34
28 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Hukum Pidana 1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni Policy atau dalam bahasa Belanda Politiek yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan Perundang- undangan dan pengaplikasian hukum/ peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara). 1 Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau 1 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti (Bandung, 2010), h. 23-24.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Hukum Pidana 1

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebijakan Hukum Pidana

1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni Policy atau dalam

bahasa Belanda Politiek yang secara umum dapat diartikan sebagai

prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah

(dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola,

mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah

masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan Perundang-

undangan dan pengaplikasian hukum/ peraturan, dengan tujuan (umum)

yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran

masyarakat (warga negara).1

Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan

hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana.

Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal

dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau

1 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya

Bakti (Bandung, 2010), h. 23-24.

29

staftrechtspolitiek.2 Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan

politik hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan

hukum. Menurut Sudarto, istilah politik dipakai dalam berbagai arti antara

lain 3 :

1. Perkataan politiek dalam bahasa Belanda, berarti sesuatu yang

berhubungan dengan negara;

2. Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau berhubungan dengan

negara.

Menurut Mahfud, politik hukum sebagai legal policy yang akan atau

telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah yang meliputi : 4

1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan

terhadap materi- materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;

2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan

fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.

“Selanjutnya, definisi politik hukum menurut Bellefroid,

sebagai berikut: Politik hukum merupakan cabang dari salah

satu cabang (bagian) dari ilmu hukum yang menyatakan politik

hukum bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan mana

yang perlu diadakan, terhadap hukum yang ada atas memenuhi

kebutuhan-kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat.

Politik hukum tersebut merumuskan arah perkembangan tertib

hukum, dari ius contitutum yang telah ditentukan oleh

2 Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan

Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya (Yogyakarta, 1999), h. 10. 3 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian

Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminilisasi, Pustaka Pelajar (Yogyakarta, 2005), hlm : 11

30

kerangka landasan hukum yang dahulu, maka politik hukum

berusaha untuk menyusun Ius constituendum atau hukum pada

masa yang akan datang”.5

“Menurut Utretch, politik hukum menyelidiki perubahan-

perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang

berlaku supaya sesuai dengan kenyataan sosial. Politik hukum

membuat suatu Ius constituendum (hukum yang akan berlaku)

dan berusahan agar Ius constituendum itu pada suatu hari berlaku

sebagai Ius constitutum (hukum yang berlaku yang baru).6 “

Menurut Padmo Wahjono, Politik hukum adalah kebijakan

penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah,

bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang

dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu, dengan kata lain politik

hukum berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa mendatang (Ius

constituendum).7

Dengan demikian, kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan

cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk

menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama

dalam menanggulangi kejahatan, memang perlu diakui bahwa banyak cara

maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah)

dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat

5 Moh. Mahfud M.D, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media

(Yogyakarta, 1999), h. 9. 6 Abdul Latif dan Hasbih Ali, Politik Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 22-

23. 7 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thoari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Raja

Grafindo Persada (Jakarta, 2010), hlm : 26-27.

31

menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum

pidana atau politik hukum pidana.8

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari

politik hukum pidana. Menurut Sudarto, politik hukum adalah:

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang

baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.9

Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik

hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil

perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi

syarat keadilan dan daya guna. Politik hukum pidana berarti usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa

yang akan datang. Kata sesuai dalam pengertian tersebut mengandung

makna baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.10

“Menurut Marc Ancel, pengertian penal policy (Kebijakan Hukum

Pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya

mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum

positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman

tidak hanya kepada pembuat Undang-undang, tetapi juga kepada

8 Aloysius Wisnubroto, Op Cit, h. 10. 9 Barda Nawawi Arief,Op Cit, h. 24. 10 Aloysius Wisnubroto, Op Cit, h. 11

32

pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada

penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan”.11

Politik hukum pidana diartikan juga sebagai kebijakan menyeleksi atau

melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan.

Disini tersangkut persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan yang

dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, serta menyeleksi diantara

berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem

hukum pidana pada masa mendatang. Oleh karena itu, dengan politik

hukum pidana, negara diberikan kewenangan merumuskan atau

menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak

pidana, dan kemudian dapat menggunakannya sebagai tindakan represif

terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah salah satu fungsi penting

hukum pidana, yakni memberikan dasar legitimasi bagi tindakan yang

represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan

perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana.12

Politik hukum pidana pada dasarnya merupakan aktivitas yang

menyangkut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan

tujuan tersebut. Terkait proses pengambilan keputusan atau

pemilihan melalui seleksi diatara berbagai alternatif yang ada

mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana

mendatang. Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan

tersebut, disusun berbagai kebijakan yang berorientasi pada

berbagai masalah pokok dalam hukum pidana.13

11 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai …, Op Cit, h. 23. 12

Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana ; Reformasi Hukum, PT.

Gramedia Widiasarana Indonesia (Jakarta, 2008), h. 58-59. 13 Muladi dalam Syaiful Bakhri, Pidana Denda dan Korupsi, Total Media

(Yogyakarta, 2009), h. 45-46.

33

Dalam hal mencapai tujuan tertentu hukum pidana tidak dapat

bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan sarana-sarana lainnya yang

mendukung, yakni tahapan kebijakan hukum pidana, dalam

mengoperasionalkan hukum pidana, melalui tahap formulasi kebijakan

legislatif atau pembuatan peraturan Perundang-undangan, tahap

perencanaan yang seharusnya memuat tentang hal-hal apa saja yang akan

dilakukan, dalam mengadapi persoalan tertentu dibidang hukum pidana,

dan kejahatan yang terjadi selalu berorientasi pada kebijakan

penanggulangan kejahatan terpadu, sebagai upaya yang rasional guna

pencapaian kesejahteraan masyarakat dan sekaligus perlindungan

masyarakat.14

2. Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana

Dari definisi tentang kebijakan hukum pidana yang telah diuraikan

sebelumnya, sekilas tampak bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan

pembaharuan perundang-undangan hukum pidana yaitu substansi hukum,

bahkan sebenarnya ruang lingkup kebijakan hukum pidana lebih luas dari

pada pembaharuan hukum pidana. Hal ini disebabkan karena kebijakan

14 Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Total Media

(Yogyakarta, 2009), h. 83.

34

hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi /fungsionalisasi

hukum pidana yang terdiri dari :15

1. Kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan

hukum pidana;

2. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana;

3. Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum

pidana.

Kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum

pidana. Dalam hal ini, Marc Ancel menyatakan bahwa setiap masyarakat

yang terorganisir memiliki sistem hukum yang terdiri dari peraturan-

peraturan hukum pidana beserta sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan

suatu mekanisme pelaksanaan pidana.16

Selanjutnya, A.Mulder mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana

ialah garis kebijakan untuk menentukan : 17

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau

diperbaharui;

2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan

pidana harus dilaksanakan.

Dengan demikian kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses

penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu, kebijakan

hukum pidana diarahkan pada konkretisasi/operasionalisasi/funsionalisasi

hukum pidana material (substansial), hukum pidana formal (hukum acara

pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana

dapat dikaitkan dengan tindakan-tindakan :18

1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan

hukum pidana;

15

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai …, Op Cit, h. 24. 16 Ibid, h. 28-29. 17 Aloysius Wisnubroto, Op Cit, h. 12. 18 Ibid, h. 14.

35

2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi

masyarakat;

3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan

hukum pidana;

4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat

dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.

Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan

perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah

kebijakan (policy). Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana

penal (pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap,

yakni :19

1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif);

2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);

3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

Berdasarkan hal di atas, kebijakan hukum pidana terkandung di dalamnya

tiga kekuasaan/kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif/formulatif berwenang

dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana

yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi

perbuatan yang bersifat melawan hukum. Tahap aplikasi merupakan

kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum

atau pengadilan, dan tahapan eksekutif/administratif adalah melaksanakan

hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana.

19 Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group (Jakarta, 2007), h. 78-79.

36

Kebijakan hukum pidana berkaitan dengan masalah kriminalisasi

yaitu perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana dan penalisasi yaitu sanksi

apa yang sebaiknya dikenakan pada si pelaku tindak pidana. Kriminalisasi

dan penaliasi menjadi masalah sentral yang untuk penanganannya diperlukan

pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).

Kriminalisasi (criminalisation) mencakup lingkup perbuatan melawan hukum

(actus reus), pertanggungjawaban pidana (mens rea) maupun sanksi yang

dapat dijatuhkan baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan

(treatment). Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai

menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip ultimum remedium

(ultima ratio principle) dan menjadi bumerang dalam kehidupan sosial

berupa kriminalisasi yang berlebihan (oever criminalisation), yang justru

mengurangi wibawa hukum. Kriminalisasi dalam hukum pidana materiil

akan diikuti pula oleh langkah-langkah pragmatis dalam hukum pidana

formil untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.20

Pada tahap selanjutnya, hukum yang telah dipilih sebagai sarana

untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang

berwujud peraturan perundang-undangan melalui aparatur negara, maka perlu

ditindak lanjuti usaha pelaksanaan hukum itu secara baik sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan. Pada tahap ini termasuk ke dalam bidang

20 Muladi, Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime, Majalah Media Hukum Vol. 1

No. 3 tanggal 22 Agustus 2003, h. 1-2.

37

penegakan hukum, dalam hal ini perlu diperhatikan komponen-komponen

yang terdapat dalam sistem hukum yaitu struktur, substansi dan kultur.21

Istilah penegakan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah

enforcement dalam Black law dictionary diartikan the act of putting

something such as a law into effect, the execution of a law. Sedangkan

penegak hukum (law enforcement officer) artinya adalah those whose duty it

is to preserve the peace.22

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penegak

adalah yang mendirikan, menegakkan. Penegak hukum adalah yang

menegakkan hukum, dalam arti sempit hanya berarti polisi dan jaksa yang

kemudian diperluas sehingga mencakup pula hakim, pengacara dan lembaga

pemasyarakatan.23

Sudarto memberi arti penegakan hukum adalah perhatian dan

penggarapan, baik perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang sungguh-

sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang

mungkin akan terjadi (onrecht in potentie).24

Sedangkan menurut Soerjono

Soekanto, secara konsepsional, maka inti dari penegakan hukum terletak

pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam

kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai

21 Lihat Hakristuti Harkrisnowo, Reformasi Hukum : Menuju Upaya Sinergistis untuk

Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan, Jurnal Keadilan Vol. 3, No.6 Tahun

2003/2004. 22

Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, St. Paulminn West Publicing, C.O,

1999, h. 797. 23 Departemen Pendidkan dan Kebudayaan, Kamus Besar…, Op Cit, h. 912. 24 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni (Bandung, 1986), h. 32.

38

rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.25

Josep Golstein, membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3

bagian, yaitu;26

1. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana

sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif

(substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini

tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat

oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan

pendahuluan. Disamping itu, mungkin terjadi hukum pidana substantif

sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih

dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht

delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no

enforcement;

2. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang

bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan

hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara

maksimal;

3. Actual enforcement, dianggap not a realistic expectation, sebab adanya

keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat

investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan

keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut

dengan actual enforcement.

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum

pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law

application) yang melibatkan berbagai sub-sistem struktural berupa aparat

25 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT.

Raja Grafindo Persada (Jakarta, 2005), h. 5. 26 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip (Semarang, 1995), h. 40.

39

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk di

dalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum.

Jadi, kebijakan hukum pidana (penal policy) operasionalisasinya

melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap

aplikasi (kebijakan yudikatif,yudisial) dan tahap eksekusi (kebijakan

eksekusi/administrasi). Dari ketiga tahap tersebut, tahap formulasi

merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan

penanggulangan kejahatan melalui kebijakan hukum pidana.

Kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis

yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan

kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.27

Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa dalam penyelesaian tindak

pidana dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan

suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar

dalam memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk

menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua

faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana

itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional

27 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum…, Op Cit, h. 75.

40

dan merupakan pendekatan yang inheren pada setiap kebijakan yang

rasional.28

B. Tindak pidana Koperasi

1. Pengertian Koperasi

Ide Koperasi lahir dalam era kejayaan kapitalisme. Jika kapitalisme

berpijak pada paham tentang pentingnya peranan modal dalam kegiatan

ekonomi, maka koperasi lebih mengutamakan peranan manusia dalam

memupuk modal.29

“Koperasi berfungsi sebagai suatu badan usaha yang

melakukan usaha perbaikan tingkat kehidupan ekonomi dari

orang-orang yang berasal dari kelompok pekerja atau orang-

orang yang kurang mampu. Secara etimologi, koperasi

berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu cooperatives;

merupakan gabungan dua kata co dan operation dan dalam

bahasa Belanda disebut cooperatie, yang artinya adalah kerja

bersama”.30

Dalam Undang-undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian memberikan definisi koperasi sebagai badan usaha yang

beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan

melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai

gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.

28 Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Total Media

(Yogyakarta, 2009), h. 155. 29 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Banemay, 2005,

Hukum Koperasi Indonesia, Kencana, Jakarta, h. 14. 30 Ibid, h. 15.

41

R.S Soeriaatmadja, memberikan definisi koperasi sebagai suatu

perkumpulan dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai

manusia, dengan tidak memandang haluan agama dan politik secara

sukarela masuk, untuk sekedar memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat

kebendaan atas tanggungan bersama.

Kalau diteliti lebih lanjut, adapun unsur-unsur yang terdapat dalam

definisi tersebut adalah:

a. Unsur demokrasi;

b. Unsur sosial;

c. Unsur tidak semata-mata mencari keuntungan.

Terdapat 6 ciri Koperasi yaitu:

a. Sebagai badan usaha yang pada dasarnya untuk mencapai suatu

tujuan keuntungan ekonomis sehingga dapat bergerak disegala sektor

perekonomian di mana saja dengan mempertimbangkan kelayakan

usaha.

b. Harus berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk

meningkatkan usaha dan kesejahteraannya.

c. Sifat keanggotaanya sukarela tanpa paksaan.

d. Pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para

anggota memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi sehingga

anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.

42

e. Pembagian pendapatan atau sisa hasil usaha di dalam koperasi

didasarkan pertimbangan jasa usaha anggota kepada koperasi dibatasi,

yaitu tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasar sehingga

dengan demikian tidak didasarkan atas besarnya modal yang

diberikan.

f. Koperasi bersifat mandiri, memiliki kebebasan yang

bertanggungjawab, memiliki otonomi, swadaya, serta

mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri dan keinginan

mengelola diri sendiri.31

Indonesia sebagai negara yang turut memajukan perekonomian

bagi seluruh lapisan masyarakat dengan berlandaskan asas

kekeluargaan juga dapat dilihat dengan jelas dalam definisi Koperasi

oleh Mohammad Hatta dalam bukunya The Cooperative Movement in

Indonesia.32

Beliau mengemukakan bahwa koperasi adalah usaha

bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan

tolong menolong. Koperasi melambangkan harapan bagi kaum yang

lemah ekonominya berdasarkan self-help dan tolong menolong di

antara anggota-anggotanya yang melahirkan diantara mereka rasa percaya

pada diri sendiri dan persaudaraan. Koperasi menyatakan semangat

31

H. Budi Untung, 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia,

Penerbit Andi, Yogyakarta, h..3. 32 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Banemay, 2005,

Op.Cit, h.19.

43

baru untuk menolong diri sendiri yang didorong oleh keinginan memberi

jasa kepada kawan berdasarkan kebersamaan.

Dalam pidato Mohammad Hatta pada tanggal 12 Juli 1951

disebutkan bahwa Perekonomian sebagai usaha bersama dengan

berdasar kekeluargaan adalah koperasi, karena koperasilah yang

menyatakan kerjasama antara mereka yang berusaha sebagai suatu

keluarga. Sebagaimana orang sekeluarga bertanggungjawab atas

keselamatan rumah tangganya, demikian pula para anggota koperasi

sama-sama bertanggungjawab atas koperasi mereka. Makmur

koperasinya makmurlah hidup mereka bersama, rusak koperasinya

rusaklah pula hidup mereka bersama. Adapun yang dimaksud oleh

Mohammad Hatta, Pasal 38 UUDS 1950 dalam pidato tersebut adalah

Pasal 33 dalam UUD 1945 yaitu perekonomian disusun sebagai

usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Asas kekeluargaan

dalam Pasal inilah yang menjadi pondasi dasar dalam berdirinya suatu

koperasi yang baik bagi masyarakat Indonesia.

Koperasi di Indonesia pada hakikatnya, seperti yang

diungkapkan oleh Charles Gide kalau mau berkembang dan tetap

setia pada dirinya sendiri dan tidak menyimpang menjadi bentuk lain,

maka nilai -nilai moral yang mendasarinya harus merupakan realita-

realita hidup dalam kegiatan maupun tingkah laku orang-orang

44

koperasi.33

Jadi, dengan kata lain hakikat koperasi tidak ditentukan dari

nama maupun hak badan hukum yang diperolehnya dari pemerintah,

akan tetapi apakah asas dan prinsip-prinsipnya sudah merupakan

kenyataan yang diterapkan dalam setiap kegiatannya serta tingkah laku

koperasi dan anggotanya.

Berdasarkan hakikat tersebut maka dapat kita lihat bahwa

koperasi memiliki tujuan, sifat, nilai dan prinsip-prinsip serta jenis

koperasi. Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:

a. Pengertian Koperasi

Koperasi pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu unsur

ekonomi dan unsur sosial. Karena koperasi merupakan suatu sistem

dan sebagaimana diketahui sistem itu merupakan himpunan

komponen komponen atau bagian yang saling berkaitan yang secara

bersama sama berfungsi mencapai tujuan.

Tujuan yang dimaksud adalah tujuan ekonomi atau dengan

kata lain bahwa koperasi harus berdasarkan motif ekonomi yaitu

mencari keuntungan, sedangkan unsur sosial lebih untuk

menerangkan kedudukan anggota dalam organisasi, hubungan antar

sesama anggota dan hubungan anggota dengan pengurus, bukan

33 Ibid, h. 21.

45

dalam arti kedermawanan. Unsur sosial juga ditemukan dalam cara

koperasi yang demokratis, kesamaan derajat, kebebasan keluar masuk

anggota, calon anggota, persaudaraan, pembagian sisa hasil usaha

kepada anggota secara proposional dengan jasanya, serta menolong diri

sendiri.34

b. Sifat Koperasi

Koperasi memiliki sifat kerjasama, yaitu antara orang-orang

yang termasuk golongan kurang mampu dalam hal kekayaan yang

ingin meringankan beban hidup atau beban kerja. Persamaan

koperasi dengan bentuk usaha lain adalah sama-sama mengejar

suatu keuntungan kebendaan (stoffelijk voordeel). Perbedaannya

adalah bahwa biasanya koperasi didirikan oleh orang-orang yang benar-

benar memerlukan sekali kerjasama ini untuk mencapai suatu tujuan

yang dikehendaki dengan mendapat cukup keuntungan, tetapi mereka

berusaha untuk memperbesar keuntungan tersebut.

c. Nilai dan Prinsip-Prinsip Koperasi

Koperasi melandaskan nilai-nilai menolong diri sendiri,

bertanggungjawab kepada diri sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan

dan solidaritas. Berdasarkan pengaruh para pendirinya, para anggota

34 Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, 2004, Pekoperasian: Sejarah, Teori,

dan Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 9.

46

koperasi percaya pada nilai-nilai etis: kejujuran, keterbukaan,

tanggung jawab sosial dan peduli pada orang lain.

2. Pengertian Tindak Pidana Koperasi

Koperasi sebagai suatu badan hukum tidak bisa terlepas dari

kemungkinan melakukan suatu perbuatan pidana. Tindak pidana

merupakan suatu konsep yuridis yang berarti tingkah laku manusia

yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana. Dalam pengertian lain,

tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar perbuatan tersebut.35

Kata tindak pidana merupakan terjemahan dari “delik” yang berasal dari

bahasa Latin yakni delictum.36

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau perbuatan

melanggar hukum apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada

menentukanbahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Sutan

Remi Sjadeini mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tindak

pidana adalah perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang

berlaku ketika pelaku itu melakukan, baik perilaku tersebut berupa

melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana

35 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, h.1. 36 Leden Marpaung, 2003, Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Terhadap

Perbankan, Penerbit Djambatan, Jakarta, h. 5.

47

maupun tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh

ketentuan pidana.37

Seiring dengan perkembangan era globalisasi di segala bidang

kehidupan termasuk perkembangan ekonomi, keuangan,

perdagangan, perbankan dan sosialisasi yang pesat, telah membawa

implikasi hukum tertentu bagi Indonesia. Pertama, bagaimana

peranan hukum yang harus dikedepankan untuk mendukung

perubahan-perubahan kebijakan di berbagai sektor kehidupan

masyarakat Indonesia untuk masa kini dan mendatang. Kedua,

peranan hukum mana yang perlu dan mendesak dikedepankan untuk

mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dana masyarakat

era globalisasi.38

Koperasi sebagai suatu badan hukum tidak bisa terlepas dari

kemungkinan melakukan suatu perbuatan pidana. Tindak pidana

merupakan suatu konsep yuridis yang berarti tingkah laku manusia

yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana. Dalam pengertian lain,

tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

37

Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers,

Jakarta, h. 26-27. 38 Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media,

Jakarta, h.18.

48

hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar perbuatan tersebut.39

Koperasi mempunyai kedudukan yang kuat dan sangat penting di

dalam sistem perekonomian nasional Indonesia, karena koperasi

merupakan sokoguru perekonomian Indonesia, hal tersebut sebagaimana

yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 yang berbunyi

“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan”. Pasal tersebut secara implisit menunjukan bahwa

kedudukan koperasi sangat penting, karena koperasi merupakan badan

usaha yang berdasarkan azas kekeluargaan tersebut. Sehingga koperasi

diyakini dapat diandalkan untuk menopang perekonomian Indonesia.

Namun sampai saat ini penyalahgunaan koperasi kerap sekali terjadi,

terutama dilakukan oleh para pengurusnya, sehingga akhirnya secara

langsung akan merugikan anggotanya dan secara tidak langsung akan

merugikan pemerintah. Penyalahgunaan koperasi maksudnya adalah

penggunaan asset-asset koperasi oleh pihak-pihak tertentu, biasanya

oleh pengurus, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri dan bukan

untuk tujuan kemajuan atau keuntungan koperasi.

Tindak pidana koperasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh

pengelola/pengurus, terhadap orang lain yang telah bekerja sama dengan

39 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, h.1.

49

koperasi, tindak pidana koperasi yang dimaksudkan, dilakukan oleh

pengerus maupun anggota koperasi, dengan maksud untuk memperkaya

diri sendiri maupun kelompok dalam koperasi tersebut.

3. Tindak Pidana yang dapat dilakukan oleh Pengurus Koperasi

Ada beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus

koperasi, baik secara bersama-sama maupun sendiri, demi

kepentingannya, atau kelompok yang secara bersama-sama melakukan

tindak pidana, dan dalam melakukan penghimpunan dana dari

masyarakat yang sering terjadi adalah tindak pidana perbankan,

penggelapan dalam jabatan, dan beberapa tindak pidana yang diatur

dalam KUHP.

Terkait dengan tindak pidana perbankan, terdapat dua istilah yang

seringkali dipakai secara bergantian walaupun maksud dan ruang

lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah “Tindak Pidana Perbankan”

dan kedua, “Tindak Pidana di Bidang Perbankan”. Yang pertama

mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata dilakukan oleh

bank atau orang bank, sedangkan yang kedua tampaknya lebih netral

dan lebih luas karena dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh

50

orang di luar dan di dalam bank atau keduanya.40

Istilah “tindak pidana

di bidang perbankan” dimaksudkan untuk menampung segala jenis

perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-

kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada pengertian formal

dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada yang mendefinisikan secara

populer, bahwa tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang

menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) dan sasaran

tindak pidana itu (crimes against the bank).

Dalam hal terjadi suatu tindak pidana di bidang perbankan yang

dilakukan oleh orang dalam terdapat beberapa undang-undang yang

dapat dan biasanya diterapkan yaitu Pertama. Kitab Undang-undang

Hukum Pidana. Ketentuan KUHP yang biasa dipakai misalnya Pasal 263

(pemalsuan) Pasal 372 (penggelapan), 374 (penggelapan dalam jabatan),

378 (penipuan), 362 (pencurian).

40 Istilah “Tindak Pidana Di Bidang Perbankan dipergunakan oleh Brigjen Pol Drs.

HAK Moch Anwar, SH dan Prof Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Lihat, HAK Moch

inwar, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, (Bandung: Alumni,1986). Lihat juga Marjono

Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan Buku

Kesatu, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), h. 74.

51

a. Peraturan Di Dalam KUHP

Pasal 372 KUHP

“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memilikibarang

sesuatuyang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain,

tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam

karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun

atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” Dari

rumusan penggelapan sebagaimana diuraikan diatas, jika diuraikan

maka unsur-unsur sebagai berikut :

a) Unsur Objektif

1) Perbuatan Memiliki

Memiliki adalah melakukan penguasaan suatu benda yang

milik orang lain tersebut secara melawan hukum. Unsur melawan

hukum (wederrnechtelijk toeeigenen) ini merupakan hal yang

harus melekat adap ada perbuatan menguasai benda milik orang

lain tadi, dan dengan demikian harus pula dibuktikan. Menurut

van Bemmelen dan van Hattum, makna secara melawan hukum

dalam hal ini cukup dan bisa diartikan sebagai “bertentangan

dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat”.41

41 R. Soesilo dalam KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi

Pasal, Penerbit Politeia, Bogor, 1981, h. 223.

52

Perbuatan memiliki itu pada umumnya terdiri atas setiap

perbuatan yang menghapuskan kesempatan untuk memperoleh

kembali barang itu oleh pemilik yang sebenarnya dengan cara-cara

seperti menghabiskan, atau memindah tangankan barang itu,

seperti memakan, memakai, menjual, menghadiakan, menukan,

dalam hal-hal yang masih dimungkinkan memperoleh kembali

barang itu seperti pinjam-meminjam, menjual dengan hak membeli

kembali termasuk juga dalam pengertian memiliki, bahkan

menolak pengembalian atau menahan barang itu dengan

menyembunyikan sudah dapat dikatakan sebgaia perbuatan

memiliki.

2) Sesuatu Benda

Pada perbuatan penggelapan, barang yang menjadi objek

penggelapan adalah hanya terhadap benda-benda yang berwujud

dan bergerak saja, perbuatan memiliki terhadap benda yang ada

dalam kekuasaannya, tidak mungkin dilakukan pada benda-benda

yang tidak berwujud. Pengetian benda yang ada dalam dalam

kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan erat

degan benda itu yang sebgai indikatornya adalah apabila ia

hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu dia dapat

53

melakukakannya secara langsung tanpa harus melakukan

perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya benda-benda

berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada

benda-benda yang tidak berwujud dan tetap.42

3) Yang Sebagian atau Keseluruhan Milik Orang Lain

Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun

telah dilepaskan hak milinya tidak dapat menjadi objek

penggelapan. benda milik suatu badan hukum, seperti milik

negara adalah berupa benda yang tidak/bukan dimiliki oleh orang,

adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain, dalam arti bukan milik

petindak dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan.

orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi

objek pengelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah

korban, atau orang tertentu melainkan siapa saja asalkan bukan

pentindak sendiri. Arres HR menyatakan bahwa untuk

menghukum karena penggelapan tidak diisyaratkan bahwa

menurut hukum terbukti siapa pemilik barang itu.43

42 Adami Chazawi, Op. Cit. h. 77. 43 H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Khusus (KUHP Buku II), Alumni, Bandung,

1980, h. 40.

54

4) Yang Berada Dalam Kekuasaan Bukan Karena Kejahatan

Dalam unsur ini pelaku harus sudah menguasai barang dan

barang itu oleh pemilinya dipercayakan kepada pelaku, hingga

barang ada pada pelaku secara sah bukan karena kejahatan,

hubungan yang nyata antara pelaku dan barang diwujudkan

dengan barang ada di bawah kekuasaannya pelaku bukan karena

suatu kejahatan, sedangkan pada pencurian barang ada dalam

kekuasaan pelaku karena kejahatan dengan perbuatan

mengambilnya. Unsur ini dapat terdiri atas perbuatan meminjam,

menerima untuk disimpan, menerima untuk dijual, menerima

untuk diangkat.

b) Unsur Subjektif

1) Dengan Sengaja

Unsur kesengajaan bagian dari kesalahan yang dalam teori

hukum Pidana kesalahan mengandung 2 bentuk, yakni kesengajaan

dan kelalaian, dengan sengaja berarti pelaku mengetahui dan sadar

hingga ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau

dalam arti lain berarti ia menghendaki mewujudkan perbuatan dan

ia mengetahui, mengerti nilai perbuatannya serta sadar akan akibat

yang timbul dari perbuatannya itu atau apabila dihubungkan

55

dengan kesengajaan yang terdapat dalam rumusan tindak pidana

seperti pada penggelapan, maka kesengajaan dikatakan ada apabila

adanya suatu kehendak atau adanya suatu perbuatan dan atau

mengetahui atau menyadari akan akibat yang timbul dari

perbuatannya.

2) Melawan Hukum

Maksud memiliki dengan melawan hukum adalah, bahwa

sebelum melakukan perbuatan, ia sadar bahwa perbuatan yang

dilakukan adalah bertentangan dengan hukum. Pada dasarnya

melawan hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari

suatu perbuatan tertentu. Dikenal ada dua macam melawan hukum,

yaitu melawan hukum formil dan hukum materil, melawan hukum

formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis, sedangkan

melawan hukum materil ialah bertentangan dengan asas-asas

hukum didalam masyarakat.44

Pasal 374 KUHP

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang pengguasaannya

terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena

44 Op, cit, Adami Chazami, h. 15.

56

pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun.”

Faktor-faktor yang memberatkan pelaku didasarkan pada lebih

besarnya kepercayaan yang diberikan pada orang yang menguasai

benda yang digelapkan. Beberapa jenis kepercayaan digunakan sebagai

masalah-masalah yang memberatkan penggelapan dalam bentuk pokok,

yaitu hubungan pelaku yang diberi kepercayaan dengan orang lain yang

memberikan kepercayaan dalam suatu lingkungan.

Unsur-unsur yang memberatkan adalah

a) Hubungan kerja

Yang dimaksudkan dengan hubungan kerja adalah pekerjaan yang

terjadi karena suatu perjanjian kerja.

b) Mata Pencaharian

Yang dimaksudkan, adalah penggelapan yang dilalukan

dikarenakan jabatannya didalam pekerjaannya,

c) mendapat upah khusus

Yang dimaksudkan adalah, bahwa seseorang mendapat upah

tertentu berhubungan dengan kepercayaan yang diberikan karena

perjanjian oleh sebab diserahkan suatu benda.

57

Pasal 378 KUHP

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu,

dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan

orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya

memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena

penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Unsur-unsur dalam pasal 378 terbagi menjadi dua yaitu :

1. Subjektif

a. Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri

atau orang lain. Unsur ini menunjukkan bahwa pelaku

melakukan penipuan dengan sengaja dan mempunyai niat untuk

mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang lain.

Keuntungan tidak hanya berupa harta kekayaan saja, namun

juga dapat berupa sesuatu yang memberi keuntungan non-

materiil, seperti pembebasan piutang.

b. Secara melawan hukum. Unsur Melawan Hukum ini merupakan

perbuatan dimana pelaku menyadari bahwa perbuatan yang ia

lakukan tersebut dilarang oleh hukum, namun dengan sengaja

ia tetap melakukan perbuatan tersebut

58

2. Objektif

a. Menggerakkan orang lain.Unsur ini ditujukan kepada orang

yang menjadi korban, tujuan pelaku menggerakkan hati korban

untuk memberikan keuntungan kepadanya berupa sesuatu

barang/uang, atau memberikan utang, atau menghapus piutang.

b. Menggunakan berbagai cara. Unsur ini merupakan berbagai

bentuk upaya atau cara yang dilakukan pelaku terhadap korban

untuk mencapai tujuannya.

1) Nama Palsu: nama palsu adalah nama yang bukan

merupakan nama aslinya atau sebenarnya.

2) Martabat Palsu: Martabat palsu atau kedudukan palsu

merupakan kedudukan atau jabatan yang digunakan

pelaku,untuk menunjukan bahwa dirinya mempunyai hak

atau wewenang tertentu.

3) Tipu Muslihat: Satochid Kartanegara mengemukakan, tipu

muslihat ialah tindakan-tindakan yang sedemikian rupa,

sehingga dapat menimbulkan kepercayaan orang atau

memberi kesan pada orang yang digerakkan, seolah-olah

keadaannya sesuai dengan kebenaran.

4) Rangkaian Kebohongan: Maksud yaitu kata-kata atau

ucapan-ucapan yang menyesatkan atau berbeda dengan

59

kenyataannya diucapkan secara meyakinkan agar dipercaya

oleh korban atau orang yang digerakkan tersebut.45

b) Peraturan Di Luar KUHP:

1) Pasal 46 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

menyatakan :

1. Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan

pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling

lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp.

10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak

Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah).

2. Dalam hal kegiatan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan

terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan

terhadap badan badan dimaksud dilakukan baik terhadap

badan badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang

memberikan perintah melakukan perbuatan itu atau yang

45 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik – Delik Khusus Kejahatan Terhadap

Harta Kekayaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 167.

60

bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap

kedua-duanya.

2) Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang “Setiap Orang

yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,

membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar

negeri mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau

surat berhaga atau perbuatan lain atas Harta kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan

dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana

penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak

Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).

Berdasarkan UU No 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang. yang termasuk ke dalam unsur-unsur tindak pidana

pencucian uang adalah : Pertama, Setiap orang baik orang

perseorangan maupun korporasi dan personil pengendali koporasi.

Kedua, menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,

membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,

mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga

61

atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut

diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang. Ketiga, menerima atau menguasai penempatan,

pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,

atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut

diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (1) UU N0 8 Tahun 2010. Keempat, bertujuan

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi,

peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya

atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (1) UU No 8 tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang.