36
25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam sebuah penelitian akademik atau ilmiah, tinjuan pustaka merupakan hal yang sangat penting untuk diuraikan sebagai dasar dalam membangun hubungan antar variabel dan juga kerangka pikir yang pada akhirnya akan menjadi sumber dalam penyusunan hipotesis. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang mendasari masing-masing variabel, aspek-aspek dan faktor pengaruh dari masing-masing variabel. Selain itu dijelaskan juga tentang hasil-hasil penelitian sebelumnya, model penelitian, serta hipotesis penelitian. 2.1 COMMUNICATION APPREHENSION 2.1.1 Pengertian Communication Apprehension Communication Apprehension merupakan kecemasan yang muncul dalam diri individu dalam kaitannya dengan kemampuan berkomunikasi. Communication Apprehension yang biasa dikenal dengan istilah CA dapat terjadi karena kurangnya pengalaman individu atau keterbatasan informasi yang dimiliki. Menurut Beatty (1998) dalam Blume (2013), CA merupakan kombinasi dari dimensi kepribadian yang tertutup dan neuroticism dalam interaksi sosial yang ditandai dengan adanya sikap yang menghindari interaksi atau munculnya berbagai perasaan cemas saat berkomunikasi. Burgoon & Ruffner (1978) dalam Indi (2009) menyatakan bahwa CA merupakan suatu reaksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

  • Upload
    vonhan

  • View
    218

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam sebuah penelitian akademik atau ilmiah, tinjuan

pustaka merupakan hal yang sangat penting untuk diuraikan

sebagai dasar dalam membangun hubungan antar variabel dan

juga kerangka pikir yang pada akhirnya akan menjadi sumber

dalam penyusunan hipotesis. Dalam kaitannya dengan hal

tersebut, maka dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori

yang mendasari masing-masing variabel, aspek-aspek dan faktor

pengaruh dari masing-masing variabel. Selain itu dijelaskan juga

tentang hasil-hasil penelitian sebelumnya, model penelitian, serta

hipotesis penelitian.

2.1 COMMUNICATION APPREHENSION

2.1.1 Pengertian Communication Apprehension

Communication Apprehension merupakan kecemasan

yang muncul dalam diri individu dalam kaitannya dengan

kemampuan berkomunikasi.Communication Apprehension yang

biasa dikenal dengan istilah CA dapat terjadi karena kurangnya

pengalaman individu atau keterbatasan informasi yang dimiliki.

Menurut Beatty (1998) dalam Blume (2013), CA merupakan

kombinasi dari dimensi kepribadian yang tertutup dan

neuroticism dalam interaksi sosial yang ditandai dengan adanya

sikap yang menghindari interaksi atau munculnya berbagai

perasaan cemas saat berkomunikasi. Burgoon & Ruffner (1978)

dalam Indi (2009) menyatakan bahwa CA merupakan suatu reaksi

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

26

negatif yang muncul dalam diri individu yang biasanya berupa

rasa yang dialami individu saat berkomunikasi, baik dalam

komunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum, atau

komunikasi masa. Rogers (2004) juga menyatakan bahwa

kecemasan dan ketakutan berbicara di depan umum ditandai

dengan perasaan gelisah dan tertekan. Selain itu, Daradjat (1969)

menjelaskan bahwa kecemasan merupakan manifestasi dari

berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika

individu mengalami tekanan perasaan dan pertentangan batin.

Spielberger (1972) menambahkan bahwa kecemasan merupakan

reaksi emosional yang disertai dengan perubahan sistem syaraf

otonom dan pengalaman subjektif sebagai tekanan, ketakutan,

dan kegelisahan. Selanjutnya, ada ungkapan yang menyatakan

bahwa CA adalah elemen utama yang berkaitan erat dengan

keterbatasan kemampuan individu dalam berkomunikasi. Secara

tegas, ungkapan tersebut dijelaskan oleh McCroskey (1977, h.75)

sebagai berikut:

---“Communication Apprehension is an individual’s level

of fear or anxiety associated with either real or anticipated

communication with another person or persons”.---

Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di

atas, dapat disimpulkan bahwa CA merupakan tingkat kecemasan

dan ketakutan yang dimiliki oleh individu dalam kaitannya

dengan komunikasi antar individu, dalam konteks berbicara di

depan umum atau dalam melakukan presentasi di depan kelas,

terutama dengan menggunakan Bahasa Inggris.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

27

2.1.2 Teori Communication Apprehension

Kecemasan komunikasi merupakan suatu gejala yang

mempunyai banyak istilah. Horwits (2001) menyatakan bahwa

kecemasan komunikasi sebagai demam panggung (stage fright),

kecemasan komunikasi (communication anxiety), kecemasan

tampil di depan umum (performance anxiety), kemudian

berkembang dengan istilah Communication Apprehension (CA).

CA didefinisikan sebagai kecemasan atau ketakutan yang diderita

oleh individu secara nyata atau antisipasi komunikasi, baik dalam

suatu kelompok atau individu dengan individu, sehingga

kecemasan komunikasi akan sangat memengaruhi komunikasi

verbal mereka. Kecemasan berbicara didepan umum (CA) terbagi

menjadi beberapa komponen. Menurut Rogers (2004) dalam Indi

(2009), kecemasan berbicara di depan umum terbagi menjadi 3

komponen, yaitu komponen fisik, komponen proses mental, dan

komponen emosional. Komponen fisik biasanya dirasakan jauh

sebelum individu memulai pembicaraan, dan gejala-gejala fisik

yang ditimbulkan oleh tiap-tiap individu berbeda-beda. Dalam

komponen proses mental, individu biasanya mengulang kata atau

kalimat, kehilangan ide secara tiba-tiba sehingga sulit mengingat

fakta secara tepat dan melupakan hal penting. Sedangkan,

komponen emosional adalah munculnya rasa tidak mampu, takut,

dan rasa kehilangan kendali.

Horwitz (2001) juga mengemukakan bahwa kecemasan

komunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai

dengan adanya suatu pemikiran bahwa dirinya akan dikritik atau

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

28

dinilai jelek oleh orang lain. Hal ini tampak pada diri seseorang

terutama saat diminta untuk melakukan presentasi dalam bahasa

asing. Seperti yang dikemukan Rakhmat (2007) bahwa orang

yang mengalami kecemasan komunikasi akan sedapat mungkin

menghindari situasi komunikasi, hal ini karena ia takut orang lain

akan mengejeknya atau menyalahkannya.

Selain Horwitz (2001), Berrios (1999) menyatakan bahwa

kecemasan merupakan sesuatu yang berkaitan dengan

ketidakmudahan, ketakutan dan kegugupan yang dirasakan oleh

individu yang memiliki ketakutan untuk gagal dalam

mengerjakan suatu tugas. Selain itu, MacIntyre & Gardner (1991)

menyatakan bahwa kecemasan berbicara merupakan masalah

yang paling rumit dan mengerikan yang sering muncul ketika

individu mencoba berkomunikasi dengan individu-individu

lainnya. Menurut Spielberger (1972), kecemasan berkomunikasi

dibedakan menjadi dua, yaitu state anxiety dan trait anxiety. State

anxiety merupakan kecemasan yang bersifat sementara,

sedangkan trait anxiety lebih mengarahkan pada kestabilan

perbedaan personality dalam kecenderungan untuk merasa

cemas. Dalam hal ini trait anxiety tidak dapat terlihat langsung

pada perilaku individu, tetapi dapat dilihat dari frekuensi state

anxiety yang muncul dalam diri individu.

Sejalan dengan hal tersebut, McCroskey (1977)

menyebutkan bahwa CA merupakan kecemasan dasar yang

sangat berkaitan dengan oral communication. McCroskey juga

menggolongkan CA menjadi 4 tipe atau dimensi, yaitu CA as a

trait, CA in generalized context, CA with generalized people, dan

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

29

juga CA as a state. Communication Apprehension merupakan

kecemasan yang terdapat atau dapat dilihat dalam kelompok, di

dalam kelas, dalam komunikasi interpersonal, dan juga di

lingkungan publik. McCroskey (1977) juga menyatakan bahwa

tidak dalam semua kondisi individu mengalami kecemasan

karena beberapa individu hanya mengalami kecemasan pada

kondisi tertentu, sebagai contohnya adalah berbicara di depan

umum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori

Communication Apprehension yang dikemukakan McCroskey

tersebut yang sesuai dengan tujuan penelitian penulis.

2.1.3 Aspek-Aspek Communication Apprehension

Kecemasan dalam berkomunikasi atau yang lebih dikenal

sebagai CA merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai

dengan adanya suatu pemikiran bahwa dirinya akan dikritik atau

dinilai jelek oleh orang lain. Menurut Horwits (2001) CA

memiliki empat aspek sebagai berikut:

a. Aspek kognitif

Dalam hal ini individu memberikan perhatian

yang berlebihan terhadap diri sendiri dan juga

pandangan atau penilaian orang lain.

b. Aspek motorik

Timbulnya perasaan malu, gelisah dan bingung

jika harus berbicara di depan umum.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

30

c. Perubahan fisiologis

Ditandai dengan meningkatnya detak jantung dan

nadi, keringat berlebihan, tangan dan kaki dingin

serta perut yang mulas atau sakit.

d. Perilaku motorik

Ditandai dengan berbicara yang terpatah-patah,

lebih memilih untuk tidak berbicara, gemetaran,

selalu merunduk atau berusaha untuk menghindari

tatap mata dengan lawan bicara.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Semiun (2006),

bahwa ada empat aspek yang memengaruhi kecemasan berbicara

di depan umum yaitu:

a. Aspek suasana hati.

Aspek-aspek suasana hati dalam gangguan kecemasan

adalah kecemasan, tegang, panik dan kekhawatiran,

individu yang mengalami kecemasan memiliki

perasaan akan adanya hukuman atau bencana yang

akan mengancam dari sumber tententu yang tidak

diketahui. Aspek-aspek suasana hati yang lainnya

adalah depresi dan sifat mudah marah.

b. Aspek kognitif.

Aspek-aspek kognitif dalam gangguan kecemasan

menujukan kekhawatiran dan keprihatinan mengenai

bencana yang diantisipasi oleh individu misalnya

seseorang individu yang takut berada ditengah

khalayak ramai.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

31

c. Aspek somatik.

Aspek-aspek somatik dari kecemasan dapat dibagi

menjadi dua kelompok yaitu pertama aspek langsung

dan aspek tambah. Aspek-aspek langsung terdiri dari

keringat, mulut kering, bernapas pendek, denyut nadi

cepat, tekanan darah meningkat, kepala terasa

berdenyut-denyut, dan otot terasa tegang. Kedua

apabila kecemasan berkepanjangan aspek-aspek

tambah seperti tekanan darah meningkat secara kronis,

sakit kepala, dan gangguan usus (kesulitan dalam

pencernaan, dan rasa nyeri pada perut) dapat terjadi.

d. Aspek motor.

Orang-orang yang cemas sering merasa tidak tenang,

gugup, kegiatan motorik menjadi tanpa arti dan

tujuan, misalnya jari-jari kaki mengetuk-mengetuk,

dan sangat kaget terhadap suara yang terjadi secara

tiba-tiba. Aspek-aspek motor ini merupakan gambaran

rancangan kognitif dan somatik yang tinggi pada

individu dan merupakan usaha untuk melindungi diri

dari apa saja yang dirasanya mengancam.

Selain Horwitz dan Semiun, McCroskey (1984, p.282-283)

juga membagi Communication Apprehension kedalam 4 aspek.

Berikut adalah 4 aspek CA yang dikemukakan oleh McCroskey:

a. Traitlike CA dilihat sebagai “a relatively enduring,

personality type orientation toward a given made of

communication across a wide variety of context”.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

32

Traitlike CA ini berkaitan dengan kesusastraan atau

secara specifik berkaitan dengan CA dalam oral

communication, CA about writing, dan CA about singing

dengan alat ukur WAT dan TOSA untuk masing-masing

kategori.

b. Generalized-Context CA merupakan gambaran

komunikasi dengan konteks yang disamaratakan.

McCroskey (1977) melihat Generalized-context CA

sebagai “relatively enduring, personality type

orientation toward communication in a given type of

context”. Hal ini berarti kecemasan dalam

berkomunikasi muncul karena individu harus berbicara

sesuai dengan konteks yang diberikan. Dalam jenis ini,

terdapat 4 varian CA yaitu CA dalam public speaking,

CA dalam speaking in a meeting/classroom, CA dalam

speaking dikelompok kecil, dan CA dalam interaksi

diadik.

Alat ukur yang digunakan oleh penulis adalah PRCA

(Personal Report of Communication Apprehension)

Scale. Hal ini dikarenakan PRCA lebih menjawab

kebutuhan penulis dalam penelitiannya karena terdapat

banyak aspek yang ditemui, seperti dalam diskusi

kelompok, menyampaikan ide atau gagasan dalam kelas,

dan lain sebagainya.

c. Person-Group CA (CA with generalized people)

menggambarkan reaksi dari individu dalam

berkomunikasi dengan individu atau grup dalam waktu

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

33

tertentu. McCroskey (1977) memandang hal ini sebagai,

“a relatively enduring orientation toward communication

with a given person or group of people”. Dalam tipe atau

jenis ini, CA muncul karena ketidakfamiliaran dengan

orang yang diajak berkomunikasi atau berinteraksi.

d. Situational CA / CA as a State menggambarkan reaksi

yang akan ditimbulkan atau dimunculkan oleh individu

dalam berkomunikasi dengan individu atau kelompok

tertentu dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

McCroskey (1977) memandang CA tipe ini sebagai,

“transitory orientation toward communication with a

given person or group of people”. Ini berarti komunikasi

tidak terjadi dalam situasi seperti kehidupan sehari-hari,

tetapi lebih dalam situasi yang khusus.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh beberapa

peneliti diatas, penulis menggunakan aspek CA yang

dikemukakan oleh McCroskey (1984). Hal ini dikarenakan aspek-

aspek CA yang dikemukakan oleh McCroskey tersebut, sesuai

dengan kebutuhan penulis. Selain itu, aspek-aspek yang

dikemukakan oleh McCroskey (1984) jauh lebih mudah untuk

dijumpai di dalam kehidupan nyata seperti halnya di kelas Public

Speaking.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

34

2.1.4 Faktor – faktor yang memengaruhi Communication

Apprehension

Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi CA, antara

lain faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal CA dapat

dilihat dari faktor-faktor yang dinyatakan oleh Miller (2002).

Miller (2002) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang

memengaruhi CA adalah sebagai berikut:

a. Lack of preparation

Dalam hal ini, tingkat kecemasan yang muncul dalam diri

individu dipengaruhi oleh kesiapan individu dalam

mempersiapkan ataupun melakukan presentasi. Semakin

sering individu mempersiapkan diri, maka tingkat CA

yang dimilikinya menurun.

b. Lack of speaking skills

Kemampuan berbicara merupakan modal utama yang

harus dimiliki individu dalam berkomunikasi dan

berinteraksi. Salah satu contohnya adalah presentasi.

Apabila individu tidak memiliki skill dalam

berkomunikasi

c. Negative reinforcement from previous communication

efforts

Pengalaman individu yang gagal menjalankan suatu tugas

sebelumnya akan menentukan sikap individu dalam

melakukan tugas berikutnya.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

35

d. Poor role models from which communication was learned

Tidak adanya individu yang berkompeten untuk dijadikan

contoh atau untuk ditiru, membuat individu dapat dengan

mudah mengalami kecemasan dalam berkomunikasi.

Sedangkan faktor internal CA, terdapat dalam faktor yang

dikemukakan oleh McCroskey (1977). McCroskey (1977)

menunjukkan bahwa terdapat dua faktor psikologi dalam CA

yaitu emosi dan motivasi.

Mengacu pada faktor-faktor CA yang dikemukakan oleh

McCroskey, Thaher (2005) melakukan penelitian tentang CA dan

menggolongkan faktor-faktor CA tersebut menjadi 3 kategori atau

golongan sebagai berikut:

a. Psychological factors

Yang termasuk di dalam psychological factors adalah

emotion, self efficay, attitude, fear, dan motivation

b. Instructional factors

Yang termasuk di dalam instructional factors adalah

goals, teacher, method, text, time, intensity, dan means of

evaluation.

c. Sosiocultural factors

Sedangkan yang termasuk di dalam sosiocultural factors

adalah acculturation, sosial distance, second versus

foreign language learning dan culturally accepted

thought.

Selanjutnya, Khajavy & Khodadady (2013)

menambahkan bahwa faktor afeksi merupakan bagian dari emosi.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

36

Salah satu faktor afeksi yang berperan penting dalam CA adalah

Self Efficacy. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Self

Efficacy merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan

kecemasan berpresentasi di depan banyak orang atau yang biasa

disebut dengan CA. Hal tersebut dipertegas oleh Bandura (1997)

yang menyatakan bahwa ketika individu menghadapi tugas yang

menekan, dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan

individu terhadap kemampuan mereka (Self-Efficacy) akan

memengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang

menekan.

Disisi lain, untuk dapat melakukan presentasi secara

maksimal, individu perlu menyeimbangkan aspek afektif dan

kognitif yang ada dalam dirinya. Seperti yang disampaikan oleh

Tsagarakis (1992), yang menyatakan bahwa Self Efficacy

merupakan bagian dari variabel kognitif, sehingga Self Efficacy

memiliki kaitan dengan Communication Apprehension. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa individu dengan Self Efficacy

tinggi akan memiliki tingkat CA yang rendah, demikian juga

sebaliknya.

Sesuai dengan faktor-faktor yang telah diuraikan, penulis

tertarik untuk melakukan penelitian dengan landasan faktor-

faktor eksternal internal yang memengaruhi CA. Dengan

demikian, sesuai dengan faktor-faktor yang telah diuraikan, maka

penulis menggunakan faktor-faktor yang dikemukakan oleh

McCroskey (1977) dan Thaher (2005).

Pada akhirnya, Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi

dipilih sebagai variabel dalam penelitian ini. Motivasi yang

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

37

digunakan dalam penelitian ini adalah Motivasi Berprestasi

karena yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah

mahasiswa yang mengambil matakuliah Speaking. Didalam

matakuliah Speaking, berhasil atau tidaknya mahasiswa di dalam

matakuliah tersebut dapat dilihat dari performansi mereka. Itulah

sebabnya, motivasi yang digunakan penulis dalam penelitian ini

adalah Motivasi Berprestasi. Demikian pula dengan Self Efficacy,

karena yang menjadi subyek penelitian ini adalah mahasiswa

FBS, yang mana Bahasa Inggris merupakan bahasa asing bagi

mereka maka penulis menggunakan istilah Foreign Language

Learner (FLL) Self Efficacy.

2.2 Foreign Language Learner (FLL) Self Efficacy

2.2.1 Pengertian

Menurut Schultz (1994), Self Efficacy adalah perasaan

individu terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan individu

dalam mengatasi kehidupan. Selanjutnya, Lahey (2004)

mendefinisikan Self Efficacy sebagai persepsi bahwa seseorang

mampu melakukan sesuatu yang penting untuk mencapai

tujuannya. Hal ini mencakup perasaan mengetahui apa yang

harus dilakukan dan juga secara emosional mampu untuk

melakukannya. Woolfolk (2004) menambahkan bahwa Self

Efficacy adalah penilaian spesifik yang berkaitan dengan

kompetensi untuk mengerjakan sebuah tugas yang spesifik,

sedangkan Bandura (1997) menyatakan bahwa Self Efficacy

adalah keyakinan individu terhadap kemampuan akan

memengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi dan

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

38

kondisi tertentu. Sedangkan FLL Self Efficacy merupakan bagian

dari Academic Self Efficacy, yang mana Academic Self Efficacy

merupakan penilaian pribadi mengenai kemampuan yang dimiliki

individu untuk mengolah dan melaksanakan suatu tindakan dalam

serangkaian pelajaran atau mata pelajaran untuk mencapai

berbagai macam performance dalam pendidikan sebagaimana

yang diungkapkan oleh Zimmerman (1991) dalam Akomolafe

(2013). Selain itu yang menjadi subjek penelitian ini adalah

mahasiswa, yang apabila dilihat dari segi pembelajaran Bahasa

Inggris, mereka merupakan Foreign Language Learners.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa

Self Efficacy adalah kemampuan dan keyakinan individu dalam

mencapai keberhasilan dalam segala bidang, termasuk dalam

dunia akademik. Demikian pula dengan FLL Self Efficacy, dari

berbagai uraian yang telah disajikan, dapat disimpulkan bahwa

FLL Self Efficacy adalah kemampuan dan keyakinan individu

untuk berhasil dalam melakukan presentasi dengan demikian

akan mendapatkan nilai yang bagus di dalam kelas Speaking.

2.2.2 Dimensi Self Efficacy

Corsini (1994) menyatakan bahwa Self-Efficacy terdiri dari

empat dimensi sebagai berikut:

a. Kognitif, merupakan kemampuan seseorang dalam

memikirkan cara-cara yang digunakan dan merancang

tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan

yang diharapkan.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

39

b. Motivasi, merupakan kemampuan seseorang untuk

memotivasi diri melalui pikirannya dalam melakukan

suatu tindakan dan keputusan untuk mencapai tujuan

yang diharapkan.

c. Afeksi, merupakan kemampuan dalam mengatasi

emosi yang mungkin timbul pada diri individu dalam

mencapai tujuan yang diharapkan.

d. Seleksi, merupakan kemampuan seseorang untuk

menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat

sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Sedangkan menurut Bandura (1997), Self-Efficacy individu

dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu:

a. Tingkat (level)

Self-efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas

berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki

Self-Efficacy yang tinggi pada tugas yang mudah dan

sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan

membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang

memiliki Self-Efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas

yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.

b. Keluasan (generality)

Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu

terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat

menyatakan dirinya memiliki Self-Efficacy pada aktivitas

yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja.

Individu dengan Self-Efficacy yang tinggi akan mampu

menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

40

suatu tugas. Individu yang memiliki Self Efficacy yang

rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan

dalam menyelesaikan suatu tugas.

c. Kekuatan (strength)

Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat

kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya.

Self Efficacy menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan

individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang

diharapkan individu. Self Efficacy menjadi dasar dirinya

melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui

hambatan sekalipun.

Berdasarkan dimensi-dimensi Self Efficacy yang

dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut, penulis memilih untuk

menggunakan dimensi Self Efficacy yang dikemukakan oleh

Bandura (1997), karena lebih sesuai dengan kebutuhan penulis.

Selain itu, salah satu dimensi Self Efficacy yang dikemukakan

oleh Corsini adalah motivasi, yang mana motivasi merupakan

variabel bebas didalam penelitian yang dilakukan penulis.

2.2.3 Peran Self Efficacy

Menurut Bandura (1997), Self Efficacy atau efikasi diri

akan memengaruhi bagaimana individu merasakan, berpikir,

memotivasi diri sendiri, dan bertingkah laku. Berikut ini

merupakan peran efikasi diri bagi tiap-tiap individu:

a. Tindakan individu

Efikasi diri menentukan kesiapan individu dalam

merencanakan apa yang harus dilakukanya.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

41

b. Usaha

Efikasi diri mencerminkan seberapa besar upaya yang

dikeluarkan individu untuk mencapai tujuanya.

c. Daya tahan individu dalam menghadapi rintangan atau

kegagalan

Individu dengan efikasi diri tinggi mempunyai daya tahan

yang kuat dalam menghadapi rintangan atau kegagalan serta

dengan mudah dapat mengembalikan rasa percaya diri

setelah mengalami kegagalan.

d. Ketahanan individu dalam keadaan tidak nyaman

Individu dengan efikasi diri menganggap keaadaan tidak

nyaman sebagai suatu tantangan, dan bukan sebagai sesuatu

yang harus dihindari.

e. Pola pikir

Pola pikir individu dengan efikasi diri tinggi tidak akan

mudah terpengaruh dengan situasi lingkungan.

f. Stress dan Depresi

Individu dengan efikasi diri tinggi tidak akan mudah

mengalami stress atau depresi.

g. Tingkat pencapaian yang akan terealisasi

Individu dengan efikasi diri tinggi dapat membuat tujuan

sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

2.3 Motivasi Berprestasi

2.3.1 Pengertian

Beberapa ahli melihat istilah motivasi dari berbagai sudut

pandang, namun mereka memiliki konsep yang sama yaitu bahwa

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

42

motivasi berkaitan dengan tujuan. Motivasi berasal dari kata

“motif” yang dalam Bahasa Inggris adalah motive. Motive berasal

dari kata motion yang mempunyai arti gerak atau sesuatu yang

bergerak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi

merupakan suatu dorongan atau penggerak untuk menjadi aktif.

Perspektif yang pertama adalah dari Schunk, Pintrich, and Meece

(2010) yang melihat bahwa motivasi berkaitan erat dengan

keinginan dan tujuan seseorang. Mereka menyatakan bahwa

keinginan dan tujuan mengarahkan dan memotivasi seseorang

untuk mencapai hasil yang maksimal. Asnawi (2002)

menambahkan bahwa motivasi adalah kondisi yang berpengaruh

dalam membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku

tiap-tiap individu terhadap suatu aktivitas.

Menurut Putra (2010) motivasi merupakan satu penggerak

dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai

sesuatu tujuan dengan kata lain sebagai rencana atau keinginan

untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup.

Motivasi juga bisa dikatakan sebagai sebuah proses untuk

tercapainya suatu tujuan. Seseorang yang mempunyai motivasi

berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh

kesuksesan dalam kehidupan. Motivasi dapat berupa motivasi

intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi yang bersifat intinsik adalah

dorongan yang berasal dari dalam diri pribadi tersebut, sehingga

orang yang mempunyai jenis motivasi ini melakukan sesuatu

untuk kepuasan mereka sendiri tanpa ada rangsangan atau faktor

lain seperti status ataupun imbalan Sedangkan motivasi ekstrinsik

adalah hal – hal yang berasal dari luar diri individu yang

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

43

mendorong tiap individu untuk lebih termotivasi dalam

melakukan suatu kegiatan atau aktivitas seperti hadiah atau

peringatan. Dari berbagai pengertian yang telah diuraikan dapat

disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu tenaga atau daya

yang berasal dari dalam diri individu, dan yang mendorong

munculnya suatu tindakan dalam mencapai sebuah tujuan.

Banyak teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli

yang dimaksudkan untuk memberikan uraian yang menuju pada

apa sebenarnya manusia dan manusia akan dapat menjadi seperti

apa, termasuk motivasi berprestasi. Motivasi Berprestasi

merupakan teori yang dikembangkan oleh David McClelland

(1985). Teori ini didasarkan pada teori kebutuhan Maslow,

namun ia memiliki konsep tersendiri yang dirangkumnya menjadi

tiga kebutuhan dan salah satunya adalah kebutuhan untuk

berprestasi, yaitu need for achievement (nAch). McClelland

(1985) berpendapat bahwa Motivasi Berprestasi adalah

kecenderungan individu berupaya untuk mengarahkan tingkah

laku dalam pencapaian prestasi. Robert (2009) menyatakan

bahwa

“---need for Achievement (N-Ach) refers to an

individual’s desire for significant accomplishment, mastering of

skills, control, or high standards.”---

Lebih lanjut, Robert (2009) menyatakan bahwa need for

achievement is the desire to accomplish difficult tasks and to

meet standards of excellence. Sedangkan menurut Handoko

(2003), Motivasi Berprestasi adalah dorongan yang muncul dari

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

44

dalam diri individu untuk berupaya guna mencapai prestasi kerja

yang tinggi.

McClelland (1985) dalam penelitiannya menunjukkan

bahwa kebutuhan yang kuat untuk berprestasi, dorongan untuk

berhasil atau unggul berkaitan dengan sejauh mana individu

termotivasi untuk melakukan tugasnya. Individu dengan

kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi suka bertanggung jawab

untuk memecahkan masalah, mereka cenderung untuk

menetapkan sasaran yang cukup sulit untuk mereka sendiri dan

mengambil resiko yang sudah diperhitungkan untuk mencapai

sasaran ini dan mereka sangat menghargai umpan balik tentang

seberapa baik mereka bekerja. Dengan demikian mereka yang

mempunyai kebutuhan berprestasi (nAch) yang tinggi cenderung

termotivasi dengan situasi kerja yang penuh tantangan dan

persaingan sedangkan individu dengan kebutuhan berprestasi

rendah cenderung berprestasi jelek dalam situasi kerja yang sama

(Stoner dkk, 1996).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

Motivasi Berprestasi adalah kebutuhan yang mendorong individu

melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan yaitu

menghasilkan prestasi yang lebih baik sesuai dengan standar

keunggulan. Motivasi Berprestasi ini didasarkan atas

kecenderungan untuk meraih sukses dan kecenderungan untuk

menghindari kegagalan. Untuk mencapai prestasi yang lebih baik,

individu barusaha untuk mengatur lingkungan serta mengatasi

berbagai rintangan yang ada agar dapat menyelesaikan tugas

dengan baik. Selanjutnya, berusaha untuk lebih baik dari pada

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

45

prestasi yang berhasil diraih sebelumnya dan mengungguli

prestasi orang lain.

Motivasi Berprestasi (achievement motivation) merupakan

teori yang dikenalkan oleh David McClelland (1985). Dasar

teorinya tetap berakar pada teori kebutuhan Maslow, namun

McClelland mencoba mengkristalisasikannya menjadi tiga

kebutuhan. Tiga kebutuhan yang dipelajari adalah (Ivancevich

dkk, 2006):

a. Kebutuhan akan pencapaian (need for achievement, n

Ach),

b. Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation, n Aff), dan

c. Kebutuhan akan kekuasaan (need for power, n Pow).

Dalam membangun teorinya, McClelland (1985)

mengajukan teori kebutuhan motivasi yang dipelajari erat

hubunganya dengan konsep belajar. Menurutnya, banyak

kebutuhan yang didapatkan dari kebudayaan suatu masyarakat.

Untuk melihat Motivasi Berprestasi, digunakan metode

pengetesan dengan tes TAT (Thematic Apperception Test). Tes

ini merupakan tes proyektif yang menggunakan analisa terhadap

seseorang dari gambar-gambar untuk mengetahui perbedaan

individual. Zarkasyi (2006) menyatakan bahwa dari penelitian

yang dilakukan, kemudian dihasilkan profil individu yang

memiliki kebutuhan berprestasi (nAch):

a. Individu dengan nAch tinggi memilih untuk menghindari

tujuan prestasi yang mudah dan sulit. Mereka sebenarnya

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

46

memilih tujuan yang moderat yang mereka pikir akan

mampu mereka raih.

b. Individu dengan nAch tinggi memilih umpan balik

lansung dan dapat diandalkan mengenai bagaimana

mereka berprestasi.

c. Individu dengan nAch tinggi menyukai tanggung jawab

pemecahan masalah.

McClelland (1985) menyatakan bahwa ketika muncul

suatu kebutuhan yang kuat di dalam diri individu, kebutuhan

tersebut memotivasi diri untuk menggunakan perilaku yang dapat

mendatangkan kepuasan. Penelitian McClelland (1985)

menunjukkan bahwa motif yang kuat untuk berprestasi,

keinginan untuk berhasil atau unggul dalam situasi persaingan,

berhubungan dengan sejauh mana individu dimotivasi untuk

menjalankan tugas-tugasnya. Dengan kata lain, Motivasi

Berprestasi adalah usaha untuk mencapai sukses dan bertujuan

untuk berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan.

Dengan demikian, disimpulkan bahwa Motivasi

Berprestasi merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh

McClelland (1985) dengan mengemukakan tiga kebutuhan

manusia yakni kebutuhan akan pencapaian, afiliasi, dan

kekuasaan. Demikian juga dalam kaitanya dalam presentasi yang

dilakukan didalam kelas Speaking. Individu yang memiliki

kebutuhan berprestasi tinggi akan berupaya semaksimal mungkin

untuk melakukan pencapaian prestasi yang maksimal.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

47

2.3.2 Ciri-ciri Motivasi Berprestasi

Dalam kaitannya dengan belajar, motivasi sangat erat

hubungannya dengan kebutuhan aktualisasi diri sehingga

motivasi paling besar pengaruhnya pada kegiatan belajar siswa

yang bertujuan untuk mencapai prestasi tinggi. Apabila tidak ada

Motivasi Berprestasi dalam diri siswa, maka akan menimbulkan

rasa malas dalam mengikuti proses belajar mengajar maupun

mengerjakan tugas-tugas individu dari guru. Individu dengan

Motivasi Berprestasi tinggi dalam belajar akan memunculkan

minat yang besar dalam mengerjakan tugas, membangun sikap

dan kebiasaan belajar yang sehat melalui penyusunan jadual

belajar dan melaksanakannya dengan tekun.

Menurut McClelland (1985) ciri-ciri individu yang memiliki

Motivasi Berprestasi tinggi yaitu:

a. Pengambilan resiko sedang. Individu memilih pencapaian

prestasi dengan resiko sedang sehingga dalam

pengambilan tugas individu memiliki keyakinan dapat

meraih sukses dan menghindari kegagalan, serta sukses

dicapai dengan cara yang inovatif.

b. Menginginkan umpan balik. Individu menyukai aktivitas

yang dapat memberikan umpan balik berharga dan cepat

mengenai kemajuan dalam mencapai tujuan. Dengan

demikian, individu perlu memanfaatkan waktu secara

efektif, baik dalam belajar maupun dalam mengerjakan

tugas-tugas.

c. Puas dengan prestasi. Individu yang tingkat prestasinya

tinggi menganggap bahwa menyelesaikan tugas

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

48

merupakan hal yang menyenangkan secara pribadi,

mereka tidak mengharapkan penghargaan material, namun

memiliki pemikiran yang berorientasi pada pengharapan

akan penghargaan di masa depan.

d. Totalitas terhadap tugas. Individu yang memiliki motivasi

berprestasi tinggi cenderung total dan gigih dengan

mengerjakan tugas, hingga dapat menyelesaikannya

dengan sukses.

Menurut Ivancevich, dkk (2006), ciri-ciri individu yang

memiliki Motivasi Berprestasi tinggi adalah:

a. Suka menerima tanggung jawab untuk memecahkan

masalah.

b. Cenderung menetapkan pencapaian yang moderat dan

cenderung mengambil resiko yang telah diperhitungkan.

c. Menginginkan umpan balik atas kinerja.

Sedangkan menurut Martaniah dalam Noya (2011), individu

dengan Motivasi Berprestasi tinggi memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

a. Mempunyai aspirasi yang tingkatnya sedang, karena

menurut beberapa penelitian individu yang mempunyai

motif berprestasi tinggi memiliki resiko yang sedang

sedangkan individu yang memiliki motif berprestasi

rendah memilih tugas-tugas yang terlalu sukar dan terlalu

mudah.

b. Perspektif waktunya berorientasi ke depan. Hal ini

didasarkan pada penemuan bahwa individu yang

mempunyai motif berprestasi tinggi mempunyai sifat

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

49

dinamis yang lebih tinggi dari pada individu yang

mempunyai motif berprestasi rendah. Hal ini menjadikan

individu tersebut berorientasi ke depan.

c. Adanya suatu dorongan untuk menyelesaikan tugas yang

belum selesai.

d. Cenderung bertindak secara inovatif dan kreatif.

e. Menyukai hal-hal baru yang penuh tantangan.

Ciri yang dikemukakan di atas merupakan hal yang sangat

penting untuk dimiliki oleh setiap individu yang memiliki

motivasi berprestasi tinggi. Hal ini disebabkan karena tanpa

memiliki ciri tersebut maka individu tidak dapat dikatakan

memiliki Motivasi Berprestasi yang tinggi. Oleh sebab itu ciri

yang dikemukakan di atas dapat menunjukkan bahwa individu

yang memiliki Motivasi Berprestasi yang tinggi cenderung

memiliki tingkat prestasi belajar yang tinggi jika dibandingkan

dengan individu yang memiliki Motivasi Berprestasi yang

rendah.

Berdasarkan berbagai uraian tersebut, penulis

menggunakan ciri-ciri Motivasi Berprestasi yang dikemukakan

oleh McClelland (1985), dikarenakan ciri-ciri tersebut lebih

sesuai dengan kebutuhan penulis.

2.3.3. Peran Motivasi Berprestasi

Motivasi Berprestasi merupakan salah satu faktor

psikologis dalam belajar yang memiliki peran penting sebagai

penggerak atau pendorong jiwa individu untuk melakukan

kegiatan belajar.Meskipun demikian, Motivasi Berprestasi dapat

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

50

berubah ataupun hilang seketika dan muncul dengan tiba-tiba.

Hal ini terjadi karena adanya fungsi atau peran yang dimiliki.

Menurut Dimyati, dkk (2002) peranan Motivasi Berprestasi

adalah sebagai berikut:

a) Cita-cita atau aspirasi mahasiswa. Cita-cita akan

memperkuat motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik.

Sebab tercapainya suatu cita-cita akan mewujudkan

aktualisasi diri.

b) Kemampuan mahasiswa. Kemampuan akan memperkuat

motivasi mahasiswa untuk melaksanakan tugas-tugas

perkembangan. Keinginan seorang mahasiswa perlu

diikuti dengan perkembangan atau kecakapan dalam

mencapainya.

c) Kondisi mahasiswa. Kondisi mahasiswa yang meliputi

kondisi jasmani dan rohani mempengaruhi motivasi.

Seorang mahasiswa yang sedang sakit, lapar atau marah-

marah akan mengganggu perhatian belajar, dan

sebaliknya.

d) Kondisi Lingkungan. Lingkungan mahasiswa dapat

berupa keadaan alam, lingkungan tempat tinggal,

pergaulan sebaya dan kehidupan kemasyarakatan. Oleh

karena itu kondisi lingkungan sekolah yang sehat,

kerukunan hidup, serta ketertiban pergaulan perlu

dipertinggi mutunya. Dengan lingkungan yang aman,

tenteram, tertib dan indah, maka motivasi berprestasi

mudah diperkuat.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

51

e) Unsur-unsur dinamis dalam belajar dan pembelajaran.

Setiap mahasiswa memiliki perasaan, perhatian, kemauan,

ingatan dan pikiran yang mengalami perubahan berkat

pengalaman hidupnya. Dengan demikian maka unsur-

unsur yang bersifat labil tersebut sangat mudah untuk

dipengaruhi.

f) Upaya pengajar dalam mengajar. Pengajar adalah

pendidik profesional yang selalu bergaul dengan

mahasiswa. Intensitas pergaulan dan bimbingan pengajar

tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

jiwa mahasiswa. Sehingga sebagai seorang yang

profesional, pengajar harus mampu membelajarkan

mahasiswa secara bijaksana.

Berdasarkan uraian di atas, Motivasi Berprestasi tidak

selamanya stabil. Hal ini disebabkan banyaknya faktor-faktor

yang memengaruhi Motivasi Berprestasi tersebut seperti

kemampuan mahasiswa, kondisi mahasiswa, lingkungan

mahasiswa dan lain-lain.

2.4 Hasil Penelitian Sebelumnya

Communication Apprehension mahasiswa di kelas Public

Speaking dapat menjadi suatu penentu mengenai tinggi rendahnya

nilai yang akan diperoleh. Semakin tinggi tingkat CA yang dimiliki

mahasiswa, pada umumnya akan semakin rendah nilai yang

diperoleh. Namun, semakin rendah tingkat CA yang dimiliki maka

semakin tinggi nilai yang akan mereka peroleh. Dengan demikian,

untuk menurunkan CA mahasiswa di kelas Public Speaking, maka

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

52

perlu ditelusuri faktor-faktor apa saja yang memiliki hubungan

dengan dengan penurunan tingkat CA mahasiswa. Oleh sebab itu,

berbagai penelitian sebelumnya telah menemukan hasil analisa

bahwa, FLL Self Efficacy, Motivasi Berprestasi, dan karakteristik

personal (jenis kelamin) menjadi faktor yang memiliki keterkaitan

dengan Communication Apprehension.

a. Hubungan FLL Self Efficacy dengan Communication

Apprehension

Untuk dapat menurunkan tingkat Communication

Apprehension, maka mahasiswa perlu berupaya untuk memiliki

FLL Self Efficacy yang tinggi dalam mengikuti matakuliah Public

Speaking. Artinya, FLL Self Efficacy merupakan salah satu faktor

penting yang memiliki keterkaitan terhadap penurunan tingkat

CA.

Ada berbagai temuan penelitian yang telah dilakukan oleh

para ahli dalam kaitan dengan hubungan antara Self Efficacy dan

Communication Apprehension diantaranya; penelitian Indi (2009)

mengenai hubungan antara Self Efficacy dengan CA pada 184

mahasiswa Fakultas Psikologi USU. Indi menggunakan Skala

Self Efficacy dan Skala Kecemasan berbicara di depan umum

yang disusun dalam bentuk Skala Likert berdasarkan aspek-aspek

Self Efficacy dan komponen kecemasan berbicara di depan

umum. Analisis dalam penelitian tersebut menggunakan korelasi

Pearson Product Moment dengan hasil terdapat hubungan negatif

signifikan antara Self Efficacy dengan kecemasan berbicara di

depan umum (r = -.670 dengan p=0,01). Dengan kata lain,

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

53

semakin tinggi Self Efficacy yang dimiliki mahasiswa, maka

semakin rendah tingkat kecemasan berbicara di depan umum dan

begitu juga sebaliknya.

Penelitian yang dilakukan oleh Indi sejalan dengan

penelian yang dilakukan oleh Putra (2010), yang meneliti

mengenai hubungan Self Efficacy dan konsep diri dengan CA.

Subyek dalam penelitian ini adalah 58 mahasiswa yang berumur

18-22 tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan

negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di muka

umum (rx1y = 0,520, p < 0,001) dan sumbangan efektif sebesar

27,0%. Penelitian Indi (2009) dan Putra (2013) juga didukung

dengan penelitian yang dilakukan oleh Respati dkk., (2008),

dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0.518 dengan signifikansi

nilai (p) = 0,000. Yusuf (2011) dan Azar (2013) yang juga

meneliti mengenai hubungan Self Efficacy dengan CA dengan

hasil yang negatif signifikan.

Sebaliknya, ada hasil penelitian yang ditemukan berbeda

oleh para peneliti sebelumnya. Cubukcu (2008) juga melakukan

penelitian yang sama terhadap 100 mahasiswa disalah satu

universitas di Turki. Namun hasil dari penelitian yang dilakukan

oleh Cubukcu (2008) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan

antara Self Efficacy terhadap CA yang ditunjukkan dengan nilai

koefisien korelasi sebesar 0.003, dengan kata lain memiliki

koefisien korelasi antar variabel yang termasuk dalam kategori

sangat rendah. Dengan kata lain, tinggi rendahnya Self Efficacy

yang dimiliki oleh individu tidak ada kaitanya dengan CA yang

dimiliki oleh tiap – tiap individu.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

54

b. Motivasi Berprestasi dan Communication Apprehension

Selain Self Efficacy, penelitian mengenai motivasi dengan

CA juga telah dilakukan oleh beberapa penulis. Putra (2010)

menemukan bahwa ada hubungan signifikan antara motivasi

dengan performance mahasiswa di STIE AMA Salatiga yang

ditunjukkan dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0.05). Budiawan

(2008) juga menemukan hubungan yang signifikan antara

Motivasi Belajar Bahasa Inggris dengan Prestasi dalam

mempelajari Bahasa Inggris. Penelitian serupa juga dilakukan

oleh Yusuf (2011) dan Azar (2013) yang meneliti mengenai Self

Efficacy, Motivasi Berprestasi dan prokrastinasi dalam kaitanya

dengan achievement dan juga performance dengan nilai

signifikan 0,04 (p< 0,05). Temuan peneliti sebelumnya tersebut

menunjukkan bahwa Motivasi cenderung memiliki hubungan

yang positif dan signifikan dengan performance.

Namun, hasil dari penelitian-penelitian di atas berbeda

dengan penelian yang dilakukan oleh Baharudin (2013) terhadap

siswa kelas XI di Pejagoan Kebumen. Baharudin (2013)

menemukan bahwa motivasi tidak memiliki hubungan yang

positif dan signifikan dengan performance mahasiswa dalam

menggunakan Bahasa Inggris dengan koefisien determinasi (R

Square) sebesar 0,019, yang menggambarkan bahwa sumbangan

motivasi terhadap performance sangat kecil yaitu 1,9 % atau

hampir tidak memberikan pengaruh. Ray (1990) menganalisa

mengenai hubungan Motivasi Berprestasi dengan (CA) dari

berbagai macam sudut pandang budaya. Hasil analisis dan

penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

55

Motivasi Berprestasi dengan kecemasan berbahasa asing (CA).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan Motivasi

Berprestasi dengan Communication Apprehension masih dalam

perdebatan. Oleh sebab itu penulis ingin menguji kembali

hubungan Motivasi Berprestasi dengan Communication

Apprehension.

c. Self Efficacy, Motivasi Berprestasi, dan Communication

Apprehension

Penelitian mengenai Self Efficacy, Motivasi Berprestasi,

dan Communication Apprehension sudah pernah dilakukan oleh

Mettasari (2013). Mettasari (2013) melakukan penelitian terhadap

130 mahasiswa semester 1 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di

Universitas Pendidikan Ganesha. Penelitiannya menemukan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Self Efficacy dan

Communication Apprehension, dan juga terdapat hubungan yang

signifikan antara Motivasi Berprestasi dengan Communication

Apprehension. Selain itu, Yusuf (2011) dan Azar (2013) juga

meneliti mengenai Self Efficacy, Motivasi Berprestasi dan

prokrastinasi dalam kaitannya dengan achievement dan juga

performance dengan hasil temuan bahwa Self Efficacy dan

Motivasi Berprestasi memiliki hubungan yang positif dengan

Communication Apprehension.

Atas dasar inilah, penulis menuliskan hipotesa: ada

korelasi antara FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi

dengan Communication Apprehension.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

56

d. Interaksi Self Efficacy dan Jenis Kelamin terhadap

Communication Apprehension

Dalam kaitan dengan pengaruh interaksi Self Efficacy dan

jenis kelamin terhadap Communication Apprehension, beberapa

peneliti menemukan hasil yang berbeda. Penelitian Azar (2013)

menghasilkan temuan bahwa ada interaksi yang signifikan antara

FLL Self Efficacy dan jenis kelamin terhadap CA dengan nilai

signifikansi 0.001 (p<0,05). Namun, temuan Azar (2013) berbeda

dengan temuan Cubukcu (2008), yang menemukan bahwa tidak

ada interaksi antara FLL Self Efficacy dan jenis kelamin terhadap

Communication Apprehension.

Atas dasar hasil penelitian Azar (2013), penulis merumuskan

hipotesa: ada interaksi antara FLL Self Efficacy dan jenis kelamin

terhadap Communication Apprehension.

e. Interaksi Motivasi Berprestasi dan Jenis Kelamin dengan

Communication Aprrehension

Dalam kaitannya dengan interaksi Motivasi Berprestasi

dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension,

beberapa peneliti menemukan hasil yang berbeda. Azar (2013)

melakukan penelitian dengan temuan bahwa terdapat interaksi

antara Motivasi Berprestasi dan jenis kelamin terhadap

Communication Apprehension dengan nilai signifikansi 0.04

(p<0,05). Hasil temuan Azar (2013) berbeda dengan hasil temuan

Ray (1990), yang menganalisa mengenai hubungan Motivasi

Berprestasi dengan kecemasan berbahasa (CA) dari berbagai

macam sudut pandang budaya. Hasil analisis dan penelitiannya

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

57

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara Motivasi

Berprestasi dengan kecemasan berbahasa asing (CA)

Berdasarkan temuan Azar (2013), maka penulis menulis

hipotesa; ada interaksi antara Motivasi Berprestasi dan jenis

kelamin terhadap Communication Apprehension.

f. Perbedaan Communication Apprehension ditinjau dari

Jenis Kelamin

Salah satu faktor demografi yang diteliti oleh beberapa

penelitian sebelumnya dalam kaitannya dengan Communication

Apprehension adalah jenis kelamin. Selain jenis kelamin dapat

berpengaruh pada Communication Apprehension mahasiswa,

perbedaan jenis kelamin juga menarik untuk diteliti sehubungan

dengan Communication Apprehension.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Thaher (2005)

ditemukan bahwa tidak ada perbedaan cukup berarti antara laki-

laki dan perempuan dalam kaitannya dengan tingkatan

Communication Apprehension [(0,731 > 0,05), t-hitung < t-tabel

(0,344 < 1,96)]. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh

Cubukcu (2008) menemukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat

Communication Apprehension antara responden laki-laki dan

perempuan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Thaher (2005) dan

Cubukcu (2008) berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Johnson & Faunce (1973). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa mahasiswa perempuan memiliki tingkat Communication

Apprehension yang lebih tinggi dari pada mahasiswa laki-laki

(Johnson & Faunce, 1973). Hasil ini menunjukkan bahwa ada

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

58

Communicaction Apprehension (Y)

Motivasi Berprestasi(X2)

FLL Self efficacy (X1)

Jenis Kelamin

perbedaan tingkat Communication Apprehension ditinjau dari

jenis kelamin.

Atas dasar inilah penulis menuliskan hipotesa: ada

perbedaan tingkat CA ditinjau dari jenis kelamin.

2.5 Model Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, landasan teori, kerangka

berpikir dan juga hasil penelitian sebelumnya, maka kaitan atau

hubungan antar variabel dapat digambarkan melalui model

penelitian berikut ini:

2.6 Hipotesis

Berdasarkan uraian, teori dan hasil penelitian sebelumnya,

maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H1: Ada hubungan antara FLL Self Efficacy dan

motivasi berprestasi secara simultan dengan CA pada

mahasiswa di FBS UKSW

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

59

H2: Ada interaksi antara FLL self efficacy dan jenis

kelamin terhadap Communication Apprehension

mahasiswa di FBS UKSW

H3: Ada interaksi antara motivasi berprestasi dan jenis

kelamin terhadap CA mahasiswa di FBS UKSW.

H4: Ada perbedaan bermakna Communication

Apprehension ditinjau dari jenis kelamin mahasiswa FBS

UKSW.

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9286/2/T2_832013008_BAB II.pdfkomunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai dengan

60