170
ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PENURUNAN KEMISKINAN DI KABUPATEN TERTINGGAL PERWITA SARI NRP. H 151090294 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur ... · 40,39%) dan masih tingginya rata-rata persentase jumlah penduduk miskin di daerah tertinggal (sebesar 17,47% pada tahun

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMBANGUNAN

INFRASTRUKTUR TERHADAP PENURUNAN KEMISKINAN DI KABUPATEN

TERTINGGAL

PERWITA SARI NRP. H 151090294

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011

Perwita Sari NRP : H 151090294

Halaman ini sengaja dikosongkan

ABSTRACT

PERWITA SARI. Impact Analysis of Infrastructure Development Program to Reduce Poverty on Underdeveloped Region. Under direction of NUNUNG NURYARTONO and LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Raising up welfare and reducing poverty are some of the government goals in

underdeveloped region. Therefore the ministry of underdeveloped region accelerate these by implementing P2IPDT, which is an infrastructure development program in underdeveloped region. The purpose of this study is to analyse the impact of this programs on the economy, inequality and poverty reduction. Using dynamic panel data model, the result shows that P2IPDT has significant and positive impact to per capita GDRP in the medium and long run. However, increased of per capita GDRP is not only comes from increased of P2IPDT but also from increased of inequality. Therefore this condition makes the economy unable to reduce poverty on underdeveloped region.

Keywords: P2IPDT, economy, inequality, poverty, dynamic panel data model

Halaman ini sengaja dikosongkan

RINGKASAN

PERWITA SARI. Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan” (Kementrian Keuangan, 2011). Visi pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan. Salah satunya adalah penerapan program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). Kebijakan tersebut dilakukan mengingat masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori sebagai daerah tertinggal di Indonesia (183 kabupaten atau sekitar 40,39%) dan masih tingginya rata-rata persentase jumlah penduduk miskin di daerah tertinggal (sebesar 17,47% pada tahun 2009).

Angka kemiskinan yang tinggi di kabupaten tertinggal ini ternyata diikuti oleh kinerja perekonomian yang buruk. Data empiris menunjukkan bahwa pada tahun 2009, rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KBI hanya sebesar Rp Rp 1.997,05 juta atau sekitar 42,23 persen dari rata-rata nasional, sedangkan rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KTI hanya sebesar Rp 1.189,09 juta atau sekitar 25,14 persen dari rata-rata nasional. Perbedaan yang cukup signifikan dari rata-rata output, baik di wilayah KBI maupun KTI dengan rata-rata nasional ini mengindikasikan bahwa di Indonesia masih terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi yang cukup besar. Ketimpangan pembangunan ekonomi tersebut juga diikuti dengan ketimpangan pendapatan rumahtangga. Pada Tahun 2008, angka gini rasio Indonesia adalah sebesar 0,37 dimana menurut Todaro dan Smith (2006) angka ini sudah tidak lagi mencerminkan pendapatan masyarakat yang relatif merata.

Pemerintah dalam hal ini Kementrian PDT, telah berupaya memberikan bantuan stimulus untuk pembangunan infrastruktur daerah tertinggal. Pada Tahun 2007 Kementrian PDT mengucurkan dana untuk program P2IPDT sebesar Rp 105,37 milyar dan pada Tahun 2008 naik lebih dari dua kali lipat menjadi sebesar Rp 274,82 milyar. Upaya mendorong perekonomian kabupaten tertinggal melalui peningkatan infrastruktur sejalan dengan penelitian-penelitian empiris sebelumnya (Aschauer 1989, Munnel 1992, Canning dan Pedroni 1999, Perkins, et al 2005, Seetanah, et al 2009, Prasetyo 2010). Sarana dan prasarana infrastruktur dibutuhkan tidak hanya oleh rumah tangga namun juga oleh dunia usaha, melalui peningkatan infrastruktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mendorong perekonomian. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh program pembangunan infrastruktur dan kaitannya terhadap perekonomian, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di kabupaten tertinggal.

Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada 82 kabupaten yang termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal yang ditetapkan oleh Kementrian PDT Tahun 2005. Pemilihan 82 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan pada pertimbangan ketersediaan data, dimana 82 kabupaten yang terpilih tersebut mendapatkan dana bantuan P2IPDT secara kontinu setiap tahunnya.

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang dihimpun dari Kementrian PDT dan Badan Pusat Statistik (BPS), periode 2007-2009. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrik. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum dan sesudah implementasi program P2IPDT. Analisis ekonometrik digunakan untuk melihat pengaruh infrastruktur terhadap perekonomian dan kemiskinan. Beberapa metode ekonometrik yang digunakan diantaranya metode data panel statis, data panel dinamis dan panel instrumental variable. Penggunaan berbagai metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan, robustness model, serta validitas di antara berbagai metode estimasi yang digunakan.

Analisis deskriptif menunjukkan bahwa dinamika pertumbuhan di kabupaten tertinggal pada kurun waktu 2006 (sebelum implementasi P2IPDT) dan 2009 (setelah implementasi P2IPDT) membaik, tercermin dari adanya peningkatan rata-rata PDRB atas dasar harga konstan. Dinamika ketimpangan menunjukkan angka yang meningkat (semakin timpang) pada kurun waktu yang sama, sedangkan dinamika kemiskinan membaik yang ditunjukkan dengan adanya penurunan rata-rata persentase kemiskinan. Program P2IPDT dilaksanakan pada kurun waktu 2007-2009 pada 5 bidang infrastruktur yaitu transportasi, energi, informasi dan telekomunikasi, ekonomi dan sosial. Infrastruktur energi merupakan infrastruktur yang diprioritaskan oleh Kementrian PDT, dimana infrastruktur energi merupakan jenis infrastruktur dengan cakupan kabupaten penerima bantuan dan nilai proporsi bantuan yang terbesar tiap tahunnya.

Hasil estimasi total bantuan menunjukkan bahwa variabel yang nyata secara statistik terhadap perekonomian kabupaten tertinggal (didekati dengan nilai PDRB per kapita) adalah PDRB per kapita tahun sebelumnya, bantuan stimulus infrastruktur, inflasi tahun sebelumnya dan gini rasio. Variabel populasi penduduk ternyata tidak signifikan memengaruhi perekonomian kabupaten tertinggal. Bantuan stimulus infrastruktur nyata positif memengaruhi perekonomian dalam jangka panjang, sedangkan untuk variabel indeks gini dan inflasi juga menunjukkan arah yang positif. Sementara, hasil estimasi pengaruh perekonomian terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa variabel yang nyata memengaruhi tingkat kemiskinan adalah tingkat kemiskinan tahun sebelumnya, PDRB per kapita dan pengeluaran pemerintah. Variabel PDRB perkapita nyata positif memengaruhi tingkat kemiskinan sedangkan variabel pengeluaran nyata negatif memengaruhi penurunan kemiskinan. Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan investasi infrastruktur P2IPDT dan kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan menyebabkan kenaikan PDRB per kapita di kabupaten tertinggal. Hal ini menyebabkan kondisi tersebut belum mampu menurunkan persentase penduduk miskin di kabupaten tertinggal.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis

dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

Halaman ini sengaja dikosongkan

ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PENURUNAN

KEMISKINAN DI KABUPATEN TERTINGGAL

PERWITA SARI NRP. H 151090294

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

Judul Penelitian : Analisis Pengaruh Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal

Nama : Perwita Sari

NRP : H 151090294

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Ketua Anggota

Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si

Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc.Agr

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ali Said, MA

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ali Said, MA atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr. selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Rasa terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis selama ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Bapak dan Ibu yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan.

Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman pada Direktorat Diseminasi Statistik, khususnya kepada Ir. Agoes Subeno, M.Si yang telah membantu memberi dukungan dalam proses perkuliahan hingga dalam penyelesaian tesis ini.

Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.

Bogor, Mei 2011

Perwita Sari

Halaman ini sengaja dikosongkan

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Perwita Sari lahir pada tanggal 6 Februari 1980, di Jakarta. Penulis merupakan anak keenam dari delapan bersaudara, dari pasangan Bapak Drs. Sukidjo Hardjo Utomo dan Ibu K.T. Wahyuni. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Ulujami 02 Pagi, Jakarta pada tahun 1992, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMPN Negeri 56 Melawai, Jakarta pada tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 70 Bulungan, Jakarta dan lulus pada tahun 1998.

Setelah menamatkan pendidikan di tingkat SMU, pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2002 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Kemudian bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur selama lebih kurang 1,5 tahun, pada tahun 2004 penulis dipindahtugaskan ke Badan Pusat Statistik Kabupaten Merauke, Provinsi Papua dan sejak tahun 2009 hingga sekarang penulis bertugas di Direktorat Diseminasi Statistik, BPS, Jakarta.

Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor setelah sebelumnya mengikuti program alih jenjang pada perguruan tinggi yang sama. Program Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor ini merupakan kerja sama BPS dan IPB.

xvii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .....................................................................................

DARTAR GAMBAR ................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

xx

xxi

xxiii

I.

II.

PENDAHULUAN ...........................................................................

1.1. Latar Belakang .........................................................................

1.2. Perumusan Masalah ..................................................................

1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................

1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ......

2.1. Kerangka Teori ..........................................................................

2.1.1. Konsep Kemiskinan ......................................................

2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi .................................................

2.1.3. Konsep Ketimpangan Pendapatan ................................

2.1.4. Konsep Infrastruktur .....................................................

2.1.5. Strategi Pengentasan Kemiskinan di Daerah Tertinggal

2.1.6. Konsep dan Kriteria Kabupaten Tertinggal ..................

2.1.7. Operasionalisasi Kebijakan Kabupaten Tertinggal .......

2.1.8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal .........................................................

2.1.9. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kemiskinan .........

2.1.10. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................

2.1.11. Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan .........................

2.1.12. Pengaruh Investasi Infrastruktur ...................................

2.2. Kerangka Pemikiran ................................................................

2.3. Hipotesis Penelitian ..................................................................

1

1

7

8

9

9

11

11

11

14

18

21

22

23

25

27

28

30

31

32

34

36

xviii

III.

IV.

V.

METODE PENELITIAN ..............................................................

3.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................

3.2. Metode Analisis ........................................................................

3.2.1. Analisis Deskriptif .......................................................

3.2.2. Analisis Pengaruh Bantuan Stimulus Infrastruktur terhadap Perekonomian, Ketimpangan dan Penurunan Kemiskinan ................................................................. 3.2.2.1. Analisis Data Panel ........................................

3.2.2.2. Pengaruh Infrastruktur, Ketimpangan Pendapatan terhadap Perekonomian …….…

3.2.2.3. Pengaruh Peningkatan Perekonomian terhadap Kemiskinan ………………………..

3.2.3. Uji Spesifikasi Model ..................................................

3.2.4. Definisi Operasional ....................................................

KERAGAAN DAN DINAMIKA KABUPATEN TERTINGGAL SERTA UPAYA PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KABUPATEN TERTINGGAL ……………………………...................................

4.1. Keragaan Kabupaten Tertinggal .............................................

4.1.1. Keragaan Kabupaten Tertinggal Kawasan Barat

Indonesia ......................................................................

4.1.2. Keragaan Kabupaten Tertinggal Kawasan Timur

Indonesia ......................................................................

4.2. Dinamika Kabupaten Tertinggal ............................................

4.2.1. Dinamika Pertumbuhan ................................................

4.2.2. Dinamika Ketimpangan ...............................................

4.2.3. Dinamika Kemiskinan ..................................................

4.3. Bantuan Stimulus Infrastruktur ..............................................

ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL ...............................................................................

5.1. Hasil Estimasi ...........................................................................

37

37

37

37

38

38

44

49

51

52

53

53

55

57

58

58

61

64

70

81

81

xix

VI.

VII.

5.1.1. Analisis Pengaruh Bantuan Infrastruktur terhadap Perekonomian Kabupaten Tertinggal .............................

5.1.2. Analisis Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal .............................

5.2. Uji Spesifikasi Model Panel Data Dinamis ..............................

KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................

6.1. Kesimpulan ...............................................................................

6.2. Implikasi Kebijakan ..................................................................

6.3. Saran .........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................

83

89

91

93

93

94

96

97

xx

DAFTAR TABEL

Nomor

Hal

1.1.

Jumlah Bantuan Stimulus P2IPDT Kabupaten Tertinggal di Indonesia, Tahun 2007 dan 2008 (Juta Rupiah)

6

4.1. Cakupan Kabupaten Penerima P2IPDT dan Proporsi Nilai Bantuan P2IPDT per jenis Bantuan di Kabupaten Tertinggal, Tahun 2007-2009

78

5.1. Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan P2IPDT (Total dan per Jenis Bantuan) menggunakan Panel Data Statis dan Dinamis

84

5.2. Hasil Estimasi Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Menggunakan Metode Panel Statis, Panel Dinamis dan Panel Instrumental Variabel

90

xxi

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Hal

1.1. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Maju dan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2008

2

1.2. Perbandingan Rata-Rata PDRB Kabupaten Tertinggal di Wilayah KBI dan KTI dengan Rata-Rata PDRB Nasional

3

1.3. Perkembangan Indeks Gini di Indonesia, Tahun 2002-2008

4

2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle

19

2.2. Kurva Lorenz

21

2.3. Skenario Pembangunan Daerah Tertinggal

23

2.4. Mekanisme Transmisi dari Investasi Publik

33

2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian

35

4.1. Perbandingan Persentase Kabupaten Tertinggal KBI, KTI dan Nasional, Tahun 2005 dan 2010

54

4.2. Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KBI menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010

56

4.3. Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KTI menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010

57

4.4. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

59

4.5. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

60

4.6. Perbandingan Angka Indeks Gini Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

62

4.7. Perbandingan Angka Indeks Gini Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

63

xxii

4.8. Rata-Rata Penurunan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009

65

4.9. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

66

4.10. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

67

4.11. Perbandingan Pertumbuhan Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT), menurut Provinsi Tahun 2006-2009

71

4.12. Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT) di KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

72

4.13. Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT) di KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

73

5.1. Growth Incidence Curve Kabupaten Tertinggal di Indonesia, Tahun 2008-2009

86

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Hal

1.

Perkembangan Rata-rata Garis Kemiskinan Kabupaten Tertinggal menurut Provinsi, Tahun 2006-2009

104

2.

Daftar 183 Kabupaten Tertinggal di Indonesia

105

3.

Jumlah dan Persentase Kabupaten Tertinggal menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010

111

4.

Dinamika PDRB atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009

112

5.

Dinamika Ketimpangan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009

113

6.

Dinamika Kemiskinan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009

114

7.

Hasil Analisis Kuadran (Dinamika Pertumbuhan dan Kemiskinan) di Kabupaten Tertinggal

115

8.

Rata-rata Bantuan P2IPDT, Tahun 2007-2009

119

9.

Hasil Output Stata 120

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014

telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah “Terwujudnya

Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan” (Kementrian Keuangan,

2011). Visi pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah

dalam mengambil berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut antara lain

adalah percepatan pembangunan daerah tertinggal dalam rangka penanggulangan

kemiskinan. Upaya melaksanakan kebijakan tersebut adalah dengan membentuk

Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (Kementrian PDT) yang dalam Perpres

No. 9 tahun 2005 memiliki tugas pokok dan fungsi membantu Presiden dalam

merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal.

Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal dilakukan mengingat

masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori sebagai daerah tertinggal, yakni

sebesar 40,39 % (183 kabupaten) dan masih banyaknya penduduk kabupaten

tertinggal yang masuk kategori miskin. Data empiris menunjukkan bahwa pada tahun

2008, masih terdapat lebih dari 34 juta (15,1 %) penduduk Indonesia masih hidup di

bawah garis kemiskinan (BPS, 2008). Dari sejumlah penduduk miskin 66,26 %

berlokasi di wilayah kabupaten yang tergolong maju dan 33,74 % penduduk miskin

berlokasi di wilayah kabupaten tertinggal (Gambar 1.1). Gambar 1.1 juga

memperlihatkan kondisi bahwa pulau dengan persentase jumlah penduduk miskin

yang tinggal di wilayah kabupaten tertinggal terbanyak adalah Pulau Sumatera dan

Jawa yang tercatat memiliki persentase jumlah penduduk miskin di kabupaten

tertinggal masing-masing sebesar 9,39 % dan 8,68 %.

Kenyataan bahwa masih cukup banyaknya penduduk miskin yang berlokasi di

wilayah kabupaten tertinggal ini sangatlah ironis, hal ini menimbulkan dugaan awal

bahwa kemiskinan yang terjadi di kabupaten tertinggal ini dapat dikategorikan

sebagai kemiskinan yang kronis (chronic poverty). Dugaan ini cukup beralasan

mengingat berbagai keterbatasan dan keterbelakangan daerah tertinggal jika

2

dibandingkan dengan daerah lain yang tergolong maju, diantaranya rendahnya

kualitas sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia,

rendahnya kualitas maupun kuantitas infrastruktur, dan letak geografis yang jauh dari

pusat-pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan akses penduduk menjadi terbatas.

Sumber : BPS (2008), diolah

Gambar 1.1. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Maju dan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2008

Kemiskinan di kabupaten tertinggal ini semakin kronis apabila diikuti oleh

rendahnya output maupun pertumbuhan ekonomi wilayah kabupaten tertinggal. Data

empiris menunjukkan bahwa meskipun tiap tahunnya rata-rata produk domestik

regional bruto (PDRB) kabupaten tertinggal baik di wilayah Kawasan Barat

Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) tiap tahunnya mengalami

kenaikan, namun besaran nominalnya masih di bawah capaian rata-rata nasional

(Gambar 1.2.). Gambar 1.2 juga menunjukkan bahwa pada tahun 2009, rata-rata

PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KBI hanya sebesar Rp 1.997,05 juta atau

hanya sekitar 42,23 persen dari rata-rata nasional, sedangkan rata-rata PDRB

kabupaten tertinggal di wilayah KTI hanya sebesar Rp 1.189,09 juta atau sekitar

25,14 persen dari rata-rata nasional. Perbedaan yang cukup signifikan dari rata-rata

Sumatera (9,39%)

Jawa (8,68%)

Bali&NT (5,59%)

Kalimantan

Sulawesi (5,00%)

Maluku (1,34%)

Papua (2,28%)

Kab. Tertinggal33,74%

Kab. Maju66,26%

output ant

Indonesia

antarwilay

Sumber:

Gambar

Ket

pendapata

pendapata

masih cuk

tahun 200

dan Smith

masyaraka

untuk men

meningkat

50100150200250300350400450500

tara wilaya

masih ter

yah.

BPS (2010),

r 1.2. PerbWilay

impangan p

an rumahtan

an masyarak

kup besar d

09, angka in

h (2006) an

at yang rela

ningkat tiap

tkan angka

000000000000000000000

20

ah KBI, KT

rjadi ketimp

, diolah

andingan Ryah KBI da

pembanguna

ngga. Hal in

kat di Indo

dan menunj

ndeks gini In

ngka ini su

atif merata.

p tahunnya

kemiskinan

006

TI dan rata-

pangan pem

Rata-Rata Pan KTI den

an ekonomi

ni terlihat da

onesia, yang

jukkan tren

ndonesia ad

udah tidak

Kondisi ke

a perlu diw

n.

2007KBI KTI

-rata nasion

mbangunan

PDRB Kabngan Rata-

i tersebut ju

ari masih tin

g tercermin

kenaikan u

dalah sebesa

lagi mence

etimpangan

waspadai ter

200Nasiona

nal mengin

n ekonomi

bupaten Te-Rata PDR

uga diikuti d

ngginya ket

n dari angk

untuk period

ar 0,36 dima

erminkan di

yang mem

rkait dengan

08al

dikasikan b

yang cuku

ertinggal diRB Nasional

dengan ketim

timpangan d

ka indeks g

de 2004-20

ana menuru

istribusi pen

miliki kecend

n potensiny

2009

3

bahwa di

up besar

i l

mpangan

distribusi

gini yang

007. Pada

ut Todaro

ndapatan

derungan

ya dalam

4

Sumber: BPS (2009a), diolah Gambar 1.3. Perkembangan Indeks Gini di Indonesia, Tahun 2002-2009

Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal yang bertujuan untuk

mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan

ketimpangan dioperasionalisasikan pada berbagai program bantuan. Hal tersebut

merupakan stimulus bagi daerah tertinggal untuk mendorong peningkatan

pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan adanya pemerataan pendapatan. Salah

satu bantuan stimulus tersebut adalah Program Percepatan Pembangunan

Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilakukan oleh Kementrian

PDT sejak Tahun 2006. Program dan instrumen ini dimaksudkan untuk membantu

kabupaten tertinggal agar dapat menjadi kabupaten yang terbuka dan mampu

berinteraksi dengan “dunia luar” sehingga akses ke berbagai faktor produksi menjadi

semakin mudah untuk dijangkau, yang pada gilirannya dapat membuka peluang

semakin bergeraknya perekonomian kabupaten tertinggal.

Upaya mendorong perekonomian kabupaten tertinggal dan mengentaskannya

dari ketertinggalan yang telah dilakukan Kementrian PDT melalui instrumen P2IPDT

ini sudah cukup tepat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Aziz (1994)

bahwa untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya, terdapat beberapa alternatif

pengembangan suatu daerah. Alternatif tersebut dapat berupa investasi yang langsung

diarahkan pada sektor produktif atau investasi pada bidang social overhead, seperti

0,330,32

0,32

0,34

0,36

0,38

0,37

0,36

0,290,3

0,310,320,330,340,350,360,370,380,39

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

5

pembangunan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan prasarana infrastruktur

lainnya.

Studi terdahulu menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur baik berupa

sarana dan prasarana transportasi, jaringan listrik dan telekomunikasi serta pengadaan

air bersih sangatlah penting dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat di

suatu wilayah (Aschauer,1989; Munnel,1992; Canning dan Pedroni,1999;

Sibarani,2002 dan Prasetyo,2010). Sarana dan prasarana infrastruktur dibutuhkan

tidak hanya oleh rumah tangga namun juga oleh dunia usaha. Sehingga peningkatan

infrastruktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat

pertumbuhan ekonomi. Daerah dengan infrastruktur yang memadai mempunyai

keuntungan yang lebih besar dalam menarik investasi masuk ke daerahnya sehingga

menyebabkan daerah akan menjadi lebih cepat berkembang dibandingkan dengan

daerah yang memiliki infrastruktur yang kurang memadai. Hal ini dikarenakan

terbukanya keterisolasian daerah sehingga akses ke berbagai faktor produksi

dimungkinkan untuk membuka peluang bergeraknya perekonomian daerah.

Pemerintah melalui Kementrian PDT, telah berupaya memberikan bantuan

stimulus untuk pembangunan infrastruktur daerah tertinggal. Tabel 1.1

memperlihatkan bahwa dana yang digulirkan Kementrian PDT untuk percepatan

pembangunan infrastruktur pedesaan daerah tertinggal mengalami kenaikan yang

sangat signifikan. Tercatat pada tahun 2007 Kementrian PDT mengucurkan dana

untuk program P2IPDT sebesar Rp 105,37 milyar dan meningkat lebih dari dua kali

lipat pada tahun 2008, menjadi sebesar Rp 274,82 milyar. Pola sebaran bantuan yang

diberikan cukup sesuai mengingat share bantuan simulus infrastruktur paling besar

diberikan pada daerah yang sejatinya merupakan daerah dengan indeks infrastruktur

yang rendah (Prasetyo, 2010).

6

Tabel 1.1. Jumlah Bantuan Stimulus P2IPDT Kabupaten Tertinggal di Indonesia Tahun 2007 dan 2008 (Juta Rupiah)

Pulau Tahun

2007 2008

Sumatera 29.030,53 82.253,27 (27,55) (29,93)

Jawa 11.949,41 31.219,42 (11,34) (11,36)

Bali dan Nusa Tenggara 10.864,06 34.489,76 (10,31) (12,55)

Kalimantan 4.646,99 25.613,11 (4,41) (9,32)

Sulawesi 27.239,17 55.733,26 (25,85) (20,28)

Maluku 8.566,90 16.269,27 (8,13) (5,92)

Papua 13.076,91 29.240,72 (12,41) (10,64)

Jumlah 105.373,98 274.818,82 (100,00) (100,00)

Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah Cat: Angka dalam kurung menunjukkan nilai proporsi

Kondisi ini mencerminkan bahwa pemerintah memiliki perhatian yang cukup

serius untuk melakukan pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal yang

dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal sehingga

dapat mengurangi kemiskinan melalui percepatan pembangunan infrastruktur. Studi

empirik yang mengkaji mengenai dampak kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan

ekonomi dan penurunan kemiskinan kabupaten tertinggal kiranya perlu dilakukan

untuk mendeskripsikan implementasi bantuan infrastruktur yang telah dilaksanakan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini menganalisis pengaruh program

percepatan pembangunan infrastruktur dalam meningkatkan perekonomian serta

kaitannya dengan ketimpangan pendapatan dan penurunan kemiskinan di kabupaten

tertinggal. Kajian mengenai pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal juga

menjadi relevan untuk diteliti, mengingat pola pembangunan infrastruktur yang

diterapkan haruslah sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan dasar daerah

tertinggal.

7

1.2. Perumusan Masalah

Upaya campur tangan yang dilakukan pemerintah dalam mengurangi

ketertinggalan dan mengurangi jumlah rakyat miskin di kabupaten tertinggal

dilakukan dengan membentuk Kementrian PDT yang tugas, pokok dan fungsinya

adalah membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang

pembangunan daerah tertinggal (Perpres No. 9, Tahun 2005). Upaya yang dilakukan

oleh Kementrian PDT adalah melaksanakan berbagai program bantuan yang

diberikan kepada 183 (seratus delapan puluh tiga) kabupaten yang termasuk kategori

kabupaten tertinggal di Indonesia. Salah satu program yang dilaksanakan Kementrian

PDT adalah Program Pengembangan Sarana dan Prasarana melalui instrumen

Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT).

Program dan instrumen ini bermaksud membantu kabupaten tertinggal agar dapat

menjadi suatu kabupaten yang terbuka dan mampu berinteraksi dengan “dunia luar”

sehingga akses ke berbagai faktor produksi menjadi semakin mudah untuk dijangkau,

yang pada gilirannya dapat membuka peluang semakin bergeraknya perekonomian

kabupaten tertinggal.

Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa program bantuan yang

dilaksanakan Kementrian PDT mampu secara signifikan meningkatkan pertumbuhan

ekonomi kabupaten tertinggal di Kawasan Timur Indonesia (Sari, 2009). Namun

kajian mengenai dampaknya terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan

pendapatan belum banyak dilakukan. Kajian tersebut perlu dilakukan mengingat

keterbatasan anggaran pemerintah (keterbatasan ruang fiskal), sehingga pemerintah

tidak mungkin selamanya mampu memberikan dana bantuan, untuk itu kabupaten

tertinggal harus mampu secara aktif dan mandiri meningkatkan pertumbuhan

ekonominya dengan mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, yang

diukur dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang disertai penurunan angka

kemiskinan dan pemerataan distribusi pendapatan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan studi mengenai dinamika

pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masing-masing

kabupaten tertinggal. Terkait dengan besaran belanja modal pemerintah pusat yang

8

dilaksanakan oleh Kementrian PDT melalui instrumen P2IPDT, perlu dilakukan

kajian apakah instrumen P2IPDT memiliki pengaruh yang signifikan pada

peningkatan perekonomian kabupaten tertinggal. Lebih jauh perlu diteliti pengaruh

peningkatan perekonomian yang dicapai kabupaten tertinggal terhadap kemiskinan

dan ketimpangan pendapatan. Hal ini perlu dilakukan mengingat masih banyaknya

penduduk miskin yang tinggal di kabupaten tertinggal (33,74% dari total jumlah

penduduk miskin di Indonesia). Berdasarkan fakta tersebut, penulis merumuskan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di

kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah

adanya implementasi program P2IPDT?

2. Bagaimana pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal?

3. Bagaimana pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian kabupaten

tertinggal dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perekonomian kabupaten

tertinggal?

4. Bagaimana hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan

ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai antara lain:

1. Menganalisis dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di

kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah

adanya implementasi program P2IPDT.

2. Menganalisis pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal yang saat ini

telah dilakukan oleh Kementrian PDT.

3. Menganalisis pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian kabupaten

tertinggal dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perekonomian kabupaten

tertinggal.

4. Menganalisis hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan

ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal.

9

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian antara lain:

1. Deskripsi mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang

terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT

dan setelah adanya implementasi program P2IPDT diharapkan dapat digunakan

untuk menilai dampak dari adanya program P2IPDT di kabupaten tertinggal,

sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alat evaluasi bagi Kementrian PDT.

2. Analisis pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal diharapkan dapat

memberikan gambaran mengenai pelaksanaan program pembangunan

infrastruktur di daerah tertinggal dan diharapkan dapat memberikan masukan

pada pengambil kebijakan, sehingga dapat lebih meningkatkan dampak positif

dari pelaksanaan kebijakan.

3. Analisis mengenai pengaruh program P2IPDT melalui studi ekonometrik

diharapkan dapat memberikan masukan bagi Kementrian PDT tentang pentingnya

program P2IPDT bagi kesejahteraan masyarakat kabupaten tertinggal.

4. Analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi perekonomian diharapkan

dapat memberikan masukan bagi Kementrian PDT maupun pemangku kebjakan

yang lain untuk lebih memfokuskan kebijakan maupun programnya pada

peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan untuk mendorong

meningkatnya aktifitas ekonomi suatu daerah.

5. Analisis hubungan perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan

pendapatan diharapkan dapat digunakan oleh Kementrian PDT dan pemangku

kebijakan yang lain sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan yang

tidak hanya pro pada pertumbuhan namun juga pro terhadap rakyat miskin.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi tiga hal. Pertama, memberikan deskripsi

dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten

tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya

implementasi program P2IPDT. Kedua, melakukan studi ekonometrik mengenai

10

pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian dan faktor-faktor yang

memengaruhi perekonomian. Ketiga, melakukan studi ekonometrik untuk melihat

hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.

Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada kabupaten tertinggal,

dimana analisis deskriptif yang dilakukan mencakup 199 kabupaten yang

dikategorikan tertinggal oleh Kementrian PDT pada tahun 2005, sedangkan analisis

ekonometrik difokuskan pada 82 kabupaten tertinggal di Indonesia (KBI dan KTI)

yang termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal yang telah ditetapkan oleh

Kementrian PDT. Pemilihan 82 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan pada

kontinuitas dana yang digulirkan oleh Kementrian PDT, dimana 82 kabupaten yang

dipilih merupakan kabupaten yang mendapatkan dana bantuan stimulus infrastruktur

(P2IPDT) secara terus menerus (2007-2009), selain juga mempertimbangkan faktor

ketersediaan data pendukung lainnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Kerangka Teori

2.1.1. Konsep Kemiskinan

Berbagai konsep mengenai kemiskinan dikemukakan oleh para ahli,

diantaranya Bellinger (2007) yang berpendapat bahwa kemiskinan memiliki dua

dimensi yaitu dimensi pendapatan dan nonpendapatan. Kemiskinan dalam dimensi

pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah,

sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan,

ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan. Kemiskinan dari sisi

pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat

dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut.

Todaro dan Smith (2006) berpendapat bahwa kemiskinan absolut adalah

sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk

memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum

tertentu, atau dapat dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan internasional, selain

kemiskinan absolut, beberapa ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator jurang

kemiskinan total yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat

mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis tersebut. Kemiskinan

relatif merupakan ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan,

biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan

nasional, indeks gini merupakan salah satu contoh ukuran kemiskinan relatif.

World Bank (1990) menyatakan bahwa garis kemiskinan berbeda untuk tiap

negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar negara

adalah garis kemiskinan internasional yang menggunakan pendapatan perkapita

sebesar US$ 1 per hari. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing

Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Studi yang dilakukan oleh

Chen dan Ravallion (2008) menyatakan bahwa menurut standar PPP dari

International Comparison Program (ICP) tahun 2005 bahwa garis kemiskinan

internasional sebesar US$ 1 per hari tidak lagi sesuai dengan nilai PPP tahun 2005,

12

untuk itu Chen dan Ravallion menyatakan bahwa garis kemiskinan internasional yang

lebih tepat dengan menggunakan nilai PPP tahun 2005 dari ICP adalah sebesar US$

1,25 per hari.

Badan Pusat Statistik (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi

seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kalori perkapita

per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480

kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada

tahun 2008 sebesar Rp 204,896/kapita/bulan untuk daerah perkotaan dan Rp

161,831/kapita /bulan untuk daerah pedesaan. Garis kemiskinan juga berbeda-beda

untuk tiap daerah tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing daerah.

Perkembangan garis kemiskinan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penghitungan indikator kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat

Statistik (BPS) tidak terbatas pada jumlah dan persentase penduduk miskin, BPS juga

menghitung rasio kedalaman kemiskinan (poverty gap ratio) dan Indeks keparahan

kemiskinan (poverty severity index) dengan menggunakan metode Foster-Greer-

Thorbecke (FGT), yang dirumuskan sebagai:

∑=

−=

q

1i

i

zyz

N1P

α

α (2.1)

dimana:

z = besarnya garis kemiskinan yang ditetapkan.

N = jumlah penduduk.

q = banyaknya penduduk yang di bawah garis kemiskinan.

yi

α = 0,1 dan 2.

= rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di bawah

garis kemiskinan (i = 1, 2, 3, .......q), yi < q.

Jika α = 0 maka diperoleh persentase penduduk miskin (P0); jika α = 1 adalah

rasio kedalaman kemiskinan (P1); dan jika α = 2 adalah Indeks keparahan kemiskinan

(P2). Rasio kedalaman kemiskinan P1 merupakan ukuran rata-rata kesenjangan

pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas kemiskinan. Semakin

13

tinggi nilai P1 berarti semakin besar kesenjangan pengeluaran penduduk miskin

terhadap garis kemiskinan atau menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin

semakin terpuruk. Sedangkan P2

Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS sejak pertama

kali hingga saat ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan kebutuhan

dasar (basic needs). Kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan

dalam memenuhi kebutuhan dasar, dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai

ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun

non makanan yang bersifat mendasar.

sampai batas tertentu dapat memberikan gambaran

mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan dapat juga

digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.

Beberapa ahli yang mendalami masalah kemiskinan membagi ukuran

kemiskinan tidak hanya berdasarkan P1 maupun P2

saja, namun berdasarkan tipe

kemiskinan. Tipe kemiskinan menurut Jalan dan Ravallion (1998) dapat dibedakan

menjadi dua jenis, yaitu chronic poverty dan transient poverty. Kemiskinan kronis

(chronic poverty) dapat diartikan kondisi dimana suatu individu yang tergolong

miskin pada suatu waktu, kemiskinannya terus meningkat dan berada pada tingkat

kesejahteraan yang rendah dalam jangka panjang. Kemiskinan sementara (transient

poverty) dapat diartikan sebagai kondisi dimana kemiskinan yang terjadi pada suatu

waktu hanya merupakan kondisi sementara yang tidak bersifat permanen, yang

dikarenakan penurunan standar hidup individu dalam jangka pendek. Kebijakan yang

berbeda diperlukan dalam menangani kedua tipe kemiskinan. Investasi jangka

panjang untuk orang miskin seperti peningkatan modal fisik maupun modal manusia

merupakan kebijakan yang sesuai untuk menangani kasus chronic poverty,

sedangkan asuransi dan skema stabilisasi pendapatan yang memproteksi rumahtangga

dari guncangan ekonomi (economic shocks) akan menjadi kebijakan yang penting

ketika tipe kemiskinan yang terjadi adalah transient poverty.

14

2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi

Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi keduanya merupakan

fenomena ekonomi yang saling berhubungan. Sampai dengan Tahun 1960, teori

pembangunan ekonomi diperlakukan sebagai perluasan dari teori ekonomi

konvensional dan untuk itu pembangunan dapat dikatakan hampir sama dengan

pertumbuhan (Reungsri, 2010). Hall (1983) menyatakan bahwa pertumbuhan secara

sederhana dapat didefinisikan sebagai peningkatan dalam produksi nasional maupun

pendapatan nasional, namun Seers (1969) berargumen bahwa pembangunan tidak

hanya berarti pertumbuhan, namun juga harus mengikutsertakan aspek sosial seperti

adanya penurunan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran.

Menurut Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu

proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-

menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat

pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Tiga komponen

pertumbuhan ekonomi yang penting bagi setiap masyarakat adalah:

1. Akumulasi modal, dimana akumulasi modal termasuk di dalamnya semua

investasi baru dalam tanah, peralatan fisik dan sumberdaya manusia melalui

perbaikan di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan keja

2. Pertumbuhan jumlah penduduk yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan

angkatan kerja

3. Kemajuan teknologi yang secara luas diartikan sebagai cara baru dalam

menyelesaikan pekerjaan.

Sukirno (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah

perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan

nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase

kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan

pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Pendapatan nasional ini dihitung

berdasarkan jumlah seluruh output barang dan jasa yang dihasilkan oleh

perekonomian suatu negara. Pendapatan nasional atau jumlah seluruh output barang

dan jasa ini dikenal sebagai Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

15

PDB merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output

barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. PDB dapat mengukur

pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena PDB merupakan nilai tambah yang

merupakan refleksi dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara (Mankiw, 2007).

Nilai PDB ini merupakan indikator yang umum digunakan sebagai gambaran tingkat

pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Terdapat dua pendekatan yang lazim digunakan dalam penghitungan PDB,

yaitu pendekatan produksi dan pendekatan pengeluaran. Metode penghitungan PDB

terbagi menjadi dua jenis, yaitu atas dasar harga berlaku yang menghitung nilai

tambah yang dihasilkan dari seluruh kegiatan ekonomi dengan mengalikan total nilai

tambah dengan harga pada tahun berjalan dan atas dasar harga konstan yang dihitung

dengan mengalikan seluruh nilai tambah dari hasil kegiatan ekonomi dengan harga

pada tahun dasar. Data PDB yang digunakan untuk mengukur besaran nilai

pertumbuhan ekonomi adalah PDB atas dasar harga konstan. Nilai PDB pada

dasarnya merupakan penjumlahan dari seluruh nilai Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) dari masing-masing provinsi/kabupaten di suatu negara (BPS, 2005).

Pengaruh peningkatan investasi infrastruktur yang akan diteliti dalam studi

kali ini diukur dengan melakukan pendekatan kuantitatif pada indikator

pembangunan ekonomi. Indikator pembangunan ekonomi diukur melalui nilai Produk

Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDB

maupun PDRB secara umum digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kinerja

perekonomian (Sen, 1988).

Teori Pertumbuhan Harrod Domar

Teori pertumbuhan pertama kali dikemukakan oleh Harod dan Domar, yang

menggunakan model Keynesian untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi dalam

perekonomian tertutup. Teori ini kemudian dikenal lebih luas dengan model

pertumbuhan Harrod-Domar. Model pertumbuhan Harrod-Domar didasarkan pada

tiga asumsi.

16

Pertama, bahwa perekonomian menyebabkan terjadi peningkatan tabungan (S)

dalam proporsi yang konstan (s) terhadap pendapatan nasional (Y):

S=sY (2.3)

dimana s merupakan rasio tabungan baik marginal mapun rata-rata.

Kedua, bahwa perekonomian berada pada keseimbangan, dimana investasi yang

direncanakan sama dengan tabungan yang direncanakan:

I=S (2.4)

Ketiga, bahwa investasi dipengaruhi oleh ekspektasi kenaikan pendapatan nasional

(ΔY) dan koefisien teknis tetap v yang dikenal sebagai Incremental Capital Output

Ratio (ICOR):

I=v ΔY (2.5)

Model pertumbuhan Harrod-Domar kemudian mendefinisikan pertumbuhan

ekonomi (gy

g

) sebagai perubahan pendapatan tiap satu satuan pendapatan:

y

Mensubstitusikan hubungan pada persamaan (2.4) dan (2.5) memberikan definisi

alternatif untuk pertumbuhan sebagai:

= (2.6)

gy

Persamaan (2.7) berimplikasi bahwa jika ketiga asumsi yang mendasari teori ini

terpenuhi, maka perekonomian akan tumbuh pada suatu level yang dipengaruhi oleh

parameter s dan v. Meskipun demikian, paling tidak dalam prakteknya ada dua

asumsi yang tidak mungkin dipegang, yakni bahwa nilai ICOR yang tetap

berimplikasi bahwa terdapat hubungan yang tetap antara jumlah stok kapital dan

output, kedua bahwa input tenaga kerja tidak dimasukkan dalam model, sehingga hal

ini menyebabkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar ini memiliki asumsi

yang lemah.

= (2.7)

Teori Pertumbuhan Solow

Mankiw (2007) menyatakan bahwa model pertumbuhan Solow dirancang

untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan angkatan

17

kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana

pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan.

Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi.

Dengan kata lain, output per pekerja (y) merupakan konsumsi per pekerja (c) dan

investasi per pekerja (i):

y = c + I (2.8)

Model Solow mengasumsikan bahwa setiap tahun orang menabung sebagian s

dari pendapatan mereka dan mengkonsumsi sebagian (1-s), hubungan ini dapat

dinyatakan sebagai:

c = (1-s)y (2.9)

y = (1-s)y + I (2.10)

Meskipun model Solow telah mampu memasukkan tenaga kerja sebagai faktor yang

memengaruhi pertumbuhan, namun model ini gagal menjelaskan bagaimana dan

mengapa kemajuan teknologi terjadi. Romer (1986) kemudian menggagas model

alternatif dengan memasukkan kemajuan teknologi ke dalam model, namun demikian

tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak akan mencapai tingkat pareto

optimal. Model Romer (1986) tersebut kemudian dikenal sebagai teori pertumbuhan

endogen.

Teori Pertumbuhan Endogen

Kelemahan dari teori pertumbuhan neoklasik kemudian memicu

berkembangnya teori pertumbuhan endogen. Paul Romer merupakan salah satu

penggagas teori ini dengan model pertumbuhan endogen yang memasukkan

kemajuan teknologi ke dalam model. Romer dalam Capello (2009) juga menyatakan

bahwa selain kemajuan teknologi, salah satu sumber pertumbuhan adalah berasal dari

eksternalitas yang terjadi akibat adanya akumulasi stok pengetahuan teknis yang

kemudian berkolaborasi dengan modal tetap pada suatu waktu tertentu dalam

mencapai tingkat output tertentu.

18

Robert Lucas juga merupakan ahli ekonomi yang juga merupakan penggagas

teori pertumbuhan endogen. Lucas dalam Capello (2009) menyatakan hal yang sama

dengan apa yang dikemukakan Romer, bahwa modal yang menentukan tingkat output

yang dicapai dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu modal fisik dan modal

manusia. Kombinasi keduanya dalam fungsi produksi dapat meningkatkan tingkat

output tertentu.

Teori pertumbuhan endogen menyatakan bahwa perbaikan dan kemajuan

teknologi dihasilkan dari investasi yang secara langsung menyebabkan pertumbuhan,

sehingga investasi dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang

(Economic Planning Advisory Commission, 1995). Reungsri (2010) juga menyatakan

bahwa investasi merupakan salah satu faktor penting pada model pertumbuhan

endogen, investasi dapat menyebabkan perbaikan pada kapasitas produksi dan

kenaikan laba yang berimplikasi pada adanya pertumbuhan ekonomi. Pada teori

pertumbuhan neoklasik, adanya asumsi “law of diminishing return” membawa pada

argumentasi bahwa investasi tidak mampu memengaruhi pertumbuhan. Namun pada

teori pertumbuhan endogen, meskipun dibawah asumsi “law of diminishing return”

investasi tetap mampu meningkatkan pertumbuhan. Sebagai contoh, adanya

kemajuan teknologi yang didanai dari investasi akan mampu meningkatkan

pertumbuhan ekonomi, selain itu, tenaga kerja ahli yang didapat dari hasil pendidikan

maupun pelatihan juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan

pemikiran tersebut, dalam penelitian ini peranan investasi terutama investasi

infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi didekati dengan menggunakan model

pertumbuhan endogen.

2.1.3. Konsep Ketimpangan Pendapatan

Glaeser (2006) menyatakan ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi

dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan

ditentukan oleh tingkat pembangunan, heterogenitas etnis, ketimpangan juga

berkaitan dengan kediktatoran dan pemerintah yang gagal menghargai property

rights.

19

Bourguignon (2004) menyatakan bahwa ketimpangan merujuk pada adanya

disparitas pendapatan relatif penduduk. Disparitas dalam pendapatan ini didapat

setelah menormalisasi seluruh pengamatan dengan rata-rata populasi sehingga

membuatnya sebagai skala yang independen terhadap pendapatan. Ketimpangan

pendapatan memiliki hubungan yang cukup erat dengan pertumbuhan ekonomi dan

kemiskinan, sehingga dikembangkanlah kerangka konseptual the poverty-growth-

inequality triangle untuk melihat hubungan antara ketiga variabel.

Sumber: Bourguignon (2004)

Gambar 2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle

Ketimpangan pendapatan terjadi apabila sebagian besar penduduk memperoleh

pendapatan yang rendah dan pendapatan yang besar hanya dinikmati oleh sebagian

kecil penduduk. Semakin besar perbedaan pendapatan yang diterima masing-masing

kelompok menunjukkan semakin besarnya ketimpangan. Adanya ketimpangan yang

tinggi antara kelompok kaya dan miskin menurut Todaro dan Smith (2006) akan

menimbulkan setidaknya dua dampak negatif yaitu:

1. Terjadinya inefisiensi ekonomi.

2. Melemahkan stabilitas dan solidaritas sosial.

Kemiskinan absolut dan penurunan kemiskinan

“Strategi Pembangunan”

Distribusi dan Perubahan Distribusi pendapatan

Tingkat pendapatan agregat dan pertumbuhan

20

Terdapat beragam ukuran dalam menilai ketimpangan pendapatan suatu

wilayah. Indeks gini adalah salah satu ukuran dalam mengukur ketimpangan, selain

itu terdapat beberapa ukuran lainnya, antara lain Indeks Theil, kriteria Bank Dunia

dan Indeks Williamson. Indeks gini merupakan ukuran ketimpangan yang paling

sering digunakan. Hal ini disebabkan penghitungan indeks gini yang relatif mudah

dan dapat menggunakan berbagai pendekatan baik pengeluaran atau pendapatan,

sehingga dapat mengukur perbedaan tingkat daya beli masyarakat secara riil.

Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini menggunakan indeks gini dalam mengukur

ketimpangan pendapatan.

Indeks gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang nilainya berkisar antara

nol dan satu. Nilai indeks gini nol artinya tidak ada ketimpangan (pemerataan

sempurna) sedangkan nilai satu artinya ketimpangan sempurna. Ketimpangan

pendapatan dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai ketimpangan rendah,

sedang atau tinggi. Pengelompokkan yang dilakukan sesuai dengan ukuran

ketimpangan yang digunakan. Nilai indeks gini pada negara-negara yang

ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-

negara yang distribusi pendapatanya relatif merata, nilainya antara 0,20 hingga 0,35

(Todaro dan Smith, 2006).

Indeks gini dihitung dengan menggunakan Kurva Lorenz. Indeks gini

dirumuskan sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara Kurva Lorenz dan

garis diagonal (luas bidang A) dengan luas separuh segi empat dimana Kurva Lorenz

berada (luas bidang BCD). Rumusan di ilustrasikan pada gambar 2.2. sebagai berikut:

Indeks gini = Luas bidang A

Luas bidang BCD (2.11)

21

Sumber: Todaro dan Smith (2006)

Gambar 2.2. Kurva Lorenz

2.1.4. Konsep Infrastruktur

Konsep infrastruktur memiliki pengertian yang berbeda-beda menurut sudut

pandang kepentingannya, belum terdapat kesamaan pandangan antar lembaga, negara

dan antar disiplin ilmu mengenai konsep infrastruktur. Dari sisi ekonomi,

infrastruktur dapat dipandang sebagai sumberdaya modal yang digunakan dalam

aktifitas konsumsi, produksi dan investasi. Implikasi atas pengertian ini mendorong

timbulnya klasifikasi infrastruktur menjadi infrastruktur ekonomi dan infrastruktur

sosial (Torrisi dalam Riadi (2010)).

Kodoatie (2003) menyatakan bahwa infrastruktur merupakan pendukung

utama fungsi-fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat, maka infrastruktur secara lebih jelas merupakan fasilitas-fasilitas dan

struktur-struktur fisik yang dibangun guna berfungsinya sistem sosial dan sistem

ekonomi menunjuk pada suatu keberlangsungan dan keberlanjutan aktivitas

masyarakat dimana infrastruktur fisik mewadahi interaksi antara aktivitas manusia

dengan lingkungannya.

22

Hudson, et al. (1997) menyatakan bahwa keberhasilan dan kemajuan

kelompok masyarakat tergantung pada infrastruktur fisik untuk pendistribusian

sumber daya dan pelayanan publik. Kua1itas dan efisiensi infrastruktur

mempengaruhi kualitas hidup kesehatan sistem sosial dan keber1anjutan kegiatan

perekonomian dan bisnis. Grigg (1988) menyatakan bahwa infrastruktur adalah

semua fasilitas fisik yang sering disebut dengan pekerjaan umum.

World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga komponen utama,

yaitu:

1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk

menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (tenaga listrik,

telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi

dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan

sebagainya).

2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi.

3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan

koordinasi.

2.1.5. Strategi Pengentasan Kemiskinan di Daerah Tertinggal

Pemerintah memiliki perhatian yang cukup serius dalam mengembangkan

kabupaten tertinggal. Bukti keseriusan pemerintah dalam hal ini adalah, dengan

dibentuknya Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal yang memiliki tugas

pokok dan fungsi membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi

di bidang pembangunan daerah tertinggal, sesuai Peraturan Presiden Nomor. 09 tahun

2005 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja

Kementerian Negara Republik Indonesia. Tugas pokok dan fungsi ini kemudian

disempurnakan melalui Peraturan Presiden Nomor. 90 tahun 2006, dimana

Kementrian PDT mempunyai penambahan fungsi operasional kebijakan di bidang:

1. Bantuan infrastruktur pedesaan

2. Pengembangan ekonomi Lokal

3. Pemberdayaan Masyarakat.

23

Perhatian pemerintah pada kabupaten tertinggal tidak hanya pada pengentasan

kabupaten-kabupaten tertinggal, namun juga berupaya untuk mengurangi jumlah

penduduk miskin di kabupaten tertinggal. Hal ini sejalan dengan tema Rencana Kerja

Pemerintah (RKP) 2009 yakni peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengurangan

kemiskinan. Tema RKP tersebut tertuang pada skenario pembangunan daerah

tertinggal yang dilaksanakan oleh Kementrian PDT (Gambar 2.3).

Sumber: Kementrian PDT (2008)

Gambar 2.3. Skenario Pembangunan Daerah Tertinggal

2.1.6. Konsep dan Kriteria Kabupaten Tertinggal

Konsep dan kriteria kabupaten tertinggal tertuang dalam Keputusan Menteri

Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor. 001/KEP/M-PDT/I/2005. Dalam

Keputusan Menteri tersebut kabupaten tertinggal adalah daerah kabupaten yang

relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional dan

berpenduduk yang relatif tertinggal. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah

tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain:

Kondisi

• Tahun 2004 199 kabupaten tertinggal

• Awal Tahun 2008 28 kabupaten terentaskan (perlu dibina sampai tahun 2009)

Upaya-Upaya

• Kerangka Regulasi Rancangan Inpres

PPDT Rancangan UU PPDT Stranas PPDT RAN PPDT RAD PPDT

• Kerangka Anggaran Mainstreaming DAK per Bidang DAK SPP-DT

Kondisi yang Diharapkan Tahun 2009

• 40 kabupaten terentaskan • Meningkatnya pendapatan

masyarakat • Berkurangnya penduduk

miskin • Tercapainya rehabilitasi

daerah pasca konflik dan bencana

Kendala

Antara lain belum optimalnya koordinasi, sinkronisasi dan sinergitas kegiatan

Tema RKP 2009

Peningkatan Kesejahteeraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan

24

a. Geografis

Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau karena

letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir dan

pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit

dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi.

b. Sumberdaya alam

Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi sumberdaya alam, daerah yang

memiliki sumberdaya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan

daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi dan daerah tertinggal akibat

pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan.

c. Sumberdaya Manusia

Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan,

pengetahuan dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan atau

institusi yang belum berkembang.

d. Prasarana dan Sarana

Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi,

kesehatan, penddikan dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di

daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan utuk melakukan aktivitas ekonomi

dan sosial.

e. Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial

Seringnya suatu daerah mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat

menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi

f. Kebijakan Pembangunan

Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa kebijakan yang

tidak tepat seperti kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal,

kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan serta tidak dilibatkannya

kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan.

25

Sebaran daerah tertinggal secara geografis digolongkan menjadi beberapa

kelompok, antara lain:

a. Daerah yang terletak di wilayah pedalaman, tepi hutan, dan pegunungan yang

pada umumnya tidak atau belum memiliki akses ke daerah lain yang relatif lebih

maju

b. Daerah yang terletak di pulau-pulau kecil, gugusan pulau yang berpenduduk dan

memiliki kesulitan akses ke daerah lain yang lebih maju

c. Daerah yang secara administratif sebagian atau seluruhnya terletak di perbatasan

antarnegara baik batas darat maupun laut

d. Daerah yang terletak di wilayah rawan bencana alam baik gempa, longsor,

gunung api, maupun banjir.

e. Daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir.

Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan

pendekatan berdasarkan pada perhitungan 6 kriteria dasar yaitu: perekonomian

masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan

lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah. Berdasarkan pendekatan

tersebut, maka dalam Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, ditetapkan

183 kabupaten yang dikategorikan kabupaten tertinggal. Daftar kabupaten tertinggal

tersaji pada Lampiran 2.

2.1.7. Operasionalisasi Kebijakan Pembangunan Kabupaten Tertinggal

Upaya pengentasan kabupaten tertinggal dilakukan dengan

mengimplementasikan kebijakan pembangunan daerah tertinggal secara terpadu dan

tepat sasaran serta tepat kegiatan, maka KPDT melaksanakan program prioritas yang

diarahkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh

semua daerah tertinggal ke dalam bidang-bidang kegiatan, antara lain:

a. Bidang Pembangunan Infrastruktur Pedesaan dengan melaksanakan program

Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT)

yang dilakukan dengan melakukan penyediaan sarana dan prasarana transportasi

26

dan komunikasi, pelayanan sosial dasar dan pemberdayaan masyarakat adat

terasing.

b. Bidang Pemberdayaan Masyarakat dengan melaksanakan tiga program yaitu:

1. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) yang

dilakukan dengan menyediakan “block grant” untuk mendukung

pengembangan ekonomi lokal, penyediaan sarana dan prasarana lokal dan

pemberdayaan masyarakat serta peningkatan kapasitas pemerintah daerah,

dunia usaha dan masyarakat.

2. Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT) yang

dilakukan melalui manajemen marketing dan regional, pengembangan sistem

distribusi barang dan jasa, pelayanan informasi, maupun pengembangan

jaringan prasarana antar wilayah (transportasi dan komunikasi)

3. Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP) yang dilakukan

melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi/komunikasi,

pengembangan ekonomi lokal, pelayanan sosial dasar dan pelayanan lintas

batas

c. Bidang Pengembangan Ekonomi Lokal dengan melaksanakan dua program

prioritas yaitu:

1. Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT)

yang dilakukan melalui penyiapan lahan dan investasi dalam kegiatan usaha

di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan,

pertambangan rakyat, pariwisata berikut industri pengolahan dan pendukung

yang dikelola secara kemitraan antara pemerintah, dunia usaha dan

masyarakat

2. Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan (P4DT) yang dilakukan melalui

pembangunan pusat pelayanan jasa dan distribusi/kota penyangga, termasuk

kawasan industri terpadu dan kawasan perdagangan bebas atau kawasan

ekonomi khusus.

27

2.1.8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) Instrumen Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal

(P2IPDT) dilaksanakan di bawah tanggung jawab Deputi Bidang Peningkatan

Infrastruktur Kementrian PDT. Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur selain

sebagai penanggungjawab instrumen, juga melaksanakan fungsi operasionalisasi

kebijakan di bidang infrastruktur pedesaan. P2IPDT dicanangkan dan dilaksanakan di

kabupaten tertinggal sebagi solusi mengatasi ketimpangan infrastruktur.

Instrumen ini merupakan salah satu bentuk kegiatan pokok dari pemerintah

kepada daerah tertinggal di bidang pembangunan infrastruktur pedesaan dan menjadi

stimulan kegiatan pendukung atau pendorong dan pemicu pembangunan infrastruktur

daerah melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi, informasi dan

telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi, dalam membentuk bantuan sosial,

dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, bagi terciptanya pertumbuhan

ekonomi lokal. Bantuan stimulan bersifat komplementer dan integral terhadap sektor

terkait dan dengan program daerah yang bersangkutan.

Instrumen P2IPDT dilaksanakan pada kabupaten tertinggal, dengan tujuan

antara lain:

a. Sebagai bahan dari implementasi kebijakan pengembangan infrastruktur pedesaan

dalam bidang transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan

energi di daerah tertinggal yang dapat difasilitasi oleh Kementrian PDT.

b. Merupakan upaya Kementrian PDT dalam mengurangi keterisolasian daerah

tertinggal agar menjadi daerah maju yang setara dengan daerah lainnya.

c. Memberikan arah dan panduan teknis terhadap pelaksanaan program P2IPDT di

daerah tertinggal.

d. Menjamin terlaksananya koordinasi pusat dan kabupaten dalam pelaksanaan

bantuan stimulan infrastruktur pedesaan.

Ruang lingkup dari instrumen P2IPDT pada dasarnya adalah melaksanakan kegiatan

mulai dari perencanaan, pelaksanaan koordinasi, pemantauan, pengawasan,

pelaksanaan koordinasi dan pelaporan yang meliputi:

28

a. Bantuan peningkatan infrastruktur transportasi

b. Bantuan peningkatan infrastruktur informasi dan telekomunikasi

c. Bantuan peningkatan infrastruktur ekonomi

d. Bantuan peningkatan infrastruktur energi.

2.1.9. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kemiskinan

Schiller (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang dapat menjadi

penyebab kemiskinan, antara lain:

1. Kurangnya motivasi atau keterampilan individu

2. Adanya hambatan sosial terhadap akses pada kesempatan (society’s barrier to

opportunity)

3. Kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan dan

partisipasi kerja

Hasil penelitian dari Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya

mengunakan fixed effect model menyimpulkan bahwa penurunan jumlah penduduk

miskin dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang didekati dari besaran Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB), namun besarnya pengaruh tersebut relatif tidak

besar. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap

kemiskinan, namun besaran pengaruhnya masing-masing relatif kecil. Peningkatan

pangsa sektor pertanian dan pangsa sektor industri terhadap PDRB juga cukup

signifikan mengurangi kemiskinan. Variabel yang signifikan dan relatif paling besar

pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan ialah pendidikan.

Iradian (2005), dalam studi mengenai peranan pertumbuhan, ketimpangan dan

pengeluaran pemerintah menunjukkan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin

dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan, perubahan

ketimpangan pendapatan yang didekati dengan variabel indeks gini dan perubahan

pengeluaran pemerintah yang diukur melalui persentasenya terhadap PDB. Iradian

(2005) menggunakan dua metode ekonometrik, yakni Ordinary Least Square (OLS)

dan Generalized Method of Moment (GMM). Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa koefisien regresi dari pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan

29

dan perubahan ketimpangan pendapatan signifikan secara statistik dalam mengurangi

kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi akan mengurangi kemiskinan jika dibarengi

dengan penurunan ketimpangan sedangkan penurunan kemiskinan akan sulit terjadi

jika pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan adanya peningkatan ketimpangan

pendapatan.

Hajiji (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Riau dapat

meningkatkan ketimpangan pendapatan, namun ketimpangan pendapatan tersebut

tidak memiliki efek yang signifikan pada tingkat kemiskinan. Penelitian tersebut

menggunakan analisis regresi data panel untuk melihat hubungan antara

pertumbuhan, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Penelitian tersebut juga

menyimpulkan bahwa efek positif dari pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi

kemiskinan mendominasi efek negatif dari adanya ketimpangan pendapatan.

Fan, et al. (2002) menganalisis peranan pertumbuhan, ketimpangan dan

pengeluaran pemerintah melalui investasi publik di daerah pedesaan Cina dalam

mengurang kemiskinan. Fan, et al. mengembangkan model persamaan simultan untuk

mengestimasi efek perbedaan jenis pengeluaran pemerintah. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah berperan dalam mendorong investasi

yang juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah dalam hal ini,

tidak hanya berperan dalam meningkatkan pertumbuhan, namun juga mampu

mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah pedesaan Cina.

Seetanah, et al. (2009) membandingkan model panel data fixed effect dan

GMM dinamis dalam melihat pengaruh investasi publik khususnya investasi

infrastruktur dalam mengurangi kemiskinan di negara berkembang. Hasil penelitian

menggunakan kedua model tersebut mendukung pernyataan bahwa infrastruktur

transportasi dan komunikasi merupakan alat yang efisien dalam memerangi

kemiskinan di pedesaan. Sehingga, kebijakan pemerintah seharusnya memperhatikan

pentingnya perbaikan akses penduduk miskin pada infrastruktur transportasi dan

komunikasi.

30

2.1.10. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Stern (1991) mengemukakan adanya postulat penting bahwa terdapat tiga

faktor standar yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor tersebut

adalah manajemen organisasi, alokasi sumberdaya dan infrastruktur.

Manajemen Organisasi

Organisasi yang diatur dengan baik, menurut Stern dapat meningkatkan

output melalui minimalisasi pemborosan sumberdaya dan perbaikan efisiensi,

sedangkan manajemen yang buruk dapat menyebabkan terjadinya penuruanan

produktifitas. Sebagai contoh selama tahun 1960 hingga 1970, India berhasil

meningkatkan tingkat tabungannya, namun karena adanya manajemen yang buruk,

kondisi ini gagal meningkatkan pertumbuhan ekonominya (Ahluwalia 1985).

Alokasi Sumberdaya

Faktor kedua yang dapat memengaruhi pertumbuhan menurut Stern adalah

alokasi sumberdaya. Stern menemukan bahwa pengaturan alokasi sumberdaya oleh

institusi di negara-negara berkembang sangat bervariasi. Hal ini menyebabkan

terjadinya distorsi ekonomi yang menyebabkan distribusi sumberdaya menjadi

optimal. Distribusi sumberdaya yang optimal ini mengakibatkan tumbuhnya

perekonomian dan berdampak pada pemerataan sosial.

Infrastruktur

Infrastruktur menjadi faktor ketiga yang menurut Stern dapat memengaruhi

pertumbuhan. Infrastruktur sangat penting untuk produktifitas dan pertumbuhan.

Kwik dalam Haris (2009) menyatakan bahwa infrastruktur merupakan roda

penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta,

infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara

ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur memengaruhi marginal

productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro,

31

ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya

produksi.

2.1.11. Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan

Distribusi pendapatan dan kaitannya terhadap pertumbuhan dan kemiskinan

telah menjadi perhatian utama bagi para ekonom. Banyak penelitian telah mengkaji

hubungan triangular antara ketiga variabel ini, termasuk Bourguignon (2004) yang

menggagas konsep The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Iradian (2004), pada

penelitiannya di Armenia menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak

memiliki dampak pada ketimpangan, namun ketimpangan dapat memberikan efek

negatif pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi

kemiskinan apabila pertumbuhan tersebut memiliki dampak yang kecil pada

ketimpangan pendapatan.

Gelaw (2010) menggunakan estimasi model fixed effect dalam meneliti

hubungan triangular antara pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa kemiskinan dapat terus menjadi tinggi jika suatu negara gagal

mencapai pertumbuhan yang cepat dan berkelanjutan, yang dalam hal ini haruslah

didukung dengan adanya penurunan pada ketimpangan pendapatan.

Lopez (2003), meskipun tidak menganalisis dampak pada kemiskinan,

mendukung pernyataan bahwa terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan

ketimpangan pendapatan. Penelitian ini mengkaji dampak kebijakan pro growth yaitu

perbaikan pada sektor pendidikan dan infrastruktur pada pertumbuhan dan

ketimpangan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan di sektor

pendidikan dan infrastruktur serta tingkat inflasi yang rendah dapat mendorong

pertumbuhan dan pemerataan pendapatan yang progresif. Selain itu, pembangunan di

sektor keuangan, keterbukaan dalam perdagangan dan penurunan government size

dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan peningkatan pada

ketimpangan pendapatan.

Laabas dan Limam (2004) menggunakan sistem persamaan simultan dalam

melihat hubungan antara investasi publik, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan

32

ketimpangan pendapatan. Penelitian tersebut menggunakan tiga variabel endogen

yaitu pertumbuhan, ketimpangan dan pendapatan. Hasil estimasi menyimpulkan

bahwa investasi diketahui memiliki hubungan yang erat dengan tingginya

pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu wilayah. Faktor penting yang lain dalam

penelitian tersebut adalah faktor kelembagaan yang merupakan salah satu sumber

pertumbuhan yang penting karena dapat berdampak pada kontribusi pelaku ekonomi

dalam memberikan insentif pada pertumbuhan.

2.1.12. Pengaruh Investasi Infrastruktur

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa infrastruktur merupakan

salah satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi (Stern, 1991). Infrastruktur

merupakan roda penggerak perekonomian, sedangkan dari sudut pandang alokasi

pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif

pembangunan nasional dan daerah. Reungsri (2010) menyatakan bahwa infrastruktur

sebagai representasi dari investasi publik memiliki pengaruh pada dua aspek, yaitu

aspek ekonomi dan sosial.

Aspek Ekonomi (Pertumbuhan)

Investasi infrastruktur yang merupakan investasi publik berdampak pada

pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dapat menggunakan investasi infrastruktur ini

sebagai alat untuk menaikkan investasi swasta atau untuk menurunkan permintaan.

Paradigma ekonomi Keynesian, investasi dapat menstimulus pengeluaran pemerintah

yang kemudian berdampak pada terjadinya crowding out dan crowding in investasi

swasta (Gambar 2.1). Infrastruktur bukanlah merupakan faktor yang dapat secara

langsung memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur memengaruhi

pertumbuhan dengan memfasilitasi produktifitas melalui penyediaan sarana dan

prasarana yang memadai.

33

Investasi Publik

PDB

Investasi Swasta

PDB

Return to Capital

Investasi Swasta

Crowding In

Investasi Swasta

Suku Bunga Riil

PDB

Crowding Out

Aspek Sosial (Pemerataan)

Infrastruktur, selain memiliki pengaruh pada aspek ekonomi, juga memiliki

dampak pada aspek sosial, antara lain mampu meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat, diukur dengan adanya penurunan

kemiskinan, pemerataan dan redistribusi pendapatan dan mitigasi dalam memerangi

degradasi lingkungan.

Sumber: Aromdee, et al. (2005)

Gambar 2.4. Mekanisme Transmisi dari Investasi Publik

Aschauer (1989) menyatakan bahwa investasi publik pada infrastruktur sangat

penting sebagai salah satu sumber pendukung pertumbuhan ekonomi. Aschauer

meneliti hubungan antara output agregat dengan stok dan aliran pengeluaran

pemerintah dan menyimpulkan bahwa infrastruktur inti seperti jalan, jalan tol,

bandara dan sistem transportasi massal merupakan peranan pemerintah yang penting

dalam meningkatkan pertumbuhan dan perbakan produktifitas.

Munnel (1992) juga menganalisis kebijakan pemerintah dalam hal investasi

infrastruktur dan kaitannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa dalam memberikan stimulus ekonomi yang cepat, investasi

34

publik pada infrastruktur memiliki efek positif yang signifikan terhada pertumbuhan

ekonomi.

Canning dan Pedroni (1999) menyimpulkan bahwa telefon dan jalan sebagai

pendukung infrastruktur mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi

dalam jangka panjang. Canning menggunakan metode error correction model dalam

menganalisis pengaruh jangka panjang antara infrastruktur dan pertumbuhan

ekonomi.

Perkins, et al. (2005) meneliti hubungan antara investasi infrastruktur

ekonomi dan pertumbuhan ekonomi di Afrika Selatan. Penelitian ini menggunakan

metode F-tests yang dikembangkan oleh Pesaran, Shin dan Smith. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa infrastruktur ekonomi dan pertumbuhan memiliki hubungan dua

arah. Investasi yang tidak memadai pada infrastruktur dapat menciptakan bottlenecks

dan hilangnya kesempatan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

2.2. Kerangka Pemikiran

Dalam upaya memberikan masukan untuk perbaikan strategi dan kebijakan

yang diambil oleh KPDT dalam mengefektifkan program yang dilaksanakan, maka

kiranya diperlukan suatu studi mengenai pengaruh program peningkatan infrastruktur

Kementrian PDT terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan

pendapatan. Untuk memberikan gambaran mengenai alur pemikiran dalam penelitian

ini, berikut digambarkan kerangka pemikiran penelitian, seperti tergambar di bawah

ini.

35

Aspek Pertumbuhan

Transmisi langsung (sisi mikro)

Transmisi tidak langsung (sisi makro)

Aspek Pemerataan

Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian

Kabupaten Tertiggal

Pendapatan Nasional dan Pertumbuhan

Ekonomi

Tenaga Kerja

Peningkatan Produktifitas

Peningkatan Pendapatan

Riil/Konsumsi Masyarakat

Ketimpangan Pendapatan

Penurunan Kemiskinan

Strategi Pembangunan Ekonomi untuk Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten

Tertinggal

Investasi Infrastruktur (P2IPDT)

Transportasi Informasi dan telekomunikasi

Ekonomi

Sosial Energi

36

2.3. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah:

1. Terjadi perbaikan pada dinamika kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan kinerja

perekonomian di kabupaten tertinggal.

2. Investasi infrastruktur dalam hal ini adalah instrumen P2IPDT Kementrian

PDT, sebagai representasi dari investasi publik pemerintah memiliki pengaruh

positif dalam meningkatkan perekonomian.

3. Peningkatan kinerja perekonomian di kabupaten tertinggal mampu

menurunkan ketimpangan pendapatan.

4. Peningkatan kinerja perekonomian di kabupaten tertinggal dapat menurunkan

tingkat kemiskinan.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari

berbagai publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), diantaranya publikasi indikator

kesejahteraan rakyat dan produk domestik regional bruto, selain itu digunakan

pula data Suvei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Data mengenai bantuan

stimulus infrastruktur juga digunakan dalam penelitian ini, yang bersumber dari

Kementrian PDT. Data yang dihimpun mencakup 199 kabupaten tertinggal yang

ditetapkan Kementrian PDT tahun 2005 dan digunakan untuk melakukan analisis

deskriptif, sedangkan analisis ekonometrik dilakukan pada 82 kabupaten tertinggal

yang secara kontinu mendapatkan bantuan stimulus infrastruktur dari Kementrian

PDT tiap tahunnya.

3.2. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis

ekonometrik. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan deskripsi

mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di

kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah

adanya implementasi program P2IPDT. Analisis ekonometrik digunakan untuk

melihat pengaruh infrastruktur terhadap perekonomian dan kemiskinan. Beberapa

metode ekonometrik yang digunakan diantaranya metode data panel statis, data

panel dinamis dan panel instrumental variable. Penggunaan berbagai metode

estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat

kebaikan, robustness model, serta validitas di antara berbagai metode estimasi

yang digunakan.

3.2.1. Analisis Deskriptif

Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis sederhana

yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan

menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun narasi dengan tujuan untuk

38

memudahkan pembaca dalam menafsirkan hasil observasi. Salah satu analisis

deskriptif yang digunakan adalah teknik analisis kuadran.

Analisis kuadran digunakan untuk melihat hubungan dan dinamika

pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan serta pertumbuhan ekonomi dan

kemiskinan kabupaten tertinggal, pada dua periode waktu, yaitu 2005 dan 2009.

Pemilihan Tahun 2005 sebagai tahun awal dimana program P2IPDT belum

diimplementasikan, dan Tahun 2009 di pilih untuk melihat kondisi terkini di

kabupaten tertinggal. Dua periode waktu tersebut diharapkan dapat memberikan

gambaran dinamika pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan kabupaten

tertinggal.

3.2.2. Analisis Pengaruh Bantuan Stimulus Infrastruktur terhadap Perekonomian, Ketimpangan dan Penurunan Kemiskinan

Studi mengenai peranan program P2IDT dalam mendorong kinerja

perekonomian, menurunkan ketimpangan dan kemiskinan ini dilakukan dengan

menggunakan metode analisis regresi. Analisis regresi dilakukan dengan tujuan

utama adalah untuk memperkirakan nilai dari variabel tak bebas pada nilai

variabel bebas tertentu (Supranto, 2000). Berdasarkan pemikiran tersebut penulis

menggunakan metode ini untuk menjelaskan pengaruh program P2IDT dalam

meningkatkan perekonomian, menurunkan ketimpangan dan kemiskinan. Pada

penelitian ini analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi data panel.

3.2.2.1. Analisis Data Panel

Analisis data panel adalah bentuk analisis data longitudinal yang cukup

populer di kalangan peneliti bidang ilmu sosial dan ilmu perilaku. Data panel

adalah data silang dari sekumpulan variabel yang di survei secara periodik.

Penggunaan analisis panel data dalam estimasi ekonometrika memiliki beberapa

kelebihan dan kelemahan. Baltagi (2005) menyatakan bahwa panel data memiliki

kelebihan antara lain:

1. Dapat mengontrol heterogenitas individu

2. Panel data memberikan data yang lebih lengkap dengan kolinieritas yang

rendah dan derajat bebas yang lebih besar serta lebih efisien

39

3. Panel data baik digunakan untuk mengkaji mengenai penyesuaian dinamis

(dynamic of adjustment)

4. Panel data lebih handal dalam mengidentifikasi dan mengukur efek

individu maupun efek waktu yang tidak dapat dilakukan dalam teknik

analisis deret waktu (time series) maupun analisis antar individu (cross

section)

5. Panel data dapat digunakan untuk membangun dan menguji model dengan

perilaku yang kompleks.

Namun demikian, analisis panel data memiliki beberapa kelemahan, antara lain:

1. Masalah dalam desain dan pengumpulan data, termasuk masalah cakupan

dan kelengkapan data

2. Gangguan yang timbul akibat kesalahan pengukuran (measurement errors)

3. Mengatasi data deret waktu yang pendek

4. Terdapat hubungan antar individu

Analisis Data Panel Statis

Analisis data panel statis merupakan analisis data longitudnal yang tidak

melibatkan variabel lag dependent dalam model. Terdapat beberapa tipe model

analisis data panel statis, antara lain:

1. Constant coefficient model (Pooled OLS) adalah salah satu tipe model data

panel yang memiliki koefisien yang konstan untuk intersep dan slope. Untuk

model data panel ini dapat menggunakan metode ordinary least squares

regression model.

2. Tipe model data panel lainnya adalah fixed effect model (FEM), dimana model

ini memiliki konstan slope namun memiliki intersep yang bergantung pada

data panel dari serangkaian grup observasi. Model ini dikenal juga sebagai

Least Squares Dummy Variable Model, karena sebanyak i-1 variabel dummy

digunakan dalam model ini. Persamaan model ini adalah sebagai berikut:

yit = αi + x’it β + uit

dimana u

; i=1,….,N; t=1…..,T (3.1) it =μi + vit , untuk one way error component dan uit = μi + λt+ vit

untuk two way error component.

40

3. Random Effect Model (REM), dalam model ini terdapat perbedaan intersep

untuk setiap individu dan intersep tersebut merupakan variabel random atau

stokastik. Sehingga dalam model random effects terdapat dua komponen

residual, yakni residual secara menyeluruh εit

(3.2)

dan residual secara individu.

Persamaan model random effects dapat ditulis sebagai berikut:

Metode estimasi yang digunakan pada model analisis regresi data panel

statis, didasarkan pada asumsi struktur matriks varians dan covarians residualnya,

yang terdiri dari 3 metode, yaitu:

1. Ordinary Least Square (OLS/LSDV), jika struktur matriks varians-covarians

residualnya diasumsikan bersifat homokedastik dan tidak ada cross sectional

correlation,

2. Generalized Least Square (GLS)/Weighted Least Square (WLS): Cross

Sectional Weight, jika struktur matriks varians-covarians residualnya

diasumsikan bersifat heterokedastik dan tidak ada cross sectional correlation,

3. Feasible Generalized Least Square (FGLS)/Seemingly Uncorrelated

Regression (SUR), jika struktur matriks varians-covarians residualnya

diasumsikan bersifat heterokedastik dan ada cross sectional correlation.

Analisis Data Panel Dinamis

Baltagi (2005) menyatakan bahwa hubungan di antara variabel-variabel

ekonomi pada kenyataan banyak yang bersifat dinamis. Analisis data panel

dinamis dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis yang melibatkan

variabel lag dependen sebagai variabel regresor di dalam model. Keuntungan

penggunaan panel data dinamis adalah bahwa panel data dinamis dapat mengkaji

mengenai analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Sebagai ilustrasi,

model data panel dinamis adalah sebagai berikut:

yit = δ yi,t-1 + uit

dengan δ menyatakan suatu skalar, x’

; i=1,….,N; t=1…..,T (3.3)

it menyatakan matriks berukuran 1xK dan β

matriks berukuran Kx1. Pada model ini, uit diasumsikan mengikuti model one

way error component sebagai berikut:

41

uit =μi + vit

dengan u

(3.4)

it ~ IID(0, ) menyatakan pengaruh individu dan vit

Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan

efisiensi baik pada FEM maupun REM terkait perlakuan terhadap

~ IID(0, )

menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa

literatur disebut sebagai transient error.

. Dalam

model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena merupakan

fungsi dari maka yi,t-1 juga merupakan fungsi dari . Karena adalah fungsi

dari uit maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor yi,t-1 dengan uit. Hal

ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model

data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila tidak berkorelasi

serial sekalipun.

Pendekatan method of moments dapat digunakan untuk mengatasi masalah

bias dan inkonsistensi. Arrelano dan Bond menyarankan suatu pendekatan

generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu

yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM

merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat

untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang

sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood..

Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan.

Beberapa kelemahan metode GMM, yaitu: (i) GMM estimator adalah

asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam

ukuran contoh yang terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan

sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak

(software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. Terdapat dua jenis

prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model

linear autoregresif, yakni:

1. First-difference GMM (FD-GMM atau AB-GMM)

2. System GMM (SYS-GMM)

42

First-differences GMM (AB-GMM)

Metode first-differences GMM (AB-GMM) dikembangkan oleh Arellano

dan Bond. Metode first-differences dilakukan untuk mendapatkan estimasi δ yang

konsisten di mana N → ∞ dengan T dan mengeliminasi pengaruh individual.

Persamaan dinamis dengan first-differences kemudian dapat dijabarkan sebagai

berikut:

yit - yit-1 = δ (yi,t-1 - yi,t-2) + (vit - vit-1

Pendugaan dengan metode least square (OLS) akan menghasilkan penduga δ yang

inkonsisten karena y

); t=2,….., T (3.5)

it dan vit-1 berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila T →

∞. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat

menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, yi,t-2 akan

digunakan sebagai instrumen. Di sini, yi,t-2 berkorelasi dengan (yit - yit-1) tetapi

tidak berkorelasi dengan, vit-1 dan vit

Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa v

tidak berkorelasi serial.

it ~ IID pada

seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi

tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi

dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan

matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat

dianjurkan bagi sampel berukuran kecil) menekankan ketidakberadaan

autokorelasi pada vit

Jika model data panel dinamis yang mengandung variabel eksogenus,

maka Persamaan (3.3) dapat dituliskan kembali menjadi

dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis.

yit = x’it β + δ yi,t-1 + µi + vit

Parameter persamaan (3.6) juga dapat diestimasi menggunakan

generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi

yang dibuat terhadap x’

(3.6)

it

, selain itu sekumpulan instrumen tambahan yang

berbeda dapat pula dibangun.

System GMM (SYS-GMM)

Pendekatan system GMM berkembang berdasarkan pemikiran Blundell

dan Bond. Ide dasar dari penggunaan metode system GMM adalah mengestimasi

sistem persamaan baik pada first-differences maupun pada level yang mana

43

instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari deret.

Blundell dan Bond dalam Baltagi (2005) menyatakan pentingnya pemanfaatan

initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel

dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model autoregresif data

panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut:

yit = δ yi,t-1 + μi + vit

dengan E(μ

(3.7)

i) = 0, E(vit) = 0 dan E(μi vit

) = 0 untuk i =1, 2,…, N; t = 1, 2,…,T.

Dalam hal ini, Blundel dan Bond memfokuskan pada T = 3, oleh karenanya hanya

terdapat satu kondisi ortogonal sedemikian sehingga δ tepat teridentifikasi (just

identified). Pada System GMM, Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya

presisi dari penduga first-difference GMM dengan masalah lemahnya instrumen

yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi τ.

Analisis Data Panel Instrumental Variable

Metode data panel instrumental variable dikenal sebagai solusi dalam

mengatasi masalah endogenous regressors, dimana variabel bebas berkorelasi

dengan error. Metode instrumental variable merupakan salah satu cara untuk

mendapatkan estimasi parameter yang konsisten (Baum, 2009). Verbeek ( 2008)

menyatakan bahwa apabila variable bebas dalam model merupakan variabel

endogen, maka estimasi dengan OLS menjadi bias dan tidak konsisten, untuk itu

diperlukan suatu teknik estimasi yang lebih baik, salah satunya adalah estimasi

instrumental variable. Model instrumental variable dapat direpresentasikan

dalam bentuk persamaan:

yit = xitβ1+ εit

Jika x

(3.8)

it merupakan variabel endogen, dimana E(xit,εit) ≠ 0, maka penggunaan

estimasi dengan metode OLS tidak lagi menghasilkan estimasi yang tidak bias

dan konsisten. Penggunaan teknik instrumental variable dapat mengatasi masalah

ini, dengan menggunakan suatu variabel lain (zit) yang berkorelasi dengan yit,

namun tidak berkorelasi dengan error. Variabel zit haruslah memiliki korelasi

yang erat dengan xit, sehingga xit memengaruhi yit hanya melalui instrumen zit.

Estimasi dengan teknik instrumental variable tersebut dapat menggunakan

metode two stage least squares (2SLS) estimator. Secara umum, estimator ini

44

dapat diinterpretasikan sebagai penggunaan estimator yang sama dalam dua tahap.

Kedua tahap tersebut dapat diestimasi dengan menggunakan teknik least square

estimator. Pada tahap pertama, persamaan reduced form diestimasi dengan

menggunakan OLS (regresi variabel endogen dengan semua instrumen). Pada

tahap kedua persamaan struktural diestimasi, juga dengan menggunakan OLS,

dengan mengganti nilai variabel endogen dengan nilai prediksi dari hasil regresi

sebelumnya yang menggunakan persamaan reduced form (Verbeek, 2008).

Verbeek (2008) juga menyatakan bahwa permasalahan dapat timbul dalam

penggunaan teknik instrumental variable ini adalah pada masalah “lemahnya

instrumen”. Masalah ini timbul apabila instrumen yang digunakan memiliki

korelasi yang lemah dengan variabel endogennya, sehingga kondisi ini

menyebabkan hasil estimasi dengan teknik instrumental variable menjadi bias.

3.2.2.2. Pengaruh Infrastruktur, Ketimpangan Pendapatan terhadap Perekonomian

Analisis mengenai pengaruh infrastruktur dan ketimpangan terhadap

perekonomian dalam penelitian ini menggunakan analisis ekonometrik panel data

statis dan dinamis. Penggunaan dua metode estimasi ini diharapkan dapat melihat

perbandingan hasil estimasi dan melihat kebaikan serta robustness model. Panel

data statis digunakan dalam penelitian ini untuk melihat secara sederhana

pengaruh infrastruktur dan ketimpangan terhadap perekonomian, tanpa melihat

pengaruh waktu (time lag) dalam permodelan. Panel data dinamis juga digunakan

dalam penelitian ini, untuk melihat pengaruh waktu mengingat adanya time lag

dari pengaruh infrastruktur yang menyebabkan dampak investasi infrastruktur

tidak hanya dirasakan pada saat yang sama namun juga pada jangka panjang.

Penggunaan model panel data dinamis juga dilakukan mengingat adanya

pengaruh ekspektasi nilai output dari para pelaku pasar, yang dapat memengaruhi

nilai output saat ini juga menjadi salah satu alasan penggunaan. Persamaan

dinamis sederhana yang digunakan dalam penelitian ini, merujuk pada penelitian

Calderon dan Serven (2008). Model panel data dinamis pada penelitian tersebut

digambarkan ke dalam satu persamaan dinamis sederhana, yaitu:

45

yit – yit-1 = αyit-1 + φ’ K it + γ’Zit + μ t + η t + εit

= αy

(3.9)

it-1 + β’Xit + μt + η i + εit (3.10)

Dimana:

y = tingkat output

K = ukuran ketimpangan pendapatan

Z = bantuan stimulus infrastruktur

Persamaan 3.9 diperoleh dengan menggabungkan faktor-faktor dari pertumbuhan,

ketimpangan dan infrastruktur, dimana Xit = (K’it, Z’it

Ditinjau dari sisi ekonometrik, persamaan tersebut di atas berpotensi

memiliki tiga permasalahan endogeneity. Masalah tersebut antara lain:

) dan β’= (φ’, γ’).

1. Permasalahan endogeneity yang muncul akibat adanya lag dependent variabel

yang ikut dalam persamaan sebagai variabel bebas yang menyebabkan adanya

korelasi antara lag dependent variabel tersebut dengan error. Lag dependent

variabel tersebut ternyata juga memiliki pengaruh pada ukuran ketimpangan

pendapatan (K) dan bantuan stimulus infrastruktur (Z). Munculnya

permasalahan endogeneity tersebut menyebabkan estimasi dengan metode

ordinary least square (OLS) menjadi tidak lagi konsisten (Verbeek, 2008).

2. Permasalahan endogeneity juga berpotensi terjadi pada persamaan tersebut

mengingat ketimpangan (K) memiliki memiliki pengaruh terhadap

pertumbuhan, sehingga terjadi reverse causality antara pertumbuhan ekonomi

dan ketimpangan pendapatan (Heshmati, 2004).

3. Permasalahan endogeneity muncul akibat terdapat banyak faktor yang

memengaruhi keputusan pengambil kebijakan dalam menentukan besaran

nilai bantuan stimulus infrastruktur. Hal ini menyebabkan variabel bantuan

stimulus infrastruktur tidak lagi murni sebagai variabel eksogen yang tidak

berkorelasi dengan error, namun menjadi variabel endogen. Kondisi ini

menyebabkan perlunya diterapkan teknik estimasi menggunakan variabel

instrumen untuk memodelkan faktor-faktor yang memengaruhi nilai bantuan

stimulus infrastruktur. Calderon dan Serven (2008) dalam penelitiannya

46

melibatkan lag dependent infrastruktur sebagai instrumen internal dan

kepadatan penduduk sebagai instrumen eksternal.

Ketiga permasalahan endogeneity tersebut menurut Verbeek (2008) dapat

diatasi dengan menerapkan metode generalized method of moment (GMM).

Penerapan metode GMM dalam analisis panel data dinamis dapat mengurangi

bias pada penggunaan teknik OLS dan standard error yang dihasilkan menjadi

lebih efisien jika dibandingkan dengan penggunaan estimasi two stage least

square (2SLS).

Penggunaan metode analisis panel dinamis meskipun memiliki kelebihan

dalam menangani masalah endogeneity (khususnya pada penanganan data dengan

pengaruh time lag), namun metode ini hanya dapat diterapkan pada permodelan

dengan satu persamaan. Kelemahan ini menyebabkan teknik analisis panel data

dinamik tidak dapat digunakan untuk melihat secara simultan pengaruh

infrastruktur terhadap penurunan kemiskinan (melalui jalur pertumbuhan).

Metode analisis panel instrumental variable digunakan untuk menjawab

permasalahan ini, mengingat kelebihan metode ini dalam menangani regresi

dengan lebih dari satu persamaan melalui penggunaan variabel instrumen.

Pemilihan faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi,

didasarkan oleh berbagai variabel yang digunakan dalam penelitian-penelitian

terdahulu. Faktor-faktor yang memengaruhi aktifitas perekonomian dan

pertumbuhan ekonomi daerah yang dikaji dalam penelitian ini antara lain:

Infrastruktur

Infrastruktur, terbukti merupakan senjata yang ampuh dalam mendorong

perekonomian.. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan berbagai

peneliti, antara lain Aschauer (1989) yang menyatakan bahwa peran pemerintah

dalam investasi publik sangatlah penting dalam mendorong pertumbuhan.

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah positif

meningkatkan output dengan elastisitas berkisar antara 0,38 dan 0,56. Penelitian

Aschauer diperkuat oleh Munnel (1992) yang menyatakan bahwa investasi publik

di bidang infrastruktur berpengaruh positif terhadap pertumbuhan. Canning dan

Pedroni (1999) menyimpulkan bahwa infrastruktur telepon dan jalan aspal positif

47

memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Prasetyo (2010) juga meneliti mengenai

pengaruh infrastruktur. Dalam penelitiannya Prasetyo menyimpulkan bahwa

Variabel human capital memiliki dampak terbesar dibandingkan variabel lain

dengan elastisitas sebesar 0,34. Variabel listrik dan jalan berpengaruh secara

signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional dengan tingkat elastisitas

listrik sebesar 0,33 lebih tinggi daripada jalan (0,13), sedangkan infrastruktur air

bersih tidak berpengaruh secara statistik.

Ketimpangan Pendapatan

Ketimpangan pendapatan merupakan faktor lain yang mampu

memengaruhi perekonomian. Heshmati (2004) dalam penelitiannya

menyimpulkan bahwa ketimpangan pendapatan yang diukur melalui indeks gini,

investasi dan pendidikan memiliki pengaruh pada perekonomian. Penelitian ini

juga mendukung hipotesis Kuznets yang menyatakan bahwa hubungan antara

perekonomian (log PDRB per kapita) dan ketimpangan pendapatan dapat

digambarkan sebagai kurva U terbalik. Iradian (2005) meneliti pengaruh

ketimpangan (indeks gini), pendapatan per kapita, inflasi dan investasi terhadap

pertumbuhan. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif

antara ketimpangan dan pendapatan dan terdapat hubungan positif antara investasi

dan pertumbuhan ekonomi.

Inflasi

Penggunaan variabel inflasi sebagai salah satu faktor yang memengaruhi

perekonomian didasarkan atas hasil penelitian yang dilakukan oleh Mallik dan

Chowdurry (2001) yang menyatakan bahwa inflasi dan pertumbuhan memiliki

hubungan jangka panjang yang positif. Motley (1993) menyatakan bahwa negara

dengan tingkat inflasi yang rendah memiliki kecenderungan untuk mencapai

tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Hasil penelitian dari Li dan Zou

(2002) dengan menggunakan analisis panel data dari berbagai negara,

menyimpulkan bahwa inflasi dapat menurunkan capaian pertumbuhan ekonomi.

48

Penduduk

Faktor demografi merupakan faktor yang cukup penting dalam

menentukan perekonomian wilayah. Tingkat fertilitas (Ogawa dan Suits, 1981),

pertumbuhan penduduk (Klasen dan Lawson, 2007), tingkat migrasi (Manitoba

Bureau of Statistics, 2008) merupakan faktor-faktor demografi yang

memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Indikator demografi yang baik serta tingkat

fertilitas yang rendah dapat mendorong peningkatan pembangunan.

Berdasarkan penelitian terdahulu, serta merujuk pada penelitian Iradian

(2005) maka persamaan (3.9) dan (3.10) dapat dituliskan kembali menjadi:

Yit = αit + β1Yit-1 + β2GINIit + β3P2IPDTit + β4(P2IPDTit)2 + β5INFit-1

β

+

6POPit + β7DWILit + εit

Keterangan:

(3.11)

Yit

Y

= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i

periode ke-t

it-1

GINI

= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i

periode ke-(t-1)

it

P2IPDT

= Indeks gini kabupaten ke-i periode ke-t

it

ke- t (juta rupiah)

= Besaran bantuan stimulus infrastruktur kabupaten ke-i periode

(P2IPDTit)2

INF

= Kuadrat Besaran bantuan stimulus infrastruktur kabupaten ke-i

periode ke-t (juta rupiah)

it-1

kabupaten periode t-1 (persen)

= Inflasi kabupaten yang didekati dengan nilai GDP deflator

POPit

DWIL

= Jumlah penduduk kabupaten i periode t (jiwa)

it

= Dummy variabel wilayah (0=KBI dan 1=KTI)

Model analisis menggunakan persamaan 3.11 di atas tidak mampu

menjawab masalah jenis bantuan apa yang paling besar memengaruhi

pertumbuhan ekonomi. Faktor ketersediaan data, dimana masing-masing

kabupaten tertinggal tidak secara kontinu mendapatkan satu jenis bantuan yang

49

sama tiap tahunnya menyebabkan penulis mengalami sedikit hambatan dalam

permodelan. Untuk itu dilakukan permodelan dengan menggunakan dummy

variable jenis bantuan seperti pada persamaan di bawah ini:

Yit = αit + β1Yit-1 + β2GINIit + β3DTRANSPit + β4DENERGIit + β5DINFOTELit

β

+

6DSOSit + β7DEKONit + β8INFit-1 + β9POPit + β10DWILit +εit

(3.12)

Keterangan:

Yit

Y

= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i

periode ke-t

it-1

DTRANSP

= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i

periode ke-(t-1)

it

DENERGI

= Dummy variabel bantuan transportasi (0=tidak dapat dan 1=dapat)

it

DINFOTEL

= Dummy variabel bantuan energi (0=tidak dapat dan 1=dapat)

it

DSOS

= Dummy variabel bantuan infotel (0=tidak dapat dan 1=dapat)

it

DEKON

= Dummy variabel bantuan sosial (0=tidak dapat dan 1=dapat)

it

GINI

= Dummy variabel bantuan ekonomi (0=tidak dapat dan 1=dapat)

it

INF

= Indeks gini kabupaten ke-i periode ke-t

it-1

POP

= Inflasi kabupaten yang didekati dengan nilai GDP deflator

kabupaten

it

DWIL

= Jumlah penduduk kabupaten i periode t (jiwa)

it

= Dummy variabel wilayah (0=KBI dan 1=KTI)

3.2.2.3. Pengaruh Peningkatan Perekonomian terhadap Kemiskinan

Dalam penelitian ini, pengaruh peningkatan perekonomian terhadap

kemiskinan dikaji dengan menggunakan tiga metode estimasi, yaitu metode panel

data statis, panel data dinamis dan panel instrumental variable. Penggunaan

metode panel data statis dan dinamis digunakan untuk melihat pengaruh jeda

waktu (time lag) sedangkan metode panel instrumental variable digunakan untuk

melihat secara langsung (simultan) pengaruh infrastruktur, inflasi dan

ketimpangan terhadap kemiskinan lewat jalur perekonomian (PDRB per kapita).

50

Faktor-faktor lain selain PDRB per kapita, dalam penelitian ini juga dilihat

pengaruhnya terhadap angka kemiskinan. Pemilihan variabel yang digunakan

dalam model, merujuk pada penelitian terdahulu. Berdasarkan pertimbangan

tersebut, beberapa variabel dipilih antara lain:

Aktivitas Perekonomian dan Pertumbuhan Ekonomi

Bolnick (2000) menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan

salah satu instrumen untuk mengurangi kemiskinan di Mozambique. Dalam

penelitian juga dinyatakan bahwa analisis pertumbuhan seharusnya tidak hanya

dilihat dari perspektif makro ekonomi semata namun juga dalam aspek

pembangunan regional dan sektoral.

Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian dari Siregar dan Wahyuniarti

(2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia

dipengaruhi oleh besarnya PDRB, jumlah populasi penduduk, tingkat inflasi,

pangsa sektor pertanian dan industri terhadap PDRB, serta tingkat pendidikan

yang mencerminkan modal manusia (human capital).

Ketimpangan Pendapatan

Pertumbuhan ekonomi yang didukung dengan pemerataan pendapatan

(ketimpangan yang rendah) dapat menjadi satu faktor yang efektif dalam

mengurangi jumlah penduduk miskin. Pernyataan ini sejalan dengan yang

dikemukakan Gelaw (2010) yang menyatakan bahwa kemiskinan akan tetap

tinggi jika pertumbuhan ekonomi diikuti dengan ketimpangan pendapatan.

Jumlah Penduduk

Indra (2008) dalam penelitiannya juga memasukkan variabel populasi

dengan asumsi bahwa peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan

peningkatan jumlah penduduk miskin. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian

Siregar dan Wahyuniarti (2007).

Bedasarkan penelitian-penelitian terdahulu, analisis pengaruh

pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan dalam penelitian ini dimodelkan

seperti pada persamaan (3.13). Persamaan tersebut merujuk pada model yang

51

dikembangkan oleh Iradian (2005) yang telah dimodifikasi, persamaan tersebut

adalah sebagai berikut:

Pit = αi + β1 Pit-1 + β2 Yit + β3 GINIit + β4 EXPit + β4( EXPit)2 + εit

(3.13)

Keterangan:

Pit

P

= Tingkat kemiskinan (head count poverty) kabupaten ke-i periode

ke-t (persen)

it-1

ke-(t-1) (persen)

= Tingkat kemiskinan (head count poverty) kabupaten ke-i periode

Yit

periode ke-t (persen)

= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i

GINIit

EXP

= Indeks gini kabupaten ke-i periode ke-t

it

(EXP

= Pengeluaran pemerintah kabupaten ke-i tahun ke-t (juta rupiah)

it)2

= Pengeluaran pemerintah kabupaten ke-i tahun ke-t (juta rupiah)

3.2.3. Uji Spesifikasi Model Data Panel

Pada model data panel statis, masalah utama dalam pengujian model

adalah penentuan model apakah termasuk model efek tetap atau efek acak. Dalam

penelitian ini, mengacu pada penelitian sebelumnya maka hanya analisis panel

data dengan model efek tetap yang digunakan, sehingga tidak lagi dilakukan uji

haussman untuk menentuakan model efek tetap atau model efek acak yang

digunakan.

Pada model panel data dinamis, beberapa kriteria ditentukan untuk melihat

uji validitas dan uji spesifikasi model, untuk menentukan model dinamis atau

penggunaan jenis GMM yang paling sempurna. Kriteria tersebut antara lain

adalah:

1. Konsistensi model dengan menggunakan Arellano-Bond m1 dan m2

2. Validitas instrumen dengan menggunakan pemeriksaan moment condition

dengan menggunakan Uji Sargan.

untuk

menguji adanya serial korelasi pada residual.

52

3. Estimasi parameter menggunakan GMM seharusnya menghasilkan estimasi

yang tidak bias.

Berdasarkan kriteria tersebut maka penduga terbaik haruslah memiliki kriteria

konsisten, valid dan tidak bias.

3.2.4. Definisi Operasional

Berikut diberikan definisi operasional dari masing-masing variabel yang

digunakan dalam model, antara lain:

1. PDRB perkapita (Y) merupakan hasil bagi PDRB atas dasar harga konstan

Tahun 2000 dengan jumlah penduduk masing-masing kabupaten. Data

diperoleh dari publikasi PDRB kabupaten kota Tahun 2007-2009 yang

diperoleh dari BPS.

2. Indeks gini (GINI) meupakan ukuran ketimpangan pendapatan dari sisi

pengeluaran per kapita. Angka Indeks gini diperoleh dari perhitungan

penulis dengan menggunakan data SUSENAS kor Tahun 2007-2009.

3. Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah

Tertinggal (P2IPDT) merupakan besaran dana bantuan stimulus

infrastruktur yang diperoleh dari KPDT. Dana bantuan stimulus tersebut

merupakan salah satu mata anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN).

4. Inflasi (INF) merupakan ukuran tingkat perubahan harga di pasar yang

juga dapat mencerminkan daya beli masyarakat. Dalam penelitian ini nilai

inflasi kabupaten tertinggal didekati dengan nilai PDRB deflator,

sehubungan dengan tidak tersedianya data inflasi tingkat kabupaten.

5. Jumlah penduduk (POP) merupakan jumlah penduduk yang dihitung

berdasarkan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tersedia dalam

publikasi PDRB kabupaten/kota BPS.

6. Tingkat kemiskinan (P) merupakan tingkat kemiskinan (headcount

poverty) yang dihitung berdasarkan garis kemiskinan BPS. Data tingkat

kemiskinan didasarkan pada data yang dikeluarkan oleh BPS berdasarkan

data SUSENAS.

7. Pengeluaran pemerintah (EXP) merupakan total belanja yang dikeluarkan

oleh pemerintah daerah berdasarkan APBD.

IV. KERAGAAN DAN DINAMIKA KABUPATEN TERTINGGAL SERTA

UPAYA PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

KABUPATEN TERTINGGAL

Analisis mengenai keragaan dan dinamika kabupaten tertinggal dilakukan

untuk melihat dampak implementasi program P2IPDT yang telah dilakukan

Kementrian PDT di daerah tertinggal. Analisis sebelum dan sesudah (before and

after) implementasi bantuan dipilih sebagai salah satu teknik untuk melihat dampak

implementasi program. Kondisi awal sebelum implementasi program dideskripsikan

sebagai kondisi kabupaten tertinggal pada tahun 2006, sedangkan kondisi akhir

setelah implementasi program dideskripsikan sebagai kondisi pada tahun 2009.

Diharapkan dengan membandingkan kedua periode tahun ini, dapat dilihat secara

sederhana dinamika kabupaten tertinggal sebelum dan sesudah implementasi program

P2IPDT.

4.1. Keragaan Kabupaten Tertinggal

Ketertinggalan daerah dalam pembangunan disebabkan oleh banyak faktor

yang bersifat kompleks dan menyebabkan ketimpangan yang kurang menguntungkan

dalam berbagai aspek. Hal itu menyebabkan perlunya suatu upaya sistematis dan

terencana untuk mengejar ketertinggalan daerah sehingga setara dengan daerah maju

lainnya. Pemerintah melalui Kementrian PDT telah melaksanakan berbagai program

untuk meningkatkan daya saing daerah tertinggal dan mengejar ketertinggalan.

Berdasarkan data dari Kementrian PDT, sampai dengan tahun 2010 terdapat

183 kabupaten yang tergolong sebagai daerah tertinggal. Sebanyak 55 kabupaten

tertinggal berada di wilayah Kawasan Barat Indonesia dan sebanyak 128 kabupaten

berada di kawasan Indonesia Timur. Secara kasat mata angka ini menunjukkan

sedikit perbaikan pada capaian pengentasan kabupaten tertinggal, karena tercatat pada

tahun 2005, berdasarkan Keputusan Menteri PDT No. 001/KEP/M-PDT/I/2005,

terdapat sebanyak 199 kabupaten tertinggal di Indonesia, 76 kabupaten tertinggal

berada di KBI dan 123 kabupaten tertinggal berada di KTI.

54

penu

Berd

kabu

keny

seban

Masi

diseb

terse

kabu

S

G

PDT

perse

Kaw

Data te

urunan jum

dasarkan an

upaten tert

yataannya, d

nyak 51 ka

ih tingginy

babkan kar

but kemudi

upaten tertin

Sumber: Kem

Gambar 4.1

Dari dat

, baik tahu

entase juml

wasan Barat

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

ersebut me

mlah kabup

ngka terseb

tinggal tel

dari 199 kab

abupaten tid

ya jumlah

rena adanya

ian memben

nggal di Indo

mentrian PD

1. PerbandiNasional

ta jumlah k

un 2005 d

ah kabupat

Indonesia

KBI

28,90

enunjukkan,

paten tertin

but, tidak

lah berhas

bupaten yan

dak lagi me

kabupaten

a proses p

ntuk daerah

onesia pada

DT (2010),

ingan Persl, Tahun 20

kabupaten te

dan 2010,

ten tertingg

(Gambar 4

20,68 

, selama

nggal di In

dapat dia

sil terenta

ng masuk k

enyandang

tertinggal

pemekaran

h otonomi b

a tahun 2010

diolah

sentase Kab005 dan 201

ertinggal ya

Kawasan T

al yang leb

.1). Salah s

KTI

59,71 

58,7

2005 20

kurun wa

ndonesia s

artikan bah

askan dari

kategori tert

daerah tert

l yang ter

wilayah, d

baru (48 ka

0 menjadi s

bupaten Te10

ang dipublik

Timur Indo

bih tinggi b

satu faktor

Indonesia

42,25

72 

010

aktu 2005-

ebanyak 1

hwa hanya

i keterting

tinggal pad

tinggal pada

rcatat pada

dimana daer

abupaten). S

sebanyak 18

ertinggal K

kasikan ole

onesia terc

bila dibandin

yang meng

20

37,81

2010, terj

6 kabupat

sebanyak

ggalan. Pa

da tahun 200

a tahun 20

a tahun 20

rah terting

Sehingga to

83 kabupate

KBI, KTI d

eh Kementr

atat memil

ngkan deng

gakibatkan h

005

2010

adi

ten.

16

ada

05,

10.

010

gal

otal

n.

dan

ian

liki

gan

hal

55

tersebut diantaranya adalah proses pembangunan Indonesia masih terpusat di

Kawasan Barat Indonesia. Selain itu, dalam berbagai aspek baik sumber daya

manusia serta infrastruktur, terlihat perbedaan yang mencolok antara wilayah KBI

dan KTI.

4.1.1. Keragaan Kabupaten Tertinggal Kawasan Barat Indonesia

Selama kurun waktu 2005-2010, terjadi penurunan persentase kabupaten

tertinggal di KBI sebanyak 8,11 persen. Provinsi Riau, Jambi, Jawa Tengah, Daerah

Istimewa Yogyakarta dan Bali berhasil mengentaskan seluruh kabupaten tertinggal di

wilayahnya, sehingga saat ini provinsi-provinsi tersebut tidak lagi memiliki

kabupaten tertinggal (tahun 2005, hanya DKI Jakarta yang tidak memiliki daerah

tertinggal). Keberhasilan provinsi-provinsi tersebut mengentaskan kabupaten

tertinggal di wilayahnya diduga erat kaitannya dengan kinerja perekonomian yang

berhasil dicapai. Data BPS menunjukkan bahwa kabupaten tertinggal di provinsi

tersebut memiliki capaian pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 4 persen.

Kondisi yang cukup mengkhawatirkan terjadi di Provinsi Bengkulu, tercatat

pada tahun 2005, hampir seluruh kabupaten di provinsi ini tergolong sebagai

kabupaten tertinggal (kecuali Kota Bengkulu). Pada tahun 2010, mulai terjadi

perbaikan dalam upaya mengurangi jumlah kabupaten tertinggal, 3 kabupaten

tertinggal berhasil terentaskan dari ketertinggalan (Bengkulu Selatan, Rejang Lebong

dan Bengkulu Utara). Adanya pengentasan 3 kabupaten tertinggal tersebut, nyatanya

tidak membuat Bengkulu memiliki capaian pengentasan kabupaten tertinggal yang

lebih baik dibandingkan dengan provinsi KBI lainnya. Hal ini tercermin dari fakta

bahwa pada tahun 2010, hanya Provinsi Bengkulu dan Nangroe Aceh Darussalam

yang memiliki persentase kabupaten tertinggal lebih dari 50 persen, yang notabene

persentase sebesar itu merupakan karakteristik provinsi-provinsi di KTI. Kondisi ini

perlu disikapi, dengan mengkaji lebih dalam kondisi Bengkulu dan menerapkan

kebijakan sesuai dengan kebijakan yang dilakukan di KTI (Gambar 4.2).

Provinsi Banten tercatat mengalami stagnasi dalam upaya mengurangi jumlah

kabupaten tertinggalnya. Pada tahun 2005 Provinsi Banten memiliki 2 kabupaten

56

tertinggal (Pandeglang dan Lebak), sedangkan kondisi tahun 2010 kedua kabupaten

tersebut masih belum berhasil terentaskan. Diduga kondisi ini disebabkan oleh

rendahnya kualitas sumber daya manusia Provinsi Banten. Data dari Kementrian PDT

menunjukkan pada kurun waktu 2005-2010 indeks ketertinggalan sumber daya

manusia Kabupaten Pandeglang dan Lebak masih di atas indeks ketertinggalan

sumber daya manusia Kabupaten Garut yang pada tahun 2011 sudah tergolong

sebagai kabupaten maju. Indeks ketertinggalan sumber daya manusia Kabupaten

Pandeglang dan Lebak masing-masing sebesar 0,38 dan 0,41 sedangkan Kabupaten

Garut tercatat sebesar 0,21. Tingginya indeks ketertinggalan dalam bidang sumber

daya manusia mengindikasikan rendahnya kualitas sumber daya manusia di Provinsi

Banten. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2008, IPM Provinsi Banten

adalah sebesar 69,70, lebih rendah dari capaian IPM nasional yang tercatat sebesar

71,17.

Sumber: Kementrian PDT (2010), diolah Gambar 4.2. Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KBI

menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010

‐10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00 

2005 2010

57

Gambar 4.1 menunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Selatan mengalami

peningkatan jumlah kabupaten tertinggal. Peningkatan jumlah kabupaten tertinggal di

Provinsi ini disebabkan adanya pemekaran wilayah, dimana terdapat satu daerah

otonomi baru yaitu Kabupaten Empat Lawang yang juga masuk kategori daerah

tertinggal.

4.1.2. Keragaan Kabupaten Tertinggal Kawasan Timur Indonesia

Kondisi yang berbeda tampak pada keragaan kabupaten tertinggal di Kawasan

Timur Indonesia (KTI). Tercatat hampir semua provinsi di KTI memiliki kenaikan

persentase kabupaten tertinggal pada kurun waktu 2005-2010. Meningkatnya angka

persentase kabupaten tertinggal diduga sebagai akibat pemekaran-pemekaran wilayah

yang dilakukan oleh kabupaten induk seiring dengan adanya otonomi daerah.

Sumber: Kementrian PDT (2010), diolah Gambar 4.3. Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KTI

menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010

Provinsi Sulawesi Selatan, dalam kurun waktu 2005-2010 tercatat mengalami

pencapaian yang cukup memuaskan dalam pengentasan kabupaten tertinggal. Dalam

‐10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00 

2005 2010

58

periode tersebut sebanyak 9 kabupaten berhasil lepas dari ketertinggalan, atau terjadi

penurunan persentase kabupaten tertinggal dari 54,17 persen pada tahun 2005

menjadi sebesar 16,67 persen pada tahun 2010 (Lampiran 3). Provinsi Kalimantan

Tengah juga mengalami kemajuan yang cukup berarti. Hal ini tercermin dari

banyaknya kabupaten tertinggal yang berhasil terentaskan, yaitu sebanyak 6

kabupaten, atau mengalami penurunan persentase kabupaten tertinggal dari 50 persen

pada tahun 2005, menjadi sebesar 7,14 persen pada tahun 2010.

Kondisi yang cukup kontras terjadi pada Provinsi Sulawesi Barat, dimana

seluruh kabupaten di Provinsi ini masuk kategori sebagai daerah tertinggal pada

tahun 2005, dan tidak terjadi perubahan ke arah yang lebih baik pada tahun 2010.

Selama kurun waktu tersebut, kabupaten tertinggal di Provinsi Sulawesi Barat tercatat

sebanyak 5 kabupaten (100 persen dari total kabupaten).

4.2. Dinamika Kabupaten Tertinggal

4.2.1. Dinamika Pertumbuhan

Program-program pengentasan kabupaten tertinggal yang dilakukan oleh

Kementrian PDT selain dimaksudkan untuk mengentaskan kabupaten tertinggal juga

diupayakan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal.

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting guna melakukan

evaluasi dan koreksi terhadap program pembangunan ekonomi yang telah

dilaksanakan pada masa atau periode yang lalu. Dalam mengukur tingkat

pertumbuhan ekonomi digunakan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

atas dasar harga konstan, karena dalam penghitungan PDRB atas dasar harga konstan

tersebut, pengaruh perubahan harga telah dieliminasi. Dengan demikian pertumbuhan

yang dicerminkan merupakan pertumbuhan riil barang dan jasa dalam suatu periode

waktu tertentu.

Capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di Kawasan

Barat Indonesia cukup tinggi, tercatat bahwa sebagian besar kabupaten tertinggal

memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 4 persen. Rata-rata pertumbuhan ekonomi

kabupaten tertinggal tertinggi dicapai oleh Provinsi Riau, dengan nilai pertumbuhan

59

ekonomi periode 2006-2009 adalah sebesar 7,33 persen per tahun. Pertumbuhan

ekonomi yang tinggi di Provinsi Riau lebih banyak ditopang melalui pendapatan asli

daerah dari sektor migas. Sektor migas mampu memberikan kontribusi penting

dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Implikasi dari hal tersebut bahwa dengan

nilai pertumbuhan yang tinggi, propinsi Riau berhasil mengentaskan 2 kabupaten

tertinggalnya lepas dari ketertinggalan.

Sumber: BPS (2010), diolah Gambar 4.4. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan

Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

Provinsi Bengkulu, pada periode tahun yang sama mengalami pertumbuhan di

bawah 4 persen (2,98 persen). Rendahnya nilai pertumbuhan yang dicapai

menggambarkan lambatnya kinerja perekonomian di provinsi Bengkulu. Rendahnya

kinerja perekonomian Provinsi Bengkulu bila dibandingkan dengan provinsi lain di

KBI ini diikuti dengan tingginya persentase jumlah kabupaten tertinggal (di atas 50

persen). Ini merupakan kondisi yang mengkhawatirkan sehingga perlu kiranya

penanganan yang cukup serius dari institusi terkait, untuk mendorong meningkatnya

‐3,88

5,455,86

7,33

5,77 5,53

2,98

1,41

4,37

3,31

4,52 4,704,19

5,164,30

5,10

‐6,00

‐4,00

‐2,00

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

60

aktifitas ekonomi di provinsi ini yang pada gilirannya dapat membantu dalam

mengentaskan kabupaten tertinggal di wilayah Bengkulu.

Dari seluruh provinsi di KBI, tercatat bahwa hanya Provinsi Nangroe Aceh

Darussalam (NAD) yang memiliki pertumbuhan negatif (-3,38 persen). Pada tahun

2006 Provinsi Nangroe Aceh Darussalam tercatat memiliki rata-rata PDRB atas dasar

harga konstan sebesar Rp. 1.550,31 miliar dan mengalami penurunan pada tahun

2009 menjadi sebesar Rp. 1.376,63 miliar (Lampiran 4). Pertumbuhan ekonomi yang

negatif dipicu oleh besarnya penurunan nilai produksi migas sejak tahun 2004 hingga

sekarang, meskipun sektor bangunan mengalami peningkatan seiring dengan adanya

pembangunan infrastruktur dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana

tsunami (BI, 2007).

Sumber: BPS (2010), diolah Gambar 4.5. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan

Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

Capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal KTI, nyatanya

lebih tinggi dari capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal KBI.

Tidak sedikit kabupaten tertinggal yang mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi

2,85 2,86

5,055,36

2,72

6,035,51

3,88 3,72

6,537,19 7,18

2,75

5,81

6,637,03

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

8,00

61

(di atas 5 persen) pada kurun waktu 2006-2009. Rata-rata pertumbuhan ekonomi

kabupaten tertinggal tertinggi dicatat oleh Provinsi Gorontalo dengan pertumbuhan

ekonomi sebesar 7,19 persen. Upaya pemerintah daerah menggalakkan produksi

jagung di wilayah ini diduga menjadi stimulus positif dalam upaya menggerakkan

pertumbuhan ekonomi wilayah ini. Rata-rata pertumbuhan ekonomi terendah dicatat

oleh kabupaten tertinggal di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Pada kurun waktu

2006-2009, tercatat provinsi ini mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 2,72

persen.

4.2.2. Dinamika Ketimpangan

Pertumbuhan ekonomi yang dicapai kabupaten tertinggal diharapkan diikuti

oleh penurunan ketimpangan pendapatan, sehingga dengan adanya penurunan

ketimpangan pendapatan maka penurunan tingkat kemiskinan di kabupaten tertinggal

dapat dicapai. Ketimpangan pendapatan menurut Oshima (1970) dapat

dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan angka indeks gini yaitu:

1. ketidakmerataan rendah apabila angka indeks gini lebih kecil dari 0,3.

2. ketidakmerataan sedang apabila angka indeks gini terletak antara 0,3 - 0,4.

3. ketidakmerataan tinggi apabila angka indeks gini lebih besar dari 0,4.

Berdasarkan kiteria tersebut, ketimpangan distribusi pendapatan kabupaten tertinggal

menurut provinsi yang diukur dengan angka indeks gini masih tergolong rendah

sampai sedang. Angka indeks gini juga mengalami tren peningkatan tiap tahunnya,

hal ini dapat diartikan bahwa terjadi kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan

pada kabupaten-kabupaten tertinggal di wilayah Indonesia.

62

Sumber: BPS, diolah dari data Susenas Kor 2006 dan 2009 Gambar 4.6. Perbandingan Angka Indeks gini Kabupaten Tertinggal KBI,

menurut Provinsi Tahun 2006-2009

Angka indeks gini kabupaten tertinggal KBI berada pada kisaran 0,25 hingga

0,39. Angka indeks gini tertinggi adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,

dengan angka indeks gini pada tahun 2009 sebesar 0,39 (Gambar 4.6). Angka indeks

gini ini masih tergolong sebagai ketidakmerataan sedang, namun perlu diwaspadai

karena nilainya hampir mendekati kategori ketidakmerataan tinggi dan terdapat

kecenderungan untuk meningkat tiap tahunnya. Daerah dengan angka indeks gini

terendah di KBI adalah Provinsi Bangka Belitung dengan nilai indeks gini pada tahun

2009 sebesar 0,28. Kondisi ini berarti ketimpangan distribusi pendapatan di Provinsi

Bangka Belitung termasuk kategori ketimpangan rendah.

Dibandingkan dengan ketimpangan distribusi pendapatan KBI, KTI memiliki

ketimpangan pendapatan yang relatif lebih tinggi, hal ini tercermin dari indeks gini

yang berada pada kisaran 0,30 hingga 0,40 (Gambar 4.7). Sama halnya dengan KBI,

angka indeks gini ini masih tergolong sebagai ketidakmerataan sedang, namun perlu

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

0,35

0,4

0,45

Gini 2006 Gini 2009

63

diwaspadai karena nilainya hampir mendekati kategori ketidakmerataan tinggi dan

terdapat kecenderungan untuk meningkat tiap tahunnya.

Sumber: BPS, diolah dari data Susenas Kor 2006 dan 2009 Gambar 4.7. Perbandingan Angka Indeks gini Kabupaten Tertinggal KTI,

menurut Provinsi Tahun 2006-2009

Angka indeks gini kabupaten tertinggal KTI tertinggi dicatat oleh Provinsi

Papua, dengan angka indeks gini tahun 2006 sebesar 0,39 dan meningkat menjadi

sebesar 0,41 pada tahun 2009. Angka indeks gini terendah di KTI dicatat oleh

kabupaten tertinggal di Provinsi Kalimantan Tengah dengan angka indeks gini tahun

2006 sebesar 0,26 dan meningkat menjadi sebesar 0,29 pada tahun 2009. Fenomena

yang perlu digarisbawahi mengenai kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di

kabupaten tertinggal ini adalah, adanya kecenderungan peningkatan nilai tiap

tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi yang

terjadi di sebagian besar wilayah kabupaten tertinggal tidak diikuti dengan

pemerataan distribusi pendapatan masyarakatnya.

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

0,35

0,4

0,45

Gini 2006 Gini 2009

64

4.2.3. Dinamika Kemiskinan

Kondisi ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal yang memiliki

kecenderungan untuk meningkat tiap tahunnya kiranya perlu dicermati. Kondisi ini

dapat menyebabkan pertumbuhan berpotensi untuk meningkatkan tingkat

kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah multi dimensi yang menarik untuk

dicermati. Indikator kemiskinan yang paling sering mendapat perhatian publik adalah

jumlah dan persentase penduduk miskin. Melalui kedua indikator ini, kinerja

pembangunan ekonomi yang mampu menyejahterakan masyarakat dapat diukur. Data

BPS menunjukkan bahwa capaian angka kemiskinan di Indonesia membaik, hal ini

tercermin dari adanya kecenderungan penurunan nilai tiap tahunnya. Angka

kemiskinan Indonesia tahun 2009 tercatat sebesar 14,15persen. Indikator kemiskinan

ini mengalami perbaikan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang

tercatat sebesar 15,42persen. Hal ini berarti terjadi penurunan angka kemiskinan di

Indonesia sebesar 1,27persen.

Sama halnya dengan kondisi nasional, capaian indikator kemiskinan

kabupaten tertinggal juga membaik. Hampir seluruh kabupaten tertinggal mengalami

penurunan angka kemiskinan sejak tahun 2006 hingga 2009. Rata-rata persentase

kemiskinan kabupaten tertinggal menurut provinsi juga mengalami penurunan dalam

kurun waktu 2006-2009. Rata-rata penurunan persentase penduduk miskin kabupaten

tertinggal tertinggi adalah di Provinsi Gorontalo dengan rata-rata penurunan

persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal sebesar 11,3 persen (Gambar 4.8).

Persentase penurunan penduduk miskin yang cukup besar di Gorontalo ini diimbangi

dengan capaian nilai pertumbuhan ekonomi yang besar (Lampiran 6). Sehingga dapat

dikatakan pertumbuhan ekonomi di Gorontalo pro terhadap rakyat miskin (pro poor

growth).

65

Sumber: BPS (2009b), diolah Gambar 4.8. Rata-Rata Penurunan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten

Tertinggal, Tahun 2006-2009 Kondisi yang sama terjadi untuk Provinsi Kepulauan Riau, dimana capaian

penurunan persentase penduduk miskin yang cukup besar (11,0 persen) diikuti

dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (23,63 persen). Kondisi ini

mengisyaratkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kepulauan Riau telah

mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan pembangunan yang juga mampu

menurunkan tingkat kemiskinan.

Indikator kemiskinan lainnya, yaitu rata-rata persentase penduduk miskin

(Gambar 4.9), mencatat bahwa provinsi yang memiliki rata-rata persentase penduduk

miskin kabupaten tertinggal tertinggi tahun 2009 adalah Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY), yaitu sebesar 24,55 persen pada tahun 2009 (Lampiran 6).

Ironisnya, pada tahun yang sama, Daerah Istimewa Yogyakarta juga tercatat sebagai

provinsi di KBI yang memiliki angka indeks gini yang tinggi (Gambar 4.6). Satu hal

yang menarik untuk dicermati pada Provinsi DIY adalah fakta bahwa pada tahun

2010 Provinsi DIY mencapai prestasi yang cukup baik dalam pengentasan kabupaten

tertinggal, dimana provinsi ini telah berhasil mengentaskan sebanyak 2 (dua)

7,5

9,7

5,3

7,6

5,1

8,8

6,85,4

3,9

11,0

4,9

7,8

3,9

6,0

3,93,1

6,95,9

7,9

4,44,8

7,4

3,9

5,8

3,2

6,4

11,3

5,65,9

3,3

5,6 5,6

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

Nangroe

 Aceh Da

russalam

Sumatera Utara

Sumatera Ba

rat

Riau

Jambi

Sumatera Selatan

Bengkulu

Lampu

ngBa

ngka Belitu

ngKe

pulauan Riau

Jawa Ba

rat

Jawa Tengah

D.I. Yo

gyakarta

Jawa Timur

Banten Bali

Nusa Tenggara Barat

Nusa Tenggara Tim

urKalim

antan Ba

rat

Kalim

antan Tengah

Kalim

antan Selatan

Kalim

antan Timur

Sulawesi U

tara

Sulawesi Ten

gah

Sulawesi Selatan

Sulawesi Ten

ggara

Goron

talo

Sulawesi Barat

Maluku

Maluku Utara

Papu

a Ba

rat

Papu

a

66

kabupaten tertinggal di wilayahnya, sehingga pada tahun yang sama Provinsi DIY

tidak lagi memiliki kabupaten tertinggal. Capaian yang cukup baik ini nyatanya tidak

diikuti dengan capaian yang baik pula pada indikator kemiskinan dan ketimpangan.

Hal ini menunjukkan bahwa belum adanya sinkronisasi pada kebijakan pengentasan

kemiskinan di kabupaten tertinggal dengan kebijakan pengentasan kabupaten

tertinggal. Faktor lain yang diduga menyebabkan terjadinya kondisi yang saling

bertolak belakang ini adalah faktor tidak dimasukkannya indikator kemiskinan

sebagai salah satu kriteria kabupaten tertinggal.

Sumber: BPS (2009b), diolah Gambar 4.9. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin Kabupaten

Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

Indikator kemiskinan yang diwujudkan dalam rata-rata persentase penduduk

miskin kabupaten tertinggal di KTI memiliki karakteristik yang hampir sama dengan

KBI (Gambar 4.10), dimana hampir di semua provinsi mengalami penurunan rata-

rata persentase penduduk miskin. Rata-rata persentase penduduk miskin tertinggi baik

pada tahun 2006 maupun tahun 2009 di KTI adalah di Provinsi Papua, dengan rata-

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

35,00

Po 2006 Po 2009

67

rata persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal tahun 2006 sebesar 41,95

persen dan turun menjadi sebesar 36,40 persen pada tahun 2009 (Lampiran 6). Sama

halnya dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua juga tercatat

sebagai provinsi dengan persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal tertinggi

dan diikuti dengan capaian tertinggi dalam hal ketimpangan distribusi pendapatan

(Gambar 4.7).

Sumber: BPS (2009b), diolah Gambar 4.10. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin

Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

Analisis lebih mendalam mengenai gambaran dinamika kemiskinan

kabupaten tertinggal pada tingkat kabupaten dapat dilihat dengan membandingkan

kondisi pertumbuhan dan kemiskinan pada tahun 2006 dan 2009, melalui analisis

kuadran. Kuadran 1 menunjukkan kondisi terbaik, yaitu apabila kabupaten tertinggal

memiliki karakteristik pertumbuhan diatas rata-rata dan kemiskinan yang rendah (di

bawah rata-rata). Kuadran 2 menunjukkan kondisi dimana kabupaten tertinggal

memiliki karakteristik pertumbuhan ekoomi yang tinggi namun diikuti dengan

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

35,00

40,00

45,00

Po 2006 Po 2009

68

persentase kemiskinan yang tinggi. Kuadran 3 menunjukkan kondisi terburuk dimana

kabupaten tertinggal memiliki karakteristik pertumbuhan ekonomi yang rendah (di

bawah rata-rata) dengan persentase kemiskinan yang tinggi, sedangkan kuadran 4

menunjukkan kondisi dimana kabupaten tertinggal memiliki karakteristik

pertumbuhan ekonomi yang rendah namun dengan persentase kemiskinan yang

rendah pula.

Hasil analisis kuadran menunjukkan bahwa kabupaten tertinggal di KBI

tersebar secara merata di setiap kuadran, sedangkan kabupaten tertinggal di KTI

mengumpul di sekitar garis rata-rata dengan konsentrasi terbanyak di kuadran1 dan 4

(Lampiran 7). Kondisi kabupaten tertinggal di KBI memiliki karakteristik yang

cukup baik, terlihat banyak kabupaten tertinggal yang pada tahun 2006 maupun 2009

berada pada kuadran 1 (kuadran terbaik) atau setidaknya berada pada kuadran 4

(pertumbuhan rendah, kemiskinan rendah). Beberapa kabupaten tercatat berada pada

kuadran terburuk (kuadran 3) yaitu kabupaten tertinggal di provinsi NAD, yaitu;

Simelue, Aceh Singkil, Aceh Barat Daya, Gayo Lues, Nagan Raya, Aceh Jaya, Bener

Meriah dan kabupaten tertinggal di wilayah Bengkulu yaitu, Bengkulu Selatan, Kaur

serta Seluma. Dari seluruh kabupaten yang disebutkan di atas hanya kabupaten Aceh

Barat Daya yang memiliki catatan perbaikan, sedangkan yang lain tetap. Kabupaten

Aceh Barat Daya tersebut posisinya berubah dari kuadran 3 ke kuadran 2, artinya

mengalami perbaikan karakteristik pertumbuhan ekonomi namun tidak dalam

karakteristik kemiskinan.

Kabupaten tertinggal lainnya yang tercatat mengalami perbaikan kondisi

antara lain adalah Kabupaten Nias, Tapanuli Tengah, Lahat, Musi Rawas dan

Lampung Timur, dimana posisinya berubah dari kuadran 2 menuju kuadran 1.

Kondisi ini dapat diartikan sebagai perbaikan dalam hal penurunan persentase

kemiskinan di kabupaten-kabupaten tersebut. Perbaikan dalam penurunan persentase

kemiskinan dialami oleh Kabupaten Lingga, yang posisinya berubah dari kuadran 3

ke kuadran 4, sedangkan perbaikan kondisi yang sangat signifikan dialami oleh

Kabupaten Banjarnegara yang posisinya berubah dari kuadran 4 (pertumbuhan

rendah, kemiskinan rendah) ke kuadran 1 (pertumbuhan tinggi, kemiskinan rendah).

69

Kondisi yang cukup ekstrem dialami oleh kabupaten Rembang, Kulon Progo

dan Gunung Kidul, yang posisinya berubah dari kuadran 4 ke kuadran 2, kondisi ini

dapat diartikan bahwa terjadi perbaikan dalam capaian pertumbuhan ekonomi, namun

diiringi dengan peningkatan persentase penduduk miskin di wilayah ini. Kondisi

yang dicapai oleh ketiga kabupaten ini perlu dicermati, agar kedepannya

pertumbuhan ekonomi yang dicapai dapat diikuti dengan peningkatan kesejahteraan

masyarakat yang tercermin dari adanya penurunan persentase kemiskinan.

Kabupaten Bengkulu Utara merupakan satu-satunya kabupaten di KBI yang

mengalami kemunduran. Hal ini tercermin dari berubahnya posisi Kabupaten

Bengkulu Utara dari kuadran 1 ke kuadran 4, yang dapat diartikan bahwa terjadi

penurunan dalam hal capaian pertumbuhan ekonomi di kabupaten ini. Kebijakan

pemerintah yang dapat mendorong meningkatnya aktifitas ekonomi kiranya

diperlukan untuk memperbaiki capaian pertumbuhan Kabupaten Bengkulu Utara di

masa datang.

Berbeda halnya dengan kondisi yang terjadi di wilayah KBI, analisis kuadran

menunjukkan bahwa kondisi pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan kabupaten

tertinggal KTI tidak lebih baik pencapaiannya. Hal ini ditunjukkan dengan masih

banyaknya kabupaten tertinggal yang berada di kuadran 3. Tercatat hanya kabupaten

tertinggal di wilayah Kalimantan dan Sulawesi yang menyebar di kuadran 1 dan 4.

Hasil perbandingan analisis kuadran dari kabupaten tertinggal KBI dan KTI, terlihat

bahwa pola penyebaran karakteristik kabupaten tertinggal jauh berbeda. Kabupaten

tertinggal di KBI cenderung menyebar merata di tiap kuadran, sedangkan di KTI

kabupaten tertinggal terlihat lebih terkonsentrasi di sekitar kuadran 3 dan 4.

Kabupaten tertinggal yang berpindah antar kuadran di KTI ternyata tidak

sebanyak yang terjadi di KBI. Kabupaten tertinggal di KTI rata-rata memiliki

karakteristik yang seragam, dimana terdapat kecenderungan untuk tetap berada pada

kuadran yang sama baik di tahun 2006 maupun di tahun 2009. Tercatat hanya sekitar

14 kabupaten dari 123 kabupaten tertinggal di KTI yang mengalami perpindahan

kuadran, sisanya tetap. Ke-14 kabupaten tersebut diantaranya adalah Kabupaten

Lombok Tengah, Bima, Sanggau, Kolaka, Polewali Mandar dan Merauke yang

70

mengalami perbaikan karakteristik kemiskinan dengan pertumbuhan ekonomi di atas

rata-rata, atau berpindah dari kuadran 2 ke kuadran 1. Kabupaten lainnya yaitu

Kabupaten Boalemo, Gorontalo, Pohuwatu, Bone Bolango dan Jayapura mengalami

perpindahan dari kuadran 3 ke kuadran 4, atau mengalami perbaikan indikator

kemiskinan dengan pertumbuhan di bawah rata-rata. Kabupaten Muna tercatat

mengalami perbaikan yang cukup baik dalam karakteristik pertumbuhan dan

kemiskinan, hal ini terbukti dengan berpindahnya kabupaten ini dari kuadran 4 di

tahun 2006 menjadi kuadran 1 di tahun 2009. Kabupaten Tana Toraja mengalami

kemunduran kondisi dimana perpindahan kuadran yang terjadi adalah dari kuadran 1

ke kuadran 4, yang artinya terjadi kemunduran geliat ekonomi di kabupaten ini,

sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi di bawah rata-rata kabupaten tertinggal.

Satu hal yang cukup menarik untuk dicermati, bahwa terdapat variasi yang

seragam apabila karakteristik kabupaten tertinggal ini dilihat per masing-masing

pulau. Kabupaten tertinggal yang terletak di pulau Kalimantan dan Sulawesi memiliki

kecenderungan untuk berada di kuadran 1 dan 4, sedangkan kabupaten tertinggal di

wilayah Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki kecenderungan

berada di kuadran 3.

4.3. Bantuan Stimulus Infrastruktur

Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2006, menjadi dasar hukum pelaksanaan

Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang

dilaksanakan oleh Kementrian PDT. Peningkatan infrastruktur ini diharapkan dapat

menjadi pendorong dalam pengentasan daerah tertinggal. Selain untuk mengentaskan

daerah tertinggal, program P2IPDT ini juga sebagai solusi mengatasi ketimpangan

infrastruktur.

Program P2IPDT ini merupakan salah satu bentuk kegiatan pokok dari

pemerintah kepada daerah tertinggal di bidang pembangunan infrastruktur pedesaan

dan menjadi stimulan kegiatan pendukung atau pendorong pembangunan

infrastruktur daerah melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi, informasi

dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi dalam bentuk bantuan sosial dengan

71

pendekatan pemberdayaan masyarakat. Bantuan stimulan bersifat komplementer dan

integral terhadap sektor terkait dan program daerah yang bersangkutan.

Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah Gambar 4.11. Perbandingan Pertumbuhan Bantuan Stimulus Infrastruktur

(P2IPDT), menurut Provinsi Tahun 2006-2009 Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementrian PDT, dalam kurun waktu

tahun 2006-2009, bantuan stimulus infrastruktur yang diberikan berfluktuatif.

Besaran pemberian bantuan dan jenis bantuan stimulus infrastruktur ini didasarkan

pada kebutuhan masing-masing daerah tertinggal. Dari sebanyak 199 kabupaten

tertinggal, terdapat sebanyak 82 kabupaten tertinggal yang secara kontinu sejak tahun

2007 hingga 2009 mendapatkan bantuan stimulus infrastruktur tiap tahunnya. Rata-

rata pertumbuhan bantuan stimulus infrastruktur tertinggi selama periode waktu

tersebut adalah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dengan capaian sebesar lebih dari

1.417,29 persen (Lampiran 8). Capaian angka pertumbuhan bantuan P2IPDT yang

cukup besar di NAD disebabkan oleh fakta bahwa pada tahun 2006 pemulihan

kondisi NAD pasca bencana alam tsunami, bantuan infrastruktur di provinsi ini

banyak terserap dan dikoordinir oleh Badan Rekontruksi Aceh dan Nias. Kementrian

‐2000

200400600800

1000120014001600

Nangroe

 Aceh Da

russalam

Sumatera Utara

Sumatera Ba

rat

Riau

Jambi

Sumatera Selatan

Bengkulu

Lampu

ngBa

ngka Belitu

ngKe

pulauan Riau

Jawa Ba

rat

Jawa Tengah

D.I. Yogyakarta

Jawa Timur

Banten Bali

Nusa Tenggara Barat

Nusa Tenggara Tim

urKalim

antan Ba

rat

Kalim

antan Tengah

Kalim

antan Selatan

Kalim

antan Timur

Sulawesi U

tara

Sulawesi Ten

gah

Sulawesi Selatan

Sulawesi Ten

ggara

Goron

talo

Sulawesi Barat

Maluku

Maluku Utara

Papu

a Ba

rat

Papu

a

72

PDT kembali melaksanakan fungsinya dalam percepatan pembangunan infrastruktur

di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sejak tahun 2009.

Terdapat 5 provinsi yang tercatat mengalami penurunan rata-rata bantuan

stimulus infrastruktur. Kelima provinsi tersebut antara lain; Kepulauan Riau, Bali,

NTB, Papua barat dan Papua. Penurunan ini tercermin dari nilai laju pertumbuhan

bantuan stimulus infrastruktur periode 2007-2009 yang bernilai negatif. Penurunan

nilai bantuan infrastruktur provinsi Kepulauan Riau dan Bali ini diduga terkait

dengan semakin membaiknya kinerja perekonomian daerah di dua provinsi tersebut.

Data BPS menunjukkan angka pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yaitu

sebesar 4,57 persen untuk Provinsi Kepulauan Riau dan 5,94 persen untuk Provinsi

Bali.

Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah Gambar 4.12. Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur

(P2IPDT) di KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

Apabila dibandingkan per provinsi KBI, rata-rata bantuan stimulus

infrastruktur terbesar tercatat di kabupaten tertinggal Provinsi Riau. Tercatat pada

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

2007

2008

2009

73

tahun 2009, rata-rata bantuan stimulus infrastruktur kabupaten tertinggal adalah

sebesar Rp. 5.261,66 juta (Lampiran 7). Besarnya dana bantuan stimulus infrastruktur

ini ternyata memiliki arti positif dalam menggerakkan perekonomian kabupaten

tertinggal. Hal ini terbukti dengan tingginya capaian pertumbuhan ekonomi

kabupaten tertinggal di Provinsi Kepulauan Riau, yang diikuti dengan peningkatan

kesejahteraan masyarakatnya. Besaran bantuan stimulus infrastruktur ini juga diduga

memiliki andil dalam mengentaskan kabupaten tertinggal di Provinsi Kepulauan

Riau, sehingga tercatat pada tahun 2010, Povinsi Riau tidak lagi memiliki kabupaten

yang tergolong tertinggal.

Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah Gambar 4.13. Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur

(P2IPDT) di KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di kabupaten tertinggal KTI.

Provinsi Sulawesi Utara tercatat sebagai Provinsi dengan rata-rata bantuan stimulus

infrastruktur terbesar untuk kabupaten tertinggal, yakni sebesar Rp. 2.507,49 juta

(Lampiran 7). Namun tidak seperti Kepulauan Riau, capaian indikator ekonomi dan

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

2007

2008

2009

74

sosial kabupaten tertinggal di Provinsi ini tidak cukup memuaskan. Provinsi Papua

tercatat sebagai provinsi dengan rata-rata bantuan stimulus infrastruktur terendah (Rp.

973,51 juta) pada tahun 2009.

Bantuan stimulus inftrastruktur yang diberikan ke daerah tertinggal

dilaksanakan melalui berbagai bidang bantuan. Pada tahun 2009 program bantuan

stimulus infrastruktur tersebut telah dilaksanakan pada berbagai bidang, yang antara

lain:

1. P2IPDT Bidang Infrastruktur Transportasi

Dalam upaya mengurangi keterisolasian bidang transportasi darat, laut

maupun udara, Kementrian PDT telah mengimplementasikan instrumen P2IPDT.

Bantuan untuk peningkatan infrastruktur transportasi ini diberikan pada

kabupaten tertinggal berupa peningkatan jalan desa, pembangunan jalan desa dan

perbaikan sarana dan prasarana jalan pedesaan kepada 101 desa, pembangunan

dermaga, pengembangan dermaga dan rehabilitasi dermaga kepada 14 desa,

pembelian kapal tempel dan kapal penumpang pada 8 desa.

Nilai bantuan P2IPDT bidang transportasi terbesar yang diimplementasikan

oleh Kementrian PDT adalah pada pembangunan jembatan di Kabupaten Kuantan

Singgigi di Provinsi Riau. Pembangunan jembatan dilakukan dalam 2 tahap, yaitu

pada periode 2008 (tahap 1) dan periode tahun 2009 (tahap 2). Total nilai

pembangunan jembatan untuk kedua tahap tersebut mencapai Rp. 7,5 milyar.

Bantuan P2IPDT bidang transportasi tahun 2009, selain itu diimplementasikan

pada beberapa kabupaten tertinggal dengan membangun jalan desa (Kabupaten

Tapanuli Tengah, Rokan Hulu, Hulu Sungai Utara, Buol serta beberapa

kabupaten tertinggal lainnya). Bantuan P2IPDT bidang transportasi

diimplementasikan pula dengan membangun dermaga/pelabuhan rakyat pada

beberapa kabupaten tertinggal (Kabupaten Kolaka dan Morowali). Pemberian

bantuan melalui pengadaan sarana transportasi juga dilakukan oleh Kementrian

PDT, diantaranya di Kabupaten Indragiri Hilir, Pesisir Selatan, Pangkajene

Kepulauan dan beberapa kabupaten tertinggal lainnya. Nilai bantuan P2IPDT

bidang transportasi untuk pengadaan jalan desa, dermaga/pelabuhan rakyat dan

75

sarana transportasi pedesaan nilainya relatif amat kecil bila dibandingkan dengan

nilai bantuan P2IPDT untuk pembangunan jembatan di Kabupaten Kuantan

Singgigi.

Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah besarnya dana yang digulirkan

untuk pembangunan jembatan di Kabupaten Kuantan Singgigi (Provinsi Riau).

Dana yang terserap pada pembangunan jembatan jauh lebih besar bila

dibandingkan dengan dana yang terserap untuk pembangunan jalan desa,

dermaga/pelabuhan rakyat dan transportasi pedesaan. Padahal data menunjukkan

bahwa pendapatan asli daerah Provinsi Riau sangatlah besar, yaitu mencapai Rp.

1,27 triliun atau menempati posisi kedelapan provinsi dengan PAD terbesar.

Kenyataan ini sangat kontradiktif, dimana seharusnya pemberian bantuan

stimulus infrastruktur diberikan pada kabupaten lain yang memiliki sumber daya

yang relatif kurang.

2. P2IPDT Bidang Infrastruktur Informasi dan Telekomunikasi

Sejak tahun 2007 Kementrian PDT telah memberikan bantuan infrastruktur

P2IPDT berupa peralatan internet dan peralatan komputer untuk sekolah, alat

komunikasi handy talky dan Warung Informasi Masyarakat (WIM) kepada 24

kabupaten tertinggal. Kementrian PDT bekerjasama dengan Kementrian

Komunikasi dan Informasi, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian PDT

menandatangani kesepahaman bersama 3 menteri dalam menangani ppenyediaan

infrastruktur telekomunikasi “Program Desa Berdering” berupa telepon dasar

minimal satu satuan sambungan telepon (SST) untuk satu desa pada tahun 2010.

Bantuan P2IPDT bidang informasi dan telekomunikasi tahun 2009

(pembangunan WIM) diantaranya diimplementasikan di Kabupaten Tapanuli

Tengah, Dairi, Pesisir Selatan, Ogan Komering Ulu Selatan, Mamasa, Mamuju

Utara, Luwu Utara, Konawe, Gorontalo dan beberapa kabupaten tertinggal

lainnya. Pembangunan WIM ini lebih banyak dilakukan di kabupaten tertinggal

kawasan timur Indonesia (KTI). Satu hal yang menarik untuk menjadi perhatian

adalah fakta bahwa kualitas sumber daya manusia di KTI masih relatif rendah.

Data Susenas BPS tahun 2009 menunjukkan bahwa hanya sebesar 31,50 persen

76

penduduk di KTI yang memiliki ijasah setingkat Sekolah Menengah Pertama

(SMP) atau lebih. Kondisi ini menjadi suatu indikasi bahwa WIM dapat dinikmati

oleh masyarakat tertentu saja (terutama masyarakat dengan tingkat pendidikan

tertentu dan yang mengikuti perkembangan teknologi informasi).

3. P2IPDT Bidang Infrastruktur Energi

Pemanfaatan sumber energi terbarukan telah menjadi tujuan pengembangan

energi nasional dalam rangka penyediaan listrik di pedesaan. Pemanfaatan sumber

daya energi terbarukan di daerah terpencil adalah untuk menghemat cadangan

sumber bahan bakar fosil (minyak bumi dan batubara) dan untuk melestarikan

lingkungan hidup. Sampai dengan tahun 2005 terdapat kurang lebih 19 juta KK di

seluruh Indonesia yang belum berlistrik, dari jumlah tersebut yang berada di

daerah tertinggal dan tidak bisa dilayani PLN dalam kurun waktu 5-10 tahun

kedepan adalah sebesar 5 juta KK atau sebanyak 10 ribu desa.

Jumlah KK yang sudah mendapat bantuan infrastruktur energi adalah

sebanyak 58.300 KK di 1.016 desa berupa PLTS tersebar, sebanyak kurang lebih

39.970 unit. PLTS terpusat sebanyak kurang lebih 4.380 unit, PLTMH sebanyak

kurang lebih 53 unit (13.200 KK). BCS sebanyak kurang lebih 3 unit (600 KK)

dan bantuan jaringan listrik untuk 5 desa (750 KK). Masih terdapat sekitar 4,9

juta KK atau sekitar 9000 desa di daerah tertinggal masih belum menikmati

listrik.

4. P2IPDT Bidang Infrastruktur Ekonomi

Sejak tahun 2006, Kementrian PDT melalui P2IPDT bidang infrastruktur

ekonomi telah memberikan bantuan sebanyak 18 jenis pada kabupaten tertinggal

yang tersebar di 290 desa dan 514 kabupaten. Bantuan tersebut berupa

pembangunan los kios pasar, pamboat plus alat tangkap ikan, alat pengering ikan

berkadar garam rendah, rehabilitasi irigasi, alat mesin pertanian (handtractor dan

power thrasher), ice flake (mesin pembuat es curah), cold storage, alat mesin

penyuling nilam, cold box, alat mesin perontok padi, sarana dan prasarana

budidaya rumput laut serta alat mesin pengolah pakan ternak, pakan ikan.

77

Salah satu implementasi P2IPDT bidang infrastruktur ekonomi tahun 2009

adalah pengadaan hand tractor di Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung.

Pengadaan hand tractor di kabupaten ini sudah cukup sesuai, mengingat

Kabupaten Way Kanan masih mengandalkan sektor pertanian terutama subsektor

tanaman bahan makanan dalam perekonomiannya. Sektor pertanian memberikan

kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB kabupaten ini (BPS, 2004).

Implementasi P2IPDT bidang infrastruktur ekonomi tahun 2009 lainnya adalah

pengadaan Cool Box, Pamboat, Ketinting 5,5 PK dan rumpon laut dalam di

Kabupaten Kepulauan Sangihe. Alat-alat tersebut merupakan alat penunjang

subsektor perikanan di kabupaten ini. Pengadaan alat tersebut cukup sesuai

dengan karakteristik Kabupaten Kepulauan Sangihe. Data BPS (2004) mencatat

bahwa Kabupaten Kepulauan Sangihe masih mengandalkan sektor pertanian

dalam perekonomiannya terutama pada subsektor perikanan (subsektor kedua

setelah tanaman perkebunan dengan kontribusi PDRB terbesar).

Implementasi P2IPDT bidang infrastruktur ekonomi tahun 2009 pada

beberapa kabupaten tertinggal lainnya masih dilaksanakan dengan melakukan

pengadaan alat mesin pertanian. Seperti halnya pada Kabupaten Way Kanan dan

Kepulauan Sangihe, beberapa kabupaten tertinggal penerima bantuan P2IPDT

bidang infrastruktur ekonomi, perekonomiannya masih bertopang pada sektor

pertanian (agricultural base).

5. P2IPDT Bidang Infrastruktur Sosial

Kementrian PDT dalam menangani dan meningkatkan infrastruktur sosial

diorientasikan pada:

a. Bidang kesehatan, difokuskan pada sarana dan prasarana kesehatan yang

bersifat mobile (baik darat maupun laut) agar dapat memberikan pelayanan

kesehatan yang optimal di daerah terpencil, pesisir dan pulau-pulau kecil

terutama di daerah perbatasan. Selain itu pembangunan puskesmas pembantu

(Pustu) diarahkan pada daerah-daerah yang belum memiliki Pustu.

78

b. Bidang permukiman, difokuskan pada penyediaan air bersih bagi desa yang

rawan air bersih khususnya di daerah rentan kekeringan, daerah pulau-pulau

kecil serta daerah yang rawan bencana alam

c. Bidang pendidikan, diarahkan pada rehabilitasi dan pembangunan sekolah

dasar yang rusak berat di desa-desa tertinggal.

Selain itu, Kementrian PDT juga memberikan bantuan sosial berupa penyediaan

air bersih untuk rumahtangga. Jumlah KK yang sudah mendapat bantuan sosial

air bersih dari Kementrian PDT melalui infrastruktur sosial ini sebanyak 9050 KK

(2006-2009). Prioritas bantuan P2IPDT Bidang Infrastruktur Sosial tahun 2009

masih pada pengadaan sarana air bersih. Kedepannya infrastruktur pendidikan

kiranya perlu menjadi prioritas mengingat berdasarkan teori pertumbuhan

endogen peningkatan kualitas sumber daya manusia (knowledge) merupakan

salah satu pendukung pertumbuhan ekonomi.

Tabel 4.1. Cakupan Kabupaten Penerima P2IPDT dan Proporsi Nilai Bantuan P2IPDT per Jenis Bantuan di Kabupaten Tertinggal, Tahun 2007-2009

Jenis Bantuan

Tahun

2007 2008 2009

Cakupan Proporsi

(%) Cakupan

Proporsi

(%) Cakupan

Proporsi

(%)

Transportasi 15 5.10 27 4.23 23 6.30

Informasi dan Telekomunikasi 10 2.34 2 0.24 12 1.44

Energi 80 73.61 176 86.45 174 88.18

Ekonomi 31 12.12 14 1.98 37 3.35

Sosial 23 6.83 124 7.10 2 0.73

Total 100,00 100,00 100,00

Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah

Tabel 4.1. menyajikan data cakupan kabupaten dan proporsi nilai bantuan

stimulus infrastruktur per jenis bantuan. Bantuan stimulus infrastruktur bidang energi

79

terlihat merupakan prioritas utama Kementrian PDT tiap tahunnya, terlihat dari

proporsi bantuan infrastruktur energi terhadap total yang besarannya hingga

mencapai lebih dari 70 persen tiap tahunnya dan cakupan kabupaten penerima

bantuan terbanyak. Proporsi nilai bantuan infrastruktur energi pada tahun 2009

mencapai 88,18 persen dari total dana yang diberikan ke kabupaten tertinggal.

Infrastruktur transportasi pada tahun 2009 tercatat merupakan infrastruktur prioritas

kedua, dengan besaran proporsi nilai bantuan yang masih relatif kecil, yaitu sebesar

6,30 persen. Beberapa penelitian terdahulu diantaranya Canning dan Pedroni (1999)

serta Seetanah, et al (2010) menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi merupakan

infrastruktur yang menyumbang kontribusi terbesar pada pertumbuhan, untuk itu

kiranya perlu dipertimbangkan untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur

transportasi sebagai infrastruktur prioritas utama pada pembangunan kabupaten

tertinggal.

V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR

TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN

KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL

5.1. Hasil Estimasi

Analisis mengenai pengaruh bantuan infrastruktur (P2IPDT) terhadap

perekonomian, ketimpangan dan kemiskinan dalam penelitian ini, dilakukan dengan

menghitung pengaruh total bantuan P2IPDT maupun per jenis bantuan P2IPDT yang

diterima kabupaten tertinggal. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa bantuan

P2IPDT diberikan pada kabupaten tertinggal dalam bidang transporasi, energi,

informasi dan telekomunikasi, sosial dan ekonomi.

Tabel 5.1 dan 5.2 masing-masing menyajikan hasil estimasi pengaruh bantuan

infrastruktur terhadap perekonomian (model 1) dan pengaruh aktifitas perekonomian

terhadap kemiskinan (model 2) dengan menggunakan beberapa teknik ekonometrik,

antara lain metode panel statis, panel dinamis dan panel instrumental variable.

Penggunaan berbagai metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi

hasil estimasi, melihat kebaikan, robustness model, serta validitas di antara berbagai

metode estimasi yang digunakan. Secara khusus, hasil ini juga dapat digunakan untuk

mengkomparasi hasil estimasi dari model panel statis, panel dinamis dan panel

instrumental variable, mengingat masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan

dan kekurangan.

Metode panel data dinamis digunakan dalam penelitian ini mengingat

kelebihan metode panel data dinamis yang sanggup mengatasi endogeneity problem

terkait dengan penggunaan lag variabel dependen, dimana pada metode panel data

statis penggunaan lag variabel dependen menyebabkan hasil estimasi menjadi bias

dan tidak konsisten. Penggunaan metode panel instrumental variable digunakan

mengingat keterbatasan metode panel data statis dan dinamis jika digunakan pada

lebih dari satu persamaan. Digunakannya dua persamaan dalam penelitian ini adalah

untuk melihat mekanisme transmisi bantuan stimulus infrastruktur terhadap

82

penurunan penduduk miskin (melalui jalur perekonomian) menjadi satu alasan

digunakannya metode panel instrumental variable.

Estimasi dari ketiga metode ekonometrik yang digunakan tersebut

menunjukkan hasil yang bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing

metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Pada model panel data statis

menggunakan model Random Effect (RE), hasil estimasi untuk variabel inflasi dan

jumlah populasi, terbukti nyata memengaruhi perekonomian (PDRB per kapita).

Hasil yang berbeda didapatkan pada estimasi pengaruh variabel indeks gini, bantuan

stimulus infrastruktur (P2IPDT) dan kuadrat bantuan, dimana ketiga variabel tersebut

tidak signifikan memengaruhi perekonomian, namun demikian hasil estimasi

koefisien menunjukkan arah yang sama dengan hasil estimasi menggunakan metode

panel dinamis. Hasil estimasi panel data statis untuk dummy variable yang

digunakan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara petumbuhan

ekonomi KBI dan KTI.

Hasil estimasi yang tidak konsisten antara hasil model 1 dan model 2

didapatkan pada penggunaan metode panel data statis. Pada hasil estimasi model 1,

variabel indeks gini nyata positif memengaruhi perekonomian. Kondisi ini dapat

diartikan bahwa meningkatnya aktifitas perekonomian di kabupaten tertinggal diikuti

pula oleh kenaikan ketimpangan ditribusi pendapatan masyarakat daerah tertinggal,

sehingga seharusnya kondisi ini tidak mampu menurunkan persentase kemiskinan di

kabupaten tertinggal. Kenyataan yang berkebalikan didapat pada hasil estimasi model

2, dimana dapat disimpulkan bahwa perekonomian di kabupaten tertinggal mampu

menurunkan angka kemiskinan. Kondisi ini ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi

pada variabel PDRB per kapita yang nyata negatif memengaruhi persentase penduduk

miskin sehingga dapat diartikan kenaikan aktifitas ekonomi diikuti oleh penurunan

persentase penduduk miskin. Hasil yang tidak konsisten ini diduga merupakan akibat

dari kelemahan panel data statis yang tidak mampu menangkap proses dynamic

adjustment dari perekonomian karena tidak diikutsertakannya lag dependent variable

(lag PDRB per kapita) dalam model.

83

Berbeda halnya dengan hasil estimasi yang didapatkan dengan menggunakan

metode panel data dinamis, dimana hasil estimasi antara model 1 dan model 2

menunjukkan arah yang konsisten. Pada estimasi panel data dinamis dalam model 1

menunjukkan bahwa variabel indeks gini nyata positif memengaruhi PDRB per

kapita, yang artinya efek distribusi pendapatan yang besar menyebabkan aktifitas

perekonomian yang semakin tinggi tidak mampu menurunkan kemiskinan. Hasil

yang sama ditunjukkan pada estimasi model 2, dimana nilai koefisien regresi variabel

PDRB per kapita nyata positif memengaruhi persentase penduduk miskin, yang

artinya kenaikan aktifitas perekonomian diikuti dengan kenaikan persentase

penduduk miskin.

Estimasi koefisien pada metode panel instrumental variable (IV) model Fixed

Effect (FE) menunjukkan hasil yang tidak lebih baik (Tabel 5.2). Terlihat bahwa

hanya variabel PDRB per kapita yang nyata negatif memengaruhi persentase

penduduk miskin, sedangkan variabel pengeluaran pemerintah baik nominal maupun

kuadrat nominalnya tidak nyata dalam menurunkan persentase penduduk miskin.

Kelemahan lain pada estimasi panel instrumental variable ini adalah tidak dapat

dilihatnya pengaruh bantuan terhadap perekonomian kabupaten tertinggal karena

variabel tersebut telah diinstrumenkan ke dalam persamaan model 2. Melihat hasil

estimasi dari ketiga metode ekonometrik yang telah diulas di atas, maka disimpulkan

bahwa dalam penelitian ini metode panel data dinamis dipilih sebagai metode yang

lebih tepat dalam menjelaskan model pengaruh bantuan terhadap perekonomian dan

persentase kemiskinan.

5.1.1. Analisis Pengaruh Bantuan Infrastruktur terhadap Perekonomian Kabupaten Tertinggal

Arah koefisien regresi yang dihasilkan dalam estimasi panel data dinamis

dengan menggunakan variabel total bantuan P2IPDT sebagian besar telah sesuai

dengan kajian teori ekonomi (Tabel 5.1). Variabel lag PDRB per kapita nyata positif

memengaruhi PDRB per kapita tahun berjalan, dengan nilai koefisien sebesar 0,859.

Angka sebesar ini dapat diartikan sebagai kenaikan sebesar Rp. 1 juta pada PDRB per

84

kapita tahun sebelumnya akan meningkatkan PDRB per kapita tahun berjalan sebesar

Rp. 859 ribu. Hubungan yang positif ini dikarenakan adanya penyesuaian dinamis

(dynamic of adjustment) mengingat variabel PDRB per kapita merupakan variabel

yang dinamis terutama dalam analisis jangka panjang.

Tabel 5.1. Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan P2IPDT (Total dan per Jenis Bantuan) menggunakan Panel Data Statis dan Dinamis

Variabel

Model 1 (Dependent Var: PDRB per kapita)

Total Bantuan Per Jenis Bantuan

RE SysGMM RE SysGMM

Lag PDRB per kapita (Yt-1) - 0,8594341

(0,000) - 0,9612485 (0,000)

Bantuan Infrastruktur (P2IPDT)

-113,446 (0,450)

-97,06834 (0,001) - -

Kuadrat Bantuan Infrastruktur (P2IPDT2)

0,0155132 (0,605)

0,0212297 (0,000) - -

Inflasi (t-1) (Inft_1)

1487431 (0,000)

194524,7 (0,013)

940332,5 (0,000)

131368,6 (0,050)

Jumlah Penduduk (Popt)

-3,10634 (0,000)

-0,2917056 (0,176)

-3,062739 (0,003)

-0,2925832 (0,272)

Indeks gini (t) (Ginit)

788496,9 (0,550)

1634775 (0,003)

535407,9 (0,118)

693669,8 (0,028)

Dummy Bantuan Infrastruktur Transportasi (Dtransp) - - 46504,04

(0,625) 46956,63

(0,582) Dummy Bantuan Infrastruktur Energi (Denergi) - - 27689,4

(0,770) -19161,45

(0,832) Dummy Bantuan Infrastruktur Infotel (Dinfotel) - - -20150,57

(0,887) -12409,84

(0,862) Dummy Bantuan Infrastruktur Sosial (Dsos) - - 15540,48

(0,810) -53979,26

(0,108) Dummy Bantuan Infrastruktur Ekonomi (Dekon)

- - -23612,9 (0,768)

-71113,77 (0,162)

Dummy Wilayah (Dwil)

-1167833 (0,008)

497287,4 (0,037)

-1295852 (0,081)

269979,4 (0,022)

Cat: angka dalam kurung menunjukkan nilai probabilita

Variabel kuadrat bantuan stimulus infrastruktur (P2IPDT) nyata positif

memengaruhi PDRB per kapita, dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,0212. Nilai

bantuan stimulus infrastruktur dalam model panel dinamis nyata negatif

85

memengaruhi PDRB per kapita dengan nilai koefisien sebesar -97,06. Kedua nilai ini

menunjukkan bahwa hubungan antara bantuan dan PDRB per kapita memiliki bentuk

pola U (kuadratik), dimana pada awal bantuan diterapkan terdapat kecenderungan

penurunan nilai PDRB per kapita, hingga pada suatu saat dicapainya titik balik

(turning point), maka bantuan yang diberikan mampu meningkatkan perekonomian.

Hasil estimasi yang negatif pada nilai bantuan dan positif pada nilai kuadrat bantuan

ini juga menjelaskan bahwa dalam meningkatkan perekonomian, dampak

infrastruktur berpengaruh pada jangka menengah dan jangka panjang, mengingat hal

tersebut kiranya perlu dibuat peta bantuan (road map) bagaimana bantuan

didistribusikan ke kabupaten tertinggal, untuk memperbesar dampaknya terhadap

kesejahteraan masyarakat serta memudahkan dalam evaluasi bantuan.

Inflasi tahun sebelumnya nyata positif memengaruhi PDRB per kapita

kabupaten tertinggal dengan nilai koefisien sebesar 194.524,7. Besaran nilai koefisien

regresi ini menunjukkan bahwa apabila terdapat kenaikan 1 persen pada inflasi tahun

sebelumnya, maka akan terjadi kenaikan PDRB per kapita sebesar Rp. 194.524,7 juta.

Hubungan yang positif ini dapat terjadi sebagai akibat adanya inflasi terutama yang

berasal dari adanya dorongan permintaan (demand pull inflation), mengingat di

daerah tertinggal nilai tambah daerah masih didorong oleh konsumsi masyarakat yang

tinggi.

Hasil estimasi panel dinamis pada variabel indeks gini yang dalam hal ini

merupakan ukuran ketimpangan distribusi pendapatan, menunjukkan arah yang

positif dengan nilai koefisien sebesar 1.634.775. Angka ini menunjukkan bahwa

kenaikan indeks gini sebesar 0,01 akan meningkatkan PDRB per kapita sebesar Rp.

16.347,75 juta. Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan aktifitas ekonomi di

kabupaten tertinggal belum mampu menurunkan angka kemiskinan, karena nyatanya

ketimpangan yang semakin tinggi menyebabkan peningkatan pada kinerja

perekonomian. Hasil ini sejalan dengan penelitian Iradian (2005) yang menyatakan

bahwa ketimpangan yang tinggi yang diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang

tinggi menyebabkan penurunan kemiskinan akan sulit terjadi. Hubungan positif

antara indeks gini dengan PDRB per kapita menunjukkan bahwa ada distribusi

86

pendapatan yang timpang di kabupaten tertinggal, dimana peningkatan aktifitas

perekonomian hanya dinikmati oleh masyarakat berpendapatan tinggi. Kondisi yang

sama terjadi pada level nasional, data BPS pada tahun 2009 mencatat bahwa

sebanyak 44,90 persen pendapatan dinikmati hanya oleh 20% penduduk

berpendapatan tinggi yang menunjukkan bahwa peningkatan output yang terjadi lebih

banyak dinikmati oleh penduduk berpendapatan tinggi.

Sumber: BPS, diolah dari Susenas Kor Tahun 2008 dan 2009

Gambar 5.1. Growth Incidence Curve Kabupaten Tertinggal di Indonesia,

Tahun 2008-2009

Pola hubungan yang positif antara indeks gini dan PDRB per kapita juga dapat

dijelaskan oleh pola Growth Incidence Curve (GIC). GIC kabupaten tertinggal

periode 2008-2009 menunjukkan fungsi turun pada kelas 30 persen pendapatan

rendah, sedangkan pada kelas 70 persen pendapatan tinggi, GIC mulai menunjukkan

fungsi naik. GIC dengan pola seperti ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan

ketimpangan yang menurun pada kelas 30 persen pendapatan rendah, sedangkan pada

kelas 70 persen pendapatan tinggi menunjukkan kecenderungan ketimpangan yang

semakin tinggi. Kesimpulan ini merujuk pada Ravallion dan Chen (2001) yang

menyatakan bahwa jika GIC merupakan fungsi turun menunjukkan bahwa

Persentil Pengeluaran 

Pertumbuhan 

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93 97

Growth Mean

87

ketimpangan akan cenderung menurun, sedangkan jika GIC merupakan fungsi naik

menunjukkan bahwa ketimpangan akan meningkat. Penduduk kelas 70 persen

pendapatan tinggi menguasai 84,04 persen (tahun 2009) dari total pendapatan

kabupaten tertinggal yang menunjukkan besarnya kemampuan dalam memengaruhi

perekonomian, sehingga penurunan ketimpangan pada kelas 30 persen pendapatan

rendah tidak mampu mengimbangi peningkatan ketimpangan kelas 70 persen

pendapatan tinggi.

Penelitian Suparno (2010) juga mendukung hasil yang didapat pada penelitian

ini, dimana dalam penelitiannya disimpulkan bahwa perekonomian ekonomi (2005-

2008) di perdesaan belum tergolong pro poor growth, yang artinya penduduk miskin

di perdesaan belum menikmati secara optimal efek perekonomian yang terjadi. Nilai

PEGR di perdesaan (2,14 persen) lebih rendah dibanding perekonomian

pendapatannya (3,48 persen), berbeda dengan hasil penelitian di perkotaan yang

sudah tergolong pro poor growth. Hasil yang saling mendukung ini dapat disebabkan

oleh kesamaan karakteristik daerah perdesaan pada penelitian tersebut dengan daerah

tertinggal yang memang merupakan daerah perdesaan. Klasifikasi kota dan desa BPS

mengkategorikan 183 kabupaten tertinggal sebagai daerah perdesaan.

Variabel dummy wilayah yang digunakan untuk menangkap perbedaan

intersep antara KBI dan KTI nyata positif memengaruhi perekonomian dengan nilai

koefisien sebesar 497.287,4. Besaran nilai koefisien ini menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan intersep pada persamaan PDRB per kapita, yaitu sebesar Rp. 497.287,4

antara wilayah KBI dan KTI. Melihat kondisi ini, kiranya kebijakan selanjutnya dapat

ditekankan di KTI mengingat marginal benefit akan lebih banyak dinikmati di

kawasan timur.

Model estimasi total bantuan seperti yang telah dilakukan sebelumnya telah

menjelaskan bahwa bantuan infrastruktur (P2IPDT) yang distimulasi oleh

Kementrian PDT ternyata mampu meningkatkan aktifitas ekonomi meskipun belum

mampu menurunkan persentase kemiskinan di kabupaten tertinggal. Model estimasi

total bantuan tersebut namun tidak dapat melihat jenis bantuan apa yang paling

signifikan mendorong perekonomian kabupaten tertinggal, sehingga dapat

88

diprioritaskan dalam pembangunan infrastruktur kabupaten tertinggal. Model estimasi

per jenis bantuan digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab permasalahan

tersebut. Faktor ketersediaan data menjadi salah satu hambatan dalam memodelkan

bantuan infrastruktur (P2IPDT) ke dalam model persamaan ekonometrik, dimana

masing-masing kabupaten tertinggal tidak secara kontinu mendapatkan satu jenis

bantuan yang sama tiap tahunnya. Model persamaan dengan dummy variable jenis

bantuan kemudian digunakan dalam penelitian ini untuk mengatasi hambatan

ketersediaan data.

Hasil estimasi dengan menggunakan metode panel data dinamis per jenis

bantuan infrastruktur didapatkan nilai koefisien regresi yang nyata positf pada

variabel lag variabel dependen, yaitu sebesar 0,961. Hal ini menunjukkan bahwa

terdapat penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment) pada model pengaruh bantuan

infrastruktur (per jenis bantuan) mengingat variabel PDRB per kapita merupakan

variabel yang dinamis terutama dalam analisis jangka panjang. Angka koefisien

regresi sebesar 0,961 memiliki arti bahwa kenaikan sebesar Rp. 1 juta pada PDRB

per kapita tahun sebelumnya akan meningkatkan PDRB per kapita tahun berjalan

sebesar Rp. 961 ribu.

Nilai koefisien dari dummy variable jenis bantuan kiranya menarik untuk

dicermati, dimana tidak ada satupun dari dummy variable jenis bantuan yang nyata

secara statistik. Kondisi ini mungkin saja terjadi akibat beberapa faktor diantaranya,

bantuan yang diberikan kurang sesuai dengan kebutuhan daerah, bantuan yang

diberikan bersifat ad hoc (tidak kontinu) sehingga bantuan tersebut berhenti sebelum

dampaknya dirasakan masyarakat. Dari segi permodelan, dummy variable yang

digunakan untuk menangkap pengaruh jenis bantuan kiranya belum robust dalam

menjelaskan fenomena jenis bantuan secara ekonometrik.

Sejalan dengan hasil yang didapatkan pada estimasi pengaruh bantuan

P2IPDT total dalam analisis pengaruh per jenis bantuan ini, inflasi tahun sebelumnya

nyata positif memengaruhi PDRB per kapita kabupaten tertinggal dengan nilai

koefisien sebesar 131.368,6. Besaran nilai koefisien regresi ini menunjukkan bahwa

apabila terdapat kenaikan 1 persen pada inflasi tahun sebelumnya, maka akan terjadi

89

kenaikan PDRB per kapita sebesar Rp. 131.368,6 juta. Hubungan yang positif ini

dapat terjadi sebagai akibat adanya inflasi yang timbul dari dorongan permintaan

(demand pull inflation), mengingat di daerah tertinggal nilai tambah daerah masih

didorong dari konsumsi masyarakat yang tinggi.

Variabel indeks gini yang merupakan ukuran ketimpangan distribusi

pendapatan, menunjukkan arah yang positif dengan nilai koefisien sebesar 693.669,8.

Angka ini menunjukkan bahwa kenaikan indeks gini sebesar 0,01 akan meningkatkan

PDRB per kapita sebesar Rp. 6.936,7 juta. Kondisi ini sejalan dengan estimasi yang

dihasilkan dengan menggunakan nominal bantuan P2IPDT total yang juga sejalan

dengan yang ditunjukkan oleh penelitian Suparno (2010). Berdasarkan hasil estimasi

tersebut, dapat disimpulkan bahwa peningkatan perekonomian kabupaten tertinggal

diikuti dengan kenaikan ketimpangan pendapatan. Melihat fenomena ini, kiranya

perlu memfokuskan pembangunan di daerah perdesaan khususnya daerah tertinggal,

terutama pada pemberdayaan masyarakat ekonomi menengah ke bawah, untuk turut

serta berperan aktif dalam menggerakkan roda perekonomian daerah.

Perbedaan variasi dalam perekonomian ekonomi antara KBI dan KTI ternyata

signifikan secara statistik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi yang

bernilai positif pada variabel dummy wilayah yang digunakan. Hasil estimasi

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan variasi PDRB per kapita sebesar Rp.

456.430,7 antara wilayah KBI dan KTI. Hal ini dapat diartikan pula bahwa terdapat

ketimpangan pembangunan antara wilayah KBI dan KTI, bahkan pada kasus

kabupaten tertinggal.

5.1.2. Analisis Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal

Analisis pengaruh perekonomian terhadap persentase penduduk miskin

dijelaskan dalam model ke-2 (Tabel 5.2). Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel

PDRB per kapita (sebagai proxy aktifitas perekonomian) nyata positif memengaruhi

penduduk miskin dengan nilai koefisien regresi sebesar 1,36e-06. Besaran ini

mengindikasikan bahwa kenaikan PDRB per kapita sebesar Rp. 1 triliun dapat

90

meningkatkan persentase penduduk miskin sebesar 1,36 %. Kondisi ini mendukung

hasil estimasi model 1, yang menyimpulkan bahwa aktifitas ekonomi di kabupaten

tertinggal belum mampu menurunkan angka kemiskinan karena diikuti oleh kenaikan

ketimpangan pendapatan. Kondisi ini terjadi mengingat proses pembangunan lebih

dititikberatkan pada daerah maju (perkotaan) dibandingkan dengan daerah tertinggal

(perdesaan). Hal ini sejalan dengan penelitian Daryanto (2003) yang

mengungkapkan bahwa proses pembangunan lebih mengedepankan pembangunan

perkotaan, sedangkan pembangunan perdesaan selalu diletakkan paling belakang

Perdesaan masih dianggap sebagai sumber produksi pertanian untuk memenuhi

kebutuhan perkotaan, sumber potensi konsumsi dalam penyerapan yang dihasilkan

produk industri dan jasa di perkotaan, serta sumber kelimpahan tenaga kerja bagi

perkotaan. Hal ini mengakibatkan semakin lebarnya kesenjangan antara perkotaan

dan perdesaan (Daryanto, 2003).

Tabel 5.2. Hasil Estimasi Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Menggunakan Metode Panel Statis, Panel Dinamis dan Panel Instrumental Variable

Variabel

Model 2 (Dependent Var: Persentase Pddk

Miskin) Panel IV FE

RE SysGMM

Lag Persentase Pddk Miskin (Pot-1) - 1,056407

(0,000) -

Indeks gini (t) (Ginit)

-16,10561 (0,005) - -6,19999

(0,326)

Pengeluaran Pemerintah (Expjuta)

-8,25e-07 (0,098)

-0,0000328 (0,085)

5,16e-6 (0,424)

Kuadrat Pengeluaran Pemerintah (Expjuta2)

3,20e-12 (0,193)

2,68e-11 (0,029)

1,41e-12 (0,603)

PDRB per kapita (Yt)

-6,71e-07 (0,021)

1,36e-06 (0,019)

-0,000012 (0,000)

Cat: angka dalam kurung menunjukkan nilai probabilita

Variabel pengeluaran pemerintah signifikan dalam menurunkan persentase

penduduk miskin, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien yang negatif, yaitu sebesar

91

-0,0000328. Angka ini menunjukkan bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah

sebesar Rp. 1 miliar dapat menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 0,328 %.

Hubungan negatif antara pengeluaran pemerintah dengan persentase penduduk

miskin ini dapat terjadi sebagai refleksi implementasi kebijakan-kebijakan

pemerintah daerah yang pro poor growth. dalam mengalokasikan dan mengelola

keuangan daerah, sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat miskin. Hal

yang cukup menarik untuk dicermati adalah pada variabel kuadrat pengeluaran

pemerintah yang nilai koefisiennya bernilai positif. Nilai koefisien yang positif dapat

diartikan bahwa dalam jangka panjang, kenaikan pengeluaran pemerintah dapat

menurunkan pertumbuhan ekonomi dan berpotensi meningkatkan kemiskinan.

Kondisi ini dapat terjadi mengingat Anggaran pendapatan dan belanja baik pusat

maupun daerah masih didominasi oleh anggaran untuk belanja rutin (belanja

pegawai) yang nilainya lebih tinggi dari belanja modal untuk pembangunan, sehingga

peningkatan nilai tambah/output yang terjadi disebabkan oleh peningkatan konsumsi

bukan dari investasi. Data Kementrian Keuangan (2009) menunjukkan bahwa belanja

modal untuk pembangunan hanya sebesar 26,33 persen dari total belanja nasional.

5.2. Uji Spesifikasi Model Panel Data Dinamis

Pengujian spesifikasi model panel data dinamis dalam penelitian ini

menggunakan uji Sargan atau yang lebih dikenal dengan Sargan Test of

Overidentifying Restriction. Uji Sargan ini digunakan untuk melihat validitas

instrumen yang digunakan di dalam model. Hasil uji Sargan terhadap ketiga model

persamaan panel data dinamis dapat disimpulkan bahwa instrumen/model yang

digunakan adalah valid pada tingkat kepercayaan 1%.

Kesimpulan tersebut didasarkan pada nilai p-value pada ketiga model

persamaan yang digunakan. Nilai p-value pada model pengaruh total bantuan

P2IPDT terhadap perekonomian ekonomi adalah sebesar 0,0317 sedangkan nilai p-

value untuk model pengaruh bantuan P2IPDT per jenis bantuan adalah sebesar

0,0197. Nilai p-value untuk model pengaruh perekonomian ekonomi terhadap

persentase kemiskinan adalah sebesar 0,2459. Ketiga hasil tersebut merujuk pada

92

kesimpulan bahwa tidak cukup bukti secara statistik untuk menolak Ho, sehingga

disimpulkan bahwa instrumen/model valid secara statistik.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Penelitian ini mengkaji pengaruh bantuan infrastruktur (P2IPDT) yang

diberikan oleh Kementrian PDT pada daerah tertinggal. Tujuan penelitian ini adalah

untuk melihat dampak bantuan tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi dan

penurunan penduduk miskin. Penelitian dilakukan pada 82 (delapan puluh dua)

kabupaten tertinggal yang selama periode 2007-2009 mendapatkan bantuan

infrastruktur secara kontinu.

Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat diambil

beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pada kurun waktu 2006-2009 hampir seluruh kabupaten baik KBI maupun KTI

menunjukkan dinamika pertumbuhan yang cukup pesat, kecuali tercatat pada

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang pertumbuhannya negatif.

2. Distribusi pendapatan di kabupaten tertinggal baik KBI maupun KTI tergolong

dalam kategori ketidakmerataan sedang, yakni pada kisaran 0,26-0,41. Dinamika

ketimpangan kabupaten tertinggal selama kurun waktu 2006-2009 menunjukkan

tren kenaikan tiap tahunnya.

3. Pada periode 2006-2009, rata-rata persentase penduduk miskin kabupaten

tertinggal per provinsi baik KBI maupun KTI mengalami kecenderungan

menurun. Dibandingkan kondisi kemiskinan pada tahun 2006, kondisi kemiskinan

kabupaten tertinggal d tahun 2009 membaik.

4. Pembangunan infrastruktur diterapkan Kementrian PDT pada kabupaten

tertinggal dalam berbagai bidang bantuan seperti pembangunan jalan pedesaan,

pembangunan dermaga, pembangunan Warung Informasi Masyarakat (WIM),

pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), pembangunan los kios

pasar, penyediaan air bersih, rehabilitasi dan pembangunan sekolah dasar serta

bantuan infrastruktur lainnya. Infrastruktur transportasi dan energi merupakan

infrastruktur yang diprioritaskan oleh Kementrian PDT.

94

5. Hasil estimasi pengaruh bantuan infrastruktur (P2IPDT) terhadap pertumbuhan

ekonomi kabupaten tertinggal menunjukkan bahwa dampak bantuan tersebut

dapat dirasakan oleh masyarakat dalam jangka menengah dan panjang. Hal yang

menarik didapatkan pada estimasi pengaruh bantuan infrastruktur yang dipecah

berdasarkan jenis bantuan (transportasi, energi, informasi dan telekomunikasi,

sosial dan ekonomi). Hasil estimasi menunjukkan tidak ada satupun variabel

jenis bantuan yang nyata secara statistik. Salah satu faktor yang menyebabkan

terjadinya fenomena ini adalah bantuan yang diberikan tidak dilakukan secara

berkesinambungan tiap tahunnya. Variabel gini rasio dan inflasi juga merupakan

faktor yang mempengaruhi pertumbuhan di kabupaten tertinggal selain bantuan

stimulus infrastruktur.

6. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di kabupaten tertinggal diikuti oleh kenaikan

ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tersebut

tidak mampu menurunkan persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal.

Kondisi ini berati bahwa efek distribusi pendapatan masih melebihi efek

pertumbuhan, dikarenakan pertumbuhan di kabupaten tertinggal masih dinikmati

oleh penduduk yang berpendapatan tinggi.

6.2. Implikasi Kebijakan

1. Kontinuitas program bantuan pada satu daerah kiranya diperlukan mengingat

tidak adanya variabel yang signifikan pada analisis pengaruh bantuan yang

dipilah per jenis bantuan (transportasi, energi, infotel, sosial dan ekonomi)

kiranya dapat menjadi titik awal evaluasi bantuan infrastruktur kabupaten

tertinggal. Kontinuitas program bantuan di satu jenis bantuan pada satu kabupaten

dapat direalisasikan dengan misalnya membangun sarana transportasi pada

tingkat kecamatan secara bergilir tiap tahunnya. Metode ini diharapkan dapat

menjalin sinergitas antar kecamatan sehingga terjadi koneksi antar kecamatan

yang tentunya diharapkan dapat meningkatkan produktifitas masyarakat.

2. Kondisi yang terjadi di DIY dimana pada tahun 2010 provinsi ini sudah berhasil

mengentaskan 2 kabupaten tertinggal di wilayahnya namun capaian tingkat

95

kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan masih cukup tinggi

menunjukkan bahwa belum ada keselarasan antara kebijakan pengentasan

kabupaten tertinggal dengan pengentasan kemiskinan, sehingga kedepannya perlu

menambahkan indikator kemiskinan dalam penentuan kiteria kabupaten

tertinggal.

3. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan kinerja perekonomian yang

dicapai oleh kabupaten tertinggal periode 2006-2009 ternyata belum mampu

menurunkan angka kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh kondisi dimana

pertumbuhan ekonomi yang dicapai diikuti oleh kenaikan ketimpangan

pendapatan masyarakat. Fenomena ini cukup menarik untuk dicermati mengingat

kebijakan pengentasan kemiskinan telah banyak diterapkan, namun ternyata

belum mampu menurunkan persentase penduduk miskin. Koordinasi kebijakan

pengentasan kemiskinan antara pusat dan daerah, antar sektor dan kementrian

kiranya perlu ditingkatkan kembali, agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan.

Koordinasi juga diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan yang diikuti dengan

pemerataan distribusi pendapatan dan menurunkan kemiskinan.

4. Pertumbuhan yang tidak pro terhadap rakyat miskin, yang notabene merupakan

akibat dari distribusi pendapatan yang timpang di kabupaten tertinggal kiranya

perlu dicermati. Kedepannya perlu kebijakan-kebijakan yang kiranya dapat

meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan pemerataan distribusi

pendapatan. Salah satunya adalah melalui prioritas kebijakan pada sektor yang

dapat meningkatkan kemampuan masyarakat menengah ke bawah untuk

berpartisipasi aktif dalam roda perekonomian.

5. Arah kebijakan pemerintah pada daerah tertinggal kiranya dapat lebih

dititikberatkan pada kawasan timur, mengingat sebagian besar kabupaten

tertinggal berada di KTI dan marginal benefit akan lebih banyak dirasakan di

kawasan timur.

96

6.3. Saran

Model dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini masih dapat

terus dikembangkan lebih lanjut. Variabel-variabel bebas yang digunakan dalam

model terbatas hanya pada variabel-variabel inti yang besar pengaruhnya terhadap

variabel dependen. Perbaikan untuk penyempurnaan model kiranya dapat dilakukan

dengan menambah variabel-variabel lain dalam memodelkan persamaan pertmbuhan

ekonomi seperti, besaran kontribusi PDRB sektor pertanian, kontribusi PDRB sektor

industri, tingkat pendidikan dan indeks persepsi korupsi (corruption perception

index).

Metode analisis yang digunakan kiranya perlu dikembangkan dengan

memanfaatkan metode yang lebih tepat dan robust yang dapat menjawab

permasalahan penelitian dengan lebih gamblang. Penggunaan metode analisis panel

dinamis simultan (simultaneous dynamic panel) kiranya perlu dimanfaatkan dalam

memodelkan pengaruh bantuan infrastruktur terhadap persentase penduduk miskin.

Penggunaan metode analisis panel dinamis simultan diharapkan dapat menjawab

permasalahan endogeneity yang timbul akibat penggunaan lag variable dependen

sekaligus mampu memodelkan hubungan ketimpangan, kemiskinan dan pertumbuhan

ekonomi secara simultan, sehingga diharapkan hasil analisis yang didapat lebih

robust.

Penambahan rentang data waktu penelitian yang juga menyesuaikan masalah

ketersediaan data, kiranya perlu dilakukan mengingat perilaku hubungan

ketimpangan, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi merupakan hubungan jangka

panjang yang melibatkan beberapa fase pembangunan. Penyempurnaan terhadap

penelitian ini juga dapat dilakukan dengan melakukan komparasi (double difference

analysis) antara kabupaten tertinggal yang secara kontinu mendapat bantuan dan yang

tidak Komparasi juga dapat dilakukani antara kabupaten tertinggal yang mendapat

bantuan dan kabupaten bukan tertinggal yang tidak mendapat bantuan dengan syarat

kabupaten tidak tertinggal yang dipilih memiliki kesamaan karakteristik dengan

kabupaten tertinggal sebagai kelompok kendali (control group).

DAFTAR PUSTAKA

Ahluwalia IJ. 1985. Industrial Growth in India: Stagnation since the mid-sixties. New Delhi: Oxford University Press.

Aromdee V et al. 2005. Building Mega Projects: How to Maintain Economic

Stability. Bangkok: Bank of Thailand. Aschauer DA. 1989. Is Public Expenditure Productive. Journal of Monetary

Economics 23. Aziz IJ. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia.

Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Third Edition. New

Jersey: John Wiley and Sons Inc. [BI] Bank Indonesia. 2007. Perkembangan Perekonomian Daerah Provinsi

Nangroe Aceh Darussalam, Triwulan I-2007. Banda Aceh: Kantor Bank Indonesia Banda Aceh.

[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Rencana

Pembangunan Jangka Menengah, Tahun 2010-2014. Jakarta: Bappenas. Baum CF. 2009, Instrumental Variables and Panel Data Methods in Economics

and Finance. Berlin: Boston College and DIW. Bellinger WK. 2007. The Economics Analysis of Public Policy. Oxon: Routledge. Bolnick BR. 2000. Economic Growth as an Instrument for Poverty Reduction in Mozambique: Framework for a Growth Strategy. Gabinete de Estudos

Discussion Paper 12a. Bourguignon F. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Washington:

World Bank. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Produk Domestik Regional Bruto

Kabupaten/Kota menurut Subsektor Tahun 2000-2004. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Penghitungan Produk Domestik Regional

Bruto. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Data dan Informasi Kemiskinan

Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009a. Analisis dan Penghitungan Tingkat

Kemiskinan Tahun 2009. Jakarta: BPS.

98

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009b. Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Produk Domestik Regional Bruto

Kabupaten/Kota, Tahun 2005-2009. Jakarta: BPS. Calderon C dan Serven L. 2008. The Effect of Infrastructure Development on

Growth an Income Distribution. Ideas-Repec. http://ideas.repec.org/ p/cht/bcchwp/270.html [5 Nov 2010]

Canning D dan Pedroni P. 1999. Infrastructure and Long Run Economic Growth.

World Bank and USAID CAER II Working Paper. Capello R. 2009. Regional Economics. New York: Routledge. Chen, Shaohua dan Ravallion M. 2008. The Developing World is Poorer than We

Thought, But No Less Successful in the Fight Against Poverty. Policy Research Working Paper, The World Bank Development Research Group 4703.

Daryanto A. 2003. Disparitas Pembangunan Perkotaan-Perdesaan di Indonesia.

Agromedia 8(2). Economic Planning Advisory Commission. 1995, Investment and economic

growth. Australian Government Publishing Service Commission Paper 9. Fan S, Zhang L dan Zhang X. 2002. Growth, Inequality, and Poverty in Rural

China, The Role of Public Investment. International Food Policy Research Institute. Washington DC.

Gelaw F. 2010. The dynamic relationship among poverty, inequality,and growth

in rural Ethiopia: A micro evidence. Journal of Development and Agricultural Economics 2(5):197-208

Glaeser EL. 2006. Inequality. Di dalam Barry R Weingast BR, Wittman DA,

editor. The Oxford Handbook of Political Economy. New York: Oxford University Press Inc.

Grigg NS. 1988. Infrastructure Engineering and Management. New York: John

Wiley and Sons. Hajiji A. 2009. Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Penurunan

Kemiskinan di Provinsi Riau, 2002-2008 [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,.

Hall P. 1983. The Economics Of Growth And Development. New York: St.

Martin's Press.

99

Haris A. 2009. Pengaruh Penatagunaan Tanah Terhadap Keberhasilan Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi. Jurnal Ekonomi Pembangunan. http://www.bappenas.go.id/ node/71/1195.

Heshmati A. 2004. Growth, Inequality and Poverty Relationships. MTT Economic

Research and IZA Discussion Paper 1338. Hudson RW, Haas R, Uddin W. 1997. Infrastructure Management. New York:

McGraw-Hill. Iradian G. 2004. Poverty, Inequality, and Growth in Armenia Cross-Country

Evidence. IMF Working Paper;04/05. Middle East and Central Asia Department, International Monetary Fund.

Iradian G. 2005. Inequality, Poverty, and Growth: Cross-Country Evidence.

IMF Working Paper;WP/05/28. Middle East and Central Asia Department, International Monetary Fund.

Indra. 2008. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Indonesia. Ilmu

Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Artikel tidak dipublikasikan.

Jalan J dan Ravallion M. 1998. Determinants of Transient and Chronic Poverty: Evidence from Rural China. Development Research Group, World Bank. Washington DC.

Kementrian Keuangan. 2011. Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2011. Jakarta:

Kementrian Keuangan. Kementrian Keuangan. 2009. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Tahun

2009. Jakarta: Kementrian Keuangan. Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2005. Keputusan Menteri

Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 001, Tahun 2005. Jakarta: Kementrian PDT.

Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2008. Arah Kebijakan,

Program dan Kegiatan Bidang Peningkatan Infrastruktur di Daerah Tertinggal. Workshop Peran PV Dalam Penyediaan Energi Listrik Di Indonesia. Jakarta: Kementrian PDT.

Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2009. Bantuan

Sosial/Stimulan Kabupaten Tertinggal Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur, Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Jakarta: Kementrian PDT.

Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2010. Booklet Karya Tulis

Pembangunan Daerah Tertinggal 2010. Jakarta: Kementrian PDT.

100

Klasen S dan Lawson D. 2007. The Impact of Population Growth on Economic Growth and Poverty Reduction in Uganda. Göttingen: George August University.

Kodoatie RJ. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Laabas dan Limam. 2004. Impact of Public Policies on Poverty, Income Distribution and Growth. IFPRI/API Colaborative Research Project: Public Policy and Poverty Reduction in the Arab Region.

Li H dan Zou H. 2002. Inflation, Growth, and Income Distribution: A Cross-

Country Study. Annals Of Economics And Finance 3:85–101. Lopez H. 2003. Macroeconomics And Inequality. Research Workshop. New

York: The World Bank. Oshima HT. 1970. Income Inequality and Economic Growth: The Postwar

Experiences of Asian Countries. Malayan Economic Review 15(2): 13. Mankiw NG. 2007. Makroekonomi. Edisi keenam. Jakarta: Erlangga. Mallik G dan Chowdurry A. 2001. Inflation And Economic Growth: Evidence

From Four South Asian Countries. Asia-Pacific Development Journal 8(1) Manitoba Bureau of Statistics. 2008. Population Increase And Economic Growth

What Are The Impacts?. Manitoba. Motley B. 1993. Inflation and Growth. FRBSF Weekly Letter 31 Desember 1993

:93-44. Federal Reserve Bank of San Fransisco, San Fransisco. Munnell AH. 1992. Policy Watch: Infrastructure Investment and Economic

Growth. The Journal of Economic Perspectives 6(4): 189-198. Nalarsih RT. 2007. Analisis Ketersediaan Dan Kapasitas Pemenuhan

Infrastruktur Di Kawasan Bisnis Beteng Surakarta. [tesis] Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Dipenogoro.

Ogawa N dan Suits DB. 1981. Lessons on Population and Economic Change,

From the Japanesse Meiji Experience. NUPRI Research Paper Series 2. Tokyo.

Perkins P et al. 2005. An Analysis Of Economic Infrastructure Investment In

South Africa. South African Journal of Economics;73:2. Prasetyo RB. 2010. Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri

terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia. [tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

101

Ravallion M dan Chen S. 2001. Measuring Pro Poor Growth. Policy Research Working Paper : 2666. World Bank.

Reungsri T. 2010. The Impact Of Public Infrastructure Investment On Economic

Growth In Thailand. [disertasi] Victoria: School of Economics and Finance Faculty of Business and Law, Victoria University.

Romer P. 1986, Increasing Returns and Long-Run Growth. Journal of Political

Economy 94(5): 1002-1037. Riadi M. 2010. Dampak Kebijakan Stimulus Fiskal Bidang Infrastruktur Padat

Karya terhadap Kinerja Ekonomi dan Ekonomi Sektoral di Indonesia. [tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sari P. 2009. Pengaruh Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan

Ekonomi 25 Kawasan Timur Indonesia. [skripsi] Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Schiller B. 2004. The Economics of Poverty and Discrimination, Ninth Edition.

Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. Seers D. 1969. The Meaning of Development. International Development Review;

11(4):2-6. Seetanah B et al. 2009. Does Infrastructure Alleviates Poverty In Developing

Countries? International Journal of Applied Econometrics and Quantitative Study.

[Setneg RI] Sekretariat Negara Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 9,

Tahun 2005. Jakarta: Sekretariat Negara RI [Setneg RI] Sekretariat Negara Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 90,

Tahun 2006. Jakarta: Sekretariat Negara RI Suparno. 2010. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan:

Studi Pro Poor Growth di Indonesia. [tesis] Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Supranto J. 2000, Statistik Teori dan Aplikasi. Edisi Keenam. Jilid 1. Jakarta:

Erlangga. Stern N. 1991, The Determinants of Growth. The Economic Journal;

101(404):122-133. Todaro MP dan Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan.

Jakarta: Erlangga.

102

Verbeek, M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. Chisester: John Wiley & Son.

Verbeek, M. 2008. A Guide to Modern Econometrics. Edisi Ketiga. Rotterdam:

RSM Erasmus University. World Bank. 1990. World Development Report: Poverty, New York: Oxford

University Press. World Bank. 1994. World Development Reports: Infrastructure for Development.

New York: Oxford University Press.

LAMPIRAN

104 Lampiran 1. Perkembangan Rata-Rata Garis Kemiskinan Kabupaten

Tertinggal menurut Provinsi Tahun 2006-2009 (Rp/kapita/bln)

No Provinsi

Jumlah Kabupaten Tertinggal

2005

Rata-Rata Garis Kemiskinan

2007 2008 2009

1 Nangroe Aceh Darussalam 16 226.241,27 250.787,34 251.492,63

2 Sumatera Utara 6 151.995,88 175.038,14 175.268,00

3 Sumatera Barat 9 162.379,34 191.531,68 192.261,67

4 Riau 2 236.517,46 265.007,23 265.708,00

5 Jambi 2 189.878,17 219.165,06 222.727,50

6 Sumatera Selatan 6 178.503,07 195.884,46 197.077,67

7 Bengkulu 8 165.301,48 185.202,73 174.567,50

8 Lampung 5 160.063,90 182.108,86 183.151,00

9 Bangka Belitung 3 243.122,49 182.108,86 265.449,00

10 Kepulauan Riau 1 182.640,04 264.637,85 172.104,00

11 Jawa Barat 2 139.882,29 159.420,90 156.024,50

12 Jawa Tengah 3 151.374,40 170.816,70 161.904,00

13 D,I. Yogyakarta 2 165.944,94 191.494,88 177.289,00

14 Jawa Timur 8 149.349,07 166.845,63 159.838,63

15 Banten 2 140.836,95 161.352,63 161.547,50

16 Bali 1 131.744,96 157.619,26 157.223,00

17 Nusa Tenggara Barat 7 163.770,83 179.432,56 180.081,43

18 Nusa Tenggara Timur 15 123.202,82 153.426,11 153.173,60

19 Kalimantan Barat 9 147.719,42 164.432,21 164.689,89

20 Kalimantan Tengah 7 175.236,30 203.942,73 203.669,14

21 Kalimantan Selatan 2 145.432,35 171.110,16 171.470,50

22 Kalimantan Timur 3 221.035,62 238.984,28 241.065,67

23 Sulawesi Utara 2 147.792,01 163.275,22 163.328,00

24 Sulawesi Tengah 9 157.162,71 177.807,45 177.917,33

25 Sulawesi Selatan 13 133.869,93 151.740,79 150.867,46

26 Sulawesi Tenggara 8 151.171,96 167.307,88 144.006,13

27 Gorontalo 4 143.593,61 158.134,98 157.381,25

28 Sulawesi Barat 5 136.415,14 159.564,14 158.928,40

29 Maluku 7 165.702,48 190.922,16 192.444,43

30 Maluku Utara 6 150.975,46 190.496,29 191.709,00

31 Papua Barat 7 208.472,60 231.922,46 228.785,17

32 Papua 19 215.441,84 226.594,26 226.489,79

105 Lampiran 2. Daftar 183 Kabupaten Tertinggal di Indonesia

Kawasan Propinsi No. Kabupaten Status

KBI

NAD

1 Simelue Agak Tertinggal

2 Aceh Singkil Agak Tertinggal

3 Aceh Selatan Agak Tertinggal

4 Aceh Timur Agak Tertinggal

5 Aceh Barat Agak Tertinggal

6 Aceh Besar Maju

7 Aceh Barat Daya Agak Tertinggal

8 Gayo Lues Agak Tertinggal

9 Nagan Raya Agak Tertinggal

10 Aceh Jaya Agak Tertinggal

11 Bener Meriah Agak Tertinggal

12 Pidie Jaya Maju

Sumatera Utara

13 Nias Agak Tertinggal

14 Tapanuli Tengah Agak Tertinggal

15 Nias Selatan Agak Tertinggal

16 Pakpak Barat Agak Tertinggal

17 Nias Barat Agak Tertinggal

18 Nias Utara Agak Tertinggal

Sumatera Barat

19 Kepulauan Mentawai Tertinggal

20 Pesisir Selatan Agak Tertinggal

21 Solok Agak Tertinggal

22 Sawah Lunto/Sijunjung Agak Tertinggal

23 Padang Pariaman Maju

24 Solok Selatan Agak Tertinggal

25 Dharmas Raya Agak Tertinggal

26 Pasaman Barat Agak Tertinggal

Sumatera Selatan

27 Ogan Komering Ilir Agak Tertinggal

28 Lahat Agak Tertinggal

29 Musi Rawas Tertinggal

30 Banyu Asin Agak Tertinggal

31 Ogan Komering Ulu Selatan Agak Tertinggal

32 Ogan Ilir Agak Tertinggal

106

Kawasan Propinsi No. Kabupaten Status

KBI

Sumatera Selatan 33 Empat Lawang Agak Tertinggal

Bengkulu

34 Kaur Agak Tertinggal

35 Seluma Tertinggal

36 Muko-muko Agak Tertinggal

37 Lebong Agak Tertinggal

38 Kepahiang Agak Tertinggal

39 Bengkulu Tengah Agak Tertinggal

Lampung

40 Lampung Barat Agak Tertinggal

41 Lampung Utara Agak Tertinggal

42 Way Kanan Agak Tertinggal

43 Pesawaran DOB

Bangka Belitung 44 Bangka Selatan Agak Tertinggal

Kepulauan Riau 45 Natuna Agak Tertinggal

46 Kepulauan Anambas DOB

Jawa Barat 47 Sukabumi Agak Tertinggal

48 Garut Maju

Jawa Timur

49 Bondowoso Tertinggal

50 Situbondo Tertinggal

51 Bangkalan Tertinggal

52 Sampang Tertinggal

53 Pamekasan Tertinggal

Banten 54 Pandeglang Agak Tertinggal

55 Lebak Agak Tertinggal

KTI

NTB

56 Lombok Barat Tertinggal

57 Lombok Tengah Tertinggal

58 Lombok Timur Tertinggal

59 Sumbawa Tertinggal

60 Dompu Tertinggal

61 Bima Tertinggal

62 Sumbawa Barat Tertinggal

NTT

63 Lombok Utara DOB

64 Sumba Barat Tertinggal

65 Sumba Timur Sangat Tertinggal

66 Kupang Tertinggal

107

Kawasan Propinsi No. Kabupaten Status

KTI NTT 67 Timor Tengah Selatan Tertinggal

68 Timor Tengah Utara Tertinggal

69 Belu Tertinggal

70 Alor Tertinggal

71 Lembata Tertinggal

72 Flores Timur Agak Tertinggal

73 Sikka Agak Tertinggal

74 Ende Tertinggal

75 Ngada Agak Tertinggal

76 Manggarai Tertinggal

77 Rote Ndao Tertinggal

78 Manggarai Barat Tertinggal

79 Manggarai Timur DOB

80 Nagekeo DOB

81 Sabu Raijua DOB

82 Sumba Barat Daya DOB

83 Sumba Tengah DOB

Kalimantan Barat 84 Sambas Tertinggal

85 Bengkayang Agak Tertinggal

86 Landak Tertinggal

87 Sanggau Agak Tertinggal

88 Ketapang Tertinggal

89 Sintang Agak Tertinggal

90 Kapuas Hulu Agak Tertinggal

91 Sekadau Agak Tertinggal

92 Melawi Agak Tertinggal

93 Kayong Utara DOB

Kalimantan Tengah 94 Seruyan Agak Tertinggal

Kalimantan Selatan 95 Barito Kuala Agak Tertinggal

96 Hulu Sungai Utara Agak Tertinggal

Kalimantan Timur 97 Kutai Barat Maju

98 Malinau Maju

99 Nunukan Maju

Sulawesi Utara 100 Kepulauan Sangihe Maju

108

Kawasan Propinsi No. Kabupaten Status

KTI Sulawesi Utara 101 Kepulauan Talaud Maju

102 Kepulauan Sitaro DOB

Sulawesi Tengah 103 Banggai Kepulauan Tertinggal

104 Banggai Agak Tertinggal

105 Morowali Agak Tertinggal

106 Poso Agak Tertinggal

107 Donggala Agak Tertinggal

108 Toli-Toli Agak Tertinggal

109 Buol Agak Tertinggal

110 Parigi Moutong Agak Tertinggal

111 Tojo Una-Una Tertinggal

112 Sigi DOB

Sulawesi Selatan 113 Selayar Agak Tertinggal

114 Jeneponto Agak Tertinggal

115 Pangkajene Kepulauan Agak Tertinggal

116 Toraja Utara DOB

Sulawesi Tenggara 117 Buton Agak Tertinggal

118 Muna Agak Tertinggal

119 Konawe Agak Tertinggal

120 Konawe Selatan Agak Tertinggal

121 Bombana Agak Tertinggal

122 Wakatobi Agak Tertinggal

123 Kolaka Utara Agak Tertinggal

124 Buton Utara Agak Tertinggal

125 Konawe Utara Agak Tertinggal

Gorontalo 126 Boalemo Agak Tertinggal

127 Pohuwatu Agak Tertinggal

128 Gorontalo Utara Agak Tertinggal

Sulawesi Barat 129 Majene Agak Tertinggal

130 Polewali Mandar Agak Tertinggal

131 Mamasa Agak Tertinggal

132 Mamuju Agak Tertinggal

133 Mamuju Utara Agak Tertinggal

Maluku 134 Maluku Tenggara Barat Tertinggal

109

Kawasan Propinsi No. Kabupaten Status

KTI Maluku 135 Maluku Tengah Agak Tertinggal

136 Buru Tertinggal

137 Kepulauan Aru Tertinggal

138 Seram Bagian Barat Tertinggal

139 Seram Bagian Timur Tertinggal

140 Buru Selatan DOB

141 Maluku Barat Daya DOB

Maluku Utara 142 Halmahera Barat Tertinggal

143 Halmahera Tengah Agak Tertinggal

144 Kepulauan Sula Tertinggal

145 Halmahera Selatan Tertinggal

146 Halmahera Utara Agak Tertinggal

147 Halmahera Timur Agak Tertinggal

148 Morotai DOB

Papua Barat 149 Kaimana Agak Tertinggal

150 Teluk Wondama Tertinggal

151 Teluk Bintuni Tertinggal

152 Sorong Selatan Agak Tertinggal

153 Sorong Tertinggal

154 Raja Ampat Tertinggal

155 Maybrat DOB

156 Tambrau DOB

Papua 157 Merauke Tertinggal

158 Jayawijaya Sangat Tertinggal

159 Nabire Tertinggal

160 Yapen Waropen Agak Tertinggal

161 Biak Numfor Agak Tertinggal

162 Paniai Sangat Tertinggal

163 Puncak Jaya Tertinggal

164 Mimika Agak Tertinggal

165 Boven Digoel Sangat Parah

166 Mappi Sangat Parah

167 Asmat Sangat Parah

168 Yahukimo Sangat Parah

110

Kawasan Propinsi No. Kabupaten Status

KTI Papua 169 Pegunungan Bintang Sangat Parah

170 Tolikara Sangat Parah

171 Sarmi Tertinggal

172 Keerom Agak Tertinggal

173 Waropen Tertinggal

174 Supiori Tertinggal

175 Deiyai DOB

176 Dgiyai DOB

177 Intan Jaya DOB

178 Lanny Jaya DOB

179 Mamberamo Raya DOB

180 Mamberamo Tengah DOB

181 Nduga DOB

182 Puncak DOB

183 Yalimo DOB

Catatan:

DOB = Daerah Otonomi Baru

111 Lampiran 3. Jumlah dan Persentase Kabupaten Tertinggal menurut Provinsi

Tahun 2005 dan 2010

No Provinsi Jumlah Kabupaten

Tertinggal Jumlah Kabupaten

Total Persentase

Kabupaten Tertinggal

2005 2010 2005 2010 2005 2010

1 Nangroe Aceh Darussalam 16

12

23

23

69,57

52,17

2 Sumatera Utara 6

6

30

32

20,00

18,75

3 Sumatera Barat 9

8

19

19

47,37

42,11

4 Riau 2

-

11

11

18,18

-

5 Jambi 2

-

11

11

18,18

-

6 Sumatera Selatan 6

7

15

15

40,00

46,67

7 Bengkulu 8

6

9

10

88,89

60,00

8 Lampung 5

4

11

11

45,45

36,36

9 Bangka Belitung 3

1

7

7

42,86

14,29

10 Kepulauan Riau 1

2

7

7

14,29

28,57

11 Jawa Barat 2

2

26

26

7,69

7,69

12 Jawa Tengah 3

-

35

35

8,57

-

13 D,I, Yogyakarta 2

-

5

5

40,00

-

14 Jawa Timur 8

5

38

38

21,05

13,16

15 Banten 2

2

7

7

28,57

28,57

16 Bali 1

-

9

9

11,11

-

17 Nusa Tenggara Barat 7

8

10

10

70,00

80,00

18 Nusa Tenggara Timur 15

20

21

21

71,43

95,24

19 Kalimantan Barat 9

10

14

14

64,29

71,43

20 Kalimantan Tengah 7

1

14

14

50,00

7,14

21 Kalimantan Selatan 2

2

13

13

15,38

15,38

22 Kalimantan Timur 3

3

14

14

21,43

21,43

23 Sulawesi Utara 2

3

15

15

13,33

20,00

24 Sulawesi Tengah 9

10

11

11

81,82

90,91

25 Sulawesi Selatan 13

4

24

24

54,17

16,67

26 Sulawesi Tenggara 8

9

12

12

66,67

75,00

27 Gorontalo 4

3

5

6

80,00

50,00

28 Sulawesi Barat 5

5

5

5

100,00

100,00

29 Maluku 7

8

11

11

63,64

72,73

30 Maluku Utara 6

7

8

9

75,00

77,78

31 Papua Barat 7

8

9

11

77,78

72,73

32 Papua 19

27

20

27

95,00

96,43

I n d o n e s i a

199

183

469

483

42,43

37,89

112 Lampiran 4. Dinamika Perekonomian PDRB atas Dasar Harga Konstan 2000

Kabupaten Tertinggal (milyar)

No Provinsi Jumlah

Kabupaten Tertinggal

Rata-Rata PDRB ADH Konstan Pertumbuhan

2006-2009

Rata-Rata

P2IPDT 2009

% PDRB09 thd P2IPDT

09 2006 2009

1 NAD 16 1.550,31 1.376,63 -3,88 627,55 0,046

2 Sumatera Utara 6 1.017,43 1.192,86 5,45 1.434,96 0,120

3 Sumatera Barat 9 1.322,44 1.568,67 5,86 1.427,64 0,091

4 Riau 2 2.219,50 2.744,00 7,33 5.261,66 0,192

5 Jambi 2 1.433,00 1.695,50 5,77 2.213,04 0,131

6 Sumatera Selatan 6 2.340,33 2.750,17 5,53 1.362,48 0,050

7 Bengkulu 8 598,13 653,25 2,98 1.331,44 0,204

8 Lampung 5 3.080,75 3.212,75 1,41 2.025,25 0,063

9 Bangka Belitung 3 932,67 1.060,33 4,37 2.083,92 0,197

10 Kepulauan Riau 1 1.448,00 1.596,76 3,31 615,99 0,062

11 Jawa Barat 2 8.267,00 9.438,50 4,52 773,15 0,008

12 Jawa Tengah 3 2.277,67 2.614,33 4,70 1.870,47 0,072

13 D,I, Yogyakarta 2 2.178,00 2.463,50 4,19 1.478,41 0,060

14 Jawa Timur 8 2.086,88 2.426,88 5,16 1.346,24 0,055

15 Banten 2 3.451,50 3.916,00 4,30 1.434,95 0,037

16 Bali 1 1.505,00 1.747,00 5,10 546,52 0,031

17 Nusa Tenggara Barat 7 1.967,86 2.141,00 2,85 1.309,53 0,027

18 Nusa Tenggara Timur 15 531,80 578,80 2,86 1.413,65 0,244

19 Kalimantan Barat 9 1.421,89 1.648,56 5,05 1.133,49 0,069

20 Kalimantan Tengah 7 680,29 795,57 5,36 1.160,28 0,146

21 Kalimantan Selatan 2 1.253,50 1.358,50 2,72 1.360,87 0,100

22 Kalimantan Timur 3 1.403,00 1.672,33 6,03 1.502,71 0,090

23 Sulawesi Utara 2 467,00 548,50 5,51 2.507,49 0,457

24 Sulawesi Tengah 9 1.169,44 1.310,89 3,88 1.403,51 0,107

25 Sulawesi Selatan 13 1.249,93 1.394,79 3,72 1.572,99 0,113

26 Sulawesi Tenggara 8 779,75 942,75 6,53 2.149,33 0,228

27 Gorontalo 4 377,75 465,25 7,19 1.799,37 0,387

28 Sulawesi Barat 5 672,80 828,40 7,18 1.980,64 0,239

29 Maluku 7 287,14 311,49 2,75 1.837,39 0,683

30 Maluku Utara 6 279,17 330,67 5,81 1.498,22 0,453

31 Papua Barat 7 516,00 625,57 6,63 981,37 0,157

32 Papua 19 965,21 1.183,26 7,03 973,51 0,082

113 Lampiran 5. Dinamika Ketimpangan Kabupaten Tertinggal

No Provinsi Jumlah

Kabupaten Tertinggal

2005

Gini Rasio Pertumb

uhan Gini Rasio 06-09

Pertum-buhan

P2IPDT 2007-20092006 2009

1 Nangroe Aceh Darussalam 16 0,31147 0,32291 1,21 1417,29

2 Sumatera Utara 6 0,29876 0,3036 0,54 4,30

3 Sumatera Barat 9 0,30447 0,31447 1,08 108,83

4 Riau 2 0,30059 0,31175 1,22 206,34

5 Jambi 2 0,29189 0,28067 -1,30 131,10

6 Sumatera Selatan 6 0,29357 0,29438 0,09 43,43

7 Bengkulu 8 0,29513 0,30385 0,98 69,30

8 Lampung 5 0,29955 0,30400 0,49 55,42

9 Bangka Belitung 3 0,26922 0,28016 1,34 376,46

10 Kepulauan Riau 1 0,34215 0,34121 -0,09 -38,15

11 Jawa Barat 2 0,33379 0,33479 0,10 6,83

12 Jawa Tengah 3 0,29831 0,31153 1,46 34,83

13 D.I. Yogyakarta 2 0,42359 0,39394 -2,39 328,38

14 Jawa Timur 8 0,31878 0,32037 0,17 27,08

15 Banten 2 0,33588 0,35517 1,88 258,60

16 Bali 1 0,31089 0,30284 -0,87 -21,87

17 Nusa Tenggara Barat 7 0,31272 0,34194 3,02 -27,64

18 Nusa Tenggara Timur 15 0,34181 0,36023 1,76 10,77

19 Kalimantan Barat 9 0,30583 0,32437 1,98 16,37

20 Kalimantan Tengah 7 0,26788 0,29683 3,48 42,17

21 Kalimantan Selatan 2 0,31157 0,31361 0,22 7,39

22 Kalimantan Timur 3 0,3703 0,33141 -3,63 375,17

23 Sulawesi Utara 2 0,30492 0,31907 1,52 112,27

24 Sulawesi Tengah 9 0,32618 0,32223 -0,41 33,03

25 Sulawesi Selatan 13 0,31389 0,32554 1,22 71,84

26 Sulawesi Tenggara 8 0,31209 0,30482 -0,78 198,97

27 Gorontalo 4 0,32449 0,33312 0,88 82,91

28 Sulawesi Barat 5 0,32971 0,33246 0,28 101,49

29 Maluku 7 0,31534 0,33839 2,38 127,54

30 Maluku Utara 6 0,30439 0,30865 0,46 27,15

31 Papua Barat 7 0,32469 0,36307 3,79 -2,81

32 Papua 19 0,39124 0,41250 1,78 -10,85

114 Lampiran 6. Dinamika Kemiskinan Kabupaten Tertinggal (persen)

No Provinsi Jumlah

Kabupaten Tertinggal

2005

Po Laju

Penuru- nan Po 06-09

Pertumbuhan

P2IPDT 2007-2009 2006 2009

1 Nangroe Aceh Darussalam 16 30,34 22,89 -8,97 1417,29

2 Sumatera Utara 6 26,18 16,50 -14,27 4,30

3 Sumatera Barat 9 16,45 11,16 -12,15 108,83

4 Riau 2 22,55 14,96 -12,79 206,34

5 Jambi 2 16,10 11,03 -11,84 131,10

6 Sumatera Selatan 6 25,61 16,79 -13,12 43,43

7 Bengkulu 8 25,52 18,68 -9,88 69,30

8 Lampung 5 28,33 22,95 -6,79 55,42

9 Bangka Belitung 3 12,90 8,96 -11,43 376,46

10 Kepulauan Riau 1 21,42 10,46 -21,26 -38,15

11 Jawa Barat 2 18,64 13,74 -9,66 6,83

12 Jawa Tengah 3 29,87 22,10 -9,55 34,83

13 D.I. Yogyakarta 2 28,42 24,55 -4,77 328,38

14 Jawa Timur 8 28,14 22,14 -7,68 27,08

15 Banten 2 15,19 11,32 -9,33 258,60

16 Bali 1 9,42 6,37 -12,23 -21,87

17 Nusa Tenggara Barat 7 29,50 22,57 -8,55 -27,64

18 Nusa Tenggara Timur 15 30,04 24,19 -6,97 10,77

19 Kalimantan Barat 9 18,08 10,16 -17,47 16,37

20 Kalimantan Tengah 7 11,39 7,02 -14,90 42,17

21 Kalimantan Selatan 2 11,23 6,45 -16,86 7,39

22 Kalimantan Timur 3 20,35 13,00 -13,88 375,17

23 Sulawesi Utara 2 16,60 12,70 -8,54 112,27

24 Sulawesi Tengah 9 26,48 20,65 -7,95 33,03

25 Sulawesi Selatan 13 17,14 13,99 -6,54 71,84

26 Sulawesi Tenggara 8 25,17 18,74 -9,36 198,97

27 Gorontalo 4 32,17 20,84 -13,48 82,91

28 Sulawesi Barat 5 20,01 14,39 -10,42 101,49

29 Maluku 7 39,12 33,22 -5,31 127,54

30 Maluku Utara 6 18,41 15,16 -6,28 27,15

31 Papua Barat 7 40,49 34,87 -4,86 -2,81

32 Papua 19 41,95 36,40 -4,61 -10,85

115 Lampiran 7. Hasil Analisis Kuadran (Dinamika Pertumbuhan dan

Kemiskinan) di Kabupaten Tertinggal Analisis Kuadran Pertumbuhan dan Kemiskinan KBI, Tahun 2006

I II

IV III

10000.008000.006000.004000.002000.000.00

PDRBK_06

40.00

30.00

20.00

10.00

Po

_06

Karangasem

LebakPandeglang

Pamekasan

Sampang

Bangkalan

Madiun

Situbondo

Bondowoso

Trenggalek

Gunung Kidul

Garut

Sukabumi

Lingga

Natuna

Belitung Timur

Bangka Selatan

Belitung

Lampung Timur

Lampung Selatan

Kepahiang

Lebong

Mukomuko

Seluma

KaurBengkulu Selatan

Banyu Asin

Musi Rawas

Lahat

Tanjung Jabung Timur

Sarolangun

Kuantan Singingi

Dharmas Raya

Pasaman

Pakpak Bharat

Nias Selatan

Dairi

Nias

Nagan Raya

Gayo Lues

Aceh Utara

BireuenAceh Timur

Aceh Singkil

116 Analisis Kuadran Pertumbuhan dan Kemiskinan KBI, Tahun 2009

I II

IV III

12000.0010000.008000.006000.004000.002000.000.00

PDRBK_09

30.00

20.00

10.00

0.00

Po_

09

Karangasem

LebakPandeglang

Pamekasan

Sampang

Bangkalan

Madiun Situbondo

Bondowoso

Kulon Progo

Rembang

Wonogiri

Garut

Sukabumi

Lingga

Belitung Timur

Bangka Selatan

Belitung

Lampung Utara

Lampung Timur

Lampung Selatan

Lampung Barat

LebongMukomuko

Seluma

Kaur

Bengkulu Selatan

Banyu Asin

Lahat

Tanjung Jabung Timur

Pasaman Barat

Dharmas Raya

Nias Selatan

Dairi

Nias

Bener Meriah

Aceh Jaya

Aceh Utara

117 Analisis Kuadran Pertumbuhan dan Kemiskinan KTI, Tahun 2006

I II

IIIIV

12000.0010000.008000.006000.004000.002000.000.00

PDRBK_06

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

Po_

06

Supiori

Waropen

Pegunungan Bintang

Asmat

Mappi

Mimika

Puncak Jaya

Paniai

Nabire

Jayapura

Jayawijaya

Sorong

Kaimana

Fakfak

Halmahera Timur

Halmahera Utara

Kepulauan Sula

Halmahera Barat

Mamuju

Kolaka Utara

Wakatobi

Kolaka

Luwu Timur

Luwu

Pinrang

Barru

Pangkajene dan Kepulauan

Selayar

Parigi Moutong

Kutai Barat

Sambas

Ngada

Belu

Sumba Barat

Sumbawa BaratLombok Barat

118 Analisis Kuadran Pertumbuhan dan Kemiskinan KTI, Tahun 2006

I II

IV III

12500.0010000.007500.005000.002500.000.00

PDRBK_09

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

Po_

09

Supiori

Waropen

Keerom

Pegunungan Bintang

Yahukimo

Asmat

Mimika

Puncak Jaya

Paniai

Biak Numfor

Nabire

Merauke

Raja Ampat

Sorong Selatan

Teluk Bintuni

Kepulauan Sula

Seram Bagian BaratBuru

Mamuju

Mamasa

Polewali Mandar

PohuwatoKolaka

Luwu Utara

Luwu Timur

Pinrang

Barru Sinjai

Parigi Moutong

Morowali

Barito KualaLamandauSukamara

Ketapang

Sumbawa Barat

Lombok Timur

119 Lampiran 8. Rata-Rata Bantuan P2IPDT 2007-2009

No Provinsi Jumlah

Kabupaten Tertinggal

Rata-Rata Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT)

Pertumbuhan 2007-

2009 2007 2008 2009

1 Nangroe Aceh Darussalam 16 41,36 132,82 627,55 1417,29

2 Sumatera Utara 6 1.375,78 1.277,65 1.434,96 4,30

3 Sumatera Barat 9 683,64 2.047,58 1.427,64 108,83

4 Riau 2 1.717,57 4.827,82 5.261,66 206,34

5 Jambi 2 957,60 2.233,21 2.213,04 131,10

6 Sumatera Selatan 6 949,95 1.319,62 1.362,48 43,43

7 Bengkulu 8 786,44 2.189,47 1.331,44 69,30

8 Lampung 5 1.303,11 1.486,77 2.025,25 55,42

9 Bangka Belitung 3 437,38 1.167,89 2.083,92 376,46

10 Kepulauan Riau 1 996,00 2.965,94 615,99 -38,15

11 Jawa Barat 2 723,70 1.422,01 773,15 6,83

12 Jawa Tengah 3 1.387,25 2.063,75 1.870,47 34,83

13 D,I, Yogyakarta 2 345,12 1.530,30 1.478,41 328,38

14 Jawa Timur 8 1.059,34 1.699,66 1.346,24 27,08

15 Banten 2 400,15 2.032,29 1.434,95 258,60

16 Bali 1 - 699,47 546,52 -21,87*

17 Nusa Tenggara Barat 7 1.809,65 1.533,21 1.309,53 -27,64

18 Nusa Tenggara Timur 15 1.276,22 1.621,85 1.413,65 10,77

19 Kalimantan Barat 9 974,00 1.078,28 1.133,49 16,37

20 Kalimantan Tengah 7 816,15 1.309,08 1.160,28 42,17

21 Kalimantan Selatan 2 1.267,22 1.566,87 1.360,87 7,39

22 Kalimantan Timur 3 316,25 1.585,16 1.502,71 375,17

23 Sulawesi Utara 2 1.181,27 3.071,18 2.507,49 112,27

24 Sulawesi Tengah 9 1.055,01 1.385,98 1.403,51 33,03

25 Sulawesi Selatan 13 915,40 1.060,98 1.572,99 71,84

26 Sulawesi Tenggara 8 718,91 857,99 2.149,33 198,97

27 Gorontalo 4 983,75 1.747,71 1.799,37 82,91

28 Sulawesi Barat 5 982,98 1.393,61 1.980,64 101,49

29 Maluku 7 807,49 1.138,58 1.837,39 127,54

30 Maluku Utara 6 1.178,32 1.228,78 1.498,22 27,15

31 Papua Barat 7 1.009,70 988,85 981,37 -2,81

32 Papua 19 1.092,02 1.086,57 973,51 -10,85

I n d o n e s i a

199 990,98 1.443,95 1.444,19 45,73

Cat: * menggunakan data tahun 2008-2009

120 Lampiran 9. Hasil Output Stata Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Fixed Effect Model)

Fixed-effects (within) regression Number of obs = 246

Group variable: kab1 Number of groups = 82

R-sq: within = 0.5041 Obs per group: min = 3

between = 0.1247 avg = 3.0

overall = 0.1255 max = 3

F(5,159) = 32.33

corr(u_i, Xb) = 0.1403 Prob > F = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------

yt | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

p2ipdt | 50.74785 33.54758 1.51 0.132 -15.50849 117.0042

p2ipdt2 | -.0090004 .0059343 -1.52 0.131 -.0207206 .0027198

inft_1 | 948060.3 100248.8 9.46 0.000 750069.2 1146051

popt | -1.928998 2.868119 -0.67 0.502 -7.593523 3.735526

ginit | 580276.2 330154.3 1.76 0.081 -71777.29 1232330

dwil | (dropped)

_cons | 3836949 783505.9 4.90 0.000 2289528 5384370

-------------+----------------------------------------------------------------

sigma_u | 3099801.5

sigma_e | 187657.81

rho | .99634845 (fraction of variance due to u_i)

------------------------------------------------------------------------------

F test that all u_i=0: F(81, 159) = 739.14 Prob > F = 0.0000

121 Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Random Effect Model)

Random-effects GLS regression Number of obs = 246

Group variable: kab1 Number of groups = 82

R-sq: within = 0.5037 Obs per group: min = 3

between = 0.1468 avg = 3.0

overall = 0.1482 max = 3

Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2(6) = 171.38

corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------

yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

p2ipdt | 48.20545 33.9293 1.42 0.155 -18.29476 114.7056

p2ipdt2 | -.008779 .0059908 -1.47 0.143 -.0205208 .0029629

inft_1 | 980574.8 86748.05 11.30 0.000 810551.8 1150598

popt | -3.040136 1.016434 -2.99 0.003 -5.032311 -1.047962

ginit | 583929.9 334030 1.75 0.080 -70756.92 1238617

dwil | -1292100 715294.2 -1.81 0.071 -2694051 109850.9

_cons | 4827819 666549.3 7.24 0.000 3521406 6134231

-------------+----------------------------------------------------------------

sigma_u | 2938994.2

sigma_e | 187657.81

rho | .9959396 (fraction of variance due to u_i)

------------------------------------------------------------------------------

122 Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Statis Note: the rank of the differenced variance matrix (3) does not equal the number of coefficients being tested (5); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale.

---- Coefficients ----

| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B))

| random fixed Difference S.E.

-------------+----------------------------------------------------------------

p2ipdt | 48.20545 50.74785 -2.542404 5.075163

p2ipdt2 | -.008779 -.0090004 .0002214 .0008212

inft_1 | 980574.8 948060.3 32514.57 .

popt | -3.040136 -1.928998 -1.111138 .

ginit | 583929.9 580276.2 3653.644 50736.33

------------------------------------------------------------------------------

b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg

B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg

Test: Ho: difference in coefficients not systematic

chi2(3) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)

= 0.10

Prob>chi2 = 0.9916 - RANDOM EFFECT

(V_b-V_B is not positive definite)

123 Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Generalized Least Square Method)

Cross-sectional time-series FGLS regression

Coefficients: generalized least squares

Panels: homoskedastic

Correlation: common AR(1) coefficient for all panels (0.8243)

Estimated covariances = 1 Number of obs = 246

Estimated autocorrelations = 1 Number of groups = 82

Estimated coefficients = 7 Time periods = 3

Wald chi2(6) = 49.51

Prob > chi2 = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------

yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

p2ipdt | -113.4466 150.0937 -0.76 0.450 -407.6248 180.7317

p2ipdt2 | .0155132 .0299834 0.52 0.605 -.0432532 .0742795

inft_1 | 1487431 354022.8 4.20 0.000 793559.3 2181303

popt | -3.10634 .6378021 -4.87 0.000 -4.356409 -1.856271

ginit | 788496.9 1319126 0.60 0.550 -1796943 3373936

dwil | -1167833 438984.4 -2.66 0.008 -2028227 -307439.6

_cons | 3965333 842983.3 4.70 0.000 2313116 5617550

------------------------------------------------------------------------------

124 Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan Total terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Dinamis

note: dwil dropped from dgmmiv() because of collinearity

note: ginit dropped from dgmmiv() because of collinearity

note: D.dwil dropped from lgmmiv() because of collinearity

note: D.ginit dropped from lgmmiv() because of collinearity

note: dwil dropped from div() because of collinearity

note: inft_1 dropped because of collinearity

note: ginit dropped because of collinearity

note: p2ipdt dropped because of collinearity

note: p2ipdt2 dropped because of collinearity

note: dwil dropped because of collinearity

note: popt dropped because of collinearity

note: ginit dropped because of collinearity

System dynamic panel-data estimation Number of obs = 164

Group variable: kab1 Number of groups = 82

Time variable: tahun

Obs per group: min = 2

avg = 2

max = 2

Number of instruments = 10 Wald chi2(7) = 54306.46

Prob > chi2 = 0.0000

Two-step results

------------------------------------------------------------------------------

yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

yt |

L1. | .8594341 .0300878 28.56 0.000 .8004631 .9184052

p2ipdt | -97.06834 28.53918 -3.40 0.001 -153.0041 -41.13257

p2ipdt2 | .0212297 .0034943 6.08 0.000 .014381 .0280785

dwil | 497287.4 238309.3 2.09 0.037 30209.68 964365

popt | -.2917056 .2156995 -1.35 0.176 -.7144689 .1310577

ginit | 1634775 548061 2.98 0.003 560595.1 2708955

inft_1 | 194524.7 78646.16 2.47 0.013 40381.06 348668.4

------------------------------------------------------------------------------

Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).yt L(1/.).p2ipdt L(1/.).p2ipdt2 L(1/.).inft_1 L(1/.).popt L(2/.).ginit

Standard: D.p2ipdt D.p2ipdt2 D.inft_1 D.popt D.ginit

Instruments for level equation

GMM-type: LD.yt D.p2ipdt D.p2ipdt2 D.inft_1 D.popt LD.ginit

125 Uji Sargan (Overidentifcation test) dan Uji Autokorelasi Panel Dinamis

Sargan test of overidentifying restrictions

H0: overidentifying restrictions are valid

chi2(3) = 8.824739

Prob > chi2 = 0.0317

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors

+-----------------------+

|Order | z Prob > z|

|------+----------------|

| 1 | . . |

| 2 | . . |

+-----------------------+

H0: no autocorrelation

126 Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan per Jenis Bantuan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Fixed Effect Model)

Fixed-effects (within) regression Number of obs = 246

Group variable: kab1 Number of groups = 82

R-sq: within = 0.5109 Obs per group: min = 3

between = 0.1203 avg = 3.0

overall = 0.1215 max = 3

F(8,156) = 20.37

corr(u_i, Xb) = 0.1189 Prob > F = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------

yt | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

ginit | 534503.5 344857.1 1.55 0.123 -146688.5 1215695

inft_1 | 912060.4 100743.2 9.05 0.000 713063.6 1111057

popt | -2.113729 2.894218 -0.73 0.466 -7.830642 3.603183

dwil | (dropped)

dtransp | 74109.61 48912.11 1.52 0.132 -22505.87 170725.1

denergi | 90212.83 48188.8 1.87 0.063 -4973.914 185399.6

dinfotel | 30119.03 65464.69 0.46 0.646 -99192.56 159430.6

dsos | 26501.98 36628.78 0.72 0.470 -45850.39 98854.35

dekon | 16244.05 39390.21 0.41 0.681 -61562.94 94051.04

_cons | 3915563 796170 4.92 0.000 2342898 5488227

-------------+----------------------------------------------------------------

sigma_u | 3098219.1

sigma_e | 188161.11

rho | .99632518 (fraction of variance due to u_i)

------------------------------------------------------------------------------

F test that all u_i=0: F(81, 156) = 750.83 Prob > F = 0.0000

127 Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan per Jenis Bantuan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Random Effect Model)

Random-effects GLS regression Number of obs = 246

Group variable: kab1 Number of groups = 82

R-sq: within = 0.5105 Obs per group: min = 3

between = 0.1463 avg = 3.0

overall = 0.1478 max = 3

Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2(9) = 177.72

corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------

yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

ginit | 535407.9 342528.5 1.56 0.118 -135935.7 1206751

inft_1 | 940332.5 88162.34 10.67 0.000 767537.5 1113128

popt | -3.062739 1.048242 -2.92 0.003 -5.117255 -1.008222

dwil | -1295852 741660.8 -1.75 0.081 -2749480 157776.8

dtransp | 71881.35 48605.87 1.48 0.139 -23384.42 167147.1

denergi | 88366.33 47620.33 1.86 0.064 -4967.792 181700.5

dinfotel | 28243.3 65046.82 0.43 0.664 -99246.13 155732.7

dsos | 27413.67 36398.16 0.75 0.451 -43925.4 98752.75

dekon | 16979.41 39038.02 0.43 0.664 -59533.7 93492.53

_cons | 4866191 690427.7 7.05 0.000 3512978 6219405

-------------+----------------------------------------------------------------

sigma_u | 3105851.1

sigma_e | 188161.11

rho | .99634315 (fraction of variance due to u_i)

------------------------------------------------------------------------------

128

Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Statis

Note: the rank of the differenced variance matrix (7) does not equal the number of coefficients being tested (8); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale.

---- Coefficients ----

| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B))

| fixed random Difference S.E.

-------------+----------------------------------------------------------------

ginit | 534503.5 535407.9 -904.4118 40008.07

inft_1 | 912060.4 940332.5 -28272.06 48750.41

popt | -2.113729 -3.062739 .9490092 2.697719

dtransp | 74109.61 71881.35 2228.266 5464.742

denergi | 90212.83 88366.33 1846.499 7380.072

dinfotel | 30119.03 28243.3 1875.729 7384.926

dsos | 26501.98 27413.67 -911.693 4103.845

dekon | 16244.05 16979.41 -735.3615 5255.605

------------------------------------------------------------------------------

b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg

B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg

Test: Ho: difference in coefficients not systematic

chi2(7) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)

= 0.96

Prob>chi2 = 0.9954 RANDOM EFFECT

129 Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan per Jenis Bantuan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Generalized Least Square Method)

Cross-sectional time-series FGLS regression

Coefficients: generalized least squares

Panels: homoskedastic

Correlation: common AR(1) coefficient for all panels (0.9631)

Estimated covariances = 1 Number of obs = 246

Estimated autocorrelations = 1 Number of groups = 82

Estimated coefficients = 10 Time periods = 3

Wald chi2(9) = 60.32

Prob > chi2 = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------

yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

dtransp | 46504.04 95164.07 0.49 0.625 -140014.1 233022.2

denergi | 27689.4 94660.07 0.29 0.770 -157840.9 213219.7

dsos | 15540.48 64474.87 0.24 0.810 -110827.9 141908.9

dinfotel | -20150.57 141492.3 -0.14 0.887 -297470.3 257169.2

dekon | -23612.9 79972.5 -0.30 0.768 -180356.1 133130.3

inft_1 | 1077472 201190.5 5.36 0.000 683145.9 1471798

popt | -3.157938 .6657105 -4.74 0.000 -4.462706 -1.853169

ginit | 592100.6 620822.8 0.95 0.340 -624689.6 1808891

dwil | -1295489 450924.2 -2.87 0.004 -2179285 -411694

_cons | 4705698 575042.2 8.18 0.000 3578636 5832760

------------------------------------------------------------------------------

130 Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan per Jenis Bantuan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Dinamis

note: dwil dropped from dgmmiv() because of collinearity

note: D.dwil dropped from lgmmiv() because of collinearity

note: ginit dropped because of collinearity

System dynamic panel-data estimation Number of obs = 164

Group variable: kab1 Number of groups = 82

Time variable: tahun

Obs per group: min = 2

avg = 2

max = 2

Number of instruments = 12 Wald chi2(10) = 60715.63

Prob > chi2 = 0.0000

Two-step results

------------------------------------------------------------------------------

yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

yt |

L1. | .9612485 .014469 66.44 0.000 .9328898 .9896072

dtransp | 46956.63 85299.03 0.55 0.582 -120226.4 214139.7

denergi | -19161.45 90416.13 -0.21 0.832 -196373.8 158050.9

dinfotel | -12409.84 71221.96 -0.17 0.862 -152002.3 127182.6

dsos | -53979.26 33631.74 -1.61 0.108 -119896.3 11937.73

dekon | -71113.77 50834.8 -1.40 0.162 -170748.2 28520.62

dwil | 269979.4 117656.1 2.29 0.022 39377.74 500581

ginit | 693669.8 315432.4 2.20 0.028 75433.69 1311906

inft_1 | 131368.6 67114.73 1.96 0.050 -173.8915 262911

popt | -.2925832 .2663093 -1.10 0.272 -.8145398 .2293734

------------------------------------------------------------------------------

Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).yt L(1/.).dtransp L(1/.).denergi L(1/.).dinfotel L(1/.).dsos L(1/.).dekon L(2/.).ginit

Standard: D.inft_1 D.popt D.ginit

Instruments for level equation

GMM-type: LD.yt D.dtransp D.denergi D.dinfotel D.dsos D.dekon LD.ginit

131 Uji Sargan (Overidentifcation test) dan Uji Autokorelasi Panel Dinamis Sargan test of overidentifying restrictions

H0: overidentifying restrictions are valid

chi2(2) = 7.858085

Prob > chi2 = 0.0197 VALID PADA α=0,01

. estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors

+-----------------------+

|Order | z Prob > z|

|------+----------------|

| 1 | . . |

| 2 | . . |

+-----------------------+

H0: no autocorrelation

132 Hasil Estimasi Model Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Panel Statis (Fixed Effect Model)

Fixed-effects (within) regression Number of obs = 246

Group variable: kab1 Number of groups = 82

R-sq: within = 0.2594 Obs per group: min = 3

between = 0.0230 avg = 3.0

overall = 0.0245 max = 3

F(4,160) = 14.01

corr(u_i, Xb) = -0.8966 Prob > F = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------

pot | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

ginit | -12.67615 5.551188 -2.28 0.024 -23.6392 -1.713103

yt | -5.56e-06 1.10e-06 -5.04 0.000 -7.74e-06 -3.38e-06

exptjuta | -5.83e-06 5.35e-06 -1.09 0.277 -.0000164 4.73e-06

exptjuta2 | 3.51e-12 2.41e-12 1.46 0.146 -1.24e-12 8.27e-12

_cons | 54.90191 4.961161 11.07 0.000 45.10411 64.69972

-------------+----------------------------------------------------------------

sigma_u | 18.811172

sigma_e | 3.0725978

rho | .97401368 (fraction of variance due to u_i)

------------------------------------------------------------------------------

F test that all u_i=0: F(81, 160) = 21.46 Prob > F = 0.0000

133 Hasil Estimasi Model Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Panel Statis (Random Effect Model)

Random-effects GLS regression Number of obs = 246

Group variable: kab1 Number of groups = 82

R-sq: within = 0.1733 Obs per group: min = 3

between = 0.0025 avg = 3.0

overall = 0.0076 max = 3

Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2(4) = 24.00

corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0001

------------------------------------------------------------------------------

pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

ginit | -16.10561 5.727452 -2.81 0.005 -27.33121 -4.880012

yt | -6.71e-07 2.90e-07 -2.31 0.021 -1.24e-06 -1.03e-07

exptjuta | -8.25e-06 4.98e-06 -1.66 0.098 -.000018 1.52e-06

exptjuta2 | 3.20e-12 2.45e-12 1.30 0.193 -1.61e-12 8.01e-12

_cons | 32.10116 2.519311 12.74 0.000 27.1634 37.03892

-------------+----------------------------------------------------------------

sigma_u | 7.5764403

sigma_e | 3.0725978

rho | .85876137 (fraction of variance due to u_i)

------------------------------------------------------------------------------

134 Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Statis

Note: the rank of the differenced variance matrix (1) does not equal the number of coefficients being tested (4); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale.

---- Coefficients ----

| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B))

| random fixed Difference S.E.

-------------+----------------------------------------------------------------

ginit | -16.10561 -12.67615 -3.42946 1.409974

yt | -6.71e-07 -5.56e-06 4.89e-06 .

exptjuta | -8.25e-06 -5.83e-06 -2.42e-06 .

exptjuta2 | 3.20e-12 3.51e-12 -3.17e-13 4.78e-13

------------------------------------------------------------------------------

b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg

B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg

Test: Ho: difference in coefficients not systematic

chi2(1) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)

= 5.92

Prob>chi2 = 0.0150

(V_b-V_B is not positive definite)

135 Hasil Estimasi Model Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Panel Dinamis

Dengan Indeks Gini note: ginit dropped because of collinearity

System dynamic panel-data estimation Number of obs = 164

Group variable: kab1 Number of groups = 82

Time variable: tahun

Obs per group: min = 2

avg = 2

max = 2

Number of instruments = 3 Wald chi2(2) = 68.29

Prob > chi2 = 0.0000

One-step results

------------------------------------------------------------------------------

pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

pot |

L1. | (dropped)

yt | 6.14e-06 1.26e-06 4.87 0.000 3.67e-06 8.61e-06

ginit | (dropped)

exptjuta | -7.83e-06 .0000137 -0.57 0.569 -.0000348 .0000191

exptjuta2 | -1.95e-11 1.10e-11 -1.78 0.075 -4.09e-11 1.98e-12

------------------------------------------------------------------------------

Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).pot L(2/.).yt L(2/.).ginit

Standard: D.exptjuta D.exptjuta2 D.ginit

Instruments for level equation

GMM-type: LD.pot LD.yt LD.ginit . estat abond

artests not computed for one-step system estimator with vce(gmm)

cannot calculate AR tests with dropped variables

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors

cannot calculate test with dropped variables

+-----------------------+

|Order | z Prob > z|

|------+----------------|

+-----------------------+

H0: no autocorrelation

. estat sargan

Sargan test of overidentifying restrictions

H0: overidentifying restrictions are valid

cannot calculate Sargan test with dropped variables

chi2(0) = . Prob > chi2 = . TIDAK ADA KEPUTUSAN

136 Tanpa Indeks Gini

note: exptjuta dropped because of collinearity

note: exptjuta2 dropped because of collinearity

System dynamic panel-data estimation Number of obs = 164

Group variable: kab1 Number of groups = 82

Time variable: tahun

Obs per group: min = 2

avg = 2

max = 2

Number of instruments = 6 Wald chi2(3) = 219.80

Prob > chi2 = 0.0000

One-step results

------------------------------------------------------------------------------

pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

pot |

L1. | 1.056407 .2064859 5.12 0.000 .651702 1.461112

exptjuta | -.0000328 .000019 -1.72 0.085 -.0000701 4.52e-06

exptjuta2 | 2.68e-11 1.22e-11 2.19 0.029 2.81e-12 5.08e-11

yt | 1.36e-06 5.79e-07 2.34 0.019 2.22e-07 2.49e-06

------------------------------------------------------------------------------

Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).pot L(1/.).exptjuta L(1/.).exptjuta2 L(2/.).yt

Standard: D.exptjuta D.exptjuta2

Instruments for level equation

GMM-type: LD.pot D.exptjuta D.exptjuta2 LD.yt

Uji Sargan (Overidentifcation test) dan Uji Autokorelasi Panel Dinamis

Sargan test of overidentifying restrictions

H0: overidentifying restrictions are valid

chi2(2) = 2.805557

Prob > chi2 = 0.2459

137 Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total Terhadap Persentase Penduduk Miskin dengan model Instrumental Variable (Instrumen Pertumbuhan-Random Effect Model)

G2SLS random-effects IV regression Number of obs = 246

Group variable: kab1 Number of groups = 82

R-sq: within = 0.2088 Obs per group: min = 3

between = 0.0167 avg = 3.0

overall = 0.0203 max = 3

Wald chi2(4) = 21.54

corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0002

------------------------------------------------------------------------------

pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

yt | -1.80e-06 6.50e-07 -2.77 0.006 -3.08e-06 -5.29e-07

ginit | -15.40703 6.086697 -2.53 0.011 -27.33674 -3.477324

exptjuta | -3.97e-06 5.55e-06 -0.72 0.474 -.0000148 6.90e-06

exptjuta2 | 2.56e-12 2.61e-12 0.98 0.325 -2.55e-12 7.67e-12

_cons | 35.6429 3.301142 10.80 0.000 29.17278 42.11302

-------------+----------------------------------------------------------------

sigma_u | 7.6868292

sigma_e | 3.3877403

rho | .83735668 (fraction of variance due to u_i)

------------------------------------------------------------------------------

Instrumented: yt

Instruments: ginit exptjuta exptjuta2 inft_1 popt p2ipdt p2ipdt2 dwil

------------------------------------------------------------------------------

138 Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total Terhadap Persentase Penduduk Miskin dengan model Instrumental Variable (Instrumen Pertumbuhan-Fixed Effect Model)

Fixed-effects (within) IV regression Number of obs = 246

Group variable: kab1 Number of groups = 82

R-sq: within = 0.0997 Obs per group: min = 3

between = 0.0267 avg = 3.0

overall = 0.0268 max = 3

Wald chi2(4) = 2442.04

corr(u_i, Xb) = -0.9748 Prob > chi2 = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------

pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

yt | -.000012 1.96e-06 -6.14 0.000 -.0000159 -8.19e-06

ginit | -6.19999 6.310884 -0.98 0.326 -18.56909 6.169114

exptjuta | 5.16e-06 6.45e-06 0.80 0.424 -7.49e-06 .0000178

exptjuta2 | 1.41e-12 2.70e-12 0.52 0.603 -3.89e-12 6.70e-12

_cons | 81.29728 8.320286 9.77 0.000 64.98982 97.60475

-------------+----------------------------------------------------------------

sigma_u | 38.235673

sigma_e | 3.3877403

rho | .99221091 (fraction of variance due to u_i)

------------------------------------------------------------------------------

F test that all u_i=0: F(81,160) = 17.86 Prob > F = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------

Instrumented: yt

Instruments: ginit exptjuta exptjuta2 inft_1 popt p2ipdt p2ipdt2 dwil

------------------------------------------------------------------------------

139 Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Instrumental Variable

Note: the rank of the differenced variance matrix (1) does not equal the number of coefficients being tested (4); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale.

---- Coefficients ----

| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B))

| fixed random Difference S.E.

-------------+----------------------------------------------------------------

yt | -.000012 -1.80e-06 -.0000102 1.85e-06

ginit | -6.19999 -15.40703 9.207042 1.667143

exptjuta | 5.16e-06 -3.97e-06 9.13e-06 3.29e-06

exptjuta2 | 1.41e-12 2.56e-12 -1.16e-12 7.09e-13

------------------------------------------------------------------------------

b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtivreg

B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtivreg

Test: Ho: difference in coefficients not systematic

chi2(1) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)

= 30.50

Prob>chi2 = 0.0000 FIXED EFFECT

(V_b-V_B is not positive definite)

.

140 Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan P2IPDT per jenis Bantuan Terhadap Persentase Penduduk Miskin dengan model Instrumental Variable (Instrumen PertumbuhanRandom Effect Model)

G2SLS random-effects IV regression Number of obs = 246

Group variable: kab1 Number of groups = 82

R-sq: within = 0.2096 Obs per group: min = 3

between = 0.0165 avg = 3.0

overall = 0.0201 max = 3

Wald chi2(4) = 21.74

corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0002

------------------------------------------------------------------------------

pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

yt | -1.79e-06 6.63e-07 -2.70 0.007 -3.09e-06 -4.94e-07

ginit | -15.48396 6.031353 -2.57 0.010 -27.3052 -3.66273

exptjuta | -4.26e-06 5.52e-06 -0.77 0.441 -.0000151 6.57e-06

exptjuta2 | 2.64e-12 2.59e-12 1.02 0.308 -2.43e-12 7.70e-12

_cons | 35.74867 3.332908 10.73 0.000 29.21629 42.28105

-------------+----------------------------------------------------------------

sigma_u | 7.7949252

sigma_e | 3.3541729

rho | .84376798 (fraction of variance due to u_i)

------------------------------------------------------------------------------

Instrumented: yt Instruments: ginit exptjuta exptjuta2 inft_1 popt dwil dtransp denergi dinfotel dsos dekon

------------------------------------------------------------------------------

141 Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan P2IPDT per jenis Bantuan Terhadap Persentase Penduduk Miskin dengan model Instrumental Variable (Instrumen Pertumbuhan- Fixed Effect Model)

Fixed-effects (within) IV regression Number of obs = 246

Group variable: kab1 Number of groups = 82

R-sq: within = 0.1175 Obs per group: min = 3

between = 0.0266 avg = 3.0

overall = 0.0267 max = 3

Wald chi2(4) = 2490.41

corr(u_i, Xb) = -0.9733 Prob > chi2 = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------

pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

yt | -.0000117 1.90e-06 -6.14 0.000 -.0000154 -7.94e-06

ginit | -6.570526 6.235724 -1.05 0.292 -18.79232 5.651267

exptjuta | 4.53e-06 6.35e-06 0.71 0.476 -7.92e-06 .000017

exptjuta2 | 1.53e-12 2.67e-12 0.57 0.568 -3.71e-12 6.76e-12

_cons | 79.78706 8.077319 9.88 0.000 63.95581 95.61832

-------------+----------------------------------------------------------------

sigma_u | 37.0912

sigma_e | 3.3541729

rho | .99188867 (fraction of variance due to u_i)

------------------------------------------------------------------------------

F test that all u_i=0: F(81,160) = 18.21 Prob > F = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------

Instrumented: yt Instruments: ginit exptjuta exptjuta2 inft_1 popt dwil dtransp denergi dinfotel dsos dekon

------------------------------------------------------------------------------

142 Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Instrumental Variable

Note: the rank of the differenced variance matrix (1) does not equal the number of coefficients being tested (4); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale.

---- Coefficients ----

| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B))

| fixed random Difference S.E.

-------------+----------------------------------------------------------------

yt | -.0000117 -1.79e-06 -9.87e-06 1.78e-06

ginit | -6.570526 -15.48396 8.913438 1.58336

exptjuta | 4.53e-06 -4.26e-06 8.79e-06 3.13e-06

exptjuta2 | 1.53e-12 2.64e-12 -1.11e-12 6.71e-13

------------------------------------------------------------------------------

b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtivreg

B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtivreg

Test: Ho: difference in coefficients not systematic

chi2(1) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)

= 31.69

Prob>chi2 = 0.0000

(V_b-V_B is not positive definite)

.

80

Halaman ini sengaja dikosongkan

xxiv

Halaman ini sengaja dikosongkan

Halaman ini sengaja dikosongkan