Upload
yokosimanjuntak
View
4.145
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Karya Katarina Retno Tri Wulandari, S. Pd.
Citation preview
BAB 1
PEMBUKAAN
1. Latar Belakang
Sebuah karya sastra dapat ditelaah dengan berbagai cara. Cara yang
dapat digunakan untuk menelaah karya sastra antara lain dengan
menggunakan teori strukturalisme, stilistika, semiotika, feminisme, dan yang
lain. Teori tersebut memberikan berbagai masukan mengenai cara menelaah
karya sastra. Setiap teori (pendekatan) memiliki perbedaan dan persamaan
yang pada akhirnya sama-sama mengkaji sebuah karya sastra.
Salah satu teori yang telah disebutkan sebelumnya adalah strukturalisme.
Sesuai dengan namanya, teori ini berkeyakinan bahwa karya sastra dapat
dibongkar strukturnya. Artinya, kajian terhadap sebuah karya sastra dilakukan
dengan memperhatikan karya sastra itu sendiri sebagai sebuah output yang
mandiri. Karya sastra menurut teori ini merupakan sebuah karya yang otonom
(berdiri sendiri) sehingga analisis terhadap karya sastra itu dilakukan dengan
memperhatikan unsur yang ada di dalam karya sastra itu saja.
Teori strukturalisme kemudian bergabung dengan pandangan marxisme.
Marxisme adalah sebuah pandangan yang tidak mempercayai bahwa sebuah
teks adalah sesuatu yang otonom atau berdiri sendiri. Marxisme mempercayai
bahwa sebuah teks (termasuk di dalamnya karya sastra) merupakan suatu
sistem ideologi yang tidak dapat dilepaskan dari pertarungan kekuatan-
kekuatan sosial di dalam masyarakat dalam memperebutkan penguasaan
mereka atas sumber-sumber ekonomi yang terdapat di dalam lingkungan
sekitar mereka (Hudayat, 2007: 62).
Penggabungan teori strukturalisme dengan pandangan maxisme
menghasilkan strukturalisme genetik. Maka, strukturalisme genetik
merupakan sebuah kajian sastra dengan menelaah struktur yang terdapat di
dalam karya sastra itu (karya sastra sebagai karya yang otonom) dan sekaligus
menelaah kajian sosiokultural pengarangnya, dan sosiokultural yang terjadi
pada saat karya sastra itu terbit. Hal inilah yang nantinya dikenal dengan
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 1
mengkaji karya sastra berdasarkan struktur intrinsik dan ekstrinsik karya
sastra itu.
Bilangan Fu salah satu karya Ayu Utami. Ayu Utami memenangkan
sayembara penulisan Roman (Novel) Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998
untuk novel pertamanya berjudul Saman. Saman telah diterbitkan dalam enam
bahasa asing. Novel tersebut juga memenangkan Prince Claus Award dari
Belanda pada tahun 2000, sementara Bilangan Fu meraih penghargaan
Khatulistiwa Literary Award 2008.
Sampai saat ini Ayu Utami telah menghasilkan Saman (KPG, 2008),
Larung (KPG,2001), kumpulan kolom Si Parasit Lajang (Gagas Media:
2003), naskah drama Sidang Susila (2008), Bilangan Fu (KPG: 2008).
Sedangkan novel terbaru Ayu Utami adalah Manjali dan Cakrabirawa yang
merupakan roman pertama misteri seri Bilangan Fu, yaitu serial yang
berhubungan dengan novel Bilangan Fu (http://ayuutami.com/, diakses 7
September 2010).
Peneliti tertarik mengkaji novel Bilangan Fu karya Ayu Utami ini
didasarkan pada beberapa alasan berikut
a. Ayu Utami adalah seorang penulis muda yang mendapat banyak
pujian dan sekaligus banyak mendapat celaan. Berbagai ulasan di internet
menjuluki Ayu Utami sebagai sastrawan sastrawangi. Hal tersebut
dikarenakan novel Ayu Utami banyak mengangkat kisah seputar sex dan
sexualitas.
b. Ayu Utami beragama Katolik. Dalam novelnya, peneliti menemui
banyak nuansa agama Katolik walaupun Ayu Utami tidak menyatakan ke-
katolik-annya secara langsung.
c. Pada novel Bilangan Fu, Ayu Utami juga mengangkat kisah yang
(dalam interpretasi peneliti) serupa dengan kisah Yesus dan 12 rasulnya.
Hal ini dibuktikan dengan adanya kisah kotbah di bukit yang juga mirip
dengan kisah yang sama yang terdapat di Alkitab. Nama tokoh utamanya
(Yudha) disampaikan Ayu dapat menyerupai Yudas (terutama jika
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 2
diucapkan sambil mendesis). Selain itu, sifat Yudha yang suka bertaruh
serupa dengan sikap Yudas Iskariot, murid Yesus yang menghianati-Nya.
d. Ayu Utama menyatakan bahwa novelnya ini merupakan novel
spiritualisme kritis. Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti tertarik
untuk menyelaminya lebih dalam melalui strukturalisme genetik.
e. Kisah dalam Bilangan Fu menurut peneliti merupakah kisah yang
didasari dengan riset yang cukup dalam. Oleh sebab itu, teori
strukturalisme genetik dianggap cocok untuk dijadikan dasar
penganalisisan Bilangan Fu.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian
ini adalah bagaimanakah kajian Bilangan Fu dengan menggunakan teori
strukturalisme genetik?
Selanjutnya rumusan masalah di atas dibagi menjadi beberapa rumusan
masalah berikut
a. Bagaimana analisis data yang berhubungan dengan struktur Bilangan
Fu melalui hubungan antar tokoh dan tokoh dengan lingkungannya?
b. Bagaimana analisis hubungan kehidupan sosial Ayu Utami sebagai
pengarang dengan novel Bilangan Fu?
c. Bagaimana analisis latar belakang sejarah yang melahirkan Bilangan
Fu?
d. Bagaimana hubungan pandangan Ayu Utami terhadap masyarakat luas
(Indonesia) dalam Bilangan Fu?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguraikan kajian Bilangan Fu dengan
menggunakan pendekatan strukturalisme genetik. Secara spesifik, tujuan
penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 3
a. Mengetahui hasil analisis data yang berhubungan dengan struktur
Bilangan Fu melalui hubungan antar tokoh dan tokoh dengan
lingkungannya.
b. Mengetahui hasil analisis hubungan kehidupan sosial Ayu Utami
sebagai pengarang dengan novel Bilangan Fu.
c. Mengetahui hasil analisis latar belakang sejarah yang melahirkan
Bilangan Fu.
d. Mengetahui hasil analisis hubungan pandangan Ayu Utami terhadap
masyarakat luas (Indonesia) dalam Bilangan Fu.
4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dapat dibagi menjadi manfaat teoritis dan manfaat
praktis. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah
a. menambah wawasan dan pengetahuan pembaca berkaitan
pengaplikasian teori strukturalisme genetik pada novel, dalam hal ini pada
novel Bilangan Fu,
b. menjadi sumber referensi bagi peneliti lain yang tertarik pada
bidang kajian yang sama.
Manfaat praktis penelitian ini adalah
a. sebagai sumbangan pemikiran kepada pembaca berkaitan
pengaplikasian teori strukturalisme genetik pada novel Bilangan Fu,
b. hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi
berkaitan dengan analisis strukturalisme genetik pada novel Bilangan Fu.
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 4
BAB 2
LANDASAN TEORI
1. Kajian Penelitian yang Relevan
a. Penelitian Strukturalisme Genetik
1) Penelitian berjudul “Strukturalisme Genetik
Asmaraloka”, karya Gustaf Sitepu, mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Medan
(http://repostory.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 5783/1/
09E01966.pdf, diakses 7 September 2010).
Lima hasil penelitian Gustaf Sitepu adalah
a) Dalam menghadapi persoalan, tokoh-tokoh novel
Asmaraloka melakukan penyerahan sepenuhnya kepada otoritas
Tuhan. Salat dan zikir merupakan jalan keluar yang dilakukan para
tokoh novel dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh tiap
tokoh.
b) Sesuai dengan latar kehidupan sosialnya, Danarto dalam
novel Asmaraloka berusaha memperjuangkan nilai-nilai sosial
yang dianutnya.
c) Yang melatarbelakangi lahirnya novel Asmaraloka karya
Danarto adalah perang antaretnis dan kerusuhan sosial yang terjadi
di Indonesia pada tahun 1998.
d) Melalui novel Asmaraloka, Danarto berpandangan bahwa
untuk keluar dari krisis moral akibat permusuhan antargolongan
diperlukan kesadaran penyucian hati semua manusia Indonesia.
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 5
e) Dalam novel Asmaraloka terdapat 182 proses mental.
Proses mental persepsi mempunyai persentase yang tinggi, yakni
80 klausa atau 43,95%. Sedangkan proses mental afeksi sebanyak
57 klausa atau 31,32% dan proses mental kognisi sebanyak 45
klausa atau 24,73%. Tingginya persentase proses mental persepsi
yang diikuti proses mental afeksi menunjukkan bahwa Danarto
ingin menggambarkan dengan gamblang bagaimana keadaan jiwa
para tokoh yang merasa frustasi dalam menghadapi suasana perang
yang tidak senyatanya.
2) Penelitian berjudul “Analisis Strukturalisme Genetik
Dalam Roman Germinal Karya Emile Zola”, karya Agung Wijayanto,
mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
(http://lib.unnes.ac.id/4503/, diunduh pada 2 November 2011).
Hasil penelitian Agung Wijayanto adalah tema pokok dalam
roman Germinal ini adalah penderitaan yang dialami kaum buruh
tambang Voreux viii sebagai akibat eksploitasi dari kaum borjuis.
Tokoh utama dalam roman ini adalah Etienne Lantier. Tokoh
tambahan dalam roman ini adalah Maheu, La Maheude, Catherine,
Chaval, Hennebeau, Bonnemort, Souvarine, dan Rasseneur. Germinal
beralur maju atau progressif karena roman ini dimulai dari awal cerita
hingga akhir tanpa adanya cerita pengulangan. Dalam roman Germinal
rangkaian peristiwa yang ditampilkan berlangsung di komplek
pertambangan Montsou dan di pemukiman Deux cents quarante yang
keduanya terletak di Anzin. Dalam fakta kemanusiaan membahas
mengenai konteks sejarah pada masa kekaisaran kedua pada abad XIX.
Dalam Subjek Kolektif membahas tentang perbedaan yang sangat
mencolok antara kehidupan buruh tambang dengan kehidupan borjuis.
Dalam Pandangan Dunia Pengarang membahas tentang ideologi Emile
Zola yang menganut sosialisme dan penggambaran ideologi Emile
Zola melalui tokoh utama yaitu Etienne Lantier. Dalam proses
Dialektika, tesis ditimbulkan oleh Kapitalisme. Tujuan dari
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 6
kapitalisme adalah uang yang artinya mengumpulkan pundi-pundi
uang untuk kaum borjuis sebagai pemilik modal. Kaum borjuis
menggunakan watak kapitalismenya melalui eksploitasi dan akumulasi
untuk mempertahankan kekayaannya, tetapi cara tersebut
menimbulkan kesengsaraan bagi buruh. Sikap-sikap dari kapitalisme
menimbulkan antithesis dari sosialisme. Dalam novel Germinal
terdapat dua aliran sosialisme yaitu Marxisme dan Anarkisme.
Marxisme menggunakan diskusi dan jalan damai untuk mencapai
tujuan mereka. Ternyata cara yang digunakan oleh Marxisme tidak
efektif dan membuang-buang waktu saja. Kemudian timbul antithesis
dari Anarkisme yang menggunakan cara-cara anarki untuk mencapai
tujuan mereka. Dalam novel Germinal tidak ditemukan sintesisnya,
karena tidak ada yang dapat menyatukan antara Kapitalisme,
Marxisme, maupun Anarkisme dan masing-masing paham tersebut
mempunyai jalan keluar sendiri-sendiri.
3) Penelitian berjudul “Strukturalisme Genetik Drama
Panembahan Reso Karya W.S. Rendra”, karya Budi Waluyo,
mahasiswa Program Pendidikan Bahasa Indonesia, Program
Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta
(http://pasca.uns.ac.id/?p=1028, diunduh pada 2 November 2011).
Hasil temuan penelitian dengan pendekatan strukturalisme
genetik menunjukkan bahwa: (1) Pandangan dunia Rendra terhadap
naskah drama Panembahan Reso, bahwa naskah drama ini sarat
dengan kritik sosial atas keadaan negeri ini; (2) struktur drama
Panembahan Reso yang terdiri dari plot atau kerangka cerita,
penokohan atau perwatakan, dialog atau percakapan, setting atau
tempat kejadian, tema atau nada dasar cerita, amanat atau pesan
pengarang, petunjuk teknis dan konflik tersusun dengan sangat
menarik dan memiliki keterjalinan yang erat sehingga drama
Panembahan Reso karya W.S. Rendra tergolong sebagai drama yang
baik; (3) ketimpangan dan kesewenang-wenangan panguasa pada masa
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 7
orde baru menjadi latar belakang terciptanya naskah drama ini; (4)
pandangan W.S. Rendra terhadap suksesi atau pergantian kekuasaan
pada drama Panembahan Reso terdapat kelemahan yaitu adanya
pemimpin yang berkuasa terlalu lama dan kurangnya kebebasan
berpendapat; dan (5) ada persamaan dan perbedaan antara drama
Panembahan Reso karya Rendra dengan drama Macbeth karya
William Shakespeare, dan sekaligus ada nuansa keterpikatan Rendra
terhadap karya-karya William Shakespeare.
4) Penelitian Virry Grinitha berjudul “Analisis
Strukturalisme Genetik Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya
Ananta Toer”, mahasiswa Universitas Bengkulu
(http://library.unib.ac.id/koleksi/Virry%20 Grinitha-Abst-FKIP-
PendBIN-Des2010.pdf, diunduh pada 2 November 2011).
Hasil penelitian Virry Grinitha adalah tokoh‐tokoh yang
terdapat pada novel Bumi Manusia dalam menghadapi problemnya
dengan perjuangan, nilai‐nilai perjuangan tersebut diharapkan
mengingat kita bahwa semua orang mempunyai hak yang sama dan
orang lain harus menghormati hak‐hak tersebut tanpa melihat ras,
status sosial,bangsa maupun jenis kelamin, sesuai dengan sosiologis
Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia serta sejarah yang
melatarbelakangi lahirnya novel Bumi Manusia karya Pramoedya
Ananta Toer.
5) Ulasan dari Dwi Vian yang merupakan anggota
komunitas sastra (dan pertunjukan drama) Komunitas Segogurih,
berjudul “Tinjauan Strukturalisme Genetik terhadap Lakon BLEG-
BLEG THING”
(http://komunitassegogurih.wordpress.com/2011/07/23/tinjauan-
strukturalisme-genetik-terhadap-lakon-%E2%80%9Cbleg-bleg-thing
%E2%80%9D/, diunduh pada 2 November 2011).
Hasil penelitiannya Dwi Vian adalah naskah BLEG-BLEG
THING karya Yusuf Peci Miring merupakan naskah yang berkisah
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 8
tentang masyarakat kelas bawah yang selalu tertindas dan ditindas.
Jika dikaji melalui pendekatan struktural genetik naskah ini bisa
mewakilkan keadaan sosial masyarakat miskin kota. Dalam naskah ini
pengarang yang memiliki latar belakang social sebagai pekerja LSM
yang umumnya bergerak di bidang masyarakat miskin, benar-benar
bisa menggambarkan bagaimana nasib masyarakat miskin kota.
Naskah ini sarat dengan kritik-kritik sosial, dan pengarang juga
mengkritik pemerintah.
Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang
telah diuraikan di atas terleak pada bahan bakunya. Teori yang digunakan
adalah teori strukturalisme genetik, namun diaplikasikan pada novel yang
berbeda.
b. Penelitian Novel Bilangan Fu
1) Penelitian Adil Sastrawan, mahasiswa UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang berjudul “Spiritualitas dalam Novel
Bilangan Fu” (http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?
mod=browse&op=read&id= digilib- uinsuka--adilsastra-5569, diunduh
pada 2 November 2011).
Hasil penelitian Adil Sastrawan adalah bentuk-bentuk
spiritualitas yang terdapat dalam novel Bilangan Fu, memiliki
kecenderungan mengarah pada spiritualitas masyarakat primitif.
Kepercayaan terhadap mitos, legenda rakyat, mahluk-mahluk halus,
merupakan bentuk-bentuk spiritualitas yang diungkapkan dalam novel
ini. Dengan kepiawaian penulis novel dalam membahasakan,
menghubungkan dan membenturkan dengan berbagai bentuk
pandangan modernitas yang cenderung meninggalkan spiritualitas,
sehingga bentuk spiritualitas yang terdapat dalam novel ini mampu
memberi alternatif baru dalam bersikap dan bertindak dengan tanpa
meninggalkan spiritualitas dan juga tidak mernjadi primitif.
Secara garis besar, nilai-nilai spiritualitas yang terdapat dalam
nonel ini merupakan kritik terhadap cara pandang masyarakat modern
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 9
yang cenderung antroposentris dan anti ekologi. Alih-alih mengajak
masyarakat untuk kembali "menyembah" pohon, percaya pada mitos
dan mahluk-mahluk halus, nilai dan pesan yang terkandung
didalamnya pada dasarnya hanyalah mengajak untuk untuk
menghormati ibu (alam), karena ibu adalah yang mengandung,
melahirkan serta menyusui anak-anaknya.
2) Penelitian Pangky Sudarwanto, mahasiswa
Universitas Airlangga, berjudul “Kepoufanikan dan Kedialogisan
Tematik Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami”
(http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/ 468819525_abs.pdf, diunduh
pada 8 November 2011).
Hasil penelitian Pangky Sudarwanto adalah: Bilangan Fu
mengandung banyak suara yang disampaikan secara bebas keluar dari
kesadaran tokoh. Suara-suara dari argumentasi tokoh merupakan genre
polifonik dalam novel. Novel polifonik selalu cenderung dialogis.
Novel Bilangan Fu telah memberikan unsur dialogis tersebut. Secara
garis besar faktor pemicu kedialogisan dalam Bilangan Fu terletak
pada segi tematik yang direduksi dari realitas untuk dijadikan sebuah
gagasan. Gagasan yang dimunculkan merupakan hasil perdebatan
antara tokoh-tokoh dan pengarang itu sendiri. Pengarang seringkali
memprovokasi para tokoh dalam membangun sebuah cerita. Latar
yang disuguhkan pun sesuai dengan latar karnival, yakni, pada tempat
umum yang mempunyai ruang lingkup yang cukup luas.
3) Penelitian Rina Viniati, mahasiswa program
pascasarjana Universitas Sebelas Maret dengan judul “Mistik Kejawen
dalam Novel Bilangan Fu (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai
Pendidikan)” (http://pasca.uns.ac.id/?p=882, diunduh pada 2
November 2011).
Hasil penelitian Rina Viniati adalah (1) pandangan tokoh-tokoh
di dalam novel Bilangan Fu terhadap mistik kejawen terungkap ada
tiga hal: modernisme, religius, dan rasional; (2) budaya mistik kejawen
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 10
yang masih berjalan di masyarakat modern adalah sajenan; (3)
relevansi budaya mistik kejawen dalam novel Bilangan Fu dengan
kondisi masyarakat yang sebenarnya berupa upacara perayaan dihari-
hari yang dianggap keramat; (4) nilai-nilai pendidikan yang terungkap
adalah nilai spiritual dan nilai vitalitas dalam kehidupan masyarakat
kejawen.
Perbedaan penelitian yang akan dilakukan ini dengan penelitian yang
dipaparkan di atas terletak pada teori yang digunakan untuk menganalisis
novel Bilangan Fu karya Ayu Utami.
2. Kajian Teori
a. Pencetus dan Dasar Pemikiran Strukturalisme Genetik
Pencetus pendekatan strukturalisme genetik adalah Prancis Lucien
Goldman, seorang ahli sastra Perancis (Iswanto dalam Jabrohim, 2003:
60). Strukturalisme genetik (genetic structuralism) dikembangkan
Goldmann atas dasar pemikiran seorang Marxis lain bernama Georg
Lukacs.
Goldmann menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara
sosiologi sastra dan aliran strukturalis (Teeuw, 1988: 152). Pendekatan ini
tidak hanya sepakat dengan pendekatan stukturalisme yang memandang
sastra sebagai sebuah karya yang otonom saja, melainkan juga
menyepakati pendekatan marxisme yang cenderung positivistik dan
mengabaikan keliteraran sebuah karya sastra.
Pendekatan strukturalisme genetik memperbaiki kekurangan
pendekatan strukturalisme dan kekurangan pendangan marxisme.
Kekurangan pendekatan strukturalisme adalah memandang karya sastra
sebagai sebuah karya yang otonom. Pengkajian terhadap karya sastra
mengabaikan unsur pengarang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
karya sastra. Sedangkan marxisme memandang karya sastra sebagai
produk/ reaksi sebuah kejadian sosial kemasyarakatan. Hal ini tentunya
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 11
memiliki kekurangan, yaitu adanya kenyataan bahwa sedekat-dekatnya
sebuah karya sastra dengan realitas sosial karya satra tersebut tetaplah
mengandung unsur imajinatif.
Teeuw (1988: 153) menuliskan pendapat Goldmann sebagai
berikut
Goldmann mengemukakan bahwa setiap karya sastra yang penting mempunyai structure significative, yang menurut Goldmann bersifat otonom dan imanen, yang harus digali oleh peneliti berdasarkan analisis yang cermat. Menurut Goldmann struktur kemaknaan itu tidak mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu, tetapi sebagai wakil golongan masyarakatnya.
Strukturalisme genetik (Hudayat, 2007: 63) memandang sastra
merupakan suatu sistem ideologi yang tidak dapat dilepaskan dari
pertarungan kekuatan-kekuatan sosial di dalam masyarakat dalam
memperebutkan penguasaan mereka atas sumber-sumber ekonomi yang
terdapat di dalam lingkungan sekitar mereka. Artinya, kajian
strukturalisme genetik terjadi pada tataran struktural karya sastra dan
kajian terhadap kondisi kemasyarakatan yang terjadi sebagai latarbelakang
kemunculan sebuah karya sastra.
Damono dikutip Sitepu (2009: 40) menuliskan,
Strukturalisme genetik sebagai teori penelitian sosiologi sastra memiliki empat ciri mendasar. Pertama, perhatian utama strukturalisme genetik adalah keutuhan atau totalitas. Totalitas itu lebih penting daripada bagian-bagiannya. Totalitas dan bagiannya dapat dijelaskan jika dipandang dari segi hubungan-hubungan yang ada antara bagian-bagian itu. Sasaran strukturalisme genetik adalah jaringan hubungan-hubungan yang ada antara bagian-bagian itu menyatukannya menjadi totalitas. Kedua, strukturalisme genetik tidak menelaah struktur pada permukaan, tetapi struktur
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 12
di balik kenyataan empiris. Ketiga analisis strukturalisme genetik adalah analisis sinkronis dan bukan diankronis. Perhatian dipusatkan pada hubungan-hubungan yang ada; pada suatu saat pada suatu waktu. Keempat, strukturalisme genetik mempercayai hukum perubahan bentuk dan bukan kausalitas.
Secara umum, strukturalisme genetik dibagun oleh prinsip
‘struktur-historisdialektik” yang berarti pemahaman sebuah karya sastra
harus berangkat dari struktur teks dan tidak hanya berhenti di situ saja
melainkan juga mengkaitkan bagian-bagian itu menjadi sebuah totalitas
analisis (Sitepu, 2009: 38). Oleh sebab itu, secara ringkas dapat dikatakan
bahwa strukturalisme genetik merupakan kajian karya sastra berdasarkan
unsur intrinsik dan ekstrinsiknya.
b. Strukturalisme dalam Strukturalisme Genetik
Berdasarkan uraian di bagian sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa strukturalisme genetik merupakan gabungan pandangan
strukturalisme dan pandangan marxisme dalam sebuah karya sastra.
Artinya, strukturalisme genetik mengakui keberadaan karya sastra sebagai
sebuah struktur yang bisa dipahami sebagai secara struktural pula.
Persoalan selanjutnya adalah beberapa ahli sastra memiliki
pendapat tersendiri tentang kajian struktur karya sastra. Ahli sastra itu
antara lain Propp, Greimas, dan Trodov. Kebanyakan konsep yang
berkaitan dengan struktur karya sastra itu mengikuti konsep linguistik
yang berkaitan dengan struktur formal bahasa. Hanya beberapa
diantaranya yang mencoba membagun pola struktur semantiknya dengan
mendasarkan pada konsep semantik bahasa. Tokoh yang mengemukakan
hal ini adalah Barthes dan Greimas. Strukturalisme genetik berkaitan
dengan struktur karya sastra yang cenderung bersifat semantik seperti
yang dikemukakan oleh Barthes dan Greimas walaupun tidak sama persis
(Hudayat, 2007: 69—70).
Tetapi yang paling mendekati konsep strukturalisme genetik adalah
strukturalisme Levi’Strauss. Dengan menggunakan fonologi sebagai
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 13
dasarnya, strukturalisme Levi’Strauss berpusat pada konsep oposisi biner
atau oposisi berpasangan. Maksudnya bangunan dunia sosial dan kultural
manusia dilihat sebagai sesuatu yang distrukturkan atas dasar binarisme,
terbangun dari seperangkat satuan yang saling beroposisi satu dengan yang
lain (Hudayat, 2007: 70).
Halliday dikutip Sitepu (2009: 43) menjelaskan adanya satu unit
pengalaman yang sempurna dan direalisasikan dalam klausa yang terdiri
atas tiga unsur. Ketiga unsur tersebut adalah proses (process), partisipan
(participant), dan sirkumstan (circumstance). Proses adalah kegiatan atau
aktivitas yang terjadi dalam klausa tersebut. Bentuk atau wujudnya adalah
kata kerja atau verba. Partisipan adalah orang atau benda yang terlibat
dalam proses mental tersebut. Sedangkan sirkumstan adalah lingkungan
tempat partisipan dan proses itu bertemu dan terjadi.
c. Metode Dialektik
Seperti yang telah dipahami di bagian sebelumnya bahwa
strukturalisme merupakan pandangan yang menganggap bahwa karya
sastra merupakan sebuah struktur yang saling berkaitan dan membentuk
struktur keseluruhan karya sastra. Hudayat (2007: 71) mengemukakan,
Struktur karya sasra itu hanya dapat dipahami dengan baik dengan cara dialektik, yaitu dengan bergerak bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan dari keseluruhan kembali ke bagian. Gerakan bolak balik itu dianggap selesai jika koherensi antara keseluruhan dan bagian-bagiannya telah terbangun.
Hal ini berarti menganalisis karya sastra dengan menggunakan
struturalisme genetik tidak bisa berhenti jika struktur karya sastra telah
dianalisis lalu dihubungkan dengan struktur yang lebih besar. Tetapi,
kajian sastra itu haruslah kembali lagi (mengembalikan lagi) struktur yang
besar ke dalam struktur karya sastra itu sehingga membentuk pemahaman
yang menyeluruh.
d. Kategori dalam Strukturalisme Genetik
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 14
Paul Johnson dikutip Faruk (1988: 70) menyatakan bahwa
struktural genetik adalah teori ilmiah yang eksplisit. Artinya, seperangkat
konsep yang terbangun dari konsep yang paling abstrak hingga konsep
yang paling konkret dinyatakan secara sistematik, saling berhubungan
secara logis, dan didasarkan teguh pada data empirik. Hal ini berarti kajian
strukturalisme genetik tidak dapat dilepaskan dari kajian konsep-konsep
yang berhubungan secara langsung dan tak langsung dengan karya sastra
tersebut.
Goldmann menopang teorinya dengan membangun seperangkat
kategori yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Kategori tersebut
adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia, pemahaman
dan penjelasan.
1) Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan adalah segala bentuk aktivitas atau perilaku
manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami
oleh ilmu pengetahuan. Fakta tersebut dapat berupa fakta aktivitas
sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti
filsafat, seni sastra, dan lainnya (Faruk, 1994: 12). Artinya, fakta
kemanusiaan adalah perwujudan ekspresi manusia dalam bersosialisasi
dengan manusia yang lain. Juga merupakan ekspresinya sebagai
aktualisasi diri manusia dalam masyarakatnya.
Dalam proses strukturasi dan akomodasi yang terus-menerus,
karya sastra sebagai fakta kemanusiaan yang merupakan aktivitas
kultural manusia memperoleh artinya. Proses tersebut yang sekaligus
merupakan genesis dari struktur karya sastra (Faruk, 1994: 14).
2) Subjek Kolektif
Fakta kemanusiaan muncul akibat hasil aktivitas manusia
sebagai subjeknya. Oleh sebab itu, subjek fakta kemanusiaan dapat
dibedakan menjadi subjek individual dan subjek kolektif. Subjek
individual merupakan subjek fakta individual (libidinal), sedangkan
subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial (historis).
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 15
Subjek kolektif dapat dibentuk dari struktur mental pengarang
yang merupakan hasil bentukan antara pribadi pengarang, keluarga,
dan lingkungan sosial (Sitepu, 2009: 24). Karya sastra yang dihasilkan
merupakan perwujudan struktur mental pengarang yang mencerminkan
subjek kolektifnya.
3) Pandangan Dunia (Vision du Monde)
Pandangan dunia diatikan sebagai struktur global yang
bermakna, sebuah pemahaman total terhadap dunia yang mencoba
menangkap maknanya, dengan segala kerumitan serta keutuhannya
(Sitepu, 2009: 28). Pandangan dunia merupakan struktur gagasan,
aspirasi, dan perasaan yang mampu menyatukan suatu kelompok sosial
lainnya. Gagasan, aspirasi, dan perasaan tersebut merupakan respon
atas “realitas yang tidak dikehendaki” oleh pengarang. Maka,
pengarang mencoba mencari jalan keluar dari realitas tersebut.
4) “Pemahaman-Penjelasan” dan “Keseluruhan-Bagian”
Kajian terhadap karya sastra haruslah merupakan kajian yang
memahami struktur secara menyeluruh. Pemahaman karya sastra
sebagai struktur yang menyeluruh akan mengarahkan pada penjelasan
hubungan sastra dengan sosiobudaya sehingga karya tersebut memiliki
arti.
Saraswati dikutip Sitepu (2009: 31) mengatakan bahwa konsep
“keseluruhan-bagian” merupakan dialektika antara keseluruhan dan
bagian. Keseluruhan hanya dapat dipahami dengan mempelajari
bagian-bagiannya, dan bagian-bagian tersebut dapat dipahami jika
ditempatkan secara keseluruhan. Pemahaman merupakan sebuah
proses yang melingkar terus menerus dari keseluruhan ke bagian dan
dari bagian ke keseluruhan.
Dari uraian mengenai konsep-konsep yang berkaitan dengan
strukturalisme genetik di atas, dapat disimpulkan bahwa proses analisis
sastra dimulai dari struktur karya sastra tersebut sebagai sebuah konsep yang
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 16
paling konkret. Struktur karya sastra dianggap sebagai konsep yang paling
konkret dikarenakan kajian struktural tersebut langsung berkaian dengan
karya sastra yang dianalisis.
Proses selanjutnya adalah mengkaitan pemahaman mengenai struktur
yang telah dianalisis tersebut dengan realitas sosial yang menjadi dasar
pemikiran kemunculan karya sastra tersebut. Tahapan ini disebut dengan
konsep pandangan dunia.
Setelah sampai pada konsep pandangan dunia, penelusuran
strukturalisme genetik dapat dilanjutkan dengan melihat kembali dengan
mengkaitkan realitas sosial yang menjadi dasar kemunculan karya sastra
dengan reaksi pengarang terhadap realitas tersebut. Maka perlu diketahui
latar belakang pengarang yang sebenarnya. Latar belakang tersebut nantinya
yang memberikan informasi pandangan pengarang sebagai subjek kolektif
dan sekaligus subjek komunal dalam karya sastra tersebut.
Selanjutnya, setelah mengenahui subjek kolektifnya, karya sastra dan
kepengarangan tersebut dapat menunjukkan kepada penganalisis mengenai
fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan ini merupakan konsep paling abstrak
dalam analisis dengan pendekatan strukturalisme genetik.
Langkah selanjutnya adalah melihat ulang atau mereview analisis
tersebut. Analisis dalam kerangka abstrak (besar) hingga masuk ke dalam
kerangka sederhana yaitu struktur yang ada dalam karya sastra itu sendiri.
Setelah muncul penjelasan mengenai karya sastra itu dari bagian ke
keseluruhan dan keseluruhan ke bagian, maka analisis strukturalisme genetik
bisa dikatakan selesai.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis
strukturalisme genetik dilakukan dengan mencari empat konsep yang
terdapat dalam karya sastra tersebut. Untuk lebih memudahkan proses ini,
maka konsep yang dianalisis dimulai dari konsep yang paling konkret
menuju konsep yang paling abstrak. Artinya analisis karya sastra akan
dimulai dengan analisis unsur intrinsiknya sebelum masuk pada konsep yang
lain.
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 17
3. Bilangan Fu
Bilangan Fu lahir pada tahun 2008. Di bagian ucapan terimakasih, Ayu
Utami mengungkapkan terimakasihnya pada Erik Prasetya dengan menuliskan
“Usaha pembuahannya yang berkali-kali gagal memakan waktu empat tahun,
proses mengandung-menuliskannya menghabiskan sembilan bulan” (Utami,
2008: 535). Dari pernyataan tersebut, dapat diasumsikan bahwa novel ini
mulai dipikirkan untuk dibuat sekitar tahun 2004.
Tetapi perkiran mengenai tahun pembuatan ini belum secara otomatis
menunjukkan proses pemikiran Ayu Utami. Ia banyak berbicara, bertemu, dan
membaca tulisan orang lain yang memperkaya inspirasi menulisnya. Tokoh-
tokoh yang disebutkan Ayu dalam ucapan terimakasihnya turut memberi andil
yang besar terhadap pemikiran Ayu Utami dalam Bilangan Fu.
Salah satu tokoh yang ditemui Ayu Utami adalah para kelompok
pemanjat tebing Skygers. Utami (2008: 534) menuliskan “Teddy Ixdiana,
penerusnya yang paling banyak memberi waktu bagi saya sejak akhir 2003”.
Hal ini mengindikasikan bahwa Bilangan Fu sudah menjadi inspirasi bagi
Ayu Utami pada tahun 2003 akhir, namun belum sempat dituliskannya dalam
bentuk sebuah novel yang utuh.
Bilangan Fu pada awalnya berinisial Jalur 13. Namun, Ayu Utami
menganggap angka 13 sebagai angka sial. Angka ini sebenarnya embrio yang
ingin diperkenalkan oleh Ayu Utami sebagai angka permainan dengan
bilangan berkesan angker. Stigma keangkeran angka itu sanggup
memerdayainya untuk menggunakan atribut bilangan 13. Atas dasar itu,
“Bilangan Fu” berkonotasi sebagai bilangan metaforis dan spiritual
berkembang menjadi serbaneka hidup dan kehidupan yang akrab dengan sikap
kritis (http://johnherf.wordpress.com/2008/07/24/spiritualisme-kritis-ayu-
utami/, diunduh pada 7 September 2010).
4. Sinopsis Bilangan Fu
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 18
Bilangan Fu berkisah tentang pemanjat tebing. Tokoh utamanya
adalah Yudha yang merupakan seorang pemanjat ‘kotor’ (meminjam istilah
Parang Jati). Tokoh selanjutnya adalah Parang Jati, seorang pemuda yang
memiliki dua belas jari. Parang Jati mengajak Yudha untuk pindah ‘agama’,
dari pemanjat ‘kotor’ (pemanjat yang selalu menggunakan alat pemanjatan
sehingga memungkinkan kerusakan tebing) menjadi pemanjat ‘bersih’. Tokoh
lain yang juga berperan dalam Bilangan Fu adalah Marja. Marja adalah
kekasih Yudha.
Bagian awal Bilangan Fu dimulai dengan kisah tentang sebuah almari.
Almari tersebut berisi banyak benda yang tidak layak disebut dengan koleksi
pada umumnya. Ada stoples berisi ruas kelingking, ada sebuah tulang iga, ada
sebuah nisan, dan lainnya. Hampir semua benda yang menghuni lemari
tersebut didapatkan Yudha dari hasil bertaruh.
Awal pertemuan Yudha dengan Parang Jati terjadi saat Yudha pergi ke
Bandung. Parang Jati adalah mahasiswa geologi yang akan melakukan
penelitian di perbukitan kapur Sewugunung dan sekitarnya. Tujuan Yudha ke
Bandung adalah untuk memesan alat pemanjatan pada temannya yang
bernama Fulan. Disanalah ia bertemu dengan Parang Jati yang memesan alat
pemanjatan pula. Yudha mengajak Parang Jati untuk mampir ke kontrakan
Marja. Di tempat itulah, ketiga tokoh ini bertemu.
Bilangan Fu sendiri merupakan bilangan yang ‘diciptakan’ oleh
Yudha. Yudha penasaran dengan bunyi desau angin yang menyerupai bunyi
hu. Bunyi itu didengar Yudha ketika ia bergantung di tali pengaman sambil
memandangi celah tebing yang dinamakannya Sebul, di deretan tebing
Watugunung yang berada di daerah Sewugunung. Watugunung nantinya
disebut Yudha sebagai Batu Bernyanyi. Menurut Yudha, bilangan fu atau
bilangan hu merupakan bilangan sempurna yang merupakan angka 13.
Bilangan fu atau bilangan hu dilambangkan dengan .
Bilangan Fu tidak hanya bercerita tentang tebing-tebing yang dipanjat
Yudha saja. Bilangan Fu juga berbicara tentang numerulogi, ketuhanan,
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 19
pelestarian alam, dan kritik sosial yang cukup pedas terhadap situasi sosial
ekonomi politik yang terjadi pada era 1998.
5. Ayu Utami
Ayu Utami lahir di Bogor, Jawa Barat pada 21 November 1968. Ia
bernama lengkap Justina Ayu Utami. Ayu menamatkan pendidikannya di SD
Regina Pacis Bogor (1981), SMP Tarakanita 1 Jakarta (1984), SMA
Tarakanita 1 Jakarta (1987), Jurusan Sastra Rusia Fakultas Sastra Universitas
Indonesia (1994), Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK
(1995), dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999).
Pada mulanya, Ayu adalah seorang wartawan. Ia pernah menjadi
wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama
setelah penutupan Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde Baru, ia ikut
mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan.
Ayu juga seorang kurator Teater Utan Kayu, dan peneliti di Institut Studi
Arus Informasi. Ayu menjadi anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta
2006—2009. Kini, ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan
Kayu (http://id.wikipedia.org/wiki/Ayu_Utami, diakses 7 September 2010).
Ayu Utami memenangkan sayembara penulisan Roman (Novel) Dewan
Kesenian Jakarta tahun 1998 untuk novel pertamanya berjudul Saman. Saman
telah diterbitkan dalam enam bahasa asing. Novel tersebut juga memenangkan
Prince Claus Award dari Belanda pada tahun 2000.
Sampai saat ini Ayu Utami telah menghasilkan Saman (KPG, 2008),
Larung (KPG,2001), kumpulan kolom Si Parasit Lajang (Gagas Media:
2003), naskah drama Sidang Susila (2008), Bilangan Fu (KPG: 2008).
Sedangkan novel terbaru Ayu Utami adalah Manjali dan Cakrabirawa yang
merupakan roman pertama misteri seri Bilangan Fu, yaitu serial yang
berhubungan dengan novel Bilangan Fu (http://ayuutami.com/, diakses 7
September 2010).
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 20
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif
adalah metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi
objek sesuai dengan apa adanya (Best dikutip
http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/163-
penelitian-deskriptif.html, diunduh pada 14 November 2011). Penelitian
deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu
menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan sobjek
yang diteliti secara tepat. Penelitian deskriptif yang baik sebenarnya memiliki
proses dan sadar yang sama seperti penelitian kuantitatif lainnya. Disamping
itu, penelitian ini juga memerlukan tindakan yang teliti pada setiap
komponennya agar dapat menggambarkan subjek atau objek yang diteliti
mendekati kebenaranya. Sebagai contoh, tujuan harus diuraikan secara jelas,
permasalahan yang diteliti signifikan, variabel penelitian dapat diukur, teknik
sampling harus ditentukan secara hati-hati, dan hubungan atau komparasi yang
tepat perlu dilaukan untuk mendapatkan gambaran objek atau subjek yang
diteliti secara lengkap dan benar
(http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/163-
penelitian-deskriptif.html, diunduh pada 14 November 2011).
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 21
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan peneliti dalam penelitiannya ini adalah metode
penelitian kepustakaan, yaitu menelaah data yang berupa buku-buku. Data
primer adalah novel Bilangan Fu dan data sekunder diperoleh dari
pembacaan novel yang berkaitan dengan Bilangan Fu.
3. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah teks novel Bilangan Fu karya Ayu
Utami yang diterbitkan oleh Kepustakaan Gramedia Populer, Jakarta pada
tahun 2008. Penelitian ini didukung pula oleh data skunder berupa sumber
tertulis yang mendeskripsikan latar kehidupan sosial pengarang dan peristiwa-
peristiwa sosial di Indonesia yang melahirkan novel Bilangan Fu.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah
dengan mengadakan kajian kepustakaan. Penelitian dilaksanakan dengan
melakukan observasi langsung pada novel Bilangan Fu. Langkah kerja
penelitian ini adalah
a. Membaca keseluruhan novel Bilangan Fu dengan cermat,
b. Peneliti melakukan identifikasi unsur intrinsik yang terdapat pada
novel Bilangan Fu ini. Pada penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan
pada tokoh dan penokohannya. Hal ini dikarenakan peneliti ingin
mengkaji secara lebih mendalam kaitan novel ini dengan kitab suci agama
Katolik.
c. Peneliti mencari data berkaitan dengan pengarang dan dunia
kepengarangan.
d. Peneliti menghubungkan poin b dan c di atas untuk sampai pada
tahap simpulan.
5. Teknik Analisis Data
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 22
Teknik analisis data tersebut dilaksanakan dengan cara: (1) pembacaan
seluruh isi novel Bilangan Fu. (2) identifikasi dan analisis data unsur
dominan, struktur novel Bilangan Fu, yaitu problematika tokoh melalui
hubungan dengan struktur antartokoh dan lingkunganya, (3) identifikasi dan
analisis data latar kehidupan sosial pengarang, Ayu Utami yang berhubungan
dengan struktur novel Bilangan Fu, (4) identifikasi dan analisis data peristiwa-
peristiwa sosial di Indonesia yang mengkondisikan lahirnya novel Bilangan
Fu, (5) penemuan pandangan dunia pengarang, Ayu Utami dalam novel
Bilangan Fu, dan simpulan.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis strukturalisme genetik dalam Bilangan Fu ini dilakukan dalam
empat tahap. Tahap pertama adalah analisis data yang berhubungan dengan
struktur Bilangan Fu melalui hubungan antar tokoh dan tokoh dengan
lingkungannya. Tahap kedua yaitu analisis hubungan kehidupan sosial Ayu Utami
sebagai pengarang dengan novel Bilangan Fu. Tahap ketiga analisis latar
belakang sejarah yang melahirkan Bilangan Fu. Tahap keempat adalah melihat
hubungan pandangan Ayu Utami terhadap masyarakat luas (Indonesia) dalam
Bilangan Fu.
1. Analisis data yang berhubungan dengan struktur Bilangan Fu melalui
hubungan antar tokoh dan tokoh dengan lingkungannya.
Tokoh-tokoh dalam Bilangan Fu adalah Yudha, Parang Jati, dan Marja.
Selain ketiga tokoh tersebut, ada tokoh bernama Suhubudi, Fulan, Kupu-kupu,
Penghulu Semar, pak Potiman, mbok Manyar, dan lain sebagainya.
Setiap tokoh dalam Bilangan Fu memiliki hubungan yang tidak hanya
menimbulkan keterkaitan dalam cerita saja tetapi juga menimbulkan masalah
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 23
satu dengan lainnya. Yudha, si tokoh utama dalam Bilangan Fu berpacaran
dengan Marja, seorang mahasiswa desain yang berhati riang. Parang Jati
adalah sahabat Yudha yang nantinya (kemungkinan) memberikan nuansa cinta
segitiga di antara ketiga tokoh ini seperti nampak pada kutipan berikut
Marja menyeret aku kepada seorang ibu pembaca tarot yang tengah menawarkan konsultasi di kios terbuka. Kartu Marja dibaca.“Akan ada cinta segitiga,” ramalnya.Kekasihku tertawa sementara akumenduga-duga. Sekarang giliran dia, Marja menunjuk padaku. Kartuku dibaca. Sang dukun mengangguk-angguk senang.“Akan ada cinta segitiga,” ramalnya (Utami, 2008: 198)
Kutipan lain menunjukkan ramalan akan hubungan segitiga itu terjadi
dengan memanfaatkan penggunaan kata segitiga yang sesungguhnya.
Ia berkata kepadaku, “Bolehkah saya menumpang di sini malam ini?”Marja menjawab, “Tentu boleh.”Malam itu ia tidur di atas kantong tidurku. Kami mendengar ia mendengkur lembut seperti bayi. Dan ia tinggal bersama kami lima hari lagi. Pada malam terakhir, kutemukan kami tidur membentuk segitiga. Tiba-tiba aku teringat ramalan dukun tarot itu (Utami, 2008: 212).
Tokoh lain adalah Suhubudi yang merupakan ayah angkat Parang Jati.
Suhubudi merupakan orang terkaya di daerah Sewugunung itu. Ia memiliki
hobi bermeditasi dan memiliki sebuah padepokan dimana terdapat aturan tidak
berbicara ketika berada di padepokan tersebut (tempat itu dikondisikan tenang
dan sunyi). Hal tersebut tampak pada kalimat “Pintu terbuka. Kulihat lelaki itu
duduk bersila sempurna, bagaikan padma, bagaikan mahaguru yoga” (Utami,
2008: 301).
Suhubudi menikah dengan seorang perempuan yang sangat cantik
namun tidak bisa berbicara. Nama perempuan tersebut adalah Dayang Sumbi.
Untuk menghargai perasaan Dayang Sumbi yang tidak dapat berbicara,
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 24
Suhubudi pun menerapkan aturan di rumahnya. Hal tersebut tampak pada
kutipan berikut (Utami, 2008: 296)
Sejak hari itu ia menerapkan sebuah pembagian wilayah di istananya. Pusat wilayah, yaitu bangunan joglo besar yang dikelilingi rumah-rumah Majapahitan, akan menjadi jeron padepokan Suhubudi. …. Maka, di wilayah jeron negerinya, sejak hari itu orang tak boleh lagi bersuara dan berkata-kata. Biarlah semua orang yang berada di sana menjadi sama seperti Dayang Sumbi: tak memiliki pita suara.
Kisah di atas, mirip dengan salah satu fragmen dalam kisah
perwayangan. Prabu Destarata (Bapak dari Bala [sekelompok] Kurawa) yang
buta menikah dengan Dewi Gendari. Untuk menunjukkan rasa cintanya yang
besar kepada Prabu Destarata, Dewi Gendari pun menutup matanya dengan
kain hitam. Tak hanya sampai di situ, seluruh pelayan atau siapapun yang
masuk di kompleks rumahnya pun harus menutup matanya dengan kain
hitam.
Suhubudi inilah yang memberi inspirasi Yudha tentang bunyi misterius
yang diyakininya merupakan penjelmaan (pembunyian) angka paling
sempurna dalam deret bilangan. Hal tersebut dinyatakan dalam peristiwa
berikut (Utami, 2008: 302)
Suhubudi telah menerima dan membacanya. Ia menuliskan sesuatu pada kertas baru. Cukup panjang.Aku tak sabar.Ia mengulurkan kertas jawabannya.Tergesar-gesa aku menyimaknya. adalah hu. Yaitu bilangan sunyi.
Parang Jati sendiri diketemukan oleh mbok Manyar di Sendang Hu atau
Sendang ke tigabelas. Parang Jati diketemukan oleh mbok Manyar tersangkut
di dekat lumut pakis dan bebatuan dan ia berada di dalam sebuah keranjang
pandan seperti tampak pada kutipan berikut (Utami, 2008: 217)
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 25
Lubuk ketigabelas, atau yang dinamai Sendang Hu, atau Sendang Hulu, dimana dahulu ada burung hantu jelmaan nyai penjaga mataair dan bunga-bunga, burung yang bernyanyi hu hu. …. Ia sedang menatap ke paras air di dekat kakinya. …. Tersangkut dekat lumut pakis dan bebatu sebuah keranjang dari serat pandan. Di dalamnya ada seonggok bayi lelaki yang masih merah.
Kisah penemuan (lahirnya) Parang Jati mirip dengan kisah kelahiran dan
proses penyelamatan Nabi Musa. Cara yang digunakan Ayu Utami untuk
memunculkan tokoh Parang Jati serupa dengan cara penyelamatan Nabi Musa
dari kekejaman Firaun (yang menginginkan semua anak laki-laki dibunuh).
Nabi Musa akhirnya ditemukan oleh puteri Firaun yang sedang berjalan-jalan
di tepi Sungai Nil bersama para dayangnya. Sedangkan Parang Jati ditemukan
oleh seorang perempuan bernama Manyar, yaitu penjaga sendang.
Berikut kisah penyelamatan Nabi Musa (Kitab Keluaran, Bab 2, Ayat 1
—3)
Seorang laki-laki dari keluarga Lewi kawin dengan seorang perempuan Lewi; lalu mengandunglah ia dan melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika dilihatnya, bahwa anak itu cantik, disembunyikanlah tiga bulan lamanya. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikannya lebih lama lagi, sebab itu diambilnya sebuah peti pandan, dipakalkanya dengan gala-gala dan ter, diletakkannya bayi itu di dalamnya dan ditaruhnya peti itu di tengah-tengah teberau di tepi sungai Nil.
Tokoh Suhubudi menjelma menjadi tokoh antagonis dalam konteks
Parang Jati (yang memiliki dua belas jari) dan teman-temannya yang memiliki
keanehan tubuh yang lain. Hal tersebut dikarenakan semua manusia yang
memiliki keanehan tubuh dipertontonkan seperti sebuah sirkus yang ironis
dalam sebuah pertunjukan bernama Klan Saduki.
Kupu-kupu adalah tokoh yang memiliki sejarah kelahiran yang sama
dengan Parang Jati. Namun karena kehadirannya adalah kehadiran kedua
(setelah Parang Jati muncul), maka Kupu-kupu tidak diadopsi oleh Suhubudi
yang kaya raya tetapi diasuh oleh Parlan dan Mentel yang miskin. Ditambah
Kupu-kupu memiliki badan yang normal, tidak seperti Parang Jati yang
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 26
memiliki dua belas jari. Kupu-kupu dibesarkan oleh sebuah keluarga yang
sangat miskin. Kupu-kupu ini memiliki kecemburuan atau iri terhadap segala
keberuntungan material yang diterima Parang Jati.
Kecemburuan Kupu-kupu tersebut tampak pada peristiwa perebutan
beasiswa. Tak hanya pada peristiwa itu saja, Kupu-kupu juga merasa iri
karena Parang Jati mendapatkan peran utama dalam sebuah pementasan
drama.
Kecemburuan Kupu-kupu terhadap Parang Jati tidak hanya dikarenakan
keberuntungan material Parang Jati saja, tetapi memang dari awal
penemuannya, Kupu-kupu sudah menyimpan kemarahan. Hal tersebut
dikarenakan Nyi Manyar tidak menemukannya tepat waktu. Ayu Utami (2008:
229) melukiskannya sebagai berikut
Setelah alpa sehari, keesokan harinya ia kembali mengunjungi pancuran-pancuran utama di desa itu. …. Keranjang itu sama dan bayi itu serupa dengan yang ia dapati tiga tahun yang lalu. Tapi ia tak menemukan mata bidadari. Mata bayi itu nyalang penuh kemarahan. Nyi Manyar tersengat mundur sejenak. Tahulah Nyi Manyar bahwa bayi itu telah sejak kemarin diletakkan di mata air.
Tokoh yang cukup berperan mempertemukan Yudha dan Parang Jati
adalah Fulan. Fulan adalah teman pemanjat tebing Yudha. Setelah menikah,
Fulan memutuskan untuk tidak lagi menjadi seorang pemanjat. Tetapi
kecintaannya akan panjat tebing tidak pudar. Oleh sebab itu, Fulan menjual
alat-alat pemanjatan. Di rumah Fulan inilah Yudha dan Parang Jati bertemu.
Penghulu Semar mewakili pemimpin keagamaan. Sedangkan untuk
perwakilan kepemerintahan diwakilkan dengan tokoh Pak Potiman Sutalip
yang merupakan lurah Sewugunung.
Tokoh militer diwakilkan dengan dua orang polisi yang disebut Yudha
dengan Karna dan Kumbakarna (tokoh dalam pewayangan yaitu dua ksatria
dalam epos Mahabarata dan Ramayana yang hidup dalam dunia hitam/ jahat
atau dua orang ksatria yang berpihak pada yang jahat).
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 27
Masalah yang menghubungkan hampir keseluruhan tokoh adalah
pemanjatan dan Watugunung yang merupakan jajaran perbukitan kapur di
daerah Sewugunung ini. Yudha yang seorang pemanjat terbiasa menggunakan
alat untuk menjelajahi tebing. Hal ini ditentang oleh Parang Jati yang sejak
awal begitu getol dengan teori pelestarian alamnya (termasuk menjaga
Watugunung tetap terjaga keutuhannya).
Parang Jati mengejek Yudha dan mengajaknya untuk menjadi pemanjat
bersih yaitu pemanjat tebing yang tidak mengebor cincin emas ke tebing-
tebing yang membuat tebing-tebing itu cepat hancur. Yudha yang beraliran
sex bebas ini dimanfaatkan dengan apik oleh Parang Jati untuk menyindir
seperti yang nampak pada kutipan berikut (Utami, 2008:71—72):
… Peralatan yang dapat ditemui hanyalah yang tidak bersikap sewenang-wenang pada alam. Tanggalkan bor, piton, paku, maupun pasak. Bawalah di sabuk kengkangmu pengaman perangko, penahan, sisip, dan pegas. Maka, pasanglah pengaman sesuai dengan sifat batu yang kau temui, tanpa merusaknya sama sekali. Jika kau tak bisa menempuhnya, maka kau tak bisa memanjatnya. Begitu saja. Itu tak mengurangi kehormatanmu sama sekali. Tak mengurangi kejantananmu juga.Secred climbing.Aku membuka mulutku hendak menggugat dia. Ketika itulah ia bersabda, “Kamu biasa memaku dan mengebor perempuan di ranjang. Dengan ibundamu, pakailah cara lain.”
Istilah ibunda untuk menggantikan tebing yang hendak dipanjat
merupakan istilah Parang Jati. Parang Jati mengatakan bahwa bumi Indonesia
adalah ibu pertiwi. Oleh sebab itu, pegunungan adalah ibu atau ibunda.
Memanjat pegunungan diartikan Parang Jati sebagai memanjat ibunda.
Yudha dan Parang Jati juga memiliki keenganan (cenderung pada
ketidaksukaan) terhadap birokrasi dan militer. Yudha tidak menyukai
birokrasi namun masih sedikit mau menyukai militer. Yudha tidak menyukai
birokrasi karena ia menganggap dirinya adalah seorang petualang. Bagi Yudha
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 28
seorang petualang tidak akan pernah cocok bergaul dengan para birokrat yang
senang dengan prosedural yang kaku dan sistematis.
Sedangkan Parang Jati tidak menyukai birokrat dan militer karena
keduanya dianggap berperan sangat besar dalam perusakan ekosistem atau
keseimbangan alam (dalam hal ini tebing-tebing di Sewugunung). Oleh sebab
itu, tokoh Potiman Sutalib menjadi tokoh yang memiliki konflik tersembunyi
dengan Parang Jati seperti tampak pada kutipan berikut (Utami, 2008: 390—
391)
… Aku tahu Parang Jati menyimpan kejengkelan pada Poniman Sutalip karena kepala desa ini melancarkan ijin perusahaan besar penambang batu itu bekerja di Sewugunung. Dan karena ia diam-diam mengelola penebangan jati yang kini semakin tak mengendalikan nafsu serakah. Pak Potiman adalah agen di tubuh wilayah ini yang akan pertama-tama merusak ekosistem”
Ketidaksukaan Parang Jati terhadap para birokrat (pelaksana
pemerintahan dan lainnya) dan juga pada militer nampak pada kutipan berikut
(Utami, 2008: 81)
… Kalau kita mengebor dan memaku, kenapa tidak membuat tangga sekalian, dan memasang hiasan, patung, dan lampu, seperti yang dilakukan para birokrat pariwisata terhadap goa-goa dan kawah-kawah sehingga hilang kealamiahannya? Kalau kita merusak tebing, apa pula lebihnya kita dari serdadu?
Ketidaksukaan Parang Jati terhadap militer terlihat dalam kutipan
berikut (Utami, 2008: 81)
… Pemanjatan kotor itu boleh. Tapi hanya cocok untuk militer. Karena tujuan mereka memang berperang dan menaklukkan. Yang ditaklukkan adalah musuh. Yaitu sesuatu di luar tebing itu sendiri. Bagi militer, tebing hanyalah medan yang harus
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 29
ditempuh untuk mencapai target lain. Kita tahu cara-cara militer dan intelejen: serang, hancurkan, perkosa.
Sedangkan dengan Penghulu Semar keterkaitan langsung terjadi antara
tokoh Penghulu Semar, Kupu-kupu, dan Parang Jati. Parang Jati menentang
monoteisme dan mendukung animisme dan dinamisme. Penghulu Semar
mengajarkan Kupu-kupu tidak takut kepada setan dan lain sebagainya. Ia
merupakan perwakilan pemimpin agama (monoteis).
Bagi Parang Jati, monoteisme yang melarang pemberian sesaji kepada
alam (pohon, laut, telaga, dan lainnya) merupakan salah satu penyebab orang
tak lagi takut untuk merusak alam. Menurut pemikiran Parang Jati, jika
seseorang percaya bahwa sebuah pohon memiliki penunggu, maka orang tak
berani menebangnya. Jika orang tak berani menebang pohon itu, berarti pohon
itu akan terus hidup. Dengan terus hidup, berarti pemanasan global dapat
dicegah dengan cara sederhana.
2. Analisis hubungan kehidupan sosial Ayu Utami sebagai pengarang
dengan novel Bilangan Fu.
Ayu Utami beragama katolik. Secara tidak langsung nuansa keagamaan
(dalam hal ini agama Katolik) dimunculkan Ayu Utami dalam Bilangan Fu.
Contohnya, ia menggunakan kata ‘sabda’ yang dipilihnya untuk
menggantikan kata ‘berkata’. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut
(Utami, 2008: 72)
… Aku membuka mulutku hendak menggugat dia. Ketika itulah ia bersabda, “Kamu biasa memaku dan mengebor perempuan di ranjang. Dengan ibundamu, pakailah cara lain”….
Dalam Bilangan Fu, Ayu Utami dengan hati-hati menyisipkan perikop
Alkitab dari Kitab Kejadian hingga Kitab Wahyu. Kehati-hatian Ayu nampak
dengan meminta Romo Magnis Suseno untuk membaca novel ini sebelum
diterbitkan (Utami, 2008: 535).
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 30
Franz Magnis-Suseno, SJ bernama asli Franz Graf von Magnis atau
nama lengkapnya Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von
Magnis. Sebagai seorang pastur, Magnis-Suseno memiliki panggilan akrab
Romo Magnis. Romo Magnis adalah seorang tokoh Katolik dan budayawan
Indonesia. Ia berasal dari sebuah keluarga bangsawan. Romo Magnis juga
dikenal sebagai seorang Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara. Tulisan-tulisannya telah dipublikasikan dalam bentuk
buku dan artikel. Buku "Etika Jawa" dituliskan setelah ia menjalani sabbatical
year di Paroki Sukoharjo Jawa Tengah. Buku lain yang sangat berpengaruh
adalah "Etika politik" yang menjadi acuan pokok bagi mahasiswa filsafat dan
ilmu politik di Indonesia. Magnis dikenal kalangan ilmiah sebagai seorang
cendekiawan yang cerdas dan bersahabat dengan semua orang tanpa pandang
bulu (http://www.tokoh-indonesia.com/ensiklopedi/f/franz-maginis-suseno/
index.shtml, diunduh pada 14 November 2011).
Perikop Alkitab itu tidak dituliskan Ayu di sembarang tempat, sesuka
hatinya. Ia mengaitkannya dengan kajian/ bahasan yang sesuai dengan topik
yang dibicarakan antara tokoh. Contohnya, Ayu mengaitkan kisah Kain dan
Habil yang terdapat dalam kitab Kejadian bab 4 ayat 1—16 dengan pemikiran
Yudha tentang bilangan berbasis 10 dan berbasis 12 (Utami, 2008: 275—276)
berikut ini
Sepuluh dan selusin berbeda umur seperti Kain dan Habil. Inilah yang diceritakan sebuah Alkitab: Kain menjadi petani, Habil menjadi penggembala. Keduanya adalah putra-putra Adam dan Hawa.
Kutipan selanjutnya menunjukkan keterkaitan Bilangan Fu dan Alkitab
yang menjadi kitab suci agama Katolik. Kutipan pertama berkisah tentang
Parang Jati berzinah dengan Dayang Sumbi (istri tak resmi Suhubudi) dan
kutipan kedua berkisah tentang perempuan berdosa yang dibawa ke hadapan
Yesus untuk menerima hukum rajam (dalam film The Passion Of The Christ,
adegan ini dilakukan dengan sangat dramatis).
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 31
Perhatikan kutipan berikut
… pada masa yang sulit, anak muda iitu merasa bagaikan dibentangkan dipancang. Si perempuan di sebelah kanannya. Iblis kecil buruk rupa di sebelah kirinya tubuh mereka dilucuti. Segala yang memalukan didedahkan dan diperinci di hadapan orang-orang. Sebagai pelajaran agar janganlah dosa yang sama mereka coba cicipi.…. Tapi Suhubudi berkata, “Barangsiapa yang tak pernah terbersit perzinahan di kepalanya, biarlah dia menjadi pelempar batu yang pertama.”Satu per satu orang pergi (Utami, 2008: 338—339).
Bandingkan kutipan tersebut dengan kutipan berikut
…. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jariNya di tanah. Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepadaNya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melempar batu kepada perempuan itu.” Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. Tetapi setelah mereka mendengarkan perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua (Kitab Yohannes, Bab 8 Ayat 7—9a).
Bagian cerita yang juga menunjukkan hubungan antara Bilangan Fu
dengan Alkitab tampak pada saat Ayu Utami mengkisahkan kubur yang
kosong. Diceritakan seorang perempuan yang sedang sangat berduka karena
suaminya baru saja meninggal. Perempuan tersebut dengan panik mengatakan
bahwa suaminya telah bangkit dari kubur. Hal tersebut tampak pada kutipan
berikut (Utami, 2008: 123)
… lalu manakala ia sudah cukup dekat sehingga kata-katanya bisa dimengerti, aku mendengar ia meneriakkan sesuatu yang tak bias dimengerti, aku mendengar ia meneriakkan sesuatu yang tak bisa kupercaya. Sebuah humor hukuman dari alam gaib bagi diriku:
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 32
“Dia bangkit! Dia bangkit! Kuburnya terbuka dan kosong!”
Bandingkan dengan perikop Alkitab berikut (Kitab Yohanes Bab 20,
Ayat 1—2)
Pada hari pertama minggu itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur itu dan ia melihat bahwa batu telah diambil dari kubur. Ia berlari-lari mendapatkan Simon Petrus dan murid lain yang dikasihi Yesus, dan berkata kepada mereka: “Tuhan telah diambil orang dari kuburnya dan kami tidak tahu dimana Ia diletakkan.”
Bagian lain yang juga menunjukkan hubungan Bilangan Fu dengan
Alkitab tampak pada beberapa kisah. Kotbah di bukit yang merupakan
‘pidato’ Parang Jati tentang clean climbing mirip dengan kotbah di bukit yang
dilakukan Yesus. Bedanya, Yesus tidak berkotbah tentang clean climbing
melainkan tentang 10 Sabda Bahagia.
Parang Jati sangat identik dengan Yesus. Hal ini ditunjukkan dengan
penggambaran tokoh Parang Jati yang memiliki wibawa dan bermata
malaikat. Aura kepemimpinan Parang Jati digambarkan dengan cukup tegas
oleh Ayu Utami. Hal tersebut yang menyebabkan Parang Jati berhasil
mempengaruhi Yudha dan teman-temannya berpindah aliran dari dirty
climbing menjadi clean climbing.
Selain penokohan Parang Jati, kisah akhir kehidupan Parang Jati mirip
dengan kisah akhir hidup Yesus. Yesus sempat mengadakan perjamuan
terakhir dengan murid-murid yang dikasihiNya. Parang Jati melakukan
pertemuan dengan Yudha dan Marja (orang yang dikasihinya) sebelum ia
ditangkap dan dibunuh. Yesus memberikan pesan untuk berjaga-jaga, Parang
Jati juga melakukan hal yang sama.
Akhir hidup Parang Jati dimana ia harus menanggalkan pakaiannya dan
digelandang bersama orang yang memang bersalah mengingatkan pembaca
yang beragama Katolik pada peristiwa penyaliban Yesus. Yesus diceritakan
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 33
digelandang dan diperlakukan dengan tidak hormat dan disetarakan dengan
penjahat kelas kakap sebelum Ia meninggal.
Selain perikop Alkitab, Ayu Utami menggunakan nama tokoh yang
menyerupai 12 Rasul atau 12 Murid Yesus. Contohnya nama Yudha,
dijabarkan Ayu menyerupai nama Yudas (jika dibaca sambil mendesis).
Yudas adalah murid Yesus yang menghianati-Nya. Hal ini dituliskan Ayu
Utami (2008: 5) secara jelas “Ia menyebut namaku, tapi aku yakin kudengar
bunyi desis di akhir ucapnya. Yudas. Engkau Yudas, si Penghianat.”
Tokoh Yudha diungkapkan Ayu menyukai taruhan. Ia selalu melakukan
taruhan terhadap apapun. Salah satu penegasan Ayu Utami terhadap hobi
Yudha tersebut dituliskannya antara lain dalam kutipan berikut (Utami, 2008:
6) “Aku justru mengajukan taruhan. Taruhan sepertinya adalah satu-satunya
bahasa yang kumengerti pada usiaku waktu itu.”
Sifat Yudha mirip dengan tokoh Yudas Iskariot dalam Kitab Perjanjian
Baru (dari Kitab Matius sampai Kitab Yohanes) yang juga mempertaruhkan
nyawa Yesus demi 300 dinar. Kitab Yohanes menuliskan hal tersebut di Bab
13 Ayat 21—30.
Nama Marja pun menyerupai nama Maria Magdalena, yaitu tokoh yang
sangat dekat dengan Yesus (bandingkan dengan tokoh Magdalen pada novel
The Secreat yang merupakan kekasih Yesus). Marja merupakan kekasih
Yudha sekaligus memiliki hubungan khusus dengan Parang Jati.
Tokoh teman-teman pemanjat tebing Yudha ada 11 (ber-12 dengan
Yudha), antara lain bernama Pete (yang mirip dengan Peter/ Petrus), Matias
(mirip dengan Mateus/ Matius), Marzuki (yang hampir mirip dengan Markus),
Lukman (yang mendekati Lukas), dan Joni (yang merupakan bentuk
‘Indonesia’ untuk Jhon/ Johannes/ Yohanes).
Gerombolan Pemanjat Tebing itu kini sudah bersedia menjadi mualaf sacred climbing. Mulanya ada sedikit perlawanan. Terutama pada Pete dan keempat sekondannya: Matias, Marzuki, Lukman, dan Joni (Utami, 2008: 405).
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 34
Ayu Utami lebih suka ke gereja pada misa harian daripada misa pada
hari minggu. Hal ini dikarenakan Ayu Utami tidak suka mendengarkan kotbah
yang panjang lebar. Menurut Ayu, kotbah di gereja lebih banyak yang jelek
daripada yang bagus (http://ayuutami.com, diunduh pada 7 September 2010).
Ayu Utami merasa senang ketika Kofrensi Wali Gereja Indonesia (KWI)
membuat Nota Pastoral mengenai habitus baru yang salah satunya adalah
membuang sampah. Kiranya inilah bagian yang cukup banyak menjadi
sorotan Ayu dalam novelnya.
Konfrensi Wali Gereja Indonesia (KWI) merupakan pertemuan para
pemimpin Gereja Katolik se-Indonesia. Pada pertemuan tersebut, biasanya
membahas isu yang berhubungan dengan katolik, iman katolik, katolisitas,
dalam kerangka hidup berbangsa dan bernegara.
Habitus baru adalah kebiasaan baru yang ingin dikembangkan. Melalui
penumbuhan kebiasaan baru melalui kegiatan kecil dari lingkup terkecil
diharapkan perubahan besar terjadi. Habitus baru yang ditawarkan oleh KWI
melalui nota pastoralnya berkaitan dengan masalah serius yang dihadapi
bangsa Indonesia berkaitan dengan kehidupan berbangsa yang dipandang
begitu lemah. Hal tersebut tampak pada kutipan nota pastoral 2004
(http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=1198 , diunduh pada 13 November
2011) yang menjadi salah satu inspirasi Ayu Utami
dikarenakan kehidupan berbangsa tidak ditata berdasarkan iman dan ajaran agama. Hidup tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budaya dan cita-cita mulia kehidupan berbangsa. Hati nurani tidak dipergunakan, perilaku tidak dipertanggungjawabkan kepada Allah dan sesama. .... Dalam kehidupan bersama, terutama kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara manusia menjadi egoistik, konsumeristik dan materialistik. .... Keadilan dan hukum tidak dapat ditegakkan, korupsi merajalela, penyelenggara negara memboroskan uang rakyat. Semua itu membuat orang menjadi rakus dan kerakusan itu merusak lingkungan hidup dan dengan demikian orang tidak memikirkan masa
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 35
depanya, merebaklah wabah ketidak-adilan di bidang politik, ekonomi, dan budaya.
Melalui novelnya Ayu Utami menyampaikan beberapa hal yang erat
berkaitan dengan latar belakangnya sebagai seorang yang beragama Katolik.
Pertama, ia tidak hanya mengkritik kepemimpinan agama yang cenderung
banyak bicara. Hal ini dilihat dengan tokoh Penghulu Semar yang banyak
memberi wejangan-wejangan untuk memelihara alam tetapi tidak memberi
bukti atau langkah konkret untuk hal itu. Tokoh Penghulu Semar merupakan
tokoh yang mewakili kepemimpinan agama yang menolak kehadiran mahluk
lain. Padahal tanpa disadari jika konsep budaya (upacara bekakak-pemberian
sesaji-) dan ‘ketakutan’ akan mahluk gaib itu dapat dimanfaatkan dengan baik,
maka kelestarian alam dapat terjaga. Hal ini dikarenakan secara tidak langsung
manusia akan mengontrol tingkah lakunya.
Kedua, ketertarikan Ayu akan Nota Pastoral yang dikeluarkan KWI
berkaitan dengan habitus baru yang sangat sederhana seperti membuang
sampah, sepertinya menjadi alasan kuat bagi Ayu untuk mendukung tema
kelestarian alam yang diusungnya. Kebiasaan kecil seperti membuang sampah
jika dilakukan secara bersama-sama dan menjadi kesadaran tiap manusia, akan
membuat lingkungan bersih. Kebersihan itu akan menjaga kelangsungan
hidup manusia itu sendiri.
Dalam novelnya, Ayu Utami dengan sangat jelas mengkritik para
pemanjat yang menggunakan alat-alat untuk memanjat. Alat-alat itu membuat
tebing menjadi rusak. Ketika tebing rusak, ekosistem terganggu. Ayu juga
tidak menyembunyikan ketidaksukaannya terhadap para penambang kapur
yang menggerogoti bukit-bukit kapur. Hal ini nampak dengan uraian Ayu
Utami melalui tokoh Parang Jati tentang bukit kapur yang banyak hilang
akibat penambangan legal dan illegal.
Ayu Utami adalah seorang wartawan sebelum ia menjadi penulis novel.
Ia banyak berhubungan dengan fakta lapangan. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa berita yang sengaja disertakan Ayu Utami di novelnya. Berita itu
antara lain terdapat di halaman 179—183. Berita yang pertama (halaman 179)
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 36
diambil dari Suara Merdeka tertanggal 20 November yang berjudul “Ngaku
Dukun, Nyaris Dihakimi Massa”. Berita yang kedua berada di halaman 181,
diambil dari Detikcom, tertanggal 21 November, berjudul “Isu Hantu Cekik
Meluas”. Berita di halaman 182, diambil dari Detikcom tertanggal 17
November dengan judul berita “Dua Kisah tentang Asal Muasal Hantu
Cekik”, dan di halaman 183 terdapat berita berjudul “Usut hantu Cekik, Polisi
Amankan Orang Gila dan Pencari Kodok. Berita tersebut juga diambil dari
Detikcom tertanggal 17 November.
Ayu Utami juga seorang pendiri Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) yang
menentang pembredelan. Sebagai seorang wartawan, ia merupakan salah satu
saksi kejadian perpindahan pemerintahan. Pemerintahan Suharto (orde baru
yang menyebabkan koran tempatnya bekerja dibredel), pemerintahan BJ.
Habibie, Pemerintahan Gus Dur, dan pemerintahan Megawati. Hal ini nampak
pada kesengajaan Ayu memainkan kalimat sehingga interpretasi pembaca
tergiring pada peristiwa seputar reformasi itu. Hal ini nampak pada kutipan
berikut (Utami, 2008: 350)
… Setahun setelah krismon, terjadilah hal yang tidak terbayangkan pada zaman itu. Diktator yang telah memerintah selama 32 tahun itu turun dari tahta kepresidenan! Jendral Soeharto namanya. Ia mengundurkan diri begitu saja seperti orang tua yang ngambek. Itu terjadi tahun ’98, setelah mahasiswa mendemo pemerintahannya dan kabinet mogok. Padahal selama 32 tahun ia dikenal sebagai penguasa bertangan besi. Peristiwa ini dikenal dengan nama “lengser keprabon”-mundur dari keprabuan.
Ayu Utami mewarisi darah jawa dari Ibunya. Ia sendiri lahir di kota
Bogor, Jawa Barat. Hal inilah yang membuat Ayu Utami tak ragu menuliskan
cerita dengan latar Jawa Barat (deret perbukitan tepi pantai Laut Selatan). Hal
itu juga yang membuat Ayu Utami memiliki ketertarikan untuk mengangkat
tradisi Jawa yang menurut pandangan Ayu dapat menyelamatkan ekosistem.
Tradisi yang dimaksud adalah upacara bekakak yang berasal dari Jawa
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 37
Tengah, yang merupakan tradisi memberikan sesaji kepada Ratu Pantai Laut
Selatan (Nyi Roro Kidul) dengan dua boneka manten yang terbuat dari ketan.
Kedua boneka itu nantinya disembelih dan mengeluarkan darah (berupa
lelehan gula jawa yang encer) dan dilarung di laut beserta perangkat sesaji
yang lain.
Ayu juga banyak mengulas tokoh-tokoh pewayangan, Babad Tanah
Jawi, dan filosofi Jawa, selain tradisi yang telah dikemukakan sebelumnya.
Contoh paling jelas adalah tokoh utamanya selain Yudha adalah Parang Jati
yang biasanya merupakan nama keris yang bertuah. Ia juga memberi nama
tokoh perwakilan militernya dengan Karna dan Kumbakarna, lalu menamai
tokoh yang mewakili pemuka agama dengan nama Penghulu Semar.
Ayu Utami juga memunculkan tokoh-tokoh figuran yang merupakan
representasi dari pandangan mistis jawa. Tokoh tersebut seperti gundul
pringis, yaitu hantu yang berupa buah kelapa yang tiba-tiba jatuh. Buah kelapa
itu serupa dengan kepala dengan wajah meringis.
Selain itu, Ayu juga mengangkat tokoh Nyi Roro Kidul (Nyi Ratu
Kidul). Seperti yang diketahui secara luas, Nyi Roro Kidul adalah salah satu
mitos yang berhubungan dengan laut selatan. Diceritakan bahwa Nyi Roro
Kidul merupakan tokoh perempuan yang menikahi seluruh raja mataram. Ayu
Utami bahkan membuat diagram pohonnya pada halaman 246.
Pola pikir Ayu Utami berkaitan dengan budaya jawa juga tampak pada
klaim Ayu tentang bilangan berbasis 10 merupakan bilangan berbasis tubuh
sedangkan bilangan berbasis 12 adalah bilangan berbasis alam. Dalam budaya
Jawa dikenal dengan 9 lubang yang disebut dengan howo songo (pada
perempuan jumlah lubangnya menjadi 10).
Namun pernyataan tersebut tentunya bertolak belakang dengan esai
karangan Alan Bishop yang berjudul “Western Mathematics: A Secret
Weapon of Cultural Imperialism”. Alan menjelaskan ada 600 bahasa di Papua
New Guinea dan ratusan sistem berhitung yang banyak berbasis tubuh, bukan
cuman bilangan sepuluh. Dikatakan bahwa tubuh yang jumlah bilangannya
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 38
sepuluh adalah jari (Guruh, http://indonesiabuku.com/?p=6299, diunduh pada
7 September 2010).
Dalam kumpulan esai Parasit Lajang-nya, Ayu Utami menjabarkan
banyak alasan Ayu menolak pernikahan. Sejauh yang peneliti ketahui, sampai
sekarang, Ayu Utami belum menikah. Pandangan Ayu tentang pernikahan
yang (menurutnya di Parasit Lajang) adalah sebuah lembaga yang mengekang
‘kebebasan’ Ayu (kebebasan dapat diterjemahkan dalam kebebasan lain selain
sex—mohon membaca Parasit Lajang—). Dalam novel, pandangan ini
muncul sebagai berikut
… Aku tak pernah jatuh tertidur setelah bermain cinta. Tak sekali pun aku membiarkan diriku tertidur. Itu bahaya. Lelaki yang tidur akan memberi sinyal bahwa ia merasa aman, dan karenanya akan memberikan rasa aman yang sama kkepada perempuannya. Rasa aman ini akan ditafsirkan oleh perempuan sebaggai tawaran untuk hidup berumahtangga. (Utami, 2008: 39).
Pandangan Ayu Utami mengenai kebebasan diwujudnyatakan pada
Bilangan Fu (dan karyanya yang lain). Hal inilah yang menyebabkan Ayu
mendapat kecaman selain pujian. Salah satu kecaman muncul dari Saut
Situmorang anggota Ode Kampung yang sangat menyerang Utan Kayu
(tempat Ayu Utami bergabung didalamnya). Kecaman tersebut nampak pada
ungkapan Saut Situmorang saat diwawancarai majalah mahasiswa dari
Universitas Indonesia (http://literature.wordpress.com/2008/02/10/perang-
sastra-boemipoetra-vs-teater-utan-kayu/, diunduh pada 7 September 2010)
berikut ini
Siapa yang bilang bahwa “seks dan agama” itu bertentangan! Apa ada “agama” yang melarang seks! Gereja Katolik yang melarang pastor untuk kawin itu aja tidak melarang seks bagi yang non-pastor!!! Ketidakhati-hatian orang kita dalam berbahasa memang sudah fenomenal. boemipoetra tidak anti-seks malah sangat suka seks! Yang dilawan boemipoetra adalah eksploitasi seks (seksploitasi)
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 39
sebagai standar estetika sastra (paling) bermutu, yang mengorbankan estetika sastra non-seks seperti nilai-nilai Islami pada Forum Lingkar Pena misalnya.
Pengarang perempuan yang setipe dengan Ayu Utami juga diserang Saut
Situmorang sebagai berikut http://literature.wordpress.com/2008/02/10/
perang-sastra-boemipoetra-vs-teater-utan-kayu/, diunduh pada 7 September
2010)
Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu adalah para penulis perempuan Indonesia yang mengeksploitasi seks dalam tulisan mereka dan menjadi terkenal karenanya. Menjadi dibaca tulisannya karenanya. Itu saja alasannya kenapa mereka dibaca. Lucu ya bahwa ketiga perempuan tukang eksploitasi seks perempuan ini punya nama sama, yaitu “Ayu”. Mungkin nama Sastrawangi musti diganti jadi “Sastrayu”
3. Analisis latar belakang sejarah yang melahirkan Bilangan Fu.
Seperti yang telah diuraikan di bagian awal, Ayu Utami merupakan salah
satu orang yang cukup kritis dengan pemerintahan. Saman, Larung, dan
Bilangan Fu diciptakan Ayu Utami berdasarkan peristiwa sosial itu. Memang
peristiwa kerusuhan Mei ’98 ini tidak hanya sempat membuat ethnis Cina/
Tioghoa dan kaum perempuan terancam dan teraniaya saja. Tetapi juga
menyentuh dimensi sosial ekonomi dan iklim politik saat itu.
Sebagai seorang wartawan (pada saat peristiwa itu terjadi), Ayu Utami
menyimpan dan merekam peristiwa itu. Rekaman itu diolah Ayu dalam
bentuk novel dengan kritik sosial, ekonomi, politik (dan budaya) yang kental
dalam novelnya.
Pada tahun 2008, dunia kesusastraan Indonesia baru saja diharu-birukan
dengan kemunculan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Pada tahun ini,
hampir semua ulasan tertuju pada sistem kependidikan yang amburadul di
Indonesia. Andrea Hirata memberikan contoh konkret dengan SD
Muhammadiahnya tempat Ikal dan kawan-kawan bersekolah. Sedangkan Ayu
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 40
Utami memberikan contoh SD Negeri di Sewugunung tempat Parang Jati dan
Kupu-kupu bersekolah.
Kritik sosial yang kuat terjadi akibat jarak yang cukup lebar antara kaum
berada dan kaum tak berada. Untuk memperjelas hal ini, bandingkan dengan
tema sosial yang diangkat Andrea Hirata ketika ia menggambarkan nasib
buruh PN Timah dan para pendatang yang mengelola Timah. Ayu Utami
menyoroti kesenjangan kesejahteraan ekonomi masyarakat Sewugunung
dengan membandingkan kehidupan para penguasa (pemegang kekuasaan) dan
para penambang kapur atau petani biasa. Hal ini nyata terlihat dengan
berbedanya status sosial Parang Jati dan Kupu-kupu.
Juga bandingkan isu kerusakan alam yang diangkat Ayu Utami dan
Andrea Hirata. Bilangan Fu menceritakan rusaknya tebing-tebing di pesisir
Laut Selatan. Kerusakan alam di Belitong yang diakibatkan dengan
keserakahan pengelola PN Timah yang diselipkan Andrea Hirata dalam
Laskar Pelangi.
Seorang pendaki gunung dan sekaligus penulis buku Amanat Gua
Pawon (AGP) yang diterbitkan oleh Kelompok Riset Cekungan Bandung
(KRCB) pada tahun 2004 menuliskan pendapatnya di blog pribadinya.
Brahmantyo (pendaki gunung dan penulis buku tersebut) menyatakan bahwa
Ayu Utami mengubah nama Gunung Sewu menjadi Sewugunung sebagai
salah satu setting dalam Bilangan Fu.
Bagi yang mengenal geologi dan geografi karst Pulau Jawa, setting lokasi sangat membingungkan. Ayu Utami menempatkan karst Sewugunung (jelas pelesetan dari Gunungsewu) yang sangat dekat dari Yogyakarta (dalam novel ini, Yuda bisa pulang-pergi kurang dari sehari ke Yogyakarta dari Sewugunung dengan sepeda onthel). Di Sewugunung ini muncul bukit terjal andesit Watugunung yang menghadap Laut Selatan. Bagi saya Watugunung berasosiasi dengan Gunung Parang di Plered, Purwakarta (http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=270, diunduh pada 2 November 2011).
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 41
4. Hubungan pandangan Ayu Utami terhadap masyarakat luas
(Indonesia) dalam Bilangan Fu.
Ayu Utami memiliki beberapa isu yang dibahasnya dalam Bilangan Fu.
Isu yang dibahas Ayu ini merupakan problematika sosial yang ditangkap Ayu
Utami sebagai bagian dari kemasyarakatan luas (Indonesia).
Isu yang pertama adalah pandangan Ayu mengenai konsep
keseimbangan dan keterjagaan ekosistem. Ayu berpendapat bahwa
menyelamatkan bumi dapat dilakukan dengan cara-cara sederhana. Contohnya
dengan memanfaatkan acara sedekah bumi, dan sesajen yang lain. Pola
pikirnya bukan ditujukan pada pemujaan roh, melainkan memunculkan rasa
‘takut’ untuk merusak pohon, telaga, tebing, dan lainnya. Berdasarkan isu ini,
berarti Ayu memiliki pandangan untuk memanfaatkan budaya yang beragam
di Indonesia untuk melestarikan lingkungan. Dengan demikian tak hanya
lingkungan (ekosistem) yang terlestarikan saja, tetapi juga usur budaya yang
merupakan kekhasan masyarakat Indonesia yang majemuk.
Isu selanjutnya adalah pada situasi sosial kemasyarakatan. Ayu
berpendapat bahwa ada begitu banyak masyarakat dalam novelnya yang
mudah terprovokasi. Hal ini merefleksikan pandangan Ayu terhadap sifat
kebanyakan masyarakat Indonesia. Dengan sifat mudah terprovokasi,
kerusuhan Mei ’98 masih menyisakan trauma yang sulit hilang. Selain itu,
penegakan hukum berkaitan dengan peristiwa kerusuhan Mei ’98 tak kunjung
mengalami kemajuan (http://www.komnasperempuan.or.id, diakses 16
September 2010).
Selanjutnya, isu mengenai ekonomi masyarakat Indonesia. Kesenjangan
antara si kaya dan si miskin nampak dalam novel Bilangan Fu ini. Ayu
berpendapat bahwa kemiskinan yang menjamur di Indonesia bukan
disebabkan sumber dayanya yang tidak ada tetapi tidak bisa membudayakan
sumber daya yang ada.
Hal lain berkaitan dengan kemiskinan dimunculkan Ayu Utami dengan
gaya sarkastik. Ia menyampaikannya melalui tokoh Kupu-kupu yang sangat
sensitif dan mudah merasa diabaikan/ diperlakukan tidak baik. Bahkan
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 42
kesensitifan itu dilukiskan sebagai sebuah mainset yang membentuk perilaku
yang konstan. Hal tersebut tamak pada kutipan berikut (Utami, 2008: 318)
Limaratus ribu rupiah hadiahnya. Angka yang besar bagi anak-anak desa. Sangat berarti bagi Kupu-kupu yang berbapak pemecah batu penderes nira. Belum lagi kemenangan ini –jika ia menang- akan semakin melapangkan jalannya menjadi kandidat beasiswa ke luar negeri. …. Tapi, kemudian rasa itu datang lagi. Rasa terancam. Kekhawatiran seperti akan dizalimi…. Tapi bagaimana kalau ia dizalimi? (Ia tak sadar, begitu mudahnya ia merasa akan dizalimi).
Isu mengenai politik juga dibahas oleh Ayu Utami. Bilangan Fu
menggunakan setting era ’98 untuk memotret pemerintahan reformasi. Ayu
mengkristalkan empat konsep yang ditawarkan oleh Gus Dur yaitu
pembaharuan sistem ekonomi, sistem politik, sistem etika, dan pendidikan
nasional (http://www.gusdur.net, diakses 16 September 2010). Tentu saja hal
itu disampaikan Ayu untuk mengkritisi pemerintahan yang cenderung
mendukung kaum berduit. Contoh konkret nampak pada ijin yang diturunkan
oleh pemerintah terhadap penebangan jati dan eksploitasi kapur di
Sewugunung.
Isu religiositas juga diangkat oleh Ayu Utami melalui Bilangan Fu. Ia
menampakkan ketidaksukaannya terhadap praktik agama yang melupakan
keseimbangan ekosistem melalui sikap dan pandangan tokoh-tokoh dalam
Bilangan Fu. Hal tersebut dilakukan Ayu Utami dengan menggunakan
keberpihakan tokoh dalam Bilangan Fu (Parang Jati) dalam membela ritual
budaya yang justru secara tidak langsung mengakibatkan ekosistem tetap
terjaga. Hal tersebut nampak pada kutipan berikut
“Jika dalam sebuah tradisi, kepercayaan tentang siluman dan roh-roh penguasa alam itu ternyata berfungsi untuk membuat masyarakat menjaga hutan dan air, apa yang jahat dengan kepercayaan yang demikian? Tidakkah ia setara dengan perintah untuk memelihara pohon?”
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 43
“Tidak ada hubungannya dengan Nyi Rara Kidul dan agama!” bantah Kupu-kupu.“Tapi ada hubungannya dengan memasang sesajen di pohon-pohon angker, goa, ataupun mataair yang kamu sebut tadi. Yang kamu anggap syirik. Sikap mengeramatkan ini sesungguhnya mengurangi pengrusakan hutan dan alam. Sikap mengeramatkan alam sejalan dengan sikap memeliharanya.
Sikap dan pandangan Ayu Utami melalui tokoh Parang Jati berkaitan
dengan praktik keagamaan dipertegas dengan pernyataan Parang Jati berikut
(Utami, 2008: 317) “Jadi kesimpulannya: Kepercayaan pada Ratu Kidul tidak
perlu dipertentangkan dengan pemahaman keagamaan atas Tuhan yang Maha
Esa. Titik! Keduanya bisa berjalan berdampingan. Titik!”
Sebuah ulasan di internet ( http://haisa.wordpress.com/2010/06/23/
agama-dalam-sastra-pertemuan-dan-persimpangannya/, diunduh pada 8
November 2011) memberi pernyataan yang senada. Disampaikannya bahwa
Bilangan Fu secara keseluruhan melakukan kritik terhadap ’agama’ dan
menawarkan suatu yang disebutnya sebagai ’spiritualitas kritis.’ Menurut
penulis dalam kehidupan yang tertutup, represif, dikuasai oleh satu nilai
kebenaran tertentu, entah itu berdasar politik, ideologi, maupun agama, sastra
berperan untuk melakukan interupsi. Walaupun hal ini tidaklah mudah, lebih-
lebih terhadap kemapanan yang bersumber pada suatu agama, karena sastra
dengan corak seperti ini bisa segera dituduh anti-Tuhan, menghina agama,
memprovokasi konflik, dan sebagainya, yang membuatnya sah untuk
diberangus.
Pernyataan tersebut dipertegas dengan kutipan berikut
(http://haisa.wordpress.com/2010/06/23/ agama-dalam-sastra-pertemuan-dan-
persimpangannya/, diunduh pada 8 November 2011)
Meski beralur sederhana, karya Ayu ini cukup kompleks. Ia mendedahkan lagi beberapa kepercayaan kuno pra-Islam dan menganyamnya dalam relasi cerita yang bertingkat-tingkat, berlapis-lapis, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari suatu topik ke topik lain. Ilmu pengetahuan modern
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 44
dipertemukan dengan kearifan kuno yang telah banyak dilupakan. Kita dihadapkan pada keriuhan teks yang mewacanakan kehadirannya sendiri-sendiri
Melalui Bilangan Fu, Ayu Utami menyampaikan pandangannya
mengenai bangsa Indonesia. Pandangan Ayu tersebut berkaitan dengan banyak
aspek kehidupan sosial dan bahkan juga berkaitan dengan cara pandang
bangsa Indonesia.
BAB 5
PENUTUP
1. Simpulan
Strukturalisme genetik adalah teori kajian sastra yang merupakan
gabungan antara teori strukturalisme dan marxisme. Teori ini secara singkat
merupakan kajian sastra yang mengkaji tidak hanya unsur intrinsiknya saja
tetapi juga mengkaji unsur ekstrinsiknya. Kajian dalam strukturalisme genetik
harus dilakukan berulang dan saling berkaitan antara struktur di dalam karya
sastra itu sendiri dengan unsur di luar karya sastra itu.
Analisis novel Bilangan Fu dengan menggunakan teori strukturalisme
genetik dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah analisis data
yang berhubungan dengan struktur Bilangan Fu melalui hubungan antar tokoh
dan tokoh dengan lingkungannya. Tahap kedua yaitu analisis hubungan
kehidupan sosial Ayu Utami sebagai pengarang dengan novel Bilangan Fu.
Tahap ketiga analisis latar belakang sejarah yang melahirkan Bilangan Fu.
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 45
Tahap keempat adalah melihat hubungan pandangan Ayu Utami terhadap
masyarakat luas (Indonesia) dalam Bilangan Fu.
Simpulan yang dapat ditarik adalah Bilangan Fu merefeksikan
pandangan Ayu Utami tentang situasi sosial-ekonomi-budaya-politik-
spiritualisme bangsa Indonesia. Struktur dalam Bilangan Fu merupakan
bagian yang terintegrasi dengan kerangka berpikir dan bersikap masyarakat
Indonesia secara umum. Penulis, karya sastra, dan lingkungan menjadi faktor
yang saling berkaitan dalam kemunculan sebuah karya sastra, dalam hal ini
kemunculan Bilangan Fu.
2. Saran
Karya sastra dapat ditelaah dengan melihat hubungan karya sastra
tersebut dengan situasinya. Biasanya karya sastra yang memiliki hubungan
yang erat dengan situasi kemasyarakatan merupakan karya sastra yang berupa
kritik sosial. Bilangan Fu merupakan karya sastra yang demikian. Oleh sebab
itu, pembaca sebaiknya menghubungkan Bilangan Fu ini dengan situasi sosial
kemasyarakatan negara Indonesia, sehingga pembaca tidak buru-buru
mengatakan karya Ayu Utami ini semata-mata mengumbar sex dan sexualitas
secara vulgar.
Katolisitas Bilangan Fu hasil penelitian ini diharapkan dapat dimaknai
secara positif dalam kerangka berpikir akademik yang luas. Nilai-nilai
religiositas yang hendak disampaikan Ayu Utami melalui Bilangan Fu
menarik untuk dikaji dengan perspektif agama dan akademik sepanjang fokus
pembahasan dan pembicaraan tidak berhenti pada klaim porno yang terlanjur
melekat pada Ayu Utami setelah kemunculan Saman dan Larung.
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 46
DAFTAR PUSTAKA
Brahmantyo. tt. “Mengikuti Petualangan Mahasiswa Geologi ITB di Novel Ayu Utami”. http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=270, diunduh pada 2 November 2011
Faruk. 1988. Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra. Yogyakarta: PD Lukman Jaya
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukuralisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Guruh, Ian Ahong. 2010. “Ngobrol Bareng Ayu Utami”. http://indonesiabuku.com/?p=6299, diunduh pada 7 September 2010
Grinitha, Virry. 2010. “Analisis Strukturalisme Genetik Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer”, http://library.unib.ac.id/koleksi/ Virry%20Grinitha-Abst-FKIP-PendBIN-Des2010.pdf, diunduh pada 2 November 2011
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 47
Hudayat, Asep Yusup. 2007. “Modul Metode Penelitian Sastra”. http://resoouces-unpad.ac.id/unpad-content/.../metode-penelitian-sastra.pdf. diunduh pada 7 September 2010
Iswanto, Drs.. 2003. “Penelitian Sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik” dalam Metodologi Penelitian Sastra. Jabrohim (Ed.). Yogyakarta: Hanindita Graha Widya
Sastrawan, Adil. 2011. “Spiritualitas dalam Novel Bilangan Fu”. http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--adilsastra-5569, diunduh pada 2 November 2011
Sitepu, Gustaf. “Strukturalisme Genetik Asmaraloka”. Tesis Universitas Sumatera Utara Medan. http://repostory.usu.ac.id/bitstream/123456789/5783/ 1/09E01966.pdf diunduh pada 7 September 2010
Sudarwanto, Pangky. tt. “Kepoufanikan dan Kedialogisan Tematik Novel Bilangan FU Karya Ayu Utami”. http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/ 468819525_abs.pdf, diunduh pada 8 November 2011
Teeuw, A.. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Utami, Ayu. 2008. Bilangan Fu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Vian, Dwi. 2011. “Tinjauan Strukturalisme Genetik terhadap Lakon BLEG-BLEG THING”, http://komunitassegogurih.wordpress.com/2011/07/23/ tinjauan-strukturalisme-genetik-terhadap-lakon-%E2%80%9Cbleg-bleg-thing%E2%80%9D/, diunduh pada 2 November 2011
Viniati, Rina. 2010. “Mistik Kejawen dalam Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan)”. Tesis Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Diunduh dari http://pasca.uns.ac.id/?p=882, pada 2 November 2011
Waluyo, Budi. 2010. “Strukturalisme Genetik Drama Panembahan Reso Karya W.S. Rendra”. http://pasca.uns.ac.id/?p=1028, diunduh pada 2 November 2011
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 48
Wijayanto, Agung. 2011. “Analisis Strukturalisme Genetik dalam Roman Germinal Karya Emile Zola”. http://lib.unnes.ac.id/4503/, diunduh pada 2 November 2011
2004. “Nota Pastoral: Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa”. http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=1198 diunduh pada 13 November 2011
2005. “Ayu Utami”. http://id.wikipedia.org/wiki/Ayu_Utami. diunduh pada 7 September 2010
2008. “Bilangan Fu”. http://johnherf.wordpress.com/2008/07/24/spiritualisme-kritis-ayu-utami/. Diunduh pada 7 September 2010
2008. “Perang Sastra boemipoetra vs Teater Utan Kayu”. http://literature. wordpress.com/2008/02/10/perang-sastra-boemipoetra-vs-teater-utan-kayu/, diunduh pada 7 September 2010
2008. “Tentang Ayu Utami”.http://ayuutami.com/index.php?option=com_ content&view=category&layout=blog&id=31&Itemid=54. diunduh pada 7 September 2010
2009. “Agama dalam Sastra; Pertemuan dan Persimpangannya”. Pengantar diskusi ‘Agama dan Kesusasteraan,’ Balai Budaya Soejatmoko, Solo, 6 September 2009 M/16 Ramadhan 1430 H. tulisan ini diunduh dari http://haisa.wordpress.com/2010/06/23/ agama-dalam-sastra-pertemuan- dan-persimpangannya/, pada 8 November 2011
2009. “Penelitian Deskriptif”. http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/163-penelitian-deskriptif.html, diunduh pada 14 November 2011
2010. “Novel Terbaru Ayu: Manjali dan Cakrabirawa”. http://ayuutami.com/. Diunduh pada 7 September 2010
tt. “Ester Jusuf, S.H: ”Kita Harus Membangun Kekuatan Bersama Korban dan Masyarakat!”. http://www.komnasperempuan.or.id/. diunduh pada 16 September 2010
tt. “Untuk Membangun Pemerintahan Alternatif Diperlukan Kejujuran dan Konsep”.http://www.gusdur.net. diunduh pada 16 September 2010
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 49
tt. “Franz Magnis Suseno”. http://www.tokoh-indonesia.com/ensiklopedi/f/franz-maginis-suseno/index.shtml, diunduh pada 14 November 2011
Strukturalisme Genetik Bilangan Fu Karya Ayu Utami 50