Upload
phamthien
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
43
BAB IV
ANALISIS DATA
Pada bab ini penulis akan menganalisis mengenai permasalah konflik sosial
dan politik dalam sosiologi sastra serta wacana dalam novel Kubah karya Ahmad
Tohari. Konflik yang terdapat dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari meliputi
konflik sosial, politik, agama, ekonomi dan budaya. Penulis akan menjelaskan
penyebab timbulnya konflik, resolusi konflik dengan kekerasan atau tanpa kekerasan,
pengaruh positif atau negatif yang dihasilkan konflik, dan jenis kelompok konflik
kontruktif dan destruktif. Selanjutnya pada analisis permasalahan kedua penulis akan
menjabarkan wacana konflik sosial dan politik berikut penjelasannya.
A. Konflik Sosial dan Politik dalam Kubah
Karya Ahmad Tohari
1. Konflik Sosial dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari
a. Konflik Individu dan Individu
1) Birin dan Asep
Konflik antara Birin, Asep dan Karman terjadi karena perbedaan
pandangan mempermasalahkan istri mereka. Birin mengatakan “Sekarang
nasib kita sama”, kata Birin. “Aku dan kamu sama-sama punya tiga anak.
Bedanya, istriku hanya tahan empat bulan hidup dalam kesepian. Jadi,
Man kamu masih beruntung; istrimu lumayan setia karena tahan tidur
sendiri selama lima tahun.” Perselisihan ini merupakan konflik tujuan
yang dilihat dari konflik berdasarkan sumber konflik. Perselisihan ini
termasuk revolusi konflik tanpa kekerasan, yaitu
44
“Sekarang nasib kita sama”, kata Birin. “Aku dan kamu sama-sama punya tiga anak. Bedanya, istriku hanya tahan empat bulan hidup dalam kesepian. Jadi, Man kamu masih beruntung; istrimu lumayan setia karena tahan tidur sendiri selama lima tahun.” Dan Meskipun istri tidak minta cerai, namin saya kira sama saja. Sewaktu saya masih tinggal serumah, istriku biasa membuka pintu untuk lelaki lain. Apabila sekarang. Maka Birin benar, kamu masih lebih beruntung, Man,”. (Kubah, 2015: 14).
Konflik yang terjadi antara Birin dan Asep termasuk resolusi
konflik tanpa kekerasan. Birin dan Asep menyelesaikan konflik secara
baik tanpa melakukan kekerasan fisik. Konflik memberikan pengaruh
yang negatif
2) Karman dan Marni
Konflik yang terjadi karena Karman tidak hadir pada ceramah
keagamaan yang diselenggarakan Kapten Somad perwira yang bertugas
membina kehidupan rohani para tahanan. Permasalahan tersebut termasuk
revolusi konflik tanpa kekerasan bahwa Karman sebagai pihak yang
terlibat konflik tidak mengalami luka fisik. Karman merasa kecewa karena
tidak menemukan Marni dalam kehidupan Karman. Yang sedang
menguasai seluruh lamunan Karman adalah Parta, seorang teman
sekampung. Tujuh tahun yang lalu, ketika karman masih menjadi
penghuni pulau buangan, Parta menceraikan intrinya dan kemudian
mengawini Marni. Meskipun sudah punya tiga anak, Marni memang lebih
cantik dari istri Parta yang diceraikan. Hal ini tidak dibantah oleh semua
orang Pegaten, tidak juga oleh Karman.
Konflik yang terjadi karena Karman kehilangan seorang Marni
yang dulu sempat dicerainya. Namun perasaan Karman kepada Marni
45
masih membutuhkannya. Permasalahan tersebut termasuk revolusi konflik
tanpa kekerasan bahwa Karman yang terlibat konflik tidak mengalami
luka konflik. Karman merasa kecewa sudah menceraikan istri pertamanya
dan kemudian mengawani Marni. Meskipun sudah punya tiga anak, Marni
memang lebih cantik dari istri Karman yang dicerainya.
Konflik memberikan pengaruh negatif bagi kesehatan Karman.
Karman mendadak sakit merasa sulit bernapas setelah selesai membaca
surat dari Marni. Surat dari istrinya yang terpisah ribuan kilometer adalah
sesuatu yang tak ternilai harganya bagi seorang suami yang sedang jauh
terbuang. Konflik ini termasuk konstruktif. Karman sebagai pihak yang
terlibat konflik menyelesaikan konflik dengan baik. Karman tidak berhenti
memikirkan keberadaan Marni. Selama beberapa hari sesudah itu Karman
hanya bisa diam, merenung dan merening. Dan untuk mengurangi beban
yang sangat menekan jiwanya, Karman mencoba membagi duka bersama
teman-teman sebarak. Karman akhirnya memutuskan untuk diam dan
tidak mendapat apa-apa dari para teman kecuali tanggapan tak berharga
dan kadang menyakitkan. Adapun hal tersebut dapat dibuktikan dengan
kutipan sebagai berikut.
“Sekarang nasib kita sama,” kata Birin. “Aku dan kamu sama-sama punya tiga anak. Bedanya, istriku hanya tahan empat bulan hidup dalam kesepian. Jadi, Man, kamu masih beruntung istrimu lumayan setia karena tahan tidur sendiri selama lima tahun.” “Yah, kita memang senasib,” kata Asep. “Meskipun istri tidak minta cerai, namun saya kira sama saja. Sewaktu saya masih tinggal serumah, istriku biasa membuka pintu untuk lelaki lain. Apalagi sekarang. Maka Birin benar, kamu masih beruntung, Man.”
46
“Tetapi aku tak mengerti mengapa Karman kini begitu sedih,” sambung Birin “ Bung Asep pernah melihat foto istri Karman?” (Kubah, 2015: 14-15)
3) Hasyim dan Pak Triman
Konflik antara Hasyim dan Triman merupakan konflik yang terjadi
pada Hasyim tidak melihat sesuatu yang tidak wajar pada kunjungan
Triman itu. Dan imannya melarang ia berburuk sangka. Jadi Hasyim
melayan Triman dengan semestinya.
“Saya tidak merasatelahberbuatsesuatu yang istimewa, Pak Triman. Siapa pun merasa wajib membela kebenaran, membela negeri ini. Hanya itu yang telah saya lakukan. Atau katakanlah, hanya demikian yang mampu saya berikan kepada Negara yang masih muda ini.” “Pak Hasyim tidak minta didaftar menjadi tentara?” “Jangankan meminta, menginginkan pun tidak?” “Dengan luka leher yang hamper menewaskan Anda?” “Oh,“Hasyim tersenyum. “Saya tak pantas jadi tentara.” (Kubah, 2015: 89-90)
4) Karman
Konflik yang dialami oleh Karman dan kehidupan Karman yang
susah sejak sepeninggal ayahnya, ketika Karman mulai tertarik pada
Rifah, dan ketika Marni memutuskan untuk menikah lagi. Konflik ini
termasuk konflik dalam diri individu (conflik within the individual),
adalah konflik yang terjadi karena memiliki tujuna yang saling
bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang terlampau banyak untuk di
tinggalkan. Keadaan hidup Karman setelah ayahnya meninggal:
“Sepeninggal ayahnya, Karman hidup hanya dengan ibu dan seorang adik perempuan yang masih kecil. Sebenarnya Karman punya dua kakak lelaki. Tetapi keduanya meninggal dalam bencana kelaparan pada zaman Jepang. Keadaan keluarga Karman amat menyedihkan…” (Kubah, 2015: 61)
47
Karman tumbuh dewasa dan mulai tertarik dengan Rifah. “…maka wajar bila Rifah adalah nama pertama yamg terbaca di hati Karman ketika ia merasa sudah menjasi lelaki dewasa.” (Kubah, 2015: 83) Marni memutuskan untuk menikah lagi dengan Parta ketika Karman berada di Pulau Buru. “Yang sedang menguasai seluruh lamunan Karman adalah Parta, seorang teman sekampung. Tujuh tahun ynag lalu, ketika Karman masih menjadi penghuni pulau buangan, Parta menceraikan istrinya dan kemudian mengawini Marni…” (Kubah, 2015 : 11)
Konflik Karman ditimbulkan pada diri Karman yang mulai tertarik
pada Rifah dan ketika Marni memutuskan untuk menikah lagi. Karman
mengalamin konflik dalam diri individu (conflik within the individual),
adalah konflik yang terjadi karena memiliki tujuna yang saling
bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang terlampau banyak untuk di
tinggalkan. Konflik tersebut adalah pada diri Karman yang mulai tertarik
pada Rifah dan ketika Marni memutuskan untuk menikah lagi.Komplikasi
adalah bagian yang menghubungkan konflik ke klimaks.
Ketika Karman mulai tertarik kepada Rfah dan bermaksud memperistri Rifah, tetapi lamaran Karman ditolak oleh Haji Bakir karena Rifah sudah dilamar oleh pemuda lain. Sehingga membuat Karman menjadi benci kepada Haji Bakir. “Bahkan Karman pun merasa punya alasan untuk berharap karena sifat Rifah yang tetap hangat. Kemanjaannya terhadap Karman tak berubah seperti ketika keduanya masih suka bermain baling-baling yang terbuat dari kelapa.” (Kubah, 2015: 83) Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Karman masih suka kepada Rifah karena itu cinta Karman terhalang oleh Haji Bakir karena Rifah sudah dilamar oleh pemuda lain. Konflik disebabkan adanya perjodohan Rifah dengan pemuda lain, sehingga Karman masih berharap bisa menikahi Rifah.
48
5) Karman dan Haji Bakir
Konflik antara Karman dengan Haji Bakir yang disebabkan oleh
perasaan Karman terhadap Rifah yang dari dulu Karman mencintainya.
Karman menjadi berubah sikap. Karman membenci Haji Bakir dan ia juga
meninggalkan kewajibannya sebagai pemeluk agama. Kekecewaan
Karman dimanfaatkan oleh tokoh komunis yang bernama Margo dan
Triman untuk memasukan ideologinya ke dalam diri Karman terjerumus
dalam ideologi komunis dan akhirnya ditangkap dan ditahan di Pulau
Buru dengan meninggalkan seorang istri dan tiga anak. Setelah masa
tahanan di pengasingan habis, Karman pulang ke desanya dan warga
kembali menerimanya dengan senang hati.
Maka wajar bila Rifah adalah nama pertama yang terbaca di hati
Karman ketika ia merasa sudah menjadi lelaki dewasa. Sayangnya ada
satu hal yang membuat Karman kecewa, Rifah sudah dilamar oleh pemuda
lain. Calon suami Rifah sudah ditentukan oleh keluarga Haji Bakir. Sejak
saat itulah Karman menjadi benci degan keluarga Haji Bakir dan akhirnya
pada saat terjadi pemberontakan pada bulan September 1948 dia
bergabung menjadi anggota partai dan menjadi aktivitas politik. Hingga
akhirnya Karman menikah dengan Marni. Sedang kan Rifah menjadi
janda karena suaminya meninggal dunia. Rifah dikaruniai seorang anak
yang bernama Jabir, pemuda yang saat ini berhubungan dengan Tini.
Ketika Karman mulai tertarik kepada Rifah dan bermaksud
memperistri Rifah, tetapi lamaran Karman ditolak oleh Haji Bakir karena
49
Rifah sudah dilamar oleh pemuda lain. Sihingga membuat Karman
menjadi benci kepada Haji Bakir.
“Bahkan Karman pun merasa punya alas an untuk berharap karena sikap Rifah yang tetap hangat. Kemanjaannya terhadap Karman tak berubah seperti ketika keduanya masih suka bermain baling-baling yang terbuat dari daun kelapa…” (Kubah, 2015: 83).
Pemberontakan Karman terhadap Haji Bakir sudah memuncak.
Hingga akhirnya Karman bergabung dengan Margo menjadi seorang
aktivis politik.
“Hanya setahun sejak perkenalannya dengan kelompok Margo, perubahan besar terjadi pada diri Karman. Ia menjadi sinis. Segala sesuatu apalagi yang menyangkut Haji Bakir selalu ditanggapi dengan prasangka buruk…”(Kubah, 2015: 103).
6) Karman, Rifah dan Haji Bakir
Konflik antara Karman, Rifah dan Haji Bakir menjadikan
hubungan Karman dan Haji Bakir menjauh. Hubungan Karman dan Haji
Bakir terjadi karena Haji Bakir menjodohkan anaknya dengan orang lain.
Karman yang menyukai Rifah anak dari Haji Bakir.
b. Konflik Batin
Perkenalan dimulai dari perkenalan tokoh Kamar yang mengalami
konflik batin karena dia merasa rendah diri dihadapan masyarakat. Hal ini
disebabkan karena ia adalah mantan tahanan politik di Pulau Buru.
“Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak- geriknya serbakikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada Komandan, Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia mundur beberapa langkah, lalu berbalik..” (Kubah, 2015: 5).
50
Antiklimaks dalam novel ini adalah tertangkapnya Karman dalam
keadaan sakit parah.
“Dan tamat sudah kisah pelariannya, karena seorang gembala kerbau melihat segala gerak-geriknya. Di siang itu beberapa orang pamong desa datang ke Astana Lopajang. Karman ditangkap dalam keadaan sakit parah. Boleh jadi karena keadaannya itulah orang tidak tega menghabisi nyawanya (Kubah, 2015: 184-185).
Tahap ini menceritakan tentang Karman yang merasa dirinya hidup
kembali dan terima oleh warga Pegaten.
“Karman sungguh-sungguh telah berbaur kembali dengan tiap gerak kehidupan di Pegaten...”(Kubah, 2015: 199)
Konflik yang terdapat pada novel tersebut menceritakan siapapun
orangnya akan menyesal dan menyadari akan kesalahan yang telah dilakukan.
Karman bersikap seperti itu karena ia menyadari masa lalunya yang diwarnai
dengan kesombongan, kemungkaran, dan nyaris mendekati kematian. Konflik
tersebut merupakan konflik individu tanpa kekerasan dan positif.
Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu, Karman berlari menjemputnya, lalu menjatuhkan diri. Dengan bertumpu pada kedua lututnya, Karman memeluk orang tua itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak kecil. Haji Bakir yang merasa tidak bisa berbuat apa-apa membiarkan Karman memuaskan tangisnya (Kubah, 2015: 173-174).
c. Konflik Individu dan Kelompok
1) Tapol
Konflik antar kelompok disebabkan kedatangan Karman. Ketika
Tini menikah dengan Jabir dan Karman akhirnya sudah bisa berbaur
kembali dengan masyarakat Pegaten. Kemudian Karman membuatkan
Kubah masjid milik Haji Bakir.
51
“Setelah semua tamu pergi, Karman tidak segera masuk ke kamar tidur. Ia duduk seorang diri dengan perasaan gelisah. Karman merasa senang karena anak gadisnya akan menikah dengan perjaka dari keluarga baik-baik (Kubah, 2015: 206).
“Tanpa membentuk sebuah panitia, pekerjaan itu dimulai. Semua orang mendapat bagian menurut kecakapan masing-masing. karman memberanikan diri meminta bagiannya. Ia menyanggupi membuat kubah yang baru bila tersedia dan perkakasnya…. “(Kubah, 2015: 208).
Keraguan dan kekhawatiran Karman dapat dimengerti, karena
Karman sadar akan statusnya sebagai bekas tahanan politik yang baru saja
dibebaskan dari Pulau Buru. Sedangkan semua orang tau bahwa Pulau
Buru merupakan tempat pengasingan para tahanan politik atau orang PKI
kelas berat, sehingga wajar apabila Karman mempunyai kekhawatiran
kalau ditinya tidak akan diterima oleh orang-orang di desanya. Ditambah
lagi isterinya yang sangat dicitainya sudah tidak bisa hidup bersama lagi
karena sudah menikah dengan orang lain. Karman teringat kembali
kenangan ketika dia harus merelakan isterinya, Marni untuk menikah
dengan lelaki teman sekampungnya yang bernama Parta.
2) Margo dan Triman
Konflik yang dialami oleh Margo dan Trimandi Pulau Buru.
Konflik ditimbulkan adanya pemberontakan jiwa anak muda itu segera
diketahui oleh Triman dan Margo. Mereka tahu apa yang sedang
dibutuhkan Karman dalam rangka pemberontakan yaitu; sokongan dan
tepu ktangan! Orang-orang partai itu dengan senang hati akan
memberikannya. Mereka berbuat seolah-olah menolong si anak malang.
52
Peristiwa ini termasuk resolusi konflik tanpa kekerasan bahwa Margo dan
Triman tidak mengalami kekerasan yang melukai fisiknya.
3) Karman dan Margo
Konflikantara Karman dan Margo.Perselisihaniniterjadidisebabkan
Karman bergabungdengan Margo menjadiseorangaktivitaspolitik.
“Hanya setahun sejak perkenalannya dengan kelompok Margo, perubahan besar terjadi pada diri Karman. Ia menjadi sinis. Segala sesuatu apalagi yang menyangkut Haji Bakir selalu ditanggapi dengan prasangka buruk...” (Kubah, 2015: 103).
4) Karman
Tahap ini menceritakan tentang Karman yang merasa dirinya
hidup kembali dan diterima oleh warga Pegaten.
“Karman sungguh-sungguh telah berbaur kembali dengan tiap gerak kehidupan di Pegaren…..” (Kubah, 2015: 199). Karman membuat Kubah yang indah untuk masjid Haji Bakir. Dia mendapat pujian dari masyarakat Pegaten karena berhasil membuat kubah yang luar biasa bagusnya. “Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu sebagai kesempatan yang istimewa. Seserinpun ia tak mengharapkan upah. Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya ingin memberi jasa…”(Kubah, 2015: 209).
5) Karman, Margo dan Triman
Konflik Karman, Margo dan Triman disebabkan adanya konflik
sebelumnya, yaitu Karman dan Margo. Kekecewaan Karman
dimanfaatkan oleh tokoh komunis yang bernama Margo dan Triman untuk
memasukan ideologinya ke dalam diri Karman terjerumus dalam ideologi
komunis dan akhirnya ditangkap dan ditahan di Pulau Buru dengan
meninggalkan seorang isteri dan tiga anak.
“Karman yang selalu memikirkan Rifah. Haji Bakir yang tidak menyetujui”
53
6) Konflik Kelompok dan Kelompok
“Geger Oktober 1965 sudah dilupakan orang juga di Pegaten. Orang-orang yang mempunyai sagkut-paut denga peristiwa itu., baik yang pernah ditahan atau tidak, telah menjadi warga masyarakat yang taat…”(Kubah, 2015: 38). Di Madiun, September 1948 terjadi pemberontakan besar…”(Kubah, 2015: 83).
2. Konflik Politik dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari
a. Konflik Politik
Semenjak merdeka, bangsa dan negara Indonesia mengalami konlik
politik secara terus-menerus. Politik adalah pengumpulan kekuatan ntuk
memperoleh kekuasaan untuk memperoleh kekuasaan dan penggunaan
kekuasaan untuk mencapai tujuan atau merealisasikan ideologi. Jadi, konflik
politik adalah konflik yang terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik
berupaya mendapatkan dan mengumpulkan kekuasaan yang sama pada
jumlahnya terbatas dan menggunakan kekuasaan untuk mencpai tujuan atau
ideologinya (Wirawan, 2010: 67).
Setelah kejadian G30S/PKI, dimana para anggota PKI menculik dan
membunuh perwira-perwira tinggi negara, Indonesia mengadakan
pembersihan paham komunis. Siapapun yang bergabung dan berhubungan
dengan PKI ditangkap dan dijebloskan ke penjara, termasuk Karman. Di
dalam penjara tersebut Karman benar-benar mengakui kalu selama ini dia
telah masuk ke dalam faham yang salah. Ia mulai mengerti bahwa ajaran PKI
itu salah.
Masalah politik yang terdapat dalam novel Kubah, maka dapat di lihat
tentang aksi para anggota partai politik yang menggunakan partainya untuk
kepentingannya saja sehingga merugikan banyak pihak yang berada dalam
54
lingkungan politik tersebut. Keberadaan politik yang meresahkan masyarakat
terlihat ketika banyak orang yang merasa dirugikan. Hal ini dapat di lihat pada
kutipan berikut.
Pada masa pendudukan Jepang, orang-orang Pegaten mengalami masa yang sangat sulit. Kurang pangan terjadi di mana-mana karena padi orang kampung dijarah oleh tentara Jepang. Kemarau selama sembilan bulan juga ikut menyengsarakan semua orang (Kubah, 2015: 59).
Dari kutipan di atas terlihat ketika masa penduduk Jepang masyarakat
Pegaten khususnya merasakan kesengsaraan hak mereka dirampas harta
kekayaan di jarah oleh tentara Jepang, bahkan mereka tidak bisa memenuhi
kebutuhan hidup mereka sendiri. Banyak orang mati karena kelaparan.
Masyarakat yang telah kehilangan harta benda kini menjadi sosok
masyarakat yang rusuh, mereka merusak perkebunan, menanam sesuai dengan
kemauan mereka, hutan jati milik pemerintah habis di tebang dan di bakar
bahkan mandor yang mati karena tertimpa pohon jatitidak mendapatkan
keadilan. Hal ini dapat di lihat pada kutipan berikut.
Pencuri-pencuri menjadi sangat berani. Hutan jati di sebelah selatan Pegaten rusak berat oleh penduduk sekelilingnya. Bahkan para pekerja perkebunan karet mulai melancarkan kerusuhan-kerusuhan. Tanaman karet ditebangi, tanahnya digarap menurut kemauan. Terpaksa polisi didatangkan, tetapi mereka malah melawan para petugas itu sampai ada yang tewas. Di hutan jati, seorang mandor juga meninggal tertindih kayu balok yang besar. Ketika peristiwa itu sampai kepengadilan, yang menjadi hakim adalah politik. Keputusannya berbunyi: Mandor jati itu sudah menerima hukuman yang patut, karena tidak berpihak kepada “rakyat”. Akibatnya, nasib hutan jati itu makin menyedihkan. Penduduk yang termakan hasutan politik membakar hutan milik negara (Kubah, 2015: 147).
55
Pada kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa aspek sosial dalam
masalah politik terletak pada ketidakberdayaan masyarakat untuk melawan
politik yang telah merugikan kehidupan masyarakat Pegaten.
b. Konflik psikis
Konflik psikis yang dialami individu karena dalam waktu yang
bersamaan menghadapi situasi yang mengandung unsur positif dan negatif
yang sangat kuat. Lihat kutipan berikut:
“dan isteriku mau kawin lagi” karman mengeluh seoramng diri; keluhan yang menyertakan rasa sakit didasar hati. Pada hari kedelapan karman bermaksud membalas surat marni. Entah dari mana datangnya, yang jelas ada pikiran bening diiotaknya. “betapapun terasa pahit, marni sepantasnya kulepaskan dan dirikulah yang memastikannya kapan dari akhir penahanan dan pengasingan ini tidak dapat diramalkan apalagi dipastikan. Padahal marni masih muda. Tiklah adil memaksa marni untuk ikut menderita dan kehilangan masa depannya apalagi anak-anaknya, anak-anakku perlu santunan. Nah, Baiklah marni kulepaskan walaupun hati dan jiwaku tidak pernah menceraikannya. Takkan pernah..”(Kubah ,2015: 115)
Peristiwa dalam kutipan tersebut merupakan tekanan bbatin yang
menimbulkan konflik positif dan konflik negatif, karena ppadasaat itu
mengharuskan karman memilih karena untuk kebaikan keluarga yang
ditinggalkannya. Karman memilih melepaskan marni bedasarkan tanggung
jawab atas kehidupan anak-anaknya yang tidak bisa ditanggungnya karena ia
dipenjara. Mungkin dengan melepaskan marni yang dinikahi oleh parta anak-
anaknya akan mendapatkan kehidupan yang layak (positif), namun disisi lain
karman mengeluh yang menyertakan rasa sakit hati apabila perceraian itu
dikabulkan (negatif).
56
“Gambaran pergolakan batin karmanpun telah dirasakan sebelumnya
ketika harus memilih menikahi rivah atau mempertahankan ideologinya,
karena ayah rivah adalah lawan dari ideologinya. Berhari-hari karman
terombang ambing oleh pikirannya sendiri , pergolakan batinnya semakin
seru. Namun sampai kelopak matanya cekung karena kurang tidur, karman
belum bisa memutuskan apakah ia akan kembali melamar rivah atau tidak.
Yang jelas ingatannya kepada anak Haji Bakir itu bukan semakin surut malah
semakin bertambah. “
Konflik psikis yang dialami oleh tokoh Karman karena dalam waktu
yang bersaman mengandung motif positif dan negatif yang sama kuat yaitu
menikahi Rivah (positif) atau mempertahankan ideologinya (negatif). Akhir
dari konflik yang dirasakan karman ternyata tidak sepeti yanng ia harapkan
karena lamaran karman ditolak oleh haji bakir yang disebabkan karena
Karman sudah menyimpang keajaran yang sesat, sehingga tidak layak
mendampingi Rivah. Keadaan tersebut sebenarnya telah diciptakan oleh
lingkungan sekitar Karman yakni dari kawan kawan karman yang berpaham
komunis.
c. Konflik Antarpartai
1) Konflik bulan Oktober 1965
Konflik bulan Oktober 1965 diperlihatkan banyaknya tentara-tentara yang
ingin perang. Konflik tersebut terjadi dikarenakan ada konflik
sebelumnya. Interaksi sebelumnya adapun tersebut dapat dibuktikan
dengan kutipan sebagai berikut.
57
“Geger Oktober 1965 sudah dilupakan orang juga di Pegaten. Orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan peristiwa itu, baik yang pernah ditahan atau tidak, telah menjadi warga masyarakat yang taat...” (Kubah, 2015: 38)
2) Bulan Agustus 1977
“Dari dulu, desa itu bernama Pegaten juga pada bulan Agustus 1977 dan entah sampai kapan lagi...” (Kubah, 2015: 186)
3) September 1948
Di Madiun, September 1948 terjadi pemberontakan besar…” (Kubah, 2015: 83).
4) Permulaan tahun jaran baru, tahun 1950
Karman merasa menjadi anak yang paling berbahagia di dunia. Pada permulaan tahun ajaran baru tahun 1950, Karman sudah menjadi seorang murid SMP di sebuah kota kabupaten yang terdekat…” (Kubah, 2015: 81).
5) Awal tahun enam puluhan
“ Yang terjadi di Pegaten pada awal tahun enam puluhan, sama seperti yang terjadi di mana-mana. Boleh jadi orang tidak senang mengingat masa itu kembaki karena kepahitan hidup yang terjadi waktu itu.” (Kubah, 2015: 146).
3. Konflik Agama dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari
a. Konflik Agama
Sepanjang sejarah umat manusia terjadi sejumlah konflik agama.
Konflik agama bisa terjadi di antara dua pemeluk agama yang berbeda atau di
antara para pemeluk agama yang sama. Konflik agama adalah konflik di
antara pemeluk, bukan konflik, di antara pemeluk, bukan konflik di antara
ajaran atau kitab suci agama. Dari segi ajaran dan kitab suci agama, memang
ada perbedaan mengenai ajaran atau doktrin agama. Ajaran agama Islam
berbeda di antara ajaran agama Katolik, Kristen (Protestan), Hindu, atau
Budha. Perbedaan di antara ajaran agama merupakan objek dari Ilmu
58
Perbandingan Agama. Akan tetapi, pihak yang terlibat konflik bukan kitab
suci, doktrin, atau ajaran agamanya, melainkan para penganut agamanya atau
umatnya. Kitab suci tidak bisa berpikir dan berbicara adalah pata penganut
agama yang menerapkan kitab suci dalam kehidupannya. Agama dan kitab
sucinya tidak membenci dan membunuh orang, tetapi para pemeluknya yang
melakukannya (Wirawan, 2010: 71).
Novel Kubah adalah novel yang sarat dengan agama Islam, baik ajaran
tentang ketakwaan, ataupun keimanan yang terdiri bidang aqidah, bidang
syari’ah, dan bidang akhlak Selain itu novel Kubah juga mengajarkan betapa
pentingnya saling memanfaatkan terhadap kesalahan orang lain agar tercipta
rasa solidaritas yang tinggi. Seperti halnya sikap pemaaf warga masyarakat
Pegaten ketika menerima kehadiran Karman dari pengasingan. Masyarakat
Pegaten sama sekali tidak menyimpan rasa dendam terhadap Karman dan
kesalahannya pada masa lalu.
Hanya setahun sejak perkenalannya dengan kelompok Margo, perubahan besar terjadi pada diri Karman. Ia menjadi sinis. Segala sesuatu apalagi yang menyangkut Haji Bakir selalu ditanggapi dengan prasangka buruk. Karman pun mulai berani berterus terang meninggalkan masjid, meninggalkan peribadatan. Bahkan tentang agama, Karman sudah pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa agama adalah candu untuk membius kaum tertindas (Kubah, 2015: 103).
a) Kapten Somad
Kapten Somad adalah perwira yang bertugas membina kehidupan
rohani para tawanan. Ia merupakan seorang yang pengertian, lapang dada,
simpatik. Dalam teks digambarkan sebagai berikut:
“Oh, baik, katakanlah. Aku akan senang mendengarnya. Siapa tahu aku dapat membantu meringankan perasaanmu” (Kubah, 2015: 20).
59
b) Haji Bakir
Haji Bakir merupakan seorang tokoh agama dan termuka di
desanya. Ia sesosok orang yang berbudi luhur, penolong, pemaaf. Tokoh
Haji Bakir tersebut seperti digambarkan dalam teks berikut ini:
Tetapi marilah, kita tetap berhubungan baik seperti dahulu. Tanpa melalui ikatan perkawinan antara dirimu dengan Rifah. Aku percaya kau dapat menemukan calon isteri yang baik (Kubah, 2015: 212).
c) Bidang Aqidah
Aqidah adalah keyakinan teguh yang tidak tercampur keraguan
dengan sesuatu apapun. Hal ini dapat di lihat pada kutipan berikut:
“Karman tertunduk; Tuhan Yang dimaksudkan oleh Kapten Somad pastilah kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan” (Kubah, 2015: 26). “Namun apabila kamu percaya dan berserah diri kepada Tuhan, maka jalan keluar selalu tersedia” (Kubah, 2015”27).
d) Bidang Syari’ah
Syariah adalah hukum yang telah diciptakan oleh Allah SWT
untuk seluruh makhluknya utamanya manusia. Ini dapat dibuktikan
dalaam novel Kubah.
"Namun akhirnya seorang lelaki tua sambil berjalan menepuk pundak Karman. “Mari, Pak, sudah hampir ikamah” (Kubah, 2015: 29). "Tini sudah selesai mandi kain batik dipinjungkan kemudian ia mengambil air sembahyang” (Kubah,2015: 39). "Mengapa sampai sejauh ini aku baru sadar ada dua anak yang wajib kusantuni?” keluhnya. “Seharusnya sejak dulu kuperhatikan kedua anak yatim ini” (Kubah, 2015: 59).
60
e) Bidang Akhlak
Akhlak adalah tingkah laku yang terdapat pada diri seseorang yang
telah melekat, dilakukan dan dipertahankan secara terus menerus, ini dapat
dibuktikan dalam novel Kubah.
Tetapi Karman menganggap pekerjaannya membuat Kubah itu sebagai kesempatan yang istimewa. Se-sen pun ia tak mengharapkan upah. Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya memberi jasa (Kubah, 2015: 209). “Temui orang yang baru tiba dari Pulau Buru itu. Dia masih berdiri di pintu halaman. Suruh dia cepat meneruskan perjalanan. Atau berilah dia dua ratus rupiah, barangkali ia kehabisan bekal (Kubah, 2015: 7).
4. Konflik Ekonomi dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari
a. Masalah Kemiskinan
Dalam novel Kubah berada dalam kemiskinan struktural disebabkan
karena penjajahan Jepang yang menjarah semua hasil panen masyarakat serta
kemarau panjang yang melanda desa Pegaten, sehingga ada pihak yang
memanfaatkan keadaan. Hal ini dapat di lihat pada kutipan berikut.
Dalam wilayah Kecamatan Kokosan, desa Pegaten letaknya terpencil. Di sebelah selatan terdapat hutan jati yang luas. Sementara bagian barat dibatasi oleh perkebunan karet dan rawa-rawa. Tanah sawah serta ladang subur. Kalaulah sebagian penduduknya hidup miskin, pastilah bukan keadaan tanah Pegaten yang menyebabkannya. Salah satu kenyataan yang telah menyebarkan kesengsaraan di daerah itu adalah pergolakan-pergolakan yang diawali oleh masuknya tentara Jepang. Kemudian menyusul perjuangan mempertahankan kemerdakaan yang praktis berlangsung sampai awal tahun lima puluhan. Kehidupan yang tenteram hanya berlangsung beberapa tahun, menjelang akhir dasawarsa (Kubah, 2015: 134-135).
Dari kutipan di atas dijelaskan bahwa terjadinya kemiskinan di desa
Pegaten yang disebabkan oleh masuknya tentara Jepang di desa tersebut.
61
Kemiskinan yang di rasakan oleh masyarakat desa Pegaten juga di rasakan
oleh keluarga Karman. Hal ini dapat di lihat pada kutipan berikut.
Pada masa pendudukan Jepang, orang-orang Pegaten mengalami masa yang sangat sulit. Kurang pangan terjadi di mana-mana karena padi orang kampung dijarah oleh tentara Jepang. Kemarau selama sembilan bulan juga ikut menyengsarakan semua orang (Kubah, 2015: 59).
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa kesulitan pangan terjadi
ketika penjajah Jepang menjarah semua padi masyarakat Pegaten sehingga
mereka harus makan ubi-ubian untuk memenuhi kebutuhan makan setiap hari.
5. Konflik Budaya dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari
a. Perjodohan
Konflik budaya perjodohan antara Rifah dan seorang lelaki. Konflik
Rifah dengan seorang lelaki termasuk resolusi konflik tanpa kekerasan. Rifah
dan lelaki itu tidak mengalami luka secara fisik, tetapi mengalami kekecewaan
terhadap Karman yang menyukai Rifah karena lamarannya kepada Rifah anak
Haji Bakir ditolak karena Haji Bakir sudah memilih jodoh untuk Rifah. Hal
ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Haji Bakir sungguh tidak tahu diri dan tidak adil!” Rasa kecewa, marah dan malu berbaur dihati Karman. Akibatnya dia mendendam dan membenci haji Bakir. Karman memulai dengan enggan bertemu, bahkan enggan menginjak halaman rumah orang tua Rifah. Sembahyang wajib ia tunaikan di rumah. Dan ia memilih tempat lain bila menunaikan sembahyang jumat. (Kubah, 2015: 101).
Karman sangat dendam dan membenci Haji Bakir. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan berikut.
62
Apa yang diperbuat Karman adalah balas dendam. Ia merasa disakiti. Dinista. Dengan meninggalkan masjid Haji Bakir, ia pun bermaksud membalas dendam. Bahkan ketika ia mulai sekali-dua meninggalkan sembahyang wajib, ia juga merasa sedang membayar kesumat. Haji Bakir mempunyai masjid, dan bagi Karman, orang tua itu adalah tokoh agama. Dan wujud nyata agama di desa pegaten adalah Haji Bakir itulah! Maka makin sering meninggalkan peribadatan, Karman merasa makin puas (Kubah, 2015: 101).
Dari kutipan di atas dapat di ketahui bahwa Karman merasa puas
karena sudah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim demi
untuk membalas sakit hatinya.
b. Dekadensi Moral
Novel Kubah karya Ahmad Tohari menggambarkan moral seseorang
yang berperilaku negatif semata-mata untuk kepentingan partai dan
menggunakan nama partai untuk memenuhi nafsunya.
Hal tersebut sesuai dengan sikap Karman dan kelompok Margo yang
telah berhasil menghasut Karman untuk menjauhi tempat ibadah bahkan
meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim untuk beribadah.
Karman menjadi seorang eteis. Hal ini dapat di lihat pada kutipan berikut.
“Kau ingat, Karman! Seorang tokoh agama seperti Haji Bakir dengan serakah menguasai tanah sawah milik orangtuamu. Lalu apa namanya hal semacam itu kalau bukan kejahatan yang sangat nyata?” Hanya setahun sejak perkenalannya dengan kelompok Margo, perubahan besar yang terjadi pada diri Karman. Ia menjadi sinis. Segala sesuatu apabila yang menyangkut Haji Bakir selalu ditanggapi dengan prasangka buruk. Karman pun mulai berani berterus terang meninggalkan masjid, meninggalkan peribadatan. Bahkan tentang agama, Karman sudah pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa agama adalah candu untuk kaum yang tertindas (Kubah, 2015: 104).
63
B. Korelasi Konflik Sosial dan Politik dalam Kubah
Karya Ahmad Tohari
Ahmad Tohari dalam setiap karya sastranya tampak menonjolkan
permasalahan kehidupan yang dialami tokoh-tokoh yang tergolong “wong cilik” atau
orang kecil, baik di desa maupun di kota. Seperti halnya dalam novel Kubah, Ahmad
Tohari menggambarkan tokoh yang tidak berdaya melawan arus kehidupan politik di
sekitarnya sehingga terpaksa menjadi korban sistem politik. Dengan diilhami kasus
tragedi Nasional 30 September 1965, ia mengungkapkan sebuah fenomena sosial yan
khas dalam konteks politik di Indonesia.
Novel Kubah dimulai dengan gambaran keraguan tokoh Karman untuk segera
meninggalkan halaman Markas Komando Distrik Militer sebagai tempat terakhir
pembebasan dari pulau Buru, Karman adalah bekas tahanan politik pulau Buru di
wilayah Maluku, sebuah pulau yang sangat populer sebagai tempat pengasingan
orang-orang PKI atau yang terlibat dengan penghianatan pada 30 September 1965.
Bagi masyarakat Indonesia, Pulau tersebut mengisyaratkan status terberat bagi yang
pernah ditahan disana, terlepas dari fakta yang sebenarnya dialami oleh setiap
tahanan politik. Tokoh Karman dalam novel Kubah dapat digambarkan sebagai
seorang tokoh yang penting dalam tubuh PKI, karena kalau hanya orang biasa dalam
PKI, mustahil ia sampai dikirim ke pulau Buru.
Ahmad Tohari lebih memiliki pemikiran netral dalam novel Kubah menulis
berbeda, yaitu dengan tulisan G30S. Faktor yang melatarbelakangi penulisan G30S
dibandingkan G30S/PKI bagi Ahmad Tohari adalah bahwa peristiwa pemberontakan
yang terjadi tahun 1965 tidak hanya semata-mata disebabkan oleh anggota PKI
(Partai Komunis Indonesia), Tohari tidak memihak siapa yang benar dan salah atas
64
terjadinya pemberontakan tersebut. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan
sebagai berikut.
Tidak mudah bagi seorang lelaki mendapatkan kembali tempatnya di masyarakat setelah dua belas tahun tinggal dalam pengasingan di Pulau Buru. Apalagi hati masyarakat memang pernah dilukainya. Karman, lelaki itu, juga telah kehilangan orang-orang yang dulu selalu hadir dalam jiwanya. Istrinya telah menikah dengan lelaki lain, anaknya ada yang meninggal, dan yang tersisa tidak lagi begitu mengenalnya. Karman memikul dosa sejarah yang amat berat dan dia hampir tak sanggup menanggungnya. Namun di tengah kehidupan yang hampir tertutup baginya, Karman masih bisa menemukan seberkas sinar kasih sayang. Dia dipercayai oleh Pak Haji, orang terkemuka di desanya yang pernah dikhianatinya karena dia sendiri berpaling dari Tuhan, untuk membangun kubah masjid di desa itu. Karman merasakan menemukan dirinya kembali menemukan martabat hidupnya (Kubah, 2015: halaman sampul belakang).
Kutipan di atas memberikan korelasi bahwa Tohari lebih memberikan
kebebasan kepada pembaca untuk menilai sendiri atas peristiwa pemberontakan yang
mengakibatkan konflik yang berkepanjangan bagi masyarakat. Masyarakat Indonesia
terbiasa mendengar tentang sejarah kelam Indonesia pada masa-masa pengkhianatan
sebuah partai komunis dari sudut pandang seorang Karman, seorang lelaki desa yang
terpaksa menanggung beban sejarah. Berlatar pedesaan pada tahun 60-70an, Tohari
bernarasi tentang kegetiran hidup mantan anggota partai terlarang di Indonesia yang
kemudian terbuang oleh partai maupun oleh lingkungan.
Lalu, kenapa Kubah? Karena kubah-lah yang akan merubah hidup seorang
Karman. Menariknya dari kegelapan masa lalu. Menyelamatkannya dari penolakan
masyarakat. Serta memanusiakan kembali Karman menjadi manusia seutuhnya.
Novel dengan akhiran yang sengaja dibiarkan menggantung (open ending) ini
diakui penulisnya bertujuan supaya pembaca terus berpikir tentang keseluruhan
cerita, sehingga pembaca dapat membayangkan sendiri akhir cerita sesuai dengan
aspirasi masing-masing. Di dalam salah satu esai Ahmad Tohari beropini, bahwa
65
open ending menjadi semacam eksperimen demokratisasi antara pembaca dan
pengarang, sekaligus beliau mengakui kepasrahannya, apakah eksperimen ini berhasil
atau gagal. Alurnya terputus-putus karena dipergunakan untuk menyajikan episode-
epsode yang seolah-olah terpisah dari pokok cerita, tetapi kemudian bertautan pada
titik tertentu. Merupakan rangkaian kejadian yang disusun berdasarkan hubungan
sebab akibat atau keberadaan kualitas atau dapat dikatakan alur adalah serangkaian
kejadian dan perbuatan, hal-hal yang dia alami dan dikerjakan pelaku sepanjang
cerita. Dengan model alur pewayangan itulah novel Kubah yang terdiri dari sepuluh
bagian mengisahkan perjalanan tokoh Karman melalui episode-episode yang tidak
bersambungan secara ketat . Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai
berikut.
Bagian pertama (35 halaman): kisah kepulangan Karman dari Pulau Buru.
Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
“ Sampai di dekat pintu keluar, Karman kembali gagap dan tertegun. Menoleh ke kiri dan ke kanan seakan ia merasa sedang ditonton oleh seribu pasang mata. Akhirnya, dengan kaki gemetar ia melangkah menuruni tangga Markas Komando Distrik Militer itu.” (Kubah, 2015: 5). Bagian Kedua (17 halaman): kisah pendek tentang gadis Tini (anak Karman)
yang bersiap menjemput Karman ditengah keluarga Gono. Hal ini dapat dibuktikan
sebagai berikut:
“Rumah Gono terletak di tepi sebuah kanal kecil. Itu petunjuk yang jelas meski misalnya sudah terjadi banyak perubahan di sana. Maka Karman merasa pasti telah sampai ke tujuan ketika ia melihat kanal kecil itu (Kubah, 2015: 32). Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu, Karman berlari menjemputnya, lalu menjatuhkan diri. Dengan bertumpu pada kedua lututnya, Karman memeluk orang tua itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak kecil. Haji Bakir yang merasa tidak bisa
66
berbuat apa-apa membiarkan Karman memuaskan tangisnya (Kubah,2015: 173-174).
Bagian Ketiga (18 halaman ): kisah masa kecil Karman dalam kaitannya
dengan keluarga Haji Bakir. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
Keadaan hidup Karman setelah ayahnya meninggal:
“Sepeninggal ayahnya, Karman hidup dengan ibu dan seorang adik perempuan yang masih kecil. Sebenarnya Karman punya dua kakak lelaki. Tetapi keduanya meninggal dalam bencana kelaparan pada zaman penjajahan Jepang. Keadaan keluarga Karman amat menyedihkan...”( Kubah,2015: 61 ).
Bagian Keempat (16 halaman): kisah Margo dan Triman dalam membina
Karman sebagai calon kader partai. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
terjadi pada saat pemberontakan Karman terhadap Haji Bakir sudah memuncak. Hingga akhirnya Karman bergabung dengan Margo menjadi seorang aktivis politik. “Hanya setahun sejak perkenalannya dengan kelompok Margo, perubahan besar terjadi pada diri Karman.ia menjadi sinis. Segala sesuatu apalagi yang menyangkut Haji Bakir selalu ditanggapi dengan prasangka buruk...” ( Kubah, 2015: 103 ).
Bagian Kelima (11 halaman): kisah perdebatan Karman dengan Paman
Hasyim tentang ketidakadilan Haji Bakir. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
“Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah memperlakukan Karman sebagai pembantu rumah tangga yang sebenarnya. Anak itu diberi kesempatan menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya. Pekerjaan yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan sederhana yang bisa diselesaikan oleh anak seusianya; mengantarkan makanan bagi orang yang sedang bekerja di sawah, menyapu rumah dan halaman, memelihara ikan di kolam, dan melayani si manja Rifah...” (Kubah,2015 : 65)
Bagian Keenam (16 halaman): kisah upaya Karman memjumpai Rifah
dengan cara sembunyi-sembunyi, tetapi ditolak Rifah dengan halus sehingga lelaki itu
merasa malu. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
67
Ketika Karman mulai tertarik kepada Rifah dan bermaksud memperistri Rifah,tetapi lamaran Karman ditolak oleh Haji Bakir karena Rifah sudah dilamar oleh pemuda lain. Sehingga membuat Karman menjadi benci kepada Haji Bakir. “Bahkan Karman pun merasa punya alasan untuk berharap karena sifat Rifah yang tetap hangat. Kemanjaannya terhadap Karman tak berubah seperti ketika keduanya masih suka bermain baling-baling yang terbuat dari daun kelapa...” ( Kubah, 2015: 83 )
Bagian Ketujuh (13 halaman): kisah perubahan situasi sosial di daerah
kecamatan Kokosan, termasuk perubahan sikap Karman terhadap ibadah istrinya. Hal
ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
”Karman memulai dengan enggan bertemu, bahkan enggan menginjak halaman rumah orang tua Rifah. Sembahyang wajib ia tunaikan di rumah...” (Kubah, 2015 : 101)
Bagian Kedelapan (13 halaman): suasana Desa Pegaten menjelang Oktober
1965 dan pelarian Karman yang ketakutan setelah terjadi geger. Hal ini dapat
dibuktikan sebagai berikut:
“Geger Oktober 1965 sudah dilupakan orang juga di Pegaten. Orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan peristiwa itu, baik yang pernah ditahan atau tidak, telah menjadi warga masyarakat yang taat...” (Kubah, 2015: 38)
Bagian Kesembilan (20 halaman): kisah kehidupan Kastagethek yang
sederhana dan kelanjutan pelarian Karman sampai di sebuah makam dan tertangkap.
Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
Dari Muara, Kastagethek pulang ke Pangkalan dengan berjalan kaki menyusuri bantaran Kali Sikura. Perjalanan itu bisa menghabiskan waktu sampai dua hari (Kubah, 2015: 163).
Bagian Kesepuluh (19 halaman): kisah pertemuan Marni dengan Karman di
rumah Bu Mantri, dan 3 bulan kemudian Tini dilamar Jabir, cucu Haji Bakir. Ini
dapat dibuktikan sebagai berikut:
68
“Tadi siang Haji Bakir menyuruh seseorang ke rumahku. Malam ini kami diminta berkumpul di rumah Bu Mantri. Sebentar lagi beliau menyusul kemari. Paknya Tini, kamu mau menata kursi-kursi?” (Kubah,2015: 200).
Bagian Terakhir (3 halaman): kisah pendek keberhasilan Karman membuat
sebuah kubah di masjid Haji Bakir. Ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
“Luar biasa bagusnya,” kata seseorang ketika kubah masjid hasil kerja Karman selesai dipasang menjadi puncak bangunan masjid. ( Kubah, 2015: 210).
Kubah, novel pertama Ahmad Tohari, berpijak pada peristiwa Gestapu tahun
1965. Di sini Tohari tidak melontarkan sinisme terhadap peristiwa yang hingga saat
ini masih dikungkungi kabut ketidakjelasan. Atau mempertanyakan kebenaran dan
sekian banyak manusia yang menjadi korban dalam aksi pembasmian yang
dilaksanakan pihak militer. Bisa jadi karena saat buku ini pertama kali diterbitkan
(1980), Indonesia sedang berada dalam cengkeraman rezim Soeharto yang
menjadikan para komunis sebagai pemikul dosa sejarah yang amat berat dan tak
tertanggungkan. Tanpa berbicara banyak, Tohari menegaskan bahwa pilihan hidup
Karman menjadi komunis adalah pilihan yang keliru, dan oleh karena itu, ia mesti
menanggung akibat dari pilihannya.
Sebagian besar isi novel ini bukanlah tentang pemulihan Karman dari bekas
tahanan politik kembali menjadi bagian masyarakat Pegaten. Kita tidak akan banyak
mendapatkan pergumulan pribadi Karman untuk mendapatkan kembali tempatnya di
tengah masyarakat, padahal hal ini berpotensi melahirkan kisah yang lebih
menggugah perasaan. Semua seolah berlangsung dengan midah, tidak ada kontrak,
seakan-akan peristiwa menggegerkan di tahun 1965 itu tidak pernah terjadi dan
memberikan dampak apa-apa. Bahkan Tohari menyatakan bahwa.
69
“Geger peristiwa Oktober 1965 sudah dilupakan orang” (Kubah, 2015: 38).
Padahal, saat itu tahun 1977, dan rezim yang berkuasa masih sedang gencar-
gencarnya mempropagandakan dosa-dosa komunis. Masa lalu Karman dari seorang
Muslim yang beribadah di Masjid Haji Bakir hingga menjadi komunis yang
kemudian terdampar sebagai tahanan politik, menjadi bagian paling utama dalam
novel ini. Tohari bisa dikarakan berhasil menyampaikan transformasi yang dialami
Karman. Lengkap dengan motif di belakangnya. Meskipun harus diakui, bagian
utama ini juga menyimpan bagian-bagian yang terkesan hanya dijejalkan untuk
mempertebal novel.
Tanpa sepengetahuannya, Haji Bakir telah menjadi katalisator transformasi
Karman menjadi seorang komunis. Tidak hanya dianggap telah berlaku tidak adil
lantaran menyilih sawah satu setengah hektar milik keluarga Karman dengan satu ton
padi. Tapi juga karena dua kali menolak Karman saat meminang Rifah putrinya.
Selain mendamaikan Karman dengan masyarakat Pegaren. Tohari perlu terlebih
dahulu mendamaikan Karman dengan Haji Bakir. Hal ini ditunjukkannya melalui
pernikahan Jabir, putri Rifah, dengan Tini, putri Karman. Perdamaian ini dengan Haji
Bakir dan masyarakat Pegaten menyatu dalam usaha pemugaran masjid pada bagian
akhir novel. Karman menyodorkan dirinya untuk membuat kubah baru bagi Masjid
Haji Bakir. Hal ini dapat dibuktikan.
Karman mengganggap pekerjaan membuat kubah itu sebagai kesepakatan yang istimewa. Sesen pun ia tak mengharapkan upah. Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya ingin member jasa. Bagaimana juga sepulang dari pengasingan ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin memperoleh kembali bagian yang hilang itu. Bila ia dapat member sebuah kubah yang bagus kepada orang-orang Pegaten, ia berharap memperoleh apa yang hilang itu. Atau setidaknya Karman bias membuktikan bahwa dari seorang bekas
70
tahanan politik seperti dia masih dapat diharapkan sesuatu!. (Kubah, 2015: 209-210).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan warga Pegaten
dalam menerima Karman menunjukkan perilaku yang baik untuk bisa menerima
Karman lagi sebagai warga desa Pegaten yang tidak mudah bagi seorang lelaki
mendapatkan kembali tempatnya di masyarakat setelah dua belas tahun tinggal dalam
pengasingan di Pulau Buru.
Seperti gambaran sejarah 1965 merupakan akhir dari komunis di Indonesia,
partai Karman diserbu habis oleh Margo, Si Gigi Besi, dan Triman di hikum mati.
Karman ketakutan dan kabur mencari perlindungan hidup di hutan, di kuburan hingga
akhirnya tertangkap setelah menderita sakit karena gizi buruk.
Tindakan ini justru memperlihatkan bahwa tidakan Karman disambut dengan
tangan dingin dan terbuka untuk kembali lagi menjadi seorang laki-laki Karman yang
memikul dosa sejarah yang amat berat dan hampir tak sanggup menanggungnya.
Namun di tengah kehidupan yang hampir tertutup baginya, Karman masih bisa
menemukan seberkas sinar kasih saying. Dia dipercayai oleh Haji Bakir, orang
terkemukadi desanya yang pernah dikhianatinya karena dia sendiri berpaling dari
Tuhan, untuk membangun kubah masjid di desa itu. Karman merasakan menemukan
dirinya kembali menemukan martabat hidupnya.
Novel Kubah ini terlihat hampir seluruh karyanya selalu dipengaruhi oleh
realitas kehidupan masyarakat dengan segala persoalannya. Hambatan non teknis itu
berkaitan dengan kesibukannya sebagai seorang warga masyarakat yang tidak
terlepas dari kewajiban-kewajiban sosial, namun sampai saat ini lingkungan desa itu
justru merupakan sumber inspirasi dan semangatnya pengarang. Cerita tentang PKI
71
dan bagaimana kehidupan seorang tahanan politik yang dirundung berbagai masalah
ketika dalam pengasingan, ini dapat dikutip sebagai berikut ini
Tokoh utama dalam novel ini pertama kali diceritakan terjadi perubahan sikap
dan pemikiran yang taat beragama menjadi lelaki yang ateis atau komunis. Kemudian
terjadi penderitaan lahir batin karena kesadaran sendiri tokoh Karman untuk berpihak
kepada PKI. Pada akhir cerita tokoh Karman merasa senang karena diterima kembali
oleh lingkungan yang dahulu membencinya, bahkan dipercaya membuat kubah yang
megah di masjid desanya. Hal ini dapat dibuktikan:
“Maka Karman bekerja dengan sangat hati-hati. Ia menggabungkan kesempurnaan teknik, keindahan estetika, serta ketekunan”(Kubah, 2015: 210). Dalam novel tersebut digambarkan tentang proses kehidupan yang dialami
oleh Karman, dia hanya seorang bekas Tapol, tahanan politik, begitu Karman berkali-
kali meyakinkan dirinya, yang kemudian tumbuh dan berkembang mengikuti waktu
dan budaya saat itu. Perjalanan nasib merubah Karman seorang bekas Tapol, kondisi
politik, sosial dan budaya ikut mewarnai perjalanan Karman yang memang penuh
dengan liku-liku. Karena situasi politik dan ia terlibat di dalamnya Karman pun ikut
ditahan dalm kasus tersebut. Namun setelah terjadi geger politik di akhir tahun 1965,
Karman ditahan karena dianggap pendukung PKI lewat penampilannya yang paling
dominan dan selalu mewarnai dari awal sampai akhir cerita. Selain itu, memang
novelini intinya menceritakan perjalanan hidup Karman. Setelah dibebaskan dari penjara
selama dua belas tahun tinggal dalam pengasingan di Pulau Buru dan dia ingin hidup
sebagaimana Karman seorang komunis.
Novel Kubah merupakan novel yang mempunyai ciri khas yang sama dengan
novel karya Ahmad Tohari lainnya, yakni menggambarkan permasalahan hidup yang
72
dialami oleh orang kecil. Walaupun ciri khasnya sama, novel Kubah ini mempunyai
keunikan tersendiri dengan novel-novel lain novel Kubah juga berlatar tragedi
nasional 30 September 1965. novel Kubah mengisahkan penderitaan lahir batin tokoh
Karman karena kesadarannya sendiri untuk berpihak pada PKI. Akhir cerita novel
Kubah mengisyaratkan harapan yang menyenangkan bagi Karman. Tokoh Karman
merasa senang karena diterima kembali oleh lingkungan yang dahulu dibencinya,
bahkan dipercaya membuat kubah yang megah di masjid desanya.
Sosok Ahmad Tohari yang tinggal di Desa Tinggarjaya sekitar 27 kilometer di
sebelah selatan Purwokerto Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang berprofesi
sebagai wartawan justru tidak dikenal sebagai seorang pengarang yang karya-
karyanya sudah mendunia. Di lingkungannya dia dikenal sebagai seorang wartawan
atau sebagai seorang santri dalam kehidupannya sehari-hari menjadi tetap lugas dan
tetap berjalan seperti apa adanya meskipun kadang-kadang dirasakan menghambat
kesempatannya untuk mengarang. Hambatan non teknis itu berkaitan dengan
kesibukannya sebagai seorang warga masyarakat yang tidak terlepas dari kewajiban-
kewajiban sosial, namun sampai saat ini lingkungan desa itu justru merupakan
sumber inspirasi dan semangatnya mengarang. Oleh karena itu, kehidupan orang desa
dengan persoalan masing-masing tampak menonjol dalam hampir seluruh karya
Ahmad Tohari. Ini terlihat hampir seluruh karyanya selalu dipengaruhi oleh realitas
kehidupan masyarakat dengan segala persoalannya. Ia percaya dan bahkan yakin
bahwa karya sastra merupakan pilihan untuk berdakwah atau mencerahkan batin
manusia agar senantiasa selalu membaca ayat Tuhan.
Dengan mengarang ia berharap dapat berperan dalam membangun moral
masyarakat dan bangsa sehingga berkembang menjadi masyarakat yang beradab,
73
yaitu masyarakat yang tidak suka berbohong. Menegakkan kebenaran, kejujuran dan
kasih sayang dengan latar kehidupan desa yang memang dikenal betul oleh
pengarang.
Kehidupan masyarakat di novel ini mengacu pada peristiwa sekitar
G30S/PKI. Pada awalnya, keadaan aman dan damai serta suasana kekeluargaan
masih kental, yang mencerminkan masyarakat desa. Namun setelah terjadi
pemberontakan PKI, kerusuhan terjadi di mana-mana, banyak orang yang kekurangan
pangan karena terjadi inflasi, serta kejadian-kejadian buruk lain. Dan setelah
kerusuhan mereda dan pemberontakan gagal, keadaan kembali seperti semula.
Keadaan ini sangat mempengaruhi jalannya cerita, karena latar waktu kejadian
diambil dari peristiwa waktu itu. Selain itu, penulis juga mengungkapkan betapa rasa
kekeluargaan kental pada masyarakat zaman itu, hal ini terlihat waktu Karman yang
merupakan mantan anggota PKI ketika ingin kembali pada warga, mereka menerima
Karman dengan lapang dada.
Novel Kubah ini memberikan gambaran adanya kasus pengasingan di Pulau
Buru, yang dilakukan oleh Karman dan terjadinya partai politik. Peristiwa partai
politik yang terjadi tersebut merugikan banyak pihak. Oleh karena itu, akan lebih baik
jika pembaca lebih peka dan lebih menghormati perbedaan mengingat negara
Indonesia adalah negara multikultural terutama mengenai keyakinan orang lain agar
tercipta negara yang damai, aman, nyaman, dan sejahtera.