomian terhadap
kemiskinan dikaji dengan menggunakan tiga metode estimasi, yaitu metode panel
data statis, panel data dinamis dan panel instrumental variable. Penggunaan
metode panel data statis dan dinamis digunakan untuk melihat pengaruh jeda
waktu (time lag) sedangkan metode panel instrumental variable digunakan untuk
melihat secara langsung (simultan) pengaruh infrastruktur, inflasi dan
ketimpangan terhadap kemiskinan lewat jalur perekonomian (PDRB per kapita).
50
Faktor-faktor lain selain PDRB per kapita, dalam penelitian ini juga dilihat
pengaruhnya terhadap angka kemiskinan. Pemilihan variabel yang digunakan
dalam model, merujuk pada penelitian terdahulu. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, beberapa variabel dipilih antara lain:
Aktivitas Perekonomian dan Pertumbuhan Ekonomi
Bolnick (2000) menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan
salah satu instrumen untuk mengurangi kemiskinan di Mozambique. Dalam
penelitian juga dinyatakan bahwa analisis pertumbuhan seharusnya tidak hanya
dilihat dari perspektif makro ekonomi semata namun juga dalam aspek
pembangunan regional dan sektoral.
Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian dari Siregar dan Wahyuniarti
(2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia
dipengaruhi oleh besarnya PDRB, jumlah populasi penduduk, tingkat inflasi,
pangsa sektor pertanian dan industri terhadap PDRB, serta tingkat pendidikan
yang mencerminkan modal manusia (human capital).
Ketimpangan Pendapatan
Pertumbuhan ekonomi yang didukung dengan pemerataan pendapatan
(ketimpangan yang rendah) dapat menjadi satu faktor yang efektif dalam
mengurangi jumlah penduduk miskin. Pernyataan ini sejalan dengan yang
dikemukakan Gelaw (2010) yang menyatakan bahwa kemiskinan akan tetap
tinggi jika pertumbuhan ekonomi diikuti dengan ketimpangan pendapatan.
Jumlah Penduduk
Indra (2008) dalam penelitiannya juga memasukkan variabel populasi
dengan asumsi bahwa peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan
peningkatan jumlah penduduk miskin. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian
Siregar dan Wahyuniarti (2007).
Bedasarkan penelitian-penelitian terdahulu, analisis pengaruh
pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan dalam penelitian ini dimodelkan
seperti pada persamaan (3.13). Persamaan tersebut merujuk pada model yang
51
dikembangkan oleh Iradian (2005) yang telah dimodifikasi, persamaan tersebut
adalah sebagai berikut:
Pit = αi + β1 Pit-1 + β2 Yit + β3 GINIit + β4 EXPit + β4( EXPit)2 + εit
(3.13)
Keterangan:
Pit
P
= Tingkat kemiskinan (head count poverty) kabupaten ke-i periode
ke-t (persen)
it-1
ke-(t-1) (persen)
= Tingkat kemiskinan (head count poverty) kabupaten ke-i periode
Yit
periode ke-t (persen)
= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i
GINIit
EXP
= Indeks gini kabupaten ke-i periode ke-t
it
(EXP
= Pengeluaran pemerintah kabupaten ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
it)2
= Pengeluaran pemerintah kabupaten ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
3.2.3. Uji Spesifikasi Model Data Panel
Pada model data panel statis, masalah utama dalam pengujian model
adalah penentuan model apakah termasuk model efek tetap atau efek acak. Dalam
penelitian ini, mengacu pada penelitian sebelumnya maka hanya analisis panel
data dengan model efek tetap yang digunakan, sehingga tidak lagi dilakukan uji
haussman untuk menentuakan model efek tetap atau model efek acak yang
digunakan.
Pada model panel data dinamis, beberapa kriteria ditentukan untuk melihat
uji validitas dan uji spesifikasi model, untuk menentukan model dinamis atau
penggunaan jenis GMM yang paling sempurna. Kriteria tersebut antara lain
adalah:
1. Konsistensi model dengan menggunakan Arellano-Bond m1 dan m2
2. Validitas instrumen dengan menggunakan pemeriksaan moment condition
dengan menggunakan Uji Sargan.
untuk
menguji adanya serial korelasi pada residual.
52
3. Estimasi parameter menggunakan GMM seharusnya menghasilkan estimasi
yang tidak bias.
Berdasarkan kriteria tersebut maka penduga terbaik haruslah memiliki kriteria
konsisten, valid dan tidak bias.
3.2.4. Definisi Operasional
Berikut diberikan definisi operasional dari masing-masing variabel yang
digunakan dalam model, antara lain:
1. PDRB perkapita (Y) merupakan hasil bagi PDRB atas dasar harga konstan
Tahun 2000 dengan jumlah penduduk masing-masing kabupaten. Data
diperoleh dari publikasi PDRB kabupaten kota Tahun 2007-2009 yang
diperoleh dari BPS.
2. Indeks gini (GINI) meupakan ukuran ketimpangan pendapatan dari sisi
pengeluaran per kapita. Angka Indeks gini diperoleh dari perhitungan
penulis dengan menggunakan data SUSENAS kor Tahun 2007-2009.
3. Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah
Tertinggal (P2IPDT) merupakan besaran dana bantuan stimulus
infrastruktur yang diperoleh dari KPDT. Dana bantuan stimulus tersebut
merupakan salah satu mata anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
4. Inflasi (INF) merupakan ukuran tingkat perubahan harga di pasar yang
juga dapat mencerminkan daya beli masyarakat. Dalam penelitian ini nilai
inflasi kabupaten tertinggal didekati dengan nilai PDRB deflator,
sehubungan dengan tidak tersedianya data inflasi tingkat kabupaten.
5. Jumlah penduduk (POP) merupakan jumlah penduduk yang dihitung
berdasarkan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tersedia dalam
publikasi PDRB kabupaten/kota BPS.
6. Tingkat kemiskinan (P) merupakan tingkat kemiskinan (headcount
poverty) yang dihitung berdasarkan garis kemiskinan BPS. Data tingkat
kemiskinan didasarkan pada data yang dikeluarkan oleh BPS berdasarkan
data SUSENAS.
7. Pengeluaran pemerintah (EXP) merupakan total belanja yang dikeluarkan
oleh pemerintah daerah berdasarkan APBD.
IV. KERAGAAN DAN DINAMIKA KABUPATEN TERTINGGAL SERTA
UPAYA PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
KABUPATEN TERTINGGAL
Analisis mengenai keragaan dan dinamika kabupaten tertinggal dilakukan
untuk melihat dampak implementasi program P2IPDT yang telah dilakukan
Kementrian PDT di daerah tertinggal. Analisis sebelum dan sesudah (before and
after) implementasi bantuan dipilih sebagai salah satu teknik untuk melihat dampak
implementasi program. Kondisi awal sebelum implementasi program dideskripsikan
sebagai kondisi kabupaten tertinggal pada tahun 2006, sedangkan kondisi akhir
setelah implementasi program dideskripsikan sebagai kondisi pada tahun 2009.
Diharapkan dengan membandingkan kedua periode tahun ini, dapat dilihat secara
sederhana dinamika kabupaten tertinggal sebelum dan sesudah implementasi program
P2IPDT.
4.1. Keragaan Kabupaten Tertinggal
Ketertinggalan daerah dalam pembangunan disebabkan oleh banyak faktor
yang bersifat kompleks dan menyebabkan ketimpangan yang kurang menguntungkan
dalam berbagai aspek. Hal itu menyebabkan perlunya suatu upaya sistematis dan
terencana untuk mengejar ketertinggalan daerah sehingga setara dengan daerah maju
lainnya. Pemerintah melalui Kementrian PDT telah melaksanakan berbagai program
untuk meningkatkan daya saing daerah tertinggal dan mengejar ketertinggalan.
Berdasarkan data dari Kementrian PDT, sampai dengan tahun 2010 terdapat
183 kabupaten yang tergolong sebagai daerah tertinggal. Sebanyak 55 kabupaten
tertinggal berada di wilayah Kawasan Barat Indonesia dan sebanyak 128 kabupaten
berada di kawasan Indonesia Timur. Secara kasat mata angka ini menunjukkan
sedikit perbaikan pada capaian pengentasan kabupaten tertinggal, karena tercatat pada
tahun 2005, berdasarkan Keputusan Menteri PDT No. 001/KEP/M-PDT/I/2005,
terdapat sebanyak 199 kabupaten tertinggal di Indonesia, 76 kabupaten tertinggal
berada di KBI dan 123 kabupaten tertinggal berada di KTI.
54
penu
Berd
kabu
keny
seban
Masi
diseb
terse
kabu
S
G
PDT
perse
Kaw
Data te
urunan jum
dasarkan an
upaten tert
yataannya, d
nyak 51 ka
ih tingginy
babkan kar
but kemudi
upaten tertin
Sumber: Kem
Gambar 4.1
Dari dat
, baik tahu
entase juml
wasan Barat
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
ersebut me
mlah kabup
ngka terseb
tinggal tel
dari 199 kab
abupaten tid
ya jumlah
rena adanya
ian memben
nggal di Indo
mentrian PD
1. PerbandiNasional
ta jumlah k
un 2005 d
ah kabupat
Indonesia
KBI
28,90
enunjukkan,
paten tertin
but, tidak
lah berhas
bupaten yan
dak lagi me
kabupaten
a proses p
ntuk daerah
onesia pada
DT (2010),
ingan Persl, Tahun 20
kabupaten te
dan 2010,
ten tertingg
(Gambar 4
0
20,68
, selama
nggal di In
dapat dia
sil terenta
ng masuk k
enyandang
tertinggal
pemekaran
h otonomi b
a tahun 2010
diolah
sentase Kab005 dan 201
ertinggal ya
Kawasan T
al yang leb
.1). Salah s
KTI
59,71
58,7
2005 20
kurun wa
ndonesia s
artikan bah
askan dari
kategori tert
daerah tert
l yang ter
wilayah, d
baru (48 ka
0 menjadi s
bupaten Te10
ang dipublik
Timur Indo
bih tinggi b
satu faktor
Indonesia
42,25
72
010
aktu 2005-
ebanyak 1
hwa hanya
i keterting
tinggal pad
tinggal pada
rcatat pada
dimana daer
abupaten). S
sebanyak 18
ertinggal K
kasikan ole
onesia terc
bila dibandin
yang meng
20
37,81
2010, terj
6 kabupat
sebanyak
ggalan. Pa
da tahun 200
a tahun 20
a tahun 20
rah terting
Sehingga to
83 kabupate
KBI, KTI d
eh Kementr
atat memil
ngkan deng
gakibatkan h
005
2010
adi
ten.
16
ada
05,
10.
010
gal
otal
n.
dan
ian
liki
gan
hal
55
tersebut diantaranya adalah proses pembangunan Indonesia masih terpusat di
Kawasan Barat Indonesia. Selain itu, dalam berbagai aspek baik sumber daya
manusia serta infrastruktur, terlihat perbedaan yang mencolok antara wilayah KBI
dan KTI.
4.1.1. Keragaan Kabupaten Tertinggal Kawasan Barat Indonesia
Selama kurun waktu 2005-2010, terjadi penurunan persentase kabupaten
tertinggal di KBI sebanyak 8,11 persen. Provinsi Riau, Jambi, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Bali berhasil mengentaskan seluruh kabupaten tertinggal di
wilayahnya, sehingga saat ini provinsi-provinsi tersebut tidak lagi memiliki
kabupaten tertinggal (tahun 2005, hanya DKI Jakarta yang tidak memiliki daerah
tertinggal). Keberhasilan provinsi-provinsi tersebut mengentaskan kabupaten
tertinggal di wilayahnya diduga erat kaitannya dengan kinerja perekonomian yang
berhasil dicapai. Data BPS menunjukkan bahwa kabupaten tertinggal di provinsi
tersebut memiliki capaian pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 4 persen.
Kondisi yang cukup mengkhawatirkan terjadi di Provinsi Bengkulu, tercatat
pada tahun 2005, hampir seluruh kabupaten di provinsi ini tergolong sebagai
kabupaten tertinggal (kecuali Kota Bengkulu). Pada tahun 2010, mulai terjadi
perbaikan dalam upaya mengurangi jumlah kabupaten tertinggal, 3 kabupaten
tertinggal berhasil terentaskan dari ketertinggalan (Bengkulu Selatan, Rejang Lebong
dan Bengkulu Utara). Adanya pengentasan 3 kabupaten tertinggal tersebut, nyatanya
tidak membuat Bengkulu memiliki capaian pengentasan kabupaten tertinggal yang
lebih baik dibandingkan dengan provinsi KBI lainnya. Hal ini tercermin dari fakta
bahwa pada tahun 2010, hanya Provinsi Bengkulu dan Nangroe Aceh Darussalam
yang memiliki persentase kabupaten tertinggal lebih dari 50 persen, yang notabene
persentase sebesar itu merupakan karakteristik provinsi-provinsi di KTI. Kondisi ini
perlu disikapi, dengan mengkaji lebih dalam kondisi Bengkulu dan menerapkan
kebijakan sesuai dengan kebijakan yang dilakukan di KTI (Gambar 4.2).
Provinsi Banten tercatat mengalami stagnasi dalam upaya mengurangi jumlah
kabupaten tertinggalnya. Pada tahun 2005 Provinsi Banten memiliki 2 kabupaten
56
tertinggal (Pandeglang dan Lebak), sedangkan kondisi tahun 2010 kedua kabupaten
tersebut masih belum berhasil terentaskan. Diduga kondisi ini disebabkan oleh
rendahnya kualitas sumber daya manusia Provinsi Banten. Data dari Kementrian PDT
menunjukkan pada kurun waktu 2005-2010 indeks ketertinggalan sumber daya
manusia Kabupaten Pandeglang dan Lebak masih di atas indeks ketertinggalan
sumber daya manusia Kabupaten Garut yang pada tahun 2011 sudah tergolong
sebagai kabupaten maju. Indeks ketertinggalan sumber daya manusia Kabupaten
Pandeglang dan Lebak masing-masing sebesar 0,38 dan 0,41 sedangkan Kabupaten
Garut tercatat sebesar 0,21. Tingginya indeks ketertinggalan dalam bidang sumber
daya manusia mengindikasikan rendahnya kualitas sumber daya manusia di Provinsi
Banten. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2008, IPM Provinsi Banten
adalah sebesar 69,70, lebih rendah dari capaian IPM nasional yang tercatat sebesar
71,17.
Sumber: Kementrian PDT (2010), diolah Gambar 4.2. Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KBI
menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010
‐10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00
2005 2010
57
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Selatan mengalami
peningkatan jumlah kabupaten tertinggal. Peningkatan jumlah kabupaten tertinggal di
Provinsi ini disebabkan adanya pemekaran wilayah, dimana terdapat satu daerah
otonomi baru yaitu Kabupaten Empat Lawang yang juga masuk kategori daerah
tertinggal.
4.1.2. Keragaan Kabupaten Tertinggal Kawasan Timur Indonesia
Kondisi yang berbeda tampak pada keragaan kabupaten tertinggal di Kawasan
Timur Indonesia (KTI). Tercatat hampir semua provinsi di KTI memiliki kenaikan
persentase kabupaten tertinggal pada kurun waktu 2005-2010. Meningkatnya angka
persentase kabupaten tertinggal diduga sebagai akibat pemekaran-pemekaran wilayah
yang dilakukan oleh kabupaten induk seiring dengan adanya otonomi daerah.
Sumber: Kementrian PDT (2010), diolah Gambar 4.3. Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KTI
menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010
Provinsi Sulawesi Selatan, dalam kurun waktu 2005-2010 tercatat mengalami
pencapaian yang cukup memuaskan dalam pengentasan kabupaten tertinggal. Dalam
‐10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00
2005 2010
58
periode tersebut sebanyak 9 kabupaten berhasil lepas dari ketertinggalan, atau terjadi
penurunan persentase kabupaten tertinggal dari 54,17 persen pada tahun 2005
menjadi sebesar 16,67 persen pada tahun 2010 (Lampiran 3). Provinsi Kalimantan
Tengah juga mengalami kemajuan yang cukup berarti. Hal ini tercermin dari
banyaknya kabupaten tertinggal yang berhasil terentaskan, yaitu sebanyak 6
kabupaten, atau mengalami penurunan persentase kabupaten tertinggal dari 50 persen
pada tahun 2005, menjadi sebesar 7,14 persen pada tahun 2010.
Kondisi yang cukup kontras terjadi pada Provinsi Sulawesi Barat, dimana
seluruh kabupaten di Provinsi ini masuk kategori sebagai daerah tertinggal pada
tahun 2005, dan tidak terjadi perubahan ke arah yang lebih baik pada tahun 2010.
Selama kurun waktu tersebut, kabupaten tertinggal di Provinsi Sulawesi Barat tercatat
sebanyak 5 kabupaten (100 persen dari total kabupaten).
4.2. Dinamika Kabupaten Tertinggal
4.2.1. Dinamika Pertumbuhan
Program-program pengentasan kabupaten tertinggal yang dilakukan oleh
Kementrian PDT selain dimaksudkan untuk mengentaskan kabupaten tertinggal juga
diupayakan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting guna melakukan
evaluasi dan koreksi terhadap program pembangunan ekonomi yang telah
dilaksanakan pada masa atau periode yang lalu. Dalam mengukur tingkat
pertumbuhan ekonomi digunakan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
atas dasar harga konstan, karena dalam penghitungan PDRB atas dasar harga konstan
tersebut, pengaruh perubahan harga telah dieliminasi. Dengan demikian pertumbuhan
yang dicerminkan merupakan pertumbuhan riil barang dan jasa dalam suatu periode
waktu tertentu.
Capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di Kawasan
Barat Indonesia cukup tinggi, tercatat bahwa sebagian besar kabupaten tertinggal
memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 4 persen. Rata-rata pertumbuhan ekonomi
kabupaten tertinggal tertinggi dicapai oleh Provinsi Riau, dengan nilai pertumbuhan
59
ekonomi periode 2006-2009 adalah sebesar 7,33 persen per tahun. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi di Provinsi Riau lebih banyak ditopang melalui pendapatan asli
daerah dari sektor migas. Sektor migas mampu memberikan kontribusi penting
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Implikasi dari hal tersebut bahwa dengan
nilai pertumbuhan yang tinggi, propinsi Riau berhasil mengentaskan 2 kabupaten
tertinggalnya lepas dari ketertinggalan.
Sumber: BPS (2010), diolah Gambar 4.4. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan
Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
Provinsi Bengkulu, pada periode tahun yang sama mengalami pertumbuhan di
bawah 4 persen (2,98 persen). Rendahnya nilai pertumbuhan yang dicapai
menggambarkan lambatnya kinerja perekonomian di provinsi Bengkulu. Rendahnya
kinerja perekonomian Provinsi Bengkulu bila dibandingkan dengan provinsi lain di
KBI ini diikuti dengan tingginya persentase jumlah kabupaten tertinggal (di atas 50
persen). Ini merupakan kondisi yang mengkhawatirkan sehingga perlu kiranya
penanganan yang cukup serius dari institusi terkait, untuk mendorong meningkatnya
‐3,88
5,455,86
7,33
5,77 5,53
2,98
1,41
4,37
3,31
4,52 4,704,19
5,164,30
5,10
‐6,00
‐4,00
‐2,00
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
60
aktifitas ekonomi di provinsi ini yang pada gilirannya dapat membantu dalam
mengentaskan kabupaten tertinggal di wilayah Bengkulu.
Dari seluruh provinsi di KBI, tercatat bahwa hanya Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam (NAD) yang memiliki pertumbuhan negatif (-3,38 persen). Pada tahun
2006 Provinsi Nangroe Aceh Darussalam tercatat memiliki rata-rata PDRB atas dasar
harga konstan sebesar Rp. 1.550,31 miliar dan mengalami penurunan pada tahun
2009 menjadi sebesar Rp. 1.376,63 miliar (Lampiran 4). Pertumbuhan ekonomi yang
negatif dipicu oleh besarnya penurunan nilai produksi migas sejak tahun 2004 hingga
sekarang, meskipun sektor bangunan mengalami peningkatan seiring dengan adanya
pembangunan infrastruktur dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana
tsunami (BI, 2007).
Sumber: BPS (2010), diolah Gambar 4.5. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan
Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
Capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal KTI, nyatanya
lebih tinggi dari capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal KBI.
Tidak sedikit kabupaten tertinggal yang mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi
2,85 2,86
5,055,36
2,72
6,035,51
3,88 3,72
6,537,19 7,18
2,75
5,81
6,637,03
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
61
(di atas 5 persen) pada kurun waktu 2006-2009. Rata-rata pertumbuhan ekonomi
kabupaten tertinggal tertinggi dicatat oleh Provinsi Gorontalo dengan pertumbuhan
ekonomi sebesar 7,19 persen. Upaya pemerintah daerah menggalakkan produksi
jagung di wilayah ini diduga menjadi stimulus positif dalam upaya menggerakkan
pertumbuhan ekonomi wilayah ini. Rata-rata pertumbuhan ekonomi terendah dicatat
oleh kabupaten tertinggal di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Pada kurun waktu
2006-2009, tercatat provinsi ini mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 2,72
persen.
4.2.2. Dinamika Ketimpangan
Pertumbuhan ekonomi yang dicapai kabupaten tertinggal diharapkan diikuti
oleh penurunan ketimpangan pendapatan, sehingga dengan adanya penurunan
ketimpangan pendapatan maka penurunan tingkat kemiskinan di kabupaten tertinggal
dapat dicapai. Ketimpangan pendapatan menurut Oshima (1970) dapat
dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan angka indeks gini yaitu:
1. ketidakmerataan rendah apabila angka indeks gini lebih kecil dari 0,3.
2. ketidakmerataan sedang apabila angka indeks gini terletak antara 0,3 - 0,4.
3. ketidakmerataan tinggi apabila angka indeks gini lebih besar dari 0,4.
Berdasarkan kiteria tersebut, ketimpangan distribusi pendapatan kabupaten tertinggal
menurut provinsi yang diukur dengan angka indeks gini masih tergolong rendah
sampai sedang. Angka indeks gini juga mengalami tren peningkatan tiap tahunnya,
hal ini dapat diartikan bahwa terjadi kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan
pada kabupaten-kabupaten tertinggal di wilayah Indonesia.
62
Sumber: BPS, diolah dari data Susenas Kor 2006 dan 2009 Gambar 4.6. Perbandingan Angka Indeks gini Kabupaten Tertinggal KBI,
menurut Provinsi Tahun 2006-2009
Angka indeks gini kabupaten tertinggal KBI berada pada kisaran 0,25 hingga
0,39. Angka indeks gini tertinggi adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
dengan angka indeks gini pada tahun 2009 sebesar 0,39 (Gambar 4.6). Angka indeks
gini ini masih tergolong sebagai ketidakmerataan sedang, namun perlu diwaspadai
karena nilainya hampir mendekati kategori ketidakmerataan tinggi dan terdapat
kecenderungan untuk meningkat tiap tahunnya. Daerah dengan angka indeks gini
terendah di KBI adalah Provinsi Bangka Belitung dengan nilai indeks gini pada tahun
2009 sebesar 0,28. Kondisi ini berarti ketimpangan distribusi pendapatan di Provinsi
Bangka Belitung termasuk kategori ketimpangan rendah.
Dibandingkan dengan ketimpangan distribusi pendapatan KBI, KTI memiliki
ketimpangan pendapatan yang relatif lebih tinggi, hal ini tercermin dari indeks gini
yang berada pada kisaran 0,30 hingga 0,40 (Gambar 4.7). Sama halnya dengan KBI,
angka indeks gini ini masih tergolong sebagai ketidakmerataan sedang, namun perlu
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
0,45
Gini 2006 Gini 2009
63
diwaspadai karena nilainya hampir mendekati kategori ketidakmerataan tinggi dan
terdapat kecenderungan untuk meningkat tiap tahunnya.
Sumber: BPS, diolah dari data Susenas Kor 2006 dan 2009 Gambar 4.7. Perbandingan Angka Indeks gini Kabupaten Tertinggal KTI,
menurut Provinsi Tahun 2006-2009
Angka indeks gini kabupaten tertinggal KTI tertinggi dicatat oleh Provinsi
Papua, dengan angka indeks gini tahun 2006 sebesar 0,39 dan meningkat menjadi
sebesar 0,41 pada tahun 2009. Angka indeks gini terendah di KTI dicatat oleh
kabupaten tertinggal di Provinsi Kalimantan Tengah dengan angka indeks gini tahun
2006 sebesar 0,26 dan meningkat menjadi sebesar 0,29 pada tahun 2009. Fenomena
yang perlu digarisbawahi mengenai kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di
kabupaten tertinggal ini adalah, adanya kecenderungan peningkatan nilai tiap
tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi yang
terjadi di sebagian besar wilayah kabupaten tertinggal tidak diikuti dengan
pemerataan distribusi pendapatan masyarakatnya.
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
0,45
Gini 2006 Gini 2009
64
4.2.3. Dinamika Kemiskinan
Kondisi ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal yang memiliki
kecenderungan untuk meningkat tiap tahunnya kiranya perlu dicermati. Kondisi ini
dapat menyebabkan pertumbuhan berpotensi untuk meningkatkan tingkat
kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah multi dimensi yang menarik untuk
dicermati. Indikator kemiskinan yang paling sering mendapat perhatian publik adalah
jumlah dan persentase penduduk miskin. Melalui kedua indikator ini, kinerja
pembangunan ekonomi yang mampu menyejahterakan masyarakat dapat diukur. Data
BPS menunjukkan bahwa capaian angka kemiskinan di Indonesia membaik, hal ini
tercermin dari adanya kecenderungan penurunan nilai tiap tahunnya. Angka
kemiskinan Indonesia tahun 2009 tercatat sebesar 14,15persen. Indikator kemiskinan
ini mengalami perbaikan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
tercatat sebesar 15,42persen. Hal ini berarti terjadi penurunan angka kemiskinan di
Indonesia sebesar 1,27persen.
Sama halnya dengan kondisi nasional, capaian indikator kemiskinan
kabupaten tertinggal juga membaik. Hampir seluruh kabupaten tertinggal mengalami
penurunan angka kemiskinan sejak tahun 2006 hingga 2009. Rata-rata persentase
kemiskinan kabupaten tertinggal menurut provinsi juga mengalami penurunan dalam
kurun waktu 2006-2009. Rata-rata penurunan persentase penduduk miskin kabupaten
tertinggal tertinggi adalah di Provinsi Gorontalo dengan rata-rata penurunan
persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal sebesar 11,3 persen (Gambar 4.8).
Persentase penurunan penduduk miskin yang cukup besar di Gorontalo ini diimbangi
dengan capaian nilai pertumbuhan ekonomi yang besar (Lampiran 6). Sehingga dapat
dikatakan pertumbuhan ekonomi di Gorontalo pro terhadap rakyat miskin (pro poor
growth).
65
Sumber: BPS (2009b), diolah Gambar 4.8. Rata-Rata Penurunan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten
Tertinggal, Tahun 2006-2009 Kondisi yang sama terjadi untuk Provinsi Kepulauan Riau, dimana capaian
penurunan persentase penduduk miskin yang cukup besar (11,0 persen) diikuti
dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (23,63 persen). Kondisi ini
mengisyaratkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kepulauan Riau telah
mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan pembangunan yang juga mampu
menurunkan tingkat kemiskinan.
Indikator kemiskinan lainnya, yaitu rata-rata persentase penduduk miskin
(Gambar 4.9), mencatat bahwa provinsi yang memiliki rata-rata persentase penduduk
miskin kabupaten tertinggal tertinggi tahun 2009 adalah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), yaitu sebesar 24,55 persen pada tahun 2009 (Lampiran 6).
Ironisnya, pada tahun yang sama, Daerah Istimewa Yogyakarta juga tercatat sebagai
provinsi di KBI yang memiliki angka indeks gini yang tinggi (Gambar 4.6). Satu hal
yang menarik untuk dicermati pada Provinsi DIY adalah fakta bahwa pada tahun
2010 Provinsi DIY mencapai prestasi yang cukup baik dalam pengentasan kabupaten
tertinggal, dimana provinsi ini telah berhasil mengentaskan sebanyak 2 (dua)
7,5
9,7
5,3
7,6
5,1
8,8
6,85,4
3,9
11,0
4,9
7,8
3,9
6,0
3,93,1
6,95,9
7,9
4,44,8
7,4
3,9
5,8
3,2
6,4
11,3
5,65,9
3,3
5,6 5,6
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
Nangroe
Aceh Da
russalam
Sumatera Utara
Sumatera Ba
rat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampu
ngBa
ngka Belitu
ngKe
pulauan Riau
Jawa Ba
rat
Jawa Tengah
D.I. Yo
gyakarta
Jawa Timur
Banten Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Tim
urKalim
antan Ba
rat
Kalim
antan Tengah
Kalim
antan Selatan
Kalim
antan Timur
Sulawesi U
tara
Sulawesi Ten
gah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Ten
ggara
Goron
talo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papu
a Ba
rat
Papu
a
66
kabupaten tertinggal di wilayahnya, sehingga pada tahun yang sama Provinsi DIY
tidak lagi memiliki kabupaten tertinggal. Capaian yang cukup baik ini nyatanya tidak
diikuti dengan capaian yang baik pula pada indikator kemiskinan dan ketimpangan.
Hal ini menunjukkan bahwa belum adanya sinkronisasi pada kebijakan pengentasan
kemiskinan di kabupaten tertinggal dengan kebijakan pengentasan kabupaten
tertinggal. Faktor lain yang diduga menyebabkan terjadinya kondisi yang saling
bertolak belakang ini adalah faktor tidak dimasukkannya indikator kemiskinan
sebagai salah satu kriteria kabupaten tertinggal.
Sumber: BPS (2009b), diolah Gambar 4.9. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin Kabupaten
Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
Indikator kemiskinan yang diwujudkan dalam rata-rata persentase penduduk
miskin kabupaten tertinggal di KTI memiliki karakteristik yang hampir sama dengan
KBI (Gambar 4.10), dimana hampir di semua provinsi mengalami penurunan rata-
rata persentase penduduk miskin. Rata-rata persentase penduduk miskin tertinggi baik
pada tahun 2006 maupun tahun 2009 di KTI adalah di Provinsi Papua, dengan rata-
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
Po 2006 Po 2009
67
rata persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal tahun 2006 sebesar 41,95
persen dan turun menjadi sebesar 36,40 persen pada tahun 2009 (Lampiran 6). Sama
halnya dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua juga tercatat
sebagai provinsi dengan persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal tertinggi
dan diikuti dengan capaian tertinggi dalam hal ketimpangan distribusi pendapatan
(Gambar 4.7).
Sumber: BPS (2009b), diolah Gambar 4.10. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin
Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
Analisis lebih mendalam mengenai gambaran dinamika kemiskinan
kabupaten tertinggal pada tingkat kabupaten dapat dilihat dengan membandingkan
kondisi pertumbuhan dan kemiskinan pada tahun 2006 dan 2009, melalui analisis
kuadran. Kuadran 1 menunjukkan kondisi terbaik, yaitu apabila kabupaten tertinggal
memiliki karakteristik pertumbuhan diatas rata-rata dan kemiskinan yang rendah (di
bawah rata-rata). Kuadran 2 menunjukkan kondisi dimana kabupaten tertinggal
memiliki karakteristik pertumbuhan ekoomi yang tinggi namun diikuti dengan
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
45,00
Po 2006 Po 2009
68
persentase kemiskinan yang tinggi. Kuadran 3 menunjukkan kondisi terburuk dimana
kabupaten tertinggal memiliki karakteristik pertumbuhan ekonomi yang rendah (di
bawah rata-rata) dengan persentase kemiskinan yang tinggi, sedangkan kuadran 4
menunjukkan kondisi dimana kabupaten tertinggal memiliki karakteristik
pertumbuhan ekonomi yang rendah namun dengan persentase kemiskinan yang
rendah pula.
Hasil analisis kuadran menunjukkan bahwa kabupaten tertinggal di KBI
tersebar secara merata di setiap kuadran, sedangkan kabupaten tertinggal di KTI
mengumpul di sekitar garis rata-rata dengan konsentrasi terbanyak di kuadran1 dan 4
(Lampiran 7). Kondisi kabupaten tertinggal di KBI memiliki karakteristik yang
cukup baik, terlihat banyak kabupaten tertinggal yang pada tahun 2006 maupun 2009
berada pada kuadran 1 (kuadran terbaik) atau setidaknya berada pada kuadran 4
(pertumbuhan rendah, kemiskinan rendah). Beberapa kabupaten tercatat berada pada
kuadran terburuk (kuadran 3) yaitu kabupaten tertinggal di provinsi NAD, yaitu;
Simelue, Aceh Singkil, Aceh Barat Daya, Gayo Lues, Nagan Raya, Aceh Jaya, Bener
Meriah dan kabupaten tertinggal di wilayah Bengkulu yaitu, Bengkulu Selatan, Kaur
serta Seluma. Dari seluruh kabupaten yang disebutkan di atas hanya kabupaten Aceh
Barat Daya yang memiliki catatan perbaikan, sedangkan yang lain tetap. Kabupaten
Aceh Barat Daya tersebut posisinya berubah dari kuadran 3 ke kuadran 2, artinya
mengalami perbaikan karakteristik pertumbuhan ekonomi namun tidak dalam
karakteristik kemiskinan.
Kabupaten tertinggal lainnya yang tercatat mengalami perbaikan kondisi
antara lain adalah Kabupaten Nias, Tapanuli Tengah, Lahat, Musi Rawas dan
Lampung Timur, dimana posisinya berubah dari kuadran 2 menuju kuadran 1.
Kondisi ini dapat diartikan sebagai perbaikan dalam hal penurunan persentase
kemiskinan di kabupaten-kabupaten tersebut. Perbaikan dalam penurunan persentase
kemiskinan dialami oleh Kabupaten Lingga, yang posisinya berubah dari kuadran 3
ke kuadran 4, sedangkan perbaikan kondisi yang sangat signifikan dialami oleh
Kabupaten Banjarnegara yang posisinya berubah dari kuadran 4 (pertumbuhan
rendah, kemiskinan rendah) ke kuadran 1 (pertumbuhan tinggi, kemiskinan rendah).
69
Kondisi yang cukup ekstrem dialami oleh kabupaten Rembang, Kulon Progo
dan Gunung Kidul, yang posisinya berubah dari kuadran 4 ke kuadran 2, kondisi ini
dapat diartikan bahwa terjadi perbaikan dalam capaian pertumbuhan ekonomi, namun
diiringi dengan peningkatan persentase penduduk miskin di wilayah ini. Kondisi
yang dicapai oleh ketiga kabupaten ini perlu dicermati, agar kedepannya
pertumbuhan ekonomi yang dicapai dapat diikuti dengan peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang tercermin dari adanya penurunan persentase kemiskinan.
Kabupaten Bengkulu Utara merupakan satu-satunya kabupaten di KBI yang
mengalami kemunduran. Hal ini tercermin dari berubahnya posisi Kabupaten
Bengkulu Utara dari kuadran 1 ke kuadran 4, yang dapat diartikan bahwa terjadi
penurunan dalam hal capaian pertumbuhan ekonomi di kabupaten ini. Kebijakan
pemerintah yang dapat mendorong meningkatnya aktifitas ekonomi kiranya
diperlukan untuk memperbaiki capaian pertumbuhan Kabupaten Bengkulu Utara di
masa datang.
Berbeda halnya dengan kondisi yang terjadi di wilayah KBI, analisis kuadran
menunjukkan bahwa kondisi pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan kabupaten
tertinggal KTI tidak lebih baik pencapaiannya. Hal ini ditunjukkan dengan masih
banyaknya kabupaten tertinggal yang berada di kuadran 3. Tercatat hanya kabupaten
tertinggal di wilayah Kalimantan dan Sulawesi yang menyebar di kuadran 1 dan 4.
Hasil perbandingan analisis kuadran dari kabupaten tertinggal KBI dan KTI, terlihat
bahwa pola penyebaran karakteristik kabupaten tertinggal jauh berbeda. Kabupaten
tertinggal di KBI cenderung menyebar merata di tiap kuadran, sedangkan di KTI
kabupaten tertinggal terlihat lebih terkonsentrasi di sekitar kuadran 3 dan 4.
Kabupaten tertinggal yang berpindah antar kuadran di KTI ternyata tidak
sebanyak yang terjadi di KBI. Kabupaten tertinggal di KTI rata-rata memiliki
karakteristik yang seragam, dimana terdapat kecenderungan untuk tetap berada pada
kuadran yang sama baik di tahun 2006 maupun di tahun 2009. Tercatat hanya sekitar
14 kabupaten dari 123 kabupaten tertinggal di KTI yang mengalami perpindahan
kuadran, sisanya tetap. Ke-14 kabupaten tersebut diantaranya adalah Kabupaten
Lombok Tengah, Bima, Sanggau, Kolaka, Polewali Mandar dan Merauke yang
70
mengalami perbaikan karakteristik kemiskinan dengan pertumbuhan ekonomi di atas
rata-rata, atau berpindah dari kuadran 2 ke kuadran 1. Kabupaten lainnya yaitu
Kabupaten Boalemo, Gorontalo, Pohuwatu, Bone Bolango dan Jayapura mengalami
perpindahan dari kuadran 3 ke kuadran 4, atau mengalami perbaikan indikator
kemiskinan dengan pertumbuhan di bawah rata-rata. Kabupaten Muna tercatat
mengalami perbaikan yang cukup baik dalam karakteristik pertumbuhan dan
kemiskinan, hal ini terbukti dengan berpindahnya kabupaten ini dari kuadran 4 di
tahun 2006 menjadi kuadran 1 di tahun 2009. Kabupaten Tana Toraja mengalami
kemunduran kondisi dimana perpindahan kuadran yang terjadi adalah dari kuadran 1
ke kuadran 4, yang artinya terjadi kemunduran geliat ekonomi di kabupaten ini,
sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi di bawah rata-rata kabupaten tertinggal.
Satu hal yang cukup menarik untuk dicermati, bahwa terdapat variasi yang
seragam apabila karakteristik kabupaten tertinggal ini dilihat per masing-masing
pulau. Kabupaten tertinggal yang terletak di pulau Kalimantan dan Sulawesi memiliki
kecenderungan untuk berada di kuadran 1 dan 4, sedangkan kabupaten tertinggal di
wilayah Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki kecenderungan
berada di kuadran 3.
4.3. Bantuan Stimulus Infrastruktur
Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2006, menjadi dasar hukum pelaksanaan
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang
dilaksanakan oleh Kementrian PDT. Peningkatan infrastruktur ini diharapkan dapat
menjadi pendorong dalam pengentasan daerah tertinggal. Selain untuk mengentaskan
daerah tertinggal, program P2IPDT ini juga sebagai solusi mengatasi ketimpangan
infrastruktur.
Program P2IPDT ini merupakan salah satu bentuk kegiatan pokok dari
pemerintah kepada daerah tertinggal di bidang pembangunan infrastruktur pedesaan
dan menjadi stimulan kegiatan pendukung atau pendorong pembangunan
infrastruktur daerah melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi, informasi
dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi dalam bentuk bantuan sosial dengan
71
pendekatan pemberdayaan masyarakat. Bantuan stimulan bersifat komplementer dan
integral terhadap sektor terkait dan program daerah yang bersangkutan.
Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah Gambar 4.11. Perbandingan Pertumbuhan Bantuan Stimulus Infrastruktur
(P2IPDT), menurut Provinsi Tahun 2006-2009 Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementrian PDT, dalam kurun waktu
tahun 2006-2009, bantuan stimulus infrastruktur yang diberikan berfluktuatif.
Besaran pemberian bantuan dan jenis bantuan stimulus infrastruktur ini didasarkan
pada kebutuhan masing-masing daerah tertinggal. Dari sebanyak 199 kabupaten
tertinggal, terdapat sebanyak 82 kabupaten tertinggal yang secara kontinu sejak tahun
2007 hingga 2009 mendapatkan bantuan stimulus infrastruktur tiap tahunnya. Rata-
rata pertumbuhan bantuan stimulus infrastruktur tertinggi selama periode waktu
tersebut adalah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dengan capaian sebesar lebih dari
1.417,29 persen (Lampiran 8). Capaian angka pertumbuhan bantuan P2IPDT yang
cukup besar di NAD disebabkan oleh fakta bahwa pada tahun 2006 pemulihan
kondisi NAD pasca bencana alam tsunami, bantuan infrastruktur di provinsi ini
banyak terserap dan dikoordinir oleh Badan Rekontruksi Aceh dan Nias. Kementrian
‐2000
200400600800
1000120014001600
Nangroe
Aceh Da
russalam
Sumatera Utara
Sumatera Ba
rat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampu
ngBa
ngka Belitu
ngKe
pulauan Riau
Jawa Ba
rat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Tim
urKalim
antan Ba
rat
Kalim
antan Tengah
Kalim
antan Selatan
Kalim
antan Timur
Sulawesi U
tara
Sulawesi Ten
gah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Ten
ggara
Goron
talo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papu
a Ba
rat
Papu
a
72
PDT kembali melaksanakan fungsinya dalam percepatan pembangunan infrastruktur
di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sejak tahun 2009.
Terdapat 5 provinsi yang tercatat mengalami penurunan rata-rata bantuan
stimulus infrastruktur. Kelima provinsi tersebut antara lain; Kepulauan Riau, Bali,
NTB, Papua barat dan Papua. Penurunan ini tercermin dari nilai laju pertumbuhan
bantuan stimulus infrastruktur periode 2007-2009 yang bernilai negatif. Penurunan
nilai bantuan infrastruktur provinsi Kepulauan Riau dan Bali ini diduga terkait
dengan semakin membaiknya kinerja perekonomian daerah di dua provinsi tersebut.
Data BPS menunjukkan angka pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yaitu
sebesar 4,57 persen untuk Provinsi Kepulauan Riau dan 5,94 persen untuk Provinsi
Bali.
Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah Gambar 4.12. Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur
(P2IPDT) di KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
Apabila dibandingkan per provinsi KBI, rata-rata bantuan stimulus
infrastruktur terbesar tercatat di kabupaten tertinggal Provinsi Riau. Tercatat pada
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
2007
2008
2009
73
tahun 2009, rata-rata bantuan stimulus infrastruktur kabupaten tertinggal adalah
sebesar Rp. 5.261,66 juta (Lampiran 7). Besarnya dana bantuan stimulus infrastruktur
ini ternyata memiliki arti positif dalam menggerakkan perekonomian kabupaten
tertinggal. Hal ini terbukti dengan tingginya capaian pertumbuhan ekonomi
kabupaten tertinggal di Provinsi Kepulauan Riau, yang diikuti dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakatnya. Besaran bantuan stimulus infrastruktur ini juga diduga
memiliki andil dalam mengentaskan kabupaten tertinggal di Provinsi Kepulauan
Riau, sehingga tercatat pada tahun 2010, Povinsi Riau tidak lagi memiliki kabupaten
yang tergolong tertinggal.
Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah Gambar 4.13. Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur
(P2IPDT) di KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di kabupaten tertinggal KTI.
Provinsi Sulawesi Utara tercatat sebagai Provinsi dengan rata-rata bantuan stimulus
infrastruktur terbesar untuk kabupaten tertinggal, yakni sebesar Rp. 2.507,49 juta
(Lampiran 7). Namun tidak seperti Kepulauan Riau, capaian indikator ekonomi dan
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
2007
2008
2009
74
sosial kabupaten tertinggal di Provinsi ini tidak cukup memuaskan. Provinsi Papua
tercatat sebagai provinsi dengan rata-rata bantuan stimulus infrastruktur terendah (Rp.
973,51 juta) pada tahun 2009.
Bantuan stimulus inftrastruktur yang diberikan ke daerah tertinggal
dilaksanakan melalui berbagai bidang bantuan. Pada tahun 2009 program bantuan
stimulus infrastruktur tersebut telah dilaksanakan pada berbagai bidang, yang antara
lain:
1. P2IPDT Bidang Infrastruktur Transportasi
Dalam upaya mengurangi keterisolasian bidang transportasi darat, laut
maupun udara, Kementrian PDT telah mengimplementasikan instrumen P2IPDT.
Bantuan untuk peningkatan infrastruktur transportasi ini diberikan pada
kabupaten tertinggal berupa peningkatan jalan desa, pembangunan jalan desa dan
perbaikan sarana dan prasarana jalan pedesaan kepada 101 desa, pembangunan
dermaga, pengembangan dermaga dan rehabilitasi dermaga kepada 14 desa,
pembelian kapal tempel dan kapal penumpang pada 8 desa.
Nilai bantuan P2IPDT bidang transportasi terbesar yang diimplementasikan
oleh Kementrian PDT adalah pada pembangunan jembatan di Kabupaten Kuantan
Singgigi di Provinsi Riau. Pembangunan jembatan dilakukan dalam 2 tahap, yaitu
pada periode 2008 (tahap 1) dan periode tahun 2009 (tahap 2). Total nilai
pembangunan jembatan untuk kedua tahap tersebut mencapai Rp. 7,5 milyar.
Bantuan P2IPDT bidang transportasi tahun 2009, selain itu diimplementasikan
pada beberapa kabupaten tertinggal dengan membangun jalan desa (Kabupaten
Tapanuli Tengah, Rokan Hulu, Hulu Sungai Utara, Buol serta beberapa
kabupaten tertinggal lainnya). Bantuan P2IPDT bidang transportasi
diimplementasikan pula dengan membangun dermaga/pelabuhan rakyat pada
beberapa kabupaten tertinggal (Kabupaten Kolaka dan Morowali). Pemberian
bantuan melalui pengadaan sarana transportasi juga dilakukan oleh Kementrian
PDT, diantaranya di Kabupaten Indragiri Hilir, Pesisir Selatan, Pangkajene
Kepulauan dan beberapa kabupaten tertinggal lainnya. Nilai bantuan P2IPDT
bidang transportasi untuk pengadaan jalan desa, dermaga/pelabuhan rakyat dan
75
sarana transportasi pedesaan nilainya relatif amat kecil bila dibandingkan dengan
nilai bantuan P2IPDT untuk pembangunan jembatan di Kabupaten Kuantan
Singgigi.
Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah besarnya dana yang digulirkan
untuk pembangunan jembatan di Kabupaten Kuantan Singgigi (Provinsi Riau).
Dana yang terserap pada pembangunan jembatan jauh lebih besar bila
dibandingkan dengan dana yang terserap untuk pembangunan jalan desa,
dermaga/pelabuhan rakyat dan transportasi pedesaan. Padahal data menunjukkan
bahwa pendapatan asli daerah Provinsi Riau sangatlah besar, yaitu mencapai Rp.
1,27 triliun atau menempati posisi kedelapan provinsi dengan PAD terbesar.
Kenyataan ini sangat kontradiktif, dimana seharusnya pemberian bantuan
stimulus infrastruktur diberikan pada kabupaten lain yang memiliki sumber daya
yang relatif kurang.
2. P2IPDT Bidang Infrastruktur Informasi dan Telekomunikasi
Sejak tahun 2007 Kementrian PDT telah memberikan bantuan infrastruktur
P2IPDT berupa peralatan internet dan peralatan komputer untuk sekolah, alat
komunikasi handy talky dan Warung Informasi Masyarakat (WIM) kepada 24
kabupaten tertinggal. Kementrian PDT bekerjasama dengan Kementrian
Komunikasi dan Informasi, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian PDT
menandatangani kesepahaman bersama 3 menteri dalam menangani ppenyediaan
infrastruktur telekomunikasi “Program Desa Berdering” berupa telepon dasar
minimal satu satuan sambungan telepon (SST) untuk satu desa pada tahun 2010.
Bantuan P2IPDT bidang informasi dan telekomunikasi tahun 2009
(pembangunan WIM) diantaranya diimplementasikan di Kabupaten Tapanuli
Tengah, Dairi, Pesisir Selatan, Ogan Komering Ulu Selatan, Mamasa, Mamuju
Utara, Luwu Utara, Konawe, Gorontalo dan beberapa kabupaten tertinggal
lainnya. Pembangunan WIM ini lebih banyak dilakukan di kabupaten tertinggal
kawasan timur Indonesia (KTI). Satu hal yang menarik untuk menjadi perhatian
adalah fakta bahwa kualitas sumber daya manusia di KTI masih relatif rendah.
Data Susenas BPS tahun 2009 menunjukkan bahwa hanya sebesar 31,50 persen
76
penduduk di KTI yang memiliki ijasah setingkat Sekolah Menengah Pertama
(SMP) atau lebih. Kondisi ini menjadi suatu indikasi bahwa WIM dapat dinikmati
oleh masyarakat tertentu saja (terutama masyarakat dengan tingkat pendidikan
tertentu dan yang mengikuti perkembangan teknologi informasi).
3. P2IPDT Bidang Infrastruktur Energi
Pemanfaatan sumber energi terbarukan telah menjadi tujuan pengembangan
energi nasional dalam rangka penyediaan listrik di pedesaan. Pemanfaatan sumber
daya energi terbarukan di daerah terpencil adalah untuk menghemat cadangan
sumber bahan bakar fosil (minyak bumi dan batubara) dan untuk melestarikan
lingkungan hidup. Sampai dengan tahun 2005 terdapat kurang lebih 19 juta KK di
seluruh Indonesia yang belum berlistrik, dari jumlah tersebut yang berada di
daerah tertinggal dan tidak bisa dilayani PLN dalam kurun waktu 5-10 tahun
kedepan adalah sebesar 5 juta KK atau sebanyak 10 ribu desa.
Jumlah KK yang sudah mendapat bantuan infrastruktur energi adalah
sebanyak 58.300 KK di 1.016 desa berupa PLTS tersebar, sebanyak kurang lebih
39.970 unit. PLTS terpusat sebanyak kurang lebih 4.380 unit, PLTMH sebanyak
kurang lebih 53 unit (13.200 KK). BCS sebanyak kurang lebih 3 unit (600 KK)
dan bantuan jaringan listrik untuk 5 desa (750 KK). Masih terdapat sekitar 4,9
juta KK atau sekitar 9000 desa di daerah tertinggal masih belum menikmati
listrik.
4. P2IPDT Bidang Infrastruktur Ekonomi
Sejak tahun 2006, Kementrian PDT melalui P2IPDT bidang infrastruktur
ekonomi telah memberikan bantuan sebanyak 18 jenis pada kabupaten tertinggal
yang tersebar di 290 desa dan 514 kabupaten. Bantuan tersebut berupa
pembangunan los kios pasar, pamboat plus alat tangkap ikan, alat pengering ikan
berkadar garam rendah, rehabilitasi irigasi, alat mesin pertanian (handtractor dan
power thrasher), ice flake (mesin pembuat es curah), cold storage, alat mesin
penyuling nilam, cold box, alat mesin perontok padi, sarana dan prasarana
budidaya rumput laut serta alat mesin pengolah pakan ternak, pakan ikan.
77
Salah satu implementasi P2IPDT bidang infrastruktur ekonomi tahun 2009
adalah pengadaan hand tractor di Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung.
Pengadaan hand tractor di kabupaten ini sudah cukup sesuai, mengingat
Kabupaten Way Kanan masih mengandalkan sektor pertanian terutama subsektor
tanaman bahan makanan dalam perekonomiannya. Sektor pertanian memberikan
kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB kabupaten ini (BPS, 2004).
Implementasi P2IPDT bidang infrastruktur ekonomi tahun 2009 lainnya adalah
pengadaan Cool Box, Pamboat, Ketinting 5,5 PK dan rumpon laut dalam di
Kabupaten Kepulauan Sangihe. Alat-alat tersebut merupakan alat penunjang
subsektor perikanan di kabupaten ini. Pengadaan alat tersebut cukup sesuai
dengan karakteristik Kabupaten Kepulauan Sangihe. Data BPS (2004) mencatat
bahwa Kabupaten Kepulauan Sangihe masih mengandalkan sektor pertanian
dalam perekonomiannya terutama pada subsektor perikanan (subsektor kedua
setelah tanaman perkebunan dengan kontribusi PDRB terbesar).
Implementasi P2IPDT bidang infrastruktur ekonomi tahun 2009 pada
beberapa kabupaten tertinggal lainnya masih dilaksanakan dengan melakukan
pengadaan alat mesin pertanian. Seperti halnya pada Kabupaten Way Kanan dan
Kepulauan Sangihe, beberapa kabupaten tertinggal penerima bantuan P2IPDT
bidang infrastruktur ekonomi, perekonomiannya masih bertopang pada sektor
pertanian (agricultural base).
5. P2IPDT Bidang Infrastruktur Sosial
Kementrian PDT dalam menangani dan meningkatkan infrastruktur sosial
diorientasikan pada:
a. Bidang kesehatan, difokuskan pada sarana dan prasarana kesehatan yang
bersifat mobile (baik darat maupun laut) agar dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang optimal di daerah terpencil, pesisir dan pulau-pulau kecil
terutama di daerah perbatasan. Selain itu pembangunan puskesmas pembantu
(Pustu) diarahkan pada daerah-daerah yang belum memiliki Pustu.
78
b. Bidang permukiman, difokuskan pada penyediaan air bersih bagi desa yang
rawan air bersih khususnya di daerah rentan kekeringan, daerah pulau-pulau
kecil serta daerah yang rawan bencana alam
c. Bidang pendidikan, diarahkan pada rehabilitasi dan pembangunan sekolah
dasar yang rusak berat di desa-desa tertinggal.
Selain itu, Kementrian PDT juga memberikan bantuan sosial berupa penyediaan
air bersih untuk rumahtangga. Jumlah KK yang sudah mendapat bantuan sosial
air bersih dari Kementrian PDT melalui infrastruktur sosial ini sebanyak 9050 KK
(2006-2009). Prioritas bantuan P2IPDT Bidang Infrastruktur Sosial tahun 2009
masih pada pengadaan sarana air bersih. Kedepannya infrastruktur pendidikan
kiranya perlu menjadi prioritas mengingat berdasarkan teori pertumbuhan
endogen peningkatan kualitas sumber daya manusia (knowledge) merupakan
salah satu pendukung pertumbuhan ekonomi.
Tabel 4.1. Cakupan Kabupaten Penerima P2IPDT dan Proporsi Nilai Bantuan P2IPDT per Jenis Bantuan di Kabupaten Tertinggal, Tahun 2007-2009
Jenis Bantuan
Tahun
2007 2008 2009
Cakupan Proporsi
(%) Cakupan
Proporsi
(%) Cakupan
Proporsi
(%)
Transportasi 15 5.10 27 4.23 23 6.30
Informasi dan Telekomunikasi 10 2.34 2 0.24 12 1.44
Energi 80 73.61 176 86.45 174 88.18
Ekonomi 31 12.12 14 1.98 37 3.35
Sosial 23 6.83 124 7.10 2 0.73
Total 100,00 100,00 100,00
Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah
Tabel 4.1. menyajikan data cakupan kabupaten dan proporsi nilai bantuan
stimulus infrastruktur per jenis bantuan. Bantuan stimulus infrastruktur bidang energi
79
terlihat merupakan prioritas utama Kementrian PDT tiap tahunnya, terlihat dari
proporsi bantuan infrastruktur energi terhadap total yang besarannya hingga
mencapai lebih dari 70 persen tiap tahunnya dan cakupan kabupaten penerima
bantuan terbanyak. Proporsi nilai bantuan infrastruktur energi pada tahun 2009
mencapai 88,18 persen dari total dana yang diberikan ke kabupaten tertinggal.
Infrastruktur transportasi pada tahun 2009 tercatat merupakan infrastruktur prioritas
kedua, dengan besaran proporsi nilai bantuan yang masih relatif kecil, yaitu sebesar
6,30 persen. Beberapa penelitian terdahulu diantaranya Canning dan Pedroni (1999)
serta Seetanah, et al (2010) menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi merupakan
infrastruktur yang menyumbang kontribusi terbesar pada pertumbuhan, untuk itu
kiranya perlu dipertimbangkan untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur
transportasi sebagai infrastruktur prioritas utama pada pembangunan kabupaten
tertinggal.
V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR
TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN
KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL
5.1. Hasil Estimasi
Analisis mengenai pengaruh bantuan infrastruktur (P2IPDT) terhadap
perekonomian, ketimpangan dan kemiskinan dalam penelitian ini, dilakukan dengan
menghitung pengaruh total bantuan P2IPDT maupun per jenis bantuan P2IPDT yang
diterima kabupaten tertinggal. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa bantuan
P2IPDT diberikan pada kabupaten tertinggal dalam bidang transporasi, energi,
informasi dan telekomunikasi, sosial dan ekonomi.
Tabel 5.1 dan 5.2 masing-masing menyajikan hasil estimasi pengaruh bantuan
infrastruktur terhadap perekonomian (model 1) dan pengaruh aktifitas perekonomian
terhadap kemiskinan (model 2) dengan menggunakan beberapa teknik ekonometrik,
antara lain metode panel statis, panel dinamis dan panel instrumental variable.
Penggunaan berbagai metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi
hasil estimasi, melihat kebaikan, robustness model, serta validitas di antara berbagai
metode estimasi yang digunakan. Secara khusus, hasil ini juga dapat digunakan untuk
mengkomparasi hasil estimasi dari model panel statis, panel dinamis dan panel
instrumental variable, mengingat masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan
dan kekurangan.
Metode panel data dinamis digunakan dalam penelitian ini mengingat
kelebihan metode panel data dinamis yang sanggup mengatasi endogeneity problem
terkait dengan penggunaan lag variabel dependen, dimana pada metode panel data
statis penggunaan lag variabel dependen menyebabkan hasil estimasi menjadi bias
dan tidak konsisten. Penggunaan metode panel instrumental variable digunakan
mengingat keterbatasan metode panel data statis dan dinamis jika digunakan pada
lebih dari satu persamaan. Digunakannya dua persamaan dalam penelitian ini adalah
untuk melihat mekanisme transmisi bantuan stimulus infrastruktur terhadap
82
penurunan penduduk miskin (melalui jalur perekonomian) menjadi satu alasan
digunakannya metode panel instrumental variable.
Estimasi dari ketiga metode ekonometrik yang digunakan tersebut
menunjukkan hasil yang bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing
metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Pada model panel data statis
menggunakan model Random Effect (RE), hasil estimasi untuk variabel inflasi dan
jumlah populasi, terbukti nyata memengaruhi perekonomian (PDRB per kapita).
Hasil yang berbeda didapatkan pada estimasi pengaruh variabel indeks gini, bantuan
stimulus infrastruktur (P2IPDT) dan kuadrat bantuan, dimana ketiga variabel tersebut
tidak signifikan memengaruhi perekonomian, namun demikian hasil estimasi
koefisien menunjukkan arah yang sama dengan hasil estimasi menggunakan metode
panel dinamis. Hasil estimasi panel data statis untuk dummy variable yang
digunakan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara petumbuhan
ekonomi KBI dan KTI.
Hasil estimasi yang tidak konsisten antara hasil model 1 dan model 2
didapatkan pada penggunaan metode panel data statis. Pada hasil estimasi model 1,
variabel indeks gini nyata positif memengaruhi perekonomian. Kondisi ini dapat
diartikan bahwa meningkatnya aktifitas perekonomian di kabupaten tertinggal diikuti
pula oleh kenaikan ketimpangan ditribusi pendapatan masyarakat daerah tertinggal,
sehingga seharusnya kondisi ini tidak mampu menurunkan persentase kemiskinan di
kabupaten tertinggal. Kenyataan yang berkebalikan didapat pada hasil estimasi model
2, dimana dapat disimpulkan bahwa perekonomian di kabupaten tertinggal mampu
menurunkan angka kemiskinan. Kondisi ini ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi
pada variabel PDRB per kapita yang nyata negatif memengaruhi persentase penduduk
miskin sehingga dapat diartikan kenaikan aktifitas ekonomi diikuti oleh penurunan
persentase penduduk miskin. Hasil yang tidak konsisten ini diduga merupakan akibat
dari kelemahan panel data statis yang tidak mampu menangkap proses dynamic
adjustment dari perekonomian karena tidak diikutsertakannya lag dependent variable
(lag PDRB per kapita) dalam model.
83
Berbeda halnya dengan hasil estimasi yang didapatkan dengan menggunakan
metode panel data dinamis, dimana hasil estimasi antara model 1 dan model 2
menunjukkan arah yang konsisten. Pada estimasi panel data dinamis dalam model 1
menunjukkan bahwa variabel indeks gini nyata positif memengaruhi PDRB per
kapita, yang artinya efek distribusi pendapatan yang besar menyebabkan aktifitas
perekonomian yang semakin tinggi tidak mampu menurunkan kemiskinan. Hasil
yang sama ditunjukkan pada estimasi model 2, dimana nilai koefisien regresi variabel
PDRB per kapita nyata positif memengaruhi persentase penduduk miskin, yang
artinya kenaikan aktifitas perekonomian diikuti dengan kenaikan persentase
penduduk miskin.
Estimasi koefisien pada metode panel instrumental variable (IV) model Fixed
Effect (FE) menunjukkan hasil yang tidak lebih baik (Tabel 5.2). Terlihat bahwa
hanya variabel PDRB per kapita yang nyata negatif memengaruhi persentase
penduduk miskin, sedangkan variabel pengeluaran pemerintah baik nominal maupun
kuadrat nominalnya tidak nyata dalam menurunkan persentase penduduk miskin.
Kelemahan lain pada estimasi panel instrumental variable ini adalah tidak dapat
dilihatnya pengaruh bantuan terhadap perekonomian kabupaten tertinggal karena
variabel tersebut telah diinstrumenkan ke dalam persamaan model 2. Melihat hasil
estimasi dari ketiga metode ekonometrik yang telah diulas di atas, maka disimpulkan
bahwa dalam penelitian ini metode panel data dinamis dipilih sebagai metode yang
lebih tepat dalam menjelaskan model pengaruh bantuan terhadap perekonomian dan
persentase kemiskinan.
5.1.1. Analisis Pengaruh Bantuan Infrastruktur terhadap Perekonomian Kabupaten Tertinggal
Arah koefisien regresi yang dihasilkan dalam estimasi panel data dinamis
dengan menggunakan variabel total bantuan P2IPDT sebagian besar telah sesuai
dengan kajian teori ekonomi (Tabel 5.1). Variabel lag PDRB per kapita nyata positif
memengaruhi PDRB per kapita tahun berjalan, dengan nilai koefisien sebesar 0,859.
Angka sebesar ini dapat diartikan sebagai kenaikan sebesar Rp. 1 juta pada PDRB per
84
kapita tahun sebelumnya akan meningkatkan PDRB per kapita tahun berjalan sebesar
Rp. 859 ribu. Hubungan yang positif ini dikarenakan adanya penyesuaian dinamis
(dynamic of adjustment) mengingat variabel PDRB per kapita merupakan variabel
yang dinamis terutama dalam analisis jangka panjang.
Tabel 5.1. Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan P2IPDT (Total dan per Jenis Bantuan) menggunakan Panel Data Statis dan Dinamis
Variabel
Model 1 (Dependent Var: PDRB per kapita)
Total Bantuan Per Jenis Bantuan
RE SysGMM RE SysGMM
Lag PDRB per kapita (Yt-1) - 0,8594341
(0,000) - 0,9612485 (0,000)
Bantuan Infrastruktur (P2IPDT)
-113,446 (0,450)
-97,06834 (0,001) - -
Kuadrat Bantuan Infrastruktur (P2IPDT2)
0,0155132 (0,605)
0,0212297 (0,000) - -
Inflasi (t-1) (Inft_1)
1487431 (0,000)
194524,7 (0,013)
940332,5 (0,000)
131368,6 (0,050)
Jumlah Penduduk (Popt)
-3,10634 (0,000)
-0,2917056 (0,176)
-3,062739 (0,003)
-0,2925832 (0,272)
Indeks gini (t) (Ginit)
788496,9 (0,550)
1634775 (0,003)
535407,9 (0,118)
693669,8 (0,028)
Dummy Bantuan Infrastruktur Transportasi (Dtransp) - - 46504,04
(0,625) 46956,63
(0,582) Dummy Bantuan Infrastruktur Energi (Denergi) - - 27689,4
(0,770) -19161,45
(0,832) Dummy Bantuan Infrastruktur Infotel (Dinfotel) - - -20150,57
(0,887) -12409,84
(0,862) Dummy Bantuan Infrastruktur Sosial (Dsos) - - 15540,48
(0,810) -53979,26
(0,108) Dummy Bantuan Infrastruktur Ekonomi (Dekon)
- - -23612,9 (0,768)
-71113,77 (0,162)
Dummy Wilayah (Dwil)
-1167833 (0,008)
497287,4 (0,037)
-1295852 (0,081)
269979,4 (0,022)
Cat: angka dalam kurung menunjukkan nilai probabilita
Variabel kuadrat bantuan stimulus infrastruktur (P2IPDT) nyata positif
memengaruhi PDRB per kapita, dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,0212. Nilai
bantuan stimulus infrastruktur dalam model panel dinamis nyata negatif
85
memengaruhi PDRB per kapita dengan nilai koefisien sebesar -97,06. Kedua nilai ini
menunjukkan bahwa hubungan antara bantuan dan PDRB per kapita memiliki bentuk
pola U (kuadratik), dimana pada awal bantuan diterapkan terdapat kecenderungan
penurunan nilai PDRB per kapita, hingga pada suatu saat dicapainya titik balik
(turning point), maka bantuan yang diberikan mampu meningkatkan perekonomian.
Hasil estimasi yang negatif pada nilai bantuan dan positif pada nilai kuadrat bantuan
ini juga menjelaskan bahwa dalam meningkatkan perekonomian, dampak
infrastruktur berpengaruh pada jangka menengah dan jangka panjang, mengingat hal
tersebut kiranya perlu dibuat peta bantuan (road map) bagaimana bantuan
didistribusikan ke kabupaten tertinggal, untuk memperbesar dampaknya terhadap
kesejahteraan masyarakat serta memudahkan dalam evaluasi bantuan.
Inflasi tahun sebelumnya nyata positif memengaruhi PDRB per kapita
kabupaten tertinggal dengan nilai koefisien sebesar 194.524,7. Besaran nilai koefisien
regresi ini menunjukkan bahwa apabila terdapat kenaikan 1 persen pada inflasi tahun
sebelumnya, maka akan terjadi kenaikan PDRB per kapita sebesar Rp. 194.524,7 juta.
Hubungan yang positif ini dapat terjadi sebagai akibat adanya inflasi terutama yang
berasal dari adanya dorongan permintaan (demand pull inflation), mengingat di
daerah tertinggal nilai tambah daerah masih didorong oleh konsumsi masyarakat yang
tinggi.
Hasil estimasi panel dinamis pada variabel indeks gini yang dalam hal ini
merupakan ukuran ketimpangan distribusi pendapatan, menunjukkan arah yang
positif dengan nilai koefisien sebesar 1.634.775. Angka ini menunjukkan bahwa
kenaikan indeks gini sebesar 0,01 akan meningkatkan PDRB per kapita sebesar Rp.
16.347,75 juta. Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan aktifitas ekonomi di
kabupaten tertinggal belum mampu menurunkan angka kemiskinan, karena nyatanya
ketimpangan yang semakin tinggi menyebabkan peningkatan pada kinerja
perekonomian. Hasil ini sejalan dengan penelitian Iradian (2005) yang menyatakan
bahwa ketimpangan yang tinggi yang diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi menyebabkan penurunan kemiskinan akan sulit terjadi. Hubungan positif
antara indeks gini dengan PDRB per kapita menunjukkan bahwa ada distribusi
86
pendapatan yang timpang di kabupaten tertinggal, dimana peningkatan aktifitas
perekonomian hanya dinikmati oleh masyarakat berpendapatan tinggi. Kondisi yang
sama terjadi pada level nasional, data BPS pada tahun 2009 mencatat bahwa
sebanyak 44,90 persen pendapatan dinikmati hanya oleh 20% penduduk
berpendapatan tinggi yang menunjukkan bahwa peningkatan output yang terjadi lebih
banyak dinikmati oleh penduduk berpendapatan tinggi.
Sumber: BPS, diolah dari Susenas Kor Tahun 2008 dan 2009
Gambar 5.1. Growth Incidence Curve Kabupaten Tertinggal di Indonesia,
Tahun 2008-2009
Pola hubungan yang positif antara indeks gini dan PDRB per kapita juga dapat
dijelaskan oleh pola Growth Incidence Curve (GIC). GIC kabupaten tertinggal
periode 2008-2009 menunjukkan fungsi turun pada kelas 30 persen pendapatan
rendah, sedangkan pada kelas 70 persen pendapatan tinggi, GIC mulai menunjukkan
fungsi naik. GIC dengan pola seperti ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan
ketimpangan yang menurun pada kelas 30 persen pendapatan rendah, sedangkan pada
kelas 70 persen pendapatan tinggi menunjukkan kecenderungan ketimpangan yang
semakin tinggi. Kesimpulan ini merujuk pada Ravallion dan Chen (2001) yang
menyatakan bahwa jika GIC merupakan fungsi turun menunjukkan bahwa
Persentil Pengeluaran
Pertumbuhan
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93 97
Growth Mean
87
ketimpangan akan cenderung menurun, sedangkan jika GIC merupakan fungsi naik
menunjukkan bahwa ketimpangan akan meningkat. Penduduk kelas 70 persen
pendapatan tinggi menguasai 84,04 persen (tahun 2009) dari total pendapatan
kabupaten tertinggal yang menunjukkan besarnya kemampuan dalam memengaruhi
perekonomian, sehingga penurunan ketimpangan pada kelas 30 persen pendapatan
rendah tidak mampu mengimbangi peningkatan ketimpangan kelas 70 persen
pendapatan tinggi.
Penelitian Suparno (2010) juga mendukung hasil yang didapat pada penelitian
ini, dimana dalam penelitiannya disimpulkan bahwa perekonomian ekonomi (2005-
2008) di perdesaan belum tergolong pro poor growth, yang artinya penduduk miskin
di perdesaan belum menikmati secara optimal efek perekonomian yang terjadi. Nilai
PEGR di perdesaan (2,14 persen) lebih rendah dibanding perekonomian
pendapatannya (3,48 persen), berbeda dengan hasil penelitian di perkotaan yang
sudah tergolong pro poor growth. Hasil yang saling mendukung ini dapat disebabkan
oleh kesamaan karakteristik daerah perdesaan pada penelitian tersebut dengan daerah
tertinggal yang memang merupakan daerah perdesaan. Klasifikasi kota dan desa BPS
mengkategorikan 183 kabupaten tertinggal sebagai daerah perdesaan.
Variabel dummy wilayah yang digunakan untuk menangkap perbedaan
intersep antara KBI dan KTI nyata positif memengaruhi perekonomian dengan nilai
koefisien sebesar 497.287,4. Besaran nilai koefisien ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan intersep pada persamaan PDRB per kapita, yaitu sebesar Rp. 497.287,4
antara wilayah KBI dan KTI. Melihat kondisi ini, kiranya kebijakan selanjutnya dapat
ditekankan di KTI mengingat marginal benefit akan lebih banyak dinikmati di
kawasan timur.
Model estimasi total bantuan seperti yang telah dilakukan sebelumnya telah
menjelaskan bahwa bantuan infrastruktur (P2IPDT) yang distimulasi oleh
Kementrian PDT ternyata mampu meningkatkan aktifitas ekonomi meskipun belum
mampu menurunkan persentase kemiskinan di kabupaten tertinggal. Model estimasi
total bantuan tersebut namun tidak dapat melihat jenis bantuan apa yang paling
signifikan mendorong perekonomian kabupaten tertinggal, sehingga dapat
88
diprioritaskan dalam pembangunan infrastruktur kabupaten tertinggal. Model estimasi
per jenis bantuan digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab permasalahan
tersebut. Faktor ketersediaan data menjadi salah satu hambatan dalam memodelkan
bantuan infrastruktur (P2IPDT) ke dalam model persamaan ekonometrik, dimana
masing-masing kabupaten tertinggal tidak secara kontinu mendapatkan satu jenis
bantuan yang sama tiap tahunnya. Model persamaan dengan dummy variable jenis
bantuan kemudian digunakan dalam penelitian ini untuk mengatasi hambatan
ketersediaan data.
Hasil estimasi dengan menggunakan metode panel data dinamis per jenis
bantuan infrastruktur didapatkan nilai koefisien regresi yang nyata positf pada
variabel lag variabel dependen, yaitu sebesar 0,961. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment) pada model pengaruh bantuan
infrastruktur (per jenis bantuan) mengingat variabel PDRB per kapita merupakan
variabel yang dinamis terutama dalam analisis jangka panjang. Angka koefisien
regresi sebesar 0,961 memiliki arti bahwa kenaikan sebesar Rp. 1 juta pada PDRB
per kapita tahun sebelumnya akan meningkatkan PDRB per kapita tahun berjalan
sebesar Rp. 961 ribu.
Nilai koefisien dari dummy variable jenis bantuan kiranya menarik untuk
dicermati, dimana tidak ada satupun dari dummy variable jenis bantuan yang nyata
secara statistik. Kondisi ini mungkin saja terjadi akibat beberapa faktor diantaranya,
bantuan yang diberikan kurang sesuai dengan kebutuhan daerah, bantuan yang
diberikan bersifat ad hoc (tidak kontinu) sehingga bantuan tersebut berhenti sebelum
dampaknya dirasakan masyarakat. Dari segi permodelan, dummy variable yang
digunakan untuk menangkap pengaruh jenis bantuan kiranya belum robust dalam
menjelaskan fenomena jenis bantuan secara ekonometrik.
Sejalan dengan hasil yang didapatkan pada estimasi pengaruh bantuan
P2IPDT total dalam analisis pengaruh per jenis bantuan ini, inflasi tahun sebelumnya
nyata positif memengaruhi PDRB per kapita kabupaten tertinggal dengan nilai
koefisien sebesar 131.368,6. Besaran nilai koefisien regresi ini menunjukkan bahwa
apabila terdapat kenaikan 1 persen pada inflasi tahun sebelumnya, maka akan terjadi
89
kenaikan PDRB per kapita sebesar Rp. 131.368,6 juta. Hubungan yang positif ini
dapat terjadi sebagai akibat adanya inflasi yang timbul dari dorongan permintaan
(demand pull inflation), mengingat di daerah tertinggal nilai tambah daerah masih
didorong dari konsumsi masyarakat yang tinggi.
Variabel indeks gini yang merupakan ukuran ketimpangan distribusi
pendapatan, menunjukkan arah yang positif dengan nilai koefisien sebesar 693.669,8.
Angka ini menunjukkan bahwa kenaikan indeks gini sebesar 0,01 akan meningkatkan
PDRB per kapita sebesar Rp. 6.936,7 juta. Kondisi ini sejalan dengan estimasi yang
dihasilkan dengan menggunakan nominal bantuan P2IPDT total yang juga sejalan
dengan yang ditunjukkan oleh penelitian Suparno (2010). Berdasarkan hasil estimasi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa peningkatan perekonomian kabupaten tertinggal
diikuti dengan kenaikan ketimpangan pendapatan. Melihat fenomena ini, kiranya
perlu memfokuskan pembangunan di daerah perdesaan khususnya daerah tertinggal,
terutama pada pemberdayaan masyarakat ekonomi menengah ke bawah, untuk turut
serta berperan aktif dalam menggerakkan roda perekonomian daerah.
Perbedaan variasi dalam perekonomian ekonomi antara KBI dan KTI ternyata
signifikan secara statistik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi yang
bernilai positif pada variabel dummy wilayah yang digunakan. Hasil estimasi
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan variasi PDRB per kapita sebesar Rp.
456.430,7 antara wilayah KBI dan KTI. Hal ini dapat diartikan pula bahwa terdapat
ketimpangan pembangunan antara wilayah KBI dan KTI, bahkan pada kasus
kabupaten tertinggal.
5.1.2. Analisis Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal
Analisis pengaruh perekonomian terhadap persentase penduduk miskin
dijelaskan dalam model ke-2 (Tabel 5.2). Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel
PDRB per kapita (sebagai proxy aktifitas perekonomian) nyata positif memengaruhi
penduduk miskin dengan nilai koefisien regresi sebesar 1,36e-06. Besaran ini
mengindikasikan bahwa kenaikan PDRB per kapita sebesar Rp. 1 triliun dapat
90
meningkatkan persentase penduduk miskin sebesar 1,36 %. Kondisi ini mendukung
hasil estimasi model 1, yang menyimpulkan bahwa aktifitas ekonomi di kabupaten
tertinggal belum mampu menurunkan angka kemiskinan karena diikuti oleh kenaikan
ketimpangan pendapatan. Kondisi ini terjadi mengingat proses pembangunan lebih
dititikberatkan pada daerah maju (perkotaan) dibandingkan dengan daerah tertinggal
(perdesaan). Hal ini sejalan dengan penelitian Daryanto (2003) yang
mengungkapkan bahwa proses pembangunan lebih mengedepankan pembangunan
perkotaan, sedangkan pembangunan perdesaan selalu diletakkan paling belakang
Perdesaan masih dianggap sebagai sumber produksi pertanian untuk memenuhi
kebutuhan perkotaan, sumber potensi konsumsi dalam penyerapan yang dihasilkan
produk industri dan jasa di perkotaan, serta sumber kelimpahan tenaga kerja bagi
perkotaan. Hal ini mengakibatkan semakin lebarnya kesenjangan antara perkotaan
dan perdesaan (Daryanto, 2003).
Tabel 5.2. Hasil Estimasi Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Menggunakan Metode Panel Statis, Panel Dinamis dan Panel Instrumental Variable
Variabel
Model 2 (Dependent Var: Persentase Pddk
Miskin) Panel IV FE
RE SysGMM
Lag Persentase Pddk Miskin (Pot-1) - 1,056407
(0,000) -
Indeks gini (t) (Ginit)
-16,10561 (0,005) - -6,19999
(0,326)
Pengeluaran Pemerintah (Expjuta)
-8,25e-07 (0,098)
-0,0000328 (0,085)
5,16e-6 (0,424)
Kuadrat Pengeluaran Pemerintah (Expjuta2)
3,20e-12 (0,193)
2,68e-11 (0,029)
1,41e-12 (0,603)
PDRB per kapita (Yt)
-6,71e-07 (0,021)
1,36e-06 (0,019)
-0,000012 (0,000)
Cat: angka dalam kurung menunjukkan nilai probabilita
Variabel pengeluaran pemerintah signifikan dalam menurunkan persentase
penduduk miskin, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien yang negatif, yaitu sebesar
91
-0,0000328. Angka ini menunjukkan bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah
sebesar Rp. 1 miliar dapat menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 0,328 %.
Hubungan negatif antara pengeluaran pemerintah dengan persentase penduduk
miskin ini dapat terjadi sebagai refleksi implementasi kebijakan-kebijakan
pemerintah daerah yang pro poor growth. dalam mengalokasikan dan mengelola
keuangan daerah, sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat miskin. Hal
yang cukup menarik untuk dicermati adalah pada variabel kuadrat pengeluaran
pemerintah yang nilai koefisiennya bernilai positif. Nilai koefisien yang positif dapat
diartikan bahwa dalam jangka panjang, kenaikan pengeluaran pemerintah dapat
menurunkan pertumbuhan ekonomi dan berpotensi meningkatkan kemiskinan.
Kondisi ini dapat terjadi mengingat Anggaran pendapatan dan belanja baik pusat
maupun daerah masih didominasi oleh anggaran untuk belanja rutin (belanja
pegawai) yang nilainya lebih tinggi dari belanja modal untuk pembangunan, sehingga
peningkatan nilai tambah/output yang terjadi disebabkan oleh peningkatan konsumsi
bukan dari investasi. Data Kementrian Keuangan (2009) menunjukkan bahwa belanja
modal untuk pembangunan hanya sebesar 26,33 persen dari total belanja nasional.
5.2. Uji Spesifikasi Model Panel Data Dinamis
Pengujian spesifikasi model panel data dinamis dalam penelitian ini
menggunakan uji Sargan atau yang lebih dikenal dengan Sargan Test of
Overidentifying Restriction. Uji Sargan ini digunakan untuk melihat validitas
instrumen yang digunakan di dalam model. Hasil uji Sargan terhadap ketiga model
persamaan panel data dinamis dapat disimpulkan bahwa instrumen/model yang
digunakan adalah valid pada tingkat kepercayaan 1%.
Kesimpulan tersebut didasarkan pada nilai p-value pada ketiga model
persamaan yang digunakan. Nilai p-value pada model pengaruh total bantuan
P2IPDT terhadap perekonomian ekonomi adalah sebesar 0,0317 sedangkan nilai p-
value untuk model pengaruh bantuan P2IPDT per jenis bantuan adalah sebesar
0,0197. Nilai p-value untuk model pengaruh perekonomian ekonomi terhadap
persentase kemiskinan adalah sebesar 0,2459. Ketiga hasil tersebut merujuk pada
92
kesimpulan bahwa tidak cukup bukti secara statistik untuk menolak Ho, sehingga
disimpulkan bahwa instrumen/model valid secara statistik.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Penelitian ini mengkaji pengaruh bantuan infrastruktur (P2IPDT) yang
diberikan oleh Kementrian PDT pada daerah tertinggal. Tujuan penelitian ini adalah
untuk melihat dampak bantuan tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi dan
penurunan penduduk miskin. Penelitian dilakukan pada 82 (delapan puluh dua)
kabupaten tertinggal yang selama periode 2007-2009 mendapatkan bantuan
infrastruktur secara kontinu.
Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada kurun waktu 2006-2009 hampir seluruh kabupaten baik KBI maupun KTI
menunjukkan dinamika pertumbuhan yang cukup pesat, kecuali tercatat pada
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang pertumbuhannya negatif.
2. Distribusi pendapatan di kabupaten tertinggal baik KBI maupun KTI tergolong
dalam kategori ketidakmerataan sedang, yakni pada kisaran 0,26-0,41. Dinamika
ketimpangan kabupaten tertinggal selama kurun waktu 2006-2009 menunjukkan
tren kenaikan tiap tahunnya.
3. Pada periode 2006-2009, rata-rata persentase penduduk miskin kabupaten
tertinggal per provinsi baik KBI maupun KTI mengalami kecenderungan
menurun. Dibandingkan kondisi kemiskinan pada tahun 2006, kondisi kemiskinan
kabupaten tertinggal d tahun 2009 membaik.
4. Pembangunan infrastruktur diterapkan Kementrian PDT pada kabupaten
tertinggal dalam berbagai bidang bantuan seperti pembangunan jalan pedesaan,
pembangunan dermaga, pembangunan Warung Informasi Masyarakat (WIM),
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), pembangunan los kios
pasar, penyediaan air bersih, rehabilitasi dan pembangunan sekolah dasar serta
bantuan infrastruktur lainnya. Infrastruktur transportasi dan energi merupakan
infrastruktur yang diprioritaskan oleh Kementrian PDT.
94
5. Hasil estimasi pengaruh bantuan infrastruktur (P2IPDT) terhadap pertumbuhan
ekonomi kabupaten tertinggal menunjukkan bahwa dampak bantuan tersebut
dapat dirasakan oleh masyarakat dalam jangka menengah dan panjang. Hal yang
menarik didapatkan pada estimasi pengaruh bantuan infrastruktur yang dipecah
berdasarkan jenis bantuan (transportasi, energi, informasi dan telekomunikasi,
sosial dan ekonomi). Hasil estimasi menunjukkan tidak ada satupun variabel
jenis bantuan yang nyata secara statistik. Salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya fenomena ini adalah bantuan yang diberikan tidak dilakukan secara
berkesinambungan tiap tahunnya. Variabel gini rasio dan inflasi juga merupakan
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan di kabupaten tertinggal selain bantuan
stimulus infrastruktur.
6. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di kabupaten tertinggal diikuti oleh kenaikan
ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tersebut
tidak mampu menurunkan persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal.
Kondisi ini berati bahwa efek distribusi pendapatan masih melebihi efek
pertumbuhan, dikarenakan pertumbuhan di kabupaten tertinggal masih dinikmati
oleh penduduk yang berpendapatan tinggi.
6.2. Implikasi Kebijakan
1. Kontinuitas program bantuan pada satu daerah kiranya diperlukan mengingat
tidak adanya variabel yang signifikan pada analisis pengaruh bantuan yang
dipilah per jenis bantuan (transportasi, energi, infotel, sosial dan ekonomi)
kiranya dapat menjadi titik awal evaluasi bantuan infrastruktur kabupaten
tertinggal. Kontinuitas program bantuan di satu jenis bantuan pada satu kabupaten
dapat direalisasikan dengan misalnya membangun sarana transportasi pada
tingkat kecamatan secara bergilir tiap tahunnya. Metode ini diharapkan dapat
menjalin sinergitas antar kecamatan sehingga terjadi koneksi antar kecamatan
yang tentunya diharapkan dapat meningkatkan produktifitas masyarakat.
2. Kondisi yang terjadi di DIY dimana pada tahun 2010 provinsi ini sudah berhasil
mengentaskan 2 kabupaten tertinggal di wilayahnya namun capaian tingkat
95
kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan masih cukup tinggi
menunjukkan bahwa belum ada keselarasan antara kebijakan pengentasan
kabupaten tertinggal dengan pengentasan kemiskinan, sehingga kedepannya perlu
menambahkan indikator kemiskinan dalam penentuan kiteria kabupaten
tertinggal.
3. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan kinerja perekonomian yang
dicapai oleh kabupaten tertinggal periode 2006-2009 ternyata belum mampu
menurunkan angka kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh kondisi dimana
pertumbuhan ekonomi yang dicapai diikuti oleh kenaikan ketimpangan
pendapatan masyarakat. Fenomena ini cukup menarik untuk dicermati mengingat
kebijakan pengentasan kemiskinan telah banyak diterapkan, namun ternyata
belum mampu menurunkan persentase penduduk miskin. Koordinasi kebijakan
pengentasan kemiskinan antara pusat dan daerah, antar sektor dan kementrian
kiranya perlu ditingkatkan kembali, agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan.
Koordinasi juga diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan yang diikuti dengan
pemerataan distribusi pendapatan dan menurunkan kemiskinan.
4. Pertumbuhan yang tidak pro terhadap rakyat miskin, yang notabene merupakan
akibat dari distribusi pendapatan yang timpang di kabupaten tertinggal kiranya
perlu dicermati. Kedepannya perlu kebijakan-kebijakan yang kiranya dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan pemerataan distribusi
pendapatan. Salah satunya adalah melalui prioritas kebijakan pada sektor yang
dapat meningkatkan kemampuan masyarakat menengah ke bawah untuk
berpartisipasi aktif dalam roda perekonomian.
5. Arah kebijakan pemerintah pada daerah tertinggal kiranya dapat lebih
dititikberatkan pada kawasan timur, mengingat sebagian besar kabupaten
tertinggal berada di KTI dan marginal benefit akan lebih banyak dirasakan di
kawasan timur.
96
6.3. Saran
Model dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini masih dapat
terus dikembangkan lebih lanjut. Variabel-variabel bebas yang digunakan dalam
model terbatas hanya pada variabel-variabel inti yang besar pengaruhnya terhadap
variabel dependen. Perbaikan untuk penyempurnaan model kiranya dapat dilakukan
dengan menambah variabel-variabel lain dalam memodelkan persamaan pertmbuhan
ekonomi seperti, besaran kontribusi PDRB sektor pertanian, kontribusi PDRB sektor
industri, tingkat pendidikan dan indeks persepsi korupsi (corruption perception
index).
Metode analisis yang digunakan kiranya perlu dikembangkan dengan
memanfaatkan metode yang lebih tepat dan robust yang dapat menjawab
permasalahan penelitian dengan lebih gamblang. Penggunaan metode analisis panel
dinamis simultan (simultaneous dynamic panel) kiranya perlu dimanfaatkan dalam
memodelkan pengaruh bantuan infrastruktur terhadap persentase penduduk miskin.
Penggunaan metode analisis panel dinamis simultan diharapkan dapat menjawab
permasalahan endogeneity yang timbul akibat penggunaan lag variable dependen
sekaligus mampu memodelkan hubungan ketimpangan, kemiskinan dan pertumbuhan
ekonomi secara simultan, sehingga diharapkan hasil analisis yang didapat lebih
robust.
Penambahan rentang data waktu penelitian yang juga menyesuaikan masalah
ketersediaan data, kiranya perlu dilakukan mengingat perilaku hubungan
ketimpangan, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi merupakan hubungan jangka
panjang yang melibatkan beberapa fase pembangunan. Penyempurnaan terhadap
penelitian ini juga dapat dilakukan dengan melakukan komparasi (double difference
analysis) antara kabupaten tertinggal yang secara kontinu mendapat bantuan dan yang
tidak Komparasi juga dapat dilakukani antara kabupaten tertinggal yang mendapat
bantuan dan kabupaten bukan tertinggal yang tidak mendapat bantuan dengan syarat
kabupaten tidak tertinggal yang dipilih memiliki kesamaan karakteristik dengan
kabupaten tertinggal sebagai kelompok kendali (control group).
DAFTAR PUSTAKA
Ahluwalia IJ. 1985. Industrial Growth in India: Stagnation since the mid-sixties. New Delhi: Oxford University Press.
Aromdee V et al. 2005. Building Mega Projects: How to Maintain Economic
Stability. Bangkok: Bank of Thailand. Aschauer DA. 1989. Is Public Expenditure Productive. Journal of Monetary
Economics 23. Aziz IJ. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia.
Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Third Edition. New
Jersey: John Wiley and Sons Inc. [BI] Bank Indonesia. 2007. Perkembangan Perekonomian Daerah Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam, Triwulan I-2007. Banda Aceh: Kantor Bank Indonesia Banda Aceh.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah, Tahun 2010-2014. Jakarta: Bappenas. Baum CF. 2009, Instrumental Variables and Panel Data Methods in Economics
and Finance. Berlin: Boston College and DIW. Bellinger WK. 2007. The Economics Analysis of Public Policy. Oxon: Routledge. Bolnick BR. 2000. Economic Growth as an Instrument for Poverty Reduction in Mozambique: Framework for a Growth Strategy. Gabinete de Estudos
Discussion Paper 12a. Bourguignon F. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Washington:
World Bank. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten/Kota menurut Subsektor Tahun 2000-2004. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Penghitungan Produk Domestik Regional
Bruto. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Data dan Informasi Kemiskinan
Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009a. Analisis dan Penghitungan Tingkat
Kemiskinan Tahun 2009. Jakarta: BPS.
98
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009b. Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten/Kota, Tahun 2005-2009. Jakarta: BPS. Calderon C dan Serven L. 2008. The Effect of Infrastructure Development on
Growth an Income Distribution. Ideas-Repec. http://ideas.repec.org/ p/cht/bcchwp/270.html [5 Nov 2010]
Canning D dan Pedroni P. 1999. Infrastructure and Long Run Economic Growth.
World Bank and USAID CAER II Working Paper. Capello R. 2009. Regional Economics. New York: Routledge. Chen, Shaohua dan Ravallion M. 2008. The Developing World is Poorer than We
Thought, But No Less Successful in the Fight Against Poverty. Policy Research Working Paper, The World Bank Development Research Group 4703.
Daryanto A. 2003. Disparitas Pembangunan Perkotaan-Perdesaan di Indonesia.
Agromedia 8(2). Economic Planning Advisory Commission. 1995, Investment and economic
growth. Australian Government Publishing Service Commission Paper 9. Fan S, Zhang L dan Zhang X. 2002. Growth, Inequality, and Poverty in Rural
China, The Role of Public Investment. International Food Policy Research Institute. Washington DC.
Gelaw F. 2010. The dynamic relationship among poverty, inequality,and growth
in rural Ethiopia: A micro evidence. Journal of Development and Agricultural Economics 2(5):197-208
Glaeser EL. 2006. Inequality. Di dalam Barry R Weingast BR, Wittman DA,
editor. The Oxford Handbook of Political Economy. New York: Oxford University Press Inc.
Grigg NS. 1988. Infrastructure Engineering and Management. New York: John
Wiley and Sons. Hajiji A. 2009. Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Penurunan
Kemiskinan di Provinsi Riau, 2002-2008 [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,.
Hall P. 1983. The Economics Of Growth And Development. New York: St.
Martin's Press.
99
Haris A. 2009. Pengaruh Penatagunaan Tanah Terhadap Keberhasilan Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi. Jurnal Ekonomi Pembangunan. http://www.bappenas.go.id/ node/71/1195.
Heshmati A. 2004. Growth, Inequality and Poverty Relationships. MTT Economic
Research and IZA Discussion Paper 1338. Hudson RW, Haas R, Uddin W. 1997. Infrastructure Management. New York:
McGraw-Hill. Iradian G. 2004. Poverty, Inequality, and Growth in Armenia Cross-Country
Evidence. IMF Working Paper;04/05. Middle East and Central Asia Department, International Monetary Fund.
Iradian G. 2005. Inequality, Poverty, and Growth: Cross-Country Evidence.
IMF Working Paper;WP/05/28. Middle East and Central Asia Department, International Monetary Fund.
Indra. 2008. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Indonesia. Ilmu
Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Artikel tidak dipublikasikan.
Jalan J dan Ravallion M. 1998. Determinants of Transient and Chronic Poverty: Evidence from Rural China. Development Research Group, World Bank. Washington DC.
Kementrian Keuangan. 2011. Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2011. Jakarta:
Kementrian Keuangan. Kementrian Keuangan. 2009. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Tahun
2009. Jakarta: Kementrian Keuangan. Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2005. Keputusan Menteri
Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 001, Tahun 2005. Jakarta: Kementrian PDT.
Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2008. Arah Kebijakan,
Program dan Kegiatan Bidang Peningkatan Infrastruktur di Daerah Tertinggal. Workshop Peran PV Dalam Penyediaan Energi Listrik Di Indonesia. Jakarta: Kementrian PDT.
Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2009. Bantuan
Sosial/Stimulan Kabupaten Tertinggal Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur, Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Jakarta: Kementrian PDT.
Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2010. Booklet Karya Tulis
Pembangunan Daerah Tertinggal 2010. Jakarta: Kementrian PDT.
100
Klasen S dan Lawson D. 2007. The Impact of Population Growth on Economic Growth and Poverty Reduction in Uganda. Göttingen: George August University.
Kodoatie RJ. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Laabas dan Limam. 2004. Impact of Public Policies on Poverty, Income Distribution and Growth. IFPRI/API Colaborative Research Project: Public Policy and Poverty Reduction in the Arab Region.
Li H dan Zou H. 2002. Inflation, Growth, and Income Distribution: A Cross-
Country Study. Annals Of Economics And Finance 3:85–101. Lopez H. 2003. Macroeconomics And Inequality. Research Workshop. New
York: The World Bank. Oshima HT. 1970. Income Inequality and Economic Growth: The Postwar
Experiences of Asian Countries. Malayan Economic Review 15(2): 13. Mankiw NG. 2007. Makroekonomi. Edisi keenam. Jakarta: Erlangga. Mallik G dan Chowdurry A. 2001. Inflation And Economic Growth: Evidence
From Four South Asian Countries. Asia-Pacific Development Journal 8(1) Manitoba Bureau of Statistics. 2008. Population Increase And Economic Growth
What Are The Impacts?. Manitoba. Motley B. 1993. Inflation and Growth. FRBSF Weekly Letter 31 Desember 1993
:93-44. Federal Reserve Bank of San Fransisco, San Fransisco. Munnell AH. 1992. Policy Watch: Infrastructure Investment and Economic
Growth. The Journal of Economic Perspectives 6(4): 189-198. Nalarsih RT. 2007. Analisis Ketersediaan Dan Kapasitas Pemenuhan
Infrastruktur Di Kawasan Bisnis Beteng Surakarta. [tesis] Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Dipenogoro.
Ogawa N dan Suits DB. 1981. Lessons on Population and Economic Change,
From the Japanesse Meiji Experience. NUPRI Research Paper Series 2. Tokyo.
Perkins P et al. 2005. An Analysis Of Economic Infrastructure Investment In
South Africa. South African Journal of Economics;73:2. Prasetyo RB. 2010. Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia. [tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
101
Ravallion M dan Chen S. 2001. Measuring Pro Poor Growth. Policy Research Working Paper : 2666. World Bank.
Reungsri T. 2010. The Impact Of Public Infrastructure Investment On Economic
Growth In Thailand. [disertasi] Victoria: School of Economics and Finance Faculty of Business and Law, Victoria University.
Romer P. 1986, Increasing Returns and Long-Run Growth. Journal of Political
Economy 94(5): 1002-1037. Riadi M. 2010. Dampak Kebijakan Stimulus Fiskal Bidang Infrastruktur Padat
Karya terhadap Kinerja Ekonomi dan Ekonomi Sektoral di Indonesia. [tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sari P. 2009. Pengaruh Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan
Ekonomi 25 Kawasan Timur Indonesia. [skripsi] Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Schiller B. 2004. The Economics of Poverty and Discrimination, Ninth Edition.
Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. Seers D. 1969. The Meaning of Development. International Development Review;
11(4):2-6. Seetanah B et al. 2009. Does Infrastructure Alleviates Poverty In Developing
Countries? International Journal of Applied Econometrics and Quantitative Study.
[Setneg RI] Sekretariat Negara Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 9,
Tahun 2005. Jakarta: Sekretariat Negara RI [Setneg RI] Sekretariat Negara Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 90,
Tahun 2006. Jakarta: Sekretariat Negara RI Suparno. 2010. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan:
Studi Pro Poor Growth di Indonesia. [tesis] Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Supranto J. 2000, Statistik Teori dan Aplikasi. Edisi Keenam. Jilid 1. Jakarta:
Erlangga. Stern N. 1991, The Determinants of Growth. The Economic Journal;
101(404):122-133. Todaro MP dan Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan.
Jakarta: Erlangga.
102
Verbeek, M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. Chisester: John Wiley & Son.
Verbeek, M. 2008. A Guide to Modern Econometrics. Edisi Ketiga. Rotterdam:
RSM Erasmus University. World Bank. 1990. World Development Report: Poverty, New York: Oxford
University Press. World Bank. 1994. World Development Reports: Infrastructure for Development.
New York: Oxford University Press.
104 Lampiran 1. Perkembangan Rata-Rata Garis Kemiskinan Kabupaten
Tertinggal menurut Provinsi Tahun 2006-2009 (Rp/kapita/bln)
No Provinsi
Jumlah Kabupaten Tertinggal
2005
Rata-Rata Garis Kemiskinan
2007 2008 2009
1 Nangroe Aceh Darussalam 16 226.241,27 250.787,34 251.492,63
2 Sumatera Utara 6 151.995,88 175.038,14 175.268,00
3 Sumatera Barat 9 162.379,34 191.531,68 192.261,67
4 Riau 2 236.517,46 265.007,23 265.708,00
5 Jambi 2 189.878,17 219.165,06 222.727,50
6 Sumatera Selatan 6 178.503,07 195.884,46 197.077,67
7 Bengkulu 8 165.301,48 185.202,73 174.567,50
8 Lampung 5 160.063,90 182.108,86 183.151,00
9 Bangka Belitung 3 243.122,49 182.108,86 265.449,00
10 Kepulauan Riau 1 182.640,04 264.637,85 172.104,00
11 Jawa Barat 2 139.882,29 159.420,90 156.024,50
12 Jawa Tengah 3 151.374,40 170.816,70 161.904,00
13 D,I. Yogyakarta 2 165.944,94 191.494,88 177.289,00
14 Jawa Timur 8 149.349,07 166.845,63 159.838,63
15 Banten 2 140.836,95 161.352,63 161.547,50
16 Bali 1 131.744,96 157.619,26 157.223,00
17 Nusa Tenggara Barat 7 163.770,83 179.432,56 180.081,43
18 Nusa Tenggara Timur 15 123.202,82 153.426,11 153.173,60
19 Kalimantan Barat 9 147.719,42 164.432,21 164.689,89
20 Kalimantan Tengah 7 175.236,30 203.942,73 203.669,14
21 Kalimantan Selatan 2 145.432,35 171.110,16 171.470,50
22 Kalimantan Timur 3 221.035,62 238.984,28 241.065,67
23 Sulawesi Utara 2 147.792,01 163.275,22 163.328,00
24 Sulawesi Tengah 9 157.162,71 177.807,45 177.917,33
25 Sulawesi Selatan 13 133.869,93 151.740,79 150.867,46
26 Sulawesi Tenggara 8 151.171,96 167.307,88 144.006,13
27 Gorontalo 4 143.593,61 158.134,98 157.381,25
28 Sulawesi Barat 5 136.415,14 159.564,14 158.928,40
29 Maluku 7 165.702,48 190.922,16 192.444,43
30 Maluku Utara 6 150.975,46 190.496,29 191.709,00
31 Papua Barat 7 208.472,60 231.922,46 228.785,17
32 Papua 19 215.441,84 226.594,26 226.489,79
105 Lampiran 2. Daftar 183 Kabupaten Tertinggal di Indonesia
Kawasan Propinsi No. Kabupaten Status
KBI
NAD
1 Simelue Agak Tertinggal
2 Aceh Singkil Agak Tertinggal
3 Aceh Selatan Agak Tertinggal
4 Aceh Timur Agak Tertinggal
5 Aceh Barat Agak Tertinggal
6 Aceh Besar Maju
7 Aceh Barat Daya Agak Tertinggal
8 Gayo Lues Agak Tertinggal
9 Nagan Raya Agak Tertinggal
10 Aceh Jaya Agak Tertinggal
11 Bener Meriah Agak Tertinggal
12 Pidie Jaya Maju
Sumatera Utara
13 Nias Agak Tertinggal
14 Tapanuli Tengah Agak Tertinggal
15 Nias Selatan Agak Tertinggal
16 Pakpak Barat Agak Tertinggal
17 Nias Barat Agak Tertinggal
18 Nias Utara Agak Tertinggal
Sumatera Barat
19 Kepulauan Mentawai Tertinggal
20 Pesisir Selatan Agak Tertinggal
21 Solok Agak Tertinggal
22 Sawah Lunto/Sijunjung Agak Tertinggal
23 Padang Pariaman Maju
24 Solok Selatan Agak Tertinggal
25 Dharmas Raya Agak Tertinggal
26 Pasaman Barat Agak Tertinggal
Sumatera Selatan
27 Ogan Komering Ilir Agak Tertinggal
28 Lahat Agak Tertinggal
29 Musi Rawas Tertinggal
30 Banyu Asin Agak Tertinggal
31 Ogan Komering Ulu Selatan Agak Tertinggal
32 Ogan Ilir Agak Tertinggal
106
Kawasan Propinsi No. Kabupaten Status
KBI
Sumatera Selatan 33 Empat Lawang Agak Tertinggal
Bengkulu
34 Kaur Agak Tertinggal
35 Seluma Tertinggal
36 Muko-muko Agak Tertinggal
37 Lebong Agak Tertinggal
38 Kepahiang Agak Tertinggal
39 Bengkulu Tengah Agak Tertinggal
Lampung
40 Lampung Barat Agak Tertinggal
41 Lampung Utara Agak Tertinggal
42 Way Kanan Agak Tertinggal
43 Pesawaran DOB
Bangka Belitung 44 Bangka Selatan Agak Tertinggal
Kepulauan Riau 45 Natuna Agak Tertinggal
46 Kepulauan Anambas DOB
Jawa Barat 47 Sukabumi Agak Tertinggal
48 Garut Maju
Jawa Timur
49 Bondowoso Tertinggal
50 Situbondo Tertinggal
51 Bangkalan Tertinggal
52 Sampang Tertinggal
53 Pamekasan Tertinggal
Banten 54 Pandeglang Agak Tertinggal
55 Lebak Agak Tertinggal
KTI
NTB
56 Lombok Barat Tertinggal
57 Lombok Tengah Tertinggal
58 Lombok Timur Tertinggal
59 Sumbawa Tertinggal
60 Dompu Tertinggal
61 Bima Tertinggal
62 Sumbawa Barat Tertinggal
NTT
63 Lombok Utara DOB
64 Sumba Barat Tertinggal
65 Sumba Timur Sangat Tertinggal
66 Kupang Tertinggal
107
Kawasan Propinsi No. Kabupaten Status
KTI NTT 67 Timor Tengah Selatan Tertinggal
68 Timor Tengah Utara Tertinggal
69 Belu Tertinggal
70 Alor Tertinggal
71 Lembata Tertinggal
72 Flores Timur Agak Tertinggal
73 Sikka Agak Tertinggal
74 Ende Tertinggal
75 Ngada Agak Tertinggal
76 Manggarai Tertinggal
77 Rote Ndao Tertinggal
78 Manggarai Barat Tertinggal
79 Manggarai Timur DOB
80 Nagekeo DOB
81 Sabu Raijua DOB
82 Sumba Barat Daya DOB
83 Sumba Tengah DOB
Kalimantan Barat 84 Sambas Tertinggal
85 Bengkayang Agak Tertinggal
86 Landak Tertinggal
87 Sanggau Agak Tertinggal
88 Ketapang Tertinggal
89 Sintang Agak Tertinggal
90 Kapuas Hulu Agak Tertinggal
91 Sekadau Agak Tertinggal
92 Melawi Agak Tertinggal
93 Kayong Utara DOB
Kalimantan Tengah 94 Seruyan Agak Tertinggal
Kalimantan Selatan 95 Barito Kuala Agak Tertinggal
96 Hulu Sungai Utara Agak Tertinggal
Kalimantan Timur 97 Kutai Barat Maju
98 Malinau Maju
99 Nunukan Maju
Sulawesi Utara 100 Kepulauan Sangihe Maju
108
Kawasan Propinsi No. Kabupaten Status
KTI Sulawesi Utara 101 Kepulauan Talaud Maju
102 Kepulauan Sitaro DOB
Sulawesi Tengah 103 Banggai Kepulauan Tertinggal
104 Banggai Agak Tertinggal
105 Morowali Agak Tertinggal
106 Poso Agak Tertinggal
107 Donggala Agak Tertinggal
108 Toli-Toli Agak Tertinggal
109 Buol Agak Tertinggal
110 Parigi Moutong Agak Tertinggal
111 Tojo Una-Una Tertinggal
112 Sigi DOB
Sulawesi Selatan 113 Selayar Agak Tertinggal
114 Jeneponto Agak Tertinggal
115 Pangkajene Kepulauan Agak Tertinggal
116 Toraja Utara DOB
Sulawesi Tenggara 117 Buton Agak Tertinggal
118 Muna Agak Tertinggal
119 Konawe Agak Tertinggal
120 Konawe Selatan Agak Tertinggal
121 Bombana Agak Tertinggal
122 Wakatobi Agak Tertinggal
123 Kolaka Utara Agak Tertinggal
124 Buton Utara Agak Tertinggal
125 Konawe Utara Agak Tertinggal
Gorontalo 126 Boalemo Agak Tertinggal
127 Pohuwatu Agak Tertinggal
128 Gorontalo Utara Agak Tertinggal
Sulawesi Barat 129 Majene Agak Tertinggal
130 Polewali Mandar Agak Tertinggal
131 Mamasa Agak Tertinggal
132 Mamuju Agak Tertinggal
133 Mamuju Utara Agak Tertinggal
Maluku 134 Maluku Tenggara Barat Tertinggal
109
Kawasan Propinsi No. Kabupaten Status
KTI Maluku 135 Maluku Tengah Agak Tertinggal
136 Buru Tertinggal
137 Kepulauan Aru Tertinggal
138 Seram Bagian Barat Tertinggal
139 Seram Bagian Timur Tertinggal
140 Buru Selatan DOB
141 Maluku Barat Daya DOB
Maluku Utara 142 Halmahera Barat Tertinggal
143 Halmahera Tengah Agak Tertinggal
144 Kepulauan Sula Tertinggal
145 Halmahera Selatan Tertinggal
146 Halmahera Utara Agak Tertinggal
147 Halmahera Timur Agak Tertinggal
148 Morotai DOB
Papua Barat 149 Kaimana Agak Tertinggal
150 Teluk Wondama Tertinggal
151 Teluk Bintuni Tertinggal
152 Sorong Selatan Agak Tertinggal
153 Sorong Tertinggal
154 Raja Ampat Tertinggal
155 Maybrat DOB
156 Tambrau DOB
Papua 157 Merauke Tertinggal
158 Jayawijaya Sangat Tertinggal
159 Nabire Tertinggal
160 Yapen Waropen Agak Tertinggal
161 Biak Numfor Agak Tertinggal
162 Paniai Sangat Tertinggal
163 Puncak Jaya Tertinggal
164 Mimika Agak Tertinggal
165 Boven Digoel Sangat Parah
166 Mappi Sangat Parah
167 Asmat Sangat Parah
168 Yahukimo Sangat Parah
110
Kawasan Propinsi No. Kabupaten Status
KTI Papua 169 Pegunungan Bintang Sangat Parah
170 Tolikara Sangat Parah
171 Sarmi Tertinggal
172 Keerom Agak Tertinggal
173 Waropen Tertinggal
174 Supiori Tertinggal
175 Deiyai DOB
176 Dgiyai DOB
177 Intan Jaya DOB
178 Lanny Jaya DOB
179 Mamberamo Raya DOB
180 Mamberamo Tengah DOB
181 Nduga DOB
182 Puncak DOB
183 Yalimo DOB
Catatan:
DOB = Daerah Otonomi Baru
111 Lampiran 3. Jumlah dan Persentase Kabupaten Tertinggal menurut Provinsi
Tahun 2005 dan 2010
No Provinsi Jumlah Kabupaten
Tertinggal Jumlah Kabupaten
Total Persentase
Kabupaten Tertinggal
2005 2010 2005 2010 2005 2010
1 Nangroe Aceh Darussalam 16
12
23
23
69,57
52,17
2 Sumatera Utara 6
6
30
32
20,00
18,75
3 Sumatera Barat 9
8
19
19
47,37
42,11
4 Riau 2
-
11
11
18,18
-
5 Jambi 2
-
11
11
18,18
-
6 Sumatera Selatan 6
7
15
15
40,00
46,67
7 Bengkulu 8
6
9
10
88,89
60,00
8 Lampung 5
4
11
11
45,45
36,36
9 Bangka Belitung 3
1
7
7
42,86
14,29
10 Kepulauan Riau 1
2
7
7
14,29
28,57
11 Jawa Barat 2
2
26
26
7,69
7,69
12 Jawa Tengah 3
-
35
35
8,57
-
13 D,I, Yogyakarta 2
-
5
5
40,00
-
14 Jawa Timur 8
5
38
38
21,05
13,16
15 Banten 2
2
7
7
28,57
28,57
16 Bali 1
-
9
9
11,11
-
17 Nusa Tenggara Barat 7
8
10
10
70,00
80,00
18 Nusa Tenggara Timur 15
20
21
21
71,43
95,24
19 Kalimantan Barat 9
10
14
14
64,29
71,43
20 Kalimantan Tengah 7
1
14
14
50,00
7,14
21 Kalimantan Selatan 2
2
13
13
15,38
15,38
22 Kalimantan Timur 3
3
14
14
21,43
21,43
23 Sulawesi Utara 2
3
15
15
13,33
20,00
24 Sulawesi Tengah 9
10
11
11
81,82
90,91
25 Sulawesi Selatan 13
4
24
24
54,17
16,67
26 Sulawesi Tenggara 8
9
12
12
66,67
75,00
27 Gorontalo 4
3
5
6
80,00
50,00
28 Sulawesi Barat 5
5
5
5
100,00
100,00
29 Maluku 7
8
11
11
63,64
72,73
30 Maluku Utara 6
7
8
9
75,00
77,78
31 Papua Barat 7
8
9
11
77,78
72,73
32 Papua 19
27
20
27
95,00
96,43
I n d o n e s i a
199
183
469
483
42,43
37,89
112 Lampiran 4. Dinamika Perekonomian PDRB atas Dasar Harga Konstan 2000
Kabupaten Tertinggal (milyar)
No Provinsi Jumlah
Kabupaten Tertinggal
Rata-Rata PDRB ADH Konstan Pertumbuhan
2006-2009
Rata-Rata
P2IPDT 2009
% PDRB09 thd P2IPDT
09 2006 2009
1 NAD 16 1.550,31 1.376,63 -3,88 627,55 0,046
2 Sumatera Utara 6 1.017,43 1.192,86 5,45 1.434,96 0,120
3 Sumatera Barat 9 1.322,44 1.568,67 5,86 1.427,64 0,091
4 Riau 2 2.219,50 2.744,00 7,33 5.261,66 0,192
5 Jambi 2 1.433,00 1.695,50 5,77 2.213,04 0,131
6 Sumatera Selatan 6 2.340,33 2.750,17 5,53 1.362,48 0,050
7 Bengkulu 8 598,13 653,25 2,98 1.331,44 0,204
8 Lampung 5 3.080,75 3.212,75 1,41 2.025,25 0,063
9 Bangka Belitung 3 932,67 1.060,33 4,37 2.083,92 0,197
10 Kepulauan Riau 1 1.448,00 1.596,76 3,31 615,99 0,062
11 Jawa Barat 2 8.267,00 9.438,50 4,52 773,15 0,008
12 Jawa Tengah 3 2.277,67 2.614,33 4,70 1.870,47 0,072
13 D,I, Yogyakarta 2 2.178,00 2.463,50 4,19 1.478,41 0,060
14 Jawa Timur 8 2.086,88 2.426,88 5,16 1.346,24 0,055
15 Banten 2 3.451,50 3.916,00 4,30 1.434,95 0,037
16 Bali 1 1.505,00 1.747,00 5,10 546,52 0,031
17 Nusa Tenggara Barat 7 1.967,86 2.141,00 2,85 1.309,53 0,027
18 Nusa Tenggara Timur 15 531,80 578,80 2,86 1.413,65 0,244
19 Kalimantan Barat 9 1.421,89 1.648,56 5,05 1.133,49 0,069
20 Kalimantan Tengah 7 680,29 795,57 5,36 1.160,28 0,146
21 Kalimantan Selatan 2 1.253,50 1.358,50 2,72 1.360,87 0,100
22 Kalimantan Timur 3 1.403,00 1.672,33 6,03 1.502,71 0,090
23 Sulawesi Utara 2 467,00 548,50 5,51 2.507,49 0,457
24 Sulawesi Tengah 9 1.169,44 1.310,89 3,88 1.403,51 0,107
25 Sulawesi Selatan 13 1.249,93 1.394,79 3,72 1.572,99 0,113
26 Sulawesi Tenggara 8 779,75 942,75 6,53 2.149,33 0,228
27 Gorontalo 4 377,75 465,25 7,19 1.799,37 0,387
28 Sulawesi Barat 5 672,80 828,40 7,18 1.980,64 0,239
29 Maluku 7 287,14 311,49 2,75 1.837,39 0,683
30 Maluku Utara 6 279,17 330,67 5,81 1.498,22 0,453
31 Papua Barat 7 516,00 625,57 6,63 981,37 0,157
32 Papua 19 965,21 1.183,26 7,03 973,51 0,082
113 Lampiran 5. Dinamika Ketimpangan Kabupaten Tertinggal
No Provinsi Jumlah
Kabupaten Tertinggal
2005
Gini Rasio Pertumb
uhan Gini Rasio 06-09
Pertum-buhan
P2IPDT 2007-20092006 2009
1 Nangroe Aceh Darussalam 16 0,31147 0,32291 1,21 1417,29
2 Sumatera Utara 6 0,29876 0,3036 0,54 4,30
3 Sumatera Barat 9 0,30447 0,31447 1,08 108,83
4 Riau 2 0,30059 0,31175 1,22 206,34
5 Jambi 2 0,29189 0,28067 -1,30 131,10
6 Sumatera Selatan 6 0,29357 0,29438 0,09 43,43
7 Bengkulu 8 0,29513 0,30385 0,98 69,30
8 Lampung 5 0,29955 0,30400 0,49 55,42
9 Bangka Belitung 3 0,26922 0,28016 1,34 376,46
10 Kepulauan Riau 1 0,34215 0,34121 -0,09 -38,15
11 Jawa Barat 2 0,33379 0,33479 0,10 6,83
12 Jawa Tengah 3 0,29831 0,31153 1,46 34,83
13 D.I. Yogyakarta 2 0,42359 0,39394 -2,39 328,38
14 Jawa Timur 8 0,31878 0,32037 0,17 27,08
15 Banten 2 0,33588 0,35517 1,88 258,60
16 Bali 1 0,31089 0,30284 -0,87 -21,87
17 Nusa Tenggara Barat 7 0,31272 0,34194 3,02 -27,64
18 Nusa Tenggara Timur 15 0,34181 0,36023 1,76 10,77
19 Kalimantan Barat 9 0,30583 0,32437 1,98 16,37
20 Kalimantan Tengah 7 0,26788 0,29683 3,48 42,17
21 Kalimantan Selatan 2 0,31157 0,31361 0,22 7,39
22 Kalimantan Timur 3 0,3703 0,33141 -3,63 375,17
23 Sulawesi Utara 2 0,30492 0,31907 1,52 112,27
24 Sulawesi Tengah 9 0,32618 0,32223 -0,41 33,03
25 Sulawesi Selatan 13 0,31389 0,32554 1,22 71,84
26 Sulawesi Tenggara 8 0,31209 0,30482 -0,78 198,97
27 Gorontalo 4 0,32449 0,33312 0,88 82,91
28 Sulawesi Barat 5 0,32971 0,33246 0,28 101,49
29 Maluku 7 0,31534 0,33839 2,38 127,54
30 Maluku Utara 6 0,30439 0,30865 0,46 27,15
31 Papua Barat 7 0,32469 0,36307 3,79 -2,81
32 Papua 19 0,39124 0,41250 1,78 -10,85
114 Lampiran 6. Dinamika Kemiskinan Kabupaten Tertinggal (persen)
No Provinsi Jumlah
Kabupaten Tertinggal
2005
Po Laju
Penuru- nan Po 06-09
Pertumbuhan
P2IPDT 2007-2009 2006 2009
1 Nangroe Aceh Darussalam 16 30,34 22,89 -8,97 1417,29
2 Sumatera Utara 6 26,18 16,50 -14,27 4,30
3 Sumatera Barat 9 16,45 11,16 -12,15 108,83
4 Riau 2 22,55 14,96 -12,79 206,34
5 Jambi 2 16,10 11,03 -11,84 131,10
6 Sumatera Selatan 6 25,61 16,79 -13,12 43,43
7 Bengkulu 8 25,52 18,68 -9,88 69,30
8 Lampung 5 28,33 22,95 -6,79 55,42
9 Bangka Belitung 3 12,90 8,96 -11,43 376,46
10 Kepulauan Riau 1 21,42 10,46 -21,26 -38,15
11 Jawa Barat 2 18,64 13,74 -9,66 6,83
12 Jawa Tengah 3 29,87 22,10 -9,55 34,83
13 D.I. Yogyakarta 2 28,42 24,55 -4,77 328,38
14 Jawa Timur 8 28,14 22,14 -7,68 27,08
15 Banten 2 15,19 11,32 -9,33 258,60
16 Bali 1 9,42 6,37 -12,23 -21,87
17 Nusa Tenggara Barat 7 29,50 22,57 -8,55 -27,64
18 Nusa Tenggara Timur 15 30,04 24,19 -6,97 10,77
19 Kalimantan Barat 9 18,08 10,16 -17,47 16,37
20 Kalimantan Tengah 7 11,39 7,02 -14,90 42,17
21 Kalimantan Selatan 2 11,23 6,45 -16,86 7,39
22 Kalimantan Timur 3 20,35 13,00 -13,88 375,17
23 Sulawesi Utara 2 16,60 12,70 -8,54 112,27
24 Sulawesi Tengah 9 26,48 20,65 -7,95 33,03
25 Sulawesi Selatan 13 17,14 13,99 -6,54 71,84
26 Sulawesi Tenggara 8 25,17 18,74 -9,36 198,97
27 Gorontalo 4 32,17 20,84 -13,48 82,91
28 Sulawesi Barat 5 20,01 14,39 -10,42 101,49
29 Maluku 7 39,12 33,22 -5,31 127,54
30 Maluku Utara 6 18,41 15,16 -6,28 27,15
31 Papua Barat 7 40,49 34,87 -4,86 -2,81
32 Papua 19 41,95 36,40 -4,61 -10,85
115 Lampiran 7. Hasil Analisis Kuadran (Dinamika Pertumbuhan dan
Kemiskinan) di Kabupaten Tertinggal Analisis Kuadran Pertumbuhan dan Kemiskinan KBI, Tahun 2006
I II
IV III
10000.008000.006000.004000.002000.000.00
PDRBK_06
40.00
30.00
20.00
10.00
Po
_06
Karangasem
LebakPandeglang
Pamekasan
Sampang
Bangkalan
Madiun
Situbondo
Bondowoso
Trenggalek
Gunung Kidul
Garut
Sukabumi
Lingga
Natuna
Belitung Timur
Bangka Selatan
Belitung
Lampung Timur
Lampung Selatan
Kepahiang
Lebong
Mukomuko
Seluma
KaurBengkulu Selatan
Banyu Asin
Musi Rawas
Lahat
Tanjung Jabung Timur
Sarolangun
Kuantan Singingi
Dharmas Raya
Pasaman
Pakpak Bharat
Nias Selatan
Dairi
Nias
Nagan Raya
Gayo Lues
Aceh Utara
BireuenAceh Timur
Aceh Singkil
116 Analisis Kuadran Pertumbuhan dan Kemiskinan KBI, Tahun 2009
I II
IV III
12000.0010000.008000.006000.004000.002000.000.00
PDRBK_09
30.00
20.00
10.00
0.00
Po_
09
Karangasem
LebakPandeglang
Pamekasan
Sampang
Bangkalan
Madiun Situbondo
Bondowoso
Kulon Progo
Rembang
Wonogiri
Garut
Sukabumi
Lingga
Belitung Timur
Bangka Selatan
Belitung
Lampung Utara
Lampung Timur
Lampung Selatan
Lampung Barat
LebongMukomuko
Seluma
Kaur
Bengkulu Selatan
Banyu Asin
Lahat
Tanjung Jabung Timur
Pasaman Barat
Dharmas Raya
Nias Selatan
Dairi
Nias
Bener Meriah
Aceh Jaya
Aceh Utara
117 Analisis Kuadran Pertumbuhan dan Kemiskinan KTI, Tahun 2006
I II
IIIIV
12000.0010000.008000.006000.004000.002000.000.00
PDRBK_06
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Po_
06
Supiori
Waropen
Pegunungan Bintang
Asmat
Mappi
Mimika
Puncak Jaya
Paniai
Nabire
Jayapura
Jayawijaya
Sorong
Kaimana
Fakfak
Halmahera Timur
Halmahera Utara
Kepulauan Sula
Halmahera Barat
Mamuju
Kolaka Utara
Wakatobi
Kolaka
Luwu Timur
Luwu
Pinrang
Barru
Pangkajene dan Kepulauan
Selayar
Parigi Moutong
Kutai Barat
Sambas
Ngada
Belu
Sumba Barat
Sumbawa BaratLombok Barat
118 Analisis Kuadran Pertumbuhan dan Kemiskinan KTI, Tahun 2006
I II
IV III
12500.0010000.007500.005000.002500.000.00
PDRBK_09
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Po_
09
Supiori
Waropen
Keerom
Pegunungan Bintang
Yahukimo
Asmat
Mimika
Puncak Jaya
Paniai
Biak Numfor
Nabire
Merauke
Raja Ampat
Sorong Selatan
Teluk Bintuni
Kepulauan Sula
Seram Bagian BaratBuru
Mamuju
Mamasa
Polewali Mandar
PohuwatoKolaka
Luwu Utara
Luwu Timur
Pinrang
Barru Sinjai
Parigi Moutong
Morowali
Barito KualaLamandauSukamara
Ketapang
Sumbawa Barat
Lombok Timur
119 Lampiran 8. Rata-Rata Bantuan P2IPDT 2007-2009
No Provinsi Jumlah
Kabupaten Tertinggal
Rata-Rata Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT)
Pertumbuhan 2007-
2009 2007 2008 2009
1 Nangroe Aceh Darussalam 16 41,36 132,82 627,55 1417,29
2 Sumatera Utara 6 1.375,78 1.277,65 1.434,96 4,30
3 Sumatera Barat 9 683,64 2.047,58 1.427,64 108,83
4 Riau 2 1.717,57 4.827,82 5.261,66 206,34
5 Jambi 2 957,60 2.233,21 2.213,04 131,10
6 Sumatera Selatan 6 949,95 1.319,62 1.362,48 43,43
7 Bengkulu 8 786,44 2.189,47 1.331,44 69,30
8 Lampung 5 1.303,11 1.486,77 2.025,25 55,42
9 Bangka Belitung 3 437,38 1.167,89 2.083,92 376,46
10 Kepulauan Riau 1 996,00 2.965,94 615,99 -38,15
11 Jawa Barat 2 723,70 1.422,01 773,15 6,83
12 Jawa Tengah 3 1.387,25 2.063,75 1.870,47 34,83
13 D,I, Yogyakarta 2 345,12 1.530,30 1.478,41 328,38
14 Jawa Timur 8 1.059,34 1.699,66 1.346,24 27,08
15 Banten 2 400,15 2.032,29 1.434,95 258,60
16 Bali 1 - 699,47 546,52 -21,87*
17 Nusa Tenggara Barat 7 1.809,65 1.533,21 1.309,53 -27,64
18 Nusa Tenggara Timur 15 1.276,22 1.621,85 1.413,65 10,77
19 Kalimantan Barat 9 974,00 1.078,28 1.133,49 16,37
20 Kalimantan Tengah 7 816,15 1.309,08 1.160,28 42,17
21 Kalimantan Selatan 2 1.267,22 1.566,87 1.360,87 7,39
22 Kalimantan Timur 3 316,25 1.585,16 1.502,71 375,17
23 Sulawesi Utara 2 1.181,27 3.071,18 2.507,49 112,27
24 Sulawesi Tengah 9 1.055,01 1.385,98 1.403,51 33,03
25 Sulawesi Selatan 13 915,40 1.060,98 1.572,99 71,84
26 Sulawesi Tenggara 8 718,91 857,99 2.149,33 198,97
27 Gorontalo 4 983,75 1.747,71 1.799,37 82,91
28 Sulawesi Barat 5 982,98 1.393,61 1.980,64 101,49
29 Maluku 7 807,49 1.138,58 1.837,39 127,54
30 Maluku Utara 6 1.178,32 1.228,78 1.498,22 27,15
31 Papua Barat 7 1.009,70 988,85 981,37 -2,81
32 Papua 19 1.092,02 1.086,57 973,51 -10,85
I n d o n e s i a
199 990,98 1.443,95 1.444,19 45,73
Cat: * menggunakan data tahun 2008-2009
120 Lampiran 9. Hasil Output Stata Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Fixed Effect Model)
Fixed-effects (within) regression Number of obs = 246
Group variable: kab1 Number of groups = 82
R-sq: within = 0.5041 Obs per group: min = 3
between = 0.1247 avg = 3.0
overall = 0.1255 max = 3
F(5,159) = 32.33
corr(u_i, Xb) = 0.1403 Prob > F = 0.0000
------------------------------------------------------------------------------
yt | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
p2ipdt | 50.74785 33.54758 1.51 0.132 -15.50849 117.0042
p2ipdt2 | -.0090004 .0059343 -1.52 0.131 -.0207206 .0027198
inft_1 | 948060.3 100248.8 9.46 0.000 750069.2 1146051
popt | -1.928998 2.868119 -0.67 0.502 -7.593523 3.735526
ginit | 580276.2 330154.3 1.76 0.081 -71777.29 1232330
dwil | (dropped)
_cons | 3836949 783505.9 4.90 0.000 2289528 5384370
-------------+----------------------------------------------------------------
sigma_u | 3099801.5
sigma_e | 187657.81
rho | .99634845 (fraction of variance due to u_i)
------------------------------------------------------------------------------
F test that all u_i=0: F(81, 159) = 739.14 Prob > F = 0.0000
121 Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Random Effect Model)
Random-effects GLS regression Number of obs = 246
Group variable: kab1 Number of groups = 82
R-sq: within = 0.5037 Obs per group: min = 3
between = 0.1468 avg = 3.0
overall = 0.1482 max = 3
Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2(6) = 171.38
corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000
------------------------------------------------------------------------------
yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
p2ipdt | 48.20545 33.9293 1.42 0.155 -18.29476 114.7056
p2ipdt2 | -.008779 .0059908 -1.47 0.143 -.0205208 .0029629
inft_1 | 980574.8 86748.05 11.30 0.000 810551.8 1150598
popt | -3.040136 1.016434 -2.99 0.003 -5.032311 -1.047962
ginit | 583929.9 334030 1.75 0.080 -70756.92 1238617
dwil | -1292100 715294.2 -1.81 0.071 -2694051 109850.9
_cons | 4827819 666549.3 7.24 0.000 3521406 6134231
-------------+----------------------------------------------------------------
sigma_u | 2938994.2
sigma_e | 187657.81
rho | .9959396 (fraction of variance due to u_i)
------------------------------------------------------------------------------
122 Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Statis Note: the rank of the differenced variance matrix (3) does not equal the number of coefficients being tested (5); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale.
---- Coefficients ----
| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B))
| random fixed Difference S.E.
-------------+----------------------------------------------------------------
p2ipdt | 48.20545 50.74785 -2.542404 5.075163
p2ipdt2 | -.008779 -.0090004 .0002214 .0008212
inft_1 | 980574.8 948060.3 32514.57 .
popt | -3.040136 -1.928998 -1.111138 .
ginit | 583929.9 580276.2 3653.644 50736.33
------------------------------------------------------------------------------
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg
B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg
Test: Ho: difference in coefficients not systematic
chi2(3) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)
= 0.10
Prob>chi2 = 0.9916 - RANDOM EFFECT
(V_b-V_B is not positive definite)
123 Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Generalized Least Square Method)
Cross-sectional time-series FGLS regression
Coefficients: generalized least squares
Panels: homoskedastic
Correlation: common AR(1) coefficient for all panels (0.8243)
Estimated covariances = 1 Number of obs = 246
Estimated autocorrelations = 1 Number of groups = 82
Estimated coefficients = 7 Time periods = 3
Wald chi2(6) = 49.51
Prob > chi2 = 0.0000
------------------------------------------------------------------------------
yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
p2ipdt | -113.4466 150.0937 -0.76 0.450 -407.6248 180.7317
p2ipdt2 | .0155132 .0299834 0.52 0.605 -.0432532 .0742795
inft_1 | 1487431 354022.8 4.20 0.000 793559.3 2181303
popt | -3.10634 .6378021 -4.87 0.000 -4.356409 -1.856271
ginit | 788496.9 1319126 0.60 0.550 -1796943 3373936
dwil | -1167833 438984.4 -2.66 0.008 -2028227 -307439.6
_cons | 3965333 842983.3 4.70 0.000 2313116 5617550
------------------------------------------------------------------------------
124 Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan Total terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Dinamis
note: dwil dropped from dgmmiv() because of collinearity
note: ginit dropped from dgmmiv() because of collinearity
note: D.dwil dropped from lgmmiv() because of collinearity
note: D.ginit dropped from lgmmiv() because of collinearity
note: dwil dropped from div() because of collinearity
note: inft_1 dropped because of collinearity
note: ginit dropped because of collinearity
note: p2ipdt dropped because of collinearity
note: p2ipdt2 dropped because of collinearity
note: dwil dropped because of collinearity
note: popt dropped because of collinearity
note: ginit dropped because of collinearity
System dynamic panel-data estimation Number of obs = 164
Group variable: kab1 Number of groups = 82
Time variable: tahun
Obs per group: min = 2
avg = 2
max = 2
Number of instruments = 10 Wald chi2(7) = 54306.46
Prob > chi2 = 0.0000
Two-step results
------------------------------------------------------------------------------
yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
yt |
L1. | .8594341 .0300878 28.56 0.000 .8004631 .9184052
p2ipdt | -97.06834 28.53918 -3.40 0.001 -153.0041 -41.13257
p2ipdt2 | .0212297 .0034943 6.08 0.000 .014381 .0280785
dwil | 497287.4 238309.3 2.09 0.037 30209.68 964365
popt | -.2917056 .2156995 -1.35 0.176 -.7144689 .1310577
ginit | 1634775 548061 2.98 0.003 560595.1 2708955
inft_1 | 194524.7 78646.16 2.47 0.013 40381.06 348668.4
------------------------------------------------------------------------------
Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).yt L(1/.).p2ipdt L(1/.).p2ipdt2 L(1/.).inft_1 L(1/.).popt L(2/.).ginit
Standard: D.p2ipdt D.p2ipdt2 D.inft_1 D.popt D.ginit
Instruments for level equation
GMM-type: LD.yt D.p2ipdt D.p2ipdt2 D.inft_1 D.popt LD.ginit
125 Uji Sargan (Overidentifcation test) dan Uji Autokorelasi Panel Dinamis
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(3) = 8.824739
Prob > chi2 = 0.0317
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
+-----------------------+
|Order | z Prob > z|
|------+----------------|
| 1 | . . |
| 2 | . . |
+-----------------------+
H0: no autocorrelation
126 Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan per Jenis Bantuan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Fixed Effect Model)
Fixed-effects (within) regression Number of obs = 246
Group variable: kab1 Number of groups = 82
R-sq: within = 0.5109 Obs per group: min = 3
between = 0.1203 avg = 3.0
overall = 0.1215 max = 3
F(8,156) = 20.37
corr(u_i, Xb) = 0.1189 Prob > F = 0.0000
------------------------------------------------------------------------------
yt | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
ginit | 534503.5 344857.1 1.55 0.123 -146688.5 1215695
inft_1 | 912060.4 100743.2 9.05 0.000 713063.6 1111057
popt | -2.113729 2.894218 -0.73 0.466 -7.830642 3.603183
dwil | (dropped)
dtransp | 74109.61 48912.11 1.52 0.132 -22505.87 170725.1
denergi | 90212.83 48188.8 1.87 0.063 -4973.914 185399.6
dinfotel | 30119.03 65464.69 0.46 0.646 -99192.56 159430.6
dsos | 26501.98 36628.78 0.72 0.470 -45850.39 98854.35
dekon | 16244.05 39390.21 0.41 0.681 -61562.94 94051.04
_cons | 3915563 796170 4.92 0.000 2342898 5488227
-------------+----------------------------------------------------------------
sigma_u | 3098219.1
sigma_e | 188161.11
rho | .99632518 (fraction of variance due to u_i)
------------------------------------------------------------------------------
F test that all u_i=0: F(81, 156) = 750.83 Prob > F = 0.0000
127 Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan per Jenis Bantuan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Random Effect Model)
Random-effects GLS regression Number of obs = 246
Group variable: kab1 Number of groups = 82
R-sq: within = 0.5105 Obs per group: min = 3
between = 0.1463 avg = 3.0
overall = 0.1478 max = 3
Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2(9) = 177.72
corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000
------------------------------------------------------------------------------
yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
ginit | 535407.9 342528.5 1.56 0.118 -135935.7 1206751
inft_1 | 940332.5 88162.34 10.67 0.000 767537.5 1113128
popt | -3.062739 1.048242 -2.92 0.003 -5.117255 -1.008222
dwil | -1295852 741660.8 -1.75 0.081 -2749480 157776.8
dtransp | 71881.35 48605.87 1.48 0.139 -23384.42 167147.1
denergi | 88366.33 47620.33 1.86 0.064 -4967.792 181700.5
dinfotel | 28243.3 65046.82 0.43 0.664 -99246.13 155732.7
dsos | 27413.67 36398.16 0.75 0.451 -43925.4 98752.75
dekon | 16979.41 39038.02 0.43 0.664 -59533.7 93492.53
_cons | 4866191 690427.7 7.05 0.000 3512978 6219405
-------------+----------------------------------------------------------------
sigma_u | 3105851.1
sigma_e | 188161.11
rho | .99634315 (fraction of variance due to u_i)
------------------------------------------------------------------------------
128
Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Statis
Note: the rank of the differenced variance matrix (7) does not equal the number of coefficients being tested (8); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale.
---- Coefficients ----
| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B))
| fixed random Difference S.E.
-------------+----------------------------------------------------------------
ginit | 534503.5 535407.9 -904.4118 40008.07
inft_1 | 912060.4 940332.5 -28272.06 48750.41
popt | -2.113729 -3.062739 .9490092 2.697719
dtransp | 74109.61 71881.35 2228.266 5464.742
denergi | 90212.83 88366.33 1846.499 7380.072
dinfotel | 30119.03 28243.3 1875.729 7384.926
dsos | 26501.98 27413.67 -911.693 4103.845
dekon | 16244.05 16979.41 -735.3615 5255.605
------------------------------------------------------------------------------
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg
B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg
Test: Ho: difference in coefficients not systematic
chi2(7) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)
= 0.96
Prob>chi2 = 0.9954 RANDOM EFFECT
129 Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan per Jenis Bantuan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Generalized Least Square Method)
Cross-sectional time-series FGLS regression
Coefficients: generalized least squares
Panels: homoskedastic
Correlation: common AR(1) coefficient for all panels (0.9631)
Estimated covariances = 1 Number of obs = 246
Estimated autocorrelations = 1 Number of groups = 82
Estimated coefficients = 10 Time periods = 3
Wald chi2(9) = 60.32
Prob > chi2 = 0.0000
------------------------------------------------------------------------------
yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
dtransp | 46504.04 95164.07 0.49 0.625 -140014.1 233022.2
denergi | 27689.4 94660.07 0.29 0.770 -157840.9 213219.7
dsos | 15540.48 64474.87 0.24 0.810 -110827.9 141908.9
dinfotel | -20150.57 141492.3 -0.14 0.887 -297470.3 257169.2
dekon | -23612.9 79972.5 -0.30 0.768 -180356.1 133130.3
inft_1 | 1077472 201190.5 5.36 0.000 683145.9 1471798
popt | -3.157938 .6657105 -4.74 0.000 -4.462706 -1.853169
ginit | 592100.6 620822.8 0.95 0.340 -624689.6 1808891
dwil | -1295489 450924.2 -2.87 0.004 -2179285 -411694
_cons | 4705698 575042.2 8.18 0.000 3578636 5832760
------------------------------------------------------------------------------
130 Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan per Jenis Bantuan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Dinamis
note: dwil dropped from dgmmiv() because of collinearity
note: D.dwil dropped from lgmmiv() because of collinearity
note: ginit dropped because of collinearity
System dynamic panel-data estimation Number of obs = 164
Group variable: kab1 Number of groups = 82
Time variable: tahun
Obs per group: min = 2
avg = 2
max = 2
Number of instruments = 12 Wald chi2(10) = 60715.63
Prob > chi2 = 0.0000
Two-step results
------------------------------------------------------------------------------
yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
yt |
L1. | .9612485 .014469 66.44 0.000 .9328898 .9896072
dtransp | 46956.63 85299.03 0.55 0.582 -120226.4 214139.7
denergi | -19161.45 90416.13 -0.21 0.832 -196373.8 158050.9
dinfotel | -12409.84 71221.96 -0.17 0.862 -152002.3 127182.6
dsos | -53979.26 33631.74 -1.61 0.108 -119896.3 11937.73
dekon | -71113.77 50834.8 -1.40 0.162 -170748.2 28520.62
dwil | 269979.4 117656.1 2.29 0.022 39377.74 500581
ginit | 693669.8 315432.4 2.20 0.028 75433.69 1311906
inft_1 | 131368.6 67114.73 1.96 0.050 -173.8915 262911
popt | -.2925832 .2663093 -1.10 0.272 -.8145398 .2293734
------------------------------------------------------------------------------
Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).yt L(1/.).dtransp L(1/.).denergi L(1/.).dinfotel L(1/.).dsos L(1/.).dekon L(2/.).ginit
Standard: D.inft_1 D.popt D.ginit
Instruments for level equation
GMM-type: LD.yt D.dtransp D.denergi D.dinfotel D.dsos D.dekon LD.ginit
131 Uji Sargan (Overidentifcation test) dan Uji Autokorelasi Panel Dinamis Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(2) = 7.858085
Prob > chi2 = 0.0197 VALID PADA α=0,01
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
+-----------------------+
|Order | z Prob > z|
|------+----------------|
| 1 | . . |
| 2 | . . |
+-----------------------+
H0: no autocorrelation
132 Hasil Estimasi Model Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Panel Statis (Fixed Effect Model)
Fixed-effects (within) regression Number of obs = 246
Group variable: kab1 Number of groups = 82
R-sq: within = 0.2594 Obs per group: min = 3
between = 0.0230 avg = 3.0
overall = 0.0245 max = 3
F(4,160) = 14.01
corr(u_i, Xb) = -0.8966 Prob > F = 0.0000
------------------------------------------------------------------------------
pot | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
ginit | -12.67615 5.551188 -2.28 0.024 -23.6392 -1.713103
yt | -5.56e-06 1.10e-06 -5.04 0.000 -7.74e-06 -3.38e-06
exptjuta | -5.83e-06 5.35e-06 -1.09 0.277 -.0000164 4.73e-06
exptjuta2 | 3.51e-12 2.41e-12 1.46 0.146 -1.24e-12 8.27e-12
_cons | 54.90191 4.961161 11.07 0.000 45.10411 64.69972
-------------+----------------------------------------------------------------
sigma_u | 18.811172
sigma_e | 3.0725978
rho | .97401368 (fraction of variance due to u_i)
------------------------------------------------------------------------------
F test that all u_i=0: F(81, 160) = 21.46 Prob > F = 0.0000
133 Hasil Estimasi Model Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Panel Statis (Random Effect Model)
Random-effects GLS regression Number of obs = 246
Group variable: kab1 Number of groups = 82
R-sq: within = 0.1733 Obs per group: min = 3
between = 0.0025 avg = 3.0
overall = 0.0076 max = 3
Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2(4) = 24.00
corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0001
------------------------------------------------------------------------------
pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
ginit | -16.10561 5.727452 -2.81 0.005 -27.33121 -4.880012
yt | -6.71e-07 2.90e-07 -2.31 0.021 -1.24e-06 -1.03e-07
exptjuta | -8.25e-06 4.98e-06 -1.66 0.098 -.000018 1.52e-06
exptjuta2 | 3.20e-12 2.45e-12 1.30 0.193 -1.61e-12 8.01e-12
_cons | 32.10116 2.519311 12.74 0.000 27.1634 37.03892
-------------+----------------------------------------------------------------
sigma_u | 7.5764403
sigma_e | 3.0725978
rho | .85876137 (fraction of variance due to u_i)
------------------------------------------------------------------------------
134 Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Statis
Note: the rank of the differenced variance matrix (1) does not equal the number of coefficients being tested (4); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale.
---- Coefficients ----
| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B))
| random fixed Difference S.E.
-------------+----------------------------------------------------------------
ginit | -16.10561 -12.67615 -3.42946 1.409974
yt | -6.71e-07 -5.56e-06 4.89e-06 .
exptjuta | -8.25e-06 -5.83e-06 -2.42e-06 .
exptjuta2 | 3.20e-12 3.51e-12 -3.17e-13 4.78e-13
------------------------------------------------------------------------------
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg
B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg
Test: Ho: difference in coefficients not systematic
chi2(1) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)
= 5.92
Prob>chi2 = 0.0150
(V_b-V_B is not positive definite)
135 Hasil Estimasi Model Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Panel Dinamis
Dengan Indeks Gini note: ginit dropped because of collinearity
System dynamic panel-data estimation Number of obs = 164
Group variable: kab1 Number of groups = 82
Time variable: tahun
Obs per group: min = 2
avg = 2
max = 2
Number of instruments = 3 Wald chi2(2) = 68.29
Prob > chi2 = 0.0000
One-step results
------------------------------------------------------------------------------
pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
pot |
L1. | (dropped)
yt | 6.14e-06 1.26e-06 4.87 0.000 3.67e-06 8.61e-06
ginit | (dropped)
exptjuta | -7.83e-06 .0000137 -0.57 0.569 -.0000348 .0000191
exptjuta2 | -1.95e-11 1.10e-11 -1.78 0.075 -4.09e-11 1.98e-12
------------------------------------------------------------------------------
Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).pot L(2/.).yt L(2/.).ginit
Standard: D.exptjuta D.exptjuta2 D.ginit
Instruments for level equation
GMM-type: LD.pot LD.yt LD.ginit . estat abond
artests not computed for one-step system estimator with vce(gmm)
cannot calculate AR tests with dropped variables
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
cannot calculate test with dropped variables
+-----------------------+
|Order | z Prob > z|
|------+----------------|
+-----------------------+
H0: no autocorrelation
. estat sargan
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
cannot calculate Sargan test with dropped variables
chi2(0) = . Prob > chi2 = . TIDAK ADA KEPUTUSAN
136 Tanpa Indeks Gini
note: exptjuta dropped because of collinearity
note: exptjuta2 dropped because of collinearity
System dynamic panel-data estimation Number of obs = 164
Group variable: kab1 Number of groups = 82
Time variable: tahun
Obs per group: min = 2
avg = 2
max = 2
Number of instruments = 6 Wald chi2(3) = 219.80
Prob > chi2 = 0.0000
One-step results
------------------------------------------------------------------------------
pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
pot |
L1. | 1.056407 .2064859 5.12 0.000 .651702 1.461112
exptjuta | -.0000328 .000019 -1.72 0.085 -.0000701 4.52e-06
exptjuta2 | 2.68e-11 1.22e-11 2.19 0.029 2.81e-12 5.08e-11
yt | 1.36e-06 5.79e-07 2.34 0.019 2.22e-07 2.49e-06
------------------------------------------------------------------------------
Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).pot L(1/.).exptjuta L(1/.).exptjuta2 L(2/.).yt
Standard: D.exptjuta D.exptjuta2
Instruments for level equation
GMM-type: LD.pot D.exptjuta D.exptjuta2 LD.yt
Uji Sargan (Overidentifcation test) dan Uji Autokorelasi Panel Dinamis
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(2) = 2.805557
Prob > chi2 = 0.2459
137 Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total Terhadap Persentase Penduduk Miskin dengan model Instrumental Variable (Instrumen Pertumbuhan-Random Effect Model)
G2SLS random-effects IV regression Number of obs = 246
Group variable: kab1 Number of groups = 82
R-sq: within = 0.2088 Obs per group: min = 3
between = 0.0167 avg = 3.0
overall = 0.0203 max = 3
Wald chi2(4) = 21.54
corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0002
------------------------------------------------------------------------------
pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
yt | -1.80e-06 6.50e-07 -2.77 0.006 -3.08e-06 -5.29e-07
ginit | -15.40703 6.086697 -2.53 0.011 -27.33674 -3.477324
exptjuta | -3.97e-06 5.55e-06 -0.72 0.474 -.0000148 6.90e-06
exptjuta2 | 2.56e-12 2.61e-12 0.98 0.325 -2.55e-12 7.67e-12
_cons | 35.6429 3.301142 10.80 0.000 29.17278 42.11302
-------------+----------------------------------------------------------------
sigma_u | 7.6868292
sigma_e | 3.3877403
rho | .83735668 (fraction of variance due to u_i)
------------------------------------------------------------------------------
Instrumented: yt
Instruments: ginit exptjuta exptjuta2 inft_1 popt p2ipdt p2ipdt2 dwil
------------------------------------------------------------------------------
138 Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total Terhadap Persentase Penduduk Miskin dengan model Instrumental Variable (Instrumen Pertumbuhan-Fixed Effect Model)
Fixed-effects (within) IV regression Number of obs = 246
Group variable: kab1 Number of groups = 82
R-sq: within = 0.0997 Obs per group: min = 3
between = 0.0267 avg = 3.0
overall = 0.0268 max = 3
Wald chi2(4) = 2442.04
corr(u_i, Xb) = -0.9748 Prob > chi2 = 0.0000
------------------------------------------------------------------------------
pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
yt | -.000012 1.96e-06 -6.14 0.000 -.0000159 -8.19e-06
ginit | -6.19999 6.310884 -0.98 0.326 -18.56909 6.169114
exptjuta | 5.16e-06 6.45e-06 0.80 0.424 -7.49e-06 .0000178
exptjuta2 | 1.41e-12 2.70e-12 0.52 0.603 -3.89e-12 6.70e-12
_cons | 81.29728 8.320286 9.77 0.000 64.98982 97.60475
-------------+----------------------------------------------------------------
sigma_u | 38.235673
sigma_e | 3.3877403
rho | .99221091 (fraction of variance due to u_i)
------------------------------------------------------------------------------
F test that all u_i=0: F(81,160) = 17.86 Prob > F = 0.0000
------------------------------------------------------------------------------
Instrumented: yt
Instruments: ginit exptjuta exptjuta2 inft_1 popt p2ipdt p2ipdt2 dwil
------------------------------------------------------------------------------
139 Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Instrumental Variable
Note: the rank of the differenced variance matrix (1) does not equal the number of coefficients being tested (4); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale.
---- Coefficients ----
| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B))
| fixed random Difference S.E.
-------------+----------------------------------------------------------------
yt | -.000012 -1.80e-06 -.0000102 1.85e-06
ginit | -6.19999 -15.40703 9.207042 1.667143
exptjuta | 5.16e-06 -3.97e-06 9.13e-06 3.29e-06
exptjuta2 | 1.41e-12 2.56e-12 -1.16e-12 7.09e-13
------------------------------------------------------------------------------
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtivreg
B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtivreg
Test: Ho: difference in coefficients not systematic
chi2(1) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)
= 30.50
Prob>chi2 = 0.0000 FIXED EFFECT
(V_b-V_B is not positive definite)
.
140 Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan P2IPDT per jenis Bantuan Terhadap Persentase Penduduk Miskin dengan model Instrumental Variable (Instrumen PertumbuhanRandom Effect Model)
G2SLS random-effects IV regression Number of obs = 246
Group variable: kab1 Number of groups = 82
R-sq: within = 0.2096 Obs per group: min = 3
between = 0.0165 avg = 3.0
overall = 0.0201 max = 3
Wald chi2(4) = 21.74
corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0002
------------------------------------------------------------------------------
pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
yt | -1.79e-06 6.63e-07 -2.70 0.007 -3.09e-06 -4.94e-07
ginit | -15.48396 6.031353 -2.57 0.010 -27.3052 -3.66273
exptjuta | -4.26e-06 5.52e-06 -0.77 0.441 -.0000151 6.57e-06
exptjuta2 | 2.64e-12 2.59e-12 1.02 0.308 -2.43e-12 7.70e-12
_cons | 35.74867 3.332908 10.73 0.000 29.21629 42.28105
-------------+----------------------------------------------------------------
sigma_u | 7.7949252
sigma_e | 3.3541729
rho | .84376798 (fraction of variance due to u_i)
------------------------------------------------------------------------------
Instrumented: yt Instruments: ginit exptjuta exptjuta2 inft_1 popt dwil dtransp denergi dinfotel dsos dekon
------------------------------------------------------------------------------
141 Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan P2IPDT per jenis Bantuan Terhadap Persentase Penduduk Miskin dengan model Instrumental Variable (Instrumen Pertumbuhan- Fixed Effect Model)
Fixed-effects (within) IV regression Number of obs = 246
Group variable: kab1 Number of groups = 82
R-sq: within = 0.1175 Obs per group: min = 3
between = 0.0266 avg = 3.0
overall = 0.0267 max = 3
Wald chi2(4) = 2490.41
corr(u_i, Xb) = -0.9733 Prob > chi2 = 0.0000
------------------------------------------------------------------------------
pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
yt | -.0000117 1.90e-06 -6.14 0.000 -.0000154 -7.94e-06
ginit | -6.570526 6.235724 -1.05 0.292 -18.79232 5.651267
exptjuta | 4.53e-06 6.35e-06 0.71 0.476 -7.92e-06 .000017
exptjuta2 | 1.53e-12 2.67e-12 0.57 0.568 -3.71e-12 6.76e-12
_cons | 79.78706 8.077319 9.88 0.000 63.95581 95.61832
-------------+----------------------------------------------------------------
sigma_u | 37.0912
sigma_e | 3.3541729
rho | .99188867 (fraction of variance due to u_i)
------------------------------------------------------------------------------
F test that all u_i=0: F(81,160) = 18.21 Prob > F = 0.0000
------------------------------------------------------------------------------
Instrumented: yt Instruments: ginit exptjuta exptjuta2 inft_1 popt dwil dtransp denergi dinfotel dsos dekon
------------------------------------------------------------------------------
142 Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Instrumental Variable
Note: the rank of the differenced variance matrix (1) does not equal the number of coefficients being tested (4); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale.
---- Coefficients ----
| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B))
| fixed random Difference S.E.
-------------+----------------------------------------------------------------
yt | -.0000117 -1.79e-06 -9.87e-06 1.78e-06
ginit | -6.570526 -15.48396 8.913438 1.58336
exptjuta | 4.53e-06 -4.26e-06 8.79e-06 3.13e-06
exptjuta2 | 1.53e-12 2.64e-12 -1.11e-12 6.71e-13
------------------------------------------------------------------------------
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtivreg
B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtivreg
Test: Ho: difference in coefficients not systematic
chi2(1) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)
= 31.69
Prob>chi2 = 0.0000
(V_b-V_B is not positive definite)
.