Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
76
BAB IV
DIALEKTIKA KONSEP MASHLAHAT DAN HAM TERHADAP
PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM PERADILAN HAM
BERAT
A. Tinjauan Paradigma Perlindungan HAM Terhadap Pemberlakuan Asas
Retroaktif dalam Peradilan HAM Berat
Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu
pada diri hukum. Namun dilihat dari sudut hukum, hak dan kewajiban secara
individual selalu berkonotasi dengan hak dan kewajiban individu yang
lainnya. Di samping itu, karena hukum tidak hanya mengatur tentang
hubungan antar individu di dalam pergaulan masyarakat, tetapi juga
hubungan individu dengan lingkungan dan masyarakat sebagai salah satu
kesatuan komunitas.
Menurut Barda Nawawi, dalam konteks hak dan kewajiban antar
individu, hak asasi manusia (HAM) pada hakikatnya mengandung dua wajah,
yaitu HAM dalam arti “hak asasi manusia” dan “hak asasi masyarakat”.
Inilah dua aspek yang merupakan karakteristik dan sekaligus identitas hukum,
yaitu aspek kemanusiaan dan aspek kemasyarakatan (Nawawi, 2011 : 57).
Makna asas legalitas sebagai bentuk hak asasi yang berhubungan
dengan perlindungan hukum, Menurut Mujahidin pada prinsipnya sama
dengan pengertian “rule of law”. Jika asas legalitas dipandang sebagai bentuk
perlindungan hukum itu dikaitkan dengan kedudukan Negara Republik
Indonesia adalah “negara hukum”, maka sudah sewajarnya bahwa peran dan
77
fungsi pengadilan untuk menegakkan hukum, harus berpijak dan
berlandaskan atas hukum. Dengan demikian, akan terbangun satu kesatuan
tindakan dan arah law inforcement bertindak menurut rule of law (Mujahidin,
2011 : 25).
Gagasan tentang negara hukum ( the rule of law) telah muncul dalam
bentuk-bentuk yang bervariasi dalam sistem hukum yang berbeda-beda, akan
tetapi pada hakikatnya memiliki tujuan umum yang sama, yaitu “the
achievement and preservation of freedom of individual human being againts
the arbitrary assaults of collective power” (penghargaan atas hak-hak
individu manusia dari penyalahan gunaan wewenang kekuasaan yang
kolektif/negara) (Fadjar, 2000 : 13).
Menurut Peters & Koesriani sebagaimana dikutip Mukhtie Fadjar
untuk mengantisipasi adanya pelanggaran maka dalam penegakan rule of law
harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a) Kekuasaan umum seharusnya digunakan untuk kepentingan umum;
b) Kekuasaan dilaksanakan untuk maksud yang setepatnya, ada larangan
penyalahgunaan kekuasaan (de tournement de puvoir);
c) Pembuatan keputusan administratif harus wajar, dalam arti atas dasar
fakta yang benar, relevan dan alasan yang sahih;
d) Sesuai dengan prisip persamaan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia (HAM)
e) Terdapat prosedur bagi pihak yang berkepentingan untuk berargumentasi
misal lewat peradilan administrasi;
78
f) Menghormati praktek-praktek yang lazim dan hak-hak yang telah
diperoleh (vested rights) (Fadjar, 2000 : 13).
Untuk melihat suatu kebijakan hukum dalam sudut pandang HAM
maka langkah awal yang perlu di uraikan adalah tentang “prespektif”.
“Presepektif” merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan dalam
memandang sesuatu hal bedasarkan cara-cara tertentu dan cara tersebut
berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarnya, unsur-unsur
pembentuknya dan ruang lingkup apa yang di pandangnya. Secara ringkas
presepektif adalah kerangka kerja konseptual, sekumpulan asumsi, nilai dan
gagasan yang mempengaruhi manusia sehingga menghasilkan tindakan dalam
suatu konteks situasi tertentu (Marzuki, 2013 : 191).
Dalam praktik penerapan HAM, berkembang dua aliran presepektif
yang selalu diwarnai perdebatan antar keduanya. Aliran yang pertama yaitu
presepektif universal (universalisme). Menurut paham ini penerapan HAM
haruslah bersifat universal artinya HAM berlaku untuk semua orang,
dimanapun dan kapanpun (everyone and everyhere). Rhoda E. Howard yang
merupakan pendukung paham ini berpendapat bahwa hak asasi manusia
adalah hak yang dimiliki manusia karena ia adalah manusia. Setiap manusia
memiliki hak asasi yang tidak dapat di ingkari dan di cabut kecuali dengan
keputusan hukum yang adil. Konsepsi HAM menganggap bahwa perbedaan
ras, jenis kelamin, gender bahkan agama tidak lagi relevan secara politik
hukum, sehingga menuntut adanya perlakuan yang sama bagi semua orang.
Universalisme merupakan pernyataan hukum dan prinsip, bukan sekedar
79
pernyataan praktik sehingga harus di terapkan secara empirik (Marzuki, 2013
: 191).
Aliran yang kedua adalah aliran presepektif partikular
(partikularisme) dimana menurut pemahaman ini, pemberlakuan HAM
tidaklah bersifat universal, tetapi kontekstual. Kontekstualitas HAM yang
kemudian dikonstruksikan sebagai partikular itu setidaknya muncul semenjak
Asosiasi Antropolog Amerika menyerahkan pernyataan mereka tentang HAM
pada tahun 1947 kepada komisi HAM PBB ketika PBB akan menyusun
Deklarasi Unversal HAM. Menut mereka HAM abad 20 tidak bisa ditentukan
oleh standar budaya tertentu atau keinginan tertentu atau keinginan kelompok
tertentu (Marzuki, 2013 : 191).
Dalam konteks pemberlakuan asas retroaktif pada Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat (1)1
yang berbunyi :
“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkanya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
pengadilan HAM ad hoc.”2
Dan ditegaskan kembali dalam penjelasan pasal 4 Undang-undang No.
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi :
“… Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat
dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia
yang digolongkan kedalam kejahatan kemanusiaan.”3
1 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diakses dari
http://polkam.go.id/LinkClick.aspx?fileticket, pada tanggal 18 Maret 2014.
2 Pengadilan HAM Ad Hoc adalah pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum
yang dibentuk oleh pemerintah, untuk menuntut, dan mengadili para pelaku pelanggaran HAM
yang berat sebagaimana diatur dalam Bab VIII Undang-undang No.26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM.
80
Jika ditinjau secara “yuridis normatif” kedua pasal dalam undang-
undang tersebut tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dimana
pasal 28 I ayat (1) menyebutkan “….hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun”. Hal ini karena menurut putusan
Mahkamah Konstitusi nomor 065/PUU-II/2004, pasal 28 I masih berkaitan
dengan pasal 28 J ayat (2) dimana pasal tersebut berbunyi “dalam
menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditentukan
undang-undang...” (Marzuki, 2013 : 195-196)
Atas dasar tersebut putusan MK nomor 065/PUU-II/2004 menolak
permohonan pemohon dengan dalil-dalil yang diajukan untuk uji material
undang-undang, sehingga pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan
oleh karenanya tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
Akan tetapi menurut penulis jika ditinjau dari presepektif
“perlindungan HAM,” kedua pasal yang memberlakukan asas retroaktif bagi
pelanggar HAM berat, merupakan pelanggaran HAM karena hak untuk tidak
dapat di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tergolong didalam hak asasi absolut yang tidak dapat dapat dikurangi
(non-deroghable rights). Menurut Ifdal Kasim, non-deroghable rights adalah
hak-hak yang tercakup dalam hak sipil dan politik yang bersifat absolut yang
3
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia diakses dari
http://komnasham.go.id/uuri39.pdf/ pada tanggal 18 Maret 2014.
81
tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun termasuk
sistem (negara).
Hak hak yang tergolong dalam non-deroghable right antara lain
adalah hak untuk hidup (rights to life), hak untuk bebas dari penyiksaan
(rights to be free from torture), hak bebas dari perbudakan (rights to be free
from slavery), hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut dan hak atas
kebebasan berfikir, keyakinan dan agama (Kasim, 2001 : xii-xiii).
Lebih jauh Mukhtie Fadjar berpendapat bahwa pembatasan oleh pasal
28 J ayat (2) hanya dapat dilakukan terhadap hak-hak yang belum/tidak diatur
secara limitatif bedasarkan pasal 28 I ayat (1) yang antara lain adalah Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan termasuk hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut. Dengan kata lain pembatasan yang diperkenankan
hanyalah pada hak-hak yang tergolong dalam kategori deroghable rights (hak
yang boleh dikurangi oleh negara dalam keadaan tertentu). Yang termasuk
dalam deroghable rights antara lain hak atas kebebasan berkumpul secara
damai, hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi
anggota serikat buruh serta hak kebebasan menyatakan pendapat atau
berekspresi (baik melalui lisan atau tulisan) (Marzuki, 2013 : 197).
Ahmad Roestandi sebagaimana dikutip Suparman Marzuki menilai
bahwa frasa “…hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”,
82
khususnya kata-kata “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” adalah
kata-kata yang jelas yang dalam bahasa fiqh Islam adalah qoth‟i al-dilālah.
Jika pasal 28 ayat (2) bisa dimaknai untuk mengurangi dan membatasi
ketujuh hak yang diakui dalam pasal 28 I ayat (1), maka seharusnya tidak
perlu ada pengkhususan terhadap ketujuh kategori hak dalam pasal tersebut
(Marzuki, 2013 : 198).
B. Tinjauan Konsep Mashlahat Terhadap Pemberlakuan Asas Retroaktif
dalam Peradilan HAM Berat
Manusia sebagai mahluk Tuhan paling sempurna pada dasarnya di
karuniai sebuah “fitrah” (destiny) untuk menjadi khalifah di bumi. Untuk
merealisasikan fitrah-nya maka manusia memerlukan agama sebagai ajaran
kebajikan yang menuntun manusia untuk mencapai derajat khalifah
(Abdullah, 2003 : 125).
Meskipun harus berhadapan dengan tantangan modrenitas, agama
akan tetap mampu memainkan peran dan fungsinya dalam menciptakan
kesejahteraan, ketentraman manusia dalam peradabanya. Hal tersebut tentu
saja bergantung pada kemampuan umat beragama dalam memberikan
jawaban atas permasalahan sosial, ekonomi, budaya dalam tata kehidupanya.
Di perlukan interpretasi yang mampu menjawab tantangan perubahan
sosial sebagai akibat dari kemajuan sains dan humanisme. Masa depan
peradaban manusia tergantung kepada kemampuan “teolog” (mujtahid) dalam
menafsirkan ajaran-ajaran agama dan memahami secara cerdas perubahan
sosial dan kebudayaan agar senantiasa tercipta kesalihan dan ketaatan kepada
83
tuntunan agama dalam dimensi waktu, tempat dan kultur tertentu (Woodward,
2000 : 185).
Richard Niebuhr sebagaimana dikutip Mark R. Woodward
menawarkan lima strategi dalam menyelaraskan agama dan kultur
(perkembangan peradaban) manusia pada zaman dan tempatnya, yaitu :
a. Religion against culture, disini agama dan kebudayaan dipahami secara
terpisah dan tidak boleh dicampur adukkan. Secara sederhana penulis
menyimpulkan adanya pembedaan antara agama yang bersifat benar secara
“mutlak” dan kebudayaan yang bersifat benar secara “relatif”, sehingga
jika manusia ingin mencapai kebenaran maka tidak boleh berdasar dengan
kebudayaan. Kebudayaan hanyalah sebuah “tatanan” yang tercipta akibat
hubungan manusia dengan lingkunganya.
b. Religion of culture, disini agama di intepretasikan dalam trem nilai-nilai
dan norma-norma budaya masyarakat. Ia berusaha menciptakan harmoni
antara agama dengan kebudayaan melalui seleksi ajaran-ajaran agama
yang cocok dengan kebudayaan masyarakat tertentu. Dengan stratrgi ini,
maka agama akan selalu mampu bersesuaian dengan kebudayaan dan
modrenitas.
c. Religion above culture, strategi ini tidak menganut pembedaan yang
radikal antara agama dengan kebudayaan. Kebudayaan merupakan bagian
dari ciptaan Tuhan. Strategi ini tidak memisahkan antara hasil-hasil
kebudayaan dari Tuhan, karena hasil-hasil itu tidak akan tercipta tanpa
anugrah-Nya. Pandangan ini berkeyakinan bahwa pengabdian manusia
84
(berupa cipta rasa dan karsa) untuk meningkatkan kesejahteraan dan
keseimbangan hidupnya merupakan kewajiban dan perintah agama.
d. Religion and culture in paradox, pemahaman ini menekankan anugrah dari
Tuhan dan depravitas kemanusiaan. Kehidupan di dunia ini tidak banyak
memiliki arti. Keselamatan hanya bisa diraih dengan iman. Dalam
pandangan Islam kosep ini mendekati doktrin taqwa atau ketergantungan
yang tinggi terhadap Tuhan.
e. Religion as transformer of culture yang disebut oleh Neibuhr sebagai
“conversionist” dalam pandangan ini agama merupakan penuntun manusia
dalam hidup bermasyarakat. Sehingga kebudayaan yang dihasilkan dari
hasil pikiran manusia harus bisa diselaraskan dengan tuntunan agama
(Woodward, 2000 : 186-187).
Salah satu isu yang selalu mengiringi perkembangan kultur dan
modrenitas kehidupan manusia adalah hak asasi manusia (HAM). Hak asasi
manusia dalam perkembangan sejarahnya selalu bersinggungan dengan
berbagai aspek kehidupan manusia seperti politik, sosial, ekonomi dan
hukum. Jika HAM dimaknai sebagai bagian dari kultur maka penulis lebih
condong menggunakan strategi religion as transformer of cultre, dimana
HAM haruslah diselaraskan dengan aturan-aturan suci agama (syariat Islam)
agar HAM (yang merupakan bagian dari kultur) selaras dengan syariat.
Islam menaruh perhatian yang serius dalam menjaga nilai-nilai dasar
hak asasi manusia. Dalam presepektif sosio-historis Islam, hukum dan hak
asasi manusia diformulasikan sarat dengan muatan nilai kemashlahatan dan
85
keadilan. (Mujahidin, 2011 : 24). Menurut Majid Khaduri dalam The Islamic
Conception of justice, dijelaskan bahwa :
“No subjects is more closely connected with the concept of justice
than “human rights” since justice would be meanigless if fundamental
rights of man were to be unrecognized or ignored by society. In
revelation, it will be recalled, two concepts of justice and rights were
implied in the abstract terms of al haq, wich is one of the ultimate
goals of the law (Khaduri, 1984 : 233).
“Tidak ada hal yang lebih dekat dengan konsep keadilan dari “hak
asasi manusia” karena keadilan akan tidak berarti jika hak-hak dasar
manusia itu harus tidak diakui atau diabaikan oleh masyarakat. Dalam
nash konsep keadilan dan hak-hak yang tersirat dalam istilah abstrak
“al haq”, yang merupakan salah satu tujuan utama dari hukum.
Hukum Islam (syari‟ah) sangat compatibel bagi segala kebutuhan dan
tuntutan kehidupan manusia. Melalui teks-teks sucinya (an-Nusus al-
Muqaddasah) dapat mewujudkan mashlahat pada setiap ketentuan hukumnya.
Fondasi bangunan hukum Islam itu dipresentasikan oleh maslahat yang
ditujukan bagi kepentingan hidup manusia sebagai hamba Allah, baik
menyangkut kehidupan duniawi manupun kehidupan ukhrawinya. Hukum
Islam menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan („adalah), kasih sayang
(rahmah) dan mashlahat. Eksistensi mashlahat dalam hukum Islam (syariah)
memang tidak bisa dinafikan karena al-mashlahat dan al-syari‟ah telah
bersenyawa dan menyatu, sehingga kehadiaran al-mashlahat meniscayakan
adanya tuntutan al-Syari‟ah (hukum Islam) (Asmawi, 2010 : 38).
Dalam konteks pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat di
Indonesia ada beberapa permasalahan yang jika ditinjau dari hukum Islam
saling bertentangan. Yang pertama terkait dengan pemberlakuan asas
retroaktif (berlaku surut) dalam peradilanya. Hal ini tentu bertentangan
86
dengan konsep legalitas (hukum tidak boleh diberlakukan surut) dimana asas
legalitas dalam pemberlakuan hukum Islam mempunyai tujuan untuk
melindungi hak asasi manusia.
Kedua pelanggaran HAM berat merupakan jarȋmah (pidana) yang jika
tidak diadili maka akan mengancam kemashlahatan yang bersifat dharūriyah,
misalnya berupa hifdz al-nafs (karena salah satu perbuatan yang tergolong
sebagai pelanggaran HAM berat adalah pembunuhan masal/genosida),
sehingga kewajiban untuk mengadili pelaku pelanggaran terhadap HAM berat
menjadi harus dilakukan supaya kemashlahatan dharūriyah tetap terjaga.
Permasalahan selanjutnya adalah jika kewajiban menjaga kemashlahatan
bersifat dharūriyah, berupa hifdz al-nafs bertentangan dengan legalitas
pemberlakuan hukum, maka apakah hal itu bisa menghalangi pemberlakuan
asas retroaktif dalam peradilan HAM berat, yang artinya “mengharamkan” atau
menolak pemberlakuan asas retroaktif.
Dalam hal ini penulis memandang pemberlakuan asas retroaktif dalam
pengadilan HAM berat, jika ditinjau dari konsep maslahat menjadi boleh,
bedasarkan pada kaidah fiqhiyah dalam al-Asybah wa al-Nadzāir „ala
Madzāhib Abȋ Hanifah al-Nu‟māni yang berbunyi :
(Al-Nujaim, 1999 : 76) عِيَ أعظمهما ضرًا بارتكاب أخفَهماوإذا تعارض مفسدتانُ ر
“Jika ada dua mafsadat yang bertentangan maka, di utamakan untuk
mencegah kemafsadatan yang lebih besar dengan melakukan
kemafsadatan yang lebih ringan.”
87
Mafsadah yang saling bertentangan dalam hal ini yaitu :
a) Jika asas retroaktif ini diberlakukan maka akan melanggar asas legalitas
dalam hukum Islam. Hukum Islam yang bersifat positivistik merupakan
bentuk konkrit penghargaan dan perlindungan terhadpa hak asasi manusia
sebagai individu yang dilindungi hak-hak nya di hadapan hukum dengan
adanya kepastian hukum. Artinya, secara tidak langsung pemberlakuan
asas retroaktif merupakan mafsadah atas hak-hak kepastian hukum setiap
individu.
b) Jika memberlakukan asas legalitas sebagaimana diatur dalam hukum Islam
bedasarkan kaidah “tidak ada jarimah (pidana) dan hukuman sebelum
adanya nash (ketentuan hukum)”, artinya pelaku pelanggaran HAM berat
di Indonesia sebelum diundang-undangkanya UU No. 26 Tahun 2000
seperti kasus Tanjung Priok, tidak bisa dialdili, hal ini merupakan
kemafsadatan yang besar, karena mengancam eksistensi kemashlahatan
manusia yang bersifat dharuriyah misalnya berupa hifdz al-nafs (menjaga
jiwa).
Jika ditinjau dari segi maslahatnya, maka kemaslahatan untuk menegakan
keadilan dalam mengadili pelaku pelanggaran HAM berat, dimana didalamnya
terdapat kemaslahatan daruriyah yang bersifat umum (publik) lebih besar
dibanding kemaslahatan menegakkan asas legalitas untuk melindungi hak asasi
manusia pelaku pelanggran yang bersifat parsial (individual).
Bedasarkan dari dalil-dalil diatas maka penulis berkesimpulan bahwa
pemberlakuan asas retroaktif dalam peradilan terhadap pelanggaran HAM
88
berat, jika ditinjau dari konsep mashlat al-tasyrȋ‟ dalam hukum Islam
hukumnya adalah boleh bedasarkan pada kemaslahatan yang lebih besar dan
bersifat umum.
C. Dialektika HAM dan Konsep Mashlahat Terhadap Pemberlakuan Asas
Retroaktif dalam Peradilan HAM Berat.
Hukum sebagai manifestasi nilai-nilai luhur yang mengatur kehidupan
manusia dalam semua aspek, selalu sarat dengan muatan ruang dan waktu yang
melingkupinya. Hukum bukan lahir dari “yang hampa” (eksnihilo) di ruang
yang hampa (innihilo), melaikan lahir ditengah dinamika pergulatan kehidupan
masyarakat sebagai jawaban solusi atas problematika aktual yang muncul.
Problematika masyarakat selalu berkembang dan berubah seiring dengan
perubahan masyarakat itu sendiri. Secara fungsional, perubahan masyarakat
dalam berbagai aspeknya (baik ekonomi, sosial, politik, budaya dan lain
sebagainya) harus di hadapi hukum secara sistematis, bervisi kedepan dan
secara sadar dirancang. Hal ini merupakan pengejawantahan dari fungsi hukum
sebagai pengendali masyarakat (social control), perekayasa sosial (social
enginering) dan pensejahtera sosial (social welfare). Melalui pola seperti ini
hukum akan mampu menghindari kekosongan peran dan akan selalu efektif
ditengah masyarakatnya (Abdillah, 2003 : 2).
89
Hobel sebagaimana dikutip Sacipto Raharjo menjelaskan beberapa
peranan praktis hukum dalam masyarakat yang antara lain adalah :
1. Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan
menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan-
perbuatan mana yang diperbolehkan.
2. Mengalokasikan kekuasaan dan mengaskan siapa-siapa yang boleh
menggunakan kekuasaan, atas siapa dan untuk apa beserta prosedur
penggunaanya.
3. Penyelesaian sengketa-sengketa.
4. Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur
kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala keadaan
berubah (Raharjo, 1979 : 38).
Dalam konteks kepentingan umum (publik) hukum yang mengaturnya
disebut dengan hukum pidana (hukum publik). Menurut Jerome Hall sebagai
mana dikutip Abdul Jalil Salam, hukum pidana merupakan bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku dalam suatu wilayah hukum yang meletakkan
dasar-dasar aturanya sebagai berikut :
a) Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.
b) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana
yang telah diancam (ditentukan dalam perundang-undangan).
90
c) Menentukan cara atau bagaimana pengenaan pidana terhadap orang yang
“disangka” telah melanggar larangan tersebut (Salam, 2010 : 194).
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam upaya
mencapai tujuan-tujuan hukum baik itu ketertiban, keamanan dan
kemakmuran, maka diperlukan adanya sanksi atau hukuman bagi subyek
yang melanggar hukum. Adanya sanksi/hukuman/pidana dalam hukum
publik berfungsi untuk menjaga ketertiban umum dan mencegah terjadinya
pidana (pelanggaran) lainya.
Dalam hukum Islam, pemidanaan atau hukuman disebut dengan
istilah „uqūbah.4 „Uqubah memiliki akar kata sama dengan „iqab yang
berarti hukuman, siksaan dan sakit atau pedih. „uqubah merupakan bentuk
balsan bagi seseorang atas perbuatanya yang dianggap telah melanggar
syara‟ yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Tujuan dari adanya hukuman dalam Islam merupakan realisasi dari
tujuan hukum Islam, sebagai pembalasan atas perbuatan jahat, pencegahan
secara umum dan pencegahan secara khsusus, serta perlindungan terhadap
hak-hak korban. Pemidanaan (penghukuman) dimaksudkan untuk
mendatangkan kemashlahatan umat dengan mencegah kezaliman atau
kemudharatan.
Abu Zahra dalam al-Jarȋmah wa al-„uqūbah fi al-Fiqh al-Islami
berpendapat bahwa hukuman dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman
individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-perbuatan yang bisa
4 Dalam kamus Al-Munawwir, Ahmad Warson Munawwir menjelaskan bahwa kata „uqūbah
berasal dari asal kata „aqaba-ya‟qibu/ya‟qibu-„aqban-„uquban. Kata tersebut identik dengan kata
al-„iqab dan al-qishash yang secara harfiyah berarti hukuman (Munawwir, 1997 : 1022).
91
menimbulkan kerugian terhadap anggota masyarkat baik berkenaan dengan
jiwa, harta maupun kehormatan (Zahra, tt : 211).
Menurut Abdul Jalil Salam, konsep dan tujuan penghukuman dalam
hukum Islam mempunyai keunikan-keunikan yang tidak dimiliki oleh
hukum positif yang ada di negara-negara penganut aliran hukum positif baik
common law maupun civil law. Terdapat beberapa perbedaan karakter
penghukuman antara hukum positif dengan hukum Islam. Hal tersebut
antara lain yaitu :
a) Pertama, tujuan hukum pidana Islam menyatu dengan tujuan hidup
manusia, yaitu mengabdi kepada Allah SWT. Dalam konteks ajaran
Islam, hukum berfungsi mengatur kehidupan manusia, baik pribadi
maupun masyarakat, yang sesuai dengan kehendak Allah SWT untuk
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Hukum pidana
Islam jelas terlingkup dalam kesadaran ta‟abbudi umatnya. Sedangkan
dalam hukum pidana positif (barat), justru menafikan hubunganya
dengan Tuhan, dan lebih menekankan pada pencapaian kedamaian
dalam masyarakat dengan mengatur kepentingan-kepentingan antara
manusia dengan manusia lain dalam masyarakat.
b) Kedua, dalam hukum pidana Islam, metode penemuan hukumnya
deduktif kasuistik. Setiap peristiwa hukum diatur menurut aturan-aturan
pokok yang ada dalam sumber-sumber hukum Islam. Adanya aturan
hukum terlepas dari ada tidaknya masyarakat. Hukum diberlakuakn
pada siapa saja, meskipun ia tinggal sendirian di pulau terpencil. Jelas
92
berbeda dengan metode yang diterapkan dalam hukum pidana positif
moderen yang bersifat induktif, yaitu penciptaan aturan-aturan umum
yang didasarkan pada pengamatan terhadap perbuatan-perbuatan dan
sikap anggota masyarakat. Dalam pidana positif moderen hukum baru
muncul apabila ada suatu komunitas masyarakat, minimal dua orang
manusia, jadi, dalam hukum positif moderen, orang yang hidup
sendirian disuatu tempat tidak dibebani hukum apalagi hukuman.
c) Ketiga, konsep keadilan yang menjadi prioritas hukum pidana Islam
adalah keadilan didasarkan dan ditentukan oleh keadilan Tuhan.
Keadilan yang lebih mengedepankan naluri keimanan dari pada sekedar
nalar (logika) manusia semata. Sedangkan keadilan yang di tentukan
oleh hukum pidana positif adalah keadilan yang di dasarkan pada
penalaran manusia (logika), yaitu keadilan yang ada dalam pikiran
masyarakat (Salam, 2010 : 215-216).
Pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime (kejahatan
luar biasa) yang dalam hukum sistem pengadilan di Indonesia dimasukkan
kedalam pengadilan khusus dibawah pengadilan umum. Kejahatan ini
merupakan kejahatan kemanusiaan yang harus dicegah guna kemashlahatan
yang lebih luas. Jika dikaitkan dengan teori penghukuman dalam arti luas,
apapun bentuk pelanggaran HAM haruslah di beri sanksi supaya ada efek
kejeraan terhadap pelaku dan efek pencegahan terhadap lainya, karena
HAM merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi hukum.
93
Permasalahanya, jika upaya penegakan HAM dalam upaya
mengadili pelaku pelanggaran HAM berat diberlakukan retroaktif, maka
upaya tersebut secara langsung melanggar hak asasi pelaku pelanggaran
karena hak untuk tidak dituntut bedasarkan hukum yang berlaku surut
merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.
Jika ditinjau dari konsep mashlahat, pelanggaran HAM berat harus
di adili, meskipun dalam proses penegakan keadilanya di berlakukan surut.
Hal ini bedasarkan pada kemashlahatan yang lebih besar dan bersifat
dharuri (kemashlahatan yang jika tidak terjaga dengan baik maka
keseimbangan hidup manusia di dunia dan akhirat akan rusak, misalnya
hifdz al-nafs) dibanding dengan menjaga kemashlahatan hak individual
pelaku pelanggaran (melindungi HAM pelaku).
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan asas
retroaktif dalam pengadilan HAM berat jika di tinjau dari presepektif HAM
merupakan pelanggaran HAM terhadap pelaku, sedangkan jika di tinjau dari
presepektif istishlāh (konsep mashlahat) hukumnya menjadi boleh atau
“legal”. Dua permasalahan yang bertentangan diatas menjadi fokus penulis
dalam penelitian ini untuk di dialogkan dalam konteks sekarang.
Dalam penelitian ini penulis ingin menggunakan teori dialektika
dalam pemaknaan klasik oleh Sokrates dimana dialektika diartikan sebagai
sebuah metode menemukan kebenaran dengan jalan dialog. Penerapan
metode ini adalah dengan membenturkan sebuah ide dengan ide lain melalui
94
proses dialog antara kedua pandangan yang berbeda satu dengan lainya
(Syahrur, 2004 : 20).
HAM dan konsep mashlahat mempunyai pandangan yang berbeda
terhadap satu obyek kajian (terhadap pemberlakuan asas retroaktif dalam
HAM berat), hal ini tentu saja didasarkan atas dua sistem nilai sebagai
ukuran yang berbeda. HAM di dasarkan pada sistem nilai pikiran (logika)
manusia sedangkan konsep mashlahat di dasarkan pada sistem nilai ajaran
syariat Islam.
Hubungan hukum Islam dan HAM, menurut penulis bukanlah
hubungan yang “kompetitif”. Seharusnya, hubungan keduanya menjadi
hubungan yang “komplementer”. Artinya antara hukum Islam dan HAM
bisa di dialogkan untuk menemukan formulasi hukum yang sesuai.
Kesesuaian ini jika diartikan dalam arti yang luas bukan hanya berupa suatu
hukum baru hasil penggabungan dari keduanya, tetapi bisa juga berupa
“rasionalisasi” dari alasan-alasan hukum yang dapat diterima.
Sebelum lebih jauh mendialogkan kedua permasalahan tersebut,
penulis ingin mendefinisikan ulang pengertian pelanggaran HAM berat
dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 di jelaskan bahwa pelanggaran
HAM berat adalah pembunuhan massal (genocide) pembunuhan sewenang-
wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing),
penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, diskriminasi
yang dilakukan secara sistematis (systemic descrimination).
95
Dari pengertian tersebut maka pada dasarnya kriteria pelanggaran
HAM berat dapat dibagi menjadi dua kelompok, kelompok yang pertama
menyebabkan hilangnya nyawa atau perbuatan yang menyebabkan luka
pada badan (fisik) dan kelompok kedua menyebabkan kerugian
“nonmaterial” misalnya diskriminasi yang menyebabkan kerugian hak-hak
tertentu bagi seseorang.
Jika ditinjau dari presepektif konsep mashlahat, alasan pembolehan
asas retroaktif dalam pelanggaran HAM berat adalah untuk menjaga
kemashlahatan manusia yang merupakan tujuan disyariatkanya sebuah
hukum (maqāsid al-khamsah). Sedangkan dalam presepektif HAM, alasan
utama ketidak bolehanya adalah untuk menjaga HAM pelaku pelanggaran
karena hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling asasi.
Dari uaraian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa ada titik temu
antara mashlahat dan HAM dalam pemberlakuan retroaktif. Pembolehan
konsep mashlahat dalam pemberlakuan asas retrokatif terbatas pada
kejahatan-kejahatan yang melanggar maqāsid al-khamsah yang berupa
menjaga agama, jiwa, akal, harta benda dan akal. Jika pelanggaran terhadap
HAM berat tidak mengancam eksistensi maqāshid al-syarȋah yang bersifat
dharuriyah, maka perlindungan terhadap HAM pelaku pelanggaran haruslah
di utamakan karena penerapan asas legalitas (hukum yang tidak berlaku
surut) juga merupakan asas pokok pemberlakuan hukum syariat Islam.
96
Batasan pembolehan atas pemberlakuan asas retrokatif dalam
pelanggaran HAM berat pada perkara-perkara yang bertentangan dengan
maqāshid al-syarȋah yang bersifat dharuriyah (maqāsid al-khamsah)
menurut penulis adalah bentuk dialektika (kompromi) yang paling mungkin
dalam permaslahan tersebut. Dengan adanya dialektika antara keduanya
maka hubungan antara hukum Islam dan HAM bukanlah bersifat
“kompetitif” melainkan bisa bersifat “komplementer”.
`