Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
62
BAB V
HASIL PENELITIAN
Seperti halnya dengan manusia ataupun seluruh makhluk hidup lainnya,
bahwa sesungguhnya bumi dan seluruh isinya saling menyatu dan atau terikat satu
sama lain. Sehingga apabila terjadi ketidaksetaraan ataupun sesuatu yang
mengancam keberadaan isi bumi tersebut, maka seyogyanya juga diperjuangkan
atau dibela dengan tujuan dapat membantu menciptakan keadilan yang diharapkan.
Maka dari itu, bab ini akan memaparkan hasil dan pembahasan dari proses
aktivitas advokasi yang dilakukan oleh WWF sebagai salah satu organisasi
konservasi lingkungan technical support yang peduli dengan permasalahan
lingkungan ketika memperjuangkan dan menyuarakan kepedulian serta dukungan
masyarakat tentang kelestarian gajah Sumatera di Riau supaya lebih diperhatikan
dan dilindungi (konservasi) agar tidak punah.
5.1 Advokasi WWF dalam Konservasi Gajah Sumatera di Riau tahun 2012-
2015
WWF sebagai salah satu organisasi internasional terbesar di dunia dengan
tujuan untuk membantu melestarikan keanekaragaman hayati secara berkeadilan
demi keberlanjutan dan kesejahteraan manusia memiliki tanggungjawab yang
besar terhadap kepentingan bersama. Tanggungjawab tersebut menuntut WWF
untuk melakukan tindakan proaktif yang berpihak pada kelestarian alam
berkelanjutan, salah satu upaya yang dilakukan yaitu melalui advokasi untuk
membantu menangani isu gajah Sumatera di Riau. Hal ini menjadi sangat menarik
untuk dibahas dalam kajian ilmu hubungan internasional.
63
Sebab kasus dari semakin kritis dan terancamnya populasi gajah Sumatera
di Riau juga disebabkan dari banyak faktor, bukan hanya karena home range
gajah yang semakin terkotak-kotak menjadi beberapa pecahan kecil, namun juga
karena sebab lainnya, seperti akibat aktivitas kehutanan dan pertanian yang tidak
ramah lingkungan, konflik antara manusia dan gajah, perburuan liar gading gajah,
hingga pemanfaatan gajah untuk berbagai kepentingan (kebun binatang, tempat
hiburan atau pariwisata). Oleh sebab itulah, advokasi yang dilakukan WWF untuk
mencapai konservasi gajah Sumatera di Riau ini disesuaikan dengan data-data
penting yang dilihat dan mengacu dari sumber akar masalah yang
melatarbelakangi.
Mengacu pada konsep advokasi yang dipaparkan oleh Keck dan Sikkink,
maka WWF perlu merealisasikan beberapa hal yang berhubungan dengan upaya
advokasi tersebut. Khususnya dalam hal pencarian informasi dan proses
penyuarakan atau memperjuangkan isu gajah Sumatera di Riau tersebut dalam
jangka waktu tahun 2012-2015.
5.1.1 Information Politics
Dijelaskan pada bagian ini bahwa informasi memiliki peranan penting untuk
mengikat keanggotaan kelompok, menciptakan keefektifan kerja, dapat dijadikan
sebagai alat yang mampu mempengaruhi publik terhadap isu yang sedang
diperjuangkan, dan bahkan tidak melupakan dan melewatkan terhadap
pemanfaatan media-media yang ada. Oleh sebab itu, dalam hal ini penulis akan
melihat upaya dan proses yang dilakukan WWF ketika berusaha mencari,
mengumpulkan, mengelola dan mendistribusikan informasi yang kredibel dan
akurat terkait kondisi dan keadaan populasi gajah sumatera di Riau, sehingga
64
dapat digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi perhatian publik dan
membantu ketercapaian misi advokasi konservasi gajah Sumatera di Riau.
Umumnya, informasi yang dibutuhkan WWF untuk advokasi konservasi
gajah Sumatera di Riau ini dilihat dari dua aspek dan dua cara. Aspek pertama,
dilihat dari jumlah dan kondisi populasi gajah Sumatera di Riau dan kedua, dilihat
dari distribusi atau sebaran yang dibutuhkan bagi hidupan gajah Sumatera di Riau
(kelimpahan habitat). Oleh sebab itu, informasi-informasi terbaru tentang gajah
dan habitat merupakan informasi fundamental yang dibutuhkan oleh WWF
sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu advokasi untuk konservasi gajah
Sumatera di Riau.
Hasil pengamatan dan dari beberapa wawancara yang dilakukan penulis di
kantor WWF Program Sumatera Tengah pada bulan April 2017, menunjukkan
bahwa terdapat beberapa cara yang selama ini diterapkan oleh WWF ketika
mencari dan menggali informasi tentang gajah dan habitatnya, yaitu dengan
melakukan penelitian ilmiah secara langsung atau praktik penelitian dilapangan
(primer) ataupun berdasarkan analisa informasi yang tersaji diberbagai media
(sekunder), seperti jurnal, release, laporan, ataupun hasil dokumentasi yang
dilakukan oleh pemerintah atau LSM lainnya.
WWF juga membagi-bagi tugas menjadi beberapa tim inti yang disesuaikan
dengan fungsinya masing-masing pada saat melakukan penelitian primer
dilapangan. Pemetaan fungsi dan tugas ini menjadi modal dan landasan WWF
pada saat advokasi konservasi gajah Sumatera di Riau yang dimaksudkan agar
pihak atau aktor tujuan yang harus bertanggung jawab dan diadvokasi dapat tepat
65
sasaran, baik dalam bentuk usulan, dorongan, atau desakan yang dilakukan oleh
WWF sendiri.
Penelitian lapangan yang dilakukan WWF tersebut seperti, riset dan
investigasi. Memasuki tahun 2012-2013, WWF, Balai TNTN, para akademisi dan
lembaga penelitian (Eijkman institute) saling bekerjasama untuk misi penelitian
lapangan terkait analisa DNA (veacal DNA) kotoran gajah yang diambil dengan
metode Capture Mark Recapture (CMR), yang mana sampel kotoran tersebut
akan diteliti lebih lanjut di labolatorium Eijkman institute atas izin dari Kemenhut
dan BBKSDA (Simbolon, Sukmantoro, Widodo, & Firdaus, 2013, p. 2).
Gambar 6. Metode Capture Mark Recapture pada sampel kotoran gajah.
© WWF Sumatera Tengah/Suara Tesso Nilo
Penelitian melalui analisa Veacal DNA oleh WWF ini merupakan cara yang
diterapkan untuk mengetahui jumlah populasi gajah Sumatera di Riau yang masih
tersisa sekaligus untuk mengetahui luas dari daerah persebaran yang dibutuhkan
oleh gajah tersebut. Sehingga hasil penelitian ini dapat difungsikan sebagai alat
yang membantu dan menguatkan WWF pada saat berada dalam forum diskusi,
sosialisasi, kampanye ataupun forum perdebatan yang dilakukan oleh WWF pada
66
saat memberikan pengaruh, mendorong, ataupun menekan pihak-pihak tertentu
untuk mendukung konservasi gajah Sumatera di Riau. Hal demikian karena data
yang digunakan oleh WWF merupakan data valid hasil dari penelitian ilmiah yang
telah dilakukan.
Seperti diungkapkan oleh Febri Anggriawan Widodo sebagai Researh and
Monitoring Tiger and Elephant Module Leader WWF Central Sumatera (2017).
“Data-data ilmiah tentang jumlah populasi dan habitat gajah
itulah yang dapat menguatkan kita untuk bisa meyakinkan orang
lain saat berdiskusi atau berdebat”.
WWF juga menggali informasi dengan cara melakukan investigasi,
khususnya untuk mengetahui informasi yang berkaitan dengan kasus penyebab
kematian gajah, baik karena konflik gajah dengan manusia ataupun akibat
perburuan liar. Penggalian informasi tersebut lantas tidak serta merta dilakukan
oleh WWF sendiri, melainkan WWF dibantu dengan beberapa jaringan (networks)
yang telah dibentuk sebelumnya dan ditempatkan dibeberapa lokasi strategis dari
habitat dan gajah Sumatera di Riau. Koordinasi tim ini dilakukan dengan cara
informal (Telepon, pertemuan tidak disengaja) ataupun formal (Email). Sisi
menarik dari tim investigasi ini terletak pada proses yang dilakukan.
Koordinasi penting bagi tim ini sebelum diputuskan untuk mengambil suatu
tindakan. Tim investigasi WWF dimotori oleh The Threat Hunter (TTH), dan
tidak jarang tim ini melakukan tindakan undercover investigation yang tentunya
melibatkan pihak atau kelompok berwenang seperti GaKum (Penegak Hukum)
sebagai bagian dari Kementrian Lingkungan Hidup atau otoritas yang lebih
berkuasa (Erizal & Anam, 2017).
67
Sedangkan, untuk mengetahui keakuratan luas habitat hidupan gajah
Sumatera di Riau, WWF melakukan pemasangan GPS Collar pada leher gajah
betina dewasa (penanda klan) yang dapat dipantau melalui website dengan
pemberian laporan sebanyak 3-4 kali/hari, cara ini mampu memberikan informasi
yang akurat tentang pergerakan jelajah gajah yang akan berpengaruh pada
penentuan home range kawasan gajah Sumatera di Riau. Metode ini dianalisis
menggunakan perhitungan MCP (Minimum convex collar) dan dilakukan pertama
kali pada tahun 2007 dan selanjutnya dilakukan hingga tahun 2013 (Simbolon,
Sukmantoro, Widodo, & Firdaus, 2013, p. 5).
Manfaat dari metode ini adalah untuk mengetahui dan memetakan luas
jelajah yang dibutuhkan oleh gajah, sehingga dapat dijadikan preferensi bagi
WWF ketika mengusulkan perluasan kawasan ataupun mendorong pihak
berwenang dan kelompok kepentingan tertentu untuk berlaku kooperatif terhadap
gajah Sumatera di Riau. Seperti keberhasilan WWF (sebagai salah satu LSM)
yang mengusulkan perluasan TNTN pada tahun 2009 dengan luas menjadi 83.968
Ha yang mulanya hanya seluas 38.576 Ha ditahun 2004 (Syamsidar, 2008, p. 3;
Rahadian, 2008, p. 3).
Bersamaan dengan riset dan investigasi lapangan, ternyata informasi untuk
kepentingan data yang dibutuhkan juga didapatkan oleh WWF berdasarkan
beberapa laporan dari masyarakat dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam
(BBKSDA), namun biasanya pelaporan tersebut berhubungan dengan aktivitas
kedatangan gajah, konflik gajah dengan manusia ataupun informasi tentang
kematian gajah di dan atau area sekitar kawasan konservasi gajah Sumatera di
Riau (Susanto, 2017).
68
Informasi-informasi tersebut diatas, merupakan informasi primer yang dicari
WWF, dapat dilatarbelakangi karena telah adanya peristiwa penyempitan habitat
(home range) jelajah gajah, bahkan tidak jarang menjurus pada konflik antara
manusia dan gajah, ataupun identifikasi kasus kematian dan perburuan liar yang
dilakukan beberapa kelompok tertentu yang tidak bertanggungjawab dengan alam.
Maka dari itu, pemrosesan dan pengelolaan informasi itupun dilakukan dilingkup
internal terlebih dahulu sesuai dengan keadaan dan kapabilitas tim peneliti,
melalui kajian ilmiah, berdiskusi, menelaah, dan menyaring informasi untuk
mendapatkan kesamaan informasi sebelum akhirnya didistribusikan atau di
publish.
Setelah informasi primer dan sekunder yang berhasil diperoleh WWF
tersebut diolah, lalu tahap publikasi untuk pendistribusian informasi kepada
publik atau pihak yang dituju oleh WWF pun dilakukan dengan cara-cara yang
beragam. Jika sasarannya pemerintah, WWF sering mengirimkan laporan hasil
penelitian tersebut dalam bentuk brief atau fact sheet. Hal demikian berkenaan
untuk memudahkan pemerintah dalam menangkap informasi melalui 1-2 lembar
laporan singkat (namun padat) agar pemerintah segera mengambil tindakan tegas.
Seperti dikatakan Khairul Anam selaku Technical Support and Monitoring
Coordinator WWF Central Sumatera (2017).
“WWF selalu mengirimkan informasi kepada pemerintah. Informasi
itu dikemas dalam bentuk brief yang singkat namun jelas dan padat,
kenapa brief? Soalnya kalau banyak tulisan (laporan), malah tidak
dibaca. Meskipun sudah bentuk brief, kita juga masih terus
mendesak mereka dengan ditelepon atau kita datang ke kantor
mereka”.
Selain itu, WWF juga mendistribusikan informasi yang sudah diolah
tersebut dengan melakukan pertemuan dalam meja bersama, berdiskusi dan
69
berdialog dengan beberapa kelompok kepentingan (Pemerintah, penegak hukum,
perusahaan, dan masyarakat) yang dihadiri dari beberapa perwakilan dari
kelompok bersangkutan. Diawali dari pemaparan masalah dan cara
penanggulangan yang semestinya dilakukan. Seperti dilakukan pada, 27 Agustus
2015 saat sosialisasi “Pestarian dan penegakan hukum kejahatan perburuan-
perdagangan satwa liar” di Desa Segati, Riau.
Adapun mengirimkan hasil penelitian yang sudah dibentuk menjadi jurnal
ke sejumlah Universitas ataupun lembaga yang menerbitkan jurnal-jurnal
penelitian juga merupakan cara WWF untuk mendistribusikan dan publikasi data
kepada masyarakat luas, informasi juga disalurkan keberbagai lini masa (cetak
dan non cetak). WWF sendiri memiliki buletin Suara Tesso Nilo yang selalu terbit
3 bulan sekali. Tidak berhenti dipenerbitan saja, namun WWF Sumatera Tengah
juga mendistribusikannya ke beberapa stakeholders, universitas dan tentu saja
pemerintah.
Gambar 7. Sosialisasi WWF bekerjasama dengan Polda Pelalawan, Riau.
© WWF Sumatera Tengah
70
Gambar 8. Buletin WWF Suara Tesso Nilo tahun 2012.
©WWF Sumatera Tengah
Cara lainnya juga diterbitkan di dalam website ataupun semua media sosial
milik WWF sendiri dan juga portal media online lainnya, baik dalam bentuk
pemberitaan, release, ataupun catatan perjalanan jika memungkinkan, informasi
tersebut dapat diakses di facebook, instagram, LINE ataupun dilaman website
WWF http://www.wwf.or.id/, yang mana informasi tersebut memuat dua hal
pokok. Pertama, tentang kegiatan proyek WWF untuk memunculkan isu-isu yang
sedang terjadi agar segera mendapatkan perhatian masyarakat dan pemerintah atau
pemerintah segera menindaklanjuti kasus tersebut secara serius, dan yang kedua
berisikan informasi untuk mengenalkan atau memberitakan isu yang sedang
terjadi kepada publik (Anam, 2017).
71
Gambar berikut merupakan beberapa media penyebarluasan informasi
mengenai kondisi dan keadaan gajah Sumatera yang dapat diakses secara online.
Gambar 9. Salah satu media (portal online) yang menginformasikan
kondisi gajah Sumatera.
©DW/Yasmeen Qureshi (Koesoemawiria, 2012)
Mengutip dari yang dikatakan oleh Carlos Drews dalam Koesoemawiria
(2012), selaku Direktur WWF untuk Program Spesies Global yang
mengungkapkan bahwa:
“Kini gajah Sumatra masuk dalam kategori fauna Indonesia yang
secara kritis terancam punah, selain itu juga terdapat orang utan
Sumatra, badak Jawa dan Sumatra serta harimau Sumatra, dan bila
tidak ada upaya konservasi segera yang efektif, maka binatang-
binatang ini bisa punah dalam masa kehidupan kita.”
72
Adapun paparkan Anwar Purwoto dari WWF Indonesia tentang kondisi
serta pihak yang seharusnya bertanggungjawab atas kondisi yang menimpa gajah
Sumatera di Riau, bahwa :
“Di Riau sudah 6 dari 9 kawanan gajah yang punah akibat
pembalakan hutan. Para pemilik konsesi hutan, seperti perusahaan-
perusahaan pulp atau kertas, dan industri kelapa sawit memililki
tanggung jawab hukum dan etis untuk melindungi fauna terlindung
yang hidup di lahan konsesinya.”
Gambar 10. Informasi melalui LINE
©Dina Kurniawati
Berhubungan dengan informasi terbaru terkait dengan penangkapan dan
translokasi gajah yang telah disepakati oleh KSDAE – KLHK (Direktorat
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem – Kementrian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan), disampaikan oleh Wishnu Sukmantoro yang saat ini berada di
Forum Konservasi Gajah Nasional, yaitu sebelum dilakukan penangkapan ataupun
translokasi gajah ke lokasi yang baru, maka dibutuhkan kematangan skenario, hal
itu berkenaan dengan upaya antisipasi gajah yang akan kembali ke lokasi asal,
73
juga antisipasi konflik gajah - manusia di lokasi yang baru ataupun hal lain yang
lebih seru dibandingkan dari lokasi asal (Sukmantoro, 2017).
Pada gambar infografik dibawah ini dapat diketahui bahwa dalam rentang
tahun 2012 hingga 2016, terdata mayoritas kasus kematian gajah Sumatera terjadi
di Riau. Selain itu, juga terlihat dalam gambar tersebut, bahwa sejak tahun 2012
hingga 2014, kematian gajah di Sumatera terus mengalami peningkatan dan tetapi
ketika memasuki tahun 2015, kasus kematian gajah berhasil ditekan dan
menunjukkan adanya penurunan.
Gambar 11. Infografik lokasi dan jumlah kematian gajah di Sumatera.
Selain itu, secara khusus WWF juga berkoalisi dengan LSM lingkungan
lainnya (Jikalahari dan Walhi – yang dinamai Eyes on the Forest) dalam
menginformasikan isu atau pemberitaaan yang berhubungan dengan lingkungan,
terutama hutan ataupun habitat gajah Sumatera di Riau, informasi tersebut dapat
diakses dilaman EoF (Eyes on the Forets) http://eyesontheforest.or.id/, website
tersebut memuat informasi update dalam bentuk jurnal, release, berita, laporan
74
investigasi. Adapun website EoF ini ditargetkan untuk menjangkau sasaran yang
lebih luas karena juga memuat laporan berbahasa inggris. Selain itu, informasi-
informasi tersebut juga disebarkan melalui twitter WWF di @WWF_ID dan juga
channel youtube WWF-Indonesia.
Sedangkan dipaparkan oleh Afdhal Mahyudhin selaku EoF Sumatra
Coordinator mengenai alasan WWF untuk berkoalisi dengan NGOs lokal
(Jikalahari) dan NGOs domestik (Walhi) yaitu supaya tidak menimbulkan
kesalahpahaman sosial atas adanya campur tangan dari institusi internasional yang
membela suatu isu untuk diperjuangkan, misalnya isu tentang kelestarian harimau
ataupun gajah (Mahyudhin, 2015).
Gambar 12. Media elektronik channel youtube WWF-Indonesia
©WWF Indonesia
Selain harus mengakses dari media website yang sudah ada, WWF juga
mendistribusikan informasi kepada para supporter WWF (WWF Warrior –
disebut dengan sahabat gajah) dalam bentuk newsletter ataupun Living Planet
75
Magazine WWF-Indonesia yang diberikan satu kali dalam empat bulan selama
masih tergabung dalam program sahabat gajah atau donatur.
Gambar 13. Distribusi informasi bagi sahabat gajah - WWF Indonesia
©WWF Indonesia
Selain kepada para donator yang terlibat dalam program sahabat gajah,
WWF juga mendistribusikan informasi kepada para supporter non donator dalam
bentuk newsletter yang dikirimkan melalui email pada pelanggan WWF, dengan
syarat telah mendaftar berlangganan (subscribe) melalui sign up alamat email
kepada WWF Indonesia. Seperti dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 14. Distribusi informasi bagi subscriber - WWF Indonesia.
©WWF Indonesia
76
Itulah beberapa upaya yang dilakukan WWF dalam mencari,
mengumpulkan, mengelola dan mendistribusikan informasi terkait gajah Sumatera
di Riau sehingga dapat dijadikan sebagai bahan rujukan terhadap advokasi
konservasi gajah Sumatera di Riau untuk mempengaruhi, membujuk, menekan
ataupun mendorong pihak-pihak tertentu, pemerintah dan pelaku usaha khususnya
dan masyarakat pada umumnya agar terus peduli dan mendukung konservasi
gajah Sumatera di Riau agar tidak semakin terancam apalagi punah di alam.
Melihat dari apa yang telah dilakukan oleh WWF, bahwa informasi
mengenai kasus gajah dan faktor-faktor yang menyebabkan kematiannya dicari
dengan melakukan penelitian primer, sekunder, ataupun berdasarakan dari hasil
laporan pemerintah dan masyarakat, hingga kemudian diproses melalui
mekanisme diskusi internal sampai kemudian disampaikan kepada masyarakat
dalam forum dan sosialisasi melalui berbagai media dan cara, itulah kemudian
membuktikan bahwa WWF telah bergerak untuk melakukan upaya-upaya politis
agar dapat mempengaruhi pihak berwenang dan kelompok kepentingan lain untuk
advokasi konservasi gajah Sumatera di Riau.
5.1.2 Symbolic Politics
Selain dari ketersediaan data ilmiah yang telah diperoleh dan didistribusikan,
WWF juga membutuhkan ketersediaan dukungan kelompok lain yang juga
mendukung kelestarian lingkungan, khususnya gajah Sumatera di Riau. Untuk
mencapai dukungan tersebut, WWF membutuhkan strategi-strategi yang dapat
meyakinkan masyarakat atau publik melalui adanya keseimbangan ataupun
konsistensi informasi yang diangkat.
77
Oleh sebab itu, dalam hal ini penulis akan melihat upaya dan proses yang
dilakukan WWF ketika berusaha mengenalkan atau mengangkat isu gajah
Sumatera di Riau melalui beragam kegiatannya. Adapun terdapat tiga cara
ataupun strategi yang selalu melekat pada WWF untuk mengenalkan atau
mengangkat isu yang sedang diperjuangkan kepada publik, yaitu kampanye,
pendidikan lingkungan dan awareness raising.
Pertama, kampanye merupakan salah satu strategi yang selalu dilakukan
WWF untuk mengenalkan ataupun mencari dukungan dari masyarakat terhadap
berbagai isu yang sedang diperjuangkan. Ditambah lagi, secara internasional pada
tiap tanggal 12 Agustus telah diakui untuk dijadikan sebagai hari gajah
internasional atau biasa dikenal dengan Global Elephants Day (GED). Umumnya,
seluruh organisasi konservasi alam memperingati perayaan GED dengan berbagai
caranya masing-masing. Tidak ketinggalan bagi WWF untuk turut berpartisipasi
dalam kegiatan tersebut, mengingat salah satu program yang dilakukan WWF
adalah untuk misi penyelamatan gajah Sumatera.
Sebagai contoh pada tahun 2015, WWF bersama dengan Forum Masyarakat
Peduli Gajah Riau (FMPG) yang dibantu dengan Komunitas Earth Hour
memperingati Global Elephant Day 2015 dengan melakukan kampanye dan
sosialisasi kepada masyarakat. Tujuan utama peringatan itu adalah agar dapat
mensosialisasikan dan mengampanyekan isu gajah Sumatera di Riau yang
semakin terancam punah agar lebih diperhatian publik dan juga agar publik dapat
lebih menjaga dan melestarikan ekosistem alam. Selain itu, WWF, Forum
Masyarakat Peduli Gajah Riau (FMPG) dan Komunitas Earth Hour juga
merusaha pengumpulan petisi dari masyarakat yang digalakkan di beberapa
78
fasilitas publik, dilakukan dengan cara face to face dan dengan memanfaatkan
media elektronik yang dilakukan di change.org.
Gambar 15. Petisi dukung konservasi gajah Sumatera di Riau tahun 2015
©WWF Sumatera Tengah/Heri Tarmizi
Kedua, bentuk pendidikan lingkungan yang dilakukan WWF tersebut dibagi
atas dua sesi, yaitu indoor dan outdoor yang mencakup pada tiga aspek dengan
sifatnya yang multidisipliner, yaitu education about environment, education in
environment, dan education for environment.
Dikatakan Khairul Anam selaku Technical Support and Monitoring
Coordinator WWF Central Sumatera (2017), sebagai berikut.
“Apa kerja WWF kalo bukan untuk mendorong, mendukung dan
mendesak pemerintah juga stakeholders? Maka dari itu, bentuk
pendidikan lingkungan yang dijalankan WWF itu pakai cara-cara
yang kreatif. Bisa indoor juga outdoor, supaya menarik minat, kita
bawa juga mereka buat belajar langsung di kawasan yang dijadikan
daerah percontohan konservasi”
Education about environment merupakan bentuk pendidikan yang dilakukan
WWF kepada publik (siswa, masyarakat, pemangku kepentingan) dengan
mengangkat isu-isu tentang lingkungan. Bentuk pendidikan ini selalu diselipkan
WWF dalam berbagai kegiatan yang dilakukan, seperti jambore, kampanye
ataupun kegiatan lainnya.
79
Education in environment, merupakan cara WWF dalam menindaklanjuti
model education about environment, model pendidikan lingkungan ini dilakukan
WWF dengan melibatkan masyarakat agar turun langsung kelapangan atau suatu
tempat yang dijadikan sebagai daerah percontohan konservasi (misal: Area
konservasi gajah di Taman Nasional Tesso Nilo dan Suaka Margasatwa Rimbang
Baling sebagai area konservasi Harimau Sumatera di Riau – termasuk daerah
dibawah pengawasan WWF).
Education for environment, merupakan aspek terakhir dari proses
pendidikan lingkungan, hal demikian berkenaan dengan adanya suatu tindakan
nyata yang diharapkan dapat terpatri dalam diri masing-masing individu agar
dapat lebih mempedulikan keadaan dan menjaga lingkungan dari segala aktivitas
yang mengganggu atau merusak. Selain itu, dalam mengenalkan kepada
masyarakat lain yang lebih luas, WWF juga mengadakan event perlombaan
ditingkat nasional yang dapat diikuti oleh seluruh kalangan masyarakat Indonesia
dari berbagai kalangan usia. Perlombaan yang pernah dilakukan WWF tersebut
seperti lomba membuat poster yang secara umum bertemakan lingkungan hidup.
Gambar 16. Beberapa poster yang dapat mempropaganda publik tentang isu.
©WWF Sumatera Tengah/Dina Kurniawati
80
Beberapa cara tersebut merupakan upaya yang dilakukan WWF untuk
mengenalkan isu dan mendapatkan perhatian dari publik dengan harapan
masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dan berkontribusi untuk melakukan
penyelamatan lingkungan, melindungi kelestarian gajah suamtera di Riau, dan
terutama mendukung ketercapaian advokasi yang dijalankan WWF.
Oleh sebab itu, berdasarkan tindakan-tindakan yang telah dilakukan WWF
tersebut, baik dalam bentuk kampanye face to face dibeberapa fasilitas publik,
mengadakan event perlombaan ataupun pengangkatan isu yang dilakukan dengan
berbagai cara hingga isu tersebut diketahui dan dikenali publik, itulah kemudian
yang membuktikan bahwa WWF telah bergerak untuk melakukan upaya-upaya
penyimbolan politis agar isu tersebut dapat mempengaruhi pihak berwenang dan
kelompok kepentingan lain untuk advokasi konservasi gajah Sumatera di Riau.
5.1.3 Leverage Politics
Selain dukungan dari kalangan domestik (Indonesia) ataupun masyarakat
biasa, tentu WWF juga membutuhkan dukungan dari baragam aktor lainnya yang
memiliki kekuatan besar (powerful) sehingga dapat memudahkan WWF untuk
mencapai misi konservasi gajah Sumatera di Riau, karena dukungan dari powerful
aktor membantu memberikan nilai dan pengaruh kepada aktor-aktor lainnya
supaya turut serta bergabung mendukung konservasi gajah Sumatera di Riau.
Dalam hal ini, leverage politics dijelaskan dalam dua macam bentuk,
pertama yaitu berbentuk material leverage seperti bantuan keuangan atau
berwujud barang penunjang lainnya. Mengingat WWF hanya sebagai jaringan
organisasi independent yang tidak terikat dengan struktur kepemerintahan, maka
WWF membutuhkan keterampilan untuk mencapai dukungan material tersebut.
81
Adapun berkaitan dengan pendanaan, tentu WWF membutuhkan dana yang
tidak sedikit untuk mencapai advokasi konservasi gajah Sumatera di Riau.
Beruntungnya dibanyak kesempatan proyek yang dilakukan WWF, tidak
terkecuali proyek konservasi gajah Sumatera di Riau, mayoritas dana penunjang
tersebut di dapat dari jaringan WWF sendiri (WWF Network/WWF Family).
Namun selain dari jaringan WWF sendiri, ternyata WWF juga mendapat
dukungan dari pihak-pihak lain, baik berbentuk dana ataupun pemberian fasilitas
(komoditi) penunjang pelaksanaan program yang dipilih secara selektif oleh
WWF.
Berikut pernyataan Khairul Anam selaku Technical Support and Monitoring
Coordinator WWF Central Sumatera (2017).
WWF kan punya jaringan (WWF Network) yang tersebar dibanyak
tempat dan negara. Sumber dana utama kita, berasal dari WWF
pusat (kita ajukan melalui proposal program yang kita kirim), tapi
WWF tetap selektif, karena untuk menghindari money laundrying” .
Sedangkan selain dari WWF Network sendiri, sumber dana yang digunakan
WWF juga berasal dari sumber lainnya, seperti dari hasil kegiatan WWF yang
mengadakan fund raising, berasal dari kelompok-kelompok bisnis, CSR
perusahaan, charity, dari lembaga atau bahkan dari individu-individu, misalnya
seperti Leonardo DiCaprio dan Horrison Ford yang memberikan dananya kepada
WWF (Anam, 2017).
Sebagai contoh, perusahaan Michelin yang merupakan salah satu
perusahaan ban asal prancis dan telah menerapkan ecosystem friendly ribon
menyalurkan dana kepada WWF Prancis, sedangkan program yang dilakukan di
Indonesia (Riau) juga merupakan salah satu yang di-support dana dari Michelin
tersebut.
82
Berikut merupakan cara WWF mencari dukungan materil yang ditujukan
secara umum. Sebagaimana hasil fund raising tersebut akan dialokasikan untuk
memenuhi kebutuhan konservasi gajah Sumatera. Fund raising WWF terbagi
menjadi dua, pertama, dilakukan secara face to face (biasanya di fasilitas publik –
toko buku atau pusat perbelanjaan), dan kedua, secara online (via website) seperti
ilustrasi berikut.
Gambar 17. Cara WWF melakukan fund raising online (website).
©WWF Indonesia/Capture (Dina Kurniawati)
Adapun dana hasil perolehan kegiatan fund raising tersebut, oleh WWF
dipromosikan untuk memenuhi kebutuhan para rangers atau mahout yang
melaksanakan tugas untuk konservasi gajah Sumatera. Oleh sebab itu, segala
sumbangsih dan bantuan yang diperoleh akan disalurkan untuk beberapa
keperluan. Pada gambar berikut dapat diketahui dirincikan alokasi dari
masyarakat yang dapat membantu WWF dalam menggaet dukungan fund raising.
83
Gambar 18. Pembagian saluran kebutuhan hasil donasi.
©WWF Indonesia/Capture (Dina Kurniawati)
WWF juga didukung oleh Bank BNI melalui kerjasama penerbitan kartu
Co-branding BNI dan WWF (BNI Affinity Card) yang telah berakhir pada
Februari 2015. Sebagaimana setiap transaksi yang dilakukan oleh nasabah melalui
kartu kredir BNI-WWF, akan berkontribusi langsung pada pelestarian lingkungan
dan sebanyak 0,3% dari nilai transaksi akan didonasikan untuk memenuhi
berbagai keperluan program WWF Indonesia (BNI, 2015).
Gambar 19. Affinity Card atas kolaborasi WWF dan Bank BNI
©Bank BNI
84
WWF juga mendapat dukungan material dari Bank Internasional yang
berasal dari Inggris, yaitu HSBC. Dana yang diberikan oleh HSBC secara
keseluruhan difungsikan untuk membantu pendanaan dari seluruh program
konservasi yang dijalankan oleh WWF-Indonesia (Agnika, 2015, p. 31).
Selain berbentuk bantuan dana (keuangan), WWF juga mendapat bantuan
dalam bentuk lainnya, yang mana bantuan tersebut berguna sebagai alat
penunjang yang dapat membantu konservasi gajah Sumatera di Riau. Gambar
berikut merupakan beberapa bentuk bantuan yang diterima oleh WWF Sumatera
Tengah yang berbentuk bantuan operasional dari lembaga atau individu.
Gambar 20. Bantuan operasional WWF Sumatera Tengah untuk program gajah
dari lembaga (Ecological Club tahun 2003).
©WWF Sumatera Tengah/Dina Kurniawati
85
Gambar 21. Bantuan operasional WWF Sumatera Tengah untuk program gajah
dari perorangan/individu (Tahun 2003).
©WWF Sumatera Tengah/Dina Kurniawati
Meskipun demikian, berdasarkan dialog dan wawancara yang telah
dilakukan oleh penulis kepada beberapa staff WWF (WWF di Jakarta dan
Sumatera Tengah), penulis tidak menjumpai adanya pernyataan secara mendetail
berkenaan dengan rincian biaya dan sumber dana yang digunakan untuk
melakukan konservasi gajah Sumatera tersebut. Melainkan lebih kepada
penegasan bahwa WWF senantiasa melakukan kegiatan fund raising kepada
masyarakat agar bersedia menjadi agen konservasi, seperti #SahabatGajah dan
juga sumber dana yang diperoleh dari WWF Family.
86
Gambar 22. Screen Capture penggalangan fund raising #SahabatGajah
©Dina Kurniawati
Selain itu untuk mengembangkan sinergi positif secara menyeluruh yang
dapat membantu memekarkan isu-isu yang sedang diperkuangkan oleh WWF ini,
maka WWF melakukan usaha-usaha seperti kunjungan kebeberapa redaksi media
(lini masa), diantaranya seperti MRA Printed Media, The Jakarta Post, Globe
Media Group, Media Indonesia, Metro TV, Green Radio, KBR68H, ANTARA,
MNC Media Group, dan Femina Group (Kurniawan, 2011, p. 27).
Dukungan dari beberapa perusahaan dan individu untuk menerapkan praktik
patroli hutan ataupun flying squad merupakan salah satu bentuk dukungan lain
yang dapat dikatakan sudah mendukung program WWF untuk konservasi gajah
Sumatera di Riau. Hal itu tercermin dari ketersediaan upaya mitigasi konflik dari
beberapa perusahaan atau lembaga untuk mengadopsi praktik EFS dilokasi tempat
usaha lembaga tersebut, seperti EFS yang diterapkan di desa Gondai (Yayasan
87
Tesso Nilo), EFS Asian Agri (perkebunan kelapa sawit), dan EFS RAPP (konsesi
HTI Akasia) (Sukmantoro, Syamsuardi, & Samsuardi, 2009, p. 2).
Adapun usaha WWF dalam mengkampanyekan dan mencari dukungan
publik terhadap isu-isu yang sedang diperjuangkan ternyata mampu meraih
dukungan publik, secara global sendiri WWF telah didukung oleh lebih dari 5 juta
suporter. Sedangkan untuk di Indonesia sendiri sejak tahun 2006 hingga 2013,
kurang lebih telah ada sekitar 64 ribu suporter yang mendukung program WWF,
data tersebut masih diluar dari data masyarakat yang menjadi fund raising (WWF-
Indonesia, 2013).
Selain itu, isu perlindungan atau konservasi gajah secara keseluruhan
(global), ternyata juga telah mendapat dukungan penuh dari pemerintah Amerika
Serikat pada saat dipimpin oleh Barack Obama dengan dikeluarkanya President
Obama’s National Strategy for Combating Wildlife Trafficking sejak tahun 2014.
Hal tersebut merupakan bagian dari upaya Amerika Serikat untuk menghentikan
aktiviitas illegal trade of wildlife products. Obama’s National Strategy to Combat
Wildlife Trafficking ini merupakan suatu kebijakan yang muncul akibat adanya
tekanan ataupun informasi yang diberikan oleh U.S Wildlife Trafficking Alliance
antara beberapa major companies, foundations, and non-profit organizations yang
bekerjasama dengan pemerintah Amerika Serikat untuk memperjuangkan
pengurangan permintaan akan illegal elephant ivory, rhino horn and other wildlife
products (Kershaw, 2015).
Keterlibatan beberapa public figure untuk mendukung program konservasi
yang dilakukan WWF merupakan nilai tersendiri bagi WWF, sebab mayoritas
para public figure tersebut datang kepada WWF dengan sukarela berniat
88
membantu mengkampanyekan program konservasi yang diperjuangkan WWF.
Para public figure tersebut diantaranya seperti Davina Veronica Hariadi, Ario
Bayu, Nugi, Marchel dan Mischa Chandrawinata dan masih banyak lagi.
Beruntung bagi Nadya Hutagalung karena ditetapkan sebagai ambassador atau
WWF Warrior untuk spesies gajah Sumatera (WWF-Indonesia, 2013; WWF-
Indonesia, 2012).
Seperti diungkapkan oleh Margaret Meutia selaku footprint coordinator
WWF-Indonesia (2017) pada saat penulis melakukan wawancara di kantor WWF
Jakarta tanggal 25 April 2017.
“Malah artis-artis itu pada dateng ke kantor WWF, mereka bilang
ke kita kalo mau bantu mengkampenyekan program-programnya
WWF. Tapi dari situ kita jadi ngerti, ada yang niatnya tulus sama
yang pencitraan doang”.
Gambar 23. Beberapa public figure yang dinobatkan sebagai WWF Warrior
©WWF-Indonesia
Melihat dari apa yang telah dilakukan oleh WWF, bahwa telah ada beberapa
upaya untuk mencari dukungan-dukungan publik hingga pada suatu kesempatan
telah ada beberapa lembaga atau instansi dan public figure yang membantu WWF
dalam mendukung dan mengkampanyekan program konservasi gajah Sumatera.
Hal itulah yang kemudian menunjukkan kinerja WWF telah bergerak untuk
melakukan upaya-upaya leverage politis agar dapat mempengaruhi pihak
89
berwenang dan kelompok kepentingan lain untuk advokasi konservasi gajah
Sumatera di Riau.
5.1.4 Accountability Politics
Menindaklanjuti dari berbagai peranan dan upaya yang telah dilakukan oleh
para pembela dan pecinta lingkungan, terutama bagi kelestarian spesies dan satwa
langka yang telah dilindungi tersebut, kini telah membuahkan dan menghasilkan
beberapa respon ataupun tanggapan positif yang setidaknya dapat meresolusikan
permasalahan yang telah terjadi.
Adapun Pemerintah Indonesia melalui kementerian kehutanan yang
bekerjasama dengan beberapa organisasi ataupun LSM lingkungan telah
menunjukkan tanggapannya melalui keterbentukan Strategi dan Rencana Aksi
Nasional Konservasi Gajah Sumatera sebagai komitmennya untuk melindungi dan
melestrikan populasi gajah di Indonesia. perancangan strategi tersebut diterbitkan
pada tahun 2007 untuk digunakan hingga tahun 2017.
Dilain sisi, kapolda Riau dalam statemennya menunjukkan adanya
ketegasan untuk senantiasa menegakkan hukum perlindungan hutan kawasan dari
para pelaku perambahan hutan yang secara langsung berkontribusi terhadap
kerusakan ekosistem alam dan habitat gajah Sumatera di Taman Nasional Tesso
Nilo. Statemen tersebut disampaikan oleh kapolda Riau Irjen Pol Zulkarnain
Adinegara sebagaimana berikut sesuai dengan pemberitaan di Tribun Pekanbaru
(Yafiz, 2017).
90
“Saya sikat betul, kalau bisa saya tangkap sendiri, artinya saya kesal
betul”.
Ditambah lagi, ternyata sejak tahun 2006, Riau telah ditetapkan oleh
kementrian kehutanan untuk menjadi suatu kawasan pusat konservasi gajah
sebagaimana tercantum dalam peraturan menteri kehutanan No. 73/Menhut-
II/2006. Adapun di skala internasional, accountability politics dari beberapa
kelompok yang telah bersepakat untuk mendukung konservasi spesies, terutama
gajah, ditunjukkan dengan dibuat atau dibentuk perjanjian kemitraan melalui
penandatanganan MoU, baik antara agensi pemerintah, organisasi antar
pemerintah (CITES), World Customs Organization and businesses, WWF, IUCN
dan NGO lainnya (TRAFFIC-International, 2008). Selain itu, dukungan untuk
melindungi kelestarian gajah juga ditunjukkan melalui komitmen bersama yang
disebut dengan Clinton Global Initiative commitment to save elephants yang
dibentuk pada Juli tahun 2013 atas kerjasama dengan WCS (Wildlife
Conservation Society) (Calvelli, 2016).
Gambar 24. Penandatangan MoU dengan kelompok Bisnis (Alibaba)
© (TRAFFIC-International, 2008)
91
Gambar 25. Hillary dan Chelsea Clinton pada saat peluncuran the Elephant
Action Network tahun 2013 dalam pertemuan Clinton Global Initiative.
©Julie Larsen Maher/WCS
Dilain sisi, pada Februari tahun 2014, pemerintah Amerika Serikat ketika
masih dipimpin oleh Presiden Barack Obama mengeluarkan the Obama
Administration's National Strategy for Combating Wildlife Trafficking sebagai
komitmen Amerika untuk mendukung pelarangan perdagangan gading gajah
secara komersial (OFFICE-OF-THE-SECRETARY, 2014).
Sedangkan secara domestik di Indonesia, bertepatan pada 26 April 2004
pemerintah Indonesia mewujudkan gagasan WWF dan BBKSDA Riau untuk
mengembangkan teknik mitigasi konflik antara gajah dan manusia dengan
menjadikan Riau sebagai pilot project konservasi gajah Sumatera di Riau melalui
penetapan Elephant Flying Squad (EFS) atau Pasukan Gajah Reaksi Cepat
(PSRC) yang ditujukan agar dapat meminimalisir konflik manusia dan gajah
ataupun sebagai early warning system. Lokasi penempatan pilot project tersebut
berada di desa Lubuk Kembang Bunga, Kabupaten Pelalawan, Riau. Adapun
92
teknik Elephant Flying Squad ini sebelumnya juga diterapkan di India
(Syamsuardi, et al., 2010, p. 8).
Berdirinya Elephant Flying Squad di desa Lubuk Kembang Bunga (LBK)
pada tahun 2004 di Riau ini menjadi cikal bakal aktivitas sekaligus komitmen
WWF yang terkonsentrasi pada konservasi gajah Sumatera di Riau. Adapun
metode mitigasi yang diterapkan tersebut terbagi atas dua cara, yaitu mitigasi
konflik secara statis dan dinamis. Mitigasi konflik statis tersebut seperti
pembuatan parit untuk mencegah gajah memasuki area perkebunan masyarakat
dan juga melalui pemasangan pagar listrik bertegangan rendah agar dapat
menimbulkan efek kejutan bagi gajah-gajah liar yang berusaha mengganggu
penduduk dengan memasuki kawasan serta berpotensi merugikan ataupun
merusak perkebunan masyarakat (Sukmantoro, Syamsuardi, & Samsuardi, 2009,
p. 8).
Gambar 26. Upaya mitigasi konflik statis
(1) Mitigasi konflik melalui parit
©WWF Indonesia
93
(2) Mitigasi konflik melalui pagar listrik
©WWF Indonesia
Sedangkan mitigasi konflik melalui patroli flying squad ini termasuk dalam
kategori mitigasi konflik secara dinamis, sebagaimana flying squad merupakan
tim patroli yang dilakukan dengan menggunakan gajah-gajah yang sudah jinak
dari PLG serta beberapa gajah yang sudah terlatih dan dilengkapi dengan mahout
(pawang gajah) – dapat juga dengan tim tanpa gajah (tim ranger motor). Tim
tersebut berperan untuk melakukan patroli hutan secara rutin (2 kali dalam 1
minggu) serta mengusir gajah-gajah liar yang berusaha mengganggu atau
memasuki lahan perkebunan masyarakat agar kembali ke dalam hutan, metode
pengusiran gajah-gajah liar ini biasanya dilakukan dengan menggunakan meriam
karbit ataupun cara lain yang menimbulkan efek suara untuk menakuti gajah
(Sukmantoro, Syamsuardi, & Samsuardi, 2009, p. 8).
94
Gambar 27. Pengusiran gajah liar oleh tim patroli Elephant Flying Squad
©Nazaruddin (2015)
Upaya WWF untuk advokasi kepada pemerintah Indonesia juga berhasil
mendapatkan respon positif dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) bertepatan pada
tahun 2014. Pada tahun tersebut, MUI turut mengeluarkan kebijakan yang
dinamai dengan “Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 04 tahun 2014 tentang
Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem” (MUI, 2014).
Sedangkan berkenaan dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 pasal 40
ayat 2 tentang ketentuan pidana yang dimaksud “hukuman pidana paling lama”,
WWF dan beberapa LSM lainnya melakukan advokasi agar pemerintah merevisi
Undang-Undang tersebut dengan menghilangkan kata-kata “paling lama”, karena
hingga sejauh ini hukuman yang diberikan penegak hukum terhadap para pelaku
kejahatan satwa liar masih dinilai terlalu ringan bahkan hanya mencapai 2 bulan
saja. Namun hingga saat ini, usulan WWF dan LSM lain itu masih dalam proses
yang dirundingkan oleh pihak pemerintah, sedangkan trend hukuman bagi pelaku
mengalami peningkatan positif (hukuman yang telah bertambah) (Syamsidar;
Fadhli, 2017)
95
Adapun sebagai bentuk tindak lanjut atas fatwa yang telah ditetapkan MUI
tersebut, MUI bersama dengan WWF saling bekerjasama untuk mengadakan dan
membentuk Forum Komunikasi Da’i Konservasi yang diadakan di Stasiun
Lapangan WWF yang berlokasi di Subayang, Riau. Selain sebagai implementasi
Fatwa MUI No. 4 tahun 2014, forum ini juga ditujukan untuk memberikan wadah
kepada para Da’i supaya dapat saling mempererat komunikasi antara Da’i dalam
menjalin kerjasama pada saat melakukan syiar perlindungan alam (Maryam, 2016,
p. 6).
Selain itu, upaya yang dilakukan WWF untuk mengikat komitmen kepada
para mitra dari pelaku bisnis, dilakukan dengan mengadakan corporate gathering
event. Event tersebut merupakan kegiatan tahunan dari forum kemitraan WWF
yang sekaligus dimanfaatkan WWF untuk meningkatkan kepedulian dan
menggiatkan peran aktif dari para pelaku bisnis. Dilain sisi juga dijadikan sebagai
media untuk memberikan pendampingan kepada para korporasi yang telah
berkomitmen untuk berkontribusi dalam pergerakan penyelamatan lingkungan
(Vela & Kurniawan, 2011).
Upaya WWF masih terus berlanjut, diantaranya dengan dibentuknya Forum
Masyarakat Peduli Gajah Riau (FMPGR). Forum ini merupakan forum terbuka
bagi seluruh masyarakat yang peduli dengan kelestarian gajah Sumatera di Riau,
terdiri atas masyarakat mulai dari tingkat mahasiswa hingga masyarakat umum.
Adapun pada tahun 2015, Forum Masyarakat Peduli Gajah Riau ini bekerjasama
dengan komunitas Earth Hour (EH), WWF Sumatera Tengah dan beberapa tenaga
volunteer saling bekerjasama untuk mengadakan kegiatan kampanye dan
sosialisasi ke beberapa instansi seperti sekolah dan fasilitas publik dengan misi
96
edukasi dan penyadartahuan akan pengaruh serta ancaman atas populasi gajah
Sumatera. Forum ini menghimbau kepada masyarakat luas supaya turut
berpartisipasi untuk mempedulikan dan melestarikan gajah Sumatera.
Gambar 28. FMP Gajah Riau usai sosialisasi di SD 159 Pekanbaru
©WWF Sumatera Tengah/Heri Tarmizi (2015)
Cara lain yang dilakukan WWF untuk mengikat komitmen dari para
pendukung kelestarian gajah Sumatera yaitu mendukung terhadap dibentuknya
Forum Komunikasi Mahout Sumatera (FOKMAS). Forum ini difungsikan untuk
saling bertukar informasi dan berbagi ilmu antar para mahout mengenai strategi-
strategi taktis dan praktis yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan patroli
dengan gajah pada saat proses mitigasi konflik manusia dan gajah. Hingga saat ini,
WWF dan FOKMAS terutama mahout yang berlokasi di Desa Lubuk Kembang
Bunga, Riau masih terus aktif berkoordinasi, sesekali juga melakukan patroli
bersama. Pemasangan GPS Satellit Collar yang dilakukan WWF pun bekerjasama
dan melibatkan FOKMAS (WWF-Indonesia).
97
Gambar 29. Mahout di tim flying squad TNTN
©WWF Sumatera Tengah
Selain itu, para mahout juga dilibatkan dalam kegiatan workshop antar
mahout se-Indonesia untuk dapat saling bertukar gagasan dan pengalaman selama
menjalankan tugasnya bersama dengan gajah. Salah satu fungsi dan kegunaan dari
hadirnya forum-forum masyarakat ini adalah untuk dapat dijadikan sebagai alat
bagi masyarakat dalam berpartisipasi dan mengisi forum pertemuan yang
membahas isu-isu lingkungan dan satwa. Sehingga, perwakilan dari forum
tersebut memiliki hak untuk bersuara dan menyuarakan aspirasinya terhadap isu
kelestarian lingkungan. Gambar dibawah ini merupakan salah satu gambar yang
didapatkan pada saat kegiatan workshop antara mahout se-Indonesia yang
diselenggarakan di Taman Nasional Gunung Leuser di tahun 2014.
98
Gambar 30. Workshop Mahout se-Indonesia (TN Gunung leuser, Sumatera)
©Bruce Levick (2014)
WWF juga menjalin kemitraan dengan Forum Konservasi Gajah Indonesia
(FKGI) dalam upaya perlindungan dan pemantauan perkembangan gajah
Sumatera. Forum ini memiliki keistimewaan tersendiri karena mempunyai wadah
yang memuat beragam informasi yang tersedia dalam website serta dapat diakses
di laman http://www.gajah.id/, website ini memuat informasi berkenaan dengan
berita dan fakta-fakta tentang gajah di Indonesia. Selain dengan WWF, FKGI juga
bermitra dengan LSM lainnya, seperti Veterinarians Society for Wildlife
Conservation (VESSWIC), Conservation Science Initiative (CSI), Fauna Flora
International (FFI), Wildlife Conservation Society (WCS), serta pemerintah dari
Departemen kehutanan dan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA).
Adapun untuk mengikat komitmen pemerintah, WWF dapat mengacu pada
standar peraturan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang, sebagaimana
yang tertera dalam UU No. 5 tahun 1990 yang menuliskan adanya ketetapan
hukuman maksimal 5 tahun penjara serta denda sebesar 100 juta rupiah. Dalam
hal ini, WWF bersama dengan LSM lainnya selaku non profit organization
99
berupaya untuk mendesak pemerintah terhadap adanya revisi Undang-Undang
dalam maksud kata-kata “maksimal” untuk dihilangkan, hal ini berkenaan dengan
banyaknya kasus kematian gajah yang ditemukan akibat pelaku beberapa oknum
yang nyatanya hanya mendapat hukuman ± 2 bulan penjara ditahun 2015, oleh
sebab itu usulan ini hingga saat ini masih dalam proses yang dirundingkan oleh
pemerintah (Syamsidar, 2017).
Dengan demikian, upaya-upaya WWF untuk advokasi yang dimulai dari
mencari informasi, melakukan penyimbolan, memperluas pencarian dukungan
sampai usaha untuk mengikat komitmen masyarakat, stakeholders hingga
pemerintah menunjukkan telah ada proses advokasi yang dilakukan WWF untuk
mendukung konservasi gajah Sumatera di Riau dan telah berjalan sebagaimana
mestinya. Meskipun dalam implementasinya pemerintah masih terbilang lamban
dalam menanggapinya ataupun kasus kematian dan konflik gajah manusia masih
terus terjadi.