21
21 BAB II TINJAUAN UMUM A. Tinjauan tentang Tindak Pidana 1. Pengertian dan Istilah Kata “delik” berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa Jerman disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delit dan dalam bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut. 1 “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang atau tindak pidana”. Adapun pengertian delik menurut pendapat Para Ahli sebagai berikut: E. Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana” karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana. Tirtaamidjaja menggunakan istilah “pelanggaran pidana” untuk kata “delik”. Menurut Satochid Kartanegara, unsur delik terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur yang objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa: a. Suatu tindakan. b. Suatu akibat. c. Keadaan. 1 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm.7

BAB II TINJAUAN UMUM - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/935/2/bab2.pdf22 Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa: a. Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan

  • Upload
    lamkien

  • View
    225

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

21

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Tinjauan tentang Tindak Pidana

1. Pengertian dan Istilah

Kata “delik” berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa

Jerman disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delit dan dalam bahasa

Belanda disebut delict. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi

batasan sebagai berikut.1

“Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap Undang-Undang atau tindak pidana”.

Adapun pengertian delik menurut pendapat Para Ahli sebagai berikut:

E. Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana” karena yang ditinjau

adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.

Tirtaamidjaja menggunakan istilah “pelanggaran pidana” untuk kata

“delik”.

Menurut Satochid Kartanegara, unsur delik terdiri atas unsur objektif

dan unsur subjektif. Unsur yang objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri

manusia, yaitu berupa:

a. Suatu tindakan.

b. Suatu akibat.

c. Keadaan.

1Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm.7

22

Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa:

a. Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan

b. Kesalahan

Menurut Lamintang, unsur delik terdiri atas dua macam, yakni unsur

subjektif dan unsur objektif. Selanjutnya, Lamintang menyatakan sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si

pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya

segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang dimaksud dengan

unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan,

yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.”

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindakan itu adalah sebagai berikut:2

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang

dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

3. Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam

kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang

terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

5. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak

pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut:

1. Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid.

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai

negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai

pengurus suatu perseroan terbatas dalam kejahatan menurut Pasal 398

KUHP.

2Ibid., hlm.11

23

3. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan

suatu kenyataan sebagai akibat.

Moeljatno memakai istilah “perbuatan pidana” untuk kata “delik”.

Menurut beliau kata “tindak” lebih sempit cakupannya daripada “perbuatan”,

tetapi hanya menyatakan keadaan yang konkret.

Jenis perbuatan pidana dibedakan atas delik komisi (commision act) dan

delik omisi (ommision act). Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran

terhadap larangan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang, misalnya melakukan

pencurian, penipuan dan pembunuhan. Sedangkan, delik omisi adalah delik yang

berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah

misalnya tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan seperti yang

tercantum dalam Pasal 522 KUHP. 3

Perbuatan pidana dibedakan atas perbuatan pidana kesengajaan (delik

dolus) dan kealpaan (delik culpa). Delik dolus adalah delik yang memuat unsur

kesengajaan. Misalnya perbuatan pidana pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP.

Sedangkan, delik culpa adalah delik yang memuat unsur kealpaan. Misalnya Pasal

359 KUHP tentang kealpaan seseorang yang mengakibatkan matinya seseorang.

Perbuatan pidana dibedakan atas perbuatan pidana tunggal dan perbuatan

pidana berganda. Pertama, adalah delik yang cukup dilakukan dengan satu kali

perbuatan. Delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali

perbuatan, seperti pencurian, penipuan dan pembunuhan.Kedua, adalah delik yang

kualifikasinya baru terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, seperti

3Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 102

24

Pasal 480 KUHP yang menentukan bahwa untuk dapat dikualifikasikan sebagai

delik penadahan, maka penadahan itu harus dilakukan beberapa kali.

Perbuatan pidana dibedakan atas delik aduan dan delik biasa. Delik

aduan adalah perbuatan pidana yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada

pengaduan dari pihak yang terkena atau dirugikan. Delik aduan dibedakan dalam

2 (dua) jenis, yaitu: 4

1. Delik aduan absolut.

2. Delik aduan relatif.

Delik aduan absolut adalah delik yang mempersyaratkan secara absolut

adanya pengaduan untuk penuntutannya seperti pencemaran nama baik yang

diatur di dalam Pasal 310 KUHP. Sedangkan, delik aduan relatif adalah delik

yang dilakukan dalam lingkungan keluarga, seperti pencurian dalam keluarga

yang diatur dalam Pasal 367 KUHP. Selanjutnya, delik biasa adalah delik yang

tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya, seperti

pembunuhan, pencurian dan penggelapan.

Terakhir, jenis perbuatan pidana dibedakan atas delik biasa dan delik

yang dikualifikasikan. Delik biasa adalah bentuk tindak pidana yang paling

sederhana, tanpa adanya unsur yang bersifat memberatkan seperti dalam Pasal 362

KUHP tentang pencurian. Sedangkan, delik yang dikualifikasikan adalah

perbuatan pidana dalam bentuk pokok yang ditambah dengan adanya unsur

pemberat, sehingga ancaman pidananya menjadi diperberat seperti dalam Pasal

4Ibid., hlm.103

25

363 KUHP dan Pasal 365 KUHP yang merupakan bentuk kualifikasi dari delik

pencurian dalam Pasal 362 KUHP.

2. Melawan Hukum Dalam Perbuatan Pidana

Dalam hukum pidana kedudukan sifat melawan hukum sangat khas.

Umumnya telah terjadi kesepahaman di kalangan Para Ahli Hukum Pidana dalam

melihat sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan perbuatan pidana.

Andi Zainal Abidin mengatakan, bahwa salah satu unsur esensial delik

adalah sifat melawan hukum (wederrechttelijkheid) yang dinyatakan dengan tegas

atau tidak di dalam suatu pasal Undang-Undang pidana, karena alangkah

janggalnya kalau seseorang dipidana ketika melakukan perbuatan yang tidak

melawan hukum.5 Sementara Roeslan Shaleh mengatakan, mempidana sesuatu

yang tidak melawan hukum tidak ada artinya.6Berdasarkan dua pendapat Ahli

Hukum Pidana tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk dapat dikatakan

seseorang melakukan perbuatan pidana, perbuatannya harus bersifat melawan

hukum.

Menurut Schaffmeister, ditambahkannya perkataan “melawan hukum”

sebagai salah satu unsur dalam rumusan delik yang dimaksudkan untuk

membatasi ruang lingkup rumusan delik yang dibuat terlalu luas. Hanya jika suatu

perilaku yang secara formal dapat dirumuskan dalam ruang lingkup rumusan

5Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007,

sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,

hlm.144 6 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987,

sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,

hlm.144

26

delik, namun secara umum sebenarnya bukan merupakan perbuatan pidana, maka

syarat “melawan hukum” dijadikan satu bagian dari rumusan delik.

Konsekuensinya adalah pencantuman “melawan hukum” dalam rumusan delik

menyebabkan Jaksa Penuntut Umum harus membuktikan unsur tersebut.7

Dalam praktik hukum, untuk dapatnya dinyatakan sebagai telah

terwujudnya suatu tindak pidana tertentu yang didakwakan dan dalam rangka

hakim menjatuhkan pidana, setiap unsur yang dicantumkan dalam rumusan tindak

pidana haruslah dimuat dalam surat dakwaan dan harus pula dapat dibuktikan

dalam persidangan termasuk unsur melawan hukum yang dicantumkan. Jika unsur

melawan hukum ini tidak disebutkan dalam rumusan tindak pidana, maka tidak

perlu dimuat dalam dakwaan sehingga tidaklah perlu dibuktikan di sidang

pengadilan.

B. Tinjauan tentang Proses Sistem Peradilan Pidana

1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Istilah sistem berasal dari perkataan sistemadalam Bahasa Yunani.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan sistem sebagai seperangkat sistem

yang secara teratur saling berkaitan, susunan yang teratur dari pandangan, teori,

asas, dan sebagainya. Sistem sebagai kesatuan yang terdiri atas unsur yang satu

sama lain berhubungan dan saling mempengaruhi sehingga merupakan

keseluruhan yang utuh dan berarti.8

7Mahrus Ali, op.cit, hlm.144

8Erna Dewi dan Firganefi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Dinamika dan Perkembangan)

Edisi 2, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, hlm.1

27

Usaha menanggulangi kejahatan dalam masyarakat secara operasional

dapat dilakukan dengan menggunakan hukum pidana (Penal) dan non hukum

pidana (Non Penal). Penanggulangan kejahatan melalui sarana penal secara

operasional dilakukan dengan melalui langkah-langkah perumusan norma-norma

hukum pidana baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum

pelaksana pidana. Perumusan norma hukum pidana yang di dalamnya

mengandung elemen-elemen substantif, struktural dan kultural dari masyarakat

dimana sistem hukum pidana itu diberlakukan. Sistem hukum pidana selanjutnya

akan beroprasi melalui suatu jaringan (network) yang disebut “Sistem Peradilan

Pidana” atau “Criminal Justice System”.

Mardjono Reksodipoerto, memberikan pendapat yang dimaksud dengan

Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari

lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan

Terpidana.

Menurut Mardjono Reksodipoerto, tujuan Sistem Peradilan Pidana

adalah:9

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah didengartkan dan yang bersalah dipidana.

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi kejahatannya.

9Ibid., hlm.10

28

Menurut Romli Atmasasmita, istilah Criminal Justice System atau Sistem

Peradilan Pidana kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme

kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan

sistem.

Dalam peradilan pidana seperti yang dikemukakan oleh Romli sistem

tersebut mempunyai ciri:10

1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana

(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan).

2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen

peradilan pidana.

3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi

penyelesaian perkara.

4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan The

administration of justice.

Sistem peradilan pidana erat hubungannya dengan istilah “Sistem

Penyelenggaraan Peradilan Pidana” atau System of administration of a criminal

justice. Penyelenggaraan menunjukkan pada adanya kegiatan-kegiatan atau

aktivitas-aktivitas lembaga-lembaga tertentu untuk menjalankan atau

menggerakkan apa yang menjadi tugas dan kewajiban lembaga tersebut, menurut

suatu tata cara atau prosedur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, dlam

10

Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen & Pelaksanaannya

Dalam Penegakkan Hukum di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung, 2011, hlm.34

29

mencapai tujuan tertentu. Berkaitan dengan istilah penyelenggaraan di atas,

terdapat 3 (tiga) unsur pokok yang saling berkaitan yaitu:11

1. Siapa/ apa (lembaga/institusi) yang melakukan penyelenggaraan

peradilan pidana.

2. Apa kewenangan (kompetensi/bidang) kegiatan lembaga penyelenggara.

3. Bagaimana prosedur (tata cara) lembaga dalam melaksanakan

wewenangnya.

2. Proses Pemeriksaan Perkara Pidana di Indonesia

Berbicara mengenai masalah administrasi, maka terdapat dua macam

pengertian administrasi. Pertama, court administration yang dalam hal ini berarti

keadministrasian atau tertib administrasi yang harus dilaksanakan berkaitan

dengan jalannya kasus tindak pidana dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap

pelaksanaan putusan dalam sistem peradilan pidana. Kedua, adminstration of

justice yang dalam hal ini dapat berarti segala hal yang mencakup tertib hukum

pidana formil dan materiil yang harus dipatuhi dalam proses penanganan perkara

dan tata cara serta praktek litigasi.12

Tahap Pemeriksaan Disidang Pengadilan

Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan ada 3 (tiga) jenis, yaitu:

a. Pemeriksaan di Pengadilan Negeri.

b. Pemeriksaan Tingkat Banding.

c. Pemeriksaan Kasasi.

11

Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta, 2016, hlm. 9 12

Ibid., hlm.75

30

Pemeriksaan di Pengadilan Negeri dikenal dengan 3 (tiga) acara

pemeriksaan ialah:13

1. Acara Pemeriksaan Biasa.

Dalam acara pemeriksaan biasa, proses sidang dilaksanakan dengan tata

cara pemeriksaan sebagaimana yang ditentukan Undang-Undang, dihadiri oleh

Penuntut Umum dan Terdakwa dengan pembacaan surat dakwaan oleh Penuntut

Umum. Acara pemeriksaan biasa disebut pemeriksaan perkara “dengan surat

dakwaan”.

Pemeriksaan biasa diatur dalam Pasal 152 sampai 182 KUHAP,

dilakukan terhadap perkara kejahatan yang membutuhkan pembuktian dan

penerapan hukum tidak bersifat mudah dan sederhana. Dalam pemeriksaan biasa

ditentukan bahwa sidang dinyatakan terbuka untuk umum. Tidak dipatuhinya

ketentuan tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dengan demikian

prinsip dilakukannya suatu proses hukum yang wajar merupakan dasar

pembatalan putusan demi hukum.

Dalam pemeriksaan biasa dapat dimulai dari saksi-saksi dahulu baru

kemudian terdakwa. Pasal 166 KUHAP memberikan suatu ketentuan yang

menguntungkan dalam pemeriksaan, yaitu tidak dibolehkan mengajukan

pertanyaan yang bersifat menjerat baik kepada terdakwa maupun saksi. Penjelasan

Pasal 166 KUHAP merumuskan tentang hal tersebut sebagai berikut, jika adalah

salah satu pertanyaan disebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui atau tidak

13

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta,

2012, hlm.422

31

dinyatakan oleh saksi tetapi dengan seolah-olah diakui atau dinyatakan, maka

pertanyaan demikian itu dianggap sebagai pertanyaan yang bersifat menjerat.14

Setelah pemeriksaan selesai penuntut umum mengajukan tuntutan

pidana. Selanjutnya, terdakwa atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya.

Terhadap pembelaan tersebut dapat diajukan jawaban oleh penuntut umum,

dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran

terakhir. Jika pemeriksaan telah selesai, hakim ketua menyatakan bahwa

pemeriksaan dinyatakan ditutup dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi,

baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya maupun atas

permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberi

alasan. Sidang dibuka dimaksudkan untuk menampung data tambahan sebagai

bahan untuk musyawarah hakim.

Setelah itu hakim mengadakan musyawarah untuk mengambil keputusan.

Apabila perlu musyawarah diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum,

penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruang sidang.

2. Acara Pemeriksaan Singkat.

Dalam acara pemeriksaan singkat, kejahatan atau pelanggaran yang

pembuktian serta penerapan hukumnya mudah, sifatnya sederhana dan

pelimpahan dilakukan tanpa surat dakwaan.

Pemeriksaan singkat oleh KUHAP diatur dalam Pasal 203 dan Pasal 204.

Pemeriksaan singkat adalah pemeriksaan perkara kejahatan atau pelanggaran yang

penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Adapun yang menentukan

14

Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, op.cit., hlm.111

32

pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sederhana adalah penuntut

umum.

Tata cara atau prosedur pemeriksaan sama dengan pemeriksaan biasa

yaitu pertama panggilan dan dakwaan, kedua memutus wewenang mengadili dan

ketiga acara pemeriksaan biasa. Mengenai bagian pembuktian dan putusan tidak

disebut oleh KUHAP. Jaksa dari pemeriksaan di sidang suatu perkara yang

diperiksa dengan acara singkat ternyata sifatnya jelas dan ringan, yang seharusnya

diperiksa dengan acara cepat, maka hakim dengan persetujuan terdakwa dapat

melanjutkan pemeriksaan tersebut.15

Dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tanpa bahan, maka

hakim memerintahkan supaya diadakan pemeriksaan dalam waktu paling lama 14

hari (empat belas) hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum

juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim memerintahkan

perkara itu diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa.

3. Acara Pemeriksaan Cepat.

Dalam acara pemeriksaan cepat, diatur dalam Bagian Keenam Bab XVI.

Acara pemeriksaan cepat terbagi dalam dua bentuk diantaranya acara pemeriksaan

tindak pidana ringan dan acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.

Pemeriksaan cepat oleh KUHAP diatur dalam Pasal 205 sampai 210.

Adapun pengertian acara pemeriksaan cepat, yaitu mengenai pemeriksaan tindak

pidana ringan dan mengenai pemeriksaan pelanggaran lalu lintas tersebut.

Pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana

15

Ibid., hlm.112

33

penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya

tujuh ribu lima ratus rupiah.16

Hal yang perlu diperhatikan dalam acara cepat adalah bahwa penyidik

atas kuasa penuntut umum dalam waktu 3 (tiga) hari sejak berita acara

pemeriksaan dibuat, mengajukan terdakwa barang bukti, saksi, atau juru bahasa di

sidang pengadilan. Pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal, putusan

pengadilan acara ini merupakan tingkat terakhir sehingga tidak ada upaya hukum

lain kecuali dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan dapat dibanding.

Pemeriksaan menurut acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas ialah

perkara pelanggaran tertentu terhadap Peraturan Perundang-Undangan lalu lintas

jalan raya menurut penjelasan Pasal 211 KUHAP, yaitu sebagai berikut:

a. Mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi,

membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas atau mungkin

menimbulkan kerusakan pada jalan.

b. Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan

surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan, surat tanda

uji kendaraan yang sah atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut

ketentuan peraturan perundang - undangan lalu lintas jalan atau ia dapat

memperlihatkannya tetapi masa berlakunya sudah daluwarsa.

c. Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan

oleh orang yang tidak memiliki surat izin mengemudi.

d. Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang - undangan lalu lintas

jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan

kendaraan dan syarat penggandengan dengan kendaraan lain.

e. Membiarkan kendaraan bermotor yang ada dijalan tanpa dilengkapi plat

tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan surat tanda nomor

kendaraan yang bersangkutan.

f. Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu

lintas jalan dan atau isyarat alat pengatur lalu lintas jalan, rambun -

rambu atau tanda yang ada dipermukaan jalan.

16

Ibid., hlm.113

34

g. Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan

beroperasi dijalan yang ditentukan.

Berbeda dengan pemeriksaan menurut acara biasa, maka dalam

pemeriksaan menurut acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan,

terdakwa boleh diwakilkan di sidang dengan surat kuasa. Dalam hal putusan

dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan

kemerdekaan, maka terdakwa dapat mengajukan perlawanan dalam waktu tujuh

hari setelah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa. Dengan

perlawanan maka putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi gugur.

Tahap Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang

pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi, pemeriksaan terdakwa,

pemeriksaan barang bukti. Ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh

hakim, tiba saatnya hakim mengambil keputusan.17

Suatu proses pemeriksaan perkara diakhiri dengan suatu putusan akhir

atau vonis. Dalam putusan itu hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang

telah dipertimbangkan dalam putusannya. Putusan pengadilan menurut Pasal 1

butir 11 KUHAP adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka,

yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum

dalam hal serta menurut acara yang diatur dalam Undang-Undang.

Dari perumusan tersebut maka pengertian “pernyataan hakim”

mengandung arti bahwa hakim telah menemukan hukumnya yang menjadi dasar

17

Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,

hlm.115

35

pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam merumuskan

keputusannya hakim harus mengadakan musyawarah terlebih dahulu, dalam hal

pemeriksaan dilakukan dengan hakim majelis, maka musyawarah harus

berdasarkan hal yang didakwakan dan hal yang telah dibuktikan.

Selain itu, hakim dalam mengeluarkan sebuah putusan harus memenuhi

beberapa syarat formalitas dari suatu putusan hakim. Berdasarkan Pasal 197

KUHAP, surat putusan pemidanaan setidaknya harus memuat:18

a. Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang

Maha Esa”.

b. Nama lengkap, tempat lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,

agama dan pekerjaan terdakwa.

c. Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan

alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi

dasar penentuan kesalahan terdakwa.

e. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.

f. Pasal Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi dasar pemidanaan

atau tindakan dan pasal Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi

dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan

meringankan terdakwa.

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah Majelis Hakim, kecuali

perkara diperiksa oleh hakim tunggal.

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhi semua unsur

dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualitas dan pemidanaan

atau tindakan yang dijatuhkan.

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan

jumlah yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana

letaknya kepalsuan itu jika mengenai barang bukti.

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau

dibebaskan.

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang

memutuskan dan nama panitera.

18

Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, op.cit.,hlm.115

36

Tidak dipenuhinya ketentuan-ketentuan di atas, kecuali poin 7 dapat

mengakibatkan putusan batal demi hukum. Akan tetapi, jika dapat dibuktikan

terdapat kekeliruan dalam hal ini menurut penjelasan Pasal 197 ayat (2) dikatakan,

kecuali ketentuan-ketentuan poin 1, 5, 6 dan 8 tidak menyebabkan batalnya

putusan demi hukum, sepanjang kekeliruan tersebut karena penulisan atau

pengetikan.

Musyawarah majelis hakim disusun berdasarkan “fakta dan keadaan”,

yaitu segala apa yang ada dan apa yang ditemukan di sidang oleh pihak dalam

proses, antara lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa, dan penasihat hukum.

Jika putusan telah diucapkan terutama putusan pemidanaan, maka hakim ketua

majelis wajib memberitahukan kepada terpidana apa yang menjadi haknya

berdasarkan Pasal 196 ayat (3), yaitu:19

a. Hak segera menerima atau menolak putusan.

b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak

putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu 7 (tujuh) hari

setelah keputusan dijatuhkan atau setelah keputusan diberitahukan

kepada terdakwa yang tidak hadir.

c. Hak meminta penangguhan melaksanakan putusan dalam waktu yang

ditentukan menurut Undang-Undang untuk mengajukan grasi, dalam hal

ini menerima putusan.

d. Hak meminta banding dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah

putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa

yang tidak hadir.

e. Hak segera mencabut pernyataan menolak putusan dalam waktu selama

perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi.

Dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan yang mengandung

pemidanaan, hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-

19

Ibid., hlm. 116

37

hal yang meringankan terdakwa. Pengadilan dalam hal menjatuhkan putusan yang

memuat pemidanaan, dapat menentukan salah satu dari macam-macam pidana

yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP, yaitu salah satu dari hukuman pokok.

Adapun macam-macam pidana yang dapat dipilih hakim dalam menjatuhkan

putusan pemidanaan adalah pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan

pidana denda.20

Pidana mati adalah salah satu jenis pidana paling tua, setua umat

manusia. Pidana mati juga merupakan bentuk pidana yang paling menarik dikaji

oleh para ahli karena memiliki nilai kontradiksi atau pertentangan yang tinggi

antara yang setuju dengan yang tidak setuju. Kalau di negara lain satu persatu

menghapus pidana mati, maka sebaliknya yang terjadi di Indonesia. Semakin

banyak delik yang diancam dengan pidana mati. Paling tidak delik yang diancam

dengan pidana mati di dalam KUHP ada 9 buah, yaitu sebagai berikut:21

1. Pasal 104 KUHP (makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden).

2. Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing untuk bermusuhan

atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau berperang).

3. Pasal 124 ayat (1) KUHP (membantu musuh waktu perang).

4. Pasal 124 bis KUHP (menyebabkan atau memudahkan atau

menganjurkan huru hara).

5. Pasal 140 ayat (3) KUHP (makar terhadap Raja atau Presiden atau

Kepala Negara sahabat yang direncanakan atau berakibat maut).

6. Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana).

20

Rusli Muhammad, op.cit., hlm.120 21

Mahrus Ali, op.cit, hlm.195

38

7. Pasal 365 ayat (4) KUHP (pencurian dengan kekerasan yang

mengakibatkan luka berat atau mati).

8. Pasal 444 KUHP (pembajakan di laut, di pesisir dan di sungai yang

mengakibatkan kematian).

9. Pasal 479 k ayat (2) dan Pasal 479 o ayat (2) KUHP (kejahatan

penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/ prasarana penerbangan).

Pidana penjara adalah berupa pembatasan kebebasan bergerak dari

seorang terpidana yang dilakukan dengan menempatkan orang tersebut di dalam

sebuah Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang menyebabkan orang tersebut harus

mentaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar. Pidana

penjara adalah jenis pidana yang dikenal dengan istilah pidana pencabutan

kemerdekaan atau pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara juga dikenal

dengan sebutan pidana pemasyarakatan. Pidana penjara dalam KUHP bervariasi

dari pidana penjara sementara minimal 1 hari sampai pidana penjara seumur

hidup. Pidana penjara seumur hidup hanya terancam dimana ada ancaman pidana

mati (pidana mati atau seumur hidup atau pidana dua puluh tahun).22

Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan. Pertama,

sebagai custodia hunesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan

kesusilaan, yaitu delik culpa dan delik dolus, seperti Pasal 182 KUHP tentang

perkelahian satu lawan satu dan Pasal 396 KUHP tentang pailit sederhana. Kedua

22

Ibid., hlm.196

39

pasal tersebut diancam dengan pidana penjara. Kedua, sebagai custodia simplex,

yaitu suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.23

Pidana kurungan tidak dijatuhkan terhadap delik dolus, kecuali dalam

Pasal 483 dan Pasal 484 KUHP tentang unsur sengaja dan culpa. Sebaliknya,

terdapat pidana penjara pada delik culpa, alternatif dari pada kurungan yang

dalam satu pasal juga terdapat unsur sengaja dan culpa, seperti dalam Pasal 293

KUHP. Salah satu contoh mengenai pidana kurungan adalah Pasal 369 KUHP.

Pasal tersebut menyatakan bahwa barangsiapa karena salahnya menyebabkan

matinya orang, dipidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling

lama satu tahun. Demikian halnya dengan Pasal 483 KUHP yang berbunyi bahwa

barangsiapa menerbitkan tulisan atau gambaran yang merupakan perbuatan

pidana diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau

kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Pidana denda adalah jenis pidana yang dikenal secara luas di dunia dan

bahkan di Indonesia. Pidana ini diketahui sejak zaman Majapahit dikenal sebagai

pidana ganti kerugian. Menurut Andi Hamzah, pidana denda merupakan bentuk

pidana tertua, lebih tua daripada pidana penjara, mungkin setua pidana mati.

Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau

kejahatan ringan. Dengan pemahaman ini, pidana denda adalah satu-satunya

pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana.24

23

Ibid., hlm.197 24

Ibid., hlm.198

40

Dalam KUHP pidana denda diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 31 KUHP. Pasal 30

dinyatakan:

1. Denda paling sedikit adalah dua puluh lima sen.

2. Jika denda tidak di bayar, lalu di ganti dengan kurungan.

3. Lamanya kurungan pengganti paling sedikit adalah satu hari dan paling

lama enam bulan.

4. Dalam putusan Hakim lamanya kurungan pengganti di tetapkan

demikian: Jika dendanya lima puluh sen atau kurang, di hitung satu hari;

Jika lebih dari lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian

pula sisanya yang tidak cukup lima puluh sen.

5. Jika ada pemberatan denda, disebabkan karena perbarengan atau

pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a, maka kurungan

pengganti paling lama dapat menjadi delapan bulan.

6. Kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.

Pasal 31 KUHP dinyatakan:

1. Orang yang dijatuhi denda, boleh segera menjalani kurungan

penggantinya dengan tidak usah menunggu sampai waktu harus

membayar denda itu.

2. Setiap waktu ia berhak dilepaskan dari kurungan pengganti jika

membayar dendanya.

3. Pembayaran sebagian dari denda, baik sebelum maupun sesudah mulai

menjalani kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian

kurungan bagian denda yang telah dibayar.

41

Konsep KUHP telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Pasal 54,

yaitu:

1. Pemidanaan bertujuan :25

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat.

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pemidanaan sehingga

menjadi orang yang baik dan berguna.

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan

martabat manusia.

25

Erna Dewi dan Firganefi, op.cit., hlm.13