23
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar Pertimbangan Hakim 1. Pengertian Pertimbangan Hakim Pertimbangan hakim adalah salah satu aspek terpenting dalam penentuan terwujudnya nilai-nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan serta mengandung kepastian hukum, dan disamping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan cermat, baik dan penuh ketelitian. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, tidak baik, serta tidak cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi / Mahkamah Agung. 5 Hakim sebagai pemeriksa suatu perkara juga memerlukan pembuktian, dimana hasil dari pembuktian tersebut akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara. Tahap paling penting dalam pemeriksaan di persidangan adalah pembuktian. Pembuktian bertujuan untuk mendapat kepastian bahwa suatu fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar- benar ada, guna untuk mendapatkan putusan hakim yang adil dan benar. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikannya kebenaran, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara kedua belah pihak. 6 Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut : a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal. b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan. c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus 5 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), h.140 6 Ibid, h.141

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Dasar Pertimbangan Hakim

1. Pengertian Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim adalah salah satu aspek terpenting dalam penentuan

terwujudnya nilai-nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan

serta mengandung kepastian hukum, dan disamping itu juga mengandung

manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini

harus disikapi dengan cermat, baik dan penuh ketelitian. Apabila

pertimbangan hakim tidak teliti, tidak baik, serta tidak cermat, maka putusan

hakim yang berasal dari pertimbangan hakim akan dibatalkan oleh Pengadilan

Tinggi / Mahkamah Agung.5

Hakim sebagai pemeriksa suatu perkara juga memerlukan pembuktian,

dimana hasil dari pembuktian tersebut akan digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam memutus perkara. Tahap paling penting dalam

pemeriksaan di persidangan adalah pembuktian. Pembuktian bertujuan untuk

mendapat kepastian bahwa suatu fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar-

benar ada, guna untuk mendapatkan putusan hakim yang adil dan benar. Hakim

tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta

atau peristiwa tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikannya kebenaran,

sehingga nampak adanya hubungan hukum antara kedua belah pihak.6

Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat

tentang hal-hal sebagai berikut :

a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak

disangkal.

b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek

menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus

5 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, 2004), h.140 6 Ibid, h.141

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

9

dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat

menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat

dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan.7

2. Dasar Pertimbangan Hakim

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan

kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan

hasil penelitian yang seimbang dan maksimal dalam tataran praktek dan teori.

Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim

merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak

ukur tercapainya kepastian hukum.

Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Bab

IX Pasal 24, 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009. Undang-

Undang Dasar 1945 yang menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman

yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam

penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun

2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun

1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.8 Kekuasaan

kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan-ketentuan

mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur

tangan dari pihak kekuasaan ekstra-yudisial, terkecuali hal yang sebagaimana

disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan

wewenang yudisial bersifat tidak mutlak dikarenakan tugas hakim adalah

menegakkan keadilan dan hukum berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya

mencerminkan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Kemudian dalam Pasal 24

ayat (2) yang menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

7 Ibid, h 142 8 Ibid, h 142

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

10

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

mahkamah konstitusi.9

Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak

(impartial jugde) dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah tidak

memihak disini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusan

hakim harus memihak dengan benar. Dalam hal ini tidak diartikan dan tidak

berat sebelah dalam menentukan pertimbangan dan penilaiannya. Lebih

tepatnya perumusan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat

(1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

orang”.10

B. Tinjauan Umum Tentang Pekerja Kontrak

1. Pengertian Pekerja

Istilah buruh sudah dipergunakan sejak lama dan sangat popular dalam

dunia perburuhan atau ketenagakerjaan bahkan mulai dari zaman penjajahan

Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama, sebelum

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada zaman

penjajahan Belanda yang dimaksud buruh yaitu pekerja kasar seperti kuli atau

tukang yang tugasnya melakukan pekerjaan kasar. Sedangkan bagi yang

melakukan pekerjaan di dalam ruangan seperti di kantor pemerintahan

maupun swasta disebut sebagai karyawan atau peawai. Perbedaan ini

membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh

pemerintah Belanda tidak terlepas dari upaya memecah belah oramg-orang

pribumi.11

Setelah Indonesia merdeka, kita tidak mengenal lagi istilah buruh halus

maupun buruh kasar karena semua orang yang bekerja baik disektor swasta,

bekerja pada orang lain atau badan hukum sama-sama disebut buruh. Dalam

perkembangannya tahun 1985 pada waktu kongres Federasi Buruh Seluruh

9 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta, Rineka Cipta, 1996), hlm.94 10 Ibid, h. 95

11 Lalu Husni, 2008, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Edisi Revisi, Jakarta, hlm. 33.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

11

Indonesia II atau disingkat FBSI, pemerintah mengusulkan untuk mengganti

istilah buruh dengan istilah pekerja karena alasan pemerintah bahwa istilah

buruh lebih cenderung menunjuk golongan yang selalu ditekan dan berada di

pihak lain yakni majikan.

Namun pada masa orde baru, istilah pekerja banyak diintervensi oleh

pemerintah yang menyebabkan banyak buruh trauma akan istilah tersebut.

Sehingga untuk mengakomodir kepentingan buruh dan pemerintah maka

kedua istilah itupun disandingkan.2 Buruh sekarang tidaklah sama dengan

buruh pada masa lalu yang hanya bekerja pada sekitar nonformal seperti kuli,

tukang dan sejenisnya tetapi juga sektor formal seperti di Hotel, Bank,

Supermarket dan lain-lain. Karena itu lebih menyebtukannya dengan istilah

pekerja.

Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Ketenagakerjaan memberi

pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima

upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini agak umum namun

maknanya lebih luas karena mencakup semua orang yang bekerja pada siapa

saja, baik perorangan, persekutuan, badan hukum dengan menerima upah atau

imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini

perlu karena upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula

buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang.

2. Pengertian Pekerja Kontrak

Dalam istilah hukum pekerja kontrak sering disebut “pekerja PKWT”,

maksudnya pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Hal ini

dikarenakan yang dinamakan pekerja kontrak itu bekerja menggunakan sistem

PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Dasar hukum dari pekerja kontrak

atau pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu diatur dalam Pasal 56,

57, 58, dan 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Pada Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur

perjanjian kerja dibagi menjadi dua jenis, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu

dan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Dalam menjalankan

pekerjaannya, pekerja kontrak atau pekerja perjanjian kerja waktu tertentu

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

12

sejatinya memahami bahwa terdapat beberapa persyaratan seperti yang diatur

pada Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Yaitu, jenis

pekerjaan yang dipekerjakan haruslah bersifat sekali selesai atau sementara.

Diperkirakan pekerjaan tersebut juga memakan waktu yang tidak terlalu lama,

maksimal adalah tiga tahun. Selain itu, pekerjaan yang dipekerjakan kepada

pekerja kontrak hendaknya adalah pekerjaan yang sifatnya musiman, bukan

pekerjaan tetap dan juga pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang hendaknya

berhubungan dengan produk atau kegiatan baru yang masih dalam masa

percobaan atau penjajakan.

Perjanjian kontrak kerja untuk pekerja PKWT memang dapat diperpanjang

atau diperbaharui. Akan tetapi, terdapat batasan waktunya. Perjanjian kontrak

kerja tersebut berlaku paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang

satu kali untuk jangka waktu maksimal satu tahun. Selain itu, perjanjian kerja

waktu tertentu juga dapat diperbarui apabila perusahaan menghendaki. Jangka

waktu maksimal pembaruan PKWT adalah maksimal dua tahun dan hanya

dapat dilakukan sekali. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 59 ayat (3), (4)

dan (6) Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Ketentuan Umum PKWT Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang

Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara

pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam

waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Dengan demikian pekerja kontrak

dapat diartikan secara hukum adalah pekerja dengan status bukan pekerja tetap

atau dengan kalimat lain pekerja yang bekerja hanya untuk waktu tertentu

berdasar kesepakatan antara Pekerja dengan Perusahaan pemberi kerja. Dalam

istilah hukum pekerja kontrak sering disebut “Pekerja PKWT” atau pekerja

dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

13

3. Hak-Hak dan Kewajiban Pekerja Kontrak

Pada dasarnya hubungan kerja merupakan hubungan yang mengatur hak

dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Pekerja/buruh dengan

perusahaan berada dalam hubungan kemitraan dibidang produksi sehingga

keduanya dituntut untuk berbagi tanggung jawab.12 Takaran hak dan

kewajiban masing-masing pihak haruslah seimbang. Hak adalah kepentingan

yang dilindungi oleh hukum. Dalam hubungan kerja, kewajiban para pihak

berlangsung secara timbal balik artinya kewajiban pengusaha merupakan hak

pekerja/buruh dan sebaliknya kewajiban pekerja/buruh merupakan hak

pengusaha. Pekerja/buruh mempunyai hak-hak dasar yang diatur dalam

Undang-Undang Ketengakerjaan yaitu:

1. Hak Untuk Memperoleh Perlindungan

Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas

keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan serta perlakuan

yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan nilai-nilai agama.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 86 Undang-Undang Ketenagakerjaan.

2. Hak Untuk Mendapat Kesempatan dan Perlakuan yang Sama

Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa

diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, diatur dalam Pasal 5

Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sesuai ketentuan Pasal 6 Undang-

Undang Ketenagakejaan, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh

perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Hak untuk

mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama juga diatur dalam Pasal

28D ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945. Artinya pengusaha harus

memberi kesempatan dan perlakuan yang sama kepada pekerja/buruh

tanpa mendiskriminasi pekerja/buruh laki-laki dan pekerja/buruh

perempuan.

3. Hak Untuk Mendapat Waktu Istirahat dan Cuti

Pemberian hak untuk istirahat dan cuti berpengaruh terhadap

produktifitas pekerja/buruh dalam perusahaan. Waktu istirahat dan cuti

12 Janus Sidabalok, 2012, Hukum Perusahaan, Nuansa Aulia, Bandung, hlm.196.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

14

bertujuan untuk mengembalikan kesegaran dan kesehatan baik fisik,

mental, dan sosial pekerja atau buruh. Waktu istirahat dan cuti diatur

dalam Pasal 79 sampai dengan Pasal 84 Undang-Undang

Ketenagakerjaan.

4. Hak Atas Upah yang Layak

Pasal 88 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur setiap

pekerja/buruh berhak memperoleh pnghasilan yang memenuhi

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pengusaha dalam

menentukan upah tidak boleh mendiskriminasi antara pekerja/buruh

laki-laki dan perempuan terhadap pekerjaan yang sama nilainya.

5. Hak Dasar Pekerja Atas Jaminan Sosial

Hak untuk memperoleh jaminan sosial diatur dalam Pasal 99

Undang-Undang Ketenagakerjaan. Hak atas jaminan sosial juga diatur

oleh Pasal 28H ayat (3) UUD NKRI Tahun 1945. Selanjutnya dalam

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan

Sosial Tenaga Kerja ditegaskan bahwa:

“Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga

kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai ganti dari sebagian

penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat

peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa

kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal

dunia”.

6. Hak Untuk Membentuk Serikat Pekerja

Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat

pekerja/serikat buruh, sesuai ketentuan pasal 104 ayat (1) Undang-

Undang Ketenagakerjaan. Pengertian serikat pekerja/serikat buruh diatur

dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu:

“Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari,

oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar

perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan

bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

15

melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan

kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya”.

7. Hak Dasar Untuk Mogok Kerja

Mogok kerja adalah merupakan salah satu persoalan yang dapat

meresahkan dunia usaha dan mengganggu hubungan kerja,

keharmonisan dalam hubungan industrial serta keharmonisan kehidupan

sosial masyarakat. Karena melibatkan banyak pihak yang terkait. Dilain

pihak bagi pekerja yang melakukan pemogokan kerja kadang-kadang

hanya merupakan keterpaksaan sebagai akibat buntunya pembicaraan

atau tidak adanya komunikasi yang baik antara pengusaha dengan para

pekerja/buruh, pada akhirnya mereka menempuh jalan mogok kerja

demi menunjukkan tanggung jawab hak mereka dalam perundingan.

Adanya kebuntuan atau mis-komunikasi, seakan tidak ada lagi jalan lain

yang dapat ditempuh untuk dapat dipenuhinya keinginan para

pekerja/buruh.

Menurut Pasal 137 Undang-Undang Ketenagakerjaan mogok kerja sebagai

hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara

sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Yang dimaksud

dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak tercapainya

kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat

disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau

perundingan mengalami jalan buntu serta yang dimaksud dengan tertib dan

damai adalah tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan atau

mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau

pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat. Selain mengatur mengenai

hak-hak yang harus didapatkan dari pekerja/buruh, Undang-Undang

Ketenagakerjaan juga mengatur mengenai kewajiban yang harus dipenuhi oleh

pekerja/buruh, yaitu:

a. Pasal 102 ayat (2), bahwa dalam melaksanakan hubungan

industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya

mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

16

kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,

menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan

ketrampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan

dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

b. Pasal 126 ayat (1), bahwa pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh

dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam

perjanjian kerja bersama.

c. Pasal 126 ayat (2), bahwa pengusaha dan serikat pekerja/serikat

buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau

perubahannya kepada pekerja/buruh.

d. Pasal 136 ayat (1), bahwa penyelesaian perselisihan hubungan

industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/serikat

pekerja secara musyawarah untuk mufakat.

e. Pasal 140 ayat (1), bahwa sekurang-kurangnya dalam waktu 7

(tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja dan

serikat pekerja wajib memberitahukan secara tertulis kepada

pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab dibidang

ketenagakerjaan setempat.

Ketentuan mengenai kewajiban pekerja/buruh juga diatur dalam Pasal

1603, 1603a, 1603b dan 1603c KUHPerdata yang intinya sebagai berikut:

1. Buruh/pekerja wajib melakukan pekerjaan, melakukan pekerjaan

adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan

sendiri, meskipun demikian dengan seizing pengusaha dapat

diwakilkan.

2. Buruh/pekerja wajib menaati peraturan dan petunjuk

majikan/pengusaha, dalam melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib

menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib

ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam praturan perusahaan

sehingga menjadi lebih jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut.

3. Kewajiban membayar ganti rugi dan denda, apabila buruh/pekerja

melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan, baik karena

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

17

kesengajaan atau kelalaian, maka sesuatu dengan prinsip hukum

pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda.

Dari seluruh ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban pekerja, dapat

dilihat apabila ketentuan tersebut dijalankan dengan baik maka akan tercipta

keselarasan antara pihak pengusaha dan pekerja maupun pekerja dengan

pekerja lainnya. Dengan begitu, kesejahteraan pekerja akan terjamin serta

produktifitas perusahaan dapat berjalan dengan baik dan lancar.

C. Tinjauan Umum Tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja

Di Indonesia, PHK sudah menjadi suatu hal yang umum bagi masyarakat.

Permasalahan terkait ketenagakerjaan ini sudah menjadi perbincangan umum

karena PHK dapat membawa penderitaan bagi para pekerja beserta keluarga

pekerja. Secara yuridis, berdasarkan pada Pasal 1 angka 25 UU

Ketenagakerjaan, PHK ialah pemutusan hubungan kerja karena suatu hal

tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh dan

majikan.

Beberapa ahli mengutarakan pendapatnya mengenai PHK. Menurut

Mutiara S. Panggabean, PHK adalah penghentian hubungan kerja antara

pekerja dan majikan yang dapat disebabkan oleh berbagai macam alasan,

sehingga berakhir pula hak dan kewajiban antara mereka.13

Berdasarkan jenisnya, PHK dapat dibagi menjadi beberapa jenis antara

lain:

a. PHK oleh majikan atau pengusaha

Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja atau buruh

apabila melakukan kesalahan berat sebagaimana yang tertulis di dalam

Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Namun, Pasal tersebut sudah tidak

berlaku lagi karena dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor

012/PUU-1/2003 dinyatakan mencabut ketentuan yang ada di dalam

Pasal 158 UU Ketenagakerjaan tersebut. Pencabutan pasal tersebut

13 Made Indah Puspita, 2015, “Peran Serikat Pekerja Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak di Hotel Bali Hyatt”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.44-45.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

18

dilakukan karena melalui pertimbangannya Pasal tersebut telah

bertentangan dengan UUD 1945 dalam Pasal 27 ayat (1) yang

menyatakan bahwa seluruh warganegara bersamaan kedudukannya di

dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan itu tanpa terkecuali.

Hal inilah yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi, karena

adanya hak lebih yang dimiliki oleh pengusaha dengan dapat melakukan

PHK secara sepihak atas dasar melakukan kesalahan berat dan tidak

berlaku sebaliknya kepada pekerja. Sehingga berdasarkan ketentuan

tersebut, diperlukan adanya penetapan dari lembaga yang berwenang

terlebih dahulu terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pekerja terkait

melakukan kesalahan berat.

Permohonan penetapan PHK wajib diajukan secara tertulis kepada

PHI disertai keterangan alasan dasar pengajuan PHK tersebut.

Permohonan tersebut akan diterima apabila rencana PHK tersebut

dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/buruh atau dengan

pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi

anggota serikat pekerja/buruh. Dan penetapan permohonan PHK hanya

dapat diberikan apabila perundingan tersebut tidak mencapai

kesepakatan diantara kedua belah pihak.14

b. PHK Demi Hukum

PHK demi hukum terjadi karena alasan berakhirnya jangka waktu

kerja yang telah disepakati habis atau apabila pekerja/buruh meninggal

dunia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, suatu

perjanjian kerja berakhir apabila:

1) Pekerja meninggal dunia;

2) Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

3) Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga

14 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,

Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h. 19

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

19

penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap; atau

4) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama

yang dapat menyebabkan berakhirnya pemutusan hubungan kerja.

Adapun PHK demi hukum ini dapat dilakukan dengan beberapa alasan

sesuai dengan ketentuan Pasal 154 UU Ketenagakerjaan, antara lain:

a) Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah

dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;

b) Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara

tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya

tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja

sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;

c) Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau

peraturan perundang-undangan; atau

d) Pekerja/buruh meninggal dunia.15

2. Syarat Sah Pemutusan Hubungan Kerja

Berdasarkan Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan, PHK adalah

pengakhiran pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya sebagian

untuk menjalankan pekerjaan. Pada kenyataannya, PHK itu adalah sah ketika

para pihak telah menerimanya secara sukarela beserta dengan kesalahan-

kesalahan yang berarti para pekerja memungkinkan untuk di PHK. Namun

jika salah satu pihak mempersoalkan ataupun tidak menerima PHK tersebut,

maka PHK dianggap sah ketika sudah ada penetapan atau putusan dari

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan

ketentuan pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, sehingga sebelum adanya

penetapan atau keputusan maka PHK yang dikeluarkan oleh pengusaha adalah

15 Abdul R. Budiono, 2011, Hukum Perburuhan dan ketenagaakerjaan, PT. Indeks,

Jakarta, hlm.69

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

20

batal demi hukum.16

PHK merupakan jalan terakhir yang dapat digunakan dalam sebuah

hubungan kerja. Karena seperti yang disyaratkan di dalam UU

Ketenagakerjaan dan UU PHI bahwa dalam sebuah perselisihan hubungan

industrial wajib diupayakan terlebih dahulu dalam upaya-upaya yang telah

diatur di dalam UU PPHI.

1) Penyelesaian Melalui Bipartit

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU PPHI upaya penyelesaian melalui

bipartit wajib dilakukan terlebih dahulu untuk mencapai mufakat secara

musyawarah. Perundingan bipartit berdasarkan pasal 1 angka 10 UU

PPHI adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan

perselisihan hubungan industrial. Upaya ini dilakukan selama maksimal

30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Namun

apabila dalam waktu tiga puluh hari tersebut masih belum mencapai

musyawarah, maka upaya penyelesaian bipartit ini dianggap gagal.

Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam dalam pasal 3

UU PPHI telah mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat

perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian

didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada pengadilan

hubungan industrial pada pengadilan pegeri di wilayah para pihak

mengadakan perjanjian bersama. Perjanjian bersama yang telah didaftar

akan mendapatkan akta bukti pendaftaran Perjanjian bersama dan

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama.

Namun apabila perundingan Bipartit gagal maka salah satu atau para

pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung

jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti

bahwa upaya penyelesaian bipartit telah dilakukan sebelumnya (Pasal 4

UU PPHI).

16 Boris Tampubolon, 2018, “Kapan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) itu Sah?”, https://konsultanhukum.web.id/kapan-pemutusan-hubungan-kerja-phk-itu-sah/. Diakses tanggal 4 Juli 2019 pukul 00.11 WIB

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

21

2) Penyelesaian Melalui Mediasi

Mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu

perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih

mediator yang netral (Pasal 1 angka 11 UU PPHI). Sesuai dengan

ketentuan pasal 8 UU PPHI, penyelesaian perselisihan melalui mediasi

ini dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.

Berdasarkan Pasal 13 UU PPHI, apabila upaya penyelesaian melalui

mediasi berhasil mencapai kesepakatan maka dibuat perjanjian bersama

yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta

di daftar di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di

wilayah hukum para pihak mengadakan perjanjian bersama untuk

mendapat akta bukti pendaftaran. Namun, dalam hal tidak tercapainya

kesepakatan diantara para pihak, maka mediator mengeluarkan anjuran

tertulis untuk disampaikan kepada para pihak. Dalam hal anjuran tertulis

tersebut ditolak oleh salah satu atau para pihak, maka salah satu atau

para pihak dapat mengajukan penyelesaian perselisihan ke pengadilan

hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat.

3) Penyelesaian Melalui Konsiliasi

Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dapat dilakukan oleh

konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab

di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Sedangkan pengertian

penyelesaian melalui konsiliasi ini sendiri seperti yang tertuang di dalam

Pasal 1 angka 13 UU PPHI adalah penyelesaian perselisihan

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan

antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui

musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang

netral. Penyelesaian yang dilakukan oleh konsiliator ini hanya dapat

dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

22

secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para

pihak (Pasal 18 Ayat (2) UU PPHI).

Menurut Pasal 23 UU PPHI dalam hal tercapainya kesepakatan

melalui upaya konsiliasi ini, maka dibuat perjanjian bersama yang

ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan

didaftarkan di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di

wilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk

mendapatkan akta bukti pendaftaran. Namun apabila kesepakatan

tersebut tidak tercapai maka sesuai dengan ketentuan pasal 24 ayat (1)

UU PPHI salah satu pihak dapat mengajukan gugatan penyelesaian

perselisihan ke pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri

setempat.17

Selain itu, di dalam UU Ketenagakerjaan sebetulnya telah mengamanatkan

agar pengusaha dan pekerja harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK.

Namun tidak dapat dipungkiri, PHK hingga kini masih marak terjadi

berdasarkan alasan atau suatu keadaan tertentu. Namun, pengusaha tidak

diperbolehkan melakukan PHK dengan beberapa alasan, antara lain seperti

yang tertulis di dalam Pasal 153 ayat (1):

a. pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan

dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara

terus menerus;

b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena

memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

d. pekerja/buruh menikah;

e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau

menyusui bayinya;

f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan

17 Lalu Husni, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Rajawali Pers, Jakarta, hlm.40

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

23

dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah

diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian

kerja bersama;

g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat

pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat

pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas

kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama;

h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib

mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana

kejahatan;

i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,

golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;

j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan

kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat

keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat

dipastikan.

3. Akibat Hukum Pemutusan Hubungan Kerja

Sebagaimana diatur di dalam pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan, PHK

adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang

mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan

pengusaha. Sehingga, segala hubungan atau hal terkait pekerjaan telah

berakhir diantara pekerja dan pengusaha. Di dalam UU Ketenagakerjaan dan

UU PPHI telah diamanatkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat

pekerja/serikat buruh, dan pemerintah untuk mengupayakan agar tidak

terjadinya PHK namun terkadang hal tersebut tidak dapat dihindari lagi,

sehingga PHK adalah sah apabila dengan syarat telah mendapatkan ketetapan

dari pengadilan hubungan industrial, dengan kata lain PHK yang tidak

memiliki penetapan dari pengadilan hubungan industrial batal demi hukum

atau tidak sah.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

24

Seperti yang telah diamanatkan di dalam Pasal 156 ayat (1) UU

Ketenagakerjaan bahwa pengusaha wajib untuk membayarkan uang pesangon,

dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang

seharusnya diterima oleh pekerja yang di PHK. Sehingga berdasarkan hal

tersebut, diketahui bahwa pemberian hak kepada pekerja/buruh karena PHK

yang dilakukan adalah sah. Tiga jenis hak yang seharusnya diterima oleh

pekerja yang di PHK, antara lain:

a. Uang pesangon;

Di dalam UU Ketenagakerjaan tidak memberikan pengertian

mengenai uang pesangon. Namun berdasarkan yang tertuang di dalam

Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, dapat disimpulkan bahwa uang

pesangon adalah sejumlah pembayaran oleh pengusaha kepada

pekerja/buruh karena adanya PHK. Perhitungan uang pesangon

sebagaimana dimaksud, diatur di dalam Pasal 156 ayat (2) UU

Ketenagakerjaan yaitu:

1) Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

2) Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua)

tahun, 2 (dua) bulan upah;

3) Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga)

tahun, 3 (tiga) bulan upah, masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih

tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

4) Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5

(lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

5) Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6

(enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

6) Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7

(tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

7) Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8

(delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

8) Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan

upah.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

25

b. Uang pengganti hak yang seharusnya diterima;

Selain itu, masih terdapat uang penggantian hak yang seharusnya

diterima sebagaimana diatur dalam pasal 156 ayat (4) UU

Ketenagakerjaan, yaitu:

1) Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

2) Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya

ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;

3) Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan

ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon

dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi

syarat;

4) Hal-hal lain yang ditetapkan di dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Tidak hanya itu, pekerja/buruh berhak melakukan pengunduran

diri yaitu mengajukan permohonan untuk berhenti bekerja. Namun di

dalam pasal 162 ayat (3) UU Ketenagakerjaan terdapat beberapa

persyaratan yang harus dipenuhi oleh pekerja yang ingin melakukan

pengunduran diri, antara lain18:

a) Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai

pengunduran diri;

b) Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

c) Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai

pengunduran diri.

4. Perjanjian Kerja

Pengertian Perjanjian kerja adalah membentuk suatu hubungan yang timbul

antara dua pihak atau lebih, diperlukan adanya suatu ikatan atau perjanjian

guna menciptakan ikatan untuk suatu tujuan tertentu. Hal ini diatur di dalam

pasal 1313 KUHPerdata, suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana

18 Letezia Tobing, 2015, “Adakah Pesangon Bagi Karyawan Kontrak?”,: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt560b6b4ee463f/adakah-pesangon-bagi-karyawankontrak.httm diakses tanggal 4 Juli 2019 Pukul 00.42 WIB.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

26

satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa kedudukan antara

para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang, karena

kedua belah pihak memiliki hak untuk menentukan isi perjanjian yang

tertuang. Hal ini pun diatur berdasarkan asas kebebasan berkontrak, yang

berbunyi semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang adalah

alasan timbulnya suatu perjanjian, dan akan berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya. Begitu pula dengan hubungan kerja, diantara

pengusaha dan pekerja diperlukan adanya perjanjian kerja untuk mengatur

segala hal terkait pekerjaan.

Perjanjian kerja menurut Iman Soepomo, adalah suatu perjanjian, dimana

pihak satu (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja dan menerima upah pada

pihak lain (majikan) yang mengikatkan dirinya untuk mempekerjakan buruh

itu dengan membayar upah. Selain itu pengertian perjanjian kerja dapat

ditemui dalam pasal 1 huruf 14 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:

“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha

atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para

pihak.” Pengaturan mengenai perjanjian kerja atau arbeidsoverenkoms juga

diatur dalam Bab 7A Buku III KUHPerdata yang terdiri dari tiga pasal yaitu

pasal 1601, 1602, dan 1603. Mengenai perjanjian kerja pada Bab 7A Buku III

KUHPerdata mempunyai sifat privat, namun seiring perkembangannya

banyak ketentuan yang sudah tidak berlaku dan diganti dengan peraturan baru

yang bersifat publik. Perjanjian kerja ini mengenal adanya sistem umum,

artinya tidak membedakan lapangan perusahaan maupun orang-orang yang

melakukan perjanjian kerja.

Pada pasal 1601a KUHPerdata, disebutkan bahwa suatu perjanjian dimana

pihak yang satu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain,

majikan, selama suatu waktu tertentu dengan menerima upah. Menurut

Subekti dalam buku Aneka Perjanjian, dituliskan bahwa perjanjian kerja

adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, yang

mana perjanjian tersebut dapat ditentukan dari beberapa ciri-ciri yaitu:

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

27

Pertama, melakukan pekerjaan tertentu, dalam perjanjian kerja suatu pekerjaan

sebelumnya telah disepakati terlebih dahulu antara pekerja dan pengusaha.19

Sehingga sifat pekerjaan yang dilakukan ini bersifat pribadi karena hanya

menyangkut antara dua belah pihak yang bersangkutan. Kedua, adanya

perintah atau dibawah perintah orang lain (vertikal) atau hubungan atas bawah

(dietsverhouding), majikan diberikan hak untuk memberi perintah yang harus

ditaati oleh pihak lainnya. Ketiga, adanya upah, pengertian upah sendiri dapat

ditemui dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan

Upah yaitu suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh

untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Menurut

Haribuan Nurimansyah, “Upah adalah segala macam bentuk penghasilan,

yang diterima pekerja/buruh baik berupa uang ataupun barang dalam jangka

waktu tertentu pada suatu kegiatan ekonomi.”20 Berdasarkan pengertian

tersebut, adanya upah yang diterima oleh pekerja membuat peranan yang

penting dalam suatu hubungan kerja.

Bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja tidak dapat membuat

perjanjian kerja yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan bersifat memaksa, sehingga tidak

dapat dikesampingkan oleh para pihak dalam membuat perjanjian kerja karena

perjanjian kerja merupakan bagian dari hukum ketenagakerjaan, bukan bagian

dari hukum perjanjian. Di dalam hukum perjanjian mengatur mengenai

ketentuan umum, sepanjang tidak diatur oleh hukum ketenagakerjaan berlaku

dalam perjanjian kerja, tetapi bila undang-undang ketenagakerjaan telah

mengaturnya maka ketentuan tersebut bersifat memaksa, artinya tidak dapat

dikesampingkan.21

19 Adrian Sutedi, 2009, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, h.46 20 Hasibuan Nurimansya, 1981, Upah Tenaga Kerja dan Konsentrasi pada Sektor

Industri, Prisma, Jakarta, H.3. 21 Hardijan Rusli, 2003, Hukum Ketenagakerjaan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.70

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

28

D. Tinjauan Umum Tentang Sanksi

1. Pengertian Sanksi

Menurut Black’s Law Dictionary, sanction (sanksi) adalah “a penalty or

coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order

(a sanction for discovery abuse)” atau sebuah hukuman atau tindakan

memaksa yang dihasilkan dari kegagalan untuk mematuhi undang-undang.22

Sedangkan pengertian sanksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

merupakan tanggungan (tindakan atau hukuman) untuk memaksa orang

menepati perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang (anggaran dasar,

perkumpulan, dan sebagainya); tindakan (mengenai perekonomian) sebagai

hukuman kepada suatu negara;Hukum, a. imbalan negatif, berupa

pembebanan atau penderitaan yg ditentukan dalam hukum; b. imbalan positif,

yg berupa hadiah atau anugerah yg ditentukan dalam hukum.23

2. Sanksi Perdata

Hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara

sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian,

kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha, dan tindakan-tindakan yang

bersifat perdata lainnya. Bentuk sanksi hukum perdata dapat berupa kewajiban

untuk memenuhi prestasi (kewajiban) dan atau hilangnya suatu keadaan

hukum, diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru. Bentuk putusan

yang dijatuhkan hakim dapat berupa :

a. Putusan Constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan

hukum dan menciptakan hukum baru,contohnya adalah putusan

perceraian suatu ikatan perkawinan;

b. Putusan Condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum

pihak yang dikalahkan untuk memenuhi kewajibannya, contohnya

adalah putusan hukum untuk wajib membayar kerugian pihak

tertentu;

c. Putusan Declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu

22 Samsul Ramli dan Fahrurrazi, 2014, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa, Visimedia Pustaka, Jakarta, h. 191.

23 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, Balai Fustaka, Jakarta, h. 1265.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

29

keadaan yang sah menurut hukum, menerangkan dan menegaskan

suatu keadaan hukum semata-mata, contohnya adalah putusan

sengketa tanah atas penggugat atas kepemilikan yang sah.24

3. Sanksi Administratif

Pada hakikatnya, hukum administrasi negara memungkinkan pelaku

administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga

terhadap sikap administrasi negara, serta melindungi administrasi negara itu

sendiri. Peran pemerintah yang dilakukan oleh perlengkapan negara atau

administrasi negara harus diberi landasan hukum yang mengatur dan

melandasi administrasi negara dalam melaksanakan fungsinya. Hukum yang

memberikan landasan tersebut dinamakan hukum administrasi negara.

Sanksi dalam Hukum Administrasi yaitu “alat kekekuasaan yang bersifat

hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas

ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma Hukum

Administrasi Negara.” Berdasarkan definisi ini tampak ada empat unsur sanksi

dalam hukum administrasi Negara, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen),

bersifat hukum publik (publiekrechtlijke), digunakan oleh pemerintah

(overheid), sebagai reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).25

Jenis Sanksi Administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu:

a. Sanksi reparatoir, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas

pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada

kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya

bestuursdwang, dwangsom;

b. Sanksi punitif, artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan

hukuman pada seseorang, misalnya adalah berupa denda

administratif;

c. Sanksi regresif, adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas

ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang

24 Samsul Ramli dan Fahrurrazi, op. cit., h. 193. 25 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo, Jakarta, hlm. 315.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Dasar ...eprints.umm.ac.id/52375/3/3. BAB II.pdf · Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

30

diterbitkan.26

Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari

tujuan pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi administrasi ditujukan kepada

perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si

pelanggar dengan memberi hukuman berupa nestapa. Sanksi administrasi

dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Sifat sanksi adalah

reparatoir artinya memulihkan pada keadaan semula. Di samping itu

perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi administrasi ialah tindakan

penegakan hukumnya.

Sanksi adminitrasi diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus

melalui prosedur peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan

oleh hakim pidana melalui proses pengadilan.27

26 ibid, hlm. 319 27 Philipus M. Hadjon dkk, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,ke-X, Gadjah

Mada University, Yogyakarta, hlm. 247.