Upload
lylien
View
223
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemahaman Kerjasama Pemerintah dan Swasta Secara Umum
Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) adalah perjanjian kontrak antara sektor publik
(pemerintah) dengan pihak swasta dalam penyediaan pelayanan infrastruktur publik atau
pelayanan dasar lainnya dimana pelayanan tersebut secara tradisional biasanya
disediakan oleh pemerintah. (Bappenas, 2009). Bagi pemerintah, KPS dilakukan untuk
memperoleh keuntungan ekonomi dari adanya efisiensi, memperbaik posisi fiskal,
menumbuhkembangkan modal asing, dan memperluas skala sektor swasta (Kirkpatrik,
2002). Manfaat lain adanya pelaksanaan KPS adalah:
1. KPS memungkinkan pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur
dengan meminimalkan penggunaan APBN sehingga dapat menggunakan
anggaran yang tersedia untuk keperluan lainnya.
2. Pemerintah masih memiliki kendali strategis atas proyek dan pelayanan secara
keseluruhan
3. Dengan melibatkan keahlian swasta, KPS dapat meningkatkan kualitas dan
jumlah fasilitas
4. KPS menawarkan nilai uang dibandingkan jika fasilitas yang sama disediakan
secara konvensional, karena swasta memiliki insentif dan keahlian yang dapat
menurunkan biaya, memperpendek waktu penyediaan, serta meningkatkan proses
manajemen konstruksi serta fasilitas.
Tujuan yang diharapkan dengan adanya pelaksanaan KPS adalah untuk mengatasi
masalah-masalah yang terdapat di lapangan. Dalam hal ini, biasanya masalah terjadi dari
dua sumber, yaitu dari internal utilitas eksisting (penyedia layanan eksisting) atau karena
adanya kebutuhan masyarakat yang didukung adanya kebijakan dari pemerintah,
misalnya pencapaian MDG yang memerlukan biaya investasi dan jangka perjanjian
kerjasama yang beragam. Besar biaya investasi yang diperlukan dan jangka waktu
perjanjian kerjasama dapat diamati pada Gambar 2.1.
7
Gambar 2. 1 Grafik Skema KPS Berdasarkan Investasi dan Jangka Waktu Kerja Sama
[Departemen Pekerjaan Umum, 2006]
Perjanjian kerjasama memiliki beberapa jenis skema. Ada beberapa jenis skema yang
biasanya digunakan di negara berkembang diantaranya kontrak manajeman pelayanan,
co-ownership atau co-financing of the projects, mekanisme BOT, kerjasama informal
antara pemerintah dan sektor swasta, serta dukungan finansial atau insentif bagi
pelayanan oleh swasta (Rondinelli, 2002). Pada umumnya, skema kerjasama dapat
dipahami dalam pemahaman kerjasama yang lunak dan kerjasama yang keras. Kerjasama
paling lunak terjadi dalam bentuk pemerintah melakukan kontrak dengan pihak luar
untuk pengadaan jasa rekurtmen pegawai hingga jasa cleaning service. Kerjasama keras
yaitu melepas kepemilikan pemerintah di suatu BUMN/BUMD kepada pihak lain, baik
itu BUMN asing, swasta, manajeman BUMN/BUMD atau publik, melalui pola IPO atau
go public, employee & management buy out (EMBO), hingga private placement atau
mengundang mitra investor strategis (Sanjoyo dan Dwijowijoto, 2006).
Untuk melaksanakan KPS, perlu dilakukan pula kajian terhadap aspek-aspek pendukung
implementasi KPS. Hal ini merupakan hal yang penting, namun sering diabaikan atau
kurang diperhatikan kaitannya dengan kesiapan sektor publik sendiri dalam mengadakan
proyek KPS. Kajian ini diperlukan karena pada kenyataannya negara-negara di dunia
8
umumnya masih minim pengalaman dan keahlian dalam pengadaan KPS. Hal ini
disebabkan karena protokol-protokol yang telah dikembangkan masih dalam taraf uji
coba (Zhang,2006). Oleh sebab itu, maka Abdel-Aziz (2007) mengusulkan beberapa
prinsip penting dalam rangka implementasi KPS, yaitu (1) tersedianya kerangka hukum
atau institusional khusus KPS dan (2) tersedianya unit kebijakan dan pelaksana KPS.
2.2 Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Investasi Air Minum
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini lebih banyak lagi pemerintah kota dan
kabupaten di Indonesia mengambil inisiatif mengundang sektor swasta dalam pelayanan
air minum perpipaan di wilayahnya. Berbagai upaya telah dilakukan agar pihak swasta
tertarik untuk berinvestasi, dan istilah Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) mulai dikenal
secara luas. Masuknya pihak swasta di sektor pelayanan air minum yang sebelumnya
dikenal sebagai pelayanan “publik” oleh dinas maupun PDAM mulai dianggap sebagai
hal yang umum dan bahkan keberadaannya perlu didorong.
2.2.1 Penyediaan Air Minum di Indonesia
Infrastruktur air bersih merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat Indonesia.
Kebutuhan infrastruktur semakin lama semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan
penduduk yang diperkirakan mencapai 4% per tahun. Dengan semakin meningkatnya
kebutuhan masyarakat akan infrastruktur air bersih, maka proses pelaksanaan
pembangunan tidak dapat ditunda, bahkan dituntut untuk dapat segera mengakomodasi
dan mengantisipasi tuntutan masyarakat.
Pembangunan infrastruktur air bersih akan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Jumlah biaya tersebut kemungkinan besar tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah, apalagi
dengan kemampuan pemerintah saat ini. Saat ini dana yang diperoleh oleh pemerintah
kebanyakan berasal hasil kekayaan alam yang dimiliki oleh negara. Meskipun begitu,
kekayaan alam yang ada di Indonesia semakin lama semakin menipis, bahkan sebagian
telah habis.
Alternatif yang memungkinkan saat ini agar dapat dipenuhi kebutuhan yang ada, adalah
dengan cara menarik para investor, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk
9
menanamkan modalnya dengan sistem KPS. Untuk dapat menarik minat swasta, maka
diperlukan suatu iklim invesatasi yang kondusif, adanya perlindungan hukum, kejelasan
aturan main, dan dapat memberikan keamanan bagi investor, sehingga investasi yang
ditanamkan terjamin dan menguntungkan bagi semua pihak.
Di Indonesia sendiri, sistem KPS pada sektor air minum telah mulai diperkenalkan
sekitar tahun 1990 pada PDAM Bintaro Jaya. Hingga saat ini telah ada 25 PDAM yang
beroperasi dengan sistem KPS di Indonesia. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 2. 1 KPS yang Telah Beroperasi di Indonesia
No Jenis kerjasama dan
wilayah kerjasama
Total Investasi
(juta)
Periode
Kerjasama Investor
1
BOT Medan
- WTP 500 l/sec
- Pipa transmisi
US$ 5
25 Tahun
(2000 - 2025)
Lyonnaise Des Eaux
2
Batam Concession
- Production Capacity :
3000 l/sec
- Pipa transmisi
US$ 100
25 Tahun
(1996 - 2021)
Cascal By
Bangun Cipta Sarana
PT ATP
3
BOT Jambi
- WTP : 200 l/sec
- Operational in 1998
US$ 2 15 Tahun
(1996-2021)
PT. Noviantama
4 Part Palembang
Concession
- WTP : 80 l/sec
- Pipa transmisi
US$ 5 25 Tahun
(1998-2023)
PT. Bangun Cipta Sarana
5
BOT Pekanbaru
JO Existing + 600 l/sec
US$ 10
15 Tahun
(2005 - 2020)
PT. DAPENMA
6
BOO Serang Utara
- Production Capacity
:150 l/sec
- Pipa transmisi 40 km
US$ 5
1993
PT. Sauh Bahtera
Samudra
7
Western Part of Jakarta
Concession
- Production Capacity :
6200 l/sec
- Pipa transmisi
US$ 225
25 Tahun
(1997-2022)
PT. Palyja
10
8
Eastern Part of Jakarta
Concession
- Production Capacity :
6500 l/sce
- Pipa transmisi
US$ 225
25 Tahun
(1998 - 2023)
PT. Thames
PAM Jaya
9
JO Cisadane
- Operation of WTP 3000
l/sec
25 Tahun
(1998 - 2023)
Tirta Cisadane
10
BOT Serpong
- WTP 50 l/sec
- Pipa transmisi
US$ 2,5
25 Tahun
(1997 - 2022)
Bintang Jaya
11
BOT Lippo Karawaci
- WTP : 120 l/sec
- Pipa transmisi
US$ 10
25 Tahun
(1999 - 2024)
Lippo Karawaci
Full Private
12
BOO Bintaro Jaya
- Production Capacity :
100 l/sec
- Pipa distribusi
US$ 10
1990
Pembangunan Jaya
13
BOT Cikampek
- Improvement : 60 l/sec
operated of 2000 SR
US$ 0,5
25 Tahun
(2000 - 2025)
14
BOO Bekasi (Kemang
Pratama)
- Production Capacity :
50 l/sec
- Pipa transmisi
US$ 10
1993
PT. Kemang Pratama
15
BOO Hunday Industrial
Estate
- Water Supply system :
50 l/sec
US$ 5
1994
PT. Hunday
16
BOO Kota Legenda
- Water Supply System
25 l/sec
(WTP + Pipes)
US$ 2,5
1995
PT. Cikarang Permai
17
BOO Bukit Indah
Cikarang
- WTP 150 l/sec
- Pipa distribusi
US$ 10
1998
PT. Bukit Indah
Full Private
18
Subang
- BOT : 50 l/sec
- Pipa distribusi
US$ 2,5 20 Tahun
(2005 - 2025)
PT. MLD
19
Gajah Mungkur
(400 he 600 l/sec)
US$ 2
20 Tahun
(2006-2026)
PT. Tirta Gajah
Mungkur
11
20
BOT Bawen
- WTP 250 l/sec +
distribusi
US$ 10
2004
APAC INTI
Full Private
21
BOT Kabupaten Sidoarjo
- Production Capacity :
200 l/sec
+ 450 l/sec
US$ 2,5
US$ 3
(1998 - 2023)
(2005 - 2030)
PT. Vivendi
PT. Hanarida
22
BOT Denpasar
- Production Capacity :
300 l/sec
- Supply to Nusa Dua and
South Bali region
US$ 10
25 Tahun
(1995 - 2020)
PT. Tirta Artha
Buana
23
BOT Samarinda
Construction of :
- WTP : 400 l/sec
- Transmission pipe
US$ 5
25 Tahun
(2004 - 2029)
WATTS
24
BOT Banjarmasin
Construction of :
- WTP 500 l/sec
US$ 5
5 Tahun
(2005 - 2010)
PT. Adi Karya
25
BOT Tangerang City
25 Tahun
(2006 - 2031)
Gadang Berhad
Sumber : BPPSPAM, 2008
2.2.2 Kerangka Peraturan Perundang-undangan
Landasan hukum dalam rangka kerjasama pemerintah dan swasta adalah unsur
perundang-undangan dan peraturan-peraturan mulai dari Undang-Undang Dasar,
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri,
Keputusan Menteri, Peraturan Daerah, dan lainnya. Peraturan-peraturan ini menjadi dasar
dilaksanakannya kerjasama dengan pihak swasta. Peraturan perundangan yang secara
umum terkait dengan kerjasama pemerintah dan swasta dalam investasi air minum di
Indonesia adalah sebagaimana dideskripsikan secara singkat di bawah ini :
a. Perpres No 67/ 2005 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha
dalam penyediaan infrastruktur
Perpres ini mengatur mengeni prinsip, jenis, identifikasi dan proses pengadaan,
tarif dan resiko, perjanjian dan ijin perusahaan. Proyek Kerjasama Penyediaan
Infrastruktur antara Menteri/ Kepala Lembaga/ Kepala Daerah dengan Badan
Usaha dilakukan dengan tujuan untuk :
12
a. Mencukup kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan dalam penyediaan
Infrastruktur melalui pengerahan dana swasta;
b. Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui
persaingan sehat;
c. Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam Penyediaan
Infrastruktur;
d. Mendorong digunakannya prinsip pengguna membayar pelayanan yang
diterima, atau dalam hal-hal tertentu mempertimbangkan kemampuan
membayar pengguna.
b. UU NO. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya (Undang-undang
Otonomi), kewenangan di sektor pelayanan air minum dimiliki oleh pemerintah
kota/kabupaten. DPRD merupakan bagian dari pemerintahan daerah yang tidak
hanya memiliki fungsi legislatif, akan tetapi juga fungsi pengawasan terhadap
pemerintah daerah. Berdasarkan Undang-undang Otonomi, Peraturan Daerah
yang dikeluarkan oleh pemerintah kota/kabupaten atas persetujuan DPRD
merupakan sumber hukum yang penting di daerah. Dalam kaitannya dengan hal
tersebut, di beberapa daerah telah diterbitkan Peraturan Daerah tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Swasta (contohnya di Kabupaten Tangerang, Kota Bekasi,
Gresik).
c. UU NO. 5/1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan
Ekosistemnya
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan
terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan
ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Menurut undang-undang ini, air dan
sumber air diselenggarakan oleh negara dan negara berwenang untuk mengelola
serta mengembangkan air dan atau sumber-sumber air; menyiapkan dan memberi
izin penggunaan air atau daya air; menetapkan prosedur perencanaan air dan
13
sumber-sumber air; memberi ijin operasi usaha air bagi badan usaha maupun
individu.
d. UU NO. 23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya mewajibkan perusahaan
penerima KPS pelayanan air minum memiliki Analisa Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL).
e. UU NO. 1/1967 Tentang Penanaman Modal Asing
UU No. 1/1967 (sebagaimana telah beberapa kali dirubah, terakhir dengan UU
No. 7/1983) dan peraturan pelaksanaannya mengatur mengenai prosedur
pendirian perusahaan Penanaman Modal Asing. Dalam peraturan ini disebutkan
bahwa dalam perusahaan pelayanan air minum Penanaman Modal Asing,
sekurang-kurangnya 5% (lima persen) sahamnya harus dimilliki oleh perorangan
atau badan hukum Indonesia.
Adapun peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai KPS
pelayanan air minum adalah sebagai berikut di bawah ini.
a. KEPPRES 7/1998 tentang kerjasama pemerintah dan badan usaha swasta
dalam pembangunan dan atau pengelolaan infrastruktur
Selain mengatur mengenai prosedur pemilihan badan usaha dalam rangka
kerjasama pemerintah dengan badan usaha, Keppres juga mengatur ketentuan-
ketentuan yang harus ada dalam perjanjian kerjasama, yaitu:
1) lingkup pekerjaan;
2) jangka waktu;
3) tarif pelayanan, dalam hal kerjasama menyangkut kegiatan
4) pengelolaan infrastruktur;
5) hak dan kewajiban, termasuk resiko yang harus dipikul para pihak;
6) sanksi dalam hal pihak-pihak tidak memenuhi ketentuan perjanjian;
7) penyelesaian perselisihan;
14
8) pemutusan atau pengakhiran perjanjian; dan
9) pengembalian infrastruktur atau pengelolaannya kepada pemerintah
daerah/PDAM.
b. KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NO. 43/2000 tentang pedoman
kerjasama perusahaan daerah dengan pihak ketiga
Kepmendagri ini mengatur bahwa kerjasama antara PDAM dengan pihak ketiga
harus memperoleh persetujuan prinsip dari Kepala Daerah. Perjanjian harus
dibuat dengan akta notaris, dan perusahaan asing yang akan menjadi pihak dalam
kerja sama wajib memiliki ijin atau rekomendasi dari pejabat berwenang di
negaranya.
c. PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 416/MENKES/PER/IX/1990
tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air.
Peraturan Menteri ini (sebagaimana telah dirubah dengan Keputusan Menteri
Kesehatan No. 907/MENKES/sk/VII/2002) mengatur bahwa air yang
didistribusikan oleh PDAM harus memenuhi syarat kualitas air minum. Setiap
pengelola penyedia air minum yang melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan ketentuan tersebut yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan
masyarakat serta merugikan kepentingan umum dapat dikenakan sanksi
administratif dan atau sanksi pidana.
d. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NO. 2 TAHUN 1998 tentang
pedoman penetapan tarif air minum pada perusahaan daerah air minum
Menurut Peraturan Menteri ini, tarif air minum harus ditetapkan dengan
didasarkan pada pemulihan biaya, keterjangkauan, efisiensi pemakaian,
kesederhanaan dan transparansi.
Tingkat biaya penetapan tarif terdiri dari tiga macam, yaitu biaya rendah, biaya
dasar, dan biaya penuh, dengan uraian sebagai berikiut :
“biaya rendah” terdiri dari biaya operasional, pemeliharaan dan
admisnistrasi;
15
“biaya dasar” terdiri dari biaya rendah ditambah dengan faktor pinjaman
dan bunga;
“biaya penuh” terdiri dari biaya rendah ditambah depresiasi, biaya
perolehan dan faktor investasi yang berjumlah 10% dari total jumlah aset
yang berkaitan.
e. KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH
NO. 4409/KPTS/TAHUN 2002
Peraturan Menteri ini mengatur mengenai pedoman teknis pelaksanaan kerjasama
antara Pemerintah dan badan usaha swasta. Petunjuk teknis meliputi penyiapan
kegiatan investasi, pelaksanaan prakualifikasi kegiatan investasi, pelelangan
kegiatan investasi, penyiapan perjanjian dan pelaksanaan pengaturan, monitoring
dan alih milik kegiatan investasi.
f. PERATURAN DAERAH
Setelah diberlakukannya otonomi daerah, Peraturan Daerah merupakan instrumen
hukum yang penting di daerah. Peraturan Daerah dikeluarkan oleh Kepala Daerah
atas persetujuan dari DPRD. Namun demikian ketentuan Peraturan Daerah tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang
berada di atasnya.
Untuk mendorong sektor swasta agar meningkatkan investasinya diperlukan
pengembangan kerangka hukum, peraturan, dan institusi yang menunjang. Oleh sebab
itu, semua Undang-undang dan peraturan yang berhubungan dengan air bersih KPS akan
menjadi dasar pembentukan model jaringan ANP.
2.2.3 Karakteristik Skema-Skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Skema-skema KPS yang saat ini tersedia dan dapat dikembangkan antara lain adalah
service contract, management contract, lease contract, BOT contract, dan concession
contract (ADB, 2000; Gleick, et.al, 2002). Kelima skema KPS bisa dibedakan
berdasarkan struktur kepemilikan aset, tujuan dilakukannya kerjasama, kewenangan
16
dalam pengelolaan aset, sumber modal investasi, pihak yang menanggung resiko
komersial, durasi kerjasama, jenis pelayanan yang diselenggarakan, jumlah modal swasta
yang dibutuhkan, sumber pembiayaan modal kerja, pengaturan tarif serta kewenangan
pengmpulan tarif. Pengertian dari kelima skema utama tersebut dijelaskan pada bagian
berikut ini.
a. Service Contract ( Kontrak Pelayanan)
Pada kontrak pelayanan, pemerintah memberikan wewenang kepada swasta dalam
kegiatan operasional, perawatan dan kontrak pelayanan pada infrastruktur yang
disediakan oleh pemerintah. Pada jenis kontrak ini, pihak swasta harus membuat suatu
pelayanan dengan harga yang telah disetujui dan harus sesuai dengan standar kinerja
(performance) yang telah ditentukan oleh pemerintah. Contoh dari kontrak pelayanan ini
dalam pengelolaan infrastruktur air minum adalah pada pengoperasian WTP (water
treatment plant), pendistribusian air, pembacaan meteran air, penarikan dan pengumpulan
tagihan, serta operasional dan perawatan pipa.
Bagi pihak swasta, perolehan keuntungan dan biaya yang digunakan untuk pengembalian
biaya operasi serta pemeliharaan didapat dari pemerintah atau dengan cara memungut
biaya pemakaian dari pemakai layanan infrastruktur yang bersangkutan.
Pilihan kerjasama ini bermanfaat apabila pemerintah ingin meningkatkan efisiensi,
mendapatkan alih teknologi kemampuan teknis, serta dalam menghadapi masalah tarif
yang rendah dimana untuk mengubahnya diperlukan kebijakan politis dan penyesuaian
peraturan yang tidak mudah. Skema dari kontrak pelayanan ditunjukkan pada Gambar
2.2.
17
Investasi
PDAM
Pelanggan
Pemasok Air
Baku
Operator
(Swasta)
2.1
2.2
1.1
1.2
3.1
3.2
1 2
3
Gambar 2. 2 Skema Service Contract
(Sumber. Departemen Pekerjaan Umum, Maret 2006)
Keterangan :
1. Kontrak Pelayanan tanpa penanaman Modal Swasta
1.1. Imbalan Pelayanan
1.2. O&P, Penagihan Rekening, Penurunan Kebocoran Air (UFW),
pembacaan Meter
2. Kontrak Penyediaan Air Baku
2.1. Rekening Air Baku (Rp / m3)
2.2. Penyediaan Air Baku
3. Perjanjian Pelanggan dengan PDAM
3.1. Pelayanan Air Bersih
3.2. Rekening Air Bersih (Rp/ m3)
b. Mangement Contract ( Kontrak Kelola)
Mangement Contract atau kontrak kelola (Inmendagri No. 21/1996) merupakan bentuk
kerjasama antara pemerintah dan swasta dimana pihak swasta diberikan tanggung jawab
untuk menyediakan jasa pengelolaan atas sebagian atau seluruh sistem infrastruktur
tertentu, antara lain pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas serta pemberian layanan
kepada masyarakat dan penyediaan modal kerjanya.
18
Untuk menutupi biaya pengelolaan yang diperlukan, maka pihak swasta akan menerima
jasa manajemen dari pemerintah atau mendapat kewenangan untuk memungut biaya
pemakaian fasilitas dan layanan yang telah dilakukan.
Pilihan kerjasama ini bermanfaat apabila pemerintah menginginkan efektivitas pelayanan
namun menghadapi kendala tarif atau jika pemerintah memerlukan sistem pengaturan
lainnya yang memerlukan pertimbangan sosial dan politik. Skema kontrak kelola
ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Investasi
PDAMPemasok Air
Baku
Operator
(Swasta)
PelangganRekening
Escrow
2.1
2.2
1.2
3.1
1.1
3.2
1
3
2
Gambar 2. 3 Skema Mangement Contract
(Sumber. Departemen Pekerjaan Umum, Maret 2006)
Keterangan :
1. Kontrak Pengelolaan + Penanaman
Modal Swasta
1.1. Imbalan Pelayanan
1.2. O&P, Penagihan Rekening
1.3. Penurunan Kebocoran Air (UFW)
1.4. pembacaan Meter
2. Kontrak Penyediaan Air Baku
2.1. Rekening Air Baku (Rp / m3)
2.2. Penyediaan Air Baku
3. Perjanjian Pelanggan dengan PDAM & Swasta
19
3.1. Pelayanan Air Bersih
3.2. Rekening Air Bersih (Rp/ m3)
c. Lease Contract ( Kontrak Sewa)
Kontrak sewa merupakan bentuk kerjasama dimana pihak swasta menyewa suatu fasilitas
infrastruktur tertentu dalam jangka waktu tertentu dari pemerintah. Fasilitas infrastruktur
tersebut kemudian dioperasikan dan dipelihara. Pihak swasta juga menyediakan modal
kerja untuk pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur, termasuk melakukan
penggantian pada bagian-bagian tertentu.
Pada kontrak sewa, kepemilikan aset tetap berada di tangan pemerintah. Untuk
pengembalian biaya sewa, biaya operasi, biaya pemeliharaan, biaya pemberian pelayanan
pada masyarakat, dan keuntungan bagi pihak swasta, maka pihak swasta memperoleh
wewenang untuk memungut biaya dari pihak yang menggunakan fasilitas dan layanan.
Apabila masa sewa telah selesai, maka pihak swasta mengembalikan aset kepada
pemerintah dalam kondisi yang sesuai dengan apa yang ditentukan pada saat perjanjian
kerjasama. Skema kontrak sewa ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Investasi
PDAMPemasok Air
Baku
Operator
(Swasta)
PelangganRekening
Escrow
2.1
2.2
2
3.1
1.1
1.2
3.2
b
3.2a
3.2c
1
3
Gambar 2. 4 Skema Lease Contract
(Sumber. Departemen Pekerjaan Umum, Maret 2006)
20
Keterangan :
1. Kontrak Pengelolaan + Penanaman
Modal Swasta
1.1. Hak Penggunaan Aset dan Fasilitas O&M
1.2. Pembayaran Sewa
2. Kontrak Penyediaan Air Baku
2.1. Rekening Air Baku (Rp / m3)
2.2. Penyediaan Air Baku
3. Perjanjian Pelanggan dengan Swasta
3.1. Pelayanan Air Bersih
3.2. Rekening Air Bersih (Rp/ m3)
d. BOT (Build, Operate and Transfer)
Kontrak Bangun, Operasikan dan Transfer (Build, Operate and Transfer) digunakan
untuk melibatkan investasi dari pihak swasta pada pembangunan konstruksi infrastruktur
baru. Dengan menggunakan prinsip BOT, pendanaan dari pihak swasta akan digunakan
untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas atau sistem infrastruktur berdasarkan
standar-standar performance yang disusun oleh pemerintah. Masa pengoperasian yang
diberikan kepada pihak swasta haruslah memiliki waktu yang cukup panjang agar pihak
swasta mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan guna membangun konstruksi
beserta keuntungan yang akan didapat. Masa pengoperasian tersebut biasanya sekitar 10
sampai 20 tahun. Dalam hal ini pemerintah tetap menguasai kepemilikan fasilitas
infrastruktur dan pemerintah memiliki dua peran sebagai pengguna dan regulator
pelayanan infrastruktur tersebut.
BOT merupakan cara yang baik untuk pembangunan infrastruktur baru dengan
keterbatasan dana pemerintah. Pemerintah menggunakan sistem BOT ini untuk fasilitas-
fasilitas infrastruktur yang lebih spesifik seperti penampungan supply air yang besar, air
minum, dan WTP.
21
Struktur pembiayaan dalam BOT, pihak swasta berperan untuk menyediakan modal
untuk membangun fasilitas baru sedangkan Pemerintah akan menyetujui untuk
mengeluarkan tingkat produksi yang minimum untuk memastikan bahwa operator swasta
dapat menutupi biayanya selama pengoperasian. Persyaratan ini menyatakan bahwa
untuk mengantisipasi permintaan yang diperkirakan meningkat sehingga akan
menyebabkan permasalahan bagi rekan pemerintah jika permintaan melewati perkiraan.
Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan kontrak BOT adalah BOT merupakan
cara yang efektif untuk menarik modal swasta dalam pembangunan fasilitas infrastruktur
baru.
Perjanjian BOT akan dapat mengurangi pasar dan resikonya kecil untuk pihak swasta
karena pemerintah adalah penggunan tunggal, pengurangan resiko disini berhubungan
dengan apabila ada permasalahan tidak cukupnya permintaan dan permasalahan
kemampuan membayar. Pihak swasta akan menolak mekanisme BOT apabila pemerintah
tidak memberikan jaminan bahwa investasi swasta akan kembali. Skema perjanjian BOT
ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Investasi
Investor
(Swasta)
Pemasok Air
BakuPDAM
PelangganRekening
Escrow
2
3.2b
3
1.1
1.2
2.1
2.2
3.2c3.1 3.2
3.2a
2
Gambar 2. 5 Skema BOT
(Sumber. Departemen Pekerjaan Umum, Maret 2006)
Keterangan :
1. Perjanjian BOT Penyediaan Kapasitas Air Bersih
1.1. Penyediaan Air Bersih
22
1.2. Rekening “Take or Pay” Air Bersih (Rp/m3)
2. Kontrak Penyediaan Air Baku
2.1. Rekening Air Baku (Rp / m3)
2.2. Penyediaan Air Baku
3. Perjanjian Pelanggan dengan PDAM
3.1. Pelayanan Air Bersih
3.2. Rekening Air Bersih (Rp/ m3)
5. Consession Contract ( Kontrak Konsesi)
Dalam Kontrak Konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab dan pengelolaan
penuh kepada kontraktor (konsesioner) swasta untuk menyediakan pelayanan-pelayanan
infrastruktur dalam sesuatu area tertentu, termasuk dalam hal pengoperasian, perawatan,
pengumpulan dan manajemennya. Konsesioner bertanggung jawab atas sebagian besar
investasi yang digunakan untuk membangun, meningkatkan kapasitas, atau memperluas
sistem jaringan. Konsesioner mendapatkan pendanaan atas investasi yang dikeluarkan
berasal dari tarif yang dibayar oleh konsumen. Sedangkan peran pemerintah bertanggung
jawab untuk memberikan standar performance dan menjamin kepada konsesioner. Pada
dasarnya, peran pemerintah telah bergeser dari yang dulunya penyedia pelayanan
(provider) menjadi pemberi aturan (regulator) atas harga yang dikenakan dan jumlah
yang harus disediakan. Aset-aset infrastruktur yang tetap dipercayakan kepada
konsesioner untuk waktu kontrak tertentu, tetapi setelah kontrak habis maka aset
infrastruktur akan menjadi milik pemerintah. Periode konsesi diberikan biasanya lebih
dari 25 tahun. Lamanya tergantung pada perjanjian kontrak dan waktu yang dibutuhkan
oleh konsesioner swasta untuk menutup biaya yang telah dikeluarkan.
Pada sektor air bersih, konsesi memiliki peran penuh dalam pelayanan air pada suatu area
tertentu. Cara konsesi telah banyak digunakan baik tingkat kota maupun tingkat nasional.
Struktur pembiayaan pada kontrak konsesia adalah pihak swasta bertanggung jawab atas
semua modal dan biaya operasi, termasuk pembangunan infrastruktur, energi, material,
dan perbaikan-perbaikan selama berlakunya kontrak. Pihak swasta memiliki wewenang
untuk mengambil langsung tarif dari pengguna. Tarif yang berlaku telah ditetapkan
sebelumnya pada penjanjian kontrak konsesi, dimana tarif tersebut memiliki
kemungkinan untuk berubah pada waktu-waktu tertentu. Pada beberapa kasus,
23
pemerintah dapat membantu pendanaan untuk menutup pengeluaran konsesioner dan hal
ini merupakan salah satu bentuk jaminan pemerintah namun hal ini sebaiknya
dihindarkan. Skema konsesi ditunjukkan pada Gambar 2.6.
Investasi
Investor
(Swasta)
Pemasok Air
BakuPDAM
PelangganRekening
Escrow
3.2c
3
2
1.1
1.2
2.1
2.2
3.1
3.2a
3.2b
1
Gambar 2. 6 Skema Kontrak Konsesi
(Sumber. Departemen Pekerjaan Umum, Maret 2006)
Keterangan :
1. Perjanjian Konsesi (Produksi, Distribusi, dan Pengembangan)
1.1. Pembayaran Royalti / Kewajiban
1.2. Pembayaran Imbalan (Water Charge)
2. Kontrak Penyediaan Air Baku
2.1. Rekening Air Baku (Rp / m3)
2.2. Penyediaan Air Baku
3. Perjanjian Pelanggan dengan Swasta
3.1. Pelayanan Air Bersih
3.2. Rekening Air Bersih (Rp/ m3)
Lima skema utama KPS yang dibahas dalam penelitian ini memiliki beberapa
karakteristik utama. Karakteristik utama kelima skema KPS tersebut disajikan pada Tabel
2.2 berikut ini.
24
Tabel 2. 2 Karakteristik Skema-Skema KPS
Fitur
Pilihan KPS
Serrvice
Contract
Management
Contract
Lease
Contract BOT Consession
Kepemilikan
aset Pemerintah Pemerintah Pemerintah
Pemerintah dan
swasta Pemerintah
Tujuan
Kerjasama
Peningkatan
efisiensi
operasioana
Peningkatan
efisiensi
pengelolaan
Peningkatan
efisiensi
pengelolaan
Mobilisasi modal
swasta dan
transfer keahlian
Mobilisasi modal
swasta dan
transfer keahlian
Kewenangan
manajemen
Dominan
pemerintah Swasta Swasta Swasta Swasta
Resiko
komersil Pemerintah Pemerintah Swasta Swasta Swasta
Durasi
kerjasama
(tahun)
1-2 3-5 8-15 25-30 25-30
Kegiatan
Pelayanan Produksi
Distribusi
Pemeliharaan
Penagihan
Produksi
Distribusi
Pemeliharaan
Penagihan
Produksi
Distribusi
Produksi
Distribusi
Produksi
Distribusi
Pemeliharaan
Penagihan
Investasi
swasta Rendah Rendah Rendah-Sedang Tinggi Tinggi
Keuntungan Kecil Kecil Kecil Menguntungkan Menguntungkan
Efisiensi Terbatas Terbatas Terbatas Tinggi Tinggi
Cakupan
Kegiatan Kontrak
perawatan
peralatan dan
fasilitas
Pencatatan
alat
ukur/meter
Pengajuan
rekening dan
penagihan
Perbaikan
darurat
Penyewaan
peralatan
Pengoperasian
dan perawatan
Pengelolaan
fasilitas
Pengelolaan
sistem
Pengelolaan
administrasi
Pengelolaan
seluruh atau
sebagian sistem
Pengelolaan
fasilitas
Pengoperasian
peralatan
Pembangunan
prasarana dan
sarana
Pengelolaan
prasarana dan
sarana
Pengelolaan
sistem
Pembiayaan
modal kerja Pemerintah Pemerintah Swasta Swasta Swasta
Pengaturan tarif Pemerintah
Pemerintah
Sesuai kontrak
dan regulasi Swasta
Sesuai kontrak
dan regulasi
Pengumpulan
tarif Pemerintah Swasta Swasta Swasta Swasta
Sumber : World Bank
25
Berdasarkan karakteristik-karakteristik kelima skema KPS yang telah dibahas
sebelumnya, maka pelaksanaan kerjasama dengan pihak swasta seharusnya dapat
diterapkan pada pengelolaan infrastruktur air minum. Pengelolaan air minum di
Indonesia saat ini kebanyakan masih dikelola oleh PDAM. Untuk meningkatkan kinerja
PDAM, maka PDAM perlu menarik minat pihak swasta untuk bergabung. Pada PDAM,
banyak bagian kegiatan yang dapat dilakukan oleh pihak swasta. Untuk itu PDAM harus
mampu menyediakan dan memilih bagian pekerjaan yang akan diberikan kepada swasta
dalam rangka KPS. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain adalah :
1. Produksi, ada dua kegiatan yang beruhubungan dengan produksi, yaitu peningkatan
produksi dan pengelolaan produksi. Sebagian besar sistem distribusi PDAM
mempunyai kebocoran yang cukup tinggi. Dengan kebocoran tersebut PDAM harus
menjual air dengan harga lebih tinggi dari harga yang diberikan oleh swasta.
Sedangkan swasta hanya menghitung air terjual melalui meter induk yang dipasang
bersama.
Dalam kondisi demikian, PDAM harus mampu menghitung harga jual air dari swasta
dan penjualan kepada masyarakat. Jika menggunakan harga jual yang ditetapkan oleh
swasta, maka perlu dilakukan pengamatan terhadap daya beli masyarakat. Hal ini
harus diperhatikan dengan baik agar masyarakat tetap dapat membeli air dari PDAM.
Apabila terjadi kenaikan harga air, maka kenaikan harga tersebut harus disetujui DPR.
Agar kenaikan harga air sesuai jadwal, maka persetujuan DPR perlu diajukan lebih
awal atau persetujuan telah dilakukan sebelum dilakukan kontrak kerjasama dengan
pihak swasta.
Sedangkan untuk pengelolaan produksi akan memberikan keuntungan bagi PDAM
apabila pihak swasta dapat melakukan efisiensi. Dari hasil efisiensi ini dilakukan
pembagian keuntungan antara PDAM dengan Swasta. Oleh karena itu PDAM harus
mempelajari perjanjian kerjasama secara cermat, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
2. Distribusi, pada distribusi terdapat dua kegiatan yang perlu diperhatikan yaitu
kebocoran distribusi dan pengelolaan sistem distribusi. Kebocoran distribusi
26
merupakan pekerjaan yang harus segera ditangani walaupun rumit, memerlukan waktu
dan biaya. Penambahan produksi tidak akan berarti bila kebocoran sistem distribusi
tidak ditangani. Pekerjaan ini sebaiknya tidak ditawarkan kepada swasta karena
biasanya pihak swasta tidak mau menerima pekerjaan yang memiliki resiko tinggi.
Dalam pengelolaan distribusi merupakan pekerjaan rumit dan beresiko tinggi,
sehingga tidak menarik bagi swasta. Bila pekerjaan ini diberikan pengelolaannya
kepada pihak swasta, maka kegiatan yang diberikan harus secara total, mulai dari
pemompaan, kebocoran, pelanggan baru dan pembacaan meter. Tenaga kerja yang
terlibat dalam pengelolaan distribusi ini banyak, sehingga pihak swasta akan
mengadakan seleksi bagi tenaga kerja PDAM. Hal ini dikawatirkan akan banyak
tenaga kerja dari PDAM tidak dapat dialihkan demi efisiensi.
3. Pelayanan distribusi, untuk PDAM tertentu tambahan permintaan khusus industri
cukup tinggi. Kondisi ini merupakan pasar yang jelas, harga air tinggi, sehingga dapat
memberikan pendapatan keuntungan bagi PDAM. Apabila PDAM dapat mencari
modal dengan pinjaman lunak, dan bisa membangun sendiri, maka PDAM akan
memperoleh keuntungan yang besar. Akan tetapi bila pinjaman sulit, maka KPS harus
dilakukan, PDAM harus mampu membuat perjanjian sedemikian rupa sehingga
PDAM memperoleh bagi hasil yang wajar. Pekerjaan yang beresiko kecil ini akan
menarik pihak swasta, sehingga timbul persaingan yang tidak wajar.
4. Area Baru, untuk pengembangan pelayanan air minum pada masyarakat, barangkali
ada suatu area yang sangat potensial dengan jumlah calon pelanggan cukup besar.
Pada area ini PDAM telah melayani sebagian kecil masyarakat. Area inilah merupakan
obyek yang paling mudah diswastakan. Sehingga masyarakat akan mendapat
kemudahan dan keuntungan, antara lain : masyarakat segera terlayani, PDAM akan
mempeoleh tambahan pendapatan, pembagian tanggung jawab jelas, perjanjian dan
peraturan dapat dibuat dengan mudah dan resiko dapat diperkirakan.
27
Berdasarkan perbandingan kelima skema KPS serta pemilihan jenis kegiatan yang dapat
dikelola oleh pihak swasta tersebut, maka perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk
memperoleh skema KPS yang optimal, dan sesuai dengan keadaan di Indonesia.
2.3 Pemilihan Skema KPS
Pemilihan skema KPS yang paling sesuai dengan kondisi suatu negara sangatlah penting.
Skema-skema tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, sehingga
penggunaanya harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dan kondisi dari negara
yang akan menerapkannya (Zhang,2005). Pemerintah sebagai pihak yang akan
melaksanakan kerjasama perlu memahami mana skema yang paling sesuai, dan
dikomunikasikan secara terbuka pada masyarakat, karena bagaimanapun juga
infrastruktur yang akan dijalankan adalah milik masyarakat (Sanjoyo & Dwijowijoto,
2006).
Setiap infrastruktur yang akan dikerjasamakan harus dilakukan Feasibility Study (FS),
yang dapat dilakukan oleh pihak swasta, bantuan pemerintah pusat dan PDAM sendiri.
Apabila FS dilakukan swasta, maka PDAM harus mampu memantau variabel-variabel
yang dimainkan, sehingga dapat diketahui hal-yang menguntungkan dan merugikan
PDAM
Dengan kenyataan di lapangan tersebut, maka FS dilakukan dengan bantuan pemerintah
pusat yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk membantu menganalisis hasil FS.
Sehingga apabila ada variabel yang merugikan dan membahayakan PDAM dapat segera
diketahui. Karena kalau terjadi kerugian, maka PDAM yang akan menanggung sendiri
kerugiannya.
2.4 Riset Terdahulu
Untuk mendukung pemilihan aspek-aspek yang akan dikaji pada pemilihan skema KPS,
maka dicari rujukan berupa riset-riset yang telah dilakukan sebelumya.
28
2.4.1 PPP-Readiness Self-Assessment
UNESCAP (2005) dalam PPP-Readiness Self-Assessment membuat suatu alat berupa
kuisioner yang dapat membantu pemerintah dalam menentukan dan memberikan
penilaian dalam melibatkan pihak swasta untuk kerjasama. Fungsi utama dari alat ini
adalah untuk mengetahui masalah dalam rangka menarik pihak swasta untuk berinvestasi
pada pembangunan infrastruktur. Tujuan dari PPP-Readiness Self-Assessment, adalah
kuisioner diisi oleh sekelompok kecil orang-orang yang mengerti mengenai investasi
tersebut. Idealnya kelompok tersebut merupakan gabungan dari stakeholder yang
memiliki minat yang sama. Misalnya grup terdiri dari grup pemerintah atau grup swasta.
Pada saat pengisian kuisioner, grup ini dapat berdiskusi mengenai persamaan dan
perbedaan persepsi mereka mengenai kerjasama. Berdasarkan penilaian mereka maka
dapat dipersiapkan tindakan apa yang perlu dilakukan untuk melaksanakan kerjasama.
Dalam kajian ini, kuisioner dibagi berdasarkan dua bagian. Bagian pertama difokuskan
pada kondisi investasi secara umum dalam suatu negara. Variabel yang dikaji dalam
fokus ini adalah (1) Lingkungan Makroekonomi; (2) Kondisi Bisnis; (3) Kondisi
Finansial; dan (4) Kondisi Hukum dan Pemerintahan Negara. Sedangkan bagian kedua,
kajian difokuskan pada KPS dan penerapannya. Bagian ini mencakup (1) Hukum dan
Peraturan; (2) Kerangka Kebijakan; (3) Kapasitas; (4) Proses kontrak dan proses
pemilihan proyek; (5) Proses setelah pemilihan; (6) Dimensi Sosial. Dalam setiap
variable, terdapat elemen-elemen yang menjadi indikator dalam pemilihan skema KPS.
Untuk lebih jelasnya, variable dan elemen tersebut disajikan pada Tabel 2.3 dan Tabel
2.4.
Tabel 2. 3 Indikator Latar Belakang secara Umum
Lingkungan Makroekonomi 1. Pertumbuhan GDP dengan tingkat yang sesuai
2. Tingkat kepuasan pertumbuhan pada faktor kunci
3. Tingkat kepercayaan bisnis yang tinggi
4. Stabilitas harga
5. Keseimbangan fiskal
6. Tingkat pengangguran yang rendah
7. Stabilitas dan tingkat suku bunga yang rasional
8. Stabilitas nilai tukar
9. Kepuasan dalam pembayaran
10. Tingkat rasio pinjaman yang dapat diterima
29
Kondisi Bisnis 11. Jumlah pajak yang rasional, wajar, dan dapat diprediksi
12. Tingkat pajak yang rasional untuk perusahaan
13. Kemudahan dalam membuka suatu bisnis baru
14. Tingkat pendidikan dan keterampilan sumberdaya
15. Jenis pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan suatu negara
16. Infrastruktur yang memadai
17. Tanggung jawab pemerintah terhadap pelaksanaan KPS
18. Komitmen untuk melaksanakan peraturan
19. Pembatasan yang jelas mengenai jumlah keuntungan
20. Sabilitas nilai tukar mata uang asing
Kondisi Finansial 21. Perkembangan sistem perbankan yang dibutuhkan oleh perusahaan
22. Perkembangan jaminan pasar
23. Terbukanya pasar untuk partisipasi swasta
24. Perkembangan pasar yang wajar
25. Peraturan finansila yang efektif
26. Peraturan yang jelas apabila terjadi kebangkrutan dan pertanggung
jawaban pemegang saham
27. Tingkat kredit yang sesuai bagi bisnis perseorangan
28. Keputusan jangka panjang pada sektor finansial
Kondisi Hukum dan
Pemerintahan Negara
29. Hak dan kompensasi yang jelas
30. Perlindungan efektif bagi properti intelektual
31. Pengadilan yang kompeten, merdeka, dan efisien
32. Pengadaan pemerintah yang adil dan transparan
33. Peraturan yang efektif mengenai korupsi
34. Komitmen politik dalam tranparansi finansial
35. Pelaksanaan pemberantasan korupsi oleh pemerintah
36. Partisipasi stakeholder dalam pembuatan peraturan pemerintah
37. Tidak adanya tekanan
38. Jaminan terhadap upah dan keselamatan pekerja
39. Perlindungan lingkungan yang memadai
40. Hukum lingkungan yang jelas dan transparan dan berlaku untuk
semua pihak
Sumber : PPP-Readiness Self-Assessment
Tabel 2. 4 Indikator yang Difokuskan Pada Isu KPS
Hukum dan Peraturan untuk
KPS
41. Peraturan yang jelas mengenai keikutsertaan pihak swasta dalam
KPS
42. Pembatasan partisipasi investor asing dalam proyek KPS
43. Pengadilan yang mengerti dan menerima kerangka hukum KPS
44. Otoritas dan prosedur yang jelas menganai hak setiap pihak
45. Peraturan yang jelas mengenai jenis-jenis KPS
46. Harga dan pengaturan monopoli KPS untuk melindungi komsumen
47. Regulasi harga yang fleksibel
48. Sumberdaya dan kekuatan yang memadai untuk penegakan hukum
KPS
49. Adanya catatan yang jelas mengenai KPS untuk menghindari
keraguan
50. Peraturan yang berkompetensi, bebas, dan efisien
Kerangka Kebijakan KPS 51. Partisipasi swasta dalam KPS memiliki peraturan dasar yang jelas,
dengan dukungan dari pemerintah
52. Kebijakan KPS yang jelas mengenai otoritas dan kewajiban
pemerintah
53. Proses yang efektif dalam pelaksanaan pengajuan proposal,
30
identifikasi, dan struktur proyek
54. Kejelasan proses pengajuan prosposal KPS dalam kerangka
kebijakan
55. Kerangka hukum mendukung proposal
56. Kompetisi sektoral dan peraturan rezim yang dipilih untuk
membatasi kekuatan pasar
57. Kesesuaian proyek dengan rencana nasional atau lokal
58. Keseuaian proyek dengan anggaran keuangan yang dimiliki
pemerintah
59. Kriteria proyek yang didukung oleh pemerintah jelas terdefinisi
60. Partisipasi stakeholders pada perencanaan proyek dan
implementasinya
61. Kebijakan KPS telah melalui revisi dan evaluasi berdasarkan
penerapan
Kapasitas KPS 62. Proses KPS memiliki dukungan politik
63. Penetapan mekanisme dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan
KPS
64. Staff pemerintah memiliki sumberdaya atau informasi dalam
manajemen KPS
65. Kesadaran staff mengenai hukum, finansial dan teknik dasar proyek
KPS
66. Kemampuan staff dalam pelaksanaan KPS secara rutin agar terus
berkembang
67. Kemampuan teknis yang cukup dalam palaksanaan
68. Staff dapat memperkirakan kejadian diluar pekerjaan, termasuk studi
pendahuluan dan strategi mitigasi bencana
69. Dokumentasi KPS dapat diakses publik
70. Sumebrdaya dan fasilitas yang memadai untuk mengajarkan
mengenai KPS
71. Ketentuan pemerintah dalam proyek KPS
Proses kontrak dan proses
pemilihan proyek
72. Prediksi terhadap identifikasi, seleksi, dan kontrak suatu proyek
73. Prosedur yang transparan dalam proses KPS
74. Diadakannya studi pendahuluan untuk proposal yang berniali tinggi
75. Perkiraan terhadap dampak sosila dan lingkungan
76. Perkiraan keselamatan konsumen
77. Pemberian informasi yang sesuai bagi penawar
78. Verifikasi mengenai informasi bisnis jika terdapat pemilihan sponsor
79. Adanya konflik terhadap perbedaan kepentingan
80. Proses tender yang transparan
81. Kriteria objektif untuk sponsor
Proses setelah pemilihan 82. Definisi yang jelas mengenai penawaran pendahuluan
83. Pengawasan yang efektif dan transparan mengenai pelaksanaan
84. Rencana yang baik mengenai pembagian resiko
85. Kontrak tidak dapat dibatalkan
86. Adanya penalti apabila terjadi pelanggaran kontrak
87. Proses penyelesaian suatu konflik jelas
88. Abritase internal yang efektif dalam pemecahan masalah
89. Regulasi teknis yang sesuai untuk syarat proyek
90. Adanya banding terhadap regulasi teknis dan ekonomi
Dimensi Sosial KPS 91. Penerimaan masyarakat mengenai KPS untuk menyediakan
infrastruktur dan pelayanan umum
92. Program untuk memberikan pengertian mengenai KPS
93. Sistem yang terencana untuk mengatasi masalah kemiskinan
94. Kebijakan harga bagi masyarakat miskin
95. Kesejahteraan sosial
96. Partisipasi masyarakat dalam KPS
31
97. Mekanisme pelaksanaan infrastruktur proyek KPS
98. Rehabilitasi dan perpindahan masyarakat apabila proyek KPS
dianggap mengganggu
Sumber : PPP-Readiness Self-Assessment
2.4.2 Financial Structuring of Infrastructure Projects in Public-Private Partnership:
An Application to Water Projects
Dalam riset yang dilakukan oleh Vives, et. al, pemilihan skema penyelenggaraan air
minum difokuskan pada aspek kondisi lokal negara yang dianggap paling berpengaruh.
Kondisi lokal negara terbagi dalam delapan variabel yaitu (1) Kerangka hukum; (2)
Ruang fiskal; (3) Resiko Politik; (4) Kondisi-kondisi Makroekonomi; (5) Kapasitas
Institusional; (6) Kemampuan pengguna untuk membayar; (7) Ketersinambungan tarif;
(8) Ukuran dan lokasi infrastruktur. Keterangan mengenai variabel-variabel tersebut
disajikan pada Tabel 2.5.
Proses analisis dilakukan secara sistematikal. Penilaian dilakukan berdasarkan batasan
kondisi lokal yang dibuat untuk investasi pihak swasta. Untuk melaksanakan suatu
proyek, dilakukan peninjauan terlebih dahulu agar proyek tersebut sesuai dengan kondisi
lokal. Kemudian dibuat peta hubungan antara kondisi lokal dengan skema yang akan
digunakan. Dari penilaian mengenai kondisi lokal, dapat diperkirakan kemungkinan yang
akan terjadi, kemudian dipetakan dan dapat diketahui skema mana yang paling sesuai
pada negara tersebut.
Tabel 2. 5 Riset Vives, et. al (2006)
Variabel Definisi Area yang Terpengaruh
Kerangka Hukum Kapasitas dari pengadilan,
undang-undang, regulasi, dan
institusi yang melengkapi
(didalamnya termasuk
keberadaan alternatif mekanisme
resolusi) untuk melaksanakan
kontrak
Mekanisme repencapaian
konflik
Pelaksanaan hukum masalah
air, infrastruktur air, hak
properti
Adanya celah untuk
pelanggaran kontrak
Pelaksanaan kontrak
Resiko Politik Kemungkinan bahwa suatu
proyek akan terpengaruh secara
signifikan apabila terjadi
perubahan kondisi politik negara
atau kabupaten/kotamadya.
Campurtangan politik pada
proyek, pengambilalihan
apabila tejadi pelanggaran
kontrak, isu transfer dan
perubahan
Jaminan apabila terjadi perang
32
Ruang Fiskal Kapasitas finansial secara
nasional atau subnasional untuk
menyediakan support pada
proyek.
Tersedianya modal untuk
pembangunan area baru
Kemampuan untuk
melaksanakan pemeliharaan
pada infrastruktur yang ada
Kemampuan untuk
mendukung suatu proyek
dengan cara subsidi
pemerintah
Kondisi-Kondisi Makroekonomi Perubahan ekonomi, termasuk di
dalamnya devaluasi nilai mata
uang, tingkat inflasi yang tinggi
sebagai konsekuensi dari
perubahan internasional dan
ketidakstabilan kebijakan
makroekonomi
Devaluasi dan kejadian
makroekonomi lainnya yang
berakibat pada kestabilan
ekonomi suatu proyek
Kapasitas Institusional Kapasitas institusional
berhubungan dengan empat topik
umum, yaitu (i) Eksistensi dari
peraturan mengenai air, (ii)
Kemampuan untuk melaksanakan
kerangka peraturan, (iii) Kualitas
dari pihak yang berwenang untuk
melaksanakan peraturan, dan (iv)
Pemberantasan korupsi pada
suatu negara dan sektor air dan
sanitasi.
Kemampuan untuk
menegakkan dan mengawasi
peraturan, termasuk peraturan
tarif
Kekurangan kapasitas dan
kemampuan dalam
pengetahuan teknis yang
membatasi kemapuan operasi
Tingkat korupsi, tranparansi
dan kepercayaan, tingkat
kepercayaan investor
Kemampuan Pengguna untuk
Membayar
Kepercayaan dan sikap
masyarakat bahwa air merupakan
komoditas bebas, penerimaan
sektor swasta dalam kerjasama
atau investasi asing.
Kemampuan dari provider
untuk mengumpulkan dan
menetapkan tarif dasar
Ketersinambungan Tarif Kemapuan konsumen untuk
membayar seluruh tarif perbaikan
untuk ketentuan air
Penerimaan tarif oleh
konsumen akan berimbas pada
ketersinambungan proyek
secara jangka panjang
Ukuran dan Lokasi Infrastruktur Efek dari ukuran suatu proyek
dan lokasi proyek tersebut dalam
menentukan kepemilikan, modal,
strategi, dan konfigurasi dari
suatu proyek secara spesifik
Ukuran akan berpengaruh pada
akses investor dan sumberdaya
Lokasi di daerah urban atau
rural dapat menentukan supply
air menjadi lebih efisien
Sumber : Vives, et. al
2.4.3 Approaches to Private Participation in Water Services
World Bank (2006) membuat paper yang dapat membantu negara berkembang yang
tertarik untuk melaksanakan kerjasama dengan swasta untuk meningkatkan akses air
bersih dan pelayanan sanitasi dengan harga yang rasional. Kerjasama di bidang air dan
sanitasi memiliki banyak bentuk. Paper ini fokus pada rencana untuk melibatkan pihak
swasta pada pelayanan rumah tangga dan perkantoran dengan menggunakan jenis
33
kerjasama manajemen kontrak, sewa, affermages, dan konsesi. Untuk melaksanakan
kerjasama dengan pihak swasta, diperlukan empat tahap persiapan, yaitu :
1. Mengembangkan aturan mengenai KPS
2. Mendesain detail rencana
3. Memilih mitra swasta yang tepat
4. Melaksanakan rencana yang telah dibuat
Selain itu, world bank juga menyatakan bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan oleh
pemerintah yang berminat malakukan kerjasama di bidang air minum meliputi (1)
mengurangi hutang negara; (2) Stimulasi pasar modal domestik; (3) Mengurangi subsidi
modal dan operasi; (4) Investasi infrastruktur baru atau rehabilitasi yang sudah ada; (5)
Meningkatkan kualitas layanan; (6) Memperluas jangkauan pelayanan; (7) Mengurangi
harga-harga untuk mengadakan layanan; (8) Pelayanan yang berorientasi; (9) Pemasaran
yang lebih efektif.
2.4.4 Pendekatan Sistem (System Approach) pada Pengelolaan Air Bersih di
Indonesia
Makalah yang dibuat oleh Pramono tahun 2006 ini menguraikan mengenai pendekatan
sistem pengelolaan air bersih di Indonesia. Pendekatan sistem tersebut dapat membantu
menyelesaikan kompleksitas permasalahan pengelolaan air bersih dengan melihat
masalah secara komprehensif. Pandangan komprehensif dapat dilakukan dengan
mengaitkan aspek-aspek yang terkait pada pengelolaan air bersih. Menurut Pramono,
kondisi penyediaan air minum di Indonesia mengatakan bahwa PDAM saat ini selalu
menyelesaikan permasalahan dengan mencari pencapaian terhadap satu aspek tanpa
melihat aspek lain yang terkait, misalnya kerugian yang dialami oleh PDAM selalu
diatasi dengan meningkatkan tarif dasar air tanpa melihat sebab-sebab masalah lainnya.
Keadaan tersebut membuat PDAM mengalami penurunan secara terus-menerus setiap
tahunnnya. Oleh sebab itu pengelolaan air bersih harus dipandang dari beberapa aspek
terkait, yaitu :
a. Lingkungan fisik, terdiri dari lingkungan alamiah yang meliputi: (1) Topografi,
yang mempengaruhi keputusan dimana instalasi pengolah air, pompa, tangki
distribusi harus diletakkan, yang akan mempengaruhi terhadap pengoperasian
34
sistem tersebut, (2) kondisi hidrologi, mempengaruhi jumlah dan kualitas air baku
yang tersedia, dan (3) Iklim, mempengaruhi pola kebutuhan air rumah tangga, dan
lingkungan buatan manusia terdiri dari pencemaran air tanah dan air permukaan
(kualitas lingkungan), tata letak geografi yang sangat mempengaruhi proses
pengambilan keputusan dalam perencanaan dan perancangan sistem air bersih,
biaya pelayanan dan cara pengolahan sistem.
b. Lingkungan sosial, yang terdiri dari kependudukan, kondisi ekonomi, peta politik,
dan tata hukum. Kependudukan sangat berpengaruh pada pola distribusi air
dengan adanya tingkat kelahiran dan laju urbanisasi yang tinggi. Kondisi ekonomi
mempengaruhi pola kebutuhan air non rumah tangga, sementara distribusinya
kegiatan sosial dan ekonominya akan mempengaruhi pola sistem distribusinya.
Peta politik terdiri dari sistem politik dan kemauan politik dari pemerintah
mengembangkan pelayanan air bersih. Sistem politik dan sistem pemerintahan
suatu negara akan memepengaruhi kelembagaan dalam perusahaan air bersih.
Kemauan politik adalah kemauan pemerintah untuk mengembangkan pelayanan
air bersih. Sedangkan tata hukum adalah himpunan peraturan perundangan dari
pemerintah pusat maupun daerah, yang secra langsung atau tidak langsung
mempengaruhi pengoperasian pengelolaan air bersih.
c. Aspek teknologi, dengan adanya kebutuhan yang besar, teknologi dibutuhkan
untuk mengembangkan pelyanan air bersih di Indonesia sama dengan yang
diterapkan di negara maju. Penerapan teknologi mutakhir dihadapkan pada
kendala-kendala pemeliharaan yang tidak baik, ketergantungan teknologi, kurang
terampilnya operator. Hal-hal tersebut yang membedakan negara maju dan negara
berkembang.
d. Aspek Kelembagaan, karena pengelolan dan penyediaan air bersih di Indonesia
dibagi menjadi tiga bagian yaitu tingkat nasional, tingkat daerah, maupun tingkat
komunitas. Tingkat nasional diwujudkan keterlibatan pemerintah pusat dalam
pengawasan dan pengontrolan dalam semua tahap pengelolaan sistem, termasuk
pada aspek teknologi dan keuangan. Pengelolaan di tingkat daerah, pemerintah
daerah menyerahkan langsung ke perusahaan daerah, dinas atau lembaga swasta
untuk melakukan pengelolaan air bersih, sedangkan pemerintah daerah hanya
35
bersifat pengawas. Tingkat komunitas terjadi karena terbatasnya kemampuan
membayar dan kekurangan kapasitas air bersih maka banyak orang memperoleh
air bersih dari penjaja air dan hidran-hidran umum.
e. Aspek keuangan, dalam penyediaan dan pengelolaan keuangan adalah
menciptakan keadilan di antar para pengguna dan mengelola sistem secara efisien
dan efektif. Beberepa prinsip seperti kemandirian, pemulihan biaya, struktur tarif
dan penggalangan sumberdaya merupakan pedoman dalam pengelolaan keuangan
dari pelayanan air bersih pada kota maupun kabupaten di Indonesia.
f. Tingkat pelayanan, meliputi (1) cakupan pelayanan adalah perbandingan antara
penduduk yang dilayani dan jumlah penduduk kota seluruhnya, (2) tingkat
konsumsi rata-rata adalah perbandingan antara produksi air total dan penduduk
yang dilayani oleh sistem air bersih, (3) keaneka ragaman pemakai air, dan (4)
kualitas air, kualitas air yang didistribusikan sesuai dengan syarat yang
ditetapkan.
g. Efisiensi pengelolaan, merupakan ukuran kelangsungan sistem manajemen dalam
memberikan dan meningkatkan pelayanan. Hal tersebut diukur dengan empat
indikator yaitu, (1) produktivitas adalah angka rata-rata dari jumlah pelanggan
yang dilayani dibagi jumlah karyawan, (2) efisiensi produksi adalah perbandingan
antara air secara nyata diproduksi dan kapasitas pengolah air, (3) air tak terhitung,
(4) program pengembangan adalah tanda bahwa perusahaan air bersih mengalami
perkembangan atau setidaknya menjaga tingkat pelayananya dalam hal cakupan
pelayanan atau dalam memenuhi tingkat konsumsi rata-rata atau kedunya
berkembang secara bertahap.
2.5 Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk
Salah satu prosedur pendekatan yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan
yaitu dengan menggunakan pengambilan keputusan kriteria majemuk atau yang lebih
dikenal dengan MCDM (Multiple Criteria Decision Making). Sistem pengambilan
keputusan kriteria majemuk berhubungan dengan pengambilan keputusan yang memiliki
banyak kriteria dengan konflik yang saling berhubungan didalamnya. MCDM dibuat
dengan tujuan untuk mendukung dan mengembangkan keputusan untuk mencari
36
pencapaian terbaik dari berbagai sudut pandang pengambil keputusan. Pengambil
keputusan menggunakan beberapa kriteria keputusan yang dapat mendukung untuk
memperoleh pencapaian atau keputusan yang terbaik dari berbagai sudut pandang
sehingga diharapkan keputusan yang diperoleh merupakan keputusan yang paling efektif.
Sifat-sifat yang harus diperhatikan dalam memilih kriteria pada setiap persoalan
pengambilan keputusan adalah sebagai berikut.
1. Lengkap, sehingga dapat mencakup seluruh aspek penting dalam pesoalan
tersebut.
2. Operasional, yang berarti bahwa kumpulan kriteria harus memiliki arti bagi
pengambil keputusan, sehingga pengambil keputusan tersebut dapat benar-benar
mengetahui kelebihan dan kekurangan dari setiap alternative yang ada. Hal ini
dibutuhkan agar kumpulan dari kriteria tersebut dapat digunakan dalam analisis.
Selain itu, jika tujuan pengambilan keputusan harus dapat digunakan sebagai
sarana untuk meyakinkan pihak lain, maka kumpulan kriteria tersebut harus dapat
digunakan sebagai sarana untuk memberikan penjelasan atau untuk
berkomunikasi.
3. Tidak berlebihan, hal ini perlu dilakukan untuk menghindari perhitungan
berulang. Dalam menentukan suatu kriteria, jangan sampai terdapat kriteria yang
pada dasarnya memiliki pengertian yang sama.
4. Minimum, yaitu mengusahakan agar dapat menentukan jumlah kriteria sesedikit
mungkin. Hal ini diperlukan untuk lebih memudahkan persoalan, karena semakin
banyak kriteria akan semakin susah untuk mengerti persoalan dengan baik, dan
jumlah perhitungan yang diperlukan dalam analisis akan meningkat dengan cepat.
2.5.1 Analytic Hierarchy Process (AHP)
AHP adalah suatu sistem pengambilan keputusan yang dibuat untuk memecahkan
masalah yang memiliki aspek atau kriteria cukup banyak Dengan hirarki suatu masalah
yang kompleks dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam kelompok–kelompok,
lalu diatur menjadi suatu bentuk hirarki (Saaty,T.L,1986 ). AHP didesain untuk dapat
digunakan pada penilaian yang bersifat subyektif untuk menyusun urutan dari prioritas
elemen–elemen berdasarkan bobot elemen yang ditinjau dengan menggunakan
37
perbandingan berpasangan antar elemen. AHP digunakan untuk mendapatkan bobot
elemen, atau dalam metode ini bisa disebut sebagai skala rasio, dari perbandingan
pasangan pada struktur hirarki yang multi level. Model AHP dalam proses pengambilan
keputusan menggunakan pendekatan kolektif dari beberapa opini atau pendapat individu.
Pengambilan keputusan dengan menggunakan metode AHP didasarkan pada tiga prinsip
pokok, yaitu :
1. Penyusunan hirarki
Penyusunan hirarki permasalahan merupakan langkah yang dilakukan untuk
mendefinisikan suatu maslah yang rumit dan kompleks hingga menjadi lebih jelas
dan detail. Hirarki keputusan disusunberdasarkan pandangan dan opini dari pihak-
pihak yang memiliki keahlian dan pengetahuan pada bidang yang bersangkutan.
Keputusan yang akan diambil dijadikan sebagai tujuan dan dibuat menjadi
elemen-elemen yang lebih rinci hingga tercapai suatu tahapan yang terukur.
Hirarki permasalahan akan mempermudah pengamil keputusan untuk menarik
kesimpulan dari permasalahan tersebut.
2. Penentuan prioritas
Prioritas elemen-elemen kriteria dapat dilihat sebagai kontribusi elemen tersebut
terhadap tujuan. AHP melakukan analisis prioritas elemen dengan metode
perbandingan berpasangan antar dua elemen sehingga seluruh elemen yang ada
tercakup. Prioritas dibuat berdasarkan pandangan para pihak yang dianggap ahli
dan yang memiliki kepentingan terhadap pengambilan keputusan baik secara
langsung maupun tidak langsung.
3. Konsistensi logis
Konsistensi dari jawaban yang diberikan oleh responden merupakan prinsip
pokok yang akan menentukan validitas data dan hasil pengambilan keputusan.
Secara umum, responden harus memiliki konsistensi dalam melakukan
perbandingan elemen. Jika A>B dan B>C maka secara logis responden harus
menyatakan bahwa A>C, berdasakan nilai numeric yang telah disediakan.
Langkah–langkah yang dilakukan dalam AHP secara ringkas dapat dijelaskan sebagai
berikut :
38
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan pencapaian yang diinginkan yang
merupakan fokus dari masalah yang akan diambil keputusannya.
2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan
sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria
yang paling bawah.
3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi
relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria
yang setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan penetapan dari
pengambilan keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen
terhadap elemen lainnya.
4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh penentapan seluruhnya
sebanyak n x [(n -1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang
dibandingkan.
5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten maka
pengambilan data diulang.
6. Mengulangi langkah 3,4 dan 5 untuk seluruh tingkatan hirarki.
7. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai
vektor eigen merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensintesis
penetapan dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkatan terendah
sampai pencapaian tujuan.
8. Memeriksa konsistensi hirarki, jika nilainya lebih dari 10 persen maka penilaian
data penetapan harus diperbaiki.
Thomas L. Saaty menetapkan skala satu sampai dengan sembilan untuk menilai
perbandingan berpasangan (paired comparison). Hal tersebut didasarkan pada psikologis
manusia yang mampu mengestimasi besaran sederhana dengan menggunakan panca
indera. Skala perbandingan berpasangan tersebut disajikan pada tabel berikut ini.
39
Tabel 2. 6 Skala perbandingan berpasangan pada AHP
Intensitas
Kepentingan Keterangan Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen mempunyaipengaruh yang
sama besar terhadap tujuan
3 Elemen yang satu sedikit lebih
penting daripada elemen lainnya
Pengalaman dan penilaian sedikit
menyokong satu elemen dibandingkan
elemen lainnya
5 Elaman yang satu lebih penting
daripada elemen lainnya
Pengalaman dan penilaian sangat kuat
menyokong satu elemen dibandingkan
elemen lainnya
7 Satu elemen jelas lebih mutlak
penting daripada elemen lainnya
Satu elelemen yang kuat disokong dan
dominan terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak penting daripada
elemen lainnya
Bukti yang mendukung elemen yang
satu terhadap elemen yang lain memiliki
tingkat penegasan tertinggi yang
mungkin menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua perbandingan
yang berdekatan
Nilai ini diberikan bila ada dua
kompromi di antara dua pilihan
Kebalikan
(aji = 1/aij) Jika untuk aktivitas i mendapatkan satu angka dibandingkan dengan aktivitas j,
maka j mempunyai nilai kebalikannya dibandingkan dengan i.
Sumber : Saaty, 1986
2.5.2 Analytic Network Process (ANP)
Secara umum, dikarenakan metode ANP relatif baru dan merupakan pengembangan dari
metode Analytical Hierarchy Process (AHP) yang dikembangkan oleh Saaty (1980),
memiliki kelebihan dibanding AHP, karena tidak semua persoalan dapat disusun secara
hirarkis karena adanya dependensi (inner/outer), hubungan saling mempengaruhi diantara
dan di dalam kluster (kriteria dan alternatif).
Secara ringkas, Saaty (1999), ANP menggunakan jaringan tanpa harus menetapkan level-
level seperti pada hierarki yang digunakan dalam AHP, yang merupakan titik awal ANP.
Konsep utama dalam ANP adalah pengaruh (influence), sedangkan konsep utama AHP
adalah preferensi (preferrence).
40
Tujuan
Sub
Tujuan
Kriteria
Sub
Kriteria
Faktor-
faktor
Evaluasi
Alternatif-
Altenatif
Cluster AAlternatif-
Alternatif
Cluster DCluster B
Cluster C
Gambar 2. 7 Perbandingan Struktur Hirarki dan Jaringan
(Sumber. Saaty, 1996)
Pada AHP terdapat level tujuan, kriteria, subkriteria, dan alternatif, dimana masing-
masing level memiliki elemen. Sedangkan pada ANP, level dalam AHP disebut kluster
yang dapat memiliki kriteria dan alternatif di dalamnya, disebut dengan simpul. Dengan
feedback, alternatif-alternatif dapat bergantung atau terikat pada kriteria seperti pada
hierarki tetapi dapat juga bergantung atau terikat pada sesama alternatif. Kriteria-kriteria
itu sendiri dapat tergantung pada alternatif-alternatif dan pada sesama kriteria. Adanya
feedback tersebut akan meningkatkan prioritas yang diturunkan dari judgements dan
membuat prediksi menjadi lebih akurat, sehingga hasil dari ANP diasumsikan akan lebih
stabil.
AHP dan ANP sama-sama menggunakan skala rasio. Kedua skala diperoleh dari pairwise
comparison (pembandingan berpasangan) dengan menggunakan judgements atau rasio
dominasi pasangan dengan menggunakan pengukuran aktual. Konsepsi ini membuat
ANP menawarkan obyektifitas pengukuran terkait masalah yang ingin dipecahkan dalam
penelitian ini. Pada dasarnya, dengan AHP, para pengambil keputusan akan diarahkan
untuk memilih yang “paling disukai” atau “lebih diinginkan”, sebaliknya ANP akan
menuntun kepada suatu konsep yang lebih obyektif, yaitu “apa yang paling
berpengaruh”. Pertanyaan terakhir jelas memerlukan observasi faktual dan pengetahuan
untuk menghasilkan jawaban-jawaban yang valid, yang membuat pertanyaan kedua lebih
41
obyektif dari pada pertanyaan pertama. Prosedur untuk mendapatkan skala rasio dapat
dibaca pada bagian a, sedangkan supermatriks dalam ANP dapat dibaca pada bagian b.
Adanya pengaruh-pengaruh feedback dalam ANP memberi konsekuensi, dibutuhkannya
matriks besar yang dikenal dengan supermatriks, yang berisikan suatu set dari sub-
matriks. Keberadaan supermatriks ini diharapkan dapat menangkap pengaruh dari
elemen-elemen pada elemen-elemen lain dalam jaringan.
a. Formulasi Matematis pada Metode ANP
Formulasi matematis pada Model Pemilihan Skema KPS dilakukan dengan
menggunakan matriks seperti yang digunakan pada AHP. Untuk suatu subsistem operasi
dengan n elemen operasi (A1,A2,...,An) maka hasil perbandingan berpasangan elemen-
elemen operasi tersebut membentuk matriks perbandingan yang dimulai dari tingkat
hirarki tertinggi dimana terdapat suatu kriteria yang digunakan sebagai dasar pembuatan
perbandingan.
Tabel 2. 7 Matriks Perbandingan Berpasangan
nnnnn
n
n
n
aaaA
aaaA
aaaA
AAA
...
.....
.....
.....
...
...
...
21
222212
112111
21
Matriks A berukuran n x n diasumsikan terdapat n elemen, yaitu w1,w2,...,wn yang akan
dinilai secara perbandingan. Nilai (judgement) perbandingan secara berpasangan antara
(wi, wj) dapat dipresentasikan sebagai berikut :
wi / wj = a(j,i) ; i,j = 1,2, 3, ..., n ( 2.1)
Dalam hal ini matriks yang digunakan sebagai matriks pembanding adalah matriks A
yang memiliki unsusr-unsur aij dengan i,j = 1,2, 3, ..., n.
42
Nilai unsur aij adalah perbandingan kepentingan elemen operasi Ai terhadap elemen
operasi Aj. Besarnya nilai aji adalah 1/ aij, yang menyatakan tingkat intensitas kepentingan
elemen operasi Aj terhadap elemen operasi Ai.
Bila vektor pembobotan elemen-elemen operasi A1,A2,...,An tersebut dinyatakan sebagai
vektor w, dengan w =( w1,w2,...,wn), maka nilai intensitas kepentingan elemen operasi A1
dibandingkan A2 dapat pula dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen operasi A1
terhadap A2 yaitu w1/w2 yang sama dengan a1,2 , sehingga matriks perbandingan
dinyatakan sebagai berikut :
Tabel 2. 8 Matriks Perbandingan Preferensi
nnnnn
n
n
n
wwwwwwA
wwwwwwA
wwwwwwA
AAA
/...//
.....
.....
.....
/...//
/...//
...
21
222122
121111
21
Nilai w1/w2 , dengan i,j = 1,2, 3, ..., n diperoleh melalui penilaian responden yang ahli dan
berkompeten di bidang masalah yang dianalisis. Bila matriks dikalikan dengan vektor
kolom w =( w1,w2,...,wn), maka diperoleh hubungan :
nnnnnn
n
w
w
w
n
w
w
w
wwwwww
wnwwwww
wwwwww
2
1
2
1
21
22212
12111
///
............
/...//
/...//
aij . wi / wj = 1 ; i,j = 1,2, 3, ..., n
n
j 1
aij . wi / wj = n ; i,j = 1,2, 3, ..., n
43
n
j 1
aij . wj = n wi ; i,j = 1,2, 3, ..., n
w adalah eigenvetor dari matriks A dengan eigenvalue n.
Bila matriks A diketahui dan ingin diperoleh nilai w, maka dapat diselesaikan melalui
persamaan berikut :
𝐴 − 𝑛𝐼 𝑤 = 0
Dimana I adalah matriks identitas. Persamaan ini menghasilkan pencapaian yang tidak
nol bila (jika dan hanya jika) n yang merupakan merupakan eigenvalue dari A dan w
adalah eigenvector. Dari persamaan Aw = nw. Jika n diganti dengan vektor λ maka
menjadi :
Aw = λw ; λ=( λ1, λ2, ..., λn ) (2.2 )
Jika A = [aij] adalah matriks n x n yang diberikan dengan persamaan vektor Aw = λw ,
dengan λ suatu bilangan, maka dapat dibuktikan bahwa vektor nol, w = 0, merupakan
penyelesaian dari persamaan vektor tersebut untuk sembarang nilai λ. Apabila persamaan
tersebut memberikan penyelesaian w ≠ 0 maka λ disebut nilai eigen (eigenvalue) atau
nilai karakteristik dari matriks A. Sembarang matriks n x n paling tidak akan mempunyai
I atau paling banyak n nilai eigen (bilangan riil atau kompleks) yang berbeda (Kreyzig,
1988).
Penyelesaian padanannya, yaitu untuk w ≠ 0 dari persamaan tersebut adalah vektor eigen
(eigenvector) atau vektor karakteristik dari A yang berpadanan dengan nilai λ. Himpunan
nilai-nilai eigen disebut spektrum dari A. Nilai mutlak terbesar dari nilai eigen A disebut
radius spektral dari A (Kreyzig, 1988). Vektor eigen dari matriks A tidak bernilai nol (w ≠
0) sehingga Aw = λw atau (1/ λ)A mentransformasikan matriks W menjadi W (Saaty 1996).
Sistem persamaan linear homogen mempunyai penyelesaian nontrivial jika dan hanya
jika determinan dari matriks A sama dengan nol. Nilai w akan menjadi vektor eigen jika
merupakan pencapaian bukan nol dari (λI-A)w = 0, dimana I adalah matriks identitas.
Persamaaan ini dapat menghasilkan pencapaian tidak nol jika dan hanya jika λ
merupakan nilai eigen dari A dan w adalah vektor eigennya. Komponen matriks W terdiri
A w = n w
44
dari set pencapaian dengan matriks (λI-A). Dengan tujuan matriks menjadi bukan nol,
maka determinannya, det(λI-A), desebut sebagai determinan persamaan karakteristik, atau
disederhanakan menjadi │λI-A│harus bernilai nol.
Dengan menguraikan determinan matriks, maka kita memperoleh suatu polinom
berderajat n dalam λ, dan memiliki bentuk λn-a1 λn-1+...+ an dan disebut juga sebagai
polinom karakteristik yang berkaitan dengan A. Akar-akar dari λi, i=1,...,n dari
persamaan karakteristik │λI-A│=0 merupakan nilai eigen yang didinginkan.
Dalam karakteristik polinominal, koefisien dari λn-1 yaitu a1 merupakan penjumlahan dari
elemen-elemen diagonal matriks A sehingga :
a1 =
n
i 1
aij ≡ perunutan (A) (2.3)
Merupakan hal yang juga benar bahwa akar-akar persamaan karakteristik yang
dinyatakan sebagai akar-akar persamaan polinominal berderajat ke-n, akan memenuhi :
λi=
n
i 1
a1≡ perunutan (A) (2.4)
Nilai eigen dari suatu matriks bujur sangkar A adalah akar-akar dari persamaan polinom
karakteristik yang berkaitan dengan A.
n
i 1
λi =│A│ (2.5)
Berdasarkan beberapa persamaan tersebut, diketahui bahwa persamaan dapat
difaktorisasi menjadi (λ-λ1) (λ-λ2)... (λ-λn) dari persamaan polinomial karakteristik, maka
persamaan karakteristik tersebut akan mempunyai banyak akar. Akar multiple λi dari
multiplikasi k akan muncul dalam faktorisasi dalam bentuk (λ-λ1)k untuk akar sederhana
k=1.
Untuk menentukan vektor eigen, maka nilai eigen harus ditentukan terlebih dahulu.
Setelah nilai ini diketahui, maka vektor eigen dapat ditentukan dengan sistem persamaan
homogen (λ-λ1)w = 0, dimana λ adalah nilai eigen yang vektor eigennya akan ditentukan.
45
b. Formulasi Supermatriks
Supermatriks terdiri atas beberapa submatriks, dimana setiap blok submatriks berisi
eigenvector-eigenvector dari matriks perbandingan berpasangan A (eigenvector-
eigenvector hasil matriks perbandingan berpasangan antar kriteria atau alternatif) yang
terbentuk pada tahap sebelumnya, atau merupakan submatriks-submatriks nol (elemen-
elemen dalam submatriks seluruhnya bernilai nol). Supermatriks terbentuk tersebut
merupakan supermatriks yang belum diberikan bobot (unweighted supermatriks). Untuk
membentuk supermatriks maka dapat diasumsikan bahwa komponen k, dinyatakan
dengan Ck, k=1,...,N dengan nk elemen, yang dinyatakan dengan ek1, ek2,...,ekN
sebagaimana diperlihatkan dalam supermatriks pada tabel berikut ini.
Tabel 2. 9 Supermatriks
NNNN
NnN
N
N
N
N
n
N
n
NnNNNnn
N
WWW
e
e
e
C
WWW
e
e
e
C
WWW
e
e
e
C
eeeeeeeee
CCC
W
......
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
......
......
............
...
21
2
1
22221
22
22
21
2
11211
11
12
11
1
21222221111211
21
Sumber : Saaty,1996
Di dalam supermatriks dimungkinkan adanya perhitungan setiap efek interdependensi
yang terjadi antar elemen-elemen ANP. Dalam supermatriks ini, vektor-vektor bobot
perbandingan antar kriteria diperlihatkan secara jelas sebagai kolom-kolom di dalam
supermatriks yang merepresentasikan dampak dari elemen-elemen di dalam suatu
komponen terhadap elemen dalam komponen lainnya atau terhadap elemen dalam
komponen itu sendiri.
46
c.Transformasi Nilai Kolom Supermatriks
Dalam supermatriks yang belum diberi bobot (unweighted supermatrix) pada setiap
kolomnya kemungkinan berbentuk kolom yang jika dijumlahkan tidak bernilai satu.
Transformasi perlu dilakukan terhadap kolom-kolom tersebut agar hasil dari penjumlahan
setiap kolom supermatrik tersebut bernilai satu (Sarkis,1999).
Secara umum nilai penjumlahan kolom supermatrik jarang bernilai satu karena setiap
kolom terdiri dari beberapa eigenvector yang apabila dijumlahkan maka masing-masing
kolom menjadi bilangan bulat yang lebih besar dari satu (Saaty 1996). Setiap kolom
supermatriks harus dibuat agar setiap kolomya bila dijumlahkan bernilai 1 (satu) untuk
menghindari divergensi pada nilai yang tak terhingga dan mendapatkan nilai konvergen
dan stabil dalam jangka panjang pada saat dilakukan perhitungan batas limit prioritas.
d. Konsistensi Matriks Perbandingan Berpasangan
Matriks A harus bersifat konsisten, dengan demikian harus memenuhi aspek transivitas.
Matriks bobot A yang diperoleh dari hasil perbandingan berpasangan harus mempunyai
hubungan kardinal (aij.ajk = aik) dan hubungan ordinal (A>B, B>C, Maka A>C) dengan
demikian apabila A1 lebih disukai daripada A2, dan A2 lebih disukai daripada A3, maka
seharusnya A1 lebih diuskai daripada A3.
Pada kenyataannya, akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut.
Kemampuan numerik manusia terbatas sehingga prioritas yang diberikan untuk
sekumpulan elemen tidak selalu konsistem secara logis terutama jika terdapat banyak
elemen yang harus dibandingkan.
Jika penilaian dilakukan secara konsisten, akan diperoleh niali eigen maksimum dari A
yang berniali N. Jika judgement yang dilakukan tidak konsisten, maka masalah yang
dihadapi akan menjadi A’w’ = λmaxw’. Dimana λmax merupakannilai eigen terbesar
(largest or principal eigenvalue) matriks A (Saaty, 1980).
47
A akan konsisten jika dan hanya jika λmax=n , dan hasil yang diperoleh selalu λmax≥n.
Untuk itu perlu dilakukan pengukuran error karena ketidakkonsistenan (inconsistency).
Variansi error yang muncul pada saat mengestimasi aij adalah (λmax-n)/(n-1). Indeks
ketidakkonsistenan diformulasikan dalam persamaan C.I = (λmax-n)/(n-1).
Menurut Saaty, suatu matriks pebandingan berpasangan adalah konsisten apabila nilai
Rasio konsistensi (CR) 0,10 dimana CR=CI/RI. Random Index (RI) adalah CI matriks
random dengan skala perbandingan (1-9) beserta kebalikannya.
Berdasarkan perhitungan Saaty dengan menggunakan 500 sampel diperoleh nilai rata-rata
RI untuk setiap orde matriks tertentu sebagai berikut :
Tabel 2. 10 Hubungan antara Orde Matriks dan Random Index (RI)
Orde Matriks 3 4 5 6 7 8 9 10
R.I 0.52 0.89 1.11 1.25 1.35 1.40 1.45 1.49
Sumber : Saaty,1996