Upload
ngobao
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan Pada Wanita Infertilitas Primer
1. Pengertian Kecemasan
Secara umum, kecemasan adalah rasa khawatir, takut, yang tidak jelas
sebabnya. Pengaruh kecemasan terhadap tercapainya kedewasaan, merupakan
masalah penting dalam perkembangan kepribadian. Kecemasan merupakan
kekuatan besar dalam menggerakkan tingkah laku, baik tingkah laku normal
maupun tingkah laku menyimpang/terganggu. Kedua-duanya merupakan
pernyataan, penampilan, penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan itu
(Gunarsa & Gunarsa, 2008).
Menurut Nevid (2005), Anxietas/ kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan
aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang bururk
akan segera terjadi. Banyak hal uang dicemaskan misalnya, kesehatan kita, relasi
social, ujian, karir, relasi internasional dan kondisi lingkungan adalah beberapa hal
yang dapat menjadi sumber kekhawatiran, adalah normal, bahkan adaptif, untuk
sedikit cemas mengenai aspek-aspek hidup tersebut. Kecemasan bermanfaat bila
hal tersebut mendorong kita untuk melakukan pemeriksaan medis secara regular
atau memotivasi kita untuk belajar menjelang ujian. Kecemasan adalah respon
yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila
tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang
tanpa penyebab.
22
Kecemasan adalah suatu keadaan yang memotivasi individu untuk berbuat
sesuatu. Fungsinya adalah untuk memperingatkan adanya ancaman bahaya, yakni
sinyal dari ego yang akan terus meningkat jika tindakan-tindakan yang layak untuk
mengatasi ancaman tidak diambil. Apabila tidak bisa mengendalikan kecemasan
melalui cara-cara rasional dan cara-cara langsung, maka ego akan mengandalkan
cara-cara yang tidak realistik, yakni tingkah laku yang berorientasi pada
pertahanan ego atau defence mechanism (Corey, 2005).
Kecemasan adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan yang
disertai dengan menigkatnya ketegangan fisiologis. Suatu dorongan yang menjadi
perantara antara suatu situasi yang mengancam dan perilaku menghidar.
Kecemasan dapat diukur dengan self report, dengan mengukur ketegangan
fisiologis, dan dengan perilaku yang tampak (Davison, dkk. 2006).
Rachman (2004) mengatakan kecemasan adalah suatu bentuk ketegangan,
reaksi antisipasi terhadap situasi yang belum pasti, dan suatu perasaan yang
membuat seseorang menjadi khawatir. Peurifoy (2005) mengatakan bahwa
gangguan cemas seringkali dipicu oleh ancaman yang tidak pasti atau tidak jelas.
Gangguan cemas ini membuat seorang individu menjadi tidak bahagia,
takut dan menjadi pesimis, terlepas dari ada atau tidak adanya bahaya. Wolman
dan Sticker (1994) menggambarkan bahwa kecemasan akan menghambat
kemampuan individu untuk bertindak. Individu dengan gangguan cemas akan
menarik diri dari masyarakat dan secara perlahan-lahan akan berpengaruh terhadap
keberfungsian intelektual seseorang, khususnya dalam keberfungsian daya ingat
dan kemampuan individu dalam mengekspresikan sesuatu. Gangguan cemas
23
seringkali membuat individu merasa inferior, cepat marah, merugikan orang lain,
tetapi lebih banyak merugikan diri sendiri. Gangguan cemas dapat disebabkan oleh
penyakit fisik dan gangguan cemas juga dapat menyebabkan simtom psikosomatis
(Wolman & Sticker, 1994).
Menurut Chaplin (2001) kecemasan merupakan perasaaan campuran yang
berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab
khusus. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa kecemasan dimaksudkan untuk
menunjukkan suatu keadaan yang tidak tenang atau suatu kegelisahan. Hal ini
menggambarkan suatu respon yang berhubungan dengan fisik maupun psikologis
terhadap stimulus yang mengancam dirinya dan situasi tersebut menekan dirinya
atau dengan kata lain dia dipaksa untuk melakukan kegiatan diluar
kemampuannya. Dengan demikian, kecemasan menunjukkan pada suatu reaksi
emosi yang tidak menyenangkan.
Pendekatan Beck (2000) untuk menjelaskan tentang kecemasan, antara lain
sebagai berikut : (a) Anxiety atau fear. Perbedaan antara ketakutan (fear) dan
kecemasan (anxiety) yaitu ketakutan lebih mengarah pada kecemasan objektif yang
mengarah langsung pada objek-objek tertentu penyebab kecemasan tersebut.
Kebalikannya, kecemasan muncul dalam bentuk ketakutan yang tidak diketahui
penyebabnya. (b) State anxiety dan trait anxiety. State anxiety merupakan
kecemasan yang dialami individu dalam situasi dan dalam waktu tertentu.
Kecemasan ini sering dipahami sebagai emosi sementara yang dialami dalam
situasi tertentu.
24
Menurut Spielberger (dalam Thoren & Peterman, 2000), kecemasan adalah
reaksi emosional yang tidak menyenangkan terhadap bahaya nyata atau imaginer
yang di sertai dengan perubahan pada sistem saraf otonom dan pengalaman
subjektif sebagai “tekanan”, “ketakutan”, dan “kegelisahan”. State anxiety
didefinisikan sebagai emosi tidak menyenangkan karena dihadapkan dengan
sesuatu yang mengancam dan berbahaya. Lebih lanjut lagi, Spielberger
menggambarkan state anxiety seperti halnya menggambarkan kekhawatiran.
Khawatir menunjukkan komponen kognitif dari pengalaman kecemasan. Individu
merespon sesuatu yang mengancam dengan rasa khawatir tentang situasi bahaya
yang akan di hadapi dan mereka merasa tidak mampu untuk menghadapi hal yang
mengancam tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
kecemasan yang terjadi pada wanita infertilitas primer merupakan State anxiety
yaitu suatu bentuk emosi negatif yang menyebabkan individu merasa takut,
khawatir dan prihatin tentang sesuatu, yang sumbernya realistis maupun tidak, dan
pada akhirnya memotivasi individu untuk melakukan tindakan nyata sebagai
respon terhadap kecemasan yang ada. Kecemasan merupakan salah satu bentuk
reaksi terhadap adanya stres maupun frustasi.
2. Kecemasan pada Wanita Infertilitas Primer
Menikah secara bahasa adalah penggabungan atau pencampuran antara pria
dan wanita. Sedangkan secara istilah menikah adalah akad antara pihak pria dengan
wali wanita sehingga hubungan badan antara kedua pasangan pria dan wanita
menjadi halal. Perkawinan merupakan satu-satunya sarana yang sah untuk
25
membangun sebuah rumah tangga dan melahirkan keturunan, sejalan dengan fitrah
manusia (Indra dkk, 2004). Perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian
pertalian antara pria dan wanita yang berisi persetujuan hubungan dengan maksud
bersama-sama sesuai dengan hukum dan agama dan juga merupakan pintu gerbang
kehidupan yang wajar atau biasa dilalui oleh setiap individu (Latif, 2001).
Kecemasan berasal dari bahasa latin: angustus yang berarti sempit, mampat,
sesak serta ango dan anxi yang berarti tercekik, terikat, tersumbat. Pengertian secara
etimologis merupakan penggambaran keadaan individu yang mengalami
kecemasan yaitu tercekik, sesak dan mampat (Stern, 1964). Kecemasan adalah rasa
khawatir, takut, yang tidak jelas sebabnya. Pengaruh kecemasan terhadap
tercapainya kedewasaan, merupakan masalah penting dalam perkembangan
kepribadian. Kecemasan merupakan kekuatan besar dalam menggerakkan tingkah
laku, baik tingkah laku normal maupun tingkah laku menyimpang/terganggu.
kedua-duanya merupakan pernyataan, penampilan, penjelmaan dari pertahanan
terhadap kecemasan itu (Gunarsa & Gunarsa, 2008).
Anak begitu berharga sebagai pengikat keutuhan rumah tangga, meskipun
kenyataannya banyak juga pasangan dengan banyak anak bercerai. Kehadiran
seorang anak juga membuat pasangan suami istri memiliki keterkaitan dan
tanggung jawab untuk membesarkan, merawat dan mencintai bersama-sama. Jadi,
kehadiran anak secara tidak langsung akan semakin mendekatkan pasangan suami
istri (Widarjono, 2007). Menurut Alam dan Hadibroto (2007) pasangan suami istri
dianggap tidak subur apabila selama setahun berhubungan seks secara normal tanpa
kontr asepsi tidak terjadi kehamilan.
26
Menurut Widarjono (2007) perkawinan tanpa kehadiran anak seringkali
memicu persoalan tersendiri. Banyak keluarga atau pasangan suami istri yang sulit
mendapatkan anak dan terus berusaha agar mempunyai keturunan. Kehadiran
seorang anak juga membuat suami istri memiliki keterkaitan dan tanggung jawab
untuk membesarkan, merawat dan mencintai bersama-sama. Jadi kehadiran anak
secara tidak langsung akan semakin mendekatkan pasangan suami istri. Taher
(2007) mengatakan keadaan pasangan yang sudah menikah lebih dari setengah
tahun tanpa kontrasepsi dan tidak mempunyai anak, dalam ilmu kedokteran disebut
dengan infertilitas. Walaupun masalah infertilitas tidak berpengaruh pada aktivitas
fisik sehari-hari dan tidak mengancam jiwa, bagi banyak pasangan hal ini
berdampak besar terhadap kehidupan berkeluarga.
Kecemasan pada wanita yang belum memiliki keturunan sangat berperan
dalam masalah kehidupan selanjutnya. Wanita adalah pihak yang sering kali
mengalami perasaan tertekan pada pasangan infertilitas (Taher, 2007). Perbedaan
tekanan psikologis pada istri juga terlihat pada hasil penelitian yang menyatakan
istri secara signifikan mengalami stres 31%, kecemasan 69%, dan depresi 39%, dan
suami yang mengalami stres 23%, kecemasan 19%, dan depresi 19%. Gangguan
psikologis yang dialami dapat menghambat kehamilan. Tekanan jiwa pada istri
akan menyebabkan terganggunya ovulasi, sel telur tidak bisa diproduksi, dimana
menyebabkan saluran telur mengalami spasme sehingga sulit dilewati sel telur atau
spermatozoa.
27
Kesulitan memiliki keturunan disebut juga dengan istilah infertilitas.
Infertilitas dapat dikategorikan kepada suatu gangguan sistem reproduksi yang
didefinisikan sebagai kegagalan reproduktif untuk mencapai kehamilan setelah 12
bulan atau lebih melakukan hubungan intim tanpa menggunakan alat kontrasepsi
(Zegers-Hochschild,dkk 2009). Menurut Muryanta (2012), infertilitas primer,
merupakan suatu keadaan Pasangan Usia Subur (PUS) yang sudah melakukan
hubungan intim secara teratur (2‐3 kali seminggu) satu minggu sebelum ovulasi
terjadi tanpa menggunakan kontrasepsi selama satu tahun, tetapi masih belum juga
terjadi kehamilan. Dengan kata lain, kondisi istri yang belum pernah hamil
walaupun pasangan suami istri tersebut melakukan hubungan seksual secara tetap
atau berkesinambungan selama lebih dari 12 bulan.
Kecemasan adalah suatu respon yang umum, normal, dan sering berguna
ketika menghadapi tantangan dan bahaya. Tetapi pada orang yang mengalami
kecemasan pada tingkat yang lebih tinggi atau mengganggu, akan menyebabkan
munculnya gejala psikologis dan fisiologis yang mengganggu keberfungsiannya.
Gejala psikologis yang muncul seperti lekas marah (sensitif), takut yang berullang,
khawatir, sulit berkonsentrasi, dan perasaan tidak menentu. Sedangkan gejala
fisiologis yang muncul seperti berkeringat, mulut kering, merasa kepanasan atau
kedinginan, pusing, jantung berdebar kencang, otot tegang, gemetar, mual dan
gelisah (Swartz, 2007).
Kecemasan adalah rasa takut yang tidak jelas disertai dengan ketidak
pastian, ketidakberdayaan, isolasi, dan ketidakamanan (Stuart, 2016). 74,6% wanita
infertil dilaporkan mengalami perubahan suasana hati, merasa tidak berdaya karena
28
durasi infertilitas yang dialaminya (Ramezanzadeh dkk, 2014). Wanita infertil
merasa berkurang feminitas yang dapat mengganggu harga diri dan citra dirinya
sedangkan perasaan cemas membuat mereka sulit untuk berbagi perasaan dengan
kerabat, sehingga muncullah perasaan kesepian dan tertekan, yang lebih lanjut
membuat mereka menarik diri atau mengisolasi diri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa wanita dengan infertilitas
banyak mengalami perubahan secara psikologis. Seperti perubahan suasana hati
yang dimana kecenderungan merasa khawatir terhadap diri sendiri dan masa depan
yang akan dilalui, timbulnya pemikiran-pemikiran negatif akibat dari respon
ketakutan, kekhawatiran belum munculnya kehadiran seorang anak. Serta merasa
minder dan rendah diri ketika suami, orangtua ataupun oranglain yang bertanya
tentang kehamilannya.
3. Proses Terjadinya Kecemasan
Dalam menjelaskan teori kecemasan dasar dan sesaat (tarit-state anxiety),
Speilberger (1972) menyajikan suatu bagan untuk mengklasifikasikan variabel-
variabel utama yang harus dipertimbangkan dalam penelitian di bidang kecemasan
serta kemungkinan-kemungkinan mengenai hubungan antara variabel tersebut.
Pada bagan kecemasan dasar dan kecemasan sesaat, menunjukkan bahwa pada
kecemasan dasar tidak bergantung pada stresor. Berbeda halnya dengan kecemasan
sesaat yang kemunculannya bergantung pada ada atau tidaknya stressor. Adanya
stresor sebagai rangsang baik internal maupun eksternal akan melalui proses
penilaian yang disebut dengan “cognitive appraisal“ atau yang sering disebut juga
sebagai penilaian kognitif yang dipengaruh oleh beberapa hal. Hal-hal yang
29
mempengaruhi penilaian kognitif adalah sikap, kemampuan pengalaman masa
lalu,dan kecemasan dasar dalam diri individu.
Menurut Spielberger (1972) terdapat dua bentuk stressor yang dapat
memberikan implikasi yang berbeda terhadap individu yang berbeda, berkaitan
dengan tingkat trait anxiety dalam diri individu :
a. Individu dengan tingkat kecemasan dasar yang tinggi akan menganggap
keadaan dimana individu tersebut sedang atau akan dinilai, sebagai keadaan
yang mengancam bila dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat
kecemasan dasar yang rendah.
b. Keadaan yang dikarakteristikan secara fisik membahayakan, tidak
mengakibatkan perbedaan reaksi pada siri individu yang memiliki tingkat
kecemasan dasar yang tinggi maupun yang rendah, artinya keduanya akan
menampilkan reaksi yang sama.
Perbedaan tingkat kecemasan sesaat akan terjadi bila yang menjadi ancaman
tersebut berupa ancaman terhadap harga dirinya, sedangkan keadaan yang secara
fisik benar-benar mengancam tingkat kecemasan sesaatnya tidak berbeda. Asumsi-
asumsi dari teori kecemasan dasar sesaat Spilberger dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a. Dalam situasi yang ditandai individu sebagai keadaan yang mengancam,
maka reaksi A-State akan tergugah. Melalui mekanisme umpan balik
sensoris dan kognitif, taraf anxiety state yang tinggi dialami sebagai keadaan
yang tidak menyenangkan.
30
b. Intensitas suatu reaksi A-State akan sebanding dengan besarnya ancaman
yang dihadapi.
c. Lamanya reaksi A-State tergantung pada intepretasi individu mengenai
apakah keadaan tersebut sebagai keadaan yang membahayakan atau tidak.
d. Individu dengan A-Trait yang tinggi akan menganggap situasi atau keadaan
yang berkaitan dengan kegagalan dan ancaman-ancaman terhadap harga diri
sebagai keadaan yang lebih mengancam dibandingkan individu dengan A-
Trait rendah.
e. Peningkatan dalam A-State memiliki unsur penggerak yang tercermin secara
langsung dalam tingkah laku atau yang menggerakkan defense-defense
psikologis (defense mechanism) yang di masa lalu efektif dalam mengurangi
A-State. Situasi stressfull yang sering dihadapi, dapat mengakibatkan
berkembangnya suatu pola usaha tertentu atau defense mechanism untuk
mengurangi taraf A-State.
Terjadinya state anxiety melalui beberapa proses yang bertahap. Proses
tersebut adalah sebagai berikut :
1) State anxiety merupakan tingkah laku cemas yang tampak pada individu.
State anxiety terjadi karena adanya rangsang yang mengenai individu dan
diri individu tersebut.
2) Rangsang itu dianggap sebagai suatu rangsang yang berbahaya dan
mengancam. Rangsang tersebut dapat berasal dari luar ataupun dari dalam
diri individu.
31
3) Penilaian individu terhadap rangsang yang berbahaya dipengaruhi oleh
pengalaman dan keberhasilan individu tersebut dalam mengatasi rangsang
sejenis dengan menggunakan mekanisme pertahanan diri, perasaan
subjektif individu terhadap bayangan-bayangan yang mencemaskan
terhadap rangsang yang dihadapinya dan juga dipengaruhi oleh besar
kecilnya trait anxiety yang berbeda antara individu yang satu dengan
individu yang lain.
4) Suatu stresor yang tidak mendapat makna subjektif sebagai hal yang
mengancam tidak akan menimbulkan state anxiety pada individu dan
tingkah laku cemas tidak akan muncul. Sedangkan stresor yang mempunyai
makna mengancam akan meningkatkan trait anxiety, baik pada individu
yang kecemasan dasarnya besar maupun yang kecemasan dasarnya (trait
anxiety) kecil. Akan tetapi peningkatan trait anxiety tidak secara otomatis
merupakan peningkatan state anxiety individu juga.
5) Penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat dapat meredakan
peningkatan trait anxiety. Hal ini mungkin tidak meningkatkan state
anxiety individu dan tingkah laku yang ditampilkan individu bukan
merupakan tingkah laku cemas sekalipun individu mempunyai state
anxiety yang besar. Intensitas tergugahnya state anxiety sebanding dengan
besar kecilnya ancaman yang dihayati individu. Semakin besar ancaman
yang dirasakan, semakin besar intensitas state anxiety. Sedangkan lamanya
suatu rangsang dirasakan mengancam tergantung pada pengalaman
individu dalam menghadapi situasi tersebut di masa lalu.
32
6) State anxiety yang tergugah akan mengaktifkan sistem syaraf otonom
dalam diri individu sehingga terjadi reaksi-reaksi fisiologis tubuh tertentu.
Individu yang dihadapkan pada rangsang yang mengancam dan
meningkatkan kecemasan sesaatnya akan berusaha untuk mengindari dan
mereduksi kecemasan tersebut sebagai upaya untuk menyesuaikan diri.
Dari uraian mengenai proses terjadinya kecemasan, maka dapat
disimpulkan bahwa proses terjadinya kecemasan ada dua proses mendasar yakni
kecemasan dasar dan sesaat (tarit-state anxiety). Kecemasan dasar dan kecemasan
sesaat, menunjukkan bahwa pada kecemasan dasar (trait anxiety) tidak bergantung
pada stresor. Berbeda halnya dengan kecemasan sesaat (state anxiety) yang
kemunculannya bergantung pada ada atau tidaknya stresor.
4. Aspek-aspek Kecemasan
Kecemasan dapat diketahui melalui aspek-aspek kecemasan. Berikut ini
terdapat dua pendapat mengenai aspek dari kecemasan. Nevid, Rathus dan Greene
(2005) membagi aspek kecemasan dalam tiga aspek, yaitu:
a. Aspek fisik
Seseorang yang mengalami kecemasan dapat tercermin dari kondisi
fisiknya, seperti tangan bergetar, muncul banyak keringat, kesulitan berbicara,
suara bergetar, timbul keinginan buang air kecil, jantung berdebar lebih keras,
kesulitan bernafas, merasa lemas, atau pusing.
b. Aspek kognitif
Kecemasan dapat ditandai dengan adanya ciri kognitif seperti sulit untuk
berkonsentrasi, berpikir tidak dapat mengendalikan masalah, ketakukan, tidak biasa
33
menyelesaikan masalah, adanya rasa khawatir, ketakutan akan terjadi sesuatu
dimasa depan, timbul perasaan terganggu, atau adanya keyakinan yang muncul
tanpa alasan yang jelas bahwa akan segera terjadi hal yang mengerikan.
c. Aspek perilaku
Kecemasan yang dialami seseorang dapat terlihat dari perilakunya. Perilaku
individu yang mengalami kecemasan seperti mengindar, melekat dan dependen,
dan perilaku terguncang.
Pendapat kedua diungkapkan oleh Clark (2010) yang menyebutkan empat
aspek sebagai penanda kecemasan, meliputi:
a. Aspek afektif
Ciri afektif dari kecemasan merupakan perasaan seseorang yang mengalami
kecemasan, seperti gugup, tersinggung, takut, tegang, gelisah, tidak sabar, atau
kecewa.
b. Aspek fisiologis
Ciri fisiologis merupakan ciri dari kecemasan yang terjadi di fisik seseorang
seperti peningkatan denyut jantung, sesak napas, napas cepat, nyeri dada, sensasi
tersedak, pusing, berkeringat, kepanasan, menggigil, mual, sakit perut, diare,
gemetar, kesemutan atau mati rasa di lengan atau kaki, lemas, pingsan, otot tegang
atau kaku, dan mulut kering.
c. Aspek kognitif
Ciri kognitif merupakan ciri yang terjadi dalam pikiran seseorang saat
merasakan kecemasan. Ciri ini dapat berupa takut akan kehilangan kontrol, takut
tidak mampu mengatasi masalah, takut evaluasi negatif oleh orang lain, adanya
34
pengalaman yang menakutkan, adanya persepsi tidak nyata, konsentrasi rendah,
kebingungan, mudah terganggu, rendahnya perhatian, kewaspadaan berlebih
terhadap ancaman, memori yang buruk, kesulitan dalam penalaran, serta kehilangan
objektivitas.
d. Aspek perilaku
Ciri perilaku dari kecemasan tercermin dari perilaku individu saat
mengalami kecemasan, seperti menghindari situasi atau tanda yang mengancam,
melarikan diri, mencari keselamatan, mondar-mandir, terlalu banyak bicara,
terpaku, diam, atau sulit berbicara.
Pendapat ketiga menurut Blackburn & Davidson (2006), mengatakan
kecemasan terdiri dari aspek kognitif, emosional dan fisiologis.
a. Aspek fisiologis, diketahui dari munculnya reaksi-reaksi tubuh tertentu
yang sebagian besar merupakan hasil kerja sistim syaraf otonom yang
mengontrol berbagai otot dan kelenjar tubuh. Jika pikiran individu dikuasai
oleh kecemasan maka sistim syaraf otonom akan berfungsi dan akan muncul
gejala-gejala fisik seperti jantung berdebar-debar, tekanan darah meningkat,
nafas menjadi cepat dan terjadi gangguan pencernaan.
b. Aspek emosional, yaitu komponen kecemasan yang berkaitan dengan reaksi
afektif. Komponen ini ditunjukkan dengan munculnya kondisi perasaan
yang tidak menyenangkan. Seperti kegugupan, kegelisahan dan ketegangan.
c. Aspek kognitif, yang ditunjukkan dengan adanya kekuatiran individu
terhadap konsekuensi-konsekuensi negatif yang mungkin akan dialaminya
atau adanya harapan yang negatif. Jika kekuatiran ini meningkat, maka
35
kemungkinan akan mengganggu kemampuan individu untuk berfikir jernih,
memecahkan masalah dan memenuhi tuntutan lingkungan.
Pada penelitian ini kecemasan diungkap menggunakan skala Taylor
Manifest Anxiety Scale atau TMAS. Skala tersebut diciptakan oleh James Taylor
dan merupakan salah satu bentuk tes inventori psikologis yang digunakan untuk
mengetahui taraf kecemasan. Skala TMAS telah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia, dan sering digunakan pada penelitian untuk mengetahui tingkat
kecemasan subjek sebagai reaksi umum dari ketidakmampuannya mengatasi
masalah ataupun reaksi dari tidak adanya rasa aman (Subandi, 2002).
Skala TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) digunakan untuk mendeteksi
gambaran reaksi-reaksi kronik terhadap kecemasan, antara lain adanya ketegangan
yang terus menerus baik pada jaringan otot-otot bagian luar maupun jaringan organ
visceral (sistem pernafasan, sirkulasi). Banyak pula dari butir- butir yang
menunjukkan gejala kecemasan yang mencolok seperti berkeringat, muka
kemerahan, keguncangan, gemetaran, dan lain-lain. Sebagian mengandung
keluhan-keluhan somatik seperti mual, pusing, diare, gangguan lambung, dan lain-
lain. Butir-butir lainnya menunjukkan konsentrasi, perasaan eksitasi atau tidak bisa
istirahat, menurunnya kepercayaan diri, sensitivitas ekstra terhadap orang lain,
perasaan akan bahaya dan tidak berguna. TMAS juga dapat mengungkap:
a) Variasi tingkat dorongan yang dimilki seseorang, yang berhubungan
dengan internal anxiety atau emotionality.
36
b) Intensitas kecemasan, yang diketahui dari tingkah laku yang tampak
keluar atau yang di manifestasikan malalui gejala-gejala reaksi
kecemasan (Subandi, 2002).
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang
mengalami kecemasan terjadi atas beberapa aspek yaitu aspek afektif, aspek fisik,
aspek kognitif dan aspek perilaku. Walaupun demikian tidak semua instrumen
pengukuran yang disusun oleh para ahli dalam mengungkap aspek kecemasan
semuanya terpenuhi. Beberapa alat ukur mengungkap komponen kognitif atau
afektif saja, sementara yang lain mengungkap baik komponen afektif maupun
behavioral. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan aspek kecemasan sesuai
dengan alat ukur yang digunakan yaitu skala TMAS yang diadaptasi oleh Subandi
(2002), adapun aspek yang diukur yaitu fisiologis merupakan aspek fisik dan aspek
psikologis mencakup aspek kognitif, emosi dan perilaku.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Faktor yang dapat menjadi pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal
dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar dirinya (faktor eksternal).
Pencetus ansietas menurut Asmadi (2008) dapat dikelompokan ke dalam dua
kategori yaitu (Asmadi, 2008):
a. Ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidak mampuan fisiologis atau
gangguan dalam melakukan aktifitas sehari-hari guna pemenuhan terhadap
kebutuhan dasarmya.
37
b. Ancaman terhadap sistem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat mengancam
terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan status/peran diri, dan
hubungan interpersonal.
Menurut Hawari (2006) mekanisme terjadinya cemas yaitu psiko-neuro-
imunologi atau psiko-neuro-endokrinolog. Stresor psikologis yang menyebabkan
cemas adalah perkawinan, orangtua, antar pribadi, pekerjaan, lingkungan,
keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik, faktor keluarga, dan trauma.
Akan tetapi tidak semua orang yang mengalami stresor psikososial akan mengalami
gangguan cemas hal ini tergantung pada struktur perkembangan kepribadian diri
seseorang tersebut yaitu usia, tingkat pendidikan, pengalaman, jenis kelamin,
dukungan sosial dari keluarga, teman, dan masyarakat.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kecemasan menurut Macher (2003)
memaparkan bahwa ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan
kecemasan pada manusia. Faktor-faktor tersebut diantaranya:
a. Genetik
Penelitian telah membuktikan bahwa faktor hereditas terutama fungsi neurologi
memiliki predisposisi terhadap munculnya reaksi psikologis dan simtom
kecemasan di dalam kontek lingkungan yang asing. Reaksi neurologis ini mungkin
bisa menjadi satu atau lebih gangguan kecemasan.
b. Psikologis
Beberapa penelitian mengungkapkan konsep anxiety sensitivity (AS). AS
didefenisikan sebagai respon individu terhadap perubahan psikologis yang
diasosiasikan dengan kecemasan atau ketakutan. AS sangat terkait dengan bias
38
yang terjadi pada proses kognitif individu. AS kemudian menjadi trait yang
abnormal pada individu dan mempertinggi kemungkinan munculnya gangguan
kecemasan pada individu. Selain itu faktor lainnya yang memunculkan kecemasan
adalah perkembangan temperamen individu, insecure attachment antara anak
dengan pengasuh, pola asuh yang overprotective, kritik yang tajam,dan kurangnya
kehangatan dalam perkembangan individu dapat menjadi pemicu munculnya
gangguan kecemasan pada anak-anak.
c. Lingkungan
Sementara itu, faktor lingkungan yang dapat memicu berkembangnya
gangguan kecemasan meliputi kemiskinan, pemaparan terhadap kekerasan, sosial
isolation dan tidak adanya hubungan interpersonal yang secara signifikan memiliki
makna bagi individu tersebut. Selain itu, munculnya stres karena pola adaptasi yang
gagal pada individu juga dapat menjadi faktor pemicu kecemasan. Faktor lainnya
yang juga berpengaruh terhadap munculnya kecemasan adalah peristiwa hidup
yang negatif (negative life event) dan ketidakpastian akan sesuatu.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya kecemasan antara lain bisa terjadi secara internal (dari
dalam diri) maupun dari faktor eksternal (luar diri), faktor genetik, psikologis
maupun dari faktor lingkungan.
6. Pendekatan Psikologis & Teknik Menurunkan Kecemasan
Berbagai pendekatan diciptakan untuk menangani gangguan-gangguan
kecemasan. Pendekatan-pendekatan psikologis mungkin berbeda satu sama lain
39
dalam teknik-tektik dan tujuannya. Menurut Nevid dkk (2005), teknik-teknik yang
bisa dilakukan untuk menurunkan kecemasan antara lain:
a. Pendekatan Psikoanalisa
Psikodinamika tradisonal menyadarkan bahwa kecemasan klien merupakan
simbolisasi dari konflik dalam diri klien, dengan adanya simbolisasi ini, ego
dapat dibebaskan dari menghabiskan energi untuk melakukan represi.
Dengan demikian ego dapat lebih memberi perhatian kepada tugas-tugas
yang lebih kreatif dan memberi peningkatan. Psikodinamika juga
menyadarkan klien mengenai sumber-sumber konflik yang berasal dari
keadaan hubungan sekarang ini dari pada hubungan dimasa lampau, dan
mendorong klien untuk mengembangkan tingkah laku yang lebih adaptif.
Menurut Jarvis (2006) teknik sederhana terapi psikodinamika adalah
asosiasi bebas (free association). Klien membicarakan apa saja yang
muncul dalam pikirannya. Dasarnya hal-hal yang sesungguhnya ada di
dalam benak klien akan muncul dan mengungkapkan kecemasan dan
konflik-konflik bawah sadar. Keberhasilan dengan menggunakan
pendekatan psikodinamika yang pernah dilakukan oleh Widya Hiltraut
(2013) yaitu art therapy untuk menurunkan kecemasan pada anak yang baru
memasuki panti asuhan. Penerapan art therapy dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan psikodinamik yang dikembangkan oleh Jung.
Pendekatan ini menjelaskan bahwa semua perilaku pada diri seseorang
dapat dijelaskan dengan konflik yang terjadi di bawah sadar. Melalui art
therapy seseorang dapat melepaskan ketidaksadarannya yang berisi hal-hal
40
seperti ketakutan-ketakutan, tekanan, hal-hal yang tidak dapat diterima
secara sadar baik bagi diri orang tersebut maupun bagi lingkungan sosial.
b. Pendekatan Humanistik
Terapi humanistik bertujuan membantu orang untuk memahami dan
mengekspresikan bakat-bakat serta perasaan-perasaan mereka yag
sesungguhnya, dan tidak bereaksi dengan kecemasan bila perasaan-
perasaan mereka yang sesungguhnya dan kebutuhan-kebutuhan mereka
mulai muncul keperermukaan. Menurut Jarvis (2006) pendekatan
humanistik benar-benar non-direktif dengan cara tidak meminta klien
memusatkan pada hal-hal yang sudah dikatakan ataupun menjelaskannya.
Klien akan disemangati agar terus berbicara dengan keyakinan bahwa pada
akhirnya akan menemukan jawabanya.
c. Pendekatan Biologis
Berbagai variasi obat-obatan yang dipakai untuk mengobati gangguan-
gangguan kecemasan. Diantara obat-obatan yang banyak dipakai adalah
penenang ringan seperti golongan benzodiazepine dan xanax. Meskipun
obat tersebut mempunyai efek menenangkan, tetapi dapat mengakibatkan
dependensi fisik (adiksi).
d. Pendekatan Kognitif Perilaku
Terapi kognitif dari Beck berusaha untuk mengidentifikasi dan mengoreksi
keyakinan-keyakinan yang disfungsional atau terdistorsi. Terapi kognitif
membantu klien mencari pikiran-pikiran self-defeating dan mencari
alternative rasional sehingga mereka bisa belajar menghadapi situasi-situasi
41
pembangkit kecemasan. Telah banyak penelitian terapi kognitif perilaku
untuk menurunkan kecemasan salah satunya penelitian yang dilakukan oleh
Irawaty (2011) menggunakan terapi kognitif perilaku untuk menurunkan
kecemasan pada orang dengan HIV/AIDS. Andhika (2012) juga melakukan
intervensi terapi kognitif perilaku dalam kelompok untuk kecemasan sosial
pada remaja putri yang mengalami obesitas. Selain itu teknik terapi kognitif
untuk menurunkan kecemasan juga dilakukan pada Apriliya dkk (2015)
menggunakan terapi relaksasi untuk menurunkan kecemasan pada penderita
kanker payudara dan penelitian Putri (2012) menggunakan inervensi
kelompok cognitive behavioral therapy (CBT) untuk menurunkan
kecemasan pada lansia.
Dari berbagi penjelasan menurut pendekatan-pendekatan psikologis pada
penelitian ini menggunakan pendekatan kognitif perilaku. Sesuai dengan fakta yang
ditemukan di lapangan sesuai dengan kondisi subjek. Peneliti menemukan ada
banyak penyimpangan-penyimpangan pada pemikiran yang dialami oleh wanita
dengan infertilitas sehingga menghasilkan reaksi psikologis dan fisiologis yang
berindikasi pada kecemasan. Wanita dengan infertilitas sering memunculkan
pemikiran-pemikiran negatif seperti khawatir tidak bisa memberikan keturunan
pada suami, khawatir suami akan berpaling, khawatir terhadap masa tua, perasaan
kesepian, tertekan serta berkecil hati ketika ada orang yang bertanya tentang
kehamilannya. Untuk itulah diperlukan suatu terapi yang dapat memunculkan
pemikiran positif klien mengenai infertilitas yang mereka alami agar dapat
mengurangi kecemasan mereka. Salah satu terapi yang efektif untuk kecemasan dan
42
memfokuskan pada pemikiran atau keyakinan negatif dan perubahan perilaku
adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT). Para terapis kognitif behavior
mempercayai fikiran menjadi penyebab masalah emosional dan perilaku, fokus
pendekatan ini adalah merubah cara berfikir.
7. Intervensi/ Cara-Cara Menurunkan Kecemasan
Ada banyak penelitian mengenai cara penanganan terhadap kecemasan
yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Salah satunya adalah penelitian
yang dilakukan oleh Penelitian intervensi Group Cognitive Behaviour Therapy juga
dilakukan oleh Wetherel, Lenze dan Stanley (2005). Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa terapi kognitif perilaku kelompok ini efektif untuk
menurunkan simtom kecemasan dan depresi. Efektifitas terapi kognitif perilaku
dalam mengurangi kecemasan juga lebih besar jika dibandingkan dengan diskusi
kelompok atau kelompok yang diminta untuk menunggu (waiting list) sebelum
diberikan intervensi. Shifatul (2014) yang menggunakan metode terapi spiritual
emotional freedom technique untuk menurunkan kecemasan. Kemudian Annisa
Maimunah (2011) menggunakan terapi dzikir untuk mengatasi kecemasan pada ibu
hamil. Penelitian yang dilakukan oleh Yunita Sumakul (2014) dengan
menggunakan terapi mindfulness utuk penurunan kecemasan pada ibu hamil. Pada
penelitian ini peneliti akan menggunakan terapi yang salah satunya adalah terapi
kognitif perilaku dimana terapi ini sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh
peneliti terdahulu seperti penelitian yang dilakukan oleh terapi kognitif perilaku
untuk menurunkan kecemasan orang dengan deiabetes mellitus tipe 2 oleh
Risnawati (2011), kemudian Irawaty (2011) menggunakan terapi kognitif perilaku
43
untuk menurunkan kecemasan pada orang dengan HIV/AIDS. Dera Andhika
(2012) juga melakukan intervensi terapi kognitif perilaku dalam kelompok untuk
kecemasan sosial pada remaja putri yang mengalami obesitas. Selain itu teknik
terapi kognitif untuk menurunkan kecemasan juga dilakukan pada Apriliya dkk
(2015) menggunakan terapi relaksasi untuk menurunkan kecemasan pada penderita
kanker payudara, serta, penelitian Putri (2012) yang menggunakan inervensi
kelompok cognitive behavioral therapy (CBT) untuk menurunkan kecemasan pada
lansia.
Berdasarkan uraian diatas ada banyak teknik pendekatan yang digunakan
untuk menurunkan kecemasan. Mulai dari pendekan psikoanalisa, humanistik,
biologis dan kognitif perilaku. Pada penelitian ini peneliti akan mengunakan salah
satu teknik pendekatan yaitu pendekatan kognitif perilaku yaitu cognitive
behavioral therapy, hal ini diambil berdasarkan data yang ada dilapangan yang
sesuai dengan kondisi subjek.
B. Cognitive Behavioral Therapy
1. Pengertian Cognitive Behavioural Therapy (CBT)
CBT adalah bentuk psikoterapi yang menekankan pentingnya peran pikiran
dalam bagaimana kita merasa dan apa yang akan kita lakukan. CBT ada bukan
sebagai tehnik terapetik yang jelas. Istilah “Cognitive behavioral Therapy”
merupakan istilah yang sangat luas untuk kelompok terapi yang sejenis. Ada
beberapa pendekatan terhadap CBT, meliputi Rational Emotive Behavioral
44
Therapy, Rational Living Therapy, Cognitive Therapy, dan Dialectic Behavior
Therapy (NACBT, 2008).
Cognitive Behavioural Therapy (CBT) merupakan sebuah perlakuan
psikologis yang ditujukan pada interaksi antara cara individu berpikir, merasa, dan
berperilaku. CBT merupakan proses mengajarkan, melatih dan memperkuat
tingkah laku positif. CBT membantu individu mengidentifikasi pola kognitif atau
pemikiran serta emosi yang berkaitan dengan perilaku (Somers, 2007).
CBT pada masa modern memiliki dua pengaruh utama, yaitu behavior
therapy (terapi perilaku) yang dikembangkan oleh Wolpe pada masa 1950-an dan
1960-an; dan kedua yaitu cognitive therapy (terapi kognitif) yang dikembangkan
oleh Beck pada masa 1960-an yang kemudian lebih terkenal dengan ‘revolusi
kognitif’ pada masa 1970-an. Terapi perilaku pada awalnya merupakan reaksi
menentang teori psikodinamik Freudian yang mendominasi terapi psikologis sejak
abad ke 19. Terapi perilaku menghindari spekulasi mengenai proses-proses
ketidaksadaran, motif-motif tersembunyi, dan struktur pikiran yang tidak bisa
diobservasi. Terapi perilaku kemudian menjadi sangat sukses, terutama untuk
menangani anxiety disorders, seperti phobia dan obsessive compulsive disorders
(OCD).
Lesmana (2009) menjelaskan terapi kognitif perilaku sebagai suatu
pendekatan yang memperhatikan perubahan kognisi dan tingkah laku.
Lesmana (2009), mengatakan bahwa terapi kognitif-perilaku memiliki
tiga proporsi fundamental yang sama, yaitu (1) aktivitas kognitif
mempengaruhi perilaku; (2) aktivitas kognitif dapat dipantau atau diubah;
45
dan (3) perubahan perilaku yang diharapkan dapat dipengaruhi melalui
pengubahan kognitif. Mohiney dan Arnkoff (dalam Lesmana, 2009)
membagi terapi kognitif perilaku menjadi tiga berdasarkan fokus tujuan
terapi, diantaranya:
a. Cognitive restructuring. Tujuan dari terapi ini adalah untuk
menimbulkan pola pikir yang adaptif.
b. Coping skills therapies. Tujuan dari terapi ini adalah fokus kepada
pengembangan repertoire of skills yang dirancang untuk
membantu individu menghadapi berbagai macam situasi yang
penuh stres.
c. Problem solving therapies. Terapi ini menekankan pengembangan
strategi umum untuk menghadapi berbagai macam masalah
pribadi dan menekankan pentingnya kolaborasi aktif antara klien
dan terapis dalam perencanaan program treatment.
Dari penjelasan beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa Cognitive
Behavioral Therapy merupakan sebuah perlakuan psikologis yang ditujukan pada
interaksi antara cara individu berpikir, merasa, dan berperilaku. CBT merupakan
proses mengajarkan, melatih dan memperkuat tingkah laku positif. CBT membantu
individu mengidentifikasi pola kognitif atau pemikiran serta emosi yang berkaitan
dengan perilaku.
46
2. Group Cognitive Behavioral Therapy
Proverb (2004) mengatakan bahwa group therapy atau terapi kelompok
yang efektif dapat membantu klien untuk meningkatkan self-responsibility,
meningkatkan kesiapan individu untuk berubah, membangun suatu bentuk
dukungan untuk pemulihan dan perubahan, mengakui adanya perilaku yang
destruktif, dan mampu mengatasi ketidaknyamanan yang ada di dalam diri. Yalom
(dalam Proverb, 2004) menuliskan kualitas teraupetik dari terapi kelompok dan
menemukan bahwa faktor kuratif dari partisipasi kelompok merupakan hal utama
yang dapat mengubah klien. Faktor tersebut sangat komplek dan merupakan bagian
dari pengalaman manusia, yaitu menanamkan harapan, universalitas, penyampaian
informasi, altruisme, rekapitulasi korektif kelompok keluarga primer,
pengembangan teknik bersosialisasi, perilaku impulsif, pembelajaran interpersonal,
kohesivitas kelompok dan katarsis.
Group CBT adalah CBT yang diberikan secara berkelompok. Kelompok
merupakan tempat mencoba dan menemukan hubungan interpersonal yang baik,
serta mengembangkan perilaku yang adaptif. Peran setiap anggota kelompok sangat
penting pada kelangsungan proses terapi, mereka berbagi pengalaman, saling
membantu satu sama lain dan saling percaya untuk mencapai tujuan kelompok.
Maka dari itu group CBT menekankan pada dinamika kelompok dimana faktor
penting tercapainya tujuan kelompok tergantung dari bagaimana interaksi masing-
masing anggota dalam kelompok. Interaksi yang baik membuat anggota kelompok
merasa memiliki, diakui dan dihargai eksistensinya oleh anggota kelompok yang
lain (Rafika, 2008).
47
Karakteristik khusus terapi perilaku meliputi (1) melakukan penilaian
perilaku, (2) tepatnya mengeja tujuan pengobatan kolaboratif, (3) merumuskan
prosedur perawatan khusus yang sesuai untuk masalah tertentu, dan (4) secara
obyektif mengevaluasi hasil terapi. Dalam proses terapi perilaku kognitif terdapat
tiga tahap, yaitu tahap awal, tahap kerja dan tahap akhir. Fungsi dan peran konselor
sebuah asumsi dasar dari CBT adalah bahwa hubungan kerja yang baik antara
pemimpin dan anggota adalah penting, tetapi tidak kondisi yang cukup untuk
perubahan. Praktisi perilaku kognitif yang paling menekankan nilai membangun
kemitraan kolaboratif antara anggota dan pemimpin.
Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan dalam konseling CBT
dalam kelompok, yaitu Pelatihan Kemampuan Sosial dalam Kelompok, Terapi
Kognitif Kelompok, Pelatihan Manajemen Stres dalam Kelompok dan Perhatian
dan Penerimaan Pendekatan Kognitif Pada Perilaku Terapi. Sebuah pendekatan
perilaku kognitif memungkinkan untuk evaluasi metode intervensi. Dengan fokus
pada penelitian, teknik ini dibuat lebih tepat sehingga mereka dapat digunakan
dengan klien tertentu dengan berbagai masalah spesifik. Pendekatan perilaku
kognitif untuk kerja kelompok cocok dengan konteks gerakan praktik berbasis bukti
Corey (2012).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian group
cognitive behavior therapy yang akan dilakukan adalah proses terapi yang
dilakukan secara berkelompok dalam upaya memberi dukungan, berbagi
pengalaman, saling membantu satu sama lain dan saling percaya untuk mencapai
tujuan kelompok serta memberikan motivasi dan dukungan terhadap anggota
48
kelompok khususnya terkait permasalahan kecemasan terhadap infertilitas yang
dialami. Sehingga group CBT mampu mengurangi tingkat kecemasan yang muncul,
mengubah kognitif anggota peserta seperti pemikiran-pemikiran yang semula
negatif menjadi positif. Adanya pemahaman baru yang diperoleh anggota
kelompok sehingga tidak hanya mengubah pemikiran negatif tetapi diharapkan
adanya perubahan perilaku serta mampu memilih pemecahan masalah yang lebih
baik. Dengan adanya group CBT ini diharapkan anggota peserta dapat mengurangi
kekhawatiran dan ketakutan yang selama ini dirasakan agar lebih yakin dalam
menjalankan program kehamilan.
3. Tahap dan Proses Group Cognitive Behavior Therapy
Penelitian yang dilakukan oleh Folger dan Edward (2008) mengungkapkan
bahwa terapi kelompok cukup memperlihatkan progres dalam mengurangi
kecemasan selama 10 minggu pertemuan. Menurut salah satu partisipan yang
terlibat di dalam penelitian ini mengatakan, dengan mengikuti intervensi kognitif
perilaku kelompok, setiap anggota kelompok dapat mencobakan teknik yang telah
dipelajari di dalam kelompok untuk berpikir lebih realistik, mempelajari atau
mengenali perasaan cemas, mendapatkan masukan dari anggota kelompok dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi, mendapatkan dukungan sosial dari orang
lain, dan yang utama adalah partisipan tidak merasa sendiri saat menghadapi
keadaan cemas atau depresi. Partisipan dalam penelitian ini mengatakan merasa
lebih baik setelah melewati 10 sesi pertemuan dengan terapis.
Penelitian intervensi kelompok kognitif perilaku juga dilakukan oleh
Wetherel, Lenze dan Stanley (2005). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
49
terapi kognitif perilaku kelompok ini efektif untuk menurunkan simtom kecemasan
dan depresi. efektifitas terapi yang dilakukan Wetheral dkk berkisar antara 0,0
hingga 0,62. Selain itu, efektifitas terapi kognitif perilaku dalam mengurangi
kecemasan juga lebih besar jika dibandingkan dengan diskusi kelompok atau
kelompok yang diminta untuk menunggu (waiting list) sebelum diberikan
intervensi. Keefektifitasan terapi kelompok ini juga dapat dilihat dari segi biaya
dan efektifitas waktu dalam menurunkan simtom kecemasan (Folger & Edward,
2008). Berikut beberapa tahapan Group Cognitive Behavior Therapy menurut
Folger & Edward, (2008) yang diadaptasi oleh Putri (2012):
a. Sharing
Sharing adalah suatu kegiatan dimana seluruh partisipan menceritakan
pengalaman atau keluhan mereka kepada peneliti dan atau kepada anggota
kelompok yang mengikuti intervensi. Hal ini bertujuan agar partisipan dapat
belajar dari pengalaman orang lain dan tidak merasa sendiri dalam
menghadapi masalah. Partisipan juga dapat belajar untuk membuka diri,
menyadari adanya keluhan yang ia rasakan dan dapat menerima keadaannya
atau dirinya saat ini.
b. Relaksasi
Pada intervensi ini, peneliti memberikan teknik relaksasi pernafasan.
Teknik relaksasi pernafasan adalah dimana seseorang menarik nafas secara
natural sehingga membentuk kondisi relaks. Relaksasi pernafasan dilakukan
dengan cara menarik nafas melalui hidung dan mengeluarkannya melalui
mulut secara perlahan. Melakukan relaksasi pernafasan secara terus-
50
menerus dapat menurunkan tingkat kecemasan, stress, ketegangan atau
tingkat kemarahan (Lee, Johns, Jenkinson, Jhonston, Connolly, & Hall,
2007).
c. Psikoedukasi
Psikoedukasi merupakan salah satu teknik yang efektif yang dapat
digunakan pada setting komunitas ataupun setting klinis. Psikoedukasi
sendiri merupakan teknik yang dapat digunakan untuk berbagai gangguan
dan berbagai hal yang dapat merubah hidup. Psikoedukasi (Lukens &
McFarlane, 2004) merupakan treatment yang diberikan secara professional
yang berintegrasi dan bersinergi dengan psikoterapetik dan edukasi dalam
intervensi. Teknik psikoedukasi ini digunakan untuk menghilangkan
hambatan untuk memahami dan menyaring informasi secara kompleks dan
penuh emosional dan untuk mengembangkan strategi untuk menggunakan
informasi secara proaktif. Asumsinya adalah ketika seseorang menentang
perubahan besar di dalam hidupnya atau mengidap penyakit
keberfungsiannya dan fokusnya secara alami akan terganggu (Mechanic
dalam Lukens & McFarlane, 2004). Oleh karena itu, psikoedukasi dirasakan
perlu diberikan pada intervensi ini.
d. Self-monitoring
Self-monitoring adalah suatu teknik digunakan untuk mencatat kegiatan
yang dilakukan oleh partisipan dalam jangka waktu tertentu, dari hari ke
hari, jam ke jam, dan dihubungkan dengan kondisi kecemasan partisipan
saat melakukan kegiatan tersebut. Pada teknik ini, partisipan diminta untuk
51
menuliskan skala kecemasan yang dimilikinya yang berkisar antara 0-10
poin, dimana skala 0 menunjukkan tidak ada kecemasan sama sekali,
sedangkan skala 10 menunjukkan tingkat kecemasan yang sangat tinggi.
Menurut Beck at all (dalam Dobson, 2010) partisipan dapat mencatat tingkat
ketenangan atau kesenangan dalam melakukan aktifitas tersebut. Melalui
teknik ini terapis dan partisipan dapat mengetahui kegiatan apa saja yang
telah dilakukan partisipan setiap harinya, emosi yang dirasakan, serta
perilaku partisipan saat menghadapi situasi tertentu.
e. Activity Scheduling
Tujuan membuat aktifitas yang terjadwal, ada dua tujuan utama yaitu: a)
untuk meningkatkan kemungkinan partisipan untuk melakukan aktivitas
yang ia hindari atau jarang dilakukan; dan b) untuk menghilangkan. Adanya
aktifitas yang terjadwal, terapis dapat membantu partisipan dalam
mengantisipasi lingkungan atau pikiran yang menghambat yang dapat
menjadi rintangan dalam melakukan rencana kegiatan yang sudah
dijadwalkan. Rintangan yang ada dapat didiskusikan di dalam sesi atau
schedul dapat dimodifikasi sehingga dapat mengurangi atau meminimalisir
efek dari rintangan ( Dobson, 2010).
f. Cognitive Restructuring
Teknik ini adalah teknik pendekatan kognitif yang bertujuan untuk
mengubah pola pikir yang negatif menjadi lebih positif. Dalam cognitive
restructuring, ada beberapa hal yang dapat dilakukan, diantaranya
menemukan pola perspektif yang salah atau pikiran otomatis yang muncul
52
ketika menghadapi suatu situasi. Partisipan diminta untuk menemukan
“tipe” berpikir yang salah yang ada pada dirinya. Dalam hal ini, pada
partisipan dengan gangguan cemas, tipe berpikir yang terbentuk adalah
what if. Setelah itu, partisipan dan peneliti bersama-sama menemukan
pikiran yang menantang pikiran otomatis tersebut. Teknik ini juga
mengarahkan partisipan kepada suatu proses untuk mengubah pikiran
otomatisnya. Teknik ini dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang
digunakan untuk melawan asumsi dasar yang dimiliki partisipan. Proses
penentangan ini membawa partisipan untuk menyadari adanya distorsi
pikiran yang mendukung belief yang maladaptif (White & Freeman,
Dobson, 2010).
Terapi kognitif perilaku menurut Ellis dan Beck (Omarjoedi, 2004) adalah
sebagai berikut:
a. Terapi kognitif perilaku menggunakan pendekatan yang menekankan
pada pentingnya kognitif.
b. Asumsinya adalah bahwa gangguan emosi disebabkan oleh adanya
distorsi kognitif.
c. Terdapat sepuluh jenis distorsi kognitif, yakni pemikiran dikotomik,
overgeneralisasi, filter mental, diskualifikasi yang positif, locatan
kesimpulan, pembesaran atau pengecilan, penalaran emosi, pernyataan
“harus” dan memberi cap label, serta personalisasi.
d. Teknik A-B-C digunakan untuk mengidentifikasi distorsi kognitif dan
mengatasi pikiran yang kacau.
53
g. Problem solving
Teknik ini merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menemukan
solusi dari masalah yang dihadapi sehari-hari secara efektif. Teknik ini
bertujuan untuk menghilangkan dan atau menjaga simtom psikopatologi
dan meningkatkan kesejahteraan partisipan dengan membantu mereka
menyelesaikan masalah dalam menghadapi situasi yang membuat mereka
merasa tertekan. Jika dilihat lebih lanjut, penyelesaian yang efektif meliputi
memperbaiki situasi yang ada, seperti menghilangkan kondisi yang tidak
menyenangkan, menyelesaikan konflik, dan menghilangkan emosi yang
negatif yang disebabkan oleh situasi, misalnya adanya penerimaan,
toleransi, mengambil hikmah dari suatu masalah, atau mengurangi
ketegangan secara fisik (Dobson, 2010). Di samping itu, teknik ini juga
membuat individu dengan berbagai tingkat kemampuan coping mampu
memaksimalkan efektivitas dari coping yang dilakukannya. Pada akhirnya,
hal ini membantu individu mengurangi stres dan cemas yang muncul akibat
permasalahan yang sedang dihadapinya (D’Zurilla, 1990).
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan intervensi kelompok CBT yang
disusun oleh Folger & Edward (2008) diadaptasi oleh Putri (2012) dan dimodifikasi
oleh peneliti. Peneliti menggunakan modul group cognitive behavior therapy yang
disusun oleh penulis berdasarkan beberapa penelitian-penelitian yang pernah
dilakukan oleh Putri (2012). Adapun tahapan-tahapan intervensi kelompok CBT
yang akan dilaksanakan sebagai berikut:
54
a. Sesi I Sharing dan Relaksasi
Kegiatan yang dilakukan adalah membangun rapport dan sharing serta
mengajarkan teknik relaksasi.
Tujuan kegiatan:
1) Membangun rapport pada setiap anggota kelompok
2) Menumbuhkan kepercayaan antara terapis dengan anggota peserta dan
antara anggota peserta
3) Memenyepakati dan berkomitmen terhadap kontrak selama terapi
berlangsung.
4) Anggota kelompok memahami prosedur intervensi yang akan dilaksanakan
5) Berbagi pengalaman mengenai infertilitas yang dialami.
6) Anggota kelompok memahami apa yang akan diperbaiki serta harapan yang
ingin dicapai dalam mengikuti proses terapi
Bentuk kegiatan:
1) Terapis memulai mengajak anggota kelompok untuk memperkenalkan diri
satu persatu. Namun sebelum para anggota kelompok memperkenalkan diri,
terlebih dahulu terapis memperkenalkan dirinya yang meliputi nama
lengkap, nama panggilan, asal tempat tinggal, pekerjaan, dan lain-lain.
2) Terapis menjelaskan maksud dan tujuan dari terapi yang akan dilakukan.
3) Terapis mempersilahkan kepada anggota kelompok untuk menceritakan
tentang pengalamannya selama proses perjuangan mendapatkan keturunan.
4) Terapis merefleksikan dan mendiskusikan kembali beberapa perasaan yang
dirasakan oleh masing-masing anggota kelompok, sekaligus menjelaskan
55
bahwa masing-masing anggota kelompok bukanlah manusia yang paling
buruk nasibnya.
5) Setelah terapis memberi sedikit kesimpulan terapis sedikit menyinggung
tetang intervensi kelompok CBT terkait permasalahan yang dihadapi untuk
dapat mereka perbaiki serta target yang ingin dicapai dalam terapi yanga
akan dilaksanakan.
6) Terapis meminta pada anggota peserta mengambil posisi yang paling
nyaman.
7) Terapis menjelaskan bahwa peserta diminta untuk mengikuti setiap intruksi
yang diberikan
8) Terapis memperi contoh satu kali percobaan cara melakukan relaksasi,
9) Setelah anggota peserta memahami prosedur barulah relaksasi dimulai
b. Sesi II Psikoedukasi
Kegiatan yang dilakukan adalah pemberian psikoedukasi mengenai
hubungan antara tubuh dan pikiran, serta mengetahui apa itu teknik CBT.
Tujuan kegiatan:
1) Mampu memahami apa itu teknik CBT, dampak yang dialami wanita
dengan infertilitas serta pemahaman tentang hubungan antara tubuh dan
pikiran
Bentuk kegiatan:
1) Terapis memberi penjelasan apa itu CBT kelompok, dampak yang dialami
wanita dengan infertilitas serta hubungan antara tubuh dan pikiran.
56
c. Sesi III Cognitive Restructuring
Kegiatan yang dilakukan adalah mempelajari teknik restrukturisasi
kognitf (A-B-C).
Tujuan kegiatan:
1) Mampu meriview pikiran otomatis yang negatif yang ada yang berkaitan
dengan infertilitas
2) Mengenali dan mengidentifikasi pola pikir yang menyebabkan
kekhawatiran dan menimbulkan pemikiran negatif.
Bentuk kegiatan:
1) Sebelum terapi dimulai terapis menjelaskan lembar terapi kognitif,
menjelaskan satu persatu maksud dari kotak-kotak yang sudah tersedia.
2) Terapis menjelaskan apa itu pemikiran otomatis negatif
3) Terapis memulai sesi dengan bertanya kepada peserta pikiran otomatis yang
negatif berkaitan dengan infertilitas
4) Terapis dan anggota peserta sembari mengisi lembar terapi kognitif yang
telah disediakan
5) Peserta menyampaikan seperti apa yang muncul dalam pikirannya.
6) Terapis membimbing dengan teknik pertanyaan sokratik (sambil mengisi
lembar terapi kognitif yang telah tersedia)
Sesi IV Lanjutan (100 menit)
Kegiatan yang dilakukan adalah melanjutkan mempelajari teknik
restrukturisasi kognitif dengan mengkonter pikiran-pikiran yang salah dengan
pikiran alternatif (A-B-C-D-E).
57
Tujuan kegiatan:
1) Menemukan pemikiran alternatif yang dapat melawan pola pikir yang
negatif.
2) Peserta mampu mengevaluasi pemikirannya dengan tepat
3) Peserta menemukan pemikiran yang positif.
Bentuk kegiatan:
1) Terapis dan peserta masih melanjutkat mengisi lembar terapi kognitif yang
disediakan
2) Setelahnya, terapis kemudian memperlihatkan lembaran kertas yang berisi
penjelasan singkat mengenai metode ABCDE. Terapis membimbing peserta
untuk mengisi, dan peserta diminta untuk memperhatikan sambil di isi
sesuai dengan intruksi penjelasan terapis.
3) Terapis membimbing peserta menemukan dan mencari sebanyak-
banyaknya fakta yang dapat melawan pola pikir yang salah
4) Peserta dapat menyimpulkan sendiri pola pikir yang positif dan sesuai
dengan fakta dan diharapkan peserta mampu menemukan insight baru.
d. Sesi V Problem Solving
Kegiatan yang dilakukan adalah mempelajari teknik pemecahan masalah
untuk memecahkan masalah sehari-hari yang dihadapi wanita dengan infertilitas.
Tujuan kegiatan:
1) Memiliki keterapilan dalam memilih alternatif pemecahan masalah yang
dihadapi.
2) Menyadari masalah yang dimiliki memiliki keinginan untuk diselesaikan.
58
Bentuk kegiatan:
1) Terapis membimbing peserta mengisi tabel problem solving yang telah
disediakan.
2) Peserta dibimbing oleh terapis menemukan masalah yang ingin diselesaikan
terkait dengan infertilitas
3) Peserta menuliskan pencapaian yang ingin diperoleh dari penyelesaian
masalah
4) Peserta menemukan solusi yang efektif untuk dapat menyelesaikan masalah.
5) Peserta memilih solusi yang terbaik untuk diaplikasikan pada masalah.
e. Sesi VI Self Monitoring
Kegiatan yang dilakukan adalah membuat self-monitoring untuk memahami
kondisi cemas partisipan pada kehidupan sehari-hari mereka.
Tujuan Kegiatan :
1) Mampu mengetahui situasi apa yang membuat mereka cemas, serta
mengetahui kapan saja rasa cemas itu muncul.
2) Klien memahami konsep self monitoring yang diberikan.
Bentuk Kegiatan :
1) Terapi menjelaskan cara kerja dari lembar self monitoring.
2) Terapis menjelaskan konsep self monitoring dalam kehidipan sehari-hari
3) Peserta diminta untuk mengerjakan tugas rumah sesuai lembar monitoring
yang diberikan selama satu minggu.
4) Pada pertemuan disaat evaluasi terapis akan membahas hasil dari pekerjaan
rumah yang telah diberikan
59
f. Sesi VII Activity Scheduling
Kegiatan yang dilakukan adalah activity scheduling yang digunakan untuk
membuat rencana kegiatan dalam mengatasi kecemasan.
Tujuan Kegiatan :
1) Mampu menyusun rencana aktifitas sehari-hari (activity scheduling) dengan
kegiatan positif yang bisa direncanakan guna mencegah kemunculan atau
menggurangi intensitas kemmunculnya kecemasan atau kekhawatiran.
Bentuk Kegiatan:
1) Terapis menjelaskan prinsip pengerjaan lembar activity scheduling
2) Terapi menjelaskan manfaat dari pembuatan activity scheduling.
3) Lembar activity scheduling merupakan tugas rumah yang harus dikerjakan
selama satu minggu.
4) Pada pertemuan berikutnya (evaluasi) terapis akan membahas terkait tugas
yang telah diberikan.
Berikut ini dijelaskan tahapan dan proses Group Cognitive Behavioral
Therapy yang akan dilakukan;
Tabel 1
Tahap dan proses Group Cognitive Behavior Therapy
Proses
Tahapan
Tujuan Kegiatan Metode
Pertemuan 1
Sesi I
(60 Menit)
Raport, Sharing
dan Relaksasi
1) Membangun
rapport pada
setiap anggota
kelompok
2) Menumbuhkan
kepercayaan
1) Perkenalan antar
anggota kelompok,
peneliti dan terapis
dan antara klien dan
peneliti
- Ceramah
- Diskusi
60
antara terapis
dengan anggota
peserta dan
antara anggota
peserta
3) Memenyepakati
dan
berkomitmen
terhadap kontrak
selama terapi
berlangsung.
4) Anggota
kelompok
memahami
prosedur
intervensi yang
akan
dilaksanakan
5) Berbagi
pengalaman
mengenai
infertilitas yang
dialami.
6) Anggota
kelompok
memahami apa
yang akan
diperbaiki serta
harapan yang
ingin dicapai
dalam mengikuti
proses terapi
7) Mendapatkan
pemahaman dan
bagaimana cara
mengaplikasikan
teknik relaksasi.
2) Memperkenalkan
tujuan Intervensi
Kelompok CBT
3) Sharing masalah yang
dihadapi peserta.
4) Peserta diajarkan
teknik relaksasi
Sesi II
(60 Menit)
Psikoedukasi
1) Memberi
pemahamankepada
peserta apa itu
teknik CBT,
dampak yang
dialami wanita
dengan infertilitas
1) Ceramah dari terapis
kepada anggota
kelompok mengenai
materi psikoedukasi
2) Diskusi antara terapis
dan anggota kelompok
- Ceramah
- Diskusi
61
serta pemahaman
tentang hubungan
antara tubuh dan
pikiran
2) Penutupan
pertemuan pertama
Pertemuan 2
Sesi III
(100 Menit)
Teknik
Restrukturisasi
Kognitif A-B-C
1) Mampu meriview
pikiran otomatis
yang negatif yang
ada yang berkaitan
dengan infertilitas
2) Mengenali dan
mengidentifikasi
pola pikir yang
menyebabkan
kekhawatiran dan
menimbulkan
pemikiran negatif.
1) Berdiskusi dengan
terapis dan anggota
peserta diajarkan
untuk dapat
merestrukturisasi pola
pikirnya yang salah.
2) Peserta diminta untuk
menyampaikan
kejadian, perasaan dan
pikiran yang terlintas
saat mereka cemas.
3) Anggota peserta
diminta untuk
merespon dari setiap
perasaan-perasaan
yang muncul yang
disampaikan oleh
peserta lainnya
- Diskusi
- Tanya
jawab
- Pengisian
Form
terapi
kognitif
Sesi IV
(100 menit)
Lanjutan
Restrukturisasi
kognitif dengan
mengkonter
pikiran-pikiran
yang salah
dengan pikiran
alternatif
(A-B-C-D-E)
1) Menemukan
pemikiran
alternatif yang
dapat melawan
pola pikir yang
negatif
2) Peserta mampu
mengevaluasi
pemikirannya
dengan tepat
3) Peserta
menemukan
pemikiran yang
positif.
1) Peserta menemukan
dan mencari
sebanyak-banyaknya
fakta yang dapat
melawan pola pikir
yang salah
2) Peserta dapat
menyimpulkan sendiri
pola pikir yang benar
dan sesuai dengan
fakta.
3) Peserta mengevaluasi
kembali pola pikirnya
serta emosinya.
- Diskusi
- Tanya
jawab
- Pengisian
Form
terapi
kognitif
62
Sesi V
(60 Menit)
Problem
Solving
1) Memiliki
keterapilan dalam
memilih alternatif
pemecahan
masalah yang
dihadapi.
2) Menyadari masalah
yang dimiliki
memiliki keinginan
untuk diselesaikan.
3) Penutup pertemuan
ke-2
1) Peserta menemukan
masalah yang ingin
diselesaikan
2) Peserta menuliskan
harapan yang ingin
diperoleh dari
penyelesaian masalah
3) Peserta menemukan
solusi yang efektif
untuk dapat
menyelesaikan
masalah.
4) Peserta memilih solusi
yang terbaik untuk
diaplikasikan pada
masalah
- Ceramah
- Diskusi
Pertemuan 3
Sesi VI
(30 Menit)
Self Monitoring
Sesi VII
(30 Menit)
Activity
Scheduling
1) Mampu
mengetahui situasi
apa yang membuat
mereka cemas,
serta mengetahui
kapan saja rasa
cemas itu muncul.
2) Peserta memahami
konsep self
monitoring yang
diberikan.
1) Mampu menyusun
rencana aktifitas
sehari-hari (activity
scheduling) dengan
kegiatan positif
yang bisa
1) Peneliti memberikan
informasi
menggunakan self
monitoring kepada
klien.
2) Diskusi mengenai
konsep Self monitoring
dalam kehidupan
sehari-hari.
3) Peserta diminta untuk
melakukan tugas yang
telah diberikan, dan
penutup.
1) Peserta diminta untuk
menuliskan rencana
kegiatan.
2) Peserta menuliskan
rencana kegiatan
positif yang dapat
dilakukan untuk
- Ceramah
- Diskusi
63
direncanakan guna
mencegah
kemunculan atau
menggurangi
intensitas
kemmunculnya
kecemasan atau
kekhawatiran.
2) Penutup
pertemuan ke-4.
mencegah atau
mengurangi
kecemasan didalam
rencana aktivitas.
3) Peserta diminta untuk
mengerjakan tugas
dirumah
Pertemuan 4
Evaluasi
Penutup
Skala Posttest
Meninjau kembali
setelah proses intervensi
diberikan sejauh mana
tingkat keberhasilan
terapi yang telah
dilaksanakan.
Mengevaluasi terkait
program yang telah
dilaksanakan
1) Ucapan terimakasih
2) Skala Posttes
3) Do’a
-
Berdasarkan uraian di atas mengenai tahapan dan proses-proses group
cognitive behavior therapy, maka dapat disimpulkan bahwa peneliti ini
menggunakan 7 sesi yang mengacu pada tahapan yang dijabarkan oleh Folger &
Edward (2008) dan diadaptasi oleh Putri (2012). 7 sesi tersebut dilakukan dalam 4
kali pertemuan. Pertemuan pertama digunakan sebagai pembuka atau mind
opening, yaitu rapport, sharing, relaksasi dan psikoedukasi. Pertemuan ke-2 yaitu
tahapan inti dari terapi kognitif dan diakhiri dengan problem solving. Kemudian
pertemuan ke-3 adalah tahapan terapi perilaku yaitu dengan self monitoring dan
activity scheduling. Serta pertemuan ke-4 yaitu closing yaitu tahapan penutup dan
evaluasi program.
64
4. Manfaat Group Cognitive Behavior Therapy
Cognitive Behavior Therapy (CBT) merupakan suatu bentuk psikoterapi
yang bertujuan untuk menangani perilaku maladaptif dan mereduksi penderitaan
psikologis, dengan cara mengubah proses kognitif individu (Grebb, Kaplan, dan
Sadock, 2010). Menurut Rosenvald (Arjadi, 2012) pendekatan ini mengajarkan
individu untuk mengenali bahwa pola pikir tertentu yang sifatnya negatif dapat
membuat individu salah memaknai situasi dan memunculkan emosi atau perasaan
negatif.
Kekuatan utama dari kelompok perilaku kognitif adalah penekanan pada
pendidikan dan pencegahan. CBT didasarkan pada prinsip-prinsip luas
pembelajaran, dapat digunakan untuk memenuhi persyaratan dari berbagai
kelompok dengan berbagai tujuan yang berbeda. The spesifisitas dari CBT
memungkinkan untuk hubungan antara asesmen, pengobatan, dan strategi evaluasi.
kelompok CBT telah menargetkan masalah-masalah mulai dari kecemasan dan
depresi untuk pendidikan orangtua dan peningkatan hubungan. Terapi kelompok
perilaku kognitif telah ditunjukkan untuk memiliki manfaat aplikasi resmi untuk
beberapa masalah spesifik berikut: depresi, kecemasan, panik dan fobia, obesitas,
gangguanmakan, gangguan disosiatif, dan perhatian orang dewasa defisit gangguan
(Putih & Freeman, 2000). Berdasarkan survei tentang hasil studi dari terapi
kelompok perilaku kognitif, Petrocelli (2002) menyimpulkan bahwa pendekatan ini
untuk kelompok adalah untuk mengobati berbaga imasalah emosional dan perilaku.
Hasil penelitian yang telah dilakukan Safithry (2014) menunjukkan Group
Cognitive Behavior ini dapat menurunkan kecemasan menghadapi ujian, ditandai
65
oleh menurunnya tingkat kecemasan, berkurangnya pemikiran dan tingkah laku
negatif setelah terapi diberikan dan relatif menetap hingga masa tindak lanjut.
Berdasarkan data penelitian menunjukan bahwa group CBT mampu mengurangi
kecemasan Group CBT ini dapat menurunkan tingkat kecemasan keenam subjek
serta dapat merubah pikiran negatif mengenai menghadapi ujian skripsi menjadi
pikiran yang lebih positif. Hal ini tidak terlepas dari teknik terapi yang diberikan
yaitu latihan relaksasi dan restrukturisasi kognitif disertai dengan dinamika
kelompok pada setiap sesinya. Teknik kognitif yang dikombinasikan dengan teknik
behavioral sangat efektif dalam menangani gangguan kecemasan (Nevid, 2005).
Studi menunjukkan bahwa CBT efektif mengurangi gejala dan tingkat
kambuhnya gejala, dengan atau tanpa bantuan obat dalam kisaran luas dari
gangguan psikiatrik. Beberapa gangguan yang efektif dengan dilakukan CBT
adalah depresi, anxiety disorder dan pobia, panik, dan substance abuse,
interpersonal problems dan amarah, hostility, kekerasan, schizophrenia, bipolar
disorder, chronic pain, marital distress, childhood somatic disorders, bulemia
nervosa dan makan yang berlebihan (Knapp & Beck, 2008).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa banyak manfaat
cognitive behavior therapy, yang mana berhubungan dengan pemikiran yang salah
sehingga menimbulkan stressor. Sekaligus terapi ini juga berhubungan dengan
kesehatan mental dan fisik. Mampu membantu seseorang mengidentifikasi
pemikiran-pemikiran yang salah (negatif) agar lebih tetap realistis. Secara empiris
group cognitive behavior therapy dibuktikan berperan penting dalam kesehatan
psikologis individu. Alasan mengapa group cognitive behavior therapy memiliki
66
manfaat yang besar, karena seorang individu yang sering mengalami penyimpangan
dalam berpikir sehingga muncul gejala-gejala psikologis seperti stress, cemas, dan
depresi agar tetap mampu mengelola pemikirannya agar tetap positif dan realistis.
Sebagan individu juga merasa termotivasi apabila mempunyai kelompok yang
memiliki permasalahan yang sama dengan demikian individu tersebut tidak merasa
bahwa hanya dirinya yang mengalami suatu permasalahan tersebut.
C. Group Cognitive Behavior Therapy untuk Menurunkan Kecemasan pada
Wanita Infertilitas Primer
Kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir
yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Banyak hal uang
dicemaskan misalnya, kesehatan, relasi sosial, ujian, karir, relasi internasional dan
kondisi lingkungan. Kecemasan bermanfaat bila hal tersebut mendorong kita untuk
melakukan pemeriksaan medis secara regular atau memotivasi kita untuk belajar
menjelang ujian. Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi
kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi
ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa penyebab Nevid, J.S., Rathus, S.A.,&
Greene, B. (2005). Secara medis wanita yang menjalankan program hamil salah
satu faktor keberhasilanya adalah tidak adanya gangguan secara psikologis.
Berdasarkan fakta yang ditemukan wanita dengan infertilitas mengalami
kecemasan karena belum dikaruniakan seorang keturunan, wanita dengan
infertilitas mengevaluasi dirinya sendiri dan membentuknya sebagai keyakinan
dasar terhadap diri sendiri. Wanita dengan infertilitas primer mengevaluasi dirinya
secara negatif, merasa sedih dan cemas karena belum bisa memberikan keturunan
67
kepada suami, belum sempurna menjadi status seorang istri, cemas jikalau
pasangan berpaling, dan khawatir ketika hari tua nanti mereka tidak ada yang
mengurus.
Kecemasan yang terjadi pada wanita dengan infertilitas primer tidak hanya
disebabkan oleh proses evaluasi diri yang negatif, namun juga dipengaruhi oleh
dukungan emosional yang diberikan oleh lingkungan sekitar seperti suami dan
keluarga. Kecemasan adalah rasa takut yang tidak jelas disertai dengan ketidak
pastian, ketidak berdayaan, isolasi, dan ketidakamanan (Stuart, 2016). 74,6%
wanita infertil dilaporkan mengalami perubahan suasana hati, merasa tidak berdaya
karena durasi infertilitas yang dialaminya (Ramezanzadeh dkk, 2014). Wanita
infertil merasa berkurang feminitas yang dapat mengganggu harga diri dan citra
dirinya sedangkan perasaan cemas membuat mereka sulit untuk berbagi perasaan
dengan kerabat, sehingga muncullah perasaan kesepian dan tertekan, yang lebih
lanjut membuat mereka menarik diri atau mengisolasi diri. Telah banyak penelitian
terapi kognitif perilaku untuk menurunkan kecemasan salah satunya penelitian yang
dilakukan oleh Irawaty (2011) menggunakan terapi kognitif perilaku untuk
menurunkan kecemasan pada orang dengan HIV/AIDS serta, penelitian Putri
(2012) yang menggunakan inervensi kelompok cognitive behavioral therapy (CBT)
untuk menurunkan kecemasan pada lansia.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dijelaskan bahwa dampak
kecemasan pada wanita infertilitas sangat beragam. Kecemasan adalah sebuah
kondisi psikologis dan fisiologis yang ditandai oleh manifestasi kognitif,
emosional, dan perilaku. Komponen-komponen ini bergabung untuk membuat yang
68
perasaan tidak menyenangkan yang biasanya dikaitkan dengan kegelisahan,
ketakutan, atau khawatir. Kecemasan adalah kondisi umum yang terjadi tanpa
diidentifikasi memicu rangsangan. Dengan demikian, kecemasan tersebut
dibedakan dari rasa takut, yang terjadi terhadap ancaman yang dihadapi. Selain itu
ketakutan adalah berkaitan dengan perilaku tertentu untuk melarikan diri dan
penghindaran, sedangkan kecemasan adalah hasil dari ancaman yang dianggap tak
terkendali atau tidak dapat dihindari. Istri dalam hal ini lebih banyak mengalami
gangguan psikologis seperti mengalami kecemasa, stress, perubahan suasana hati
merasa tidak berdaya bahkan depresi. Salah satu permasalaha penting yang
dihadapi oleh wanita dengan infertilitas yakni kecemasan, yang menyebabkan
munculnya pemikiran-pemikiran negatif seperti khawatir tidak bisa memberikan
keturunan pada suami, khawatir terhadap masa tua, perasaan kesepian, tertekan
serta khawatir jika suami akan berpaling.
Untuk itulah diperlukan suatu terapi yang dapat memunculkan pemikiran
positif klien mengenai infertilitas yang mereka alami agar dapat mengurangi
kecemasan mereka. Salah satu terapi yang efektif untuk kecemasan dan
memfokuskan pada pemikiran atau keyakinan negatif dan perubahan perilaku
adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT). Para terapis kognitif behavior
mempercayai pikiran menjadi penyebab masalah emosional dan perilaku, fokus
pendekatan ini adalah merubah cara berfikir (Martin, 2005).
CBT merupakan perpaduan teknik terapi kognitif dan perilaku. Dalam
penelitian ini teknik yang digunakan adalah restrukturisasi kogntif dan relaksasi
yang merupakan perpaduan teknik dari terapi kognitif dan terapi perilaku.
69
Restrukturisasi kognitif memfokuskan pada perubahan pemikiran negatif menjadi
positif. Pada prosesnya subjek diajak untuk menghubungkan pikiran–emosi–
tingkah laku sedangkan pada relaksasi lebih menfokuskan kepada pengenalan
gejalagejala kecemasan dan bagaimana mereduksinya, subjek diajarkan untuk
menegangkan beberapa otot dan merilekskanya sehingga tercapai keadaan rileks.
Data yang didapat oleh peneliti adalah ada beberapa wanita dengan
infertilitas mengalami masalah yang sama, maka akan lebih efektif dan efisien jika
teknik terapi digunakan pada seting kelompok. Ada beberapa keuntungan dari
terapi kelompok dibandingkan terapi individu, selain lebih efektif dan efisien dalam
hal waktu, tenaga dan biaya, dimana setiap anggota kelompok diberikan terapi
dalam waktu yang bersamaan, tidak perlu satu persatu dan tidak perlu
mengeluarkan biaya lebih, juga adanya perasaan senasib sehingga mereka dapat
saling mendukung dan sama-sama memecahkan masalah pada proses terapi..
Oleh sebab itu peneliti menggunakan group cognitive behavior therapy
untuk membantu wanita dalam hal ini istri dengan infertilitas primer melakukan
proses evaluasi yang positif serta terbebas dari tekanan dan beban yang selama ini
dirasakan, sehingga wanita dengan infertilitas dapat menurunkan kecemasan yang
selama ini mereka alami. Pemberian group cognitive behavior therapy sesuai
dengan modul yang disusun mengacu kepada penelitian yang telah dilakukan oleh
Folger & Edward (2008) dan diadaptasi oleh Putri (2012) serta dimodifikasi oleh
peneliti. Terdapat 7 sesi dilakukan dalam 4 kali pertemuan. Pertemuan pertama
digunakan sebagai pembuka atau mind opening, yaitu rapport, sharing, relaksasi
dan psikoedukasi. Pertemuan ke-2 yaitu tahapan inti dari terapi kognitif dan diakhiri
70
dengan problem solving. Kemudian pertemuan ke-3 adalah tahapan terapi perilaku
yaitu dengan self monitoring dan activity scheduling. Serta pertemuan ke-4 yaitu
closing yaitu tahapan penutup dan evaluasi program. Dimana nantinya peneliti akan
menemukan penyimpangan-penyimpangan dalam pemikiran dari tiap-tiap anggota
partisipan. Meluruskan pemikiran-pemikiran yang salah yang memicu munculnya
kecemasan sehingga peserta partisipan mampu bersama-sama menyadari, saling
menguatkan dan memotivasi.
Tahap pertama sharing dan relaksasi. Sharing adalah suatu kegiatan dimana
seluruh anggota partisipan menceritakan pengalaman atau keluhan mereka kepada
peneliti dan kepada anggota kelompok yang mengikuti intervensi. Hal ini bertujuan
agar partisipan dapat belajar dari pengalaman orang lain dan tidak merasa sendiri
dalam menghadapi masalah. Partisipan juga dapat belajar untuk membuka diri,
menyadari adanya keluhan yang ia rasakan dan dapat menerima keadaannya atau
dirinya saat ini. Pada tahap pertama ini diharapkan anggota kelompok mampu
menceritakan pengalaman mereka terkait dengan kecemasan infertilitas yang
mereka hadapi. Peneliti memberikan teknik relaksasi pernafasan kepada anggota
kelompok dalam hal ini memberikan relaksasi pernafasan. Teknik relaksasi
pernafasan adalah dimana seseorang menarik nafas secara natural sehingga
membentuk kondisi relaks. Relaksasi pernafasan dilakukan dengan cara menarik
nafas melalui hidung dan mengeluarkannya melalui mulut secara perlahan.
Melakukan relaksasi pernafasan secara terus-menerus dapat menurunkan tingkat
kecemasan, stress, ketegangan atau tingkat kemarahan (Lee, Johns, Jenkinson,
Jhonston, Connolly, & Hall, 2007). Teknik relaksasi ini bertujuan agar anggota
71
kelompok dapat melakukannya guna menurunkan tingkat ketegangan-ketegangan
dari efek kecemasan yang mereka rasakan.
Tahap kedua Psikoedukasi merupakan salah satu teknik yang efektif yang
dapa digunakan pada setting komunitas ataupun setting klinis Teknik psikoedukasi
diberikan kepada anggota subjek penelitian bertujuan untuk memberikan informasi
terkait kecemasan yang sering mereka hadapi guna menghilangkan hambatan.
Memahami dan menyaring informasi secara kompleks dan penuh emosional dan
untuk mengembangkan strategi untuk menggunakan informasi secara proaktif.
Tahap ketiga dan keempat teknik cognitive restructuring ini adalah teknik
pendekatan kognitif yang bertujuan untuk mengubah pola pikir yang negatif
menjadi lebih positif. Dimana dalam tahapan ini angota kelompok menyampaikan
terkait pemikiran-pemikran negatif yang muncul, dan diubah menjadi lebih positif.
Dalam cognitive restructuring, ada beberapa hal yang dapat dilakukan, diantaranya
menemukan pola perspektif yang salah atau pikiran otomatis yang muncul ketika
menghadapi suatu situasi. Partisipan diminta untuk menemukan “tipe” berpikir
yang salah yang ada pada dirinya. Dalam hal ini, pada partisipan dengan gangguan
cemas, tipe berpikir yang terbentuk adalah what if. Setelah itu, partisipan dan
peneliti bersama-sama menemukan pikiran yang menantang pikiran otomatis
tersebut. Teknik ini juga mengarahkan partisipan kepada suatu proses untuk
mengubah pikiran otomatisnya. Teknik ini dengan menggunakan pertanyaan-
pertanyaan yang digunakan untuk melawan asumsi dasar yang dimiliki partisipan.
Proses penentangan ini membawa partisipan untuk menyadari adanya distorsi
pikiran yang mendukung belief yang maladaptif (White & Freeman,Dobson, 2010).
72
Kemudian tahap kelima Problem solving teknik ini merupakan suatu teknik
yang digunakan untuk menemukan solusi dari masalah yang dihadapi sehari-hari
secara efektif. Teknik ini bertujuan untuk menghilangkan dan atau menjaga simtom
psikopatologis dan meningkatkan kesejahteraan partisipan dengan membantu
mereka menyelesaikan masalah dalam menghadapi situasi yang membuat mereka
merasa tertekan.
Tahap keenam Self-monitoring adalah suatu teknik digunakan untuk
mencatat kegiatan yang dilakukan oleh partisipan dalam jangka waktu tertentu, dari
hari ke hari, jam ke jam, dan dihubungkan dengan kondisi kecemasan partisipan
saat melakukan kegiatan tersebut. Pada teknik ini, partisipan diminta untuk
menuliskan skala kecemasan yang dimilikinya yang berkisar antara 0-10 poin,
dimana skala 0 menunjukkan tidak ada kecemasan sama sekali, sedangkan skala 10
menunjukkan tingkat kecemasan yang sangat tinggi.
Tahap ketujuh Activity scheduling Tujuan membuat aktifitas yang terjadwal,
ada dua tujuan utama yaitu: a) untuk meningkatkan kemungkinan partisipan untuk
melakukan aktivitas yang ia hindari atau jarang dilakukan; dan b) untuk
menghilangkan. Adanya aktifitas yang terjadwal, terapis dapat membantu
partisipan dalam mengantisipasi lingkungan atau pikiran yang menghambat yang
dapat menjadi rintangan dalam melakukan rencana kegiatan yang sudah
dijadwalkan.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa group
cognitive behavior therapy merupakan intervensi yang tepat untuk membantu
wanita dengan infertilitas primer dalam menurunkan tingkat kecemasan yang
73
dialami pada tiap-tiap anggota subjek penelitian. Ketika seluruh anggota subjek
penelitian mampu bepikir positif terhadap infertilitas yang dialaminya, maka
mereka dapat mulai menilai dan meyakini (core bilief) bahwa dirinya dan hidupnya
merupakan suatu hal yang sangat berharga terlepas dari kekurangan yang dia miliki.
74
D. Landasan Teori
Pendekatan kognitif perilaku ini ialah hubungan timbul baik antara pikiran
dan keyakinan yang dimiliki individu dengan emosi dan perilakunya (Nevid dkk,
2005). Pendekatan ini memandang perilaku dan kondisi abnormal pada individu
sebagai akibat yang ditimbulkan dari keyakinan yang irasional, di mana pola-pola
pikiran yang terdistorsi atau tidak rasional dapat menyebabkan masalah emosional
dan perilaku yang tidak adaptif. Kemungkinan para teoritikus kognitif secara
khusus meyakini bahwa interpretasi individu terhadap peristiwa dalam
kehidupannya da bukan peristiwa itu sendiri yang menentukan keadaan emosional
individu tersebut (Nevid, dkk 2005). Pendekatan ini dapat digunakan untuk
menjelaskan dinamika terbentuknya kecemasan dan intervensi yang sesuai untuk
menurunkan kecemasan pada wanita infertilitas primer.
Menurut Nevid, dkk (2005) Anxietas/ kecemasan (anxiety) adalah suatu
keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang
bururk akan segera terjadi. Banyak hal uang dicemaskan misalnya, kesehatan kita,
relasi social, ujian, karir, relasi internasional dan kondisi lingkungan adalah
beberapa hal yang dapat menjadi sumber kekhawatiran. Adalah normal, bahkan
adaptif, untuk sedikit cemas mengenai aspek-aspek hidup tersebut. Kecemasan
bermanfaat bila hal tersebut mendorong kita untuk melakukan pemeriksaan medis
secara regular atau memotivasi kita untuk belajar menjelang ujian. Kecemasan
dapat diketahui melalui aspek-aspek kecemasan. Berikut ini terdapat dua pendapat
mengenai aspek dari kecemasan. Nevid, dkk (2005) membagi aspek kecemasan
dalam tiga aspek, 1) Aspek fisik yaitu seseorang yang mengalami kecemasan dapat
75
tercermin dari kondisi fisiknya, seperti tangan bergetar, muncul banyak keringat,
kesulitan berbicara, suara bergetar, timbul keinginan buang air kecil, jantung
berdebar lebih keras, kesulitan bernafas, merasa lemas, atau pusing. 2) Aspek
kognitif yaitu kecemasan dapat ditandai dengan adanya ciri kognitif seperti sulit
untuk berkonsentrasi, berpikir tidak dapat mengendalikan masalah, ketakukan,
tidak biasa menyelesaikan masalah, adanya rasa khawatir, ketakutan akan terjadi
sesuatu dimasa depan, timbul perasaan terganggu, atau adanya keyakinan yang
muncul tanpa alasan yang jelas bahwa akan segera terjadi hal yang mengerikan. 3)
Aspek perilaku yaitu kecemasan yang dialami seseorang dapat terlihat dari
perilakunya. Perilaku individu yang mengalami kecemasan seperti mengindar,
melekat dan dependen, dan perilaku terguncang.
Wanita dengan infertil mengalami perubahan suasana hati, merasa tidak
berdaya karena durasi infertilitas yang dialaminya (Ramezanzadeh dkk, 2014).
Wanita infertil merasa berkurang feminitas yang dapat mengganggu harga diri dan
citra dirinya sedangkan perasaan cemas membuat mereka sulit untuk berbagi
perasaan dengan kerabat, sehingga muncullah perasaan kesepian dan tertekan, yang
lebih lanjut membuat mereka menarik diri atau mengisolasi diri. Wanita dengan
infertilitas akan mengalami perubahan-perubahan pada kehidupannya terutama
perubahan yang berdampak pada psikologis apalagi infertiltas sudah dialaminya
dalam waktu yang cukup lama, biasanya perubahan-perubahan tersebut akan lebih
terasa. Dalam menghadapi perubahan tersebut, setiap individu akan merespon dan
mempunyai reaksi emosional yang berbeda-beda. Kebanyakan wanita dengan
76
infertilitas cenderung berpikiran kearah negatif dan mengevaluasi diri negatif serta
adanya keyakinan yang salah dalam berpikir.
Proses penilaian yang negatif pada wanita dengan infertilitas tidak hanya
mempengaruhi cara pandang dan keyakinan terhadap diri sendiri da dunia
sekitarnya, namun juga mempengaruhi psikologis secara keseluruhan dan pola
perilakunya sehari-hari. Hal ini sesuai dengan penjelasan mengenai pendekatan
kognitif perilaku yang digunakan, sehingga dapat dijelaksan bahwa wanita yang
mengalami infertilitas primer mengalami proses penilaian diri yang salah. Proses
penilaian atau evaluasi diri individu berdasarkan pengalaman yang dialami
hidupnya dan membentuk keyakinan dasar atau core bilief (Nevid, dkk 2005).
Keyakinan dasar sebagai kognitif mempengaruhi perubahan psikologis dan
perilakunya, sehingga wanita dengan infertilitas primer mengalami reaksi
psikologis yang negatif seperti cemas, khawatir, takut, kecewa dan sedih.
Kemudian terbentuk pola perilaku yang tidak adaptif seperti minder atau tidak
percaya diri dengan diri sendiri, pesimis, serta putus asa. Selain menilai negatif pada
diri sendiri, wanita dengan infertilitas primer juga menilai negatif pada orang lain
terutama pada suami. Wanita dengan infertilitas mengalami perubahan dari sisi
kognitif, emosi dan perilaku kemudian menghilangkan aspek-aspek positif pada
dirinya. Hal ini perlu mendapatkan intervensi yang dan sesuai yan dapat merubah
kognitif, emosi serta perilakunya dengan sekaligus. Terapi group cognitive
behavior therapy disarankan tepat untuk membantu wanita dengan infertilitas
primer. Sebab pada terapi ini dilakukan secara berkelompok tujuannya agar
terbebtuknya dinamika kelompok. Selain itu dengan adanya terapi kelompok ini
77
subjek penelitian tidak merasa sendiri. Berdasarkan data penelitian menunjukan
bahwa group CBT mampu mengurangi kecemasan Group CBT ini dapat
menurunkan tingkat kecemasan keenam subjek serta dapat merubah pikiran negatif
mengenai menghadapi ujian skripsi menjadi pikiran yang lebih positif. Hal ini tidak
terlepas dari teknik terapi yang diberikan yaitu latihan relaksasi dan restrukturisasi
kognitif disertai dengan dinamika kelompok pada setiap sesinya. Teknik kognitif
yang dikombinasikan dengan teknik behavioral sangat efektif dalam menangani
gangguan kecemasan (Nevid, 2005).
Tahapan group cognitive behavior therapy yang dilakukan penelitian oleh
(Putri, 2012). Ada beberapa tahapan, yang pertama sharing yang meliputi
perkenalan, dan sharing masalah yang dihadapi peserta, kedua Relaksasi bertujuan
agar peserta mampu melakukan relaksasi pernafasan. Ketiga tahap Psikoedukasi
bertujuan agar pesertta mampu memahami hubungan antara tubuh dan pikiran.
Keempat self monitoring yaitu peserta mencatat skala kecemasan tujuannya untuk
mengetahui kegiatan apa saja yang telah dilakukan subjek setiap harinya, emosi
yang dirasakan, serta perilaku partisipan saat menghadapi situasi tertentu. Kelima
tahap activity scheduling peserta mampu membuat aktifitas yang terjadwal untuk
mengurangi munculnya gejala kecemasan. Keenam ialah inti dari terapi kognitif
yaitu Cognitive restructuring tujuannya mampu mengubah pola pikir yang negatif
menjadi lebih positif., mengidentifikasi penyimpangan pemikiran dan adanya
keyakina yang salah, membantu berfikir agar lebih menjadi rasional serta mampu
mengubah cara berpikir yang maladaptif. Terakhir Problem Solving tujuannya agar
peserta mampu memecahkan permasalahan.
78
Bagan 1 berikut menjelaskan alur pemikiran group cognitive behavior
therapy untuk menurunkan kecemasan pada wanita dengan infertilitas primer.
Bagan 1. Alur Pemikiran
Group Cognitive Behavior Therapy
Wanita dengan Infertilitas Primer
1. Sedih karena belum juga
dikaruniakan anak
2. Khawatir dan takut akan
berpalingnya suami
3. Sering berkecil hati ketika
ditanya orangtua dan tetangga
KECEMASAN
Aspek Fisiologis: tangan bergetar,
berkeringat. Kesulitan berbicara, suara
bergetar, peningkatan buang air kecil,
jatung berdebar lebih keras, sesak nafas,
lemas dan pusing
Aspek Psikologis(kognitif dan perilaku):
sulit berkonsentrasi, tidak dapat
mengendalikan masalah, ketakutan akan
terjadi sesuatu dimasa depan, timbul
permasalahan terganggu, adanya
keyakinan yang muncul tanpa alasan yang
jelas.
Group Cognitive Behavior Therapy
1. Tahap Pertama Sharing
- Perkenalan
- Sharing masalah yang dihadapi peserta
2. Relaksasi
- Mampu melakukan relaksasi
pernafasan
3. Tahap Psikoedukasi
- Mampu memahami hubungan antara
tubuh dan pikiran
4. Cognitive restructuring
- Mengubah pola pikir yang negatif
menjadi lebih positif.
- Mengidentifikasi penyimpangan
pemikiran dan adanya keyakina yang
salah
- Membantu berfikir agar lebih menjadi
rasional
- Mengubah cara berpikir
5. Problem Solving
- Kemampuan memecahkan
permasalahan.
6. Tahap Self Monitoring
- Mencatat skala kecemasan
- Mengetahui kegiatan apa saja yang
telah dilakukan subjek setiap harinya,
emosi yang dirasakan, serta perilaku
partisipan saat menghadapi situasi
tertentu.
7. Tahap Activity scheduling
- Mampu membuat aktifitas yang
terjadwal untuk mengurangi
munculnya gejala kecemasan
PENURUNAN KECEMASAN
1. Fisiologis : menjadi lebih
bersemangat
2. Psikologis (Kognitif dan
perilaku) : mampu berpikir lebih
positif, percaya diri dan yakin
serta lebih menerima dan
membuka diri.
79
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis sebagai berikut:
“Ada penurunan tingkat kecemasan pada wanita dengan infertilitas primer
pada kelompok eksperimen atara sebelum dan sesudah diberikan intervensi Group
Cognitive Behavioral Therapy. Setelah diberi intervensi Group CBT skor pada
skala TMAS lebih rendah daripada sebelum diberikan intervensi Group CBT”