Upload
melody-justice
View
55
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Analisis penyembuhan tulang secara radiologis pada kasus aseptik diafisis nonunion setelah difiksasi dengan plate and screw dikonversi ke reaming intramedullary solid locking nail pada femur
Citation preview
ANALISIS PENYEMBUHAN TULANG SECARA RADIOLOGIS PADA KASUS ASEPTIK DIAFISIS
NONUNION SETELAH DIFIKSASI DENGAN PLATE AND SCREW DIKONVERSI KE REAMING
INTRAMEDULLARY SOLID LOCKING NAIL PADA FEMUR
RADIOLOGICAL UNION ANALYSIS OF FEMORAL SHAFT ASEPTIC NONUNION AFTER FAILED PLATE AND SCREW
CONVERT TO REAMING INTRAMEDULLARY SOLID LOCKING NAIL
Oleh:
Andriessanto C. Lengkong
Pembimbing :
Dr. Henry Yurianto, M.Phil,Ph.D,Sp.OT (K)Dr. M. Ruksal Saleh, Ph.D,Sp.OT (K)
dr. Karya Triko Biakto Sp.OT (K)Dr.dr. Burhanuddin Bahar, MS
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS IBIDANG ILMU ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASASAR
2014
ii
ANALISIS PENYEMBUHAN TULANG SECARA RADIOLOGIS PADA KASUS ASEPTIK DIAFISIS
NONUNION SETELAH DIFIKSASI DENGAN PLATE AND SCREW DIKONVERSI KE REAMING
INTRAMEDULLARY SOLID LOCKING NAIL PADA FEMUR
Andriessanto Lengkong
AbstrakPendahuluanNonunion fraktur pada diafisis femur setelah dilakukan plating adalah masalah yang masih sering dijumpai. Penanganan kasus ini masih kontroversi, Terdapat berbagai metode penanganan nonunion dengan broken implant, dimana salah satu prosedur adalah konversi ke reaming intramedullary nailing. Bervariasinya hasil yang pernah dilaporkan sebelumnya sehingga penelitian ini dilakukan. MetodePenelitian ini adalah cross sectional retrospektif analisis dengan jumlah pasien 22 orang yang menjalani operasi prosedur pengangkatan implant sebelum dikonversi ke reaming intramedullary locking nail dengan atau tanpa autogenous iliac bone graft. Proses penyembuhan tulang kemudian dinilai secara radiologis dengan serial x-ray menggunakan metode Callus Index. Data yang ada dianalisis statistik dengan non-parametrik tes
HasilKonversi ke reaming intramedullary solid nail pada kasus hipertrofi dan atrofi nonunion plate and screw memberikan hasil union rate 95% serta minimal komplikasi. Dari 22 pasien, 1 pasien didapati nonunion dan 2 didapati delayed union. Tidak ada perbedaan waktu healing yang signifikan antara pasien yang di bone graft dan tidak. Lokasi fraktur pada proximal-third mempengaruhi waktu penyembuhan tulang. Tidak ada komplikasi yang bermakna.
DiskusiRekonstruksi nonunion dengan reaming solid nail pada hipertrofi dan atrofi nonunion menghasilkan solid union. Dan juga dengan atau tanpa bone graft tetap menghasilkan solid union dalam waktu yang sama
Kata Kunci : Nonunion, Fraktur Femur, Reamed Intramedullary Locking Nail, Bone Graft
iii
RADIOLOGICAL UNION ANALYSIS OF FEMORAL SHAFT ASEPTIC NONUNION AFTER FAILED PLATE AND SCREW CONVERT TO
REAMING INTRAMEDULLARY SOLID LOCKING NAILAndriessanto C. Lengkong
AbstractIntroductionNonunited fracture shaft of femur after plate fixation is a common problem. Management of this problem is still controversial. There are many methods for treating femoral shaft aseptic nonunions with broken implant which conversion to reaming intramedullary solid nail is one of the procedure. However, the reported success rate varies. Therefore, this study was done
MethodThis study is a cross sectional retrospective case analysis presenting 22 patients who underwent operation procedure, managed by removal of the hardware, and convert to reaming solid intramedullary locking nail with or without autogenous iliac bone graft. Bone healing process were assessed by serial x-ray using the Callus Index method.
ResultsConversion to reaming intramedullary solid nailing after nonunion with broken implant gives union rate 95%. Among 22 patients, 1 patient persisted nonunion and 2 patients experience delayed union. There was no significant difference in time to solid union between patients with or without iliac autogenous bone graft. Proximal third nonunion affect the time to solid union. No major complications were noted.
DiscussionNonunion reconstruction using reaming solid nail of both types nonunion gives a solid union. Solid union achieve with or without bone graft
Key Words : Nonunion, Fracture Femur, Reamed Intramedullary Locking Nail, Bone Graft
iv
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN,
DAN HIPOTESIS 4
BAB III BAHAN/ SUBJEK/ OBJEK
DAN METODE PENELITIAN 21
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 28
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 40
DAFTAR PUSTAKA 41
LAMPIRAN 47
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambar skematis anatomi vaskularisasi diafisis
Gambar 2 Gambar solid nail dan locking screw
Gambar 3 Gambar Insersi nail pada fossa pirifomis
Gambar 4 Gambar titik masuk solid nail
Gambar 5 Metode mengukur Callus Index
vi
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK
Tabel 1 Frekuensi Lokasi Fraktur
Tabel 2 Frekuensi Tipe Nonunion
Tabel 3 Frekuensi Tipe Fraktur
Tabel 4 Analisis Statistik
Grafik 1 Distribusi Umur
Grafik 2 Pembentukan Callus Index pada proximal third
Grafik 3 Pembentukan Callus Index pada middle third
Grafik 4 Pembentukan Callus Index pada distal third
Grafik 5 Perbandingan Kalus Indeks Terhadap Lokasi Fraktur
Grafik 6 Perbandingan waktu solid union pada hipertrofi nonunion
dan atrofi nonunion
Grafik 7 Perbandingan waktu solid union pada pada penggunaan
Bone graft dan tanpa bone graft
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Gambar Pengukuran Kallus Index Setiap 6 minggu
Lampiran 2 Tabulasi Data Pasien
Data kallus indeks tiap sampel
Lampiran 3 Analisis Statistik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN
Nonunion fraktur yang terjadi pada ekstremitas bawah setelah difiksasi
dengan plate and screw merupakan masalah yang sering kita jumpai di negara
berkembang(1), seperti kita di Indonesia.
Pada kasus fraktur diaphyseal yang akut pada ekstremitas bawah
kebanyakan literatur kedokteran merekomendasikan penggunaan nail dibanding
plate.(2-4) Rekomendasi ini karena tingginya presentasi union rate menggunakan
nail. Sedangkan apabila fiksasi menggunakan plate persentasi non union sekitar
8% - 19%.(5-8) Di negara kita fiksasi fraktur menggunakan plate lebih murah dan
relative lebih banyak tersedia dibanding menggunakan nail.
Penanganan dari nonunion fraktur setelah fiksasi dengan plate and screw
ada banyak pilihan, dapat dilakukan revisi ulang dengan menggunakan plate,(9)
fiksasi intramedullary nailing,(10) eksternal fiksasi,(11-12) bone graft,(13-14) atau teknik
lainnya tergantung dari keadaan tiap kasus.
Teknik reaming dengan menggunakan solid intramedullary locking nail
menghasilkan sel-sel tulang yang viable (osteoblast) yang berguna untuk
membantu penyembuhan nonunion(15)
Bagian ortopedi dan traumatologi Universitas Hasanuddin telah melakukan
beberapa prosedur reaming intramedullary locking nail pada kasus nonunion
setelah difiksasi dengan plate and screw, namum sampai saat ini belum pernah
1
2
dilakukan analisis, pengumpulan dan pengolahan hasil penyembuhan tulang serta
efektifitas prosedur ini sebagai pilihan untuk menangani nonunion femur dengan
implant failure.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka timbul pertanyaan
bagaimanakah hasil penyembuhan tulang secara radiologis pada penggunaan solid
intramedullary locking nail pada penanganan kasus nonunion dengan broken
implant plate and screw yang selama ini telah dilakukan oleh bagian Ortopedi dan
traumatologi Universitas Hasanuddin ?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis penyembuhan tulang pada kasus nonunion setelah difiksasi
dengan plate and screw dikonversi ke reaming intramedullary locking nail
1.3.2 Tujuan khusus
1. Menganalisis pembentukan kalus secara radiologis pasca rekonstruksi
nonunion menggunakan reaming intramedullary nailing
2. Menganalisis efektifitas penggunaan bone graft pada kasus pasca
rekonstruksi nonunion dengan menggunakan reaming intramedullary nailing
3
1.4 KEGUNAAN PENELITIAN
1.4.1 Kegunaan Teoritis
Memberikan informasi ilmiah pada aspek teori tentang kelebihan dan
kekurangan dari sisi penyembuhan tulang pada prosedur reaming interlocking nail
setelah nonunion dengan tindakan plate and screw.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1) Sebagai pertimbangan pilihan prosedur operasi dalam menangani kasus
nonunion fraktur femur dengan broken implant
2) Dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut
sehubungan dengan penyembuhan tulang menggunakan teknik reaming
intramedullary locking nail
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. KAJIAN PUSTAKA
Penanganan kasus nonunion fraktur merupakan salah satu masalah yang
tidak jarang dijumpai oleh seorang orthopaedic surgeon terutama kita yang berada
di Indonesia. Karena penggunaan fiksasi dengan plate and screw pada long bone
lebih terjangkau dan relative lebih banyak tersedia dibanding fiksasi dengan
intramedullary nailing. Dari literatur, resiko untuk terjadinya nonunion dan
implant failure pada fiksasi dengan plate and screw adalah 8% - 19%.(5-8) Seiring
perkembangan implant ortopedi telah dilakukan prosedur fiksasi dengan
intramedullary locking nail yang memberikan hasil yang lebih baik.
Penyebab nonunion dapat disebabkan oleh beberapa sumber diantaranya
distraksi dan separasi fragmen fraktur, interposisi jaringan lunak, trauma berat
yang melibatkan kerusakan soft tissue luas, kurangnya aliran darah disekitar
fraktur dan infeksi.(13)
Status klinis pasien juga sangat berpengaruh terhadap penyembuhan
fraktur. Status klinis yang dimaksud adalah faktor usia, status nutrisi, merokok,
adanya comorbidities (seperti diabetic patient, penyakit kardiopulmoner, penyakit
vaskular perifer).(5)
Prosedur reaming intramedulla dapat membantu penyembuhan nonunion
site dimana pada prosedur reaming menghasilkan sel-sel tulang viable yang berisi
osteoblast yang membantu dalam proses penyembuhan tulang.(16)
4
5
Penyembuhan fraktur dipengaruhi oleh faktor lokal maupun sistemik.
Faktor lokal adalah yang berhubungan secara langsung dengan fraktur, yaitu pola
fraktur tersebut, kerusakan soft tissue yang ada. Faktor sistemik adalah yang
berhubungan dengan pasien, yaitu kondisi gizi, usia, dan penyakit penyerta seperti
diabetes. Hasil penyembuhan tulang dapat dinilai secara kuantifikasi dengan
menggunakan skala Maximum Callus Index . Skala ini menilai pembentukan kalus
dan menentukan waktu maksimal sampai terbentuk kalus.(17)
2.2 ANATOMI & FISIOLOGI BONE BLOOD FLOW
Sistim vaskuler pada tulang dapat dibagi dalam pembuluh darah afferent,
pembuluh darah efferent, dan jaringan mikrovaskuler. Komponen ketiga unit ini
adalah :(18)
Pembuluh darah afferent
Epiphyseal arteries
Metaphyseal arteries
Nutrient Artery
Periosteal Arteries
Jaringan Mikrovaskuler
Medullary sinusoids
Cortical capillaries
Periosteal capillaries
Pembuluh darah efferent
Gambar 1. Gambar skematis anatomi vaskularisasi tulang diafisis
6
Collecting sinuses
Epiphyseal veins
Metaphyseal veins
Nutrient veins
Periosteal veins
Tidak ada komponen dari semua unit diatas yang berdiri sendiri, semuanya
merupakan suatu jaringan dan kesatuan.(18)
Tipikal sirkulasi pembuluh darah pada diafisis tulang panjang dapat dilihat
pada ilustrasi Gambar 1. Pada korteks tulang, suplai utama pembuluh darah adalah
nutrient artery. Pada medulla tulang, nutrient artery dibagi menjadi ascending dan
descending medullary arteries. (18)
Pada fraktur terjadi kerusakan pada vaskuler tulang. Derajat kerusakan
bergantung pada besar kecilnya kerusakan pada tulang. Normalnya terjadi
kerusakan pada nutrient artery, dan cukup banyak kerusakan pembuluh darah pada
7
tulang jika ada disertai dengan kerusakan luas soft tissue. Fiksasi implant pada
fraktur juga dapat mengakibatkan kerusakan pembuluh darah.(19)
Mengingat berbagai cara yang tersedia untuk memfiksasi suatu fraktur
seperti penggunaan eksternal fiksasi, plate and screw, dan intramedullary nailing,
jelas bahwa dari susunan anatomi yang kompleks pembuluh darah pada tulang
masing-masing akan memiliki efek yang berbeda pada aliran darah.
Intramedullary reaming akan membahayakan sirkulasi medulla tulang, sebaliknya
sebuah compression plate yang difiksasi pada permukaan periosteal akan
mengangu sirkulasi darah periosteal(20)
Kemampuan beradaptasi aliran darah tulang telah didemonstrasikan pada
sebuah penelitian eksperimental tentang Intramedullary reaming. Reaming tidak
mengakibatkan penurunan aliran darah ke korteks secara signifikan. Penggunaan
fiksasi dengan cara reaming intramedullary nailing justru menunjukkan
peningkatan aliran darah pada minggu kedua. (19-21)
2.3 NONUNION
Fraktur yang nonunion menjadi tantangan dan masalah penting bagi ahli
ortopedi. Pada normalnya sekuensi penyembuhan tulang melalui undifferentiated
mesenchymal progenitor cells, dengan bantuan BMPs (bone morphogenetic
proteins) dan sitokin, berproliferasi, berdiferensiasi ke sel kondrosit dan osteoblas
dan membentuk tulang, dengan demikian terjadi penyembuhan fraktur.(22)
Akan tetapi, beberapa fraktur gagal untuk sembuh dan menjadi nonunion,
yang mana meningkatkan morbiditas dan memberikan limitasi fungsi pada pasien.
Ada empat elemen penting yang menjadi syarat terjadinya penyembuhan tulang :
8
matriks osteokonduktif, signal osteoinduktif, sel osteogenik yang mempunyai
kemampuan untuk merespon signal tersebut, dan cukupnya aliran darah.
Diagnosis dari nonunion berdasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan
fisik, termasuk nyeri dan masih adanya gerakan pada sisi yang fraktur dengan hasil
x-ray yang jelas mendukung tidak terjadinya penyembuhan tulang.
Di literatur tidak ada definisi yang jelas mengenai nonunion, tapi secara
luas definisi nonunion adalah kegagalan suatu fraktur untuk sembuh dalam jangka
waktu 6 bulan tanpa adanya tanda-tanda yang menunjukkan suatu proses
penyembuhan yang masih berlangsung. Insiden terjadinya nonunion bervariasi
tergantung lokasi fraktur tapi dapat mencapai 5% sampai 20%.(23-25)
Penyebab dari nonunion adalah multifaktor dan dapat dikategorikan
melalui jenis fraktur, host dan faktor teknis operasi. Ini meliputi kerusakan
jaringan lunak, kehilangan vaskularisasi, distraksi fragmen fraktur, interposisi
jaringan lunak, malnutrisi, infeksi, instabilitas, periosteal stripping, dan penyakit
sistemik.(25)
Nonunion diklasifikasikan sebagai berikut hipertrofi dan atrofi. Hipertrofi
nonunion akibat tidak adekuatnya stabilisasi fraktur. Terdapat vaskularisasi yang
cukup tetapi tidak cukup stabil sehingga mengakibatkan formasi kalus yang
berlebihan tetapi tetap adanya gap pada fraktur. Karena hipertrofik nonunion
terdapat vaskularisasi yang cukup maka hanya dibutuhkan stabilisasi yang adekuat
untuk mencapai penyembuhan tulang. Pada atrofi nonunion, terjadi kegagalan oleh
tubuh membentuk callus dan mengisi gap fraktur tersebut.(24-25)
2.3 REAMING INTERLOCKING NAIL FIXATION
9
Prinsip dasar dari intramedullary nailing adalah dinamik osteosintesis yang
menghasilkan secondary bone healing yaitu penyembuhan tulang dengan formasi
kalus. (26)
Pada teknik operasi ini, dibawah spinal atau general anesthesia, prosedur
pembedahan dilakukan dengan posisi lateral dekubitus. Dilakukan insisi seperti
mengikuti insisi lama, sampai terlihat nonunion site dan dilakukan pengangkatan
plate and screw.(27)
Insisi dilakukan diatas trokanter major (teknik antegrade). Sebelumnya
nonunion site dibersihkan dari fibrous tissue dan dilakukan freshening jaringan
pada ujung-ujung tulang pada nonunion site.
Reaming dilakukan pada proksimal fragmen fraktur dan pada distal
fragmen fraktur sampai diameter terbesar lebih 1mm-2mm, lebih besar dari nail
yang akan dipakai. Setelah dilakukan pengangkatan implant, dapat digunakan
bone graft atau tidak. Prosedur reaming intramedulla sendiri menghasilkan sel-sel
tulang yang viable yang mengandung banyak osteoblast. Prosedur reaming
menghasilkan efek local dan sistemik.(26-27)
2.3.1 Prinsip intramedullary nail
Nailing merupakan cara penanganan standar fraktur shaft femur,(28-29) dan
dapat digunakan pada fraktur terbuka grade I - III. Krettek dan kawan-kawan
melakukan evaluasi meta analisis terhadap 341 pasien fraktur terbuka tibia yang
distabilisasi dengan UTN (unreamed tibia nail), dengan hasil tingkat infeksi
keseluruhan grade yaitu 4% - 9%, sedangkan pada grade III mencapai 7% - 24%.
(29-30)
10
Küntscher menerapkan prinsip-prinsip pada proses intramedullay nailing,
yang meliputi:
1. Nailing dilakukan di bawah kontrol fluoroskop tanpa melakukan ekspose
langsung dari lokasi fraktur untuk menghindari infeksi,
2. Nail harus cukup kuat untuk menahan tekanan yang disebabkan oleh kontraksi
otot, gerakan sendi, dan berat badan untuk menghindari bengkok atau
patahnya nail,
3. Nail harus memiliki elastisitas yang cukup untuk mengkompres selama proses
insersi, dan kembali meluas dalam tempatnya untuk memfiksasi fragmen
fraktur secara kuat sehingga dapat mencegah rotasi dari fraktur.
Reaming harus dilakukan dengan hati-hati, 1-2 mm lebih lebar dari diameter nail,
dan ujung reamer harus mempunyai ketajaman yang cukup.(31-32)
Intramedullary nail merupakan implant dengan prinsip load-sharing serta
minimal stress shielding. Beban atau loading yang diberikan secara progressive
pada kalus di lokasi fraktur akan menstimulasi penyembuhan dan remodelling
fraktur.(31)
Efek dari proses reaming adalah peningkatan konsumsi faktor-faktor
koagulasi dan risiko infeksi pada fraktur terbuka,(32) serta peningkatan jumlah
fragmen dan elemen sumsum tulang yang terlepas yang memiliki sifat
osteoinductive. Proses ini akan meningkatkan pembentukan tulang baru, seperti
yang terlihat pada pemeriksaan histologist potongan fracture site dan secara
radiografi.(32-33) Salek H tahun 2007 melaporkan efek reaming terhadap
penyembuhan fraktur lebih cepat.(34)
11
Fasilitas radiografi sangat diperlukan pada intramedullary nailing secara
tertutup, namun tidak selalu dibutuhkan pada nailing secara terbuka.(31)
Saat insersi interlocking nail yang berbentuk lurus, dapat terjadi
ketegangan dalam kanalis femoralis oleh karena adanya perbedaan kelengkungan
antara nail dan femur. Nilai rata-rata antecurvature (radius kelengkungan) dari
diafisis femur orang dewasa yaitu sekitar 90,(32, 35) sehingga dibutuhkan reamer
dengan diameter yang lebih besar untuk menghilangkan ketegangan. Titik insersi
nail bentuk lurus harus ditempatkan sesuai dengan sumbu longitudianal kanalis
femoralis. Insersi pada bagian anterior dari fosa piriformis akan mengakibatkan
distorsi dari nail dan akan menyebabkan ketegangan dalam kanalis femoralis.(32)
2.3.2. Teknik intramedullary nail
Intramedullary nail pada fraktur diafisis femur, dapat dilakukan dengan
posisi pasien terlentang atau lateral diatas meja fraktur, dengan traksi melalui pin
yang dipasang pada tibia proksimal atau distal femur, serta posisi lutut ditekuk
60° dan rotasi internal 10°-15°. Posisi terlentang dilakukan pada pasien dengan
multiple trauma, terutama bila disertai trauma paru, fraktur tulang belakang atau
pelvis yang tidak stabil, atau dimana terdapat fraktur femur pada sisi kontra
lateral. (32, 35) Kelemahan metode ini yaitu keterbatasan titik insersi di fosa
trokanterika, serta kemungkinan terjadinya angulasi varus pada pasien dengan
fraktur sepertiga proksimal shaft femur, dan diperlukan insisi yang panjang pada
pasien obesitas. Sedangkan untuk posisi lateral, memungkinkan kita lebih mudah
melakukan insersi pada titik masuknya, tetapi dapat terjadi malalignment karena
rotasi.(32)
12
Fiksasi secara bersamaan fraktur neck femur dapat dilakukan dengan
prosedur antegrade pada fraktur shaft femur yang dikombinasikan dengan
multiple pin atau screw pada fraktur neck femur, atau pada generasi kedua
interlocking nail.(32, 35)
Locking screw diindikasikan pada fraktur shaft femur dengan klasifikasi
Winquist-Hansen Grade III dan IV yang kominutif; segmental obliq dan
kominutif spiral panjang; fraktur proksimal atau distal yang obliq atau kominutif.
(32, 35-36) Pada fraktur transversal sepertiga tengah shaft femur tidak digunakan
static locking screw. Agar tidak terjadi malrotasi pada dinamic locking nail maka
dibutuhkan penempatan locking screw yang tepat pada fragmen yang tidak di
locking, sampai tonus dan kekuatan otot pasien kembali normal. Prosedur bone
graft tidak diperlukan meskipun terdapat fragmen kecil yang hilang saat trauma
atau saat debridement.(7)
Untuk kasus dengan floating knee, metode yang paling nyaman untuk
menstabilkan kedua fraktur melalui satu insisi yaitu dengan metode retrograde
dari shaft femur.(7)
2.3.3. Anatomi Solid Interlocking Nail
Solid interlocking nail berbentuk curve dengan kelengkungan 90 pada
bagian proksimal nail. Diameter nail yang direkomendasikan untuk pemasangan
antegrade fraktur shaft femur adalah berukuran 9 mm sampai 12 mm, dengan
panjang nail sekitar 280 mm sampai 420 mm.(24-25)
13
Lubang locking screw pada solid nail terdapat 4 buah, 2 buah lubang pada
bagian proksimal dan 2 buah lubang pada bagian distal. Lubang proximal locking
screw yang berbentuk bulat berfungsi sebagai static locking screw, sedangkan 1
lubang lagi yang letaknya lebih distal berbentuk oval berfungsi sebagai dynamic
locking screw atau lubang kompresi. Lubang distal locking screw, dua-duanya
berbentu oval yang berfungsi sebagai dynamic locking screw atau lubang
kompresi.(25,26) Jarak lubang proximal locking screw yang berbentuk oval dari
dasar nail adalah sejauh 35 mm, dan jarak antara kedua lubang proximal locking
screw adalah 15 mm, sedangkan jarak distal locking screw yang letaknya lebih
proksimal adalah sejauh 33 mm dengan perbedaan jarak antara kedua lubang
distal locking screw adalah 17 mm. Solid nail ini menganjurkan untuk
menggunakan lubang proximal locking screw bentuk oval pada kasus fraktur shaft
femur (gambar 2).(25)
Locking screw Solid nail merupakan screw khusus self taping dengan
diameter 6,5 mm dan panjang 25 mm sampai 75 mm. Arah pemasangan screw
dari lateral ke medial mengikuti slot pada target arm alat pemasangan nail. Pada
ujung proksimal nail terdapat dasar nail dimana bagian dalamnya berulir yang
berfungsi untuk menguhubungkan L-handle, target arm dan nail melalui locking
bolt. (25)
14
2.3.4. Antegrade approach femur
Pasien ditempatkan pada posisi lateral, lebih mudah untuk mengakses
trokhanter mayor dan lokasi fraktur jika diperlukan reduksi terbuka.(37-38)
2.3.4.1. Reduksi
Setelah insisi pada kulit dan tensor fasia lata, elevator periosteum
digunakan untuk memisahkan serat otot secara longitudinal sampai ke tulang.
Gambar 2. Gambar skematis Solid nail dan locking screw
Base nail
Static hole of proximal locking screwDynamic hole of proximal locking screw
Anatomical 90 angle
Dynamic hole of distal locking screw
End of distal nail33 mm
55 mm
35 mm
15 mm
15
Bersihkan seluruh jaringan lunak dan kalus diantara fragmen fraktur. Setelah itu
lakukan reduksi dengan menggunakan metode:
1. fragmen fraktur dipegang dengan reduction klem,
2. Gunakan elevator periosteum untuk menyibak jaringan lunak,
3. Distraksi fraktur dengan posisi fragmen fraktur fleksi 900 kemudian
bengkokkan korteks posterior dari setiap fragmen diikuti dengan ekstensi
untuk mereduksi.
Pertahankan posisi reduksi fraktur selama proses reaming, insersi nail, dan
penempatan interlocking screw.(37-38)
Penggunaan image intensifier memungkinkan kita melakukan approach
secara minimal dan reduksi tertutup fracture site, namun prosedur ini memberikan
risiko terpaparnya radiasi pada pasien dan tim operasi, serta akan menambah
biaya operasi.(39-41)
2.3.4.2 Insersi Nail
Terdapat perbedaan pendapat tempat insersi nail antara fosa piriformis dan
trokanter mayor.(32, 42) Pertimbangan fossa piriformis sebagai titik insersi yaitu:
1. Posisi fosa piriformis segaris dengan kanalis femoralis sehingga sesuai
untuk nail yang lurus.
2. Arah fossa piriformis terhadap kanalis femoralis yang membentuk garis
lurus dapat menyebabkan terjadinya translasi ke anterior atau posterior
dari lokasi masuknya sehingga akan meningkatkan ketegangan antara
implant dan tulang.(32, 35)
16
3. Approach melalui fossa piriformis diperlukan incisi jaringan lunak yang
lebih dalam.
4. Reaming yang berlebihan pada fossa piriformis untuk mengakomodasi
lengkungan pada bagian proksimal nail yang lurus dapat merusak
vascularisasi ke head femur.(gambar 3).(32-33)
Pertimbangan trokhanter mayor sebagai titik insersi yaitu:
1. Lokasi yang lebih superfisial sehingga approach-nya lebih mudah.
2. Trokanter mayor memiliki lebih banyak tulang cancellous sehingga lebih
mentolerir jika nail ditempatkan di anterior atau posterior.
Solid nail memiliki kelengkungan sekitar 90 pada bagian proksimal
sehingga reaming dengan ukuran 4 mm harus dilakukan pada daerah metafisis
untuk menyesuaikan lengkungan ini. Tindakan ini dapat merusak vaskularisasi ke
head femur jika fossa piriformis digunakan sebagai titik insersinya. (34, 42-43) Sebuah
awl lengkung digunakan untuk membuat pintu masuk ke tulang pada daerah
pertemuan antara sepertiga bagian posterior dan sepertiga tengah dari puncak
trokhanter mayor (gambar 3).(37-38, 42)
Gambar 3. Fossa piriformis berada segaris dengan kanalis femoralis dan menjadi tempat insersi yang baik untuk nail yang lurus.
17
Diameter nail yang digunakan ditentukan oleh ukuran reamer ketika suara
“kerih” terdengar saat reamer masuk dalam kanal. Tambahkan reamer ukuran
lebih 2 mm untuk diameter nail. Panjang nail yang digunakan tergantung pada
letak fraktur. Ujung nail minimal harus berada 6 cm di bawah dari daerah fraktur.
2.3.4.3. Distal interlocking screw
Distal interlocking screw (fragmen yang paling dekat dengan lutut)
dipasang terlebih dahulu. Hal ini memungkinkan seorang ahli bedah untuk
memutar nail sehingga slot nail dengan lubang screw berada dekat korteks femur.
Arah screw dari lateral ke medial.(37-38)
2.3.4.4. Proximal interlocking screw
Arah interlocking screw dari lateral ke medial. Arah ini akan memberikan
kekuatan yang sama.(37-38)
Gambar 4. Titik masuk solid nail berada di pertemuan antara sepertiga bagian posterior dan sepertiga tengah dari ujung trokanter mayor.
18
2.3.5. Pascaoperasi
Pasca operasi, pasien dianjurkan untuk melakukan latihan penguatan otot-
otot quadriceps dan mobilisasi weight bearing secara progresif. Weight bearing
dapat segera dilakukan pada hari berikutnya jika fraktur stabil dan pasien tidak
nyeri. Hal ini yang membuat interlocking nail lebih unggul dibandingkan plate
and screw atau traction, sesuai dengan penelitian dari Gosselin RA dan kawan-
kawan tahun 2008 di Kamboja dimana dari 38 kasus yang dilakukan pemasangan
nail, 57% pulang dengan full wight bearing, 41% dengan partial weight bearing
dan hanya 1 kasus (2%) yang non weight bearing.(41) Delayed weight bearing
hanya dilakukan jika fraktur sangat proksimal atau distal yang beresiko
menyebabkan implant failure, dan pada pasien dengan cedera ekstremitas
ipsilateral.(44-45)
Pemeriksaan radiografi dilakukan tiap 6-10 minggu setelah nailing sampai
dicapainya kesembuhan dan remodeling dari fraktur. Jarang diindikasikan
dynamization dari static locking nail dengan mencabut screw terjauh dari fraktur,
kecuali kasus delayed union.(46)
2.4. EVALUASI RADIOLOGIC HEALING DENGAN CALLUS INDEX
Callus Index didefinisikan sebagai rasio yang tercipta antara diameter
maksimal kallus dan diameter korteks tulang normal (Gambar 5.)(17)
Gambar 5. Metode mengukur Callus Index. Callus Index = B/A
19
Semakin bertumbuh kallus, callus index akan semakin bertambah
rasionya, menandakan proses healing yang sedang berlangsung, dimana tidak
akan terjadi remodelling sebelum kallus tersebut mencapai terbentuknya rasio
maksimal callus index, yaitu saat kallus berada pada diameter terbesar maka
sudah tercapai solid union dan mulai akan terjadi remodelling yaitu penurunan
Callus Index rasio(17)
Pengukuran Callus Index dapat dilakukan melalui standard radiografi
projeksi AP dan Lateral dilakukan pada plain film dengan mistar biasa atau
goniometer
Saat terjadi peak pada Callus Index Ratio menandakan proses healing
sudah maksimal dan proses remodelling dimulai(17)
2.5. KERANGKA PEMIKIRAN
20
2.5. HIPOTHESIS
Penggunaan reaming intramedullary locking nail pada kasus nonunion setelah
difiksasi dengan plate and screw memberikan hasil yang baik terhadap
penyembuhan tulang
Nonunion fracture femur with failure plate and screw
fixation
BAB III
BAHAN / OBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1. BAHAN/OBJEK PENELITIAN
3.1.1. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Bagian Ortopedi dan Traumatologi Rumah sakit
pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. Rencana
Penelitian dilakukan di bulan Januari 2013
3.1.2 POPULASI
Populasi yang termasuk dalam penelitian ini adalah semua pasien yang
mengalami nonunion pada tulang panjang anggota gerak bawah dengan fiksasi
plate and screw di beberapa rumah sakit pendidikan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin, Makasar.
3.1.3. SAMPEL PENELITIAN DAN CARA PENGAMBILAN SAMPEL
Penelitian ini menggunakan semua pasien yang telah dioperasi konversi ke
intramedullary nailing dan diseleksi memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Cara pengambilan sampel yaitu dengan melakukan pengumpulan data
medik pasien sebagai data sekunder dan melakukan wawancara dan pemeriksaan
klinis dan radiologis sebagai data primer.
21
22
3.1.4. BESARAN SAMPEL
Besaran sampel yang digunakan adalah semua pasien yang telah menjalani
operasi konversi ke intramedullary nail pada kasus nonunion dengan fiksasi plate
and screw
3.1.5 KRITERIA INKLUSI, EKSLUSI DAN WITHDRAWAL
a. Kriteria inklusi
1. Pasien hipertrofi nonunion dan atrofi nonunion pada diafisis femur
proximal third, middle third dan distal third setelah difiksasi dengan plate
and screw
2. Pasien telah dioperasi konversi ke reaming intramedullary nail minimal 6
bulan pasca operasi
b. Kriteria Ekslusi
1. Pasien yang disertai dengan fraktur tibia pada sisi yang sama
c. Kriteria Withdrawal / Drop Out
1. Pasien kriteria Inklusi menolak seluruh tindakan penelitian terhadap
dirinya
untuk dijadikan subyek penelitian dimulai sesaat setelah tindakan operasi
sampai sembuh.
2. Pasien kriteria Inklusi hilang kontak (tidak datang untuk kontrol kesehatan)
lebih dari 1 (satu) tahun.
23
3.1.6 ALAT DAN BAHAN
1) Medical Record dan Surgical Database
2) Camera Panasonic Lumix FX-12
3) Solid Intramedullary Locking Nail set
4) X-Ray machine (Siemens Model No.03070013 Made in German-Siemens
Opitop 150/40/80/HC-1003 PH Model No.03345209 Serial No.
401330944 Made in China)
5) Computer and Data analysis software
a. Microsoft Office Excel 2010
b. SPSS 17
6) Laptop ASUS N46V
7) Mistar Goniometer merk Synthes
3.2 METODE PENELITIAN
3.2.1 DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian berupa retrospective case analysis
3.2.2 CARA KERJA PENELITIAN
1. Mengidentifikasi pasien nonunion sesuai kriteria inklusi dari rekam medis
dan register pasien di beberapa rumah sakit pendidikan Universitas
HasanuddinMakassar sebagai data sekunder, kemudian di bagi ke dalam
24
grup lokasi fraktur proximal third, middle third, distal third. Dan juga grup
tipe nonunion : hipertrofi nonunion dan atrofi nonunion
2. Pasien yang memenuhi kriteria penelitian menjalani prosedur wawancara
sesuai format penelitian, pemeriksaan fisik dan radiologis sebagai data
primer untuk memperoleh data hasil klinis.
3. Melakukan evaluasi penyembuhan tulang pada foto x-ray pada pasien yang
telah menjalani operasi konversi ke reaming intramedullary naiing.
Penilaian dilakukan menggunakan skoring Callus Index, dengan periode
kontrol pasien setiap 6-10 minggu. Dimana pada skor ini dapat ditentukan
secara kuantitatif fraktur sudah sembuh atau belum.
4. Melakukan analisa statistik dengan uji non parametric test
5. Menilai proses penyembuhan pada kedua grup, dan menilai variabel yang
memberikan pengaruh terhadap proses penyembuhan tulang pada kedua
grup
6. Hasil dikumpulkan, dicatat dan dianalisa, kemudian akan dilakukan diskusi
dan pengambilan keputusan dari prosedur tersebut.
25
3.2.3 ALUR PENELITIAN
3.2.4 ALOKASI SUBYEK
1) Kriteria Subyek
Kelompok nonunion setelah difiksasi plate and screw pada ekstremitas
bawah dikonversi ke intramedullary nailing yang telah dioperasi di RS
Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya, Makassar, kurun waktu tahun 2008-
2013
Seleksi Medical Record dan Registrasi Pasien Tahun 2008-2013
Identifikasi Data :Identitas PasienAnamnesisPemeriksaan FisikDiagnosis dan PenatalaksanaanLaporan OperasiStatus Kontrol PoliklinikPemeriksaan X-RAY
Proksimal Fraktur Distal Fraktur
Penilaian hasil operasi
Analisis Radiological Healing
Analisis dan Pengolahan Data
Seleksi pasien yang sesuai kriteria inklusi
Middle Fraktur
26
2) Kriteria Obyektif
Skala hasil penyembuhan tulang berdasarkan nilai dari Callus Index
3.2.5 DEFINISI OPERASIONAL
1. Atrofi Nonunion disini didefinisikan bahwa secara radiologis fraktur yang
belum sembuh dengan garis fraktur yang masih jelas, tidak terjadi bridging kalus
antara fraktur maupun tidak ada formasi kalus disekitarnya, disertai dengan
adanya tanda resorbsi pada ujung fragmen fraktur dalam waktu minimal 6 bulan
setelah dilakukan operasi plate and screw
2. Hipertrofi Nonunion didefinisikan sebagai fraktur yang secara radiologis
terdapat formasi kalus yang pada ujung-ujung fraktur fragmen lebih besar dari
korteks sehat, namun masih terlihat jelas garis fraktur dan belum terbentuk
bridging kalus dalam waktu minimal 6 bulan setelah dilakukan operasi plate and
screw
3. Radiological union adalah sembuhnya fraktur secara radiologis dinilai yaitu
tidak tampaknya garis fraktur disertai dengan terbentuknya bridging kalus yang
solid setelah serial evaluasi dengan kalus indeks
4. Shaft femur adalah bagian diafisis tulang femur yang disini ditentukan yaitu
batas proksimal femur 5cm dibawah lesser trochanter dan batas distal diatas
daerah metafisis distal femur. Batas metafisis distal femur yaitu ukuran yang sama
dengan ukuran dari distal femur menggunakan diameter tranversal terbesar
kondilus femur distal. Kemudian dari batas yang didapat di proksimal dan distal,
27
jaraknya dibagi tiga untuk mendapatkan bagian femur proksimal, middle dan
distal
3.2.6 KLASIFIKASI VARIABEL
1) Variabel bebas
Prosedur Intramedullary Locking Nail
2) Variabel kontrol
Umur, Jenis Kelamin, bone graft, jumlah perdarahan, merokok
3) Variabel tergantung
Penyembuhan tulang secara radiologi
3.2.7. ANALISIS STATISTIK
Data yang diperoleh, diolah dengan bantuan piranti lunak dengan metode
statistik dan disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan grafik. Uji statistik yang
digunakan pada penelitian ini adalah Uji Non-parametric test dengan
menggunakan program computer SPSS for Windows version 17
Tabel 1. Frekuensi lokasi nonunion fraktur
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL PENELITIAN
4.1.1 Reaming Intramedullary Solid Nailing
Didapati lima puluh sembilan pasien dengan kasus aseptik nonunion pada
diafisis femur setelah difiksasi dengan plate and screw yang tercatat selama kurun
waktu bulan November 2007 hingga Mei 2013 yang dilakukan operasi konversi
ke reaming intramedullary locking nail di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo,
Makassar Sulawesi Selatan, namun hanya 22 diantaranya yang memenuhi kriteria
inklusi penelitian ini (Tabel 1).
No Lokasi Fraktur Frekuensi (%) n = 22
1 Proximal 6 (27,3)2 Middle 11 (50)3 Distal 5 (22,7)
Ket : n= Jumlah sampel
Dari 22 kasus yang termasuk dalam kriteria inklusi ini, telah diidentifikasi
sejumlah 6 kasus (27,3%) dengan nonunion fraktur femur proximal third, 11
kasus (50%) dengan nonunion fraktur femur middle third dan 5 kasus (22,7%)
nonunion fraktur distal third.
28
Tabel 2. Frekuensi tipe nonunion fraktur
29
Grafik.1 Distribusi Umur
Pada
grafik
diatas
diperlihatkan bahwa distribusi umur pasien yang bervariasi dengan umur termuda
dilakukannya prosedur konversi ke reaming intramedullary nailing adalah 15
tahun dan tertua adalah 67 tahun dengan mean usia rata-rata 32,3 tahun
No Tipe Fraktur Frekuensi (%) n = 22
1 Atrofi 15 (68,2%)2 Hipertrofi 7 (31,8%)
Ket : n= Jumlah sampel
Dari 22 kasus yang termasuk dalam kriteria inklusi ini, telah diidentifikasi
sejumlah 15 kasus (68,2%) dengan atrofi nonunion, 7 kasus (31,8%) dengan
hipertrofi nonunion. Kemudian dari data sekunder yang ada masing-masing di
30
analisis hasil penyembuhan tulang secara radiologis dan dilakukan perbandingan
hasil antara fraktur proximal, medial, dan distal.
Tabel.3 Frekuensi Klasifikasi FrakturNo Tipe Fraktur Frekuensi (%) n = 22
1 W-H Tipe 1 7(31,8%)2 W-H Tipe 2 9(40,9%)
3 W-H Tipe 3 5(22,7%)
4 W-H Tipe 4 1(4,5%)W-H : Winquist Hansen Classification
Dari 22 kasus yang termasuk dalam kriteria inklusi ini, telah diidentifikasi
sejumlah 7 kasus tipe 1, 9 kasus tipe 2 , 5 kasus tipe 3 dan 1 kasus tipe 1 sesuai
dengan klasifikasi fraktur femur winquist-hansen
4.1.2 Proximal-third femur Nonunion
Hasil yang telah didapatkan dari data sekunder dan data primer pada
pasien kelompok nonunion fraktur proximal-third femur yang telah dilakukan
konversi ke reaming intramedullary nailing adalah sebagai berikut :
31
Pembentukan kalus indeks maksimal pada kelompok proximal third terjadi
pada mean 28,8 ±14,2 minggu
4.1.3 Middle-Third femur Nonunion
Hasil yang telah didapatkan dari data sekunder dan data primer pada pasien
kelompok nonunion fraktur middle third femur yang telah dilakukan konversi ke
reaming intramedullary nailing adalah sebagai berikut :
Pada kelompok middle third pembentukan kalus indeks maksimal, terjadi pada
mean 26,7 ±5,4 minggu
32
4.1.4 Distal-Third femur Nonunion
Hasil yang telah didapatkan dari data sekunder dan data primer pada
pasien kelompok nonunion fraktur distal third femur yang telah dilakukan
konversi ke reaming intramedullary nailing adalah sebagai berikut :
Pada kelompok middle third pembentukan kalus indeks maksimal, terjadi
pada mean 23,8 ±1,7 minggu
33
Pada grafik diatas menunjukkan pembentukan kalus indeks maksimal
paling lama tercapai pada fraktur bagian proximal-third dimana rata-rata waktu
tercapai solid union pada proximal adalah 28,8 minggu, pada middle solid union
26,6 minggu dan pada distal mencapai solid union pada 23,8 minggu. Secara
analisis statistik didapatkan signifikan bermakna pada perbedaan lokasi
mempengaruhi waktu healing.
34
Pada grafik diatas menunjukkan pada atrofi nonunion waktu solid union
sekitar 25,5 minggu, sedangkan pada hipertrofi nonunion sekitar 23,5 minggu.
Hipertrofi mencapai solid union lebih cepat 2 minggu, tapi secara analisis statistik
didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara waktu penyembuhan tulang
pada hipertrofi dan atrofi nonunion.
Pada kasus dengan menggunakan bone graft waktu mencapai solid union
sekitar 26 minggu dan tanpa bone graft 23,3 minggu. Secara statistik tidak
terdapat perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok.
4.1.1. Analisis Statistik
Nilai uji statistik dilakukan terhadap korelasi tercapainya kalus indeks
maksimal terhadap hubungannya dengan lokasi fraktur, klasifikasi fraktur, tipe
nonunion dan bone graft
35
Tabel 4 .Tes statistik terhadap kallus indeks maksimal
No Variabel nilai P1 Kalus Indeks - Lokasi Fraktur 0,043*2 Kalus Indeks - Klasifikasi Fraktur 0,36534
Kalus indeks - Tipe NonunionKalus Indeks - Bone Graft
0,3980,510
* Signifikan bila P <0,05
4.2. PEMBAHASAN
Nonunion fraktur pada shaft femur dengan broken implant masih sering kita
jumpai dan merupakan tantangan bagi ahli bedah ortopedi. Mengetahui kelebihan
dan kekurangan suatu prosedur penanganan nonunion tersebut sangat membantu
dalam pengambilan keputusan dalam menentukan prosedur apa yang akan
dilakukan.
Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa proses healing pada nonunion
dengan broken implant pada diafisis femur setelah dioperasi menggunakan
reaming intramedullary nail rata-rata healing terbentuk solid union secara
radiologis pada 26,4 minggu. Dari analisis statistik terdapat perbedaan yang
signifikan antara proses healing pada proximal, middle dan distal. Dimana pada
fraktur lokasi proksimal didapati 1 pasien persisted nonunion dan 2 pasien
delayed union serta yang lainnya waktu healing yang rata-rata lebih lama range
28-36 minggu, hal ini bertolak belakang dengan data awal dimana didapati
frekwensi nonunion setelah dilakukan plating lebih banyak pada daerah middle
third. Hal ini mungkin dikarenakan secara umum sebaran demografi dari fraktur
femur di RS wahidin sudirohusodo paling banyak didapati fraktur pada middle
third, jadi paling banyak frekwensi fraktur didaerah middle third. Pada fraktur
36
middle third dan distal third rata-rata terdapat waktu healing yang hampir sama
sekitar 23-25 minggu. Pada penelitian aro et al(47). didapati lokasi fraktur tidak
mempengaruhi waktu healing dimana mean waktu tercapai healing pada ketiga
lokasi tersebut hampir sama yaitu 24 minggu. Faktor lokasi fraktur memang bisa
berpengaruh terhadap penyembuhan tulang sebab secara anatomi deforming force
otot-otot pada proksimal femur lebih besar.(48) Disamping itu pada 3 pasien yang
mengalami non union (1) dan delayed union (2) pada waktu trauma akut
mengalami fraktur komunitif dengan kerusakan soft tissue disekitarnya, hal ini
yang menjadi penyebab nonunion tersebut selain dari faktor host sendiri yaitu
terdapat riwayat merokok Untuk pasien yang tidak union dan delayed union,
dilakukan dynamization yaitu melepas locking screw proximal dari fraktur.
Berdasarkan studi dari aro et al(47), pola fraktur mempengaruhi bone
healing dimana pada fraktur dengan pola stabil transverse lebih cepat (solid union
24 minggu) terbentuk kalus dibanding dengan yang oblique unstable (solid union
30 minggu). Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan signifikan pada
penyembuhan tulang secara radiologis berdasarkan klasifikasi pola fraktur
winquist-hansen. Solid union tercapai pada rata-rata 24,7 minggu pada keempat
jenis klasifikasi fraktur. Pada studi aro et al diatas dilakukan pada kelompok
fraktur femur yang akut, jadi pada rekonstruksi pasca nonunion fraktur didapatkan
klasifikasi jenis pola fraktur tidak berpengaruh terhadap waktu mencapai solid
union.
Berdasarkan vaskularisasi dan potensi osteogenik nonunion dibagi atas
hipertrofi dan atrofi. Hipertrofi nonunion mempunyai potensi healing yang baik
37
namun terjadinya nonunion karena fiksasi yang tidak baik atau kehilangan
stabilitas seiring dengan waktu, sedangkan atrofi nonunion terjadi disamping
karena fiksasi yang tidak baik tapi juga karena kurangnya potensi osteogenik pada
daerah fraktur tersebut.(49) Secara literatur demikian, namun pada penelitian ini
didapatkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara bone healing pada
hipertrofi nonunion dan atrofi nonunion, keduanya mencapai mean rata-rata solid
union pada 26,8 minggu. Sesuai penelitian yang ada oleh Naeem-ur-Razaq et
al(48) mendapatkan hasil yang sama dengan literatur yaitu hipertrofi lebih baik
namun mereka menggunakan prosedur unreaming nail. Pada penelitian ini
didapatkan tidak ada perbedaannya healing antara hipertrofi dan atrofi
kemungkinan karena adanya faktor reaming intramedulla, dimana kondisi tersebut
dapat membantu penyembuhan nonunion.
Penggunaan solid intramedullary nailing memberikan hasil yang lebih baik
dibanding menggunakan flexible nail. Pada penelitian Beredjiklian et
al(50)didapatkan persentasi union 40% pada penggunaan flexible intramedullary
nailing sedangkan menggunakan solid nailing didapatkan presentasi union 80%.
Hal ini sesuai dengan penelitian ini dapatkan healing rate 95%.
Pada rekonstruksi pasca nonunion plating hasil penelitian ini mendapatkan
hasil yang sama antara rekonstruksi menggunakan bone graft atau tanpa bone
graft yaitu solid union pada rata-rata minggu ke 24, sehingga bone graft tidak
diperlukan pada konversi menggunakan reaming intramedullary nail. Hal ini
sesuai dengan penelitian emara et al(51) didapati tidak diperlukan penggunaan
bone graft pada rekonstruksi nonunion baik itu hipertrofi maupun atrofi nonunion.
38
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konversi ke reamed solid interlocking
nail efektif dalam mencapai union baik pada kasus hipertrofi maupun atrofi
nonunion. Hasil penelitian ini juga mendukung bukti literatur review sebelumnya
oleh Brinker et al (52)bahwa penggunaan nailing dapat menstimulasi healing
response karena adanya internal bone graft dari reamed medulla,serta konstruksi
mechanical stability yang lebih baik dari plate and screw.
Rata-rata keberhasilan penanganan nonunion dengan konversi ke reamed
interlocking nail adalah sekitar 53-100% dengan mean solid union pada minggu
ke 24.(53-54) Sesuai dengan penelitian ini diperoleh healing rate 95% dengan mean
rata-rata tercapai solid union pada minggu ke 24,9
Pada nonunion dengan adanya broken implant vaskularisasi periosteal
dianggap terganggu dikarenakan kompresi plate and screw yang difiksasi diatas
periosteal. Kontroversi yang ada adalah dengan melakukan reaming akan
menganggu vaskularisasi intramedulla. Namun dari literatur yang ada, dengan
melakukan reaming medulla canal tidak terjadi penurunan aliran darah akut pada
medulla yang signifikan, dengan melakukan reaming terjadi peningkatan aliran
darah extraosseus yang merupakan cara untuk revaskularisasi kallus yang
dominan pada fiksasi reaming interlocking nail hal ini merupakan keuntungan
biologik bagi nonunion fraktur disamping reaming menghasil internal bone graft
juga menghasilkan kondisi biologik yang mendukung untuk terciptanya bone
healing.(55)
Penelitian ini memberikan gambaran tentang hasil penyembuhan tulang
secara radiologis pada kasus nonunion dengan broken implant dikonversi ke
39
reaming intramedullary nail yang telah dilakukan oleh bagian ortopedi dan
traumatologi universitas Hasanuddin. Dimana memperlihatkan hasil union rate
yang tinggi. Kekurangan dari penelitian ini adalah jumlah sampel yang sedikit.
Untuk hasil yang lebih bermakna mungkin perlu follow up yang lebih lama dan
melakukan evaluasi tentang teknik yang ada.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
1. Konversi ke reamed interlocking nail dari kasus nonunion plate and screw
fixation merupakan suatu pilihan prosedur yang memberikan hasil yang
baik. Dengan union rate yang tinggi sehingga prosedur ini dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan pada penanganan kasus nonunion dengan
broken implant pada femur
2. Tidak diperlukan penggunaan iliac bone graft dalam menangani kasus
nonunion pada femur dengan broken implant jika akan dikonversi ke
reaming intramedullary nailing
5.2 SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sampel
yang jauh lebih besar sehingga didapatkan hasil yang lebih baik
2. Perlu dilakukan analisa lanjut dengan follow up yang lebih lama
dengan menganalisa korelasi clinical healing dan radiological healing
serta functional outcome untuk hasil yang lebih bermakna
40
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Museru LM, McHaro CN. The dilemma of fracture treatment in developing countries. Int Orthop. 2002;26(6):324-7.2. Brumback RJ, Uwagie-Ero S, Lakatos RP, Poka A, Bathon GH, Burgess AR. Intramedullary nailing of femoral shaft fractures. Part II: Fracture-healing with static interlocking fixation. J Bone Joint Surg Am. 1988 Dec;70(10):1453-62.3. Kempf I, Grosse A, Beck G. Closed locked intramedullary nailing. Its application to comminuted fractures of the femur. J Bone Joint Surg Am. 1985 Jun;67(5):709-20.4. Wiss DA, Fleming CH, Matta JM, Clark D. Comminuted and rotationally unstable fractures of the femur treated with an interlocking nail. Clin Orthop Relat Res. 1986 Nov(212):35-47.5. Thompson F, O'Beirne J, Gallagher J, Sheehan J, Quinlan W. Fractures of the femoral shaft treated by plating. Injury. 1985 Sep;16(8):535-8.6. Bostman O, Varjonen L, Vainionpaa S, Majola A, Rokkanen P. Incidence of local complications after intramedullary nailing and after plate fixation of femoral shaft fractures. J Trauma. 1989 May;29(5):639-45.7. Cheng JC, Tse PY, Chow YY. The place of the dynamic compression plate in femoral shaft fractures. Injury. 1985 Sep;16(8):529-34.8. Riemer BL, Butterfield SL, Burke CJ, 3rd, Mathews D. Immediate plate fixation of highly comminuted femoral diaphyseal fractures in blunt polytrauma patients. Orthopedics. 1992 Aug;15(8):907-16.9. Ring D, Jupiter JB, Sanders RA, Quintero J, Santoro VM, Ganz R, et al. Complex nonunion of fractures of the femoral shaft treated by wave-plate osteosynthesis. J Bone Joint Surg Br. 1997 Mar;79(2):289-94.10. Klemm KW. Treatment of infected pseudarthrosis of the femur and tibia with an interlocking nail. Clin Orthop Relat Res. 1986 Nov(212):174-81.11. Brinker MR, O'Connor DP. Ilizarov compression over a nail for aseptic femoral nonunions that have failed exchange nailing: a report of five cases. J Orthop Trauma. 2003 Nov-Dec;17(10):668-76.12. Slatis P, Paavolainen P. External fixation of infected non-union of the femur. Injury. 1985 Nov;16(9):599-604.13. Wang JW, Weng LH. Treatment of distal femoral nonunion with internal fixation, cortical allograft struts, and autogenous bone-grafting. J Bone Joint Surg Am. 2003 Mar;85-A(3):436-40.14. Wu CC, Chen WJ. Treatment of femoral shaft aseptic nonunions: comparison between closed and open bone-grafting techniques. J Trauma. 1997 Jul;43(1):112-6.15. Danckwardt-Lilliestrom G. Reaming of the medullary cavity and its effect on diaphyseal bone. A fluorochromic, microangiographic and histologic study on the rabbit tibia and dog femur. Acta Orthop Scand Suppl. 1969;128:1-153.16. Smrkolj V. Physiological principles of intramedullary nailing2007.17. Eastaugh-Waring SJ, Joslin CC, Hardy JR, Cunningham JL. Quantification of fracture healing from radiographs using the maximum callus index. Clin Orthop Relat Res. 2009 Aug;467(8):1986-91.18. Crock HV. Atlas of vascular anatomy of the skeleton and spinal cord. London: Martin Dunitz; 1996.
42
19. Reichert IL, McCarthy ID, Hughes SP. The acute vascular response to intramedullary reaming. Microsphere estimation of blood flow in the intact ovine tibia. J Bone Joint Surg Br. 1995 May;77(3):490-3.20. Wallace AL, Draper ER, Strachan RK, McCarthy ID, Hughes SP. The vascular response to fracture micromovement. Clin Orthop Relat Res. 1994 Apr(301):281-90.21. McCarthy I. The physiology of bone blood flow: a review. J Bone Joint Surg Am. 2006 Nov;88 Suppl 3:4-9.22. Tseng SS, Lee MA, Reddi AH. Nonunions and the potential of stem cells in fracture-healing. J Bone Joint Surg Am. 2008 Feb;90 Suppl 1:92-8.23. Einhorn TA. Enhancement of fracture-healing. J Bone Joint Surg Am. 1995 Jun;77(6):940-56.24. Hayda RA, Brighton CT, Esterhai JL, Jr. Pathophysiology of delayed healing. Clin Orthop Relat Res. 1998 Oct(355 Suppl):S31-40.25. Marsh D. Concepts of fracture union, delayed union, and nonunion. Clin Orthop Relat Res. 1998 Oct(355 Suppl):S22-30.26. Nichols T. MAnual of internal fixation. Archives of Surgery. [doi: 10.1001/archsurg.1980.01380110137029]. 1980;115(11):1405-.27. Rüedi TPMWM. AO principles of fracture management. Stuttgart; New York; Davos Platz, [Switzerland]: Thieme ; AO Pub.; 2007.28. GW WI. Intramedullary nailing of femoral and tibial shaft fractures. Journal Orthopedic Science. 2006;11:657-69.29. Neubaueri Th BG, Wagner M. Open Fractures and Infection: Current Concepts Review. Acta Chirurgiae Orthopaedicae et Traumatologiae Čechosl. 2006;73:301-12.30. Ramseier LE JJ, Weir S, Narayanan UG. Femoral Fractures in Adolescents: A Comparison of Four Methods of Fixation. Journal Bone and Joint Surgery. 2010;92:1122-9.31. Brinker MR OCD. Current Concepts Review Exchange Nailing of Ununited Fractures. Journal Bone and Joint Surgery. 2007;89:177-88.32. Salminen S. Femoral Shaft Fractures in Adults: Epidemiology, Fracture Patterns, Nonunions, and Fatique Fractures [Academic dissertation]. Helsinki University of Helsinki; 2005.33. Wolinsky P TN, Richmond JH, Koval KJ, Egol K, Stephen DJG. Controversies in Intramedullary Nailing of Femoral Shaft Fractures. Journal Bone and Joint Surgery. 2001;83:1404-15.34. Selek H AH, Kınık H, Yavuz OY, Mergen E. Antegrade Locked Nailing Of Adult Femoral Shaft Fractures And Non-Union: A Retrospective Review of 48 Case. Ankara Üniversitesi Tıp Fakültesi Mecmuası. 2007;60(3):123-9.35. Smith RM GP. Femoral Shaft Fractures. In: Browner BD JJ, Levine AM, Trafton PG, Krettek C, editor. Skeletal Trauma: Basic Science, Management and Reconstruction. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2008. p. 1879-924.36. Bucholz RW JA. Fractures of the shaft of the femur. Journal Bone and Joint Surgery. 1991;73:1561-6.37. Zirkle Jr LG SD. SIGN Technique for Retrograde and Antegrade Approaches to Femur: Review Article. Techniques in Orthopaedics. 2009;24(4):247-52.38. LG ZJ. Technique Manual of SIGN IM Nail & Interlocking Screw System Insertion & Extraction Guide 2007.
43
39. Ikpeme I NN, Udosen A, Onuba O, Enembce O, Bello S. External Jig-Aid IM Interlocking Nailing of Diaphyseal Fractures: Experience from a Tropical Developing Centre. International Orthopaedics (SlCOT). 2009;35(1):107-11.40. Ikem IC OJ, Ine HR. Achieving Interlocking Nails without Using an Image Intensifier. International Orthopaedics (SICOT). 2007;31:487-90.41. Gosselin RA HM, Zirkle L. Cost-Effectiveness of Replacing Skeletal Traction by Interlocked Intramedullary Nailing for Femoral Shaft Fractures in a Provincial Trauma Hospital in Cambodia. International Orthopaedics (SICOT). 2009;33:1445–8.42. Ostrum RF MA, Marburger R. A Critical Analysis of the Eccentric Starting Point for Trochanteric Intramedullary Femoral Nailing. Journal Orthopedic Trauma. 2005;19:681-6.43. Azar MS SM, Nasab MHK, Khalilian AR. Surgical Treatment and Results of the Fractures with Medullary Nailing. Saudi Medical Journal. 2006;27(2):279-82.44. Brumback RJ TT, M. Murphy-Zane MS, Novak VP, Belkoff SM. Immediate Weight-Bearing After Treatment of a Comminuted Fracture of the femoral shaft with a Statically Locked Intramedullary nail. Journal Bone and Joint Surgery. 1999;81:1538-44.45. Ilyas M IM, Tareen S. Interlocked Intramedullary Nailing of Long Bones. Professional Medical Journal. 2008;15(4):449-54.46. Debrauwer S HK, Verdonk R. Anterograde Femoral Nailing With Reamed Interlocking Titanium Alloy Nail. Acta Orthopaedica Belgica. 2000;66(5):484-9.47. Aro HT, Chao EY. Bone-healing patterns affected by loading, fracture fragment stability, fracture type, and fracture site compression. Clin Orthop Relat Res. 1993 Aug(293):8-17.48. Naeem-ur-Razaq M, Qasim M, Sultan S. Exchange nailing for non-union of femoral shaft fractures. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2010 Jul-Sep;22(3):106-9.49. Yu CW, Wu CC, Chen WJ. Aseptic nonunion of a femoral shaft treated using exchange nailing. Chang Gung Med J. 2002 Sep;25(9):591-8.50. P. K. BEREDJIKLIAN MD, R. J. NARANJA, M.D., R. B. HEPPENSTALL, M.D., C. T. BRIGHTON, M.D., PH.D., AND, J. L. ESTERHAI MD. Results of Treatment of 111 Patients With Nonunion ofFemoral Shaft Fractures. The University of Pennsylvania Orthopaedic Journal. 1999;12:52-6.51. Emara KM, Allam MF. Intramedullary fixation of failed plated femoral diaphyseal fractures: are bone grafts necessary? J Trauma. 2008 Sep;65(3):692-7.52. Brinker MR, O'Connor DP. Exchange nailing of ununited fractures. J Bone Joint Surg Am. 2007 Jan;89(1):177-88.53. Weresh MJ, Hakanson R, Stover MD, Sims SH, Kellam JF, Bosse MJ. Failure of exchange reamed intramedullary nails for ununited femoral shaft fractures. J Orthop Trauma. 2000 Jun-Jul;14(5):335-8.54. Wu CC, Shih CH, Chen WJ, Tai CL. Treatment of ununited femoral shaft fractures associated with locked nail breakage: comparison between closed and open revision techniques. J Orthop Trauma. 1999 Sep-Oct;13(7):494-500.55. Wolinsky P, Tejwani N, Richmond JH, Koval KJ, Egol K, Stephen DJ. Controversies in intramedullary nailing of femoral shaft fractures. Instr Course Lect. 2002;51:291-303.
Lampiran 1. Contoh Pengukuran Kallus Index Ratio
Gambar Pengukuran Serial Callus Index Ratio
Atrofi Nonunion dengan fiksasi plate and screw
Pengukuran Callus Index Ratio 6 minggu post op
44
45
Pengukuran callus index ratio 12 minggu post op AP dan Lateral View
Pengukuran Callus index ratio minggu 18 post op
46
Pengukuran Callus Index Ratio minggu 24 post op . Peak callus Ratio
Callus Index di minggu 28 post op, mulai mengalami remodelling
47
Lampiran 2 – Data pasien nonunion yang telah dilakukan prosedur fiksasi dengan
Reaming Solid Intramedullary Locking Nail
NO SEX AGE Fracture Level
W-H Class
Type Of Nonunion
Nonunion time (mo)
BG From Iliac
1st Callus Formation
(wk)
Max Callus Index (wk)
Op Time (min)
Blood Loss (ml)
Smoking History
1 M 15 M/3 1 Atrofi 8 (+) 6 24 120 200 (+)2 M 52 U/3 2 Atrofi 7 (+) 12 36 110 400 (-)
3 M 34 L/3 1 Atrofi 8 (+) 10 24 140 300 (+)
4 M 46 L/3 2 Atrofi 6 (+) 8 30 170 250 (+)
5 F 55 U/3 3 Atrofi 18 (-) 0 0 85 300 (+)
6 M 18 M/3 1 Atrofi 8 (-) 8 30 90 400 (-)
7 M 49 M/3 1 Atrofi 8 (+) 12 36 165 400 (-)
8 M 26 M/3 3 Atrofi 9 (+) 10 24 140 200 (+)
9 M 19 M/3 1 Atrofi 7 (-) 6 24 90 200 (-)
10 M 21 U/3 1 Atrofi 7 (-) 8 24 85 450 (+)
11 F 17 L/3 3 Atrofi 6 (-) 6 24 90 600 (-)
12 F 18 U/3 1 Atrofi 8 (-) 8 24 90 300 (-)
13 M 32 U/3 2 Atrofi 9 (+) 10 26 140 300 (-)
14 M 21 M/3 3 Atrofi 8 (+) 6 24 150 250 (-)
15 F 45 U/3 2 Atrofi 8 (+) 6 30 140 250 (-)
16 M 19 M/3 3 Hipertrofi 9 (+) 10 24 130 250 (-)
17 M 28 M/3 2 Hipertrofi 8 (-) 8 30 80 550 (-)
18 F 17 M/3 2 Hipertrofi 7 (+) 8 24 150 700 (-)
19 M 47 M/3 2 Hipertrofi 7 (+) 8 30 140 650 (-)
20 F 67 M/3 3 Hipertrofi 8 (-) 12 36 90 600 (-)
21 F 20 M/3 2 Hipertrofi 8 (+) 6 22 120 550 (-)
22 M 45 L/3 2 Hipertrofi 6 (-) 6 28 80 700 (-)
W-H: Winquist-Hansen Classification; BG: Bone Graft; U/3: Upper Third; M/3: Middle Third; L/3: Lower Third
48
Data pengukuran callus index pasien nonunion dengan broken implant yang telah
dilakukan Reamed Interlocking Nail
NAMA Tipe NonUnion UMUR Kelamin XRAY 6
wk12 wk
18 wk 24 wk 30 wk 36 wk 42 wk
Amri Rahman Atrofi 15 LAP 1,1 1,12 1,31 1,57 1,41 1,36 1,25LAT 1,22 1,37 1,4 1,42 1,42 1,41 1,36
Musliadi Hipertrofi 19 LAP 1,18 1,29 1,33 1,46 1,43 1,33 1,21LAT 1,21 1,39 1,4 1,42 1,42 1,34 1,21
Andarias Atrofi 52 LAP 1,1 1,13 1,17 1,2 1,2 1,33 1,31LAT 1,04 1,1 1,1 1,15 1,21 1,3 1,3
RIO BIU Hipertrofi 28 LAP 1,23 1,3 1,34 1,35 1,37 1,24 1,2LAT 1,17 1,21 1,42 1,45 1,39 1,23 1,21
LA ODE Atrofi 34 LAP 1,18 1,29 1,33 1,46 1,43 1,33 1,21LAT 1,21 1,39 1,4 1,42 1,42 1,34 1,21
ALEXANDER Atrofi 46 LAP 1,1 1,12 1,31 1,57 1,41 1,36 1,25LAT 1,22 1,37 1,4 1,42 1,42 1,41 1,36
NURTANG Hipertrofi 25 LAP 1,18 1,29 1,33 1,46 1,43 1,33 1,21LAT 1,21 1,39 1,4 1,42 1,42 1,34 1,21
RAODAH Atrofi 55 PAP 1,08 1,13 1,29 1,37 1,32 1,22 1,19LAT 1,11 1,21 1,31 1,43 1,37 1,29 1,1
FADLI SYARAF Atrofi 18 LAP 1,18 1,29 1,33 1,46 1,43 1,33 1,21LAT 1,21 1,39 1,4 1,42 1,42 1,34 1,21
TOLLE Atrofi 49 LAP 1,1 1,13 1,17 1,2 1,2 1,33 1,31LAT 1,04 1,1 1,1 1,15 1,21 1,3 1,3
RAMLIAtrofi 26 L
AP 1,1 1,12 1,31 1,57 1,41 1,36 1,25LAT 1,22 1,37 1,4 1,42 1,42 1,41 1,36
SUPRIAWAN Atrofi 19 LAP 1,08 1,12 1,24 1,37 1,28 1,26 1,22LAT 1,22 1,39 1,41 1,42 1,42 1,41 1,36
RISMAN Atrofi 21 LAP 1,18 1,29 1,33 1,46 1,43 1,33 1,21LAT 1,21 1,39 1,4 1,42 1,42 1,34 1,21
INTAN MARIANI Atrofi 17 PAP 1,1 1,12 1,31 1,57 1,41 1,36 1,25LAT 1,22 1,37 1,4 1,42 1,42 1,41 1,36
NURFADILLAH Atrofi 17 PAP 1,13 1,17 1,31 1,57 1,41 1,36 1,25LAT 1,22 1,37 1,4 1,42 1,42 1,41 1,36
DINA GERHANI Atrofi 18 PAP 1,08 1,12 1,24 1,37 1,28 1,26 1,22LAT 1,22 1,39 1,41 1,42 1,42 1,41 1,36
SARMIN Atrofi 32 LAP 1,1 1,12 1,31 1,57 1,41 1,36 1,25LAT 1,22 1,37 1,4 1,42 1,42 1,41 1,36
FATURRAHMAN Atrofi 21 LAP 1 1,05 1,05 1,05 1,05 1,06 1,06LAT 1 1 1,03 1,03 1,03 1,03 1,03
MUHCSEN Hipertrofi 59 LAP 1,1 1,12 1,31 1,57 1,41 1,36 1,25LAT 1,22 1,37 1,4 1,42 1,42 1,41 1,36
NYOMAN Hipertrofi 47 LAP 1,08 1,12 1,24 1,37 1,28 1,26 1,22LAT 1,22 1,39 1,41 1,42 1,42 1,41 1,36
SUTRA Hipertrofi 67 PAP 1,1 1,12 1,31 1,57 1,41 1,36 1,25LAT 1,22 1,37 1,4 1,42 1,42 1,41 1,36
NURKASTAMINA Hipertrofi 20 P
AP 1,08 1,12 1,24 1,37 1,28 1,26 1,22LAT 1,22 1,39 1,41 1,42 1,42 1,41 1,36
49
Lampiran 3. Analisis Statistik
Analisis statistik lokasi fraktur- terhadap waktu tercapainya solid unionlokasi * kalusmax Crosstabulation
Count
kalusmax
Total,00 20,00 21,00 22,00 24,00 25,00 26,00 32,00 34,00 35,00 36,00
lokasi proximal 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 2 6
middle 0 1 0 3 5 2 0 0 0 0 0 11
distal 0 0 1 0 3 0 1 0 0 0 0 5
Total 1 1 1 3 8 2 1 1 1 1 2 22
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 32,000a 20 ,043
Likelihood Ratio 35,072 20 ,020
Linear-by-Linear Association 1,382 1 ,240
N of Valid Cases 22
a. 33 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is ,23.
50
Correlations
tipenonunion bonegraft kalusmax Klasifikasi
Spearman's
rho
tipenonunio
n
Correlation
Coefficient1,000 ,027 -,189 ,285
Sig. (2-tailed) . ,905 ,398 ,198
N 22 22 22 22
bonegraft Correlation
Coefficient,027 1,000 -,045 -,054
Sig. (2-tailed) ,905 . ,843 ,811
N 22 22 22 22
kalusmax Correlation
Coefficient-,189 -,045 1,000 -,203
Sig. (2-tailed) ,398 ,843 . ,365
N 22 22 22 22
Klasifikasi Correlation
Coefficient,285 -,054 -,203 1,000
Sig. (2-tailed) ,198 ,811 ,365 .
N 22 22 22 22
Analisis statistik korelasi antara waktu tercapai solid union terhadap penggunaan
bone graft dan terhadap tipe nonunion
51
Analisis statistik bone graft-solid union (max. callus index)Chi-Square Tests
bonegraft Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
positif Pearson Chi-Square 1,733c 1 ,188
Continuity Correctionb ,364 1 ,546
Likelihood Ratio 2,588 1 ,108
Fisher's Exact Test ,497 ,294
Linear-by-Linear
Association1,600 1 ,206
N of Valid Cases 13
negatif Pearson Chi-Square 3,600d 1 ,058
Continuity Correctionb 1,406 1 ,236
Likelihood Ratio 4,727 1 ,030
Fisher's Exact Test ,167 ,119
Linear-by-Linear
Association3,200 1 ,074
N of Valid Cases 9
Total Pearson Chi-Square ,187a 1 ,665
Continuity Correctionb ,000 1 1,000
Likelihood Ratio ,185 1 ,667
Fisher's Exact Test 1,000 ,510
Linear-by-Linear
Association,179 1 ,673
N of Valid Cases 22
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,55.
b. Computed only for a 2x2 table
c. 3 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,92.
d. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,33.