Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Locus of Control
2.1.1 Pengertian Locus of Control
Locus of control didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang melihat
terhadap kejadian – kejadian dalam hidupnya dikontrol faktor internal atau eksternal
(Rotter, 1966 dalam Shojaee dan French, 2014). Sementara menurut Greenberg
(2011), locus of control adalah persepsi seseorang terhadap sejauh mana seseorang
percaya bahwa ia dapat mengontrol kejadian – kejadian dalam hidupnya.
Menurut Lefcourt locus of control mengacu pada derajat di mana individu
memandang peristiwa – peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya sebagai
konsekuensi perbuatannya, dengan demikian dapat dikontrol, atau sebagai sesuatu
kejadian yang tidak berhubungan dengan perilakunya sehingga di luar kontrol
pribadinya (Smet, 1994).
2.1.2 Jenis Locus of Control
Locus of control dibagi menjadi dua yaitu locus of control internal dan locus of control
eksternal. Locus of control internal menghubungkan hasil tindakan sendiri, sementara
locus of control eksternal menghubungkan hasil keadaan di luar kendali seseorang
(Rotter, 1966; Kreitner & Kinicki, 2014). Seorang individu dapat memiliki
kecenderungan locus of control internal, eksternal, maupun memiliki kedua-duanya,
karena locus of control merupakan konsep kontinum, yaitu pusat kendali internal
pada satu sisi dan eksternal pada sisi yang lain. Oleh karenanya tidak satupun
individu yang benar - benar internal atau yang benar – benar eksternal (Ghufron
& Risnawita, 2010 dalam Sulistin 2012).
12
Phares (1976, dalam Sukma, 2012) juga menjelaskan aspek – aspek locus of
control lebih terperinci, ada dua aspek dalam locus of control yaitu:
1. Aspek Internal. Seseorang yang memiliki locus of control internal selalu
menghubungkan peristiwa yang dialaminya dengan faktor dalam dirinya,
karena mereka percaya bahwa hasil dan perilakunya disebabkan faktor dalam
dirinya. Faktor dalam aspek internal antara lain kemampuan, minat dan usaha.
a. Kemampuan. Seseorang yakin bahwa kesuksesan dan kegagalan yang
telah terjadi sangat dipengaruhi oleh kemampuan yang dimiliki.
b. Minat. Seseorang memiliki minat yang lebih besar terhadap kontrol
perilaku, peristiwa dan tindakannya.
c. Usaha. Seseorang yang memiliki locus of control internal bersikap optimis,
pantang menyerah dan akan berusaha semaksimal mungkin untuk
mengontrol perilakunya.
2. Aspek Eksternal, Seseorang yang memiliki locus of control eksternal percaya
bahwa hasil dan perilakunya disebabkan faktor luar dirinya. Faktor dalam
aspek ini antara lain nasib, keberuntungan, sosial ekonomi, dan pengaruh
orang lain.
a. Nasib. Seseorang akan menganggap kesusesan dan kegagalan yang
dialami telah ditakdirkan dan mereka tidak dapat merubah kembali
peristiwa yang telah terjadi. Mereka percaya akan firasat baik dan buruk.
b. Keberuntungan. Seseorang yang memiliki tipe eksternal sangat
mempercayai adanya keberuntungan, mereka menganggap bahwa setiap
orang memiliki keberuntungan.
c. Sosial ekonomi. Seseorang yang memiliki tipe eksternal menilai orang
lain berdasarkan tingkat kesejahteraan dan bersifat materialistik.
13
d. Pengaruh orang lain. Seseorang yang memiliki tipe eksternal menganggap
bahwa orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi
mempengaruhi perilaku mereka dan sangat mengharapkan bantuan
orang lain.
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Locus of Control
Individu membentuk sikap kontrol sebagai internal dan eksternal dengan
mempertimbangkan reinforcements yang mereka dapatkan dari hasil pengalaman –
pengalaman mereka sebelumnya baik dari diri mereka sendiri atau kekuatan luar
(Cetin, 2008 dalam Kutanis et al, 2011). Locus of control tidak bersifat statis, tetapi
dapat berubah. Individu yang berorentasi internal dapat berubah menjadi individu
yang berorentasi eksternal, Begitu pula sebaliknya (Ghufron & Risnawita, 2010
dalam Sulistin 2012). Faktor yang mempengaruhi locus of control diantaranya adalah :
1. Pola asuh orang tua
Interaksi antara anak dengan orang tua yang hangat dan fleksibel akan
menghasilkan anak yang berorientasi ke internal, bila dibandingkan orang
tua yang menolak, memusuhi dan mendominasi dalam segala sesuatu.
Selain itu anak - anak yang orang tuanya sering tidak berada dirumah lebih
berorientasi ke eksternal bila dibandingkan anak dengan orang tua yang
sering berada dirumah (Ghufron & Risnawita, 2010 dalam Sulistin 2012).
2. Pengalaman masa lalu
Lefcourt menyatakan perkembangan locus of control individu dipengaruhi oleh
dua faktor, yaitu episodic antecedent dan accumulative antecedent. Episodic antecedent
adalah kejadian - kejadian yang relatif mempunyai makna penting yang
muncul pada waktu tertentu, seperti kematian orang yang dicintai, kecelakaan
atau bencana alam. Sedangkan accumulative antecedent adalah kejadian atau
14
faktor yang bersifat berkelanjutan atau terus menerus yang dapat
mempengaruhi locus of control. Ada tiga faktor penting yang merupakan
accumulative antecedent, yaitu diskriminasi sosial, ketidakmampuan yang
berkepanjangan, dan pola asuh anak. Diskriminasi sosial yang dimaksud
adalah adanya perbedaan ras, status sosial dan status ekonomi. Individu yang
berasal dari status ekonomi rendah memandang segala sesuatu yang terjadi
pada dirinya tergantung pada nasib dan kesempatan yang ada, sehingga
mereka cenderung memiliki locus of control eksternal (Sulistin 2012).
3. Budaya
Sejarah dan konteks budaya juga penting dalam perkembangan locus of
control karena dapat mempengaruhi kontrol persepsi seseorang tentang
perhitungan nilai - nilai sosial. Secara umum budaya barat lebih pada
kendali internal, sedangkan budaya timur lebih pada kendali eksternal
(Benson & Steele, 2005; Rothbaum et al 1982; dalam Sulistin, 2012).
4. Usia
Perkembangan locus of control kearah internal terjadi sesuai bertambahnya
usia seseorang. Semakin dewasa usia maka locus of control berkembang ke
arah internal dan stabil pada usia paruh baya. Hal ini disebabkan karena
semakin bertambahnya kemampuan persepsi sehingga memungkinkan
mereka melakukan penyesuaian – penyesuaian terhadap model – model
penalaran logis yang menyangkut sebab akibat yang terjadi antara perilaku
dan motivasi yang melatar belakanginya (Ghufron & Risnawita, 2010
dalam Sulistin 2012).
15
5. Lingkungan Tempat Tinggal
Individu yang cenderung berorientasi pada locus of control internal dibesarkan
dalam lingkungan yang penuh kehangatan dan demokratis. Sedangkan
individu yang cenderung berorientasi pada locus of control eksternal
dibesarkan dari lingkungan yang banyak menerapkan hukuman fisik,
hukuman afektif, dan pengurangan hak-hak istimewa (Phares, 1976 dalam
Sulistin, 2012).
2.1.4 Karakteristik Locus of Control
Menurut Darshani (2014); dan Kutanis et al (2011), perbedaan karakteristik
individu locus of control internal dan locus of control eksternal, yaitu:
1. Locus of Control Internal
a. Berhati – hati (careful)
b. Waspada (alert)
c. Dominan (dominant)
d. Fokus terhadap kesuksesan (focused on success)
e. Percaya diri (self – confident)
f. Berbakat (ingenious)
g. Motivasi berprestasi tinggi
h. Memiliki tujuan hidup
i. Lebih ekstrovert dan mudah bergaul
j. Aktif dan pro aktif
k. Mempunyai persepsi bahwa usaha perlu dilakukan jika ingin berhasil
2. Locus of Control Eksternal
a. Kurang berhati – hati
b. Dipengaruhi anggota kelompok
16
c. Mudah dipengaruhi faktor luar
d. Kurang percaya diri
e. Menampilkan performa tidak stabil.
f. Motivasi berprestasi rendah
g. Tidak memiliki tujuan jelas
h. Kurang mudah bergaul
i. Pasif dan reaktif
j. Mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan
kesuksesan
2.1.5 Komponen Locus of Control
Locus of control merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi kehidupan
sehari – hari. Banyak studi telah membuktikan sikap individu dapat mempengaruhi
performa dan kepuasan kerja (Mali, 2013). Lebih jauh perbedaan antara komponen
locus of control internal dan locus of control eksternal dijelaskan sebagai berikut.
Tabel 2.1 Perbedaan Antara Individu dengan Locus of Control Internal dan Locus of Control Eksternal.
Variabel - variabel Locus of control internal Locus of control eksternal
Kemampuan Memiliki kecenderungan untuk memilih kegiatan dimana mereka dapat menampilkan kemampuan mereka
Memilih kegiatan di mana mereka dapat menunjukan peran kesempatan pada kehidupan mereka
Tanggung jawab Merasa bahwa mereka bertanggung jawab atas keputusan mereka sendiri, dan mereka merasa bahwa nasib mereka tidak terpengaruh oleh factor dari luar kendali mereka, tetapi dengan keputusan mereka sendiri
Mereka mencoba untuk meningkatkan kondisi yang baik dalam hidup mereka, disisi lain mereka melakukan upaya untuk mengurangi tingkat kondisi buruk
Perubahan Mereka percaya mereka memiliki kontrol terhadap takdir mencegah mereka dari
Mereka biasanya melihat perubahan sebagai bahaya, karena mereka merasa
17
curiga terhadap perubahan periode karena mereka merasa bertanggung jawab terhadap tindakannya sendiri.
tidak mengontrol kekuatan yang mempengaruhi hidup mereka. Mereka lebih senang pada status dimana mereka bisa pasif terhadap perubahan.
Lingkungan Menggunakan lebih banyak control di lingkungan dan menampilkan kinerja belajar yang lebih baik. Ketika informasi tentang kondisi mereka sendiri, mereka secara aktif mencari informasi baru. Juga mereka menggunakan informasi lebih baik bila membutuhkannya untuk menghadapi masalah sulit.
Menampilkan sikap kepatuhan kurang dari individu dengan locus of control internal
Stres Dapat disimpulkan bahwa memiliki locus of control internal dapat membantu pekerja untuk mengatasi stres dan kesulitan lain dalam bisnis
Pekerja tidak dapat mengatasi stress dan kesulitan dengan cara yang tepat
Kepuasan kerja Kepuasan kerja seseorang individu dengan locus of control internal lebih tinggi dari seseorang dengan locus of control eksternal. Mereka dapat melakukan bisnis dan mendapatkan keuntungan atau hadiah yang lebih baik. Mereka meningkat atau progresnya lebih cepat dan mendapat upah lebih baik.
Memiliki korelasi negative dengan kepuasan kerja, namun memiliki korelasi positif dengan kesehatan mental dan fisik
Motivasi kerja Percaya bahwa upaya mereka akan berakhir dengan kinerja yang baik. Mereka lebih percaya diri dan mempercayai kemampuan mereka. Memiliki lebih banyak harapan bahwa kinerja yang baik akan dihadiahi dan mereka cenderung melihat bahwa statusnya dalam bisnis yang lebih tepat dan adil.
Jika tidak pada hadiah untuk performance, mereka tidak memiliki performance – prize expectation yang berbeda dari individu dengan internal locus of control.
Dikutip dari Demirkan, Selcan (2006, dalam Kutanis dkk, 2011)
18
2.1.6 Kesalahpahaman Terhadap Locus Of Control
Konsep locus of control Rotter sudah menjadi satu topik yang diteliti secara
keseluruhan dalam bidang psikologi juga ilmu lainnya, serta telah menghasilkan
beberapa ribu publikasi semenjak awal kemunculannya. Walaupun populer, konsep
dari kontrol internal dan eksternal tidak selalu dipahami dengan jelas. Walaupun
Rotter menunjukkan beberapa kesalahan dalam pemahaman umum mengenai
kontrol internal dan eksternal dari penguatan (ia jarang menyebutnya sebagai “locus of
control”), orang menggunakan dan menginterpretasikan instrumen ini dengan salah
Berikut kesalahpahaman yang terjadi mengenai penilaian locus of control (Feist & Feist,
2010), yakni:
1. Kesalahan dalam pemahaman pertama adalah bahwa skor dari skala ini adalah
determinan dari perilaku. Rotter bersikeras bahwa skor ini tidak untuk
dipandang sebagai penyebab dari perilaku, tetapi sebagai indikator atas
ekspektasi umum.
2. Kesalahan dalam pemahaman kedua adalah bahwa locus of control bersifat
spesifik dan dapat memprediksikan pencapaian dalam situasi spesifik. Sekali
lagi, konsep ini merujuk pada ekspektasi umum atas penguatan dan
mengindikasikan sejauh mana orang secara umum meyakini bahwa mereka
memegang kendali atas hidup mereka.
3. Kesalahan dalam pemahaman ketiga adalah bahwa skala ini membagi manusia
ke dalam dua tipe yang sangat berbeda – internal dan eksternal. Rotter
bersikeras bahwa ekspektasi umum mengindikasikan adanya rentang dalam
generalisasi dan bahwa, dalam situasi spesifik tertentu, seseorang dengan
perasaan kontrol internal yang tinggi dapat meyakini bahwa hasil dari perilaku
mereka adalah akibat dari keberuntungan, takdir, atau tindakan orang lain.
19
4. Keempat, kebanyakan orang terlihat yakin bahwa skor internal yang tinggi
mengindikasikan adanya sifat yang diterima secara sosial, dan bahwa skor
eksternal yang tinggi mengindikasikan karakterisik yang tidak diterima.
Sebenarnya, skor ekstrem dari kedua arah sama – sama tidak diinginkan. Skor
eksternal yang tinggi dapat dihubungkan dengan sikap apatis dan kesedihan,
dengan meyakini bahwa mereka tidak mempunyai kontrol atas lingkungan
mereka, sementara skor internal yang terlalu tinggi dapat berarti orang
mengambil tanggung jawab atas apa yang terjadi pada diri mereka – kegagalan
bisnis, anak yang nakal, kesedihan orang lain, dan badai petir yang
mengganggu kegiatan di luar ruangan yang sudah direncanakan. Skor yang
berada di tengah tengah dari kedua titik ekstrem ini, tetapi memiliki sedikit
kecenderungan ke arah kontrol internal, mungkin adalah yang paling sehat
atau yang paling diinginkan.
2.1.7 Alat Ukur Locus of Control (Skala IPC – Locus of Control)
Suatu cara yang pernah dilakukan untuk kategorisasi skor pusat kendali (locus
of control) guna keperluan penelitian. Skala yang digunakan adalah skala IPC Levenson
yang dalam konsepnya mengatakan bahwa pusat kendali terbagi atas tiga arah
orientasi kendali, yaitu orientasi internal (I), orientasi Powerful Others (P), dan orientasi
Chance (C). Dalam skalanya, ketiga orientasi pusat kendali tersebut diungkap oleh
subskala (komponen) yang berbeda yang masing – masing berisi delapan aitem.
Tujuan pengukuran skala ini adalah untuk memilahkan individu menurut
kecenderungan arah pusat kendalinya, sebagai arah internal atau eksternal. Arah
kendali internal (I) tentu saja diungkap oleh subskala I sedangkan arah kendali
eksternal (E) diungkap secara bersama – sama oleh sub skala P dan subskala C. Jadi
komponen yang mengungkap arah kendali E berisi enam belas aitem (Azwar, 2012).
20
Leverson (1972, dalam Azwar (2012) membagi pusat pengendali (locus of
control) yang merupakan orientasi atribusi ke dalam tiga faktor, yaitu:
1. Faktor Internal, adalah keyakinan seseorang bahwa kejadian – kejadian dalam
hidupnya ditentukan terutama oleh kemampuan dirinya sendiri.
2. Faktor Powerful Others, adalah keyakinan seseorang bahwa kejadian – kejadian
dalam hidupnya ditentukan terutama oleh orang lain yang lebih berkuasa.
3. Faktor Chance, adalah keyakinan seseorang bahwa kejadian – kejadian dalam
hidupnya ditentukan terutama oleh nasib, peluang, dan keberuntungan.
Faktor internal merupakan pusat kendali internal (locus of control internal),
Sedangkan faktor powerful others dan faktor change merupakan pusat kendali eksternal
(locus of control eksternal) (Azwar, 2012).
Masing – masing aitem dalam Skala IPC tersebut diberi skor dalam enam
jenjang, yaitu SS=6, S=5, AS=4, ATS=3, TS=2, dan STS=1. Setiap subjek mendapat
dua skor pusat kendali, yaitu pada arah orientasi internal (komponen I) dan skor pada
arah orientasi eksternal (komponen P dan C). Dari distribusi kedua skor ini dapat
diperoleh rata – rata (mean) dan deviasi standarnya masing – masing, yaitu Mint, Meks,
Sint, dan Seks. Kemudian skor mentah subjek dikonversikan atau menjadi skor z. Skor
z inilah yang digunakan sebagai dasar kategorisasi pusat kendali. Sedangkan semua
individu dengan skor z nya tidak memenuhi kriteria tersebut dianggap sebagai
individu dengan arah pusat kendali yang tidak terklasifikasikan (Azwar, 2012).
Tabel 2.2 Rumus Skor Skala IPC Levenson (1972)
locus of control Skor individu Skor z Kategori locus of control
Locus of control internal 𝑋𝑖𝑛𝑡 =
𝛴𝑋𝐼8
𝑧𝑖𝑛𝑡 =(𝑋𝑖𝑛𝑡 −𝑀𝑖𝑛𝑡)
𝑠𝑖𝑛𝑡
𝑧𝑖𝑛𝑡 ≥ 0,50
dan 𝑧𝑒𝑘𝑠 < 0
Locus of control eksternal 𝑋𝑒𝑘𝑠 =
(𝛴𝑋𝑝 + 𝛴𝑋𝐶)
16 𝑧𝑒𝑘𝑠 =
(𝑋𝑒𝑘𝑠 −𝑀𝑒𝑘𝑠)
𝑠𝑒𝑘𝑠
𝑧𝑒𝑘𝑠 ≥ 0,50
dan 𝑧𝑖𝑛𝑡 < 0
Dikutip dari Azwar (2012)
21
2.2 Stres
2.2.1 Pengertian Stres
Stres adalah reaksi dari tubuh (respons) terhadap lingkungan yang dapat
memproteksi diri kita yang juga merupakan bagian dari sistem pertahanan yang
membuat kita tetap hidup. Stress adalah kondisi yang tidak menyenangkan dimana
manusia melihat adanya tuntutan dalam suatu situasi sebagai beban atau diluar
batasan kemampuan mereka untuk memenuhi tuntutan tersebut (Nasir & Muhith,
2011).
Pendapat lain menurut Brecht (2000, dalam sunaryo, 2013) stres adalah
gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan
kehidupan, baik yang dipengaruhi oleh lingkungan maupun penampilan individu di
lingkungan tersebut (Sunaryo, 2013).
Individu menggunakan istilah stres dalam berbagai cara. Stres merupakan
pengalaman individu yang disembunyikan melalui suatu rangsangan atau stresor.
Stres juga merupakan bentuk penghargaan atau persepsi dari stresor. Stres dalam
konteks ini ditujukan pada konsekuensi dari stresor, begitu juga dengan penghargaan
seseorang terhadap stresor (Potter & Perry, 2013).
2.2.2 Penyebab Stres
Stresor adalah faktor – faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan
terjadinya respon stres. Stresor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi
fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada situasi kerja, di rumah, dalam
kehidupan sosial, dan lingkungan luar lainnya. Secara garis besar, stresor bisa
dikelompokkan menjadi dua (Patel, 1996, dalam Nasir & Muhith, 2011), yaitu:
1. Stresor mayor, yang berupa major live events yang meliputi peristiwa kematian
orang yang disayangi, masuk sekolah pertama kali, dan perpisahan.
22
2. Stresor minor, yang biasanya berawal dari stimulus tentang masalah hidup
sehari – hari, misalnya ketidaksenangan emosional terhadap hal – hal tertentu
sehingga menyebabkan munculnya stres.
Lebih lanjut Taylor (1991, dalam Nasir & Muhith (2011), merinci beberapa
karakteristik kejadian yang berpotensi dan dinilai dapat menciptakan stressor:
1. Kejadian negatif agaknya lebih banyak menimbulkan stres daripada kejadian
positif.
2. Kejadian yang tidak terkontrol dan tidak terprediksi lebih membuat stres
daripada kejadian yang terkontrol dan terprediksi.
3. Kejadian “ambigu” sering kali dipandang lebih mengakibatkan stres daripada
kejadian yang jelas.
4. Manusia yang tugasnya melebihi kapasitas (overload) lebih mudah mengalami
stres daripada orang yang memiliki tugas lebih sedikit.
2.2.3 Mekanisme Koping
Koping adalah usaha individu untuk megatasi stres psikologis. Efektivitas
strategi koping tergantung kapada kebutuhan individu. Usia individu dan latar
belakang budaya mempengaruhi mempengaruhi kebutuhan tersebut. Karena alasan
tersebut tidak ada strategi koping tunggal bekerja pada setiap orang atau untuk setiap
stres. Individu yang sama dapat berkoping secara berbeda dai satu waktu ke waktu
yang lain. Dalam situasi yang penuh tekanan, sebagian besar individu menggunakan
kombinasi koping berfokus pada masalah dan strategi koping berfokus pada emosi.
Dengan kata lain,ketika berada dalam tekanan, seseorang memperoleh informasi dan
mengambil tindakan untuk mengubah situasi, sama baiknya dengan mengatur emosi
yang terkait dengan stres. Pada beberapa kasus, seseorang menghindari pikiran
23
tentang situasi atau perubahan cara seseorang berpikir tentang hal itu, tanpa
mengubah situasi aktual itu sendiri (Potter & Perry, 2010).
2.2.3.1 Penggolongan Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua (Stuart
dan Sundeen, 1995), yaitu:
1. Mekanisme koping adaptif. Mekanisme koping yang mendukung fungsi
integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Koping disebut adaptif
bila memenuhi kriteria berikut:
a. Masih mengontrol emosi pada dirinya dengan cara berbicara pada orang
lain
b. Melakukan aktivitas konstruktif
c. Memiliki persepsi luas
d. Dapat menerima dukungan dari orang lain
e. Dapat memecahkan masalah secara efektif
2. Mekanisme koping maladaptif. Mekanisme koping yang menghambat fungsi
integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung
menguasai lingkungan. Koping disebut maladaptif bila memenuhi kriteria :
a. Perilaku cenderung merusak
b. Melakukan aktivitas kurang sehat seperti obat – obatan dan alkohol
c. Tidak mampu berpikir apa – apa atau disorientasi
d. Perilaku cenderung menghindaratau menarik diri
e. Tidak mampu menyelesaikan masalah
2.2.3.2 Strategi Koping
Dalam melakukan koping ada dua strategi yang biasa dilakukan (Nasir dan
Muhith, 2011), yaitu:
24
1. Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping), yaitu usaha
mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi
dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Problem
focused coping ditujukan dengan mengurangi demands dari situasi yang penuh
dengan stres atau memperluas sumber untuk mengatasinya. Seseorang
cenderung menggunakan metode problem focused coping apabila mereka percaya
bahwa sumber atau demands dari situasinya dapat diubah. Strategi yang dapat
dipakai dalam problem focused coping antara lain sebagai berikut.
a. Confrontative coping, yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi
dan pengambilan resiko.
b. Seeking social support, yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan
emosional dan bantuan informasi dari orang lain.
c. Planful problem solving, yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang
dianggap menekan dengan cara yang hati – hati, bertahap, dan analitis.
2. Emotion focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur
respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan
ditimbukan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan.
Emotion focused coping ditujukan untuk mengontrol respon emosional terhadap
situasi stres. Seseorang dapat mengatur respon emosionalnya melalui
pendekatan perilaku dan kognitif. Strategi yang digunakan dalam Emotion
focused coping antara lain sebagai berikut.
a. Self – control, yaitu usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi
situasi yang menekan.
25
b. Distancing, yaitu usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan , seperti
menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa – apa atau
menciptakan pandangan – pandangan yang positif, seperti menggap
masalah sebagai lelucon.
c. Positif reappraisal, yaitu usaha untuk mencari makna positif dari
permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga
melibatkan hal – hal yang bersifat religius.
d. Accapting responsibility, yaitu usaha untuk menyadari tanggung jawab diri
sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba
menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini
baik, terlebih bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri.
Namun, strategi ini menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya
bertanggung jawab atas masalah tertentu.
e. Escape/avoidance, yaitu usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari
dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain
seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat –obatan.
Individu cenderung untuk menggunakan problem focused coping dalam
menghadapi masalah – masalah yang yang menurut mereka dapat dikontrolnya.
Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi
masalah yang sulit dikontrol. Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi
tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi koping pasti digunakan oleh
individu (Nasir dan Muhith, 2011).
2.2.3.3 Hal yang Mempengaruhi Strategy Koping
Faktor – faktor yang mempengaruhi strategi koping (Lazarus dan Folkman,
1984 dalam Nasir dan Muhith, 2011), yaitu:
26
1. Kesehatan fisik. Kesehatan merupakan halyang penting, karena selama dalam
usaha menngatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang
cukup besar.
2. Keyakinan atau pandangan positif. Keyakinan menjadi sumber daya
psikologis yang penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control)
yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang
akan menurunkann kemampuan strategi koping tipe problem solving focused
coping.
3. Keterampilan memecahkan masalah. Meliputi kemampuan untuk mencari
informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk
menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif
tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya
melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tin dakan dengan cepat.
4. Keterampilan sosial. Meliputi kemaampuan untuk berkomunikasi dan
bertingkah laku dengan cara – cara yang sesuaai dengan nilai – nilai sosial yang
berlaku di masyarakat.
5. Dukungan sosial. Meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan
emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga
yang lain,, saudara, teman dan lingkuangan masyarakat sekitarnya.
2.2.4 Jenis Stres
Menurut Nasir dan Muhith (2011) ada dua jenis stres, yaitu “baik” dan
“buruk”. Stres melibatkan perubahan fisiologis yang kemungkinan dapat dialami
sebagai perasaan yang baik anxiousness (distres) atau pleasure (eustres):
1. Stres yang baik atau eustres adalah sesuatu yang positif. Stres dikatakan
berdampak baik apabila seseorang mencoba untuk memenuhi tuntutan untuk
27
menjadikan orang lain maupun dirinya sendiri mendapatkan sesuatu yang baik
dan berharga. Dengan stres yang baik, semua pihak merasa diuntungkan.
Dengan begitu stres yang baik akan memberikan kesempatan untuk
berkembang dan memaksa seseorang mencapai performanya yang lebih
tinggi. Stres yang baik terjadi jika setiap stimulus mempunyai arti sebagai hal
yang memberikan pelajaran bagi kita, betapa suatu hal yang dirasakan
seseorang memberikan arti sebuah pelajaran, dan bukan sebuah tekanan.
Tahu diri sendiri, tahu menempatkan diri, dan tahu membawa diri akan
menempatkan kita pada suasana yang baik dan menyenangkan, terutama
dalam menghadapi suatu stimulus internal maupun eksternal. Dengan
demikian, bisa dikatakan stres positif apabila setiap kejadian dihadapi dengan
selalu berpikiran yang positif dan setiap stimulus yang masuk merupakan
suatu pelajaran yang berharga dan mendorong seseorang untuk selalu berpikir
dan berperilaku bagaimana agar apa yang dilakukan selalu membawa manfaat
dan bukan bencana (Nasir dan Muhith, 2011).
2. Stres yang buruk atau distres adalah stres yang bersifat negatif. Distres
dihasilkan dari sebuah proses yang memaknai sesuatu yang buruk, dimana
respon yang digunakan selalu negatif dan ada indikasi mengganggu integritas
diri sehingga bisa diartikan sebagai sebuah ancaman. Distres akan
menempatkan pikiran dan perasaan kita pada tempat dan suasana yang serba
sulit. Hal tersebut dikarenakan cara memandang suatu masalah hanya dilihat
dari sisi yang sempit dan merugikan saja. Belum pernah dieksplorasi betapa
sebuah kejadian ini membawa makna yang luas sebagai suatu pelajaran yang
berharga dan bermakna untuk kepentingan diri sendiri dan orang lain.
Dengan demikian, distres terjadi apabila suatu stimulus diartikan sebagai
28
sesuatu yang merugikan dirinya sendiri dalam hal kenikmatan saja dan bisanya
terjadi pada saat itu juga, dimana sebuah stimulus dianggap mencoba untuk
menyerang dirinya (Nasir dan Muhith, 2011).
Suatu stres diakatakan “baik” dan “buruk” bergantung pada seberapa besar
perasaan dan respons kita terhadap sumber stres tersebut atau bagaimana kita
memaknai sumber stres. Stres sudah ada sejak kita dalam kandungan dan tak pernah
lepas dari kehidupan kita. Stres adalah suatu kondisi normal pada waktu menghadapi
perubahan dan ancaman dengan respons yang dapat adaptif (Nasir dan Muhith,
2011).
2.2.5 Tingkat Stres
Menurut Crowford dan Henry (2003, dalam Sari, 2015), setiap individu
mempunyai persepsi dan respon yang berbeda – beda terhadap stres. Persepsi
seseorang didasarkan pada keyakinan dan norma, pengalaman, dan pola hidup, faktor
lingkungan, struktur dan fungsi keluarga, tahap perkembangan keluarga, pengalaman
masa lalu dengan stres serta mekanisme koping. Stres dibagi menjadi lima tingkatan
yaitu:
1. Stres normal. Stres normal yang dihadapi secara teratur dan merupakan
bagian alamiah dari kehidupan. Seperti dalam situasi kelelahan, setelah
mengerjakan tugas, takut tidak lulus ujuan, merasakan detak jantung berdetak
lebih keras setelah aktivitas.
2. Stres ringan. Stres ringan adalah stresor yang dihadapi secara teratur yang
dapat berlangsung beberapa menit atau jam. Situasi seperti ini akibat dari
banyak tidur, kemacetan, dan lain – lain. Gejala yang ditimbulkan antara lain
bibir kering, kesulitan bernafas, kesulitan menelan, merasa goyah, merasa
lemas, keringat berlebihan, takut tanpa alasan, tremor.
29
3. Stres sedang. Stres ini terjadi lebih lama, antara beberapa jam sampai beberapa
hari. Misalnya masalah yang tidak terselesaikan dengan antara teman dan
orang terdekat lainnya. Gejala yang ditimbulkan antara lain mudah marah,
sulit beristirahat, mudah tersinggung, merasa cemas.
4. Stres berat. Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu
sampai tahun, seperti perselisihan dengan keluarga secara terus menerus,
kesulitan ekonomi, dan penyakit fisik jangka panjang. Gejala yang
ditimbulkan antara lain sedih dan tertekan, putus asa, merasa tidak berharga.
5. Stres sangat berat. Stres sangat berat adalah situasi yang terjadi dalam
beberapa bulan dan dalam waktu yang tidak ditentukan. Orang yang
mengalami stres sangat berat tidak memiliki motivasi untuk hidup dan
cenderung pasrah.
2.2.6 Dampak Stres
Pendapat lain menurut Colman (1990, dalam Nasir dan Muhith (2011), Stres
akan memberikan dapak pada fisiologis, psikologis dan perubahan perilaku yaitu:
1. Fisiologis. Sebagai tanda peringatan awal antara lain nyeri dada, diare, sakit
perut, sakit kepala, atau pusing – pusing, mual, insomnia, kelelahan, dan
jantung berdebar – debar.
2. Psikologis. Tidak mau santai pada saat yang tepat, merasa tegang, tidak tahan
terhadap suara atau gangguan lain, cepat marah atau mudah tersinggung,
ingatan melemah, tidak mampu konsentrasi, daya kemauan berkurang, emosi
tidak terkendali, tidak sanggup melaksanakan tugas yang sudah dimulai,
impulsif, dan reaksi berlebihan terhadap hal – hal sepele.
30
3. Perubahan perilaku. Misalnya ingin mengerjakan segalanya dengan cepat
sehingga menjadi bingung, frustasi, cemas, ketidakberdayaan atau
keputusasaan, depresi dan kehilangan semangat.
2.2.7 Respon Stres
Respon terhadap stres mencakup aktivasi sistem saraf simpatis dan pelepasan
berbagai hormon dan peptida, yang meliputi hormon dan peptida pada aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal (Hypothalamic Pituari Adrenal, HPA), sistem opioid
endogen, vasopresin arginin dan oksitosin. Respon sistem saraf simpatis diaktivasi
setelah respon fight or flight dimulai. Segera setelah pajanan stresor, Sistem syaraf
simpatis (SSS) berespon dengan pelepasan katekolamin efinefrin dan norefinefrin
neuron simpatis dan medula adrenal yang terletak di pusat kelenjar adrenal (Corwin,
2009).
Aktivasi susunan saraf pusat oleh stres menstimulasi aksis HPA. Aktivasi
aksis HPA dimulai dengan sekresi corticotropin – realising hormone (CRH) dari nukleus
paraventikular hipotalamus ke dalam sistem aliran darah portal hipotalamus –
hipofisis, yang secara berturturut – turut menstimulasi sekresi adrenocortropic hormon
(ACTH) dari hipofisis anterior, serta vasopresin arginin (angine vasopressin, AVP) dari
kelenjar hipofisi posterior. Ketika AVP bekerjabekerja secara sentral untuk
mendukung respon fight or flight, ACTH bersirkulasi ke korteks kelenjar adrenal untuk
menstimulasi pelepasan glukokortiroid yang mencakup pelepasan kortikosteroid
serta norepinefrine (Corwin, 2009)
Reaksi normal pada seseorang yang sehat pada keadaan darurat, yang
mengancam jiwanya, akan merangsang pengeluaran hormon adrenalin, yang
menyebabkan meningkatnya denyut nadi, pernapasan, memperbaiki tonus otot dan
rangsangan kesadaran yang kesemuanya akan meningkatkan kewaspadaan dan siap
31
akan kecemasan dan antisipasi yang akan di hadapi, untuk kembali pada keadaan yang
normal setelah suatu krisis yang dihadapinya. Walaupun kondisi ini akan dilanjutkan
dengan keadaan stress yang siap akan terjadinya suatu kerusakan pada tubuh.
Selanjutnya apabila suatu krisis terjadi dengan suatu kasus sangat ekstrem maka dapat
menimbulkan suatu kepanikan yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan atau
cidera (Reilly, 1985 dalam Kadir, 2010).
Peran kortisol dalam membantu tubuh mengatasi stress, berkaitan dengan
efek metabolik nya. Kortisol mempunyai efek metabolik yaitu meningkatkan
konsentrasi glukosa darah dengan menggunakan simpanan protein dan lemak.
Peningkatan simpanan glukosa, asam amino, dan asam lemak tersedia untuk
digunakan bila diperlukan, misalnya dalam keadaan stress (Sherwood 1996, dalam
Kadir, 2010).
Gambar 2.1 Sindrom Adaptasi Umum dikutip dari Potter & Perry (2010).
32
2.2.8 Faktor yang Mempengaruhi Stres
2.2.8.1 Tipe Kepribdian A/B
Rosenmen & Chesney (1980, dalam Sunaryo, 2013) mengungkapkan bahwa
stres apa bila ditinjau dari tipe kepribadian individu dibedakan menjadi dua macam,
yaitu tipe rentan dan kebal:
1. Tipe yang rentan (vulnerable). Tipe ini terdapat pada tipe A yang disebut A
Type Personality, dengan pola perilaku Type A Behavioral Pattern. Individu dengan
tipe ini memiliki resiko tinggi mengalami stres dengan ciri – ciri kepribadian
sebbagai berikut.
a. Cita – cita yang tinggi (ambisius)
b. Suka menyerang (agresif)
c. Suka bersaing (kompetitif) yang kurang sehat
d. Banyak jabatan rangkap
e. Emosional, yang ditandai dengan mudah marah, mudah tersinggung,
mudah mengalami ketegangan, dan kurang sabar
f. Terlalu percaya diri (overconfident)
g. Self – control kuat
h. Terlalu waspada
i. Tindakan dan cara bicaranya cepat dan tidak dapat diam (hiperaktif)
j. Cakap dalam berorganisasi (organisatoris)
k. Cakap dalam memimpin (leader)
l. Tipe kepemimpinan otoriter
m. Bekerja tidak mengenal waktu (workaholic)
n. Bila menghadapi tantangan suka bekerja sendiri
o. Disiplin waktu yang ketat
33
p. Kurang rileks dan serba terburu – buru
q. Kurang atau tidak ramah
r. Tidak mudah bergaul
s. Mudah empati, namun mudah bersikap bermusuhan
t. Sulit dipengaruhi
u. Sifatnya kaku (tidak fleksibel)
v. Pikirannya tercurah ke pekerjaan walaupun sedang libur
w. Berusaha keras agar segala sesuatunya terkendali
2. Tipe yang kebal (immune). Tipe ini terdapat pada Tipe B yang disebut B Type
Personality, dengan pola perilaku Type B Behavioral Pattern. Individu dengan tipe
ini kebal terhadap stres dan memiliki ciri – ciri kepribadian sebagai berikut.
a. Cita – cita yang wajar
b. Tidak suka menyerang (tidak agresif)
c. Berkompetisi secara sehat
d. Tidak memaksakan diri
e. Emosi terkendali yang ditandai dengan tidak mudah marah, tidak mudah
tersinggung, tidak mudah mengalami ketegangan, tenang, dan penyabar
f. Self – confident wajar
g. Self – control wajar
h. Kewaspadaan wajar
i. Cara bicara tenang
j. Cara bertindak tenang dan dilakukan pada saat yang tepat
k. Sikap dalam memimpin dan berorganisasi akomodatif dan manusiawi
l. Ada keseimbangan antara waktu bekerja dan istirahat
m. Mudah bekerja sama (akomodatif)
34
n. Tidak memaksakan diri dalam menghadapi tantangan
o. Bersikap ramah
p. Mudah bergaul
q. Dapat menimbulkan empati, untuk mencapai kebersamaan dan tidak
mudah bersikap bermusuhan
r. Sifatnya fleksibel dan akomodatif, dan tidak merasa dirinya paling pintar
s. Dapat melepaskan masalah pekerjaan maupun kehidupan di saat libur
t. Mampu menahan dan mengendalikan diri
2.2.8.2 Sifat dan Hakikat Stres
Aspek stresor yang dapat mempengaruhi stres (Potter & Perry, 2010), yaitu:
1. Intensitas
2. Jangkauan
3. Durasi
4. Jumlah dan sifat stresor lain
5. Prediktabilitas
2.2.8.3 Penggunaan Obat – obatan
Obat yang umum disalahgunakan (Potter & Perry, 2005), antara lain:
1. alkohol
2. amfetamin
3. kafein
4. cannabis
5. kokain
6. halusinogen (LSD, peyote)
7. inhalan (lem, bensin)
8. nikotin
35
9. opioid (morfin, heroin)
10. ansiolotik, sedatif, hipnotik, (diazepam, barbiturat)
11. anabolik steroid
12. PCP
2.2.9 Teknik Untuk Mengurangi Stres
Stres dapat menimbulkan masalah yang merugikan individu sehingga
diperlukan beberapa cara untuk mengendalikannya. Ada beberapa kiat
mengendalikan stres menurut Brecht (2000, dalam Sunaryo (2013), yaitu:
1. Positifkan sikap, keyakinan, dan pikiran; bersikaplah fleksibel, rasional, dan
adaptif terhadap orang lain. Artinya, jangan terlebih dahulu menyalahkan
orang lain sebelum melakukan instrospeksi diri dengan pengendalian internal.
2. Kendalikan faktor – faktor penyebab stres dengan cara mengasah
a. Kemampuan menyadari (awarness skills)
b. Kemampuan untuk menerima (acceptance skills)
c. Kemampuan untuk menghadapi (coping skills)
d. Kemampuan untuk bertindak (action skills)
3. Perhatikan diri sendiri, proses interpersonal dan interaktif, serta lingkingan
anda
4. Kembangkan sikap efisien
5. Lakukan relaksasi
6. Lakukan visualisasi (angan – angan terarah)
7. Circuit braker dan koridor stres
2.2.10 Alat Ukur Stres (Skala DASS)
DASS (Depression Anxiety Stress Scale) adalah skala self – report untuk mengukur
depresi, kecemasan, dan stress yang terdiri dari 42 item yang dikembangkan oleh
36
Lovibond and Lovibond (Crawford & Henry, 2003). Menurut Lovibond (1995,
dalam Sari (2015) DASS adalah satu set tiga laporan diri skala yang dirancang untuk
mengukur keadaan emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres. DASS tidak
hanya dibangun sebagai satu set timbangan untuk mengukur keadaan emosional
konvensional didefinisikan, tetapi untuk memajukan proses mendefinisikan,
memahami, dan mengukur keadaan emosional di mana – mana dan klinis signifikan
biasanya digambarkan sebagai depresi, kecemasan dan stres.
Masing – masing dari tiga skala DASS berisi 14 item. Dibagi menjadi subskala
dari 2 – 5 item dengan isi serupa. Skala depresi menilai dysphoria, keputusasaan,
devaluasi hidup, sikap meremehkan diri, kurangnya minat / keterlibatan, anhedonia,
dan inersia. Skala kecemasan menilai efek otot rangka, kecemasan situasional, dan
pengalaman subjektif dari pengaruh cemas. Skala stres menilai kesulitan untuk santai,
tegang, mudah marah / gelisah, mudah tersinggung / over reaktif dan tidak sabar.
Responden diminta untuk mengisi derajat keparahan yang mereka rasakan. Skor dari
stres dihitung dengan menjumlahkan skor untuk item yang relevan. Item pertanyaan
skala stres adalah 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39. Skor kemudian
dievaluasi sesuai dengan indeks keparahan skor (Patnaik et al, 2015).
Tabel 2.3 Tabel Skor DASS (Depression Anxiety Stress Scale)
Kategori Stres
Normal 0 – 14
Ringan 15 – 18
Sedang 19 – 25
Berat 26 – 33
Sangat Berat ≥ 34
Dikutip dari Lovibond & Lovibond (1995, dalam Rizvi et al, 2015)
37
2.3 Tugas Akhir Mahasiswa
2.3.1 Pengertian Tugas Akhir
Karya ilmiah adalah karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta dan
ditulis menurut metodelogi penulisan yang baik dan benar. Ada beberapa jenis karya
ilmiah yang biasa ditulis orang. Ada makalah dan skripsi, tesis, dan desertasi (Arifin,
2008). Menurut panduan skripsi PSIK UMM Tugas akhir adalah karya ilmiah dan
kegiatan ilmiah di bidang kesehatan yang wajib disusun oleh setiap mahasiswa
program diploma dan sarjana sebagai prasarat memperoleh gelar akademik di FIKES
Universitas Muhammadiyah Malang (Handayani, 2010).
Skripsi adalah karya tulis ilmiah yang mengemukakan pendapat penulis
berdasarkan pendapat orang lain. Pendapat yang diajukan harus didukung oleh data
dan fakta empiris – objectif, baik berdasarkan penelitian langsung/observasi lapangan
maupun penelitian tidak langsung/studi kepustakaan (Arifin, 2008). Menurut
panduan skripsi PSIK UMM Skripsi adalah laporan tertulis hasil penelitian yang
dilakukan oleh mahasiswa program sarjana di lingkungan FIKES Universitas
Muhammadiyah Malang dengan bimbingan dosen pembimbing skripsi untuk
dipertahankan di hadapan sidang sarjana sebagai syarat untuk memperoleh derajat
sarjana (Handayani, 2010).
Penulisan skripsi adalah syarat lulus mendapatkan gelar kesarjanaan
khususnya gelar S – 1. Skripsi merupakan jenis laporan riset atau sering disebut
sebagai laporan penelitian (Iswidharmanjaya & Enterprise, 2006). Setiap fakultas
memiliki syarat tersendiri yang diberlakukan bagi para mahasiswanya dalam penulisan
skripsi (Maahesh, 2009).
38
2.3.2 Hambatan Tugas Akhir
Skripsi sering jadi hambatan mahasiswa semester akhir. Tidak jarang, masalah
dalam pengerjaan skripsi memperlambat mahasiswa di dalam meraih gelar akademis.
Bagi mahasiswa, ada beberapa alasan yang menyebabkan skripsi menjadi beban yang
berat. Beberapa hal yang bisa menjadi hambatan bagi mahasiswa dalam mengerjakan
skripsi sebagai berikut (Darmono & Hasan, 2002):
1. Masalah sulitnya mencari literatur. Kesulitan ini semakin terasa untuk
mahasiswa yang perpustakaan perguruan tingginya kurang kuat koleksinya,
dalam arti kurang mempunyai koleksi yang baik dari segi jumlah maupun
keterbaruan koleksinya. Masalah ini dapat diselesaikan dengan menghubungi
saluran baik formal maupun tidak formal. Yang dimaksud saluran informasi
formal adalah perpustakaan atau unut lainnya yang bertugas secara formal
memberikan pelayanan informasi ilmiah. Sedangkan yang dimaksud dengan
saluran tidak formal adalah saluran informasi yang sifatnya bukan lembaga
atau institusi yang bertugas memberikan pelayanan informasi. Contohnya
dosen, teman dekat, para ahli bidang tertentu, dan para praktisi.
2. Tidak terbiasa menulis. Apalagi menulis sebuah karya tulis ilmiah yang cukup
serius seperti skripsi yang memerlukan waktu dan proses yang cukup panjang.
Untuk mengatasi hal ini, mahasiswa harus banyak membaca tulisan orang lain
atau hasil penelitian, dan membaca skripsi – skripsi yang sudah ada yang
disimpan di perpustakaan. Melalui banyak membaca akan mempunyai
gambaran bagaimana bentuk skripsi, teknik penulisannya, gamabaran
rancangan penelitian dan metodelogi yang digunakan, serta teknik analisa
data.
39
3. Masalah dana. Masalah ini menjadi kendala untuk jenis skripsi yang harus
menggunakan eksperimen dilaboratorium. Masalah kesulitan dana dapat
diatasi dengan cara mempertimbangkan topik yang mudah dilaksanakan dan
yang tidak memerlukan dana yang terlalu besar.
4. Masalah kurang terbiasa dengan sistem kerja yang terjadwal dengan
pengaturan waktu yang demikian ketat. Masalah ini mahasiswa harus mulai
mendisiplinkan diri, dan menyusun jadwal kegiatan penulisan skripsi sesuai
dengan alokasi waktu yang akan anda proyeksikan.
5. Masalah sulitnya mengembangkan komunikasi dengan pembimbing secara
konstruktif. Masalah ini dapat diatasi dengan disiplin dan menumbuhkan
sikap percaya terhadap pembimbing, bahwa ia akan membantu anda. Ia
membantu untuk mengatasi kesulitan dan membantu menyelesaikan masalah
penulisan skripsi dengan pendekatan akademis. Demikian juga mahasiswa
harus dapat memenuhi harapan pembimbing, harus mampu menunjukkan
kepada pembimbing bahwa anda bisa bekerja keras, disiplin tinggi, dengan
jadwal yang padat dan teratur.
2.4 Hubungan Antara Orientasi Locus of Control dengan Tingkat Stres pada Mahasiswa yang Menghadapi Tugas Akhir
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi kedua skripsi adalah karangan
ilmiah yang harus ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir
pendidikan akademisnya (Lapau, 2012). Dalam pengertian lain, penelitian untuk
menyusun skripsi adalah kegiatan akademik ilmiah yang menggunakan penalaran
empiris atau non – empiris dan memenuhi syarat metodologi disiplin ilmu
40
keperawatan, dilaksanakan berdasarkan usulan penelitian yang telah disetujui oleh
pembimbing dan panitia penilai usulan (Nursalam, 2008).
Pada masa skripsi ini mahasiswa akan menghadapi berbagai masalah baru
yang dapat menjadi stres. Masalah ini antara lain kesulitan penulisan skripsi, tuntutan
untuk segera lulus, minder dengan teman yang sudah lulus duluan, adaptasi dengan
kehidupan baru seperti pekerjaan dan pernikahan, sampai pada habisnya masa studi.
Dalam proses pengerjaaan skripsi mahasiswa dituntut untuk lebih mandiri dan
disiplin. Permasalahan - permasalahan ini bisa tumbuh menjadi penyebab stres bila
tidak ditangani dengan baik. Sumber stres psikologis bisa disebabkan frustasi, konflik,
tekanan, dan krisis (Maramis, 1999 dalam Sunaryo, 2013).
Bagaimana individu bereaksi terhadap stres akan bergantung pada bagaimana
mereka memandang dan mengevaluasi dampak dari stressor, efeknya pada situasi dan
dukungan saat mengalami stres, dan mekanisme koping mereka (Potter & Perry,
2010). Rotter dalam Smet (1994) mendefinisikan locus of control sebagai persepsi
seseorang terhadap sumber – sumber yang mengontrol kejadian – kejadian dalam
hidupnya, dalam hal ini ada locus of control eksternal dan internal.
Setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda – beda dalam
menahan stres. Hal itu bergantung dari sifat dan hakikat stres (intensitas, lamanya,
lokal, dan general) dan sifat individu yang terkait dengan proses adaptasi. Tipe
kepribadian individu dibedakan menjadi dua macam, yaitu tipe rentan dan kebal
(Sunaryo, 2013). Individu dengan locus of control internal memiliki kecenderungan
memiliki motivasi tinggi, memiliki tujuan hidup, lebih ekstrovert, mudah bergaul, dan
lebih aktif daripada individu dengan locus of control eksternal. Sehingga individu dengan
locus of control internal lebih tahan terhadap stres dan memiliki kemampuan koping
41
yang lebih baik sementara individu dengan locus of control eksternal lebih rentan
terhadap stres (Darshani, 2014).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa stres dapat
disebabkan permasalahan – permasalahan yang dihadapi mahasiswa yang
mengerjakan tugas akhir. Terjadinya stres sangat erat kaitannya dengan persepsi dan
kepribadian individu dalam melihat suatu kejadian. Masing masing jenis locus of control
memiliki karakteristik perilaku yang dapat mempengaruhi tingkat stres pada
mahasiswa yang mengerjakan tugas akhir.