Upload
danghanh
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
47
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Gambaran Tentang Kasus Dalam Putusan Hakim Pengadilan Negeri
Salatiga No.08/PID.B/AN/2010/PN.SAL
Kasus yang terjadi adalah kasus pencurian yang dilakukan oleh
seorang anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Salatiga. Sebagai
terdakwa dalam kasus ini adalah Nur Rohman bin Sugiyono, yang masih
berumur 14 tahun 2 bulan, anak putus sekolah dan belum pernah menikah,
sedangkan yang menjadi korban bernama Nugroho Widianto. Selama proses
penyidikan sampai putusan hakim, terdakwa tidak ditahan, terdakwa
didampingi Ristiani Gani Mendofa, SH selaku Penasihat Hukum.
Secara singkat, kasus pencurian ini terjadi pada hari Selasa tanggal
15 Juni 2010 sekitar pukul 04.20 WIB. Saat itu terdakwa bangun tidur dan
keluar rumah berjalan kaki menuju rumah korban dengan maksud untuk
mencuri satu set PS2. Sesampainya di rumah korban, terdakwa memanjat
batu bata yang ada di sekitar jendela dan membuka jendela dengan cara
menarik paksa. Setelah jendela terbuka, terdakwa masuk kedalam ruangan
tempat persewaan PS2 tersebut, kemudian terdakwa mengambil PS2 yang
berada di rak yang selanjutnya terdakwa membungkus PS2 dengan plastik
warna hitam yang sudah terdakwa persiapkan dari rumah. Setelah berhasil
mengambil PS2, terdakwa selanjutnya keluar dari rumah korban dan
membawa pulang PS2 tersebut dan disimpan di dalam kamar terdakwa. Atas
48
perbuatan terdakwa tersebut mengakibatkan korban mengalami kerugian
yang ditafsir sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah).
Terhadap kasus yang diuraikan di atas maka pada tanggal 31
Agustus 2010 oleh Wuryanti, SH sebagai Hakim memutus pidana penjara
selama 1 (satu) bulan dan memutus terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana “Pencurian Dalam Keadaan Memberatkan”. Putusan hakim tersebut
tertuang dalam putusan No.08/Pid.B/AN/2010/PN.SAL. Adapun dalam
memutus perkara tersebut pertimbangan-pertimbangan hakim adalah
sebagai berikut :
1. Menimbang, bahwa terhadap permohonan Penasihat Hukum Terdakwa
tersebut, Penuntut Umum secara lisan dipersidangan menyatakan tetap
pada tuntutannya, demikian pula Penasihat Hukum Terdakwa tetap pada
Permohonannya semula;
2. Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa dengan dakwaan tunggal
oleh Penuntut Umum tertanggal 20 Agustus 2010;
3. Menimbang, bahwa terhadap dakwaan Penuntut Umum tersebut,
Penasihat Hukum Terdakwa menyatakan telah mengerti dan tidak
mengajukan eksepsi;
4. Menimbang, bahwa untuk membuktikan dakwaannya Penuntut Umum di
Persidangan telah diajukan barang bukti berupa:
a. 1 (satu) buah Play Station 2;
b. 2 (dua) buah kabel Play Station 2;
c. 2 (dua) buah stik Plat Station 2.
49
5. Menimbang, bahwa selain barang bukti tersebut di atas Penuntut Umum
telah mengajukan saksi-saksi yang didengar keterangannya di
persidangan di bawah sumpah;
6. Menimbang, bahwa dipersidangan telah didengar keterangan Terdakwa;
7. Menimbang, bahwa dari hasil pemeriksaan persidangan berupa
pengajuan barang bukti, keterangan saksi-saksi, dan keterangan
terdakwa, akan dipertimbangkan apakah terhadap Terdakwa dapat secara
sah dan meyakinkan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum;
8. Menimbang, bahwa Terdakwa didakwa dengan dakwaan tunggal yaitu
melanggar pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUH Pidana sebagai berikut:
a. unsur “Barang siapa”;
b. unsur “mengambil sesuatu”
c. unsur “yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain”
d. unsur “yang dilakukan di waktu malam hari dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang
yang ada disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang
berhak”
e. unsur “yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk
sampai pada barang yang diambil dilakukan dengan merusak,
memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu,
perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
50
9. Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah
orang atau subyek hukum, yang sehat akal dan jasmaninya dan mampu
bertanggung jawab dari perbuatan yang dilakukannya;
10. Menimbang, bahwa dengan demikian maka hakim berpendapat bahwa
unsur “barang siapa” telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan;
11. Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “mengambil” adalah
bermaksud untuk menguasai barang yang sebelumnya belum ada
ditangannya dan barang tersebut telah berpindah tempat;
12. Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “sesuatu barang” adalah
segala sesuatu yang berujud ataupun tidak berujud, baik yang
mempunyai harga ekonomi maupun tidak;
13. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di persidangan bahwa pada hari
selasa tanggal 15 Juni 2010 sekitar jam 04.30 WIB Terdakwa ke rumah
saksi Nugroho dan membongkar jendela belakang lalu Terdakwa masuk
dengan memakai alat bantu bata untuk naik;
14. Menimbang, bahwa kemudian Terdakwa melompat masuk rumah dan
mengambil 2 (dua) buah Play Station 2, 2 (dua) buah kabel Play Station
2, dan 2 (dua) buah stik Play Station2 kemudian Terdakwa
memasukkan dalam tas plastik dan Terdakwa pulang ke rumah
melewati jendela lagi;
15. Menimbang, bahwa Terdakwa mengambil stik di dalam almari karena
Terdakwa tahu letak stik yang bagus di dalam almari dan almari
tersebut tidak dikunci;
51
16. Menimbang, bahwa pada hari Selasa tanggal 15 Juni 2010 sekitar jam
19.30 WIB saksi Nugroho pulang ke rumah;
17. Menimbang, bahwa kemudian saksi Nugroho melapor ke ketua RT
kemudian saksi Nugroho bersama istrinya saksi Kiswanti, saksi
Sidijono, saksi Solehan ke rumah Terdakwa dan ternyata ada PS 2, dua
stik, dua kabel yang mana nomor seri PS2 tersebut sama dengan milik
saksi Nugroho, namun saat itu Terdakwa tidak mengaku;
18. Menimbang, bahwa akibat perbuatan Terdakwa, saksi Nugroho
menderita kerugian sekitar Rp.1.500.000,-(satu juta lima ratus ribu
rupiah);
19. Menimbang, bahwa 1(satu) buah Play Station2, 2(dua) buah kabel Play
Station 2, dan 2 (dua) buah stik Play Station 2 merupakan benda
berujud yang memiliki nilai ekonomis;
20. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas hakim
berpendapat bahwa barang milik saksi Nugroho telah berpindah tempat
dari rumah saksi Nugroho dan barang tersebut memiliki nilai ekonomis;
21. Menimbang, bahwa dengan demikian maka Unsur “Mengambil sesuatu
barang” telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan;
22. Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para saksi dan Terdakwa
sendiri bahwa 1 (satu) buah Play Station2, 2 (dua) buah kabel Play
Station2, 2 (dua) buah stik Play Station 2 yang diambil Terdakwa
adalah milik korban Nurgoho Widianto;
52
23. Menimbang, bahwa dengan demikian maka Hakim berpendapat bahwa
Unsur “Yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain” telah
terpenuhi secara sah dan meyakinkan;
24. Menimbang, bahwa yang dimaksud melawan hak adalah terdakwa tidak
berhak, tidak ada ijin dari yang berwenang dan tidak dibenarkan
menurut Undang-Undang;
25. Menimbang, bahwa dengan demikian maka Hakim berpendapat bahwa
Unsur “dengan maksud akan memiliki barang dengan melawan hukum”
telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan;
26. Menimbang, bahwa Terdakwa mengambil barang milik saksi Nugroho
Widianto pada jam 04.30WIB yaitu pada malam hari dimana matahari
belum terbit;
27. Menimbang, bahwa denga demikian Unsur “yang dilakukan di waktu
malam hari dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada
rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui
atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
28. Menimbang, bahwa Terdakwa mengambil barang tersebut dengan cara
membongkar jendela belakang lalu Terdakwa masuk dengan memakai
alat bantu bata untuk naik;
29. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di atas tersebut Hakim
berpendapat bahwa Terdakwa telah mengambil barang milik saksi
Nugroho Widianto dengan cara membongkar jendela dan memanjat
dengan bantuan bata, dengan demikian maka unsur “yang untuk masuk
53
ketempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yang
diambil dilakukan dengan merusak, memotong, atau memanjat, atau
dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan
palsu” telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan;
30. Menimbang, bahwa karena unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 363
ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUHP telah terbukti, maka Hakim berpendapat
bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang didakwakan kepada
Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan oleh karenanya
harus dipidana;
31. Menimbang, bahwa berdasarkab Penelitian Kemasyarakatan dan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Kantor Wilayah Jawa
Tengah Balai Permasyarakatan (BAPAS) Semarang terhadap
Terdakwa, tertanggal 9 Juli 2010 memberikan kesimpulan sebagai
berikut:
a. klien (Nur Rohman bin Sugiyono) berusia 14 tahun 2 bulan,
tersangka pencurian PS2 di rumah/ rental PS milik Nugroho
Widianto (Psl 363 KUHP). Klien tidak ditahan tetapi menjalani
wajib lapor di Polsek Tingkir setiap hari senin dan kamis;
b. klien anak putus sekolah, ekonomi orang tuanya tergolong miskin
dan berpendidikan rendah sehingga berpengaruh terhadap
pengawasan klien;
c. motif klien mencuri PS2 karena ingin memiliki dan dipergunakan
untuk bermain sendiri;
54
d. klien baru pertama kali berurusan dengan aparat penegak hukum,
telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi lagi;
e. orang tua klien dan pamong setempat berharap masalah klien cepat
selesai serta klien mau belajar dari kasus ini. Proses hukum yang
sedang dijalani klien diharapkan bisa membuat klien jera dan tidak
mengulangi perbuatannya lagi. Mereka juga berharap klien diberi
keringanan hukuman;
f. dari kesimpulan di atas kami selaku Pembimbing Kemasyarakatan
memberikan saran klien dipidana bersyarat dalam Bimbingan Bapas
Klas I Semarang dan instansi terkait.
32. Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang
menuntut Terdakwa selama 2 (dua) bulan, Hakim berpendapat tuntutan
tersebut terlalu berat karena tidak sesuai dengan perbuatannya,
mengingat Terdakwa masih anak-anak dan Terdakwa telah menyesali
perbuatannya;
33. Menimbang, bahwa disamping itu maksud dan tujuan pemidanaan saat
ini adalah bukan upaya balas dendam atas perbuatan Terdakwa
melainkan sebagai upaya pembinaan agar Terdakwa menyadari
kekeliruannya dan memeperbaiki dirinya menjadi lebih baik
dikemudian hari;
34. Menimbang, bahwa terhadap diri Terdakwa terdapat kemampuan
bertanggung jawab atas perbuatannya dan tidak terdapat alasan pemaaf
ataupun pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum atas
55
perbuatannya, oleh karenanya sudah sewajarnya apabila kepada
Terdakwa dijatuhi pemidanaan yang sesuai dan setimpal dengan
kesalahannya;
35. Menimbang, bahwa ada alasan yang sah untuk memerintahkan setelah
putusan ini dijatuhkan, Terdakwa untuk ditahan;
36. Menimbang, bahwa barang bukti yang diajukan dalam perkara ini
merupakan barang milik saksi Nugroho yang keberadaannya di tangan
Terdakwa tanpa seijin pemikiknya, maka barang bukti tersebut haruslah
dikembalikan kepada pemiliknya yaitu saksi Nugroho Widianto;
37. Menimbang, bahwa dikarenakan Terdakwa terbukti bersalah, maka
kepadanya dibebankan pula untuk membayar biaya perkara;
38. Menimbang, bahwa sebelum putusan ini dijatuhkan, maka perlu
dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan Terdakwa.
Ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan dalam menegakkan
hukum yaitu: yuridis (kepastian hukum), filosofis (keadilan) dan sosiologis
(kemanfaatan). Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu
perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang
memperhatikan tiga nilai unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), filosofis
(keadilan) dan sosiologis (kemanfaatan)1. Ketiga unsur di atas harus
mendapat perhatian secara proposional dan seimbang.
1 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1991:134
56
B. ANALISIS
1. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Proses Penjatuhan Pidana
terhadap Anak pada Perkara No.08/PID.A/AN/2010/PN.SAL
berdasarkan Tinjauan Yuridis
Yuridis (kepastian hukum) menekankan agar hukum atau
peraturan itu ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi
hukum/ peraturannya. Faktor yuridis didasarkan atas fakta-fakta
hukum yang terungkap di persidangan. Fakta-fakta hukum diperoleh
selama proses persidangan yang didasarkan pada kesesuaian dari
keterangan saksi, keterangan terdakwa mapun barang bukti yang
merupakan satu rangkaian. Fakta hukum ini oleh hakim menjadi dasar
pertimbangan yang berhubungan dengan apakah perbuatan seorang
anak telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana yang didakwakan
kepadanya. Unsur-unsur ini akan menunjukkan jenis pidana yang telah
dilakukan si anak. Selain itu faktor yuridis ini juga berkaitan dengan
berat ringannya pidana yang dijatuhkan serta lamanya ancaman pidana.
Dalam kasus pencurian yang dilakukan oleh terdakwa Nur
Rohman bin Sugiyono, sebagaimana diketahui bahwa hakim telah
menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 1 (satu) bulan.
Berdasarkan landasan yuridis, menurut penulis penjatuhan pidana
terhadap terdakwa kurang tepat. Pidana penjara yang diberikan oleh
hakim terhadap terdakwa menunjukkan bahwa hakim dalam
memutuskan perkara lebih mengacu pada Pasal 22 UU No3 Th 1997
57
tentang Peradilan Anak. Penjatuhan penjara ini menunjukkan bahwa
pidana hanya dipandang sebagai usaha untuk menanggulangi kejahatan,
bahkan terkadang pemidanaan dipandang sebagai pembalasan. Hal ini
terlihat dari dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
penjara lebih mengarah pada hal-hal yang memberatkan setiap perkara
anak nakal yakni bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anak cukup
meresahkan masyarakat. Padahal semestinya hakim perlu juga
mempertimbangkan secara bijak hal-hal yang dapat meringankan
terdakwa seperti dalam kasus ini adalah bahwa terdakwa bersikap sopan
dan mengakui terus terang perbuatannya sehingga melancarkan
jalannya persidangan, terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya,
dan terdakwa masih muda usianya sehingga diharapkan bisa
memperbaiki perilakunya kelak di kemudian hari.
Sesungguhnya dalam pembangunan hukum pidana positif
Indonesia, selain sanksi Pidana memang telah diakui keberadaan sanksi
Tindakan, walaupun dalam KUHP menganut Single Track System yang
hanya mengatur tentang satu jenis saja yaitu sanksi Pidana (Pasal 10
KUHP). Pengancaman sanksi Tindakan dalam UU No.3 Tahun 1997
menunjukkan bahwa ada sarana lain selain pidana sebagai sarana dalam
penanggulangan kejahatan. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada
perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang
bersangkutan menjadi jera); maka fokus sanksi tindakan terarah pada
upaya memberi pertolongan agar dia berubah. Jika sanski pidana
58
bertujuan memberi penderitaan istimewa kepada pelanggar supaya ia
merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan kepada pengenaan
penderitaan terhadap pelaku, sanski pidana juga merupakan bentuk
pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Sedangkan sanksi
tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Jika ditinjau dari sudut
teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang
tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni
melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan
kepentingan masyarakat itu.
Sehubungan dengan pemahaman tersebut di atas, berdasar pada
UU No3 Th 1997 tentang Peradilan Anak, akan lebih baik jika hakim
dalam memutuskan perkara pencurian yang dilakukan terdakwa lebih
mengacu kepada Pasal 24 ayat (1) yakni dengan memberikan tindakan
berupa: (a) mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh,
(b) menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan dan latihan kerja atau, (c) menyerahkan kepada Departemen
Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang
pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Hakim juga semestinya dalam memutuskan perkara pencurian
yang dilakukan terdakwa perlu memperhatikan Pasal 45 KUHP yaitu
bahwa dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa
yang berumur di bawah enam belas tahun karena melakukan suatu
perbuatan, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang
59
bersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, watinya atau
pemeliharanya, tanpa dikenakan suatu pidana apa pun; atau
memerintahkan supaya yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah
tanpa pidana apa pun.
Mengingat anak yang bersinggungan dengan hukum, tidak
hanya sebagai pelaku tetapi juga korban (victimogen) atas perbuatan
yang dilakukan, maka hakim dalam memutus perkara anak harus
memahami dengan benar kedudukan anak tersebut, sehingga putusan
yang dijatuhkan semata-mata demi untuk kepentingan anak (the best
interest of child).
Penjatuhan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana
haruslah diperlakukan berbeda dengan orang dewasa, oleh karena itu
perlu diperhatikan pendekatan khusus dalam menangani anak. Disini
hakim sebaiknya tidak terburu-buru memandang anak yang melakukan
tindak pidana tersebut sebagai seorang penjahat, hakim juga sebaiknya
memikirkan bentuk hukuman yang sifatnya mendorong perbaikan
dalam diri anak dan dapat mewujudkan kesejahteraan anak. Putusan
hakim tidak boleh sekedar memenuhi formalitas hukum, apalagi
sekedar memelihara ketertiban, menanggulangi kejahatan, atau bahkan
sebagai bentuk pembalasan. Dengan demikian putusan pidana penjara
terhadap terdakwa dalam kasus pencurian sebagaimana tertuang pada
Perkara No.08/PID.A/AN/2010/PN.SAL menurut penulis kurang tepat.
60
Oleh karena itu ada baiknya pendekatan yang digunakan oleh
hakim dalam memutuskan perkara pencurian yang dilakukan oleh anak
bisa mengacu pada pendapat Muladi dan Barda Nawawi Arief sebagai
berikut:2
a. Anak yang melakukan tindak pidana/kejahatan (juvenile offender)
jangan dipandang sebagai seorang penjahat (criminal), tetapi harus
dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih
sayang.
b. Pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan
pendekatan persuasif-edukatif dan pendekatan kejiwaan (psikologis)
yang berarti menghukum, yang bersifat degradasi mental dan
penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses
stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan,
kematangan dan kemandirian anak dalam arti yang wajar.
Hukum memang pada dasarnya bersifat normatif dan setiap
aturannya dibuat untuk mengatur masyarakat dan hukum harus
dijalankan sebagaimana mestinya keberlakuan hukum tersebut. Tetapi
selain mengedepankan pertimbangan normatif, seharusnya hukum juga
mempertimbangkan faktor bahwa terdakwa adalah anak dibawah umur.
Karena biar bagaimanapun juga anak yang melakukan tindak pidana
tetaplah seorang anak yang dalam melakukan sesuatu mereka lebih
mengedepankan perasaan daripada logika. Dan hal ini membuat
2 Muladi dan Barda Nawawi, Teori‐Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984 : 2
61
mereka terkadang tidak mengerti akibat apa yang akan mereka dapatkan
dari perbuatan yang telah mereka lakukan. Sehingga, hukum
seharusnya bisa berlaku lebih fleksibel agar tidak terkesan kaku dan
menjadi alat penguasa untuk memenuhi kepentingannya.
Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul keresahan.
Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum atau dengan kata
lain terlalu ketat mentaati hukum akibatnya akan kaku dan akan
menimbulkan rasa ketidakadilan. Dengan demikian meskipun sanksi
pidana penjara terhadap anak dapat saja dipilih oleh hakim dalam
mengambil keputusan, namun alangkah baiknya seorang hakim juga
harus melihat kemanfaatan penahanan tersebut dari sisi filosofis (nilai-
nilai keadilan) dan dari sisi sosiologis (kemasyarakatan) baik untuk si
anak selaku terdakwa maupun untuk masyarakat, hal ini karena
terdakwa juga mempunyai hak atas keadilan.
2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Proses Penjatuhan Pidana
terhadap Anak pada Perkara No.08/PID.A/AN/2010/PN.SAL
berdasarkan Tinjauan Filosofis
Suatu kaidah hukum dapat dikatakan berlaku secara filosofis
apabila kaidah itu sesuai atau tidak bertentangan dengan cita-cita
hukum suatu masyarakat sebagai nilai positif tertinggi dalam falsafah
hidup masyarakat itu. Dalam hal falsafah hidup masyarakat Indonesia,
yang dijadikan ukuran tentunya adalah falsafah Pancasila yang dalam
62
studi hukum dikenal sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam
konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
Indonesia.3 Penjabaran nilai-nilai Pancasila di dalam hukum
mencerminkan suatu keadilan yang diinginkan oleh masyarakat
indonesia.
Nilai dasar keadilan juga harus ada dalam sebuah putusan hakim
bersamaan dengan adanya kepastian hukum karena orang-orang yang
berperkara di pengadilan datang untuk mencari sebuah keadilan tidak
hanya kemenangan dalam siding semata. Hakim sebagai pembuat
keputusan tidak dapat hanya langsung mengambil dari Undang-Undang
(hakim menjadi corong Undang-Undang) tapi hakim harus
menggunakan perasaan dan hati nuraninya di dalam memutuskan
sebuah perkara karena dengan adanya keadilan berbarengan dengan
kepastian hukum maka hukum di Indonesia dapat ditegakkan dengan
seadil-adilnya.
Hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai keadilan,
sehingga dalam penegakkan hukum hendaknya memberikan rasa
keadilan bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya rasa keadilan itu
sendiri bersifat subyektif dan individualistis.
Dalam kasus pencurian yang dilakukan oleh terdakwa Nur
Rohman bin Sugiyono, sebagaimana diketahui bahwa hakim telah
menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 1 (satu) bulan.
3 Jimly Assiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia : Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana
dalam Tradisi Hukum Fiqh dan relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan Hukum KUHP Nasional,
Bandung:Angkasa, 1995 : 12
63
Berdasarkan landasan filosofis, menurut penulis penjatuhan pidana
terhadap terdakwa kurang tepat. Unsur keadilan bagi terdakwa
sepertinya kurang mendapatkan perhatian dari Hakim dalam
menjatuhkan putusannya tersebut. Setidaknya keadilan legal (legal
justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan sosial (social
justice) tidak diperoleh terdakwa dalam kasus ini.
Keadilan legal (legal justice) merujuk pada keadilan yang sesuai
dengan hukum. Pandangan ini dapat dilihat dari peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang
mencerminkan keadilan hukum negara dalam bentuk formal. Akan
tetapi adil tidaknya suatu peraturan perundang-undangan atau putusan
hakim sangat pula ditentukan oleh representasi keadilan moral (moral
justice) dan keadilan sosial (social justice), sebagai dua sudut pandang
yang lain melihat keadilan itu sendiri. Dalam kasus anak nakal seperti
dalam kasus yang diamati dalam penelitian ini, tampaknya kurang adil
jika atas perbuatannya, terdakwa harus menerima sanksi pidana penjara,
disaat masih ada pilihan bentuk sanksi tindakan yang juga secara legal
tercantum dalam peraturan perundan-undangan dalam hal ini khususnya
Pasal 10 KUHP dan Pasal 24 ayat (1) UU No3 Th 1997 tentang
Peradilan Anak.
Keadilan moral (moral justice) tidak lain dari keadilan yang
berdasarkan moralitas yang berbicara tentang baik dan buruk. Moralitas
dapat dilihat dari berbagai sumber seperti kriminologi maupun
64
psikologi. Dari sisi kriminologi, seseorang yang tidak tunduk pada
hukum (termasuk dalam terdakwa dalam kasus pencurian) bukan hanya
karena ia tidak mengetahui peraturan perundang-undangan, tetapi juga
karena faktor-faktor yang mempengaruhi dirinya. Salah satu
argumentasi adalah bahwa seseorang bisa melanggar hukum karena
lingkungan pergaulan mendorongnya untuk melakukan kejahatan.
Dalam kasus anak nakal seperti dalam kasus yang diamati dalam
penelitian ini, seringkali motif kejahatan yang dilakukan lebih
disebabkan oleh faktor di luar diri anak, seperti pengaruh lingkungan
pergaulan, keluarga, sekolah, hingga tuntutan gaya hidup di lingkungan
pertemanan. Dengan demikian tampaknya kurang adil jika atas
perbuatannya, terdakwa harus menerima sanksi pidana penjara, disaat
masih ada pilihan bentuk sanksi tindakan yang dapat lebih mendidik
moral anak tersebut. Dari sisi psikologis, hakim semestinya perlu
memiliki pemahaman terhadap psikologis anak, tidak saja pada saat
anak melakukan suatu tindak pidana namun hakim juga harus
memahami anak nakal dari suatu perspektif psikologi anak setelah
dipidana. Persepsi hakim dalam memahami psikologis anak setelah
anak tersebut dijatuhi pidana sangat perlu untuk diperhatikan. Perhatian
ini berhubungan dengan dampak atau akibat yang ditimbulkan terhadap
anak setelah anak tersebut dipidana dari segi kejiwaan/ psikis. Jika
hakim tidak memperhatikan perkembangan jiwa anak setelah
menjalani pidana maka dikhawatirkan perkembangan jiwa anak tidak
65
semakin baik melainkan semakin buruk. Dengan demikian tampaknya
kurang adil jika atas perbuatannya, terdakwa harus menerima sanksi
pidana penjara, disaat masih ada pilihan bentuk sanksi tindakan yang
tidak memberikan dampak buruk bagi perkembangan jiwa anak
tersebut.
Terkait dengan keadilan sosial (social justice), hakim
seharusnya menyadari bahwa ia tidak hidup di singgasana melainkan
hidup bersosialisasi dengan masyarakat lingkungannya yang bersifat
heterogen. Oleh karenanya sudah sepatutnya hakim wajib menggali
nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dengan demikian hakim
dalam menegakkan hukum positif dapat mewujudkan keadilan sosial,
sehingga putusan hakim dalam perkara tindak pidana anak berdimensi
memberikan keadilan bagi kepentingan anak tersebut, juga kepada
lingkungan sosialnya termasuk orang tua, wali atau orang tua asuhnya
serta masyarakat sekitarnya. Putusan yang adil itu tentunya akan dapat
mempengaruhi tumbuh kembang dari anak selaku terdakwa demi masa
depan perkembangan intelektual, sosial dan emosionalnya. Dengan
kata lain, putusan hakim yang memenuhi unsur keadilan sosial maka
akan menjamin perlindungan hak anak tanpa mengesampingkan
kepastian hukum, sehingga supremasi hukum tetap ditegakkan terhadap
anak sehingga kelak ia bisa berguna bagi bangsa dan negara guna
meraih tujuan bernegara yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Dengan demikian dalam kasus pencurian yang dikaji dalam
66
penelitian ini, tampaknya kurang adil jika atas perbuatannya, terdakwa
harus menerima sanksi pidana penjara, disaat masih ada pilihan bentuk
sanksi tindakan yang dapat saja lebih mencerminkan unsur keadilan
sosial.
Penjatuhan pidana penjara yang kurang selektif atau
mengabaikan asas ultimum remedium bertentangan dengan ketentuan
ketentuan dalam The Riyadh Guidelines yang menyatakan bahwa
pidana penjara hanya dapat dijatuhkan berdasarkan pertimbangan
bahwa orang tua anak tersebut tidak dapat memberikan jaminan
perlindungan. Selain itu diperlukan pemahaman yang baik dari hakim
akan filosofi pemidanaan anak. Jika filosofi pemidanaan anak
dipahami secara benar oleh hakim anak, diantisipasi penjatuhan pidana
penjara terhadap anak nakal dapat dieliminasi.
Pada akhirnya, terkait dengan dasar filosofis ini alangkah
baiknya jika hakim perlu mengingat bahwa penafsiran terhadap kaedah
hukum ditujukan untuk mencapai tujuan hukum yaitu terciptanya
keadilan dalam masyarakat. Tuntutan keadilan yang diajukan
masyarakat agar penerapan hukum sesuai dengan apa yang dianggap
adil oleh masyarakat dalam setiap kasus pidana di depan hakim. Ini
biasanya terkait dengan situasi konkrit dan kondisi sosial setempat.
Masyarakat tidak akan menilai menurut prinsip-prinsip abstrak sebagai
dirumuskan hukum, melainkan menurut apa yang dalam situasi konkrit
terasa adil. Jadi tuntutan keadilan disini agar hakim mempunyai
67
kebebasan penuh untuk memperhatikan semua unsur konkrit dalam
kasus yang dihadapi.
Dapat saja putusan hakim sesuai dengan norma-norma hukum,
tapi tidak sesuai dengan keadilan menurut pandangan masyarakat.
Dalam kondisi dan situasi demikian maka hakim hendaklah
membebaskan diri pengaruh tekanan baik yang datang dari pemerintah,
maupun pejabat pembuat undang – undang serta pada rasa keadilan
yang dirumuskan waktu itu, yaitu apa yang dirasakan adil menurut
perasaan keadilan hakim itu sendiri.
3. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Proses Penjatuhan Pidana
terhadap Anak pada Perkara No.08/PID.A/AN/2010/PN.SAL
berdasarkan Tinjauan Sosiologis
Nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi
masyarakat. Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum
harus memberi manfaat, hukum dibuat adalah untuk manusia, maka
dalam melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan
keresahan dalam masyarakat.4
Putusan hakim juga harus memenuhi unsur nilai dasar
kemanfaatan dalam putusan hakim karena putusan hakim selain
memenuhi unsur kepastian hukum dan keadilan juga harus bermanfaat
bagi seluruh pihak dan tidak berpihak kepada siapapun sehingga dapat
4 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1991
68
dijadikan referensi oleh hakim lain untuk memutuskan suatu perkara
dalam materi yang sama (yurisprudensi).
Dasar sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial
mengapa seorang anak melakukan suatu tindak pidana. Dasar
pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi terhadap anak nakal ini,
diperoleh dari laporan kemasyarakatan yang didapat dari BAPAS.
Laporan kemasyarakatan ini berisikan mengenai data individi anak,
keluarga, pendidikan dan kehidupan sosial serta kesimpulan dari
pembimbing kemasyarakatan. Dalam Undang-Undang Pengadilan
Anak, pembacaan laporan kemasyarakatan ini telah diatur dalam Pasal
56 UU No3 Th 1997, sehingga laporan kemasyarakatan ini menjadi
pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi. Faktor sosiologis ini
menjadi juga menjadi dasar pertimbangan hakim akan pengaruh bentuk
sanksi yang dijatuhkan di masa yang akan datang terhadap anak nakal,
sehingga bentuk sanksi yang diambil akan dipertimbangankan matang-
matang.
Dalam kasus pencurian yang dilakukan oleh terdakwa Nur
Rohman bin Sugiyono, sebagaimana diketahui bahwa hakim telah
menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 1 (satu) bulan.
Berdasarkan landasan sosiologis, menurut penulis penjatuhan pidana
terhadap terdakwa kurang tepat. Hal ini terlihat dimana hakim bisa
dikatakan kurang mempertimbangkan dengan baik hasil penelitian
kemasyarakatan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
69
Kantor Wilayah Jawa Tengah Balai Pemasyarakatan (BAPAS)
Semarang terhadap terdakwa dalam mengambil keputusannya.
Beberapa poin dalam hasil penelitian BAPAS Semarang yang dapat
saja tidak dipertimbangan secara baik oleh hakim diantaranya: (a) klien
tidak ditahan tetapi menjalani wajib lapor di Polsek Tingkir setiap hari
Senin dan Kamis, (b) klien baru pertama kali berurusan dengan aparat
penegak hukum, telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak
mengulangi lagi, (c) motif klien mencuri PS2 karena ingin memiliki dan
dipergunakan untuk bermain saja, (d) Orang tua berharap agar klien
diberi keringanan hukuman.
Dalam kenyataannya, anak pidana yang ditempatkan di lembaga
pemasyarakatan dapat menimbulkan resiko yang besar bagi anak.
Mengingat bahwa kondisi di Lembaga Pemasyarakatan, baik sarana
dan prasarananya sangat kurang. Lembaga Pemasyarakatan menjadi
tempat berkumpulnya para narapidana yang melakukan berbagai
macam kejahatan. Dengan demikian, akan sangat berbahaya bagi anak
nakal yang dikumpulkan menjadi satu di tempat seperti itu.
Seharusnya, pemberian pidana penjara merupakan upaya
terakhir atau ultimum remedium dan berorientasi pada kesejahteraan
anak. Pemberian pidana walaupun dalam jangka waktu pendek dapat
memberikan dampak yang buruk kepada pelaku dalam hal ini anak
yang harus dilindungi kepentingannya (masa depan anak). Setidaknya
70
ada dua dampak buruk yang harus ditanggung anak sebagai dampak
dari putusan pidana penjara yang diberikan oleh hakim, yaitu:
1. Dehumanisasi
Yaitu proses pengasingan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap
mantan narapidana (anak). Dehumanisasi hakikatnya merupakan
penolakan terhadap kehadiran seorang mantan narapidana baik secara
psikis maupun secara sosiologis. Dengan demikian, dehumanisasi akan
menempatkan mereka dalam keterasingan terhadap lingkungannya.
2. Stigmatisasi
Stigmatisasi pada dasarnya merupakan pemberian label atau cap jahat
kepada mereka yang pernah mengalami penerapan pidana khususnya
pidana perampasan kemerdekaan. Dalam konteks masyarakat,
stigmatisasi tidak dapat dihindarkan, mengingat kultur masyarakat yang
tidak begitu bersahabat dengan mantan narapidana. Stigmatisasi oleh
masyarakat justru seringkali menjadi social punishment yang jauh lebih
berat ketimbang pidana yang diberikan oleh lembaga pengadilan, sebab
stigmatisasi biasanya berlangsung dalam waktu yang cukup lama,
bahkan seumur hidupnya.
Melihat dampak negatif di atas, maka hakim yang diminta oleh
UU Pengadilan Anak yang diyakini lebih memahami segala hal ikhwal
anak, seharusnya tidak begitu saja menjatuhkan pidana penjara yang di
dalam aturan positif Indonesia adalah sebagai upaya yang terakhir.
Terkait kasus anak nakal, hakim sebaiknya harus lebih bijak melihat
71
bahwa putusan yang diberikan semata-mata memperhatikan
kepentingan yang terbaik bagi anak sebagai asas yang mendasar yang
berlau universal terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Hal
tersebut mengingat dampak negatif pidana perampasan kemerdekaan
yang dapat menghambat perkembangan fisik, psikis, dan sosial anak.