21
24 BAB IV TERMINAL BARANG INTERNASIONAL DAN PROFIL INSTANSI DI WILAYAH PERBATASAN ENTIKONG 4.1. Terminal Barang Internasional Entikong Menurut keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 1995 tentang Terminal Transportasi Jalan, terminal barang adalah adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan membongkar dan memuat barang serta perpindahan intran dan/atau antar moda transportasi. Terminal sebagai suatu fasilitas yang sangat kompleks dengan berbagai kegiatan. Terminal sebagai tempat bongkar muat barang di mana pelataran di dalam terminal barang yang disediakan bagi mobil barang untuk membongkar dan/atau memuat barang. Tersedianya gudang atau lapangan penumpukan barang adalah bangunan dan/atau pelataran di dalam terminal barang yang disediakan untuk menempatkan barang yang bersifat sementara (Kementerian Perhubungan, 1995 : pasal 25). Dalam pasal 25 disebutkan bahwa fasilitas terminal barang terdiri dari fasilitas utama dan fasilitas penunjang. Fasilitas utama antara lain bangunan kantor terminal, tempat parkir kendaraan untuk melakukan bongkar dan/atau muat barang, gudang atau lapangan penumpukan barang, tempat parkir kendaraan angkutan barang untuk istirahat atau selama menunggu keberangkatan, rambu-rambu dan papan informasi, dan peralatan bongkar muat barang. Sedangkan fasilitas penunjang yaitu tempat istirahat awak kendaraan, fasilitas pakir kendaraan selain angkutan barang, alat timbang kendaraan dan muatannya, kamar kecil/toilet, mushola, kios/kantin, ruang pengobatan, telepon dan taman (Kementerian Perhubungan, 1995 : pasal 26). Terminal Barang Internasional Entikong telah dibangun dengan fasilitas yang sudah hampir memadai. Terminal Barang tersebut memiliki luas lahan sebesar

BAB IV TERMINAL BARANG INTERNASIONAL DAN PROFIL …

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

24

BAB IV

TERMINAL BARANG INTERNASIONAL DAN PROFIL INSTANSI DI

WILAYAH PERBATASAN ENTIKONG

4.1. Terminal Barang Internasional Entikong

Menurut keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 1995 tentang

Terminal Transportasi Jalan, terminal barang adalah adalah prasarana transportasi

jalan untuk keperluan membongkar dan memuat barang serta perpindahan intran

dan/atau antar moda transportasi. Terminal sebagai suatu fasilitas yang sangat

kompleks dengan berbagai kegiatan. Terminal sebagai tempat bongkar muat barang

di mana pelataran di dalam terminal barang yang disediakan bagi mobil barang untuk

membongkar dan/atau memuat barang. Tersedianya gudang atau lapangan

penumpukan barang adalah bangunan dan/atau pelataran di dalam terminal barang

yang disediakan untuk menempatkan barang yang bersifat sementara (Kementerian

Perhubungan, 1995 : pasal 25).

Dalam pasal 25 disebutkan bahwa fasilitas terminal barang terdiri dari

fasilitas utama dan fasilitas penunjang. Fasilitas utama antara lain bangunan kantor

terminal, tempat parkir kendaraan untuk melakukan bongkar dan/atau muat barang,

gudang atau lapangan penumpukan barang, tempat parkir kendaraan angkutan barang

untuk istirahat atau selama menunggu keberangkatan, rambu-rambu dan papan

informasi, dan peralatan bongkar muat barang. Sedangkan fasilitas penunjang yaitu

tempat istirahat awak kendaraan, fasilitas pakir kendaraan selain angkutan barang,

alat timbang kendaraan dan muatannya, kamar kecil/toilet, mushola, kios/kantin,

ruang pengobatan, telepon dan taman (Kementerian Perhubungan, 1995 : pasal 26).

Terminal Barang Internasional Entikong telah dibangun dengan fasilitas

yang sudah hampir memadai. Terminal Barang tersebut memiliki luas lahan sebesar

25

4 hektar dengan rincian luas bangunan pengelola terminal sebesar 1.824 meter

persegi, luas gudang penimbunan sebesar 2.984 meter persegi, dan luas lapangan

penimbunan sebesar 4.125 meter persegi. Bangunan yang terdiri dari kantor

terminal, jembatan timbang, gudang, area peti kemas, bengkel, tempat istirahat

supir, mushola, area parkir. Sedangkan untuk fasilitas interior masih dalam tahap

melengkapi penunjang lainnya (Kominfo Kab. Sanggau, 2019).

Gambar 2

Gedung TBI Entikong Tampak Dari Depan

Sumber : Dokumentasi Pribadi, 28 April 2019

Gambar 3

Gedung TBI Entikong Tampak Dari Kejauhan

Sumber : Dokumentasi Pribadi , 28 April 2019

26

4.2. Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Indonesia di Perbatasan Entikong

Pos Lintas Batas Negara atau PLBN pada umumnya dikenal sebagai tempat

pemeriksaan dan pelayanan lintas batas negara. Para pelintas batas akan akan

menggunakan gerbang PLBN secara resmi dengan membawa dokumen paspor atau

pun Pas Lintas Batas. Pengelolaan PLBN harus meliputi organisasi dan tata kerja,

administrasi umum, fasilitas pelayanan batas negara, kebersihan dan keamanan dan

pengembangan kawasan PLBN. Untuk memenuhi standar pengelolaan sebagai

fasilitas negara yang bersifat internasional, maka PLBN harus dilengkapi dengan 5

pos pemeriksaan atau CIQS. CIQS yaitu Custom sebagai pos pemeriksaan bea dan

cukai, Imigration sebagai pos pemeriksaan imigrasi, Quarantine-1 sebagai pos

pemeriksaan kesehatan manusia, Quarantine-2 sebagai pos pemeriksaan kesehatan

hewan atau tumbuhan, dan yang terakhir menyangkut unsur pelayanan pendukung

yang meng-back up setiap pelayanan yang ada di PLBN yaitu Security sebagai pos

pemeriksaan keamanan melalui jajaran TNI/POLRI (Sumarsono, 2012 : 18).

PLBN dibagi menjadi dua apabila dilihat dari aspek manajemennya, yaitu

PLBN Tipe A dan Tipe B. PLBN Tipe A di mana gerbang lintas batas negara tersebut

dilengkapi dengan CIQ dan sudah memiliki status keimigrasian sebagai tempat

pemeriksaan Imigrasi sehingga para pelintas batas dapat melalui jalur tersebut wajib

dengan menggunakan Paspor atau Pas Lintas Batas (PLB) khusus bagi masyarakat

disekitar wilayah perbatasan. Kemudian Tipe B di mana gerbang lintas batas negara

tersebut dilengkapi atau ada pula yang belum dilengkapi dengan CIQ yang ideal dan

status keimigrasiannya dinyatakan sebagai Tempat Pemeriksaan Imigrasi namun

hanya para pelintas batas masyarakat disekitar wilayah perbatasan yang memiliki

PLB saja (Sumarsono, 2012 : 22-25).

PLBN Entikong terletak di wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia, di

mana untuk wilayah Indonesia terdapat PLBN Entikong sedangkan untuk wilayah

Malaysia terdapat Kompleks Imigresen Tebedu sebagai kantor pemeriksaan

keamanan dan kelengkapan dokumen resmi. PLBN Entikong berada di Jalan Lintas

27

Malindo, Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. PLBN Entikong untuk ke

Tebedu hanya perlu berjalan kaki beberapa meter sudah dapat tiba di Kompleks

Imigresen Tebedu. Sebelum menjadi PLBN Entikong dahulu merupakan Pos

Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) orang dan barang, di mana untuk kegiatan

operasionalisasinya masih melalui beberapa tahap, tahap I yaitu pada tanggal 1

Oktober 1989 dengan waktu operasional setiap hari dari pukul 05.00-17.00 WIB dan

kendaraan yang diijinkan melewati PPLB Entikong adalah kendaraan dinas dan

kendaraan pribadi. Kemudian pada tahap II pada tanggal 2 Januari 1993 dengan

kendaraan yang diijinkan yaitu kendaraan angkutan umum berupa taksi, bus carter

dan pariwisata serta bus ekspress antar negara. Dan tahap III pada tanggal 27 Mei

1995, pada tahun ini telah ditetapkan bahwa perdagangan internasional dapat

dilaksanakan melalui PPLB Entikong dan kendaraan yang diijinkan yaitu mobil

barang/truk, mobil box, mobil bak terbuka dan mobil tangki (Setda Sanggau : 2012,

15).

Sejalan dengan arah kebijakan pembangunan dan pengelolaan pos lintas

batas negara oleh BNPP, PLBN menjadi permulaan dalam pengembangan kawasan

perbatasan. Maka sejak bulan Desember 2017 PPLB Entikong telah berubah status

dengan ditetapkannya menjadi PLBN Entikong. Hal tersebut tentunya dengan

didukung adanya pembangunan baik fisik maupun non fisik yang menjadi lebih baik

dari kondisi sebelumnya (Ombudsman RI : 2017, 5).

Dengan melakukan peningkatan pembangunan semenjak tahun 2015, dan

hingga diakhir tahun 2016 menjadikan PLBN Entikong dapat diresmikan lengkap

dengan statusnya sebagai PLBN Terpadu dengan Jalur A. Terutama hal tersebut

dikarenakan PLBN Entikong sebagai jalur lintas batas negara yang sudah modern dan

memiliki fasilitas yang memadai dengan unsur pengawasan CIQS. Melalui PLBN

Entikong dengan fasilitas yang lengkap dengan Bea dan Cukai, Imigrasi, Karantina

dan Keamanan hal tersebut guna dalam rangka mewujudkan pengelolaan kondisi di

28

wilayah perbatasan semakin tertib, efisien, efektif dan aman dalam jangkauan negara

(BNPP RI, 2017 : 6).

Gambar 4 Gambar 5

Gedung PLBN Entikong Gerbang Jalur Kendaraan

Sumber : Dokumentasi Pribadi Penulis, 29 April 2019

Berdasarkan prosedur penggunaan dokumen yang berbeda tersebut, antara

lain Paspor dan PLB menunjukkan pelayanan pemberian fasilitas yang berbeda bagi

para pelintas batas. Paspor seperti yang sudah dimiliki oleh masyarakat umum suatu

negara, pada umumnya dibagian sampul berwarna hijau sedangkan PLB berwarna

merah oleh sebab itu masyarakat di wilayah perbatasan lebih mengenalnya dengan

sebutan “buku merah”. Untuk kepemilikan PLB terdapat ketentuan yang berlaku,

yaitu hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang berdomisili di sekitar wilayah

perbatasan. Ketentuan bagi wilayah domisili tersebut juga telah ditetapkan

sebelumnya pada perjanjian yang telah disepakati mengenai perbatasan tersebut.

Masyarakat yang ingin memiliki PLB juga sebelumnya harus sudah memiliki Kartu

Identitas Lintas Batas (KILB) yang pelayanannya diberikan oleh kantor Bea dan

Cukai (Sumarsono, 2012 : 12).

29

Tidak hanya Masyarakat di wilayah perbatasan yang menggunakan PLB

untuk keluar masuk di perbatasan Indonesia dan Malaysia, masyarakat yang tidak

berdomisili di wilayah perbatasan yang menggunakan Paspor juga mendapatkan

pelayanan di PLBN Entikong. Bagi masyarakat yang berdomisili di wilayah

perbatasan terutama Sekayam dan Entikong telah menjadi kesepakatan antara

Indonesia dan Malaysia untuk dapat menggunakan PLB. Namun, untuk memiliki

PLB masyarakat perbatasan diwajibkan untuk mengurus Kartu Identitas Lintas Batas

(KILB) terlebih dahulu di kantor Bea dan Cukai dengan melengkapi berbagai

persyaratan yang telah ditentukan. Setelah KILB telah diterbitkan masyarakat

kemudian dapat ke kantor Imigrasi untuk mengajukan pembuatan PLB (Sumarsono,

2012 : 13).

Sejak terbentuknya PLBN Entikong dan peningkatan berbagai fasilitas

pendukungnya maka wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia di Entikong sudah

semakin tertib, terutama untuk setiap aktivitas yang berhubungan dengan lintas batas.

Mulai dari pengawasan keamanan di wilayah perbatasan, pengawasan barang-barang

ilegal yang secara langsung dapat semakin menekan jumlah penyelundupan narkoba

agar semakin berkurang. Namun kebijakan yang belum diperbaharui dan PLBN

Entikong yang sudah dibangun tidak dapat sepenuhnya memfasilitasi aktivitas

perekonomian masyarakat perbatasan. Dengaan demikian, standar dan fungsinya

PLBN hanya melayani dan mengawasi para pelintas batas yang keluar dan masuk ke

Indonesia Wangke, 2017 : 25).

4.3. Instansi-Instansi Yang Mengelola Terminal Barang Internasional Entikong

Berbeda dengan PLBN sebagai pintu gerbang keluar masuk orang dan

barang namun hanya batas kepemilikan pribadi. Terminal Barang Internasional (TBI)

merupakan zona pendukung sarana prasarana penunjang bagi wilayah perbatasan

yang berfungsi sebagai pintu gerbang keluar masuk barang terutama barang-barang

dalam bentuk kargo. Maka dari itu perlu adanya instansi-instansi yang mengelola

secara terpadu, antara lain yaitu :

30

4.3.1 Bea dan Cukai Entikong

Bea Cukai atau yang secara resmi disebut dengan Direktorat Jenderal Bea

dan Cukai (DJBC) merupakan salah satu instansi yang memegang peranan penting

dalam menjaga hak-hak keuangan negara dengan fungsi yang kompleks dan terus

berkembang sejalan dengan semakin tingginya aktivitas perdagangan internasional

dan tuntutan untuk memenuhi kepentingan nasional. Pada umumnya orang-orang

akan lebih mengenal Bea dan Cukai sebagai tempat yang dapat mewadahi fasilitas

perdagangan. Namun apabila mengacu dari visi misi Bea dan Cukai terdapat tugas

yang lebih kompleks yaitu penerimaan, pelayanan kepabeanan dan cukai, serta

pengawasan kepabeananan dan cukai.

Seiring dengan perkembangan zaman di mana era perdagangan bebas yang

semakin meningkat, industri dalam negeri akan semakin terbuka peluangnya untuk

bersaing di tingkat internasional. Sehingga tidak menutup kemungkinan industri

dalam negeri semakin meningkatkan performanya dalam memenuhi pasar domestik.

Di samping itu, semakin banyaknya aktivitas impor ke dalam negeri terutama barang

mentah atau bahan produksi diharapkan dapat mendorong indsutri nasional untuk

semakin kreatif dan berkembang. Peran Bea dan Cukai sangat besar dalam konteks

perdagangan dan daya saing global, terutama terkait dengan fasilitasi perdagangan

dan pengawasan terhadap hak-hak keuangan negara serta perlindungan kepada

lingkungan hidup, hal tersebut karena masyarakat sebagai kepentingan nasional. Di

era yang semakin berkembang dan meningkatnya kejahatan lintas negara menjadi

tantangan Bea dan Cukai untuk melindungi kepentingan nasional terutama terkait

dengan barang-barang yang dapat menjadi ancaman bagi keamanan nasional.

Mewujudkan Indonesia yang maju menjadi cita-cita yang membutuhkan peran Bea

dan Cukai dalam mengoptimalkan dan menghindari kebocoran penerimaan negara.

Kemudian terkait dengan lingkungan, Bea dan Cukai juga harus mampu berperan

untuk melindungi lingkungan dan masyarakat dari ancaman barang-barang tertentu

31

melalui instrumen cukai yang juga dapat memberikan kontribusi dalam penerimaan

negara guna menopang belanja pemerintah (KPPBC, 2017).

Sejalan dengan hal diatas, tentu saja tidak akan lepas dari aspirasi

masyarakat yang semakin dinamis, masyarakat sebagai salah satu aktor stakeholders

tentu memiliki banyak harapan kepada Bea dan Cukai untuk setiap pelayanan yang

diselenggarakan. Agar dapat terimplementasi dengan maksimal perlu adanya

komunikasi dan pengelolaan stakeholders melalui beberapa cara, antara lain :

penyelarasan tim kepemimpinan, melibatkan semua pemimpin perubahan baik formal

dan informal, ubah pola pikir untuk mengubah pola prilaku, komunikasi dan selalu

menekankan “kisah perubahan” yang memberikan inspirasi, bangun dukungan dari

semua pihak untuk perubahan dan reformasi utama yang dibutuhkan (Wangke, 2017 :

36).

Berhubungan dengan pelayanan sebagai bagian dari tugasnya, terdapat 4

tugas pokok Bea dan Cukai itu sendiri antara lain, yaitu :

1. Trade Facilitator

Bea dan Cukai memberikan fasilitas perdagangan melalui berbagai upaya

strategis, dengan tujuan untuk : meningkatkan kelancaran arus barang dan

perdagangan, menekan ekonomi biaya tinggi, menciptakan iklim perdagangan

yang kondusif, dan mencegah terjadinya perdagangan ilegal.

2. Industrial Assistance

Industrial Assistance yaitu mampu memberikan dukungan kepada industri dalam

negeri dalam rangka : melindungi industri dalam negeri dari masuknya barang-

barang secara ilegal, membantu meningkatkan daya saing industri dalam negeri,

mendukung peningkatan daya saing prroduk ekspor.

32

3. Community Protector

Bea dan Cukai sebagai aparatur pengawasan lalu lintas barang dalam rangka

melindungi kepentingan masyarakat melalui upaya-upaya : pencegahan terhadap

masuknya barang-barang yang membahayakan keamanan negara, pencegahan

barang-barang yang merusak kesehatan dan meresahkan masyarakat,

perlindungan masyarakat terhadap masuknya barang yang tidak memenuhi

standar.

4. Revenue Collector

Merupakan tugas yang tidak asing bagi masyarakat pada umumnya, yaitu

memungut penerimaan negara dalam rangka : mengoptimalkan penerimaan

negara melalui penerimaan Bea Masuk, Bea Keluar, Pajak Dalam Rangka Impor

(PDRI), Cukai, dan PPH hasil tembakau, mencegah terjadinya kebocoran

penerimaan Negara.

Sebagai perpanjangan tangan dari Kementerian Keuangan, untuk

mendukung agenda pembangunan nasional (Nawa Cita) maka saat ini titik berat tugas

Bea dan Cukai telah mengalami perubahan prioritas dari tugas utama sebagai

Revenue Collector menjadi Trade Facilitator, Industrial Assistance, Community

Protector dan yang terakhir Revenue Collector . Hal ini karena kebijakan kepabean

mulai diarahkan untuk fokus pada kelancaran arus barang, pembebasan/keringanan

Bea Masuk dan fasilitas Kawasan Berikat, sehingga dapat mengurangi ekonomi biaya

tinggi dan menciptakan iklim yang mendorong pertumbuhan industri dan investasi

(KPPBC, 2017).

Untuk mendukung agenda Nawa Cita, Bea dan Cukai memiliki dua landasan

sebagai tujuan keberhasilan, yaitu pertama optimalisasi penerimaan negara dan

reformasi administrasi perpajakan serta reformasi kepabean dan cukai, dan kedua

peningkatan pengawasan di bidang kepabean dan cukai serta perbatasan. Maka dari

itu Bea dan Cukai juga melakukan optimalisasi pengawasan khususnya di wilayah

perbatasan Entikong, terutama karena Entikong merupakan wilayah perbatasan yang

33

krusial dengan intensitas aktivitas keluar masuk orang dan barang yang tinggi

(Wangke, 2017 : 37).

Berhubungan dengan tugasnya sebagai community protector, trade

fasilitator, industrial assistance, dan revenue collector, Bea dan Cukai Entikong

memiliki sebuah visi yang menjadi landasan bagi tugas dan fungsinya yaitu :

“Menjadi KPPBC Perbatasan dengan Standar Internasional”. Sedangkan untuk

merealisasikan visi tersebut terdapat tiga misi yang menjadi acuan pelaksanaan tugas

tersebut yaitu pertama, menjaga perbatasan darat dan melindungi masyarakat

Indonesia dari penyelundupan dan perdagangan ilegal, kedua memberikan pelayanan

di perbatasan dibidang kepabeanan dan cukai secara cermat, tepat, dan akurat, dan

yang terakhir yaitu memfasilitasi perdagangan dan industri untuk mengembangkan

ekonomi di wilayah perbatasan.

Bea Cukai Entikong melakukan pengawasan terhadap barang-barang yang

keluar masuk dari wilayah perbatasan Entikong, terlebih apabila sampai terdeteksi

adanya barang-barang ilegal menjadi lebih ketat. Pengawasan tersebut ditunjang

dengan berbagai alat yang dimilki Bea Cukai Entikong, antara lain : 4 buah X-Ray, 2

buah Iron Scan, 6 ekor anjing pelacak (K-9). Peralatan tersebut yang sering

digunakan untuk melacak barang-barang ilegal seperti narkoba. Walaupun demikian

alat-alat tersebut masih terbatas, apabila pada waktu tertentu seperti hari Raya Idul

Fitri, Natal, Tahun Baru Cina akan terjadi peningkatan terhadap keluar masuk orang

dan barang, sehingga para pelintas batas harus bersabar dan mengantri untuk

pemeriksaan kendaraan dan barang-barang bawaan (Wangke, 2017: 26) .

Bea Cukai Entikong berupaya semaksimal mungkin untuk berkoordinasi

dengan seluruh instansi yang berwenang di wilayah perbatasan Entikong. Terutama

dengan Imigrasi, Karantina dan TINI/POLRI, sinergitas menjadi hal penting yang

perlu dipertahankan dan semakin ditingkatkan. Hal tersebut sehubungan dengan

usaha untuk meningkatkan pelayanan dan pengawasannya, di mana Bea Cukai

dituntut untuk meningkatkan kelancaran arus barang dalam rangka mendukung

34

industri dalam negeri. Melalui berbagai kegiatan seperti pelatihan-pelatihan dan rapat

koordinasi yang rutin dilakukan (Wangke, 2017 : 18).

Pendekatan keamanan tidak menjadi satu-satunya hal penting untuk

membangun dan mengelola perbatasan melainkan juga harus melalui pendekatan

kesejahteraan. Maka dari itu, Bea Cukai Entikong hadir dengan upaya meningkatkan

kemajuan ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan, salah satunya dalam berbagai

pelatihan dalam mengelola hasil pertanian dan kerajinan, dan juga dengan melayani

penerbitan KILB agar dapat digunakan untuk melakukan aktivitas perekonomian ke

Negara tetangga. Namun, apabila menggunakan KILB terdapat batas nominal yang

bisa dibawa, yaitu hanya RM 600 setiap bulannya (Wangke, 2017 : 104).

4.3.2 Imigrasi Entikong

Di wilayah perbatasan fungsi imigrasi yaitu sebagai penjaga pintu gerbang

negara dan bagian dari perwujudan kedaulatan atas wilayah Indonesia yang

memberikan pelayanan dan pengawasan terhadap lalu lintas orang yang melalui

wilayah perbatasan. Maka dari itu untuk meningkatkan pelayanan dan pengawasan

tersebut dibentuklah Tempat Pemeriksaan Imigrasi di PLBN Entikong maupun

Kantor Imigrasi yang letaknya tidak jauh dari gedung PLBN Entikong, sebagai

tempat untuk pemeriksaan dokumen keimigrasian bagi setiap orang yang masuk dan

keluar wilayah Indonesia dan tempat pelayanan untuk mengurus dokumen

keimigrasian (UU No.6 Tahun 2011. Pasal 3 Angka 3).

Berhubungan dengan arah kebijakan pengembangan kawasan perbatasan

yang tertuang dalam kebijakan Nawa Cita, yaitu mempercepat pembangunan

kawasan perbatasan di berbagai bidang, terutama ekonomi, sosial, keamanan serta

kawasan perbatasan menjadi pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan

dengan negara tetangga secara terintegrasi dan berwawasan lingkungan. Maka

terdapat 4 fungsi operasional Imigrasi dalam hal pelayanan dan pengawasannya untuk

mendukung Nawa Cita, (Santoso, 2004:22-25) yaitu :

35

1. Fungsi Pelayanan Keimigrasian

Merupakan fungsi penyelenggaraan pemerintahan atau administrasi negara yang

mencerminkan aspek pelayanan, di mana imigrasi melayani di bidang

keimigrasian bagik kepada WNI maupun WNA dalam bentuk pembuatan

dokumen perjalanan bagi WNI dan WNA.

2. Fungsi Penegakkan Hukum

Yang dimaksud adalah penegakkan hukum keimigrasian, imigrasi memiliki

wewenang di Indonesia kepada setiap orang yang berada di dalam wilayah

hukum Indonesia baik itu WNI atau WNA yang bersifat administratif maupun

proyustisia.

3. Fungsi Keamanan

Fungsi keamanan yang dimaksud berupa pencegahan dan penangkalan. Sebagai

institusi pertama dan terakhir yang menyaring kedatangan dan keberangkatan

orang asing ke dan dari wilayah RI dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan

negara.

4. Fungsi Fasilitator

Sebagai fasilitator yaitu untuk pembangunan kesejahteraan masyarakat dalam

bentuk pemberian jasa keimigrasian yang berdampak pada berjalannya roda

perekonomian di kawasan perbatasan, seperti pemberian izin keluar masuk bagi

WNI dan WNA untuk melakukan kegiatan perekonomian.

Sejalan dengan hal diatas, Imigrasi hadir di Entikong yang merupakan salah

satu wilayah perbatasan dengan akses terdekat untuk ke negara tetangga Serawak,

Malaysia. Kantor Imigrasi Entikong diresmikan pada tanggal 1 April 1992 dengan

status kelas III. Namun seiring berjalannya waktu hingga saat ini dengan berbagai

peningkatan infrastruktur, sarana prasarana maupun pelayanannya Kantor Imigrasi

Entikong telah memiliki status kelas II (Firdaus, 2018 : 64).

36

Sebelum tahun 2014 ketika belum ada perubahan mengenai kebijakan keluar

masuk orang dan barang, orang Malaysia bisa masuk dan keluar ke wilayah

perbatasan Entikong tanpa dokumen. Terlebih ketika pasar tradisional Entikong

masih di kelola langsung oleh masyarakat di wilayah perbatasan Entikong, hal

tersebut semakin memberikan peluang dan kebebasan yang luas bagi orang Malaysia

untuk datang dan melakukan kegiatan transaksi jual beli di pasar tradisional yang

dekat dengan PLBN Entikong. Namun seiring dengan perubahan di era

kepemimpinan Presiden Joko Widodo dengan adanya kebijakan Nawa Cita maka

kebijakan keimigrasian juga berubah, dengan berbagai alasan dilakukan penertiban

keimigrasian yang membuat orang Malaysia harus memenuhi dokumen resmi

apabila hendak keluar dan masuk wilayah perbatasan Entikong (Firdaus, 2018 : 65).

4.3.3 Balai Karantina Pertanian dan Hewan Entikong

Sebagai perpanjangan tangan dari Kementerian Pertanian, Balai Karantina

Pertanian dan Hewan Kelas I Entikong merupakan salah satu instansi yang bertugas

sebagai pelaksana kegiatan perkarantinaan hewan dan tumbuhan di wilayah

perbatasan Entikong. Instansi ini terus berupaya untuk melakukan pembenahan baik

secara internal maupun eksternal ke arah kebijakan pembangunan nasional (Nawa

Cita). Pembangunan perkarantinaan dilakukan dengan upaya melindungi pertanian

Indonesia khususnya di wilayah perbatasan untuk mewujudkan kelestarian ketahanan

dan keamanan pangan serta sumber daya hayati. Berhubungan dengan hal tersebut

maka karantina berperan melalui beberapa aspek, antara lain : pengamanan

pelestarian sumber daya hayati, pencegahan masuk/tersebarnya Hama dan Penyakit

Hewan Karantina (HPHK) dan Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina

(OPTK), kelestarian lingkungan, keamanan pangan yang sehat, utuh dan halal (Badan

Karantina Pertanian, 2015).

Balai Karantina Pertanian dan Hewan di Entikong berada di Desa Entikong

Kecamatan Entikong Kabupaten Sanggau. Dalam susunan organisasinya Balai

Karantina Pertanian dan Perikanan Entikong dipimpin oleh seorang Kepala, kedua di

37

bantu oleh seorang Kepala Sub Seksi Pelayan Operasional dan Kepala Urusan Tata

Usaha, dan Ketiga yaitu penyelenggara operasional dilaksanakan oleh Kelompok

Jabatan Fungsional. Sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Karantina

Pertanian dan Hewan Entikong mengatasi resiko masuknya HPHK dan OPTK dari

Luar Negeri khususnya dari Sarawak, Malaysia di mana telah ditetapkan dan diawasi

pintu-pintu keluar dan masuk yang ada di Entikong maupun di Kalimantan Barat

lainnya (Karantina Pertanian dan Perikanan, 2019).

Sebagai instansi yang memiliki ketercapaian target untuk menjaga ketahanan

pangan yang bebas dari ancaman hama penyakit serta masuknya produk pertanian

impor yang tidak dikehendaki, maka Balai Karantina Pertanian dan Hewan Entikong

akan melakukan pengawasan yang efektif ditempat-tempat pemasukan dan

pengeluaran. Hal tersebut guna mengantisipasi semakin meningkatnya volume dan

frekuensi lalu lintas perdagangan produk pertanian. Terdapat beberapa tahap yang

dilakukan Balai Karantina dalam upaya pelaksanaan tugas dan fungsinya, namun

tahap penting yang akan dilakukan pada penyelenggaraan pada umumnya melalui

pelayanan sertifikasi 8P, yaitu : Pemeriksaan, Pengasingan, Pengamatan, Penahanan,

Perlakuan, Pemusnahan, Penolakan dan Pembebasan (Badan Karantina Pertanian,

2019).

1. Pemeriksaan

Seperti pemeriksaan pada umumnya yang akan melalui tahap pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan fisik merupakan serangkaian

kegiatan perjalanan/transport untuk melakukan tindakan pemeriksaan fisik

terhadap media pembawa HPHK dan OPTK dengan tujuan untuk mendeteksi dan

mengidentifikasi adanya HPHK beresiko dan OPTK pembawa media lain yang

dilakukan diluar tempat masuk dan keluar yang ditetapkan. Pemeriksaan

laboratorium yaitu kegiatan penyediaan bahan pemeriksaan laboratorium

karantina tumbuhan dan karantina hewan.

38

2. Pengasingan

Pada tahap pengasingan kegiatan yang dilakukan yaitu perjalanan/transport untuk

mendukung tindakan pengasingan karantina hewan dan tumbuhan ke tempat

pengasingan.

3. Pengamatan

Tahap ini di mana akan dilakukan kegiatan pengamatan terhadap hewan dan

tumbuhan yang sudah dibawa saat kegiatan pengasingan.

4. Perlakuan

Kegiatan pada tahap perlakuan akan dilakukan pemenuhan kebutuhan bahan

yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan tindakan perlakuan untuk

membebaskan media pembawa dari HPHK.OPTK.

5. Pemusnahan

Merupakan kegiatan untuk memfasilitasi pelaksanaan tindakan pemusnahan, di

mana hewan dan tumbuhan yang telah melalui serangkaian tahap sebelumnya

telah terdeteksi sebagai pembawa HPHK/OPTK sesuai dengan peraturan dan

ketentuan yang berlaku.

Melalui serangkaian tahap diatas diharapkan pelayanan karantina di lapangan dapat

memberikan hasil uji yang efektif dan efisien sehingga dapat menjadi pertimbangan

teknis dalam penyusunan kebijakan.

Dalam proses penyelenggaran operasional perkarantinaan perlu adanya

dukungan dari fasilitas infrastruktur dan peralatan yang memadai. Maka dari itu Balai

Karantina Pertanian dan Hewan Entikong memiliki sarana prasarana penunjang

antara lain : Instalasi Karantina Hewan/Tumbuhan, Screen House, peralatan

laboratorium (Badan Karantina, 2019).

4.3.4 TNI/POLRI Entikong

PLBN Entikong menjadi tempat pemeriksaan orang dan barang pertama bagi

keamanan wilayah perbatasan Entikong. Namun hal tersebut tidaklah cukup, perlu

39

didukung pula dengan pos penjagaan TNI dan Kepolisian di Entikong dan Beduai.

Sesuai dengan pedoman pengelolaan PLBN di mana peran TNI/POLRI menjadi

peran pendukung pada pelayanan lintas batas Negara, peran pada pelaksanaan tugas

dan fungsi tersebut terutama bertujuan mendapatkan jaminan dukungan keamanan

fisik terutama ketika dilapangan. Maka dari itu berikut penjabaran peran TNI dan

POLRI (BNPP RI : 2017) :

1. TNI

a. Tugas TNI yaitu menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan

wilayah NKRI serta melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman dan

gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara

b. sekalipun demikian TNI tidak berperan secara langsung dalam pengelolaan

PLBN

c. TNI tetap dibutuhkan untuk melindungi kepentingan nasional dari ancaman

dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara yang mungkin terjadi di

PLBN atau wilayah perbatasan.

2. POLRI

a. Melindungi dan mengayomi masyarakat, serta memberikan pelayanan kepada

masyarakat dalam bentuk penjagaan dan penegakkan hukum secara hukum.

b. Dalam penyelenggaraan pelayanan lintas batas negara, khususnya pada

aktivitas di area gedung PLBN, POLRI sebagai unsur penegak hukum tidak

terlibat secara langsung.

c. POLRI bersifat pendukung.

d. Kepala bidang pengelolaan PLBN dapat meminta bantuan POLRI untuk

penanganan masalah-masalah pelanggaran hukum yang terjadi di PLBN dan

wilayah perbatasan.

Sebagaimana tugas dan fungsi TNI/POLRI seperti hal diatas, peran TNI dan

POLRI di wilayah perbatasan merupakan fungsi pendukung penyelenggaraan

pelayanan publik pada PLBN Entikong maupun segenap instansi yang berada

40

didalamnya. Berkaitan dengan pemeriksaan penumpang dan barang di luar PLBN

Entikong, TNI dan POLRI perlu adanya koordinasi yang intensif antara intansi-

instansi terkait, terutama mengingat pemeriksaan barang dan orang merupakan fungsi

imigrasi dan bea cukai. Kemudian untuk pemeriksaan di Beduai dilakukan agar

menjaga barang-barang impor yang menggunakan KILB tidak keluar dari kecamatan

Entikong dan Sekayam (Ombudsman RI KalBar : 2017,28).

4.4. Perjanjian dan Kerjasama Bilateral Indonesia-Malaysia Terkait Perbatasan

4.4.1 Border Crossing Agreement (BCA) 1984-Border Trade Agreement (BTA)

1970

Meskipun Indonesia dan Malaysia dipisahkan oleh garis imajiner kedaulatan

negara, kedua negara tersebut tetap berupaya agar aktivitas lintas batas dapat

berlangsung. Indonesia dan Malaysia menyepakati perjanjian lintas batas yang

ditandatangani oleh kedua negara tersebut pada tahun 1967 yaitu Basic Arrangement

on Border Crossing dan Basic Arrangements on Trade and Economic Relations. Pada

tahun 1984 seiring dengan perkembangan wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia

kedua negara tersebut menandatangani kesepakatan baru berupa Border Crossing

Agreement (BCA) yang sekaligus merupakan pencabutan BCA tahun 1967.

Berdasarkan BCA tahun 1984 pasal 2, aktivitas lintas batas yang dapat dilakukan

oleh masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia adalah kunjungan keluarga, kegiatan

sosial/hiburan, keperluan keagamaan, usaha/berdagang, tugas pemerintah dan

keperluan lain yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.

Namun setelah BCA pada tahun 1970, Indonesia dan Malaysia merevisi dan

menyepakati BCA 1967 menjadi Border Trade Agreement (BTA). BTA tersebut

merujuk pada BCA 1967 yang disepakati sebelumnya, perjanjian ini kemudian

menjadi landasan hukum bagi pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk mengatur

aktivitas perdagangan lintas batas di perbatasan kedua negara. Melalui perjanjian ini

masyarakat di wilayah perbatasan dapat melakukan perdagangan lintas batas, namun

hanya senilai RM 600 per orang dalam satu bulannya dan komoditas yang

41

diperdagangkan tersebut tidak dikenakan beban pajak ketika dipemeriksaan bea

cukai. Untuk tahun-tahun sebelumnya perjanjian ini memungkinkan pedagang untuk

melakukan transaksi perdagangan lintas batas tersebut seperti komoditas hasil olahan

dari bumi, akan tetapi saat ini dibatasi yang dibebaskan hanya barang-barang sebatas

kebutuhan pribadi yang tidak untuk diperjualbelikan.

Hingga saat ini BTA 1970 masih belum terdapat hasil kesepakatan dari

peninjauan kembali, penerapannya masih berdasarkan kesepakatan-kesepakatan lama.

Pembatasan diatas mengakibatkan adanya pelaku pengusaha dari dalam maupun luar

perbatasan yang memanfaatkan fasilitas ini dengan berbelanja ke Malaysia dan

menumpuk barang dagangannya di area tanpa pengawasan penjaga perbatasan yang

nantinya akan diangkut ke daerah tujuan. Barang-barang tersebut tidak hanya berupa

barang kebutuhan pokok, melainkan berkembang contohnya seperti LPG. Maka dari

itu seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat dan realita di

lapangan yang semakin beragamnya kebutuhan masyarakat untuk menggunakan

fasilitas diperbatasan, tanpa adanya hasil kesepakatan dari peninjauan kembali BTA

1970 sudah tidak relevan untuk digunakan. Tanpa adanya beban pajak memberikan

keuntungan bagi para pelaku pengusaha namun kerugian bagi negara. Maka dari itu

dari tahun 2014 pada masa pemerintahan Joko Widodo dilakukan pembangunan

infrastruktur di wilayah perbatasan secara merata dengan harapan adanya perubahan

bagi penerapan perdagangan lintas batas tersebut.

4.4.2 Kerjasama BIMP-EAGA

Kerjasama BIMP-EAGA merupakan kerjasama sub regional yang dibentuk

pada tanggal 26 Maret 1994 di Davao City, Filipina dan dilakukan oleh negara-negara

dalam kerangka BIMP-EAGA (Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipina- East ASEAN

Growth Area). Organisasi ini dibentuk dengan latar belakang yang sama dari keempat

negara untuk mempercepat pembangunan sosio-ekonomi secara geografis di daerah

terpencil, khususnya yang kurang berkembang di negara-negara anggotanya.

Kerjasama sub regional ini berfokus pada area pembangunan yang dinilai penting

42

untuk dilakukan yaitu daerah perbatasan yang menjadi wilayah padat akan aktivitas

perekonomian hingga pariwisata. Terlebih dengan kondisi geografis yang saling

berdekatan antar negara anggota semakin memudahkan peluang kerjasama untuk

mengatasi masalah kesenjangan pembangunan ekonomi antar wilayah.

Semenjak tahun 2001 yang menjadi prioritas kerjasama ini yaitu pada bidang

: perdagangan, perhubungan laut, energi, dan masalah ketenagakerjaan. Maka dari itu

pada umumnya kerjasama ini dilaksanakan dalam bentuk menggerakkan para pelaku

usaha untuk menjadi motor penggerak kerjasama, kemudian pemerintah hanya

bertindak sebagai regulator dan fasilitator. Masing-masing negara merangkul para

pelaku usaha yang nantinya akan berinvestasi seputar kegiatan perekonomian di

daerah perbatasan negara-negara BIMP-EAGA. Kerjasama ini juga diintegrasikan

melalui bidang transportasi darat dan laut yang menjadi akses utama keempat negara

anggota.

Pada awal era kerja sama BIMP-EAGA, terdapat kesepakatan yang

mengakomodir bentuk perdagangan tradisional yang telah lama dilakukan disekitar

kawasan perbatasan. Kesepakatan tersebut yaitu bentuk perdagangan barter (barter

trade), di mana masyarakat dapat melakukan kegiatan perdagangan melalui alat

barter atau kegiatan tukar menukar barang dan jasa maupun hasil bumi.

4.4.3 Kerjasama Sosek Malindo

Sosek Malindo merupakan salah satu hasil kesepakatan dari perjanjian BTA

yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1970. Kerjasama ini berfokus

pada sosial dan ekonomi yang ada di wilayah perbatasan salah satu point

kesepakatannya yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat kedua daerah melalui

kerjasama Sosek Malindo. Terdapat tiga misi untuk mencapai visi dari kerjasama

Sosek Malindo, misi tersebut, yaitu :

1. Menciptakan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang kondusif bagi

kesejahteraan masyarakat masing-masing daerah.

43

2. Meningkatkan kerjasama ekonomi yang berkeadilan dan saling menguntungkan

serta berorientasi pada kelestarian lingkungan.

3. Meningkatkan kerjasama sosial budaya lewat peningkatan kualitas dan

pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) di kedua wilayah perbatasan.

Fokus untuk mempercepat pembangunan di wilayah perbatasan, pada tahun

1985 pemerintah Indonesia dan Malaysia menyepakati kerjasama percepatan

pembangunan di wilayah perbatasan kedua negara dengan menumbuhkan kerjasama

pembangunan Sosial dan Ekonomi Malaysia-Indonesia, yang sampai sekarang masih

terus berlangsung. Maka dari itu pada tingkat daerah di Kalimantan Barat sendiri

telah di bentuk Kelompok Kerja Sosek Indonesia berdasarkan Surat Keputusan

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat No. 408 Tahun 1985 tanggal 21

Desember 1985. Namun mengalami perubahan pada tahun 1988 dan disempurnakan

kembali dengan adanya Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 4 Tahun

1999 tanggal 11 Januari 1999. Hasil penyempuraan tersebutlah yang masih

digunakan hingga sekarang.

Terdapat beberapa sasaran yang menjadi acuan bagi mekanisme kerjasama

Sosek Malindo. Sasaran tersebut mulai dari menentukan infrastruktur pembangunan

bagi kegiatan sosial budaya, administrasi, dan kegiatan sosial ekonomi lainnya.

Kemudian sasaran tersebut juga merealisasikan satu cara agar implikasi pendanaan

untuk pembangunan di wilayah perbatasan sehingga memungkinkan untuk dibiayai

oleh kedua belah pihak.

Melalui keseluruhan dari Bab IV menunjukkan bahwa kerjasama yang

berlangsung antara Indonesia dan Malaysia yang berfokus pada pembangunan bagi

wilayah perbatasan khususnya di bidang ekonomi, sosial, pariwisata dan budaya

terdiri dari berbagai kesepakatan. Kerjasama tersebut menjadi salah satu pemicu bagi

negara Indonesia untuk semakin meningkatkan pelayanan dan pengawasan bagi

wilayah perbatasan, khususnya di wilayah perbatasan Entikong. Wilayah perbatasan

Entikong khususnya dari tahun 2014 semakin memiliki peningkatan berbagai

44

infrastruktur, terlebih dengan didukung instansi-instansi yang berwenang sehingga

dapat berperan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing menuju

pembangunan wilayah perbatasan. Pembangunan wilayah perbatasan tentu tidak

dapat dilepaskan dari sarana prasarana pendukung yang mampu menopang kegiatan

perekonomian masyarakat perbatasan, yaitu salah satu yang terpenting yaitu Terminal

Barang Internasional Entikong. Terminal Barang Internasional Entikong merupakan

fasilitas utama sebagai tempat bongkar muat barang yang menjadi penopang kegiatan

perekonomian di wilayah perbatasan Entikong.