Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
83 Universitas Kristen Petra
BAB IV
ANALISIS
4.1. Analisis Ruang Ritual Malam 1 Sura
Malam 1 Sura merupakan malam tahun baru pada penanggalan Jawa bagi
masyarakat Islam. Di dalam Keraton diadakan selamatan berupa ritual menjelang
Malam 1 Sura sebelum mengadakan Kirab Pusaka Kyai Slamet yang dilakukan
setelah pukul 12 Malam.
Gambar 4.1. Sirkulasi kegiatan Ruang ritual Malam 1 Sura di area pelataran
Kedhaton (kegiatan sebelum pukul 12 malam ditunjukkan pada nomor 1, 2 dan 3)
Sebelum pukul 12 malam, kegiatan berada pada nomor 1 yang
menunjukkan area pelataran dan kemudian berpindah di area nomor 2 di Maligi,
di depan Sasana Sewaka. Maligi merupakan sebuah ruang kecil tambahan yang
dibangun oleh Sunan Paku Buwana IX di bagian depan tengah Pendapa Sasana
Sewaka, digunakan untuk menghitankan putera raja. Setelah dari Maligi, para abdi
dalem dan para keluarga kerajaan akan menunggu sampai pukul 12 Malam di
area pelataran di sebelah Paningrat, kegiatan ini ditunjukkan oleh nomor tiga.
84 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.1. Analisis Pelataran Kedhaton.
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Pelataran Kedhaton saat upacara Malam 1
Sura. View gambar di atas merupakan
bagian tengah pelataran di depan Sasana
Sewaka.
Para Abdi dalem dan peserta
upacara berdoa menghadap ke
Sasana Sewaka (menghadap barat)
dan menunggu di sekitar area
Pelataran Kedhaton.
NILAI
Kegiatan pada gambar tersebut merupakan kegiatan paling awal yang dilakukan
oleh para abdi dalem yang tiba di Pelataran Kedhaton, mereka berdoa di tengah-
tengah Pelataran Kedhaton dengan sesajian berupa bunga-bunga dan dupa di
hadapan mereka, menghadap ke arah Pendapa Sasana Sewaka, di bawah pohon-
pohon Sawo Kecik. Suasana sangat gelap dan sumber cahaya hanya berasal dari
penerangan di Pendapa Sasana Sewaka. Pada ritual ini, posisi doa menghadap ke
barat, ke arah Gunung Merapi yang dianggap sebagai tempat tinggal para dewa
dan memberikan penghormatan pada rajanya, karena seorang raja dalam
kebudayaan Jawa dianggap sebagai dewa. Ruang pada tradisi jawa dipahami
sebagai tempat dimana kejadian dan aktivitas harian berlangsung; ruang tidak
memiliki arti tanpa adanya keterkaitan pada laku (berjalan, kebiasaan, peran, di
wayang disebut lakon yang memiliki skenario atau pertunjukan). Hal ini
menunjukkan salah satu aspek kebudayaan jawa yang selalu memiliki keterkaitan
pada dunia. Hidup adalah gabungan dari semua komponen, mulai dari Sang
4.1.1. Pelataran Kedhaton
Pelataran Kedhaton merupakan salah satu dari tiga pelataran di dalam
kompleks Kedhaton. Pelataran Kedhaton merupakan pelataran yang paling sakral,
dua pelataran lainnya adalah Pelataran Srimanganthi dan Pelataran Magangan.
Dalam
Pelataran Kedhaton, terdapat banyak bangunan dengan bermacam-macam bentuk.
Rumah Raja berada di bagian barat dengan pendapa sebagai rumah depannya dan
dalem sebagai rumah belakangnya, ditambah dengan kompleks keputren dan
bangunan lain di sekitarnya. Berikut akan dijelaskan fungsi dari Pelataran
Kedhaton pada saat Ritual Malam 1 Sura.
85 Universitas Kristen Petra
Berikut mengenai aktivitas dan hubungannya dengan makna pohon Sawo
Kecik bagi masyarakat dan alasan kenapa pohon Sawo Kecik dipilih sebagai
tanaman yang berada di dalam area pelataran Kedhaton.
Tabel 4.2. Analisis Pelataran Kedhaton dan pohon Sawo Kecik
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Pelataran Kedhaton ini dipenuhi 72
batang pohon sawo kecik (Manilkara
Kauki) yang teratur rapi.
Beberapa orang biasanya mengambil
benih pohon sawo kecik yang terjatuh
di sekitar pohonnya.
NILAI
Pohon sawo kecik melambangkan keberuntungan, sehingga diharapkan ada
banyak keberuntungan untuk Keraton Surakarta. Tujuan lainnya adalah agar
rindang namun tetap terang, karena pada bagian bawah daun sawo kecik berwarna
putih keperakan. Pohon sawo kecik melambangkan pengayoman dan
menunjukkan tanaman milik keraton atau Raja yang membawa harkat dan
martabat bagi yang menanamnya. (Setiawan, 2000: 192)
Berikut kegiatan yang merupakan syarat dan kebiasaan pada saat
memasuki area Pelataran Kedhaton, yang juga ditemukan pada saat melakukan
Ritual dan Upacara di dalamnya
Pencipta dan ciptaannya. Dalam konteks arsitektur dan interior, gejala spatial dan
pengaruhnya dengan persepsi manusia terjadi dengan adanya asimilasi antara
lingkungan dan lakunya. Keraton Surakarta yang dianggap sebagai Meru,
merupakan pusat magi bagi kerajaan dan seorang raja adalah titisan dewa. Dalam
konsep Raja-Dewa (Ratu-Bhinatara), raja dianggap sebagai wakil Tuhan, sumber
hukum, pemberi perlindungan dan penerangan bagi rakyatnya. (Setiawan, 2000:
14)
86 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.3. Analisis Pelataran Kedhaton dan peraturannya
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Pasir di pelataran Kedhaton ini
merupakan kombinasi dari pasir dari
Gunung Merapi dan pasir dari Pantai
Laut Selatan (sumber: wawancara
dengan petugas museum Keraton).
Saat memasuki pelataran Kedhaton,
semua orang yang mengenakan sandal
diharuskan melepas sandalnya. Hanya
boleh mengenakan sepatu atau
bertelanjang kaki.
NILAI
Penyatuan pasir dari Gunung Merapi dan Laut Selatan pada bagian tengah
Keraton diharapkan membawa keseimbangan bagi kehidupan Keraton Surakarta.
Maka dari itu juga, area pelataran Kedhaton ini merupakan area yang sakral di
mana setiap orang yang berkunjung diharapkan berpakaian dengan sopan. Tujuan
lainnya, pasir dari Gunung Merapi mengandung mineral dan besi yang berfungsi
sama bagi orang yang melakukan pijat refleksi sehingga untuk alasan kesehatan,
berjalan dengan bertelanjang kaki di atas pasir ini merupakan salah satu bentuk
treatment (sumber: wawancara dengan petugas museum Keraton).
4.1.2. Maligi
Maligi merupakan bangunan tambahan yang dibangun ulang dengan
megah oleh Sunan Paku Buwana X. Maligi berbentuk Limasan Jubang yang
berarti bertiang delapan dan tidak memiliki serambi. Maligi menghadap ke timur
dan berada di bagian tengah depan Pendapa Sasana Sewaka. Lantai Maligi sama
tingginya dengan lantai emperan, yang diberi nama Paningrat (Soeratman, 1989:
28). Dalam rangka menyambut Malam 1 Sura, ritual ini merupakan bentuk
selamatan dengan tujuan untuk memohon agar Keraton Surakarta selalu diberi
kelimpahan dan keselamatan (sumber: wawancara dengan salah satu abdi dalem
Keraton, Bapak Kumaidi). Maligi digunakan sebagai tempat untuk
mengkhitankan putera raja. Berikut akan dijelaskan fungsi Maligi pada ritual
Malam 1 Sura.
87 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.4. Analisis aktivitas di Maligi pada Ritual Malam 1 Sura.
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Maligi (kiri) dan paningrat (kanan)
saat tidak ada upacara (kosong). Pada
saat upacara, Paningrat akan dipenuhi
para abdi dalem yang mengikuti
upacara dan bagian terdekat dengan
Prabasuyasa akan menjadi tempat
menunggu para keluarga raja.
Pada ritual malam 1 Sura ini para
keluarga keraton berkumpul di Maligi
bersama para abdi dalem untuk berdoa
meminta keselamatan dan berkah bagi
Keraton Surakarta. Ritual dimulai
dengan doa Islam dan kemudian
dilanjutkan dengan doa dalam bahasa
yang digunakan dalam Kejawen.
Kegiatan ini dilangsungkan pada
malam hari dan diterangi oleh lampu-
lampu yang berwarna kuning. Para
Keluarga kerajaan, permaisuri dan
selir-selir, serta anak-anak raja, akan
berada paling dekat dengan meja,
sedangkan para abdi dalem berada di
belakang para keluarga raja.
NILAI
Posisi duduk saat dilangsungkannya selamatan menunjukkan perbedaan status
dalam kehidupan Keraton Surakarta, di mana raja dan keluarganya akan berada
paling dekat dengan meja sesajian dan para abdi dalem berada di belakang
mereka, lebih jauh dari meja sesajian. Suasana pada ruangan tersebut, pada saat
dilangsungkannya ritual, terasa sangat sakral, khidmat, serta berkesan mistis.
Suasana seperti ini tercipta karena upacara ini diadakan saat malam hari dengan
cahaya lampu yang berwarna kuning, kemudian jumlah peserta ritual yang
sangat banyak dan secara bersamaan mengucapkan doa yang mirip seperti
lantunan lagu, serta ruangan dipenuhi asap dupa dan kemenyan. Maka dari itu,
suasana sakral yang ditimbulkan merupakan hasil dari pencahayaan dan aktivitas
peserta yang sangat fokus mengucapkan doa. Ritual yang dilangsungkan dengan
tujuan meminta berkah dan keselamatan, sebelum melakukan jamasan pusaka ini
memiliki makna tersendiri. keraton, sebagai pusat kosmos dan semesta, adalah
sumber keselamatan dan kesejahteraan. Kekuatan magis raja yang menyebar ke
seluruh masyarakat melalui ritual dan upacara sakral, tersimpan di dalam pusaka.
Maka dari itu pusaka-pusaka tersebut harus dikirabkan atau di-jamas (dicuci).
Perlakuan khusus ini dilakukan agar pusaka-pusaka tersebut tidak mengeluarkan
daya rusaknya yang dapat menghancurkan keraton. Perlakuan khusus ini (ritual)
88 Universitas Kristen Petra
yaitu selamatan yang diadakan sebelum men-jamas atau mengkirabkan pusaka-
pusaka tersebut. Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti
selamat, bahagia, sentosa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari
insiden-insiden yang tidak dikehendaki (Suwito, 2007: 4). Pada slametan
sebelum Kirab Pusaka Kanjeng Kyai Slamet ada tahun 2013, makanan-makanan
yang disajikan di Maligi kemudian dibawa ke ruang makan. Para abdi yang
datang bukan karena kemungkinan untuk makan bersama, tapi untuk membawa
pulang salah satu dari makanan tersebut yang dianggap bertuah (Suwito, 2007:
5).
4.2. Analisis Ruang Upacara Kirab Pusaka Kanjeng Kyai Slamet di dalam
Keraton
Pada Upacara Kirab Pusaka Kanjeng Kyai Slamet, menjelang pukul 12
malam, para keluarga raja dan abdi dalem yang diberi tugas, akan bersiap-siap
untuk membawa pusaka yang akan dikirabkan. Pusaka yang di-kirab-kan adalah
beberapa pusaka Keraton Surakarta yang merupakan peninggalan para leluhur raja
sejak jaman Majapahit sampai Surakarta. Dalam persiapan ini, para keluarga dan
abdi dalem kerajaan akan berkumpul di Paningrat Bedhayan, berbaris dan
kemudian menerima pusaka yang selanjutnya akan dibawa ke Pelataran Kedhaton,
menuju Kori Kamandhungan Lor kemudian keluar dari Keraton.
Gambar 4.2. Sirkulasi aktivitas di area Pelataran Kedhaton pada Malam 1 Sura
(mendekati pukul 12 Malam: nomor 4 dan 5)
89 Universitas Kristen Petra
4.2.1. Paningrat Bedhayan dan Pelataran
Paningrat Bedhayan merupakan tempat di mana biasanya latihan Tari
Bedhaya dilakukan dan disaksikan oleh Raja. Paningrat Bedhayan jika dihitung
bersama Sasana Prasedya merupakan pringgitan dari Keraton (Behrend, 1982:
94).
Tabel 4.5. Analisis aktivitas di Paningrat
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Paningrat Bedhayan sesaat sebelum
barisan abdi dalem berdatangan
Tampak pada gambar, abdi dalem
wanita keluar dari Dalem Ageng
Prabasuyasa membawa kemenyan
untuk mempersiapkan keluarnya
pusaka sebelum para putra sentana
dalem dan abdi dalem yang
ditugaskan membawa pusaka
berkumpul.
NILAI
Pada aktivitas ini. ruang yang digunakan adalah Paningrat Bedhayan di mana
putra sentana dalem dan para abdi dalem yang telah dipilih akan menerima
perintah langsung untuk membawa pusaka. Dilakukan pada ruang ini karena
pusaka-pusaka tersebut diambil langsung dari Kamar Pusaka yang berada di
Dalem Ageng Prabasuyasa dan dipercayakan hanya pada abdi dalem wanita.
Selain itu, yang berwenang untuk membuka Kamar Pusaka hanya raja dan
beberapa orang yang memang diizinkan untuk melayani. (Puspaningrat, 1996: 3)
Setelah abdi dalem wanita tersebut membawa kemenyan dan
meninggalkan Paningrat Bedhayan, segera para abdi dalem dan putra sentana
dalem yang ditugaskan untuk memaba pusaka, masuk ke Paningrat Bedhayan dan
berbaris. Sebelum memasuki Paningrat Bedhayan, mereka akan bersujud ke arah
Sasana Sewaka terlebih dahulu, setelah itu melangkahkan kaki masuk ke dalam
Paningrat Bedhayan.
90 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.6. Analisis aktivitas di Paningrat Bedhayan
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Para putra sentana dalem dan abdi
dalem yang telah dipilih berbaris di
Paningrat Bedhayan.
Pada saat berkumpul pada Paningrat
Bedhayan, para keluarga raja (putra
sentana dalem) dan abdi dalem yang
ditugaskan akan mengenakan untaian
melati gajah oling, dan bersiap untuk
menerima pusaka sesuai dengan urutan
mereka berbaris. Mereka akan masuk
melalui Paningrat dan memberi hormat
sebelum memasuki Paningrat
Bedhayan.
NILAI
Penghormatan yang dilakukan oleh para abdi dalem dilakukan sebelum
memasuki Paningrat Bedhayan menghadap ke arah Sasana Sewaka. Setelah itu
mereka berbaris separti pada gambar dan hal ini menunjukkan bahwa mereka
telah diberi tugas oleh Raja dan siap untuk menjalankannya.
Setelah berbaris di Paningrat Bedhayan, maka selanjutnya mereka akan
berbaris di area Pelataran Kedhaton dengan membawa pusaka-pusaka yang akan
di-kirab-kan.
91 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.7. Analisis aktivitas di Pelataran Kedhaton menjelang Upacara Kirab
Pusaka
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Pada Pelataran Keraton di sebelah
Paningrat, para abdi dalem dan putra
sentana dalem yang dberi tugas
untuk membawa pusaka akan
berbaris sesuai uruan pusaka dan
keluar bersama mereka menuju Kori
Kamandhungan Lor.
Pelataran di Sebelah Paningrat yang
dijadikan tempat berbaris para putra
sentana dalem dan abdi dalem yang
bertugas membawa pusaka. Para Putra
Sentana Dalem dan abdi dalem yang
dipilih akan bersiap di Pelataran ini untuk
berjalan keluar Keraton melalui Kori
Kamandhungan Lor (utara) dan
membawa pusaka-pusaka yang telah
disiapkan untuk Kirab Pusaka. Kemudian
berjalan mengitari area keraton dengan
arah Pradaksina.
NILAI
Berjalan dengan arah Pradaksina berarti Keraton selalu berada di kanan
(Puspaningrat, 1996: 4). Pradaksina merupakan jalan mengitari Keraton dengan
keadaan tenang / tidak boleh berbicara, dan Keraton akan berada di sebelah
kanan orang yang melakukan Pradaksina. Pradaksina berasal dari Jaman Hindu.
Pada agama Buddha, Pradaksina sering dilakukan dengan mengitari Patung
Buddha atau ruang yang telah disediakan, dan berjalan tenang seperti saat
melakukan meditasi dengan cara berjalan. Hal ini dilakukan sebagai perenungan
dan tidak boleh ada kekotoran batin dan pikiran pada saat melakukan
Pradaksina.
Berikut merupakan rute jalannya Upacara Kirab Pusaka Kanjeng Kyai
Slamet dimulai dari Kori Kamandhungan kemudian menuju Gapura Gladhag, dan
seterusnya berjalan mengitari area keraton.
92 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.8. Analisis aktivitas di Kori Kamandhungan Lor saat Upacara Kirab
Pusaka
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Gambar di atas menunjukkan arah
sirkulasi Upacara Kirab Pusaka,
yaitu Gapura Gladhag (panah
merah menunjukkan arah keluar
pertama, kemudian berjalan searah
jarum jam) ke Jalan Jendral
Sudirman, Jalan Kapten Mulyadi,
Jalan Veteran, Jalan Yos Sudarso,
Jalan Slamet Riyadi, setelah itu ke
kanan masuk ke Gapura Gladhag
lagi, kembali ke keraton.
Barisan telah sampai di Kori
Kamandhungan dan selanjutnya akan
berjalan keluar melalui Kori Brajanala.
NILAI
Pada Upacara Kirab Pusaka tahun 2013, suasana sepanjang rute Kirab Pusaka
sangat ramai, namun memiliki kesan sakral dan hening. Hal ini dikarenakan
keberadaan masyarakat dalam jumlah besar yang memadati dan menunggu
kedatangan kebo atau Kanjeng Kyai Slamet di sepanjang jalan dengan cukup
tenang, tidak boleh ada lampu kilat ataupun suara keras, agar kerbau-kerbau
yang berjalan tidak terganggu atau teralihkan perhatiannya. Hali ini juga
dikarenakan para putra sentana dalem dan abdi dalem juga berjalan tanpa bicara.
Keheningan di tengah keramaian ini adalah suatu hal yang menjadikan Upacara
Kirab Pusaka sebagai sesuatu yang berkesan sangat sakral meskipun upacara ini
bersifat publik. KRMH. Sujandjari Puspaningrat, dalam bukunya Tatacara Adat
Kirab Pusaka Keraton Surakarta, mengemukakan alasan mengapa kerbau berada
di paling depan barisan, yaitu hewan ini dianggap keramat, memiliki daya magis.
Pada masa pemerintahan Paku Buwana X, beliau memberi perintah untuk
mengkirabkan Kebo Bule Kanjeng Kyai Slamet untuk berkeliling Baluwarti
ketika ada wabah penyakit atau bencana alam, tujuannya adalah agar wabah
tidak bertambah ganas. Bagi masyarakat agraris, kerbau dipandang sebagai
hewan yang mendatang kesejahteraan, terutama tanduknya yang dipandang dapat
menolak bala atau bencana (Puspaningrat, 1996: 8).
93 Universitas Kristen Petra
4.3.1. Gapura Gladhag
Gapura Gladhag merupakan pagar tembok bata yang berwarna putih,
berjumlah 3 pasang, dan menjadi batas dari Alun-Alun Utara. Gapura ini
memanjang ke arah utara dengan Pamurakan atau Pangurakan sebagai pagar
yang paling luar. Pada setiap ujung gapura ini, terdapat dua pilar yang tingginya
sembilan meter dan di bagian yang terdepan, terdapat lambang kerajaan,
sedangkan pada dua yang lainnya, terdapat ukiran yang menunjukkan masa Paku
Buwana X.
4.3. Analisis Ruang Upacara Sekaten
Sekaten dirayakan selama seminggu sebelum upacara Garebeg Maulud,
masyarakat memperingatinya dengan mengadakan festival dan membuka pasar
mulai dari Gapura Gladhag sampai pada Pendapa Pagelaran. Pada saat Sekaten
juga dibunyikan dua perangkat gamelan di Masjid Agung selama seminggu.
Gambar 4.3. Area Pasar Sekaten dari Gapura Gladhag ke Alun-Alun Lor dan
Pendapa Pagelaran.
94 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.9. Analisis aktivitas di Gapura Gladhag
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Pada Pasar Sekaten, Kegiatan
dimulai dari Gapura Gladhag,
sampai Alun-Alun Utara dan
Pendapa Pagelaran. Pada gambar
terlihat kegiatan yang dimulai dari
Gapura Gladhag.
Pasar Sekaten dimulai dari depan
Gapura Gladhag di mana sepanjang
jalan dipenuhi oleh orang berjualan
mulai dari makanan, minuman, pakaian,
bahkan hewan-hewan kecil seperti ikan
hias dan kelinci. Bagian kiri dan kanan
jalan pada Gapura Gladhag tertutup
toko-toko tersebut, tidak ada kendaraan
yang diperbolehkan masuk karena jalan
sudah penuh.
NILAI
Pada hari-hari perayaan Sekaten (selama seminggu), masyarakat merayakannya
dengan mengadakan festival. Festival ini berupa pasar dan tempat bermain.
Selain menghibur, festival ini juga memiliki dampak positif dalam segi
ekonomi. Dampak positif tersebut adalah terbukanya lapangan pekerjaan baru
bagi masyarakat yang pada awalnya tidak memiliki pekerjaan. Maka dari itu,
Sekaten sangat ditunggu oleh masyarakat. Behrend mengatakan bahwa Gapura
Gladhag dulunya digunakan sebagai tempat raja untuk berburu (Behrend,
1982: 20). Pada saat sekarang, Gapura Gladhag hanya berfungsi sebagai main
entrance menuju Alun-Alun Utara.
4.3.2. Alun-Alun Lor
Alun Alun Lor merupakan pelataran pertama yang berada di dalam
Keraton. Pada saat berlangsungnya perayaan Sekaten selama seminggu, Alun-
Alun ini merupakan pusat dari Pasar Sekaten.
95 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.10. Analisis aktivitas di Alun-Alun Lor.
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Pasar Sekaten diadakan sampai pada
malam hari di Alun-Alun Lor
(utara) dan menjadi pasar malam.
Gambar di atas merupkan suasana
Alun-Alun Lor saat hari biasa, tidak
ada festival atau acara keraton.
Alun-Alun sangat sepi dan luas.
Pasar Malam Sekaten di Alun-Alun Lor.
(sumber:http://wisata.kompasiana.com/jala
n-jalan/2013/12/30/pasar-malam-
meriahkan-peringatan-sekaten-
624012.html)
Pasar Malam Sekaten berada di Alun-Alun
Lor dari ujung utara ke selatan. Pasar ini
sangat ramai pengunjung dan semakin
malam semakin ramai. Para pengunjung
akan berhenti dari satu toko ke toko yang
lain serta menikmati permainan-permainan
seperti di taman bermain yang ada di
Alun-Alun Lor.
NILAI
Bagi masyarakat yang berjualan pada Pasar Sekaten, banyak di antara mereka
yang sangat menghargai kesempatan ini karena merupakan lapangan pekerjaan.
Bagi para pengunjung, Pasar malam Sekaten di Alun-Alun Lor merupakan
hiburan yang hanya ada setahun sekali dan merupakan sebuah perayaan sebelum
dimulainya Upacara Garebeg Maulud.
4.3.3. Pendapa Pagelaran
Pendapa Pagelaran berada di sebelah selatan Alun-Alun Lor. Pendapa
Pagelaran memiliki tiga pagar yang menghadap utara, timur, dan barat di bagian
depannya. Pada saat Sekaten 2013, Pendapa Pagelaran menjadi salah satu lokasi
diadakannya Pasar Sekaten.
96 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.11. Analisis aktivitas di Pendapa Pagelaran
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Pendapa Pagelaran dari depan.
Bangunannnya berwarna putih dan
terdapat ornamen berwarna biru muda
pada bagian depannya.
Jadwal Event Keraton yang ditempel di
Pendapa Pagelaran saat Sekaten.
Pendapa Pagelaran dijadikan tempat
berjualan pada saat Sekaten. Ruangnya
yang luas tertutup oleh dinding
tambahan yang berfungsi sebagai
pembatas dan stand untuk berjualan
pakaian.
NILAI
Pendapa Pagelaran sangat luas sehingga mampu menampung jumlah penjual dan
pengunjung acara Sekaten. Bagi para penjual, lapangan pekerjaan semakin banyak
pada saat Sekaten dan merupakan tempat hiburan dan berbelanja bagi para
pengunjungnya.Dulu bangunan ini sangat tertutup, seperti kebanyakan bangunan
di Keraton Surakarta. Tetapi semakin lama, Pendapa Pagelaran digunakan untuk
aktivitas wisata. Pada festival Sekaten 2013, Pendapa Pagelaran sangat ramai dan
penuh sesak. Behrend mengatakan jika Alun-Alun Lor adalah halaman depan
Keraton, maka Pendapa Pagelaran adalah serambinya. Pada bagian depan
Pendapa Pagelaran terdapat meriam yang dulunya digunakan untuk menjaga
ketertiban dan keamanan pada saat Alun-Alun Lor ramai oleh festival dan juga di
hari-hari biasa. Dulu, para penduduk berkumpul di Alun-Alun pada hari Senin,
Kamis, dan Sabtu, untuk mendengarkan rajanya berbicara pada mereka. Para
bangsawan dan pejabat pada masa Belanda akan diminta untuk datang dan
menunggu perintah dari raja. Kegiatan ini disebut pasowanan atau mengunjungi
raja (sowan), yang berarti menunjukkan niat untuk melayani rajanya. Biasanya
pada saat itu, raja akan datang pada pagi hari, untuk mendengarkan keluhan
rakyatnya serta menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan. Dulunya
Pendapa Pagelaran juga merupakan tempat raja menyaksikan Rampog Macan
yang merupakan symbol dari perlawanan orang Jawa melawan Belanda, di Alun-
Alun Lor (Behrend: 1982: 36). Pada zaman sekarang, Pendapa Pagelaran
digunakan untuk tujuan wisata. Akses masuk ke dalam Pendapa Pagelaran
sebenarnya sangat terbatas, pengunjung harus memiliki izin jika ingin masuk ke
dalamnya. Kecuali pada saat diadakannya festival seperti Sekaten 2014, Pendapa
Pagelaran digunakan sebagai salah satu tempat dibukanya kegiatan menjual dan
membeli yang sangat ramai dan ruangan di tengahnya dibuat menjadi berkelok-
kelok dengan menggunakan dinding penyekat.
97 Universitas Kristen Petra
Terdapat pergeseran fungsi dari yang dulunya adalah tempat di mana hanya raja
dan pejabat yang boleh menempati Pendapa Pagelaran, sekarang orang-orang lain
sebagai pengunjung dapat datang meskipun harus memiliki izin untuk keperluan
tertentu.
Gambar 4.5. Sirkulasi Aktivitas pada Upacara Jamasan Pusaka Meriam Kanjeng
Nyai Setomi.
Dimulai dari nomor 1 yang berada di meja sesajian di bagian depan Bangsal
Witana, kemudian di nomor dua yang berada di Bangsal Manguneng, kemudian di
nomor tiga di belakang Bangsal Manguneng.
98 Universitas Kristen Petra
4.4.1. Bangsal Witana
Bangsal Witana digunakan untuk tempat berkunjung atau sowan abdi
dalem perempuan yang membawa pusaka (tombak, pedang, tameng, panah) saat
diadakan upacara. Bangsal ini dibangun pada zaman Paku Buwana III dan
merupakan bangunan sakral di Sitihinggil.
4.4. Analisis Ruang Upacara Jamasan Pusaka Meriam Kanjeng Nyai Setomi.
Sehari sebelum Garebeg Maulud, akan selalu ada Jamasan Pusaka di Keraton
Surakarta. Jamasan Pusaka meriam Kanjeng Nyai Setomi diadakan dalam kompleks
Sitihinggil, tepatnya pada Bangsal Witana dan Bangsal Manguneng tempat
disimpannya Meriam Kanjeng Nyai Setomi. Upacara Jamasan ini bersifat terbuka,
sehingga masyarakat memiliki kesempatan untuk melihat prosesi yang berlangsung.
Jamasan Pusaka Meriam Kanjeng Nyai Setomi ini dimulai sekitar pukul 10 pagi.
Gambar 4.4. Bangsal Witana yang ditengahnya terdapat Bangsal Manguneng tempat
berlangsungnya Jamasan Pusaka Meriam Kanjeng Nyai Setomi.
99 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.12. Analisis aktivitas di Bangsal Witana.
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Bangsal Witana pada saat Jamasan
Pusaka. Langit-langit pada Bangsal
Witana tersusun dari kayu yang
memberi kesan terpusat pada Bangsal
Manguneng di tengahnya. Warna pada
Bangsal Witana didominasi oleh warna
hitam dan merah, dan memiliki lantai
ubin abu-abu.
Para keluarga raja berkumpul di
sekitar meja. Sesajian disiapkan dan
diletakkan di depan Bangsal
Manguneng.
NILAI
Dalam konteks arsitektur dan interior, ruang dianggap sebagai suatu proses
asimilasi. Untuk menerangkan suatu gejala spatial dan pengaruhnya terhadap
persepsimanusia, maka proses adaptasi merupakan optimalisasi pencapaian
manusia akan keseimbangan dan gerak bakunya dengan lingkungan sekitar
(Santosa, 2005: 97). Proses materialisasi ide dan gagasan memerlukan kaji
referensial dari berbagai tata atur, bahkan norma, sehingga proses perancangan
desain interior merupakan interpretasi perenungan layaknya sebuah proses ritual.
Ritual merupakan suatu bentuk kepatuhan pada budaya yang bermuara pada
“meaning‟. Proses pencarian meaning ini lah yang melahirkan suatu bentuk
ritual yang selalu dilakukan dan ditaati. Ritual mendoakan makanan sebelum
Jamasan Pusaka Kanjeng Nyai Setomi ini memiliki kesamaan dengan ritual yang
dilakukan pada Malam 1 Sura di Maligi. Ritual ini disebut Selamatan. Selamatan
adalah suatu upacara makan bersama makanan-makanan yang telah didoakan
sebelum dibagikan. Selamatan erat hubungannya dengan kekuatan makhluk-
makhluk halus tersebut.Tujuannya adalah meminta keselamatan dan rejeki bagi
Keraton Surakarata. Setelah itu dilakukan Jamasan yang berarti mencuci segala
yang kotor dalam batin, dan bersiap untuk menyambut Garebeg Maulud dengan
batin yang bersih. Seperti slametan pada saat sebelum Kirab Pusaka 2013,
Suwito menjelaskan bahwa keraton sebagai pusat kosmos dan semesta, adalah
sumber keselamatan dan kesejahteraan. Kekuatan magis raja yang menyebar ke
seluruh masyarakat melalui ritual dan upacara sakral, tersimpan di dalam pusaka.
Maka dari itu pusaka-pusaka tersebut harus dikirabkan atau di-jamas (dicuci).
Perlakuan khusus ini dilakukan agar pusaka-pusaka tersebut tidak mengeluarkan
daya rusaknya yang dapat menghancurkan keraton. Perlakuan khusus ini
termasuk selamatan yang diadakan sebelum men-jamas atau meng-kirab-kan
pusaka-pusaka tersebut. Behrend mengemukakan bahwa selain sebagai tempat
100 Universitas Kristen Petra
penyimpanan pusaka meriam, Bangsal Witana memang digunakan untuk
keperluan ritual dan upacara Garebeg. (Behrend,1982:62). Hal ini menunjukkan
tidak adanya pergeseran fungsi pada Bangsal Witana.
4.4.2. Bangsal Manguneng
Bangsal Manguneng merupakan bangsal yang lebih kecil dalam Bangsal
Witana, tempat Meriam Nyai Setomi disimpan. Dalamnya tertutup kain dengan
motif bati, memiliki pintu dan dinding kaca dengan rangka kayu yang dicat hitam.
Berikut penjelasan aktivitas Jamasan Pusaka di Bangsal Manguneng.
Tabel 4.13. Analisis aktivitas di Bangsal Manguneng.
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Bangsal Manguneng terletak di tengah
Bangsal Witana. Bangsal ini memiliki
empat tiang dan berukiran bunga.
Warna dari Bangsal Manguneng
didominasi hitam dan memiliki aksen
merah. Di atapnya terdapat ukiran naga
dan mahkota yang berwarna keemasan.
Pintu dan dinding nya memiliki kaca
dan tertutup oleh kain sehingga apa
yang ada di dalam tidak dapat terlihat
dari luar. Dalam Bangsal Manguneng
terdapat Meriam Kanjeng Nyai Setomi
yang selain utusan Raja, tidak pernah
melihat bentuk fisik dari Meriam
tersebut. Hal ini dikarenakan Meriam
Kanjeng Nyai Setomi dianggap sakral
dan tidak sembarang orang
diperbolehkan untuk melihat bentuk
fisik Kanjeng Nyai Setomi yang
sebenarnya. Pada penelitian BRM.
Suryo Triono, disebutkan bahwa pada
blandar terdapat tulisan Jawa yang
Terdapat 4 macam sesajen yang
diletakkan di depan Bangsal
Manguneng. Sesajen tersebut
diletakkan oleh abdi dalem wanita
sesaat setelah meletakkan sesajian di
meja yang berada di depan Bangsal
Manguneng.
101 Universitas Kristen Petra
berbunyi ‘nginggiling siti kahesthi
rupa’ yang berarti menunjukkan
sengkalan yaitu tahun 1801 Jawa.
(Triono, 2009: 1xxi)
NILAI
Sesajian yang diletakkan di depan Bangsal Manguneng merupakan offering atau
persembahan bagi Kanjeng Nyai Setomi sebelum ‘dimandikan’. Hal ini bertujuan
untuk meminta ijin untuk melakukan Jamasan Pusaka dan meminta berkah
keselamatan bagi Keraton Surakarta. Jamasan Pusaka Meriam Kanjeng Nyai
Setomi ini dilakukan dengan ‘memandikan’ Meriam Kanjeng Nyai Setomi
dengan tujuan membersihkan kekotoran batin sebelum menjelang Garebeg
Maulud.
Pen-jamas-an Pusaka Meriam Kanjeng Nyai Setomi ini dilakukan dari dua
sisi, depan dan belakang, yang keduanya dilakukan oleh KGPH. Puger dan para
abdi dalem pria.
Tabel 4.14. Analisis Aktivitas di Bangsal Manguneng setelah Upacara Jamasan
Pusaka Meriam Kanjeng Nyai Setomi.
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Para abdi dalem (yang mengenakan
pakaian serba hitam) yang berada di
sekitar Bangsal Manguneng.
Tampak KGPH. Puger memimpin
jalannya ritual dibantu oleh para abdi
dalem yang mengenakan pakaian
serba hitam. Air bekas mencuci
meriam dan lantai di Bangsal Witana
ada yang ditampung untuk para abdi
dalem dan pengunjung yang ingin
mengambil airnya.
NILAI
Saat melakukan upacara ini, pikiran harus bersih dan tidak boleh ada sedikit pun
pikiran untuk melakukan perbuatan yang tidak berkenan, karena merupakan
pantangan di saat manusia menghadap pada kekuatan yang di luar
kemampuannya, sama seperti saat memandikan seorang wanita, tidak boleh ada
yang melihat dan berpikiran yang tidak baik (Sumber: wawancara dengan Bp.
Suryo). Setelah ‘memandikan’ Meriam Kanjeng Nyai Setomi, para abdi dalem
102 Universitas Kristen Petra
membersihkan lantai Bangsal Witana juga, agar lingkungan sekitar tempat
Meriam Kanjeng Nyai Setomi tetap bersih. Air bekas cuci dari Jamasan pusaka
ini disimpan oleh abdi dalem dan beberapa pengunjung, bahkan ada yang
menggunakannya untuk menyiram muka agar tubuh menjadi sehat dan segar.
Hal ini dilakukan karena kepercayaan mereka terhadap efeknya untuk kesehatan
dan rejeki (sumber: wawancara informal dengan salah satu pengunjung Upacara
Jamasan).
Pada gambar di atas, bangunan yang dipakai sebelum gunungan
dikeluarkan adalah Bangsal Smarakata dan Kori Srimanganthi Lor. Sesaat
sebelum gunungan dikeluarkan, para abdi dalem akan bersiap di Bangsal
Smarakata dan Gunungan pada saat itu masih berada di depan Bangsal
Magangan. Para abdi dalem yang baru datang akan melakukan doa terlebih
dahulu di Pelataran Kedhaton, dan masuk melalui Kori Srimanganthi Lor.
Gambar 4.7. Pelataran Kedhaton dan arah keluarnya Gunungan
Pada gambar di atas, titik berwarna hijau merupakan Gunungan Kakung
(pria) dan warna ungu merupakan Gunungan Putri (wanita). Panah biru
menunjukkan arah keluarnya gunungan-gunungan tersebut, dimulai dari depan
103 Universitas Kristen Petra
Bangsal Magangan, melalui pelataran kedhaton, dan menuju Kori Srimanganthi
di sebelah Panggung Sanggabuwana.
4.5.1. Bangsal Smarakata
Bangsal Smarakata teretak di Pelataran Srimanganthi Lor, berhadapan dengan
Bangsal Mercukunda. Berikut merupakan aktivitas para abdi dalem di Bangsal
Smarakata sebelum dikeluarkannya gunungan-gunungan dari Pelataran
Kedhaton.
4.5. Analisis Ruang Upacara Garebeg Maulud
Upacara Garebeg Maulud ini dilaksanakan pada hari terakhir Sekaten
dangan dikeluarkannya gunungan-gunungan yang telah dibuat dan disiapkan oleh
keraton dan dibawa ke Masjid Agung.
Acara Garebeg, pada masa Paku Buwana VII, hal tersebut dilakukan
dengan tujuan meminta berkah keselamatan untuk (dengan urutan) Garebeg,
Gubernur Jendral dan raad van Indie, Komisaris, Susuhunan, Residen, Pangeran
Hangabei sebagai putra mahkota, Pangeran Putra Sentana, dan Pulau Jawa.
Sedangkan pada masa Paku Buwana IX, urutanya menjadi Garebeg, Raja
Belanda, Gubernur Jendral, Susuhunan, Residen, putra mahkota, keluarga Sunan,
dan Pulau Jawa. Urutan ini juga berubah pada masa Paku Buwana X, yaitu
Garebeg, Gubernur Jendral, Susuhunan, Residen, dan Pangeran Adipati Anom.
Gambar 4.6. Ruang yang dipakai menjelang keluarnya gunungan untuk Garebeg
Maulud
108 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.15. Analisis Aktivitas di Bangsal Smarakata
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Bangsal Smarakata pada saat Garebeg
Maulud, sebelum gunungan dikeluarkan.
Tidak memiliki dinding dan terdapat empat
tiang penyangga (pilar) yang berwarna biru
muda di dalamnya. Lantainya berwarna
abu-abu dan untuk keperluan acara
Garebeg, karpet merah diletakkan sebagai
alas duduk para Abdi Dalem.
Posisi para abdi dalem berpangkat
tinggi di Bangsal Smarakata dan
keluarga raja yang memimpin di
meja tengah (KGPH. Puger),
mereka menunggu dimulainya
Upacara Garebeg dan keluarnya
gunungan dari arah Pelataran
Kedhaton. Warna biru muda
menunjukkan para abdi dalem
berpangkat, kemudian warna
oranye adalah meja ang telah
diatur menghadap depan sebagai
tempat KGPH. Puger duduk (titik
merah), serta titik kuning
menunjukkan posisi 4 pilar di
dalam Bangsal Smarakata.
NILAI
Bangsal Smarakata umumnya dipakai sebagai tempat menunggu kedatangan raja
di Pelataran Srimanganti Utara. Pada saat Garebeg, para abdi dalem yang
berpangkat berkumpul dan melakukan doa di sini saat menunggu keluarnya
gunungan. Mereka mempersiapkan diri sebelum nantinya akan berjalan bersama-
sama menuju Masjid Agung, dipimpin oleh KGPH. Puger. Behrend
mengemukakan fungsi Bangsal Smarakata sebagai tempat para pejabat dan
golongan jero berada pada saat raja akan mengadakan pertemuan dengan
mereka, termasuk para abdi dalem (Behrend: 1982, 80). Dalam acara Garebeg
ini, Bangsal Smarakata berfungsi seperti yang dikemukakan oleh Behrend. Para
abdi dalem menunggu di perintah dari raja dan bersiap sebelum gunungan
dikeluarkan.
4.5.2. Pelataran Kedhaton
Pelataran Kedhaton merupakan rute keluarnya gunungan pada saat
Garebeg. Sebelum gunungan mulai dibawa keluar, Pelataran Kedhaton digunakan
sebagai tempat berdoa (di depan Sasana Sewaka) dan tempat para abdi dalem dan
polisi menunggu dan duduk-duduk.
109 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.16. Analisis Aktivitas di Pelataran Kedhaton saat Garebeg Maulud.
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Pelataran Kedhaton pada saat Garebeg
Maulud. Sesaat sebelum gunungan
dikeluarkan dari arah Bangsal
Magangan.
Para abdi dalem dan peserta upacara
yang berdoa di pelataran Kedhaton
menghadap ke Sasana Sewaka (barat).
NILAI
Pada Upacara Garebeg 2014, para abdi dalem yang baru datang akan melakukan
doa dulu di depan Sasana Sewaka untuk mempersiapkan kegiatan
dikeluarkannya gunungan. Suasana saat itu sangat ramai, mereka berdoa di
bawah pohon-pohon Sawo kecik yang rindang. Di dpan posisi mereka duduk
diletakkan kemenyan dan dupa sebagai sesajen. Setelah melakukan doa ini,
mereka akan duduk-duduk di Bangsal Bujana dan Bangsal Pradangga sambil
menunggu dikeluarkannya gunungan dari emper Bangsal Magangan. Sama
seperti saat menjelang Malam 1 Sura, posisi doa menghadap Barat, ke arah
Gunung Merapi yang dianggap sebagai tempat tinggal para dewa dan
memberikan penghormatan pada rajanya, karena seorang raja pada kebudayaan
Jawa dianggap sebagai dewa. (Setiawan, 2000: 14). Kegiatan ini sama dengan
permulaan aktivitas ritual pada Ritual Malam 1 Sura sebelum diadakannya Kirab
Pusaka Kanjeng Kyai Slamet. Terdapat kesamaan struktur aktivitas dan ruang
pada dua event yang berbeda.
Berikut penjelasan mengenai Bangsal Pradangga dan Bangsal Bujana di
area Pelataran Kedhaton pada saat Upacara Garebeg Maulud, sebelum gunungan-
gunungan dikeluarkan dari depan Bangsal Magangan.
110 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.17. Analisis Aktivitas di Bangsal Bujana dan Bangsal Pradangga.
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Bangsal Pradangga dan Bangsal
Bujana. Tiga bangsal ini didominasi
warna putih dan biru muda. Lantainya
berwarna putih. Tiang di Bangsal
Pradangga, terdapat ukiran bunga
berwarna biru muda.
Para peserta upacara; para abdi dalem
dan polisi yang menunggu di Bangsal
Pradangga dan Bangsal Bujana,
terdapat perangkat gamelan yang
nantinya juga akan dibawa ke Masjid
Agung. Mereka duduk di pinggiran
lantai Bangsal Bujana dan Bangsal
Pradangga.
NILAI
Bangsal Bujana dan Bangsal Pradangga berfungsi sebagai tempat menunggu
dan bersiap para abdi dalem sebelum dikeluarkannya Gunungan.
Pada jaman dahulu, Bangsal Pradangga digunakan sebagai tempat
dibunyikannya gamelan untuk menghibur tamu yang datang atau tempat raja
bertemu dengan tamunya pada acara yang tidak terlalu penting. Bangsal Bujana
dipakai sebagai tempat menyediakan makanan dan minuman untuk para tamu
saat menunggu kedatangan rajanya.
4.5.3. Pelataran Srimanganthi Lor
Pelataran Srimanganti Lor merupakan pelataran kedua jika diurutkan dari arah
utara. Pelataran Srimanganthi Lor berada di belakang Kori Kamandhungan. Di
sebelah timur Pelataran Srimanganthi terdapat Bangsal Mercukunda dan sebelah
barat terdapat Bangsal Smarakata. Sebelah selatannya, merupakan Kori
Srimanganthi Lor yang menghubungkan Pelataran Srimanganthi dengan Pelataran
Kedhaton.
111 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.18. Analisis Aktivitas di Pelataran Srimanganti.
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Kori Srimanganti Lor (utara) yang
berada di Pelataran Srimanganti Lor
pada saat Garebeg Maulud. Kori
Srimanganti berwarna putih dengan
empat tiang besar dan memiliki pintu
masuk yang tinggi berwarna biru. Pada
Pelataran Srimanganti, pasirnya juga
sama dengan yang berada di Pelataran
Kedhaton yang merupakan kombinasi
atara pasir dari Gunung Merapi dan
pasir Pantai Selatan yang
melambangkan keseimbangan dan
dengan tujuan lain yaitu kesehatan.
Sama dengan di Pelataran Kedhaton,
yang berkepentingan untuk masuk
harus menggunakan sepatu atau
bertelanjang kaki dan menggunakan
pakaian yang sopan.
Gunungan dikeluarkan dari arah
Pelataran, dimulai dengan Gunungan
Putri yang dibawa oleh para abdi
dalem melalui Pelataran Srimanganti
Lor. Gunungan akan dikeluarkan
melalui pintu depan, sehingga arak-
arakan akan melewati Pelataran
Srimanganti Lor di mana para abdi
dalem berpangkat telah siap menunggu
di Bangsal Smarakata.
NILAI
Para abdi dalem berpangkat telah siap berbaris dan KGPH. Puger berada di
depan untuk memimpin jalannya menuju ke Masjid Agung. Srimanganti terdiri
dari dua kata yaitu sri artinya raja dan manganti artinya menunggu, srimanganti
artinya menunggu raja. Pada bangsal ini saat menunggu Gunungan, sama dengan
menunggu berkat yang dikeluarkan dari rumah raja dan akan membawanya ke
Masjid Agung untuk didoakan. Terdapat Gunungan Kakung dan Gunungan Putri
pada arak-arakan gunungan tersebut. Gunungan kakung, Gunungan selain
bermakna kesuburan juga mempunyai arti simbolik lain, gunungan kakung
melambangkan sifat baik, sedangkan gunungan putri melambangkan sifat buruk.
Dua sifat ini bila berdiri sendiri akan menimbulkan sifat perusak, sehingga dua
sifat ini harus disatukan. Disinilah peran raja untuk menyatukan dua kekuatan itu
sehingga akan menjadi satu kekuatan yang besar untuk kejayaan keraton. Dari
sinilah raja mengeluarkan sepasang gunungan pada waktu perayaan Sekaten.
Bentuk gunungan kakung dihubungkan dengan lingga atau alat vital laki-laki
yang mengacu pada nilai-nilai kehidupan yang menggambarkan adanya proses
penciptaan manusia atau dihubungkan dengan asal-usul manusia. Di samping itu
gunungan kakung juga menggambarkan tentang dunia dan isinya yang
mencakup berbagai unsur didalamnya, seperti bumi, langit, tumbuh-tumbuhan,
112 Universitas Kristen Petra
api, hewan, dan manusia itu sendiri dengan berbagai jenis dan sifat-sifatnya.
Manusia yang dimaksud adalah seorang ksatria utama yang menggambarkan
seorang figur manusia ideal bagi orang Jawa. Gunungan putri, bentuk gunungan
putri dihubungkan dengan yoni atau alat vital perempuan. Gunungan putri
melambangkan putri sejati yang menggambarkan bahwa seorang wanita harus
memiliki badan dan pikiran yang dingin. Sehingga dia mempunyai penangkal
untuk menahan isu-isu yang datang dari luar, baik yang menjelek-jelekkan
dirinya maupun keluarganya dan dapat menyimpan rahasia manusia atau
keluarganya. Adapun isi dari gunungan putri merupakan makna dan lambang
dari kewajiban wanita untuk menjaga dan mengerjakan urusan belakang atau
kebutuhan rumah tangga. Gunungan putri berjalan di belakang gunungan kakung
dan gunungan anakan, yang merupakan simbol bahwa istri bertugas sebagai
pengasuh utama dari anak dan bertanggungjawab menjaga keselamatan rumah
tangga.
4.5.4. Kori Kamandhungan Lor
Kori Kamandhungan merupakan main entrance sebelum masuk ke
Pelataran Srimanganthi Lor. Kori Kamandhungan ini adalah bangunan yang
menjadi pagar dengan tiga buah pintu besar berwarna biru muda yang terbuat dari
kayu. Kori Kamandhungan Biasanya dijaga oleh dua petugas keraton yang berdiri
di depan pintu besar tersebut.
Tabel 4.19. Analisis Aktivitas di Kori Kamandhungan pada Upacara Garebeg
Maulud.
RUANG LAKU / AKTIVITAS
Kori Kamandhungan Lor (utara) pada
saat kosong, dilihat dari luar. Kori
Kamandhungan berwarna putih dan
memiliki pintu yang tinggi dan besar
berwarna biru muda. Kori
Kamandhungan berfungsi sebagai main
entrance sebelum memasuki Pelataran
Srimanganti Lor. Di depan pintu Kori
Kamandhungan selalu terdapat dua
orang penjaga yang mengawasi jika
seseorang memiliki keperluan dengan
Gambar di atas diambil dari dalam
Kori Kamandhungan Lor. Para Abdi
dalem mengangkat perangkat gamelan
dan membawanya ke Masjid Agung.
Disusul kemudian oleh barisan
Gunungan melewati pintu Kori
Kamandhungan Lor.
113 Universitas Kristen Petra
raja. Hal ini termasuk menjaga dan
memeriksa apakah pakaian mereka
sudah rapid an pantas untuk masuk ke
dalam area Kedhaton.
NILAI
Saat-saat dikeluarkannya Gunungan melalui Kori Kamandhungan Lor
merupakan saat yang ditunggu oleh masyarakat yang telah berada di depan Kori
Brajanala Lor untuk berebut apapun yang berada di dalam Gunungan. Kori
Kamandhungan yang berfungsi sebagai main entrance memiliki perangkat meja
dan kaca yang sangat besar, digantung di dinding, tujuannya, pada saat ada yang
berkunjung untuk menemui raja, mereka akan merefleksikan diri mereka. Secara
fisik, kepantasan berpakaian, secara non-fisik, melihat kebersihan batin dan
pikiran sebelum masuk ke rumah raja dan menemui rajanya.