67
104 BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG Pada bab ini, penulis akan memfokuskan diri pada hal-hal fundamental untuk memahami pulau sebagai fitur di atas laut, perkembangan sains dan teknologi yang turut mempengaruhi kebutuhan konseptual terhadap pulau buatan, metode pembangunan pulau buatan, dilema bahasa dan konseptual KHL 1982 terhadap definisi bebatuan karang, praktik pembangunan pulau buatan di atas bebatuan karang, dan terakhir dalam bab ini, penulis akan menjustifikasi kompetensi negara untuk membangun pulau buatan di atas bebatuan karang. A. Rezim Pulau di dalam Hukum Laut Internasional Pada dasarnya hukum internasional tidak memandang adanya perbedaan antara kemampuan negara untuk meletakkan kedaulatan di atas pulau dengan daratan. Hukum kebiasaan internasional mengakui adanya suatu asumsi bahwa apabila dalam jarak laut teritorial negara pantai terdapat sebuah pulau, ia memiliki kedaulatan atas pulau tersebut. Katter, dengan mengutip Bowett, menyebutkan bahwa: “Where an island lies within the territorial sea, the presumption is that the island is under the sovereignty of that nation. 1 Dalam praktiknya, kita dapat memperhatikan bahwa tidak ada perbedaan argumentasi antara pulau dengan daratan maupun usaha untuk mempertanyakan apakah negara dapat meletakkan kedaulatannya di atas sebuah pulau. Beberapa contoh atas sengketa tersebut dapat diperhatikan sebagi berikut: sengketa pulau 1 Dominic Henley Katter, The Sovereignty of Island: A Contemporary Methodology for the Determination of Rights Over Natural Maritime Resources, (Disertasi), Queensland University of Technology, 2003, h. 43

BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

104

BAB III

PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG

Pada bab ini, penulis akan memfokuskan diri pada hal-hal fundamental untuk

memahami pulau sebagai fitur di atas laut, perkembangan sains dan teknologi yang

turut mempengaruhi kebutuhan konseptual terhadap pulau buatan, metode

pembangunan pulau buatan, dilema bahasa dan konseptual KHL 1982 terhadap

definisi bebatuan karang, praktik pembangunan pulau buatan di atas bebatuan

karang, dan terakhir dalam bab ini, penulis akan menjustifikasi kompetensi negara

untuk membangun pulau buatan di atas bebatuan karang.

A. Rezim Pulau di dalam Hukum Laut Internasional

Pada dasarnya hukum internasional tidak memandang adanya perbedaan antara

kemampuan negara untuk meletakkan kedaulatan di atas pulau dengan daratan.

Hukum kebiasaan internasional mengakui adanya suatu asumsi bahwa apabila

dalam jarak laut teritorial negara pantai terdapat sebuah pulau, ia memiliki

kedaulatan atas pulau tersebut. Katter, dengan mengutip Bowett, menyebutkan

bahwa: “Where an island lies within the territorial sea, the presumption is that the

island is under the sovereignty of that nation.1

Dalam praktiknya, kita dapat memperhatikan bahwa tidak ada perbedaan

argumentasi antara pulau dengan daratan maupun usaha untuk mempertanyakan

apakah negara dapat meletakkan kedaulatannya di atas sebuah pulau. Beberapa

contoh atas sengketa tersebut dapat diperhatikan sebagi berikut: sengketa pulau

1 Dominic Henley Katter, The Sovereignty of Island: A Contemporary Methodology for the

Determination of Rights Over Natural Maritime Resources, (Disertasi), Queensland University of

Technology, 2003, h. 43

Page 2: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

105

Graham/Ferdinandia di laut yang berada 30 km dari pulau Sisilia di mana pulau

tersebut muncul ke permukaan dari dasar laut mediterania antara Inggris dan

Sisilia2; sengketa pulau Senkaku/Diayou antara Jepang dan Cina3; sengketa pulau

Falkland antara Argentina dan Inggris 4 ; sengketa pulau sipadan/ligitan antara

Indonesia dan Malaysia5; dan sengketa-sengketa negara-negara Amerika Latin atas

beberapa pulau di laut karibia6. Tidak adanya perbedaan antara kedaulatan negara

di atas pulau dan di atas daratan menunjukkan bahwa kebiasaan internasional

mengimplikasikan adanya kesepahaman teori terhadap pulau dan daratan. Hal ini

adalah titik penting yang juga ditekankan oleh Grotius dalam bagian kedua Mare

Liberum di mana ia menekankan penolakannya terhadap kedaulatan Portugis atas

pulau-pulau di Srilanka dan Jawa berdasarkan alasan adanya penemuan

(invention). 7 Whitmore menjelaskan bahwa penemuan saja tidak dapat

menciptakan hak negara untuk berdaulat atas sebuah wilayah di mana ia

menjelaskan sebagai berikut:

2 Clive Howard Schofield, The Trouble with Island, (Tesis), University of British Columbia, 2009,

h. 1 3 Lihat Michal Kolmaš, Senkaku/Diaoyu Island Dispute and the Reconstructon of China as Japan’s

“Other”, Asia-Pacifc Social Science Review 17(2), pp. 267–280, 2017 4 Lihat Peter Willets dan Filipe Noguera, Prospect for a Settlement of the Falkland/Malvinas

Dispute: An Analysis of Public Opinion in Britain and Argentina, Institute for Conflict Analysis and

Resolution, George Mason University, 1992 5 Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (IndonesialMalaysia), Judgment, I. C.J. Reports

2002, p. 625 6 Lihat Dispute regarding Navigational and Related Rights (Costa Rica v. Nicaragua), Judgment,

I.C.J. Reports 2009, p. 213; Territorial and Maritime Dispute (Nicaragua v. Colombia), Judgment,

I.C.J. Reports 2012, p. 624; Territorial and Maritime Dispute between Nicaragua and Honduras in

the Caribbean Sea (Nicaragua v. Honduras), Judgment, I.C.J. Reports 2007, p. 659; Maritime

Dispute (Peru v. Chile), Judgment, I.C.J. Reports 2014, p. 3 7 Dalam pembelaannya secara anonim dalam magnum opus-nya, Mare Liberum, Grotius

mempertanyakan legitimasi Portugis yang mempergunakan dalil kepenguasaan laut secara biblikal

di mana hak Portugis untuk menguasai laut telah mendapatkan legitimasi baik dari Tahkta Suci, hak

penemuan wilayah, perang, di mana Portugis memiliki hak untuk menguasai laut. Grotius

membedakan secara tegas di mana perbedaan dominion dan communion—dimana perbedaan

tersebut memberikan implikasi logis yang berbeda dan memiliki akibat yang berbeda bagi negara.

Cicero, dalam kutipannya oleh Grotius, menyatakan: “For by nature nothing is private.” Hugo

Grotius, The Free Sea, terjemahan oleh Richard Hakluyt, 2004, Indianapolis: Liberty Funds, Hlm.

20

Page 3: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

106

“While it is undoubtedly true that at an early date mere discovery

gave a good title, such is no longer the case. ... It is also correct

to say that a nation claiming title to certain territory will greatly

fortify such claim if it is possible to show discovery of such land

by the nation making the claim. Discovery, therefore, serves to

confirm subsequent occupation by the discovering power.”8

Schofield memberikan penjelasan yang menarik di mana ia menjelaskan adanya

ikatan dan semangat nasionalisme yang membuat negara begitu terikat dengan

wilayahnya tidak peduli betapa kecil maupun tidak bernilai ekonomis.9 Ia kemudian

menjelaskan sebagai berikut: “A threat to part of a State’s territory, however small,

can be construed, especially to a domestic audience politically, as an assault on the

territorial integrity of a given State and thus a threat to its legitimacy.”10 Dan Shaw

mengafirmasi posisi ini dengan mengungkapkan bahwa “Territorial sovereignty

remains a key concept in international law.” 11 Oleh karena itu kita dapat

menyimpulkan bahwa baik secara konsep maupun praktik, masyarakat

internasional memperlakukan pulau sebagaimana daratan yang ia kuasai. Namun

penjelasan ini memerlukan penelahaan lebih lanjut dengan menjelaskan kondisi

morfologis dari pulau dan karakter khusus yang dimiliki oleh pulau dan bagaimana

kondisi ini membedakannya dengan bebatuan karang yang terdapat di atas

permukaan laut. Lalu juga akan dijelaskan mengenai perkembangan normatif

hukum laut internasional untuk mendefinisikan dan mengatur hak dan kewajiban

negara pantai di atas pulau.

Usaha untuk mendefinisikan pulau secara normatif sudah dilakukan paska

Konferensi Konvensi Den Haag 1930 tentang Hukum Laut Internasional. Galea

8 Clifford C. Whitmore, The Doctrine of the Acquisition of Territory by Occupation in International

Law, Historical Theses and Dissertations Collection, 1896, h. 3 9 Schofield, op.cit, h. 18 10 Ibid. 11 Shaw, op.cit, h. 488

Page 4: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

107

mencatat bahwa pada Konvensi Den Haag 1930, negara pantai memiliki

kewenangan untuk mengontrol ‘a zone on the high sea contiguous to the territorial

sea so as to prevent the infringement of its customs or sanitary regulations or

interference wih its security, by foreign vessels’12 di mana pada Konvensi tersebut,

isu hukum mengenai kemampuan pulau untuk mendapatkan hak zona maritim pun

sudah dikaji. Dalam dokumen Komite Persiapan Konvensi Den Haag 1930, komite

telah menyusun dokumen yang disusun berdasarkan usulan negara-negara peserta

konvensi di mana dalam dokumen tersebut, komite menyusun isu hukum yang

melatarbelakangi pulau sebagai berikut: “An island near the mainland. An island at

a distance from the mainland. A group of islands; how near must islands be to one

another to cause the whole group to possess a single belt of territorial waters?”13

Dalam tahap ini, terdapat kesepahaman antar negara-negara peserta mengenai

dibutuhkan prasyarat berupa jarak-jarak tertentu antara pulau dengan daratan utama

dan kemampuan pulau untuk mendapatkan hak laut teritorial.14 Konvensi Den Haag

1930 kemudian menyusun norma mengenai definisi pulau dalam Pasal 10 yang

menyebutkan sebagai berikut: “Every island has its own territorial sea. An island

is an area of land, surrounded by water, which is permanently above high water-

mark.” Dalam kesempatan yang berbeda setelah konferensi tersebut selesai, Gidel,

dengan dikutip oleh Galea, memberikan definisinya yang menggunakan aspek

geografis dari pulau secara detail sebagai berikut: “… an island is a natural

elevation of the earth’s sea-bed, which is surrounded by water and which is placed

12 Galea, op.cit, h. 23 13 Terasaki Naomichi Hiro, The Regime of Islands in International Conventions, Review Island

Studies, h. 4, diunduh di https://www.spf.org/islandstudies/wp/wpcontent/uploads/2014

/12/a00010r.pdf pada tanggal 18 September 2018 pada jam 21.25 14 Ibid.

Page 5: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

108

permanently above the sea, where natural conditions allow for the permanent

establishment of a human population.” 15 Dari definisi Gidel tersebut, ia

menenakankan adanya satu unsur, yaitu permanent establishment of a human

population sebagai unsur yang harus dimiliki pulau, secara normatif, agar ia

mendapatkan hak zona maritim. Hal ini mengimplikasikan suatu prakondisi di

mana ketidakmampuan pulau untuk ditempati menjadi unsur determinan dan secara

eksplisit menginterpretasikan kondisi habitasi pulau tersebut sebagai syarat bagi

pulau untuk mendapatkan hak zona maritim. Implikasi lain dari definisi Gidel ini

adalah bahwa secara tidak langsung luas dari pulau juga menentukan apakah pulau

tersebut bisa dihuni atau tidak. Meski konferensi ini gagal mencapai kesepatakan

karena tidak disepakatinya lebar laut teritorial yang dapat dimiliki negara pantai,

isu ini tetap dibawa oleh Komisi Hukum Internasional pada tahun 1950 dalam usaha

untuk menyusun kodifikasi hukum laut internasional.

Dalam kesempatan lain, Florentina mencatat adanya dua pendekatan berbeda

dalam usaha Konferensi untuk menemukan definisi pulau. Argumen pertama

menjelaskan bahwa pulau adalah

‘an area of land remaining permanently above high-tide level and

having a right to a territorial sea quite irrespective of its area or

capability to provide settlement and even irrespective of whether

the seabed elevations had been naturally formed by the forces of

nature or by artificial means’16

Berbeda dengan argumen pertama yang menyatakan bahwa setiap pulau pada

dasarnya memiliki laut teritorialnya sendiri, argumen kedua, yang diajukan oleh

Inggris, menekankan bahwa agar pulau memiliki laut teritorialnya sendiri, pulau

tersebut harus ‘suitable for effective occupation and use’. Syarat ini diperlukan agar

15 Galea, op.cit, h. 25 16 Florentina Moise, Island and their Capacity to Generate the Maritime Zone, University of Oslo,

Norway, 2008, h. 7

Page 6: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

109

tidak semua fitur-fitur maritim yang berada di atas permukaan laut ketika air pasang

dapat disebut sebagai pulau dan secara otomatis mengeliminasi fitur-fitur maritim

seperti bebatuan karang dan dangkalan yang berada di atas permukaan laut.17

Komisi Hukum Internasional membawa rancangan norma yang disusun oleh

Konvensi Den Haag 1930 sebagai bahan diskusi. Pada konferensi ini, terdapat

sebuah usulan untuk memasukkan unsur ‘normal circumstances’ untuk dimasukkan

sebelum frasa ‘permanently above the high water-mark’. Namun Amerika Serikat

mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘normal circumstances’ dan ini

menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal 10 ayat (1) KHL 1958 yang

mengatur definisi pulau18 yang berbunyi: “An island is a naturally formed area of

land, surrounded by water, which is above water at high tide.” Dan ayat (2)

berbunyi: “This sovereignty is exercised subject to the provisions of these articles

and to other rules of international law.” Menurut Komisi Hukum Internasional,

definisi ini menegaskan instalasi-instalasi yang dibangun di di atas fitur-fitur

maritim yang berada di atas permukaan tidak memiliki hak untuk menikmati laut

teritorial. Komisi Hukum Internasional membagi fitur-fitur seperti yang tidak dapat

menikmati laut teritorial sebagai berikut:

1. Elevasi surut tidak menikmati hak laut teritorial meskipun terdapat

bangunan yang dibangun di atasnya;

2. Instalasi yang dibangun di atas seabed maupun setiap instalasi yang

dibangun di landas kontinen. Meskipun tidak menikmati hak laut teritorial,

17 Ibid. 18 Schofield, op.cit, h. 76

Page 7: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

110

komisi mengusulkan agar instalasi ini diberikan zona pengamanan

disekitarnya terkecuali mercusuar yang dibangun di atas fitur maritim.19

Malta sendiri mengusulkan agar terhadap definisi pulau tersebut

mempertimbangkan adanya syarat luas minimal bagi pulau agar mendapatkan hak

zona maritim. 20 Romania menambahkan agar pulau-pulau kecil (islet) juga

mendapatkan perhatian yang sama dengan memberikan definisinya sebagai berikut:

“a naturally formed elevation of land less than one square

kilometer in area … a naturally formed elevation of land which is

more than one square kilometer, which is not or cannot be

inhabited permanently or which does not or cannot have its own

economic life.”21

Turki memberikan usulan lain dengan mengklasifikasikan ‘pulau’ dalam tiga

bagian: a) island having at least one tenth of the land area and population of

the state to which they belong; b) islands without economic life; c) rocks. Dan

kemudian, negara-negara Afrika mengusulkan pembagian antara pulau-pulau yang

mampu mendapatkan hak zona maritim sebagai berikut: a) islands; b) islets; c)

rocks.22

Dalam perkembangan berikutnya, rezim pulau tidak mengalami perubahan

yang radikal di dalam KHL 1982. Namun beberapa unsur yang terdapat dalam Pasal

121 hanyalah pengejewantahan hukum kebiasaan internasional terhadap rezim

pulau.23 Rezim pulau di dalam KHL 1982 diatur di dalam Pasal 121 di mana pasal

ini tediri dari tiga ayat sebagai berikut:

19 Hiro, op.cit, h. 7 20 Schofield, op.cit, h. 84 21 Ibid. 22 Florentina, op.cit, h. 9-10 23 Rezim pulau ini perlu dibedakan dengan Rezim kepulauan yang meskipun berangkat pada diskusi

yang sama mengenai pulau, rezim kepulauan dalam KHL 1982 mengatur secara spesifik mengenai

negara kepulauan dan negara pulau. Sementara Rezim pulau yang terdapat di dalam KHL 1982

mengatur pulau secara umum. Sebagai contoh yaitu kepemilikan negara pantai atas sebuah pulau.

Page 8: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

111

PART VIII

REGIME OF ISLANDS

Article 121 Regime of islands

1. An island is a naturally formed area of land, surrounded by

water, which is above water at high tide.

2. Except as provided for in paragraph 3, the territorial sea, the

contiguous zone, the exclusive economic zone and the continental

shelf of an island are determined in accordance with the

provisions of this Convention applicable to other land territory.

3. Rocks which cannot sustain human habitation or economic life of

their own shall have no exclusive economic zone or continental

shelf.

Isi Pasal 121 ayat (1) KHL 1982 tersebut tidak mengalami perubahan terhadap

isi Pasal 10 ayat (1) KHL 1958. Pasal 121 ayat (2) hanya memperbaiki Pasal 10

ayat (2) KHL 1958 tanpa merubah esensinya. Sehingga pada prinsipnya suatu

pulau, sebagaimana halnya dengan daratan kontinen yang luas, dapat dipergunakan

sebagai garis pangkal untuk mengukur lebar laut. Namun terhadap rezim pulau di

dalam hukum laut internasional, KHL 1982 menambahkan satu ayat baru, yaitu ayat

(3) yang menetapkan bahwa bebatuan karang (rocks) tidak dapat menikmati zona

ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Secara khusus, penulis akan membahas

Pasal 121 ayat (3) pada bagian berikutnya mengingat ada isu hukum yang menarik

di balik keberadaan ayat ini.

Berikutnya, penulis akan membedah Pasal 121 KHL 1982 untuk mengetahui

unsur-unsur apa saja yang harus dimiliki oleh suatu fitur maritim agar ia dapat

disebut sebagai pulau oleh hukum laut internasional dan, sebagai konsekuensinya,

menikmati hak zona maritim sama seperti negara pantai seperti yang diatur di dalam

Pasal 121 ayat (2) KHL 1982.

Secara gramatikal, unsur normatif dari pulau terdapat di dalam ayat (1) dan

secara eksplisit terdapat di dalam ayat (3). Maka dari itu unsur-unsur pulau sesuai

dengan ketentuan di dalam Pasal 121 ayat (1) dan (3) KHL 1982 adalah:

Page 9: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

112

o Wilayah daratan yang terbentuk secara alami;

o Dikelilingi oleh air;

o Berada di atas permukaan laut ketika air pasang;

o Dapat didiami oleh manusia; dan

o Melangsungkan kegiatan ekonominya sendiri.

Sementara itu, Sodik mengajukan satu unsur lagi, yaitu ukuran yang cukup luas. 24

Sodik, dengan mengutip McDougal dan Burke, menjelaskan bahwa apabila ada

wilayah daratan yang cukup luas, maka tidak perlu dipersoalkan jenis-jenis

daratannya selama wilayah tersebut mampu membentuk laut teritorial.25 Terhadap

hal ini, penulis menyatakan ketidaksetujuannya. Meskipun perlu diklarifikasi

terlebih dahulu bahwa syarat luas minimal suatu fitur maritim agar dapat disebut

sebagai pulau terdengar praktikal, namun menolak suatu ‘pulau’ karena ia tidak

cukup luas adalah alasan yang tidak logis dan rasional. Belum tentu pulau yang

lebih besar secara otomatis layak disebut sebagai pulau. Putusan Mahkamah Agung

Norwegia terhadap status Pulau Abel kiranya dapat mencerahkan posisi ini. Dalam

perkara ini, mahkamah berpendapat bahwa meskipun Pulau Abel memiliki luas 13

km2 yang membuatnya sulit untuk tidak disebut sebagai pulau, karena kondisi pulau

tersebut tidak memungkinkan untuk dihuni dan tidak mampu menopang kondisi

ekonominya sendiri, Pulau Abel tidak dapat disebut sebagai pulau dan tidak

menikmati hak zona maritim sebagaimana diatur dalam Pasal 121 ayat (1) dan (2)

KHL 1982.26 Meskipun penulis sudah mengafirmasi kepentingan negara-negara

24 Sodik, op.cit, h. 221 25 Ibid, h. 222-223 26 Alex G. Oude Elferink, Clarifying Article 121(3) of the Law of the Sea Convention:

The Limits Set by the Nature of International Legal Processes, IBRU Boundary and Security

Bulletin, 1998, h. 60

Page 10: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

113

maritim atas diferensiasi pulau dan islet, argumen Yunani kiranya perlu

diperhatikan dalam membantah diperlukannya luas minimal pulau dimana Yunani

menyimpulkan bahwa pulau adalah bagian integral dari negara tempat dia berasal:

“…the regime of islands could not be legally based on criteria of size, population,

geographical location or geological configuration without jeopardising the

principles of sovereign equality and the integrity of territorial sovereignty.”27

Delegasi Inggris juga memberikan pendapatnya atas isu ini dimana mereka

menyatakan sebagai berikut:

“...there was an immense diversity of island situations, ranging

from large and populous islands of even larger continental

states to small islands with selfsufficient populations, and that,

inter alia, the attempt by some delegations to categorise islands

in terms of size would not result in any generally applicable rules

which would be equitable in all cases; and there was grave

danger of discounting many islands of both absolute and

relative importance.”28

B. Dilema Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 tentang Bebatuan Karang

a) Kompleksitas Pasal 121 ayat (3) KHL 1982

Dalam bab 1, penulis telah menyinggung isu ini di mana Pasal 121 ayat (3)

KHL 1982 telah menegasikan frasa ‘human habitation’ dan ‘economic life’.

Dengan mengambil unsur di dalam Pasal 121 ayat (3) ini, penulis mengambil

makna eksplisitnya dan mengambil proposisi: “Bebatuan karang adalah sebuah fitur

yang dapat mendukung kehidupan manusia dan kehidupan ekonominya sendiri.”

Dan apabila proposisi ini dihubungkan dengan Pasal 121 ayat (2), maka

kesimpulannya adalah: “Bebatuan karang yang tidak dapat mendukung kehidupan

manusia atau kehidupan ekonominya sendiri adalah tidak dapat memiliki hak

27 Schofield, op.cit, h. 85 28 Ibid, h. 86

Page 11: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

114

maritim berupa zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.” Namun apabila

kesimpulan tersebut dinegasikan, maka kesimpulan tersebut dapat dibaca sebagai

berikut: “Bebatuan karang yang dapat mendukung kehidupan manusia atau

kehidupan ekonominya sendiri adalah dapat memiliki hak maritim berupa zona

ekonomi eksklusif dan landas kontinen.” Makna tersirat yang penulis ambil ini,

meski hanyalah retorika semata, dapat memberikan ilham berupa adanya

interpretasi hipotetikal di mana apabila bebatuan karang tersebut dapat dihuni atau

menjalankan kehidupan ekonominya sendiri, ia dapat menikmati hak zona maritim

berupa zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.

Perhatian yang lebih khusus dihadapkan kepada Pasal 121 ayat (3) KHL 1982

di mana ayat ini—meskipun secara gramatikal mudah untuk dipahami, pada

praktiknya menjadi ambigu. Secara khusus Pasal 121 ayat (3) berbunyi: “Rocks

which cannot sustain human habitation or economic life of their own shall have no

exclusive economic zone or continental shelf.” Elferink mengomentari keberadaan

ayat ini dengan mengatakan bahwa ayat ini digunakan oleh negara-negara yang

bersengketa untuk menyangkal karakter kepulauan yang dimiliki secara alami.29

Florentina menyebutkan bahwa ayat ini menjadikan kata ‘rocks’ atau bebatuan

karang menjadi ambigu karena dalam kata bebatuan karang saja banyak fitur

maritim yang termasuk di dalamnya seperti terumbu karang, dangkalan, pulau-

pulau kecil, dan fitur-fitur lain yang dalam penggunaan bahasa tersebut menjadi

melebar. 30 Hampir sama dengan Florentina, Rebello menjelaskan bahwa

keberadaan ayat ini menimbulkan ketidakpastian hukum di mana ia menjelaskan

sebagai berikut:

29 Elferink, op.cit, h. 58 30 Florentina, op.cit, h. 10

Page 12: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

115

“As a result of these provisions, theoretically, even minute

islands have the potential capacity to generate massive maritime

jurisdictional zones. These claims often also have significant

resource and security implications. To put thing in perspective, if

an island has no maritime neighbours within a 400 nm radius, it

may generate 431,014 km² of territorial sea, EEZ and continental

shelf rights.”31

Namun, Dahalan., et.al., memberikan interpretasi yang menarik di mana ia

mempertimbangkan adanya kemungkinan perubahan status dari bebatuan karang

menjadi pulau. Ia menjelaskan sebagai berikut: “it is an important provision

because of its potential to generate for a ‘naturally formed area of land

surrounded by water, ....above water at high tide' including even tiny island in the

middle of the ocean with no other land within 400 nautical miles.”32

Beberapa sarjana sendiri mengungkapkan sulitnya memahami Pasal 121 ayat

(3). Rebello menjelaskan sulitnya menginterpretasikan Pasal 121 ayat (3) KHL

1982 sebagai berikut:

“The text of Article 121 was designed to be interpreted in a

variety of ways, making any attempt at arriving at a clear

interpretation of Article 121 a herculean task. Whilst Articles

121(1) and 121(2) are relatively straight forward, Article 121(3)

is largely ambiguous. Article 121(3) comprises of a host of

textual elements that can all be interpreted in different ways,

making interpreting the Article a complex task. Thus, correctly

distinguishing between islands and rocks in the context of Article

121 will be impossible until the various textual elements of Article

121(3) … have been clarified.”33

Sementara itu, Schofield menginterpretasikan Pasal 121 ayat (3) dengan lebih

permisif di mana ia secara sederhana menyamakan kedudukan pulau dan bebatuan

karang dimana ia menjelaskan sebagai berikut:

“Rocks are islands, since they are defined as part of Article 121

dealing with the regime of islands, but are a disadvantaged sub-

31 Xavier Rebello, Island and Rocks: Moving Towards Certainty on the Interpretation of Article 121

of the Law of the Sea, (Disertasi), University of Cape Town, 2017, h. 13 32 Dahalan, op.cit, h. 232 33 Rebello, op.cit, h. 23

Page 13: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

116

category of islands whose zone-generative capacity, and thus

value to a potential claimant, is significantly reduced.”34

Hampir sama dengan Schofield, Florentina berpendapat bahwa Pasal 121 KHL

1982 ‘connotating that ‘rocks’ are also ‘islands’ in legal terms’. 35 Dan ia

menyimpulkan bahwa Pasal 121 ayat (3) juga seharusnya berlaku sebagai unsur

bagi pulau. Franckx berpendapat bahwa bebatuan karang ‘should be interpreted in

its generic, non-restrictive meaning and includes fairly small island composed of

rock or sand indiscriminately’.36

Rebello menjelaskan bahwa dalam praktiknya, sengketa maritim terhadap

pulau dapat dibagi menjadi dua: pertama, sengketa kedaulatan di atas pulau yang

menjadi objek sengketa; dan kedua, sengketa kewenangan negara pantai/negara

pulau atas zona maritim yang diakibatkan dari keberadaan pulau tersebut dan

keberadaan beberapa fitur maritim yang digunakan oleh negara maritim untuk

mendelimitasi zona maritimnya.37

Sengketa negara maritim atas fitur-fitur maritim tersebut biasa terjadi di atas

fitur-fitur maritim yang kecil dan secara kasat mata terlihat tidak memiliki nilai

ekonomi sama sekali. Keberadaan fitur-fitur maritim ini, di dalam KHL 1982,

memegang peranan yang penting bagi usaha negara pantai untuk mendelimitasi

zona maritimnya. Pasal 6 KHL 1982 menegaskan bahwa karang (reefs) dapat

digunakan sebagai titik pangkal penarikan garis pangkal laut teritorial dan secara

implisit juga berlaku pada zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya. Definisi

normatif terhadap bebatuan karang yang paling mendekati terdapat di dalam Pasal

13 ayat (1) KHL 1982 yang mengatur mengenai elevasi surut (low-tide elevations)

34 Schofield, op.cit, h. 81 35 Florentina, op.cit, h. 32 36 Franckx I, op.cit, h. 20 37 Rebello, op.cit, h. 11

Page 14: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

117

di mana pasal tersebut menjelaskan bahwa elevasi surut adalah: “… naturally

formed area of land which is surrounded by and above water at low tide but

submerged at high tide …” Unsur elevasi surut memiliki kemiripan dengan unsur

pulau yang diatur di dalam Pasal 121 KHL 1982. Namun, berbeda dengan unsur

pulau yang menekankan bahwa suatu fitur maritim tersebut harus berada di atas

permukaan laut ketika air pasang, unsur yang terdapat di dalam Pasal 13 ayat (1)

KHL 1982 mensyaratkan bahwa fitur tersebut harus berada di atas air saat air surut

dan tenggelam saat air pasang. Sehingga, apabila suatu fitur maritim, entah dalam

pemaparan negara-negara yang bersengketa yang diperkuat dengan norma hukum

nasionalnya yang menyatakan bahwa suatu fitur maritim tertentu di wilayah

teritorialnya adalah pulau, apabila ia berada di atas permukaan laut ketika air surut

dan tenggelam saat air pasang, hukum laut internasional menegaskan bahwa fitur

tersebut bukanlah pulau. Sehingga elemen ‘berada di atas permukaan laut’ adalah

elemen determinan untuk membedakan pulau dengan bebatuan karang (rocks).

Pasal 13 ayat (1) juga mengamanatkan bahwa fungsi dari elevasi surut ini adalah

untuk delimitasi zona maritim sebagaimana KHL 1982 menyebut: “… the low-

water line on that elevation may be used as the baseline for measuring the breadth

of the territorial sea.” Tetapi usaha untuk menganalogikan Pasal 121 ayat (3)

dengan Pasal 6 dan Pasal 13 KHL 1982 tidak dapat menjadi argumen yang kuat

untuk menelaah unsur definitif dari bebatuan karang (rocks) yang terdapat di dalam

Pasal 121 ayat (3). Elferink menjelaskan bahwa dilema yang dihadapi dalam Pasal

121 ayat (3) juga diakibatkan dengan penggunaan kata ‘atau’ yang secara eksplisit

dapat dipahami bahwa negara pantai tidak memiliki kewajiban untuk mematuhi

Page 15: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

118

dua unsur ini. 38 Ia menjelaskan bahwa kebingungan ini dapat mengakibatkan

negara mengeksploitasi kelemahan norma ini. Terlebih dengan tidak menjelaskan

apa yang dimaksud dengan kemampuannya untuk dapat dihuni oleh manusia.

Dalam pembahasan sebelumnya, penulis telah menyinggung unsur-unsur

normatif pulau yang terdapat di dalam Pasal 121 KHL 1982 di mana dua unsur

diambil dari Pasal 121 ayat (3), yaitu: a) dapat didiami oleh manusia; dan b) dapat

melangsungkan kegiatan ekonominya sendiri. Namun, demi konsistensi penulisan

dan dalam usaha pemaparan penulis agar makna dari kata tersebut tidak hilang

akibat pengalihbahasaan bahasa inggris ke dalam bahasa indonesia, penulis akan

menggunakan frasa asli dalam bahasa inggris, yaitu sustain human habitation dan

economic life dengan menghubungkannya dengan penerjemahannya ke dalam

bahasa Indonesia. Selain itu, penulis akan menggunakan terma bebatuan karang dan

‘rocks’ secara bergantian agar kata tersebut tidak kehilangan makna karena

penerjemahannya.

Meskipun KHL 1982 tidak memberikan definisi terhadap bebatuan karang

(rocks), beberapa sarjana berusaha untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan

fitur-fitur seperti apa, dalam hukum internasional, yang dapat dikategorikan sebagai

bebatuan karang dan bagaimana hukum membedakan bebatuan karang dan pulau.

Definisi ‘rocks’ di dalam Pasal 121 ayat (3) bisa diinterpretasikan dalam dua

garis besar: pertama, sebagai bebatuan yang tidak terpisahkan dari kerak bumi;39

kedua, dengan melebarkan makna tersebut dengan memasukkan fitur-fitur maritim

38 Elferink, op.cit, h. 58 39 Park Sun Choon, The Legal Status of Dokdo under Article 121 of the 1982 UNCLOS : Is Dokdo

Entitled to Generate EEZ or Continental Shelf?, World Maritime University Dissertation, 2009, h.

22

Page 16: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

119

seperti pulau kecil (islet), dangkalan (sandbank), dan pulau-pulau terpencil. 40

Mengingat usaha yang kompleks bagi para yuris untuk mendefinisikan bebatuan,

Dahalan, et.al., mengingatkan bahwa menginterpretasikan Pasal 121 ayat (3) KHL

1982 tersebut harus memperhatikan aspek geografis dari bebatuan.41 Secara umum,

‘rock’ dapat didefiniskan sebagai berikut: “a rock is an isolated, hard mass of the

compact part of the earth’s crust.”42 Park menjelaskan karakteristik umum dari

bebatuan adalah bahan mineral yang terkonsolidasi, bagian kerak bumi, massa yang

keras, dan terbentuk secara alami.43 Tetapi kemudian ia menjelaskan bahwa definisi

umum ini tidak menjelaskan perbedaan bebatuan dengan pulau di mana ia

menjelaskan: “this ordinary meaning of rock, which is extracted from the

dictionaries, does not suggest clearly an applicable standard distinguishing ‘rock’

from an ‘island’ or a ‘feature mixed two characteristics.”44

Meskipun kita tidak dapat menemukan definisi normatif dari terma bebatuan

karang (rocks) di dalam KHL 1982, sebagai unsur normatif yang memberikan hak

zona maritim kepada pulau, fitur-fitur maritim harus memenuhi semua unsur norma

yang terdapat di dalam Pasal 121, secara umum. Dan seperti yang telah dipaparkan

oleh penulis sebelumnya, dua unsur normatif dari pulau terdapat di dalam Pasal 121

ayat (3) yang terdiri dari ‘human habitation’ dan ‘economic life’. Apa yang

dimaksud dari dua frasa tersebut? Dua frasa ini adalah unsur pembeda dan

mewajibkan pulau untuk memiliki fungsi tertentu yang ditentukan oleh Pasal 121

ayat (3). Hal ini menyebabkan bahwa meskipun suatu fitur maritim memenuhi

40 Florentina, op.cit, h. 10 41 Dahalan, et.al., op.cit, h. 232 42 Park, op.cit, h. 22 43 Ibid, h. 21 44 Ibid, h. 22

Page 17: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

120

ketentuan Pasal 121 ayat (1), apabila ia tidak dapat dihuni oleh manusia dan tidak

dapat menyelenggarakan kehidupan ekonominya sendiri, ia tidak dapat disebut

sebagai pulau dalam hukum laut internasional dan tidak mendapatkan hak zona

maritimnya. Dilema yang dihadapai oleh Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 juga

mengakibatkan makna elevasi surut di dalam KHL 1982 menjadi ambigu. Begitu

eratnya makna dalam Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 dengan Pasal 13 KHL 1982

yang mengatur elevasi surut menyebabkan fitur maritim berupa elevasi surut dapat

dikategorikan sebagai ‘rocks’ di mana hal tersebut menyebabkan elevasi surut

hanya dapat digunakan sebagai peletakkan titik garis pangkal laut teritorial saja.

Ketentuan yang mewajibkan pulau agar dapat dihuni oleh manusia dan dapat

menyelenggarakan kehidupan ekonominya sendiri memiliki beberapa interpretasi

dari yuris dan sama seperti bagaimana terma bebatuan karang (rocks) memiliki

kompleksitasnya sendiri, dua unsur normatif tersebut memiliki dilemanya sendiri-

sendiri. Untuk gambaran sederhana, hukum kebiasaan internasional mengakui

penarikan garis pangkal laut teritorial dapat ditarik dari suatu elevasi surut apabila

di atas elevasi surut tersebut terdapat mercusuar. Elevasi surut yang tidak dibangun

mercusuar di atasnya tidak dapat digunakan sebagai peletakkan titik garis pangkal

laut teritorial. Hukum tidak tertulis ini bisa diperhatikan di dalam Pasal 7 ayat (4)

KHL 1982, di mana pasal ini mengatur:

“Straight baselines shall not be drawn to and from low-tide

elevations, unless lighthouses or similar installations which are

permanently above sea level have been built on them or except in

instances where the drawing of baselines to and from such

elevations has received general international recognition.”

Franckx menyusun isu ini dengan menjelaskan dilema yang dihadapi frasa ini

dengan mempertanyakan apakah yang dimaksud economic life itu adalah

kemampuan untuk mendapatkan akses zona maritimnya atau economic life tersebut

Page 18: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

121

tercipta karena adanya sumber daya alam yang membuatnya dapat menyokong

kehidupan ekonominya sendiri? Dan bagaimana dengan kemampuannnya untuk

dihuni oleh manusia? Berapa banyak penduduk yang harus tinggal di fitur tersebut

agar dapat disebut sebagai pulau dan membedakkan dengan bebatuan karang

(rocks)? Kwiatkowska dan soons menjelaskan bahwa untuk dapat

menyelenggarakan kehidupan ekonominya sendiri untuk menyokong kehidupan

manusia itu, negara pantai dapat membangun mercusuar di atas elevasi surut

tersebut di mana Kwiatkowska dan Soons berpendapat bahwa keberadaan

mercusuar ini telah memenuhi unsur ‘economic life of its own’ karena bebatuan

tersebut digunakan untuk kepentingan navigasi.45

Isu lain yang juga diakibatkan dari dilema frasa ini adalah apakah ukuran pulau

menentukan status kemampuannya untuk dihuni oleh manusia dan

menyelenggarakan kehidupan ekonominya sendiri? Pada beberapa paragraf

sebelumnya, penulis telah menjelaskan bahwa ukuran pulau bukan faktor utama

yang menentukan apakah suatu fitur maritim dapat dikategorikan sebagai pulau di

dalam KHL 1982. Namun hal yang menarik dari pembahasan hal tersebut dalam

sejarah perkembangannya memperlihatkan kehendak dan kepentingan negara-

negara maritim untuk memasukkan ukuran sebagai unsur yang harus dipenuhi oleh

suatu fitur maritim sebagai pulau yang diatur di dalam KHL 1982. Hal ini berkaitan

dengan pertanyaan apakah fitur maritim tersebut dapat menghidupi dirinya sendiri

atau tidak. Tentu hal ini menjadi problema yang menarik: apakah suatu fitur

maritim harus mampu secara mandiri menyelenggarakan kehidupan ekonominya

sendiri? Dalam argumen pembelaan Ukraina dalam kasus Black Sea Case di ICJ,

45 Franckx I, op.cit, h. 21

Page 19: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

122

Delegasi Ukraina menjelaskan bahwa hal tersebut akan menolak fakta yang ada dan

hal tersebut dapat berpotensi menjadikan frasa tersebut bermakna independensi

pulau adalah absolut meskipun pulau pun juga wajar untuk hidup secara

interdependensi dengan kebutuhan primernya disokong dari daratan. Hal tersebut

dapat diperhatikan sebagai berikut:

“Surely, the fact that an island depends on the mainland for basic

resources is quite common and the terms ‘economic life of its

own’ cannot mean complete self-sufficiency, since such a

restrictive interpretation would rule out a great number of small

islands around the world.”46

Breitling menegaskan hal ini bahwa ukuran tidak menjadi dasar menolak

kedaulatan negara-negara pulau kecil. 47 Ia mencontohkan negara-negara pulau

kecil sepert Tuvalu, Nauru, Marshall Island, Saint Kitts dan Nevis, Maldives, dan

Malta yang memiliki ukuran yang termasuk ke dalam negara-negara terkecil di

dunia juga memiliki zona maritimnya sendiri.

Selain kemampuannya untuk menyelenggarakan kehidupan ekonominya

sendiri, bebatuan karang (rocks) harus dapat dihuni oleh manusia. Sama seperti

dilema yang dihadapi dalam frasa ‘economic life’, frasa ‘human habitation’ dalam

Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 tidak menegaskan berapa banyak manusia yang harus

hidup di atas bebatuan karang. Apakah itu kelompok masyarakat tertentu atau

segelintir orang saja seperti ilmuwan, tentara, maupun pejabat pemerintahan?

Untuk menerangi dilema yang dihadapi pasal ini, berikutnya penulis akan

menerangkan yurisprudensi-yurisprudensi internasional yang telah membahas

keberadaan bebatuan karang (rocks) di dalam sengketa maritim internasional.

46 Public sitting held on Friday 12 September 2008, at 10 a.m., at the Peace Palace, President Higgins

presiding, in the case concerning Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine), h.

17 47 Dustin Breitling, Small Island Developing State and Statehood, (Tesis), Faculty of Social Science,

Charler University in Prague, 2018, h. 41

Page 20: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

123

b) Studi Putusan terhadap Penafsiran dan Penginterpretasian Pasal 121 ayat (3)

KHL 1982

Pasal 121 ayat (3) memiliki kompleksitas dan kerumitan yang membuatnya

sulit untuk dipahami secara literal. Penulis sudah menjelaskan pada bagian

sebelumnya mengapa pasal ini sulit untuk dipahami dan dimengerti yang

mengakibatkan posisi bebatuan/bebatuan karang menjadi ambigu. Kompleksitas

pasal ini akan dipaparkan dalam kajian beberapa putusan pengadilan internasional

yang mengkaji sengketa negara maritim atas status fitur maritim ini.

1. South China Sea Arbitration (Filipina v. Tiongkok)

Laut Cina Selatan merupakan laut terbesar di dunia yang luas lautnya sendiri

melingkupi garis 3o lintang selatan antara Pulau Sumatra dan Kalimantan yang

ditandai dengan Selat Karimata dan di utara berbatasan dengan Selat Taiwan48—

dari wilayah paling ujung di utara Taiwan sampai ke Pesisir Fukien Cina. Luas

dasar lautnya saja adalah 1.7 juta kilometer persegi dan berada di atas Lempeng

Sunda seluas 2 juta kilometer persegi. Laut Cina Selatan diprediksi cadangan

hidrokarbon, bahan bakar fosil, dan gas alam yang sangat melimpah49 . Secara

ekonomis Laut Cina Selatan memiliki nilai ekonomi yang amat tinggi. Seperti yang

sudah dijelaskan sebelumnya, Laut Cina Selatan memiliki kekayaan biologis yang

amat tinggi seperti jenis-jenis ikan yang langka dan komersil.50 Selain kekayaan

alam hayatinya, Laut Cina selatan juga memiliki cadangan hidrokarbon dan disebut

sebagai “second persian gulf” karena kekayaannya. U.S Energy Information

48 Hasjim Djalal, op.cit, h. 364 49 Gillian Triggs, Maritime Boundary Disputes in the South China Sea: Internasional Legal Studies,

Sydney Law School, Sydney, 2009, h. 1 50 Clarence J. Bouchat, The Paracel Island and U.S. Interest and Approaches in the South China

Sea, U.S. Army College Strategis Studies Institute, 2014, h. 7

Page 21: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

124

Administration (USIEA) pada tahun 2013 memperkirakan bahwa Laut Cina Selatan

memiliki cadangan 1 Triliun cubic feet atau setara dengan 28,3 miliar m3.51

Secara politis, wilayah Laut Cina Selatan merupakan wilayah perairan yang

paling strategis. Sejak tahun ’70-an negara-negara besar di dunia banyak menaruh

mata pada laut ini karena fungsinya yang amat besar bagi perkembangan sebuah

negara.52 Laut Cina Selatan adalah jalan masuk dan keluar dari perairan negara-

negara Asia Tenggara. Paling tidak ada sekitar 10 selat yang menjadi penghubung

antara Samudera Hindia dan Pasifik dengan jalur lintas damai di perairan Laut Cina

Selatan, yaitu Selat Malaka, Selat Singapura, Selat Sunda, Selat Bangka, Selat

Karimata, Selat Gasper, Selat Balabak, Selat Mindoro, Selat Bashi, dan Selat

Taiwan.53 Oleh karena perannya yang amat besar bagi stabilitas kawasan Asia

Tenggara, pihak yang mengontrol Laut Cina Selatan akan mendapatkan posisi geo-

politik dan geo-ekonomi yang sangat unggul54.

Untuk menjelaskan secara sederhana tentang apa yang terjadi di Laut Cina

Selatan adalah dengan menjelaskan bahwa konflik ini terjadi karena diletakkannya

sembilan garis putus-putus (9 Dash-line) oleh Cina di atas Laut Cina Selatan yang

membuat negara-negara pantai di sekitar Laut Cina Selatan geram seperti Malaysia,

Vietnam, Filipina, Brunei Darusalam, dan melibatkan kepentingan negara besar

seperti Amerika Serikat, dan juga isu paska perang saudara Cina yang memisahkan

Republik Rakyat Cina dengan Taiwan.

Dalam perkara ini, mahkamah telah mengkaji argumen dan bukti yang

dihadapkan di dalam persidangan. Dalam analisanya, mahkamah menyusun isu atas

51 Ibid. h. 8 52 Hasjim Djalal. Op.cit. hlm. 368. 53 Ibid. 54 Ibid. Hlm. 375.

Page 22: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

125

Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 tentang bebatuan karang, yaitu: “… was Article 121(3)

intended to apply only to features that are composed of solid rock or that are

otherwise rock-like in nature?”55 Dalam isu ini, mahkamah mengemukakan bahwa

interpretasi Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 dibagi dalam dua fitur maritim, yaitu fitur

bebatuan murni atau fitur-fitur maritim yang menyerupai bebatuan. Mahkamah

menjelaskan bahwa terma ‘rock’ atau bebatuan atau bebatuan karang tidak

memiliki makna yang sempit dan eksklusif di mana mahkamah menyebut bahwa,

“The dictionary meaning of ‘rock’ does not confine the term so strictly …”56

Berikutnya mahkamah menekankan bahwa menolak bebatuan sebagai pulau

adalah hal yang absurd. Mahkamah menjelaskan bahwa, “Within Article 121, rocks

are category of island.” 57 Dan kemudian mahkamah memperhatikan frasa

‘naturally formed area of land’ yang digunakan di dalam Pasal 121 ayat (1) KHL

1982 tidak mensyaratkan adanya kualifikasi geologis atau geomorfologis. 58

Mahkamah memperhatikan pentingnya keberadaan Pasal 121 ayat (3) dengan

menjelaskan bahwa makna yang dihasilkan dari frasa ‘naturally formed area of

land’ dapat mengakibatkan fitur-fitur seperti gundukan pasir, lumpur, dangkalan,

bahkan bebatuan karang menikmati penambahan zona maritim.59 Oleh karena itu,

mahkamah kemudian menyimpulkan bahwa terma ‘rocks’ di dalam Pasal 121 ayat

(3) tidak harus terdiri dari bebatuan saja. Mahkamah juga menekankan satu poin

penting mengenai penggunaan bahasa seperti dilema yang dihadapi karena

penggunaan bahasa yang dipakai untuk mengidentifikasi pulau atau bebatuan.

55 South China Sea Arbitration (Philippines v China) (Award) (UNCLOS Arbitral Tribunal, Case

No 2013-19, 12 July 2016) (‘Merits Award'), para. 479 56 Ibid, para. 480 57 Ibid, para. 481 58 Ibid. 59 Ibid.

Page 23: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

126

Mahkamah berpendapat bahwa penggunaan bahasa yang merepresentasikan fitur

maritim tidak dapat menjadi perhatian utama. Sebagaimana mahkamah

menjelaskan sebagai berikut:

“A feature may have “Island” or “Rock” in its name and

nevertheless be entirely submerged. Conversely a feature with

“Reef” or “Shoal” in its name may have protrusions that remain

exposed at high tide. In any event, the name of a feature provides

no guidance as to whether it can sustain human habitation or an

economic life of its own.”60

Isu kedua yang mahkamah angkat di dalam Pasal 121 ayat (3) adalah

keberadaan kata ‘tidak dapat’ yang di mana mahkamah menyebut bahwa kata ini

bermakna kapasitas yang harus dipenuhi.61 Mahkamah menyusun isu ini sebagai

berikut: “Does the feature in its natural form have the capability of sustaining

human habitation of an economic life?”62 di mana atas jawaban dari pertanyaan ini,

ada dua jawaban yang bisa disajikan: pertama, fitur tersebut tidak dapat disebut

sebagai bebatuan apabila ia dapat dihuni oleh manusia dan memiliki kehidupan

ekonominya sendiri; kedua, fitur tersebut dapat disebut sebagai bebatuan apabila ia

tidak dapat dihuni oleh manusia dan tidak memiliki kehidupan ekonominya sendiri.

Mahkamah berpendapat bahwa terma ‘tidak dapat’ di dalam Pasal 121 ayat (3) tidak

memiliki suatu makna bahwa bebatuan harus dihuni atau memiliki kehidupan

ekonominya sendiri. Di dalam terma ini, mahkamah berpendapat bahwa terma

‘tidak dapat’ memiliki makna “It is concerned with whether, objectively, the feature

is apt, able to, or lends itself to human habitation or economic life.”63 Mahkmah

mengemukakan bahwa suatu fitur maritim tidak memiliki kewajiban untuk dihuni

atau memiliki kehidupan ekonominya sendiri. Terma ini kemudian memiliki makna

60 Ibid, para. 482 61 Ibid, para. 483 62 Ibid. 63 Ibid.

Page 24: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

127

bahwa suatu fitur disebut sebagai bebatuan karena ‘tidak dapat’ dihuni dan ‘tidak

dapat’ kehidupan ekonominya sendiri. Oleh karena itu sangat tidak relevan apabila

menolak suatu fitur sebagai pulau hanya karena ia tidak dihuni dan tidak terdapat

aktivitas ekonomi di fitur tersebut. Mahkamah kemudian menyimpulkan bahwa,

“… the fact that a feature is currently not inhabited does not prove that it is

uninhabitable. The fact that it has no economic life does not prove that it cannot

sustain an economic life.”64

Berikutnya, mahkamah menjelaskan terma ‘sustain’ atau ‘mendukung’. Dalam

penafsiran mahkamah, terma ‘sustain’ memiliki tiga komponen:

The concept of the support and provision of the essentials

The temporal concept: the support and provision must be over a period

of time and not one-off short lived

The qualitive concept, entailing at least a minimal “proper standart”.65

Berdasarkan tiga komponen tersebut, mahkamah kemudian menyimpulkan bahwa

frasa ‘mendukung kehidupan manusia’ berarti: “… provide that which is necessary

to keep humans alive and healthy over a continuous period of time, according to a

proper standard.”66 Dan frasa ‘mendukung kehidupan ekonomi’ berarti: “provide

that which is necessary not just to commence, but also to continue, an activity over

a period of time in a way that remains viable on an ongoing basis.”67

Mahkamah kemudian menganalisa frasa ‘human habitation’ dengan

menjelaskan bahwa frasa tersebut adalah syarat kualitatif yang harus dimiliki oleh

fitur maritim agar dapat menikmati hak zona maritim. Agar suatu fitur maritim

64 Ibid. 65 Ibid, para. 487 66 Ibid. 67 Ibid.

Page 25: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

128

dapat disebut sebagai pulau dan menikmati hak zona maritimnya, keberadaan

tempat pemukiman sementara yang memungkinkan seseorang untuk mendiami

fitur tersebut tidak serta merta memenuhi syarat kualitatif ini. Mahkamah

berargumen bahwa, “Human habitation would thus require all of the elements

necessary to keep people alive on the feature, but would also require conditions

sufficiently conducive to human life and livelihood for people to inhabit, rather than

merely survive on, the feature.”68 Argumen mahkamah ini menekankan bahwa

keberadaan manusia di fitur tersebut harus didukung oleh kemampuan fitur maritim

tersebut untuk memenuhi kebutuhan dasar dari manusia yang mendiami fitur

tersebut.69 Mahkamah juga memberikan argumentasi tambahannya bahwa Pasal

121 ayat (3) tidak menjelaskan batas minimal manusia yang hidup di fitur ini.

Namun mahkamah juga mengingatkan bahwa keberadaan satu orang saja tidak

dapat disebut bahwa hal ini telah memenuhi syarat kualitatif ini dan hal tersebut

tidak termasuk di dalam ‘ordinary understanding of human habitation’ di mana

mahkamah menekankan bahwa, “human needs company and community over

sustain period of time.”70

Syarat kualitatif kedua yang dipersyaratkan oleh Pasal 121 ayat (3) KHL 1982

adalah ‘economic life of their own’. Mahkamah menjelaskan dilema yang dihadapi

dalam frasa ini adalah bahwa keberadaan frasa ‘economic life’ tidak berdiri sendiri.

Frasa ini dibaca bersama-sama dengan pronomina persona: ‘of their own’. 71

Artinya, kehidupan ekonomi dari fitur maritim tersebut harus berdiri secara mandiri

68 Ibid. 69 Ibid, para. 489 70 Ibid, para. 491 71 Ibid, para. 498

Page 26: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

129

dan tidak tergantung dari sokongan atau bantuan daratan utamanya atau pulau

utamanya.

Mahkamah menginterpretasikan frasa ‘economic life’ dengan memisahkan ke

dalam dua bagian, yaitu ‘economic’ dan ‘life’. Dalam ‘economic’, hal ini

berhubungan dengan “… process or system by which goods and services are

produced, sold and bought, or exchange.” 72 Sementara ‘life’ mengindikasikan

bahwa, “… the mere presence of resources will be insufficient and that some level

of local human activity to exploit, develop, and distribute those resources would be

required.”73 Mahkamah menekankan bahwa frasa ini harus dibaca bersama-sama

dengan ‘sustain’. Oleh karena itu, mahkamah berargumen bahwa,

“A one-off transaction or short-lived venture would not constitute

a sustained economic life. The phrase presupposes ongoing

economic activity. … the need for economic activity to be

sustained over a period of time does presuppose a basic level of

viability for the economic activity.”74

Lalu pronomina persona ‘of their own’ diinterpretasikan oleh mahkamah

sebagai unsur esensial dalam frasa ‘economic life’ di mana fitur maritim tersebut

harus memiliki ‘ability to suport an independent economic life, without relying

predominantly on the infusion of outside resources or serving purely as an object

for extractive activities, without the involvement of a local population’.75 Dalam

pandangan mahkamah, agar aktivitas ekonomi di fitur tersebut memenuhi syarat

dalam frasa ini, aktivitas ekonomi di fitur tersebut harus ‘… local, not imported, as

must be the benefit of such activity’.76 Pemanfaatan nilai ekonomi di atas suatu fitur

maritim yang tidak dilakukan secara permanen dan ketergantungan ekonomi dari

72 Ibid, para. 499 73 Ibid. 74 Ibid. 75 Ibid, para. 500 76 Ibid.

Page 27: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

130

luar tidak dapat disebut telah memenuhi unsur dalam frasa ‘economic life of their

own’. Hal yang sama juga berlaku terhadap eksploitasi ekonomi atas fitur maritim

di mana hal ini tidak dapat disebut telah memenuhi unsur di dalam Pasal 121 ayat

(3) KHL 1982.

Namun bagaimana bila fitur tersebut memanfaatkan laut di yang

mengelilinginya? Apakah hal ini dapat disebut telah termasuk di dalam frasa

‘economic life of its own’? Mahkamah menjawab bahwa zona ekonomi eksklusif

(ZEE) dan landas kontinen harus dikecualikan dari jawaban pertanyaan ini.

Mahkamah menjelaskan bahwa Pasal 121 ayat (3) mengatur apakah suatu fitur

maritim dapat menikmati ZEE dan landas kontinen atau tidak, sehingga untuk

menyebut suatu fitur maritim dapat menikmati kedua zona maritim tersebut hanya

karena terdapat ‘economic life’ adalah tidak masuk akal di mana mahkamah

berargumen sebagai berikut: “It would be circular and absurd if the mere presence

of economic activity in the area of the possible exclusive economic zone or

continental shelf were sufficient to endow a feature with those very zones.”77 Dalam

menjawab ini, mahkamah berpendapat bahwa ‘economic life’ ini harus

dihubungkan fitur maritim ini sendiri dari pada perairan di sekitarnya. Aktivitas

ekonomi dari fitur maritim dapat terjadi karena pemanfaatan laut teritorialnya di

mana hal ini harus dihubungkan dengan keberadaan suatu populasi penduduk atau

komunitas di fitur ini. Keberadaan nelayan yang memanfaatkan fitur ini untuk

menangkap ikan dan aktivitas eksploitasi bahan tambang di dasar laut yang

berhubungan dengan fitur tersebut tidak cukup untuk menciptakan kehidupan

ekonominya sendiri.78

77 Ibid, para. 502 78 Ibid, para. 503

Page 28: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

131

Meskipun analisa terhadap dua syarat kualitatif ini telah dilakukan oleh

mahkamah, Pasal 121 ayat (3) masih menyisakan masalah terkait dengan

keberadaan kata ‘or’ atau ‘atau’. Pasal 121 ayat (3) berbunyi: “Rocks which cannot

sustain human habitation [or] economic life of their own shall have no exclusive

economic life of its own or continental shelf.” Mengenai keberadaan kata ‘or’,

Filipina berpendapat sebagai berikut:

“As a matter of logic, the combination of a negative verb form

with the disjunctive “or” creates a cumulative requirement. It is,

in essence, a double negative. It follows that to be entitled to an

EEZ and continental shelf, an insular feature must be able both

to sustain human habitation and to sustain economic life of its

own.”79

Dalam hal ini, mahkamah sependapat dengan Filipina mengenai pentingnya

penggunaan logika formil dalam menginterpretasikan kata ‘or’ di dalam Pasal 121

ayat (3), namun mahkamah tidak setuju dengan kesimpulan Filipina.80 Mahkamah

menjelaskan bahwa meskipun dalam kalimat “Rocks which cannot sustain human

habitation or economic life of its own” yang setara dengan “Rocks which cannot

sustain human habitation and which cannot sustain economic life of its own”

memiliki makna konjungtif di mana kedua syarat kualitatif ini memiliki posisi yang

setara dalam Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 dan memiliki konsekuensi bahwa kedua

syarat ini bersifat kumulatif, 81 mahkamah berpendapat pengaplikasian logika

formil pada Pasal 121 ayat (3) bertentangan dengan aspek linguistik yang

dipengaruhi oleh situasi dan kondisi pada saat pasal ini disusun.82 Secara praktikal,

mahkamah memperhatikan bahwa manusia akan lebih memilih menyelenggarakan

aktivitas ekonomi pada fitur yang memungkinkannya untuk hidup di tempat

79 Ibid, para. 493 80 Ibid, para. 494 81 Ibid. 82 Ibid, para. 495

Page 29: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

132

tersebut, sehingga untuk menyebut bahwa suatu fitur dapat menikmati hak zona

maritim hanya karena telah memenuhi salah satu unsur kualitatif adalah absurd dan

akan menjadi tidak logis apabila penyusun konvensi ini memaksudkan seperti itu.

oleh karena itu, mahkamah menafsirkan keberadaan kata ‘or’ sebagai berikut: “Or,

expressed more straightforwardly and in positive terms, an island that is able to

sustain either human habitation or an economic life of its own is entitled to both an

exclusive economic zone and a continental shelf …”83

2. Territorial Maritime Dispute (Nikaragua v. Kolombia)

Para pihak dalam perkara ini—Nikaragua dan Colombia—memiliki perbedaan

pandangan terhadap status 6 (enam) fitur maritim di laut karibia, yaitu Albuquerque

Cay, East-southeast Cay, Roncador, Serrana, Quitasueño, Serralina, dan Bajo

Nuevo dan berujung kepada kemampuan negara pantai untuk mendelimitasi

wilayah lautnya.84 Terhadap fitur-fitur ini, para pihak mempertanyakan bagaimana

hukum internasional memandang fitur-fitur ini, apakah fitur ini termasuk ke dalam

definisi pulau dan mempertanyakan kemampuan fitur ini untuk diletakkan

kedaulatan di atasnya.85

Para pihak mengajukan interpretasi mereka yang berbeda-beda terhadap fitur-

fitur tersebut. Nikaragua menganggap bahwa Quitasueño sebagai dangkalan yang

berada di bawah permukaan laut ketika air pasang dengan mendasarkan

argumennya pada survei yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri Kolombia

pada tahun 1937 yang menyatakan bahwa “The Quitasueño Cay does not exist” dan

83 Ibid, para. 496 84 Territorial and Maritime Dispute (Nicaragua v. Colombia), Judgment, I.C.J. Reports 2012, p. 624,

para. 24 85 Ibid, para. 15

Page 30: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

133

“There is no guano or eggs in Quitasueño because there is no firm land.” 86

Sementara itu Kolombia berargumen bahwa Quitasueño adalah pulau dengan dasar

survei yang dilakukan oleh Angkatan Laut Kolombia pada tahun 2008 dan

penelitian yang dilakukan oleh Dr. Robert Smith terhadap salah satu fitur di

Quitasueño yang ia sebut sebagai QS 32 yang menyatakan bahwa: “… there are 34

individual features within Quitasueño which ‘qualify as islands because they are

above water at high tide’ and at least 20 low-tide elevations situated well within 12

nautical miles of one or more of those islands.”87 Perbedaan perspepsi terhadap

status QS 32 ditambah dengan argumentasi Nikaragua yang menyatakan bahwa QS

32 adalah ‘individual piece of coral debris, that is, a part of the skeleton of dead

animal, is not naturally formed area of land’88 . Namun hal ini dibantah oleh

Kolombia yang menjawab bantahan Nikaragua yang mempertanyakan status

‘naturally formed area of land’ dari QS 32 dengan mengatakan, “coral islands are

naturally formed and generate a territorial sea as do other islands” dan

menegaskan bahwa Quitasueño ‘is not a coral debris’ dan merupakan bagian yang

tak terpisahkan dari gugusan karangnya.89 Nikaragua menekankan bahwa ukuran

adalah parameter penting untuk menentukan apakah suatu fitur maritim dapat

disebut sebagai pulau atau suatu fitur yang tersebut di dalam Pasal 121 ayat (3)

KHL 1982.90

Dalam analisa mahkamah, kemampuan suatu fitur maritim untuk menikmati

hak maritimnya dalam Pasal 121 ayat (2) KHL 1982 harus memperhatikan

86 Ibid, para. 28 87 Ibid, para. 29 88 Ibid, para. 32 89 Ibid. 90 Ibid, para. 170

Page 31: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

134

ketentuan Pasal 121 ayat (3) KHL 1982. Mahkamah menjelaskan bahwa dengan

menolak kemampuan bebatuan karang yang tidak dapat dihuni oleh manusia atau

kehidupan ekonominya sendiri untuk menikmati hak zona ekonomi eksklusif dan

landas kontinen, norma yang terdapat dalam ayat (3) ini memperkuat keberadaan

prinsip hukum internasional yang telah terbentuk sebagai kebiasaan internasional

bahwa ‘island, regardless of their size … enjoy the same status, and therefore

generate the same maritime rights, as other land territory.”91

Terhadap status Albuquerque Cays, East-southeast Cays, Roncador, Serrana,

Serranila, dan Bajo Nuevo, mahkamah berpendapat bahwa sekalipun suatu pulau

(baca: fitur maritim) masuk sebagai kategori bebatuan dalam Pasal 121 ayat (3)

KHL 1982, dan meskipun ia tidak berhak menikmati zona ekonomi eksklusif dan

landas kontinen, ia tetap berhak menikmati hak laut teritorial.92 Mahkamah lalu

menjelaskan bahwa upaya untuk menjelaskan status fitur-fitur maritim ini tidak

pokok dan karena ‘any entitlement to maritime spaces which they might generate

within the relevant area (outside the territorial sea) would entirely overlap with the

entitlement to a continental shelf and exclusive economic zone generated by the

islands of San Andrés, Providencia and Santa Catalina’ yang mana San Andrés,

Providencia, dan Santa Catalina adalah pulau yang berhak menikmati hak-hak zona

maritim. 93 Terkhusus untuk Quitasueño, mahkamah berpendapat bahwa tidak

peduli metode penghitungan seperti apa yang digunakan untuk menghitung

kemampuan Quitasueño untuk dapat berada di atas permukaan laut ketika air

pasang, bukti-bukti yang telah ditunjukkan oleh Nikaragua dan Kolombia

91 Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain (Qatar v. Bahrain),

Judgement, ICJ Report 1994, para 185 92 Nicaragua v. Colombia, op.cit, para. 176 93 Ibid, para. 180

Page 32: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

135

menunjukkan bahwa fitur yang terdapat di Quitasueño, yaitu QS 32, adalah

‘capable of appropriation’.94 Meskipun mahkamah menerima status QS 32 sebagai

pulau, mahkamah membantah bahwa fitur lain di Quitasueño dapat disebut sebagai

pulau, sebagaimana telah didefinisikan oleh hukum internasional. Hal itu

disebabkan karena fitur-fitur maritim tersebut sulit untuk berada di atas permukaan

laut saat air pasang karena ukurannya yang kecil. Mahkamah kemudian

menjelaskan bahwa status fitur-fitur ini adalah sebagai elevasi surut sebagaimana

telah dibuktikan melalui bukti foto yang menunjukkan bahwa “… those features

to be above water at some part of the tidal cycle and thus to constitute

low-tide elevations.”95 Meskipun mahkamah setuju bahwa QS 32 dapat disebut

sebagai pulau, namun karena tidak ada bukti yang dapat menunjukkan bahwa QS

32 dapat dihuni oleh manusia dan memiliki kehidupan ekonominya sendiri,

mahkamah menyimpulkan bahwa QS 32 tidak dapat menikmati hak zona ekonomi

eksklusif dan landas kontinen.

3. Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraina)

Sengketa ini bermula sebagai perbedaan persepsi antara para pihak—Romania

dan Ukraina—terhadap suatu fitur maritim di Laut Hitam, yaitu Pulau Serpent.

Pulau Serpent sendiri adalah suatu fitur maritim yang berada di barat daya Laut

Hitam, kira-kira 20 mil laut dari timur Delta Danube. Pulau Serpent adalah suatu

94 Ibid, para. 37 95 Ibid, para. 38

Page 33: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

136

fitur maritim yang berada di atas permukaan laut ketika air pasang yang memiliki

luas 0.17 m2 dan keliling selebar 2000 m.96

Dalam perkara ini, Romania berpendapat bahwa Pulau Serpent tidak bisa

digunakan sebagai peletakkan titik garis pangkal penarikan batas delimitasi zona

maritim yang melebihi 12 mil laut karena ia adalah bebatuan yang tidak

memungkinkan kehidupan manusia dan kehidupan ekonominya sendiri, dan oleh

karena itu, sebagai konsekuensi Pasal 121 ayat (3) KHL 1982, ia tidak dapat

menikmati zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Menurut Romania, Pulau

Serpent termasuk kategori bebatuan dalam Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 karena: “it

is a rocky formation in the geomorphologic sense; it is devoid of natural water

sources and virtually devoid of soil, vegetation and fauna.”97 Dalam penjelasan

Romania, kita dapat mengambil beberapa alasan mengapa Pulau Serpent tidak

dapat disebut sebagai pulau: pertama, kurangnya sumber air mineral; dan kedua,

tanahnya tidak subur yang mengakibatkan sedikitnya tumbuhan dan hewan yang

dapat hidup di pulau itu. Hal ini mengakibatkan ketidakmampuan Pulau Serpent

untuk dihuni oleh manusia yang mana Romania berpendapat bahwa, “… human

survival on the island is dependent on supplies, especially of water, from elsewhere

and that the natural conditions there do not support the development of economic

activities.”98 Romania menambahkan juga bahwa keberadaan pejabat pemerintah

dan pengurus mercusuar di pulau itu tidak menciptakan ‘human habitation’ untuk

memenuhi unsur kualitatif dalam Pasal 121 ayat (3) KHL 1982.99

96 Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine), Judgment, ICJ Reports 2009, para.

16 97 Ibid, para. 180 98 Ibid. 99 Ibid.

Page 34: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

137

Sementara itu, Ukraina menjelaskan bahwa Pulau Serpent adalah Pulau yang

berhak menikmati hak zona maritim berdasarkan Pasal 121 ayat (2) KHL 1982.

Ukraina berpendapat bahwa Pulau Serpent dapat menopang kehidupan manusia dan

mampu menyelenggarkan kehidupan ekonominya sendiri. Secara khusus, pulau ini

memiliki jenis tumbuhan yang hidup secara khusus di pulau ini dan memiliki

cadangan air minum yang memungkinkan manusia untuk tinggal di atasnya.

Ukraina juga menjabarkan bahwa Pulau Serpent adalah pulau dengan ‘appropriate

buildings and accommodation for an active population’. Dengan mengomentari

penggunaan Pasal 121 ayat (3) KHL 1982, Ukraina berpendapat bahwa pasal ini

tidak mengatur delimitasi zona maritim melainkan pemberian hak zona maritim

kepada fitur maritim yang dapat menopang kehidupan manusia dan memiliki

kehidupan ekonominya sendiri.100

Dalam pertimbangannya, mahkamah berpendapat bahwa Pulau Serpent tidak

dapat digunakan untuk peletakkan garis pangkal zona maritim karena Pulau Serpent

tidak berada pada susuran garis pantai Ukraina karena ia berada pada 20 mil laut

dari garis pantainya101 sehingga keberadaan Pulau Serpent tidak dapat dijadikan

sebagai bagian dari laut teritorial Ukraina maupun bagian dari pantainya.

Mahkamah menyebutkan kondisi ini merombak praktik dan kebiasaan internasional

di mana mahkamah menjelaskan sebagai berikut: “To count Serpents’ Island as a

relevant part of the coast would amount to grafting an extraneous element onto

Ukraine’s coastline; the consequence would be a judicial refashioning of

geography, which neither the law nor practice of maritime delimitation

100 Ibid, para. 184 101 Ibid, para. 187

Page 35: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

138

authorizes.”102 Oleh karena itu, mahkamah menyimpulkan bahwa Pulau Serpent

tidak dapat dijadikan sebagai peletakan titik garis pangkal zona maritim

sebagaimana mahkamah menjelaskan sebagai berikut: “… the court consider it

inappropriate to select any base points on Serpents’ Island for the construction of

a provisional equidistance line between the coast of Romania and Ukraine.”103

Namun pada akhirnya mahkamah tidak menanggapi perbedaan pendapat dari

para pihak mengenai status fitur maritim dari Pulau Serpent atas dua alasan besar:

bahwa zona yang dipersengketakan ini berada pada jarak 200 mil laut yang berarti

termasuk pada zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dari Ukraina dan bahwa

Pulau Serpent berada pada jarak 20 mil laut dari garis pantai Ukraina. Oleh karena

itu, keberadaan Pulau Serpent tidak mempengaruhi keberadaan zona ekonomi

eksklusif dan landas kontinen yang ditimbulkan dari garis pantai Ukraina bagian

barat dan timur. Mahkamah memperhatikan bahwa meskipun Ukraina memandang

bahwa Pulau Serpent berhak mendapatkan zona maritim sebagai konsekuensi Pasal

121 ayat (2) KHL1982, keberadaan zona maritim tersebut ‘did not extend the

relevand area beyond the limit generated by its mainland coast, as a consequence

of the presence of Serpents’ Island.”104

c) Kesimpulan

Rezim pulau di dalam KHL 1982 patut dipuji karena telah menyelesaikan isu

pendefinisian pulau dan mempositifkan norma tersebut ke dalam KHL 1982.

102 Ibid, para. 149 103 Ibid. 104 Ibid, para. 187

Page 36: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

139

Keberhasilan definisi pulau dalam Pasal 121 ayat (1) KHL 1982 adalah refleksi

historis terhadap bagaimana norma ini berkembang baik sebagai suatu prinsip dan

hukum kebiasaan internasional. Namun dibalik keberhasilan KHL 1982

menyelesaikan definisi pulau di dalam Pasal 121 ayat (1) KHL 1982, rezim pulau

di dalam KHL 1982 menyisakan tanda tanya besar terhadap ambiguitas dan

absurditas Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 tentang bebatuan. Bahkan dalam usaha

penulis untuk menjabarkan dilema yang dihadapi dalam Pasal 121 ayat (3), dari

pada keberhasilan untuk mendapatkan interpretasi yang menerangkan makna

aksiologis maupun teleologis dari Pasal 121 ayat (3), penulis mendapati bahwa

dilema Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 tidak hanya dilema hukum positif

internasional, melainkan melibatkan peran kebimbangan bahasa dan logika dalam

penyampaian makna Pasal 121 ayat (3). Kebimbangan tersebut ditambah dengan

variasi praktis hubungan internasional yang meski pada satu sisi memperkaya

interpretasi Pasal 121 ayat (3), turut menambah semakin beragamnya kebimbangan

tersebut.

Secara singkat, kebimbangan tersebut diawali dari keberadaan terma bebatuan

karang, yang penulis terjemahkan dari terma ‘rocks’ dalam KHL 1982. Dalam

pandangan penulis, penggunaan terma bebatuan karang yang penulis pilih sebagai

pengalihbahasaan tersebut hanyalah satu bagian dari berbagai kategori kelas bahasa

yang dihasilkan dari dilema ini. Makna ‘rocks’ bisa berafiliasi pada bebatuan saja,

sebagai hasil dari penumpukkan mineral di tengah laut, maupun bisa dimaknai

secara meluas meliputi berbagai fitur maritim di tengah laut. Untuk menerangi hal

ini, penggunaan terma bebatuan karang dalam penelitian juga selayaknya

mendapatkan perhatian kritis dari literatur berbahasa indonesia. Penulis

Page 37: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

140

mengkhawatirkan dilema ini akan bertransformasi ke dalam bagaimana bahasa

Indonesia mengadopsi terma ini. Meskipun penggunaan terma ‘bebatuan’

sepertinya sudah cukup untuk menggambarkan makna ‘rocks’ dalam Pasal 121 ayat

(3) KHL 1982, namun hal tersebut akan menyempitkan makna ‘rocks’ itu sendiri.

Sehingga dalam hal ini penulis berpendapat bahwa terma ‘rocks’ ini harus diperluas

dari pada dipersempit. Hal ini berkaitan dengan keberadaan elevasi surut yang

diatur dalam Pasal 13 KHL 1982 dan keberadaan elevasi surut yang digunakan

untuk penarikan garis pangkal lurus dalam Pasal 7 KHL 1982. Apabila keberadaan

bebatuan karang di dalam Pasal 121 ayat (3) tidak mendapatkan penerangan, maka

dilema ini akan merambah praktik delimitasi zona maritim yang melibatkan

keberadaan elevasi surut. Meski dalam analisa yurisprudensi sebelumnya, kita

dapat menyimpulkan bahwa perubahan status fitur maritim dari ‘pulau’ menjadi

bebatuan karang dapat terjadi karena fitur tersebut kehilangan status yang

diakibatkan tidak dipenuhinya unsur kualitatif dari Pasal 121 ayat (3) KHL 1982

mengenai kemampuan fitur tersebut untuk dihuni manusia dan kemampuannya

untuk menyelenggarakan kehidupan ekonominya secara mandiri.

Setelah melakukan analisa terhadap yurisprudensi internasional ini, penulis

mendapati bahwa status fitur maritim dapat berubah seiring dengan kemampuannya

untuk dapat dihuni oleh manusia dan kemampuannya untuk menyelenggarakan

kehidupan ekonominya secara mandiri. Dalam hal ini, penulis akan

mengembangkan argumentasi ini pada kemampuan pulau buatan untuk merubah

status bebatuan karang agar dapat dihuni oleh manusia. Pada bagian berikutnya,

penulis akan menjawab rumusan masalah penulis mengenai hal ini dan bagaimana

Page 38: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

141

keberadaan pulau buatan dapat mempengaruhi ‘peningkatan’ status bebatuan

karang agar layak dihuni oleh manusia.

C. Rekayasa Fitur Bebatuan Karang dan Elevasi Surut menjadi Pulau

Buatan

Ketika Cina memutuskan untuk melakukan reklamasi daratan di beberapa fitur

maritim yang berada di laut cina selatan pada tahun 2013105, negara-negara yang

mengelilingi laut cina selatan, seperti Malaysia, Filipina, Brunei Darusalam,

Vietnam, dan Taiwan melakukan protes kepada Cina atas keputusannya itu. Hal ini

disebabkan oleh klaim Cina atas kedaulatannya di atas laut cina selatan dan fitur-

fitur maritim di atasnya di mana pada kenyataannya, Cina menguasai 8 fitur maritim

di laut cina selatan.106 Klaim sepihak yang didasarkan atas hak sejarah ini107 diikuti

oleh beberapa negara asia tenggara yang turut menguasai beberapa fitur maritim di

laut cina selatan seperti Malaysia yang menguasai 8 fitur maritim, Filipina

menguasai 9 fitur maritim, Taiwan menguasai 1 fitur maritim, dan Vietnam

menguasai fitur maritim paling banyak, yaitu sejumlah 22 fitur maritim.108

Reklamasi pulau dan pembangunan yang dilakukan oleh Cina di atas fitur-fitur

maritim yang ia kuasai109 menjadikan fitur tersebut berubah yang pada mulanya ia

hanyalah bebatuan karang dan gugus karang 110—fitur maritim yang berada di

bawah permukaan laut ketika air pasang dan di atas permukaan laut ketika air

105 Marcos Enrique Romero Tejada, China’s Artificial Island Construction Activities in the South

China Sea: Impact on the Southeast Asian Security Complex, Faculté des sciences économiques,

sociales, politiques et de communication (ESPO), 2015, h. 8 106 Ibid. h. 7 107 Bouchat, op.cit, h. 30 108 Marcos Enrique Romero Tejada, op.cit, h. 7 109 Yi-Hsuan Chen, South China Sea Tension on Fire: China’s Recent Moves on Building Artificial

Island in Troubled Waters and Their Implications on Maritime Law, Maritime Safety and Security

Law Journal, 2015, h. 8 110 Swaran Singh & Lilian Yamamoto, China’s Artificial Island in the South China Sea: Geopolitics

versus Rule of Law, Revista de Direito Economico e Socioambienta, Curitiba, 2017, h. 7

Page 39: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

142

surut—menjadi suatu fitur artifisial yang disebut pulau buatan.111 Hal ini menjadi

suatu tantangan kepada hukum laut internasional dalam menjawab isu ini.

Apa yang telah dilakukan oleh Cina tentunya menghasilkan konflik bagi

hubungan politik dengan negara-negara asia tenggara, namun penulis berpendapat

bahwa apa yang dilakukan oleh Cina ketika melakukan pembangunan pulau buatan

di atas fitur-fitur maritim yang ada di laut cina selatan harus dilihat dari perspektif

lain, yaitu adanya transformasi fungsional elevasi surut yang secara normatif hanya

dapat digunakan sebagai peletakkan titik garis pangkal zona maritim negara pantai

dan bebatuan karang yang tidak menikmati zona ekonomi eksklusif dan landas

kontinen menjadi dapat dihuni oleh manusia. Sub-bab ini akan membahas isu

pembangunan pulau buatan di atas bebatuan karang yang berakibat pada

berubahnya paradigma hukum laut internasional terhadap eksistensi pulau buatan

sebagai suatu fitur buatan yang dapat mempengaruhi delimitasi zona maritim

negara pantai. Penulis akan melakukan analisa terhadap kemampuan pulau buatan

yang dibangun di atas bebatuan karang untuk merubah status elevasi surut dan

bebatuan karang yang awalnya tidak dapat dihuni oleh manusia menjadi dapat

dihuni oleh manusia dan kemampuan manusia untuk menjalankan aktivitas

ekonomi di atasnya.

a) Unsur Buatan sebagai Karakter Normatif Pulau Buatan

Terciptanya konsep dan teknologi pembangunan pulau buatan menciptakan

suatu pemahaman baru terhadap kemungkinan diciptakannya suatu ruang hunian

111 Yi-Hsuan Chen, op.cit, h. 9. Lihat juga F. Swannon Sweeney, Rock v. Islands: Natural Tension

Over Artificial Features in the South China Sea, Temple International and Comparative Law

Journal, Volume 31, Number 2, 2017, h. 617

Page 40: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

143

manusia yang baru selain daratan112, wahana rekreasi113, eksplorasi dan eksploitasi

bahan tambang di dasar laut 114 , bagaimana keberadaan pulau buatan dapat

memberikan harapan baru kepada negara-negara pulau kecil untuk menyelematkan

negara mereka dari ancaman pemanasan global yang dapat menenggalamkan

negara mereka. 115 Keberadaan pulau buatan yang menantang pemahaman

konvensional mengenai rezim hukum laut internasional dan secara khusus

mengenai rezim pulau telah diterangkan oleh Young Elizabeth dalam konferensi

internasional mengenai hukum laut internasional, Pacem In Maribus, di mana ia

menjelaskan bahwa,

“Traditional International Law did not anticipate the creation of

an island by means of engineering but confined itself to the title

derived from effective occupation of uninhabited land masses.

The fate of such activities will be determined by two factors: the

number of sites available for such constructions and the

objectives.”116

Secara kontekstual, Dahal dan Prakash mendefinisikan pulau buatan sebagai:

“… man-made island constructed over sea, ocean or river beds.

The construction of artificial island is done by land reclamation,

expansion of existing islets, combining small group of islets and

filling different materials over sea or an ocean bed.”117

112 Lihat Orvar Lofgren, Island Magic and The Making of a Transnational Region, The Geographical

Review 97 ( 2 ) 244-259, 2007, h. 244-245; dan Su Yin Chee, et.al., Land Reclamation and Artificial

Island: Walking the Tightrope between Development and Conservation, Global Ecology and

Conservation 12, pp. 80-95, 2017, h. 81 113 Fabrizio Bozzato, Dryland: Artificial Island as New Oceanscapes, Journal of Futures Studies,

17(4): 1-16, 2012 h. 2-3. Lihat juga Karang Ghaffari, et.al., Construction of Artificial Islands in

Southern Coast of the Persian Gulf from the Viewpoint of International Environmental Law, Journal

of Politics and Law; Vol. 10, No. 2; 2017, h. 264, yang menyebutkan keberadaan pulau buatan di

Uni Emirat Arab sangat kental dengan motif ekonomi dan wisata di mana faktor yang

menguntungkan ini dibayangi oleh risiko dampak lingkungan yang besar. 114 R. H. Charlier dan C. P. De Meyer, An Enviromental Purpose of Artificial Island in Belgium,

Intern. J. Enviromental Studies, Vol. 40, pp. 246-265, 1992, h. 252. 115 Michael Gagain, Climate Change, Sea Level Rise, and Artificial Islands: Saving the Maldives’

Statehood and Maritime Claims Through the ‘Constitution of the Oceans’, Colo. J. Int’l Envtl. L. &

Pol’y, Vol. 23:1, 2012, h. 81-82 116 Galea, op.cit, h. 14 117 Ishwar Dahal & Om Prakash, The Study on Construction of Artificial Island Using Land

Reclamation Techniques, Imperial Journal of Interdiciplinary Research Vol-3, Issue 2, 2017, h. 2013

Page 41: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

144

Dalam perspektif yang diajukan oleh Soons, pembangunan pulau buatan oleh

negara pantai merupakan usaha mereka untuk memanfaatkan wilayah perairannya.

Kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan di daratan dapat dilakukan di tengah

wilayah perairannya dengan keberadaan pulau buatan ini. 118 Soons juga

mengungkapkan bahwa adanya suatu kemungkinan untuk menciptakan sebuah kota

di atas fitur buatan ini,119 sehingga manusia dapat hidup di fitur buatan ini dan dapat

bertahan hidup di dalamnya.

Dalam aspek historisnya, keberadaan pulau buatan bukanlah hal baru dalam

praktik pemanfaatan wilayah perairan negara pantai. Belanda sendiri telah

melakukan praktik pembangunan pulau buatan dengan mengeruk tanah dan

mereklamasi daratan di wilayah perairannya. Hannon dan LeBlanc menjelaskan

bahwa praktik pembangunan pulau buatan itu meliputi pereklamasian

semenanjungnya, membangun pulau buatan, dan memperbesar pulau buatan itu.120

Jepang sendiri telah melaksanakan praktik pembangunan pulau buatan sejak abad

ke-19 dan praktik reklamasi daratan untuk pulau buatan yang dilakukan secara

ekspansif yang dilakukan sejak tahun 1985 telah menghasilkan luas wilayah baru

seluas 169,200 hektar. Jepang sendiri memandang bahwa keberadaan pulau buatan

lebih efektif dari pada perluasan wilayah teritorial dengan reklamasi pantai.

Keuntungan pembangunan pulau buatan bagi Jepang adalah: a) penyesuaian gaya

hidup yang lebih adaptif; b) terciptanya perairan yang lebih tenang; c) penyesuaian

aktifitas masyarakat di bibir pantai; d) meningkatkan pengamanan wilayah pantai

118 Alfred H. A. Soons, Artificial Island and Installation in International Law, Occasional Paper

Series, Law of the Sea Institute University of Rhode Island, 1974, h. 1 119 Ibid. 120 Patrick J.F Hannon & J. Wayne LeBlanc, Artificial Offshore Island, Mining Society of Nova

Scotia, 1987, h. 7

Page 42: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

145

dan perlindungan terhadap lingkungan; e) pemanfaatan wilayah pantai dengan lebih

efektif.121

Dalam perkembangannya, pulau buatan mengalami perkembangan dalam

penggunaannya. Hannon dan LeBlanc menjelaskan tujuan pembangunan pulau

buatan sebagai berikut122:

Sebagai lokasi industri metalurgi;

Untuk melebarkan bandara123;

Sebagai tempat instalasi pemurnian air laut;

Sebagai tempat instalasi eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi;

Sebagai fasilitasi ventilasi penambangan batu bara

Selain itu, ada beberapa variabel yang harus diperhatikan sebelum pembangunan

pulau tersebut dilaksanakan, yaitu124:

Kedalaman air;

Rentang ketinggian gelombang air;

Kondisi es;

Kisaran pasang surut;

Arus air;

Kondisi fondasi bangunan;

Risiko Gempa bumi;

Sumber material pembangunan;

Jalur pelayaran; dan

121 R. H. Charlier dan C. P. De Meyer, op.cit, h. 253 122 Ibid, h. 8 123 Sebagai perbandingan, lihat Erik Jaap Molenaar, Airport at Sea: International Legal

Implications, Netherland Institute for the Law of the Sea, University of Utrecht, 1999, h. 372-373. 124 Ishwar Dahal & Om Prakash, op.cit, h. 2014

Page 43: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

146

Keberadaan pipa dan kabel bawah laut.

Soons menambahkan analisanya terhadap dampak keberadaan pulau buatan dengan

menjelaskan sebagai berikut: “… the choice of the type of structure depends on such

factors as the water depth at the proposed site, enviromental impact, and the

expected duration of the activities. Of course, the cost-effectiveness of the operation

is finally determining.”125

Secara teknis, pembangunan fitur buatan di lepas pantai ini dapat dilakukan

dengan 4 cara. Cara pertama adalah dengan membangun fitur buatan yang

mengapung di atas permukaan laut yang ditahan dengan jangkar yang dipasang di

bawah laut. Cara kedua adalah dengan membangun suatu fitur buatan yang berada

pada posisi yang tetap (fixed position). Fitur buatan ini bisa berada pada posisi yang

tepat karena ditahan dengan tiang pancang yang ditanam dari dasar laut. Cara ketiga

adalah dengan membangun fitur buatan dengan beton yang biasa digunakan untuk

menyimpan cadangan minyak di tengah laut. Cara keempat adalah membangun

fitur buatan dengan cara reklamasi daratan yang dilakukan dengan menumpuk

gundukan pasir, bebatuan, dan kerikil di mana cara ini adalah cara yang paling

sering digunakan untuk membangun pulau buatan.126

Pembangunan pulau buatan memungkinkan negara pantai untuk

memaksimalkan pemanfaatan wilayah lautnya secara ekonomis dan juga

memberikan manfaat positif lain yang dapat menguntungkan negaranya. Namun

bagaimana KHL 1982 memandang keberadaan pulau buatan?

125 Alfred H. A. Soons, op.cit, h. 2 126 Ibid.

Page 44: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

147

KHL 1982 mengatur kewenangan negara pantai untuk membangun pulau di

dalam rezim zona ekonomi eksklusif yang diatur di dalam Pasal 58 ayat (1) huruf

(b) sebagai berikut: “Jurisdiction as provided for in the relevant provisions of this

Convention regard to: the establishment and use of artificial island, instalation and

structure;” Pada pengaturan ini, KHL 1982 memberikan kewenangan kepada

negara pantai untuk membangun pulau buatan, instalasi, dan struktur. Meskipun

tidak memberikan definisi atas pulau buatan dan perbedaannya dengan instalasi dan

struktur, Pasal 11 KHL 1982 membedakan fungsi pulau buatan dengan pelabuhan

di mana Pasal 11 mengatur sebagai berikut:

“For the purpose of delimiting the territorial sea, the outermost

permanent harbour works which form an integral part of the

harbour system are regarded as forming part of the coast. Off-

shore installations and artificial islands shall not be considered

as permanent harbour works.”

Hal tersebut memberikan konsekuensi bahwa keberadaan pulau buatan tidak dapat

dipersamakan dengan dengan instalasi-instalasi terluar dari pelabuhan. Galea

memberikan interpretasinya terhadap keberadaan Pasal 11 ini dengan mengamati

unsur ‘permanen’ dalam Pasal 11 dengan menyebutkan sebagai berikut: “The use

of word ‘permanent’ is significant as it implies a distinction between the nature of

a temporary structure and permanent works.”127

Sebelum membahas karakter alamiah yang membedakan pulau alamiah dengan

pulau buatan, perhatian yang lebih khusus harus diperhatikan kepada kewenangan

negara pantai di zona ekonomi eksklusifnya untuk membangun pulau buatan,

instalasi, dan struktur dalam Pasal 56 KHL 1982. Dalam pasal ini, keberadaan pulau

buatan memiliki status yang sama dengan instalasi dan struktur. Ketiadaan definisi

127 Galea, op.cit., h. 40

Page 45: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

148

pulau buatan menjadikan pemahaman konsep normatif dari pulau buatan menjadi

ambigu dan dapat dimaksudkan ke dalam berbagai pengertian praktis pembangunan

pulau buatan. Isu hukum dari masalah ini adalah apa yang membedakan pulau

buatan, instalasi, dan struktur?

Soons membedakan keberadaan pulau buatan dan instalasi di mana ia

mendefinisikan pulau buatan sebagai: “… those construction which have been

created by the dumping of natural substances like sand, rocks, and gravel”128 dan

instalasi sebagai: “… construction resting upon the seafloor by means of piles and

tubes driven into the bottom, and to concrete structures.”129 . Perhatikan definisi

Soons yang memfokuskan pendefinisian pulau buatan dalam bentuk reklamasi

daratan dan tidak memasukkan teknik pembangunan fitur buatan lain yang

menjadikannya berbeda dengan keberadaan kilang minyak yang berada di tengah

laut dan juga fitur-fitur buatan lain yang tidak dibangun dengan cara reklamasi

daratan. Dimasukkannya unsur teknik reklamasi daratan ini sebagai unsur

konseptual definisi pulau buatan menjadikan faktor artifisial ini sebagai unsur

pembeda yang menjadikannya berbeda dengan karakter ‘naturally formed’ yang

terdapat dalam pasal 121 ayat (1) KHL 1982.

Perkembangan normatif konsep pulau buatan di dalam hukum laut

internasional telah terjadi sejak pembahasan rancangan awal Pasal 10 KHL 1958

yang menjadi dasar terciptanya Pasal 121 ayat (1) KHL 1982. Dimasukkannya

unsur pembentukan secara alami sebagai unsur normatif pulau dalam KHL 1958

mengecualikan dua fitur maritim—meskipun tidak secara eksplisit menyebut

mengenai pulau buatan, yaitu elevasi surut dan instalasi buatan yang dibangun

128 Soons, op.cit h. 3. 129 Ibid.

Page 46: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

149

untuk tujuan pengeboran minyak. 130 Keberadaan unsur alamiah sebagai unsur

normatif konseptual juga terdapat dalam definisi KHL 1982 terhada elevasi surut

yang terdapat dalam Pasal 13 ayat (1) KHL1982 yang menjelaskan bahwa elevasi

surut adalah: “… a naturally formed area of land which is surrounded by and

above water at low tide but submerged at high tide.” Oleh karena itu, untuk bisa

menciptakan suatu kaidah hukum untuk mendefinisikan pulau buatan, unsur

pertama yang harus dimasukkan adalah kondisinya yang artifisial atau buatan.

Tetapi bagaimana dengan keberadaan mercusuar (lighthouse) yang berada

dibangun di atas elevasi surut, apakah pembangunan seperti ini juga dapat

dikategorikan sebagai pulau buatan? Dalam perkara Fur Seal Arbitration (1893),

Sir Charles Russel berpendapat bahwa keberadaan mercusuar, yang dibangun pada

posisi manapun di laut, adalah ‘extension of state sovereignty and territoriality and

in such respect should be given the right of territorial sea’.131 Terkait dengan hal

ini, Oppenheimer, di dalam Galea, mengkritik pendapat ini dengan menyatakan

sebagai berikut: “… if Sir Charles Russell’s view were to be adopted, it would be

necessary to give all States a right of sovereignty on the territorial sea surrounding

a lighthouse. … such action cannot be justified.” 132 Dalam hal ini, penulis

sependapat dengan pandangan Oppenheimer. Keberadaan mercusuar saja tidak

cukup untuk menciptakan kedaulatan negara pantai di sekitar wilayah mercusuar

itu. Apabila hanya dengan mercusuar saja cukup untuk menciptakan kedaulatan

bagi negara pantai, hal ini akan membawa rezim hukum laut internasional ke dalam

anarkisme masyarakat internasional dan oleh karena itu, keberadaan mercusuar

130 Michael Gagain, op.cit, h. 104 131 Galea, op.cit, h. 26 132 Ibid. h. 26

Page 47: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

150

hanya dapat digunakan sebagai peletakkan titik garis pangkal lurus. KHL 1982

mengatur keberadaan mercusuar sebagai bagian dari delimitasi zona maritim negara

pantai di dalam Pasal 7 ayat (4) KHL 1982 untuk negara pantai dan Pasal 47 ayat

(4) KHL 1982 untuk negara kepulauan.

Ketentuan teknis pulau buatan di dalam KHL 1982 diatur di dalam Pasal 60

KHL 1982. Pasal 60 KHL 1982 memberikan pengatur yang lebih detail terhadap

teknis pelaksanaan Pasal 58 ayat (1) huruf (b). Terdapat 8 ayat di dalam Pasal 60

ini di mana penulis akan menjabarkannya satu persatu. Pasal 60 ayat (1)

menjelaskan bahwa negara pantai memiliki kewenangan untuk membangun pulau

buatan, instalasi, dan bebatuan karang. Ayat (1) ini sendiri berbunyi:

In the exclusive economic zone, the coastal State shall have the

exclusive right to construct and to authorize and regulate the

construction, operation and use of:

(a) artificial islands;

(b) installations and structures for the purposes provided for in

article 56 and other economic purposes;

© installations and structures which may interfere with the

exercise of the rights of the coastal State in the zone.

Di dalam ayat ini, terdapat satu unsur yang tidak memiliki penjelasan, namun unsur

ini begitu penting di dalam ayat ini, yaitu keberadaan unsur ‘exclusive right’ atau

‘hak khusus’. Meskipun tidak memiliki definisi, hak ini bisa diartikan sebagai hak

yang hanya dimiliki oleh negara pantai saja dan mengecualikan negara yang tidak

memiliki pantai. Artinya, pembangunan pulau buatan, instalasi, dan struktur di zona

ekonomi eksklusif hanya boleh dilakukan oleh negara pantai. Sebagai konsekuensi

atas hak khusus ini, negara pantai memiliki kewenangan untuk: a) membangun; b)

pemberian izin dan pengaturan pembangunan; dan c) pengoperasian dan

pemanfaatannya. Ketiga aspek ini harus diikuti agar negara pantai memiliki

keabsahan pembangunan fitur buatan/fitur artifisial ini di zona ekonomi eksklusif.

Page 48: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

151

Selain mengatur kewenangan negara pantai untuk membangun pulau buatan, KHL

1982 memberikan kewenangan kepada negara pantai untuk membangun instalasi

dan struktur yang ditujukan: pertama, pembangunan instalasi dan struktur yang

sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 56 yang berarti pembangunan tersebut sah

apabila ditujukan untuk tujuan penelitian ilmiah dan perlindungan dan konservasi

wilayah maritim; kedua, pembangunan instalasi dan struktur yang bertujuan untuk

mempengaruhi hak negara pantai di atas zona ekonomi eksklusif.

Ayat (2) mengatur bahwa negara pantai memiliki yurisdiksi khusus atas pulau

buatan, instalasi, dan struktur. Yurisdiksi negara pantai atas fitur artifisial ini

berhubungan dengan cukai, fiskal, kesehatan, keamanan dan hukum imigrasi

beserta regulasinya. Ayat (3) mengatur bahwa keberadaan fitur artifisial ini harus

memperhatikan pemberitahuan yang wajar kepada negara lain dan pemberitahuan

atas keberadaan fitur buatan tersebut harus terus dipelihara. Apabila suatu instalasi

dan struktur tidak digunakan lagi, maka keberadaannya harus dibongkar dengan

tetap memperhatikan standard internasional yang berlaku atas penanganan fitur

buatan ini

Ayat (4) memberikan kewenangan kepada negara pantai untuk membangun

suatu zona pengamanan di sekitar fitur artifisial ini. Negara pantai harus

memperhatikan keberadaan zona pengamanan ini untuk tidak mengganggu jalur

pelayaran demi keamanan jalur pelayaran itu sendiri dan demi keamanan fitur

buatan ini.

Ayat (5) mengatur lebar zona pengamanan ini selebar 500 meter di sekitar fitur

artifisialnya. Lebar zona pengamanan ini juga harus memperhatikan alasan-alasan

yang wajar yang bertujuan untuk mengamankan fitur artifisialnya. Zona

Page 49: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

152

pengamanan ini diukur dari batas terluarnya dan negara pantai memiliki kewajiban

untuk memberitahukan keberadaan zona pengamanan ini kepada negara lain.

Ayat (6) mewajibkan setiap kapal untuk mematuhi keberadaan zona

pengamanan ini dan mengikuti standard internasional yang terkait dengan

pelayaran di sekitar fitur artifisial ini. Masih berhubungan dengan status pelayaran,

ayat (7) mengatur kewajiban bagi negara pantai untuk tidak membangun fitur

buatan ini apabila keberadaan fitur buatan ini dapat mengganggu jalur pelayaran

internasional.

Ayat (8) mengatur bahwa pulau buatan, instalasi, dan struktur tidak memiliki

status yang sama dengan pulau. Fitur ini tidak menikmati hak laut teritorialnya

sendiri dan keberadaannya tidak akan mempengaruhi proses delimitasi laut

teritorial, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif.

b) Legitimasi Pembangunan Pulau Buatan di Bebatuan Karang dan Pengaruhnya

terhadap Delimitasi Zona Maritim Negara Pantai

Keberadaan laut sebagai penghubung antara daratan dan benua sudah

memainkan peran dan menjadi penyambung peradaban manusia dan kehidupan

ekonomi masing-masing bangsa. Pendekatan hegelian ini memberikan sebuah

interpretasi pada sejarah yang secara dialektis menciptakan rasionalisasi

konseptual.133 Rasionalisasi tersebut, bagi penulis, adalah sebuah unsur terpenting

133 Secara lebih tepat kemudian, Hegel memandang bahwa sejarah merupakan inti dari whole being

yang geist-nya terdapat dalam keseluruhan. Sejarah, dalam aspek filsafat, dilihat sebagai sejarah ide

dan oleh karenanya sejarah harus dilihat sebagai keseluruhan dan tidak bisa dipandang secara partial.

Ide atau akal budi ini nampak sebagai satu kesatuan dengan sejarah sehingga ia membentuk

kebenaran yang nampak dengan sendirinya. Bagi Hegel, keberadaan akal budi—dalam interpretasi

Kojeve, akal budi mewujudkan diri dalam keinginan dan keinginan tersebut memanifestasikan

aksi—merupakan substansi yang membentuk alam semesta. Sejarah tidak bisa dipandang hanya

melalui kacamata sejarawan yang memposisikan dirinya sebagai narator yang kental dengan nuansa

keberpihakan pada seorang aktor saja. Untuk memahami hal tersebut, lihat G. W. F. Hegel, The

Philosophy of History, terjemahan, Batoche Books, Kitchener, 2001. Untuk interpretasi terhadap

Page 50: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

153

untuk menetapkan sebuah justifikasi yuridis terhadap pengalaman empiris—yang

dalam hal ini berpijak pada sebuah praktik internasional yang bekerja dalam

kungkungan masyarakat internasional yang anarki. Apabila sejarah manusia yang

hidup sebagai sejarah ide, seturut dengan cara padang Hegel, maka hal tersebut

seharusnya merefleksikan sebuah geist yang ideal untuk menunjukkan keterkaitan

antara manusia dengan laut.

Satu hal yang dapat mendorong pembaca untuk lebih awas terhadap

masyarakat internasional di dalam sebuah gerakan modernisasi dan globalisasi abad

ini adalah pada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat yang

tidak meratifikasi UNCLOS 1982 dengan alasan yang lebih politis dari pada sebuah

permasalahan hukum yang kompleks. Alasan tersebut lebih tepatnya berkaitan

dengan kepentingan nasional Amerika yang menitiberatkan pada kepentingan

ekonomi dan pertahanan Amerika Serikat yang memiliki perhatian secara khusus

di wilayah lautnya. Keberatan Amerika ditujukan kepada pengaturan mengenai

pertambangan di wilayah dasar laut yang, menurut Presiden Reagan, berakibat pada

kerugian Amerika yang lebih komplek. Rabkin memberikan komentarnya sebagai

berikut:

“In its basic framework and underlying premises, it is a

monument to the failed socialist thinking of a bygone era. Its

ratification would enshrine this thinking in a prominent fixture of

international law. Down the road, this might lead to the revival

of unsound legal principles which ought to be firmly repudiated.

In the meantime, it establishes a number of new institutions that

are likely to cause considerable trouble. The treaty ought to be

rejected, as it represents a threat to American sovereignty,

national security, and economic interests.”134

karya Hegel, lihat Alexandre Kojève, Introduction to the Reading of Hegel, Cornell University

Press, 1969. 134 Jeremy Rabkin, The Law of the Sea Treaty: A Bad Deal for America, Issue Analysis, 1 Juni 2006,

h. 1

Page 51: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

154

Selain itu, Galdorisi & Vienna menjelaskan hal ini sebagai berikut:

“This failure to ratify is a result of American politicians’ refusal

to accept the central bargain of UNCLOS, which consisted of

developing coastal and landlocked states recognizing the right of

freedom of navigation in the exclusive economic zone and key

international straits, in exchange for greater rights to natural

resources within the EEZ and the high seas.”135

Dalam hal ini pengaruh internal di dalam negara untuk mengambil kebijakan

politik internasional memiliki pengaruh yang dominan terhadap karakter

kebijakannya. Aspek yang diperhatikan dalam UNCLOS dipandang sebagai sebuah

karakter yang tidak mendukung kapitalisme Amerika di mana bentuk pengaturan di

dalam UNCLOS sendiri memiliki kesan yang menunjukkan karakter kebijakan

kolektif dan tidak mendukung kebijakan ekonomi Amerika Serikat. Gompert

menekankan hal ini dengan menyatakan bahwa: “Obviously, sea power figures

importantly in U.S. strategic thinking, globally and in the Pacifc, as it has for a

century.”136 Gompert juga menekankan sebuah analisis, dengan mengacu pada

Mahan, bahwa posisi Amerika di atas laut semata-mata untuk menekankan

posisinya di wilayah laut yang mana, dalam perebutan hegemoni Amerika dan Cina,

wilayah laut akan memainkan peran yang amat penting, baik dari segi keamanan

dan ekonomi masing-masing negara.137 Perihal hal tersebut, kritik di dalamnya

meletakkan posisi negara adidaya atas sebuah dominasi politik di atas laut di mana

hal tersebut tidak hanya mengaburkan konsep kedaulatan namun kembali

mengangkat tema sentral yang diangkat oleh Grotius terhadap dominasi negara di

atas laut.138

135 Odell, op.cit, h. 17 136 Gompert, op.cit, h. 69 137 Ibid. 69. 138 Dalam pembelaannya secara anonim dalam magnum opus-nya, Mare Liberum, Grotius

mempertanyakan legitimasi Portugis yang mempergunakan dalil kepenguasaan laut secara biblikal

di mana hak Portugis untuk menguasai laut telah mendapatkan legitimasi baik dari Tahkta Suci, hak

Page 52: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

155

Contoh tersebut merefleksikan suatu kenyataan bahwa faktor di luar hukum

memainkan peran yang vital terhadap kedudukan suatu negara di dalam masyarakat

internasional. Hal ini memberikan suatu kesimpulan bahwa hegemoni negara di atas

laut mentransformasikan rasionalisme hukum menjadi legitimasi bagi negara pantai

untuk menjustifikasi perbuatan negara secara normatif. Meskipun pada hal ini

Connor memberikan kritiknya terhadap argumentasi ini dengan berargumen

sebagai berikut: ““… it is also hard to justify treating legitimacy as a normative

factor.”139 Connor, dengan mengutip Applbaum, menjelaskan bahwa legitimasi

normatif adalah: “Genuinely having the moral right to rule.”140 Berbeda dengan

Connor, argumentasi Milano lebih mendukung pandangan penulis dengan

menjelaskan bahwa:

“… while recognition is the process through which states and

international organisations recognise the legal effects produce by

an unlawful territorial situation, …, legitimasy provides the

conceptual element to explain why in some cases such recognition

is widespread, while in some others it is only isolated. In other

words, legitimacy is the key concept in reconciling a violationg

effectiveness and the principles of territorial unlawfulness.”141

Dalam usaha untuk mendefinisikan legitimasi, Shaw menjelaskan bahwa pada

abad kesembilan belas, para yuris hukum internasional memahami hukum

internasional dalam aspek kesejarahannya dan menganalisanya secara

kronologis. 142 Namun setelah Perang Dunia ke-II berakhir, sistem hukum

penemuan wilayah, perang, di mana Portugis memiliki hak untuk menguasai laut. Grotius

membedakan secara tegas di mana perbedaan dominion dan communion—dimana perbedaan

tersebut memberikan implikasi logis yang berbeda dan memiliki akibat yang berbeda bagi negara.

Cicero, dalam kutipannya oleh Grotius, menyatakan: “For by nature nothing is private.” Hugo

Grotius, The Free Sea, terjemahan oleh Richard Hakluyt, 2004, Indianapolis: Liberty Funds, Hlm.

20 139 James O’Connor, The Meaning of “Legitimacy”in World Affairs: Does Law + Ethics + Politics

= A Just Pragmatism or Mere Politics?, SGIR conference presentation, 13 September 2007, h. 5 140 Ibid, h. 11 141 Milano, Unlawful Territorial Situations in International Law: Reconciling Effectiveness,

Legalitiy and Legitimacy, Martinus Nijhoff, Leiden, 2006, h. 190 142 Shaw, op.cit, h. 53

Page 53: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

156

internasional yang ‘eropasentris’ itu secara perlahan memudar143 dan memasuki

suatu era di mana hubungan antara negara berubah secara drastis. Hal ini kemudian

melahirkan suatu isu, apa yang menyebabkan negara mematuhi suatu hukum

internasional? Pertanyaan ini merupakan suatu isu yang menjadi permasalahan

tersendiri bagi teoris politik, hukum, dan etika internasional. Connor menjelaskan

bahwa terma legitimasi sendiri mengandung ‘ketidakjelasan’ untuk didefinisikan.

Connor mengklasifikan legitimasi ke dalam dua kategori: pertama, legitimasi

empiris (empirical legitimacy) dan legitimasi normatif (normative legitimacy).

Connor mendasari perbedaan kedua kategori tersebut berdasarkan atas analisa

Weber atas perbedaan karakteristik antara aspek empiris dan normatif dari

legitimasi. 144 Dalam legitimasi empiris, legitimasi dapat dilihat sebagai suatu

variabel yang dapat diteliti dan dianalisa. Max Weber, proponen terhadap

pengklasifikasian legitimasi, mendeskripsikan legitimasi sebagai berikut: “… a

norm of an institutional arrangement is legitimate if, as a matter of fact, it finds the

approval of those who are supposed to live in group.”145 Secara sederhana, menurut

Meyer, legitimasi adalah ‘simple the fact that the subjects of the norm of

institutional arrangement believe that norm or arrangement to be legitimate.”146

O’Kane, dengan dikutip oleh Connor, berargumen sebagai berikut: “… a

population’s failure to revolt against an oppressive regime may indicate that the

regime’s subjects are dominated by fear, restricted by the difficulty of

coordinationg resistance actions under conditions of intimidation and surveillance,

143 Ibid, h. 43 144 Connor, op.cit, h. 5 145 Lukas H. Meyer, (ed), Legitimacy, Justice and Public International Law, Cambridge University

Press, Cambridge, 2009, h. 2 146 Ibid.

Page 54: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

157

or by other factors the variety of which will probably depend on conditions specific

to the case at hand.”147 Bagi Kane, hal tersebut dapat mengimplikasikan suatu

kenyataan bahwa ‘the population is thereby expressing its belief in the ruling

regime’s “legitimacy”.’. 148 Hurd, dengan dikutip oleh Connor, menjelaskan

legitimasi sebagai konsep memerintah (the governing concept) yang berhubungan

dengan otoritas. Ia mengawali pendapatnya tersebut dengan mengajukan

pertanyaan: ‘why does one need any term for the quality of becoming authoritative

other than authority itself?’149 Ia kemudian berargumen bahwa, “… legitimacy

‘refers to an actor’s normative belief that a rule or institution ought to be obeyed

… The Council’s authority depends on its legitimacy, and therefore its legitimation

and delegitimation are of the highestt importance to states.150

Dalam legitimasi normatif, Shaw mendeskripsikan legitimasi sebagai berikut:

“a property of a rule or rule-making institution which itself exerts

a pull toward compliance on those addressed normatively

because those addressed believe that the rule or institution has

come into being and operates in accordance with generally

accepted principles of right process.”151

Meyer sendiri menjelaskan bahwa agar norma atau institusi mendapatkan

legitimasi, maka norma atau institusi tersebut harus ‘satisfies certain specified

conditions for possessing legitimacy’. 152 Oleh karena itu, Meyer menjelaskan

bahwa legitimasi normatif tidak memperdebatkan apakah norma atau institusi yang

sah (legitimate) adalah bermoral atau tidak bermoral. Legitimasi normatif

membicarakan tentang syarat-syarat kualitatif tertentu yang menjadi dasar apakah

147 Ibid, h. 6 148 Ibid. 149 Ibid, h. 7. 150 Ibid. 151 Shaw, op.cit, h. 60 152 Meyer, op.cit, h. 2

Page 55: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

158

suatu norma atau institusi memiliki legitimasi moral (moral legitimacy) atau tidak.

Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa legitimasi moral bukanlah legitimasi

normatif itu sendiri. Applabaum, dengan dikutip oleh Meyer menjelaskan hal ini

sebagai berikut: “… this is a claim about the normative criteria for having moral

legitimacy – a particular conception – not a claim about the meaning of moral

legitimacy.” 153 Oleh karena itu, Meyer menyimpulkan sebagai berikut: “It is

possible, then, for a political authority to be legitimate in the descriptive sense while

being illigetimate in the normative sense.”154 Ian Hurd, dengan mengutip Milano,

mendefinisikan karakter normatif dari legitimasi dengan menjelaskan sebagai

berikut: “… the normative belief by an actor that a rule or a institution ought to be

obeyed.”155 Shaw berpendapat bahwa ada syarat-syarat yang memiliki sifat objektif

yang dapat digunak an untuk menganalisa mengapa suatu norma atau institusi

memiliki legitimasi yang menjadi dasar bagi negara untuk menaati norma atau

institusi tersebut. Ia berpendapat bahwa syarat-syarat objektif itu terdiri dari:

determinasi (berkaitan dengan ketersediaan suatu norma atau transparansinya);

validasi simbolis (persetujuan otoritas); koherensi (konsistensi atau pengaplikasian

secara umum); ketaatan (termasuk ke dalam hirarki norma yang terorganisasi).156

Karakter legitimasi itu kemudian akan berhubungan dengan bagaimana

rekayasa artifisial terhadap suatu fitur buatan dapat menjadi legitimasi bagi negara

pantai untuk menjustifikasi pengenaan zona maritim atas pulau buatan.

Pada bagian ini, keambiguan frasa bebatuan karang di dalam Pasal 121 ayat (3)

berkontribusi terhadap dilema yang dihadapi negara pantai terhadap praktik

153 Ibid. 154 Ibid. 155 Milano, op.cit, h. 191 156 Shaw, op,cit, h. 60

Page 56: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

159

pembangunan pulau buatan. Hal ini mengakibatkan status pembangunan pulau

buatan di atas bebatuan karang seperti terombang-ambing dalam kebingungan yang

diakibatkan dari ketidakjelasan KHL 1982 dalam mendefinisikan apa itu pulau

buatan.

Oleh karena itu, analisa ini akan dibagi ke dalam dua bagian: pertama,

legitimasi negara pantai untuk membangun pulau buatan di atas bebatuan karang;

dan kedua, pengaruh keberadaan pulau buatan ini terhadap status delimitasi zona

maritim negara pantai. Apakah pengaruh Reklamasi Daratan terhadap Bebatuan

karang merubah status Bebatuan Karang tersebut menjadi Pulau Buatan, yakni

sebagai suatu Fitur Buatan? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap delimitiasi zona

maritim negara pantai?

KHL 1982 tidak mengatur mengenai adanya kemungkinan untuk merekasaya

bebatuan karang yang tidak dapat dihuni oleh manusia atau tidak memiliki

kehidupan ekonominya sendiri. Secara normatif, KHL 1982 mengatur fitur-fitur

alamiah dan buatan yang dapat digunakan sebagai basis delimitasi zona maritim

seperti bibir pantai157, karang158, elevasi surut159, teluk160, dan hilir sungai161 dan

fitur-fitur buatan seperti pelabuhan162 dan roadstead163.

Faris Bey el-Khouri dari Suriah memiliki pandangan yang positif terhadap

keberadaan pulau buatan di mana ia berpendapat bahwa, “… artificial islands

could no doubt be useful for various purposes and Governments should not be

157 Pasal 5 KHL 1982 158 Pasal 6 KHL 1982 159 Pasal 13 KHL 1982 160 Pasal 10 KHL 1982 161 Pasal 9 KHL 1982 162 Pasal 11 KHL 1982 163 Pasal 12 KHL 1982

Page 57: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

160

discouraged from undertaking their construction.”164 Keberadaan pulau buatan

juga, seperti yang sudah penulis utarakan sebelumnya, memiliki kemampuan untuk

menciptakan pemukiman penduduk baru.165 Pembangunan pulau buatan di atas

bebatuan karang oleh karena reklamasi daratan yang dilakukan negara pantai tidak

bisa dijawab hanya dengan mengandalkan KHL 1982 karena beberapa alasan:

Dilema yang dihadapi KHL 1982 dalam mendefinisikan bebatuan karang

yang terdapat di dalam Pasal 121 ayat (3) KHL 1982;

Ketidakmampuan KHL 1982 untuk mengkategorikan, mendefinisikan,

dan membedakan bebatuan karang, elevasi surut, dan karang (reefs);

Ketiadaan definisi KHL 1982 terhadap pulau buatan dan perbedaannya

dengan pulau alamiah;

Perkembangan teknologi kemaritiman memungkinkan negara pantai untuk

merubah status bebatuan karang yang tidak dapat dihuni yang hanya dapat

digunakan sebagai peletakkan titik garis pangkal lurus zona maritim menjadi dapat

dihuni dengan merekayasa status dari bebatuan karang menjadi pulau buatan. Kritik

terhadap hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan: apakah rekayasa fitur alamiah

menjadikan fitur tersebut bertransformasi menjadi fitur buatan?

Bagaimana dengan keberadaan infrastruktur di atas bebatuan karang seperti

ini? Tejada mengomentari keberadaan infrastruktur di atas fitur alamiah dengan

menolak keberadaan kemampuan infrastruktur untuk memiliki kemampuan yang

sama dengan pulau di mana ia menjelaskan sebagai berikut: “For instance,

infrastructure above pre-existing naturally-formed piece of land that is always

164 Gagain, op.cit, h. 107. Lihat juga Summary Record of the 260th Meeting, [1954] 1Y.B. Int’l L.

Comm’n 90, 94, U.N. Doc. A/CN.4/SR.260. 165 Lihat juga Conway, op.cit, h. 31 yang mendiskusikan adanya kemungkinan menciptakan negara

di atas pulau buatan.

Page 58: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

161

above water; and which does not involve changing or altering the natural

configuration land territory, is not considered an artificial island.” 166 Namun

penulis mengamati bahwa argumentasi Tejada, dengan mengutip Papadakis,

didasarkan pada keambiguan KHL 1982 di mana Tejada memasukkan instalasi dan

struktur sebagai bagian dari pulau buatan. Ia menjelaskan pulau buatan sebagai

berikut: “… all man made structure, installations, and other devices on the seas.”167

Penulis berpendapat bahwa definisi seperti ini semakin mengacaukan apa yang

dimaksud sebagai pulau buatan karena KHL 1982 dengan jelas membedakan

keberadaan tiga fitur buatan ini, yaitu pulau buatan, instalasi, dan struktur. Galea

mencatat keambiguan ini dengan menjelaskan adanya beberapa konsep yang

diselubungi oleh pulau buatan dengan memasukkan fitur-fitur buatan lain seperti,

perangkat (device), perlengkapan (equipment), dan mesin-mesin (machinery).168

Namun penulis juga mengamati adanya satu poin penting dari penjelasan Tejada,

yaitu pada kalimat kedua yang menyebutkan “… and which does not involve

changing or altering the natural configuration land territory, is not considered

an artificial island.” 169 Secara eksplisit, hal ini menerangkan kepada penulis

mengenai adanya kebutuhan untnuk merubah ‘natural configuration’ dari suatu

fitur alamiah seperti bebatuan karang untuk menjadi pulau buatan. Isu mengenai

luas dari rekayasa bebatuan karang menjadi pulau buatan juga diangkat oleh

Saunders yang mempertanyakannya sebagai berikut: “Are these artificial

166 Tejada, op.cit, h. 10 167 Ibid. 168 Galea, op.cit, h. 39 169 Supra note, Tejada, op.cit, h. 10

Page 59: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

162

structures—perhaps now quite large and intended to be permanent—territory at

international law, notwithstanding the lack of accompanying territorial sea?”170

Mengenai perbedaan antara elevasi surut dan pulau, dalam sengketa Maritime

Delimitation and Territorial Question between Qatar and Bahrain yang

mempertanyakan status elevasi surut dari Qit’at Jaradah, pertama-tama mahkamah

menganalisa kondisi geografis dari Qit’at Jaradah sebagai suatu pulau yang sangat

kecil yang berada dalam jarak 12 mil laut dari masing-masing negara yang

bersengketa. Dalam penjelasan oleh Bahrain, saat berada pada kondisi pasang

Qit’at Jaradah memiliki panjang dan lebar sebesar 12 dan 4 meter, dan saat surut

panjang dan lebarnya adalah 600 dan 75 meter. Saat pasang, ketinggiannya dari

permukaan laut adalah 0.4 meter.171 Mengenai status dari Qit’at Jaradah, para pihak

bersepekat bahwa Qit’at Jaradah adalah Elevasi surut. 172 Dalam pandangan

mahkamah, hukum internasional tidak memberikan jawaban atas status elevasi

surut sebagai suatu wilayah.173 Oleh karena itu mahkamah memberikan jawaban

sebagai berikut:

“The few existing rules do not justify a general assumption that

low-tide elevations are territory in the same sense as islands. It

has never been disputed that islands constitute terra firma, and

are subject to the rules and principles of territorial acquisition;

the difference in effects which the law of the: sea attributes to

islands and low-tide elevations is considerable. It is thus not

established that in the absence of other rules and legal

principles, low-tide elevations can, from the viewpoint of the

acquisition of sovereignty, be fully assimilated with islands or

other land territory.”174

170 Imogen Saunders, The South China Award, Artificial Island and Territory, Australian Year Book

of International Law, Vol 34, 2016, h. 33 171 Qatar v. Bahrain, para. 197 172 Ibid, Para. 200 173 Ibid, Para. 205. 174 Ibid, para. 206

Page 60: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

163

Mahkamah mendasarkan jawabannya atas prinsip yang diatur di dalam hukum laut

internasional bahwa elevasi surut yang berada di luar batas laut teritorial tidak

memiliki laut teritorial untuk dirinya sendiri. Mahkamah kemudian menegaskan

sebagai berikut:

“The law of the sea does not in these circumstances allow

application of the so-called “leapfrogging” method. In this

respect it is irrelevant whether the coastal State has treated such

a low-tide elevation as its property and carried out some

governmental acts with regard to it; it does not generate a

territorial sea.”175

Keberadaan elevasi surut harus difungsikan sebagaimana hukum laut internasional

mengatur keberadaan fitur maritim ini di mana elevasi surut hanya dapat digunakan

sebagai basis peletakkan titik garis pangkal lurus zona maritim negara pantai

apabila terdapat mercusuar yang dibangun di atasnya yang mana hal ini

merefleksikan hukum kebiasaan internasional yang membentuk norma ini.176

Lalu terhadap modifikasi fitur alamiah yang dilakukan dengan reklamasi

daratan, di dalam perkara South China Sea Arbitration antara Filipina dan Cina,

mahkamah berargumen bahwa Kepulauan Spratly adalah bebatuan karang (rocks)

yang tunduk pada Pasal 121 ayat (3) KHL 1982.177 Mahkamah memperhatikan

keberadaan ‘artificial population’ yang berada di atas beberapa fitur maritim di

kepulauan tersebut tidak dapat menciptakan klaim zona maritim karena hal tersebut

tidak didasarkan atas itikad yang baik dalam mengelola zona ekonomi eksklusifnya

di mana mahkamah berpendapat sebagai berikut:

“The introduction of the exclusive economic zone was not

intended to grant extensive maritime entitlements to small

features whose historical contribution to human settlement is as

slight as that. Nor was the exclusive economic zone intended to

encourage States to establish artificial populations in the hope of

175 Ibid, para. 207 176 Ibid, para. 208. 177 South China Sea Arbitration, para. 554, 560, 563, 566, & 569.

Page 61: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

164

making expansive claims, precisely what has now occurred in the

South China Sea.”178

Dalam konteks mengenai pulau, bebatuan karang, dan elevasi surut, mahkamah

berpendapat sebagai berikut: “Just as a low-tide elevation or area of seabed cannot

be legally transform into an island through human efforts, the tribunal considers

that a rock cannot be transformed into a fully entitled island through land

reclamation. The status of features must be assessed on the basis of its natural

condition.” 179 Mahkamah juga mengkritik kemajuan teknologi sebagai dasar

negara untuk menciptakan pulau buatan dengan menjelaskan sebagai berikut:

“If States were allowed to convert any rock incapable of

sustaining human habitation or an economic life into a fully

entitled island simply by the introduction of technology and

extraneous materials, then the purpose of Article 121(3) as a

provision of limitation would be frustrated. It could no longer be

used as a practical restraint to prevent States from claiming for

themselves potentially immense maritime space.”180

Dan kemudian, mahkamah memperhatikan bahwa keberadaan fitur maritim harus

memperhatikan ‘natural condition’ dari fitur alamiah ini dimana mahkamah

menjelaskan sebagai berikut:

“In such circumstances, the Tribunal considers that the

Convention requires that the status of a feature be ascertained on

the basis of its earlier, natural condition, prior to the onset of

significant human modification, taking into account the best

available evidence of the previous status of the high-tide features,

before intensive modification.”181

Merekayasa fitur alamiah menjadi pulau buatan tidak dimungkinkan secara

normatif maupun dalam yurisprudensi pengadilan internasional yang tidak

memberikan justifikasi bagi negara pantai untuk memodifikasi elevasi surut

maupun bebatuan karangnya untuk dapat dihuni oleh manusia. Dalam kritiknya

178 Ibid, para. 621 179 Ibid, para. 508. 180 Ibid, para, 509 181 Ibid, para. 511

Page 62: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

165

terhadap putusan Mahkamah Arbitrasi Internasional, Saunders mengkritik

pertimbangan mahkamah pengadilan internasional yang tidak menggunakan

kesempatan ini untuk mengembangkan diskursus terkait dengan keberadaan pulau

buatan. 182 Penulis memiliki pendapat yang sama dengan Saunders di mana

kemampuan pulau buatan untuk turut menikmati zona maritim harus mengalami

kritik yang mampu mengembangkan konsep pulau buatan di dalam rezim hukum

laut internasional. Menyelesaikan diskusi mengenai keberadaan pulau buatan hanya

dalam batasan limitatif yang diatur di dalam Pasal 13 ayat (1), Pasal 60 ayat (8),

dan Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 tidak akan dapat mengembangkan konsep dan

doktrin hukum laut internasional. Konsep pulau buatan menciptakan harapan baru

bagi negara-negara yang terdampak pemanasan global maupun negara-negara kecil

yang tidak memiliki daratan yang cukup untuk mengembangkan kemampuan

ekonomi negaranya. Oleh karena alasan itu, analisa terhadap modifikasi fitur

alamiah menjadi titik pangkal yang fundamental—bukan dalam rangka untuk

memberikan diskresi yang tidak berdasar bagi negara-negara untuk membangun

pulau buatannya di wilayah laut manapun—tetapi atas dasar-dasar humanis demi

kepentingan negara yang membutuhkan keberadaan pulau buatan.

Dalam menganalisa modifikasi fitur alamiah ini, penulis berpendapat bahwa

pulau buatan yang dibangun di atas fitur alamiah memiliki tiga konsekuensi hukum

sebagai akibat dari berlakunya KHL 1982, yaitu sebagai berikut:

Skenario pertama

Keberadaan pulau buatan tidak merubah status ‘natural condition’ dari

fitur alamiah ini karena batasan yang ditetapkan oleh Pasal 121 ayat (3)

182 Imogen Saunders, op.cit, h. 38-39

Page 63: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

166

membuatnya tidak menikmati zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen

dan hanya menikmati zona laut teritorial dan zona lanjutan.

Skenario kedua

Keberadaan pulau buatan merubah status ‘natural condition’ dari fitur

alamiah ini karena batasan yang ditetapkan oleh Pasal 60 ayat (8) KHL 1982

membuatnya tidak dapat menikmati hak laut teritorial, zona lanjutan, zona

ekonomi eksklusif, dan landas kontinen dan hanya memiliki zona

pengamanan selebar 500 meter.

Skenario ketiga

Rekayasa fitur alamiah menjadi pulau buatan memiliki status yang berbeda

dari fitur-fitur lain seperti bebatuan karang, elevasi surut, dan pulau alamiah

sehingga hal tersebut menciptakan konsekuensi yang berbeda dari pada

yang telah diatur di dalam KHL 1982.

Dan dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa rekayasa terhadap fitur alamiah

menjadi pulau buatan, yang merupakan fitur buatan, memiliki status yang berbeda

dan tidak dapat dipersamakan dengan keberadaan bebatuan karang dan elevasi

surut. Tetapi hal ini tidak dapat menjadi dasar bahwa penulis mendukung argumen

bahwa pulau buatan dapat menikmati hak zona maritim. Penulis berada pada posisi

bahwa pada dasarnya fitur artifisial tidak dapat menikmati hak zona maritim. Hal

ini untuk mencegah potensi pelanggaran hak negara pantai atas pembangunan pulau

buatan yang dibangun di posisi manapun di wilayah maritimnya. Apakah hal ini,

dengan demikian, menjadi legitimasi bagi penulis untuk dengan tegas berargumen

bahwa pulau buatan tidak dapat menikmati zona maritim? Penulis berpandangan

bahwa isu ini harus diperhadapkan pada kebutuhan negara pantai atas potensi pulau

Page 64: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

167

buatan untuk mengembangkan negaranya meskipun pada praktiknya pembangunan

pulau buatan membutuhkan biaya yang amat besar, tetapi hal ini tidak menutup

kemungkinan terhadap keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan pulau buatan

oleh negara pantai.

Mengingat beberapa faktor seperti dilema yang dihadapi dalam Pasal 121 ayat

(3) KHL 1982, ketidakmampuan fitur-fitur buatan untuk menikmati zona maritim

dalam Pasal 60 ayat (8) KHL 1982, ketiadaan definisi dan perbedaan secara

normatif terhadap keberadaan pulau alamiah dan pulau buatan, penulis menyadari

bahwa, pertama-tama, usaha untuk mendefinisikan pulau buatan adalah tidak dapat

menjangkau ranah teoritis maupun filosofis seperti layaknya bagaimana yuris

internasional pada abad 17 merangkai diskurus fundamental terhadap eksistensi

hukum laut internasional. Meski kita membutuhkan definisi terhadap pulau buatan,

penulis berpendapat bahwa hal ini akan memperpanjang rangkaian diskursus yang

tidak akan menghasilkan kesimpulan yang memberikan jawaban terhadap isu ini.

Oleh karena itu penulis menawarkan usulan untuk mengonsentrasikan pembahasan

definitif itu pada unsur-unsur pembeda yang dapat menerangkan secara konseptual

definisi pulau buatan.

Terkait dengan hal ini, penulis berpendapat bahwa agar rekayasa fitur alamiah

dapat disebut sebagai pulau buatan, syarat limitatif yang diatur secara eksplisit

dalam Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 harus dimiliki oleh pulau buatan di mana hal

ini akan menjadi unsur pembeda yang membedakannya dengan instalasi dan

struktur yang diatur di dalam Pasal 56 ayat (1) huruf (b) dan Pasal 60 ayat (1) KHL

1982. Adapun syarat limitatif tersebut adalah: pertama, kemampuan suatu fitur

untuk dapat dihuni oleh manusia; kedua, kemampuan suatu fitur agar dapat

Page 65: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

168

memiliki atau menyokong kehidupan ekonominya sendiri. adapun alasan penulis

mengapa penulis berpandangan seperti ini adalah:

Perkembangan teknologi memungkinkan manusia hidup dan

membangun komunitas masyarakat di atas pulau buatan dan

memungkinkan pulau buatan memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri.

Urgensi negara-negara pulau kecil terhadap ancaman pemanasan global

yang meningkatkan permukaan laut secara signifikan di mana hal ini

dapat menenggelamkan negara-negara ini.

Lalu bagaimana dengan proses delimitasi zona maritim yang diakibatkan dari

reklamasi daratan yang dilakukan di atas fitur-fitur maritim ini? Penulis dalam hal

ini berargumen bahwa fitur maritim yang dapat direkayasa menjadi pulau buatan

adalah fitur maritim yang berada di dalam zona laut teritorialnya. Hal ini berarti

negara pantai hanya memiliki kewenangan untuk merekayasa fitur maritim yang

berada pada jarak maksimul 12 mil laut. Penulis dengan tegas menolak rekayasa

fitur maritim menjadi pulau buatan apabila rekayasa tersebut tidak dilaksanakan di

dalam zona laut teritorialnya.

Lalu bagaimana dengan rekayasa fitur maritim menjadi pulau buatan yang

dibangun di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya? Penulis berargumen

bahwa segala aktivitas pembangunan pulau buatan di dua zona ini bertentangan

dengan hukum laut internasional dengan alasan bahwa negara pantai hanya

memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam hayati dan non-

hayati di zona ini. Negara pantai hanya memiliki kedaulatan di dalam laut teritorial,

laut pedalaman, dan laut kepulauan. Segala aktivitas negara pantai yang dapat

Page 66: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

169

menciptakan kedaulatan di luar tiga zona ini adalah bertentangan dengan hukum

laut internasional.

Kritik berikutnya adalah, bagaimana dengan kewenangan negara pantai untuk

membangun pulau buatan di laut lepas yang diatur di dalam Pasal 87 KHL 1982

yang mengatur prinsip Freedom of the High Seas? Penulis berargumen bahwa

dikarenakan unsur pulau buatan yang penulis jelaskan memiliki status yang berbeda

dengan pulau buatan yang ditentukan oleh KHL 1982, penulis berargumen bahwa

negara pantai tidak memiliki hak untuk menciptakan kedaulatan di laut lepas karena

hal ini akan bertentangan dengan prinsip Freedom of the High Seas di dalam Pasal

89 KHL 1982 yang tidak memberikan kewenangan kepada negara pantai untuk

menguasai wilayah laut lepas. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa negara

pantai hanya dapat membangun fitur buatan seperti instalasi dan struktur. Penulis

tetap berada pada posisi untuk mempertahankan batasan yang telah ditentukan

dalam Pasal 60 ayat (8) KHL 1982 yang tidak memberikan hak kepada fitur-fitur

buatan untuk menikmati hak zona maritim seperti laut teritorial, zona lanjutan, zona

ekonomi eksklusif, dan landas kontinen.

Dan kritik terakhir, apakah rekayasa fitur alamiah menjadi pulau buatan

mempengaruhi proses delimitasi zona maritim negara pantai? Apakah rekayasa ini

memiliki status yang sama terhadap keberadaan mercusuar yang dibangun di atas

elevasi surut yang diatur di dalam Pasal 7 ayat (4) KHL 1982? Penulis berargumen

bahwa proses delimitasi negara pantai yang diakibatkan dari rekayasa fitur alamiah

tidak merubah status delimitasi zona maritim negara pantai karena penulis berada

pada posisi bahwa negara pantai memiliki kewenangan untuk membangun pulau

buatan di dalam zona laut teritorial saja dan tidak memberikan kewenangan kepada

Page 67: BAB III PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘ normal circumstances ’ dan ini menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal

170

negara pantai untuk membangun pulau buatan di luar wilayah ini. Mengenai

perbedaan antara rekayasa fitur alamiah menjadi pulau buatan ini dengan fungsi

mercusuar yang dibangun di atas elevasi surut agar elevasi surut dapat digunakan

sebagai basis penghitungan garis pangkal lurus, penulis berpandangan keberadaan

pulau buatan adalah berbeda dengan keberadaan mercusuar. Keberadaan pulau

buatan utamanya adalah untuk dihuni oleh manusia dan fungsi mercusuar adalah

untuk membantu proses navigasi kapal yang berlayar di atas laut. Penulis

berpandangan bahwa, sebagai konsekuensi kewenangan negara untuk membangun

pulau buatan di laut teritorialnya, pembangunan pulau buatan tidak dapat dijadikan

alasan bagi negara pantai untuk merekontruksi ulang zona maritimnya.