23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah telah mencatat bahwa peradaban manusia terbentuk melalui rentang waktu dan rentetan peristiwa yang sangat panjang, termasuk di dalamnya para tokoh- tokoh sejarah. Kemajuan peradaban tidak lain merupakan hasil daya cipta, rasa dan karsa manusia itu sendiri yang mengalami gesekan-gesekan kultural. Gesekan- gesekan kultural inilah yang semakin memperkaya kebudayaan itu sendiri. Karena tanpa adanya gesekan kultural niscaya sebuah peradaban akan menjadi stagnan. Di Indonesia, terdapat teori saluran dan cara yang digunakan dalam penyebaran agama Islam. Saluran dan cara itu adalah melalui perdagangan, pernikahan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Dari masing-masing saluran ini terjadi proses akulturasi antara budaya Islam yang diusung oleh para penyebar agama Islam dengan budaya masyarakat Indonesia. Akulturasi budaya dan agama sebagai wujud kearifan lokal tersebut, terdapat pula dalam sistem kalender Jawa. Kalender yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Jawa dan nilai Islam serta pengaruh [1]

penanggalan hijriyah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

j

Citation preview

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangSejarah telah mencatat bahwa peradaban manusia terbentuk melalui rentang waktu dan rentetan peristiwa yang sangat panjang, termasuk di dalamnya para tokoh-tokoh sejarah. Kemajuan peradaban tidak lain merupakan hasil daya cipta, rasa dan karsa manusia itu sendiri yang mengalami gesekan-gesekan kultural. Gesekan-gesekan kultural inilah yang semakin memperkaya kebudayaan itu sendiri. Karena tanpa adanya gesekan kultural niscaya sebuah peradaban akan menjadi stagnan.Di Indonesia, terdapat teori saluran dan cara yang digunakan dalam penyebaran agama Islam. Saluran dan cara itu adalah melalui perdagangan, pernikahan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Dari masing-masing saluran ini terjadi proses akulturasi antara budaya Islam yang diusung oleh para penyebar agama Islam dengan budaya masyarakat Indonesia.Akulturasi budaya dan agama sebagai wujud kearifan lokal tersebut, terdapat pula dalam sistem kalender Jawa. Kalender yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Jawa dan nilai Islam serta pengaruh ajaran Hindu dengan nama tahunnya Saka (kalender Saka), dipakai oleh orang Jawa sampai tahun 1633 TU[footnoteRef:1]. [1: TU adalah singkatan dari Tarikh Umum yang merupakan pengidonesiaan dari CE (Cemmon Era). Penelitian kontemporer menunjukkan, bahwa Isa Al-Masih tidak dilahirkan tepat tahun 1, tetapi 4 atau 5 tahun sebelumnya, sehingga penamaan untuk tahun masehi yang merujuk pada kelahiran Isa Al-Masih sudah tidak tepat lagi. Sementara istilah untuk tahun sebelum tahun 1 dinamakan Sebelum Tarikh Umum, disingkat STU. Penggunaan TU dan STU kali pertama disarankan oleh Prof. Dr. Teuku Jacob (alm.), antropolog dan mantan rektor UGM. Lihat: Muh. Marufin Sudibyo, Sang Nabi pun Berputar, (Solo: Tinta Media, 2011), Hal. 2.]

Dengan demikian, sesungguhnya jauh sebelum semua agama yang diakui pemerintah masuk ke Indonesia, Jawa sudah memiliki kalender sendiri. Namun semenjak tahun 1633 TU, sistem penanggalan Jawa jadi berubah menjadi Penanggalan Jawa Islam. Sistem yang dipakai dalam penanngalan ini mengambil tahun Hijriah, yakni berdasarkan peredaran Bulan mengelilingi Matahari.

B. Rumusan MasalahBertitik tolak dari masalah di atas, maka melalui makalah komprehensif ini, penulis berusaha mendeskripsikan hasil dari akulturasi budaya Jawa dengan kalender Islam berupa Kalender Jawa Islam. Namun, oleh karena penanggalan tersebut merupakan hasil akulturasi budaya Hindu (penanggalan Saka) dengan penanggalan Hijriah, maka perlu kiranya untuk mengupas lebih dalam kedua penanggalan tersebut. Oleh karena, itu penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:1. Bagaimana sejarah kalender Saka?2. Bagaimana sejarah dan sistem kalender Hijriah?3. Bagaimana sistem kalender Jawa Islam sebagai akulturasi budaya Jawa dengan Islam?

BAB IIPEMBAHASANA. Sejarah Kalender SakaSejarah mencatat bahwa perhitungan tahun telah ada sebelum kedatangan agama Islam di Indonesia. Di Jawa khususnya, pernah berlaku sistem penanggalan Hindu atau dikenal dengan Almanak Saka. Yakni sistem penanggalan yang didasarkan pada peredaran Matahari mengelilingi Bumi. Tahun Saka diberlakukan sejak tahun 78 M, tepatnya pada hari Sabtu 14 Maret yang bertepatan dengan penobatan Prabu Syaliwohono (Aji Saka).[footnoteRef:2] [2: Ahmad Izzudin, Fiqih Hisab Rukyah, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007, hlm. 54]

Sistem penanggalan Soko (Saka) sering juga disebut sebagai Saliwahana. Sebutan ini mengacu pada sebutan seorang ternama dari India bagian selatan, Saliwahana yang berasil mengalahkan kaum Saka. Tapi, sumber lain menyebutkan bahwa justru kaum Saka di bawah pimpinan Raja Kaniskha I yang memenangkan pertempuran tersebut.[footnoteRef:3] [3: Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa (Sejarah Sistem Penanggalan Masehi, Hijriah dan Jawa), Semarang: Program Pascasarjana IAIN Walisongo, 2011, hlm. 16.]

Penanggalan atau almanak Saka dimulai pada tahun 78 M ketika kota Ujjayini (Malwa di India sekarang) direbut oleh kaum Saka (Scythia) di bawah pimpinan maharaja Kaniskha dari tangan kaum Satavahana. Fakta sejarah ini perlu ditegaskan, sebab banyak orang Jawa dan Sunda yang masih percaya pada dongeng Raja Aji Saka yang menciptakan penanggalan Saka serta huruf ha-na-ca-ra-ka. [footnoteRef:4] [4: Ibid. hlm. 16]

Tahun baru Almanak Saka terjadi pada saat Minasamkranti (Matahari pada rasi pisces) awal musim semi. Nama-nama bulan adalah Caitra, Waisaka, Jyestha, Asadha, Srawana, Bhadrawada, Aswina (Asuji), Kartika, Margasira, Posya, Magha, Phalguna. Agar sesuai kembali dengan Matahari, bulan Asadha dan Srawana diulang secara bergilir setiap tiga tahun dengan nama Dwitiya Asadha dan Dwitiya Srawana.[footnoteRef:5] [5: Ibid. hlm. 16]

Mengenai kaum Saka, ada yang menyebut bahwa mereka termasuk suku bangsa Turki atau Tartar. Namun, ada yang ada pula yang menyebut bahwa mereka termasuk kaum Arya dari suku Scythia. Sumber lain lagi menyebutkan bahwa mereka sebenarnya orang-orang Yunani (dalam bahasa Sangsekerta disebut Savana) yang berkuasa di Baktria (sekarang Afghanistan).[footnoteRef:6] [6: Ibid, hlm. 17.]

B. Sejarah Kalender HijriahDalam literatur klasik maupun kontemporer istilah kalender bisa disebut dengan tarikh, takwim, almanak, dan penanggalan. Istilah-istilah tersebut pada prinsipnya memiliki makna yang sama. Salah satu sumber referensi yang menarik adalah karya P. J. Bearman, The Encyclopedia of Islam (2000). Dalam buku ini pengarang melakukan sebuah studi etimologis kecil tentang berbagai istilah yang berkaitan dengan makna kalender Hijriah. Menurutnya, kalender Hijriah adalah kalender yang terdiri dua belas bulan Kamariah, setiap bulan berlangsung sejak penanmpakan pertama bulan sabit hingga penampakan berikutnya (29 hari atau 30 hari), sementara itu Leksikon Islam menyebutkan bahwa kalender Hijriah atau tarikh Hijriah adalah penanggalan islam yang dimulai dengan peristiwa hijrah Rasulullah.[footnoteRef:7] [7: Susiknan Azhari, Kalender Islam; Kearah Integritas Muhammadiyah-NU, Yogyakarta: Museum Astronomi Islam, 2012, hlm. 26-27]

Moedji Raharto dalam artikelnya yang berjudul Dibalik Persoalan Awal Bulan Islam menjelaskan bahwa sistem kalender Hijriah atau penanggalan islam adalah sebuah sistem kalender yang tidak memerlukan pemikiran koreksi, karena betul-betul mengandalkan fenomena fase Bulan. Dalam bahasa T. Djamaluddin, kalender Kamariah merupakan kalender yang pling sederhana yang mudah dibaca di alam. Awal bulan ditandai oleh penampakan hilal (visibilitas hilal) sesudah Matahari terbenam (maghrib).[footnoteRef:8] [8: Ibid, hlm. 28]

Dari rumusan-rumusan di atas dapat diperoleh keterangan bahwa sistem Almanak Islam tanggal 1 Muharram tahun 1 Hijriah dihitung sejak peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw berserta para pengikutnya dari Makkah ke Madinah atas perintah Allah swt. Dalam peristiwa hijrah ini bertepatan dengan 15 Juli 622 M. Jadi dalam Islam atau Hijriah 1 Muharram tahun 1 Hijriah dihitung sejak terbenamnya Matahari pada hari Kamis, 15 Juli 622 M.[footnoteRef:9] [9: Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa..., hlm. 57.]

Peristiwa hijrahnya Nabi beserta pengikutnya yang dipilih sebagai titik awal perhitungan tahun, tentunya mempunyai makna yang amat dalam bagi umat Islam. Peristiwa hijrahnya Nabi merupakan peristiwa besar dalam sejarah perkembangan Islam.Walaupun demikian, penanggaan tahun Hijriah ini tidak langsung diberlakukan pada saat peristiwa hijrah Nabi ketika itu. Namun pemberlakuan Almanak Islam baru diperkenalkan 17 tahun setelah peristiwa hijrah.[footnoteRef:10] Penetapan hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai pondasi dasar kalender Hijriah ini dilakukan oleh sahabat Umar bin Khatab.[footnoteRef:11] Kalender Hijriah juga terdiri dari 12 bulan, dengan hari berkisar 29-30 hari (untuk bulan-bulan ganjil berumur 30 hari, sedang bulan-bulan genap berumur 29 hari, kecuali pada bulan ke 12 Dzulhijjah pada tahun kabisat berumur 30 hari).[footnoteRef:12] Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah swt: [10: Muhyidin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004, hlm. 110.] [11: Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2012, hlm. 7.] [12: Muhyidin Khazin, , Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik ..., hlm. 111.]

Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan Bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa (Q.S At-Taubah Ayat 36)[footnoteRef:13] [13: Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Penerbit Duta Ilmu, 2009, hlm. 259 ]

Sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender Hijriah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Kalaupun tahunnya disebut, biasanya sebutan tahun itu dikatkan dengan peristiwa penting yang terjadi pada masa itu.[footnoteRef:14] Seperti istilah tahun gajah, tahun izin, tahun amar dan tahun zilzal. [14: Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa...., hlm. 58.]

Penanggalan Hijriah ini dimulai sejak Umar bin Khatab 2,5 tahun diangkat menjadi khalifah, yaitu sejak terdapat persolan yang menyangkut sebuah dokumen yang terjadi pada bulan Syaban. Abu Musa Al-Asyari sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan khalifah Umar. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Atas usul dari Ali bin Abi Thalib, penanggalan Hijriah dihitung berdasarkan momentum hijrah Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah.[footnoteRef:15] [15: Muhyidin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik ..., hlm. 110.]

Akhirnya sebuah kesepakatan dicapai dengan menghitung Almanak Islam yang dimulai dari hijrah Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat mengenai tanggal berapa Nabi saw Hijrah dan ini berbeda dengan tanggal kelahiran Nabi saw yang mereka berbeda pendapat. Khalifah Umar memang tidak menetapkan standar Almanak Islam dari kelahiran Nabi Muhammad dan kematian beliau.[footnoteRef:16] Nama-nama bulan serta sistem perhitungannya masih tetap menggunakan sistem yang disepakati oleh masyarakat Arab yang dimulai dari bulan Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah.[footnoteRef:17] [16: Slamet Hambali, Almanak sepanjang Masa..., hlm. 59.] [17: Ibid, hlm. 61.]

Kalender Hijriah perhitungannya didasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi menurut arah Barat-Timur yang lamanya rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik, yakni masa yang berlalu diantara dua ijtimak yang berurutan (satu bulan Sinodis). Berdasarkan perhitungan ini 1 tahun Hijriah sama dengan 354 hari 8 jam 48 menit 36 detik, atau 354 11/30 hari.[footnoteRef:18] dalam sistem kalender Kamariah ini satu tahun ada 12 bulan, yaitu Muharram, Shafar, Rabiul Awal, Jumadil Ula, Jumadal Akhirah, Rajab, Syaban, Ramadlan, Syawal, Dzulqadah, dan Dzulhijjah. Setiap 30 tahun terdapat 11 tahun kabisat (panjang= berumur 3555 hari) dan tahun basithah (pendek= berumur 354 hari). Tahun-tahun kabisat jatuh pada urutan ke 2, 5, 7, 10, 13, 15 (16), 18, 21, 24, 26, 29.[footnoteRef:19] Sedangkan selebihnya (1, 3, 4, 6, 8, 9, 11, 12, 14, 15, 17, 19, 21, 22, 23, 25, 27, 28, dan 30). Sebagai sarana dalam mempermudahnya kita bisa menggunakan syair dibawah ini : [18: Ibid, hlm. 106.] [19: Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004, hlm. 111.]

Syair ini terdiri dari 30 huruf Hijriah, yang mana bila pada huruf tersebut terdapat titiknya maka menandakan tahun kabisat, selaras dengan urutannya.[footnoteRef:20] Bulan-bulan yang gasal ditentukan umurnya 30 hari sedangkan bulan-bulan genap 29 hari. Dengan demikian 1 tahun umurnya 354 hari kecuali tahun panjang umurnya ditetapkan 355 hari tambahan 1 hari itu diletakkan pada bulan Dzulhijjah, sehingga menjadi 30 hari. Atas dasar sistem perhitungan itulah ditetapkan satu unit perhitungan yang disebut dengan satu daur (siklus) yang panjangnya 30 tahun, karena dalam satu tahun tersebut terdapat sebelas tahun panjang maka dalam satu daurnya = 30 x 354 hari + 11 hari= 10.631 hari. Kesatuan ini digunakan untuk memudahkan perhitungan-perhitungan bilangan hari menurut sistem kalender Hijriah. Sehingga untuk menghitung bilangan tahun Hijriah, bilangan tahun dibagi dengan 30 dikalikan 10.631 hari, sisanya dikalikan 354 hari. Sedang perhitungan bulan dihitung menurut ketentuan tersebut di muka.[footnoteRef:21] [20: Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa ..., hlm. 63.] [21: Departemen Agama RI, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm. 43.]

Adapun keterangan dari bulan-bulan tersebut adalah sebagai berikut:[footnoteRef:22] [22: Slamet Hambali, Almanak sepanjang Masa..., hlm. 63.]

No.BulanUmurKabisatBhasithah

1Muharram303030

2Shafar295959

3Rabiul Awal308989

4Rabiul Akhir29118118

5Jumadil Awal30148148

6Jumadil Akhir29177177

7Rajab30207207

8Syaban29236236

9Ramadlan30266266

10Syawal29295295

11Dzulqadah30325325

12Dzulhijjah29/30355354

Ketentuan umur-umur bulan ini hanya berlaku dalam hisab Urfi. Sedangkan dalam hisab Hakiki, umur bulan ditentukan berdasarkan variabel posisi riil Bulan (Hilal). Karena itu boleh jadi antara kalender Hijriah yang disusun berdasarkan Hisab Hakiki dan yang disusun berdasarkan Hisab Urfi kadang terdapat selisih 1 hari.[footnoteRef:23] [23: Ahmad Musonnif, Ilmu falak (Metode Hisab Awal Waktu Shalat, Arah Kiblat, Hisab Urfi dan Hisab Hakiki Awal Bulan), Yogyakarta: Teras, 2011, hlm. 109.]

Kalender Bulan atau kalender Kamariah memanfaatkan fase-fase perubahan Bulan sebagai acuan perhitungan waktu. Bulan memiliki beberapa fase atau bentuk, yakni al-muhaq, hilal, at-tarbit, al-uhdud dan al-badr. Ketika seorang pengamat melihat seluruh permukaan Bulan bersinar, saat itulah Bulan dalam fase al-badr (purnama). Saat Bulan nampak bersinar separuhnya, saat itulah Bulan dalam fase at-tarbi al-awwal (kwartir pertama) bila terjadi di awal bulan atau at-tari as sani (kwartir kedua) jika terjadi di akhir bulan. Jika Bulan terlihat bagaikan sabit, berarti Bulan dinamakan dengan al-hilal, dan fase antara t-tarbi dan al-badr dinamakan dengan uhdub.[footnoteRef:24] [24: Muh. Nashirudin, Kalender Hijriah Universal Kajian Atas Sistem dan Prospeknya di Indonesia, Semarang: El-Wafa, 2013, hlm. 31.]

C. Sistem Penanggalan Jawa Islam sebagai Akulturasi Budaya Jawa dengan IslamPenanggalan Jawa Islam merupakan kalender yang disusun oleh Sultan Agung Anyokrokusumo atau Sri Sultan Muhammad. Tepatnya pada tahun 1633 Masehi (1555 Saka atau 1043 Hijriah), Sultan Muhamad yang bertahta di kerajaan Mataram kalender tersebut dipertemukan, yaitu tahunnya mengambil tahun Saka, yaitu meneruskan tahun Saka (tahun 1555) namun sistemnya mengambil tahun Hijriah yang perhitungannya berdasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi.[footnoteRef:25] Maka dari itu penanggalan ini sering disebut juga dengan penanggalan Jawa Islam. Jadi 1 Muharram 1043 Hijriah adalah 1 Muharram 1555 Jawa (Saka) yang jatuh pada tanggal 8 Juli 1633. Angka tahun Jawa selalu berselisih 512 dari angka tahun Hijriah.[footnoteRef:26] [25: Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Teori dan Praktik..., hlm. 116] [26: Slamet Hambali, Alamanak Sepanjang Masa... , hlm. 17-18]

Tindakan Sultan Agung ini tidak hanya didorong oleh maksud memperluas pengaruh agama Islam, tetapi didorong pula oleh kepentingan politiknya. Dengan mengubah kalender Saka menjadi kalender Jawa sultan Agung yang berdasarkan sistem Kamariah seperti kalender Hijriah. Mengubah kalender itu mengandung maksud untuk memusatkan kekuasaan politik pada dirinya dalam memimpin kerajaan. [footnoteRef:27] [27: Ahmad Izzudin, Sebuah Kearifan Dalam Berbeda Poso dan Lebaran, Semarang: Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa Edisi 21, Januari-Juni 2013, hlm. 87]

Ide tersebut didukung oleh para ulama dan abdi dalem, khususnya yang menguasai ilmu falak atau perbintangan. Maka terciptalah kalender Jawa Sultan Agung yang populer disebut kalender Jawa Sultan Agung atau Anno Javanico (AJ). Menurut M. Hariwijaya, pakar Islam Kejawen, kalender tersebut merupakan bukti akulturasi agama islam dan kebudayaan Jawa yang luar biasa.[footnoteRef:28] [28: Ibid]

Peristiwa peralihan penanggalan hindu Jawa (Saka) ke penanggalan Hijriah dan adanya penggunaan kalender Jawa Islam sebagai kalender resmi merupakan peristiwa yang sangat bersejarah. Karena dengan adanya peristiwa tersebut maka jelas bahwa sejak zaman berkuasanya kerajaan-kerajaan Islam Indonesia, umat Islam Indonesia sudah mengenal ilmu falak (hisab rukyat). Keputusan Sultan Agung ini disetujui dan diikuti oleh Sultan Abul-Mafakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) dari Banten. Dengan demikian kalender Saka tamat riwayatnya di seluruh Jawa, dan digantikan oleh kalender Jawa yang sangat bercorak Islam.[footnoteRef:29] [29: Ibid, hlm. 18]

Pada dasarnya sistem kalender Islam Kejawen berpijak pada prinsip kalender Jawa yang mempunyai arti dan fungsi tidak hanya sebagai petunjuk hari tanggal keagamaan, tetapi juga menjadi dasar dan ada hubungannya dengan apa yang disebut petungan jawi. Yakni perhitungan baik buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak suatu hari, tanggal, bulan, tahun, pranatamangsa, wuku dan lain-lainya.Dalam sistem penanggalan Sultan Agung, nama hari, pasaran, bulan yang semula mengunakan istilah Hindu diganti dengan istilah Arab yang disesuaikan dengan lidah Jawa. Perubahan tersebut dapat terlihat sebagai berikut:[footnoteRef:30] [30: Tahrir Fauzi, Studi Analisis Penetapan Awal Bulan Kamariah Sistem Aboge di Desa Kracak Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah, Skripsi Sarjana Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2010, hlm. 30-31]

Perubahan hari:Tahun SakaTahun Jawa

Dulu DiteAhad

SomaSenin

AnggaraSelasa

BudhaRabu

RespatiKemis

SukraJumat

TumpakSabtu

Pancawara atau pasaran tetap dipertahankan yaitu : Pon, wage, kliwon, manis, pahing.

Perubahan pada nama bulan. Nama bulan dalam istilah Hindu diganti menjadi istilah Jawa:Tahun SakaTahun Jawa

SrawanaSura

Badra padaSapar

AswinaMulud

KartikaBakda Mulud

MargasiraJumadilawal

PusyaJumadilakhir

MukhaRejeb

Palguna Ruwah

PalgunaRuwah

WaishakaSawal

JysethaApit

AsadhaAji/ Besar

Satu tahun dalam penanggalan Jawa-Islam berumur 354, 375 hari (354 3/8 hari). Sehingga dalam satu daur (siklus), penanggalan Jawa-Islam ini berumur 8 tahun (1 windu). Dengan penetapan urutan tahun ke 2, 5, dan 8 merupakan tahun panjang (355 hari), sedangkan tahun lainnya tahun pendek (354 hari). Tahun-tahun dalam satu daur diberi nama dengan angka huruf jumali berdasarkan nama hari pada tanggal satu Suro tahun yang dimaksud dihitung dari nama hari tanggal 1 Suro tahun alipnya.Nama-nama tahun dalam penanggalan Jawa-Islam :- tahun pertama= Alip ( )- tahun kedua = Ehe ( )- tahun ketiga= Jim Awal ( )- tahun keempat= Ze ( )- tahun kelima= Dal ( )- tahun keenam= Be ( )- tahun ketujuh= Wawu ( )- tahun kedelapan= Jim Akhir ( )

Permulaan penanggalan Jawa Islam ini (1555 J), hingga permulaan tahun 1626 J, tanggal 1 Suro tahun alipnya jatuh pada hari Jumat Legi (Aahgi = tahun alip jumat legi). Menurut sistem ini, dalam satu tahun ada 354,375 hari. Maka dalam waktu 120 tahun, sistem ini akan mengalami pelonjakan 1 hari bila dibandingkan dengan sistem Hijriah. Oleh karena itu, setiap 120 tahun ada pengurangan 1 hari, yaitu yang seharusnya tahun panjang dijadikan tahun pendek. [footnoteRef:31] Atas dasar itu, maka sejak tahun 1627 J hingga 1746 J tahun alipnya adalah hari Kamis Kliwon (Amiswon = tahun alip Kamis Kliwon). Sejak tahun 1747 J hingga 1866 J tahun alipnya jatuh pada hari Rabu Wage (Aboge = tahun alip Rabu Wage). Sejak 1867 J hingga 1986 J tahun alipnya jatuh pada hari Seloso Pon (Asapon = tahun alip jatuh pada hari Selasa Pon). Demikian pula tahun 1987 J hingga tahun 2106 J tahun alipnya jatuh pada hari Senin Pahing (Anenhing = tahun.[footnoteRef:32] [31: Periode Aahgi/ Ajumgi memerlukan waktu 72 tahun bukan 120 tahun, karena periode ini merupakan masa peralihan dari tahun Saka (Samsiah) menjadi tahun Jawa ( Kamariah) sehingga pergantian huruf dari Alip Jumat Manis (Ajumanis/ Ajumgi) menjadi Alip Kemis Kliwon (Amiswosn) terjadi setelah Tahun Jawa berlaku selama 72 tahun yang berakhir pada tanggal 30 Aji tahun 1626 Jawa atau tangal 29 Dulhijah tahun 1162 Hijriah. ] [32: Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Teori dan Praktik..., hlm. 117-18]

Contoh konversi pada tanggal 1 Muharram 1436 H ke penanggalan Jawa. Langkah pertama:1436+512 = 1948 Jawa Langkah kedua:Menentukan jenis kaidah dari tahun Jawa yang telah diperoleh (1948 Jawa). Kaidah yang dimaksud adalah kaidah-kaidah dalam kurun waktu 120 tahun (15 windu).Dari daftar kaidah, maka diketahui bahwa tahun 1948 Jawa termasuk dalam kaidah Asapon (1867-1987 Jawa). Langkah ketiga:Menentukan jenis tahun dalam siklus satu windu. Caranya adalah:Tahun Jawa: 8, sehingga 1948/8 = 243 sisa 4Angka 243 menunjukkan jumlah siklus yang telah dilalui, sedangkan sisa 4 menunjukkan urutan tahun Jawa dalam siklus satu windu. Berikut aturan yang hanya berlaku untuk kaidah Asapon (1867-1987 Jawa):Sisa Tahun 1 Suro (1 Muharram)

1Tahun WawuAhad Wage.

2Tahun Jim akhirKamis Pon.

3Tahun AlifSelasa Pon.

4Tahun EheSabtu Paing.

5Tahun Jim awalKamis Paing

6Tahun ZeSenin Legi.

7Tahun DalSabtu Legi.

0 atau 8Tahun BeRabu Kliwon.

Sisanya adalah 4, Jadi tanggal 1 Muharram 1436 H bertepatan dengan tahun Ehe. Yaitu hari Sabtu Paing, tanggal 1 Suro tahun 1948 Jawa.

Untuk mengetahui awal bulan dalam tahun jawa tersebut, juga telah tersusun rumus sebagai berikut:NoNama bulanHariPasaran

1Muharrom11

2Shafar31

3Robiul awal45

4Robiul akhir65

5Jumadil awal74

6Jumadil akhir24

7Rojab33

8Syaban53

9Ramadhan62

10Syawal12

11Dzulqodah21

12Dzulhijjah41

Nama-nama pasaran : 1) Legi2) Pahing3) Pon.4) Wage5) KliwonTanggal 1 Sura tahun 1948 jawa adalah hari Sabtu Pahing, Sedangkan untuk bulan-bulan selanjutnya yaitu:1 Suro 1948 J: Sabtu Pahing 1 Rejeb: Senin Wage1 Safar : Senin Pahing 1 Ruwah: Rabu Wage1 Mulud: Selasa Legi 1 Poso : Kamis Pon1 Bakdomulud: Jumat Legi1 Syawal: Sabtu Pon1 Jumadilawal: Jumat Kliwon1 Apit: Ahad Pahing1 Jumadilakhir: Ahad Kliwon1 Besar: Selasa Pahing

BAB IIIKESIMPULANDari paparan di atas, dapat penulis simpulkan beberapa poin sebagai berikut:1. Sistem penanggalan Soko (Saka) yang sering juga disebut Saliwahana dimulai pada hari Sabtu, bertepatan dengan Tarikh Umum tanggal 4 Maret tahun 78 TU. Tahun tersebut diambil dari dinobatkannya Prabu Syaliwahono (Aji Soko), namun tahun pertama dihitung setelah satu tahun masa pemerintahan beliau.2. Kalender Hijriah yang dikenal pula sebagai kalender Islam,terbentuk pada masa Khalifah Umar bin Khattab, pada tahun ketiga pemerintahannya, dengan menyadari akan pentingnya kalkulasi ulang terhadap perhitungan masa yang sudah ada karena bulan-bulan tersebut belum ada tahunnya. Akhirnya Khalifah Umar mengundang tokoh-tokoh dalam bidang tersebut dan mendapatkan satu kesepakatan bahwa awal tahun (tahun 1 Hijriah) adalah pada saat hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah.3. Tahun 1633 Masehi bertepatan dengan tahun 1555 Saka dan bertepatan pula dengan tahun 1043 Hijriah, Sultan Agung Hanyokrokusumo,raja Mataram ke-3 menggabungkan kalender tahun Soko dengan tahun Hijriah. Tahun Soko berdasarkan Bumi mengelilingi Matahari, sedangkan tahun Hijriah berdasarkan Bulan mengelilingi Bumi. Oleh karena itu kalender atau penanggalan ini disebut kalender Jawa Islam atau kalender Sultan Agung. Tahunnya meneruskan tahun Soko tapi sistimnya menggunakan tahun Hijriah.BAB IVPENUTUPDemikianlah makalah komprehensif yang dapat penulis persembahkan, mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penulis menyadari akan makalah ini yang masih jauh dari kesempurnaan dan banyak terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, penulis senantiasa berharap kritik dan saran konstruktif dari pembaca, guna perbaikan untuk makalah penulis selanjutnya.[14]