Upload
truongnga
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo
berkedudukan di jalan Prof. Dr. H. Aloei Saboe Nomor 91 RT 1 RW 4 Kelurahan
Wongkaditi Timur Kecamatan Kota Utara Gorontalo Provinsi Gorontalo, Terletak
diarea lahan seluas 54.000 M2.
Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo
dibangun pada tahun 1926 dan dimanfaatkan sejak tahun 1929 dengan nama RSU
Kotamadya gorontalo. Semula hanya satu gedung yang terdiri dari 4 ruangan yaitu
: Apotik, Poliklinik dan Rawat inap.
Pada tanggal 17 September tahun 1987 berumah nama menjadi
Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Gorontalo yang diambil
dari nama seorang perintis kemerdekaan Putera Daerah yang diabadikan sebagai
penghargaan atas pengabdiannya di bidang kesehatan dan ditetapkan berdasarkan
SK Walikotamadya Gorontalo Nomor 97 Tahun 1987. Tahun 1991 dan tahun
1992 sitambah Spesialis Mata dan tahun 1995 ditambah Spesialis Telinga, Hidung
dan Tenggorokan. Pada tanggal 31 Agustus 1995 oleh Pemerintah Daerah Tingkat
II (Walikotamadya Gorontalo) diusulkan kenaikan kelas Rumah Sakit Umum
Daerah Prof Dr.H. Aloei Saboe dari kelas C ke kelas B non Pendidikan.
Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Walikota Gorontalo Nomor : 315
tanggal 25 Maret tahun 2002 Rumah Sakit Umum Prof.Dr.H.Aloei Saboe
merupakan bagian dari Organisasi Tata Kerja Pemerintah Kota Gorontalo yaitu
Badan Pengelola kelas Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr.H. Aloei Saboe Kota
Gorontato. Pada tanggal 29 Januari 2009 Rumah Sakit Prof. Dr.H. Alaei Saboe
Kota Gorontalo ditetapkan sebagai Rumah Sakit kelas B berdasarkan SK
MENKES Nomor 084 MENKES/SK/I/2009.
Status pengelolahan Rumah Sakit Prof. Dr.H. Alaei Saboe sejak bulan
Desember 2009 telah ditetapkan sebagai penyelenggaraan pada pengelolahan
keuangan BLU Daerah (PPK-BLUD) melalui surat keputuan Walikota Gorontalo
Nomor : 318Tahun 2009 tanggal 30 Desember 2009.
Rata–rata kunjungan perhari di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota
Gorontalo sebanyak 365 pasien/hari untuk kunjungan poliklinik, dan jumlah
tempat tidur di Rumah Sakit Umum Daerah RSU Prof.Dr.H. Aloei Saboe
Gorontalo saat ini 300 tempat tidur untuk rawat inap dengan perincian sebagai
berikut : Klas III 150 tempat tidur, Klas II 90 tempat tidur, Klas I 40 tempat tidur,
VIP 20 tempat tidur dengan rata – rata tingkat hunian (Bed Occupancy Ratio /
BOR) tahun 2012/2013 = 89 %.
Sementara untuk ruangan G2(Bedah Atas) sendiri terbagi menjadi 2
kelas, yaitu kelas II dan kelas III yang masing-masing mempunyai 10 kamar di
tiap kelas. Adapun pasien yang dirawat inap terdiri dari pasien pre dan post
operasi termasuk salah satunya appendictomy. Menurut laporan bulanan untuk
periode januari – april tahun 2013 yang melakukan operasi appenddicitis
sebanyak 129 pasien.
4.2 Hasil Penelitian
Pengumpulan data pada penelitian Analisis Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses penyembuhan luka post appendictomy di Rumah Sakit
Umum Daerah Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo tahun 2013, dilaksanakan
pada tanggal 14 Mei – 30 Mei 2013. Penelitian ini dilaksanakan di ruang G2
(bedah atas) kelas III RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo sehingga
keadaan seluruh responden dapat disamakan dari segi faktor yang tidak diteliti
seperti faktor sirkulasi dan oksigenasi, iskemia, dan benda asing. Penelitian
dilakukan dengan menggunakan Kuesioner yang secara langsung diberikan
kepada responden yang bersedia dan menandatangani Informed Consent (Lembar
Persetujuan Responden) sekaligus dengan mengobservasi keadaan luka
responden.
Sampel penelitian secara keseluruhan berjumlah 38 responden. Data
yang diperoleh dari pengisian kuesioner oleh responden selanjutnya dilakukan
pengolahan data yang hasilnya disajikan dalam bentuk analisis univariat
(Distrisbusi Frekuensi Responden), analisis bivarat ( pengaruh variabel
independent terhadap variabel dependent), dengan menggunakan Uji Chi-Square.
Dan analisis multivariat ( analisis besarnya pengaruh dari masing-masing variabel
Independent terhadap variabel dependent) dengan menggunakan uji regresi.
4.2.1 Analisis Univariat
Analisis univariat pada penelitian ini bertujuan untuk melihat
karakteristik responden, distribusi frekuensi dari variabel independent maupun
variabel dependent pada pasien Post appendictomy.
Adapun penjelasannya dapat digambarkan pada tabel sebagai berikut :
Tabel 4.1
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD Prof. Dr. Aloei
Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013
Jenis Kelamin Jumlah
N %
Laki-laki 16 42.1
Perempuan 22 57.9
Total 38 100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 4.1 di atas, dapat diketahui bahwa responden
dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 16 responden (42.1 %), sedangkan
responden dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 22 responden (57.9%).
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di RSUD Prof. Dr. Aloei
Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013
Umur Jumlah
N %
12-25 Tahun 18 47.4
26-45 Tahun 7 18.4
46-65 Tahun 13 34.2
Total 38 100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa responden dengan
umur 12-25 tahun (remaja) didapatkan sebanyak 18 responden (47.4%),
responden dengan umur 26-45 tahun (dewasa) sebanyak 7 responden (18.4%), dan
responden dengan umur 46-65 tahun (usia lanjut) sebanyak 13 responden (34.2
%).
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan IMT Responden di RSUD Prof. Dr.
Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013
IMT Jumlah
N %
IMT > 27 15 39.5
IMT ≤ 27 23 60.5
Total 38 100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan responden dengan IMT > 27
(obesitas) sebanyak 15 responden (39.5%), sedangkan responden dengan IMT ≤
27 (tidak obesitas) sebanyak 23 responden (60.5%).
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok Responden di
RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013
Kebiasaan Merokok Jumlah
N %
Perokok 13 34.2
Bukan Perokok 25 65.8
Total 38 100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan responden yang memiliki
kebiasaan merokok (perokok) sebanyak 13 responden (34.2%), sedangkan
responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok (bukan perokok) sebanyak 25
responden (65.8%)
Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Nutrisi Responden di RSUD Prof.
Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013
Nutrisi Jumlah
N %
Kurang 20 52.6
Baik 18 47.4
Total 38 100
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebagian responden
memiliki nutrisi yang baik sebanyak 18 responden (47.4%), sedangkan sebagian
lagi memiliki nutrisi yang kurang baik sebanyak 20 responden (52.6%).
Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Mobilisasi Dini Responden di
RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013
Mobilisasi Dini Jumlah
N %
Kurang 16 42.1
Baik 22 57.9
Total 38 100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan bahwa responden dengan
mobilisasi yang baik sebanyak 16 (42.1%), sedangkan responden dengan
mobilisasi yang kurang sebanyak 22 responden (57.9%).
Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penyembuhan Luka di RSUD Prof.
Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013
Penyembuhan Luka Jumlah
N %
Sembuh 21 55.3
Tidak Sembuh 17 44.7
Total 38 100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa responden dengan luka
sembuh sebanyak 21 responden (55.3%) sedangkan responden dengan luka tidak
sembuh sebanyak 17 responden (44.7%).
4.2.2 Analisis Bivariat
Analisis Bivariat dilakukan untuk melihat pengaruh variabel
Independent (Umur, IMT, Kebiasaan Merokok, Nutrisi, dan Mobilisasi) terhadap
variabel Dependent (Proses Penyembuhan Luka) pada pasien post appendiktomy
di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo, maka digunakan uji chi-square
dengan tingkat kemaknaan α = 0,05, maka ketentuan bahwa pengaruh variabel
Independent (Umur, IMT, Kebiasaan Merokok, Nutrisi, dan Mobilisasi) memiliki
pengaruh terhadap variabel Dependent (Proses Penyembuhan Luka) atau H0
ditolak dan Ha diterima apabila P Value < 0,05.
1. Pengaruh Umur Terhadap Proses Penyembuhan Luka Post Appendiktomy
Berdasarkan hasil analisis bivariat, pengaruh umur terhadap proses penyembuhan
luka post appendictomy tidak layak untuk diuji chi-square terdapat 2 sel (33.3%)
yang memiliki nilai expectednya kurang dari 5 (lima), sehingga dilakukan
penggabungan sel yang dapat dilihat pada tabel 4.8
Tabel 4.8
Pengaruh Umur Terhadap Proses Penyembuhan Luka Post Appendictomy di
RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013
Umur
Responden
Penyembuhan Luka Total P Nilai RO
(Rasio
Odds) Sembuh Tidak Sembuh
n % n % n %
12-25
Tahun dan
26-45
Tahun
18 85,7 7 41,2 25 65.8 0.004 0.11
46-65
Tahun
3 14.3 10 58.8 13 34.2
Total 21 100 17 100 38 100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 4.8 diatas, menunjukkan dari seluruh sampel yang
berjumlah 38 responden, responden yang mengalami luka sembuh pada umur 12-
25 tahun dan 26-45 tahun yaitu sebanyak 18 responden (85.7%) sedangkan
responden dengan umur 12-25 tahun dan 26-45 tahun yang mengalami luka tidak
sembuh sebanyak 7 responden (41.2%). Sementara responden yang mengalami
luka sembuh pada umur 46-65 tahun sebanyak 3 responden (14.3%), sedangkan
respoden yang mengalami lika tidak sembuh pada usia 46-65 tahun sebanyak 10
responden (58.8%).
Berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh nilai p value = 0.004 yang
berarti lebih kecil dari α = 0.05 dengan demikian Ha diterima dan H0 ditolak,
artinya umur mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penyembuhan luka.
Nilai RO (Rasio Odds) sebesar 0.11 dengan IK 95% 0.02-0.55, artinya
pasien dengan umur 46-65 tahun mempunyai kemungkinan 0.11 kali untuk
mengalami luka tidak sembuh dibandingkan pasien dengan umur 12-25 tahun dan
26-45 tahun.
2. Pengaruh IMT (obesitas) terhadap penyembuhan luka post appendiktomy,
dapat dilihat pada tabel 4.9.
Tabel 4.9
Pengaruh IMT terhadap Proses Penyembuhan Luka Post Appendictomy di RSUD
Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013
IMT Penyembuhan Luka P RO
(Rasio
Odds) Sembuh Tidak Sembh Total
n % n % n %
> 27 3 14.3 12 70.6 15 39.5 0.000 14.40
≤ 27 18 85.7 5 29.4 23 60.5
Total 21 100 17 100 38 100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 4.9 di atas, menunjukkan dari seluruh sampel yang
berjumlah 38 responden, responden yang mengalami luka sembuh dengan IMT >
27 (Obesitas) sebanyak 3 responden (14.3 %) sedangkan responden dengan IMT >
27 (Obesitas) yang mengalami luka tida sembuh sebanyak 12 responden (70.6%).
Responden yang mengalami luka sembuh dengan IMT ≤ 27 (Tidak Obesitas)
sebanyak 18 responden (85.7%) sedangkan responden dengan IMT ≤ 27 (Tidak
Obesitas) yang mengalami luka tidak sembuh sebanyak 5 responden (29.4%).
Berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0.000 yang berarti
lebih kecil dari α = 0.05 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ha diterima
dan H0 ditolak, artinya IMT mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
penyembuhan luka.
Nilai RO (Rasio Odds) sebesar 14.40 dengan IK 95% 2.88-71.82,
artinya pasien dengan IMT > 27 (obesitas) mempunyai kemungkinan 14.40 kali
untuk mengalami luka tidak sembuh dibandingkan pasien dengan IMT ≤ 27 (tidak
Obesitas).
3. Pengaruh kebiasaan merokok terhadap proses penyembuhan luka, dapat
dilihat pada tabel 4.10
Tabel 4.10
Pengaruh Kebiasaan Merokok terhadap Proses Penyembuhan Luka Post
Appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013
Kebiasaan
Merokok
Penyembuhan Luka p RO
(Rasio
Odds) Sembuh Tidak Sembh Total
N % n % n %
Perokok 4 19.0 9 52.9 13 42.1 0.029 4.78
Bukan
perokok
17 81.0 8 47.1 25 57.9
Total 21 100 17 100 38 100
Sumber : data primer
Berdasarkan tabel 4.10 di atas menunjukkan bahwa dari seluruh
sampel yang berjumlah 38 responden, responden dengan kategori perokok yang
mengalami luka sembuh sebanyak 4 responden (19.0%), dan responden dengan
kategori perokok yang megalami luka tidak sembuh sebanyak 9 responden
(552.9%) sedangkan responden dengan kategori bukan perokok yang mengalami
luka sembuh sebanyak 17 responden (81.0%) dan responden dengan kategori
bukan perokok yang mengalami luka tidak sembuh sebanyak 8 responden
(47.1%).
Berdasarkan hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p = 0.029
yang berarti lebih kecil dari α = 0.05 dengan demikian dapat disimpulkan Ha
diterima dan H0 ditolak, artinya ada pengaruh kebiasaan merokok terhadap proses
penyembuhan luka.
Nilai RO (Rasio Odds) sebesar 4.78 dengan IK 95% 1.12-20.31,
artinya pasien yang perokok mempunyai kemungkinan 4.78 kali untuk mengalami
luka tidak sembuh dibandingkan pasien dengan kategori bukan perokok.
4. Pengaruh nutrisi terhadap proses penyembuhan luka, dapat dilihat pada
tabel 4.11
Tabel 4.11
Pengaruh Nutrisi terhadap Proses Penyembuhan Luka Post Appendictomy di
RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013
Nutrisi Penyembuhan Luka p RO
(Rasio
Odds) Sembuh Tidak Sembh Total
N % n % n %
Kurang 3 14.3 15 88.2 18 47.4 0.000 45.00
Baik 18 85.7 2 11.8 20 52.6
Total 21 100 17 100 38 100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 4.11 di atas, menunjukkan dari seluruh sampel yang
berjumlah 38 responden, responden yang mengalami luka sembuh dengan nutrisi
yang baik sebanyak 18 responden (85.7%) dan responden dengan nutrisi yang
baik yang mengalami luka tidak sembuh sebanyak 2 responden (11.8%).
Sedangkan responden yang mengalami luka sembuh dengan nutrisi yang kurang
sebanyak 3 responden (14.3%) dan responden dengan nutrisi yang kurang yang
mengalami luka tidak sembuh sebanyak 15 responden (88.2%).
Berdasarkan hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p value =
0.000 yang berarti lebih kecil dari α = 0.05 dengan demikian dapat disimpulkan
Ha diterima dan H0 ditolak, artinya nutrisi mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap penyembuhan luka.
Nilai RO (Rasio Odds) sebesar 45.00 dengan IK 95% 5.09-199.48,
artinya pasien dengan nutrisi yang kurang mempunyai kemungkinan 45 kali untuk
mengalami luka tidak sembuh dibandingkan pasien dengan nutrisi yang baik.
5. Pengaruh mobilisasi dini terhadap proses penyembuhan luka, dapat dilihat
pada tabel 4.12
Tabel 4.12
Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap Proses Penyembuhan Luka Post
Appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013
Mobilisasi
Dini
Penyembuhan Luka p RO
(Rasio
Odds) Sembuh Tidak Sembh Total
n % n % n %
Kurang
Baik
3 14.3 13 76.5 16 42.1 0.000 19.50
Baik 18 85.7 4 23.5 22 57.9
Total 21 100 17 100 38 100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 4.12 di atas menunjukkan dari seluruh sampel yang
berjumlah 38 responden, responden dengan mobilisasi baik yang mengalami luka
sembuh sebanyak 18 responden (85.7%) dan responden dengan mobilisasi baik
yang mengalami luka tidak sembuh sebanyak 4 responden (23.5%), sedangkan
responden dengan mobilisasi kurang baik yang mengalami luka sembuh sebanyak
3 responden (14.3%) dan responden dengan mobilisasi kurang baik yang
mengalami luka tidak sembuh sebanyak 13 responden (76.5%).
Berdasarkan hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p value =
0.000 yang berarti lebih kecil dari α = 0.05 dengan demikian dapat disimpulkan
Ha diterima dan H0 ditolak, artinya mobilisasi dini mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap penyembuhan luka.
Nilai RO (Rasio Odds) sebesar 19.50 dengan IK 95% 3.71-102.37,
artinya pasien dengan mobilisai dini yang kurang baik mempunyai kemungkinan
20 kali untuk mengalami luka tidak sembuh dibandingkan pasien dengan
mobilisai dini yang baik.
4.2.3 Analisis Multivariat
1. Faktor yang paling berpengarug (Dominant) terhadap proses penyembuhan
luka post appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo
Tabel 4.13
Analisi Multivariat
Variabel B S.E Wald df Sig.
Nutrisi -3.714 1.210 9.415 1 .002
Mobilisasi Dini -2.858 1.215 5.530 1 .019
Berdasarkan tabel 4.13 di atas, dapat diketahui bahwa dengan analisis
multivariat (metode Backward LR), hanya menyisakan nutrisi dan mobilisasi dini
yang merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap proses penyembuhan
luka post appendictomy dengan signifikansi Wald yang paling besar masing-
masing adalah nutrisi (9.415) dan mobilisasi dini (5.530). dengan demikian dapat
dikatakan bahwa nutrisi merupakan faktor yang paling berpengaruh (dominant)
terhadap proses penyembuhan luka post appendictomy.
2. Menilai kulitas rumus yang diperoleh dari analisis multivariat
Dari hasil analisis multivariat, didapatkan persamaan untuk memprediksikan
seorang pasien untuk mengalami luka tidak sembuh sebagai berikut :
P = 1/ (1+ e –y
), dimana :
P : probabilitas untuk terjadinya suatu kejadian
e : bilangan natural = 2,7
y : konstanta + a1x1+a2x2+...+aixi
a : nilai koefisien tiap variabel
x : nilai variabel bebas
(Rumus umum untuk memprediksi variabel terikat)
Kualitas rumus yang diperoleh dapat dinilai berdasarkan Diskriminasi dan
kalibrasi
a. Diskriminasi
Diskriminasi dilihat berdasarkan Area Under Curve (AUC) pada analisis ROC.
Suatu rumus dikatakan memiliki diskriminasi yang baik jika nilai AUC semakin
mendekati angka 1. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.15.
Tabel 4.14
Area Under Curve
Area Std.Errora Asymptotic
Sig.b
Asymptotic 95% Confidence
Interval
Lower Bound Upper Bound
.063 .043 .000 .000 1.000
Berdasarkan tabel 4.14 di atas, dapat diketahui nilai AUC yang diperoleh adalah
0.063, dengan demikian, dapat dikatakan persamaan yang diperoleh memiliki
diskriminasi yang lemah.
b. Kalibrasi
Kalibrasi dinilai berdasarkan uji Hosmer and Lameshow Test. Suatu rumus
dikatakan memiliki kalibrasi yang baik apabila nilai p > 0.05 pada uji Hosmer and
Lameshow Test. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.16.
Tabel 4.15
Hosmer and Lameshow Test
Step Chi-Square Df Sig
1
2
3
4
5.521
3.121
2.557
1.357
6
5
3
2
.512
.681
.465
.507
Berdasarkan tabel 4.15 di atas, dapat diketahui bahwa nilai p pada uji
Hosmer and Lameshow Test yang diperoleh adalah 0.507. dengan demikian dapat
dikatakan persamaan yang diperoleh memiliki kalibrasi yang baik.
4.3 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian dan membandingkan dengan teori yang ada dapat
dikemukakan bahwa :
4.3.1 Pengaruh Umur terhadap proses penyembuhan luka post appendictomy
Dari hasil analisis bivariat didapatkan hasil dari seluruh sampel yang
berjumlah 38 responden, menunjukkan sebagian besar responden yang mengalami
luka sembuh pada umur 12-25 tahun dan 26-45 tahun yaitu sebanyak 18
responden (85.7%) sedangkan sebagian kecilnya adalah responden yang
mengalami luka sembuh pada umur 46-65 tahun sebanyak 3 responden (14.3%).
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa masih ada 7
responden atau sebesar 41.2 % yang mengalami luka tidak sembuh pada usia 12-
25 tahun dan 26-45 tahun dan terdapat 3 responden (14.3%) yang mengalami luka
sembuh pada usia 46-65 tahun, sehingga peneliti berasumsi bahwa masih adanya
luka tidak sembuh bukan hanya dipengaruhi oleh faktor umur namun bisa juga
dari faktor obesitas dimana pada pasien yang mengalami obesitas, jaringan lemak
sangat rentan terhadap terjadinya infeksi. Selain itu pasien obesitas sering sulit
dirawat karena tambahan berat badan, pasien bernafas tidak optimal saat berbaring
miring sehingga mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi pulmonal pasca
operasi, kebiasaan merokok dimana pasien dengan riwayat rokok sering
mengalami gangguan vaskuler, terutama terjadi arterosklerosis pembuluh darah.
Hal ini mempengaruhi pada suplai darah ke daerah luka, selain itu, nutrisi dan
mobilisasi dini yang kurang dapat juga mempengaruhi proses penyembuhan luka.
Begitu pula dengan adanya luka sembuh pada usia 46-65 tahun yang seharusnya
pada usia tersebut mengalami luka tidak sembuh, namun karena ada faktor lain
seperti nutrisi yang baik, mobilisasi yang baik, bukan perokok, dan tidak obesitas,
sehingga membuat responden dengan usia tersebut mengalami luka sembuh. Hal
ini dapat berlaku sebaliknya.
Dan dari hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh umur
terhadap proses penyembuhan luka post appendictomy. Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh peneliti di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo
menunjukkan bahwa umur pasien 46-65 tahun akan mempengaruhi penyembuhan
luka dimana pasien dengan umur 46-65 tahun memiliki kemungkinan 0.11 kali
untuk mengalami luka tidak sembuh dibandingkan dengan pasien yang berumur
12-25 tahun dan 26-45 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia 46-65 tahun pasien
telah mengalami penuaan sel dan penurunan frekuensi sel epidermis yang
seringkali membuat lamanya pembentukan sel-sel baru untuk penyembuhan luka
pasien. Di sini kita dapat melihat melihat ada pengaruh umur terhadap proses
penyembuhan luka sehingga pasien dengan umur 12-25 tahun dan 26-45 tahun
cenderung lebih cepat penyembuhannya dibandingkan dengan umur 46-65 tahun.
Hal ini didukung oleh beberapa pendapat para ahli bahwa seorang
yang mengalami usia menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup yang
terakhir, pada masa ini akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial,
sampai tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi sehingga bagi kebanyakan
orang masa tua itu merupakan masa yang kurang menyenangkan (Haspari, 2008).
Usia merupakan salah satu faktor menentukan proses penyembuhan luka. Penuaan
dapat mengganggu semua tahap penyembuhan luka karena terjadi perubahan
vaskuler yang mengganggu ke daerah luka, penurunan fungsi hati mengganggu
sintesis faktor pembekuan, respon inflamasi lambat, pembentukan antibodi dan
limfosit menurun, jaringan kolagen kurang lunak dan jaringan parut kurang elastis
(Potter & Perry, 2010).
Kulit utuh pada dewasa muda yang sehat merupakan suatu barier yang
baik terhadap trauma mekanis dan juga infeksi, begitupun yang berlaku pada
efisiensi sistem imun, sistem kardiovaskuler, dan sistem respirasi yang
memungkinkan penyembuhan luka terjadi lebih cepat. Seiring dengan berjalannya
usia perubahan yang terjadi dikulit yaitu frekuensi penggantian sel epidermis,
respon inflamasi terhadap cedera, persepsi sensoris, proteksi mekanis, dan fungsi
barier kulit. Beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah naiknya
frekusensi gangguan patologis yang berhubungan dengan usia yang dapat
memperlambat penyembuhan luka melalui berbagai mekanisme seperti status
nutrisi yang buruk, defisiensi vitamin dan mineral, anemia, adanya gangguan
pernafasan yang menyebabkan penurunan suplai oksigen sehingga buruknya
suplai darah dan hipoksia disekitar luka, gangguan kardiovaskuler seperti
arteriosklerosis, diabetes, gagal jantung kongestif, selain itu, adanya arthritis
rheumatoid dan uremia (Morison, 2004).
Pengaruh umur terhadap penyembuhan luka post operasi juga pernah
diteliti oleh Hayati (2010) di IRNA Bedah RSUP DR. M. Djamil Padang tentang
faktor-faktor yang berhubungan dengan penyembuhan luka pasca operasi.
Penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional ini menemukan
bahwa ada kaitan erat antara umur (p value=0,021) terhadap penyembuhan luka.
Berdasarkan hasil penelitian, teori yang ada, dan penelitian
sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh umur tehadap proses
penyembuhan luka post appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota
Gorontalo.
4.3.2 Pengaruh Obesitas (IMT) terhadap proses penyembuhan luka post
appendictomy
Dari hasil analisis bivariat menunjukkan dari seluruh sampel yang
berjumlah 38 responden, sebagian besar responden yang mengalami luka sembuh
dengan IMT ≤ 27 (Tidak Obesitas) yaitu sebanyak 18 responden (85.7%)
sedangkan sebagian kecilnya adalah responden dengan IMT > 27 (Obesitas) yang
mengalami luka sembuh sebanyak 3 responden (14.3%).
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa masih terdapat
reponden dengan IMT < 27 (tidak obesitas) yang mengalami luka tidak sembuh
sebanyak 5 responden (29.4%) dan 3 responden dengan IMT > 27 yang
mengalami luka sembuh, sehingga peneliti berasumsi bahwa masih adanya luka
tidak sembuh bukan hanya dipengaruhi oleh faktor IMT namun juga dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti umur dimana semakin tua usia seseorang akan
semakin lama dalam proses penyembuhan luka. Hal ini dipengaruhi oleh adanya
penurunan elastin dalam kulit dan perbedaan penggantian kolagen mempengaruhi
penyembuhan luka, kemudian kebiasaan merokok dimana pasien dengan riwayat
rokok sering mengalami gangguan vaskuler, terutama terjadi arterosklerosis
pembuluh darah. Hal ini mempengaruhi pada suplai darah ke daerah luka, selain
itu, nutrisi yang kurang dapat mempengaruhi penyembuhan luka karena
penyembuhan luka memmbutuhkan nutrisi yang tepat, dan mobilisasi dini yang
kurang dilakukan sehingga suplai darah ke daerah luka berkurang. Begitu pula
dengan adanya luka sembuh pada responden dengan obesitas (IMT > 27) yang
seharusnya mengalami luka tidak sembuh, namun karena ada faktor lain seperti
usia, nutrisi yang baik, mobilisasi yang baik, dan bukan perokok, sehingga
membuat responden dengan obsitas mengalami luka sembuh. Hal ini dapat
berlaku sebaliknya.
Dan dari hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh IMT
(obesitas) terhadap proses penyembuhan luka post appendictomy. Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota
Gorontalo menunjukkan bahwa IMT > 27 (obesitas) akan mempengaruhi
penyembuhan luka dimana pasien dengan IMT > 27 (obesitas) memiliki
kemungkinan 6.75 kali untuk mengalami luka tidak sembuh (penyembuhan yang
kurang baik) dibandingkan dengan pasien dengan IMT ≤ 27 (tidak Obesitas). Hal
ini dikarenakan pada pasien yang mengalami obesitas, jaringan lemak sangat
rentan terhadap terjadinya infeksi. Selain itu pasien obesitas sering sulit dirawat
karena tambahan berat badan, pasien bernafas tidak optimal saat berbaring miring
sehingga mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi pulmonal pasca operasi.
Hal ini didukung oleh pendapat para ahli bahwa sejumlah kondisi fisik
yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Misalnya adanya sejumlah besar
lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada
orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih
sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Jaringan lemak
kekurangan persediaan darah yang adekuat untuk menahan infeksi bakteri dan
mengirimkan nutrisi dan elemen-elemen selular untuk penyembuhan. Apabila
jaringan yang rusak tersebut tidak segera mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
maka proses penyembuhan luka juga akan terhambat (Gitarja dan Hardian, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang ada, maka dapat dikatakan
bahwa terdapat pengaruh obesitas (IMT) terhadap proses penyembuhan luka post
appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo.
4.3.3 Pengaruh Kebiasaan Merokok terhadap proses penyembuhan luka post
appendictomy
Dari hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari seluruh sampel
yang berjumlah 38 responden, sebagian besar responden yang mengalami luka
sembuh pada kategori bukan perokok yaitu sebanyak 17 responden (81.0%)
sedangkan sebagian kecilnya adalah yang mengalami luka sembuh dengan
kategori perokok yaitu sebanyak 4 responden (19.0%).
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa bukan perokok tidak
menjamin tercapainya luka sembuh, hal ini dibuktikan masih ada responden yang
bukan perokok masih mengalami luka tidak sembuh dan yang perokok masih
mengalami luka sembuh. Sehingga peneliti berasumsi bahwa masih adanya luka
tidak sembuh bukan hanya dipengaruhi bukan hanya dipengaruhi oleh faktor
kebiasaan merokok namun juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur
dimana semakin tua usia seseorang akan semakin lama dalam proses
penyembuhan luka. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penurunan elastin dalam kulit
dan perbedaan penggantian kolagen mempengaruhi penyembuhan luka, kemudian
dari faktor Obesitas (IMT) dimana pada pasien yang mengalami obesitas, jaringan
lemak sangat rentan terhadap terjadinya infeksi, pasien obesitas sering sulit
dirawat karena tambahan berat badan, pasien bernafas tidak optimal saat berbaring
miring sehingga mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi pulmonal pasca
operasi. selain itu, nutrisi yang kurang dapat mempengaruhi penyembuhan luka
karena penyembuhan luka memmbutuhkan nutrisi yang tepat, dan mobilisasi dini
yang kurang dilakukan sehingga suplai darah ke daerah luka berkurang. Begitu
pula dengan adanya luka sembuh pada responden dengan kategori perokok yang
seharusnya mengalami luka tidak sembuh, namun karena ada faktor lain seperti
usia, nutrisi yang baik, mobilisasi yang baik, dan tidak obesitas, sehingga
membuat responden dengan kategori perokok mengalami luka sembuh. Hal ini
dapat berlaku sebaliknya.
Dan dari hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
kebiasaan merokok terhadap proses penyembuhan luka post appendictomy. Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota
Gorontalo menunjukkan bahwa kebiasaan merokok akan mempengaruhi
penyembuhan luka dimana pasien perokok memiliki kemungkinan 4.78 kali
untuk mengalami luka tidak sembuh dibandingkan dengan pasien dengan bukan
perokok. Ini dikarenakan pasien dengan riwayat rokok, sering mengalami
gangguan vaskuler, terutama terjadi arterosklerosis pembuluh darah. Hal ini
mempengaruhi pada suplai darah ke daerah luka.
Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli bahwa merokok akan
mengakibatkan oksigenasi jaringan yang buruk pada jaringan normal. Pada
jaringan yang mengalami perlukaan, misalnya jaringan yang mengalami sayatan
operasi, kebutuhan oksigen justru menjadi lebih tinggi daripada kebutuhan
normal. Karena itu sel-sel jaringan pada luka operasi orang yang merokok akan
„tersengal-sengal‟ relatif lebih berat karena kekurangan oksigen yang diharapkan
justru mendapat sediaan kadar oksigen yang rendah di dalam aliran darah. Oleh
karena itu, risiko kematian sel-sel kulit dan/atau jaringan bawah kulit menjadi
lebih serius. Adanya jaringan yang non-vital akan memudahkan tumbuhnya
infeksi kuman kulit, dan kedua kondisi tersebut akan sangat mengancam hasil
akhir penyembuhan luka operasi. Kulit perokok yang biasanya lebih kering
dibandingkan kulit normal akan lebih memperburuk penyembuhan. Kulit yang
kering relatif lebih mudah terpecah-pecah, sehingga masa penyembuhan luka
menjadi sangat memanjang (Fawzy Ahmad, 2012).
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hayati (2010),
dengan judul Faktor-Faktor yang berhubungan dengan penyembuhan luka pasca
operasi di IRNA Bedah RSUP Dr.M.Djamil Padang Tahun 2010, menunjukkan
adanya bahwa meskipun lebih banyak responden yang tidak merokok tetapi masih
ada dari responden Tersebut yang mengalami penyembuhan luka tidak normal,
dan hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara merokok
dengan penyembuhan luka.
Berdasarkan hasil penelitian, teori yang ada, dan dengan melihat
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa
terdapat pengaruh kebiasaan merokok terhadap proses penyembuhan luka post
appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo.
4.3.4 Pengaruh nutrisi terhadap proses penyembuhan luka post appendictomy
Dari hasil analisis bivariat menunjukkan dari seluruh sampel yang
berjumlah 38 responden, sebagian besar responden mengalami luka sembuh
dengan nutrisi yang baik yaitu sebanyak 18 responden (85.7%) sedangkan
sebagian kecilnya adalah responden dengan nutrisi yang baik yang mengalami
luka tidak sembuh yaitu sebanyak 2 responden (11.8%).
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa masih ada responden
dengan nutrisi yang baik mengalami luka tidak sembuh dan nutrisi yang kurang
mengalami luka sembuh, sehingga peneliti berasumsi bahwa masih adanya luka
tidak sembuh bukan hanya dipengaruhi oleh faktor nutrisi, tapi juga dari beberapa
faktor, seperti umur dimana semakin tua usia seseorang akan semakin lama dalam
proses penyembuhan luka. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penurunan elastin
dalam kulit dan perbedaan penggantian kolagen mempengaruhi penyembuhan
luka, kemudian dari faktor Obesitas (IMT) dimana pada pasien yang mengalami
obesitas, jaringan lemak sangat rentan terhadap terjadinya infeksi, pasien obesitas
sering sulit dirawat karena tambahan berat badan, pasien bernafas tidak optimal
saat berbaring miring sehingga mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi
pulmonal pasca operasi, dan mobilisasi dini yang kurang dilakukan sehingga
suplai darah ke daerah luka berkurang. Begitu pula dengan adanya luka sembuh
pada responden dengan nutrisi yang kurang, yang seharusnya mengalami luka
tidak sembuh, namun karena ada faktor lain seperti usia, mobilisasi yang baik,
bukan perokok dan tidak obesitas, sehingga membuat responden dengan nutrisi
yang kurang mengalami luka sembuh. Hal ini dapat berlaku sebaliknya.
Dan dari hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nutrisi
terhadap proses penyembuhan luka. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
peneliti di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo menunjukkan bahwa
nutrisi akan mempengaruhi penyembuhan luka dimana pasien dengan nutrisi yang
kurang memiliki kemungkinan 31.87 kali untuk mengalami luka tidak sembuh
dibandingkan pasien dengan nutrisi yang baik. Ini dikarenakan penyembuhan luka
secara normal memerlukan nutrisi yang tepat. Pada dasarnya nutrien yang berguna
ialah protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral.
Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli bahwa penyembuhan luka
secara normal memerlukan nutrisi yang tepat, karena proses fisiologi
penyembuhan luka bergantung pada tersedianya protein, vitamin (terutama
vitamin A dan C) dan mineral. Kolagen adalah protein yang terbentuk dari asam
amino yang diperoleh fibroblas dari protein yang dimakan. Vitamin C dibutuhkan
untuk mensintesis kolagen. Vitamin A dapat mengurangi efek negatif steroid pada
penyembuhan luka. Elemen renik zink diperlukan untuk pembentukan epitel,
sintesis kolagen (zink) dan menyatukan serat-serat kolagen. (Potter, 2005 : 1859).
Proses zat gizi dalam penyembuhan luka : protein berfungsi sebagai
pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh,
mengatur keseimbangan air, pembentukan antibodi, mengangkat zat-zat gizi dan
sumber energi. Karbohidrat berfungsi sebagai penyedia energi bagi tubuh.
Vitamin A berfungsi sebagai kekebalan pertumbuhan dan vitamin C berfungsi
sebagai sistem kolagen, mencegah infeksi. Dan air (mineral) berfungsi sebagai
bagian penting dari struktur sel dan jaringan. Zat-zat makanan tersebut dapat
mempercepat pembentukan jaringan baru dalam proses penyembuhan luka
(Potter, 2005 : 1859).
Hal ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hamidarsat
(2007) bahwa kepercayaan untuk tidak boleh memakan jenis makanan tertentu,
seperti ikan atau udang adalah kurang benar karena jenis makanan ini banyak
mengandung protein, apabila asupan dalam tubuh kurang akan menyebabkan
kegagalan atau lambatnya pembentukan jaringan baru sehingga luka akan lama
menutup dan yang paling buruk kemungkinan akan terjadi infeksi. Demikian juga
dengan kekurangan asupan nutrisi lain seperti karbohidrat dan berbagai jenis
vitamin yang telah banyak diuraikan diatas, akan mempengaruhi penyembuhan
luka.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh puspitasari (2011) di
RSMG didapati dari 38 responden terdapat 3 responden (7.89%) yang mengalami
penyembuhan luka kurang baik akibat intake makanan/konsumsi makanan yang
kurang bergizi, beragam, dan berimbang. Juga penelitian yang dilakukan oleh
Hayati (2010), menunjukkan adanya hubungan bermakna antara status nutrisi
dengan penyembuhan luka. Dan penelitian oleh Widyasari (2007), juga
menyatakan bahwa ada pengaruh kecukupan nutrisi terhadap penyembuhan luka.
Berdasarkan hasil penelitian, teori yang ada, dan dengan melihat
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat dikatakan nutrisi
responden merupakan faktor yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka
post appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo.
4.3.5 Pengaruh mobilisasi dini terhadap proses penyembuhan luka post
appendictomy
Dari hasil analisis bivariat menunjukkan dari seluruh sampel yang
berjumlah 38 responden, sebagian besar responden mengalami luka sembuh
dengan mobilisasi baik yaitu sebanyak 18 responden (85.7%) dan sebagian
kecilnya adalah responden dengan mobilisasi kurang baik yang mengalami luka
sembuh yaitu sebanyak 3 responden (14.3%).
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa mobilisasi yang baik
tidak menjamin tercapainya luka sembuh, hal ini dibuktikan masih adanya
responden dengan mobilisasi baik yang mengalami luka tidak sembuh dan
responden dengan mobilisasi yang kurang mengalami luka sembuh, sehingga
peneliti berasumsi bahwa masih adanya luka tidak sembuh bukan hanya
dipengaruhi oleh faktor mobilisasi dini, tapi juga dari beberapa faktor, seperti
umur dimana semakin tua usia seseorang akan semakin lama dalam proses
penyembuhan luka. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penurunan elastin dalam kulit
dan perbedaan penggantian kolagen mempengaruhi penyembuhan luka, kemudian
dari faktor Obesitas (IMT) dimana pada pasien yang mengalami obesitas, jaringan
lemak sangat rentan terhadap terjadinya infeksi, pasien obesitas sering sulit
dirawat karena tambahan berat badan, pasien bernafas tidak optimal saat berbaring
miring sehingga mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi pulmonal pasca
operasi. Selain itu, nutrisi yang kurang dapat mempengaruhi penyembuhan luka
karena penyembuhan luka memmbutuhkan nutrisi yang tepat. Begitu pula dengan
adanya luka sembuh pada responden dengan mobilisasi yang kurang, yang
seharusnya mengalami luka tidak sembuh, namun karena ada faktor lain seperti
usia, nutrisi yang baik, bukan perokok dan tidak obesitas, sehingga membuat
responden dengan mobilisasi yang kurang mengalami luka sembuh. Hal ini dapat
berlaku sebaliknya.
Dan dari hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
mobilisasi dini terhadap proses penyembuhan luka. Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh peneliti di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo
menunjukkan bahwa mobilisasi dini akan mempengaruhi penyembuhan luka
dimana pasien dengan mobilisasi dini yang kurang memiliki kemungkinan 11 kali
untuk mengalami luka tidak sembuh (penyembuhan yang kurang baik)
dibandingkan pasien dengan mobilisasi yang baik. Karena dengan mobilisasi dini
masa pemulihan untuk mencapai level kondisi seperti pra pembedahan dapat
dipersingkat. Hal ini tentu akan mengurangi waktu rawat inap di rumah sakit,
menekan biaya perawatan dan mengurangi stres psikis (A. Majid, M. Judha, U.
Istianah. 2011).
Dengan mobilisasi dini, dapat menunjang proses penyembuhan luka
pasien karena ddengan menggerakkan anggota badan ini akan mencegah kekauan
otot dan sendi sehingga dapat mengurangi nyeri dan dapat memperlancar
peredaran darah ke bagian yang mengalami perlukaan agar proses penyembuhan
luka cepat. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli bahwa Salah satu faktor
yang mempengaruhi proses penyembuhan luka akibat operasi pembuangan
apendiks (apendektomi) adalah kurangnya/ tidak melakukan mobilisasi dini.
Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam mempercepat pemulihan dan
mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah. Mobilisasi sangat penting dalam
percepatan hari rawat dan mengurangi resiko karena tirah baring lama seperti
terjadinya dekubitus, kekakuan atau penegangan otot-otot di seluruh tubuh,
gangguan sirkulasi darah, gangguan pernapasan dan gangguan peristaltik maupun
berkemih (Carpenito, 2000).
Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka
akibat operasi pembuangan apendiks (apendektomi) yang mengalami peradangan
adalah mobilisasi dini. Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam
mempercepat pemulihan, mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah dan
mencegah terjadinya trombosis vena (Carpenito, 2000).
Penelitian Wiyono dalam Akhrita (2011), yang dalam penelitiannya
terhadap pemulihan peristaltik usus pada pasien pasca pembedahan”. Hasil
penelitiannya mengatakan bahwa keberhasilan mobilisasi dini tidak hanya
mempercepat proses pemulihan luka pasca pembedahan namun juga mempercepat
pemulihan peristaltik usus pada pasien pasca pembedahan (Israfi dalam Akhrita,
2011).
Hal yang sama juga pernah diteliti oleh Inayati (2006) dengan judul
penelitian “Pengaruh mobilisasi dini terhadap waktu kesembuhan luka fase
proliferasi post operasi“ diperoleh hasil penelitian ada pengaruh mobilisasi dini
terhadap waktu kesembuhan luka fase proliferasi dengan p value sebesar 0,009.
Berdasarkan hasil penelitian, teori yang ada, dan dengan melihat penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya, maka dapat dikatakan mobilisasi dini responden
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka post
appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo.
4.3.6 Pengaruh umur, IMT, kebiasaan merokok, nutrisi, dan mobilisasi dini
terhadap proses penyembuhan luka post appendictomy
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh
Hayati (2010) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan penyembuhan luka
pasca operasi, bahwa dari banyak faktor yang berhubungan dengan penyembuhan
luka, faktor nutrisi merupakan faktor yang paling dominan terhadap penyembuhan
luka pasca operasi.
Dari hasil analisis multivariat yang dilakukan oleh peneliti, diketahui
bahwa dari beberapa faktor (umur, IMT, kebiasaan merokok, nutrisi, dan
mobilisasi dini) yang mempengaruhi proses penyembuhan luka, dapat diketahu
bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka adalah
nutrisi dengan signifikansi Wald 9.415 dan mobilisasi dini dengan signifikansi
Wald 5.530. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nutrisi merupakan faktor
yang paling berpengaruh (dominant) terhadap proses penyembuhan luka post
appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo.
Berdasarkan hasil analisis ini, peneliti berasumsi bahwa nutrisi
merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi proses penyembuhan luka
post appendictomy dibanding faktor lainnya, karena nutrisi berpengaruh langsung
terhadap proses penyembuhan luka dimana proses fisiologi penyembuhan luka
bergantung pada tersedianya protein, vitamin (terutama vitamin A dan C) dan
mineral. Kolagen adalah protein yang terbentuk dari asam amino yang diperoleh
fibroblas dari protein yang dimakan. Vitamin C dibutuhkan untuk mensintesis
kolagen. Vitamin A dapat mengurangi efek negatif steroid pada penyembuhan
luka. Elemen renik zink diperlukan untuk pembentukan epitel, sintesis kolagen
(zink) dan menyatukan serat-serat kolagen.
Selain itu juga bahwa proses zat gizi dalam penyembuhan luka yang
melibatkan protein, vitamin, dan mineral dimana protein berfungsi sebagai
pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh,
mengatur keseimbangan air, pembentukan antibodi, mengangkat zat-zat gizi dan
sumber energi. Karbohidrat berfungsi sebagai penyedia energi bagi tubuh.
Vitamin A berfungsi sebagai kekebalan pertumbuhan dan vitamin C berfungsi
sebagai sistem kolagen, mencegah infeksi. Dan air (mineral) berfungsi sebagai
bagian penting dari struktur sel dan jaringan. Zat-zat makanan tersebut dapat
mempercepat pembentukan jaringan baru dalam proses penyembuhan luka.
Sehingga apabila nutrisi tidak terpenuhi akan sangat mempengaruhi proses
penyembuhan luka.
Menurut peneliti, hal ini tidak seperti faktor lain yang mempengaruhi
proses penyembuhan luka, seperti faktor umur yang secara teori mengatakan
bahwa Seiring dengan berjalannya usia perubahan yang terjadi dikulit yaitu
frekuensi penggantian sel epidermis, respon inflamasi terhadap cedera, persepsi
sensoris, proteksi mekanis, dan fungsi barier kulit. Beberapa faktor yang
mempengaruhi hal tersebut adalah naiknya frekusensi gangguan patologis yang
berhubungan dengan usia yang dapat memperlambat penyembuhan luka melalui
berbagai mekanisme seperti status nutrisi yang buruk, defisiensi vitamin dan
mineral, anemia, adanya gangguan pernafasan yang menyebabkan penurunan
suplai oksigen sehingga buruknya suplai darah dan hipoksia disekitar luka,
gangguan kardiovaskuler seperti arteriosklerosis, diabetes, gagal jantung
kongestif, selain itu, adanya arthritis rheumatoid dan uremia (Morison, 2004).
Hal ini menunjukkan bahwa usia tidak langsung mempengaruhi proses
penyembuhan luka dan masih dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
naiknya frekusensi gangguan patologis yang berhubungan dengan usia yang dapat
memperlambat penyembuhan luka melalui berbagai mekanisme seperti status
nutrisi yang buruk, defisiensi vitamin dan mineral, anemia, adanya gangguan
pernafasan yang menyebabkan penurunan suplai oksigen sehingga buruknya
suplai darah dan hipoksia disekitar luka, gangguan kardiovaskuler seperti
arteriosklerosis, diabetes, gagal jantung kongestif, selain itu, adanya arthritis
rheumatoid dan uremia.
Sama halnya dengan faktor obesitas, yang secara teori mengatakan
bahwa pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan
lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Jaringan
lemak kekurangan persediaan darah yang adekuat untuk menahan infeksi bakteri
dan mengirimkan nutrisi dan elemen-elemen selular untuk penyembuhan. Apabila
jaringan yang rusak tersebut tidak segera mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
maka proses penyembuhan luka juga akan terhambat (Gitarja dan Hardian, 2011).
Ini menunjukkan bahwa obesitas tidak secara langsung mempengrauhi proses
penyembuhan luka karena meskipun orang dengan obesitas namun apabila
mendapatkan nutrisi yang baik maka proses penyembuhan lukanya tidak akan
terhambat.
Begitu pula dengan faktor kebiasaan merokok, yang secara teori
mengatakan bahwa merokok akan mengakibatkan oksigenasi jaringan yang buruk
pada jaringan normal. Pada jaringan yang mengalami perlukaan, misalnya
jaringan yang mengalami sayatan operasi, kebutuhan oksigen justru menjadi lebih
tinggi daripada kebutuhan normal. Karena itu sel-sel jaringan pada luka operasi
orang yang merokok akan „tersengal-sengal‟ relatif lebih berat karena kekurangan
oksigen yang diharapkan justru mendapat sediaan kadar oksigen yang rendah di
dalam aliran darah. Oleh karena itu, risiko kematian sel-sel kulit dan/atau jaringan
bawah kulit menjadi lebih serius. Adanya jaringan yang non-vital akan
memudahkan tumbuhnya infeksi kuman kulit, dan kedua kondisi tersebut akan
sangat mengancam hasil akhir penyembuhan luka operasi. (Fawzy, Ahmad,
2012). Ini menunjukkan bahwa merokok tidak lagsung mempengaruhi proses
penyembuhan luka melainkan harus melalui beberapa proses seperti oksigenasi
jaringan yang buruk, gangguan vaskuler, terutama arterosklerosis nantinya akan
mempengaruhi proses penyembuhan luka.
Begitupun dengan faktor mobilisasi dini yang dapat menunjang proses
penyembuhan luka pasien karena dengan menggerakkan anggota badan ini akan
mencegah kekauan otot dan sendi sehingga dapat mengurangi nyeri dan dapat
memperlancar peredaran darah ke bagian yang mengalami perlukaan agar proses
penyembuhan luka cepat. Ini menunjukkan bahwa mobilisasi dini masih harus
mempengaruhi peredaran darah kebagian yanng mengalami perlukaan kemudian
lancarnya peredaran darah inilah yang akan mempercepat penyembuhan luka.