31
19 BAB III DIAGNOSIS DAN RENCANA PERAWATAN TRAUMA DENTOALVEOLAR PADA ANAK 3.1 Anamnesis Anamnesis adalah kemampuan ingatan dan atau sejarah masa lalu mengenai seseorang pasien dan keluarganya (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Tujuan anamnesis ini dapat membantu dokter gigi untuk memberikan penilaian terhadap kondisi pasien. Tujuh kriteria anamnesis yang harus dipenuhi, antara lain adalah: 1. Lokasi 2. Kualitas 3. Kuantitas dan keparahannya 4. Waktu 5. Keadaan yang memicu terjadinya keluhan 6. Faktor lain yang memperberat atau memperingan gejala 7. Gejala lain yang menyertai keluhan utama Urgensi anamnesis pada kasus fraktur dentoalveolar sangatlah penting karena akan menentukan prognosis dan perawatan yang cepat dan tepat dalam menindaklanjuti kejadian fraktur dentoalveolar pada anak. Anamnesis dapat berupa pertanyaan mengenai riwayat dental maupun riwayat medis jika kondisi memungkinkan dan kesehatan umum baik. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan mengenai riwayat dental adalah sebagai berikut (Welbury, 2005):

BAB III DIAGNOSIS DAN RENCANA PERAWATAN …media.unpad.ac.id/thesis/160110/2007/160110070075_3_1222.pdf · permanen, dan 3,8% pada gigi sulung (Fonseca, 2005). Penanganan fraktur

  • Upload
    vuliem

  • View
    244

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

19

BAB III

DIAGNOSIS DAN RENCANA PERAWATAN TRAUMA

DENTOALVEOLAR PADA ANAK

3.1 Anamnesis

Anamnesis adalah kemampuan ingatan dan atau sejarah masa lalu mengenai

seseorang pasien dan keluarganya (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29,

2002). Tujuan anamnesis ini dapat membantu dokter gigi untuk memberikan

penilaian terhadap kondisi pasien. Tujuh kriteria anamnesis yang harus dipenuhi,

antara lain adalah:

1. Lokasi

2. Kualitas

3. Kuantitas dan keparahannya

4. Waktu

5. Keadaan yang memicu terjadinya keluhan

6. Faktor lain yang memperberat atau memperingan gejala

7. Gejala lain yang menyertai keluhan utama

Urgensi anamnesis pada kasus fraktur dentoalveolar sangatlah penting karena

akan menentukan prognosis dan perawatan yang cepat dan tepat dalam

menindaklanjuti kejadian fraktur dentoalveolar pada anak. Anamnesis dapat

berupa pertanyaan mengenai riwayat dental maupun riwayat medis jika kondisi

memungkinkan dan kesehatan umum baik. Beberapa pertanyaan yang dapat

diajukan mengenai riwayat dental adalah sebagai berikut (Welbury, 2005):

20

Kapan terjadinya injuri? Waktu interval antara injuri dan perawatan secara

signifikan memengaruhi prognosis avulsi, luksasi, fraktur mahkota dengan atau

tanpa paparan pada pulpa, dan fraktur dentoalveolar.

1. Dimana terjadinya injuri? Tempat kejadian dapat mengindikasi keperluan

untuk diberikan profilaksis tetanus.

2. Bagaimana injuri terjadi? Keadaan celaka dapat memberikan informasi

mengenai tipe injuri. Perbedaan antara riwayat dan temuan klinis akan

mengindikasikan kecurigaan kekerasan fisik.

3. Adakah kehilangan gigi/fragmen? Jika gigi atau bagian fraktur tidak dapat

ditegakkan kondisinya ketika terjadi riwayat hilang kesadaran maka radiografi

pada dada harus dilakukan untuk meniadakan gangguan inhalasi.

4. Adakah concussion, nyeri kepala, muntah atau amnesia? Kerusakan otak harus

ditangani dan dilakukan rujukan ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.

5. Bagaimana riwayat dental sebelumnya? Trauma terdahulu akan memengaruhi

tes sensibilitas pulpa dan kapasitas perawatan pulpa dan atau periodontal.

Adakah kecurigaan kekerasan fisik? Pengalaman perawatan terdahulu, usia,

sikap pasien atau orang tua akan memengaruhi pilihan perawatan juga.

Sedangkan mengenai riwayat medis dapat ditanyakan beberapa hal berikut

ini (Welbury, 2005):

1. Penyakit jantung kongenital, riwayat demam rhematoid atau kondisi

immunosupresan yang parah. Kondisi ini kontraindikasi untuk dilakukan

perawatan endodontik dengan nekrosis yang persisten.

2. Gangguan perdarahan

21

3. Alergi terhadap medikasi obat

4. Status imunisasi tetanus terakhir

5. Kehilangan kesadaran saat cedera

Jika terdapat kelainan sistemik pada pasien segera hubungi dokter anak untuk

pertimbangan perawatan dan premedikasi agar komplikasi dapat dihindari selama

perawatan dental.

Kunci keberhasilan anamnesis adalah kemampuan komunikasi dokter gigi

untuk menggali informasi dari pasien. Proses anamnesis pada pasien anak

memiliki kendala tersendiri karena kecenderungan pasien fraktur dentoalveolar

pada anak sulit untuk diwawacara mengenai anamnesis ini, maka perlu adanya

kerja sama orang tua untuk memberikan informasi berkaitan dengan keluhan

pasien. Pemeriksaan dilakukan dengan cara tersendiri pada anak yang tidak

kooperatif, terutama anak balita. Literatur Pedodonsia Terapan yang diunduh

melalui situs Universitas Sumatera Utara, cara yang biasa dilakukan untuk

memeriksa pasien anak yang kurang kooperatif, misalnya :

1. Anak diletakkan di pangkuan ibunya dengan posisi kaki ke arah ibu dan kepala

anak ke arah dokter gigi seperti terlihat pada gambar 3.1. Dokter gigi

berhadapan dengan ibu, agar anak tidak meronta-ronta tangannya dipegang

oleh ibunya, sehingga dokter gigi mudah melakukan pemeriksaan dan

perawatan.

2. Anak diselimuti, tangan dilipat dan diletakkan di atas dada, anak tidak dapat

bergerak dan pemeriksaan mudah dilakukan.

22

Gambar 3.1 Posisi Pemeriksaan (Mariana, 2006)

Anamnesis adalah langkah awal untuk menentukan diagnosis dengan cara

menggali informasi subjektif mengenai fraktur dentoalveolar pada anak. Langkah

berikutnya untuk menegakkan diagnosis adalah menemukan tanda klinis yang

merupakan data objektif dari kasus fraktur dentoalveolar pada anak.

3.2 Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis adalah informasi objektif yang diperoleh melalui

pemeriksaan oleh dokter gigi dengan melihat temuan klinis pada pasien.

Pemeriksaan secara klinis terbagi menjadi 3 bagian, yakni pemeriksaan fisik,

pemeriksaan ektra oral, dan pemeriksaan intra oral.

3.2.1 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan menyeluruh diperlukan untuk menilai sejauh mana cedera yang

terjadi. Informasi penting harus dikumpulkan untuk setiap pasien termasuk: tanda-

23

tanda vital, review dari semua bagian kepala, sistem dan pemeriksaan leher. Hal

ini penting untuk mengurangi cedera kepala, kerusakan mata, cedera tulang

belakang, dan leher. Sebuah evaluasi dari ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya

dapat menetapkan adanya cedera kepala. Hal penting yang harus diperhatikan

ketika terjadi cedera yang cukup berat adalah tanda-tanda syok, seperti muka yang

pucat, suhu badan dingin, nadi yang tidak beraturan, dan hipotensi (Welbury,

2005).

3.2.2 Pemerikasaan Ekstra Oral

Pemeriksaan ekstra oral adalah mengevaluasi kondisi sekitar mulut yang

berhubungan dengan cedera yang dialami pasien anak fraktur dentoalveolar.

Temuan klinis pada ektra oral harus dicatat untuk melengkapi penegakkan

diagnosis, prognosis, dan rencana perawatan.

Pasien dengan fraktur dentoalveolar harus diperiksa kondisi kepalanya. Luka

ekstra oral seperti bengkak, memar, dan laserasi dapat mengindikasikan adanya

fraktur pada tulang dan gigi. Tulang fasial pun harus dipalpasi untuk mengetahui

ada tidaknya diskontinuitas tulang. Pemeriksaan lainnya adalah inspeksi pada

kondisi sendi temporomandibular, jika ada bengkak, kliking, atau krepitasi (Holan

and McTigue, 2005). Kondisi pergerakan mandibula atau deviasi mandibula harus

dicurigai adanya fraktur atau dislokasi rahang (Welbury, 2005).

24

3.2.3 Pemeriksaan Intra Oral

Pemeriksaan intra oral dievaluasi kondisi dalam rongga mulut, baik jaringan

keras maupun jaringan lunaknya. Benda asing yang terdapat di rongga mulut

seperti gumpalan darah, kotoran yang masih menempel, fragmen gigi, dan tanah

harus dibersihkan dengan menggunakan H2O2 3%, larutan salin, dan air hangat

(Ravel, 2003). Pemeriksaan kondisi jaringan lunak sangat penting dan harus

dilakukan secara hati-hati. Bagian yang harus menjadi perhatian di antaranya

adalah bibir, mukosa oral, free dan attached gingiva, dan frenulum. Bagian

tersebut dievaluasi jika ada laserasi atau hematoma yang disebabkan trauma.

Hemoragi pada submukosa bibir atas biasanya disebabkan oleh fraktur dari tulang

labial. Mobilitas dan lengkung gigi pun harus dievaluasi untuk mengetahui

keparahan trauma setelah jaringan lunak diinspeksi (Flores, et al., 2007).

Berikut adalah pemeriksaan intra oral yang harus dilakukan dokter gigi pada

pasien fraktur dentoalveolar:

1. Kegoyangan gigi

2. Reaksi pada perkusi

3. Warna gigi

4. Reaksi terhadap tes sensitifitas

5. Tes vitalitas pulpa

3.3 Pemerikasaan Radiografi

Pemeriksaan ini diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis kelainan

akibat trauma dengan tepat dan benar. Pemeriksaan radiografi dapat menunjukkan

kondisi yang tidak dapat terlihat secara klinis. Pada usia anak pemeriksaan ini

25

agak sulit dilakukan karena ketakutan atau kurang kooperatifnya anak tersebut,

sehingga diperlukan bantuan dari orang tua saat proses pengambilan foto rontgen

(Andreasen, 2007).

3.3.1 Macam-macam Foto Rontgen

Terdapat macam-macam teknik foto rontgen yang biasa dilakukan oleh dokter

gigi untuk melengkapi informasi dalam upaya penegakkan diagnosis pada kasus

trauma, berikut adalah macam-macamnya (Indrawati, 2011):

1. Periapikal, dapat memberikan gambaran terperinci pada trauma alveolar dan

gigi.

2. Foto oklusal, memberikan gambaran lebih mendetail fraktur prosesus

alveolaris dan gigi.

3. Panoramik, dapat memberikan informasi gambaran fraktur mandibula

keseluruhan. Foto panoramik juga dapat memberikan informasi mengenai

keadaan nasal, septum nasi, dan periorbital bawah.

4. Posteroanterior, dapat menujukkan pergeseran medial atau lateral fragmen

fraktur, angulus, korpus, simfisis, orbita, dan sinus maksilaris.

3.3.2 Macam-macam Foto Rontgen untuk Kasus Trauma Dentoalveolar

pada Anak

Tidak semua teknik foto rontgen bisa dilakukan pada anak terutama saat

mereka dalam kondisi trauma karena rendahnya tingkat kooperatif pasien, macam

teknik foto rontgen yang dapat dilakukan pada pasien anak, yaitu (Cameron and

Widmer, 2008):

26

1. Foto oklusal maksila anterior atau oklusal mandibula anterior

2. Foto panoramik

3. True lateral maxilla untuk kasus intrusi pada gigi sulung anterior

Literatur lain mengatakan bahwa pemeriksaan radiografi anak harus didasarkan

pada kemampuan anak untuk melakukan prosedur pengambilan foto tersebut dan

suspek injurinya, berikut adalah sudut yang direkomendasi pada pemeriksaan

radiografi pada anak agar kondisi fraktur yang ingin diperiksa dapat diidentifikasi

dengan baik (Flores, et.al., 2007) :

1. Sudut horisontal 90°

2. Occlusal view (ukuran 2 film, arah horisontal)

3. Ektra-oral arah lateral yang berguna untuk mengetahui hubungan apeks dengan

gigi yang berpindah dan posisi benih gigi dalam keterlibatannya jika ada

dislokasi (ukuran 2 film, arah vertikal)

Pemeriksaan radiografi pada anak selain yang telah disebutkan di atas, dokter

gigi pada umumnya lebih sering memilih teknik foto rontgen periapikal karena

lebih sederhana, mudah didapatkan, dan hasilnya lebih detail dibandingkan

dengan panoramik atau oklusal. Kesulitan pada saat pengambilan foto dapat

dibantu oleh orang tua pasien anak tersebut.

3.3.3 Informasi dari Pemeriksaan Radiografi

Pemeriksaan radiografi ini harus menyediakan informasi sebagai berikut untuk

menunjang diagnosis dan pemeriksaan pada pasien fraktur dentoalveolar

(Fonseca, 2005):

27

1) Ada atau tidaknya fraktur akar

2) Tingkat ekstrusi atau intrusi

3) Ada atau tidaknya kelainan periodontal

4) Tingkat pertumbuhan akar

5) Ukuran kamar pulpa dan kanal akar

6) Ada atau tidaknya fraktur rahang

7) Fragmen gigi atau benda asing yang masuk ke jaringan lunak

3.4 Rencana Perawatan

Fraktur dentoalveolar pada anak merupakan kondisi kedaruratan medis yang

harus segera ditangani agar tidak mengakibatkan prognosis yang buruk ke

depannya. Prinsip perawatan fraktur dentoalveolar pada anak ini adalah mencegah

prognosis yang buruk dan mengurangi rasa sakit akibat fraktur. Semakin cepat

cedera ditangani, maka prognosisnya semakin baik. Banyak komplikasi pasca

trauma dentoalveolar yang terjadi disebabkan penanganan yang lambat (Fonseca,

2005).

Perawatan fraktur dentoalveolar terbagi menjadi 2 tahap, yaitu perawatan

segera setelah terjadinya trauma (perawatan darurat) dan perawatan terhadap

bagian dentoalveolar yang terkena trauma (perawatan definitif) (Indrawati, 2011).

3.4.1 Perawatan Darurat

Perawatan darurat fraktur dentoalveolar pada anak adalah tindakan yang sangat

penting dan sebaiknya dilakukan segera oleh orang tua pasien, namun banyak

28

dari orang tua kekurangan informasi tentang cara penatalaksanaan

kegawatdaruratan jika terjadi trauma sehingga ketika datang ke dokter gigi, pasien

dalam kondisi yang cukup buruk. Langkah perawatan darurat ini pun berpengaruh

terhadap prognosis pasien tersebut. Rekomendasi bagi dokter gigi dalam

menangani pasien fraktur dentoalveolar pada anak sebagai pertolongan pertama

adalah sebagai berikut (Flores, et.al., 2007) :

1. Tetap tenang dan fokus

2. Lakukan pembersihan pada luka dengan air

3. Hentikan perdarahan dengan mengompres dengan kain atau kapas selama 5

menit

4. Lakukan perawatan darurat

3.4.2 Perawatan Definitif

Perawatan definitif bertujuan mengembalikan anatomi dan fungsi gigi, tulang,

dan gingiva seperti semula. Tindakan ini dapat dilakukan ketika kondisi umum

pasien sudah baik. Faktor yang harus dipertimbangkan pada perawatan definitif

trauma dentoalveolar adalah sebagai berikut (Blakey, et.al., 1997):

1. Usia dan tingkat kooperatif pasien

2. Durasi antara trauma dan perawatan

3. Lokasi atau tingkat cedera

4. Cedera pada gigi sulung atau gigi permanen

5. Tahap perkembangan akar

6. Ada atau tidaknya fraktur tulang pendukung

29

7. Kesehatan periodontal dari gigi yang tersisa

Trauma yang terjadi pada anak memiliki risiko terhadap gigi penggantinya,

maka dari itu ada perbedaan antara pilihan perawatan fraktur dentoalveolar yang

terjadi pada gigi sulung dan gigi permanen pada pasien anak. Jarak yang sangat

dekat antara akar gigi sulung dengan benih gigi permanen dapat mengakibatkan

suatu komplikasi. Malformasi gigi, gigi impakasi, dan gangguan erupsi pada

perkembangan gigi permanen adalah beberapa konsekuensi yang dapat terjadi jika

terjadi keparahan trauma pada gigi sulung atau tulang alveolarnya, maka dari itu

pilihan perawatan harus sangat mempertimbangkan kemungkinan risiko tersebut

agar komplikasi terhadap benih gigi permanen dapat dihindari (Flores, et.al.,

2007). Prinsip umum penatalaksanaan pada trauma dentoalveolar anak adalah

restorasi dengan dan tanpa perawatan pulpa, ekstraksi, dan reposisi-replantasi

(Welbury, 2005; Finn, 2003; Cameron and Widmer, 2008). Pilihan ini

berdasarkan tingkat keparahan trauma dan jumlah jaringan yang terlibat.

Kasus fraktur dentoalveolar yang mengenai pasien anak lebih banyak

menyebabkan cedera luksasi daripada fraktur jaringan keras gigi karena struktur

jaringan pendukungnya yang masih elastis. Perawatan fraktur dentoalveolar pada

anak yang akan diuraikan di bawah ini membahas mengenai trauma yang

berakibat terjadinya pergeseran posisi dan membutuhkan tindakan reposisi dan

stabilisasi. Beberapa kasus yang memerlukan tindakan tersebut di antaranya

adalah:

30

1. Perawatan Trauma yang Mengenai Jaringan Keras Gigi

Trauma yang mengenai jaringan keras gigi dan membutuhkan tindakan reposisi

serta replantasi pada pasien anak adalah fraktur akar. Fragmen mahkota terlihat

mengendur dan biasanya mengalami perpindahan posisi di koronal. Fraktur

biasanya terletak pada pertengahan akar di sepertiga apikal (Andreasen, 2007).

Insidensi fraktur akar terjadi sekitar 6% dari semua trauma dental, 7,7% pada gigi

permanen, dan 3,8% pada gigi sulung (Fonseca, 2005). Penanganan fraktur akar

gigi sulung dengan fraktur akar gigi permanen berbeda, jika pada gigi sulung

fragmen mahkota diekstraksi dan fragmen akarnya dibiarkan teresorpsi secara

fisiologis (Welbury, 2005), berbeda pada gigi permanen. Penanganan pada gigi

permanen dapat dilihat dari lokasi frakturnya, jika fraktur berada di sepertiga

apikal dan tidak ada kegoyangan prognosisnya baik dan membutuhkan

penanganan minimal (Fonseca, 2005). Gambar 3.2 menunjukkan gambaran

radiografi fraktur akar di sepertiga apikal. Fraktur akar yang menyebabkan

perubahan posisi di fragmen koronal dapat dilakukan reposisi sesegera mungkin

dengan manipulasi digital. Posisi setelah tindakan tersebut harus dievaluasi

dengan pemeriksaan radiografi untuk mengetahui penyembuhan di jaringan

kerasnya, terutama bagian pulpa. Tindakan reposisi ini dilanjutkan dengan

pemasangan alat stabilisasi selama 4 minggu oleh alat stabilisasi semi-rigid atau

alat stabilisasi fungsional (Welbury, 2005). Tindakan lain yang harus dilakukan

adalah evaluasi kondisi pulpa selama 1 tahun, jika terdapat nekrosis maka perlu

dilakukan perawatan saluran akar (Flores, et.al., 2007).

31

Gambar 3.2 Gambaran Radiografi Fraktur Akar (Bui, 2002)

2. Perawatan Trauma yang Mengenai Jaringan Periodontal

Trauma yang mengenai jaringan periodontal pada anak adalah kasus trauma

yang paling sering terjadi. Trauma ini biasa disebut dengan cedera luksasi dan

biasa ditandai dengan adanya perubahan posisi gigi. Tujuan predominan

perawatan untuk kasus luksasi pada gigi sulung adalah menjaga ligamen

periodontal dan pulpa dari infeksi bakteri. Pencegahan terhadap rusaknya benih

gigi permanen adalah hasil yang paling utama dan harus selalu dipertimbangkan,

maka dari itu pilihan perawatan yang sering dipilih pada gigi sulung adalah

menghilangkan gangguan terhadap benih gigi permanen biasanya dengan

ekstraksi (Dummet, 2000), namun tidak semua tindakan berupa ekstraksi. Rincian

rencana perawatan pada trauma dentoalveolar yang mengenai jaringan periodontal

pada anak adalah sebagai berikut:

1) Concussion

Gigi yang mengalami concussion tidak terdapat kegoyangan maupun

perpindahan posisi dan juga tidak mengalami perdarahan di gusi. Pemeriksaan

32

klinis menunjukkan ketidaknyamanan saat perkusi dikarenakan adanya edema dan

hemoragi di ligamen periodontal (Welbury, 2005). Beberapa kasus disertai

inflamasi dan dokter gigi dapat memberikan medikasi berupa analgetik jika

diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri (Universitas Chicago, 2012). Penanganan

yang dilakukan hanya evaluasi kondisi pulpa selama 1 tahun untuk memastikan

tidak adanya komplikasi berupa jejas pada pulpa (Flores, et. al., 2007). Diet lunak

pun dapat direkomendasikan oleh dokter gigi pada kasus ini untung mengurangi

keluhan nyeri saat mengunyah (Universitas Chicago, 2012).

2) Subluksasi

Gambaran secara klinis menunjukkan adanya perdarahan di sulkus gusi, dapat

dilihat pada gambar 3.3(1). Informasi yang diberikan oleh foto rontgen tidak ada

kondisi yang abnormal pada ligamen periodontal, terlihat pada gambar 3.3(2)

(Flores, et.al., 2007). Perawatan yang dapat dilakukan ada beberapa pilihan, di

antaranya adalah:

(1) Observasi kondisi pulpa (American Academy of Pediatric Dentistry, 2010)

(2) Pemakaian alat stabilisasi wire-orthodonti dengan acid-etch resin selama 7-10

hari (Dummet, 2000). International Association Dental Trauma pada tahun

2007 mengatakan bahwa pilihan perawatan dapat juga dengan alat stabilisasi

fleksibel selama 2 minggu. Pemakaian alat stabilisasi ini dilakukan ketika

adanya gangguan oklusal.

(3) Diet lunak selama 1 minggu (Cameron and Widmer, 2008; Welbury, 2005).

(4) Berkumur dengan klorheksidin 0,2% 2 kali sehari (Welbury, 2005).

33

Gambar 3.3 Gigi Subluksasi (Andreasen, 2007) Keterangan gambar: 1. Gambaran klinis

2. Gambaran radiologis

3) Intrusi

Intrusi gigi sulung ditemukan oleh Soporowski dan rekan sebagai korelasi

paling erat terjadinya gangguan hipoplastik terhadap benih gigi permanen sekitar

17,4% jika dibandingkan dengan kasus luksasi lateral (7,1%) dan avulsi (5,7%)

(Dummet, 2000). Pemeriksaan klinis menunjukkan adanya bunyi metalik saat

diperkusi, perdarahan pada gingiva, dan kadang bibir atas bengkak karena edema

dan hemoragi (Holan and McTigue, 2005). Ada dua keadaan pada kasus intrusi,

yaitu perpindahan gigi ke arah aksial tulang labial dan perpindahan gigi yang

mendorong benih gigi permanen (Flores, et.al., 2007). Gigi intrusi yang

mendorong gigi permanen sebaiknya dilakukan ekstraksi untuk mencegah terjadi

dampak buruk terhadap benih gigi permanen (Flores, et.al., 2007; Cameron and

Widmer, 2008: Holan and McTigue, 2005).

Penanganan lainnya adalah membiarkan gigi tersebut mengalami erupsi

kembali selama 2-3 minggu dan dievaluasi selama 6 bulan (Holan and McTigue,

2005). Intrusi pada gigi permanen dibedakan sesuai dengan perkembangan

akarnya, jika formasi akarnya belum lengkap, penanganannya adalah reposisi

34

spontan selama 3 minggu, bila tidak ada perubahan maka dapat dilakukan

tindakan penarikan dengan alat orthodonti. Intrusi pada gigi permanen dengan

akar lengkap dilakukan dengan tindakan orthodonti atau bedah sesegera mungkin.

Kondisi pulpa harus menjadi perhatian ketika dilakukan penanganan tersebut agar

dapat dievaluasi jika terjadi nekrosis pulpa (Flores, et.al., 2007). Tindakan ini

dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi berupa ankylosis dan

meminimalisir tekanan nekrosis pada ligamen periodontal (Cameron and Widmer,

2008). Prognosis gigi permanen dengan akar lengkap yang mengalami intrusi

tidak baik karena adanya kemungkinan terjadi nekrosis pulpa dengan persentase

96%, resorpsi akar dan menurunnya tulang alveolar, jika terjadi kerusakan pada

pulpa maka harus dilakukan tindakan ekstirpasi dan pengaplikasian kalsium

hidroksida di kanal akarnya (Holan and McTigue, 2005; Cameron and Widmer,

2008).

4) Ekstrusi

Gigi ekstrusi terlihat mengalami elongasi dengan penambahan jarak ligamen

periodontal di daerah apikal (Flores, et.al., 2007). Tindakan ekstraksi pada gigi

sulung dipilih ketika perpindahan gigi lebih dari 2-3 mm untuk mencegah potensi

infeksi periradikular yang persisten yang dapat menyebabkan efek terhadap gigi

permanen (Dummet, 2000; American Academy of Pediatric Dentistry, 2010;

Flores, et.al., 2007). Perpindahan kurang dari 3mm pada ekstrusi gigi sulung dan

pada ekstrusi gigi permanen dilakukan perawatan reposisi dengan perlahan,

lakukan penjahitan jika terjadi laserasi, dan stabilisasi selama 2 minggu

35

menggunakan alat stabilisasi dengan komposit resin, wire, atau alat orthodonti

(Cameron and Widmer, 2008) dengan evaluasi keadaan pulpa (Flores, et.al.,

2007). Medikasi antibiotik, profilaksis tetanus, dan klorheksidin glukonat 0,2%

dapat diberikan untuk menjaga kebersihan oral (Cameron and Widmer, 2008).

Prognosis dipengaruhi oleh tingkat perubahan posisi dan perkembangan apikal

dan penyembuhan pada gigi immature. Nekrosis pulpa dapat terjadi 15-85% dari

semua kasus dan ini terjadi terutama pada gigi dengan apeks tertutup (Cameron

and Widmer, 2008)

5) Luksasi Lateral

Luksasi lateral dapat menyebabkan gangguan oklusi pada beberapa kasus.

Tindakan pertama yang dapat dilakukan adalah pemberian anestesi lokal

kemudian reposisi dengan manipulasi digital berupa kombinasi tekanan pada

labial dan palatal yang ditunjukkan oleh gambar 3.4. Kondisi open bite pada

oklusi cukup menguntungkan karena penanganan kasus ini dapat dilakukan

dengan reposisi spontan, namun jika tidak ada kondisi open bite dapat dilakukan

preparasi di incisal edge atau penambahan komposit di bagian gigi posterior untuk

membuat open bite artifisial (Andreasen, 2007). Alat stabilisasi dilakukan setelah

reposisi selama 4 minggu dengan disertai evaluasi kondisi pulpa (Flores, et.al.,

2007).

Kasus luksasi lateral pada gigi permanen diberikan tindakan berupa reposisi

dengan manipulasi digital secara perlahan, jika terdapat jaringan sekitar gigi

mengalami fraktur alveolar, dokter gigi dapat memberikan anestesi lokal.

36

Pemakaian alat stabilisasi fungsional non-rigid dipasang selama 2-3 minggu.

Medikasi berupa antibiotik diberikan dengan dosis 250 mg 3 kali sehari selama 5

hari (kurang dari 10 tahun 125 mg). Kebersihan mulut harus dijaga dan dokter

gigi dapat memberikan klorheksidin 0,2% 2 kali sehari selama alat stabilisasi

terpasang di mulut. Diet lunak dianjurkan selama perawatan ini (Welbury, 2005;

Holan and McTigue, 2005).

Gambar 3.4. Tindakan Reposisi dengan Manipulasi Digital (Buckley, 2000)

Keterangan gambar : 1. Jari telunjuk mendorong ke arah palatal

2. Ibu jari mendorong ke arah bukal

6) Avulsi

Pendapat banyak ahli mengatakan bahwa jika terjadi avulsi pada gigi sulung

sebaiknya tidak dilakukan replantasi karena dapat menyebabkan dampak buruk

terhadap benih gigi permanen berupa infeksi kronis dan perubahan distrofi pada

benih gigi permanen (Dummet, 2000). Replantasi pada gigi sulung dapat

menyebabkan perubahan posisi koagulum ke arah folikel gigi permanen.

37

Inflamasi periapikal akan menyebabkan nekrosis pulpa yang berakibat pada

gangguan mineralisasi gigi permanen (Andreasen, 2007).

Penanganan avulsi pada gigi permanen adalah dengan replantasi sesegera

mungkin dan menstabilisasi gigi tersebut sesuai dengan lokasi anatominya. Hal ini

dilakukan untuk mengoptimasi penyembuhan ligamen periodontal dan suplai

neurovaskular selama pemeliharaan estetik dan fungsinya. Replantasi menjadi

tindakan yang kontraindikasi ketika masih dalam tahap perkembangan dental pada

anak (risiko ankylosis saat pertumbuhan alveolar), kondisi medical compromise,

membahayakan integritas gigi avulsi atau jaringan pendukung. Prognosis pada

gigi permanen bergantung pada formasi perkembangan akar dan lamanya gigi

berada di luar (extraoral dry time). Gigi dapat disimpan dalam sebuah media jika

lebih dari 5 menit berada di luar soket. Risiko ankylosis dapat terjadi apabila

extraoral dry time-nya lebih dari 15 menit. (American Academy of Pediatric

Dentistry, 2010).

Gambar 3.5 Avulsi Gigi (Guthrie, 2010)

38

Vitalitas ligamen periodontal dan sementum sangat penting dalam

keberhasilan replantasi dalam jangka waktu yang lama. Media penyimpanan yang

tersedia harus dapat mempertahankan atau meningkatkan vitalitas sel ketika gigi

di luar soket alveolar. Perendaman gigi yang baik dapat mengurangi risiko

ankylosis dan membantu debridemen sel nekrotik, benda asing, dan bakteri.

Media penyimpanan ini tersedia dalam berbagai jenis, berikut adalah media

penyimpanan yang bisa digunakan orang tua ketika gigi mengalami avulsi (Holan

and McTigue, 2005) :

(1) Hank’s Balanced Salt Solution

Hank’s Balanced Salt Solution (HBSS) atau yang biasa disebut ‘Save a Tooth’

merupakan cairan yang memiliki kandungan klorida, glukosa, sodium bikarbonat,

dan potasium klorida. HBSS bersifat biokompatibel terhadap sel ligamen

periodontal dan menjaga vitalitas gigi selama 24 jam karena memiliki pH

seimbang. Media ini memiliki osmolalitas yang ideal untuk membangun kembali

metabolisme sel yang telah kehilangan nutrisi dari darah akibat terputusnya sel.

Cairan ini juga dapat mengawetkan ligamen periodontal sehingga memberikan

keberhasilan rata-rata 90% dan jika gigi direndam selama 30 menit sebelum

dilakukan replantasi (Krasner, 2006; Chandha, 2006).

Gambar 3.6 Hank’s Balanced Salt Solution ( Krasner, 2006)

39

(2) Susu

Susu direkomendasikan sebagai media penyimpanan karena memiliki

osmolalitas yang sesuai, pH netral, kandungan nutrisi yang baik dan bebas dari

bahan toksik. Susu dapat langsung dipakai dan lebih efektif dibandingkan dengan

HBSS karena tidak perlu disimpan di lemari pendingin. Kandungan nutrisi

penting yang dimiliki susu antara lain, asam amino, karbohidrat, dan vitamin.

Kekurangan dari media susu ini adalah nonaktifnya enzim yang berpotensi

membahayakan ligamen periodontal apabila disimpan lebih dari 2 jam. Susu dapat

menjaga kelangsungan hidup, mitogenitas dan kapasitas klonogenik sel-sel

ligamen periodontal selama penyimpanan hingga 24 jam pada temperatur 4°C

(Chandha, 2006).

(3) Isotonik Salin

Patel dan rekan dalam penelitiannya menyatakan bahwa tidak terdapat

perbedaan signifikan antara isotonik salin dan susu dalam mempertahankan

vitalitas sel ligamen periodontal pada permukaan akar gigi selama 2 jam

penyimpanan pada gigi yang mengalami avulsi. Isotonik salin dapat

mempertahankan vitalitas membran periodontal karena memiliki tekanan

osmolalitas yang seimbang sehingga tidak menyebabkan sel menggelembung dan

menjadi rusak. Media penyimpanan salin hanya efektif kurang dari 2 jam, setelah

itu ligamen periodontal akan hancur karena kebutuhan glukosa untuk metabolisme

tidak terpenuhi sehingga tidak cukup aman untuk media penyimpanan dalam

waktu yang cukup lama (Krasner, 2006; Chandha, 2006).

40

(4) Kultur Media

Kultur media yang digunakan adalah kultur 199, mengandung 700 unit

penisilin G dan 0,7 mg streptomisin untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Kultur

lainnya adalah Kultur Eagle yang mengandung sejumlah asam amino, vitamin,

dan bikarbonat yang bertindak sebagai buffer. Kultur Eagle membuat bagian vital

ligamen periodontal berproliferasi (Chandha, 2006).

(5) Saliva

Saliva merupakan media yang cukup efektif sebagai media penyimpanan

dibandingkan dengan air dan salin. Kekurangan saliva adalah osmolalitas rendah

sehingga dapat menyebabkan sel pecah. Saliva mengandung substansi seperti

enzim, bakteri dan produknya yang dapat menyebabkan kerusakan ligamen

periodontal (Krasner, 2006). Beberapa penelitian menganjurkan menyimpan gigi

yang avulsi di dalam mulut (saliva) dengan menahan gigi pada vestibulum bukal

ataupun di bawah lidah, namun tindakan ini mempunyai risiko tertelan. Hal yang

dapat dilakukan adalah mengumpulkan saliva ke dalam wadah kecil dan gigi

avulsi dimasukkan ke dalam media tersebut (Sigalas, 2004).

(6) Air

Prinsip keberhasilan dari replantasi adalah mencegah kekeringan dari gigi yang

lepas. Air merupakan media yang dapat menjaga kelembapan gigi selama berada

di luar soket sampai 15 menit jika tidak ada pilihan lain. Air tidak menjaga

vitalitas gigi dan dapat memberikan dampak buruk bagi kelangsungan ligamen

periodontal karena air merupakan larutan hipotonik yang dapat menyebabkan sel

ligamen periodontal menggelembung dan pecah. Air dapat juga menyebabkan

41

kerusakan pada sel-sel akar karena tingkat metabolit dan pH yang rendah (Sigalas,

2004; Chandha, 2006).

Hal lain yang memengaruhi keberhasilan penanganan avulsi selain media

penyimpanan adalah kondisi dan durasi waktu pasca trauma yang harus

diperhatikan oleh orang tua. Andreasen menyatakan bahwa ada beberapa kondisi

yang harus diperhatikan dalam melakukan replantasi gigi yang mengalami avulsi,

yaitu sebagai berikut (Fonseca, 2005):

1. Gigi tersebut tidak memiliki penyakit periodontal

2. Soket alveolar dapat menyediakan tempat untuk gigi avulsi

3. Tidak ada pertimbangan untuk melakukan perawatan orthodonti, seperti gigi

yang berjejal

4. Berapa lama gigi tersebut berada di luar soket alveolar berpengaruh terhadap

indikasi replantasi yang baik. Gigi yang berada di luar soket gusi kurang dari

30 menit merupakan indikasi replantasi yang baik, sedangkan jika lebih dari 2

jam kemungkinan besar akan terjadi komplikasi yaitu resorpsi dari akar gigi

dan gigi akan menjadi non vital, kecuali sebelum direplantasi gigi tersebut

dirawat endodontik terlebih dahulu

5. Tahap perkembangan akarnya. Ketahanan pulpa dengan akar yang belum

lengkap akan berhasil direplantasi jika penanganan kurang dari 2 jam.

6. Langkah replantasi dapat dilakukan jika pasien tersebut cukup kooperatif.

International Association Dental Trauma mengklasifikasikan avulsi menjadi

dua macam, yaitu avulsi dengan apeks tertutup dan avulsi dengan apeks terbuka.

Penanganan terhadap kedua jenis kondisi apeks ini dibedakan lagi sesuai dengan

42

keadaan gigi pasca trauma, berikut adalah cara penanganan pada gigi avulsi

(Flores, et.al., 2007):

1. Avulsi dengan apeks tertutup

1) Gigi sudah direplantasi sebelum datang ke klinik

(1) Bersihkan area dengan semprotan air, salin, atau klorheksidin. Jangan

mengekstraksi gigi. Jahit jika terdapat laserasi jaringan lunak.

Kembalikan gigi pada posisi normal baik secara klinis maupun

radiografi. Gunakan alat stabilisasi fleksibel selama 2 minggu.

(2) Berikan antibiotik sistemik (Doxycycline 2x per hari selama 7 hari,

dosis disesuaikan dengan usia dan berat badan. Berikan pula

profilaksis tetanus.

(3) Inisiasi perawatan kanal akar selama 7-10 hari setelah replantasi dan

sebelum pelepasan alat stabilisasi. Gunakan kalsium hidroksida

sebagai medikasi intra kanal.

(4) Intruksi pada pasien: diet lunak selama 2 minggu dan menggunakan

sikat gigi yang lembut setelah makan.

(5) Berkumur dengan klorheksidin 0,1% 2 kali sehari selama 1 minggu.

2) Gigi direndam dalam media penyimpanan (HBSS, susu, salin, atau saliva).

Waktu di luar soket kurang dari 1 jam.

(1) Jika terkontaminasi, bersihkan permukaan akar dan foramen apikal

dengan salin dan simpan gigi dalam salin. Bersihkan koagulum dari

soket dengan salin.

43

(2) Periksa soket alveolar, jika terdapat fraktur pada dindingnya lakukan

reposisi dengan instrumen yang sesuai.

(3) Replantasi gigi perlahan dengan tekanan digital. Jahit jika ada laserasi.

(4) Tempatkan gigi pada posisi normal baik secara klinis maupun

radiografi. Gunakan alat stabilisasi fleksibel selama 2 minggu.

(5) Berikan antibiotik sistemik (Doxycycline 2x per hari selama 7 hari,

dosis disesuaikan dengan usia dan berat badan. Berikan pula

profilaksis tetanus.

(6) Inisiasi perawatan kanal akar selama 7-10 hari setelah replantasi dan

sebelum pelepasan alat stabilisasi. Gunakan kalsium hidroksida

sebagai medikasi intra kanal.

(7) Intruksi pada pasien: diet lunak selama 2 minggu dan menggunakan

sikat gigi yang lembut setelah makan.

3) Gigi berada di luar soket lebih dari 1 jam

Replantasi yang lambat memiliki prognosis buruk. Ligamen periodontal

akan mengalami nekrosis dan sulit sembuh. Tujuan pada replantasi yang

lambat adalah untuk menyiapkan perkembangan tulang alveolar agar

memfiksasi gigi yang akan direplantasi. Hasil yang biasa terjadi adalah

ankylosis dan resorpsi akar. Ankylosis yang terjadi pada anak usia di bawah 15

tahun direkomendasikan untuk dekoronasi untuk mempertahankan alveolar

ridge, ini juga dilakukan jika infraposisi mahkota gigi lebih dari 1mm.

Teknik untuk delayed replantation adalah:

(1) Hilangkan jaringan lunak yang nekrotik dengan kain

44

(2) Perawatan kanal akar dapat dilakukan 7-10 hari setelah replantasi

(3) Hilangkan koagulum dari soket dengan salin. Periksa soket alveolar, jika

terdapat fraktur dinding soket lakukan reposisi dengan instrumen yang

sesuai.

(4) Rendam gigi di larutan sodium flouride 2% selama 20 menit.

(5) Replantasi gigi tersebut secara perlahan dengan tekanan digital. Jahit jika

ada laserasi. Pastikan posisi sudah kembali normal secara klinis dan

radiografi.

(6) Stabilisasi gigi tersebut dengan alat stabilisasi fleksibel selama 4 minggu

(7) Berikan antibiotik dan profilaksis tetanus

(8) Intruksi pada pasien: diet lunak selama 2 minggu dan menggunakan sikat

gigi yang lembut setelah makan.

2. Avulsi dengan apeks terbuka

1) Gigi sudah direplantasi sebelum datang ke klinik

(1) Bersihkan area dengan semprotan air, salin, atau klorheksidin. Jangan

mengekstraksi gigi. Jahit jika terdapat laserasi jaringan lunak.

Kembalikan gigi pada posisi normal baik secara klinis maupun

radiografi. Gunakan alat stabilisasi fleksibel selama 2 minggu.

(2) Berikan antibiotik sistemik (Doxycycline 2x per hari selama 7 hari,

dosis disesuaikan dengan usia dan berat badan. Berikan pula profilaksis

tetanus.

45

(3) Tujuan replantasi gigi immature pada anak adalah untuk memfasilitasi

revaskularisasi pulpa gigi, jika tidak terjadi maka perawatan saluran

akar menjadi indikasi untuk dilakukan.

(4) Intruksi pada pasien: diet lunak selama 2 minggu dan menggunakan

sikat gigi yang lembut setelah makan.

2) Gigi direndam dalam media penyimpanan (HBSS, susu, salin, atau saliva).

Waktu di luar soket kurang dari 1 jam.

(1) Jika terkontaminasi, bersihkan permukaan akar dan foramen apikal

dengan salin. Hilangkan koagulum dari soket dengan salin lalu

replantasi gigi tersebut. Selubungi permukaan akar dengan minocycline

hydrocloride micropheres (ArestinTM, OraPharma Inc.) sebelum

replantasi jika bahan tersebut tersedia.

(2) Periksa soket alveolar, jika terdapat fraktur pada dindingnya lakukan

reposisi dengan instrumen yang sesuai.

(3) Replantasi gigi perlahan dengan tekanan digital. Jahit jika ada laserasi.

(4) Tempatkan gigi pada posisi normal baik secara klinis maupun

radiografi. Gunakan alat stabilisasi fleksibel selama 2 minggu.

(5) Berikan antibiotik sistemik (Doxycycline 2x per hari selama 7 hari,

dosis disesuaikan dengan usia dan berat badan. Berikan pula profilaksis

tetanus.

(6) Tujuan replantasi gigi immatur pada anak adalah untuk memfasilitasi

revaskularisasi pulpa gigi, jika tidak terjadi maka perawatan saluran

akar menjadi indikasi untuk dilakukan.

46

(7) Intruksi pada pasien: diet lunak selama 2 minggu dan menggunakan

sikat gigi yang lembut setelah makan.

3) Gigi berada di luar soket lebih dari 1 jam

Replantasi yang lambat memiliki prognosis buruk. Ligamen periodontal akan

mengalami nekrosis dan sulit sembuh. Tujuan pada replantasi yang lambat pada

gigi immatur adalah memelihara kontur alveolar ridge. Hasil yang biasa terjadi

adalah ankylosis dan resorpsi akar. Perawatan lanjutan penting dilakukan pada

gigi immatur sebagai tindak lanjut dari kasus ankylosis dan efek ankylosis pada

perkembangan alveolar ridge. Hal yang dapat dilakukan adalah dekoronasi untuk

mempertahankan kontur alveolar ridge, ini juga dilakukan jika infraposisi

mahkota gigi lebih dari 1mm.

Teknik untuk delayed replantation adalah:

(1) Hilangkan jaringan lunak yang nekrotik dengan kain

(2) Perawatan kanal akar dapat dilakukan 7-10 hari setelah replantasi

(3) Hilangkan koagulum dari soket dengan salin. Periksa soket alveolar, jika

terdapat fraktur dinding soket lakukan reposisi dengan instrumen yang sesuai.

(4) Rendam gigi dalam larutan sodium flouride 2% selama 20 menit.

(5) Replantasi gigi tersebut secara perlahan dengan tekanan digital. Jahit jika ada

laserasi. Pastikan posisi sudah kembali normal secara klinis dan radiografi.

(6) Stabilisasi gigi tersebut dengan alat stabilisasi fleksibel selama 4 minggu

(7) Berikan antibiotik dan profilaksis tetanus

(8) Intruksi pada pasien: diet lunak selama 2 minggu dan menggunakan sikat gigi

yang lembut setelah makan.

47

Penanganan avulsi pada gigi dengan apeks yang masih terbuka disarankan

untuk melakukan pemeriksaan foto radiografi 2 minggu sekali untuk

mengevaluasi kondisi pulpa. Gambar 3.7 menunjukkan tahap replantasi pada gigi

yang mengalami avulsi.

Gambar 3.7 Penanganan Gigi Avulsi (Andreasen, 2007) Keterangan Gambar: 1. Gigi insisif sentral kiri atas mengalami

avulsi

2. Cara mengembalikan gigi ke dalam soket

3. Pemasangan alat stabilisasi pada gigi yang

sudah di replantasi

3. Perawatan Trauma yang Mengenai Tulang Pendukung

1) Fraktur Tulang Alveolar

Trauma yang mengenai tulang alveolar biasanya disertai juga dengan lateral

luksasi atau intrusi (Fonseca, 2005) dan juga gangguan pada oklusi (Flores, et.al.,

2007). Manipulasi digital dan reposisi gigi yang mengalami perubahan posisi

dapat dilakukan untuk mengurangi fraktur tulang alveolar dengan anestesi (Hupp,

48

2008). Keadaan pulpa dan kemungkinan adanya ankylosis harus menjadi

perhatian selama evaluasi setelah perawatan (Fonseca, 2005). Stabilisasi yang

dilakukan selama 4 minggu (Flores, et.al., 2007).

2) Fraktur Dinding Soket Alveolar

Fraktur pada dinding soket sering berhubungan dengan dislokasi gigi dengan

kegoyangan pada tulang di bagian bukal dan kontusio mukosa. Reduksi pada

fraktur ini dapat dilakukan dengan manipulasi digital di area apikal dan aspek

lingual pada mahkota, jika ada laserasi dilakukan penjahitan. Langkah reposisi ini

juga harus memperhatikan oklusi (Fonseca, 2005). Fraktur ini biasanya

melibatkan beberapa gigi dan trauma lain berupa luksasi. Stabilisasi dipasang

selama 4 minggu untuk penyembuhan tulang, kecuali pada anak, durasi fiksasi

dapat lebih cepat karena proses penyembuhan tulang berjalan relatif lebih cepat.

Terapi tambahan pada pasien anak adalah diet lunak selama 2 minggu (Fonseca,

2005).

3) Fraktur Prosesus Alveolar

Fraktur prosesus alveolaris bisanya terisolasi dan erat kaitannya dengan trauma

dental dan trauma wajah dengan tingkatan laserasi pada mukosa dan gingiva yang

bermacam-macam. Tulang yang terkena fraktur pada banyak keadaan melibatkan

satu atau lebih gigi. Trauma ini sering terjadi di regio anterior dan premolar pada

anak dan remaja (Fonseca, 2005).

49

Penanganan yang baik pada kasus ini adalah reduksi dan reposisi dengan

teknik tertutup atau terbuka diikuti dengan stabilisasi yang kuat untuk mendukung

penyembuhan tulang. Teknik tertutup dapat dilakukan dengan manipulasi digital

di segmen dental. Stabilisasi dipasang selama 4 minggu setelah proses reposisi

tersebut (Fonseca, 2005). Teknik terbuka dilakukan dengan flap menggunakan

elevator periosteal. Teknik ini dilakukan ketika terdapat segmen fraktur yang sulit

direposisi pada teknik tertutup. Penanganan tambahan lainnya pada kasus ini

adalah pemberian obat anti tetanus, antibiotik berupa penisilin atau klindamisin,

dan klorheksidin untuk menjaga kebersihan mulut pasien. Evaluasi pulpa

dilakukan pasca perawatan reposisi dan stabilisasi untuk melihat perkembangan

penyembuhan dan kemungkinan adanya komplikasi (Fonseca, 2005).