Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
24
BAB IV
TERMINAL BARANG INTERNASIONAL DAN PROFIL INSTANSI DI
WILAYAH PERBATASAN ENTIKONG
4.1. Terminal Barang Internasional Entikong
Menurut keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 1995 tentang
Terminal Transportasi Jalan, terminal barang adalah adalah prasarana transportasi
jalan untuk keperluan membongkar dan memuat barang serta perpindahan intran
dan/atau antar moda transportasi. Terminal sebagai suatu fasilitas yang sangat
kompleks dengan berbagai kegiatan. Terminal sebagai tempat bongkar muat barang
di mana pelataran di dalam terminal barang yang disediakan bagi mobil barang untuk
membongkar dan/atau memuat barang. Tersedianya gudang atau lapangan
penumpukan barang adalah bangunan dan/atau pelataran di dalam terminal barang
yang disediakan untuk menempatkan barang yang bersifat sementara (Kementerian
Perhubungan, 1995 : pasal 25).
Dalam pasal 25 disebutkan bahwa fasilitas terminal barang terdiri dari
fasilitas utama dan fasilitas penunjang. Fasilitas utama antara lain bangunan kantor
terminal, tempat parkir kendaraan untuk melakukan bongkar dan/atau muat barang,
gudang atau lapangan penumpukan barang, tempat parkir kendaraan angkutan barang
untuk istirahat atau selama menunggu keberangkatan, rambu-rambu dan papan
informasi, dan peralatan bongkar muat barang. Sedangkan fasilitas penunjang yaitu
tempat istirahat awak kendaraan, fasilitas pakir kendaraan selain angkutan barang,
alat timbang kendaraan dan muatannya, kamar kecil/toilet, mushola, kios/kantin,
ruang pengobatan, telepon dan taman (Kementerian Perhubungan, 1995 : pasal 26).
Terminal Barang Internasional Entikong telah dibangun dengan fasilitas
yang sudah hampir memadai. Terminal Barang tersebut memiliki luas lahan sebesar
25
4 hektar dengan rincian luas bangunan pengelola terminal sebesar 1.824 meter
persegi, luas gudang penimbunan sebesar 2.984 meter persegi, dan luas lapangan
penimbunan sebesar 4.125 meter persegi. Bangunan yang terdiri dari kantor
terminal, jembatan timbang, gudang, area peti kemas, bengkel, tempat istirahat
supir, mushola, area parkir. Sedangkan untuk fasilitas interior masih dalam tahap
melengkapi penunjang lainnya (Kominfo Kab. Sanggau, 2019).
Gambar 2
Gedung TBI Entikong Tampak Dari Depan
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 28 April 2019
Gambar 3
Gedung TBI Entikong Tampak Dari Kejauhan
Sumber : Dokumentasi Pribadi , 28 April 2019
26
4.2. Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Indonesia di Perbatasan Entikong
Pos Lintas Batas Negara atau PLBN pada umumnya dikenal sebagai tempat
pemeriksaan dan pelayanan lintas batas negara. Para pelintas batas akan akan
menggunakan gerbang PLBN secara resmi dengan membawa dokumen paspor atau
pun Pas Lintas Batas. Pengelolaan PLBN harus meliputi organisasi dan tata kerja,
administrasi umum, fasilitas pelayanan batas negara, kebersihan dan keamanan dan
pengembangan kawasan PLBN. Untuk memenuhi standar pengelolaan sebagai
fasilitas negara yang bersifat internasional, maka PLBN harus dilengkapi dengan 5
pos pemeriksaan atau CIQS. CIQS yaitu Custom sebagai pos pemeriksaan bea dan
cukai, Imigration sebagai pos pemeriksaan imigrasi, Quarantine-1 sebagai pos
pemeriksaan kesehatan manusia, Quarantine-2 sebagai pos pemeriksaan kesehatan
hewan atau tumbuhan, dan yang terakhir menyangkut unsur pelayanan pendukung
yang meng-back up setiap pelayanan yang ada di PLBN yaitu Security sebagai pos
pemeriksaan keamanan melalui jajaran TNI/POLRI (Sumarsono, 2012 : 18).
PLBN dibagi menjadi dua apabila dilihat dari aspek manajemennya, yaitu
PLBN Tipe A dan Tipe B. PLBN Tipe A di mana gerbang lintas batas negara tersebut
dilengkapi dengan CIQ dan sudah memiliki status keimigrasian sebagai tempat
pemeriksaan Imigrasi sehingga para pelintas batas dapat melalui jalur tersebut wajib
dengan menggunakan Paspor atau Pas Lintas Batas (PLB) khusus bagi masyarakat
disekitar wilayah perbatasan. Kemudian Tipe B di mana gerbang lintas batas negara
tersebut dilengkapi atau ada pula yang belum dilengkapi dengan CIQ yang ideal dan
status keimigrasiannya dinyatakan sebagai Tempat Pemeriksaan Imigrasi namun
hanya para pelintas batas masyarakat disekitar wilayah perbatasan yang memiliki
PLB saja (Sumarsono, 2012 : 22-25).
PLBN Entikong terletak di wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia, di
mana untuk wilayah Indonesia terdapat PLBN Entikong sedangkan untuk wilayah
Malaysia terdapat Kompleks Imigresen Tebedu sebagai kantor pemeriksaan
keamanan dan kelengkapan dokumen resmi. PLBN Entikong berada di Jalan Lintas
27
Malindo, Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. PLBN Entikong untuk ke
Tebedu hanya perlu berjalan kaki beberapa meter sudah dapat tiba di Kompleks
Imigresen Tebedu. Sebelum menjadi PLBN Entikong dahulu merupakan Pos
Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) orang dan barang, di mana untuk kegiatan
operasionalisasinya masih melalui beberapa tahap, tahap I yaitu pada tanggal 1
Oktober 1989 dengan waktu operasional setiap hari dari pukul 05.00-17.00 WIB dan
kendaraan yang diijinkan melewati PPLB Entikong adalah kendaraan dinas dan
kendaraan pribadi. Kemudian pada tahap II pada tanggal 2 Januari 1993 dengan
kendaraan yang diijinkan yaitu kendaraan angkutan umum berupa taksi, bus carter
dan pariwisata serta bus ekspress antar negara. Dan tahap III pada tanggal 27 Mei
1995, pada tahun ini telah ditetapkan bahwa perdagangan internasional dapat
dilaksanakan melalui PPLB Entikong dan kendaraan yang diijinkan yaitu mobil
barang/truk, mobil box, mobil bak terbuka dan mobil tangki (Setda Sanggau : 2012,
15).
Sejalan dengan arah kebijakan pembangunan dan pengelolaan pos lintas
batas negara oleh BNPP, PLBN menjadi permulaan dalam pengembangan kawasan
perbatasan. Maka sejak bulan Desember 2017 PPLB Entikong telah berubah status
dengan ditetapkannya menjadi PLBN Entikong. Hal tersebut tentunya dengan
didukung adanya pembangunan baik fisik maupun non fisik yang menjadi lebih baik
dari kondisi sebelumnya (Ombudsman RI : 2017, 5).
Dengan melakukan peningkatan pembangunan semenjak tahun 2015, dan
hingga diakhir tahun 2016 menjadikan PLBN Entikong dapat diresmikan lengkap
dengan statusnya sebagai PLBN Terpadu dengan Jalur A. Terutama hal tersebut
dikarenakan PLBN Entikong sebagai jalur lintas batas negara yang sudah modern dan
memiliki fasilitas yang memadai dengan unsur pengawasan CIQS. Melalui PLBN
Entikong dengan fasilitas yang lengkap dengan Bea dan Cukai, Imigrasi, Karantina
dan Keamanan hal tersebut guna dalam rangka mewujudkan pengelolaan kondisi di
28
wilayah perbatasan semakin tertib, efisien, efektif dan aman dalam jangkauan negara
(BNPP RI, 2017 : 6).
Gambar 4 Gambar 5
Gedung PLBN Entikong Gerbang Jalur Kendaraan
Sumber : Dokumentasi Pribadi Penulis, 29 April 2019
Berdasarkan prosedur penggunaan dokumen yang berbeda tersebut, antara
lain Paspor dan PLB menunjukkan pelayanan pemberian fasilitas yang berbeda bagi
para pelintas batas. Paspor seperti yang sudah dimiliki oleh masyarakat umum suatu
negara, pada umumnya dibagian sampul berwarna hijau sedangkan PLB berwarna
merah oleh sebab itu masyarakat di wilayah perbatasan lebih mengenalnya dengan
sebutan “buku merah”. Untuk kepemilikan PLB terdapat ketentuan yang berlaku,
yaitu hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang berdomisili di sekitar wilayah
perbatasan. Ketentuan bagi wilayah domisili tersebut juga telah ditetapkan
sebelumnya pada perjanjian yang telah disepakati mengenai perbatasan tersebut.
Masyarakat yang ingin memiliki PLB juga sebelumnya harus sudah memiliki Kartu
Identitas Lintas Batas (KILB) yang pelayanannya diberikan oleh kantor Bea dan
Cukai (Sumarsono, 2012 : 12).
29
Tidak hanya Masyarakat di wilayah perbatasan yang menggunakan PLB
untuk keluar masuk di perbatasan Indonesia dan Malaysia, masyarakat yang tidak
berdomisili di wilayah perbatasan yang menggunakan Paspor juga mendapatkan
pelayanan di PLBN Entikong. Bagi masyarakat yang berdomisili di wilayah
perbatasan terutama Sekayam dan Entikong telah menjadi kesepakatan antara
Indonesia dan Malaysia untuk dapat menggunakan PLB. Namun, untuk memiliki
PLB masyarakat perbatasan diwajibkan untuk mengurus Kartu Identitas Lintas Batas
(KILB) terlebih dahulu di kantor Bea dan Cukai dengan melengkapi berbagai
persyaratan yang telah ditentukan. Setelah KILB telah diterbitkan masyarakat
kemudian dapat ke kantor Imigrasi untuk mengajukan pembuatan PLB (Sumarsono,
2012 : 13).
Sejak terbentuknya PLBN Entikong dan peningkatan berbagai fasilitas
pendukungnya maka wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia di Entikong sudah
semakin tertib, terutama untuk setiap aktivitas yang berhubungan dengan lintas batas.
Mulai dari pengawasan keamanan di wilayah perbatasan, pengawasan barang-barang
ilegal yang secara langsung dapat semakin menekan jumlah penyelundupan narkoba
agar semakin berkurang. Namun kebijakan yang belum diperbaharui dan PLBN
Entikong yang sudah dibangun tidak dapat sepenuhnya memfasilitasi aktivitas
perekonomian masyarakat perbatasan. Dengaan demikian, standar dan fungsinya
PLBN hanya melayani dan mengawasi para pelintas batas yang keluar dan masuk ke
Indonesia Wangke, 2017 : 25).
4.3. Instansi-Instansi Yang Mengelola Terminal Barang Internasional Entikong
Berbeda dengan PLBN sebagai pintu gerbang keluar masuk orang dan
barang namun hanya batas kepemilikan pribadi. Terminal Barang Internasional (TBI)
merupakan zona pendukung sarana prasarana penunjang bagi wilayah perbatasan
yang berfungsi sebagai pintu gerbang keluar masuk barang terutama barang-barang
dalam bentuk kargo. Maka dari itu perlu adanya instansi-instansi yang mengelola
secara terpadu, antara lain yaitu :
30
4.3.1 Bea dan Cukai Entikong
Bea Cukai atau yang secara resmi disebut dengan Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai (DJBC) merupakan salah satu instansi yang memegang peranan penting
dalam menjaga hak-hak keuangan negara dengan fungsi yang kompleks dan terus
berkembang sejalan dengan semakin tingginya aktivitas perdagangan internasional
dan tuntutan untuk memenuhi kepentingan nasional. Pada umumnya orang-orang
akan lebih mengenal Bea dan Cukai sebagai tempat yang dapat mewadahi fasilitas
perdagangan. Namun apabila mengacu dari visi misi Bea dan Cukai terdapat tugas
yang lebih kompleks yaitu penerimaan, pelayanan kepabeanan dan cukai, serta
pengawasan kepabeananan dan cukai.
Seiring dengan perkembangan zaman di mana era perdagangan bebas yang
semakin meningkat, industri dalam negeri akan semakin terbuka peluangnya untuk
bersaing di tingkat internasional. Sehingga tidak menutup kemungkinan industri
dalam negeri semakin meningkatkan performanya dalam memenuhi pasar domestik.
Di samping itu, semakin banyaknya aktivitas impor ke dalam negeri terutama barang
mentah atau bahan produksi diharapkan dapat mendorong indsutri nasional untuk
semakin kreatif dan berkembang. Peran Bea dan Cukai sangat besar dalam konteks
perdagangan dan daya saing global, terutama terkait dengan fasilitasi perdagangan
dan pengawasan terhadap hak-hak keuangan negara serta perlindungan kepada
lingkungan hidup, hal tersebut karena masyarakat sebagai kepentingan nasional. Di
era yang semakin berkembang dan meningkatnya kejahatan lintas negara menjadi
tantangan Bea dan Cukai untuk melindungi kepentingan nasional terutama terkait
dengan barang-barang yang dapat menjadi ancaman bagi keamanan nasional.
Mewujudkan Indonesia yang maju menjadi cita-cita yang membutuhkan peran Bea
dan Cukai dalam mengoptimalkan dan menghindari kebocoran penerimaan negara.
Kemudian terkait dengan lingkungan, Bea dan Cukai juga harus mampu berperan
untuk melindungi lingkungan dan masyarakat dari ancaman barang-barang tertentu
31
melalui instrumen cukai yang juga dapat memberikan kontribusi dalam penerimaan
negara guna menopang belanja pemerintah (KPPBC, 2017).
Sejalan dengan hal diatas, tentu saja tidak akan lepas dari aspirasi
masyarakat yang semakin dinamis, masyarakat sebagai salah satu aktor stakeholders
tentu memiliki banyak harapan kepada Bea dan Cukai untuk setiap pelayanan yang
diselenggarakan. Agar dapat terimplementasi dengan maksimal perlu adanya
komunikasi dan pengelolaan stakeholders melalui beberapa cara, antara lain :
penyelarasan tim kepemimpinan, melibatkan semua pemimpin perubahan baik formal
dan informal, ubah pola pikir untuk mengubah pola prilaku, komunikasi dan selalu
menekankan “kisah perubahan” yang memberikan inspirasi, bangun dukungan dari
semua pihak untuk perubahan dan reformasi utama yang dibutuhkan (Wangke, 2017 :
36).
Berhubungan dengan pelayanan sebagai bagian dari tugasnya, terdapat 4
tugas pokok Bea dan Cukai itu sendiri antara lain, yaitu :
1. Trade Facilitator
Bea dan Cukai memberikan fasilitas perdagangan melalui berbagai upaya
strategis, dengan tujuan untuk : meningkatkan kelancaran arus barang dan
perdagangan, menekan ekonomi biaya tinggi, menciptakan iklim perdagangan
yang kondusif, dan mencegah terjadinya perdagangan ilegal.
2. Industrial Assistance
Industrial Assistance yaitu mampu memberikan dukungan kepada industri dalam
negeri dalam rangka : melindungi industri dalam negeri dari masuknya barang-
barang secara ilegal, membantu meningkatkan daya saing industri dalam negeri,
mendukung peningkatan daya saing prroduk ekspor.
32
3. Community Protector
Bea dan Cukai sebagai aparatur pengawasan lalu lintas barang dalam rangka
melindungi kepentingan masyarakat melalui upaya-upaya : pencegahan terhadap
masuknya barang-barang yang membahayakan keamanan negara, pencegahan
barang-barang yang merusak kesehatan dan meresahkan masyarakat,
perlindungan masyarakat terhadap masuknya barang yang tidak memenuhi
standar.
4. Revenue Collector
Merupakan tugas yang tidak asing bagi masyarakat pada umumnya, yaitu
memungut penerimaan negara dalam rangka : mengoptimalkan penerimaan
negara melalui penerimaan Bea Masuk, Bea Keluar, Pajak Dalam Rangka Impor
(PDRI), Cukai, dan PPH hasil tembakau, mencegah terjadinya kebocoran
penerimaan Negara.
Sebagai perpanjangan tangan dari Kementerian Keuangan, untuk
mendukung agenda pembangunan nasional (Nawa Cita) maka saat ini titik berat tugas
Bea dan Cukai telah mengalami perubahan prioritas dari tugas utama sebagai
Revenue Collector menjadi Trade Facilitator, Industrial Assistance, Community
Protector dan yang terakhir Revenue Collector . Hal ini karena kebijakan kepabean
mulai diarahkan untuk fokus pada kelancaran arus barang, pembebasan/keringanan
Bea Masuk dan fasilitas Kawasan Berikat, sehingga dapat mengurangi ekonomi biaya
tinggi dan menciptakan iklim yang mendorong pertumbuhan industri dan investasi
(KPPBC, 2017).
Untuk mendukung agenda Nawa Cita, Bea dan Cukai memiliki dua landasan
sebagai tujuan keberhasilan, yaitu pertama optimalisasi penerimaan negara dan
reformasi administrasi perpajakan serta reformasi kepabean dan cukai, dan kedua
peningkatan pengawasan di bidang kepabean dan cukai serta perbatasan. Maka dari
itu Bea dan Cukai juga melakukan optimalisasi pengawasan khususnya di wilayah
perbatasan Entikong, terutama karena Entikong merupakan wilayah perbatasan yang
33
krusial dengan intensitas aktivitas keluar masuk orang dan barang yang tinggi
(Wangke, 2017 : 37).
Berhubungan dengan tugasnya sebagai community protector, trade
fasilitator, industrial assistance, dan revenue collector, Bea dan Cukai Entikong
memiliki sebuah visi yang menjadi landasan bagi tugas dan fungsinya yaitu :
“Menjadi KPPBC Perbatasan dengan Standar Internasional”. Sedangkan untuk
merealisasikan visi tersebut terdapat tiga misi yang menjadi acuan pelaksanaan tugas
tersebut yaitu pertama, menjaga perbatasan darat dan melindungi masyarakat
Indonesia dari penyelundupan dan perdagangan ilegal, kedua memberikan pelayanan
di perbatasan dibidang kepabeanan dan cukai secara cermat, tepat, dan akurat, dan
yang terakhir yaitu memfasilitasi perdagangan dan industri untuk mengembangkan
ekonomi di wilayah perbatasan.
Bea Cukai Entikong melakukan pengawasan terhadap barang-barang yang
keluar masuk dari wilayah perbatasan Entikong, terlebih apabila sampai terdeteksi
adanya barang-barang ilegal menjadi lebih ketat. Pengawasan tersebut ditunjang
dengan berbagai alat yang dimilki Bea Cukai Entikong, antara lain : 4 buah X-Ray, 2
buah Iron Scan, 6 ekor anjing pelacak (K-9). Peralatan tersebut yang sering
digunakan untuk melacak barang-barang ilegal seperti narkoba. Walaupun demikian
alat-alat tersebut masih terbatas, apabila pada waktu tertentu seperti hari Raya Idul
Fitri, Natal, Tahun Baru Cina akan terjadi peningkatan terhadap keluar masuk orang
dan barang, sehingga para pelintas batas harus bersabar dan mengantri untuk
pemeriksaan kendaraan dan barang-barang bawaan (Wangke, 2017: 26) .
Bea Cukai Entikong berupaya semaksimal mungkin untuk berkoordinasi
dengan seluruh instansi yang berwenang di wilayah perbatasan Entikong. Terutama
dengan Imigrasi, Karantina dan TINI/POLRI, sinergitas menjadi hal penting yang
perlu dipertahankan dan semakin ditingkatkan. Hal tersebut sehubungan dengan
usaha untuk meningkatkan pelayanan dan pengawasannya, di mana Bea Cukai
dituntut untuk meningkatkan kelancaran arus barang dalam rangka mendukung
34
industri dalam negeri. Melalui berbagai kegiatan seperti pelatihan-pelatihan dan rapat
koordinasi yang rutin dilakukan (Wangke, 2017 : 18).
Pendekatan keamanan tidak menjadi satu-satunya hal penting untuk
membangun dan mengelola perbatasan melainkan juga harus melalui pendekatan
kesejahteraan. Maka dari itu, Bea Cukai Entikong hadir dengan upaya meningkatkan
kemajuan ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan, salah satunya dalam berbagai
pelatihan dalam mengelola hasil pertanian dan kerajinan, dan juga dengan melayani
penerbitan KILB agar dapat digunakan untuk melakukan aktivitas perekonomian ke
Negara tetangga. Namun, apabila menggunakan KILB terdapat batas nominal yang
bisa dibawa, yaitu hanya RM 600 setiap bulannya (Wangke, 2017 : 104).
4.3.2 Imigrasi Entikong
Di wilayah perbatasan fungsi imigrasi yaitu sebagai penjaga pintu gerbang
negara dan bagian dari perwujudan kedaulatan atas wilayah Indonesia yang
memberikan pelayanan dan pengawasan terhadap lalu lintas orang yang melalui
wilayah perbatasan. Maka dari itu untuk meningkatkan pelayanan dan pengawasan
tersebut dibentuklah Tempat Pemeriksaan Imigrasi di PLBN Entikong maupun
Kantor Imigrasi yang letaknya tidak jauh dari gedung PLBN Entikong, sebagai
tempat untuk pemeriksaan dokumen keimigrasian bagi setiap orang yang masuk dan
keluar wilayah Indonesia dan tempat pelayanan untuk mengurus dokumen
keimigrasian (UU No.6 Tahun 2011. Pasal 3 Angka 3).
Berhubungan dengan arah kebijakan pengembangan kawasan perbatasan
yang tertuang dalam kebijakan Nawa Cita, yaitu mempercepat pembangunan
kawasan perbatasan di berbagai bidang, terutama ekonomi, sosial, keamanan serta
kawasan perbatasan menjadi pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan
dengan negara tetangga secara terintegrasi dan berwawasan lingkungan. Maka
terdapat 4 fungsi operasional Imigrasi dalam hal pelayanan dan pengawasannya untuk
mendukung Nawa Cita, (Santoso, 2004:22-25) yaitu :
35
1. Fungsi Pelayanan Keimigrasian
Merupakan fungsi penyelenggaraan pemerintahan atau administrasi negara yang
mencerminkan aspek pelayanan, di mana imigrasi melayani di bidang
keimigrasian bagik kepada WNI maupun WNA dalam bentuk pembuatan
dokumen perjalanan bagi WNI dan WNA.
2. Fungsi Penegakkan Hukum
Yang dimaksud adalah penegakkan hukum keimigrasian, imigrasi memiliki
wewenang di Indonesia kepada setiap orang yang berada di dalam wilayah
hukum Indonesia baik itu WNI atau WNA yang bersifat administratif maupun
proyustisia.
3. Fungsi Keamanan
Fungsi keamanan yang dimaksud berupa pencegahan dan penangkalan. Sebagai
institusi pertama dan terakhir yang menyaring kedatangan dan keberangkatan
orang asing ke dan dari wilayah RI dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan
negara.
4. Fungsi Fasilitator
Sebagai fasilitator yaitu untuk pembangunan kesejahteraan masyarakat dalam
bentuk pemberian jasa keimigrasian yang berdampak pada berjalannya roda
perekonomian di kawasan perbatasan, seperti pemberian izin keluar masuk bagi
WNI dan WNA untuk melakukan kegiatan perekonomian.
Sejalan dengan hal diatas, Imigrasi hadir di Entikong yang merupakan salah
satu wilayah perbatasan dengan akses terdekat untuk ke negara tetangga Serawak,
Malaysia. Kantor Imigrasi Entikong diresmikan pada tanggal 1 April 1992 dengan
status kelas III. Namun seiring berjalannya waktu hingga saat ini dengan berbagai
peningkatan infrastruktur, sarana prasarana maupun pelayanannya Kantor Imigrasi
Entikong telah memiliki status kelas II (Firdaus, 2018 : 64).
36
Sebelum tahun 2014 ketika belum ada perubahan mengenai kebijakan keluar
masuk orang dan barang, orang Malaysia bisa masuk dan keluar ke wilayah
perbatasan Entikong tanpa dokumen. Terlebih ketika pasar tradisional Entikong
masih di kelola langsung oleh masyarakat di wilayah perbatasan Entikong, hal
tersebut semakin memberikan peluang dan kebebasan yang luas bagi orang Malaysia
untuk datang dan melakukan kegiatan transaksi jual beli di pasar tradisional yang
dekat dengan PLBN Entikong. Namun seiring dengan perubahan di era
kepemimpinan Presiden Joko Widodo dengan adanya kebijakan Nawa Cita maka
kebijakan keimigrasian juga berubah, dengan berbagai alasan dilakukan penertiban
keimigrasian yang membuat orang Malaysia harus memenuhi dokumen resmi
apabila hendak keluar dan masuk wilayah perbatasan Entikong (Firdaus, 2018 : 65).
4.3.3 Balai Karantina Pertanian dan Hewan Entikong
Sebagai perpanjangan tangan dari Kementerian Pertanian, Balai Karantina
Pertanian dan Hewan Kelas I Entikong merupakan salah satu instansi yang bertugas
sebagai pelaksana kegiatan perkarantinaan hewan dan tumbuhan di wilayah
perbatasan Entikong. Instansi ini terus berupaya untuk melakukan pembenahan baik
secara internal maupun eksternal ke arah kebijakan pembangunan nasional (Nawa
Cita). Pembangunan perkarantinaan dilakukan dengan upaya melindungi pertanian
Indonesia khususnya di wilayah perbatasan untuk mewujudkan kelestarian ketahanan
dan keamanan pangan serta sumber daya hayati. Berhubungan dengan hal tersebut
maka karantina berperan melalui beberapa aspek, antara lain : pengamanan
pelestarian sumber daya hayati, pencegahan masuk/tersebarnya Hama dan Penyakit
Hewan Karantina (HPHK) dan Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
(OPTK), kelestarian lingkungan, keamanan pangan yang sehat, utuh dan halal (Badan
Karantina Pertanian, 2015).
Balai Karantina Pertanian dan Hewan di Entikong berada di Desa Entikong
Kecamatan Entikong Kabupaten Sanggau. Dalam susunan organisasinya Balai
Karantina Pertanian dan Perikanan Entikong dipimpin oleh seorang Kepala, kedua di
37
bantu oleh seorang Kepala Sub Seksi Pelayan Operasional dan Kepala Urusan Tata
Usaha, dan Ketiga yaitu penyelenggara operasional dilaksanakan oleh Kelompok
Jabatan Fungsional. Sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Karantina
Pertanian dan Hewan Entikong mengatasi resiko masuknya HPHK dan OPTK dari
Luar Negeri khususnya dari Sarawak, Malaysia di mana telah ditetapkan dan diawasi
pintu-pintu keluar dan masuk yang ada di Entikong maupun di Kalimantan Barat
lainnya (Karantina Pertanian dan Perikanan, 2019).
Sebagai instansi yang memiliki ketercapaian target untuk menjaga ketahanan
pangan yang bebas dari ancaman hama penyakit serta masuknya produk pertanian
impor yang tidak dikehendaki, maka Balai Karantina Pertanian dan Hewan Entikong
akan melakukan pengawasan yang efektif ditempat-tempat pemasukan dan
pengeluaran. Hal tersebut guna mengantisipasi semakin meningkatnya volume dan
frekuensi lalu lintas perdagangan produk pertanian. Terdapat beberapa tahap yang
dilakukan Balai Karantina dalam upaya pelaksanaan tugas dan fungsinya, namun
tahap penting yang akan dilakukan pada penyelenggaraan pada umumnya melalui
pelayanan sertifikasi 8P, yaitu : Pemeriksaan, Pengasingan, Pengamatan, Penahanan,
Perlakuan, Pemusnahan, Penolakan dan Pembebasan (Badan Karantina Pertanian,
2019).
1. Pemeriksaan
Seperti pemeriksaan pada umumnya yang akan melalui tahap pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan fisik merupakan serangkaian
kegiatan perjalanan/transport untuk melakukan tindakan pemeriksaan fisik
terhadap media pembawa HPHK dan OPTK dengan tujuan untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi adanya HPHK beresiko dan OPTK pembawa media lain yang
dilakukan diluar tempat masuk dan keluar yang ditetapkan. Pemeriksaan
laboratorium yaitu kegiatan penyediaan bahan pemeriksaan laboratorium
karantina tumbuhan dan karantina hewan.
38
2. Pengasingan
Pada tahap pengasingan kegiatan yang dilakukan yaitu perjalanan/transport untuk
mendukung tindakan pengasingan karantina hewan dan tumbuhan ke tempat
pengasingan.
3. Pengamatan
Tahap ini di mana akan dilakukan kegiatan pengamatan terhadap hewan dan
tumbuhan yang sudah dibawa saat kegiatan pengasingan.
4. Perlakuan
Kegiatan pada tahap perlakuan akan dilakukan pemenuhan kebutuhan bahan
yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan tindakan perlakuan untuk
membebaskan media pembawa dari HPHK.OPTK.
5. Pemusnahan
Merupakan kegiatan untuk memfasilitasi pelaksanaan tindakan pemusnahan, di
mana hewan dan tumbuhan yang telah melalui serangkaian tahap sebelumnya
telah terdeteksi sebagai pembawa HPHK/OPTK sesuai dengan peraturan dan
ketentuan yang berlaku.
Melalui serangkaian tahap diatas diharapkan pelayanan karantina di lapangan dapat
memberikan hasil uji yang efektif dan efisien sehingga dapat menjadi pertimbangan
teknis dalam penyusunan kebijakan.
Dalam proses penyelenggaran operasional perkarantinaan perlu adanya
dukungan dari fasilitas infrastruktur dan peralatan yang memadai. Maka dari itu Balai
Karantina Pertanian dan Hewan Entikong memiliki sarana prasarana penunjang
antara lain : Instalasi Karantina Hewan/Tumbuhan, Screen House, peralatan
laboratorium (Badan Karantina, 2019).
4.3.4 TNI/POLRI Entikong
PLBN Entikong menjadi tempat pemeriksaan orang dan barang pertama bagi
keamanan wilayah perbatasan Entikong. Namun hal tersebut tidaklah cukup, perlu
39
didukung pula dengan pos penjagaan TNI dan Kepolisian di Entikong dan Beduai.
Sesuai dengan pedoman pengelolaan PLBN di mana peran TNI/POLRI menjadi
peran pendukung pada pelayanan lintas batas Negara, peran pada pelaksanaan tugas
dan fungsi tersebut terutama bertujuan mendapatkan jaminan dukungan keamanan
fisik terutama ketika dilapangan. Maka dari itu berikut penjabaran peran TNI dan
POLRI (BNPP RI : 2017) :
1. TNI
a. Tugas TNI yaitu menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan
wilayah NKRI serta melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman dan
gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara
b. sekalipun demikian TNI tidak berperan secara langsung dalam pengelolaan
PLBN
c. TNI tetap dibutuhkan untuk melindungi kepentingan nasional dari ancaman
dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara yang mungkin terjadi di
PLBN atau wilayah perbatasan.
2. POLRI
a. Melindungi dan mengayomi masyarakat, serta memberikan pelayanan kepada
masyarakat dalam bentuk penjagaan dan penegakkan hukum secara hukum.
b. Dalam penyelenggaraan pelayanan lintas batas negara, khususnya pada
aktivitas di area gedung PLBN, POLRI sebagai unsur penegak hukum tidak
terlibat secara langsung.
c. POLRI bersifat pendukung.
d. Kepala bidang pengelolaan PLBN dapat meminta bantuan POLRI untuk
penanganan masalah-masalah pelanggaran hukum yang terjadi di PLBN dan
wilayah perbatasan.
Sebagaimana tugas dan fungsi TNI/POLRI seperti hal diatas, peran TNI dan
POLRI di wilayah perbatasan merupakan fungsi pendukung penyelenggaraan
pelayanan publik pada PLBN Entikong maupun segenap instansi yang berada
40
didalamnya. Berkaitan dengan pemeriksaan penumpang dan barang di luar PLBN
Entikong, TNI dan POLRI perlu adanya koordinasi yang intensif antara intansi-
instansi terkait, terutama mengingat pemeriksaan barang dan orang merupakan fungsi
imigrasi dan bea cukai. Kemudian untuk pemeriksaan di Beduai dilakukan agar
menjaga barang-barang impor yang menggunakan KILB tidak keluar dari kecamatan
Entikong dan Sekayam (Ombudsman RI KalBar : 2017,28).
4.4. Perjanjian dan Kerjasama Bilateral Indonesia-Malaysia Terkait Perbatasan
4.4.1 Border Crossing Agreement (BCA) 1984-Border Trade Agreement (BTA)
1970
Meskipun Indonesia dan Malaysia dipisahkan oleh garis imajiner kedaulatan
negara, kedua negara tersebut tetap berupaya agar aktivitas lintas batas dapat
berlangsung. Indonesia dan Malaysia menyepakati perjanjian lintas batas yang
ditandatangani oleh kedua negara tersebut pada tahun 1967 yaitu Basic Arrangement
on Border Crossing dan Basic Arrangements on Trade and Economic Relations. Pada
tahun 1984 seiring dengan perkembangan wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia
kedua negara tersebut menandatangani kesepakatan baru berupa Border Crossing
Agreement (BCA) yang sekaligus merupakan pencabutan BCA tahun 1967.
Berdasarkan BCA tahun 1984 pasal 2, aktivitas lintas batas yang dapat dilakukan
oleh masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia adalah kunjungan keluarga, kegiatan
sosial/hiburan, keperluan keagamaan, usaha/berdagang, tugas pemerintah dan
keperluan lain yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Namun setelah BCA pada tahun 1970, Indonesia dan Malaysia merevisi dan
menyepakati BCA 1967 menjadi Border Trade Agreement (BTA). BTA tersebut
merujuk pada BCA 1967 yang disepakati sebelumnya, perjanjian ini kemudian
menjadi landasan hukum bagi pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk mengatur
aktivitas perdagangan lintas batas di perbatasan kedua negara. Melalui perjanjian ini
masyarakat di wilayah perbatasan dapat melakukan perdagangan lintas batas, namun
hanya senilai RM 600 per orang dalam satu bulannya dan komoditas yang
41
diperdagangkan tersebut tidak dikenakan beban pajak ketika dipemeriksaan bea
cukai. Untuk tahun-tahun sebelumnya perjanjian ini memungkinkan pedagang untuk
melakukan transaksi perdagangan lintas batas tersebut seperti komoditas hasil olahan
dari bumi, akan tetapi saat ini dibatasi yang dibebaskan hanya barang-barang sebatas
kebutuhan pribadi yang tidak untuk diperjualbelikan.
Hingga saat ini BTA 1970 masih belum terdapat hasil kesepakatan dari
peninjauan kembali, penerapannya masih berdasarkan kesepakatan-kesepakatan lama.
Pembatasan diatas mengakibatkan adanya pelaku pengusaha dari dalam maupun luar
perbatasan yang memanfaatkan fasilitas ini dengan berbelanja ke Malaysia dan
menumpuk barang dagangannya di area tanpa pengawasan penjaga perbatasan yang
nantinya akan diangkut ke daerah tujuan. Barang-barang tersebut tidak hanya berupa
barang kebutuhan pokok, melainkan berkembang contohnya seperti LPG. Maka dari
itu seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat dan realita di
lapangan yang semakin beragamnya kebutuhan masyarakat untuk menggunakan
fasilitas diperbatasan, tanpa adanya hasil kesepakatan dari peninjauan kembali BTA
1970 sudah tidak relevan untuk digunakan. Tanpa adanya beban pajak memberikan
keuntungan bagi para pelaku pengusaha namun kerugian bagi negara. Maka dari itu
dari tahun 2014 pada masa pemerintahan Joko Widodo dilakukan pembangunan
infrastruktur di wilayah perbatasan secara merata dengan harapan adanya perubahan
bagi penerapan perdagangan lintas batas tersebut.
4.4.2 Kerjasama BIMP-EAGA
Kerjasama BIMP-EAGA merupakan kerjasama sub regional yang dibentuk
pada tanggal 26 Maret 1994 di Davao City, Filipina dan dilakukan oleh negara-negara
dalam kerangka BIMP-EAGA (Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipina- East ASEAN
Growth Area). Organisasi ini dibentuk dengan latar belakang yang sama dari keempat
negara untuk mempercepat pembangunan sosio-ekonomi secara geografis di daerah
terpencil, khususnya yang kurang berkembang di negara-negara anggotanya.
Kerjasama sub regional ini berfokus pada area pembangunan yang dinilai penting
42
untuk dilakukan yaitu daerah perbatasan yang menjadi wilayah padat akan aktivitas
perekonomian hingga pariwisata. Terlebih dengan kondisi geografis yang saling
berdekatan antar negara anggota semakin memudahkan peluang kerjasama untuk
mengatasi masalah kesenjangan pembangunan ekonomi antar wilayah.
Semenjak tahun 2001 yang menjadi prioritas kerjasama ini yaitu pada bidang
: perdagangan, perhubungan laut, energi, dan masalah ketenagakerjaan. Maka dari itu
pada umumnya kerjasama ini dilaksanakan dalam bentuk menggerakkan para pelaku
usaha untuk menjadi motor penggerak kerjasama, kemudian pemerintah hanya
bertindak sebagai regulator dan fasilitator. Masing-masing negara merangkul para
pelaku usaha yang nantinya akan berinvestasi seputar kegiatan perekonomian di
daerah perbatasan negara-negara BIMP-EAGA. Kerjasama ini juga diintegrasikan
melalui bidang transportasi darat dan laut yang menjadi akses utama keempat negara
anggota.
Pada awal era kerja sama BIMP-EAGA, terdapat kesepakatan yang
mengakomodir bentuk perdagangan tradisional yang telah lama dilakukan disekitar
kawasan perbatasan. Kesepakatan tersebut yaitu bentuk perdagangan barter (barter
trade), di mana masyarakat dapat melakukan kegiatan perdagangan melalui alat
barter atau kegiatan tukar menukar barang dan jasa maupun hasil bumi.
4.4.3 Kerjasama Sosek Malindo
Sosek Malindo merupakan salah satu hasil kesepakatan dari perjanjian BTA
yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1970. Kerjasama ini berfokus
pada sosial dan ekonomi yang ada di wilayah perbatasan salah satu point
kesepakatannya yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat kedua daerah melalui
kerjasama Sosek Malindo. Terdapat tiga misi untuk mencapai visi dari kerjasama
Sosek Malindo, misi tersebut, yaitu :
1. Menciptakan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang kondusif bagi
kesejahteraan masyarakat masing-masing daerah.
43
2. Meningkatkan kerjasama ekonomi yang berkeadilan dan saling menguntungkan
serta berorientasi pada kelestarian lingkungan.
3. Meningkatkan kerjasama sosial budaya lewat peningkatan kualitas dan
pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) di kedua wilayah perbatasan.
Fokus untuk mempercepat pembangunan di wilayah perbatasan, pada tahun
1985 pemerintah Indonesia dan Malaysia menyepakati kerjasama percepatan
pembangunan di wilayah perbatasan kedua negara dengan menumbuhkan kerjasama
pembangunan Sosial dan Ekonomi Malaysia-Indonesia, yang sampai sekarang masih
terus berlangsung. Maka dari itu pada tingkat daerah di Kalimantan Barat sendiri
telah di bentuk Kelompok Kerja Sosek Indonesia berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat No. 408 Tahun 1985 tanggal 21
Desember 1985. Namun mengalami perubahan pada tahun 1988 dan disempurnakan
kembali dengan adanya Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 4 Tahun
1999 tanggal 11 Januari 1999. Hasil penyempuraan tersebutlah yang masih
digunakan hingga sekarang.
Terdapat beberapa sasaran yang menjadi acuan bagi mekanisme kerjasama
Sosek Malindo. Sasaran tersebut mulai dari menentukan infrastruktur pembangunan
bagi kegiatan sosial budaya, administrasi, dan kegiatan sosial ekonomi lainnya.
Kemudian sasaran tersebut juga merealisasikan satu cara agar implikasi pendanaan
untuk pembangunan di wilayah perbatasan sehingga memungkinkan untuk dibiayai
oleh kedua belah pihak.
Melalui keseluruhan dari Bab IV menunjukkan bahwa kerjasama yang
berlangsung antara Indonesia dan Malaysia yang berfokus pada pembangunan bagi
wilayah perbatasan khususnya di bidang ekonomi, sosial, pariwisata dan budaya
terdiri dari berbagai kesepakatan. Kerjasama tersebut menjadi salah satu pemicu bagi
negara Indonesia untuk semakin meningkatkan pelayanan dan pengawasan bagi
wilayah perbatasan, khususnya di wilayah perbatasan Entikong. Wilayah perbatasan
Entikong khususnya dari tahun 2014 semakin memiliki peningkatan berbagai
44
infrastruktur, terlebih dengan didukung instansi-instansi yang berwenang sehingga
dapat berperan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing menuju
pembangunan wilayah perbatasan. Pembangunan wilayah perbatasan tentu tidak
dapat dilepaskan dari sarana prasarana pendukung yang mampu menopang kegiatan
perekonomian masyarakat perbatasan, yaitu salah satu yang terpenting yaitu Terminal
Barang Internasional Entikong. Terminal Barang Internasional Entikong merupakan
fasilitas utama sebagai tempat bongkar muat barang yang menjadi penopang kegiatan
perekonomian di wilayah perbatasan Entikong.