21
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Desain Eksperimen Montgomery (1991) mendefinisikan desain eksperimen sebagai suatu usaha sistematis dalam perancangan desain dengan cara mengkondisikan beberapa faktor. Menurut Iriawan (2006), secara umum tujuan desain eksperimen antara lain; pertama untuk menentukan variabel input (faktor) yang berpengaruh terhadap respon, kedua untuk menentukan variabel input yang membuat repon mendekati nilai yang diinginkan, ketiga untuk menentukan variebel input yang menyebabkan variasi respon kecil. Pada tahun 1930, Dorian Shainin memperkenalkan sejumlah teknik desain eksperimen yang sederhana, mudah dipahami dan diaplikasikan, hemat biaya, kuat secara statistik, teknik desain tersebut adalah teknik klasik, taguchi, dan shainin/bothe. 2.2 Desain Eksperimen Dengan Metode Taguchi Taguchi (2001) menyatakan bahwa metode taguchi merupakan metodologi baru dalam bidang teknik yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas produk dan proses serta dapat menekan biaya kualitas dan resources seminimal mungkin. Sasaran metode tersebut adalah menjadikan produk tidak sensitif terhadap noise, sehingga disebut sebagai robust design. Ross (1996) menjelaskan bahwa filosofi metode taguchi terhadap kualitas terdiri dari tiga buah konsep, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.its.ac.id · sistematis dalam perancangan desain dengan cara mengkondisikan beberapa faktor. Menurut Iriawan (2006), secara umum tujuan desain eksperimen

  • Upload
    dodan

  • View
    230

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Desain Eksperimen

Montgomery (1991) mendefinisikan desain eksperimen sebagai suatu usaha

sistematis dalam perancangan desain dengan cara mengkondisikan beberapa faktor.

Menurut Iriawan (2006), secara umum tujuan desain eksperimen antara lain;

pertama untuk menentukan variabel input (faktor) yang berpengaruh terhadap

respon, kedua untuk menentukan variabel input yang membuat repon mendekati nilai

yang diinginkan, ketiga untuk menentukan variebel input yang menyebabkan variasi

respon kecil.

Pada tahun 1930, Dorian Shainin memperkenalkan sejumlah teknik desain

eksperimen yang sederhana, mudah dipahami dan diaplikasikan, hemat biaya, kuat

secara statistik, teknik desain tersebut adalah teknik klasik, taguchi, dan

shainin/bothe.

2.2 Desain Eksperimen Dengan Metode Taguchi

Taguchi (2001) menyatakan bahwa metode taguchi merupakan metodologi

baru dalam bidang teknik yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas produk dan

proses serta dapat menekan biaya kualitas dan resources seminimal mungkin.

Sasaran metode tersebut adalah menjadikan produk tidak sensitif terhadap noise,

sehingga disebut sebagai robust design.

Ross (1996) menjelaskan bahwa filosofi metode taguchi terhadap kualitas

terdiri dari tiga buah konsep, yaitu :

9

1. Kualitas harus didesain kedalam produk dan bukan sekedar memeriksanya.

2. Kualitas terbaik dicapai dengan meminimkan deviasi dari target, produk harus

didesain sehingga robust terhadap faktor lingkungan yang tidak dapat dikontrol.

3. Biaya kualitas harus diukur sebagai fungsi deviasi dari standart tertentu dan

kerugian harus diukur pada seluruh tahapan hidup produk.

Roy (2001) menjelaskan bahwa kelebihan metode taguchi dibandingkan

dengan desain eksperimen yang lain, meliputi ;

1. Metode taguchi lebih efisien karena memungkinkan untuk melaksanakan

percobaan yang melibatkan banyak faktor tetapi jumlah unit percobaan yang

diperlukan relatif kecil.

2. Metode taguchi memungkinkan diperolehnya suatu proses yang menghasilkan

produk lebih konsisten dan kurang sensitif (robust) terhadap variabilitas yang

disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan (noise). Hal ini

disebabkan karena robust design memperhatikan pengaruh faktor kontrol dan

faktor noise terhadap rata-rata dan variabilitas suatu performansi secara bersama-

sama.

3. Metode taguchi menghasilkan kesimpulan mengenai faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap suatu respon dan kesimpulan mengenai taraf-taraf faktor

terbaik yang akan menghasilkan respon yang optimum.

Metode Taguchi (robust design) memberikan cara yang sistematis dan efisien dalam

mengoptimalkan performansi desain, kualitas dan biaya (Unal, 1991).

10

2.3 Penerapan Metode Taguchi

Leksono (2002) telah melakukan penelitian di Sentra Industri Keramik Hias

Desa Dadaprejo Kodya Batu – Malang dengan melakukan kombinasi level faktor

optimal yang berpengaruh pada kualitas produk dengan metode taguchi berdasarkan

respon teknis pada analisis quality function deployment. Pada penelitian tersebut

dapat diketahui informasi mengenai kombinasi dan kontribusi optimal dari tiap-tiap

faktor yang berpengaruh terhadap kualitas produk keramik hias serta didapatkan

keseragaman parameter kualitas. Kekurangan dalam penelitian tersebut adalah

faktor-faktor lingkungan yang ikut berpengaruh terhadap respon diasumsikan berada

pada kondisi yang tetap, faktor noise (faktor yang tidak dapat dikendalikan langsung

oleh produsen) tidak diikutkan dalam proses perancangan eksperimen.

Markaban (2005) telah menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

daya serap air dan susut kering genteng dengan metode taguchi multi respon,

menggunakan prosedur TOPSIS dalam mengagregasi dua kombinasi optimal

variabel respon yang berbeda. Sebelum dilakukan prosedur TOPSIS dilakukan uji

MANOVA untuk melihat faktor-faktor yang perbedaan levelnya berpengaruh secara

signifikan terhadap kedua respon. Kekurangan dalam penelitian ini adalah faktor-

faktor lingkungan yang ikut berpengaruh terhadap respon diasumsikan berada pada

kondisi yang tetap.

Setyowati (2002) telah mengaplikasikan metode taguchi multi respon untuk

perbaikan kualitas botol produk dragon 30 ml. Pada penelitian tersebut dilakukan

pendekatan fractional factorial experiment (FFE) yang konsisten dan terstandard

sehingga dapat meningkatkan efisiensi dari percobaan yang dilakukan. Pada FFE

dipilih beberapa kondisi perlakuan untuk tetap mempertahankan prinsip

11

orthogonalitas diantara berbagai faktor dan kombinasi. Pada desain ini tidak semua

kombinasi dijalankan, tetapi tetap memenuhi syarat orthogonalitas dan

keseimbangan, sehingga eksperimen dapat dilakukan dengan lebih efisien tanpa

mengurangi hasilya.

Sholeh (2003) telah mengaplikasi metode taguchi untuk meningkatkan

kualitas kapur aktif (CaO). Faktor–faktor terkendali yang berpengaruh pada kualitas

antara lain : Jenis bahan baku, Jenis bahan bakar, Lama pembakaran. Kekurangan

dari penelitian tersebut adalah definisi kualitas hanya sebatas pada kuantitas dari

cacat produk, dimana produk akan mempunyai kualitas yang semakin bagus apabila

jumlah cacat dari hasil produksi semakin sedikit.

2.4 Metode Taguchi Yang Sustainable (Sustainable Robust Design)

Sustainble robust design adalah suatu desain yang bertujuan untuk

mengurangi dampak negatif lingkungan melalui desain yang lebih peka terhadap

lingkungan/green design (http://www.autodesk.com/revit)

Prinsip kunci dalam green design adalah sustainability. Dalam Burall (1991)

mendefinisikan sustainable development sebagai pengembangan produk yang

memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengabaikan kemampuan generasi masa depan

untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Menurut Karlson (2001), mendefinisikan green sebagai suatu aktivitas yang

dilakukan dalam mendesain produk dengan mempertimbangkan dampak terhadap

lingkungan yang diakibatkan oleh siklus hidup produk, untuk meningkatkan tingkat

kompetitif, meningkatkan nilai tambah market, menurunkan biaya atau untuk

memenuhi permintaan keberlangsungan dan pengaturan lingkungan.

12

Dalam Hundal (2000), menjelaskan bahwa design for environment memiliki

dua tujuan yaitu untuk mencegah limbah dan mengoptimalkan penggunaan material.

Mengurangi penggunaan material tidak hanya mengurangi biaya produk tetapi

dilakukan untuk mengurangi limbah, emisi dan energi yang dikeluarkan oleh

material.

Green design memiliki empat tujuan yang jika diimplementasikan dalam

desain produk akan dapat meningkatkan produksi yang ramah lingkungan,

berkualitas dan ekonomis. Tujuam green design antara lain : mengurangi limbah,

manajemen material, mencegah polusi, perbaikan produk.

Green produk didefinisikan sebagai produk yang memiliki kualitas yang

bagus dan mampu mendukung kesehatan lingkungan dan dapat memelihara

sumberdaya.

Kualitas yang dimaksud harus memiliki kriteria antara lain ;

• Kemampuan produk dalam mengurangi bahan beracun

• Kemampuan untuk digunakan kembali (reusability)

• Efisiensi energi

• Kemasan yang mampu diolah kembali

• Material yang telah didaur ulang

• Desain yang memiliki kemampuan untuk dimanufaktur kembali

• Proses yang ramah lingkungan

• Kemampuan untuk mengurangi dampak yang berbahaya bagi lingkungan

13

2.5 Penerapan Metode Taguchi Yang Sustainable

Mgana S.M (2003) telah menginvestigasi performansi dan feasibility dari

Upflow Anaerobic Sludge Bed (UASB) reaktor untuk pre-treatment wastewater

untuk meminimasi kadar COD dan BOD.

Suhandoko (2003) telah melakukan penelitian untuk meningkatan kualitas

dengan metode taguchi dalam rangka cleaner production. Melalui konsep cleaner

production, imbas dari hasil perancangan eksperimen adalah perbaikan lingkungan.

Kekurangan penelitian ini berada pada variabel respon yang belum menggambarkan

secara langsung parameter dampak yang ditimbulkan pada lingkungan.

2.6 Penerapan Metode Taguchi Yang Sustainable di UKM Kapur Aktif

Desa Pongangan dan Suci

Penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode sustainable taguchi

multi respon, dimana respon yang akan dibangun adalah parameter kualitas

sedangkan respon yang lain merupakan parameter dampak lingkungan. Pada

penelitian ini parameter respon dampak lingkungan diturunkan berdasarkan

identifiksi aspek dan dampak lingkungan yang paling signifikan dari sifat-sifat fisika

dan kimia produk kapur aktif sementara parameter kualitas didasarkan pada voice of

customer yang mengacu pada standard nasional indonesia.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan obyek amatan yang

berbeda, belum ada penelitian yang variabel responnya merupakan parameter

dampak lingkungan, sehingga akan memudahkan dalam kontrol lingkungan dan

dapat diketahui secara langsung seberapa besar dampak lingkungan yang

14

ditimbulkan oleh produk tersebut. Karena itulah dirasa perlu adanya suatu penelitian

yang arahnya pada perbaikan kualitas yang lebih ramah lingkungan.

2.7 Prosedur TOPSIS untuk Taguchi Multirespon

Penggunaan metode taguchi hanya dapat digunakan untuk persoalan respon

tunggal, sedangkan untuk persoalan multi respon tidak dapat digunakan. Akan tetapi

seringkali konsumen menginginkan untuk mempertimbangkan lebih dari satu

karakteristik kualitas (respon) pada produk secara simultan.

Tong dan Su (1995) memperkenalkan prosedur TOPSIS (Technique For

Order Preferrence For Similarity To Ideal Solution) untuk menangani persoalan

multi-dimensi dari metode taguchi. Prosedur TOPSIS dikembangkan melalui aplikasi

fuzzy set pada Multiple Attribute Decision Making (MADM).

2.7.1 Multiple Attribute Decision Making

Multiple Attribute Decision Making adalah proses pemilihan diantara

sejumlah alternatif yang masing-masing alternatif tersebut terdiri dari banyak atribut

yang saling bertentangan. Istilah “atribut” berhubungan dengan “tujuan” atau

“kriteria”. Setiap atribut mempunyai perbedaan pengukuran sehingga kepentigan

relatif masing-masing atribut dapat dinyatakan sebagai sekumpulan pembobot.

2.7.2 Prosedur TOPSIS

Prosedur ini digunakan untuk mengagregasi dua kombinasi optimal yang

berbeda untuk tiap variabel respon dengan mempertimbangkan bobot relative tiap

variabel respon. Asumsi yang digunakan dalam prosedur TOPSIS adalah tingkat

kepentingan relatif masing-masing respon yang berbentuk fuzzy. Untuk mengurangi

15

kesulitan perhitungan fungsi kerugian taguchi, maka TOPSIS menghitung indeks

performansi tiap perlakuan dengan menggunakan nilai kedekatan relatif. Indeks

performansi tersebut dinamakan nilai TOPSIS. Semakin kecil nilai TOPSIS maka

semakin baik alternatif kombinasi.

Langkah-langkah optimasi pada prosedur TOPSIS antara lain :

1. Transformasi tingkat kepentingan relatif tiap respon kedalam bentuk fuzzy

number.

- Menyatakan tingkat kepentingan relatif masing-masing respon dalam

bentuk linguistik, yang ditentukan dari pengalaman teknik dan

pertimbangan manajemen.

- Menetapkan skala formal untuk mengkonversi bentuk linguistik ke dalam

bilangan fuzzy yang bersesuaian. Sistem kala yang digunakan adalah skala

Chen dan Hwang.

- Menentukan skala konversi yang memuat semua istilah linguistik yang

digunakan, jika terdapat lebihdari 1 skala maka dipilih satu skala yang

memuat paling sedikit istilah linguistik sebagai konversinya.

2. Menandai crisp score untuk memilih skala konversi (fuzzy number)

- Melakukan transformasi bilangan fuzzy menjadi crisp score dengan

metode fuzzy scoring seperti pada tabel konversi crisp score.

- Menormalisasi crift score untuk memperoleh nilai bobot yang mewakili

tingkat kepentingan relatif masing-masing kriteria (variabel respon)

sehingga total bobot sama dengan satu.

3. Menghitung nilai S/N untuk masing-masing variabel respon dari hasil

percobaan berdasarkan tipe karakteristik kualitasnya.

16

4. Menghitung nilai TOPSIS tiap kombinasi perlakuan.

- Menghitung matrik keputusan yang telah dinormalisasikan rij dan matrik

keputusan normalisasi yang diberikan bobot vij dengan formulasi ;

kjniLij

Lijrijn

i

,...,1;,...,1,

1

2

===

∑=

........................................ (3.1)

............................................................................... (3.2) wjxrijvij =

Dimana, rij : Nilai matriks keputusan eksperimen ke-i, respon

ke-j

Lij : Nilai eksperimen ke-i, respon ke-j

vij : Nilai matriks keputusan terbobot eksperimen ke-i,

respon ke-j

wj : Bobot respon ke-j

- Menentukan solusi ideal (V*j) dan solusi ideal negatif (V-j);

• Solusi ideal ( ) ( ){ }miJjvijJjvijA ,...,2,1min,max '* =∈∈= .............. (3.3)

{ }3*

2*

1** ,, VVVA =

• Solusi ideal negatif

( ) ( ){ }miJjvijJjvijA ,...,2,1max,min ' =∈∈=− .............. (3.4)

{ }321 ,, −−−− = VVVA

- Menghitung ukuran pemisah tiap alternatif solusi

• Ukuran pemisah tiap alternatif terhadap solusi ideal

( )∑=

=−=n

jj miVvijSi

1

2** ,...,2,1, ................................... (3.5)

17

• Ukuran pemisah tiap alternatif terhadap solusi ideal negatif

( )∑=

−− =−=n

jj miVvijSi

1

2 ,...,2,1, .................................... (3.6)

Dimana, Si+ : Ukuran pisah alternatif solusi ideal eksperimen ke-i

Si- : Ukuran pisah alternatif solusi negatif eksperimen ke-i

V*j : Solusi ideal respon ke-j

V-j : Solusi negatif respon ke-j

- Menghitung kedekatan relatif (relative closeness) tiap-tiap alternatif

terhdap solusi ideal. Kedekatan relatif inilah yang disebut sebagai nilai

TOPSIS suatu alternatif.

miSS

SC

ii

ii ,...,2,1,*

* =+

= −

............................................... (3.7)

Dimana, C*i : Nilai kedekatan relatif eksperimen ke-i

- Menentukan level faktor yang optimal, yang antara lain termasuk

mengestimasikan efek faktor berdasarkan nilai TOPSIS serta menentukan

faktor kontrol yang optimal beserta level-levelnya.

2.8 Batu Kapur (Lime Stone)

Oates (1998) mendefinisikan batu kapur sebagai batuan padat yang

mengandung banyak kalsium karbonat, berwarna putih, abu–abu kuning tua, abu-abu

kebiruan, jingga dan hitam.

Berat jenisnya 2,6 – 2,8 gr/cm3 dan dalam keadaan murni berbentuk kristal

kalsit, terdiri dari CaCO3. apabila diberi larutan asam (HCL), batu kapur akan larut

dan mengeluarkan gas tak berbau yaitu CO2, kalsinasi batu kapur pada suhu agak

18

tinggi akan melepaskan gas CO2 dan sisanya disebut “quicklime“ yang terdiri dari

kalsium oksida (CaO). Apabila quiklime tersebut di beri air, maka akan terjadi

penghidaratan yang cepat menjadi kalsium hydroksida (Ca(OH)2) atau disebut

“hydrated lime“ (Oates,1998).

Kalsit dalam jumlah kecil terbentuk sebagai hasil reaksi air yang

mengandung karbonat dengan kalsium silikat. Selain itu merupakan juga komponen

dari batuan sediment.

Menurut Boynton (1980), kapur aktif adalah bahan galian yang banyak

digunakan pada :

1. Bahan bangunan, pengeras jalan dan untuk campuran bangunan.

2. Bahan baku untuk portland cement, semen alam dan kalk zandsteen.

3. Industri keramik, terutama dalam pembuatan gelas.

4. Industri kimia, untuk bahan baku pembuatan kalsium dalam pabrik gula,

pembuatan gas CO2, CaC2, CaO, bahan–bahan kedokteran, pasta, pencegah

penyakit tanaman dan untuk pembuatan pupuk.

5. Industri logam, kapur dipergunakan sebagai flux dan bahan bahan tahan api.

6. Bahan baku untuk seni budaya dan lithographi.

2.8.1 Sifat–sifat fisik dan kimia batu kapur (limestone)

Dalam Oates (1998), warna batu kapur menggambarkan tingkat dan

kealamian dari adanya pengotor (impurity). Warna putih mempunyai kemurnian

yang tinggi, warna abu-abu dan corak gelap disebabkan oleh material karbon atau

sulfida besi, kuning dan warna susu atau merah mengindikasikan adanya campuran

19

besi dan mangan. Jadi impurity pada batuan kapur akan menghasilkan perbedaan

warna dan pola.

Tabel 2.1. Tekanan Penguraian Karbon Dioksida

Temperatur (oC) Tekanan CO2 (atmospheres)

600

700

750

800

850

900

0,003

0,026

0,079

0,24

0,50

1,00

Tabel 2.1. mengindikasikan bahwa pada suhu 900oC, tekanan akan mencapai

1 atmosphere, hal ini menunjukkan bahwa pada suhu tersebut terjadi penguraian

kalsium karbonat.

Impurity yang biasanya ada pada batu kapur adalah galena (PbS), sphalerite

(ZnS), barite (BaCO3), haematite (Fe2O3) dan fluorite (CaF2).

Kalsinasi batu kapur mengacu kepada proses thermal decomposition menjadi

quicklime dan karbon dioksida.

Reaksi untuk thermal decomposition kalsium karbonate adalah ;

CaCO3 + Heat CaO + CO2

Reaksi untuk thermal decomposition magnesium karbonate adalah ;

MgCO3 + Heat MgO + CO2

Reaksi untuk thermal decomposition dolomite adalah ;

CaCO3 . MgCO3 + Heat(1) CaCO3 . MgO + CO2 ( 1 ) CaCO3 . MgO + Heat(2) CaO . MgO + CO2 ( 2 )

CaCO3 . MgCO3 + Heat(1+2) CaO . MgO + 2CO2 ( 3 )

20

Rate penguraian batu kapur pada proses kalsinasi dipengaruhi oleh ;

a. Karakteristik batu kapur

b. Distribusi ukuran partikel

c. Bentuk dari partikel

d. Temperatur pada daerah kalsinasi

e. Rate perpindahan panas antara gas dan partikel

Menurut Boynton (1980), untuk mengurangi proses pembakaran yang tidak

sempurna/tidak merata biasa dikurangi dengan memperkecil ukuran batu kapur pada

proses pembakaran, sehingga akan mengurangi impuritinya dan pembakaran yang

sempurna akan menghasilkan kandungan kapur (CaO) yang lebih tinggi.

2.8.2 Raw material untuk lime burning

Kualitas dari proses pembakaran tergantung pada :

a. Distribusi ukuran partikel

b. Bentuk

c. Kontaminasi dengan partikel tanah

d. Kebersihan permukaan

e. Konsistensi

Pemilihan bahan pembakar untuk lime-burning operation sebagai dasar

pertimbangan bahwa :

a. Biaya bahan bakar per ton hampir mencapai 40% - 50% biaya produksi

b. Ketidaksesuaian bahan bakar dapat menyebabkan permasalahan di sistem operasi

c. Jenis bahan bakar dapat mempengaruhi kualitas kapur, khususnya tingkat CaCO3,

reaktivitas, sulfur content, dan impurity seperti SiO2, Al2O3, dan Fe2O3

21

d. Jenis bahan bakar memberikan konstribusi yang berbeda terhadap dampak

lingkungan dari gas yang dikeluarkan

Pemilihan bahan bakar dapat menimbulkan emisi berupa karbon dioksida,

karbon monoksida, asap, debu, sulfur dioksida dan nitrogen oksida, yang

kesemuanya mempunyai dampak terhadap lingkungan.

Oates (1998), menyatakan bahwa dalam proses pembakaran dengan bahan

pembakar berupa kayu dan sejenisnya, emisi dominan yang ditimbulkan berupa

kandungan CO2.

2.8.3 Proses Produksi

Proses pembuatan kapur aktif sangat sederhana, diperlukan keahlian dalam

penatan batu kapur sehingga pembakaran bisa merata dan kualitas produk kapur yang

diinginkan dapat tercapai

Adapun tahapan yang dipakai dalam proses pembuatan kapur aktif adalah

persiapan bahan baku, penataan bahan baku, pembakaran dan pendinginan serta

pengemasan sebagaimana pada gambar 2.1.

Secara singkat proses pembuatan kapur aktif dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Penyiapan Bahan Baku

Batu kapur yang ada di tambang diangkut dengan truck untuk dilakukan

pembakaran. Adapun batu kapur (limestone) yang dipersiapkan berbentuk

bongkahan-bongkahan yang berukuran ± 20 cm s/d 50 cm yang diambil dari

tukang batu, dan peralatan yang digunakan adalah linggis, palu besar, sekop dan

pasak. Kapasitas rata-rata tungku pembakaran batu kapur berkisar 25 ton batu

kapur.

22

2. Penataan Batu Kapur

Pada tahap ini dilakukan penataan batu kapur dengan cara menumpuknya

sedemikian sehingga tumpukan batu yang sudah tertata dengan rapi tidak roboh,

jika penataan sudah selesai maka pemeriksaan dilakukan sekali lagi dengan tujuan

agar dalam waktu pembakaran tidak roboh. Penataan dibuat sedemikian sehingga

tersedia lorong/ruang untuk pembakaran. Biasanya tidak lebih dari 1/6 dari

ruang/space tungku pembakaran. Penataan ini dilakukan dengan cara manual dan

memerlukan waktu kurang lebih dua hari dengan 3 orang tenaga kerja.

3. Pembakaran

Di sentra industri pengepul batu kapur Desa Pongangan dan Desa Suci, bahan

pembakar menggunakan kayu kulitan (kayu lembaran), kayu pejal (kayu osok),

serbuk grajen, ataupun karet. Namun untuk bahan pembakar berupa karet sudah

tidak pakai karena mengingat emisi yang ditimbulkan sangat tinggi, secara fisik

berupa kepulan asap hitam yang sangat pekat dan berbau menyengat.

Suhu pemanasan yang dicapai dengan bahan pembakar seperti diatas

berkisar ± 700 oC dan ± 950 oC. Proses pembakaran dilakukan selama 4-5 hari,

akan tetapi untuk musim penghujan lama pembakaran bisa memakan waktu

sampai 7-8 hari.

4. Pengeringan

Setelah pembakaran selesai, dilakukan pendinginan dengan membiarkan

tungku pembakaran terhembus oleh udara bebas selama 1 hari. Pada saat proses

pendinginan, sisa-sisa bahan pembakar seperti arang dikeluarkan dari lubang

pembakar.

23

Pengambilan serbuk batu kapur (quicklime) dapat dilakukan dengan sekop

laras panjang yang terbuat dari kayu agar pengambilan dapat dilakukan dengan

efektif. Pengambilan serbuk kapur biasanya dilakukan selama 2 hari. Serbuk

kapur dikeluarkan untuk selanjutnya dilakukan penyortiran terhadap batu kapur

yang tidak bisa terbakar dengan sempurna (adanya batu curing).

START

Pengambilan Bahan

Baku Batu Kapur

Transportasi Dari Tambang ke Lokasi Pembakaran

Penyusunan Batu Kapur

Proses Pembakaran

Pendinginan

Gambar 2.1. Tahapan Proses Produksi Kapur Aktif

Ya

Tida

k

Baik

Pengantongan

Penyimpanan

Pemilihan Material

END

24

2.9 Aspek dan Dampak Lingkungan

Suratmo (1993) menjelaskan bahwa dalam hal menganalisis dampak

lingkungan, hal-hal khusus yang perlu dipertimbangkan pada pendugaan dampak

lingkungan suatu industri adalah aspek fisik dan kimia dari produk selama proses

produksi berlangsung. Salah satu dampak lingkungan hasil produksi suatu industri

adalah adanya limbah.

Limbah merupakan hasil sampingan dari proses produksi, adanya limbah

mengindikasikan adanya inefisiensi dalam proses. Limbah industri dapat terjadi pada

setiap tahapan proses produksi.

Limbah yang terjadi mempunyi aspek lingkungan yang berbeda satu dengan

yang lainnya ditinjau dari luasan dampaknya, keseriusan dampaknya, kemungkinan

terjadinya, lamanya waktu pemaparan, derajat kepulihan dampak dan lain-lain.

Untuk itu perlu adanya suatu pembobotan aspek lingkungan dan scoring aspek dan

dampak lingkungan penting untuk mengetahui seberapa besar dampak lingkungan

yang ditimbulkan masing-masing tahapan proses produksi.

Aspek adalah sesuatu yang dihasilkan dari suatu kegiatan produk utama di

dalam perusahaan, sedangkan dampak adalah efek dari aspek yang dirasakan oleh

lingkungan. Adapun pembobotan dan skoring aspek dan dampak lingkungan yang

digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pembobotan dan skoring aspek dan

dampak lingkungan sistem manajemen lingkungn ISO 14001 yang diperkenalkan

oleh BAPEDAL seperti pada tabel 2.2.

Bratasida (1998) menyatakan bahwa salah satu pokok pemikiran yang

mendasari ISO 14000 adalah ISO 14000 dapat diterapkan pada semua tipe dan skala

organisasi.

25

Wijayanto (2005) dalam penelitianya menggunakan skoring aspek dan

dampak lingkungan guna mengintegrasikan sistem manajemen lingkungan dan

integrated environment performance management system untuk mengukur dan

memonitor kinerja lingkungan serta untuk mengetahui pengaruh dari aktivitas

produksi terhadap dampak lingkungan.

Untuk mengidentifikasi tingkat signifikansi dampak lingkungan, baik skala

global, regional ataupun lokal dapat menggunakan skoring aspek dan dampak

lingkungan (Astuti, 2004).

26

Tabel 2.2. Skoring Aspek dan Dampak Lingkungan Faktor Lingkungan Nilai

A. Luasan Dampak a. b. c. d.

Berpengaruh di unit kerja yang bersangkutan Berpengaruh dalam area pabrik Berpengaruh dalam kompleks perusahaan Berpengaruh ke masyarakat

1 3 5 7

B. Keseriusan Dampak a. b. c. d.

Tidak ada resiko terhadap flora, fauna, fasilitas dan kesehatan Ada resiko terhadap flora, funa, fasilitas dan kesehatan Menyebabkan kerusakan pada flora, fauna, fasilitas dan kesehatan Menyebabkan kerusakan yang abadi

1 3 5 7

C. Kebolehjadian Dampak a. b. c. d.

Kecil sekali (Kecelakaan yang tidak diharapkan) Sesekali (Tidak direncanakan) Kemungkinan sering terjadi (Direncanakan) Tidak dapat dihindari (Pasti terjadi)

1 3 5 7

D. Waktu Pemaparan a. b. c. d.

Kurang dari sehari Kurang dari seminggu Kurang dari sebulan Lebih dari sebulan

1 3 5 7

Faktor Bisnis Nilai E. Peraturan Perundangan

a. b. c.

Tidak/belum diatur dalam PP Diatur dalam PP dan sudah dipenuhi Diatur dalam PP dan belum dipenuhi

1 3 5

F. Metode Pengendalian a. b. c. d.

Ada prosedur pengendalian dan dijalankan Belum ada prosedur (tertulis) tetapi ada aktivitas pengendalian Ada prosedur pengendalian tetapi tidak dijalankan Tidak ada prosedur dan tidak ada aktifitas pengendalian

1 3 5 7

G. Image masyarakat terhadap perusahaan a. b. c.

Baik Cukup Jelek

1 3 5

Aspek Lingkungan Signifikan 1 Total nilai dari masing-masing aspek lingkungan merupakan hasil perkalian

dari seluruh nilai kriteria. Total nilai : A x B x C x D x E x F x G

2 Aspek lingkungan ditetapkan signifikan (nyata). Apabila total nilai point 1 diatas lebih besar atau sama dengan 6.750 (Enam ribu tujuh ratus lima puluh)

Sumber : BAPEDAL

27

28