23
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. TEORI STRUKTUR MODAL Teori struktur modal tidak dapat dilepaskan dari peran Profesor Franco Modigliani dan Merton Miller (dikenal dengan MM), yang pada tahun 1958 mempublikasikan artikel keuangan yang kemudian menjadi dasar serta acuan bagi perkembangan teori struktur modal modern. Pada artikel tersebut, mereka membuktikan bahwa stuktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Namun klaim mereka tersebut dasari oleh beberapa asumsi. Asumsi MM tersebut antara lain, tidak adanya biaya perantara perdagangan ( brokerage), tidak ada pajak, tidak ada biaya kebangkrutan, investor dapat meminjam dengan tingkat bunga yang sama, informasi yang dimiliki oleh manajemen dan investor mengenai perusahaan sama, EBIT ( earning before interest and tax) tidak dipengaruhi oleh penggunaan utang oleh perusahaan (Brigham dan Houston, 2003). Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh MM memang tidak realistis, namun apa yang dikemukakan oleh MM tetap memiliki arti penting. MM secara tidak langsung memberikan petunjuk mengenai variabel yang dibutuhkan agar struktur modal relevan dan dapat mempengaruhi nilai perusahaan (Brigham dan Houston, 2003). Melalui asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh MM para peneliti selanjutnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66388/potongan/S2-2013... · Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh MM memang tidak realistis,

  • Upload
    haduong

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1. TEORI STRUKTUR MODAL

Teori struktur modal tidak dapat dilepaskan dari peran Profesor Franco

Modigliani dan Merton Miller (dikenal dengan MM), yang pada tahun 1958

mempublikasikan artikel keuangan yang kemudian menjadi dasar serta acuan bagi

perkembangan teori struktur modal modern. Pada artikel tersebut, mereka

membuktikan bahwa stuktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Namun

klaim mereka tersebut dasari oleh beberapa asumsi. Asumsi MM tersebut antara lain,

tidak adanya biaya perantara perdagangan ( brokerage), tidak ada pajak, tidak ada

biaya kebangkrutan, investor dapat meminjam dengan tingkat bunga yang sama,

informasi yang dimiliki oleh manajemen dan investor mengenai perusahaan sama,

EBIT (earning before interest and tax) tidak dipengaruhi oleh penggunaan utang oleh

perusahaan (Brigham dan Houston, 2003).

Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh MM memang tidak realistis,

namun apa yang dikemukakan oleh MM tetap memiliki arti penting. MM secara tidak

langsung memberikan petunjuk mengenai variabel yang dibutuhkan agar struktur

modal relevan dan dapat mempengaruhi nilai perusahaan (Brigham dan Houston,

2003). Melalui asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh MM para peneliti selanjutnya

10

dapat memfokuskan penelitian mereka pada asumsi tersebut agar dapat membangun

teori yang lebih realistis, berkaitan dengan struktur modal optimal.

Teori struktur modal yang dikembangkan oleh Modigliani dan Miller

(1958) dengan asumsinya, tidak dapat dipungkiri merupakan dasar bagi

perkembangan teori struktur modal saat ini. Termasuk juga menjadi pondasi bagi dua

teori besar pada struktur modal, yaitu trade-off dan pecking order. Teori trade-off

yang dikembangkan oleh Krauss dan Litzenberger (1973), beranggapan bahwa

perusahaan dapat memaksimalkan nilai perusahaan mereka dengan menyeimbangkan

variabel keuntungan yang didapat dari utang ( tax shield) dan variabel biaya yang

ditimbulkan oleh utang itu sendiri (bankruptcy cost).

Fakta bahwa bunga memberikan manfaat bagi perusahaan membuat biaya

penggunaan utang sebagai sebagai sumber pendanaan menjadi lebih murah,

dibandingkan dengan saham sampai pada tingkat utang tertentu (Brigham & Houston,

2003). Teori trade-off menyakini, bahwa Perusahaan akan berhenti menambah

utangnya pada titik tertentu. Seperti yang diungkap oleh Myers ( 2001), tingkat

tertentu tersebut adalah disaat penghematan atau manfaat yang diperoleh dari pajak

(tax shield) pada setiap penambahan utang sama dengan biaya kesulitan keuangan

(financial distress). Pada penelitian tahun 2001 tersebut, Myers juga menjelaskan

bahwa kesulitan keuangan dapat berupa biaya kebangkrutan atau reorganisasi dan

juga biaya kaagenan yang dapat muncul ketika kredibilitas perusahaan turun.

Sedangkan teori pecking order yang dipopulerkan oleh Myers dan Majluf

(1984), mengangkat ide adanya hierarki pemilihan sumber pendanaan mulai dari laba

11

ditahan, utang, dan yang terakhir ekuitas untuk mengisi komposisi struktur modal

perusahaan. Tidak adanya struktur modal yang optimal merupakan pembeda utama

teori ini dengan trade-off. Pemilihan sumber pendanaan berdasarkan teori pecking

order kemudian diperjelas lagi oleh Smart, Megginson dan Gitman (2004), mereka

menyatakan bahwa ada skenario hierarki dalam memilih sumber pendanaan yaitu:

1. Perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam

atau pendanaan internal daripada pendanaan eksternal. Dana internal

tersebut diperoleh dari laba ditahan yang dihasilkan dari kegiatan

operasional perusahaan.

2. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih

mulai dari sekuritas yang paling aman, yaitu utang yang paling rendah

resikonya, lalu utang yang lebih berisiko, kemudian sekuritas hibrid

seperti obligasi konversi, saham preferen, dan yang terakhir saham

biasa.

3. Terdapat kebijakan dividen yang konstan, yaitu perusahaan menetapkan

jumlah pembayaran dividen yang tetap, tidak terpengaruh besarnya

untung atau rugi perusahaan.

Diluar teori trade-off dan pecking order, dikembangkan pula teori

keagenan yang diperkenalkan oleh Jensen dan Meckling (1976). Teori ini jelaskan

hubungan antara principal (investor/pemilik perusahaan) dan agent (orang yang

dipekerjakan/manajaer). Hubungan antara principal dan agent ini dapat menjadi

masalah ketika terjadi perbedaan informasi yang dimiliki berkaitan dengan prospek

12

perusahaan atau yang dikenal dengan asymmetric information (Brigham & Houston,

2003).

Selain kedua teori tersebut ada juga teori keagenan dan market timing

hypothesis yang dapat menjadi alternatif atau melengkapi dinamika struktur modal

pada perusahaan. Market timing hypothesis adalah teori yang dikemukakan oleh

Baker dan Wurgler melalui penelitian yang mereka lakukan pada tahun 2002. Pada

penelitian tersebut mereka berargumen bahwa market timing merupakan determinan

yang paling utama bagi perusahaan dalam menentukan struktur modalnya

(penggunaan utang atau ekuitas). Menurut mereka, perusahaan tidak perduli apakah

menggunakan utang atau ekuitas. Perusahaan hanya memilih bentuk dari pendanaan

pada suatu waktu tertentu yang terlihat memberikan nilai yang lebih baik.

2.2. REVIEW PENELITIAN STRUKTUR MODAL YANG MENGGUNAKAN

MODEL DINAMIS

Kedinamisan variabel-variabel penentu struktur modal telah membuat para

peneliti harus menyesuaikan model penelitian mengikuti realita kedinamisan tersebut.

Oleh karena itu, diperlukan suatu model dinamis yang dapat menangkap dan

menjelaskan perilaku dinamis para pengambil keputusan dalam mengelola struktur

modal perusahaan.

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dinamis diartikan sebagai penuh

semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan

keadaan dan mengandung kedinamisan. Sedangkan secara statistik menurut Gujarati

13

(2012), model yang dinamis berarti adanya alur waktu dari variabel dependen dalam

hubungannya dengan nilai pada waktu lampau. Jika kita kaitkan pengertian dinamis

dengan perubahan struktur modal, maka suatu model dinamis harus mampu

menangkap fenomena perubahan struktur modal perusahaan guna menyesuaikan diri

terhadap perubahan struktur modal optimalnya. Berkaitan dengan kedinamisan, ada

banyak penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan model dinamis untuk

menjelaskan penyesuaian struktur modal perusahaan.

Penelitian yang menggunakan model dinamis diawali oleh Fischer et al.

pada tahun 1989. Pada penelitian tersebut, mereka membuat suatu model dinamis

yang berusaha menangkap perilaku perusahaan ketika memilih sumber pendanaan

dengan adanya pengaruh dari biaya perubahan struktur modal (recapitalization cost).

Hasil dari penelitian tersebut adalah adanya ruang ( range) optimal yang

memungkinkan bagi rasio utang perusahaan untuk bervariasi mengikuti perubahan

determinannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Hovakimian et al. (2001) mengungkap

bahwa, ketika perusahaan melakukan penyesuaian struktur modal, arah dari

penyesuaian tersebut adalah rasio utang yang menjadi target. Hasil dari penelitian ini

sesuai dengan teori trade-off antara biaya dan keuntungan utang. Selain itu,

pergerakan struktur modal menuju targetnya biasanya pada saat perusahaan menjual

saham atau membeli kembali saham. Pada penelitian ini juga ditemukan fakta bahwa

perusahaan menghadapi kesulitan untuk melakukan penyesuain struktur modal

14

menuju optimalnya. Selain itu, rasio utang yang menjadi target dapat berubah-ubah

sepanjang waktu sebagai akibat perubahan profitabilitas dan perubahan harga saham.

Hasil dari penelitian Fischer et al. (1989) dan hovakimian et al. (2001)

dikuatkan lagi oleh hasil survei yang telah dilakukan Graham dan Harvey (2001)

terhadap para Chief Financial Officer (CFO) yang merupakan para pengambil

keputusan pada perusahaan di Amerika Serikat dan Kanada. Pada survei tersebut

diketahui bahwa, para pengambil keputusan mencari target rasio antara hutang

dengan ekuitas yang merupakan gambaran dari struktur modal yang optimal. Survei

serupa juga dilakukan oleh Brounen et al. (2004) di Eropa. Hasil dari penelitian yang

Mereka lakukan menunjukkan hasil yang sama, para CFO di Eropa juga sangat

memperhatikan struktur modal mereka, bahkan pada survei tersebut dijelaskan bahwa

perusahaan-perusahaan yang besar memiliki alat analisis yang sangat detail guna

menentukan sumber pendanaan perusahaan.

Pada penelitian Fischer et al. (1989), hovakimian et al. (2001) dan hasil

survei Graham dan Harvey (2001) serta Brounen et al. (2004) diketahui bahwa

perusahaan mencari struktur modal yang optimal, serta struktur modal yang optimal

tersebut selalu berubah-ubah sepanjang waktu. Namun hal lain yang tidak kalah

penting berkaitan dengan struktur modal adalah pertanyaan kapan waktu yang tepat

untuk melakukan penyesuaian, agar biaya yang dikeluarkan sebanding dengan

manfaat yang akan diperoleh. Oleh sebab itu, diperlukan ketepatan waktu

pengambilan keputusan guna melakukan penyesuain struktur modal, atau dengan kata

lain seberapa cepat perusahaan harus bereaksi menyesuaikan struktur modalnya

15

ketika struktur modal optimalnya berubah. Sayangnya hal tersebut belum mampu

diungkap pada penelitian diatas.

Untuk menjawab kekurangan ini, diperlukan suatu model lain yang mampu

menangkap perubahan dinamis pada fenomena disekitar pengambilan keputusan

pemilihan struktur modal yang bereaksi terhadap perubahan determinannya. Pada

penelitian-penelitian berikut akan ditampilkan bagaimana reaksi (kecepatan dalam

melakukan penyesuaian) perusahaan terhadap perubahan struktur modal optimalnya.

Heshmati (2001) menjawab ke kurangan tersebut dengan menggunakan

model dinamis pada penelitiannya. Menurut Heshmati model dinamis setidaknya

memiliki tiga keunggulan. Pertama, model ini mengakomodasi kemungkinan

perusahaan tidak berada pada struktur modal yang optimal pada waktu kapanpun.

Oleh karena itu, melalui model ini dimungkinkan untuk mengidentifikasi determinan

dari struktur modal yang optimal. Kedua, kita juga dapat melakukan estimasi

kecepatan perusahaan dalam melakukan penyesuaian leverage-nya menuju pada

struktur modal yang optimal dan mengidentifikasi determinan dari kecepatan

penyesuaiannya tersebut. Ketiga, kecepatan penyesuaian dari perusahaan maupun

waktunya, dimungkinkan untuk heterogen (perusahaan yang berbeda -beda dan

kapanpun) pada level leverage, dan penyesuaian antar perusahaan serta antar waktu.

Penelitian Heshmati (2001) dilakukan pada perusahaan kecil dan mikro di

Swedia. Hasil dari penelitiannya ini diketahui bahwa perusahaan kecil dan Mikro di

Swedia memiliki struktur modal yang melebihi targetnya. Variabel yang digunakan

sebagai determinan dari leverage yang optimal terdiri dari volatilitas pendapatan,

16

pertumbuhan perusahaan, aset tetap, ukuran perusahaan, profitabilitas, non-debt tax

shield, keunikan perusahaan, umur perusahaan. Sedangkan untuk kecepatan

penyesuaian yang dilakukan oleh perusahaan tersebut sangat lambat. Pada penelitian

ini dibuktikan juga bahwa semakin lebar jarak antara leverage aktual dengan leverage

yang menjadi target, belum tentu mempercepat perubahan struktur modal. Perusahaan

akan melakukan penyesuaian jika biaya untuk melakukan penyesuaian lebih kecil

dibandingkan biaya tetap berada pada struktur modal yang tidak optimal. Selain itu,

untuk variabel ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan dan profitabilitas

diketahui berhubungan positif dengan kecepatan penyesuaian struktur modal.

Pada tahun 2001, penelitian yang dilakukan oleh De Miguel dan Pindado di

Spanyol, juga menggunakan model struktur modal yang dinamis. Model tersebut

mereka gunakan untuk menganalisa karakteristik perusahaan yang merupakan

determinan dari struktur modal. Dengan model tersebut mereka membuat target

penyesuaian. Penelitian De Miguel dan Pindado yang fokus pada biaya transaksi

modal yang harus ditanggung perusahaan, berhasil membuktikan bahwa biaya

transaksi perusahaan spanyol lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan Amerika

Serikat. Hasil lainnya adalah mereka membuktikan bahwa karakteristik perusahaan

mempengaruhi struktur modal.

Gaud et al. (2005) pada penelitiannya yang menggunakan model statis dan

dinamis menemukan bukti bahwa ukuran perusahaan aset tetap, risiko bisnis

berpengaruh positif terhadap leverage, sedangkan variabel pertumbuhan perusahaan

dan profitabilitas perusahaan berhubungan negatif dengan leverage. Hasil penelitian

17

Gaul et al. pada perusahaan di Swiss tersebut juga mengungkap bahwa perusahaan

melakukan penyesuaian menuju rasio utang yang menjadi targetnya, dan proses

penyesuaiannya tersebut lebih lambat dibandingkan dengan perusahaan dinegara lain

(Spanyol, Amerika Serikat, Jerman, Inggis, dan Francis).

Model penyesuaian dinamis juga digunakan oleh Drobetz dan Wanzenried

pada penelitian mereka tahun 2006 di Swiss. Penelitian tersebut untuk

menginvestigasi determinan dari target struktur modal. Hal ini mereka lakukan karena

diyakini struktur modal perusahaan dapat terdeviasi dari struktur modal targetnya.

Pada penelitian itu mereka secara spesifik menganalisa pengaruh karakteristik

spesifik perusahaan dan faktor makro ekonomi terhadap kecepatan penyesuaian

perusahaan menuju pada target rasio utangnya. Hasilnya terungkap bahwa perusahaan

yang sedang tumbuh lebih cepat melakukan penyesuaian. selain itu, kecepatan

penyesuaian perusahaan-perusahaan non keuangan di Swiss, dipengaruhi oleh

besarnya penyimpangan stuktur modalnya terhadap targetnya. Pada penelitian ini

juga diketahui bahwa karakteristik perusahaan (ukuran perusahaan, pertumbuhan

perusahan, serta jarak antara leverage aktual dengan targetnya) dan kondisi makro

ekonomi berpengaruh terhadap kecepatan penyesuaian struktur modal.

Pembuktian bahwa perusahaan memiliki target leverage dan melakukan

penyesuian juga dilakukan oleh Antoniou, Guney, dan Paudyal (2008) di Perancis.

Pada penelitian itu, Antoniou et al. menggunakan data panel dan two-step system-

GMM, hasilnya Antoniou et al. menemukan bukti rasio leverage dipengaruhi secara

positif oleh aset tetap dan ukuran perusahaan, namun berhubungan negatif ketika ada

18

peningkatan keuntungan perusahaan, kesempatan untuk tumbuh, dan kinerja harga

saham. Penelitian mereka juga mengungkap bahwa kondisi pasar (lingkungan operasi

perusahaan) berpengaruh pada rasio leverage. Adanya target rasio leverage dan usaha

melakukan penyesuaian juga dikonfirmasi oleh penelitian ini. Mereka mengungkap

bahwa perusahaan di Perancis menjadi yang tercepat dalam melakukan penyesuaian,

sedangkan yang paling lama adalah perusahan Jepang. Kecepatan perubahan tersebut

dipengaruhi oleh profitabilitas, perumbuhan perusahaan, aset tetap, ukuran

perusahaan, non-debt tax shield, kinerja harga saham.

Hasil dari penelitian Sinha dan Ghosh (2010) yang menggunakan Partial

Adjustment Model (PAM) yang dinamis serta mengembangkan penelitian Drobetz

dan Wanzenried (2006) pada perusahaan di India menunjukkan bahwa penyesuaian

struktur modal yang dinamis dipengaruhi oleh faktor spesifik perusahaan (likuiditas,

ukuran perusahaan, kesempatan untuk tumbuh, profotabilitas, dan aset tetap) dan

variabel makro ekonomi. Selain itu, leverage yang menjadi target dan kecepatan

penyesuaian dipengaruhi juga oleh reaksi perusahaan dan atau perilaku proaktif

perusahaan.

Menguji kecepatan penyesuaian struktur modal menuju leverage yang

menjadi target menggunakan model PAM, Elsas dan Florysiak (2011) membuat

beberapa kesimpulan berkaitan dengan kecepatan penyesuaian. Elsas dan Florysiak

menyimpulkan bahwa kecepatan penyesuaian akan semakin tinggi, (i) jika biaya yang

timbul akibat penyimpangan dari struktur modal yang optimal tinggi, (ii) ketika

19

deviasi dari target tinggi atau jauh, (iii) jika perusahaan menghadapi risiko

kebangkrutan yang tinggi.

Penelitian di Perancis juga dilakukan oleh Said pada tahun 2012. Pada

penelitian tersebut Said menggunakan data dari 244 perusahaan dengan periode

waktu 1997 sampai dengan 2007. Tujuan dari penelitian Said adalah melakukan

pengujian teori trade-off, pecking order dan market timing terhadap struktur modal.

Dengan menggunakan model dinamis Said mengkonfirmasi temuan Antoniou et al.

(2008) berkaitan dengan adanya proses penyesuaian dinamis yang dilakukan

perusahaan-perusahaan di Perancis untuk mencapai target struktur modalnya. pada

penelitian tersebut Said juga membentuk rasio target leverage yang dibentuk

berdasarkan ukuran perusahaan, keuntungan, kesempatan untuk tumbuh, dan non debt

tax shield. Hasil penelitian Said, ditemukan penyesuaian struktur modal, yang

mengkonfirmasi bahwa teori trade-off lebih dominan berperan dibandingkan pecking

order pada perusahaan di Perancis. pada penelitian tersebut, Said juga tidak

menemukan adanya pengaruh yang signifikan dari market timing pada pengambilan

keputusan struktur modal.

Penelitian empiris lainnya yang dilakukan oleh Chipeta dan Mbululu

(2013), juga membuktikan bahwa penyesuaian struktur modal dilakukan oleh

perusahaan. Proses penyesuaian itu dipengaruhi oleh karakteristik perusahaan dan

faktor makro ekonomi. Secara spesifik faktor yang mempengaruhi kecepatan

penyesuaian struktur modal dan berkorelasi positif pada penelitian mereka antara lain,

ukuran perusahaan, aset, profitabilitas, likuiditas dan bunga yang ditanggung.

20

Disamping itu, variabel pertumbuhan perusahaan mengalami penyesuaian lebih

lambat, yang menggambarkan bahwa ada potensi masalah underinvestment, bagi

perusahaan yang memiliki aset intangible yang besar. Sedangkan untuk variabel

makro ekonomi, pertumbuhan nyata dari Pendapatan Domestik Broto (PDB),

menunjukkan korelasi yang positif. Variabel market dividend yield juga menunjukkan

korelasi positif terhadap kecepatan penyesuaian stuktur modal.

2.3. DETERMINAN STRUKTUR MODAL YANG OPTIMAL

Struktur modal yang optimal merupakan variabel yang menjadi fokus

utama pada penelitian ini. Rasio utang atau leverage, akan digunakan oleh peneliti

sebagai proksi dari struktur modal yang optimal ( Hovakimian, et al., 2001; Heshmati,

2001; De Miguel & Pindado, 2001; Gaud et al., 2005; Drobetz & Wanzenried, 2006;

Antoniou, et al., 2008; Sinha & Ghosh, 2010; Elsas & Florysiak, 2011; Said, 2012).

Untuk membentuk struktur modal yang optimal peneliti akan menggunakan variabel

karakteristik perusahaan yang merupakan hasil dari survei Haris dan Raviv (1991).

Variabel yang akan digunakan berdasarkan hasil dari Haris dan Raviv adalah aset

tetap, ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan dan profitabilitas.

2.3.1. Aset Tetap

Selain ditemukan pada hasil survei yang dilakukan oleh Harris dan Raviv

(1991), variabel ini digunakan juga pada penelitian yang dilakukan oleh Titman dan

Wessels (1988), Rajan dan Zingales (1995), Fama dan French (2002) , Frank dan

21

Goyal (2008), sebagai variabel yang mempengaruhi leverage perusahaan. Pada

penelitian mereka, aset tetap merupakan determinan yang penting yang dapat

menjelaskan perubahan leverage. Aset tetap seperti properti, pabrik dan peralatan,

lebih mudah bagi pihak di luar perusahaan (outsiders) untuk menilai apa yang dimilik

oleh perusahaan, dibandingkan dengan aset perusahaan yang tidak tampak (seperti

goodwill dan merek) untuk kepentingan peminjaman hutang (Frank & Goyal, 2008).

Oleh karena itu, semakin banyak aset yang dimiliki perusahaan (tangible assets) akan

meningkatkan kepercayaan para kreditur, karena kenaikan tersebut menaikkan pula

garansi bagi kembalinya kredit yang mereka berikan. Hasil tersebut sejalan dengan

teori trade-off, aset tetap akan berkorelasi positif dengan tingkat hutang. Penelitian

empiris sebelumnya Hovakimian et al. (2001), Heshmati (2001), Gaud et al. (2005),

Drobetz dan Wanzenried (2006), Elsas dan Florysiak (2011) yang menggunakan

variabel aset tetap sebagai determinan leverage yang optimal, menunjukkan bahwa

variabel aset tetap memang berkorelasi positif terhadap hutang.

2.3.2. Ukuran Perusahaan

Suatu perusahaan yang besar biasanya memiliki sumber-sumber

pendapatan yang stabil, sehingga perusahaan-perusahaan tersebut mampu untuk

memenuhi kewajiban yang tetap lebih baik dibandingkan perusahaan yang kecil. Oleh

karena itu, mereka akan berani meningkatkan jumlah utang (Voulgaris, Asteriou, dan

Agiomirgianakis, 2004). Selain itu, dengan stabilitas aliran kas tersebut maka

perusahaan-perusahaan yang memiliki ukuran yang besar ini memiliki ketahanan

22

akan risiko kebangkrutan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan kecil.

Pengaruh ukuran perusahaan terhadap leverage perusahaan juga dapat lihat pada

penelitian yang dilakukan oleh Warner (1977), Ang, Chua, dan McConell (1982)

diketahui bahwa biaya kebangkrutan lebih besar pada perusahaan yang kecil. Hasil ini

sesuai dengan teori trade-off yang memang mengharapkan hubungan positif antara

ukuran perusahaan dengan leverage. Korelasi positif antara ukuran perusahaan

dengan tingkat hutang juga dapat kita lihat pada penelitian empiris sebelumnya,

seperti pada penelitian Hovakimian et al. (2001), Gaud et al. (2005), Drobetz dan

Wanzenried (2006), Antoniou et al. (2008), Elsas dan Florysiak (2011). Pada

penelitian tersebut Mereka menggunakan variabel ukuran perusahaan sebagai

determinan struktur modal yang optimal.

2.3.3. Pertumbuhan Perusahaan

Perusahaan yang memiliki kesempatan untuk tumbuh yang tinggi secara

umum menunjukkan bahwa perusahaan tersebut membutuhkan banyak modal untuk

melakukan pertumbuhan tersebut. Kondisi seperti ini membawa perusahaan pada

aliran kas yang belum stabil sehingga belum mampu membayar kewajiban secara

stabil. Dalam teori aliran kas bersih yang diajukan Jensen, (1986) dan Easterbroog

(1984) menyatakan bahwa rasio hutang berhubungan negatif dengan volatilitas

pendapatan. Sehingga ketika suatu perusahaan menghadapi volatilitas pendapatan,

rasio hutangnya akan turun. Perusahaan yang sedang tumbuh menghadapi kenyataan

bahwa mereka sedang pada posisi untuk memulai atau memilih investasi mana yang

23

harus mereka jalankan. Kondisi ini tentu menunjukkan bahwa mereka menghadapi

resiko yang lebih tinggi sehingga utang yang mereka dapatkan akan lebih kecil

dibandingkan perusahaan yang sudah mapan. Hasil dari penelitian empiris yang telah

dilakukan oleh Heshmati (2001), Drobetz dan Wanzenried (2006), Antoniou et al.

(2008) yang menggunakan variabel pertumbuhan perusahaan sebagai determinan

struktur modal yang optimal menunjukkan bahwa pertumbuhan perusahaan memang

berkorelasi negatif terhadap hutang.

Hubungan antara variabel pertumbuhan perusahaan dengan hutang dapat

juga menjadi positif. Pertumbuhan perusahaan yang tinggi menggambarkan bahwa

perusahaan tersebut memiliki masa depan yang cerah. Dengan kemungkinan

profitabilitas yang tinggi di masa yang akan datang para kreditor akan berani

memberikan tambahan hutang bagi perusahaan untuk merealisasikan

pertumbuhannya. Peningkatan pertumbuhan dapat dilihat sebagai peningkatan garansi

pengembalian hutang bagi para kreditor.

2.3.4. Profitabilitas

Berdasarkan teori trade-off, perusahaan yang menghasilkan profitabilitas

yang tinggi memiliki risiko kebangkrutannya rendah, sehingga perusahaan ini dapat

meningkatkan proporsi hutang pada struktur modalnya. Pada penelitian yang

menggunakan model dinamik, seperti pada penelitian Heshmati (2001), Gaud et al.

(2005), Drobetz & Wanzenried (2006), Antoniou et al. (2008), Elsas dan Florysiak

(2011) penggunaan variabel profitabilitas selalu muncul sebagai determinan

24

pembentuk leverage yang optimal. Hasil dari penelitian empiris tersebut juga

membuktikan bahwa profitabilitas berhubungan negatif terhadap hutang, sejalan

dengan teori trade-off. Selain itu, peningkatan profitabilitas perusahaan akan

meningkatkan kepercayaan keditur dalam memberikan pinjaman, sehingga

perusahaan akan mengambil kesempatan ini untuk meningkatkan hutangnya untuk

peroleh manfaat pengurangan pajak dari setiap penambahan hutangnya.

2.4. PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.4.1. Pengaruh Variabel Ukuran Perusahaan Terhadap Kecepatan

Penyesuaian Struktur Modal

Ukuran perusahaan merupakan variabel yang sudah sangat sering

digunakan sebagai obyek penelitian dan biasanya digunakan sebagai determinan dari

leverage optimal (Hovakimian et al., 2001; Heshmati, 2001; Gaud et al., 2005;

Drobetz & Wanzenried, 2006; Sinha & Ghosh, 2010; Elsas & Florysiak, 2011; Said,

2012). Peran dari variabel ukuran perusahaan pada pembentukan leverage optimal,

menunjukkan bahwa variabel tersebut juga memberikan pengaruh terhadap kecepatan

penyesuaian struktur modal yang dilakukan perusahaan. Pada penelitian Drobetz dan

Wanzenried (2006) , diketahui bahwa perubahan struktur modal berkaitan dengan

ukuran perusahaan. Selain itu, biaya yang ditanggung oleh perusahaan yang besar

akan relatif lebih kecil dan lebih siap melakukan penyesuaian untuk memperbaiki

struktur modalnya. Menurut Drobetz dan Wanzenried kondisi ini dapat terjadi karena

perusahaan besar akan memperoleh lebih banyak sorotan dari para analis, sehingga

25

informasi yang tersedia mengenai perusahaan banyak, dan akan meminimalkan

terjadinya gap informasi antara pemegang saham dengan managerial perusahaan.

Selain itu, informasi yang banyak mengenai perusahaan akan mempermudah

perusahaan untuk dapat mengakses sumber-sumber pendanaan yang diperlukan untuk

melakukan penyesuaian yang dibutuhkan. Semua kemudahan dan keuntungan

perusahaan yang besar tersebut meringankan biaya untuk melakukan penyesuian. Jika

kita hubungkan dengan teori Trade-Off (Myers, 1984, dan Fischer et al., 1989),

kecilnya biaya penyesuaian akan mempercepat perusahaan untuk dapat melakukan

penyesuaian. Berdasarkan beberapa alasan diatas maka hipotesis yang disusun adalah:

Hipotesis 1: Ukuran perusahaan berpengaruh secara positif terhadap kecepatan

penyesuaian struktur modal

2.4.2. Pengaruh Variabel Pertumbuhan Perusahaan Terhadap Kecepatan

Penyesuaian Struktur Modal

Faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi kecepatan perubahan

struktur modal adalah pertumbuhan perusahaan. Pada penelitian ini, pertumbuhan

perusahaan diukur dari perubahan tingkat penjualan setiap tahun. Oleh karena itu,

setiap peningkatan pertumbuhan akan ada tambahan pendapatan bagi perusahaan.

Hasil dari penelitian Heshmati (2001) berkaitan kecepatan perubahan struktur modal

menunjukkan bahwa, kecepatan berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan

perusahaan. Hesmati melihat korelasi ini menunjukkan bahwa perusahaan yang

sedang tumbuh kesulitan untuk mengikuti struktur modal karena penyesuaian yang

26

dilakukan lebih banyak (besar) dibandingkan dengan perusahaan yang

pertumbuhannya kecil. Hal ini akan mengakibatkan biaya untuk melakukan

penyesuaian struktur modal untuk perusahaan yang tumbuh lebih besar, akibatnya

perusahaan yang tumbuh akan lebih lambat melakukan penyesaian struktur modal.

Oleh karena itu, perusahaan yang sedang tumbuh akan lebih fokus untuk

memaksimalkan pertumbuhannya, sehingga terkadang mengabaikan struktur modal

optimal. Eriotis, Vasiliou dan Neokosmidi (2007) pada penelitiannya menjelaskan

bahwa korelasi negatif ini terjadi karena pertumbuhan perusahaan akan

mengakibatkan variasi dari nilai perusahaan. Semakin besar variasi dapat

diinterpretasikan sebagai tingginya risiko, sehingga biaya untuk melakukan

penyesuaian stuktur modal akan tinggi. Hasil ini sesuai dengan penelitian empiris

sebelumnya yang dilakukan oleh Hovakimian et al. (2001), Frank dan Goyal (2009),

yang menemukan bahwa pertumbuhan perusahaan berkorelasi negatif terhadap

kecepatan perubahan struktur modal. Maka hipotesis yang disusun adalah:

Hipotesis 2: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh secara negatif terhadap kecepatan

penyesuaian struktur modal.

2.4.3. Pengaruh Variabel Profitabilitas Perusahaan Terhadap Kecepatan

Penyesuaian Struktur Modal

Sebagai suatu variabel kinerja perusahaan, profitabilitas bukan merupakan

variabel yang asing jika dikaitkan dengan kecepatan penyesuaian struktur modal.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Heshmati (2001) di Swedia, diketahui bahwa

27

variabel profitabilitas memberikan pengaruh negatif terhadap kecepatan penyesuaian

struktur modal. Kondisi ini menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat

keuntungan perusahaan maka semakin lambat perusahaan tersebut melakukan

penyesuaian. Hubungan negatif tersebut mengungkap bahwa perusahaan yang

memiliki keuntungan yang tinggi menanggung biaya untuk melakukan perubahan

struktur modal lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang profitabilitasnya

rendah. Jika dilihat dari perspektif teori signaling, maka biaya tersebut adalah adanya

informasi yang tidak seimbang antara pihak manajemen perusahaan dengan investor

(asymmetric information). Perusahaan yang memiliki keuntungan yang tinggi akan

lebih nyaman untuk tetap berada pada struktur modal yang tidak optimal daripada

melakukan penyesuaian dengan resiko penurunan nilai perusahaan sebagai akibat

asymmetric information, dan akan melakukan penyesuaian jika sudah cukup jauh

(risiko dari adanya asymmetric information sebanding dengan manfaat melakukan

penyesuaian struktur modal) dari struktur modal yang optimal. Sedangkan untuk

perusahaan yang memiliki keuntungan yang rendah akan berusaha melakukan

penyesuaian lebih cepat karena beban yang ditanggung untuk melakukan penyesuaian

lebih rendah. Oleh karena itu, hipotesis hubungan antara variabel profitabilitas

dengan kecepatan penyesuaian adalah sebagai berikut:

Hipotesis 3: Profitabilitas perusahaan berpengaruh secara negatif terhadap kecepatan

penyesuaian struktur modal.

28

2.4.4. Pengaruh Variabel Distance Terhadap Kecepatan Penyesuaian Struktur

Modal

Penelitian Fischer et al. (1989), hovakimian et al. (2001) dan hasil survei

Graham dan Harvey (2001) serta Brounen et al. (2004) mengungkap bahwa

perusahaan mencari struktur modal yang optimal, serta struktur modal yang optimal

tersebut selalu berubah-ubah sepanjang waktu. Sebagai akibat dari perubahan struktur

modal optimal yang terus-menerus, akan terdapat jarak antara struktur modal aktual

dengan struktur modal optimal. Jarak atau deviasi antara struktur modal aktual dan

struktur modal optimal pada penelitian ini, akan diwakili oleh variabel distance.

Ketika struktur modal perusahaan tidak berada pada titik optimalnya, maka akan ada

biaya yang harus ditanggung (bangkruptcy cost, dan financial distress). Oleh karena

itu, semakin jauh jarak antara struktur modal optimal dengan yang aktualnya, maka

akan semakin besar biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan. Kondisi ini

mengakibatkaan kecepatan perusahaan dalam melakukan penyesuaian akan semakin

cepat, seiring dengan semakin besarnya penyimpangan struktur modal aktual terhadap

struktur modal optimal. Penelitian-penelitian terdahulu (Hovakimian et al., 2001;

Heshmati, 2001; Drobetz & Wanzenried, 2006) telah membuktikan bahwa semakin

besar distance maka kecepatan penyesuaian struktur modal akan semakin cepat pula.

Oleh karena itu, pada penelitian ini hipotesis yang disusun adalah:

Hipotesis 4: Distance berpengaruh secara positif terhadap kecepatan penyesuaian

struktur modal.

29

2.4.5. Pengaruh Variabel Inflasi Perusahaan Terhadap Kecepatan Penyesuaian

Struktur Modal

Inflasi merupakan variabel yang selalu disebut pada setiap perbincangan

yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, variabel

ini patut diduga mempengaruhi kecepatan perubahan struktur modal perusahaan di

Indonesia. Berdasarkan penelitian Taggart (sebagaimana dikutif dalam Frank &

Goyal 2009), diketahui bahwa nilai riil dari pengurangan pajak atas hutang, semakin

tinggi jika inflasi yang diharapkan tinggi. Maka teori trade-off dalam hal ini

memandang bahwa inflasi akan berkorelasi positif terhadap leverage perusahaan

(Frank & Goyal, 2009). Namun, Hatzinikolaoua, Katsimbrish, dan Noulas

(sebagaimana dikutif dalam Chipeta dan Mbululu, 2013) berargumen bahwa pada

masa inflasi yang tinggi, volatilitas pendapatan meningkat, begitupula dengan risiko

bisnis. Kondisi ini mengakibatkan, perusahaan mungkin akan lebih memilih

menerbitkan saham daripada hutang. Di Indonesia, inflasi yang tinggi biasanya

direspon oleh kenaikan tingkat suku bunga oleh Bank Indonesia, guna meredam

inflasi. Dampak dari kebijakan bank sentral ini, akan mengakibatkan bank-bank

umum akan menaikkan tingkat suku bunga kredit yang mereka kucurkan bagi

perusahaan. Di lain sisi, kenaikan inflasi akan menurunkan daya beli para konsumen,

dan tentu saja akan berdampak pada penurunan pendapatan perusahaan. Pada kondisi

ini, tentu perusahaan tidak akan terlalu gegabah untuk masuk ke pasar modal untuk

mencari sumber pendanaan. Oleh karena itu, pada kondisi inflasi yang tinggi

perusahaan akan lebih nyaman untuk melakukan pergerakan yang selektif berkaitan

30

dengan kebijakan pendanaannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Chipeta dan

Mbululu (2013), diketahui bahwa korelasi antara inflasi dan kecepatan perubahan

struktur modal adalah negatif dan signifikan. Maka hipotesis yang disusun adalah:

Hipotesis 5: Tingkat inflasi berpengaruh secara negatif terhadap kecepatan

penyesuaian struktur modal.

2.4.6. Pengaruh Variabel Produk Domestrik Bruto (PDB) Terhadap Kecepatan

Penyesuaian Struktur Modal

Selain inflasi variabel makro ekonomi lain yang sering digunakan sebagai

indikator suatu perekonomian suatu negara adalah Produk Domestik Bruto (PDB).

PDB sering digunakan sebagai variabel pada penelitian-penelitian empiris yang

berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa PDB merupakan

gambaran perkembangan perekonomian suatu negara. Maka, pertumbuhan PDB

seharusnya diikuti oleh peningkatan pertumbuhan atau investasi oleh perusahaan.

Oleh karena itu, korelasi PDB terhadap kecepatan penyesuaian struktur modal

seharusnya searah dengan korelasi pertumbuhan perusahaan terhadap kecepatan

penyesuaian struktur modal. Agar bisa mencapai pertumbuhan yang maksimal, tentu

diperlukan pendanaan yang besar, sehingga biaya pendanaanpun membesar saat

perusahaan dihadapkan pada kondisi PDB suatu negara meningkat. Akibatnya

perusahaan akan mengabaikan struktur modal optimal. Situasi seperti ini dibuktikan

oleh penelitian Hesmati (2001), peningkatan pertumbuhan perusahaan akan

meningkatkan biaya yang dibutuhkan oleh perusahaan dalam melakukan

31

penyesuaian, sehingga proses penyesuaiannya akan melambat. Maka hipotesis yang

disusun adalah:

Hipotesis 6: Produk Domestrik Bruto berpengaruh secara negatif terhadap kecepatan

penyesuaian struktur modal.