Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengangkatan Anak
1.1 Pengertian Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak di Indonesia sendiri awalnya dimulai pada
masa penjajahan Belanda dimana bidang hukum perdata di Indonesia
yang hingga kini masih mengalami pluralisme, pada masa penjajahan
hukum perdata masih berdasarkan penggolongan penduduk Indonesia
menurut pembagian yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda
dan untuk setiap golongan penduduk itu berlaku sistem hukum perdata
yang berbeda. Dari segi perkembangan hukum nasional, rumusan dari
pengertian pengangkatan anak secara formal dan berlaku bagi seluruh
pengangkatan anak di Indonesia tanpa membedakan golongan
penduduk dan juga tanpa membedakan domestic adoption atau inter-
country adoption dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54
15
Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak9. Pengangkatan anak secara
umum adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan
mengangkat anak orang lain yang kemudian diangkat dan dianggap
sebagai anak sendiri didalam suatu keluarga. Perbuatan hukum disini
berarti bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum
yang menimbulkan adanya hak-hak dan kewajiban. Pengangkatan
anak menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2007 adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak
dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan
anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Dari
rumusan pengertian pengangkatan tersebut tidak cukup tercermin
sampai seberapa jauh atau seberapa luas akibat hukum perbuatan
pengangkatan anak.
Pengangkatan anak pada hakikatnya harus dipandang sebagai
upaya untuk meniru alam dengan menciptakan keturunan secara
buatan atau artifisial (adoptio naturam imitatur), sehingga Rabel
menyatakan “No institution can be designed as adoption, unless it
makes the child legitimate in relation to the adopting parent”.10 Namun
9 Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 105
10 S. Gautama (Gouwgioksiong), Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid ke Tiga, Kinta,
Jakarta, 1969, h. 95.
16
dengan terjadinya perubahan dalam fungsi pengangkatan anak yang
telah dikemukakan diatas maka terjadi perubahan-perubahan dalam
penilaian terhadap akibat-akibat pengangkatan anak. Kalau pada
mulanya, yaitu dalam sistem dimana pengangkatan anak dipandang
semata-mata sebagai cara untuk melanjutkan keturunan, akibat-akibat
pengangkatan demikian mendalam, hingga memutuskan hubungan
antara anak angkat dengan orang tua asalnya (adoptio plena).
Dalam pengangkatan anak dilakukan seperti mengadakan
hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan
perundang-undangan. Terdapat kepastian hukum mengenai
pengangkatan anak dengan memiliki hubungan multi aspek, terutama
dengan aspek hukum kekeluargaan, hukum harta kekayaan dan juga
hukum waris. Jika dilihat dalam dewasa ini adopsi dilaksanakan untuk
mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua
belum memiliki anak. Akibat dari adopsi yang demikian itu adalah
bahwa anak yang diadopsi kemudian memiliki status sebagai anak
kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban yang sebelum
dilaksanakan adosi itu calon orang tua angkat wajib memenuhi syarat-
syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak
angkat.
Isu hukum dalam pengangkatan anak bukanlah masalah yang
baru di dalam perkembangan masyarakat di Indonesia. Jika kita
17
melihat kembali ke zaman dahulu pengangkatan anak telah dilakukan
dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda sesuai kebutuhan dan
juga sistem hukum yang ada dan hidup di masing-masing daerah. Di
dalam masyarakat terdapat kelompok terkecil yaitu keluarga, keluarga
memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk
sosial yang dimana keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak.11 Tetapi
pada kenyataannya ketiga unsur ini tidak jarang tidak terpenuhi,
sehingga dilihat bahwa dari eksistensi keluarga dalam suatu kelompok
kehidupan masyarakat ini dapat menyebabkan tidak kurangnya suatu
pihak yang menginginkan anak, sehingga terjadilah perpindahan anak
dari satu kelompok keluarga ke dalam kelompok keluarga lain.
1.2 Alasan dan Akibat Hukum Pengakatan Anak
Pengangkatan anak juga diatur dalam Pasal 14 Staatsblad
Nomor 129 Bab II yang mengatur tentang syarat-syarat dari
pengangkatan anak yang perlu mendapatkan persetujuan dari orang
atau orang-orang yang akan melakukan pengangkatan anak, syarat
pengangkatan anak menurut Staatsblad tahun 1917 Nomor 129 adalah
:
1. Persetujuan dari orang-orang yang melakukan adopsi (Pasal 8)
11 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, h.7.
18
2. Persetujuan dari orang tuanya jika yang diadopsi adalah seorang
anak sah apabila salah satu diantaranya sudah meninggal dunia,
maka harus mendapat persetujuan dari orang yang hidup lebih
lama kecuali apabila ibu telah melakukan perkawinan lagi dan
apabila kedua orang tuanya sudah meninggal, maka untuk anak
dibawah umur dimintakan persetujuan dari walinya dan dari Balai
Harta Peninggalan (Pasal 8 ayat 2)
3. Anak luar kawin mendapat persetujuan dari kedua orag tuanya
(jika diakui keduanya), apabila salah satu diantaranya sudah
meninggal dunia, maka harus mendapat persetujuan dari orang
yang hidup lebih lama kecuali apabila ibu telah melakukan
perkawinan lagi dan apabila kedua orang tuanya sudah meninggal,
maka untuk anak dibawah umur dimintakan persetujuan dari
walinya dan dari Balai Harta Peninggalan (Pasal 8 ayat 2b)
4. Anak yang akan diadopsi bila telah berumur 15 tahun (Pasal 8 ayat
3)
5. Persetujuan dari saudara laki-laki yang telah dewasa dan
persetujuan dari ayah atau suami yang telah meninggal apabila
mereka tidak ada atau tidak berada di Indonesia maka harus
mendapat persetujuan dari dua anggota keluarga laki-laki yang
telah dewasa yang tinggal di Indonesia dari pihak ayah atau suami
19
yang telah meninggal sampai dengan derajat keempat (Pasal 8 ayat
4).
Ada beberapa istilah yang digunakan dalam peraturan
perundangan yang pengertiannya perlu terlebih dahulu perlu diketahui
agar mudah memahami syarat-syarat anak yang akan diangkat, yaitu:
1. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
2. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
3. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam Lembaga Pengasuhan
Anak; dan;
4. Memerlukan perlindungan khusus, yang artinya bahwa anak dalam
situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi atau anak yang dieksploitasi.
Dalam melakukan pengangkatan anak juga harus
memperhatikan kondisi dari calon orang tua angkat dengan
memberikan syarat-syarat tertentu bagi calon orang tua angkat, yaitu:
1. Sehat jasmani dan rohani.
2. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling
tinggi 55 (lima puluh lima) tahun.
3. Beragama sama dengan agama calon anak angkat.
20
4. Berkelakuan baik dan tidak ernah dihukum karena
melakukan kejahatan.
5. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun.
6. Tidak merupakan pasangan sejenis.
Terdapat syarat tambahan bagi pengangkatan oleh orang tua
tunggal12, hal ini menyimpang dari syarat yang ada bahwa calon orang
tua angkat harus berstatus menikah seperti yang dijelaskan diatas, bagi
pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia, masih terbuka
kemungkinan calon orang tua angkat tunggal yang dalam hal ini
berarti tidak dalam status perkawinan baik karena tidak menikah atau
seorang janda atau duda, dengan syarat tambahan sebagai berikut:
1. Mendapatkan Izin Pengangkatan Anak dari Menteri (Sosial), dapat
juga izin dari Instansi Sosial Provinsi yang didelegasikan
kewenangan oleh Menteri untuk menerbitkan Izin Pengangkatan
Anak orang tua tunggal.
2. Pengangkatan anak dilakukan melalui Lembaga Pengasuh Anak ,
yang dimaksud dengan Lembaga Pengasuh Anak adalah lembaga
atau organisasi sosial atau yayasan yang berbadan hukum yang
menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar dan telah
12 Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
21
mendapatkan izin dari Menteri untuk melaksanakan proses
pengangkatan anak (Pasal 1 butir 15 PP Pengangkatan Anak),
Pengangkatan Anak oleh orang tua Tunggal tidak dapat dilakukan
terhadap anak yang langsund berada di bawah pengasuhan orang
tuanya (Pengangkatan Anak Secara Langsung).
Tentang akibat hukum yang ditimbulkan dari pengangkatan
anak menurut Staatsblad tahun 1917 Nomor 129, yaitu:
a. Anak angkat secara hukum mendapat nama dari bapak angkatnya
(Pasal 11)
b. Anak angkat dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari
perkawinan orang tua angkat (Pasal 12 ayat 1)
c. Anak angkat menjadi ahli waris dari orang tua angkat
d. Terputusnya segala hubungan perdata antara anak angkat dengan
orang tua kandung.
1.3 Tujuan dan Sifat Pengangkatan Anak
Di dalam pengangkatan anak terdapat alasan dan tujuan yang
berbeda-beda sesuai dengan motivasi dari orang tua angkat yang akan
mengangkat anak. Pengangkatan anak tidak bisa dilakukan sembarang
tanpa memperhatikan dari alasan dan tujuan dari pengangkatan anak,
karena sesuai pada ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3)
22
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Kesejahteraan Anak secara
tegas menyatakan bahwa pengangkatan anak adalah untuk
kesejahteraan. Dalam pengertian tersebut bahwa anak angkat juga
memiliki kedudukan yang penting dan juga harus dilindungi, yang
dimana hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kejelasan
dan perlindungan hukum terhadap anak angkat. Pengangkatan anak
harus semakin kuat dengan memandang dari sisi kepentingan yang
terbaik bagi si anak, sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan
kesejahteraan anak, untuk memperbaiki kehidupan dan masa depan si
anak angkat. Tanpa mengurangi hak dari orang tua angkat seperti ingin
memiliki anak sendiri karena tidak mempunyai anak kandung tetapi
dalam hal pengangkatan anak, sisi kepentingan dari anak angkatlah
yang utamanya harus menjadi pertimbangan.
Seperti pada pengertian dari pengangkatan anak bahwa
pengangkatan anak adalah perlu di garis bawahi bahwa pengangkatan
anak merupakan suatu perbuatan hukum (Rechtshandeling;legal act).
Perbuatan hukum adalah perbuatan yang dilakukan yang menyebabkan
terjadinya hak dan kewajiban. Akibat hukum yang ditimbulkan dari
pengangkatan anak adalah beralihnya anak dari suatu lingkungan ke
lingkungan keluarga lainnya. Dalam pengaturan hukum nasional
sendiri tidak mengatur secara luas tentang akibat hukum dari
23
pengangkatan anak, demikian juga dalam Surat-surat Edaran
Mahkamah Agung yang pernah dikemukakan sebelumnya.
Dari peraturan perundangan yang ada terdapat beberapa prinsip
yang mengindikasi beberapa sifat (legal nature) pengangkatan anak di
Indonesia, yaitu13:
a. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum14
Pengangkatan anak menimbulkan akibat-akibat hukum yang
dikehendaki oleh pihak-pihak yang terlibat.
b. Pengangkatan anak adalah suatu lembaga hukum untuk
melindungi kepentingan anak.15
Peran lembaga pengangkatan anak bukan untuk memberikan
pelayanan kepentingan dari calon orang tua angkat atau orang yang
berkeinginan mengangkat anak, tetai lebih merupakan cara untuk
melindungi dari kepentingan anak angkat, agar dengan lembaga ini
terbuka kemungkinan untuk kepentingannya lebih terlindungi,
pemeliharaan dan kesejahteraan dari anak lebih baik sehingga hak-hak
anak dapat terpenuhi dan terjamin.
13 Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 107
14 Pasal 1 Butir 2 Peraturan Pemerintah Pengangkatan Anak
15 Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor Nomor 35 tahun 2014 tentnag Perlindungan Anak.
24
c. Pengangkatan anak harus menjaga kesamaan agama yang dianut
oleh calon anak angkat dan calon orang tua angkat.16
Peraturan perundangan Indonesia tentang anak menetapkan
kebijakan untuk melindungi hak anak dalam menjalankan ibadah
menurut agamanya dan selaras dnegan itu maka agama yang dianut
oleh orang tua angkat harus sama dengan agama yang dianut
dengan anak yang diangkat.
d. Pengangakatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara
anak dengan orang tua kandungnya.17
Prinsi bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan “hubungan
darah” antara anak dengan orang tua kandungnya adalah sesuai
dengan kaidah hukum syariah yang berkenaan dengan
pengangkatan anak. Hal ini secara implisit sedikit atau banyak
prinsip ini dianut juga dalam staatsblad 1917 Nomor 129.
e. Kewajiban terbuka kepada anak angkat tentang asal usulnya dan
orang tua asalnya.
Walaupun secara formal kewajiban ini tidak disertai suatu ancama
pidana atas pelanggaranya oleh Undang-Undang Perlindungan
Anak, tetapi undang-undang tersebut mengakui bahwa setiap anak
16 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak;; Pasal 3 Peraturan
Pemerintah tentang Kesejahteraan Anak.
17 Pasal 12 ayat (1) Undang Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; Pasal 39 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
25
berhak mengetahui orang tua dan asal usulnya. Hak ini diberikan
oleh undang-undang keada anak untuk menghindari terputusnya
silsilah dan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya
yang hal ini merupakan suatu keharusan.
f. Pelaksanaan Pengangkatan anak dengan mendapatkan Penetapan
atau Putusan Pengadilan, kecuali pengangkatan anak berdasarkan
adat kebiasaan setempat.18
Dengan ini peraturan perundangan menegaskan peran pengadilan
untuk megesahkan pengangkatan anak dalam bentuk Penetapan
atau Putusan, yang dengan penegasan ini akan lebih memberikan
kepastian hukum tentang keabsahan (validitas) pengbangkatan
anak di Indonesia.
g. Bimbingan dan Pengawasan oleh Pemerintah dan Masyarakat.19
Pengangkatan anak bukan sekedar urusan atau kepentingan
pribadi-pribadi yang mengangkat dan calon anak angkat beserta
orang tua kandungnya, tetapi menjadi kepentingan masyarakat dan
negara. Disamping orang tua, menurut Undang-Undang
Perlindungan Anak negara dan masyarakat memikul tanggung
jawab untuk melindungi anak20.
18 Pasal 1 Butir 9 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak; Pasal 6, Pasal 9
ayat (2), Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengangkatan Anak
19 UU Perlindungan Anak Bab IX dan Bab X; PP Pengangkatan Anak; Bab V dan Bab VI
20 Pasal 20 sampai dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
26
1.4 Peraturan Pengangkatan Anak
Semakin meningkatnya terjadinya pengangkatan anak di
dewasa ini, semakin juga perlu adanya pengaturan yang lebih jelas
dalam mengatur pengangkatan anak. Pengangkatan anak bukanlah
perbuatan hukum yang hanya melibatkan satu pihak saja, melainkan
melibatkan beberapa pihak didalamnya. Pada praktek masyarakat
dalam pengangkatan anak bukan hanya fokus untuk memenuhi
kepentingan dari calon orang tua angkat tetapi lebih harus difokuskan
pada kepentingan dari calon anak angkat. Pengaturan pengangkatan
anak bukan sekedar dibutuhkan untuk memberikan kepastian dan
kejelasan mengenai pengangkatan anak, tetapi dibutuhkan untuk
menjamin kepentingan calon anak angkat, jaminan atas kepastian,
keamanan, keselamatan, pemeliharaan dan pertumbuhan dari anak
angkat, sehingga pengangkatan anak dipastikan memberikan peluang
pada anak angkat untuk hidup lebih sejahtera21. Di dalam praktek
pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan bukan hanya memberikan
perlindungan kepada anak angkat dan menjaga kepentingan anak
angkat, tetapi juga untuk menjadi sarana pengalihan harta dari orang
tua angkat kepada anak angkat22. Oleh karenanya pengangkatan anak
21 Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 10
22 Hamid Sarong, Hukum Islam dan Sistem Pengangkatan Anak di Indonesia, Kaukaba Dipantara,
Yogyakarta, 2016
27
memerlukan peraturan yang dimana sangat diperlukan untuk
memastikan pengawasan pemerintah dan masyarakat agar
pengangkatan itu dilakukan dengan motif yang jujur (genuine) dan
kepentingan anak terlindungi. Dengan kata lain bahwa pemerintah
berperan aktif dalam proses pengangkatan anak melalui pengawasan
dan perizinan. Berbagai pengaturan perundang-undangan yang
dikeluarkan bertujuan untuk melindungi serta untuk mensejahterahkan
anak angkat yang dimana salah satu pokok perhatian yaitu
pengangkatan anak.
Pengaturan pengangkatan anak di Indonesia sendiri diatur oleh
tiga sistem hukum atau stelsel Hukum Perdata yang berlaku di
Indonesia, yaitu Hukum Perdata Barat (BW), Hukum Perdata Adat
dan Hukum Perdata Islam. Dengan melihat dari sisi hukum dimana
letak pengangkatan anak ini dalam pembagian hukum Perdata Barat
materiil23, pengangkatan anak atau juga disebut adopsi ini terletak
dalam lapangan Hukum Keluarga. Hukum keluarga adalah semua
kaidah-kaidah yang mengatur dan menentukan syarat-syarat dan cara
mengadakan hubungan abadi serta seluruh akibat hukumnya yang
didalamnya juga mengatur tentang perkawinan, kekuasaan, orang tua,
perwalian, pengampuan dan keadaan tidak hadir. Pengangkatan anak
23 Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT. Pembangunan Jakarta, 1967,
h.61.
28
ini juga melibatkan ruang keluarga, yaitu dalam permohonan
pengangkatan anak perlu dilakukan oleh calon orang tua angkat yang
baik masih dalam perkawinan atau tidak serta kekuasaan orang tua
sebagai dari akibat hukum yang ditimbulkan dari pengangkatan anak.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau
BW, kita tidak menemukan satu ketentuan yang mengatur tentang
masalah adopsi atau penangkatan anak, yang ada hanyalah ketentuan
tentang pengangkuan anak diluar kawin yaitu yang diatur dalam
bukum 1 BW Bab XII bagian ketiga, Pasal 280 sampai dengan Pasal
289, tentang pengangkuan anak luar kawin. Meskipun begitu
ketentuan ini boleh dikatakan tidak ada sama sekali hubungannya
dengan masalah pengangkatan anak, karena hal ini terjadi hanya bagi
pengakuan anak luar kawin bukan pengangkatan. Oleh karenanya,
Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mengenal hal
pengangkatan anak meskipun begitu pengangkatan anak dapat
dipandang sebagai salah satu bagian dalam laangan hukum perdata.
Mengingat kebutuhan praktis sudah pada waktunya untuk mendapat
prioritas dalam rangka pembangunan (hukum) yang diadakan oleh
suatu peraturan perundang-undangan tentang pengangkatan anak yang
bersifat nasional.
Pengaturan pengangkatan anak didahului dengan melihat
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Perlindungan Anak,
29
pada peraturan ini terdapat beberapa pasal yang memberikan
kedudukan dan kejelasan untuk pengangkatan anak. Pada Undang-
Undang Perlindungan Anak dirumuskan secara jelas hak-hak anak
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)
dan ayat (8) juga dalam Pasal 12 yang menyinggung tentang
pengangkatan anak. Dalam pasal itu ditentukan bahwa pengangkatan
anak dilakukan menurut adat dan kebiasaan dengan mengutamakan
kepentingan anak untuk kepentigan kesejahteraan anak dan
pengangkatan anak yang dilakukan diluar adat kebiasaan, dilaksanak
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terdapat
pengaturan yang memuat ketentuan tentang pengangkatan anak pada
Bab VIII Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 untuk melaksanakan
ketentuan mengenai pengangkatan anak ada maka pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 tentang Pelaksanan
Anak. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini diharapkan
digunakan untuk memberikan petunjuk untuk pelaksanan
pengangkatan anak.
Pengangkatan anak bukanlah suatu perbuatan hukum yang
dapat dilakukan dengan mudah melainkan hal tersebut diatur oleh
pengaturan perundang-undangan yang diterbitkan pemerintah. Dengan
adanya juga perkembangan dalam peraturan perundang-undangan
pengangkatan anak ini cukup memberikan kepastian dan kejelasan.
30
Diterbitkannya baik peraturan perundang-undangan pengangkatan
anak diharapkan memberikan kejelasan dan kepastian dalam
pengangkatan anak yang khususnya untuk kepastian dan kejelasan
tentang kedudukan dari anak angkat. Perkembangan dari pengaturan
pengangkatan anak ini didukung dengan diterbitkannya beberapa
petunjuk dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dimana hal
ini telah memberikan peran pentng dalam meningkatkan kepastian dan
keseragaman dalam aturan pengangkatan anak di Indonesia. 24
Tentang akibat hukum yang ditimbulkan dari pengangkatan
dan juga mengatur bagaimana pelaksanaan dari pengangkatan anak
dan juga mengatur bagaimana pelaksanaan dari pengangkatan anak.
Petunjuk yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia
melalui sejumlah surat-surat yang edarannya sejak tahun 1979 yang
memberikan peran yang penting dalam meningkatkan kepastian dan
keseragaman aturan pengangkatan anak di Indonesia25 dan telah
memberikan tata aturan dan pedoman Pengangkatan Anak yhang lebih
jelas dan pada banyak bagian melahirkan uniikasi persyaratan dan
acara pengangkatan anak di Indnesia. Tetapi mengenai luas dan
kapasitas dari akibat hukum pengangkatan anak untuk sebagian besar
harus kembali kepada kaidah-kaidah pada hukum yang berlaku
24 Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 11
25 Ibid., h. 11
31
berdasarkan juga pada kaidah-kaidah yang dikembangkan oleh
sejumlah putusan hakim (judicial percedents) bagi sistem hukum yang
dibahas pada bab-bab terdahulu.
1.5 Tata Cara Pengangkatan Anak
Pertama-pertama perlu ditegaskan kembali bahwa Peraturan
Pemerintah Pengangkatan Anak secara tegas mengikuti Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 tentang penyempunaan Surat
Edaran No. 2 Tahun 1979 yang menegaskan prosedur untuk
mendapatkan pengesahan pengangkatan anak dari pengadilan, sebagai
berikut:
1. Dimulai dengan suatu permohonan kepada ketua pengadilan yang
berwenang dan karena itu termasuk prosedur yang dalam hukum
accara perdata dikenal sebagai yuridiksi volunter (juridiction
voluntaria);
2. Petitum permohonan harus tunggal, yaitu mintah pengesahan
Pengangkatan anak, tanap permohonan lain dalam petitum
permohonan.
3. atas permohonan pengesahan pengangkatan anak antar Warga Negara
Indonesia (domestic adoption) pengadilan akan menerbitkan
pengesahan dalam bentuk “Penetapan”, sedangkan atas pemohonan
pengesahan pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga
32
Negara Asing atau sebaliknya maka pengadilan akan menerbitkan
“Putusan” Pengesahan Pengangkatan Anak.
Selanjutnya dalam PermenSosial Pengangkatn Anak diatur
secara jelas dan detail mengenai dokumen yang perlu dilengkapi
untuk mengajukan permohonan. Putusan atau Penetapan Pengadilan
harus menyampaikan salinan Penetapan atau Putusan Pengangkatan
Anak ke Instansi yang terkait, dalam hal ini yang dimaksud adalah
Mahkamah Agung, Departemen Sosial, Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan,
Departemen Dalam Negeri dan juga Kejaksaan Agung dan Kepolisian
RI26.
Pengadilan yang berwenang mengesahkan Permohonan
Pengangkatan Anak yaitu:
1. Kompetensi Relatif
Pengadilan yang berwenang untuk mensahkan suatu pengangkatan
anak adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal atau tempat kediaman (habitual residence) anak yang akan
diangkat. Hal ini ditegaskan dalam butir IV Surat Edaran
26 Pasal 20 dan Pasal 22 Peraturan Pemerintahn Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak
33
Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan
Surat Edaran No. 2 Tahun 1979.
2. Kompetensi Absolut
Pengadilan Negeri adalah merupakan badan peradilan yang secara
umum berwenang untuk mensahkan pengangkatan anak baik
domestic adoption maupun intercountry adoption , termasuk
permohonan Penetapan pada Pengangkatan Anak berdasarkan adat
kebiasaan. Tetapi dengan perluasan kewenangan Pengadilan
Agama di Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
Nilai Putusan atau Penetapan Pengadilan bagi Pengangkatan
Anak adalah bersifat konstitutif, karena Penetapan atau Putusan
Pengadilan ini menciptakan hubungan hukum antara anak anghkat dan
juga orang tua angkat. Putusan atau penetapan itu mensahkan
Pengangkatan Anak Khusus untuk Pengangkatan Anak antar Warga
Negara Indonesia yang berdaarkan adat kebiasaan setempat, maka
pengesahan pengangkatan anak ditentukan oleh kaidah adat kebiasaan
itu27.
27 Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 120.
34
2. Kesejahteraan Anak
Dalam pengangkatan anak diharuskan memiliki tujuan yang jelas
dalam pelaksanaannya, tujuan pengangkatan anak juga harus memperhatikan
dan mengutamakan dari kepentingan calon anak angkat. Pertimbangan hukum
untuk mengutamakan kepentingan anak ini secara tegas dinyatakan dalam
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak yang berbunyi: “Pengangkatan Anak menurut adat dan
kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan
anak”, hal tersebut jelas bahwa pengangkatan anak adalah untuk
kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak menurut Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1979 adalah suatu tatanan kehidupan dan penghidupan anak yang dapat
menjamin pertumbuhand an perkembangannya dengan wajar, baik secara
rohani, jasmani maupun sosial, sedangkan menurut Child and Family Service
Review Process, kesejahteraan anak mempunyai arti keluarga memiliki
layanan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan juga anak-
anak menerima kebutuhan fisik dan kesehatan mental. Menurut Child and
Family Service Review Process, kesejahteraan anak memiliki 3 (tiga) variabel
didalamnya, yaitu :
- Kesejahteraan dalam arti keluarga memiliki peningkatan kapasitas
untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Konsep ini
mencakup pertimbangan kebutuhan dan pelayanan kepada anak-
35
anak, orang tua dan orang tua asuh keterlibatan anak-anak, remaja
dan keluarga dalam perencanaan serta pemecahan masalah.
- Kesejahteraan dalam arti anak-anak dan remaja menerima layanan
yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka
- Kesejahteraan dalam arti anak-anak dan remaja menerima layanan
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan fisik dan mental.
Selain itu kesejahteraan anak menurut Johnson & Schwartz
mendefiniskan sebagai “Series of activities and programs through which
society expresses its special concern for children and its willingness to
assume responsbility or some children until they are able to care for
themselves”, yang diterjemahkan bahwa bagian dari kegiatan dari program
yang mana melalui pernyataan masyarakat itu sebagai perhatian khusus untuk
anak-anak dan kesejahterannya untuk mengambil pertanggung jawaban untuk
beberapa anak sampai mereka mampu untuk hidup mandiri. Dimana bahwa
kesejahteraan anak yang diberikan kepada anak angkat ini sangat
menguntungkan bagi kedudukan anak-anak terutama anak angkat yang
kepentingannya kesejahteraannya harus dilindungi dan dilaksanakan baik oleh
orang tua angkat, masyarakat maupun negara.
Kesejahteraan anak yang merupakan tujuan dari pengangkatan anak
ini merupakan tujuan yang penting dan krusial dalam pelaksanaan
pengangkatan anak. Tujuan kesejahteraan anak ini memberikan perlindungan
kepada anak angkat, khususnya perlindungan atas hak-hak anak dan
36
pemenuhan aspek-aspek kebutuhan anak sampai dimasa depan. Kesejahteraan
anak secara umum diberikan kepastian hukum oleh anak dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum
kepada anak karena anak merupakan potensi serta penerus cita-cita bangsa
dan bertujuan bahwa agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab
tersebut maka anak berhak mendapat kesematan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun
sosial. Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa tujuan kesejahteraan anak
dalam pengangkatan anak ini adalah suatu kepentingan yang harus dicapai
guna untuk kepentingan dari anak angkat, dalam pelaksanaan pasti akan
terjadi suatu hal yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan perwujudan
kesejahteraan anak maka dari itu diterbitkannya Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menjadi penyokong dan
perlindungan dalam pelaksanaan dan perwujudan kesejahteraan anak
khususnya dalam pengangkatan anak. Perlindungan anak dalam pengertian
umum adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
pemenuhan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan
serta mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan ataupun tindakan
diskriminasi. Perlindungan anak tidak hanya mencakup perlindungan jiwa
dari anak tetapi termasuk pula perlndungan atas hak serta kepentingannya dan
hak yang utama adalah segi hukumnya sebagai landasan untuk berpijak.
37
Dalam mewujudkan tujuan kesejaheraan anak dalam pengangkatan
anak terdapat usaha-usaha perlindungan anak yang dijamin dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang bertujuan
untuk melindungi hak-hak anak, sebagaimana usaha-usaha tersebut ada dalam
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak,
yaitu:
1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun didalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar
2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan
dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan
kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan
berguna.
3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan,baik semasa
dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang
dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar.
Dengan diberikannya usaha-usaha guna untuk melindungi kepentingan
hak-hak anak dalam kesejahteraan anak seperti yang diuraikan diatas, maka
diperlukannya bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan
kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa membeda-bedakan jenis
38
kelamin, agama, pendirian politik dan kedudukan sosial yang hal ini
dicantumkan pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak. Dengan pelaksanaan untuk mewujudkan kepentingan
hak-hak anak tersebut pada Pasal 9 bahwa kesejahteraan anak merupakan
orang tua yang menjadi pertama bertanggung jawab atas terwujudnya
kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
3. Hukum Waris
1.1 Pengertian Hukum Waris
Hukum waris adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur harta
kekayaan seseorang setelah seorang meninggal dunia serta cara-cara
peralihannya kepada ahli warisnya. hukum waris sendiri diatur dalam
Buku II KUHPerdata bersama sama dengan pengaturan mengenai
benda pada hukumnya28.
Kekayaan dalam pengertian hukum waris di atas adalah
sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal
dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Namun, pada dasarnya
proses beralihnya harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang kepada
28 J. Satrio, Hukum Waris, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, h.89.
39
ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan mempunyai tiga persyaratan
sebagai berikut29:
a. Ada orang yang meninggal dunia
b. Ada orang masih hidup, sebagai ahli waris yang akan memperoleh
warisan ada saat pewaris meninggal dunia
c. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris
Di Indonesia hukum pewarisannya yang bersiat pluralisme ini
yaitu dibagi dalam tiga sistem hukum, yaitu sistem hukum kewarisan
menurut KUHPerdata, hukum kewarisan menurut Hukum Adat dan
juga hukum kewarisan menurut Hukum Islam. Di dalam hukum Adat
diatur bahwa anak angkat berhak menjadi ahli waris dari orang tua
angkatnya dan juga berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh
orang tuanya sendiri, sedangkan dalam hukum Islam diatur bahwa
anak angkat tidak berhak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya
karena bukan termasuk kedalam golongan ahli waris tetapi anak
angkat dapat mendapat wasiat wajibah sebagaimana diatur dalam
Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam sedangkan dalam Hukum Barat
anak angkat berhak menjadi ahli waris karena kedudukannya sama
dengan anak sah karena akibat hukum yang disebabkan dari
pengangkatan anak. Di dalam KUHPerdata tidak mengatur masalah
29 Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h.81.
40
adopsi tetapi hanya mengatur masalah pewarisan dengan istilah “anak
luar kawin” atau anak yang diakui (erkend kind). Terdapatnya
perbedaan sistem hukum yang mengatur pewarisan ini membuat
sedikit kebingungan dalam mengatur pewarisannya dalam
masyarakatm namun bagaimanapun juga penggunaan sistem hukum
dalam pewarisan akan bergantung sesuai keadaan dan kebutuhan
dalam measyarakat. Pewarisan harta kepada anak angkat secara umum
dan jelas diatur pada Staatsblad 1917 Nomor 129 ini memberikan
kejelasan dan kedudukan hukum bagi anak angkat.
Hukum waris menurut BW berlaku asas: “apabila seseorang
meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya
beralih kepada sekalian ahli warisnya”30. hak dan kewajiban
dimaksud, yang beralih kepada ahli waris adalah termasuk ruang
lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang. Ciri khas hukum waris barat atau BW antara lain,
adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk
seewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan. Hal itu
berarti bila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di
pengadilan, maka tuntutan dimaksud tidak dapat ditolak oleh ahli
30 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa,1977, h.19.
41
waris lainnya. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1066 KUHP
sebagai berikut31:
1. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak
dapat dipaksa untuk membiarkan harta benda peninggalan dalam keadaan
tidak terbagi-bagi diantara para ahli waris yang ada.
2. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada
perjanjian yang melarang hal tersebut.
3. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja
dilakukan hanya beberapa waktu tertentu
4. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima
tahun, namun dapat diperbarui jika masih dikehendaki oleh para pihak.
Hukum waris perdata yang diatur dalam Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang Benda. Hal
ini didasarkan oleh pemikiran memperoleh warisan merupakan satu
cara untuk memperoleh harta benda, hal ini dilihat secara jelas dalam
kehidupan sehari-hari bagi orang yang memperoleh harta melalui
warisan dan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum
kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan kecuali itu dalam
hak pakai hasil yang sebenarnya ternasuk dalam hukum harta benda,
31 Zainudin Ali,Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h.82.
42
tidak dapat diwariskan. Sebaliknya hak seseorang anak untuk diakui
sebagai anak sah dan dan hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya
anak yang sebenarnya termasuk dalam lapangan hukum keluarga. Hal
ini didasari oleh keberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
di Indonesia yang berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 194532.
Harta warisan dalam sistem hukum waris yang bersumber pada
BW melipuri harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris dalam
lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
Namun ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, yaitu hak dan
kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang tidak dapat
beralih kepada ahli waris antara lain, yaitu:
1. Hak untuk memungut hasil.
2. Perjanjian perburuhan dengan pekerjaan yang harus dilakukan
bersifat pribadi
3. Perjanjian perkongsian dagang.
Pengecualian lain yaitu ada beberapa hak yang terletak dalam
lapangan hukum keluarga, tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris
pemilik hak, yaitu :
a. Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seoarng anak
32 Hukum waris yang diterjemahkan dari BW yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
43
b. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai
anak sah dari ayah atau ibunya.
3.2 Pewaris dan dasar hukumnya
Pewaris adalah seorang yang meninggal dunia, baik laki-laki
atau perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun
hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan selam hidupnya, naik dengan surat wasiat ataupun tanpa
surat wasiat. Secara umum syarat pokok dari orang yang
meninggalkan warisan atau peninggal warisan adalah orang yang
bebas atas mereka untuk menentukan kemauannya dalam bertindak
memberikan warisan. Dasar hukum bagi ahli waris dalam mewariskan
sejumlah harta pewais diatur dengan menggunakan sistem hukum
waris BW seperti sebagai berikut33:
a. Menurut ketentuan Undang-Undang (ab intestato)
Disebut dengan pewarisan menurut undang-undang karena
perpindahan hak dan kewajiban dari pewaris ke ahli warisnya
dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang.
b. Ditunjuk dalam surat wasiat (ad testamento)
33 Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris Menurut BW, Refika Aditama, Bandung, 2012, h. 6.
44
Disebut dengan pewarisan berdasarkan surat wasiat, karena
seorang berkedudukan sebagai ahli waris karena ditunjuk dalam surat
wasiat yang dibuat sebelumnya oleh pewaris.
Dasar hukum dalam menetapkan tentang untuk melanjutkan
kedudukan hukum terhadap harta seseorang yang meninggal
disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Hal ini
didukung oleh prinsip Undang-Undang untuk memberikan kebebasan
atas seseorang untuk menetapkan kedudukannya terhadap harta
kekayaannya setelah ia meninggal. Sebaliknya jika seseorang tersebut
tidak membuat atau menetapkan kedudukan atas harta waisannya
maka Undang-Undang berkewajiban untuk menentukan perihal
bagaimana kedudukan dan juga pengaturan atas harta warisan yang
ditinggalkan oleh seorang tersebut.
3.3 Ahli Waris
Ahli waris adalah seseorang yang berhak menerima harta
warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Dalam hukum waris ada ahli
waris berdasarkan hubungan darah dan perkawinan serta ahli waris
karena wasiat. Ahli waris berdasarkan hubungan darah dan
perkawinan meliputi anak atau keturunannya dan ahli waris
berdasarkan hubungan perkawinan adalah istri atau suami pewaris.
Sedangkan ahli waris berdasar wasiat adalah ahli waris yang ditunjuk
45
oleh pewaris dalam surat wasiat. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata di Indonesia ada dua cara untuk mendapatkan harta
warisan, yaitu:
1. Menjadi ahli waris karena menurut ketentuan undang-
undang (ab intestato)
2. Menjadi ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat
(testamentair)
Pada Pasal 834 KUHP mengungkakan bahwa seorang ahli
waris berhak untuk menuntut segala apa saja yang termasuk harta
peninggalan agar diserahkan kepadanya, berdasarkan haknya sebagai
ahli waris. Pemilik hak dimaksud mirip dengan hak seorang pemilik
benda. Hak menuntut ahli waris dimaksud, hanya terbatas pada
seseorang yang menguasai suatu harta warisan dengan maksud untuk
memilikinya. Jadi, penuntutan ini tidak daat dilakukan terhadap
pelaksanaan wasiat (executeur testamentair) yang dimana seorang
kurator atas harta peninggalan yang tidak terurus dan penyewa dari
benda warisan34.
34 Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 83
46
4. Penetapan Hakim (Beschikking)
4.1 Putusan Hakim
Putusan dalam bahasa Belanda yaitu vonnis yang diartikan
putusan yang dijatuhkan oleh hakim untuk mengakhiri perkara yang
dibawa kehadapannya35. Dalam mengambil keputusan haruslah
didasarkan pada asas-asas hukum. Asas-asas hukum ialah prinsip-
prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Adapun beberapa
asas yang harus dipenuhi oleh hakim dalam membuat putusannya,
yaitu:
1. Memuat alasan yang jelas dan rinci.
Asas ini memuat alasan yang jelas dan rinci maksudnya
setiap putusan harus dijatuhkan berdasarkan pertimbangan
yang jelas dan cuku, dimana pertimbangan tersebut didasarkan
atas:
a. Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan.
b. Hukum kebiasaan.
c. Yuriprudensi.
d. Doktrin hukum.
35 N.E Algra & H.R.W Gokkel,op,cit, h.654.
47
Putusan yang tidak memenuhi ketentuan diatas akan
dianggap bahwa putusan tersebut tidak cukup pertimbangan36.
2. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan.
Asas ini didapatkan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR. Asas ini
haruslah dikatikan dengan posita penggugat dan apa yang
diminta penggugat dalam bagian petitum. Inti dalam bagian ini
adalah bahwa posita itu harus didukung bukti dan permintaan
tuntutan haruslah nasional. Dengan bukti-bukti tersebut setiap
petitum penggugat harus diadili dalam arti hakim mengurainya
satu demi satu sesuai hukum.
3. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan.
Asas putusan ini didapatkan dari Pasal 178 ayat (3)
HIR, mengatur bahwa hakim dilarang menjatuhkan putusan
melebihi yang diminta dalam permohonan atau gugatan.
Dengan demikian, hakim tidak dapat mengabulkan gugatan
lebih dari yang diminta penggugat dalam petitumnya yang
dikenal dengan asas judex non ultra non petita.
36 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h. 137.
48
4. Putusan merupakan rekonsiliasi dan keseimbangan.
Bila berpedoman pada pikiran Pound, inti putusan
adalah melakukan rekonsiliasi (reconcling) dan keseimbangan
(balancing). Pertama, pengadilan harus memuaskan semua
kepentingan dengan pengorbanan sedikit-sedikitnya, meskipun
ini sangat sulir dilakukan. Kedua, pengadilan tidak dapat
sewenang-wenang atau sekehendaknya (arbitary), dalam
pemahaman bahwa pengadilan harus memutuskan kasus yang
sama dengan putusan yang sama. Ketiga, pengadilan harus
mempuntai alasan rasional (national basis) dalam memutuskan
hak baru atau menghilangkannya dan harus menerangkan
alasannya37.
5. Diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pada umumnya setiap persidangan terbuka untuk
umum, meskipun demikian untuk kasus-kasus tertentu,
misalnya yang menyangkut susila, persidangan tertutup, namun
sudah pasti, bahwa setiap pengumuman putusan sidang terbuka
untuk umum dan bila hal tersebut tidak dilaksanakan maka
putusan batal demi hukum (Pasal 13 ayat (2) & (3) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009). Namun yang pasti bahwa
37 Suri Ratnapala, Jurisprudence, Cambridge, University Press, 2009.
49
melalui putusan yang terbuka untuk umum dianggap dapat
lebih mencegah pengadilan yang bersifat berat sebelah, karena
publik tahu mengenai proses peradilan mulai dari awal hingga
putusan38.
4.2 Pertimbangan Hukum
Pertimbangan hukum merupakan salah satu yang terpenting dalam
putusan, karena dengan pertimbangan hukum sebagai dasar dari hakim untuk
membuat inti sari pendiriannya dalam “amar”. Pengajuan keberatan atas
putusan hanya dapat dilakukan dengan tepat, dengan memahami
pertimbangan hukum oleh karena itu pertimbangan hukum sebaiknya
dipahami dan diteliti dengan baik. Di bawah ini disajikan pokok-pokok
penting dalam pertimbangan hukum, yaitu:
1. Pengertian Pertimbangan Hukum
Dalam hal pertimbangan ini juga dibahas oleh Prent K bahwa
Pertimbangan hukum adalah suatu pendapat yang disajikan hakim untuk
memperkuat atau mendukung putusannya yang dituangkan dalam amar
putusan dengan frasa “mengadili”. Untuk memahami pertimbangan hukum
dapat dikaitkan dengan istilah common law system, disebut “ratio decidendi”.
38 M. Yahya Harahap, Hukum Acara… op.cit,. h. 803.
50
Pemahaman tersebut dierlukan, karena bagaimana pun pastilah ada kesamaan
pemikiran dengan sistem hukum kita39.
Pertimbangan hukum itulah yang menjadi dasar pengadilan dalam
mengambil keputusan, oleh karena itu kita harus cermat dan teliti untuk
melihat pertimbangan hukum. Pertimbangan hukum juga merupakan intis ari
dari argumen dalam putusan yang merupakan analisis, pendapat yang
akhirnya hakim menetapkan pendiriannya atas perkara yang dihadapi40.
2. Argumen dalam pertimbangan hukum dan sistem hukum
Tugas hakim ialah menentukan hak yang bersengketa dalam suatu
putusan. Putusan itu dapat diambil dengan dasar atau alasan, yang bila dilihat
dari sudut alasan dasar argumen, terdiri argumen prinsip (principle argument)
ketika hakim mempertanggung jawabkan keputusan dengan menunjukan
manfaatnya kepada komunitas politik secara keseluruhan41 dan argumen
kebijakan (argument of policies), dalam argumen ini membenarkan keputusan
hakim, karena pada esensinya menghormati atau melindungi hak individu atau
kelompok. Yang terakhir ini adalah pertimbangan hukum dalam mengambil
keputusan.
Pertimbangan hukum harus didasarkan pada fakta dalam persidangan
berupa jawab menjawab antara penggugat dengang tergugat ataupun
40 John Z, Loudoed, Memahami Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985, h.66.
41 Ibid., h. 164
51
pemohon. Fakta itu berupa alat pembuktian seperti surat, saksi, pengakuan,
sumpah yang kesemuanya dimuat dalam berita acara persidangan yang
dipersiapkan oleh panitera.