Upload
lenga
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB V
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Jika uraian dalam bab sebelumnya diarahkan kepada upaya untuk
mendeskripsikan temuan-temuan penelitian sesuai dengan fokus dan
pertanyaan penelitian yang diajukan, maka dalam bab berikut ini akan disajikan
uraian yang berisi pembahasan terhadap seluruh temuan penelitian, terutama
yang ditekankan pada fokus penelitian.
Melalui bab ini, efektivitas dari implementasi kebijakan percepatan
Wajar Dikdas 9 tahun dalam rangka membantu meringankan beban pendidikan
bagi anak dari keluarga miskin akan dijawab. Melalui bab ini pula, alasan
mengani masih banyaknya anak dari keluarga miskin yang belum tersentuh
kebijakan akan dibahas.
Bukan hanya itu, melalui bab ini pula akan dimunculkan beberapa isu
strategis yang bisa dijadikan landasan dalam rangka meningkatkan efektivitas
pelaksanaan akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun dikaitkan dengan
upayanya untuk membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari
keluarga miskin.
A. Kajian Terhadap Arah Kebijakan yang Ditempuh
Secara umum, dari hasil penelitian terungkap bahwa meskipun
kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur
ini telah memiliki arah yang jelas dan dukungan kebijakan yang kuat, namun
pada tataran implementasinya masih menunjukan banyak kelemahan dan
kekurangan. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan upaya untuk menenuntaskan
220
2
Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin sesuai dengan fokus
penelitian ini.
Adalah misi dan visi Kabupaten Cianjur yang secara eksplisit telah
menjadikan pembangunan bidang pendidikan sebagai salah satu agenda
sentralnya. Bahkan dari empat misi yang telah ditetapkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) sekaligus menjadi acuan
perencanaan pembangunan di Kabupaten Cianjur, satu misi diantaranya berisi
tentang arti pentingnya pembangunan pendidikan dengan fokus pada penuntasan
Wajar Dikdas 9 tahun.
Bukan hanya itu, adalah Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur yang secara eksplisit dan dengan begitu
tegas telah menetapkan bahwa dari tujuh tujuan dan sasaran prioritas yang
sekaligus merupakan arah kebijakan yang akan ditempuhnya, agenda
penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun merupakan salah satu prioritasnya. Bahkan
arah kebijakan ini juga ditunjang oleh dua tujuan atau sasaran yang lainnya,
yakni upaya untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dan upaya
peningkatan mutunya, dua besaran sasaran program yang apabila bisa
diimplementasikan akan sangat besar sumbangannya dalam upaya mempercepat
program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.
Jelasnya, kebijakan yang ditujukan kepada upaya pemerataan, maka
pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun diharapkan bisa menyentuh seluruh lapisan
masyarakat, tidak terkecuali masyarakat yang kurang beruntung alias miskin
yang selama ini masih banyak menyisakan sasaran.
3
Melalui kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan mutu, maka
implementasi kebijakan percepatan Wajar Dikdas 9 tahun diharapkan bisa
dilakukan tidak hanya dalam rangka mengejar target kuantitas yang ditandai
dengan peningkatan angka partisipasi sekolah, baik APK maupun APM,
melainkan lebih jauh lagi mampu memberikan bekal pengetahuan dan
keterampilan dasar yang sangat diniscayakan setiap warga masyarakat,
khususnya bagi anak dari keluarga miskin sebagai modal utama untuk bisa
mengakses hak-hak hidupnya, sebut pula memberdayakannya.
Dari hasil kajian peneliti, pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun
yang dilakukan di Kabupaten Cianjur saat ini memiliki landasan yang cukup
kuat dan strategis. Tidak saja karena didukung oleh kebijakan-kebijakan yang
telah dirumuskan dan ditetapkan pemerintah pusat dan provinsi Jawa Barat,
melainkan diperkuat pula oleh visi dan misi pemerintah Kabupaten Cianjur yang
secara eksplisit tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMD) yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Dinas
Pendidikan Kabupaten Cianjur 2006-2011.
Dikaitkan dengan kebijakan pemerintah pusat, khususnya kebijakan
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), pelaksanaan Wajar Dikdas 9
tahun merupakan realisasi dari Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5
tahun 2006 Tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9
Tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun) dan Pemberantasan Buta Aksara.
Dikaitkan dengan kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Barat,
pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun merupakan bagian dari upaya strategis
dalam rangka pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang
4
ditargetkan bisa mencapai angka 80 pada tahun 2010 sebagaimana bisa ditelaah
dalam chart di bawah ini :
PENCAPAIAN VISI JAWA
BARAT MELALUI IPM 80 TH 2010
INDEKS PENDIDIKAN
INDEKS KESEHATAN
INDEKS DAYA BELI
RATA-RATA LAMA
SEKOLAH
MELEK HURUF
UMUR HARAPAN
HIDUP
PENDAPATAN PER KAPITA
WAJAR DIKDAS
9 TAHUN
GAMBAR 5.1 :. KETERKAITAN DAN NILAI STRATEGIS PELAKSANAAN WAJAR DIKDAS 9 TAHUN DENGAN PENCAPAIAN IPM JAWA BARAT
Dari gambar di atas nampak bahwa pelaksanaan program akselerasi
penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun disamping memiliki posisi yang strtaegis
dalam menunjang peningkatan rata-rata lama sekolah (RLS) dan peningkatan
buta aksara sebagai faktor penentu indeks pendidikan sebagai salah satu
komponen penting peningkatan IPM. Tidak sampai di situ, keberhasilan
pelaksanaan Wajar Dikdas juga secara tidak langsung akan besar pula
sumbangannya terhadap upaya untuk mendukung peningkatan dua indeks IPM
yang lainnya, yakni indeks kesehatan dan daya beli.
Namun sebaliknya, upaya untuk meningkatkan Wajar Dikdas sendiri
pada akhirnya akan pula banyak ditentukan oleh keberhasilan peningkatan
derajat kesehatan dan juga tingkat daya beli masyarakat. Di situlah pula arti
pentingnya mengintegrasikan pelaksanaan Wajar Dikdas itu dalam kaitannya
dengan upaya untuk meningkatkan sektor pembangunan yang lainnya, dalam
hal ini adalah pembangunan disektor kesehatan dan peningkatan daya beli
masyarakat.
Asumsinya, semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, maka akan
semakin meningkat pula sikap, kesadaran dan perilaku kesehatannya. Padahal
5
menurut Hendrik Blumm, faktor sikap dan perilaku masyarakat ini akan sangat
menentukan derajat kesehatan mereka. Juga, semakin tinggi pendidikan sebuah
masyarakat, maka akan semakin besar pula pengtetahuan dan keterampilan yang
memunginkan mereka bisa mengakses peluang untuk meningkatkan taraf
kesejahteraannya.
Itulah gambaran mengenai letak strategisnya pelaksanaan wajar Dikdas
9 tahun dalam upaya untuk mendukung peningkatan indeks pembangunan
manusia (IPM). Menurut kajian peneliti, itulah pula peluang yang sesungguhnya
bisa dijadikan salah satu kekuatan utama untuk menarik dukungan seluruh
sektor, termasuk dukungan masyarakat dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9
tahun di kabupaten Cianjur. Di situlah pula kemampuan para stakeholders di
bidang pendidikan untuk melakukan advokasi tentang arti pentingnya
pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun diuji dan ditantang.
Tidak sampai di situ, letak strategisnya pelaksanaan Wajar Dikdas 9
tahun itu diperkuat pula oleh visi dan misi kabupaten Cianjur yang secara
eksplisit telah mencantumkan program perecepatan Wajar Dikdas 9 tahun
sebagai prioritas dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan.
Yang tidak bisa diabaikan, adalah kebijakan Bupati Cianjur yang sejak
dilantik secara resmi menjadi Bupati Cianjur telah mendeklarasikan tentang
”Pendidikan Gratis” untuk tingkat SD/MI sampai dengan SLTP yang sudah
sering disampaikan dalam berbagai kesempatan penting. Intinya, tidak
dibenarkan bagi sekolah (SD/MI dan SLTP) yang mendapatkan bantuan dari
pemerintah melakukan pungutan biaya apa pun kepada siswa atau orang tua
siswa. Pernyataan politis itu sekaligus merupakan isyarat tentang besarnya
6
perhatian sekaligus komitmen pimpinan tertinggi Kabupaten Cianjur dalam
mendukung kelancaran akselerasi program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.
Singkatnya, dilihat dari aspek formulasinya, juga dilihat dari letak
strategisnya, termasuk dari target yang telah ditetapkannya, sesungguhnya tidak
ada alasan bagi pemerintah Kabupaten Cianjur untuk tidak bisa menjabarkan
arah kebijakan itu kepada berbagai program yang mendukung upaya penuntasan
Wajar Dikdas 9 tahun.
B. Kajian Terhadap Program Implementasi
Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, tidak sedikit bentuk-
bentuk program telah dilaksanakan oleh Kabupaten Cianjur dalam
mengimplementasikan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun sebagai penjabaran dari
arah kebijakan yang telah ditetapkannya. Namun dari hasil penelitian terungkap
bahwa tidak semua program yang dilaksanakan ternyata bisa menjawab dan
mengakomodasi kebutuhan dan tuntutan anak dari keluarga miskin sebagai
salah satu kelompok sasaran yang menjadi target kebijakan.
Alasannya banyak, mulai dari persoalan yang berkaitan dengan
lemahnya pelaksanaan fungsi dan tugas Tim Koordinasi yang telah dibentuk,
termasuk lemahnya pelaku atau implementor kebijakan, lemahnya pendataan
sebagai langkah awal untuk mengetahui sasaran yang akan digarap dengan
kebijakan, kurang realistiknya target yang ingin dicapai, lemahnya sosialisasi
sampai kepada miskinnya sumberdaya untuk mengoptimalkan dan mendukung
kelancaran implementasi berbagai bentuk program intervensinya.
1. Kajian Terhadap Penentuan Target
7
Dikaitkan dengan sasaran yang yang ingin dicapainya, dari hasil
analisis terungkap bahwa arah kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten
Cianjur juga ternyata telah dipertegas dengan rencana pencapaian target yang
sebagai salah satu tolok ukur penting untuk melihat kinerjanya.
Persisnya, dalam rangka percepatan Wajar Dikdas 9 tahun ini
Kabupaten Cianjur memiliki target untuk bisa meningkatkan Angka Partisipasi
Kasar (APK) dari posisi 76,03 pada tahun 2004 menjadi 104 pada tahun 2008,
atau kenaikan sebesar 27,97 poin persen dalam kurun waktu lima tahun, sekitar
5,59 poin persen setiap tahunnya.
Bandingkan dengan tren kenaikan APK dalam periode empat tahun
sebelumnya, periode 2001-2004 yang meningkat sebesar 26,86 poin persen, atau
sekitar 6,71 poin persen setiap tahunnya. Itu semua mengandung arti bahwa
target yang dirumuskan lima tahun terakhir ini boleh dikatakan cukup realistik
jika dibandingkan dengan tren pencapaian APK dalam periode empat tahun
sebelumnya, bahkan secara kuantitatif sedikit lebih rendah.
Tidak jauh dari itu, Angka Partisipasi Murni (APM) ditargetkan naik
dari posisi tahun 2004 sebesar 68,99 menjadi 98,50 pada tahun 2008, atau
meningkat sebesar 29,51 poin dalam kurun waktu lima tahun, sekitar 5,90 poin
setiap tahunnya. Bandingkan juga dengan trend peningkatan APM dalam
periode empat tahun sebelumnya, periode 2001-2004, yang meningkat sebesar
30,67 poin persen, atau meningkat sebesar 7,77 poin persen setiap tahunnya.
Itu semua juga mengandung arti bahwa jika dilihat dari trend dan
kemampuan pencapaian target beberapa tahun sebelumnya, maka penentuan
target peningkatan APM ini cukup realistik, bahkan masih berada di bawah tren
8
peningkatan APM empat tahun sebelumnya. Namun persoalannya akan menjadi
lain ketika target sebesar itu tidak dikaitkan dengan sukung dengan optimalisasi
sumber daya dalam melaksanakan program-program pendukungnya, bahkan
mungkin menjadi kurang realistik jika dikatkan dengan sisa sasarannya yang
kebanyakan merupakan anak dari keluarga miskin dengan karakteristik sosial
dan budayanya nya yang begitu kompleks.
Dengan target sebesar itu, pada tahun 2008 Kabupaten Cianjur
menargetkan dirinya untuk bisa menjadi daerah dengan kategori “tuntas Wajar
Dikdas Paripurna. Bahkan target lebih jauhnya, pada tahun 2011 nanti
Kabupaten Cianjur punya ambisi untuk mencapai status “wajib belajar 12 tahun
- Wajar Dikmen, sebuah target yang luhur jika dikaitkan dengan kebijakan
pemerintah provinsi maupun pusat yang telah mentargetkan penuntasan Wajar
Dikdas 9 tahun pada tahun 2008.
Bukan hanya itu, penentuan target sebesar itu juga merupakan sebuah
keniscayaan jika dikaitkan dengan besarnya target yang mesti dicapai
kabupaten Cianjur untuk bisa meningkatkan rata-rata lama sekolah (rate of years
schooling) dari 6,68 tahun pada tahun 2005 menjadi 7,31 tahun pada tahun
2008. Dengan angka itu, dan dengan didukung oleh peningkatan indikator
makro lainnya – indikator kesehatan dan daya beli, Kabupaten Cianjur
diharapkan mampu meningkatkan pencapaian IPM-nya dari posisi 72,27 pada
tahun 2005 menjadi 76,3 pada tahun 2008 sesuai dengan target akselerasi
peningkatan IPM yang telah ditetapkan Provinsi Jawa Barat.
Singkatnya, dari hasil kajian terungkap bahwa ada kecenderungan kalau
proses dan besarnya penentuan target itu lebih banyak ditentukan oleh kebijakan
9
yang dibuat oleh pemerintah provinsi dan bahkan pemerintah pusat, dan
karenanya bersifat top down, ketimbang banyak mempertimbangkan kondisi riel
yang dihadapi kabupaten Cianjur, sehingga dilihat dari lima prinsip penentuan
target yang harus memenuhi kriteria SMART-nya (specific, measurable,
achievable, relaistic dan time bound), maka hanya tiga kriteria, yakni specific,
measurable dan time bound-nya yang secara jelas sudah dipenuhinya.
Sementara dua kriteria penting lainnya, kriteria achievable (prinsip harus dapat
dicapai) dan realistiknya (prinsip kesesuaian dengan kondisi rielnya) masih
dipertanyakan, dan akan dibahas dalam uraian mengenai pencapaian kinerjanya
pada pembahasan berikutnya.
2. Kajian Terhadap Keberadaan Tim Koordinasi
Dari hasil penelitian terungkap bahwa kehadiran lembaga koordinasi
yang sekaligus merupakan koordinator sekaligus implementor, bahkan menjado
motor penggerak dari pelaksanaan kebijakan ini tidak berjalan sebagaimana
yang diharapkan. Ketua Umum Tim, dalam hal ini Sekretaris Daerah (Sekda),
yang diharapkan bisa memutarkan jalannya roda organisasi yang melibatkan
banyak pihak yang ada dibawah kewenangannya, misalnya, karena
kesibukannya nyaris tidak pernah hadir dalam rapat-rapat Tim yang dilakukan.
Demikian halnya dengan anggota Tim yang lainnya, terutama anggota
yang mewakili Polres dan Kodim dan beberapa Dinas lain juga nyaris tak
pernah terlibat dalam kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Padahal
keberadaan mereka selaku implementor, termasuk sikap dan pelakunya
(disposisi) dalam bahasa George C Edward (1990), atau dukungan sumber daya
10
(manusia) dalam bahasanya Donald Van Meter (1975), merupakan salah satu
variable yang akan menentukan keberhasilan melaksanakan sebuah kebijakan.
Singkatnya, demikian dari hasil pengamatan peneliti, hanya dari Unsur
Dinas P dan K serta Kantor departemen Agama yang berperan aktif. Salah satu
alasannya, disamping karena hampir semua institusi yang ditetapkan menjadi
anggota Tim Koordinasi itu tidak terlebih dahulu diajak bicara kecuali sebatas
ditunjuk dan ditetapkan SK Bupati, juga tidak pernah melakukan pertemuan
untuk menjelaskan peran dan fungsinya.
Maka benar apa yang dikatakan Peter Senge (1992), ”bahwa hampir
dalam kebanyakan organisasi, relatif hanya sedikit orang yang mengikuti
(enrolled), dan bahkan beberapa saja yang komit (committed), mayoritas orang
berada dalam posisi pemenuhan (complant). Mereka mendukung visi pada
tingkat tertentu, tetapi mereka tidak benar-0benar mengikuti (enrolled) atau
komit (committed)”.
Tidak mengherankan pula jika keterlibatan mereka pada umumnya
menjadi kurang bahkan nyaris tidak berfungsi kecuali sebatas tertulis dalam SK
Bupati. ”Kami tidak dilibatkan, bahkan kami tidak tahu kalau dalam SK Bupati
tertuang sebagai anggota Tim Koordinasi”, demikian ungkap beberapa kepala
Dinas Instansi ketika diwawancarai. Menurut pendapat peneliti, itulah pula awal
dari lemahnya komitmen yang akan mempengaruhi kinerja Tim dalam
menjalankan tugas pada tahap berikutnya. Hal tersebut juga ditegaskan Argyris
(1964), dikutip Nyoman Sumaryadi (2005) yang menegaskan bahwa
11
keberhasilan sebuah organisasi, dalam hal ini Tim Koordinasi, dianggap tercapai
apabila proses internal organisasi berjalan lancar.
Lebih jauh ditegaskan Daniel Katz dan Robert Kahn, dalam Bryant &
White (1987), ”bahwa pada tingkat pertama, keberhasilan implementasi sebuah
kebijakan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkannya dapat dilihat dari
konteks proses internal organisasi melalui kerjasama, yang antara lain ditinjau
dari berjalannya koordinasi dengan baik dan efektif”
Kalau pun ada beberapa pihak yang terlibat, terutama Tim yang ada
pada tingkat kecanatan dan Desa, demikian hasil pengamatan peneliti, maka
perannya tidak lebih dari sebatas melakukan kegiatan pendataan dan pemetaan
sasaran sebagai bagian kecil dari tugas merumuskan perencanaan atau program.
Sementara pelaksanaan tugas dan fungsi yang lainnya, terutama menyangkut
kegiatan sosialisasi, termasuk penggerakan masyarakatnya, ternyata lebih
banyak dilakukan oleh petugas internal dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Itu pun dilakukan hanya dengan memanfaatkan forum-forum pertemuan internal
yang ada. Dengan kata lain, tidak ada ”gerakan” yang meniscayakan arti
pentingnya kebersamaan dan pelibatan banyak pihak dalam implementasi Wajar
Dikdas sebagaimana yang sering didengang-dengungkan.
3. Kajian Terhadap Kegiatan Sosialisasi
Jika Tim Koordinasi dibangun dalam rangka memperkuat kelembagaan
yang diharapkan mampu menjadi motor penggerak dalam implementasi
pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di semua tingkatan, dan karenanya hadir
menjadi salah satu aktor atau pelaku kebijakan, maka kegiatan sosialisasi
12
ditujukan dalam rangka meyakinkan arti pentingnya pelaksanaan kebijakan
Wajar Dikdas 9 Tahun bisa dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.
Namun dari hasil penelitian terungkap bahwa sosialisasi kebijakan yang
dalam kajian teoretis merupakan salah satu faktor yang akan menentukan
keberhasilan dalam implementasi sebuah kebijakan, termasuk dalam
implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun, ternyata belum secara optimal
dilakukan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan esensi sebuah gerakan yang
meniscayakan arti pentingnya kesemarakan dan keserentakan dalam melakukan
sebuah kegiatan.
Konkritnya, demikian terungkap dari hasil penelitian, bahwa dari aspek
pelaku atau implementor, maka praksis sosialisasi Wajar Dikdas 9 tahun
dilapangan baru banyak dilakukan oleh pejabat dan petugas, terutama petugas
dan pejabat dari lingkup Dinas Pendidikan. Sementara keterlibatan pihak-pihak
lain, terutama dari kalangan tokoh masyarakat masih jauh dari esensi sebuah
gerakan. Ini semua terjadi, disamping karena sosialisasinya yang memang
kurang intens, cakupannya yang sempit, juga karena pelaksanaannya yang tidak
terkoordinasi dengan baik. ”Kami tidak pernah diikutsertakan dalam
perumusan rencananya, apalagi dalam pelaksanaannya”, kata beberapa tokoh
masyarakat yang sempat diwawancarai.
Dari aspek waktu, gerakan sosialisasi juga berlangsung hanya pada
momentum-momentum khusus, sebut saja selama pada masa pencanangan,
tetapi tidak berlangsung lama dan terus menerus sebagaimana yang diharapkan.
Bahkan dari dimensi ruang atau tempat, sosialisasi Wajar Dikdas Juga
13
cenderung berlangsung hanya pada tempat-tempat yang secara langsung
berkaitan dengan urusan pendidikan seperti sekolah artau ruang-ruang rapat,
sementara banyak ruang strategis lain seperti mesjid atau majlis ta’lim belum
banyak disentuh dan termanfaatkan.
Maka tidak mengherankan kalau muncul kesan bahwa pelaksanaan
Wajar Dikdas 9 tahun ini dipersepsi dan terkesan masih merupakan tugas dan
urusannya pemerintah semata, bahkan cenderung dianggap merupakan tugasnya
Dinas Pendidikan. Singkatnya, sosialisasi atau ”kominikasi” kebijakan yang
menurut George Edward (1990) merupakan salah satu variable penting yang
akan menentukan keberhasilan implementasi kebijakan belum berjalan
sebagaimana yang diharapkan.
4. Kajian Terhadap Pendataan Sasaran
Sebagai bagian dari langkah perencanaan, upaya ini dilakukan tidak saja
dalam rangka membuat peta atau potret tentang pencapaian pendidikan dasar
yang telah dicapai oleh masing-masing wilayah kecamatan sampai dengan Desa
atau kelurahan, namun sekaligus juga dilakukan dalam rangka mempersiapkan
dan memperjelas sasaran yang akan menjadi fokus penggarapan kegiatan Wajar
Dikdas 9 tahun menurut berbagai tingkatannya.
Namun dari hasil penelitian pula terungkap bahwa dari aspek
mekanismenya sebagaimana telah ditetapkan, pelaksanaan pendataan sasaran ini
tidak berjalan sepenuhnya sesuai dengan tahapan yang telah ditetapkan. Wujud
konkritnya, pendataan yang mestinya dilakukan secara langsung atau sensus, di
beberapa daerah dilakukan hanya dengan menggunakan data sekunder, yakni
14
hanya dengan cara merekap data yang telah ada, yakni data hasil pemutaakhiran
yang dilakukan BKKBN setiap tahunnya.
Dari aspek substansinya, pelaksanaan pendataan sasaran tersebut juga
baru sebatas dilaksanakan dalam rangka mengungkap nama dan alamat,
sementara alasan atau motif mereka tidak bersekolah, apalagi sampai
mengungkap klasifikasi anak miskin dan tidak miskin dengan kondisi sosial
kulturalnya yang memang berbeda, sama sekali absen dari perhatian.
Itulah pula yang kemudian akan menjadi salah satu penyebab
munculnya kesulitan dalam merumuskan dan menyampaikan pesan sosialisasi
atau motivasi dan penenrtuan progran intervensi yang perlu dilakukan dalam
tahap berikutnya. Maka tidak mengherankan jika masalah akurasi dan validitas
hasil pendataannya pun layak dipertanyakan, bahkan dipersoalkan. Padahal
tingkat efektivitas dari semua program yang akan dijalankan akan sangat
tergantung kepada tingkat akurasi data sasaran yang akan digarap.
Singkatnya, dari tahap persiapan implementasinya saja – koordinasi,
sosialisasi dan pendataan sasaran, masih ada gap atau diskrepansi antara yang
semestinya dilakukan dengan yang benar-benar dilakukan. Itulah pula temuan
penelitian yang kemudian akan mempengaruhi keberhasilan melakukan
implementasinya.
5. Kajian Terhadap Pelaksanaan Program dan Kinerjanya
Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, tidak sedikit bentuk-
bentuk pelayanan program Wajar Dikdas 9 tahun telah digulirkan oleh
pemerintah Kabupaten Cianjur sebagai bentuk implementasi dari arah kebijakan
yang telah ditetapkan, baik yang dilakukan melalui jalur pendidikan formal,
15
termasuk melalui jalur pendidikan alternatifnya seperti SMP Cerdas Seatap,
SMP Pertbuka, maupu jalur pendidikan Non Formal.
Bersamaan dengan itu, tidak sedikit pula hasil telah dicapai sebagai
dampak dari pelaksanaan program-program tersebut. Gambarannya, meskipun
jumlah anak usia 7-15 tahun meningkat cukup berarti dari posisi tahun 2004
sebesar 388.773 menjadi 407.694 anak pada posisi tahun 2008, namun tren
peningkatan anak yang bisa mengakses pendidikan jauh meningkat lebih besar
lagi.
Peresisnya, jika jumlah anak yang bisa mengakses pendidikan dasar 9
tahun pada tahun 2004 tercatat sebanyak 316.755 orang, atau sekitar 81,7 persen
dari jumlah total anak usia 7-15 tahun sebanyak 388.773 orang, maka pada
tahun 2008 meningkat menjadi 377.745 anak, atau menjadi 92,6 persen dari
total anak usia 7-15 tahun sebanyak 407.694 orang.
Implikasinya, jumlah anak usia 7-15 tahun yang tidak atau belum bisa
mengakses pendidikan dar 9 tahun menurun dari 18,52 persen pada tahun 2004
menjadi 7,34 persen pada tahun 2008. Artinya, intervensi program yang telah
dilakukan pemerintah Kabupaten Cianjur selama ini, secara kuantitatif telah
berhasil memberikan sumbangan dalam meningkatkan akses anak dari keluarga
miskin dalam menikmati salah satu hak dasarnya, pendidikan dasar 9 tahun
sebagaimana bisa dilihat dalam figur di bawah ini :
16
Tabel 5.2 Trend Peningkatan Anak Usia 7-15 Tahun yang Bisa Mengakses Pendidikan Wajar Dikdas 9 Tahun
URAIAN TAHUN
2004 2005 2006 2007 2008 Jml Anak Usia 7-15 tahun (Usia Wajar Dikdas 9 Tahun
388.773
393.363
398.565
402.918
407.694
Jumlah total anak usia 7-15 Tahun yang Tertampung
316.755
341.315
354.830
363.867
377.745
Jumlah anak usia 7-15 tahun yang belum/ tidak Tertampung
72.018
52.048
43.735
39.051
29.949
Prosentase anak yang tidak tertampung
18,52
13,23
10,97
9,69
7,34
Dengan kata lain, ada pengaruh yang cukup berarti dari implementasi
kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang dilakukan selama ini, paling tidak jika
dilihat dari aspek kuantitatifnya sesuai dengan tujuan penelitian ini. Dampak
lebih jauhnya, rata-rata lama sekolah (rate of year schooling) meningkat dari
6,42 tahun pada tahun 2004 menjadi 6,92 tahun pada tahun 2008. Dampak lebih
jauhnya, Indeks Pembangunan Pendidikan (IP) sebagai salah satu indikator yang
sangat berpengaruh dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM),
cenderung terus mengalami peningkatan sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel
berikut ini :
Tabel 5.3 Sumbangan kinerja Wajar Dikdas 9 tahun terhadap Peningkatan IPM Kabupaten Cianjur
Tahun RLS Melek Huruf Indeks
Pendidikan IPM
2004 6,42 96,51 78,61 66,18 2005 6,47 96,67 78,82 66,79 2006 6,60 96,79 79,19 67,44 2007 6,88 97,46 80,26 68,28 2008 6,92 92,66 80,48 68,72
17
Singkatnya, dilihat dari aspek peningkatan akses, baik yang dilakukan
melalui pemberian pelayanan pendidikan melalui jalur formal maupun jalur non
formal, termasuk didalamnya upaya peningkatan akses melalui jalur pendidikan
alternatif, maka hasil kajian menunjukan bahwa implementasi kebijakan
percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dalam lima tahun belakangan ini,
dari 2004-2008, secara kuantitatif telah berhasil meningkatkan akses anak usia
7-15 tahun dalam menikmati pendidikan dasarnya.
Dilihat menurut jalur pendidikannya, hasil kaijian mengungkap bahwa
jalur pendidikan formal reguler, yakni SD/MI dan SMP/MTs, cenderung dan
tetap menjadi pilihan utama, yakni mencapai sekitar 91,27 persen dari total
siswa usia 7-15 tahun yang ada pada tahun 2008. Bandingkan dengan jumlah
siswa usia yang sama yang memilih jalur pendidikan formal non reguler seperti
SMP Cerdas Seatap, SMP Terbuka dan sejenisnya serta jalur pendidikan non
formal yang besarnya hanya mencapai 33.006 siswa, atau hanya sekitar 8,73
persen dari total jumlah siswa yang ada pada tahun 2008.
Itu semua menunjukan bahwa jalur pendidikan formal reguler, tetap
merupakan pilihan pertama dan utama masyarakat, termasuk masyarakat
miskin, dan karenanya memiliki nilai strategis dalam upaya peningkatan akses
pendidikan dasar 9 tahun.
Dari hasil kajian pula terungkap bahwa dilihat dari tren peningkatannya
dalam lima tahun terakhir ini, periode 2004-2008, prosentase peningkatan anak
usia 7-15 tahun yang memanfaatkan atau mengikuti jalur pendidikan non
reguler dan pendidikan non formal cenderung mengalami peningkatan yang jauh
18
lebih tinggi dibanding dengan prosesntase peningkatan anak yang mengikuti
pendidikan dasar jalur non formal (paket A dan B) dan pendidikan formal
reguler. Bahkan dari hasil kajian terungkap bahwa dilihat dari prosentasenya,
jumlah siswa yang mengikuti pendidikan dasar melalui jalur formal justeru
mengalami penurunan.
Tren itu terjadi bukan karena jalur pendidikan formal reguler yang
kurang diminati, melainkan lebih oleh karena kemampuan daya tampung
dibanding dengan peminatnya yang tidak seimbang. Dan ketika jalur pendidikan
formal reguler itu kelebihan daya tampung, maka hampir bisa dipastikan kalau
anak dari keluarga miskin dengan segala ketidakberdayaannya yang akan
banyak tersisihkan.
Persisnya, jika prosentase siswa yang mengikuti pendidikan melalui
jalur pendidikan formal reguler tercatat sebesar 97,67 persen dari juml;ah total
siswa, maka pada prosentasenya pada tahun 2008 turun menjadi hanya 91,26
persen. Sebaliknya, prosentase siswa yang mengikuti jalur formal non reguler
dan pendidikan non formal naik dari 2,33 persen pada tahun 2004 menjadi 8,73
persen pada tahun 2004.
Semua itu menunjukan bahwa tujuan penyediaan layanan pendidikan
dasar melalui jalur pendidikan non formal dan non reguler yang disediakan
pemerintah selama ini cukup efektif, atau paling tidak membantu, dalam upaya
untuk menjaring anak dari keluarga miskin yang tidak tertampung melalui jalur
pendidikan formal reguler. Tabel di bawah ini sengaja diangkat untuk
memperjelas perbedaan tren peningkatan prosentase pertahunnya :
19
Tabel 5.4 Perbandingan Trend Jumlah dan Prosentase Siswa usia 7-15 tahun yang Mengikuti Jalur Pendidikan Formal Reguler
dengan Jalur Pendidikan Non Formal dan Formal Non Reguler
URAIAN
TAHUN KETERANGAN 2004 2005 2006 2007 2008
Jumlah Total Siswa Usia Wajar Dikdas 9 tahun
316.755
342.315
354.830
363.867
377.745
Dalam Periode lima tahun naik sebanyak 60.990 siswa
Jumlah siswa yang mengikuti jalur pendidikan formal reguler
309.367
329.823
337.159
338.664
344.739
Dalam periode 5 tahun naik sebanyak 35.372 siswa
Prosentase
97,66
96,35
95,01
93,07
91,26
Turun sebesar 6,41 persen
Jml Siswa yang mengkuti jalur pendidikan non formal dan formal non reguler
7.388
12.492
17.671
25.203
33.006
Dalam periode 5 tahun naik sebanyak 25.618 siswa
Prosentase
2,33
3,64
4,98
6,92
8,73
Naik sebesar 6,4 persen
Dari hasil kajian terhadap temuan yang telah disajikan pada bab
sebelumnya terungkap pula bahwa jalur pendidikan non formal melalui program
PKBM-nya (Paket A dan B), serta program SMP Cerdas Seatap sebagai
kelanjutan dari Program / Proyek PPK IPM yang dikembangkan Provinsi Jawa
Barat, disamping program Wajar Dikdas 9 Tahun melalui jalur pendidikan
pesantren, ternyata merupakan jalur pendidikan yang banyak diminati anak dari
keluarga miskin dalam menyelesaikan pendidikan dasarnya.
Hal itu terjadi tidak saja karena program-program tersebut relatif banyak
mendapatkan bantuan dukungan dari pemerintah, juga ada kecenderungan
bahwa tidak sedikit anak tamatan SD atau MI di Kabupaten Cianjur yang karena
motivasi orang tuanya, karena nilai budaya religious yang dianutnya, disamping
20
karena kemiskinannya, cenderung lebih banyak memilih jalur pendidikan
pesantren ketimbang pendidikan umum.
Di situlah pula letak strategisnya bagi pemerintah Kabupaten Cianjur
yang terkenal dengan ”kota santri”-nya ini untuk meningkatkan dan
mengembangkan jalur pendidikan non formal di lingkungan pesantren. Dengan
kata lain, jalur pendidikan yang mengintegrasikan Wajar Dikdas dengan sistem
penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
a. Pencapaian Dibanding Target
Namun dari hasil kajian terungkap pula bahwa meskipun berbagai
bentuk program yang dilaksanakan selama ini telah berhasil membantu
meningkatkan akses pendidikan dasar bagi anak dari keluarga miskin, tetapi
jika dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan, maka hasilnya
ternyata masih jauh dari yang diharapkan sebagaimana bisa ditelaah dalam
tabel di bawah ini:
Figur 5.5 Pencapaian Dibanding Target yang Telah ditetapkan
NO INDIKATOR POSISI 2004
TARGET 2008
PENCAPAIAN 2008
KETERANGAN
1 Angka Partisipasi Kasar (APK)
76,03
104 %
87,67
Minus 16,33 point persen dibanding target
2 Angka Partisipasi Murni (APM)
68,99
96,40 %
83,87
Minus 12,53 point persen dibanding target
Jelasnya, dari target pencapaian APK tahun 2008 sebesar 104 persen,
ternyata hanya bisa dicapai sebesar 87,67 persen, atau minus sebesar 16,33
poin persen. Demikian halnya untuk pencapaian APM. Dari target tahun
21
2008 sebesar 96,40 persen, ternyata hanya bisa dicapai sebesar 83,87 persen,
atau minus sebesar 12,53 poin persen. Dengan kata lain, masih ada gap
antara target dengan pencapaian.
Angka absolutnya, dari jumlah total anak usia 7-15 tahun tahun 2008
sebanyak 409.694 orang sebagaimana telah disajikan dalam bab
sebelumnya, hampir 30.000 anak diantaranya ternyata belum bisa tersentuh
dengan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang digulirkan pemerintah
Kabupaten Cianjur selama ini. Dan sesuai dengan hasil kajian, hampir bisa
dipastikan bahwa sebagian besarnya - kalaupun tidak sampai seluruhnya-
dari mereka yang belum tersentuh itu kebijakan itu adalah anak dari
keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks.
Itu semua menunjukan bahwa dari banyak aspeknya, target yang
dibuat oleh Kabupaten Cianjur seperti telah dibahas dalam uraian
sebelumnya menjadi tidak achievable dan bahkan tidak realistik jika
dikaitkan dengan kemampuan dan kondisi riel pemerintah Kabupaten
Cianjur dalam melakukan langkah intervensinya. Tegasnya, terget itu dibuat
dan ditetapkan lebih banyak berdasarkan kepada upaya untuk mengejar
besarnya target yang telah ditentukan pemerintah provinsi, bahkan
mungkiun kepentingan politik ketimbang pertimbangan riel di lapangan.
b. Beberapa Faktor Penyebab Tidak Tercapainya Target
Banyak faktor bisa diangkat untuk menjelaskan tidak tercapainya
target tersebut. Tidak saja karena menyangkut lemahnya tugas dan fungsi
koordinasi dari Tim Wajar Dikdas yang telah dibentuk, atau karena
kurangnya sosialisasi serta kurang akuratnya sasaran yang menjadi target
22
kebijakan sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tetapi secara substantif,
program-program yang digulirkannya itu sendiri ternyata belum sepenuhnya
bisa menjawab dan memenuhi tuntutan dan kebutuhan riel yang dihadapi
anak dari keluarga miskin.
Dari upaya peningkatan daya tampung sekolah yang dilakukan
pemerintah ternyata sangat tidak sebanding dengan besarnya laju
pertambahan penduduk usia Wajar Dikdas 9 tahun (7-15 tahun) sebagai
akibat dari tinnginya laju pertumbuhan penduduk. Persisnya, seperti telah
diuraikan pada bab sebelumnya, rata-rata penambahan jumlah anak usia
wajar Dikdas 9 tahun, anak usia 7-15 tahun, setiap tahunnya bertambah
sebanyak 7.586 anak. Padalah pemerintah melalui penambahan ruang kelas
baru (RKB) dan unit sekolah baru (USB), rata-rata setiap tahunnya hanya
bisa menampung sebanyak 3.624 anak, atau hanya sekitar 47,7 persen dari
kebutuhan.
Fakta itu sekaligus juga menunjukan bahwa meskipun target
pencapaian Wajar Dikdas 9 Tahun sebagaimana yang telah ditetapkan dan
dibahas di atas tidakterlalu tinggi, bahkan masih berada di bawah rata-rata
pencapaian empat tahun sebelumnya, namun jika dibandingkan dengan
kemampuan pemerintah untuk melayaninya, sebut pula kemampuan
pemerintah untuk meningkatkan daya tampung sekolahnya, maka penentuan
target itu menjadi sangat tidak realistik. Dengan kata lain, ada inkonsistensi
antara kebijakan yang dibuat dengan implementasinya, antara rumusan
dengan implementasinya. Tegasnya, ada gap atau diskrepansi antara
pelayanan yang disediakan dengan tuntutan masyarakat.
23
Itulah faktor yang selama ini menjadi salah satu penyebab banyak
anak dari keluarga miskin yang tidak tertampung dalam jalur pendidikan
dasar formal. Itulah pula yang menjadi salah satu alasan mengapa jalur
pendidikan non formal dan jalur pendidikan formal non reguler menjadi
salah satu alternatif strategis, bahkan menjadi satu-satunya pilihan, dan
karenanya cenderung meningkat sebagaimana bisa dilihat dalam tabel di
atas. Itu pun, dalam realitasnya, tidak seluruh anak dari keluarga miskin,
karena berbagai alasannya, tetap masih tidak bisa mengaksesnya.
Di pihak lain, meskipun selama ini juga tidak sedikit upaya yang
telah dilakukan pemerintah dalam rangka meringankan beban anak dari
keluarga miskin melalui pemberian berbagai bantuan seperti BOS, Beasiswa
Miskin (BSM) dan sejenisnya, namun dari hasil penelitian terungkap bahwa
besarnya jumlah bantuan itu ternyata masih jauh dari kebutuhan dan
karenanya belum bisa menjawab sepenuhnya masalah yang dihadapi anak
dari keluarga miskin.
Masalah lainnya, meskipun ada pos atau bagian dari dana BOS yang
mestinya diberikan kepada anak dari keluarga miskin untuk membantu biaya
transportasi yang memang sangat membutuhkannya, misalnya, namun tidak
banyak sekolah yang bisa melakukannya karena sebagian besarnya habis
untuk mendanai operasional sekolah. Padahal dari hasil penelitian
terungkap, tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang terpaksa drop out
karena masalah besar atau mahalnya biaya transportasi ini.
Demikian halnya dengan sumber bantuan yang diberikan dalam
bentuk program yang disebut dengan ”Bantuan Siswa Miskin” atau BSM,
24
selain jumlah kuota yang diberikan oleh pemerintah jauh lebih sedikit
dibanding dengan jumlah anak miskin yang perlu mendapat bantuan – dan
karenanya ada gap. Sekedar gambaran, dari jumlah siswa miskin tingkat SD
yang diajukan untuk mendapatkan BSM pada tahun 2008 sebesar 15.725
anak, yang bisa dipenuhi tingkat provisnsi hanya sebanyak 7.832 anak, atau
sekitar 50 persen dari kebutuhan. Parahnya, karena keterbatasan yang
dimilikinya, kekurangan itu belum bisa dipenuhi oleh dukungan anggaran
yang khusus disediakan pemerintah daerah.
Masalah lainnya, dari hasil penelitian juga terungkap bahwa
pengelolaannya pun, sebagian besarnya, tidak langsung diberikan kepada
anak melainkan dilakukan oleh sekolah dengan alasan bahwa kalau
diberikan kepada anak, dikhawatirkan tidak digunakan untuk membiayai
kebutuhan pendidikannya. Yang memprihatinkan, dari hasil penelitian
terungkap bahwa ketika dana itu dikelola oleh pihak sekolah pun, sebutlah
dibelikan untuk pakaian seragam atau buku tulis, banyak murid dan orang
tua yang mengeluh kalau bentuk-bentuk bantuan yang diberikan sekolah itu
tidak selamanya sesuai dengan kebutuhan riel pendidikan yang dirasakan
anak dari keluarga miskin.
Terbatasnya dukungan anggaran yang diberikan pemerintah dalam
mendukung program akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun ini merupakan
persoalan tersendiri yang bisa diangkat untuk menjelaskan tidak tercapainya
target. Sebagaimana secara deskriptif telah disajikan dalam bab sebelumnya,
kendatipun besaran jumlah anggaran untuk mendukung program Wajar
Dikdas 9 tahun ini mengalami peningkatan dari Rp. 19,9 Milyar pada tahun
25
2004 menjadi 62,6 milyar pada tahun 2008, namun sebagian besarnya lebih
banyak digunakan untuk pembangunan fisik berupa rehabilitasi dan
pembangunan ruang kelas baru, termasuk pembangunan unit sekolah baru.
Itu pun sebagian besarnya merupakan bantuan anggaran yang bersumber
dari pemerintah pusat (DAK) dan sumber anggaran provinsi Jawa Barat
(Rolesharing).
Sebaliknya, dukungan anggaran untuk Wajar Dikdas 9 tahun yang
disediakan pemetrintah Kabupaten Cianjur justeru mengalami penurunan
dari Rp. 19,9 milyar pada tahun 2004 menjadi hanya Rp. 14,4 milyar pada
tahun 2008. Itupun penggunaan anggarannya bukan diperuntukan untuk
mendanai program-program yang secara langsung bisa membantu
pendidikan anak dari keluarga miskin karena seagian besarnya diperuntukan
untuk mendukung pelaksanaan Wajar Dikdas secara umum. Bahkan dari
hasil kajian terungkap, tidak ada dukungan anggaran yang disediakan itu
yang secara khusus dan langsung diperuntukan dalam rangka membantu
meringankan biaya pendidikan bagi anak dari keluarga miskin.
Dilihat dari aspek supply side-nya, singkatnya, walaupun selama ini
telah banyak program dilakukan pemerintah dalam rangka membantu
meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, namun
karena keterbatasan bantuan yang diberikannya, atau karena kekeliruan
dalam mengelolanya, semua program itu belum mampu menjawab persoalan
pendidikan yang dihadapi anak dari keluarga miskin. Dengan kata lain,
masih ada gap atau diskrepansi antara layanan yang diberikan pemerintah
dengan tuntutan riel anak dari keluarga miskin.
26
C. Kajian Terhadap Anak dari Keluarga Miskin yang Tidak Bisa
Mengakses Pendidikan Dasar
Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa membicarakan masalah
pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, apalagi menanganinya, bukanlah
merupakan persoalan sederhana, apalagi diangap gampang. Dari hasil penelitian
sebagaimana telah dideskripsikan dalam bab sebelumnya terungkap bahwa
begitu banyak faktor dominan saling terkait yang sekaligus menjadi alasan anak
dari keluarga miskin di Kabupaten Cianjur selama ini terpaksa meninggalkan
bangku sekolah, baik karena dropout di tengah jalan, maupun karena memang
tidak melanjutkan sekolah.
Beban berat ekonomi keluarga, jauhnya jarak dari tempat tinggal ke
sekolah, kurangnya kesadaran anak dan orang tua akan arti pentingnya
pendidikan, perasaan rendah diri atau minder dengan berbagai alasannya,
lingkungan sosial dan sekolah yang kurang mendukung, rendahnya pendidikan
orang tua, kurangnya dukungan masyarakat, termasuk lingkungan internal
sekolah yang kurang kondusif, adalah beberapa faktor penting yang dari hasil
penelitian terungkap sebagai penyebab anak dari keluarga miskin selama ini
tidak bisa mengakses pendidikan dasar 9 tahun.
Yang menarik, dari hasil kajian pula terungkap bahwa masing-masing
faktor tersebut tidak bisa diposisikan secara terpisah dari faktor yang lainnya,
melainkan melekat atau hadir tidak terpisahkan dari satu atau bahkan semua
faktor yang lainnya dalam sebuah dinamika sistem sebagaimana bisa ditelaah
dalam figur di bawah ini :
27
Dari diagram diatas, paling tidak ada beberapa hal penting yang bisa
diangkat dan dibahas. Pertama, bahwa membahas masalah
ketidakmampuan ekonomi anak dari keluarga miskin dalam mengakses
pendidikan dasar 9 tahun pada prinsipnya merupakan masalah yang
demikian kompleks karena melibatkan banyak masalah lain yang saling
yang saling terkait dan menentukan. Dan realitas kompleks itulah yang
belum banyak dipertimbangkan dalam mengimplementasikan Wajar Dikdas
9 Tahun selama ini.
Kedua, di balik faktor ”ketidakmampuan anak dari keluarga miskin” yang
selama ini sering dianggap sebagai penyebab utama sekaligus menjadi isu
sentral, sesungguhnya terdapat banyak faktor yang satu sama lain saling
ANAK DARI KELUARGA MISKIN TDK BISA MENGAKSES PENDIDIKAN DASAR
HIMPITAN EKONOMI KELUARGA
RENDAHNYA PENDIDIKAN ORANG TUA – LINGKUNGAN KELUARGA
SIKAP MINDER – RENDAH DIRI ANAK JAUHNYA JARAK
DARI TEMPAT TINGGAL KE SEKOLAH
BEBAN BERAT BIAYA
SEKOLAH
LINGKUNGAN SEKOLAH YANG TIDAK MENDUKUNG
RENDAHNYA KESADARAN ORANG TUA AKAN ARTI PENTINGNYA PENDIDIKAN
LINGKUNGAN SOSIAL DAN KULTUR YANG KURANG MENDUKUNG
RENDAHNYA MOTIVASI ANAK
GAMBAR 5.6 DIAGRAM CAUSAL LOOP : FAKTOR SALING TERKAIT PENYEBAB ANAK TIDAK BISA MENGAKSES PENDIDIKAN DASAR
28
berkaitan dalam sebuah dinamika sistem yang melibatkan banyak aktor dan
sektor.
Bahkan dari sudut pemikiran sistem sebagaimana tergambar dalam
diagram, maka faktor ketidakmampuan anak dari keluarga miskin yang selama
ini banyak diangkat kepermukaan, sesungguhnya hanya merupakan ”akibat
yang tidak diinginkan” (unintended effect) yang muncul karena banyak faktor
lain yang saling berkaitan itu. Itulah pula realitas kompleks yang selama ini
belum banyak diperhitungkan dan diintervensi dalam mengimplementasikan
kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga
miskin
Beberapa faktor ketidakberuntungan (disadvantages) berkait dengan
kondisi ekonomi yang serba tidak memadai, ketidakberuntungan karena
kelemahan fisik dan mental yang mereka miliki, ketidakberuntungan karena
kerentanannya (vulnerability), ketidakberuntungan karena ketidakberdayaannya
ketika harus berhadapan dengan kelompok masyarakat mampu (powerless)
sampai ketidakberuntungan karena keterasingan kehidupannya dari masyarakat
mampu, adalah beberapa saja yang mesti terakomodasi sekaligus terjawab
dengan kebijakan atau pelayanan program yang akan dirumuskan.
Di situlah pula relavansinya untuk mengintegrasikan atau mensinergikan
pelaksanaan kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun ini dengan
berbagai pendekatan dan program terkait – integrated program. Keniscayaan ini
ini juga relavan dengan pemikiran Chambers dengan konsepnya yang dikenal
dengan sebutan ”integrated poverty” yang intinya menegaskan bahwa
kemiskinan pada umumnya selalu melibatkan banyak faktor kemalangan atau
29
tidakberuntungan (disadvantages) yang satu sama lain saling terkait melingkari
kehidupan orang miskin.
Itu sebabnya, apa pun bentuk atau rumusan kebijakan yang akan
dijalankan mesti dijabarkan kedalam berbagai program yang mampu menjawab
dan memecahkan persoalan-persoalan kompleks yang sering dihadapi anak dari
keluarga miskin tersebut. Itulah pula yang menurut hasil penelitian dan kajian
belum banyak dilakukan dalam mengimplementasikan program Wajar Dikdas 9
taun selama ini.
Program peningkatan pendapatan ekonomi keluarga atau apa pun
namanya yang diharapkan bisa membantu memberdayakan sekaligus
meningkatkan ekonomi keluarga miskin, adalah merupakan salah satu program
yang mesti diangkat sebagai bagian integral dari dari upaya untuk mempercepat
penuntasan Wajar Dikdas bagi anak dari keluarga miskin. Fakta selama inin
menunjukan, tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang terpaksa ditarik orang
tuanya dari sekolah hanya karena anaknya harus membantu kerja orang tuanya.
Bukan hanya itu, program pengendalian laju pertumbuhan penduduk
melalui pelaksanaan program KB, misal lain, juga harus dijadikan salah satu
kebijakan yang keberhasilannya akan banyak berpengaruh dalam upaya untuk
mempercepat penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Paling tidak, melalui akselerasi
pengendalian angka kelahiran ini akan membantu meringankan beban
pemerintah karena laju pertumbuhan anak usia Wajar Dikdas bisa dikendalikan
sesuai dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan daya tampungnya.
Bahkan dari hasil penelitian terungkap bahwa tidak jarang anak meninggalkan
30
bangku sekolah hanya karena untuk membantu orang tua mengurus anggota
keluarga yang lainnya (mengasuh adik-adiknya yang memang banyak).
Singkatnya, karena kemiskinan mereka tidak bisa menikmati pendidikan
dengan alasan jauhnya jarak dari tempat tinggal ke sekolah. Karena kemiskinan,
mereka tidak bisa menikmati pendidikan dasar karena orang tuanya, atau bahkan
anaknya sendiri kurang memiliki kesadaran akan arti pentingnya pendidikan.
Karena kemiskinan, mereka tidak bersekolah karena merasa minder dengan
teman-teman sekolah yang lainnya. Karena kemiskinan, mereka hruas
meninggalkan bangku sekolah untuk membantu orang tuanya.
Karena kemiskinan, singkatnya, mereka tidak banyak memiliki peluang
untuk bisa mengakses haknya untuk memperoleh pendidikan dasar sebagaimana
dialami oleh teman-teman sebayanya dari keluarga mampu. Celakanya, kondisi
itu diperparah oleh lingkungan sosial dan internal sekolah yang belum kondusif
mendukung mereka bisa mengakses pendidikan dasarnya.
Karena begitu kompleks, luas dan beratnya masalah yang dihadapi anak
dari keluarga miskin, adalah tidak mungkin jika penanganannya pun hanya
mengandalkan intervensi berdasarkan kemampuan yang hanya dimiliki
pemerintah. Dan di situlah pula arti pentingnya pelibatan peran serta
masyarakat, tentu dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya dalam
implementasi kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun ini bagi
anak dari keluarga miskin.
Partsisipasi masyarakat di sini tidak selamanya harus dimaknai sebatas
pemberian bantuan materi semata. Termasuk dalam pengertian partisipasi di sini
adalah keterlibatan masyarakat dalam memberikan pengertian, mendorong
31
sekaligus menggerakan anak dari keluarga miskin untuk bisa menamatkan
pendidikan dasar 9 tahunnya. Itulah pula yang selama ini belum banyak
dilakukan. Padahal tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang tidak bisa
mengakses pendidikan selama ini, salah satunya, diakibatkan oleh karena
masyarakat, terutama tokoh masyarakat yang belum melakukan peran dan
fungsi penggerakan masyarakatnya.
Intinya, apa yang tidak bisa ditangani atau dilakukan pemerintah karena
keterbatasan yang dimilikinya, atau karena kekeliruan dalam memanej dan
melaksanakan program-program implementasinya, saatnya kini dan ke depan
bisa dibantu oleh masyarakat. Dan itulah pula yang saat ini belum banyak
dilakukan. Padahal seperti telah banyak diungkapkan oleh para pakar, tingginya
partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat dijadikan tolok ukur
keberhasilan kebijakan yang diambil pemerintah.
D. Beberapa Issu Strategis
Dari pembahasan terhadap temuan hasil penelitian tersebut, paling tidak
ada lima isu strategis yang bisa diangkat dari hasil penelitian ini, yaitu :
1. Memperkuat komitmen pemerintah daerah
Meskipun pemerintah Kabupaten Cianjur selama ini telah memiliki
arah kebijakan yang jelas berkait dengan upaya untuk mempercepat
penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, namun masih banyak hal yang harus
dibenahi dalam menjabarkan dan mengimplementasikannya. Hal itu terjadi
karena implementasi program akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun yang
digulirkan selama ini belum secara optimal memperoleh dukungan sumber
daya yang memadai, termasuk dukungan anggarannya. Bahkan sebagian
32
besar anggarannya masih banyak mengandalkan dukungan anggaran yang
bersumber dari pemerintah pusatdisamping dari pemerintah provinsi
2. Meningkatkan integrasi program Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari
keluarga miskin dengan program sektor tekait lainnya
Berbicara mengenai upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi
anak dari keluarga miskin adalah berbicara mengenai banyak sektor terkait
yang mesti terlibat dalam penanganannya. Itu sebabnya, upaya
penanganannya pun mesti dilakukan secara terpadu dan integral, tidak
parsial. Semakin terintegrasi dalam penanganannya, maka akan semakin
effektif hasil yang dicapainya.
3. Peningkatan mutu pendidikan, disamping peningkatan pemerataannya
Selama ini ada kecenderungan kalau pelaklsanaan program
akselerasi peningkatan Wajar Dikdas 9 tahun ini lebih banyak diarahkan
kepada aspek pencapaian kuantitatifnya yang ditandai dengan peningkatan
angka partisipasi sekolah, sementara pencapaian dari aspek mutunya
cenderung terabaikan. Tidak mengherankan jika masih ada pihak
masyarakat, khsusnya dari kalangan masyarakat tidak mampu alias miskin
yang kurang memiliki kesadaran akan arti pentingnya pendidikan.
4. Pelibatan partisipasi masyarakat dalam Akselerasi Wajar Dikdas 9
tahun
Karena keterbatasan yang dimilikinya, hampir bisa dipastikan bahwa
tidak mungkin seluruh beban dan tanggung jawab dalam rangka penuntasan
Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin ini hanya diserahkan
kepada kemampuan pemerintah atau negara. Itu sebabnya, kehadiran
33
partisipasi masyarakat, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai
kepada proses evaluasinya akan memiliki makna yang signifikan dalam
proses penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.
5. Pendekatan Sosi-kultural
Dari hasil penelitian terungkap bahwa dari sekian banyak faktor
yang selama ini bisa diangkat sebagai penyebab kurang efektifnya
pencapaian kinerja implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak
dari keluarga miskin ini, adalah karena program-program yang
dilaksanakannya belum sepenuhnya mempertimbangkan nilai-nilai sosial-
kultural anak dari keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu
kompleks. Itu pula sebabnya, semakin akomodatif dan adaptif pelaksanaan
program-program Wajar Dikdas itu dengan nilai sosial dan kultural
masyarakat miskin, maka akan semakin efektif hasil-hasil yang dicapainya.