Upload
others
View
6
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Profile Protein Cacing Pita Taenia sp.
Identifikasi komponen aktif dari protein cacing pita taenia pada berbagai stadium
perkembangan parasit diperlukan untuk mendapat protein yang imunogenik. Protein imunogenik
sebagai antigen dapat memberi respon kekebalan yang tinggi, sehingga berpeluang dikembangkan
sebagai kandidat vaksin dan alat uji serologis untuk tujuan diagnostik
Beberapa penelitian tentang efektivitas vaksin untuk penanggulangan sistiserkosis dan
taeniasis telah dilakukan (Lightowlers and Gauci, 2001; Gonzales et al., 2005; Assana et al., 2010;
Lightowlers, 2010). Pengembangan vaksin dengan dua protein rekombinan dari onkosfir T.
solium yaitu TSOL 18 dan TSOL 45-1A efektivitas protektif sebagai vaksin sebesar 99,5% dan
97 % terhadap babi yang diinfeksikan telur T. solium (Martinez-Ocana et al., 2011). Penelitian
yang serupa dilakukan menggunakan peptida sintetik sebagai vaksin untuk sistiserkosis pada T.
solium pada babi di mesiko dan vaksin mampu menurunkan jumlah sistiserkus 98,7 % dan
menurunkan prevalensi sistiserkosis 52,6% (Huerta et al., 2001)
Yang et al. (1998) telah menganalisis antigen spesifik dari cairan kista T. solium dengan
immunoblot untuk mendiagnosis neurosistiserkosis dan deferensial serodiagnosis dengan infeksi
stadium larva dari cestoda lain yaitu echinococcosis. Hasil penelitian ini dengan memeriksa 247
serum penderita neurosistiserkosis yang direaksikan dengan menggunakan antigen yang
mempunyai berat molekul 7, 10, 15, 20, 40, 64, 95 dan 160 kDa menunjukkan hasil antigen 10
kDa mempunyai reaksi yang paling kuat (84,6%) dan hampir sebagian besar antigen yang lain
menunjukan reaksi silang dengan alviolar echinococus dan hanya antigen dengan berat molekul
10 kDa tidak menunjukkan reaksi silang. Antigenik yang kuat dari protein 10 kDa ini juga
8
diobservasi melalui immunopresipitation dan memberikan hasil dengan sensitifitas yang tinggi.
Pada penelitian ini membuktikan antigen cairan kista T. solium dengan berat molekul 10 kDa
merupakan salah satu komponen antigen yang spesifik dengan realibialitas dan effektivitas yang
baik untuk uji serologis yang tidak berreaksi silang dengan alveolar echinococcosis.
Penelitian untuk pengembangan protein antigenik dari cacing Taenia solium melalui
peningkatan tehnik purifikasi protein sehingga dapat menghasilkan sebagai alat uji serologis yang
lebih spesifik menggunakan enzym-linked immunoelectro transfer blot (EITB). Purifikasi
glykoprotein dengan isoelectric telah menghasilkan antigen yang spesifik dapat digunakan untuk
immunoblot dan ELISA. Sensitifitas dan spesifisitas dari ELISA cocok dengan immunoblot (Ito
et al., 2002). Purifikasi antigen dari ekstrak kasar kista, skolek kista dan cairan kista T. solium
dengan tehnik Sodium dedocyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) dan
berat molekul ditentukan menggunakan standar berat molekul marker yang dideteksi dengan
EITB. Hasil purifikasi menunjukkan band antigenik dari ekstrak kasar kista adalah 23, 26, 29 dan
43 kDa dan band 26, 43 kDa dari skolek kista dan band 14, 20, 34, 66 kDa dari cairan kista yang
reaktif terhadap serum babi yang positif sistiserkosis (Dhanalakshmi et al., 2005). Protein antigen
yang umumnya sudah dikenal dengan EITB dari serum babi yang terinfeksi adalah 23, 26, 29 dan
43 kDa (Ito, et al., 1999). Protein dengan band 26 dan 43 kDa merupakan protein antigenik yang
ideal untuk serodiagnosis. Protein dari ektrak kasar kista, antigen skolek dan cairan kista T. solium
merupakan sumber antigen untuk pengembangan menjadi protein yang imunogenik.
Protein spesifik dari antigen skolek sistiserkus telah dipurifikasi menggunakan
polyacrylamide gel elekrophoresis dan elektoelution direaksikan dengan antibodi dari serum
neurosistiserkosis menggunakan Western blots , diperoleh berat molekul protein 13, 17 dan 26
kDa. Kemudian dengan uji ELISA protein tersebut mempunyai spesifitas 53%, 88% dan 100%
9
dengan nilai cut off serum 1:32 spesifik untuk immunodiagnosis untuk neurosistiserkosis (Lisiane
et al.,1999). Ini menunjukkan Protein antigenik dengan berat molekul 26 kDa merupakan antigen
yang spesifik untuk immunodiagnosis dengan sensitifitas dan spesifitas 100%. Pada penelitian
yang lain melaporkan purifikasi antigen skolek T. solium ditemukan berat molekul 100, 95, 26
kDa mempunyai sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk dapat dikembangkan dan digunakan
sebagai alat tes diagnostik untuk sistiserkosis (Francesco et al., 2007).
Deteksi protein dari crude kista T. saginata dengan SDS-PAGE didapatkan 10 band protein
dengan berat molekul 14 kDa sampai 260 kDa dan setelah dilakukan imunobloting diperoleh 10
protein 14, 18, 23, 50, 55, 60, 67, 130, 150 dan 260 kDa yang bersifat imunogenik. Band protein
14 dan 18 kDa tidak cross reaksi dengan spesies Taenia sehingga sangat dikembangkan untuk
imunodiagnostik. Sedangkan band protein dengan berat molekul 67 kDa dapat dikembangkan
sebagai kandidat vaksin untuk Taenia sp. (Abasoir et al., 2013). Pengamatan profil elektroforesis
terhadadap antigen skolek C. bovis ditemukan 6 band protein antara 20 sampai 50 kDa dan band
dengan berat molekul 50 kDa merupakan band yang utama (Kordafshari et al., 2010). Lebih lanjut
Kandill et al. (2012) yang melakukan penelitian tentang crude antigen T. saginata untuk diagnosis
Bovine cysticercosis melaporkan bahwa protein yang paling sering ditemukan adalah yang
memiliki bobot molekul 45, 73 dan 90 kDa. Dua band diantaranya, yaitu dengan berat molekul 45
dan 73 kDa, merupakan band yang utama. Hasil elektroforesis SDS-PAGE terhadap cairan kista
C. bovis yang diperoleh dari sapi bali yang terinfeksi sistiserkosis didapatkan 7 protein imunogenik
dengan berat molekul berturut- turut adalah 16,81 kDa; 19,22 kDa; 20,98 kDa; 27,41 kDa; 34,02
kDa, 38,31 kDa dan 54,94 k Da (Dharmawan et al., 2013)
Penelitian pengembangan antigen kista T. solium sebagai antibodi monoklonal (AbMo)
untuk melacak infeksi larva pada hewan terinfeksi telah dilaporkan antigen dari ekstrak kasar kista
10
yang diperoleh protein spesifik yang bereaksi dengan AbMo adalah protein antigen dengan berat
molekul 78 KDa . AbMo ini dipakai untuk melacak antigen sistiserkus pada daging babi yang
terinfeksi oleh sistiserkus , dengan uji ini tampak bahwa bekas larva cacing terwarnai coklat.
Penggunaan AbMo dalam uji imunohistokimia untuk melacak antigen sistiserkus selulosa penting
karena tidak semua larva dalam tubuh babi dalam keadaan hidup sehingga sulit dibedakan dengan
lesi lainnya ( Oka et al., 2011)
2.2 Taenia saginata
Cacing pita dari genus Taenia yang umum menginfeksi manusia adalah T. saginata , T. solium dan
T.asiatica. Ketiga spesies cacing pita ini dianggap penting karena dapat menyebabkan penyakit
pada manusia, yang dikenal dengan taeniasis. Cacing ini sulit dibedakan berdasarkan pemeriksaan
feses karena bentuk dan ukuran telurnya sama (Mayta et al., 2000). Hospes definitif dari T.
saginata adalah manusia dan predeleksinya pada usus halus. Bentuk metacestoda ditemukan pada
sapi yang disebut cysticercus bovis (Wandra et al., 2006).
2.2.1 Morfologi Taenia saginata
Cacing T. saginata berukuran panjang 5-10 meter dan pada skoleknya tidak dipersenjatai
atau tanpa kait. Sekoleks berbentuk segiempat dengan garis tengah 1-2 milimeter, dan mempunyai
empat alat isap (sucker). Proglotid dewasa memiliki percabangan uterus lateral berjumlah 15-35
buah. Setiap proglotid bunting mengandung lebih dari dari 100 butir telur. T. solium dapat
dibedakan dengan T. saginata karena T. solium memiliki skolek yang dipersenjatai oleh dua baris
kait dan pada proglotid dewasa ditemukan percabangan uterus lateral berjumlah 7-12 buah
(Soulsby, 1982). Segmen cacing ini dapat mencapat 2000 buah. Segmen matur mempunyai ukuran
panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran 0,5 cm x 2 cm. lubang
genital terletak di dekat ujung posterior segmen. Uterus pada segmen gravid berbentuk batang
11
memanjang dipertengahan segmen, mempunyai 15-30 cabang disetiap sisi segmen. Segmen gravid
dilepaskan satu demi satu, dan tiap segmen dapat bergerak sendiri diluar anus. Segmen gravid
T.saginata lebih cendrung untuk bergerak dibandingkan dengan segmen gravid T. solium (CFSPH,
2005).
2.2.2 Morfologi Cysticercus bovis
Sistiserkus adalah fase istirahat bentuk larva cacing Taenia yang terdapat pada tubuh
hospes perantara, dan terdiri atas kantung tipis yang dindingnya mengandung sekoleks dan rongga
ditengahnya mengandung sedikit cairan jernih (Soedarto, 2008). Sistiserkosis adalah penyakit
parasitik yang disebabkan oleh sistiserkus. Sistiserkus yang ditemukan pada sapi (Cysticercus
bovis), dan pada babi (Cysticercus cellulosa). Sistiserkosis ditandai adanya kista pada otot skeletal
dari hospes (CFSPH, 2005).
Kista sistiserkus bovis panjang berukuran 6 – 9 mm, dan diameternya sekitar 5 mm ketika
telah berkembang sempurna. Kista paling sering dijumpai pada otot masseter, lidah dan
diagfragma (Soedarto, 2008). Pada infeksi eksperiment T. saginata pada sapi Bali ditemukan kista
terdistribusi pada seluruh karkas, terutama otot didaerah muka, intercostae, diafragma, jantung dan
paha (Dharmawan, 2000).
2.2.3 Siklus Hidup T. saginata
Manusia dapat terinfeksi oleh cacing pita karena memakan daging yang mengandung
sistiserkus yang kurang dimasak dengan sempurna. Dalam siklus hidupnya, cacing pita pada
manusia melibatkan hewan ternak sebagai inang antara yaitu T. solium melibatkan babi sebagai
inang antara , sedangkan T. saginata inang antaranya adalah sapi (Galan-Puchades dan Feuntes,
12
2000). Apabila telur cacing pita dimakan oleh sapi (T. saginata) dan babi (T. solium) maka didalam
saluran usus onkosfer dilepaskan, kemudian bermigrasi melalui peredaran darah menuju tempat
predeleksi yaitu pada otot, otak dan beberapa organ lainnya. bentuk metacestoda dari cacing pita
disebut sistiserkus yang pada manusia dapat menimbulkan neurosistiserkosis dengan kista pada
otak (Mayta et al., 2000; Verastegui et al., 2008). Bentuk larva dari cacing T. saginata pada sapi
disebut sistiserkus bovis dan bentuk larva T. solium pada babi disebut sistiserkus selulose.
Cacing dewasa T. saginata melepaskan segmen gravid yang paling ujung dan bisa pecah dalam
usus, sehingga telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita (Wandra et al., 2007). Apabila
telur cacing yang dikeluarkan bersama feses mengkontaminasi tanaman rumput dimakan oleh
ternak sapi, telur cacing akan pecah didalam usus sapi dan mengakibatkan lepasnya onkosfir
(Margono et al., 2006). Apabila sapi memakan telur cacing yang mengandung onkosfir, maka
didalam usus halus onkosfir akan menetas kemudian menembus mukosa usus halus untuk
selanjutnya melalui sirkulasi darah menuju berbagai jaringan tubuh lain dan onkosfir akan
berkembang membentuk sistiserkus (cacing gelembung) pada otot skletal, diaphragma, lidah, otot
jantung dan organ visceral dalam waktu 10 minggu (Basem et al., 2009). Pada T. solium
perkembangannya mirip dengan T. saginata, yang mengeluarkan segmen gravid bersama feses 8-
12 minggu setelah babi terinfeksi. Apabila manusia secara tidak sengaja memakan makanan yang
terkontaminasi telur T. solium maka kista akan dapat berkembang pada tubuh manusia yang
predeleksinya pada otot sekletal, jaringan sub kutan, mata dan bila mencapai pada sistem saraf
pusat (CNS) maka dapat menimbulkan penyakit yang disebut neusistiserkosis (Garcia et al., 2003).
Siklus hidup lengkap T. saginata dapat dilihat pada gambar 2.1
13
Gambar 2.1 Siklus Hidup Taenia saginata.
Sumber : www.cdc.gov/parasite/taeniasis/biology.html.
Manusia terinfeksi dengan cara makan daging sapi yang kurang dimasak, yang
mengandung larva sistiserkus. Di dalam usus manusia skoleks akan mengadakan eksvaginasi dan
melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan
kemudian membentuk strobila. Dalam waktu 10-12 minggu cacing T. saginata berkembang
menjadi dewasa dan mulai mengeluarkan segmen yang gravid melalui feses. Cacing dewasa dapat
mencapai panjang 4-25 m dan dapat hidup pada usus manusia 5-25 tahun (CFSPH, 2005).
2.2.4 Epidemiologi Sistiserkosis Bovis
Prevalensi taeniasis pada manusia adalah tinggi yang bervariasi diantara beberapa negara.
Variasi dari prevalensi karena kebiasan kebersihan, kualitas pemeriksaan daging dan kebiasaan
14
makan (Cabaret et al., 2002). Penularan pada hewan terjadi karena kontaminasi makanan atau air
oleh feses dari manusia yang terinfeksi. Kontaminasi material dapat diperoleh secara langsung dari
feses manusia atau melalui tanaman yang pengairan dari pembuangan kotoran manusia (Abuseir
et al., 2007). Siklus hidup dan penularan dari cacing ini umumnya terjadi pada karakteristik
lingkungan yang sanitasinya buruk, sistem peternakan yang tradisional, pemeriksaan daging yang
tidak dilakukan secara rutin dan kebijakan dalam managemen dan kontrol penyakit yang kurang
(Gredaghi et al., 2011). Dampak ekonomi secara signifikan terjadi pada industri peternakan sapi
di negara-negara yang sedang berkembang.
Survei epidemiologi pada bovine sistisekosis di Eropa melalui pemeriksaan daging
Ditemukan prevalensinya 0,007% sampai 6.8% (Cabaret et al., 2002). Namun pemeriksaan daging
mempunyai sensitifitas yang rendah dalam mendeteksi adanya kista sistiserkosis. Prevalensi
bovine sistiserkosis ditemukan meningkat dari tahun 2005-2007 sebesar 0,015% - 0,022%
(Allepus et al., 2009). Rendahnya prevalensi ini disebabkan sistem pemeliharan sapi adalah secara
intensif dengan dikandangkan, sehingga kontaminasi dari rumput oleh feses manusia dapat
dihindari. Rumput pada padang pengembalaan sangat potensial tercemar secara langsung feses
manusia atau saluran pembuangan kotoran yang langsung ke padang rumput , akses sapi ke tempat
air permukaan seperti sungai, kanal dan tergenangnya rumput oleh air pembuangan yang dapat
merupakan faktor risiko terjadinya bovine sistiserkosis (Boone et al., 2007) seroprevalensi
sistiserkosis ditemukan berkaitan dengan umur sapi , makin meningkat umur seroprevalensi
ditemukan lebih besar (Dorny and Praet, 2007).
Penelitian lain tentang kejadian bovine sistiserkosis pada sapi dilakukan di Egypti melalui
pemeriksaan daging sebesar 1,6 % yang predeleksi kista terutama ditemukan pada otot jantung
(Basem et al., 2009 ). Di Iran, pada 500 ekor sapi yang dipotong dilaporkan prevalensinya 3%
15
dengan predeleksi kista ditemukan pada otot lidah, maseter, otot jantung , otot tricep, diagfragma,
intercostae, hati dan limfe (Garedaghi et al., 2011). Pada sapi adanya sistiserkus pada daging dapat
menimbulkan kelemahan pada otot, gangguan syaraf, menurunnya kondisi tubuh dan pengafkiran
dari karkas yang terinfeksi (Ofukwu et al., 2009). Di negara Nigeria bovine sistiserkosis
merupakan salah satu masalah kesehatan hewan yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi
dilaporkan prevalensi berkisar antara 0,7 % dan tidak ada perbedaan prevalensi dengan umur dan
jenis kelamin sapi (Ofukwu et al., 2009). Variasi dari prevalensi yang dilaporkan dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti perbedaan iklim, jumlah sampel yang diperiksa dan program eradikasi
dan tindakan kontrol yang dilakukan pada masing-masing negara. Faktor lain seperti perbedaan
skill dan motivasi dari pemeriksa daging, kecepatan aktivitas pemotongan dan fasilitas
pemeriksaan daging (Garedaghi et al., 2011). Perbedaan hasil ini karena perbedaan lokasi
penelitian yang berkaitan budaya daerah, kebersihan perseorangan, tingkat pendidikan dan
program pemberantasan penyakit dari masing-masing lokasi.
2.2.5 Pengendalian dan Pencegahan Taeniasis
Pengendalian sistiserkosis dan taeniasis dapat dilakukan melalui peningkatan sanitasi dan
kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat, di antaranya dengan pemanfaatan jamban
yang optimal (Garcia et al., 2003). Pengendalian dapat juga dilakukan dengan pemberian obat
cacing yang efektif seperti Praziquantel (Sarti et al., 2000; Peniche-Cardena et al., 2002;
Wilingham and Engels, 2006). Kontrol sistiserkosis telah sukses dilakukan pada negara-negara
berkembang melalui peningkatan hygiene, sanitasi dan memelihara babi komersil dengan baik.
Namun pada negara berkembang dengan daerah endemis tinggi seperti Amerika latin, strategi
pengobatan dengan cysticidal pada babi dan manusia tidak berjalan dengan baik (Huerta et al.,
16
2001; Verastequi et al., 2008). Walaupun strategi pengendalian telah diterapkan, penyakit ini
masih tetap ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia, terutama di daerah pedalaman. Strategi
lain yang perlu dipertimbangkan adalah melakukan vaksinasi pada sapi dan babi sebagai sumber
penularnya. Pemberian vaksin yang efektif pada hewan tersebut, akan meniadakan sumber
penularan infeksi ke manusia, sehingga dapat memutus siklus hidup parasit. salah satu strategi
untuk mengontrol penularan sistiserkosis adalah melakukan vaksinasi pada babi (Huerta et al.,
2001). Kombinasi penggunaan pemberian antelmintik untuk carrier penderita cacing pita,
vaksinasi pada babi dan pendidikan masyarakat tentang penyakit maka eradikasi parasit dapat
dilakukan (Lightowlers, 2003). Dengan demikian, pelaksanaan vaksinansi pada hewan, sekaligus
dapat mengeliminasi agen penyakit yang berdampak buruk pada manusia.
Beberapa penelitian tentang efektivitas vaksin untuk penanggulangan sistiserkosis dan
taeniasis telah dilakukan (Lightowlers and Gauci, 2001; Gonzales et al., 2005; Assana et al., 2010;
Lightowlers, 2010;). Respon imun yang ditimbulkan oleh adanya infeksi larva cestoda dapat
merupakan konsep dasar untuk menjelaskan bahwa stadium onkosfer dapat mengeliminasi
melalui mekanisme imun. Sumber potensial untuk imunogenik dapat dilakukan dari sekresi
maupun onkosfer kista yaitu diperoleh protein dengan berat molekul 22,5 kDa dan 31,3 kDa.
Penggunaan antigen imunogenik dengan berat molekul 22,5 kDa dan 31,3 kDa ini protektif
terhadap perkembangan kista dan dapat dikembangkan menjadi kandidat vaksin (Verastequi et al.,
2008). Penggunaan vaksin sintetic peptide mampu menurunkan prevalensi sistiserkosis 52,6 %
pada babi yang divaksin dan menurunkan intensitas infeksi kista sebesar 97,9 %, dan penurunan
ini secara signifikan akan membebaskan daging babi terhadap sistiserkosis sehingga nilai jual
daging akan meningkat dan lebih menguntungkan (Huerta et al., 2002).
17
Pengembangan menggunakan rekombinan vaksin untuk melawan infeksi cacing pita telah
menggunakan antigen onkosfir dari T. solium yaitu TSOL 18 dan TSOL45-1A yang homolog
dengan antigen onkosfir T. ovis (To18 dan To45W) dan T. saginata (TSA18 dan TSA9) dan semua
antigen tersebut efektif menimbulkan tingkat proteksi yang tinggi terhadap T. solium (Flesser et
al., 2004). Antigen protektif To18 dan To45 ditemukan pada sitoplasma dan granula sekretori dan
sel glandular pada onkosfer T. ovis yang baru menetas (Lightowlers, 2010). Antigen vaksin TSO18
dan TSO45-1A efektif untuk mencegah infeksi dari telur T. solium yang diperoleh dari mexico,
Peru dan ekuador. Hal ini mengindikasikan antigen protektif untuk melawan isolat T. solium yang
berasal dari lokasi geografi yang berbeda (Flesser et al., 2004). Antigen TSA18 dan TSA9 dari T.
saginata, keduanya menimbulkan protektif yang tinggi terhadap infeksi telur T. saginata pada sapi
secara eksperimen (Lightowlers, 2010). Penelitian yang serupa dilakukan vaksinasi pada babi
menggunakan DNA ekspresi dari antigen B dari T. solium yang ditantang dengan telur T. solium,
ditemukan protektif tinggi (84-99%) terhadap sistiserkosis pada babi (Cai et al., 2001).
2.3 Respon Imun Antigen
Antigen adalah suatu senyawa atau substansi yang dapat menggertak sistem imunitas
dapatan pada inang atau individu. Antigen dapat berupa polisakarida, protein, lemak, asam inti
atau lipopolisakarida, maupun lipoprotein (Baratawidjaja, 2010). Ciri pokok antigenisitas suatu
bahan atau senyawa ditentukan dari limitasi fisikokimiawi serta derajat keasingan (Tizard, 2004).
Protein merupakan antigen yang terbaik karena ukuran dan kerumitan strukturnya. Hampir semua
protein yang berat molekulnya lebih besar dari 100.000 dalton bersifat antigenik. Pembentukan
sifat antigenik tergantung kepada pengulangan kelompok molekul secara regular, yang disebut
epitop (antigenik determinan) pada permukaan molekul besar (Subowo, 2009). Limitasi
fisikokimiawi suatu bahan atau senyawa agar dapat bersifat imunogenik yaitu ukuran molekul
18
harus besar, kaku dan memiliki struktur kimia kompleks. Ciri pokok yang kedua yaitu derajat
keasingan atau frekuensi paparan suatu bahan atau senyawa di dalam tubuh. Antigenisitas suatu
bahan atau senyawa juga ditentukan oleh derajat suseptibilitas antigen di dalam tubuh (Kuby,
2007).
Proses respon imun diawali oleh pengenalan antigen, dimana mekanisme pengenalan
merupakan peristiwa pengikatan molekul reseptor yang ada pada permukaan sistem imun dengan
molekul imunogen. Bagian yang terikat oleh molekul reseptor dinamakan diterminan antigenik
atau epitop dan hanya dapat diidentifikasi dengan antibodi, maka epitop selalu terdapat pada
permukaan imunogen. Jumlah epitop pada sebuah molekul imunogen beragam mulai dari
memiliki sebuah epitop disebut unideterminan dan yang memiliki lebih satu epitop dinamakan
multideterminan (Subowo, 2009). Dalam proses respon imun dilibatkan berbagai jenis sel yang
saling berinteraksi setelah terjadi pengenalan oleh limfosit melalui molekul reseptor masing-
masing. Berbagai jenis sel tersebut yaitu sel pengenal antigen, sel penyaji antigen, sel pendukung
dan sel efektor. Jika sel makrofag dalam respon imun alami dianggap sebagai sel pengenal antigen
dan sekaligus sebagai sel efektor, maka dalam respon imun adaptif sel makrofag bertindak sebagai
sel penyaji (Antigen Presenting Cell = APC). Didalam respon imun adaptif melibatkan 3 jenis sel
yaitu limfosit T, limfosit B dan sel makrofag yang bertindak sebagai sel pelengkap (Baratawidjaja,
2010).
Sel limfosit T terdiri dari 2 subpopulasi utama yaitu sel limposit T helper (Th) dan sel
limfosit T sitotosik (Abbas et al.,2000). Sel limfosit Th memiliki reseptor untuk IgM, sedangkan
sel limfosit sitotosik memiliki reseptor Fc untuk IgG (Tizard, 2004). Sel limfosit Th berperan
mensintesa sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan kelompok sel tertentu, sedangkan sel limfosit
sitotosik mengenali antigen asing pada MHC klas I (Flint, et al., 2000). Sel limfosit Th dibagi atas
19
2 subset yaitu sel limfosit Th-1 dan sel limfosit Th-2. Sel limfosit Th-1 berperan dalam respon
kekebalan seluler termasuk aktivasi makrofag dan sel NK. Sel limfosit Th-1 mensekresikan IL-2
(interleukin-2) dan interferon ÿ (IFN-ÿ). Sedangkan sel limfosit Th-2 mensekresikan IL-4, IL-5
dan IL-10 yang berperan dalam kekebalan humoral (Abbas et al., 2007).
Antigen disajikan oleh Antigen Precenting Cell (APC) ke limfosit T merupakan tahap awal
terjadinya respon imun. Antigen diproses di dalam makrofag dengan cara denaturasi atau
proteolisis. Molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) yang terdapat dalam lisosom
mengenali segmen antigen lalu dibawa ke permukaan sel dan disajikan kepada sel T. Makrofag
yang memiliki CD38 merupakan penghubung antara makrofag dengan sel T. Molekul MHC pada
APC bertindak sebagai reseptor primer antigen (Tizard, 2004; Baratawijaya, 2010).
Pada fagolisosom terjadi pemrosesan antigen yang meliputi proses oksidasi, non oksidasi,
dan degranulasi. Fragmen-fragmen antigen yang terbentuk, akan diikat oleh molekul MHC II
selanjutnya dibawa ke permukaan sel untuk disajikan ke sel T. Sel T helper melalui reseptornya
(TCR) akan mengenal antigen yang disajikan oleh makrofag. Ligan antara kompleks antigen-MHC
II pada sel penyaji dengan kompleks CD3-TCR pada sel T helper membangkitkan aktivitas inositol
pada membran sel T menjadi inositol trifosfat dan senyawa gliserol dalam sitoplasma. Inositol
trifosfat akan meningkatkan ion Ca++ dalam sitoplasma, sedangkan diasilgliserol akan
mengaktifkan enzim proteinkinase C. Keduanya merupakan sinyal untuk mengaktifkan sel T.
Namun kedua sinyal itu belum cukup untuk mengaktifkan sel T, karena itu masih memerlukan
sinyal ketiga yang diawali oleh IL-1 yang dilepaskan oleh makrofag. Aktivasi sel T helper dapat
diamati dengan disekresikannya IL-2 yang berguna pada sel B untuk menghasilkan antibodi (Noss
et al., 2001).
20
Aktivasi limfosit T berbeda dengan aktivasi sel B, aktivasi limfosit T, khususnya limfosit
Th dimulai dengan interaksi antara reseptor sel T dengan komplek antigen MHC klas II yang
terdapat pada permukaan APC. Selain menyajikan antigen, APC juga memproduksi IL-1 yang
merangsang pertumbuhan sel T. Sebagian besar aktivasi APC terjadi melalui sitokin yang
diproduksi oleh sel T, diantaranya yang paling penting adalah IFN-gama, GM-CSF dan TNF.
Aktivasi limfosit mengakibatkan terjadinya dua proses yaitu proliferasi dan deferensiasi sel
menjadi sel efektor (Kresno, 2010)
2.4 Interleukin
Pada reaksi imunologik atau reaksi inflamasi banyak substansi serupa hormone yang
dilepaskan oleh limfosit T dan B maupun sel-sel lain, yang berfungsi sebagai sinyal interselular
yang mengatur respons inflamasi lokal maupun sistemik terhadap rangsangan dari luar yang
disebut dengan interleukin (Kresno, 2010). Interleukin merupakan suatu peptida pengatur yang
dapat diproduksi oleh hampir semua jenis sel berinti dalam tubuh berfungsi dalam komunikasi
antar sel. Mediator ini diperlukan untuk proliferasi dan diferensiasi sel-sel hematopoitik dan untuk
mengatur dan menentukan respon imun (Subowo, 2009). Interleukin dalam menjalankan
fungsinya sebagai mediator saling berinteraksi antara interleukin sendiri dan interaksi ini dapat
berjalan sinergis dan antagonis (Dy et al., 1999).
Interleukin biasanya berefek lokal atau sistemik, lokal bekerja pada sel yang
memproduksinya. Bila diproduksi dalam jumlah banyak, interleukin dapat masuk kedalam
sirkulasi dan bekerja jauh dari sel yang memproduksinya (Abbas, 2003). Interleukin mempunyai
peranan yang penting untuk menentukan tipe respon imunitas tubuh yang efektif untuk melawan
agen infeksius. Ada dua macam respon imun yang terjadi apabila mikroorganisme yang masuk
kedalam tubuh, yaitu innate dan adaptive responses. Sel yang berperan dalam innate response
21
adalah sel fagosit (netrofil, monosit dan makrofag), sel yang melepaskan mediator inflamasi
(basophil, sel mast dan eosinophil) serta sel natural killer. Adaptive responses meliputi proliferasi
antigen –spesifik sel-T dan sel-B, yang terjadi apabila reseptor permukaan sel ini berikatan dengan
antigen-prensenting cells (APC) memprensentasikan antigen pada MHC dan berikatan dengan
reseptor limfosit. Sel-B akan memproduksi imunoglobulin, yang merupakan antibodi yang spesifik
terhadap antigen yang dipresentasikan oleh sel APC (Delves and Roit, 2000; subowo, 2009).
Interleukin-interleukin yang berfungsi sebagai mediator dan regulator respon imun didapat
terutama diproduksi oleh limposit T yang telah mengenal suatu antigen spesifik untuk sel-T
tersebut. Interleukin ini mengatur poliferasi dan defrensiasi limfosit pada fase pengenalan antigen
dan mengaktifkan sel efektor. Antigen dapat merangsang sel-T helper CD4 untuk berdiferensiasi
menjadi Th-1 dan Th-2 yang menghasilkan interleukin yang berbeda pula. Interleukin yang
disekresi Th-1 adalah IL-2 dan IFN-γ, sedangkan interleukin yang disekresi oleh Th-2 adalah IL-
4, IL-5, IL-6 dan IL-10 (Asadullah et al., 2003).
2.4.1 Interleukin 2
Struktur IL-2 terdiri dari protein dengan 123 asam amino (15,4 KDa) yang disentesis
sebagai protein prekursur dengan 153 asam amino dan dengan 20 asam amino terminal sebagai
sinyal sekuennya. Sedangkan gen yang mengkode IL-2 terletak pada kromosome 4q26-28, dimana
regulasi dari sintesisnya terjadi pada level transcripsion. Pada sel-T dijumpai suatu molekul yang
dapat menekan proses pasca transkripsional dari IL-2 mRNA sehingga hanya 2 % dari precursor
IL-2 yang diproses menjadi IL-2 (Ibelgaufts, 2003).
22
Aktivitas biologis dari IL-2 dilakukan melalui ikatan dengan reseptor membran yang hanya
diekspresikan pada sel yang aktif saja, sedangkan pada sel yang tidak aktif tidak didapatkan
reseptor IL-2 yang lengkap. Sekali limfosit T dirangsang untuk melepaskan IL-2, mediator tersebut
dapat berinteraksi dengan sel itu sendiri (efek autokrin) atau interaksi dengan sel lain yang
memiliki reseptor untuk IL-2 (efek parakrin). Limfosit T yang teraktifkan oleh antigen yang
melepaskan IL-2 dapat meningkatkan jumlah klonnya sendiri, meningkatkan perbanyakan limfosit
T lain yang telah teraktifkan oleh antigen yang sama dan meningkatkan pertumbuhan sel-sel bukan
limfosit T, tetapi memiliki reseptor IL-2 (subowo, 2009).
Interleukin-2 adalah faktor pertumbuhan sel T yang dirangsang antigen dan berperan pada
ekspansi klon sel T setelah antigen dikenal. Ekspresi reseptor IL-2 ditingkatkan oleh rangsangan
antigen, oleh karena itu sel T yang mengenal antigen merupakan sel utama yang berproliferasi
pada respons imun spesifik. IL-2 meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel T, sel B dan NK.
IL-2 juga mencegah respons imun terhadap antigen sendiri melalui peningkatan apoptosis sel T
(Baratawijaya, 2010). Hasil penelitian pada mencit yang diimplantasi dengan sistiserkus T. solium
menunjukkan terjadinya proliferasi sel T dan peningkatan IL-2 (Lilian et al., 2005).
Fungsi IL-2 dalam imunoregulasi adalah memacu proliferasi dan diferensiasi sel T helper.
Semua subset limfosit T dapat mengekspresikan reseptor IL-2 dan memberikan respon terhadap
IL-2 tetapi sel T juga memproduksi IL-2, sehingga dikatakan bahwa sel T tumbuh dengan
mekanisme autocrine yang diatur oleh adanya rangsangan eksternal (Bratawidjaya, 2010).
Disamping merangsang sel T, IL-2 juga mampu merangsang beberapa jenis limfokin antara lain
interferon, colony stimulating factor (CSF) dan limfotoksin serta meningkatkan efek sitotoksik
dari sel T sitotoksik. Selain merangsang limfosit, IL-2 ternyata juga memberikan rangsangan sel-
sel non T, misalnya aktivasi sel NK dan mengaktivasi makrofag (Kresno, 2010)
23
Il-2 diproduksi terutama oleh limfosit T penolong (Th) atas rangsangan IL-1 yang
dilepaskan oleh makrofag. Sel T dalam keadaan tidak teraktivasi tidak dapat berinteraksi dengan
Il-2, tidak mengandung mRNA untuk IL-2 dan juga tidak memproduksi Il-2 secara spontan. Tetapi
bila mendapat rangsangan antigen, mRNA untuk IL-2 dapat dibentuk dan dideteksi dalam waktu
1 jam, mencapai jumlah maksimum dalam waktu 6-8 jam dan kemudian menurun kembali dalam
waktu 24 jam. Ada beberapa bentuk reseptor IL-2, masing-masing dengan afinitas tinggi,
intermidiet dan rendah yang pada umumnya diekspresikan pada permukaan sel yang teraktivasi.
Ekspresi reseptor IL-2 afinitas tinggi menunjukkan bahwa IL-2 telah terikat dan mengalami
internalisasi dengan konsentrasi fisiologis (Kresno, 2010)
2.5 Antibodi
Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat interaksi
antara Limfosit B teraktifasi dengan antigen spesifik. Antibodi memiliki kemampuan berikatan
spesifik dengan antigen perangsangnya serta mempercepat penghancuran dan penyingkirannya.
Antibodi terdapat dalam berbagai cairan tubuh dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada serum
darah. Molekul antibodi beredar di dalam pembuluh darah dan pada proses peradangan akan
masuk ke jaringan tubuh (Abbas et al., 2007; Tizard, 2004 ).
Interaksi antigen dengan antibodi bersifat non-kovalen dan pada umumnya sangat spesifik.
Antibodi hanya diproduksi oleh limfosit B dan disebarkan ke seluruh tubuh secara eksositosis
dalam bentuk plasma dan cairan sekresi. Antibodi ditemukan dalam plasma berikatan dengan
reseptor spesifik pada daerah konstan (Fc) dari imunoglobulin. Antibodi juga ditemukan dalam
cairan sekresi seperti mukus, susu, dan keringat (Tizard, 2004; Abbas et al., 2007).
Satu unit struktur antibodi merupakan glikoprotein (berat molekul sekitar 150.000 dalton)
yang terdiri dari empat rantai polipeptida. Semua antibodi mempunyai bentuk struktur yang sama
24
yaitu dua rantai pendek (VL) dan dua rantai panjang (VH). Bentuk tersebut dihubungkan dengan
bentuk kovalen (disulfida) dan erat hubungannya dengan sequens asam amino yang mempunyai
struktur sekunder dan tertier (Tizard, 2004; Abbas et al., 2007).
Rantai pendek (VL) berat molekulnya sekitar 25.000 dalton, dimana ada dua jenis rantai
pendek yaitu lambda (λ) atau kappa (κ). Pada manusia terdiri dari 60% kappa dan 40% lambda,
sedangkan pada mencit 95% kappa dan 5% lambda. Satu molekul antibodi hanya mengandung
lambda saja atau kappa saja dan tidak pernah keduanya (Tizard. 2004; Baratawidjaya, 2010).
Rantai panjang (VH) mempunyai berat molekul sekitar 50.000 dalton, yang terdiri dari
daerah variabel (V) dan konstan. Rantai panjang (VH) dan rantai pendek (VL) terdiri dari sejumlah
homolog yang mengandung kelompok sequence asam amino yang mirip tetapi tidak identik. Unit-
unit homolog tersebut terdiri dari 110 asam amino yang disebut domain imunoglobulin. Rantai
panjang mengandung satu domain variabel (VH) dan tiga dari empat domain konstan lainnya
(CH1, CH2, CH3, CH4, bergantung pada klas, dan isotipe antibodi). Daerah antara CH1 dan CH2
disebut daerah hinge (engsel), yang memudahkan pergerakan/fleksibilitas dari lengan Fab dari
bentuk Y molekul antibodi tersebut. Hal itu menyebabkan lengan tersebut dapat membuka atau
menutup untuk dapat mengikat dua antigen determinan yang terpisahkan oleh jarak diantara kedua
lengan tersebut (Abbas et al., 2007; Baratawidjaya, 2010).
Rantai panjang juga dapat meningkatkan fungsi aktivitas dari molekul antibodi. Ada 5 klas
antibodi yaitu: IgG, IgA, IgM, IgE, dan IgD, yang dibedakan menurut jenis rantai panjangnya
masing-masing yaitu: γ, α, μ, ε, dan δ. Klas antibodi IgD, IgE, dan IgG terbentuk dari struktur
tunggal, sedangkan IgA mengandung dua atau tiga unit dan IgM terdiri dari 5 unit yang
dihubungkan dengan sambungan disulfida. Antibodi IgG dibagi menjadi 4 subklas atau dikenal
isotipe yaitu IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4 (Abbas et al., 2007; Baratawidjaya, 2010).
25
Respon imun terhadap cacing sebagian besar diperankan Th2 yang melepas IL-4, IL-5
merangsang produksi IgE yang spesifik untuk cacing dan merupakan opsonin. IL-5 mengaktifkan
eosinofil yang mengikat IgE yang melapisi permukaan cacing melalui Fc�-R. Eosinofil yang
diaktifkan melepas Major Basic Protein (MBP) dan Monocyte –spesific Chemotactic Peptide
(MCP) yang dapat merusak cacing. Kebanyakan sel mast juga mengekspresikan Fc�-R dan diikat
IgE pada permukaan cacing dan menimbulkan degranulasi. Isi granul sel mast mengandung amin
vasoaktif, sitokin seperti TNF dan mediator lipid yang menginduksi inflamasi lokal yang dapat
menyingkirkan infeksi cacing. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain karena eosinofil
mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik yang diproduksi makrofag dan
neutrofil. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi
inflamasi yang ditimbulkan dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna
(Abbas et al., 2007; Baratawidjaya, 2010).
Struktur dan fungsi IgG dapat dipecah oleh enzim pepsin dan papain menjadi beberapa
fragmen yang mempunyai sifat biologi yang khas. Perlakuan dengan pepsin dapat memisahkan
Fab2 dari daerah persambungan hinge (engsel), karena Fab2 adalah merupakan molekul bivalen
sehingga dapat mempresipitasi antigen. Enzim papain dapat memutus daerah diantara CH1 dan
CH2 untuk membentuk dua fragmen yang identik dan dapat bertahan dengan reaksi antigen-
antibodi dan juga satu non-antigen-antibodi fragmen yaitu daerah fragmen kristalisabel (Fc).
Bagian Fc ini adalah glikosilat yang mempunyai banyak fungsi efektor (Tizard, 2004;
Baratawidjaya, 2010)
2.6 Respon Imun Terhadap Parasit Cacing
Pertahanan terhadap infeksi cacing yang hidup ekstraseluler terjadi melalui respon antibodi
IgE dan eosinophil. Diduga bahwa IgE berfungsi merangsang mastosit untuk melepaskan granula
26
dan menimbulkan peradangan. Eosinofil mengandung butiran yang zat-zat yang bersifat toxik
untuk parasit seperti metabolit oksigen reaktif, protein alkilic, neurotoxin eosinophylic,
leucotriens, faktor pertumbuhan dan enzim yang mampu merusak kutikula cacing dan
menghancurkannya (Kresno, 2010). Antigen presenting sel (APC) memainkan peran penting
dalam respon imun bawaan, karena mereka mampu mengenali berbagai molekul yang disajikan
patogen, yang disebut pathogen-asosociated molekuler pattern (PAMPs). Dalam beberapa tahun
terakhir, telah diketahui bahwa APC dapat mengenali PAMPs ini melalui Reseptor Toll-like (TLR)
dan NOD seperti reseptor (NLRs). Reseptor tersebut menginduksi signal melalui peradangan
dengan memproduksi sitokin. TLRs adalah reseptor protein transmembrans tipe 1 yang berperan
sebagai sensor pada respon kekebalan awal. TLRs ada pada permukaan banyak sel seperti pada
permukaan sel dendritik (DC), makrofag, neutrofil, sel endotel dan limfosit. Pengikatan TLRs
memicu serangkaian sinyal untuk aktivasi Nuclear faktor-kB (NF-kB) sehingga menyebabkan
peradangan (Frank, 2002)
Respon eosinophil pada infeksi parasit cacing tidak hanya ditentukan oleh respon imun
pada inang tetapi juga ditentukan oleh distribusi, migrasi dan stadium pendewasaan parasit. Nilai
eosinophil terutama berkorelasi dengan intensitas infeksi bentuk larva maupun dewasa dari parasit.
Pada infeksi bentuk kronis dapat terjadi infeksi lokal eosinophil dan tidak adanya eosinophil pada
saat stadium parasite cacing masuk kedalam jaringan, Pertahanan terhadap infeksi parasit
melibatkan kekebalan humoral dan kekebalan seluler. Adanya antibodi sering dikorelasikan
adanya aktivitas parasit pada tubuh. Adanya IgE yang dapat menginduksi degranulasi mastosit
yang dapat menyebabkan sejumlah perubahan physiologi dan struktur epithel usus, sehingga dapat
memproduksi sejumlah besar cairan, elektrolit dan sekresi mukus yang dapat meningkatkan
permiabilitas epithel dan kontrasi otot polos pada saluran pencernaan. Hasil perubahan tersebut
27
dapat mengeliminasi bentuk larva maupun dewasa parasit cacing sebelum mencapai jaringan
(Farthing, 2003).
IgE memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan sel basofil. Pada saat inang terinfeksi
parasit, maka level IgE dalam serum akan meningkat. Parasit yang masuk dalam lumen usus,
pertama kali akan dirusak oleh IgG akibat adanya peradangan dan antigen spesifik.
Peradangan ini terjadi diperantarai oleh peran IgE dan mekanisme tanggap kebal sitotoksisitas
seluler tergantung antibodi (ADCC). Mekanisme tersebut mengakibatkan IgE melekat pada
permukaan cacing. Selanjutnya terjadi perlekatan sel eosinofil melalui reseptor Fc yang
menimbulkan teraktivasinya sel Eosinofil sehingga mensekresikan protein yang bersifat toksik
untuk parasite cacing. Eosinofil dapat menyelimuti parasit sehingga eosinofil cepat mendekat
serta Eosinofil mengeluarkan peroksidase dan enzim preoteolitik lain dari granulanya yang dapat
menyebabkan parasit mati atau rusak. Pada saat berikatan tersebut, sel Eosinofil mendegranulasi
dan melepaskan kandungan granulanya pada kutikula cacing. Kandungan granulanya antara lain
superoksida, hidrogen peroksida, lisofosfolipase dan fosfolipase. Kecenderungan sel Eosinofil
melepaskan peroksidase ekstraseluler menunjukkan bahwa peran utamanya adalah pertahanan
jaringan terhadap invasi parasite (Tiuria, 2004). Eosinofil memproduksi mediator toksin
inflamatori yang unik yang disimpan dalam granul-granul dan disentesis setelah sel ini teraktivasi,
granul tersebut mengandung kristaloid yang terdiri dari Major Basic Protein (MBP) dan matrix
yang terdiri dari Eosinophil Cationic Protein (ECP), peroxidase eosinophil dan Eosinophil
Derived Neurotoxin (EDN) yang mengandung efek sitotoksin pada epitelium respiratori
(Baratawijaya, 2010).
Kekebalan seluler pada infeksi cacing ditandai dengan respon imun Th2. Limposit
Th2CD4 memproduksi sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10. IL-4 merangsang produksi antibodi IgE yang
28
dapat mengikat permukaan cacing dan membantu eosinophil untuk dapat mengenali dan
menghancurkannya. IgE juga dapat mengikat mastocyte, mengaktivasi untuk menghasilkan
sitokine dan menginduksi peradangan. Di sisi lain IL-5 dan IL-13 bereaksi merangsang
pematangan dan aktivasi eosinophil. Sel T regulatori dapat menghasilkan IL-10 yang dapat
mengakibatkan efek peradangan dan kemungkinan mempunyai peran respon pada sel TH2. IL-4
dan IL-13 juga dapat mengaktivasi macrophage (Baratawijaya, 2010). Eosinofil lebih poten untuk
membunuh cacing dibanding leukosit lain karena granula eosinophil berupa major basic protein
(MBP) lebih toksik bagi cacing dibanding enzim proteolitik dan ROI yang diproduksi oleh
neutrophil dan makrofag. Beberapa jenis cacing dapat merangsang sel B untuk memproduksi IgE
poliklonal. IgE poliklonal ini tidak menguntungkan penjamu karena IgE akan melekat pada
sebagian besar permukaan mastosit sehingga tidak ada tempat lagi bagi IgE spesifik yang
diperlukan untuk respon imun spesifik (Kresno, 2010)
Macrofag teraktivasi melalui IFN-γ dan TNF-α. Melepaskan Nitric Oxide (NO) yang toxic untuk
cacing. Makrofag merupakan sel terpenting yang dapat menghasilkan NO sangat berperan untuk
membunuh parasite. IFN-y merupakan sitokin penting yang dapat mengaktifkan respiratory burst
yang menghasilkan NO. IFN-α dapat bekerja sinergik dengan IFN-y dalam meningkatkan NO
dengan menginduksi sintase oksida nitrit (NOS), jalur NO penting dalam pembunuhan cacing
ekstraseluler. Makrofage yang diaktifkan dapat oleh sitokin Th1 dapat membunuh larva yang tidak
tergantung pada antibodi (Baratawijaya, 2010).
Pada respon imun terhadap parasit pentingnya peran CD40 yang merupakan protein co-stimulasi
yang diekspresikan pada APC dan berperan pada aktivasi sel. Reseptor CD154 merupakan ligan
CD40 yang diekpresikan oleh sel TCD4 dan interaksi antara CD40 dengan CD154 dapat
mengkontrol beberapa aspek signal pada respon imun humoral dan selular (Durie et al., 1994).
29
Polymorphisme CD154 kemungkinan dapat menentukan kerentanan terhadap infeksi parasit.
Dalam menghindari respon imun hospes parasit dapat melakukan beberapa cara seperti cacing
Fasciola spp. menghasilkan enzim suproxide dismutasis dan Glutation-S transferasis yang dapat
menetralisasi superoxide yang bersifat toxic. Fasciola sp. juga melepaskan catepsin L-proteasis
yang terikat antibodi IgE dan IgG melalui antibody–dependent cell cytotocycity (ADCC)( Moreau
and Chauvin, 2010).
Beberapa kelas imunoglobulin (Ig) diproduksi sebagai antibodi spesifik terhadap parasit
sistiserkus T. solium yang paling sering adalah IgG, yang dapat dideteksi dalam serum, cairan
serebrospinal (CSF) dan air liur, yang menunjukkan bahwa infeksi telah berlangsung lama.
Adanya korelasi antara terdeteksinya antibodi dengan intensitas infeksi, serta kelangsungan hidup
parasit dan antibodi paling sering terdeteksi pada kasus dengan kista hidup atau mati, dan jarang
dalam kista yang mengalami kalsifikasi (Sotelo and Brutto, 2000).
Salah satu fenomena paling menarik pada imunoparasitologi adalah penghindaran respon
imun hospes oleh parasit . Sistiserkus mampu bertahan di dalam hospes manusia selama beberapa
tahun sebelum mengalami degenerasi. Sistiserkus hidup dikaitkan dengan terjadinya sedikit
peradangan sekitar tempat infeksi (Flisser et al., 1990). Hal ini memungkinkan untuk tetap
hidupnya parasit. Mekanisme yang mendasari kelangsungan hidup parasit pada tempat
predileksinya secara imunologis bersifat kompleks dan mungkin melibatkan tertutupnya antigen
sistiserkus oleh imunoglobulin hospes definitif, kekebalan bersamaan, mimikri molekuler dan
penekanan atau penyimpangan dari respon hospes (Arechavaleta et al., 1998).