129
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF, REHABILITASI, PECANDU, KORBAN, PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN SISTEM PERADILAN PIDANA 2.1. Pengertian atau Definisi Serta Makna Beberapa Kata Sebagai Variabel Terangkai Dalam Judul Dalam tinjauan umum ini diuraikan mengenai variabel variabel judul yang terangkai dalam proposisi atau rangkaian kalimat seperti : “Kebijakan Formulatif Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta dianalisis berdasarkan landasan teoritis yang terdiri dari komponen komponen : asas asas hukum, konsep-konsep hukum, doktrin, yurisprudensi dan teori teori hukum. Kesemuanya dari landasan teoritis sebagai pisau analisis atas masalah yang tersedia akan terurai penjabarannya dalam uraian berikut. 2.1.1. Pengertian dan Arti Kebijakan dan Formulatif Secara arti kata atau etimologi kebijakan berakar dari asal kata bijak, mendapat awalan “ke” dan akhiran “kan” terangkai menjadi “kebijakan” mengandung arti : kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak 42 42 Tim Penyusun, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 131 60

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

60

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF,

REHABILITASI, PECANDU, KORBAN, PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA DAN SISTEM PERADILAN PIDANA

2.1. Pengertian atau Definisi Serta Makna Beberapa Kata Sebagai

Variabel Terangkai Dalam Judul

Dalam tinjauan umum ini diuraikan mengenai variabel – variabel judul

yang terangkai dalam proposisi atau rangkaian kalimat seperti : “Kebijakan

Formulatif Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna

Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua

buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta dianalisis berdasarkan

landasan teoritis yang terdiri dari komponen – komponen : asas – asas hukum,

konsep-konsep hukum, doktrin, yurisprudensi dan teori – teori hukum.

Kesemuanya dari landasan teoritis sebagai pisau analisis atas masalah yang

tersedia akan terurai penjabarannya dalam uraian berikut.

2.1.1. Pengertian dan Arti Kebijakan dan Formulatif

Secara arti kata atau etimologi kebijakan berakar dari asal kata bijak,

mendapat awalan “ke” dan akhiran “kan” terangkai menjadi “kebijakan”

mengandung arti : kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, rangkaian konsep

dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu

pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak42

42 Tim Penyusun, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 131

60

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

61

Kata kebijakan terkait dengan judul disertasi ini dimaksudkan adalah

berupa kebijaksanaan oleh badan legislatif dalam ke depan memformulasikan

aturan norma hukum menyangkut aturan rehabilitasi bagi pecandu dan korban

penyalahguna narkotika dalam setiap tahapan proses peradilan pidana.

Termasuk pula kebijakan yudikatif atau aplikatif terkait rehabilitasi yang

diberikan kepada pecandu dan korban akibat penyalahgunaan narkotika seperti

maksud yang dituju oleh Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009. Secara

etimologi kata “formulatif” diartikan sebagai : “perumusan, merumuskan atau

menyusun”.43 Jadi dua buah kata dirangkaian menjadi kebijakan formulatif,

mengandung makna bahwa badan legislatif atau pembentuk undang – undang

perlu membentuk rumusan norma hukum dalam pasal Undang – Undang

Narkotika menyangkut substansi rehabilitasi bagi pecandu dan korban

penyalahguna narkotika.

2.1.2. Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan suatu perbaikan terhadap seseorang yang

berperilaku buruk. Irwin memandang bahwa ideas of rehabilitation through

punishment were first embodied in the penitentiaries, built during the

Jacksonian era of the late 19th century; Reformer hoped that felons would be

kept in solitude, reflecting penitently on their sins in order that they might

cleanse and transform themselves.44 (Terjemahan bebas: Ide rehabilitasi

melalui hukuman pertama kali diwujudkan dalam lembaga pemasyarakatan,

43 Ibid, h. 279 44 Irwin, J., 1980, Prisons in Turmoil, Little, Brown, Boston, h. 2.

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

62

dibangun selama era Jacksonian dari akhir abad ke-19. Reformis berharap

penjahat akan diisolasi dalam kesendirian, merefeksikan penyesalan atas dosa-

dosa mereka agar mereka bisa membersihkan dan mengubah diri). Rehabilitasi

berada pada kajian antara kriminologi dan penologi.

2.1.3. Pengertian Pencandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika

Menurut pengaturan Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa "Pecandu Narkotika adalah orang

yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan

ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis."

Ketergairtungan Narkotika merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh

dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran

yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila pecanduannya

dikurangi dan/atau dihentikan secaja tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan

psikis yang khas.

Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga

terdapat istilah korban penyalahguna narkotika. Dalam Penjelasan Pasal 54

Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa

yang dimaksud dengan "Korban Penyalahgunaan Narkotika" adalah seseorang

yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,

dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika, Istilah "korban

berbeda dengan istilah (penyalah guna). Penyalah Guna berdasarkan Pasal 1

Angka 15 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah

orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

63

2.1.4. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat

oleh Frank Remington dengan istilah "criminal justice system". Criminal justice

system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap

mekanisme administrasi peradilan pidana dan peradilan pidana sebagai suatu

sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik

administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri

mengandmg implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional

dan dengan cara efesien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala

keterbatasannya.45 Sistem peradilan pidana dengan demikian merupakan suatu

istilah manajemen dalam menanggulangi kejahatan.

Menurut Mardjono Reksodipoetro, sistem peradilan pidana sebagai

sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan nemasyaratan terpidana.46 Beranjak dari definisi

tersebut di atas, Mardjono mengemukakan tujuan dari sistem peradilan pidana

adalah:

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegaskan dan yang bersalah pidana.

3. Dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi47

45 Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan

Abolmonisme9Binacipta, Bandung, h. 14. (selanjutnya disebut Romli Atmasasmita II). 46 Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Peradilan Pidana; Konsep,

Kamponen dan Pelaksanaan dalam Penegakan Hukum di Indonesia., Widya Padjajaran,

Bandung, h. 35. (selanjutnya disebut Anwar, Yesmil dan Adang I). 47 Ibid

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

64

Sistem peradilan pidana dapat dilihat dari sudut pendekatan normatif,

manajemen dan sosial. Ketiga bentuk pendekatan tersebut, sekalipun berbeda,

tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, Bahkan lebih jauh ketiga bentuk

pendekatan tersebut saling mempengaruhi dalam menentukan tolok ukur

keberhasilan dalam menanggulangi kejahatan.48 Dengan demikian sistem

peradilan pidana merupakan suatu pendekatan dalam menanggulangi kejahatan

melalui koordinasi antara penegak hukum dan pengawasan terhadap kinerja

penegak hukum baik pengawasan secara internal maupun pengawasan secara

eksternal.

2.2. Landasan Teoritis

Penjabaran dan pemaparan dalam Bab II ini juga dengan mengemukakan

beberapa landasan teoritis keilmuan hukum. Adapun acuan teori – teori sebagai

pisau analistis terhadap permasalahan yang disajikan akan dijadikan pedoman

dan landasannya. Hal yang dimaksud landasan teoritis keilmuan tersebut

meliputi : asas – asas hukum, konsep – konsep hukum, doktrin – doktrin

hukum, yurisprudensi, hasil penelitian terdahulu dan terakhir adalah teori –

teori hukum yang relevan. Masing-masing sub-sub landasan teoritis akan

terurai dalam penjabaran berikut :

48 Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada

Media Grup, Jakarta, h. 5. (selanjutnya disebut Romli Atmasasmita III).

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

65

2.3 Asas – Asas Hukum

Perlunya memahami asas hukum karena di dalamnya terkandung

prinsip-prinsip antara lain:

1. Asas hukum merupakan fikiran-fikiran yang member! arah, yang menjadi

dasar kepada tata hukum yang ada;

2. Asas hukum merupakan sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila

mereka ikut bekerja dalam mewujudkan undang-undang;

3. Asas hukum dipositifkan baik dalam perundang-undangan

maupun yurisprudensi;

4. Asas hukum tidak bersifat transedental atau melampaui alam kenyataan

yang dapat disaksikan oleh pancaindra;

5. Asas hukum berkedudukan relatif dan melandasi fungsi pengendalian

masyarakat, penyelenggaraan ketertiban dan penanggulangan kejahatan;

6. Asas hukum merupakan legitimasi dalam prosedur pembentukan,

penemuan dan pelaksanaan hukum;

7. Asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang dan pejabat-

pejabat penguasa, sehingga tidak merupakan keharusan untuk mengaturnya

dalam hukum positif.49

Paul Scholten dalam pandangannya yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo

menulis bahwa "asas hukum bukan merupakan peraturan, akan tetapi hukum

tidak dapat dipahami dengan baik tanpa asas-asas, karena asas hukum

merupakan arah yang datang dari putusan moral yang ditanamkan dalam

hukum berupa pernyataan umum yang tidak dapat diabaikan. Mengingat

dengan adanya asas hukum menyebabkan suatu peraturan perundang-undangan

lebih berkualitas".50

Bambang Poernomo dalam pendapatnya "dengan mengenal,

menghubungkan, dan menyusun asas di dalam hukum pidana positif, itu berarti

49 Muladi, 1997, HakAsasi Manusia, Politih dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas

Diponogoro, Semarang, h.144 (selanjutnya disebut Muladi III) 50 Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, h. 128

(selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II)

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

66

menjalankan hukum secara sistematis, kritis, dan harmonis sesuai dengan

dinamika garis-garis yang ditetapkan dalam politik hukum pidana".51

Berdasarkan hal itu, dalam konteks hukum pidana baik materiil maupun

formil, berlakunya asas di pandang penting untuk diketahui, karena dengan asas

membuat hubungan dan susunan hukum pidana dapat berlaku, demikian pula

dengan asas dapat dipergunakan memecahkan suatu kasus yang terjadi.

Fuller telah menentukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi

dalam pembentukan hukum yaitu:

1. Law system contains of rules, not only based on a verdict about

particular things;

2. The ride must be publish to public;

3. Unretroactive, it will break the integrity of a system;

4. Makes on commonly understood form;

5. Should not be conflict with another rule;

6. Should not require an act that exceeds what can be done;

7. Should not be frequently changed;

8. The rule should compability with the daily implementation.52

(Diterjemahkan secara bebas:

1. Bahwa sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan

putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu; yang tidak dapat

diabaikan. Mengingat dengan adanya asas hukum menyebabkan suatu

peraturan perundang-undangan lebih berkualitas". 2

2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;

3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;

4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;

5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa

dilakukan;

7. Tidak boleh sering diubah-ubah;

8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

51 Bambang Pornomo, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta,

h.56 (selanjutnya disebut Bambang Pornomo III) 52 Lon L Fuller, 1971, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven.

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

67

Pandangan Lon L.Fuller di atas menegaskan bahwa kepastian hukum

merupakan dasar untuk dapat menjaga dan menjamin keselamatan setiap

individu, sehingga pecanduan asas menjadi ukuran legitimasi dalam prosedur

pembentukan, penemuan dan pelaksanaan hukum.53 Sehingga menurut Paton

fungsi dari asas hukum adalah "a principle is the broad reasen which lies at the

base of a rule of law, it has not exhausted itself in giving birth to that particular

rule but is fertile. Principle the means by which the law lives, grows, and

develops, demonstrate that law is not mere collection of rules" (Terjemahan

secara bebas: suatu prinsip merupakan alasan yang menjadi dasar dari aturan

suatu hukum, hal ini tidak akan menyia-nyiakan dirinya dengan melahirkan

aturan tertentu yang tidak dapat berlaku. Suatu prinsip akan berarti, bilamana

ada hukum yang hidup, tumbuh, dan berkembang, yang dapat menunjukkan

bahwa hukum bukan semata hanya sekumpulan peraturan).54

Berdasarkan hal itu, dalam konteks hukum pidana materiil, di dalam

perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi) ada 3 (tiga) permasalahan

pokok yang terkait, diantaranya asas legalitas, pertanggungjawaban pidana

(kesalahan) dan sanksi yang diancamkan baik pidana maupun tindakan.55

Adapun asas – asas hukum sebagai dasar kajian atas substansi

rehabilitasi bagi pecandu narkotika, yang melandasi pula secara umum esensi

undang – undang narkotika yang berlaku saat ini di Indonesia secara ius

constitutum, meliputi asas – asas hukum.

53 Sudarto V, Op Cit, h. 11 54 G.W. Paton, 1964, A Text-Book of Jurisprudence, Oxford Univ Press, London, h.204 55 Muladi III, Loc Cit

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

68

Terkait dengan pencanangan rehabilitasi medis bagi pecandu bahkan

atau korban narkotika menurut Pasal 102 Undang – Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika adalah merupakan kebijakan baru, atau sebagai

tindakan kriminalisasi. Esensi atau makna kriminalisasi yang diberlakukan bagi

pecandu narkotika atau sebagai korban narkotika sangat berhubungan dengan

asas – asas yang menjadi fondasi pembentukan undang-undang narkotika yang

berlaku saat ini atau sebagai ius constitutum dan ius operatum bagi negara

Indonesia dalam pemberantasan termasuk juga penanggulangan atau

pencegahan bahaya narkotika dalam segala jenis dan bentuknya. Asas – asas

dimaksud seperti tersurat dalam Pasal 3 Undang – Undang Nomor 25 Tahun

2009 tentang Narkotika sebagai berikut :

a. Keadilan

b. Pengayoman

c. Kemanusiaan

d. Ketertiban

e. Perlindungan

f. Keamanan

g. Nilai-nilai ilmiah, dan

h. Kepastian hukum

i. Perundang-undangan

Adanya beberapa asas yang melandasi esensi dibentuknya Undang –

Undang Narkotika oleh pembentuk undang-undang dihubungkan dengan usaha

bentuk rehabilitasi medis. Bagi pecandu atau sebagai korban pemakai

narkotika, maka penulis dapat memberikan kajian atas makna dari asas – asas

yang tersurat diatas, dengan siratan masing-masing makna seperti berikut :

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

69

2.3.1. Asas Keadilan

Mengandung esensi dan makna bahwa bagi pecandu atau bahkan

disebut korban, perlu diberikan porsi secara adil berupa perlakuan bagi pecandu

atau korban narkotika secara proforsional dan korektif sesuai pembagian

macam keadilan. Secara bentuk keadilan proforsional bahwa seseorang

posisinya sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika perlu

dibedakan dengan seseorang yang posisinya sebagai pengedar, untuk itu perlu

dikoreksi kedudukan atau posisi seseorang perannya dalam posisi hukum.

Maka keadilan korektif perlu diporsikan untuk menempatkan dan menilai posisi

seseorang dalam perannya ketika dihadapkan dengan kasus narkotika tersebut,

sehingga tampak makna keadilan dalam penerapannya memporsikan tiap orang

dihadapan hukum mencapai porsi dan posisi keadilan secara substantif.

2.3.2. Asas Pengayoman

Pengayoman berarti memberi perlindungan pada seseorang atau subyek

yang memberi rasa nyaman akan dirinya. Dalam hubungan dengan pecandu

atau sebagai korban narkotika tidak mesi diberi pembalasan berupa pidana

namun perlu untuk diayomi orangnya, berupa diberikan pengobatan untuk

sembuh dari sakitnya, secara lebih kongkrit diberikan pengobatan secara medis

dengan wujud tindakan rehabilitasi secara fisik dan seperti terbebas dari

ketergantungan akan narkotika apapun bentuknya

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

70

2.3.3. Asas Kemanusiaan

Kemanusiaan mengandung arti serta makna memperlakukan seseorang

sesuai harkat dan martabat manusia secara beradab. Dengan memberikan

manusia tersebut hak-hak yang ia miliki sejak lahir sekalipun seseorang sebagai

individu telah dianggap melanggar norma tertentu terutama norma hukum

seperti melakukan penyalahgunaan narkotika yang secara hukum dianggap

telah melanggar hukum. Namun orangnya sebagai subyek hukum perlu

dipulihkan kembali.

2.3.4. Asas Ketertiban

Ketertiban berarti adanya keteraturan atau menurut aturan atau

peraturan atau keadaan serba teratur baik dalam hubungan dengan adanya

undang-undang tetang narkotika yang dibentuk oleh negara, bermaksud agar

setiap orang sebagai subyek hukum taat untuk tidak menyalahgunakan

pemakaian narkotika tersebut, karena barang narkotika tersebut ketika

disalahgunakan akan fungsinya dapat mengganggu ketertiban hidup manusia

seperti menimbulkan efek yang merugikan berupa timbulnya kejahatan,

kematian bahkan mengganggu stabilitas negara.

2.3.5. Asas Perlindungan

Perlindungan berarti tempat berlindung. Negara dalam membuat

undang-undang tentang narkotika, mengandung makna bahwa negara

bermaksud memberi tempat berlindung bagi negaranya melalui undang-undang

narkotika yang ada untuk tidak melanggar atau tidak melakukan

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

71

penyalahgunaan narkotika mereka akan selamat dari bahaya narkotika tersebut.

Termasuk pula negara akan melindungi pelanggarnya seperti pemakai atau

pecandu narkotika sebagai korban akan dilindungi oleh negara melalui tindakan

kebijakan dari pemerintah melalui Departemen Kesehatan dengan aksi

langsung berupa rehabilitasi medik dan rehabilitasi sosial bagi setiap pecandu

narkotika tersebut.

2.3.6. Asas Keamanan

Keamanan berarti keadaan aman atau ketentraman. Dalam hubungannya

dengan keberadaan undang-undang tentang narkotika yang ada dan diciptakan

oleh negara bermaksud untuk memberi rasa aman dan tentram bagi semua

warga negara sebagai dampak yang ditimbulkan dari bahaya narkotika tersebut.

Berbagai gangguan rasa aman dan tentram akan muncul akibat dari

penyalahgunaan pemakaian narkotika tersebut, seperti kriminalitas dalam

segala macam dan bentuknya yang dapat mengganggu rasa aman dan tentram

di masyrakat.

2.3.7. Asas Nilai-Nilai Ilmiah

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika salah

satu asasnya tersurat asas nilai-nilai ilmiah (dalam penjelasan umum Pasal 3

tertulis cukup jelas). Penulis dapat interpretasikan bahwa nilai-nlai ilmiah

diformat sebagai asas dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut

dimaksudkan bahwa narkotika disamping berdampak buruk bila

disalahgunakan oleh manusia, juga berpengaruh positif atau berguna bagi

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

72

manusia narkotika tersebut, ketika difungsikan sesuai keperluannya. Seperti

untuk pengobatan, kepentingan operasi tertentu di bidang kesehatan atau

tindakan medik, bahkan kepentingan dunia ilmiah seperti penelitian di

laboratorium tertentu.

2.3.8. Asas Kepastian Hukum

Kepastian hukum berarti sebagai landasan atau dasar bagi negara untuk

menindak pelaku-pelaku di bidang narkotika baik seperti pecandu atau korban

ataupun sebagai pengedar narkotika berupa diciptakannya undang – undang di

bidang narkotika berupa terakhir dengan adanya Undang – Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika yang berlaku saat ini.

2.3.9. Asas Perundang-undangan

Perundang-undangan sangat diperlukan untuk penciptaaan hukum yang

baik. Asas perundang-undangan sebagaimana yang dikemukakan oleh Lon

Fuller menunjukkan beberapa kriteria mengenai hukum yang baik. Lon Fuller

menyebutkannya sebagai the inner morality of law atau dengan istilah lain

yakni the morality that makes law possible. Dalam hukum yang baik tersebut

terdapat delapan prinsip tersebut meliputi (1) general; (2) made known or

available to the affected party (promulgation); (3) prospective, not retroactive;

(4) clear and understandable; (5) free from contradictions; they should not (6)

require what is impossible; (7) be too frequently changed; finally (8) there

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

73

should be congruence between the law and official action.56 (terjemahan bebas

(1) umum; (2) diketahui atau tersedia untuk pihak yang terkena dampak

(diundangkan); (3) prospektif, tidak berlaku surut; (4) yang jelas dan mudah

dimengerti; (5) bebas dari kontradiksi; (6) mengharuskan apa yang tidak

mungkin; (7) akan terlalu sering berubah; akhirnya (8) harus ada kesesuaian

antara hukum dan tindakan resmi).

Suatu pebuatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan

ketentuan di atasnya. Hal ini menimbulkan hierarki dalam peraturan

perundang-undangan atau yang dikenal melalui ajaran stufenban theori oleh

Hans Kelsen. Dalam ajaran stufenban theorie dinyatakan bahwa suatu sistem

hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum

tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi sebagai

ketentuan yang lebih tinggi adalah grundnorm atau norma dasar yang bersifat

hipotesis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkret daripada ketentuan

yang lebih tinggi.57

Pecanduan asas perundang-undangan sangat diperlukan dalam menyusun

suatu peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan bagi

komponen peradilan pidana untuk mendekriminalisasikan pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika. Dengan demikian, teori perundang-undangan

digunakan dalam menganalisis permasalahan kedua yakni pengaturan tindakan

rehabilitasi di masa mendatang.

56 Hart, H.L.A., 1983, Essays in Jurisprudence and Philosophy, Clarendon, Exford, h.

347. 57 Rasjidi, Lili dan Rasjidi, Ia Thania, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,

Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 61.

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

74

Rangkaian beberapa asas tersebut diatas, adalah sebagai dasar

operasional bagi negara atau pemerintah melalui komponen penegak hukumnya

untuk bertindak dan menangani pelanggaran hukum dibidang narkotika, juga

dapat melakukan tindakan secara preemtif, preventif maupun represif.

2.4. Konsep – Konsep Hukum

Konsep (concept) adalah kata yang merupakan abstraksi

yang digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.58 Konsep hukum yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Konsep Perlindungan Hukum, Konsep

due process of law dan Konsep tentang Unsur Minimal Proses Hukum yang

Adil.

2.4.1. Konsep Perlindungan Hukum

Setiap pembentukan suatu Negara didalamnya akan terdapat hukum

untuk mengatur warganya, sehingga tercipta hubungan antara Negara dengan

warga negaranya. Hubungan tersebut akan melahirkan hak dan kewajiban.

Perlindungan hukum akan menjadi hak bagi warga Negara dan disisi lain

perlindungan hukum menjadi kewajiban bagi Negara. Indonesia mengklaim

dirinya sebagai Negara hukum sebagaimana tersirat dalam Pasal 1 Ay at (3)

UUD Negara RI Tahun 1945 yang tersurat : "Indonesia adalah Negara hukum".

Oleh karenanya setiap tindakan pemerintah dan institusinya harus berlandaskan

atas hukum.

58 Amiruddin dan Zainai Asikin, 2008. Pengantar Metode Penelitian Hukum, cetakan

keempal, PT. Raja Grafmdo Persada, Jakarta, h. 47.

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

75

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa Perlindungan hukum adalah

memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain

dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat

menikmati semua' hak-hak yang diberikan oleh hukum.59 Philipus M. Hadjon

menyatakan perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat martabat,

serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek

hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.60

Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa Negara Indonesia sebagai

Negara Hukum berdasarkan atas Pancasila haruslah memberikan perlindungan

hukum terhadap warga masyarakatnya yang sesuai dengan Pancasila. Oleh

karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan

perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan, serta

Keadilan Sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan

hak asasi manusia dalam wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi

semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama.61

2.4.2. Konsep Due Process of Law

Secara prinsip, pembicaraan mengenai proses hukum yang adil (due

process of law) tentu tidak bisa lepas dengan sistem peradilan pidana, dan juga

59 Satjipto Rahardjo, 1993. Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang sedang

Bembah", Jurnal Masalah Hukum. 60 Hadjon,Philipus, M., 1987 , Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,

Surabaya, h. 37. 61 Ibid, h. 84

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

76

terkait dengan perlindungan hukum terhadap tersangka, terdakwa dan

terpidana. Mengenai hal ini Heri Tahir menyatakan bahwa :

"... sistem peradilan pidana merupakan wadah dari proses hukum yang adil,

sehingga tidak mungkin membicarakan proses hukum yang adil tanpa

adanya sistem peradilan pidana. Demikian sebaliknya, proses hukum yang

adil pada hakikatnya merupakan roh dari sistem peradilan pidana itu

sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak

tersangka dan terdakwa".62

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, dalam proses hukum

yang adil (due process of law) terdapat perlindungan terhadap hak-hak

tersangka dan terdakwa. Dalam mencapai proses hukum yang adil (due process

of law) peradilan pidana juga harus mencerminkan perlindungan terhadap hak-

hak tersangka dan terdakwa sebagai persyaratan terselenggaranya proses

hukum yang adil. Konsep hukum ini relevan untuk membahas permasalahan

pertama dan kedua yang terkait dengan rehabilitasi.

Due process of law dapat diartikan sebagai proses hukum yang adil dan

tidak memihak, layak, serta merupakan proses peradilan yang benar, yang telah

melalui mekanisme atau prosedur-prosedur yang ada, sehingga dapat diperoleh

keadilan substantif. Yesmil Anwar dan Adang mengemukakan bahwa :

Due Process of Law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai rule of

law, akan tetapi merupakan unsur yang esensial dalam penyelanggaraan

peradilan yang intinya adalah ia merupakan "...a law which hears before it

condemns, which proceeds upon inquiry, and reders judgement only after

trial...'". Pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hak-

hak asasi individu terhadap arbitrary action of the government63

62 Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidnna di

Indonesia, cetakan pertama, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, h. 7 63 Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sisiem Peradilan Pidana; Konsep, Komponen, &

Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, cetakan pertama, Widya Padjajaran.

h. 113-114.

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

77

Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa dalam due process of

law mengandung adanya perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia

utamanya terhadap pembahasan mengenai rehabilitasi, sekalipun ia adalah

seorang pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa) harus mendapatkan

perlindungan hukum yang dijamin oleh negara, terlebih ia berniat untuk taubat

sebagai pemakai maupun pengedar narkotika.

2.4.3. Konsep Tentang Unsur Minimal Proses Hukum yang Adil

Pendapat Tobias dan Petersen, due process of law (yang berasal dari

Inggris, dokumen Magna Charta, 1215) merupakan constitutional guaranty...

that no person will be deprived of live, liberty of property for reason that are

arbitrary ... protecs the citizen agints arbitrary actions of the government.

Menurut Tobias dan Petersen, unsur-unsur minimal dari due process of law

adalah hearing, counsel, defence, evidence and a fair and impartial court.64

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa "hearing" adalah salah satu

unsur minimal dalam due process of law. Konsep hukum ini relevan membahas

permasalahan yang terkait dengan pengaturan rehabilitasi ke depan pada

permasalahan kedua.

2.4.4. Konsep Negara Hukum

Negara hukum sudah merupakan tipe negara yang umum dimiliki oleh

bangsa-bangsa di dunia dewasa ini. Negara hukum meninggalkan tipe negara

64 Ibid, h. 22 – 23

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

78

yang memerintah berdasarkan kemauan penguasa.65 Negara hukum sebagai

negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam Undang-undang

sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan hukum.66

Oleh karena itu negara hukum itu ialah negara yang diperintah bukan oleh

orang-orang tetapi oleh Undang-undang (state the not governed by men, but by

laws), karena itu didalam negara hukum hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya

oleh negara dan terhadap negara begitu pula sebaliknya kewajiban-kewajiban

rakyat harus dipenuhi seluruhnya dengan tunduk dan taat kepada segala

peraturan pemerintah dan Undang-undang negara.67

Dalam konsep negara hukum modern atau negara hukum sosial, negara

berkewajiban mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat baik

kesejahteraan sosial maupun ekonomi. Ciri negara berkesejahteraan atau negara

hukum sosial (sociale rechstaat) adalah negara berupaya mensejahterakan

rakyatnya. Adapun ciri-ciri tersebut akhirnya muncul dua konsekuensi yaitu:

a. Campur tangan pemerintah terhadap kehidupan rakyat sangat luas, hingga

mencakup hampir semua aspek kehidupa rakyat, dan

b. Dalam melaksanakan fungsinya pemerintahan menggunakan asas freis

ermessen atau diskresi.68

65 Rahardjo, Satjipto, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta

Publishing, Yogyakarta, h. 2. (Selanjutnya disebut Rahardjo, Satjipto I). 66 Fadjar, A. Mukthie, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, h.

6. 67 Ibid. 68 Hatta, Moh., 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum & PIdana

Khusus, Liberty, Yogyakarta, h. 13

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

79

Menurut Sudargo Gautama negara hukum adalah suatu negara dimana

perseorangan mempunyai hak terhadap negara, dimana hak-hak asasi manusia

diakui oleh undang-undang, dan untuk merelisasikan perlindungan hak-hak ini

kekuasaan negara dipisah-pisahkan hingga badan penyelenggara negara, badan

pembuat Undang-undang dan badan peradilan berada pada pelbagai tangan, dan

dengan susunan badan peradilan yang bebas kedudukannya untuk dapat

memberi perlindungan semestinya kepada setiap orang yang merasa hak-

haknya dirugikan, walaupun andaikata hal ini terjadi oleh alat negara sendiri.69

Konsep rechtstaat yang bertumpu atas sistem hukum Eropa Continental

yang disebut civil law atau Modern Roman Law lahir dari perjuangan

menentang absolutisme sehingga bersifat revolusioner. Sedangkan konsep rule

of law yang bertumpu atas sistem hukum Anglo Saxon yang disebut common

law berkembang secara evolusioner.70 Konsep negara hukum rechtstaat

adalah :

1) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus

berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

2) Adanya jaminan terhadap hak warganegara;

3) Adanya pembagian kekuasaan negara;

4) Adanya pengawasan dari badan peradilan.71

F.J. Stahl berusaha menyempurnakan cita negara hukum tersebut.

Menurut F.J. Stahl, rechtsstaat memiliki unsur-unsur pokok yaitu (1)

pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia; (2) pemisahan

69 Gautama, Sudargo, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung,

h. 21. 70 Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina

Ilmu, Surabaya, h. 76. 71 Soemantri M., Sri. 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,

Bandung, h. 29 -30

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

80

kekuasaan berdasarkan prinsip Trias Politica; (3) pemerintahan

diselenggarakan berdasarkan Undang-undang (wetmatig bestuur); (4) adanya

peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan

melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad). 72 F.J.

Stahl mensyaratkan empat unsur yang harus dipenuhi untuk disebut sebagai

negara hukum.

The rule of law mempunyai dua pengertian yaitu pengertian formil dan

pengertian materiil (ideologis). Dalam pengertian formil dimaksudkan

kekuasaan publik yang teorganisir. Hal itu berarti setiap sistem kaidah yang

didasarkan pada hierarki perintah merupakan rule of law. Pengertian formil

dimaksud, dapat menjadi alat yang paling efektif dan efisien untuk menjalankan

pemerintahan yang tirani. The rule of law dalam arti materiil bertujuan untuk

melindungi warga masyarakat terhadap tindakan yang sewenang-wenang dari

penguasa sehingga memungkinkan manusia untuk mendapatkan martabatnya

sebagai manusia. Oleh sebab itu inti dari rule of law dalam arti materiil adalah

adanya jaminan bagi warga masyarakat untuk memperoleh keadilan sosial,

yaitu keadaan yang dirasakan oleh warga masyarakat penghargaan yang wajar

dari golongan lain sedangkan setiap golongan tidak merasa dirugikan oleh

kegiatan golongan lainnya.73

Rule of Law memiliki beberapa konsekuensi yaitu: pertama, supremasi

absolute ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau prerogatif

penguasa; kedua, berlakunya prinsip persamaan dalam hukum (equality before

72 Kranenburg, 1975, Ilmu Negara Umum, Terjemahan Sabaroedin, Pradnya Paramita,

Jakarta, h. 90. 73 Ali, H. Zainuddin, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 81.

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

81

the law), dimana semua orang harus tunduk pada hukum, dan tidak seorang pun

yang berada diatas hukum (above the law); ketiga, konstitusi merupakan dasar

dari segala hukum bagi negara yang bersangkutan. Dalam arti ini, hukum yang

berdasarkan konstitusi harus melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan

kemerdekaan rakyat.74

Konsep Negara Hukum adalah dasar yang diperlukan sebagai landasan

perlunya legitimasi kewenangan komponen peradilan pidana dalam

dekriminalisasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Konsep

negara hukum digunakan dalam membahas permasalahan pertama dan kedua.

Konsep negara hukum pada dasarnya menginginkan setiap tindakan

dilegitimasi melalui peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satunya

tugas negara menyelenggarakan sektor kesehatan bagi setiap warga negaranya,

seperti merehabilitasi pecandu narkotika.

2.4.5. Konsep Restorative Justice

Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang

melakukan penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan

diganti dengan sarana reparatif. Restorative justice model mempunyai beberapa

karakteristik yaitu:

a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain

dan diakui sebagai konflik;

b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan

kewajiban pada masa depan;

c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;

74 Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (rechtstaat), Refika Aditama,

Bandung, h. 3

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

82

d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi

sebagai tujuan utama;

e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas

dasar hasil;

f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial

g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;

h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah

maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak

pidana didorong untuk bertanggung jawab;

i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman

terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;

j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan

ekonomis;

k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restorative. 75

Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana mengandung

masalah atau cacat struktural sehingga secara relatistis harus dirubah dasar-

dasar sruktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-

nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari

alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti

penjara.76 Restorative justice sebagai produk dari paham abolisionis ini telah

diterapkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Dalam Pasal 1 angka 6 dinyatakan:

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan

melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang

terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan

menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan

pembalasan.

75 Muladi, 1996, Kapita Seleksi Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

Semarang, h. 125. 76 Atmasasmita, Romli II, Op.Cit., h. 101.

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

83

Restorative Justice sebagai salah usaha untuk mencari penyelesaian

konflik secara damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan. Di Indonesia

banyak tradisi/ kebiasaan/ custom yang mengarahkan/ mengindikasikan

menjadi restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui negara atau

tidak dikodifikasikan dalam hukum nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan

konflik yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang

berkonflik. Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan

sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif

menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik

tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi

korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga

dan sebagainya.77

2.4.6. Konsep Rehabilitasi

Beth M. Huebner menyatakan bahwa rehabilitation is a central goal of

the correctional system. This goal rests on the assumption that individuals can

be treated and can return to a crime free lifestyle.78 (terjemahan bebas:

Rehabilitasi adalah tujuan utama dari sistem pemasyarakatan. Tujuan ini

bertumpu pada asumsi bahwa individu dapat diobati dan dapat kembali ke

kejahatan gaya hidup bebas). Rehabilitasi adalah sebuah perawatan yang

77 Mustofa, Muhammad, Menghukum Tanpa Memenjarakan:Mengaktualisasikan

Gagasan "Restorative Justice" Diskusi yangdiselenggarakan Departemen Kriminologi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dan Australia Agency for International Development, Depok,

26 Februari 2004. 78 Beth M. Huebner, 2016, “Rehabilitation”, Available at

http://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195396607/obo-

9780195396607-0046.xml p. 1, Accessed 29th January 2016.

Page 25: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

84

dilakukan secara intensif kepada seseorang yang membutuhkan. Disebutkan

pula:

Rehabilitation is another utilitarian rationale for punishment. The goal of

rehabilitation is to prevent future crime by giving offenders the ability to

succeed within the confines of the law. Rehabilitative measures for

criminal offenders usually include treatment for afflictions such as mental

illness, chemical dependency, and chronic violent behavior. Rehabilitation

also includes the use of educational programs that give offenders the

knowledge and skills needed to compete in the job market.79

Terjemahan bebas:

Rehabilitasi adalah manfaat rasional lain dari penghukuman. Tujuan dari

rehabilitasi adalah untuk mencegah kejahatan dengan memberikan

kemampuan bagi pelaku untuk berhasil dalam batas-batas hukum.

Langkah-langkah rehabilitatif untuk pelaku kriminal biasanya termasuk

perawatan untuk penderitaan seperti penyakit mental, ketergantungan obat,

dan perilaku kekerasan kronis. Rehabilitasi juga termasuk pecanduan

program pendidikan yang memberikan pelaku pengetahuan dan

keterampilan yang diperlukan untuk bersaing di pasar kerja.

Rehabilitasi dipandang sebagai suatu bentuk penghukuman yang berupa

tindakan perbaikan. Dalam Pasal 1 angka 7 dan 8 Peraturan Bersama diatur

mengenai definisi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis

adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan

pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses

kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar

bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam

kehidupan bermasyarakat. Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi.

Lembaga rehabilitasi medis adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang

melaksanakan rehabilitasi medis bagi pecandu, korban penyalahgunaan dan

79 Net Industries, 2016, “Punishment - Theories Of Punishment”, Available at

http://law.jrank.org/pages/9576/Punishment-THEORIES-PUNISHMENT.html p . 1, Accessed

29th January 2016.

Page 26: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

85

penyalahguna narkotika yang dikelola oleh pemerintah. Lembaga rehabilitas

sosial adalah tempat atau panti yang melaksanakan rehabilitasi sosial bagi

pecandu, korban penyalahgunaan dan penyalahguna narkotika yang di kelola

oleh pemerintah.

Konsep rehabilitasi digunakan dalam menganalisis masalah pertama dan

kedua.

2.4.7. Konsep Perlindungan Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah unsur yang sangat penting dalam

negara hukum. Menurut Jerome J. Shestack, istilah ‘HAM’ tidak ditemukan

dalam agama-agama tradisional. Namun demikian, ilmu tentang ketuhanan

(theology) menghadirkan landasan bagi suatu teori HAM yang berasal dari

hukum yang lebih tinggi dari pada negara dan yang sumbernya adalah Tuhan

(Supreme Being). Tentunya, teori ini mengabaikan adanya penerimaan dari

doktrin yang dilahirkan sebagai sumber dari HAM.80 Konsep hak asasi manusia

ini menunjukkan hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia karena kodratnya

yang harus mendapatkan perlindungan.

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia menyebutkan:

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan

dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

80 Sujatmoko, Andrey, 2009, Sejarah, Teori, Prinsip dan KontroversI HAM, Makalah

pada Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi dan Pencarian

Bahan Hukum HAM Bagi Dosen-Dosen Hukum HAM, Yogyakarta, 12 - 13 Maret 2009.

Page 27: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

86

Setiap negara wajib memberikan pengakuan, perlindungan dan

pemenuhan HAM. Dalam kajian ilmiah keilmuan, teori HAM secara garis

besar dibagi menjadi dua teori yakni sebagai berikut:

a) Teori universalis (universalist theory) hak asasi manusia

Doktrin komtemporer hak asasi manusia merupakan salah satu dari

sejumlah perspektif moral universalis. Ketertiban alam ini harus menjadi

dasar dari seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu

ketertiban alam kemudian diturunkan dalam serangkaian kriteria universal

yang komprehensif untuk menguji legitimasi dari sistem hukum yang

sebenarnya buatan manusia.

b) Teori relativisme budaya (cultural relativism theory)

Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan

merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak dan kaidah moral. Oleh

karena itu hak asasi manusia dianggap perlu dipahami dari konteks

kebudayaan masing-masing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak

hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil

ini, para pembela gagasan relativisme budaya menolak universalisasi hak

asasi manusia, apalagi bila ia didominasi oleh satu budaya tertentu.81

Berbicara masalah HAM, tentu tidak dapat dilepaskan dengan kewajiban

dasar. Pelaksanaan hak dan kewajiban menjadi ukuran untuk menentukan

keadilan. Kewajiban dasar manusia menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang

81 Smith, Rhona K.M. et.al., 2010, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi

Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta, h. 19-20.

Page 28: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

87

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana

dan tegaknya hak asasi manusia. Konsep HAM digunakan dalam menganalisis

permasalahan pertama dan kedua, dimana tindakan rehabilitasi merupakan

perwujudan perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).

2.4.8. Konsep Kriminalisasi

Kriminalisasi adalah suatu bentuk kebijakan hukum pidana. Substansi

kriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan kebijakan kriminal

yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut

bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat

dan dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan

kesejahteraan masyarakat.82 Kriminalisasi merupakan suatu kebijakan yang

memandang bahwa suatu tindakan yang tadinya bukan tindak pidana namun

kini dipandang sebagai tindak pidana.

Kriminalisasi merupakan suatu proses penetapan suatu perbuatan orang

sebagai perbuatan yang dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya

Undang-undang di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang

berupa pidana. Adanya kriminalisasi ini menimbulkan dua pertanyaan, yaitu

apakah yang menjadi ukuran dari pembentuk Undang-undang menetapkan

suatu perbuatan menjadi perbuatan yang dapat dipidana dan apakah kriteria

bagi pembentuk Undang-undang untuk menetapkan ancaman pidana terhadap

82 Arief, Barda Nawawi II, Op.Cit., h. 28.

Page 29: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

88

tindak pidana yang satu lebih tinggi daripada ancaman pidana pada tindak

pidana yang lain.83

Hullsman menyebutkan beberapa kriteria absolut yang perlu

diperhatikan dalam proses kriminalisasi, yaitu sebagai berikut:

a. Kriminalisasi seharusnya tidak ditetapkan semata-mata atas keinginan

untuk melaksanakan suatu sikap moral tertentu terhadap suatu bentuk

perilaku tertentu.

b. Alasan utama untuk menetapkan satu perbuatan sebagai tindak pidana

seharusnya tidak pernah didirikan suatu kerangka untuk perlindungan

atau perlakuan terhadap seorang pelaku kejahatan potensial dalam

kepentingannya sendiri.

c. Kriminalisasi tidak boleh berakibat melebihi kemampuan perlengkapan

peradilan pidana.

d. Kriminalisasi seharusnya tidak boleh dipergunakan sebagai suatu tabir

sekedar pemecahan yang nyata terhadap suatu masalah. 84

Keputusan untuk melakukan kriminalisasi harus didasarkan pada faktor-

faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor

termasuk:

a) Keseimbangan sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan

hasil-hasil yang ingin dicapai,

b) Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya

dengan tujuan-tujuan yang ingin dicari,

c) Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya

dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber

tenaga manusia, dan

d) Pengaruh sosial kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan

dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.85

Dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika disebutkan bahwa “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan

Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.” Dalam

83 Pratimaratri, Uning, Kriminalisasi Akibat Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi dari Perspektif Moral Pancasila, Law Reform: Jurnal Ilmiah Hukum &

Pembangunan, Volume II, No. 1, Februari 2012. 84 Saleh, Roeslan II, Op.Cit., h. 87. 85 Arief, Barda Nawawi II, Op.Cit., h. 7.

Page 30: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

89

ketentuan umum pada Pasal 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika disebutkan bahwa Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan

pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan

Narkotika dan Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan

secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika

dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Istilah kriminaliasi menurut Sudarto mengandung arti dan makna

sebagai suatu proses.86 Lebih lanjut menurut Sudarto bahwa kriminalisasi

dimaksudkan proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang

dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang – undang,

dimana perbuatan itu diancam dengan pidana yang siap untuk diterapkan oleh

hakim, seperti alam hubungan ini diciptakannya Undang – Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika. Dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana

dilaksanakan oleh pihak eksekutif secara administratif dibawah kendali Menteri

Kehakiman.

2.4.9. Konsep Pencandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika

Menurut Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika disebutkan bahwa “Pecandu Narkotika adalah orang yang

menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan

ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.”

Ketergantungan Narkotika merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh

dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran

86 Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 32

Page 31: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

90

yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila pecanduannya

dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan

psikis yang khas.

Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 juga terdapat istilah

korban penyalahguna narkotika. Dalam Penjelasan Pasal 54 Undang-undang

Nomor 35 Tahun 2009, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”korban

penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan

Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk

menggunakan Narkotika. Istilah “korban penyalah guna” berbeda dengan

istilah “penyalah guna” Penyalah Guna berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-

undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah orang yang menggunakan Narkotika

tanpa hak atau melawan hukum.

2.4.10. Konsep Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat

oleh Frank Remington dengan istilah “criminal justice system”. Criminal

justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap

mekanisme administrasi peradilan pidana dan peradilan pidana sebagai suatu

sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik

administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri

mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional

dan dengan cara efesien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala

Page 32: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

91

keterbatasannya.87 Sistem peradilan pidana dengan demikian merupakan suatu

istilah manajemen dalam menanggulangi kejahatan.

Menurut Mardjono Reksodipoetro, sistem peradilan pidana sebagai

sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan pemasyaratan terpidana.88 Beranjak dari definisi

tersebut di atas, Mardjono mengemukakan tujuan dari sistem peradilan pidana

adalah:

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah pidana.

3. Dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya. 89

Sistem peradilan pidana dapat dilihat dari sudut pendekatan normatif,

manajemen dan soial. Ketiga bentuk pendekatan tersebut, sekalipun berbeda,

tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan lebih jauh ketiga bentuk

pendekatan tersebut saling mempengaruhi dalam menentukan tolok ukur

keberhasilan dalam menanggulangi kejahatan.90 Dengan demikian sistem

peradilan pidana merupakan suatu pendekatan dalam menanggulangi kejahatan

melalui koordinasi antara penegak hukum dan pengawasan terhadap kinerja

penegak hukum baik pengawasan secara internal maupun pengawasan secara

eksternal. Konsep peradilan pidana akan berperan mengatasi masalah hukum

87 Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan

Abolisionisme, Binacipta, Bandung, h. 14. (selanjutnya disebut Romli Atmasasmita II). 88 Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Peradilan Pidana; Konsep,

Komponen dan Pelaksanaan dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran,

Bandung, h. 35. (selanjutnya disebut Anwar, Yesmil dan Adang I). 89 Ibid. 90 Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada

Media Grup, Jakarta, h. 5. (selanjutnya disebut Romli Atmasasmita III).

Page 33: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

92

saat ini, dan penanggulangannya sehingga akan relevan digunakan dalam

menganalisis permasalahan pertama.

Penyidikan merupakan bagian dalam proses peradilan pidana. Menurut

Pasal 1 angka 2 KUHAP, Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk

mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang

tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Penyidikan dilakukan oleh penyidik. Pasal 1 angka 1 KUHAP menyebutkan

Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai

negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk

melakukan penyidikan.

Ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

merupakan ketentuan lex specialist dari KUHAP. Dalam Undang-undang

Nomor 35 Tahun 2009 ditentukan bahwa penyidik meliputi Penyidik

Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik BNN dan penyidik pegawai

negeri sipil. Menurut Pasal 81, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia

dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan

dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-

undang ini. Selanjutnya dalam Pasal 82 ayat (1) disebutkan bahwa Penyidik

pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

tentang Hukum Acara Pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap

tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Page 34: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

93

Menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP, Penuntutan adalah tindakan penuntut

umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang

berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini

dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang

pengadilan. Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap

siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah

hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang

mengadili. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-

undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Penuntutan dilakukan di depan sidang pengadilan dan hakim berwenang

untuk mengadili perkara. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk

menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,

jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini (maksudnya KUHAP).

2.4.11. Konsep Perlindungan Korban

Konsep perlindungan korban ini digunakan dalam membangun

paradigma berpikir bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika

adalah korban. Ada beberapa ahli yang mengemukakan pendapat mengenai

korban ini, diantaranya Stephen Schafer, Ezzat Abde Fattah dan lain-lain.

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat

tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau

orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain

yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita.

Page 35: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

94

Crime Dictionary sebagaimana yang dikutip oleh Soeharto

mengemukakan bahwa victim is a person who has injured mental or physical

suffering, loss of property or death resulting from an actual or attempted

criminal offense commited by another.91 Korban adalah seseorang yang telah

mengalami penderitaan mental dan fisik, kehilangan harta benda atau kematian

yang disebabkan oleh kejahatan atau percobaan kejahatan yang dilakukan oleh

orang lain. Permasalahan mengenai perlindungan korban dalam tataran

international pernah dibahas dalam Seventh United Nation Congress on The

Prevention of Crime and The Treatment of Offender di Milan (1985) yang

kemudian dirangkum dalam Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power New York, 29 November 1985. Dalam

ketentuan tersebut terdapat prinsip-prinsip dasar perlindungan korban yakni:

1. Access to justice and fair treatment (akses keadilan dan perlakuan yang

adil).

2. Restitution (restitusi).

3. Compensation (kompensasi)

4. Assistance (bantuan)

Rehabilitasi merupakan penjabaran dari prinsip assistance dalam

deklarasi tersebut. Prinsip ini mengatur beberapa hal yakni:

1. Victims should receive the necessary material, medical, psychological

and social assistance through governmental, voluntary, community-

based and indigenous means.

91 Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana

Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, h. 78.

Page 36: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

95

2. Victims should be informed of the availability of health and social

services and other relevant assistance and be readily afforded access to

them.

3. Police, justice, health, social service and other personnel concerned

should receive training to sensitize them to the needs of victims, and

guidelines to ensure proper and prompt aid.

4. In providing services and assistance to victims, attention should be

given to those who have special needs because of the nature of the harm

inflicted or because of factors such as those mentioned in paragraph 3

above.

Terjemahan bebas

1. Para korban harus menerima materi yang diperlukan, bantuan medis,

psikologis dan sosial melalui pemerintah, sukarela, berbasis masyarakat

dan adat berarti.

2. Para korban harus diberitahu tentang ketersediaan bantuan lain yang

relevan kesehatan dan layanan sosial dan dan dengan mudah diberikan

akses kepada mereka.

3. Polisi, keadilan, kesehatan, layanan sosial dan personil lainnya yang

bersangkutan harus menerima pelatihan untuk membuat mereka peka

terhadap kebutuhan para korban, dan pedoman untuk memastikan

bantuan yang tepat dan cepat.

4. Dalam memberikan layanan dan bantuan kepada korban, perhatian

harus diberikan kepada mereka yang memiliki kebutuhan khusus karena

sifat dari kejahatan yang dilakukan atau karena faktor-faktor seperti

yang disebutkan dalam ayat 3 di atas.

Ditinjau dari tanggung jawab korban, Stephen Schafer mengemukakan

beberapa tipologi korban yaitu:

1 Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si

pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari

aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.

2 Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban

untuk memicu terjadinya kejahatan, Karena itu, dari aspek tanggung

jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.

3 Participacing victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat

mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di

bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian dibungkus

dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya.

Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.

Page 37: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

96

4 Biologically weak victims adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan

fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula)

merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari aspek

pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah

setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang

tidak berdaya.

5 Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh

masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial

yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak

pada penjahat atau masyarakat.

6 Self-victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri

(korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk

pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban karena

sekaligus sebagai pelaku kejahatan.

7 Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara

sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali

adanya perubahan konstelasi politik.92

Ezzat Abde Fattah meninjau tipologi korban dari keterlibatan korban

dalam terjadinya kejahatan yaitu:

1 Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/ menolak

kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam

menanggulangi kejahatan.

2 Latent or predisposed victims adalah mereka yang memiliki karakter

tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.

3 Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau

pemicu kejahatan.

4 Participacing victims adalah mereka yang tidak menyadari atau

memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.

5 False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya

sendiri.93

Teori perlindungan korban digunakan untuk membangun paradigma

bahwa pecandu dan penyalahguna adalah korban yang harus direhabilitasi.

Teori ini digunakan dalam membahas permasalahan yang kedua yakni

perlindungan pecandu dan korban penyalahguna narkotika di masa

mendatang.

92 Ibid., h. 53-54. 93 Mulyadi, Lilik, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi,

Djambatan, Jakarta, h. 124.

Page 38: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

97

2.4.12 Konsep Pembuktian

Pembuktian adalah suatu proses untuk membuktikan. Membuktikan

menurut Martiman Prodjohamidjojo mengandung maksud dan usaha untuk

menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal

terhadap kebenaran peristiwa tersebut.94 Membuktikan adalah menyakinkan

hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dimaksudkan.95 Dalam perkara

pidana, pihak yang dapat mengajukan alat bukti adalah penuntut umum untuk

membuktikan dakwaannya dan terdakwa atau penasihat hukum untuk

membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah atau meringankan hukuman.

Pembuktian dalam perkara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil.

Masing-masing pihak baik penuntut umum selaku wakil dari negara

maupun terdakwa atau melalui kuasa hukumnya harus memiliki dalil-dalil yang

mampu dibuktikan untuk menerangkan suatu peristiwa yang dimaksud. Di

dalam teori dikenal dua sistem pembuktian sebagaimana yang ditulis oleh

Alfitra yaitu:96

a. Sistem pembuktian positif. Sistem pembuktian positif (positief wetelijk)

adalah sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja,

yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang. Seorang

terdawa bisa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya

didasarkan pada alat bukti yang sah. Alat bukti yang ditetapkan oleh

undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali

diabaikan.

b. Sistem pembuktian negatif. Sistem pembuktian negative (negatief

wettelijk) sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in raisone.

Hakim di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya

seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-

94 Prodjohamidjojo, Martiman, 1984, Komentar Atas KUHAP: Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 11. 95 Sasaid, Nur, 1996, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h.36. 96 Alfitra, 2012, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana. Perdata dan Korupsi di

Indonesia, Raih Asa Sukses, Depok, h. 28-29.

Page 39: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

98

undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri. Jadi, di dalam sistem

negatif ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan

kesalahan terdakwa, yakni

1) Wettelijk: adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh

undang-undang.

2) Negatief: adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan

bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan tedakwa.

Sistem pembuktian menurut Andi Hamzah dapat dibagi menjadi empat

teori yaitu sistem teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif,

berdasarkan keyakinan hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang

didukung oleh alasan yang logis, dan berdasarkan undang-undang negatif. .97

Ketentuan mengenai alat bukti dalam proses hukum terhadap kejahatan

narkotika diatur dalam Pasal 86 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika. Dalam ayat (1) disebutkan bahwa Penyidik dapat memperoleh alat

bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum

Acara Pidana. Menurut Pasal 184 (1) KUHAP alat bukti terdiri dari keterangan

saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Alat bukti

selain yang diatur dalam KUHAP, diatur pula sebagaimana yang diatur Pasal

86 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni:

a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara

elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. Data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau

didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu

sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain

kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak

terbatas pada:

1. Tulisan, suara, dan/atau gambar;

2. Peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau

97 Hamzah, Andi, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), cet.1, Sinar

Grafika, Jakarta, h. 245 (selanjutnya disebut Andi Hamzah II).

Page 40: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

99

3. Huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki

makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau

memahaminya.

Semua fakta hukum wajib untuk dibuktikan oleh masing-masing pihak

untuk meyakinkan hakim, kecuali fakta notoir yakni pengetahuan yang sudah

diketahui secara umum, misalnya jika hari Minggu, maka perkantoran tutup.

Konsep ini digunakan dalam menganalisis permasalahan pertama untuk

mengidentifikasi kebenaran pelaku sebagai pecandu atau korban penyalahguna

narkotika yang membutuhkan rehabilitasi.

2.4.13. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM)

Pengakuan, perlindungan serta pemenuhan terhadap hak-hak asasi

manusia di Negara Indonesia secara konstitusi telah diatur dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik hak asasi bidang

sosial, politik, hukum maupun budaya, kemudian secara substansial juga telah

diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat organik.

Namun demikian awal mula pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak

asasi manusia secara formil oleh negara pada mulanya berkembang di negara-

negara Eropa, salah satu contoh dalam sistem hukum Eropa yang mengatur

menganai perlindungan terhadap hak-hak asasi pelaku kejahatan dapat

dilihat dalam ketentuan European Convention on Human Rights (ECHR),

dimana pada Pasal 6 (3) (e) dari ECHR tersebut menyatakan "Ereyone charge

with a criminal offence [....] "has the rights to free assistance of an interpreter

if he cannot understand or speak the language used court, terjemahan

bebasnya Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan [......] punya hak

Page 41: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

100

mendapatkan bantuan dalam bentuk penerjemah gratis jika orang itu tidak bisa

mengerti atau tidak bisa bahasa yang digunakan di pengadilan.98", (ECHR)

berkembang jauh sebelum lahirnya Decleration of Human Rights, hal ini

menandakan bahwa pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tersangka

telah diatur dalam konvensi (Convention) di Eropah.

Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sejak tahun 1948

mulai mendapat perhatian secara internasional yang ditandai dengan

dideklarasikannya Piagam Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

atau Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1948, yang diikuti dengan

deklarasi hak-hak asasi manusia bidang sipil dan politik (International

Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun 1966, deklarasi tersebut

mewajibkan tiap-tiap negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk

memberi perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia

dalam keadaan apapun.

Perkembangan konsepsi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga

mewarnai perkembangan hukum baik dalam tataran internasional dan nasional,

HAM dapat dijadikan sebagai acuan bagi hukum pidana di masing-masing

negara untuk menerapkan konsepsi humanisasi agar sesuai dengan prinsip-

prinsip hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan pertanggung jawaban

pidana99

98 Ida Elisabeth Koch, 2009, Human Rights as Indivisible Rights. The Protection

ofSocio-Economic Demands under the European Convention on Human Rights, Martinus

NijhofF Publishers, Leiden.Boston, Page 7 Capter 1. 99 Ali Zaidan M., Op Cit, hal. 123

Page 42: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

101

Pengaturan hak-hak asasi manusia bidang hukum dalam konstitusi

negara R.I. dapat di temukan dalam rumusan Pasal 11 UUDNRI Tahun 1945

yang mengatur mengenai persamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan, sedangkan dalam Pasal 28 D ayat (1) menyatakan " Setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama dihadapan hukum".

Konsep perlindungan hak asasi manusia khususnya bagi mereka yang

terlibat masalah hukum, adalah setiap orang harus diperlakukan sama dan

sederajat dihadapan hukum, mereka memiliki hak-hak sipil maupun politik.

Upaya pemerintah mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain dalam

pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia bagi warga

negara (bidang sipil dan politik) dilakukan dengan turut meratifikasi Kovenan

Internasional Hak Sipil dan Politik tahun 1966 (International Covenant on Civil

and Political Rights (ICCPR)) melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 2005

tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119), dalam Penjelasan Umum

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 point 3. Pokok-pokok Isi Kovenan

Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, antara lain menyebutkan:

Pasal 1

Bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri

dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang

bertanggung jawab atas Pemerintahan Wilayah yang tidak

Berpemerintahan sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan

perwujudan hak tersebut. dst.

Page 43: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

102

Pasal 6 Sampai dengan Pasal 27 pada pokoknya menetapkan bahwa setiap manusia

mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungan oleh hukum, dan bahwa

tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang ,

tidak seorangpun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang

kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, tidak seorangpun

boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan

bahwa tidak seorangpun boleh diperhamba, atau diharuskan melakukan

kerja paksa atau kerja wajib, tidak seorangpun boleh ditangkap atau

ditahan secara sewenang-wenang, tidak seorangpun boleh dipenjarakan

hanya atas dasar ketidak mampuannya memenuhi kewajiban

kontraktualnya.

Orang yang didudukkan sebagai tersangka memiliki hak Previleges

berupa perlindungan dari stigmatisasi praduga bersalah artinya setiap orang

yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana tidak boleh divonis atau

dicap atau dilabelisasi bahwa ia/merekalah sebagai pelakunya, karena dalam

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menerapkan asas " praduga tidak

bersalah ", maka sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa

benar tersangka tersebut sebagai pelaku tindak pidana dan putusan tersebut

telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka tersangka harus tetap

dianggap sebagai orang yang tidak bersalah .

Merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk mewujudkan

perlindungan, pemenuhan serta penegakan hak asasi manusia, sebagaimana

dirumuskan dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (4) Undang-Undang Dasar Negera

Republik Indonesia dinyatakan "Perlindungan,pemajuan, penegakan, dan

pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama

pemerintah ".

Page 44: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

103

Perwujudan komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak-hak asasi

manusia dibidang hukum pidana dapat dilihat dalam KUHAP yang telah

mengatur sejumlah hak-hak tersangka dan pemenuhannya bersifat wajib.

Menurut Sofyan Lubis, dalam sistem peradilan pidana di negara kita, terutama

yang ada di dalam KUHAP, pada praktiknya terjadi sangat banyak pelanggaran

terhadap hak-hak tersangka terutama ditingkat penyidikan, dan setiap

pelanggaran terhadap KUHAP ternyata tidak ada aturan yang dengan jelas

memberikan sanksi bagi mereka yang telah melakukan pelanggaran tersebut35.

sehingga aparat secara leluasa dapat menyalahgunakan kewenangan yang

berakibat terjadinya pelanggaran hak-hak tersangka .

Beberapa konsep HAM yang secara fakta formal yuridis melindungi

setiap individu akan hak-hak kebebasannya secara asasi tentang dalam berbagai

landasan hukum secara universal maupun nasional, bahkan dari landasan

tersebut meningkat menjadi pendapat kalangan para ahli (doktrin).

Adapun beberapa konsep HAM dimaksud diantaranya :

a. Menurut Leach Levin bahwa konsep HAM ada 2 (dua) konsepsi yakni :

1. Natural Reight (Hak Alamiah atau Hak Moral) yakni HAM tidak bisa

dipisahkan dan dicabut. Karena merupakan hak manusia karena ia

seorang manusia, maka kewajiban oleh negara menjaga martabat setiap

manusia

2. Hak menurut hukum, hak –hak individu menurut hukum dibentuk

melalui proses pembentukan oleh negara, maka hukum diciptakan untuk

melindungi hak-hak setiap orang100

100 Nr. Nartono, 1987, Hak-Hak Asasi Manusia Tanya Jawab, Pradnya Paramita,

Jakarta, h. 3

Page 45: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

104

b. Piagam Perjanjian Yang Agung (Magna Charta) Tahun 1215

“Bahwa tersurat salah satunya adanya larangan bagi Polisi, Jaksa tidak

boleh menuduh dan menuntut seseorang tanpa saksi yang dapat dipercaya,

serta melarang penahanan penghukuman, dan perampasan benda dengan

sewenang-wenang.101

c. Natural Rights (Hak – Hak Alamiah) dari Konsep John Lock (1632 – 1704)

“Bahwa negara harus menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak individu,

kepentingan negara atas dasar alasan apapun tidak bisa menghilangkan hak-

hak individu, bahwa setiap manusia atau individu mempunyai hak-hak

dasar yang tidak bisa diganggu gugat.102

Konsep natural right inilah yang melahirkan hak-hak sipil dan politik,

sebagai pembela dan pelindung hak-hak sipil selaku individu, salah satunya

hak kebebasan setiap orang, tidak dapat dipaksa oleh siapapun termasuk

oleh negara. Maka pula dalam proses peradilan setiap orang hak-hak

individualnya seperti hak untuk diam, hak untuk tidak dibebani pembuktian,

hak untuk tidak dilanggar pembuktian, hak untuk tidak dilanggar hak asasi,

hak untuk tidak dilanggar hak asasi kehormatannya seperti hak tidak

dituduh bersalah sebelum ada putusan oleh hakim yang bersifat tetap

(inkracht) bahwa ialah telah bersalah atas tuduhan terhadap dirinya. Atau

jangan dilanggar hak atas asas praduga tidak bersalah (presumption of

innosence) tersebut.

101 Ibid 102 Ariyanto Ignatius, 2000, Convenant International, Hak Sipil dan Politik, LSPP,

Jakarta, h. 198

Page 46: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

105

d. Konsep HAM dari Presiden Amerika Serikat Teodore Roosvelt, dalam

amanat tahunannya tahun 1948 di muka Kongres AS mengemukakan

ajakan membangun satu dunia yang didasarkan atas 4 (empat) kebebasan

dasar manusia yaitu :

1. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat di seluruh dunia

2. Kebebasan setiap orang menyembah Tuhan menurut caranya masing-

masing

3. Kebebasan dari ketakutan, yang mengandung arti bebas dari segala

bentuk ancaman kekerasan bagi perorangan maupun bagi suatu bangsa

4. Kebebasan dari kemiskinan yang berarti kewajiban negara untuk

memberi jawasan kepada semua orang untuk hidup dengan sejahtera103

Dalam konsep dari Teodore Roosvelt tersebut menekankan salah satunya

kebebasan setiap individu untuk tidak diancam dengan kekerasan, dalam

artian lebih jauh tanpa ada tekanan pada individu baik fisik maupun psikis,

terutama bila terkait dengan proses hukum dalam peradilan.

e. Konsep HAM Dalam Pengelompokan Generasi HAM

Perkembangan HAM sejak awal muncul pada abad 17 dan 18, pada

awal abad ini dianggap sebagai kemunculan Generasi HAM I, yakni HAM

Sipil dan Politik (Liberte), Generasi HAM II muncul pada abad 19,

merupakan generasi kedua menyangkut kelahiran perjuangan hak-hak sosial

ekonomi dan budaya (Egalite). Dan HAM generasi ke III (ketiga) muncul

perjuangannya diabad 20 (duapuluh), HAM Generasi III merupakan usaha

perjuangan penindasan kelompok berkuasa terhadap kelompok minoritas,

103 Ibid

Page 47: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

106

juga perjuangan hak atas perdamaian, pembangunan, hak atas lingkungan

hidup dimasa mendatang dan lain-lain.104

Dalam konsep HAM Generasi II tampak secara jelas akan konsepsi

HAM di bidang sosial dan ekonomi – budaya. Artinya ketika abad 19 penguasa

ditntut oleh individu – individu akan hak-haknya. Kemudian ada kelompok

khusus seperti bangsawan, gereja – gereja dengan hak- hak khusus pula,

barulah kelompok rakyat banyak yang hak-haknya tertindas oleh kedua

kelompok sebelumnya terutama oleh kelompok penguasa yakni raja hak-hak

sosial dan ekonomi – budaya inilah terutama kesejahteraan, individu mulai

diperjuangkan, seperti kesehatan, pendidikan dan lain-lain.

2.5 Doktrin – Doktrin Hukum

2.5.1. Doktrin Tipe Hukum

Doktrin tipe hukum dikemukakan oleh Nonet dan Selznick. Nonet dan

Selznick yang membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam

masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif),

hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan

melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator

dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).

Dalam menjamin penciptaan tatanan hukum maka sebuah sistem hukum

nasional yang rasional, transparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap

perkembangan aspirasi dan espektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum

104 Mereriem Budiardjo, 1990, Dasar – Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, h. 37

Page 48: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

107

yang bersifat menindas, ortodoks dan reduksionistik. Permasalahannya, dalam

rangka menciptakan sistem hukum yang digambarkan oleh Nonet dan Selznick

itu bukan perkara mudah. Diperlukan kerja sama berbagai pihak (pemerintah,

partai politik dan masyarakat) untuk mewujudkannya. Bila tidak, penciptaan

hukum yang diidealkan itu hanya angan-angan.105

Hukum represif bersumber dari suatu kekuasaan yang represif, yaitu

kekuasaan yang tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan orang-orang

yang diperintah atau dengan kata lain kekuasaan dilaksanakan tidak untuk

kepentingan mereka yang diperintah, atau dengan mengingkari legitimasi

mereka.106

Hukum otonom memiliki karakter utama yaitu terbentuknya institusi-

institusi hukum yang terspesialisasi dan relatif otonom yang mengklaim suatu

supremasi yang memenuhi syarat dalam bidang-bidang kompotensi yang

ditentukan.107 Hukum responsif merupakan jawaban atas kritik bahwa hukum

seringkali lepas dari realitas sosial dan cita-cita keadilan. Konsep ini juga

merupakan suatu upaya untuk megintegrasikan kembali teori hukum, filsafat

politik, dan telaah sosial.108

Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan

kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan tidak oleh pejabat melainkan

oleh rakyat. Syarat untuk mengemukakannya secara otentik memerlukan

105 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 72. 106 Philippe Nonet & Philip Selznick, 2008, Hukum Responsif, terjemahan Raisul

Muttaqien, Nusa Media, Bandung, h.33. 107 Ibid, h.59. 108 A. Mukthie Fadjar, 2013, Teori-teori Hukum Kontemporer, Setara, Malang, h. 49.

Page 49: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

108

upaya-upaya khusus yang akan memungkinkan hal ini dilakukan. Dengan

demikian diperlukan jalur-jalur untuk berpartisipasi. Sifat responsif

mengandung arti suatu komitmen kepada hukum di dalam perspektif

konsumen. Tetapi di dalam konsep hukum responsif terkandung lebih dari

hanya suatu hasrat bahwa sistem hukum dibuka untuk tuntutan kerakyatan.

Keterbukaan saja akan mudah turun derajatnya menjadi oportunisme.109

Teori tipe hukum yang digunakan adalah teori hukum reponsif yang

digunakan dalam menganalisis permasalahan kedua yakni pengaturan tindakan

rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahguna narkotika di masa

mendatang.

2.5.2 Doktrin Individualisasi

Perkembangan teori pemidanaan semakin didekatkan pada orientasi

mengenai pentingnya perlindungan terhadap pelaku dan korban. Doktrin inilah

yang melarbelakangi doktrin individualisasi. Teori ini banyak dibahas oleh

Barda Nawawi Arief dan Andi Hamzah. Individualisasi pemidanaan dibangun

berdasarkan ide keseimbangan dalam pemidanaan yang mencakup:

a. Keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum atau masyarakat

dengan kepentingan individu atau perorangan. Dalam ide keseimbangan

tersebut, kepentingan umum dan kepentingan individu tersebut tercakup

ide perlindungan/ kepentingan korban dan ide individualisasi

pemidanaan.

b. Keseimbangan antara unsur objektif (yaitu perbuatan atau lahiriah)

dengan unsur subjektif (batiniah atau sikap batin), dan ide daat daader

straftrecht.

109 Ibid., h. 55.

Page 50: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

109

c. Keseimbangan antara kriteria formil dengan materiil.

d. Keseimbangan antara kepastian hukum dengan kelenturan atau elastisitas

atau fleksibelitas.110

Individualisasi pemidanaan ini menitikberatkan pada unsur

pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) yaitu terkait dengan unsur

kesalahan dalam arti luas dan bagaimana memahami pelaku kejahatan secara

totalitas untuk mengentaskan pelaku kejahatan dari jalan yang sesat. Dengan

demikian hakim perlu memahami secara seksama tentang kondisi individu

terdakwa secara utuh agar pidana yang dijatuhkan sesuai dengan kondisi

pelaku.111 Barda Nawawi Arief memberikan pengertian bahwa individualisme

bukan hanya berarti bahwa pidana yang akan dijatuhkan disesuaikan atau

diorientasikan pada pertimbangan sifat individu pada diri pelaku kejahatan,

melainkan juga memungkinkan adanya perubahan atau modifikasi pidana oleh

hakim agar sesuai dengan perubahan dan perkembangan narapidana.112

Doktrin individualisasi menunjukkan betapa pentingnya peranan individu

pelaku kejahatan dalam penanggulangan kejahatan sehingga harus dipahami

dan diperhatikan melalui kajian medis, psikologis dan kemasyarakatan. Teori

individualisasi pemidanaan merupakan konsekuensi logis dari pemikiran aliran

positif/ modern dalam hukum pidana, yang berpendirian bahwa manusia adalah

makhluk yang bersifat dependen. Jika manusia melakukan tindak pidana maka

pidana yang dijatuhkan perlu disesuaikan dengan kondisi pelaku dan kondisi

110 Ibid. 111 Saleh, Roeslan, 1988, Dari Lembar Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 122. (selanjutnya disebut Roeslan Saleh II). 112 Widodo, 2009, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime, Laksbang Mediatama,

Yogyakarta, h. 124.

Page 51: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

110

lingkungannya.113 Teori ini sangat berorientasi pada upaya perlindungan korban

dan pelaku pada saat ini dan juga upaya perlindungan bagi masyarakat ke

depannya.

Doktrin ini digunakan dalam menganalisis permasalahan kedua dimana di

masa mendatang pecandu dan korban penyalahguna narkotika hanya perlu

dikenakan tindakan rehabilitasi (tidak lagi pidana penjara dan denda).

2.6. Teori – Teori Hukum

2.6.1. Teori Kewenangan

Istilah kewenangan berasal dari terjemahan Bahasa Inggris, yaitu

authority of theory yang, dalam bahasa Jerman nya yaitu theory der autoritat.

Sedangkan teori kewenangan berasal dari dua suku kata, yaitu teori dan

kewenangan, dimana teori dalam hal ini adalah hal-hal yang mengkaji tentang

kewenangan dan dalam pengertian konsep kewenangan. Oleh H.D. Stout

membagi dalam dua unsur yang terkandung dalam konsep kewenangan,

yaitu:

a. Adanya aturan-aturan hukum

b. Sifat hubungan hukum114

Aturan-aturan hukum dapat berbentuk undang-undang, peraturan

pemerintah (pp) maupun aturan yang lebih rendah tingkatnya. Sifat hubungan

hukum merupakan hal yang berkaitan dan mempunyai sangkut paut atau ikatan

113 Ibid., h. 129. 114 Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo, Jakarta, h. 110

Page 52: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

111

atau pertalian atau berkaitan dengan hukum. Teori tentang Kewenangan oleh

H.D. Stout yang dikutip Ridwan HR menyebutkan “Keseluruhan aturan-aturan

yang berkenaan dengan perolehan dan pecanduan wewenang pemerintahan

oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik”.115

Ateng Syafrudin menyatakan bahwa perbedaan yang mendasar

mengenai konsep pengertian wewenang dan konsep tentang kewenangan

adalah bahwa wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik yang

berkaitan dengan wewenang pemerintahan seperti wewenang membuat

keputusan pemerintah (bestuur), wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas

yang memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan.116 Kewenangan (authority, gezag)

adalah apa yang disebut kepuasan formal, kekuasaan yang berasal dari

kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang. Menurut Ateng Syarifudin,

bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam kewenangan meliputi:

a. Kekuasaan formal.

b. Kekuasaan diberikan oleh undang-undang.

Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber

kewenangan dari pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum baik dalam

hubungannya denga hukum publik maupun dalam hubungannya dengan hukum

privat, seperti apa yang dikemukakan oleh Indroharto yang mengatakan bahwa

115 Ibid., h.110. 116 Ateng Syafrudin, 2000, Menuju Penyelanggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih

dan Bertanggung Jawab, Jurnal Proyustisia edisi IV Universitas Parahyangan, Bandung, h.22.

Page 53: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

112

ada 3 macam konsep kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan yang meliputi:

a. Atribusi;

b. Delegasi;

c. Mandat.117.

Kewenangan atribusi adalah pemberian kewenangan oleh pembuat

undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada

maupun yang baru sama sekali, dan di dalam memberikan atribusi wewenang

terdapat legislator yang memiliki kompetensi dan berkedudukan sebagai

original legislator tingkat pusat yaitu MPR sebagai pembentuk konstitusi

(konstituante) dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan

suatu undang-undang, sedangkan di tingkat daerah, yaitu DPRD dan

pemerintah daerah yang melahirkan peraturan daerah (Perda). Sebagai delegatif

legislator yaitu presiden yang berdasarkan ketentuan undang-undang

mengeluarkan peraturan pemerintah (pp) dimana diciptakan wewenang

pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu.

Kewenangan delegasi adalah penyerahan wewenang yang dimiliki oleh

organ pemerintahan kepada organ lain, dimana dalam delegasi adanya suatu

penyerahan kewenangan dari si pemberi kewenangan kepada si penerima

kewenangan yang selanjutnya si penerima kewenangan atas delegasi tersebut

sepenuhnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang tersebut.

Kewenangan berupa mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru

117. Ridwan HR, Op.Cit., h.104.

Page 54: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

113

maupun pelimpahan wewenang dari badab atau tata usaha negara yang satu

kepada yang lainnya, sehingga tanggung jawab kewenangan atas dasar mandate

masih tetap pada pemberi mandate dan tidak beralih kepada penerima mandate.

Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang dapat diperoleh melalui 2 cara

yaitu atribusi dan delegasi dan kadang-kadang juga mandat.118 Atribusi

merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung

bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi juga merupakan

norma untuk memperoleh wewenang pemerintah, sehingga jelas bahwa

kewenangan didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah

kewenangan asli, karena kewenangan diperoleh dari peraturan undang-undang.

Atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan itu

tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Delegasi diartikan

sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit, dengan kata penyerahan

berarti adanya perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi

(delegan) kepada yang menerima delegasi (delegetaris) melalui persyaratan

antara lain yaitu :

a. delegasi harus definitive, artinya delegans tidak dapat lagi

menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;

b. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,

artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu

dalam peraturan perundang-undangan;

118 . Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan

(Bestuurbevoegdheid), Pro Justitia Tahun XVI, h. 90.

Page 55: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

114

c. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki

kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;

d. kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi

berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang

tersebut.

Teori kewenangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kewenangan atribusi yang terkait dengan kewenangan untuk membuat Undang-

undang dalam pengaturan rehabilitasi di masa mendatang. Oleh badan legislatif

serta aplikasinya oleh penegak hukum khususnya hakim.

2.6.2 Teori Kebijakan Hukum Pidana

Teori Kebijakan Hukum Pidana dikemukakan oleh Marc Ancel, A.

Mulder, Barda Nawawi Arief dan Sudarto. Menurut Barda Nawawi Arief,

kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak bisa

lepas dari tujuan Negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang

Dasar 1945.119 Sebagai warga Negara berkewajiban untuk memberikan

perhatian pelayanan pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan.

Disisi lain perhatian pemerintah terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat

khususnya yang berdampak dari gangguan dan perbuatan pelaku tindak pidana

narkotika.

119 Arief, Barda Nawawi, 1996, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan

Kejahatan Dengan Pidana Penjara, UNDIP Semarang, h. 6-7, (selanjutnya disebut Arief,

Barda Nawawi I).

Page 56: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

115

Barda Nawawi Arief kemudian juga berpendapat bahwa kebijakan

penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika merupakan

kebijakan hukum positif yang pada hakikatnya bukanlah semata-mata

pelaksanaan Undang-undang yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan

sistematik, dogmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan

hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa

pendekatan sosiologis, historis, bahkan memerlukan pula pendekatan

komprehensif dari berbagai disiplin ilmu lainnya dan pendekatan integral

dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.120

Substansi kebijakan pidana merupakan salah satu bidang yang

seyogyanya menjadi pusat perhatian kriminologi, karena kriminologi sebagai

studi yang bertujuan mencari dan menentukan faktor-faktor yang membawa

timbulnya kejahatan-kejahatan dan penjahat. Kajian mengenai kebijakan

hukum pidana (Penal Policy) yang termasuk salah satu bagian dari ilmu hukum

pidana, erat kaitannya dengan pembahasan hukum pidana nasional yang

merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia.

Dalam batas – batas yang dimungkinkan perlindungan terhadap hak–

hak asasi warga masyarakat Indonesia, terhadap beberapa prinsip yang

terkandung dalam Undang-undang narkotika adalah :

(a) Bahwa Undang-undang narkotika juga dipergunakan untuk menegaskan

ataupun menegakkan kembali nilai – nilai sosial dasar prilaku hidup

masyarakat dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai

oleh falsafah Negara Pancasila.

120 Arief, Barda Nawawi, 2005 Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Aditya

Bakti, Bandung, h. 22 (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II).

Page 57: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

116

(b) Bahwa Undang-undang narkotika merupakan satu-satunya produk

hukum yang membentengi bagi pelaku tindak pidana narkotika secara

efektif.

(c) Dalam menggunakan produk hukum lainnya, harus diusahakan dengan

sungguh – sungguh bahwa caranya seminimal mungkin tidak

mengganggu hak dan kewajiban individu tanpa mengurangi

perlindungan terhadap kepentingan masyarakat yang demokrasi dan

modern.121

Berdasarkan pada prinsip- prinsip yang terkandung dalam perinsip

hukum, maka dapat dipahami bahwa apabila masih ada cara lain untuk

mengendalikan sosial, maka pecanduan hukum pidana dapat di tiadakan,

kebijakan ini disebut sebagai kebijakan ‘non-penal.

Salah satu jalur “non penal” untuk mengatasi masalah – masalah sosial

adalah lewat “kebijakan sosial” (sosial policy). Kebijakan sosial pada dasarnya

adalah kebijakan atau upaya – upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat, jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan

nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan.

Sebaliknya apabila cara pengendalian lain (Social – Control), yaitu dengan cara

menggunakan “Kebijakan Sosial” (Social – Policy) tidak mampu mengatasi

tindak pidana, maka jalan yang dipakai melalui kebijakan “Penal” (Kebijakan

Hukum Pidana)

Dua masalah sentral dalam kebijakan tindak pidana dengan menggunakan

sarana penal (hukum pidana) adalah masalah:

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

121 Reksodiputra, Mardjono, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan dan

Pengendalian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, h 23-24.

Page 58: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

117

2. Sanksi apa yang sebaiknya di gunakan atau dikenakan kepada si

pelanggar.122

Analisis terhadap 2 (dua) masalah sentral ini tidak dapat di lepaskan dari

konsepsi integral antara kebijakan criminal dengan kebijakan sosial atau

kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah – masalah di

atas harus pula di arahkan untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu dari

kebijakan sosial- politik pula kebijakan dalam menangani 2 (dua) masalah

sentral tersebut di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang

berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).

Bertolak dari pemahaman “kebijakan”, istilah kebijakan dalam tulisan ini

diambil dari istilah “Policy”(Inggris) atau “Politic” (Belanda). Atas dasar dari

kedua istilah asing ini, maka istilah “Kebijakan Hukum Pidana’ dapat pula

disebut dengan istilah”Politik Hukum Pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah

:Politik Hukum Pidana” ini sering di kenal dengan berbagai istilah antara lain

“Penal Policy,”Criminal Law Policy” atau “Strafreehtspolitiek”.

Kebijakan Penanggulangan Kejahatan atau yang biasa di kenal dengan

istilah “Politik Kriminal” yang dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas.

Maksudnya dalam upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

a. Penerapan hukum pidana (Criminal law application)

b. Pencegahan tanpa pidana (Prevention without punishment)

122 Ibid, h. 23-24.

Page 59: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

118

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat media masa (influencing views of society on crime and

punishment)123.

Bertolak dari keraguan atas efektivitas sarana penal dari aplikasi Undang

– undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika tersebut, perlu dicermati

efektivitas hukum yang tidak dapat dilepaskan dari tipe-tipe penyelewengan

tersebut merupakan kategori secara teoritis terhadap pelbagai jenis

penyelewengan yang terjadi dalam suatu masyarakat tertentu.

Teori ini digunakan dalam menganalisis permasalahan pertama dan kedua

mengenai kebijakan hukum pidana terhadap tindakan rehabilitasi saat ini, yakni

pengaturan tidakan rehabilitasi saat ini baik dalam undang-undang maupun

dalam peraturan teknis yuridis dan kebijakan hukum pidana dalam konteks

pembaruan hukum mengenai pengaturan tindakan rehabilitasi di masa

mendatang. Berarti menyangkut pembagian teori kebijakan pidana yang

dikonsepsi A. Mulder, MC Ancel dan Sudarto dengan tahapan kebijakan

formulasi oleh legislatif dan kebijakan aplikasi oleh badan yudikatif terkait

penormaan hukum dalam pengaturan rehabilitasi.

2.6.3. Teori Hukum Pembuktian

Proses pembuktian adalah mengenai benar tidaknya terdakwa

melakukan perbuatan yang didakwakan sehingga merupakan bagian yang

terpenting dalam proses hukum acara pidana, dan bertujuan untuk mencari

123 Soekanto, Soerjono, 1988, Efektivitas Hukum dan Peraan Saksi, Remaja, Karyawa,

Bandung, h. 68. (selajutnya disebut dengan Soerjono Soekanto III).

Page 60: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

119

kebenaran materiil. Sebagaimana dikatakan oleh Ansorie Sabuan bahwa

pembuktian merupakan masalah yang pelik (Jngewikkeld) dan justru masalah

pembuktian menempati titik sentral dalam Hukum Acara Pidana. Adapun

tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran

materiil, dan bukan mencari kesalahan seseorang.124

Van Bemmelen mengaitkan pencarian dan penemuan kebenaran oleh

Hukum Acara Pidana melalui proses pembuktian dengan maksud sebagai

berikut:

"Rewijsen is derhalie door onderzoek en redenering van de rechter een

redelijke mate van zekerheid te vershaffen " :

a. Omfrent de vraag ofbepaaldefeiten hebben plaats gevonden.

b. Omtr de vraag waarom dit het geval is geweest.

Bewijzen bestaat du suit:

a. Het wijzen op \vaarnembarefeiten.

b. Medewerkingenwengenomenfeiten

c. Logiseh denken

Terjemahan:

Maka pembuktian ialah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak

dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim :

a. Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh

pernah terjadi,

b. Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini telah terjadi.

Dari itu pembuktian terdiri dari :

a. Menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh panca

hidera;

b. Memberikan keterangan tentang peristiwa-peristiwa yangtelah

diterima tersebut.

c. Menggunakan pikiran logis.

Teori pembuktian mengenal adanya 4 (empat) sistem pembuktian

sebagai berikut:

124 Sabuan, Ansorie; Pettanase, Syariffudin; dan Ahmad, Ruben, 1990, Hukum Acara

Pidana, Angkasa, Bandung, h. 185.

Page 61: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

120

1. Teori Pembuktian atas keyakinan belaka (conviction in time).

2. Teori Pembuktian atas alasan yang logis (conviction raisonee) atau

Teori Pembuktian Bebas

3. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (Positive

Wettelijke Bewijstheorie)

4. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Negatif

(Negatief Wettelijke Bewfistheorie)125

Keempat sistem pembuktian yang ada membantu hakim untuk menilai

alat bukti yang diajukan guna menentukan salah atau tidaknya

terdakwa, penjelasannya sebagai berikut :

1. Teori Pembuktian atas keyakinan belaka (conviction in time)

I Gede Artha menyatakan teori pembuktian atas keyakinan belaka

menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh

penilaian "keyakinan hakim", hakim tidak terikat oleh suatu peraturan

hukum.126 Sumber dari mana hakim menarik dan menyimpulkan

keyakinannya tidak menjadi masalah dalam sistem ini, dimana hakim

menyimpulkan dari alat-alat bukti dan keterangan terdakwa dipersidangan.

Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada terdakwa semata-

mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang

cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana

yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan

125 Sabuan, Ansorie; Pettanase, Syariffudin; dan Ahmad, Ruben, op. cit, h. 186 126 Artha, I Gede, 2012, Kebijakan Formulasi Upaya Hukum terhadap Putusan bebas

bagi Penuntut Umum dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana lindonesia, (Disertasi),

Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, h.168.

Page 62: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

121

alat-alat bukti yang lengkap selama hakim tidak yakin atas kesalahan

terdakwa.127

Pendapat praktisi hukum R. Subekti, sistem pembuktian conviction

in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian

yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya

walaupun kesalahan terdakwa "tidak terbukti" berdasar alat-alat bukti yang

sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas "dasar keyakinan

hakim".128

2. Teori Pembuktian atas alasan yang logis (conviction raisonee) atau Teori

Pembuktian Bebas

Menurut teori ini ditentukan bahwa hakim didalam memakai dan

menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil keputusan tidak terikat pada

penyebutan alat-alat bukti yang tercantum dalam undang-undang,

melainkan hakim tersebut secara bebas diperkenankan memakai alat-alat

bukti lain, asalkan semuanya itu berlandaskan alas an-alasan tepat menurut

logika.129

R. Subekti menyatakan "keyakinan hakim" tetap memegang peranan

penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi keyakinan

hakim disini dibatasi, namun didukung dengan alasan-alasan yang jelas.

Hakim wajib menguraikan, dan menjelaskan alasan-alasan apa yang

mendasari keyakinan atas kesalahan terdakwa.

127 Hamzah Andi, 1985, Komentar Undang-Undang RJ Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung, Ind. Hill Co, Jakarta, h. 251-254. 128 Subekti, R, 1978, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 10 129 Artha, I Gede, Op Cit, h. 169

Page 63: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

122

"Tegasnya keyakinan hakim dalam teori pembuktian atas alas an yang

logis (conviction raisonee) atau Teori Pembuktian Bebas harus

dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus

reasonable, yakni berdasar alas an yang dapat diterima. Keyakinan

hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar

dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang

tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal."130

3. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (Positive

Wettelijke Bewijstheorie)

Teori berdasarkan undang-undang secara positif menyatakan

bahwa :

"Undang-undang menentukan jenis alat bukti yang dapat dipakai oleh

hakim atau sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-

alat bukti yang dapat dipakai olehhakim atau sistem ini berpedoman

pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh

undang-undang. Untuk membuktikan salah atau ttidaknya terdakwa

semata-mata digantungkan kepada alat bukti yang sah. Asal sudah

dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undnag-

undang sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa

mempersoalkan keyakinan hakim.131

Pendapat Andi Hamzah disebut sistem pembuktian berdasarkan

undang-undang secara positif (Positive Wettelijke Bewijstheorie) yakni

pembuktian yang didasarkan melalui alat-alat pembuktian yang disebut

undang-undang. Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada

undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai

dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan

130 Subekti, R, Op. Cit, h. 11 131 Harahap, M, Yahya, 2003, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP,

Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 278

Page 64: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

123

hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga Teori

Pembuktian Formal (Formele Bewijstheorie).132

Pendapat senada dikatakan pula oleh Ansorie Sabuan bahwa sistem

ini melulu menurut ketentuan undang-undang, yang meninggalkan nilai

kepercayaan tentang diri pribadi hakim sebagai sumber keyakinan, hingga

akan menimbulkan bentuk keputusan yang dapat menggoyangkan

kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam masyarakat sebagai

akibat putusan-putusan yang tidak dapat mencerminkan kehendak

masyarakat yang akan tercermin dalampribadi hakim, oleh karena itu sistem

ini tidak dapat diterapkan di Indonesia.133

4. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (Negatief

Wettelijke Bewfistheorie)

Teori pembuktian undang-undang secara negatif menentukan bahwa

hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikitnya dua alat bukti

yang telah ditentukan itu ada,ditambah dengan keyakinan hakim yang

didapat dari adanya alat-alat bukti itu.134

Kesalahan seorang terdakwa, menurut sistem pembuktian menurut

undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang.

132 Hamzah, Andi, Op. Cit., h. 251. 133 Sabuan, Ansorie; Pettanase, Syariffiidin; dan Ahmad, Ruben, Op.Cit, h. 187. 134 Sabuan, Ansorie; Pettanase, Syarifrudin; dan Ahmad, Ruben, Op.Cit, h. 188.

Page 65: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

124

2. Dan keyakinan hakim yang juga hams didasarkan cara dan dengan alat-

alat bukti yang sah menurut undang-undang.135

Peradilan Pidana Indonesia yang berdasarkan KUHAP menganut

teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, hal tersebut

terlihat dari rumusan Pasal 183 KUHAP yang merumuskan : "Hakim tidak

boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya".

Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa pembuktian harus didasarkan

kepada undang-undang dan merujuk pada alat bukti yang sah tersebut

dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP adalah :

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Pasal 6 Ayat (2) UU Rl No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman juga mengatur bahwa "Tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana

kecuali apabila di pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut

undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap

135 Yudowidagdo, Hendrastanto, dkk, 1987, Kapitn Selekta Hukum Acara Pidana

Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, h. 240.

Page 66: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

125

dapal bertanggungjawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan

atas dirinya."

D. Simons sebagaimana dikutip Wiryono Projodikoro menyatakan

dalam sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara

negatif (negatief wettelijke bewijstheorie) ini, pemidanaan didasarkan

kepada pembuktian yang berganda (dubble en grondslag) yaitu pada

peraturan perundang-undangan, keyakinan hakim dan menurut undang-

undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan

perundang-undangan.136

Wiryono Projodikoro menyatakan:

"Untuk Indonesia yang telah menerapkan teori pembuktian berdasarkan

undang-undang secara negatif (negatief wettelijke) melalui KUHAP,

sebaiknya dipertahankan, berdasarkan dua alasan, pertama memang

sudah selayaknya ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa

untuk dapat menjatuhkan hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa

memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.

Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam

menyusun keyakinannya, agarada patokan-patokan tertentu yang harus

diturut oleh hakim dalam melaksanakan peradilan."137

Relevansi teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara

negatif dalam penelitian ini adalah dalam rangka membuktikan seseorang

sebagai tersangka tindak pidana narkotika. Apakah tersangka tersebut

sebagai pecandu atau pengedar atau bahkan sebagai korban penyalahgunaan

narkotika. Pembuktian sangat diperlukan guna menentukan posisi

136 Wirjono Projodikoro, 1992, Hukum Acara Pidana dl Indonesia, Sumur, Bandung,

h.77 137 Wirjono Projodikoro, Op.Cit., h. 77-78

Page 67: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

126

tersangka. Ketika tersangka memang terbukti hanya sebagai pecandu atau

korban penyalahgunaan narkotika, maka sanksi yang tepat diberikan berupa

tindakan yang bentuknya rehabilitasi. Bukan untuk diberi sanksi pidana,

karena ia dianggap orang sakit yang mesti mendapatkan pemulihan

kesehatan untuk terbebas dari ketergantungan dari konsumsi narkotika.

2.6.4 Teori Pemidanaan

Teori pemidanaan adalah teori yang dibahas oleh banyak ahli hukum

pidana di dunia, diantaranya Vos, Nigel Walker, Von Feuer Bach, Muladi,

Andi Hamzah dan sebagainya. Pemidanaan dalam sistem peradilan pidana di

Indonesia didasarkan pada asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege

poenali sebagaimana yang dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von

Feurbach. Asas tersebut juga disebut asas legalitas yang tercantum dalam Pasal

1 ayat (1) KUHP. Suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya

tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia

diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan

hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut.

Menurut Sudarto, sejarah dari hukum pidana pada hakekatnya merupakan

sejarah pidana dan pemidanaan. Pidana termasuk juga tindakan (maatregel,

masznahme), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang

dirasakan tidak enak untuk dikenai. Oleh karena itu, orang tidak tidak pernah

ada henti-hentinya untuk mencari dasar, hakekat dan tujuan pidana dan

Page 68: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

127

pemidanaan, untuk memberikan pembenaran dari pidana itu sendiri.138 Apabila

pemidanaan ditinjau dari segi orientasinya, dikenal adanya 2 macam teori

pemidanaan, yaitu :

1. Teori Absolut (pembalasan), yaitu teori yang berorientasi ke belakang

berupa pembalasan yang setimpal atas perbuatan yang dilakukan.

2. Teori Relatif (tujuan), yaitu teori yang berorientasi ke depan berupa

penyembuhan luka, baik luka individual maupun luka sosial.139

Menurut teori absolut dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu

sendiri. Karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain,

sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku yang harus diberi penderitaan.

Pembalasan tersebut dipandang sebagai suatu reaksi keras yang bersifat

emosional, karena itu mempunyai sifat yang irasional.140 Pidana adalah reaksi

atas delik, dan berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada

pembuat delik itu.141 Dalam teori ini Hegel mengajarkan bahwa “hukum adalah

suatu kenyataan kemerdekaan. Oleh sebab itu, kejahatan merupakan tantangan

terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi imbalan sehingga

hukuman merupakan dialectische vergelding (pembalasan dialektis).”142

Pemikiran mengenai pemidanaan sebagai suatu pembalasan, sedikit demi

sedikit terkikis dengan pandangan bahwa penghukuman bukanlah merupakan

tujuan akhir. Dalam kondisi tersebut lahirlah teori maksud dan tujuan atau yang

138 Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 31. 139 Muladi dan Arief, Barda Nawawi, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung, h. 60 140 Sahetapy, J. E., 1998, Kriminologi, Rajawali, Jakarta, h. 11. (selanjutnya disebut

Sahetapy, J. E. I). 141 Saleh, Roeslan, 1978, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, h. 5.

(selanjutnya disebut Saleh, Roeslan I). 142 Marpaung, Leden, 2008, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,

h. 105.

Page 69: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

128

juga diistilahkan dengan teori pemidanaan relatif, teori maksud dan teori

prevensi. Berdasarkan teori ini hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan

maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan

masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang

secara ideal. Selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi)

kejahatan.143

Plato dan Aristoteles mengemukakan bahwa “pidana itu dijatuhkan bukan

karena telah berbuat jahat, tetapi agar jangan diperbuat kejahatan, hal ini

merupakan suatu kenyataan bahwa hukum pidana bersifat preventif atau

pencegahan agar tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran.144 Dalam

perkembangannya, ada pula yang memandang bahwa pemidanaan bertujuan

ganda yakni pembalasan dan pencegahan. Teori ini dikenal dengan teori

gabungan. Teori gabungan merupakan perpaduan antara vergeldingtheorie dan

doeltheorie. Gabungan dua teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman

adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan

memperbaiki pribadi si penjahat.145

Teori pemidanaan digunakan dalam menganalisis permasalahan pertama

dan kedua. Permasalahan pertama dimana undang-undang narkotika saat ini

menggunakan teori campuran yang dapat dilihat dari jenis sanksi pidana yakni

pidana penjara, denda, dan tindakan rehabilitasi. Dalam menganalisis

permasalahan kedua, maka digunakan teori pencegahan, dimana tindakan

143 Ibid., h. 106. 144 Hamzah, Andi, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 7,

(selanjutnya disebut Andi Hamzah I). 145 Marpaung, Leden, Op.Cit., h. 107.

Page 70: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

129

rehabilitasi bertujuan untuk memperbaiki pecandu dan korban penyalahguna

narkotika.

2.6.5 Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan lahir dalam mazhab utilitarianisme sebagaimana yang

dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873)

dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Dengan memegang prinsip manusia akan

melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya

dan mengurangi penderitaan, Bentham mencoba menerapkannya di bidang

hukum. Atas dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan

itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Demikian pun perundang-undangan,

baik-buruknya ditentukan oleh ukuran tersebut.146 Undang-undang yang baik

menurut teori ini adalah undang-undang yang mampu memberikan kebahagiaan

yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Bagi Bentham tujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan

kebahagiaan bagi masyarakat. Untuk itu perundang-undangan harus berusaha

mencapai empat tujuan yaitu:

a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).

b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah).

c. To provide security (untuk memberikan perlindungan).

d. To attain equality (untuk mecapai kebersamaan).147

146 Rasjidi, Lili, 1985, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, h. 44. 147 Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, h. 76-78.

Page 71: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

130

Teori Bentham berpengaruh terhadap hukum pembuktian. Pemikiran itu

dapat dijelaskan sebagai berikut:

The effect of Bentham’s anti- nomian thesis was to lay down the gauntlet to

the law of evidence, challenging it to justify its continuing existence. Instead

of the law of evidence being viewed as an all- e mbracing set of rules for

the regulation of proof in legal procedures, it has come to be viewed as a

series of disparate exceptions to the Benthamite principle of free proof.148

Pengaruh tesis antinomi Bentham adalah untuk meletakkan tantangan untuk

hukum pembuktian, menantang untuk membenarkan keberadaannya terus.

Bukan bukti hukum yang dilihat sebagai menggabungkan semua-aturan

untuk pengaturan pembuktian dalam prosedur hukum, telah datang untuk

dilihat sebagai rangkaian pengecualian berbeda dengan prinsip utilitaris

pembuktian bebas.

Ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual, sedang

rekannya Rudolf von Jhering mengembangkan ajaran yang bersifat sosial.

Teori von Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill dan

positivisme Jhon Austin.149

Stuart Mill memperkenalkan gagasan yang paling penting yakni

perbedaan kualitatif pelbagai macam kesenangan. Menurut Mill, suatu hal yang

penting untuk menilai kesenangan baik atas dasar kualitas dan juga

kuantitasnya. Tidak masuk akal menilainya hanya atas dasar kuantitasnya saja.

Tetapi apabila orang harus mengakui adanya perbedaan kulitatif intrinsik pada

semua kesenangan, maka harus ada suatu patokan untuk itu. Patokan tersebut

tidak terdiri dari kesenangan itu sendiri. Bila dilihat dari cara berfikir Mill, ia

mengacu pada sebuah aturan pada bagaimana manusia itu seharusnya. Patokan

tersebut berada pada kodrat manusia yang berfungsi sebagai patokan untuk

148 Patterson, Dennis (ed), 2010, A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory

Second edition, Blackwell Publishing Ltd, Singapura, h. 179. 149 Rasyidi, Lili, Op.Cit., h. 44-45.

Page 72: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

131

menentukan perbedaan kualitatif antara kegiatan-kegiatan yang membawa

kesenangan.

Rudolf von Jhering yang mengembangkan teori social utilitarianism

menganggap bahwa hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk

mencapai tujuannya. Dia menganggap hukum sebagai sarana untuk

mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan

masyarakat dimana mereka menjadi warganya. Satu-satunya hukum yang

diterima sebagai hukum merupakan tata hukum, sebab hanya hukum inilah

yang dapat dipastikan kenyataannya.150 Bagi Jhering, hukum juga merupakan

suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan perubahan-perubahan

sosial. Ajaran-ajaran Jhering banyak mempengaruhi jalan pikiran para sarjana

sosiologi hukum Amerika, antara Roscoe Pound.151 Undang-undang tentang

Narkotika harus memberikan kemanfaatan yang seluas-luasnya bagi

masyarakat melalui pengaturan mengenai rehabilitasi sejak penyidikan hingga

pembinaan di lembaga pemasyarakatan.

Teori kemanfaatan digunakan untuk membahas permasalahan pertama

dan kedua, dimana aturan yang ada dan yang akan dibentuk harus memberikan

manfaat bagi masyarakat khususnya pecandu dan korban penyalahguna

narkotika.

150 Huijber, Theo, 2006, Filsafat Hukum Dalam lintasan Sejarah Cetakan ke-15,

Kanisius, Yogyakarta, h. 128. 151 Soekanto, Soerjono, 2009, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, PT RajaGrafindo Persada,

Jakarta, h. 41. (selajutnya disebut dengan Soerjono Soekanto II).

Page 73: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

132

2.6.6. Teori Harmonisasi Hukum

Harmonisasi hukum telah muncul dalam ilmu hukum di Jerman pada

tahun 1992, penggagasnya Rudolf Stammler (1856-1938). Harmonisasi hukum

dikembangkan dalam ilmu hukum yang digunakan untuk menunjukkan bahwa

dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan diantara keduanya

terdapat keanekaragaman yang dapat mengakibatkan disharmoni. Rudolf

Stammler mengemukakan suatu konsep fungsi hukum, bahwa tujuan atau

fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan, dan kepentingan

antara individu dan antara individu dengan masyarakat. Dikatakan oleh

Stammler "a just law aims at harmonizing individual purposes with that of

society".152

Istilah harmonisasi berasal dari bahasa Yunani, asal kata "harmonia"

yang artinya : "Terlibat secara serasi dan sesuai". Secara filsafat dapat diartikan

kerjasama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor

tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur. Daiar perspektif psikologi diartikan

sebagai keseimbangan dan kesesuaian, segi-segi alam, perasaan, alam pikiran,

dan perbuatan individu,sehingga tidak terjadi hal-hal ketegangan yang

berlebihan.153

Esensi pengertian dan makna harmonisasi hukum tersebut diatas,

dikembangkan oleh para ahli dengan menghubungkan keterkaitannya dengan

fungsi hukum dalam berbagai aspek kepentingan hukum antara mdividu-

individu dengan negara atau pemerintah sehingga menampakkan teori

152 Goesniadhi S, Kusni, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata

Pemerintahan yang Baik, A3 Nasa Media. Malang, h. 2 153 Sadzily, Hasan, dkk, 1995, Ensiklopedi Indonesia, Ihtiar Baru, Jakarta, h.. 1262

Page 74: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

133

harmonisasi hukum. Pendapat para ahli tersebut memberikan konsepsi

pemikirannya tentang harmonisasi hukum, diantaranya:

1. LM. Gandhi, memaknai harmonisasi hukum adalah mencakup

penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah,

keputusan hakim, sistem hukum, dan asas-asas hukum, dengan tujuan

peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan

kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum tanpa mengaburkan dan

mengorbankan pluralisme hukum.154

2. Kusnu Goesniadhie berpendapat bahwa harmonisasi hukum adalah

upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan,

hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau

proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian,

kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum dalam suatu

kesatuan kerangka sistem hukum nasional.155

3. Wicipto Setiadi menyatakan pengharmonisasian adalah upaya untuk

menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan, dan membulatkan

konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan

peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat

maupun yang lebih rendah dan hal-hal lain selain peraturan perundang-

undangan sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan

atau tumpang tindih (overlapping)156

4. Juniarso Ridwan menyalakan harmonisasi. .. apakan suatu upaya atau

proses melakukan pembatasan-pembatasan perbciaan yang berkenaan

dengan adanya kejanggalan dan bertentangan dengan hukum-hukum.157

5. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman

memberikan pengertian harmonisasian hukum sebagai kajian ilmiah

untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu

baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun

yuridis.pengkajian terhadap rancangan peraturan perundang-undangan

dalam berbagai aspek apakah telah mencerminkan keselarasan dan

kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lain, hukum

yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat,... dstnya.158

154 Gandhi, LM, 1980, Harmonisasi Hukum menuju Hukum yang Responsif, (Pidato

Pengukuhan Guru Besar Tetap, FH UI, dalam Mohamad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia

Umum, Kanisius, Yogyakarta, h. 88. 155 Goesniadhie, S., Loc.cit. 156 Setiadi, Wicipto, 2007, Proses Pengharmonisasian sebagai Upaya untuk

Memperbaiki Kualitas Perundang-undangan, Jumal Legislasi Indonesia Vol.4 No.2, Juni,

2007, h.48. 157 Ridwan, Juniarso, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan

Publik, Nuansa, Bandung, h.219-220 158 Ibid, h. 223

Page 75: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

134

Sidharta mengemukakan beberapa kemungkinan yang menyebabkan

terjadinya disharmonisasi dalam sistem hukum dan instrument

penyelesaiannya, yaitu:

1. Terjadinya inkonsistensi secara vertikal dan dari segi format peraturan

yakni peraturan yang hierarkinya lebih tinggi, misahiya antara peraturan

pemerintah dengan undang-undang. Instrumen penyelesaiannya adalah

asas hukum lex superior derogat lege inferior derogate lege inferiori,

yang artinya adalah peraturan yang lebih tinggi tingkatannya akan

mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.

2. Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi waktu, yakni beberapa

peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi yang satu lebih dulu

berlaku daripada yang lain. Instrument penyelesaiannya adalah asas

hukum lex posteriori derogate lege priori, yang artinya adalah

peraturan yang lebih belakangan akan mengesampingkan peraturan

yang sebelumnya.

3. Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi peraturan,

yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi substansi

peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substansi peraturan

lainnya. Instrument penyelesaiannya adalah asas hukum lex specialist

derogate lege generalis, yang artinya adalah peraturan yang lebih

khusus cakupannya mengesampingkan peraturan yang lebih umum.

4. Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi dalam satu

peraturan yang sama, misalnya ketentuan Pasal 1 bertentangan dengan

ketentuan Pasal 15 dari satu undang-ur,c .ing yang sama. Instrument

penyelesaian adalah asas hukum lex posterior derogate lege priori,

yang artinya adalah peraturan yang lebih belakangan akan

mengesampingkan peraturan yang sebelumnya.

5. Terjadi inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda,

misalnya antara undang-undang dan putusan hakim (instrument

penyelesaiannya adalah asas hukum res judicate pro veritate habetew,

yang artinya putusan hakim harus dianggap benar sekalipun

bertentangan dengan undang-undang sampai ada putusan hakim lain

yang mengoieksinya), antara undang-undang yang bersifat memaksa

dan kebiasaan (instrument penyelesaiannya adalah lex dura sed tamen

scripta, yang artinya undang-undang tidak dapat diganggu gugat Pasal

ISAEfAlgemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie) atau antara

Undang-Undang yang bersifat mengatur dan kebiasaan (instrument

penyelesaiannya adalah asas hukum die normatie ven kraft des faktis

chen, yang artinya perbuatan yang berulang-ulang akan memberi

kekuatan berlaku normatif).159

159 Sidharta, 2005, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir

Indonesia (Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir

Indonesia), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan

Page 76: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

135

Secara umum, dalam instrument penyelesaian disharmonisasi

hukum dikenal pula metode penafsiran hukum yaitu metode interpretasi

dan metode konstruksi. Menurut Burght dan Winkeman, dimasa lalu

memang telah diperjuangkan suatu pedoman yang kaku pada pemilihan

metode-metode interpretasi, namun berlawanan dengan harapan itu

yang akhirnya diperoleh sekadar petunjuk yang kabur. Hal hii karena

sulit memperoleh pemaharnan tentang motif-motif sesungguhnya dari

hakim dalam mengambil keputusan karena yang terlihat hanya

argument yang dikemukakan secara eksplisit dalam kamusnya.

Penemuan hukum (rechtsvinding) pada khususnya merupakan kegiatan

dari hakim dalam melaksanakan undang-undang bila terjadi peristiwa

konkrit. Keterbatasan undang-undang yang tidak dapat mengejar

perkembangan kegiatan manusia membat undang-undang itu sendiri

menjadi kurang lengkap atau tidak jelas. Oleh karenanya terdapat

metode interpretasi/penafsiran dan konstruksi hukum yang berkaitan

dengan instrument penyelesaian disharmonisasi hukum.

Metode interpretasi sejak semula dibagi menjadi empat, yaitu

interpretasi gramatikal, sistematis, historis, dan sosiologis. Di samping

iru dikenal pula interprestasi komparatif dan interpretasi antisipatif.

Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan

perundang-undangan yang dianggap tidak jelas, seorang ahli hukum

tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Kebutuhan akan interpretasi

Pembangunan Nasional, Departemen kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia Kerjasama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resources Management Project II,

Jakarta, h. 62-64,

Page 77: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

136

sebenarnya sudah dirasakan pada masa berlakunya Hukum Romawi.

Hal ini dapat dilihat pada ungkapan Ulpianus sebagaimana dikutip oleh

Peter Mahmud Marzuki sebagai berikut : "Quamvis sit manifestissimum

Edictum Praetoris, attamen non est negligenda interpretatio ejus" yang

artinya "Betapa pun jelasnya Maklumat/Perintah Praetoris (konsul),

namun tidak mungkin menolak adanya interpretasi karena adanya

kekurangan".160

Seorang ahli hukum diwajibkan untuk mencari maksud dan

kehendak pembuat undang-undang sedemikian rupa sehingga tidak

menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang

itu. Dalam usaha mencari dan menentukan kehendak pembuat undang-

undang itulah maka dalam ilmu hukum dikembangkan beberapa metode

atau cara menafsirkan peraturan perundang-undangan yang dapat

digunakan seorang ahli hukum yaitu :

a) Penafsiran Gramatikal (taatkundige interpretatie), yaitu penafsifan

yang dilakukan terhadap peristilahan atau kata-kata, tata kalimat

didalam suatu konteks bahasa yang digunakan pembuat undang-

undang dalam merumuskan peraturan perundang-undangan tertentu.

b) Penafsiran Sejarah (historische interpretatie), yaitu penafsiran yang

dilakukan terhadap isi suatu peraturan perundang-undangan dengan

meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau terjadinya

peraturan undang-undang yang bersangkutan.

c) Penafsiran Sistematis (systematische interpretatie), yaitu penafsiran

terhadap satu atau lebih peraturan perundang-undangan, dengan cara

menyelidiki suatu sistem tertentu yang terdapat didalam suatu tata

hukum., dalam rangka penemuan asas-asas hukum umum yang

dapat diterapkan dalam suatu masalah hukum tertentu.

d) Penafsiran sosiologis (teleologis), sejalan dengan pandangan LJ.Van

Apeldoorn, maka salah satu tugas utama seorang ahli hukum adalah

160 Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, h. 111.

Page 78: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

137

menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal

konkrit yang ada di dalam masyarakat.

e) Penafsiran otentik, yaitu penafsiran terhadap kata, istilah atau

pengertian didalam peraturan perundang-undangan yang telah

ditetapkan sebelumnya oleh pembuat undang-undang sendiri161.

Disamping metode-metode interpretasi tersebut diatas terdapat

pula metode penafsiran komparatif dan antisipatif.162 Interpretasi

komparatif adalah penafsiran dengan memperbandingkan, dimana

penafsiran terhadap suatu peraturan dapat dilakukan dengan mencari

titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di berbagai negara.

Pada penafsiran antisipatif maka dicari pemecahannya dalam peraturan-

peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam

rancangan undang-undang.

Solusi terhadap norma hukum yang kabur dalam Pasal 103 ayat

(1) huruf a dan b Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2009 menyangkut

rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika melalui

putusan atau penetapan hakim dengan kata “dapat” tersebut, menurut

peneliti memakai jenis penafsiran gramatikal sosiologis (teleologis) dan

penafsiran komparasi.

2.6.7. Teori Hak Asasi Manusia (HAM)

Menurut Paul Sieghart bahwa dalam kerangka teori HAM klasik hak-

hak kolektif bukanlah merupakan HAM, lebih lanjut dikatakannya teori klasik

tentang HAM menyebutkan bahwa hanya hak-hak yang dimiliki oleh manusia

161 Ibid, h. 112 – 114 162 Ibid, h. 61

Page 79: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

138

idividu yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia (HAM). Sedangkan hak-

hak yang dimiliki oleh sebuah kolektivitas atau jenis-jenis tertentu seperti

negara – negara, gereja – gereja, perusahaan-perusahaan, badan-badan

perdagangan dan sebagainya bukanlah hak asasi manusia dalam pengertian

yang sebenarnya.163

Sehubungan dengan esensi inti teori HAM klasik yang memberikan

porsi hak-hak yang diakui sebagai manusia, maka akan terkait esensi teori

HAM klasik dengan perkembangan lahirnya HAM Generasi I (Pertama) yang

lahir pada abad 17 dan 18 didalamnya mengakomodir hak-hak individu

dibidang hak-hak sipil dan politik sebagai HAM. Hak sipil atau individu tiap

orang diakui sebagai HAM yang paling mendasar salah satunya adalah

dijaminnya serta dilindunginya hak kebebasan. Kebebasan termasuk juga dalam

hak individu dihadapan hukum ketika seseorang dihadapkan pada proses

peradilan.

Dalam proses peradilan ketika seseorang dihadapkan pada tahapan

pembuktian wajib hak-hak seseorang dalam status sebagai terdakwa untuk

dihormati hak-hak asasi individunya, seperti hak untuk dianggap belum

bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum

tetap (incracht van geweijsde). Maka asas praduga tak bersalah (presumption of

innosence) tetap dijunjung tinggi dan ditegakkan dalam proses peradilan pidana

demi terwujudnya proses hukum yang berkeadilan (due process of law). Maka

terkait dalam peradilan pidana mesti selektif dan hati-hati melaksanakannya

163 Suharto, Rakhmat Bowo, 2001, Perlindungan Hak Dunia Ketiga Atas Sumber Daya

Alam, Tiara Wacana, Yogyakarta, h. 21

Page 80: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

139

untuk menghindari penyerobotan serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia

(HAM) selaku individu dihadapan proses hukum.

2.6.8. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory)

Teori sistem hukum (Legal System Theory) dari Lawrence M.Friedman

yang pada intinya adalah menyatakan bahwa suatu sistem hukum terdiri dan 3

(tiga) komponen yaitu :

1. Substansi hukum (Legal Substance)

"The substance is composed of substantive rules and rules about how

institutions should behave"164 (substansi tersusun dan peraturan-

peraturan dan ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana institusi-istitusi

harus berperilaku/bertindak. Dalam hal ini yang dimaksud sebagai substansi

hukum adalah aturan atau norma hukum.

2. Struktur Hukum (Legal Structure)

"Structure, to be sure, is one basic and obvious element of the legal

system... ... The structure of a system is its skeletal fremework. it is the

elements shape, the institutional body of the system. " (Struktur adalah satu

dasar dan merupakan unsur nyata dari sistem hukum. Struktur dalam sebuah

sistem adalah kerangka permanen, atau unsur tubuh lembaga dalam sistem

hukum). Dalam hal ini yang dimaksud dengan Struktur hukum adalah

institusi penegak hukum sebagai salah satu unsur nyata dalam suatu sistem

164 Laurence M. Friedman, 1975, The Legal System A Social Science Perspektive,

Russell Sage Foundation, New York, p. 14

Page 81: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

140

hukum, termasuk juga lembaga yang turut melaksanakan aturan-aturan

hukum.

3. Budaya Hukum (Legal Culture)

"Legal culture refers, then, to those parts of general culture, customs,

opinion, ways of doing and thinking, thai bend social forces toward or

away from the law and in particular ways. "(Budaya hukum merupakan

bagian dan budaya pada umumnya, yang dapat berupa adat istiadat.

pandangan. cara berfikir dan tingkah laku yang dapat membentuk suatu

kekuatan sosial yang bergerak mendekati hukum dengan cara-cara tertentu).

Dalam hal ini yang dimaksud dengan budaya hukum adalah penlaku-

perilaku masyarakat dalam memandang hukum untuk dipatuhi serta ditaati.

Melalui ketiga komponen dalam sistem hukum tersebut dapat

digunakan permasalahan menyangkut rehabilitasi bagi pecandu atau korban

penyalagunaan narkotika sub unsur substansi menyangkut Undang – Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, struktur menyangkut Penegak

Hukum (Kepolisian, Penuntut Umum, Hakim, Lapas) dalam pelaksanaan

rehabilitasi, serta sub unsur budaya hukum menyangkut perilaku, sikap, mental

semua pihak baik penegak hukum dan masyarakat dalam penegakan hukum di

bidang tindak pidana narkotika, khususnya pelaksanaan rehabilitasi bagi

pencandu dan korban penyalahgunaan narkotika.

Kata efektif berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung

arti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya, manjur atau mujarab,

Page 82: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

141

dapat membawa hasil atau berhasil guna, mulai berlaku).165 Efektifitas

pemidanaan diartikan sebagai tingkat tercapamya tujuan yang ingin dicapai

dengan adanya pemidanaan. Suatu pemidanaan dikatakan efektif apabila tujuan

yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan itu tercapai.166 Meneliti

efektifitas hukum pada dasarnya membandingkan antara realitas hukum dengan

ideal hukum. Hukum menentukan peranan apa yang sebaiknya dilakukan oleh

para subjek hukum, dan hukum akan semakin efektif apabila peranan yang

dljalankan oleh para subjek hukum semakin mendekati apa yang telah

dilakukan dalam hukum. Efektifitas dalam konteks dengan hukum diartikan

bahwa hukum itu benar-benar hidup dan berlaku. baik secara yuridis, sosiologis

dan filosofis.167 Orang mengakatakan bahwa kaidah hukum berlaku secara

faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk siapa kaidah hukum itu

berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut.168

Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga

tergantung pada optimal dan professional tidaknya aparat penegak

hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut: mulai

dan' tahap pembuatannya. sosialisasinya, proses penegakan hukumnya

yang mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran

hukum, interprestasi dan konstruksi) dan penerapannya terhadap suatu

kasus kongkret169

165 Niniek Suparni, 1996, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Peradilan dan

Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 59 166 Ibid 167 Ibid 168 J.J.HAL.Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum,

Cetakan Kedua, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h.149 169 Achmad AH, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Cetakan

Keempat,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 378

Page 83: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

142

Menurut Soerjono Soekanto adalah ada 5 faktor yang mempengaruhi

efektif tidaknya keberlakukan suatu hukum yaitu :

a. Faktor hukumnya sendiri

b. Faktor penegak hukum. yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum

c. Faktor sarana atau fasihtas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum itu berlaku atau

diterapkan

e. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada

karsa manusia di dalam pergaulan hidup.170

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dan penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada

efektivitas penegakan hukum.171

Pemakaian teori sistem hukum untuk mengkaji masalah nomor 2 (dua)

terkait kebijakan ke depan dari legislator di dalam upaya rehabilitasi pecandu

atau korban penyalahgunaan narkotika. Karena dalam rehabilitasi tersebut

mesti ada dasar hukum (unsur substansi dalam sistem) yang jelas dalam

Undang – Undang Narkotika sebagai acuan pasti bagi penegak hukum.

Tindakan rehabilitasi yang diberikan melibatkan komponen penegak hukum

terkait sebagai unsur struktur dalam sistem peradilan pidana. Begitu pula unsur

sub sistem berupa budaya hukum dalam hubungan rehabilitasi terhadap

pecandu atau korban bahkan pengedar narkotika akan berimplikasi secara

langsung dan tidak langsung pada pola perilaku, sikap serta kesadaran tidak

langsung pada pola perilaku, sikap serta kesadaran hukum bagi pecandu atau

pengedar narkotika untuk tidak lagi mengkonsumsi atau mengedarkan

170 Soerjono Soekanto, 2012, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Rajawali Press, Jakarta, h. 8 171 Ibid, h. 9

Page 84: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

143

narkotika tersebut, karena jelas – jelas akan merugikan dirinya sendiri dan

korban bagi orang lain atau menyangkut secara lebih luas.

2.7 Pengaturan Tindak Pidana Narkotika Dalam Hukum Positif

2.7.1 Tindak Pidana Narkotika

Hukum pidana adalah hukum publik yang mengatur hubungan antara

negara dengan warga negaranya. Alasan tersebut menjadi dasar kewenangan

bagi negara untuk menghukum warga negaranya dan warga asing yang

mengganggu kepentingan negara. Berdasarkan sumbernya, hukum pidana

dibedakan menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum

pidana umum adalah semua ketentuan hukum pidana yang terdapat/ bersumber

pada kodifikasi (dalam hal ini KUHP dan KUHAP), sehingga dapat juga

disebut dengan hukum pidana kodifikasi. Hukum pidana khusus adalah hukum

pidana yang bersumber dari peraturan perundang-undangan di luar

kodifikasi.172 Keberadaan hukum pidana khusus didorong dari adanya

pembaruan hukum yang terus-menerus untuk merespon kebutuhan hukum

masyarakat. Salah satu hukum pidana khusus adalah aturan yang mengatur

mengenai tindak pidana narkotika.

Dalam hukum pidana, tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana

khusus atau tindak pidana yang diatur di luar KUHP. Tindak pidana narkotika

diatur secara khusus pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika. Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala

172 Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 1; Stelsel Pidana, Tindak Pidana,

Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta,

h. 12. (Selanjutnya disebut Chazawi, Adami I).

Page 85: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

144

bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan

Prekursor Narkotika. Secara rinci, dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika mengatur secara tegas mengenai pengadaan narkotika,

impor dan ekspor narkotika, peredaran, label dan publikasi, pengobatan dan

rehabilitasi, pembinaan dan pengawasan, pencegahan dan pemberantasan,

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penghargaan,

dan ketentuan pidana. Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika diatur mengenai beberapa hal baru yakni mengenai Prekursor

Narkotika. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia

yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika.

Diundangkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika tidak lepas dari perkembangan tindak pidana narkotika itu sendiri.

Dalam ketentuan umum Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika tidak mengatur secara tegas mengenai definisi dari tindak pidana

narkotika. Tindak pidana narkotika sendiri terdiri dari dua frasa yakni tindak

pidana dan narkotika. Moeljatno mengatakan tindak pidana adalah perbuatan

yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukan.173

Dalam konteks tindak pidana narkotika maka perbuatan yang dilarang tersebut

adalah perbuatan yang dilarang sebagaimana yang diatur dalam Undang-

undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Suatu tindak pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh

hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur

173 Moelyatno, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum

Pidana, Bina Aksara, Jakarta, h. 11.

Page 86: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

145

hukum yang berlaku. Dalam definisi–definisi tersebut, unsur kesalahan telah

dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakikatnya adalah “perbuatan’ saja.

Perbuatan disini berisi kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan

atau kelakuan dan akibatnya.174 Narkotika sendiri zat atau obat yang berasal

dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang

dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana

terlampir dalam Undang-Undang ini. Dengan demikian tindak pidana narkotika

adalah perbuatan yang dilarang sehubungan dengan ketentuan narkotika.

Definisi tindak pidana narkotika dalam Undang-undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika tersirat secara implisit pada konsideran undang-

undang tersebut. Dalam konsideran dimaksud disebutkan :

Bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan,

mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan

pengawasan yang ketat dan seksama serta bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat

merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan

manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional

Indonesia

Merujuk pada konsideran sebagaimana yang diuraikan di atas maka

tindak pidana narkotika adalah perbuatan mengimpor, mengekspor,

memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan

Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama serta

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan penal

174 Moelyatno, 1987, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, h. 155.

Page 87: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

146

mengenai perbuatan apa yang dikriminalisasikan dapat dilihat pada ketentuan

pidana dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Adapun rumusan delik dalam undang-undang tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,

memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan

I dalam bentuk tanaman. (Pasal 111 ayat (1)).

2. Perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau

menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya

melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon. (Pasal 111

ayat (2)).

3. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,

menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman.

(Pasal 112 ayat (1)).

4. Perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika

Golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal

112 ayat (2)).

5. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I. (Pasal 113 ayat (1)).

6. Perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

Narkotika Golongan I yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1

(satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk

bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal 113 ayat (2)).

7. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

atau menyerahkan Narkotika Golongan I. (Pasal 114 ayat (1)).

8. Perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara

dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika

Golongan I yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu)

kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan

tanaman beratnya 5 (lima) gram. (Pasal 114 ayat (2)).

9. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,

mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I. (Pasal 115 ayat (1)).

10. Perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika

Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram

atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram.

(Pasal 115 ayat (2)).

11. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika

Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I

untuk digunakan orang lain. (Pasal 116 ayat (1)).

12. Perbuatan pecanduan narkotika terhadap orang lain atau pemberian

Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang

lain mati atau cacat permanen. (Pasal 116 ayat (2)).

Page 88: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

147

13. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,

menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II. (Pasal 117 ayat (1)).

14. Perbuatan perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan

Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal 117

ayat (2)).

15. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II. (Pasal 118

ayat (1)).

16. Perbuatan perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau

menyalurkan Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram.

(Pasal 118 ayat (2)).

17. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

atau menyerahkan Narkotika Golongan II. (Pasal 119 ayat (1)).

18. Perbuatan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan

Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal 119

ayat (2)).

19. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,

mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II. (Pasal 120

ayat (1)).

20. Perbuatan perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito

Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal 120

ayat (2)).

21. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika

Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II

untuk digunakan orang lain. (Pasal 121 ayat (1)).

22. Perbuatan pecanduan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian

Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang

lain mati atau cacat permanen. (Pasal 121 ayat (2)).

23. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,

menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III. (Pasal 122

ayat (1)).

24. Perbuatan perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan

Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal 122

ayat (2)).

25. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III. (Pasal 123

ayat (1)).

26. Perbuatan perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau

menyalurkan Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram.

(Pasal 123 ayat (2)).

27. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

atau menyerahkan Narkotika Golongan III. (Pasal 124 ayat (1)).

Page 89: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

148

28. Perbuatan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan

Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal 124

ayat (2)).

29. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,

mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III. (Pasal 125

ayat (1)).

30. Perbuatan perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito

Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal 125

ayat (2)).

31. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika

Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III

untuk digunakan orang lain. (Pasal 126 ayat (1)).

32. Perbuatan pecanduan Narkotika tehadap orang lain atau pemberian

Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang

lain mati atau cacat permanen. (Pasal 126 ayat (2)).

33. Perbuatan yang dilakukan oleh setiap penyalahguna berupa Narkotika

Golongan I bagi diri sendiri; Narkotika Golongan II bagi diri sendiri; dan

Narkotika Golongan III bagi diri sendiri (Pasal 127 ayat (1)).

34. Perbuatan yang dilakukan oleh Orang tua atau wali dari pecandu yang

belum cukup umur, yang sengaja tidak melapor. (Pasal 128 ayat (1)).

35. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,

menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan

Narkotika; memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; menawarkan untuk

dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,

menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan

Narkotika; membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor

Narkotika untuk pembuatan Narkotika. (Pasal 129)

36. Perbuatan yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu,

memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan,

memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu

muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan

tindak pidana. (Pasal 133 ayat (1)).

37. Perbuatan yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu,

memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan,

memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu

muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk

menggunakan Narkotika. (Pasal 133 ayat (2)).

38. Perbuatan dimana Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan

sengaja tidak melaporkan diri. (Pasal 134 ayat (1)).

39. Perbuatan dimana keluarga dari Pecandu Narkotika yang dengan sengaja

tidak melaporkan Pecandu Narkotika. (Pasal 134 ayat (2)).

40. Perbuatan dari pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan

kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika. (Pasal 135).

Page 90: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

149

41. Perbuatan yang menempatkan, membayarkan atau membelanjakan,

menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan,

menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau

mentransfer uang, harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda

bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang

berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor

Narkotika; menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan,

penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi,

simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik

dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak

berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau

tindak pidana Prekursor Narkotika (Pasal 137).

42. Perbuatan yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta

penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau

tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan (Pasal 138).

43. Perbuatan dari nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan

hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

27 atau Pasal 28 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika. (Pasal 139).

44. Perbuatan dimana Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan

hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

88 dan Pasal 89 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

(Pasal 140 ayat (1)).

45. Perbuatan dimana Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan

penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan

Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika. (Pasal 140 ayat (2)).

46. Perbuatan Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak

melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1)

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. (Pasal 141).

47. Perbuatan dimana Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian

atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan

hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum. (Pasal 142).

48. Perbuatan berupa saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam

pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di

muka sidang pengadilan. (Pasal 143).

49. Perbuatan dimana pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai

pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan

apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk

kepentingan pelayanan kesehatan; pimpinan lembaga ilmu pengetahuan

yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika

bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; pimpinan

Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan

untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau pimpinan

Page 91: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

150

pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang

bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau

mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan

pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan

ilmu pengetahuan. (Pasal 147).

Tindak pidana narkotika dilakukan dalam bentuk peredaran gelap yang

tidak hanya dilakukan di satu negara, melainkan lintas batas negara. Peredaran

gelap dilakukan oleh jaringan terorganisir, oleh sebab itu kejahatan peredaran

gelap narkotika dan prekursor narkotika merupakan kejahatan yang

terorganisir. Kejahatan atau crime menurut Larry J. Siegel adalah

a violation of societal rules of behavior as interpreted and expressed by the

criminal law, which reflects public opinion, traditional values, and the

viewpoint of people currently holding social and political power.

Individuals who violate these rules are subject to sanctions by state

authority, social stigma, and loss of status.175

(Terjemahan bebas)

Pelanggaran aturan sosial perilaku sebagaimana ditafsirkan dan

diungkapkan oleh hukum pidana, yang mencerminkan opini publik, nilai-

nilai tradisional, dan sudut pandang orang saat ini memegang kekuasaan

sosial dan politik. Individu yang melanggar aturan ini akan dikenakan

sanksi oleh otoritas negara, stigma sosial, dan hilangnya status).

Tindak pidana narkotikan dilakukan secara transnasional dengan

didukung oleh jaringan organisasi. Kondisi ini menjadikan tindak pidana ini

sebagai kejahatan terorganisasi. Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang

dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3 (tiga) orang

atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu tertentu dan bertindak bersama

dengan tujuan melakukan suatu tindak pidana Narkotika sebagaimana yang

175 Siegel, Larry J., 2011, Fourth Edition Criminology The Core, Wadsworth, Belmont,

h. 17.

Page 92: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

151

diatur dalam Pasal 1 angka 20 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

narkotika. Berdasarkan kriminalisasi yang diatur dalam Undang-undang Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka diatur beberapa perbuatan yang

tergolong dan dapat memungkinkan terjadinya peredaran gelap narkotika.

Adapun perbuatan-perbuatan tersebut meliputi:

1. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau

menyediakan Narkotika

2. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika

3. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika

4. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi

perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika.

5. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika

Menurut Pasal 35 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, ruang lingkup peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau

serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka

perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk

kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor,

produksi dalam negeri, dan/atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana

kebutuhan tahunan Narkotika. Teknologi diciptakan untuk mempermudah

kehidupan manusia. Teknologi menurut Achmad Baiquni adalah penerapan

sains (ilmu pengetahuan) secara sistematis untuk memengaruhi alam di

sekeliling kita dalam suatu proses produktif ekonomis untuk menghasilkan

sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia.176 Teknologi terhitung antara

176 Baiquni, Achmad, 1983, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Pustaka,

Jakarta, h. 6.

Page 93: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

152

sikap dan hasil budaya yang penting. Berdasarkan pengetahuan alam, teknik

bertujuan untuk menfaedahkan sumber-sumber alam agar terjamin kebutuhan

manusia hingga tercapai derajat hidup yang layak.177 Dari segi peruntukannya

maka teknologi menjadi sarana untuk meningkatkan derajat kehidupan

manusia, namun apabila disalahgunakan justru akan menghancurkan manusia.

Dalam kehidupan manusia banyak alasan yang dapat dikemukakan

sebagai penyebab timbulnya suatu perubahan di dalam masyarakat, tetapi

perubahan dalam penerapan hasil-hasil teknologi modern dewasa ini banyak

disebut-sebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial.178

Perubahan sosial terjadi karena suatu proses yang terjadi di dalam masyarakat

itu sendiri. Dalam setiap proses perubahan senantiasa akan dijumpai faktor-

faktor penyebab terjadinya perubahan, baik yang berasal dari luar masyarakat

itu sendiri maupun yang berasal dari luar masyarakat tersebut.179 Dalam kondisi

tersebut maka pola pikir masyarakat juga akan berubah. Perubahan sosial dapat

dilihat dari pecanduan narkotika sebagai bagian dari gaya hidup. Hal ini dapat

dilihat dari klasifikasi pecandu narkotika yang berasal dari gologan artiss, pilot

dan pengusaha. Kehadiran teknologi akan membuka peluang komunikasi yang

yang lebih luas, sehingga keinginan untuk mendapatkan narkotika akan lebih

mudah.

Kejahatan narkotika dilakukan dengan menggunakan modus operandi

yang modern dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil

177 Jalaluddin, 2013, Filsafat Ilmu Pengetahuan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 171. 178 Rahardjo, Satjipto, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta

Publishing, Yogyakarta, h. 96. 179 Soekanto, Soerjono et.al., 1993, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina

Aksara, Jakarta, hal. 17.

Page 94: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

153

kejahatan narkotika. Perkembangan kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah

menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Daerah-

daerah tujuan wisata, menjadi target bagi penjualan narkotika oleh jaringan

internasional. Kejahatan ini dikendalikan secara rapi, dilakukan di beberapa

negara dan melibatkan orang-orang yang berbeda kewarganegaraan. Kejahatan

narkotika merupakan kejahatan lintas batas negara.

Peredaran gelap narkotika sebagai kejahatan transnational secara implisit

dapat dilihat pada konsideran United Nations Convention Against Ilicit Traffic

in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances yang menyatakan “Aware that

illicit traffic generates large financial profits and wealth enabling transnational

criminal organizations to penetrate, contaminate and corrupt the structures of

government, legitimate commercial and financial business, and society at all its

levels.” (Sadar bahwa peredaran gelap menghasilkan keuntungan besar

terhadap keuangan dan kekayaan yang memungkinkan organisasi kejahatan

transnasional untuk menembus, mencemari dan merusak struktur pemerintahan,

bisnis komersial dan keuangan yang sah, dan masyarakat disemua

tingkatannya).

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur pula

tindak pidana yang dilakukan dalam hal pecanduan narkotika yakni perbuatan

pecanduan narkotika tanpa hak dan secara melawan hukum baik untuk diri

sendiri maupun untuk orang lain serta perbuatan dimana pecandu narkotika

yang sudah cukup umur dan keluarga pecandu dengan sengaja tidak

melaporkan diri. Kriminalisaasi juga dilakukan terhadap perbuatan yang

Page 95: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

154

menghalang-halangi atau mempersulit proses penyelesaian perkara tindak

pidana narkotika baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun pada

tingkat persidangan. Pemidanaan meliputi saksi yang memberikan keterangan

yang tidak benar dalam proses perkara tindak pidana narkotika dan prekursos

narkotika pada sidang pengadilan.

Subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelaku dalam

tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika meliputi subjek hukum yang karena jabatan dan

kewenangannya tidak melaksanakan kewajiban. Adapun subjek hukum tersebut

adalah:

1. Perbuatan dari nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan

hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

27 atau Pasal 28 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika.

2. Perbuatan dari pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan

kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

3. Perbuatan dimana Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan

hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

88 dan Pasal 89 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

4. Perbuatan dimana Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan

penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan

Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika.

5. Perbuatan Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak

melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1)

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

6. Perbuatan dimana Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian

atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan

hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum.

Page 96: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

155

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menentukan

kriminalisasi terhadap pejabat rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai

pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek

serta pimpnan farmasi yang mengedarkan narkotika selain untuk kepentingan

pelayanan kesehatan. Subjek hukum pimpinan lembaga ilmu pengetahuan juga

wajib menjamin pecanduan narkotika hanya untuk kepentingan pengembangan

ilmu pengetahuan. Penyimpangan yang dilakukan oleh lembaga ilmu

pengetahuan menyebabkan pertanggungjawaban dari pimpinan lembaga ilmu

pengetahuan dapat dipertanggungjawabkan.

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan

terobosan hukum yang responsif yang terlihat pada interkoneksi undang-

undang ini dengan upaya penanggulangan pencucian uang (money laundering).

Pengaturan ini terlihat pada Pasal 136 dan 137 Undang-undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika yang menjadikan tindak pidana Narkotika

dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagai predicate offence.

Predicate offence adalah delik-delik yang menjadi sumber uang haram (dirty

money) atau hasil kejahatan (criminal proceeds) yang kemudian dicuci.180 Pasal

136 mengatur mengenai perampasan oleh negara terhadap hasil-hasil yang

diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor

Narkotika.

Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika dinyatakan bahwa untuk lebih memperkuat kelembagaan,

180 Arief, Barda Nawawi, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 144. (Selanjutnya disebut Arief, Barda Nawawi III).

Page 97: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

156

diatur pula mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan

hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana

pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial. Perampasan yang

dilakukan oleh negara diharapkan memberikan manfaat dalam proses

rehablitasi terhadap pecandu dan korban penyalahguna narkotika.

Dalam Pasal 101 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika dinyatakan:

(3) Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak

pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian

uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan:

a. pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

b. upaya rehabilitasi medis dan sosial.

Perampasan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak pidana pencucian

uang berdasarkan putusan pengadilan yang tetap, dirampas untuk negara dan

dapat digunakan untuk biaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan

dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta untuk

pembayaran premi bagi anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap

adanya tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika.

Dengan demikian masyarakat dirangsang untuk berpartisipasi aktif dalam

Page 98: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

157

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika. Disamping itu harta dan kekayaan atau aset yang

disita negara tersebut dapat pula digunakan untuk membiayai rehabilitasi medis

dan sosial para korban penyalahguna Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 137 sendiri mengatur mengenai ancaman pidana terhadap

perbuatan yang menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, menitipkan,

menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menginvestasikan,

menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang, harta, dan

benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak,

berwujud atau tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika

dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika. Ketentuan ini juga memuat

ancaman pidana bagi perbuatan menerima penempatan, pembayaran atau

pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran

investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset

baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak

berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau

tindak pidana Prekursor Narkotika.

2.7.2 Hukum Acara Tindak Pidana Narkotika

Dalam menentukan hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan

perkara tindak pidana narkotika maka digunakan asas lex specialis derogat legi

generalis, dimana aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang

bersifat umum. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex

specialis derogat legi generalis, yaitu:

Page 99: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

158

a. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap

berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus

tersebut;

b. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-

ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);

c. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan

hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang

Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama

termasuk lingkungan hukum keperdataan.181

Asas lex specialis derogat legi generalis melegitimasi pemberlakuan

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam hukum acara

pidana narkotika dan mengesampingkan ketentuan hukum acara dalam

KUHAP. Menurut Pasal 73 Undang-undang Narkotika, penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan

dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan

peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang

ini. Dalam ketentuan ini terlihat pertalian antara hukum pidana umum dan

hukum pidana khusus. Pertalian ini diatur dalam Pasal 103 KUHP yang

menyatakan “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga

berlaku bagi perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan

lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan

lain.”

Proses perkara pidana kejahatan narkotika dimulai sejak tingkat

penyidikan. Penyidikan dalam KUHAP dibedakan atas penyelidikan dan

penyidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk

181 Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), UII Press,

Yogyakarta, h. 56.

Page 100: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

159

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana

guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini. Penyidikan adalah serangkaian tindakan

penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini

untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat

terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Dalam Undang-undang Narkotika diatur mengenai beberapa institusi

yang bertugas sebagai penyidik, yakni penyidik Polri, penyidik BNN dan

penyidik PNS. Ketentuan mengenai penyidik Polri merujuk pada ketentuan

dalam KUHAP. Menurut Pasal 7 ayat (1) Penyidik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:

a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak

pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal

diri tersangka;

d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Kekhususan dalam penyidikan dalam proses peradilan pidana pada tindak

pidana narkotika dapat dilihat dari kelembagaan BNN sebagai penyidik. Dalam

ketentuan Pasal 75 Undang-undang Narkotika ditentukan bahwa dalam rangka

melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang:

Page 101: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

160

a. melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan

tentang adanya penyalahgunaan dan

b. peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

c. memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika;

d. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;

e. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa

tanda pengenal diri tersangka;

f. memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana

dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika;

g. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan

h. Prekursor Narkotika;

i. menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika;

j. melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika di seluruh wilayah yuridiksi nasional;

k. melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat

bukti awal yang cukup;

l. melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di

bawah pengawasan;

m. memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;

n. melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat

(DNA), dan/atau tes bagian tubuh

o. lainnya;

p. mengambil sidik jari dan memotret tersangka;

q. melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman;

r. membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-

alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika;

s. melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika

yang disita;

t. melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

u. meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

v. menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan

penyalahgunaan dan peredaran gelap

w. Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Page 102: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

161

Saat tahap penyidikan, penyidik dapat melakukan beberapa tindakan

menurut hukum yakni penangkapan dan penyadapan. Pelaksanaan kewenangan

penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling

lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat penangkapan

diterima penyidik. Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam. Penangkapan

yang dilakukan oleh penegak hukum sangat bersinggungan dengan hak asasi

manusia, karena penangkapan berupa pengekangan sementara waktu kebebasan

tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan

penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan

Penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup

dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan

diterima penyidik. Penyadapan hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua

pengadilan. Penyadapan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu

yang sama. Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus

melakukan penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari

ketua pengadilan negeri lebih dahulu. Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu

kali dua puluh empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada ketua

pengadilan negeri mengenai penyadapan. Teknik penyidikan pembelian

terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 75 huruf j dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis dari

pimpinan.

Page 103: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

162

Selain kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 75 Undang-undang

Narkotika, penyidik BNN memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam

Pasal 80 yakni:

a. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti,

termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum;

b. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya

untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka

atau pihak lain yang terkait;

c. untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan

lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;

d. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

e. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk

melarang seseorang bepergian ke luar negeri;

f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi

terkait;

g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi

perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin,

lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang

diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika yang sedang diperiksa; dan

h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum

negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan

barang bukti di luar negeri.

Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN

berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.

Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan

Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi

dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia

sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana. Ketentuan

Page 104: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

163

mengenai Penyidik pegawai negeri sipil diatur dalam Pasal 82 Undang-undang

Narkotika yang menyatakan:

(2) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana berwenang melakukan

penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan

Prekursor Narkotika.

(3) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah

nonkementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang

Narkotika dan Prekursor Narkotika berwenang:

a. memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya

dugaan penyalahgunaan Narkotika

b. dan Prekursor Narkotika;

c. memeriksa orang yang diduga melakukan penyalahgunaan

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

d. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum

sehubungan dengan penyalahgunaan

e. Narkotika dan Prekursor Narkotika;

f. memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

g. menyita bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

h. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang adanya dugaan

penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;

i. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan

penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

j. menangkap orang yang diduga melakukan penyalahgunaan

Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik

Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada

penyidik BNN begitu pula sebaliknya. Penyidik Kepolisian Negara Republik

Indonesia atau penyidik BNN yang melakukan penyitaan Narkotika dan

Page 105: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

164

Prekursor Narkotika, atau yang diduga Narkotika dan Prekursor Narkotika, atau

yang mengandung Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib melakukan

penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan,

yang sekurang-kurangnya memuat nama, jenis, sifat, dan jumlah; keterangan

mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;

serta keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai Narkotika dan

Prekursor Narkotika; dan tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang

melakukan penyitaan.

Setelah penyidikan dinyatakan selesai maka dilakukan penuntutan.

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana

ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh

hakim di sidang. Penuntutan dilakukan oleh jaksa selaku penuntut umum.

Menurut Pasal 14 KUHAP, penuntut umum mempunyai wewenang:

a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau

penyidik pembantu;

b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan

dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),

dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan

dari penyidik;

c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau

penahanan lanjutan dan atau

d. mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

e. membuat surat dakwaan;

f. melimpahkan perkara ke pengadilan;

g. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari

dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik

kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang

telah ditentukan;

h. melakukan penuntutan;

i. menutup perkara demi kepentingan hukum;

Page 106: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

165

j. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab

sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

k. melaksanakan penetapan hakim

Setelah penuntut umum siap dengan dakwaannya, maka persidangan

tindak pidana narkotika digelar. Idealisme penegakan hukum yang dimiliki

aparat penegak hukum yang paling menentukan, karena dengan dukungan

idealisme yang kuat, aparat penegak hukum memahami kedudukan mereka

bukan semata-mata alat kekuasaan, tetapi kelompok “manusia pelayan” atau

agency of service. Kesadaran agency of service yang dapat menggugah mereka

melaksanakan pelayanan hukum yang cepat, tepat dan sederhana.182

Implementasi dari agency of service dilaksanakan dalam proses hukum perkara

kejahatan narkotika. Dalam Pasal 74 Undang-undang Narkotika dinyatakan:

(1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk

diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya.

(2) Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak pidana

Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan

kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi,

pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Dalam hukum acara tindak pidana narkotika terdapat beberapa

kekhususan yang berlaku lex specialist. Di sidang pengadilan, saksi dan orang

lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor

Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebutkan nama dan

alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya

identitas pelapor. Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan orang

lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor

182 Harahap, M. Yahya, Op.Cit. h. 53.

Page 107: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

166

Narkotika untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang. Kekhususan dan

perlindungan dalam tindak pidana narkotika merupakan tuntutan dari

perkembangan hukum acara yang menginginkan fair trial yakni peradilan yang

bebas dan tidak memihak. Tuntutan akan fair trial meliputi:

a. Proses penegakan hukum yang cepat (speedy trial).

b. Penegakan asas “imparsialitas” sesuai dengan prinsip presumption of

innocent dalam melemparkan jauh-jauh sikap dan citra penegakan

hukum yang bercorak prejudicare.

c. Tuntutan yang semakin keras atas penerapan adversarial system sesuai

dengan asa beyond a reasonable doubt.

d. Tuntutan yang semakin luas untuk menjadikan nilai-nilai HAM sebagai

ideologi universal dalam penegakan hukum. 183

Berdasarkan Pasal 100 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika dinyatakan bahwa saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan

hakim yang memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor

Narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan oleh negara dari

ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum,

selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara. Pada tahapan

persidangan, proses pembuktian merupakan bagian yang sangat penting dan

juga bagian yang paling mengancam dan memerlukan perlindungan hukum,

karena pada tahap inilah fakta-fakta hukum akan terungkap.

Pembuktian merupakan proses yang paling penting dalam persidangan.

Masing-masing pihak harus memiliki dalil-dalil yang mampu dibuktikan untuk

menerangkan suatu peristiwa yang dimaksud. Membuktikan adalah

menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dimaksudkan dalam

183 Harahap, M. Yahya, 2014, Permbahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;

Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.

Page 108: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

167

persengketaan.184 Menurut Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan

membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran

atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran

peristiwa tersebut.185 Di dalam teori dikenal dua sistem pembuktian yaitu:

a. Sistem pembuktian positif. Sistem pembuktian positif (positief wetelijk)

adalah sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja,

yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang. Seorang

terdawa bisa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya

didasarkan pada alat bukti yang sah. Alat bukti yang ditetapkan oleh

undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali

diabaikan.

b. Sistem pembuktian negatif. Sistem pembuktian negative (negatief

wettelijk) sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in raisone.

Hakim di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya

seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-

undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri. Jadi, di dalam sistem

negatif ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan

kesalahan terdakwa, yakni

1) Wettelijk: adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh

undang-undang.

2) Negatief: adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan

bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. 186

Dalam hukum pidana dikenal sistem pembuktian negatif. Menurut

sistem pembuktian negatif, untuk memutus perkara maka selain diperlukan

minimal dua alat bukti maka diwajibkan adanya keyakinan hakim. Menurut

Pasal 184 (1) KUHAP alat bukti terdiri dari:

a. Keterangan Saksi.

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan Terdakwa

184 Sasaid, Nur, 1996, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h.36. 185 Prodjohamidjojo, Martiman, 1984, Komentar Atas KUHAP: Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 11. 186 Alfitra, Op.Cit., h. 28-29.

Page 109: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

168

Pasal 86 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika memberikan tambahan alat bukti selain yang diatur dalam Pasal 184

(1) KUHAP berupa:

a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara

elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. Data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau

didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu

sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain

kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk didalamnya

tetapi tidak terbatas pada:

1. Tulisan, suara, dan/atau gambar;

2. Peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau

3. Huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki

makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau

memahaminya.

Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang digunakan di

dalam tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika atau yang menyangkut

Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk

negara. Dalam hal alat atau barang yang dirampas adalah milik pihak ketiga

yang beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan

tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat

belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama. Seluruh

harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika

dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana

Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan

untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

Page 110: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

169

upaya rehabilitasi medis dan sosial. Kebijakan perampasan aset ini akan sangat

bermanfaat dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas rehabilitasi bagi

pecandu dan korban penyalahguna narkotika.

2.7.3 Jenis Sanksi Dalam Tindak Pidana Narkotika

Proses peradilan pidana tidak dapat dilepaskan dari penegakan hukum

hukum. Dalam proses penegakan hukum (peradilan pidana) yang bertumpu

pada hukum pidana dan acara pidana, negara melalui organ-organnya

mempunyai hak dan kewenangan untuk menjatuhkan pidana (ius puniendi). Di

sini jika terjadi tindak pidana, maka terhadap pelakunya akan ditindak melalui

proses peradilan dengan memberi sanksi pidana.187 Penegakan hukum adalah

implementasi dari dianutnya konsep negara yang berdasarkan atas hukum.

Dalam hal ini, negara memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi

bagi para pelanggarnya. Negara memiliki hak dan kewenangan untuk

menghukum guna melindungi kepentingan dan fungsi negara dalam menjamin

keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Pemberlakuan suatu aturan hukum

di dalam masyarakat dilakukan secara adil.

Dipidananya seseorang yang tidak bersalah, merupakan kekeliruan

proses hukum. Demikian juga pemeo dalam hukum menyatakan “Under the

law, it is better that ten guilty persons escape, than that one innocent man

suffer”.188 (terjemahan bebas: Berdasarkan undang-undang, lebih baik bahwa

sepuluh orang bersalah melarikan diri, daripada satu orang yang tidak bersalah

187 Waluyo, Bambang, Op.Cit., h. 2. 188 Ali, Achmad, Op.Cit., h. 501.

Page 111: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

170

menderita). Hukum adalah aturan yang bersifat memaksa. Unsur memaksa

dalam hukum ditandai dengan adanya sanksi yang dijatuhkan bagi setiap orang

yang melanggar hukum. Rumusan tindak pidana juga berisi ancaman pidana

atau sanksi yang diletakkan pada tindak pidana tersebut. Ancaman pidana ini

ditunjukkan bagi ‘orang’ yang melakukan tindak pidana.189 Hoven dalam Andi

Hamzah, menyatakan yang dapat dipidana ialah pembuat.190 Ancaman pidana

karenanya ditunjukkan kepada orang yang melakukan perbuatan yang dilarang,

mengabaikan perintah yang seharusnya dilakukan, dan karena perbuatannya

menimbulkan akibat terlarang.

Ancaman pidana tidak ditunjukkan terhadap perbuatan terlarang

tersebut, melainkan ditunjukkan terhadap orang yang melakukannya. Hal ini

berdasarkan pada pandangan bahwa hanya oranglah yang dapat memiliki

kesalahan. Kesalahan itu sifat orang, dan bukan sifat dari suatu perbuatan.

“Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” berarti tiada pemindaaan tanpa kesalahan.

Pemindanaan di timpakan terhadap orang, dan bukan terhadap suatu perbuatan.

Perumusan tindak pidana dalam KUHP tidak sepenuhnya demikian.

Adakalanya ancaman pidana ditujukan terhadap’orang’, tetapi dalam rumusan

tindak – tindak pidana yang lain, ancaman pidana justru ditujukan terhadap

‘perbuatannya’.

Sanksi berfungsi untuk memberikan keadilan bagi masyarakat dan

menjaga ketertiban dalam suatu wilayah negara. Keadilan yang dimaksudnya

merupaan keadilan yang holistik, baik keadilan bagi pelaku, bagi korban

189 Saleh, Roeslan, 1983, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Aksara Baru,

Jakarta, h. 234. (selanjutnya disebut Saleh, Roeslan III). 190 Hamzah, Andi II, Op.Cit, h. 87.

Page 112: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

171

maupun bagi keluarga masing-masing. Sanksi juga bertujuan memberikan

kepastian hukum bagi terdakwa dalam perkara hukum yang dihadapinya. Pada

dasarnya ada tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan

suatu pemidanaan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri.

b. Membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan.

c. Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk

melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang

dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali.191

Dalam hukum pidana, sanksi merupakan hal yang sangat penting, bahkan

sanksi pidana dipandang sebagai sanksi yang paling ampuh ketika sanksi lain

tidak dapat mengembalikan keseimbangan yang terganggu. Sanksi pidana

berupaya membina seseorang untuk bertingkah laku yang baik sesuai dengan

tingkah laku umum. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada

umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung

nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial

tersebut menurut Bassiouni ialah:

a. Pemeliharaan tertib masyarakat;

b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-

bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;

c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;

d. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan

dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan

keadilan individu.192

191 Tolib Setiady, Op.Cit., h. 31. 192 Arief, Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana

Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.

33, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief IV).

Page 113: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

172

Pidana harus dijatuhkan sesuai dengan tujuan dalam penanggulangan

kejahatan, oleh sebab itu diperlukan standar dalam penjatuhan pidana. Pidana

membatasi seseorang untuk bertingkah laku dan menghindari pengulangan

terjadinya kejahatan. Herbert L. Packer, menyatakan

Recent philosophical discussion has produced a definition of punishment

that will serve as a starting point for our inquiry. This definition presents

the standard case of punishment as exhibiting five characteristics:

(1) It must involve pain or other consequences normally considered

unpleasant.

(2) It must be for an offense against legal rules.

(3) It must be imposed on an actual or supposed offender for his offense.

(4) It must be intentionally administered by human beings other than the

offender.

(5) It must be imposed and administered by an authority constituted by a

legal system against which the offense is committes.193

Terjemahan bebas

Diskusi filosofis baru-baru ini telah menghasilkan definisi hukuman yang

akan berfungsi sebagai titik awal untuk penyelidikan kami. Definisi ini

menyajikan kasus standar dari hukuman yang menunjukkan lima

karakteristik:

(1) Ini harus melibatkan rasa sakit atau konsekuensi lain yang biasanya

dianggap tidak menyenangkan.

(2) Itu harus untuk pelanggaran terhadap aturan hukum.

(3) Harus dikenakan pada pelaku yang sebenarnya atau seharusnya untuk

pelanggaran itu.

(4) Harus sengaja diberikan oleh manusia selain pelaku.

(5) Ini harus dikenakan dan dikelola oleh otoritas dibentuk oleh sistem

hukum terhadap pelanggaran yang berkomitmen.

Secara teoretis, sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan

istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat

perbuatannya. Selain ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap pelaku,

193 Packer, Herbert L., The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press,

California, h. 21.

Page 114: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

173

sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan

pelaku.194 Mengenai sanksi pidana, Muladi menyatakan:

Apapun bentuk sanksi pidana yang akan dijatuhkan, apakah itu merupakan

pidana (straft) yang menderitakan, ataupkah disebut sebagai maatregel,

yang secara hipotesis dianggap tidak menderitakan, tetapi bersifat

mendidik, tapi pasti keduanya akan dirasakan sebagai sesuatu yang tidak

enak. Apalagi kalau pidana tersebut berupa pidana (perampasan)

kemerdekaan (imprisonment). Berkaitan dengan hal inilah, persoalan

keadilan akan dirasakan oleh berbagai pihak yang merasa dirugikan oleh

tindak pidana. Dengan penjatuhan pidana, semua konflik harus selesai,

keseimbangan harus kembali dan mendatangkan rasa damai bahi

masyarakat. Tujuan hukum pidana dengan segala operasionalisasinya pada

hakikatnya adalah protection of public and the promotion of justice for

victim, offender and community. 195

Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, jenis-jenis sanksi pidana

diatur dalam Pasal 10 KUHP, seperti tersurat :

Pidana terdiri atas:

a. pidana pokok:

1. pidana mati;

2. pidana penjara;

3. pidana kurungan;

4. pidana denda;

5. pidana tutupan.

b. pidana tambahan

1. pencabutan hak-hak tertentu;

2. perampasan barang-barang tertentu;

3. pengumuman putusan hakim.

Majelis hakim dapat menjatuhkan pidana pokok saja, atau pidana pokok

beserta pidana tambahan. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama-

sama dengan pidana pokok. Penjatuhan pidana tambahan bersifat fakultatif,

dimana hakim tidak diharuskan untuk menjatuhkan pidana tambahan. Jenis

194 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung, h. 5. 195 Sunarso, Siswanto, 2011, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi

Hukum, Rajawali, Jakarta, h. 96.

Page 115: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

174

sanksi pokok sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP digunakan dalam

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam Undang-

undang Narkotika yang berlaku spesialis ditentukan pidana tambahan

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 130 ayat (2) yang menyatakan bahwa

selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat

dijatuhi pidana tambahan berupa:

a. pencabutan izin usaha; dan/atau

b. pencabutan status badan hukum.

Pidana mati merupakan sanksi yang paling berat terhadap pelaku tindak

pidana di Indonesia. Pidana mati dapat dikatakan sebagai salah satu pidana

tertua dari jenis pidana lainnya, seperti pidana ganti kerugian (denda), dan

pidana fisik (cambuk, pemotongan anggota tubuh, pasung dan lain sebagainya).

Sanksi ini hanya dijatuhkan pada kejahatan yang sangat berat seperti narkotika.

Pengaturan pidana mati sebagai salah satu jenis sanksi pidana tidak dapat

dilepaskan dari teori pembalasan. Teori pembalasan menyatakan bahwa

pemidanaan merupakan suatu pembalasan terhadap orang yang melakukan

penyerangan terhadap hak dan kepentingan hukum dari pribadi, masyarakat

atau negara yang telah dilindungi. Teori pembalasan hanya melihat perbuatan

dan pidana yang diberikan harus setimpal dengan perbuatan. Makin besar

kejahatan, maka makin berat pula pidananya, inilah yang dikemukakan oleh

Hegel.196 Sanksi pidana merupakan suatu pembalasan (berupa penderitaan)

196 Sahetapy, J.E., 1982. Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati

Pembunuhan Berencana, Jakarta, Rajawali, h. 202. (selanjutnya disebut Sahetapy, J. E. II).

Page 116: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

175

yang dijatuhkan penguasa terhadap seseorang tertentu yang dianggap bertindak

secara salah melanggar aturan perilaku yang pelanggaran terhadapnya

diancamkan dengan pidana.197 Nigel Walker memberikan 3 (tiga) pengertian

mengenai pembalasan (retribution), yaitu:

a) Retaliatory retribution, adalah dengan sengaja membebankan suatu

penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu

menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang

dilakukannya;

b) Distributive retribution, adalah pembatasan terhadap bentuk-bentuk

pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah

melakukan kejahatan. Mereka ini telah memenuhi persyaratan-

persyaratan lain yang dianggap perlu dalam rangka

mempertanggungjawabkan mereka terhadap bentuk-bentuk pidana;

c) Quantitative retribution, adalah pembatasan terhadap bentuk-bentuk

pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan, sehingga bentuk-

bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman yang

dianggap pantas untuk kejahatan yang telah dilakukan.198

Dalam sistem hukum di Indonesia, pidana mati dapat dijatuhkan

terhadap tindak pidana narkotika sebagaimana yang diatur dalam Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Adapun

perbuatan yang dapat dijatuhkan pidana mati adalah sebagai berikut:

a. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, memproduksi,

mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I

dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau

melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman

beratnya melebihi 5 (lima) gram (Pasal 113 ayat (2)).

197 Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal dari Kitab UU

Hukum Pidana dan Padanannya dalam Kitab UU Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka

Media Tama, Jakarta, h. 458. 198 Sahetapy, J.E., 1979, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana,

Alumni, Bandung, h.153 (selanjutnya disebut Sahetapy, J. E. III).

Page 117: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

176

b. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk

dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I, yang dalam

bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5

(lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5

(lima) gram (Pasal 114 ayat (2)).

c. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, dalam hal

pecanduan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika

Golongan I untuk digunakan orang lain, mengakibatkan orang lain

mati atau cacat permanen (Pasal 116 ayat (2)).

d. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, dalam hal

perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

Narkotika Golongan II, beratnya melebihi 5 (lima) gram (Pasal 118

ayat (2)).

e. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, menawarkan untuk

dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual

beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II beratnya

melebihi 5 (lima) gram (Pasal 119 ayat (2)).

f. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, dalam hal

pecanduan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika

Golongan II untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang lain

mati atau cacat permanen (Pasal 121 ayat (2)).

g. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, dalam hal

pecanduan Narkotika tehadap orang lain atau pemberian Narkotika

Golongan III untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang lain

mati atau cacat permanen (Pasal 126 ayat (2)).

Ancaman pidana mati bagi pelaku kejahatan narkotika berlaku secara

khusus terhadap percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak

pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan setiap orang yang menyuruh,

memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,

memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan

kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup

umur untuk melakukan tindak pidana narkotika. Pembuat undang-undang

membuat ancaman pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika karena

tindak pidana ini dipandang sebagai kejahatan yang serius. Pidana mati dalam

Page 118: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

177

tindak pidana narkotika ini memang menuai protes dari negara-negara lain yang

sudah menghapuskan pidana mati.

Eksekusi pidana mati terhadap warga negara asing yang melakukan

tindak pidana narkotika di Indonesia beberapa waktu lalu menuai kecaman dari

dunia internasional. Pidana mati dipandang sebagai suatu kejahatan terhadap

umat manusia. Sepanjang sejarah umat manusia, hukuman mati memang selalu

mengundang pro-kontra. Hak hidup dinilai bersifat inalienablerights. Bahkan,

dalam kondisi bagaimanapun hak hidup harus tidak bisa dikesampingkan (non

derogable rights). Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang paling

mendasar. Penghormatan terhadap hak asasi manusia ini merupakan ciri

penting negara hukum. HAM adalah hak hukum (legal right).199 Henkin

menyatakan bahwa “They (baca: HAM) are not merely aspirations or moral

assertions but, increasingly, legal claims under some applicable law.”200

Walaupun untuk hidup merupakan hak asasi manusia, namun hak tersebut

dapat dibatasi.

Penjatuhan pidana mati juga tidak boleh dijatuhkan bagi anak di bawah

umur. Pemberlakuan hukuman mati di Indonesia didasarkan pada

pertimbangan bahwa Kejahatan Narkotika adalah kejahatan serius yang

menyebabkan banyak korban dan kematian. Obat-obatan terlarang tidak hanya

memiliki efek fisik, tetapi mereka memiliki efek sosial. Penyalahgunaan obat-

obatan ini dapat menyebabkan individu untuk mengisolasi diri, yang dapat

199 Legal right menurut G.W. Paton,. 1972, A Textbook of Jurisprudence, Clarendon

Press, Oxford, h. 284 200 Henskin, Louis, 1988, The Right of Man Today, Centre for the Study of Human

Right-Columbia University, New York, h. 25

Page 119: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

178

menyebabkan depresi. Penyalahgunaan obat negatif dapat mempengaruhi

hubungan bahwa individu memiliki dengan orang-orang yang mereka cintai,

termasuk orang tua dan anak-anak mereka. Penyalahgunaan obat dapat

menyebabkan individu untuk melewati peristiwa penting, kehilangan

pekerjaan, dan mengendur cukup secara teratur .

Penyalahgunaan obat juga dapat menyebabkan individu untuk menjadi

agresif, sehingga sulit bagi mereka untuk membuat dan menjaga teman-teman.

Seseorang yang kecanduan obat memiliki waktu yang sulit menetapkan tujuan

dan sering kurang percaya diri. Secara teratur menggunakan obat-obatan dan

menyalahgunakan juga dapat menyebabkan kurangnya berikut motivasi dan

dorongan, perasaan marah dan kebencian terhadap orang lain, perubahan

drastis dalam kebiasaan makan dan tidur, keengganan untuk menangani

masalah-masalah pribadi, menyebabkan mereka menjadi lebih buruk,

ketidakstabilan emosi dan keinginan untuk bereksperimen dengan berbagai

obat-obatan.201 Penyalahgunaan narkotika akan membunuh generasi muda

secara perlahan-lahan. Oleh sebab itu Indonesia memberlakukan hukuman mati

sebagai pidana terberat dalam peredaran gelap narkotika.

Pidana penjara menjadi jenis sanksi yang paling dominan diambil oleh

hakim di Indonesia. Pidana penjara digunakan pada ketentuan pidana dalam

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pidana penjara

merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang

terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah

201 Project Know Understanding Addiction, The Effects of Drug Abuse, available at

http://www.projectknow.com/research/effects-of-drug-abuse/

Page 120: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

179

lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu menaati semua

peraturan tata tertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan yang

dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar

peraturan tersebut.202

Mengenai pidana penjara ini, Roeslan Saleh menyebutkan bahwa pidana

penjara adalah pidana utama diantara pidana hilang kemerdekaaan dan pidana

penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara

waktu.203 Pidana penjara yang dijatuhkan pada Undang-undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika adalah pidana penjara seumur hidup dalam

dalam waktu tertentu. Penjara dipandang sebagai suatu tempat penjeraan bagi

mereka yang pernah melakukan kejahatan. Hukuman penjara ditujukan kepada

penjahat yang menunjukkan watak buruk dan nafsu bejat.204 Perumusan

ancaman pidana penjara yang bersifat imperatif di Indonesia tersebut

merupakan warisan dari pemikiran aliran klasik yang menetapkan pidana

dengan definite sentence.205 Dominasi pidana penjara pada Undang-undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak lepas dari pandangan bahwa

tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang dipandang sebagai perilaku

buruk dari pecandu.

202 Setiady, Tolib, 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung,

h. 92. 203 Ibid. 204 Marpaung, Leden, 2008, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,

h. 108. 205 Arief, Barda Nawawi, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan

Dengan Pidana Penjara, Universitas Diponegoro, Semarang, h. 201-202. (Selanjutnya disebut

Arief, Barda Nawawi V).

Page 121: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

180

Dalam rumusan ketentuan pidana pada Undang-undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, pidana penjara yang diatur dalam undang-

undang ini adalah pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama

20 (dua puluh) tahun serta pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara juga

dapat menggantikan pidana denda apabila pelaku tidak dapat membayar denda.

Hal ini ditegaskan pada Pasal 148 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika yang menyatakan “Apabila putusan pidana denda

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku

tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi

pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang

tidak dapat dibayar.”

Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

pidana denda dirumuskan secara komulatif dengan pidana penjara. Pidana

denda mempunyai sifat perdata, mirip dengan pembayaran yang diharuskan

dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang

merugikan orang lain. Perbedaan pidana denda dengan perkara perdata adalah

pidana denda dibayarkan kepada negara atau masyarakat dan perkara perdata

dibayarkan kepada orang pribadi atau badan hukum. Pidana denda dalam

perkara pidana dapat diganti dengan pidana kurungan jika tidak dibayar.

Jumlah pidana denda tidaklah diperhitungkan sesuai dengan jumlah kerugian

yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan sebagaimana dalam perkara perdata.

Page 122: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

181

Pidana denda tetap dijatuhkan walaupun terpidana telah membayar ganti rugi

secara perdata kepada korban.206

2.8 Keterkaitan Antara Narkotika, Penggolongan Narkotika Dengan

Kualifikasi Pecandu dan Korban Narkotika

2.8.1 Penggolongan Narkotika

Narkotika merupakan zat yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

masyarakat. Zat ini berfungsi sebagai obat atau bahan yang bermanfaat di

bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan bermanfaat dalam

pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 35

Tahun 2009 secara tegas menyatakan “Narkotika hanya dapat digunakan untuk

kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi.” Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama)

rasa nyeri yang berasal dari daerah visceral dan dapat menimbulkan efek stupor

(bengong, masih sadar namun harus digertak) serta adiksi.207

Narkotika harus digunakan dalam dosis yang tepat, sebab narkotika

memiliki efek ketergantungan yang sangat besar. Menurut Soedjono, narkotika

merupakan sejenis zat yang bila digunakan (dimasukkan ke dalam tubuh) akan

membawa pengaruh terhadap si pemakai. Pengaruh tersebut berupa

menenangkan, merangsang dan menimbulkan khayalan (halusinasi).208

206 Anwar, Yesmil dan Adang, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana, Grasido, Jakarta, h.

143. (selanjutnya disebut Anwar, Yesmil dan Adang II). 207 Wijaya A.W. 1985, Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika,

Armico, Bandung, h. 145. 208 Soedjono D. 1977, Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara,

Bandung, h. 5.

Page 123: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

182

Penyalahgunaan narkotika juga berakibat fatal terhadap kesehatan pecandunya.

Oleh sebab itu peredaran narkotika diatur, diawasi dan dibatasi oleh peraturan

perundang-undangan. Mengenai pengawasan ini, Dikdik M. Arief Mansur dan

Elisatris Gultom mengatakan:

Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat karena saat ini

pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Di samping itu,

melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, penyebaran

narkotika sudah menjangkau hampir ke semua wilayah di Indonesia hingga

ke pelosok-pelosok. Daerah yang sebelumya tidak pernah tersentuh oleh

peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi sentra peredaran

narkotika. Begitu pula, anak-anak yang pada mulanya awam terhadap

barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar untuk

dilepaskan ketergantungannya.209

Berdasarkan fungsi narkotika, maka pemerintah menggolongkan

narkotika menjadi golongan I, golongan II dan golongan III sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yakni sebagai

berikut:

(1). Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke

dalam:

a. Narkotika Golongan I;

b. Narkotika Golongan II; dan

c. Narkotika Golongan III.

(2). Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk

pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan

merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

(3). Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

dijabarkan sebagai berikut:

209 Arief Mansur, Dikdik M. dan Elisatris Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan; Antara Norma dan Realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 101.

Page 124: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

183

a. “Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam

terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan

ketergantungan.

b. “Narkotika Golongan II” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan

sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan.

c. “Narkotika Golongan III” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan

banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan

ketergantungan.

Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan

pelayanan kesehatan namun jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat

digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah

mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas

Obat dan Makanan. Ruang lingkup Narkotika Golongan I meliputi:

a. reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas

dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang digunakan oleh

seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.

b. reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara

terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita

atau ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika atau

bukan.

Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik

alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan

Peraturan Menteri. Walaupun narkotika Golongan I dan Golongan II dapat

digunakan sebagai bahan baku obat, namun pecanduannya tetap diatur.

Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan

izin edar dari Menteri. Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika

Page 125: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

184

dalam bentuk obat jadi harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat

dan Makanan. Jenis-jenis narkotika Golongan I, II dan III diatur dalam

Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika dan perubahannya.

Menurut Pasal 9 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Menteri

menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan

dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk

keperluan ketersediaan Narkotika disusun rencana kebutuhan tahunan

Narkotika. Rencana kebutuhan tahunan Narkotika disusun berdasarkan data

pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi tahunan yang diaudit

secara komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan

pengawasan Narkotika secara nasional. Menteri memberi izin khusus untuk

memproduksi Narkotika kepada Industri Farmasi tertentu yang telah memiliki

izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah dilakukan

audit oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Badan Pengawas Obat dan

Makanan melakukan pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan

hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan

Narkotika.

2.8.2 Kualifikasi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika

Narkotika sangat bermanfaat untuk kepentingan pendidikan, pelatihan,

penelitian dan pengembangan. Menurut Pasal 139 Undang-undang Nomor 35

Tahun 2009, Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan

pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh

Page 126: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

185

pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan

menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi

setelah mendapatkan izin Menteri.Narkotika yang berada dalam penguasaan

Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi

pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,

dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus. Industri

Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi

pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,

dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan

menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran

Narkotika yang berada dalam penguasaannya.

Pecanduan narkotika yang tidak sesuai dengan peruntukannya dapat

menimbulkan efek kecanduan. Pecandu pada dasarnya adalah merupakan

korban penyahgunaan tindak pidana narkotika yang melanggar peraturan dan

mereka semua itu merupakan warga negara Indonesia yang diharapkan dapat

membangun negeri ini dari keterpurukan di segala bidang.210 Pasal 1 angka 13

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mendefinisikan

bahwa Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau

menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada

Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

210 Makarao, Moh. Taufik, Suhasril dan Moh Zakky A.S., 2003, Tindak Pidana

Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 74-75.

Page 127: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

186

Pecanduan narkotika yang melebihi dosis akan berdampak pada

pecandunya. Beberapa kelompok obat yang sering disalahgunakan yakni:

a. Kelompok depresent (downer) yaitu jenis obat yang berfungsi menguangi

aktivitas, membuat pecandu menjadi tertidur atau tidak sadarkan diri.

b. Kelompok stimulant (upper) yaitu jenis-jenis zat yang dapat merangsang

fungsi tubuh dan dapat meningkatkan gairah kerja (rasa bersemangat),

secara berlebih-lebihan.

c. Kelompok hallucinogen, merupakan obat/ zat kimia aktif atau obat yang

dapat menimbulkan efek halusinasi, dapat merubah perasaan dan pikiran. 211

Penentuan seorang tersangka dengan kualifikasi sebagai pecandu dan

korban penyalahguna akan menentukan jenis pidana bagi yang bersangkutan

dan kebijakan rehabilitasi baginya. Pecandu dan korban penyalahguna

mendapatkan hukuman yang lebih ringan dari pengedar dan pengimpor

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pecandu dan korban

penyalahguna juga dapat menjalani rehabilitasi sesuai dengan putusan

pengadilan. Secara teoritis, dalam teori pencegahan/ rehabilitasi dinyatakan

bahwa hukuman bertujuan untuk memperbaiki terpidana. Dengan demikian

kebijakan rehabilitasi sangat tepat dilakukan bagi pecandu dan korban

penyalahguna agar lepas dari ketergantungan narkotika.

Sasaran rehabilitasi bukan hanya mencakup pecandu narkotika,

melainkan pula korban penyalahgunaan Narkotika. Korban adalah mereka yang

menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang

mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan

kepentingan dan hak asasi yang menderita.212 Korban penyalahguna narkotika

211 BNN, 2007, Mengenal Penyalahgunaan Narkoba, Badan Narkotika Nasional

Republik Indonesia, Jakarta, h. 9. 212 Bambang Waluyo, Op.Cit., h. 9.

Page 128: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

187

menurut Penjelasan Pasal 54 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena

dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan

Narkotika. Kondisi ini dapat terjadi dimana korban tidak mengetahui bahwa ia

sedang mengkonsumsi narkotika, bisa jadi korban mengetahui hanya

mengkonsumsi vitamin saja.

Dilihat dari lingkup korban, pengertian korban tidak hanya sebatas pada

korban individu saja. Abdussalam menguraikan beberapa lingkup korban yakni:

a. Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat

penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun non materiil.

b. Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian

dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian

berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta

maupun bencana alam.

c. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang

didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia

dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan

kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang

telah mengalami gundul, longsong, banjir dan kebakaran yang

ditimbulkan oleh kebijakan pemerintahyang salah dan perbuatan

manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung

jawab.

d. Korban masyarakat, bangsa dan negara adalah masyarakat yang

diperlakukan diskriminatif, tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil

pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan

hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.213

Penyalahgunaan narkotika menimbulkan korban yang meluas.

Penderitaan tidak hanya bagi pecandu atau penyalahguna saja, melainkan lebih

dari itu. Keluarga pecandu dan penyalahguna akan kehilangan hak ekonomi,

karena pecandu dan penyalahguna tidak lagi produktif bekerja apabila sudah

213 Abdussalam, 2010, Viktimologi, PTIK, Jakarta, h. 6-7.

Page 129: BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF ... · Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta

188

pada tahap ketergantungan. Uang yang digunakan untuk membeli narkotika

juga sangat banyak, bahkan dalam kasus-kasus penyalahgunaan narkotika,

pecandu dan penyalahguna justru menjual barang-barang yang ada di rumah

atau mencuri barang berharga milik anggota keluarga untuk dijual dan dibelika

narkotika. Efek ketergantungan bagi pecandu dan korban penyalahguna

narkotika dengan sendirinya menghancurkan generasi muda dan artinya juga

menghancurkan masa depan bangsa, oleh sebab itu perang terhadap

penyalahgunaan narkotika ini terus dilakukan oleh semua negara.