Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kota Berkelanjutan
Penduduk dalam suatu perkotaan akan terus mengalami peningkatan karena
banyaknya daya tarik yang terdapat pada pusat kota yang mengakibatkan terjadinya
urbanisasi. Tingginya urbanisasi yang terjadi berakibat pada proses pengkotaan
secara alami maupun migrasi yang menjadi tantangan bagi kawasan perkotaan
(UNDP, 2016). Permasalahan yang timbul dari proses tersebut sering kali membuat
kota-kota tumbuh secara tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, saat ini perkotaan
mulai diarahkan pada kota berkelanjutan. Menurut Shah (2008) kota yang
berkelanjutan akan memperhatikan dimensi lingkungan, sosial dan ekonomi. Untuk
mencapai kota berkelanjutan diperlukannya kesinambungan antara tiga komponen
tersebut dimana dalam hal ini dimensi lingkungan berkaitan dengan sistem
perkotaan yang perlu untuk mengantisipasi adanya permasalahan kemacetan dan
meneyediakan infrastruktur ramah lingkungan (Shah, 2008; Tomislav, 2018).
Dalam beberapa hal dimensi sosial berkaitan bertujuan untuk mempertahankan
identitas masyarakat lokal untuk memberikan gambaran khusus pada tiap kawasan
(Dril dkk, 2016). Sedangkan dimensi ekonomi bertujuan untuk menata kawasan
budidaya agar dapat bekerja secara optimal untuk kesejahteraan umum secara
inklusif (Shah, 2008). Adapun upaya yang dilakukan untuk mencapai keberlanjutan
kota dengan memnuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan
kebutuhan dimasa yang akan datang dapat dilakukan dengan cara pemanfaatan
energi dan menjaga kualitas udara, pemanfaatan lahan dan ruang terbuka hijau di
kota, pemanfaatan air, bahan bangunan dan limbah, kebijakan bidang transportasi,
terkait dengan kesehatan, kenyamanan, ketenteraman dan ketenangan hidup. Hal
ini merupakan sebuat pendekatan yang dilakukan terhadap keberlanjutan kota dari
segi infrastruktur yang berkelanjutan.
29
2.2 Transportasi
Transportasi merupakan perpindahan orang atau barang dari satu titik asal ke
titik lainnya sebagai tujuan secara efektif dan efisien dengan suatu sistem yang telah
dirancang yang didalamnya terdapat fasilitas tertentu beserta arus dan sistem
control (Papacostas, 1987). Sebuah sistem transportasi terdiri dari dari beberapa
sistem transportasi mikro yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Menurut Tamin (2000) sistem yang terdapat pada sistem transportasi makro adalah
sistem kegiatan, sistem jaringan, sistem pergerakan, dan sistem kelembagaan.
Sumber : Tamin, 2000
GAMBAR 2. 1
SISTEM TRANSPORTASI MAKRO
Sistem kegiatan dalam hal ini berkaitan dengan guna lahan yang terdapat pada
kawasan tertentu yang memberikan tarikan dan bangkitan suatu pergerakan.
Kegiatan pada setiap guna lahan perlu didukung dengan adanya pergerakan sebagai
alat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam melakukan pergerakan
diperlukannya sebuah sarana dan prasarana transportasi yang juga disebut sistem
jaringan. Dengan adanya suatu kegiatan pada kawasan tetentu yang didukung
dengan adanya jaringan sebagai alat untuk menjangkau kawasan tersebut maka
dalam hal ini akan terjadi sebuat sistem pergerakan. Pergerakan yang terjadi perlu
mengutamakan keamanan dan kenyamanan yang sesuai dengan kondisi lingkannya.
Untuk mencapai kondisi tersebut dibutuhkan sistem rekayasa dan manajemen lalu
lintas yang baik.
2.2.1 Transportasi Berkelanjutan
Transportasi berkelanjutan menurut Richardson (2000) adalah sistem
transportasi yang tidak berdampak negatif untuk keberlanjutan generasi yang akan
30
datang. Transportasi berkelanjutan merupakan salah satu cerminan sebuta kota
berkelanjutan terutama dalam bidang transoprtasi. Berdasarkan terminologi yang
sederhana kota yang berkelanjutan perlu untuk mengutamakan kepentigan secara
lingkungan, sosial, dan ekonomi yang harus terpenuhi oleh sistem transportasi yang
berkelanjutan dengan cara berikut (Fjellstorm, 2002):
a. Lingkungan; penggunaan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui harus
lebih rendah dibandingkan pertumbuhan barang penggantinya, tingkat emisi
polusi harus lebih rendah dari kapasitas asimilatif dan keanekaragaman hayati
perlu untuk dipertahankan.
b. Sosial; akses pada seluruh aktivitas untuk terlibat dalam kehidupan sosial harus
dapat dijamin sejauh mungkin, kualitas udara dan kebisingan harus
memperhatikan satandar yang diberlakukan oleh WHO (World Health
Organization) dan resiko kecelakaan harus diminimasi. 32.
c. Ekonomi; moilitas orang dan barang perlu untuk ditingkatkan untuk memenuhi
kebutuhan secara baik, menghindari kemacetan, dan tidak memberi beban
berlebih pada keterbatasan finasial dari anggaran publik dan swasta.
Penerapan transportasi berkelanjutan dalam hal ini berkaitan dengan
transportasi ramah lingkungan dimana menurut Organisation for Economic Co-
operation and Development (OECD) dalam Onogawa (2007:1) adalah pemenuhan
kebutuhan transportasi dimasa sekarang tanpa merugikan generasi dimasa yang
akan datang dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Penerapan
trasnportasi hijau ini dapat berupa penerapan NMT yaitu berjalan kaki dan
bersepeda.
2.3 Non Motorized Transportation
Non Motorized Transportation (NMT) merupakan jenis transportasi yang
bergerak tanpa menggunakan mesin maupun motor. NMT juga dikenal sebagai
transportasi aktif atau transportasi yang berbasis tenaga manusia. Menurut UU
Nomor 22 Tahun 2009, kendaraan tidak bermotor atau NMT merupakan merupakan
kendaraan yang digerakkan dengan tenaga manusia ataupun hewan. Beberapa jenis
moda transportasi yang tergolong dalam NMT yaitu berjalan kaki, sepeda, dan
beberapa jenis transportasi lain yang menggunakan roda kecil seperti skateboard
31
dan becak. Moda transportasi non motor ini memberikan dua aktivitas, yaitu
rekreasi dan aktivitas transportasi itu sendiri. Konsep pengembangan NMT mulai
diperhatikan ketika terdapat permasalahan dibidang lingkungan, sosial, ekonomi,
maupun fisik yang ditimbulkan karena aktivitas transportasi bermotor.
Perkembangan penggunaan NMT sangat bervariasi dari waktu ke waktu, begitu pun
dengan penggunaanya pada setiap negara karena sifat NMT yang sangat dinamis.
NMT pada dasarnya mencakup semua jenis moda transportasi tak bermotor
serta infrastruktur dan fasilitas pendukungnya yang mampu mempengaruhi kinerja
pelayanan dari NMT. Beberapa manfaat dari penggunaan NMT yaitu sebagai moda
transportasi yang ramah lingkungan, memberikan manfaat berupa kesehatan bagi
penggunanya, dan dapat menghemat biaya pengeluaran yang digunakan untuk
transportasi. NMT juga sering dimanfaatkan sebagai salah satu sumber rekreasi
bagi penggunanya. Hal ini dikarenakan adanya ketertarikan pengguna kendaraan
pribadi yang memilih untuk berjalan kaki maupun bersepeda yang dianggap lebih
menarik.
2.4 Pejalan Kaki dalam Sistem Transportasi
Pejalan kaki merupakan setiap orang yang berjalan di ruang lalu lintas jalan
(UU Nomor 22 tahun 2009). Menurut Giovanny (dalam Mamuaja dkk.,
2018:1134), salah satu sarana transportasi yang menjadi penghubung antara satu
fungsi dengan fungsi lainnya di suatu kawasan yaitu berjalan. Pada aktivitas
32
komersil dan kultural di lingkungan kota yang membutuhkan interaksi secara
langsung, maka berjalan kaki menjadi metode satu-satunya yang digunakan untuk
melakukan pergerakan internal kota yang mampu memenuhi kebutuhan aktivitas
tersebut (Fruin dalam Sakinah dkk., 2018:82). Menurut Rusmawan (dalam
Muslihun, 2013), kegiatan berjalan tidak hanya dilakukan menggunakan kaki,
melainkan didalamnya mencakup alat bantu pergerakan lain yang masih termasuk
dalam kelompok pejalan kaki. Berjalan kaki menjadi cerminan suatu kota yang
lebih manusiawi karena hal tersebut merupakan sarana transportasi yang mampu
menguhungkan berbagai fungsi kawasan yang memiliki aktivitas yang tinggi.
(Gideon dalam Mamuaja dkk., 2018:1134). Menurut Spreiregen (dalam Mamuaja
dkk., 2018:1134) pejalan kaki adalah sistem transportasi terbaik, namun memiliki
keterbatasan yang dipengaruhi oleh kekuatan fisik pada masing-masing individu.
Jarak paling nyaman yang mampu dijangkau oleh pejalan kaki berjarak 0,5 km,
lebih dari jarak tersebut akan membuat seseorang lebih memilih menggunakan
moda transportasi selain berjalan kaki.
Berdasarkan pendapat yang dipaparkan oleh banyak pihak tentang berjalan kaki
dapat disimpulkan bahwa berjalan kaki ialah suatu sistem transportasi yang paling
efektif untuk menghubungkan berbagai kegiatan dalam kawasan tertentu. Kegiatan
berjalan tidak hanya dilakukan oleh pejalan kaki secara normal melainkan juga
dilakukan dengan menggunakan alat bantu pergerakan atau disebut degan difabel.
Berjalan kaki memiliki keterbatasan kecepatan dan jangkuan yang dipengaruhi oleh
kondisi fisik, sehingga dalam kegiatan berjalan kaki perlu adanya sarana penunjang
dan sarana transportasi lainnya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
2.2.1 Hak dan Kewajiban Pejalan Kaki
Hak dan kewajiban merupakan hal yang mendasar yang dimiliki setiap
orang termasuk pejalan kak. Hal tersebut dijelaskan pada Undang-Undang Nomor
22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan yang menjelaskan bahwa hak
pejalan kaki terhadap ketersediaan fasilitas jalur pejalan kaki dapat berupa
penyediaan trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lainnya. Namun, apabila
fasilitas tersebut belum tersedia maka pejalan kaki diizinkan berjalan pada bagian
lainnya dengan tetap mengutamakan keselamatan dirinya. Selain itu, pejalan kaki
33
juga berhak untuk mendapatkan prioritas saat melakukan penyeberang pada jalur
yang telah disediakan.
Tidak hanya hak yang dimiliki, pejalan kaki juga harus memenuhi
kewajibannya sebagai pejalan kaki dengan cara berjalan pada bagian yang sudah
diperuntukkan dan menyeberang pada jalur penyeberangan. Jika tidak terdapat
tempat penyeberangan, maka pejalan kaki berhak untuk berjalan pada sisi lainnya
dengan mengutamakan keselamatan dan kelancaran lalu lintas. Untuk penyandang
cacat yang melalui jalur pejalan kaki harus menggunakan tanda khusus yang jelas
dan mudah dikenali pengguna jalan lainnya.
2.2.2 Tujuan Berjalan Kaki
Menurut Rubenstein (dalam Mamuaja dkk., 2018:1135) aktivitas berjalan
kaki memiliki beberapa tujuan, yaitu:
1. Berjalan kaki dengan tujuan perjalanan fungsional yaitu kegiatan berjalan kaki
yang dilakukan untuk mencapai suatu tempat yang fungsional seperti tempat
kerja dan tempat makan.
2. Berjalan kaki untuk tujuan berbelanja yang umumnya tidak terikat oleh waktu.
Kegiatan berjalan dalam hal ini dilakukan dengan tingkat kecepatan yang lebih
rendah dari tujuan fungsional. Berjalan kaki dalam hal ini memiliki jarak
tempuh lebih panjang dan sering tidak disadari oleh pejalan kaki karena adanya
daya tarik yang diberikan oleh kawasan yang dilaluinya.
3. Berjalan kaki untuk keperluan rekreasi, merupakan tujuan berjalan kaki yang
dapat dilakukan kapan pun dengan santai. Untuk menunjang kegiatan ini maka
jalur pejalan kaki harus dilengkapi dengan fasilitas pendukung yang bersifat
rekreasi seperti tempat untuk berkumpul dan memerlukan tempat duduk,
tanaman hias dan sebagainya agar pejalan kaki dapat menikmati pemandangan
disekitar jalur pejalan kaki.
2.2.3 Pejalan Kaki Menurut Sarana Perjalanan
Menurut Rubenstein (dalam Mamuaja dkk., 2018:1135) terdapat empat
kategori pejalan kaki menurut sarana perjalanannya, yaitu:
34
1. Pejalan kaki penuh, yaitu pejalan kaki yang melakukan perpindahan dari titik
awal hingga akhir dengan cara berjalan kaki.
2. Pejalan kaki pemakai kendaraan umum, yaitu penggunaan moda transportasi
berjalan kaki pada saat melakukan perpindahan dari titik awal perjalanan hingga
ke tempat kendaraan umum, perpindahan rute kendaraan umum, maupun
tempat pemberhentian kendaraan umum ke tempat tujuan yang ingin dicapai.
3. Pejalan kaki pemakai kendaraan umum dan kendaraan pribadi, yaitu
penggunaan moda transportasi berjalan kaki pada saat bergerak dari tempat
parkir kendaraan pribadi menuju tempat kendaraan umum dan dari tempat
parkir kendaraan umum menuju titik akhir perjalanan.
4. Pejalan kaki pemakai kendaraan pribadi penuh, yaitu penggunaan moda
transportasi berjalan kaki dari tempat parkir kendaraan pribadi ke tempat tujuan
akhir perjalanan.
2.2.4 Jarak Berjalan
Dalam melakukan perjalanan terdapat faktor yang mempengaruhi jarak
tempuh pejalan kaki. Menurut Unterman (dalam Indraswara, 2007:62) terdapat 4
faktor yang mempengaruhi jarak tempuh seseorang dalam berjalan kaki, yaitu:
1. Waktu, merupakan faktor yang memiliki hubungan dengan tujuan
dilakakukannya perjalanan. Berjalan kaki yang dilakukan pada waktu tertentu
dapat berpengaruh terhadap jarak tempuh perjalanan. Saat pejalan kaki
melakukan perjalanan dengan tujuan rekreasi, maka jarak yang ditempuh relatif
singkat, sedangkan berjalan kaki dengan tujuan berbelanja dapat dilakukan
lebih dari 2 jam dengan jarak tempuh 2 mil tanpa disadari oleh pejalan kaki.
2. Kenyamanan, merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keinginan orang
untuk melakukan perjalan yang dipengaruhi cuaca dan jenis aktivitas. Iklim
yang kurang baik akan menurunkan keinginan pejalan kaki melakukan
perjalanan dengan berjalan kaki, begitu juga dengan kondisi cuaca yang terik
akan mempengaruhi kenyamnan pejalan kaki. Kenyamanan juga dipengaruhi
oleh jenis aktivitas yang dilakukan, dimana aktivitas berbelanja dengan
membawa barang akan terasa nyaman apabila jarak yang ditempuh tidak lebih
dari 300 meter. Sedangkan untuk aktivitas berbelanja sambil melakukan
rekreasi kenyamanan ditentukan oleh lamanya melakukan perjalanan.
35
3. Ketersediaan kendaraan bermotor, berhubungan dengan ketersediaan
kendaraan bermotor baik kendaraan umum maupun pribadi yang menjadi
penghantar perjalanan sebelum atau sesudah berjalan kaki. Penempatan dan
penyediaan fasilitas kendaraan angkutan umum juga berpengaruh terhadap
keinginan orang untuk berjalan lebih jauh.
4. Pola tata guna lahan menjadi faktor yang mempengaruhi jarak tempuh
perjalanan. Pada daerah dengan guna lahan campuran akan lebih mudah jika
dijangkau dengan berjalan kaki karena akan lebih cepat dibandingakan
melakukan perjalanan menggunakan kendaraan bermotor karena orang akan
sulit berhenti setiap saat.
2.2.5 Fasilitas Pejalan Kaki
Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, fasilitas pejalan kaki perlu disediakan pada setiap jalan yang menjadi lalu
lintas umum. Fasilitas pejalan kaki merupakan seluruh komponen sarana dan
prasarana yang disediakan untuk memfasilitasi pergerakan pejalan kaki dengan
menjamin aspek keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki. Menurut Tanam
(2011) terdapat dua jenis fasilitas bagi pejalan kaki yaitu fasilitas utama berupa jalur
pejalan kaki yang mencakup jalur penyebrangan, trotoar, dan lainnya serta fasilitas
pendukung yang disediakan untuk mendukung kepentingan pejalan kaki seperti
penyediaan tempat sampah, papan informasi, dan lainnya.
Menurut pedoman penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana ruang
pejalan kaki, fasilitas pejalan kaki terbagi dalam dua kategori yaitu fasilitas
prasarana atau fasilitas utama dan fasilitas sarana sebagai fasilitas pendukungnya.
Adapun fasilitas sarana bagi pejalan kaki adalah sebagai berikut.
a. Drainase
Drainase dapat disediakan sejajar atau dibawah jalur pejalan kaki. Penyediaan
saluran drainase berfungsi untuk mencegah banjir dan genangan air yang terjadi
saat hujan yang dapat mengganggu jalur pejalan kaki.
b. Jalur hijau
Penyediaan ruang terbuka hijau pada jalur pejalan kaki berfungsi untuk
memberikan rasa nyaman bagi pejalan kaki. Penyediaan RTH dapat berupa jalur
36
hijau yang disediakan pada jalur pendukung dengan lebar 150 cm dan
komponen yang digunakan sebagai jalur hijau meruapakan tanaman tipe
peneduh.
c. Lampu penerangan
Lampu penerangan terletak di jalur pendukung setiap jarak 10 m dan tinggi
maksimal 4 m. Bahan yang digunakan untuk lampu penerangan ini merupakan
bahan yang mempunyai durabilitas tinggi seperti beton cetak dan metal.
d. Tempat duduk
Penyediaan tempat duduk setiap jarak 10 m dengan lebar 40-50 cm dan panjang
150 cm. Bahan yang digunakan merupakan bahan dengan durabilitas tinggi
seperti metal dan beton cetak.
e. Pagar pengaman
Penyediaan pagar pengaman berfungsi untuk melindungi pejalan kaki yang
melintas pada titik yang berbahaya sehingga disediakan pengaman dengan
tinggi 90 cm.
f. Tempat sampah
Tempat sampah perlu disediakan pada jalur pendukung setiap 20 m dengan
kapasitas penampungan yang disesuaikan dengan kebutuhan.
g. Marka, perambuan, papan informasi
Sarana pendukung berupa marka dan perambuan serta sistem informasi ini
disediakan pada titik yang menjadi interaksi sosial, jalur dengan arus pejalan
kaki yang padat dan besaran yang disesuaikan dengan kebutuhan.
h. Halte/shelter bus dan lapak tunggu
Shelter diletakkan pada titik yang potensial dalam suatu kawasan atau setiap
radius 300 m, dengan besaran yang disesuaikan.
i. Telepon umum
Telepon umum disediakan pada titik yang potensial dalam suatu kawasan atau
setiap radius 300 m, dengan besaran yang disesuaikan.
37
2.2.6 Karakteristik Pejalan Kaki
Menurut Budi (dalam Tanam, 2011) yang menjadi faktor utama dan perlu
diperhatikan dalam merancang dan merencanakan fasilitas pejalan kaki adalah
karakterisitik pejalan kaki.
1. Kecepatan Berjalan
Kecepatan orang berjalan saat berada pada jalur yang tidak terdapat hambatan
pada umumnya berkisar 4,8 km/jam atau sekitar 79,2 m/menit dan besaran
kecepatan tersebut pada seorang laki-laki akan lebih meningkat dibandingkan
dengan perempuan. Penurunan kecepatan berjalan dapat disebabkan jalanan
yang menanjak atau terdapat halangan yang disebabkan oleh kerumunan orang,
tanda lalu lintas, atau halangan lainnya.
TABEL II. 1
KECEPATAN BERJALAN BERDASARKAN UMUR DAN JENIS
KELAMIN
Jenis Kelamin Umur (Tahun)
Kecepatan Berjalan
(m/det)
Laki-laki
> 55 1,52
< 55 1,65
Wanita
> 55 1,3
< 55 1,39
Wanita bersama anak-
anak -
0,72
Remaja - 1,79
Anak-anak 6-10 1,12
Sumber: TRRL, 1985
2. Kebutuhan Ruang
Faktor utama yang menjadi karakteristik fisik pada pejalan kaki adalah dimensi
fisik tubuh manusia dan daya gerak. Selama melakukan perjalanan, tubuh
38
manusia mengalami pergerakan yang dapat berupa bergoyang kedepan dan
kebelakang beberapa centimeter. Adapun beberapa alasan lain yang
menyebabkan bertambahnya ruang pejalan kaki yaitu adanya kebiasaan-
kebiasaan tertentu seperti membawa paying, keranjang belanja atau berjalan
bersamaan sambil berbincang pada jalur pejalan kaki dan adanya benda yang
dapat mengurangi ruang pejalan kaki seperti keberadaan pedagang. Selain
dimensi fisik manusia, juga terdapat aspek ruangan sebagai tempat beraktivitas
yang dipengaruhi oleh ruang pribadi dan terbentuk karena antara seorang
pejalan kaki dengan orang lain di depannya dalam suatu kerumunan orang
(AASHTO dalam Tanam, 2011). Ruang yang memiliki kapasitas dan fasilitas
yang besar serta ruang gerak yang longgar akan memberikan kenyamananan bai
pejalan kaki karena dapat bergerak dengan bebas. Akan tetapi, jika kapasitas
ruang yang dimiliki cenderung lebih kecil dan ruang pribadi juga kecil, maka
pejalan kaki tidak dapat bergerak secara bebas. Keberadaan ruang pandang
menjadi salah satu aspek yang dapat berpengaruh terhadap kebutuhan ruang
pejalan kaki. kemampuan pandangan yang dimiliki oleh manusia digunakan
untuk memperkirakan kecepatan, jarak, dan arah dari orang lain dalam berjalan.
Dengan adanya kemampuan yang dimiliki, maka manusia dapat menerima
berbagai informasi visual seperti adanya rambu lalau lintas atau adanya potensi
bersinggungan dengan orang lain yang berpapasan dengannya.
3. Jarak Berjalan
Jarak tempuh yang mampu dilalui oleh pejalan kaki akan berbeda-beda pada
tiap individu karena dipengaruhi oleh kondisi fisik pejalan kaki. Jara perjalanan
yang akan ditempuh menjadi pertimbangan utama seseorang untuk berjalan
kaki. Menutur AASHTO (dalam Tanam, 2011) rata-rata jarak terjauh yang
mampu ditempuh oleh pajalan kaki adalah 0,4 km dan jarak 1,6 km merupakan
jarak terjauhnya. Namun dengan berbagai karakteristik wilayah yang berbeda
terutama pada wilayah yang beriklim tropis seperti Indonesia kondisi cuaca,
waktu, fasilitas dan lainnya dapat memepengaruhi jarak orang berjalan.
Berdasarkna penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang (dalam Tanam, 2011)
menunjukkan bahwa jarak berjalan kaki yang mampu ditempuh di Indonesia
pada umumnya berjarak 50-100 meter.
39
4. Pejalan Kaki Yang Berkebutuhan Khusus
Berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2009, pejalan kaki yang denga kebutuhan
khusus tidak hanya penyandang cacat tetapi juga mencakup orang tua (manusia
lanjut usia), anak-anak, ibu hamil, dan orang sakit. Kebutuhan ruang yang
diperlukan bagi orang yang berkebutuhan khusus yaitu fasilitas pejalan kaki
yang bebas dari halangan, sehingga dipelukannya penyedian jalur khusus bagi
para difabel. Persyaratan fasilitas pejalan kaki bagi difabel dapat
mempertimbangkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30 tahun 2006
tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung
dan Lingkungan.
2.5 Jalur Pejalan Kaki
Jalur pedestrian atau biasa disebut dengan pedestrian way, berasal dari bahasa
Yunani yaitu pedos yang berarti kaki dan dapat diartikan sebagai pejalan kaki atau
orang yang berjalan kaki, sedangkan kata way yang berasal dari bahasa Inggris
berarti jalan yang merupakan bangunan di atas permukaan bumi yang dibangun
untuk memudahkan manusia melakukan perjalanan, sehingga jalur pejalan kaki
dapat diartikan sebagai pergerakan manusia menggunakan moda berjalan kaki
untuk melakukan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain. Rubenstein (dalam
Muslihun, 2013:1136) menganggap bahwa jalur pedestrian sebagai suatu
pergerakan yang dilakukan oleh manusia dari titik asal (origin) menuju tempat
tujuan perjalanan (destination). Dalam merancang sebuat kota terdapat beberapa
elemen penting yang perlu dipertimbangkan keberadaannya yaitu pejalan kaki.
Kota dengan jalur pejalan kaki yang baik akan mampu merangsang aktivitas
diwilayah sekitarnya, mengurangi ketergantungan penggunaan kendaraan bermotor
sehingga menurunkan polusi udara yang berdampak pada menpngkatan kualitas
lingkungan serta udara dalam kota (Shirvanni dalam Mamuaja dkk., 2018:1136).
Jalur pejalan kaki merupakan bagian dalam suatu kota yang terbentuk karena telah
dirancang sebelumnya maupun terbentuk secara natural untuk menghubungkan
berbagai tempat yang dijadikan sebagai media bagi orang melakukan pergerakan
menggunakan kaki. Jalur pejalan kaki pada kawasan perdagangan pada tiap sisinya
40
terdapat deretan toko dan pada terdapat plaza terbuka sebagai lintasan umum pada
bagian ujungnya (Rubenstein dalam Muslihun, 2013).
Trotoar atau dalam bahasa Prancis “trotoire” merupakan jalur pejalan kaki yang
diartikan sebagai jalanan kecil dengan lebar 1,5-2 meter yang memiliki desain
memanjang di sepanjang jalan umum, jalan besar atau jalan raya. Penyediaan jalur
pejalan kaki tidak hanya digunakan untuk memberi kesan pada sebuah kota yang
dilalui, tetapi juga perlu memperhatikan fungsinya sebagai tempat untuk melakukan
pergerakan dan perpindahan dari satu titik ke titik yang lainnya secara aman dan
nyaman tanpa merasa takut terhadap kondisi sekitar seperti takut terhadap
pengguna jalur pejalan kaki lainnya maupun kendaraan yang melintas disekitar
jalur pejalan kaki.
Dalam merancang sebuah kota akan terdapat permasalahan yang sering
ditemukan yaitu menjaga keseimbangan penggunaan jalur pejalan kaki dengan jalur
kendaraan bermotor. Menurut Unterman (dalam Mamuaja dkk., 2018:1136) untuk
mendapatkan jalur pejalan kaki yang baik, maka diperlukan kriteria yang perlu
diperhatikan yaitu keamanan, menyenangkan, kenyamanan dan daya tarik. Menurut
Shirvani (dalam Iswanto, 2006:23) dalam merancang jalur pejalan kaki perlu
memperhatikan keseimbangan antara pejalan kaki dengan kendaraan, faktor
keamanan termasuk didalamnya kebutuhan ruang pejalan kaki, penyediaan fasilitas
di sepanjang jalur pejalan kaki yang memberikan kesenangan, dan ketersediaan
fasilitas publik yang menyatu sebagai elemen penunjang jalur pejalan kaki.
Dari berbagai teori yang telah dijelaskan oleh para ahli disimpulkan bahwa jalur
pejalan kaki merupakan salah satu elemen dalam suatu kota yang perlu
direncanakan secara baik agar menjadi daya tarik sehingga mampu meningkatkan
kegiatan dan memberikan peningkatan kualitas lingkungan karena berkurangnya
penggunaan kendaraan bermotor. Dalam merancang jalur pejalan kaki yang baik
terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu keamanan pejalan kaki terhadap
gangguan disekitarnya, memberikan kesenangan kepada pejalan kaki dalam
melakukan perjalanan dengan adanya kesesuaian penggunaan jalur pejalan kaki,
kenyamanan yang memberikan ruang yang cukup dan penyediaan fasilitas
41
pendukung jalur pejalan kaki yang menjadi daya tarik dalam melakukan
pergerakan.
2.3.1 Jenis Jalur Pejalan Kaki
Unterman (dalam Muslihun, 2013) mendefiniskan tipe jalur pejalan kaki di
ruang luar bangunan berdasarkan fungsi dan bentuknya. Jalur pejalan kaki menurut
fungsinya adalah sebagai berikut.
1. Jalur pejalan kaki yang terpisah dengan jalur kendaraan umum, berupa sidewalk
atau trotoar. Jalur pejalan kaki jenis ini perlu memperhatikan fasilitas yang
menunjang keamanan pengguna karena berada dekat dengan kendaraan
bermotor. Jalur pejalan kaki ini mempunyai permukaan yang rata dan terletak
ditepi jalan raya.
2. Jalur pejalan kaki yang digunakan sebagai jalur penyeberangan berfungsi untuk
menghindari konflik yang berpotensi terjadi antara pejalan kaki dengan moda
angkutan lainnya, sehingga dalam hal ini juga diperlukannya fasilitas pelengkap
berupa zebra cross, skyway, dan subway. Jalur yang dapat digunakan untuk
penyeberangan yaitu jalur penyeberangan jalan, jembatan atau jalur
penyeberangan bawah tanah.
3. Jalur pejalan kaki yang terpisah dengan kendaraan bermotor dan mimiliki sifat
rekreatif karena digunakan untuk mengisi waktu luang dan umumnya dinikmati
dengan santai tanpa adanya gangguan yang ditimbulkan oleh kendaraan
bermotor. Pada jalur ini disediakan bangku untuk berhenti dan beristirahat.
Fasilitas jalur pejalan kaki ini biasanya tersedia ini plaza dan taman kota.
4. Jalur pejalan kaki yang digunakan untuk berbagai kegiatan seperti berjualan,
duduk santai, dan berjalan sekaligus melihat etalase pertokoan yang biasa
disebut mall.
5. Footpath atau jalan setapak yang cukup sempit dan hanya dapat dilalui oleh satu
orang saja.
6. Alleyways atau pathways (gang) merupaka jalur yang berada di belakang jalan
utama yang relatif lebih sempit dan terbentuk karena adanya kepadatan
bangunan yang mengakibatkan tidak adanya kendaraan yang melintas sehingga
hanya digunakan oleh pejalan kaki.
42
Sedangkan jenis jalur pejalan kaki menurut bentuknya adalah sebagai berikut.
1. Arcade atau selasar, jalur ini memiliki atap dan dinding sebagai pembatas yang
hanya tersedia pada salah satu sisinya.
2. Gallery, yaitu sebuah bangunan berupa selasar yang lebar dan digunakan untuk
kegiatan tertentu.
3. Jalan pejalan kaki yang tidak terlindungi atau tidak memiliki atap.
2.3.2 Aktivitas di Jalur Pejalan Kaki
Jalur pejalan kaki sebagai alat penghubung antar ruang memiliki peran yang
cukup penting dalam sebuah kota. Fungsi jalur pedestrian pada daerah perkotaan
menurut Sanjaya dkk (2017:110) adalah sebagai berikut:
a. Sebagai fasilitas penggerak bagi para pejalan kaki
b. Sebagai media interaksi sosial
c. Sebagai unsur pendukung, keindahan dan kenyamanan kota.
Rapoport (dalam Sanjaya dkk., 2017:111) mengklasifikasikan beberapa
kegiatan yang terdapat di jalur pejalan kaki adalah sebagai berikut:
a. Pergerakan non pejalan kaki, yaitu kegiatan yang menggunakan berbagai
kendaraan beroda maupun moda angkutan lainnya untuk bergerak.
b. Aktivitas pejalan kaki, yang terdiri dari dua jenis yaitu aktivitas yang
bersifat dinamis sebagai moda transportasi atau aktivitas yang bersifat statis
seperti duduk, jongkok, berdiri dan sebagainnya.
Menurut Rapoport (dalam Sanjaya dkk., 2017:111), semua aktivitas
termasuk didalamnya adalah aktivitas pedestrian mengandung empat hal, yaitu
sebagai berikut.
a. Aktivitas yang sebenarnya, yang dapat berupa kegiatan berjalan.
b. Cara melakukan, hal ini dapat berupa berjalan di jalur pedestrian, makan di
rumah, dan lain-lain.
c. Aktivitas tambahan yang terdapat dalam aktivitas berjalan, seperti berjalan
sambil melihat etalase toko (window shopping).
d. Makna dari aktivitas, yaitu menghayati kondisi sekitarnya.
43
Jalur pejalan kaki tidak hanya berfungsi sebagai fasilitas pejalan kaki saja
melainkanjalur ini juga diguankan sebagai ruang interaksi antara manusia.
2.3.3 Fasilitas Jalur Pejalan Kaki
Suatu sistem jalur pejalan kaki yang dirancang dengan baik akan dapat
mengurangi ketergantungan seseorang terhadap penggunaan kendaraan di pusat
kota dan meningkatkan ketertarikan terhadap penggunaan jalur pejalan kaki,
sehingga mampu meningkatkan kualitas lingkungan di wilayah tersebut. Jalur
pejalan kaki dirancang dengan memperhatikan berbagai fasilitas yang perlu
disediakan sebagai pelengkapnya. Berdasarkan Permen PU Nomor 03 Tahun 2014
ruang pejalan kaki dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
1. Sidewalk yaitu jalur bagi pejalan kaki yang berada di sisi jalan.
2. Promenade yaitu jalur bagi pejalan kaki yang terdapat pada suatu wilayah
dengan salah satu sisi dari jalur tersebut berbatasan dengan badan air atau
kolam.
3. Arcade yaitu jalur pejalan kaki yang dirancang pada kawasan perkantoran
atau komersil. Jalur ini terletak bedampingan dengan bangunan gedung
pada salah satu atau kedua sisinya.
Selain menyediakan ruang bagi pejalan kaki, penyediaan fasilitas
penyeberangan bagi pejalan kaki juga sangat dibutuhkan. Berikut merupakan
jenis jalur penyeberangan bagi pejalan kaki.
1. Penyeberangan sebidang, yaitu jalur penyeberangan yang letaknya sebidang
dengan jalan. Penyediaan penyeberangan sebidang dapat berupa zebra cross
atau penyeberangan pelican.
2. Penyeberangan tidak sebidang, yaitu jalur penyeberangan yang terletak
tidak sebidang dengan ruas jalan. Penyeberangan ini dapat diletakkan diatas
maupun dibawah permukaan tanah. Jenis penyeberangan ini dapat berupa
jembatan penyeberangan atau terowongan.
2.3.4 Tingkat Pelayanan Jalur Pejalan Kaki
Tingkat pelayanan jalur pejalan kaki merupakan konsep yang digunakan
untuk mengetahui kemampuan pejalan kaki saat melakukan pergerakan di jalur
44
pejalan kaki. Kemampuan pejalan kaki ini dapat dilihat memilih kecepatan pejalan
kaki yang melintas. Analisis tingkat pelayanan jalur pejalan kaki atau yang biasa
disebut dengan Level Of Service (LOS) pada penelitian ini menggunakan metode
High Capacity Manual (HCM). Tingkat pelayanan jalur pejalan kaki dalam HCM
mempertimbangkan arus dan ruang pejalan kaki serta berhubungan erat dengan
volume dan kepadatan pejalan kaki. Untuk dapat mengetahui tingkat pelayanan
jalur pejalan kaki maka dibutuhkan data berupa lebar efektif jalur pejalan kaki,
volume pejalan kaki, kecepatan berjalan pejalan kaki, kepadatan pejalan kaki, serta
asal dan tujuan pejalan kaki (National Research Council, 2000). Perhitungan yang
digunakan untuk mengetahui tingkat pelayanan jalur pejalan kaki adalah sebagai
berikut.
1. Lebar efektif jalur pejalan kaki
We = Wt – Wo
Keterangan:
We = Lebar efektif jalur pejalan kaki (m)
Wt = Lebar keseluruhan jalur pejalan kaki (m)
Wo = Lebar hambatan (m)
2. Arus pejalan kaki per unit
Vp = 𝐕𝟏𝟓
𝟏𝟓 𝐱 𝐖𝐞
Keterangan:
Vp = Arus pejalan kaki (orang/menit/m)
V15 = Jumlah pejalan kaki tertinggi setiap 15 menit (org/15menit)
We = Lebar efektif jalur pejalan kaki (m)
3. Volume pejalan kaki
Volume pejalan kaki = 𝐕𝟏𝟓
𝟏𝟓
Keterangan:
Vp = Arus pejalan kaki (orang/menit/meter)
V15 = Jumlah pejalan kaki tertinggi setiap 15 menit (orang/15 menit)
4. Tingkat pelayanan jalur pejalan kaki berdasarkan arus
TPBA = 𝐕𝑷
𝐂𝟎 =
𝐕𝟏𝟓𝟏𝟓 𝒙 𝑾𝒆
𝑪𝟎
45
Keterangan:
Vp = Jumlah pejalan kaki tertinggi setiap 15 menit (orang/15menit)
𝑉15 = Lebar efektif jalur pejalan kaki (m)
𝐶0 = Kapasitas dasar (75orang/menit/meter)
Klasifikasi tingkat pelayanan jalur pejalan kaki terbagi kedalam 6 kategori sebagai
berikut.
1. LOS A
Jalur pejalan kaki seluas >5,6 m2/orang, dengan besaran arus pejalan kakinya
<16 orang/menit/meter. Jalur pejalan kaki yang memiliki standar A berarti
bahwa pada jalur ini memiliki ruang yang cukup bebas bagi pejalan kaki untuk
dapat berjalan dan menentukan arah berjalan dengan bebas dan kecepatan
berjalannya relatif cepat, namun tidak akan menimbulkan gangguan bagi
pejalan kaki lainnya.
2. LOS B
Jalur pejalan kaki seluas 5,6 m2/orang, besar arus pejalan kaki >16-23
orang/menit/meter. Pada LOS B berarti bahwa ruang pejalan kaki cukup
nyaman, namun pergerakan yang dilakukan oleh pejalan kaki lain disekitarnya
berpengaruh terhadap keleluasaan berjalan pengguna lainnya. Pada kondisi ini
pejalan kaki masih dapat berjalan dengan nyaman tanpa mengganggu pejalan
kaki lainnya.
3. LOS C
Jalur pejalan kaki seluas >2,2–3,7 m2/ orang, besar arus pejalan kaki >23-33
pedestrian/menit/meter. Pada LOS C berarti bahwa pergerakan perjalan kaki
berlangsung normal pada arus yang searah, akan tetapi hal ini tidak terjadi pada
pejalan kaki yang berbeda arah dan dapat menimbulkan konflik ringan antar
pejalan kaki. Pada kondiis ini, arus pejalan kaki masih tergolong normal tetapi
pergerakannya akan relatif lebih lambat karena adanya keterbatasan ruang yang
dimiliki oleh masing-masing pejalan kaki.
4. LOS D
Jalur pejalan kaki seluas >1,4–2,2 m2/ orang, besar arus pejalan kaki >33-49
orang/menit/meter. Pada bagian ini, pejalan kaki perlu mengganti posisi
berjalan dan mengatur kecepatannya sesering mungkin agar tetap nyaman
46
dalam berjalan. Hal ini karena pada arah yang berlawanan memiliki potensi
untuk menimbulkan konflik.
5. LOS E
Jalur pejalan kaki seluas >0,75–1,4 m2/orang, besar arus pejalan kaki >49-75
orang/menit/meter. Setiap pejalan kaki pada kondisi ini memiliki kecepatan
yang sama, karena banyaknya orang yang berjalan kaki. Arus perjalanan sangat
dipengaruhi oleh posisi pejalan kaki seperti berbalik arah atau berhenti. Jalur
ini sudah mulai tidak nyaman untuk dilalui oleh pejalan kaki yang padat, akan
tetapi kondisi ini masih merupakan ambang bawah dari kapasitas rencana ruang
pejalan kaki.
6. LOS F
Jalur pejalan kaki seluas <0,75 m2/orang, besar arus pejalan kakinya beragam.
Pada LOS F, kecepatan arus pejalan kaki sangat lambat dan terbatas sehingga
sering menimbulkan konflik yang searah ataupun berlawanan. Pada kondisi ini
pejalan kaki tidak dapat berbalik arah atau berhenti. LOS F merupakan tingkat
pelayanan yang tidak nyaman dan sudah tidak sesuai dengan kapasitas ruang
pejalan kaki.
2.3.5 Faktor Pengaruh Tingkat Pelayanan Fasilitas Jalur Pejalan Kaki
Menurut Highway Capital Manual (dalam Ramadhan dkk., 2018:106)
tingkat pelayanan fasilitas jalur pejalan kaki dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu sebagai berikut.
1. Kenyamanan (comfort), hal ini dapat berupa adanya pelindung yang diberikan
kepada pejalan kaki terhadap kondisi cuaca, ketersedian arcade, halte angkutan
umum dan sebagainya.
2. Kenikmatan (convenience), hal ini berkaitan dengan kondisi yang membuat
perjalanan lebih menyenangkan untuk dilakukan, sepreti jarak berjalan dan
tanda-tanda penunjuk.
3. Keselamatan (safety), hal ini mencakup ketersediaan untuk memisahkan pejalan
kaki dengan lalu lintas kendaraan lainnya seperti mall dan kawasan yang bebas
kendaraan.
4. Keamanan (security), hal ini mencakup lampu lalu lintas, pandangan yang tidak
terhalang ketika menyeberang dan tingkat atau tipe dari jalan.
47
5. Aspek ekonomi yang berkaitan dengan biaya pengguna yang berkaitan dengan
adanya tundaan perjalanan dan ketidanyamanan yang dirasakan.
Menurut Fruin (dalam Triska dkk., 2019:70) pengembangan fasilitas jalur
pejalan kaki berupa keamanan, keselamatan dan perbaikan gambaran terhadap fisik
sistem pejalan kaki dibutuhkan untuk dapat meningkatkan kenyamanan, keamanan,
kesenangan, kesinambungan, kelengkapan dan daya tarik pejalan kaki. Indikator
yang dapat digunakan untuk mencapai keberhasilan konsep pengembangan fasilitas
pejalan kaki yang akrab, yaitu keselamatan, keamanan, kenyamanan, kenikmatan,
dan keindahan (Uterman, 1984; Marcus dan Francis 1989; Carr, 1992; Rubenstein,
1992; Harris dan Dines, 1995; Bromley dan Thomas, 1993 dalam Muslihun, 2013).
1. Keselamatan (safety) diidentifikasi berdasarkan penempatan jalur pejalan kaki,
struktur, tekstur, pola perkerasan dan dimensi trotoar (ruang bebas, lebar efektif,
kemiringan) yang sesuai standar.
2. Keamanan (security), diidentifikasi berdasarkan kondisi pejalan kaki yang
terlindungi dari potensi terjadinya tindak kejahatan sehinnga perlunya
memberikan penerangan yang cukup atau struktur maupun lansekap yang tidak
menghalangi.
3. Kenyamanan (comfort), diidentifikasi berdasarkan kemudahan jalur pejalan
yang dilalui dari berbagai tempat, adanya pelindung terhadap kondisi cuaca
yang buruk, tempat istirahat sementara, terhindar dari hambatan yang karena
kondisi ruang yang sempit serta permukaan jalur pejalan kaki yang perlu
disediakan dengan nyaman dan dapat dipergunakan oleh siapa saja termasuk
penyandang cacat (difabel).
4. Kenikmatan (convenience), diidentifikasi dengan cara melihat jarak, lebar
trotoar, lanskap yang menarik serta keberadaan fasilitas yang menunjang
pejalan kaki.
5. Keindahan (aesthetics), merupakan hal-hal yang berhubungan dengan trotoar
dan lingkungan disekitarnya
Berdasarkan pendapat yang telah dijelaskan diatas dapat diketahui bahwa hal
yang dapat mempengaruhi pelayanan fasilitas jalur pejalan kaki adalah keamanan,
kenyamanan, keselamatan, dan kenikmatan. Hal ini dikarenakan aspek ekonomi
48
berhubungan dengan tundaan waktu perjalanan sehingga menimbulkan
ketidaknyamanan yang sudah termasuk kedalam aspek kenyamanan, sedangkan
untuk keindahan memiliki komponen yang sama dengan keindahan.
2.6 Kenyamanan Jalur Pejalan Kaki
Kenyamanan merupakan suatu nilai yang vital yang sudah selayaknya harus
dinikmati oleh setaip orang ketika melakukan kegiatan dalam satu ruang
(Anggriani, 2009). Sebuah perasaan yang sesuai terhadap panca indera dan
karakteristik fisik lain pada manusia yang disertai dengan tersedianya fasilitas yang
sesuai dengan kegiatan yang terdapat pada suatu lingkungan tertentu diartikan
sebagai sebuah kenyamanan (Weisman dalam Panduri & Suwandono, 2015:242).
Hal tersebut juga dikemukakan oleh Kolcaba (2003) yang menjelaskan bahwa
kenyamaan merupakan suatu kondisi telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia
yang bersifat individual dan holistik, sehingga menimbulkan perasaan sejahtera
pada setiap individu. Sanders dan McCormick (dalam Rangkuti, 2015:77)
menggambarkan bahwa konsep kenyamanan merupakan kondisi yang bergantung
pada individu yang mengalami situasi tertentu. Tidak ada seorang pun yang dapat
mengetahui tingkat kenyamanan orang lain secara langsung maupun observasi,
melainkan diperlukan interaksi langsung dengan cara menanyakan langsung kepada
individu yang dituju mengenai seberapa nyaman diri mereka. Untuk mendapatkan
jawaban tersebut biasanya digunakan istilah-istilah yang menggambarkan tingkat
kenyamnan seperti kurang nyaman, mengganggu, sangat tidak nyaman, atau
mengkhawatirkan.
Berdasarkan definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa kenyamanan
merupakan suatu perasaan pada setiap individu yang diterima terhadap kondisi
tertentu yang mungkin berbeda-beda setiap orang. Perasaan nyaman tersebut
didapatkan melalui pemenuhan kebutuhan manusia yang sesuai dengan kondisi
lingkungan sekitarnya. Dalam melakukan kegiatan perasaan nyaman merupakan
komponen vital yang harus terpenuhi bagi setiap individu.
2.4.1 Faktor Yang Mempengaruhi Kenyamanan Pejalan Kaki
Seluruh sarana dan Prasarana ruang pejalan kaki disediakan untuk
mendukung agar dapat terciptanya keamanan, kenyamanan, keindahan, kemudahan
49
dan interaksi sosial sesuai dengan kebutuhan ruang pejalan kaki yang diinginkan.
Kenyamanan merupakan komponen yang paling dibutuhkan dalam berjalan kaki.
Hal ini dikarenakan aspek kenyamanan berhubungan langsung dengan aspek
keamanan dan keindahan yang mampu memberikan daya tarik bagi pejalan kaki
dan menjadi indicator terwujudnya suatu jalur pejalan kaki yang baik.
Faktor yang mempengaruhi kenyamanan jalur pejalan kaki menurut
Unterman (dalam Damia & Nugrahaini, 2020:163) yaitu sirkulasi, aksesibilitas,
gaya alam dan iklim, keamanan, kebersihan, dan keindahan. Kemudian Hakim dan
Utomo (dalam Widodo, 2013:2) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kenyamanan jalur pejalan kaki antara lain sirkulasi, daya alam dan
iklim, aroma atau bau-bauan, bentuk, keamanan, kebersihan, dan keindahan.
Berdasarkan pendapadat yang dikemuakan oleh Unterman, Hakim dan Utomo
dapat diketahui bahwa komponen kenyamnaan berupa aroma dan bau-bauan dalam
hal ini sudah termasuk kedalam komponen kebersihan. Hal ini dikarenakan
kebersihan berhubungan dengan kondisi bak sampah yang yang dapat
menimbulkan aroma atau bau-bauan yang tidak sedap jika tidak direncanakan dan
dikelola dengan baik. Berdasarkan kondisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
yang mempengaruhi kenyamanan jalur pejalan kaki yaitu sirkulasi, aksesibilitas,
daya alam dan iklim, bentuk, keamanan, kebersihan dan keindahan.
1. Sirkulasi
Kenyamanan terhadap ruang dapat dipengaruhi oleh sistem sirkulasi yang baik.
Menurut Unterman (dalam Kaliongga dkk., 2014:245) sirkulasi merupakan
suatu perputaran atau peredaran. Dalam hal ini sirkulasi berkaitan dengan
dimensi jalan, alur pedestrian, maksud perjalanan, waktu, dan volume pejalan
kaki. Ketidakjelasan sirkulasi, pembagian ruang dan fungsi ruang antara
pejalan kaki dan ruang kendaraan bermotor dapat menurunkan kenyamanan
(Hakim dan Utomo dalam Lubis, 2018). Untuk dapat memberikan rasa aman
maka diperlukan penataan ruang yang fungsional agar tercipta sebuah
kelancaran pada setiap aktivitas sirkulasi baik untuk traditional space (sirkulasi
kenderaan bermotor dan pejalan kaki) maupun sirkulasi activity area (misalnya,
untuk PKL dan parkir).
2. Aksesibilitas
50
Aksesibilitas merupakan suatu kemudahan yang dapat dijangkau oleh pejalan
kaki terhadap objek, pelayanan ataupun lingkungan tertentu. Ketentuan yang
harus terpenuhi dalam jalur pejalan kaki mencakup hambatan, lebar, kawasan
laluan dan istirahat, kemiringan (grades), ramp, permukaan dan tekstur
(Unterman dalam Kaliongga dkk., 2014:245).
3. Gaya Alam dan iklim
Salah satu hal yang memerlukan perhatian yang cukup adalah kondisi iklim.
Hal ini dikarenakan iklim yang muncul seperti hujan dapat menimbulkan
gangguan bagi pejalan kaki. Menurut Unterman (dalam Kaliongga dkk.,
2014:245) suhu, radiasi matahari, kelembaban, dan angin merupakan faktor
iklim mikro yang mampu mempengaruhi kenyamanan manusia dalam berjalan.
Diena (dalam Hadi, 2012) menyatakan bahwa indeks kenyamanan ideal bagi
manusia di Indonesia berada pada kisaran THI (Temperature Human Index)
yaitu dengan nilai 20°C-26°C. Dengan adanya permasalahan tersebut, maka
perlu disediakannya tempat untuk berteduh seperti shelter dan gazebo. Selain
kondisi iklim berupa hujan terdapat juga pengaruh radiasi sinar matahari yang
cukup berpengaruh terhadap kenyamanan pejalan kaki.
4. Bentuk
Bentuk elemen landscape furniture jalur pejalan kaki perlu disesuaikan dengan
ukuran standar manusia agar skala yang dibentuk akan memberikan rasa
nyaman bagi penggunanya (Hakim dan Utomo dalam Widodo, 2013:3). Saat
ini trotoar yang telah disediakan seringkali ditemui tidak memiliki pembatas
yang jelas dengan jalur kendaraan bermotor. Akibatnya alur trotoar dan jalur
kendaraan yang memiliki ketinggian permukaan lantai (dasar) yang sama
dimanfaatkan untuk lahan parkir secara ilegal.
5. Keamanan
Pengertian dari keamanan bukan hanya mencakup keamanan dari segi kriminal
saja melainkan keamanan tentang kejelasan fungsi sirkulasi, sehingga pejalan
kaki terjamin keamanan atau keselamatannya dari bahaya yang ditimbulkan
karena adanya gesekan pejalan kaki dengan kendaraan bermotor. Perencanaan
keamanan antara pejalan kaki dengan kendaraan bermotor perlu diutamakan
sehingga harus disediakan fasilitas bagi pejalan kaki yang terpisah dengan jalur
51
kendaraan bermotor seperti disediakannya trotoar dengan difasilitasi oleh
pembatas jalan (kereb). Selain itu, menurut Unterman (dalam Kaliongga dkk.,
2014:245) penyediaan lampu penerangan pada jalur pejalan kaki dapat
meningkatkan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan bagi pejalan kaki.
6. Kebersihan
Daerah disekitar jalur pejalan kaki yang terjaga kebersihannya akan
memberikan daya tarik tersendiri bagi pejalan kaki dan menciptakan rasa
nyaman serta menyenangkan terhadap orang-orang yang melalui jalur pejalan
kaki tersebut. Untuk memenuhi kebersihan suatu lingkungan maka perlu
disediakan bak sampah sebagai elemen lanskap serta penataan saluran air yang
tersuusn dengan baik. Selain itu, pada wilayah yang sangat memerlukan kondisi
kebersihan yang tinggi, pemilihan jenis tanaman hias harus memperhatikan
kekuatan daya rontok daun, buah, dan bunganya.
7. Keindahan
Keindahan merupakan hal yang berhubungan dengan kepuasan batin dan panca
indera manusia yang perlu diperhatikan. Menurut Hakim dan Utomo (dalam
Widodo, 2013:4) untuk memperoleh kenyamanan yang optimal terhadap aspek
keindahan maka perlu adanya perancangan jalur pejalan kaki yang
memerhatikan berbagai segi, yaitu segi bentuk, warna, komposisi susunan
tanaman dan elemen perkerasan, serta faktor-faktor pendukung sirkulasi
kegiatan manusia.
2.7 Persepsi Pejalan Kaki
Persepsi menurut Rahmat (2005) merupakan pengalaman terhadap suatu objek,
peristiwa, atau hubungan yang didapatkan dengan cara menyimpulkan informasi
dan menafsirkan sebuah pesan. Adapun menurut Walgito (dalam Harsono, 2016)
mengatakan bahwa persepsi adalah sesuatu yang dapat menggambarkan aktivitas
yang diperoleh melalui merasakan, menginterpretasi dan memahami suatu objek
secara fisik maupun sosial. Menurut Robbins (2003) persepsi dalam kaitannya
terhadap lingkungan ialah suatu proses yang dilakukan oleh setiap orang dengan
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera yang ditangkap agar dapat
memberikan makna kepada lingkungan mereka. Menurut Brockman dan Merriem
52
(dalam Linta, 2016), terdapat faktor-faktor yang apat mempengaruhi persepsi
diantaranya yaitu jenis kelamin dan umur, latar belakang kebudayaan, pendidikan,
pekerjaan, asal atau tempat tinggal, status ekonomi, waktu luang, dan kemampuan
fisik dan intelektual. Berdasarkan definisi persepsi yang telah dijelaskan oleh para
ahli dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses untuk memahami suatu objek
secara fisik dan sosial yang didapatkan dengan cara menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan yang diterima.
Persepsi merupakan aktivitas yang integrated, maka seluruh yang dimiliki oleh
diri setiap individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka
acuan dan aspek-aspek yang ada dalam dari individu akan berperan penting dalam
persepsi tersebut (Walgito, 2004). Prasetijo dan Ihalauw (2005) juga menjelaskan
faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi diantaranya terdapat faktor internal
berupa perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, motivasi dan kerangka acuan
sedangkan faktor eksternal dapat berupa stimulus itu sendiri dan keadaan
lingkungan persepsi itu berlangsung. Kejelasan stimulus akan banyak berpengaruh
dalam persepsi. Bila stimulus itu berwujud bukan manusia melainkan benda-benda
tertentu, maka ketepatan persepsi lebih terletak pada individu yang mengadakan
persepsi karena benda-benda yang dipersepsikan tersebut tidak ada usaha untuk
mempengaruhi persepsi. Sehingga apabila dikaitkan dengan pengguna maka
pengertian persepsi pengguna jalur pejalan kaki dapat disimpulkan sebagai
tanggapan atau pengetahuan lingkungan terhadap jalur pejalan kaki dari apa yang
dilihat dan dirasakan secara langsung tanpa dipengaruhi oleh objek yang di
persepsikan.
2.8 Studi Preseden
Terdapat studi preseden jalur pejalan kaki dibeberapa tempat yang dapat
digunakan sebagai referensi dalam merancang jalur pejalan kaki yang nyaman.
Preseden yang digunakan pada penelitian ini yaitu jalur pejalan kaki di Tokyo,
Jepang dan Jalan Pemuda, Kota Semarang.
2.6.1 Jalur Pejalan Kaki Tokyo, Jepang
Jepang merupakan salah salah negara yang memanjakan warganya dengan
transportasi umum yang disediakan. Tidak hanya menyediakan moda transportasi
53
umum, Jepang juga menyediakan jalur pejalan kaki yang cukup baik untuk
menunjang berbagai kegiatan diwilayahnya terutama dalam mendukung
penggunaaan transportasi umum seperti halte maupun stasiun. Salah satu wilayah
dengan jalur pejalan kaki yang cukup baik di Jepang yaitu di pusat Kota Tokyo.
Sumber: Kompasiana.com
GAMBAR 2. 2
JALUR PEJALAN KAKI DI TOKYO, JEPANG
Jalur pejalan kaki di Tokyo sangat lebar, bersih, teduh, bebas dari adanya
PKL, ramah untuk kaum difabel, dan jaringan drainasenya tertutup dengan rapi
sehingga memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki. Jalur pejalan kaki pada lokasi
ini juga dilengkapi dengan fasilitas pendukung lainnya seperti disediakannya lampu
penerangan, tempat duduk, dan tanaman penghijau yang memberikan keindahan
bagi Kota Tokyo tersebut. Jalur pejalan kaki di Kota Tokyo memiliki sekat dengan
jalur kendaraannya. Hal tersebut memberikan keamanan yang cukup baik bagi
pejalan kaki. Tidak hanya jalur pedestrian, lokasi ini juga disediakan tempat
penyeberangan berupa zebra cross yang didesain dengan cukup baik dan aman
karena terdapat lampu pemberhenti bagi pejalan kaki maupun bagi pengendara
bermotor.
54
Sumber: Sindonews.com
GAMBAR 2. 3
PENYEBERANGAN SEBIDANG
Sumber: Google Maps, 2021
GAMBAR 2. 4
FASILITAS JALUR PEJALAN KAKI DI TOKYO, JEPANG
Berdasarkan gambaran terhadap jalur pejalan kaki di Tokyo, Jepang yang
telah dijelaskan sebelumnya, maka lokasi tersebut sangat baik dijadikan referensi
dalam merancang jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman. Beberapa hal yang
dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini yaitu penyediaan lebar jalur
pejalan kaki, penyeberangan, perambuan, tanaman penghijau, pembatas jalur dan
jalur khusus disabilitas.
2.6.2 Jalur Pejalan Kaki Pada Jalan Pemuda, Kota Semarang
Jalan Pemuda Semarang merupakan contoh koridor jalan dengan jalur
pejalan kaki yang cukup baik. Guna lahan disekitas Jalan Pemuda ini yaitu guna
lahan dengan fungsi campuran (mixuse) sehingga terdapat kawasan perdagangan
55
dan jasa, pemerintahan dan pendidikan. Berikut merupakan kondisi jalur pejalan
kaki pada Jalan Pemuda Kota Semarang.
Sumber : Merdeka.com
GAMBAR 2. 5
JALUR PEJALAN KAKI JALAN PEMUDA KOTA SEMARANG
Berdasarkan gambar diatas dapat dikeahui bahwa jalur pejalan kaki
disediakan disepanjang koridor jalan ini. Selain itu jalur pejalan kaki pada koridor
ini juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung lainnya seperti lampu
penerangan, pembatas jalur, tempat duduk, tempat sampah, perambuan lalu lintas,
tanaman peneduh, pot tanaman, dan tersedia jalur khusus disabilitas. Dengan
adanya preseden diatas, maka penulis akan menggunakan preseden ini dalam
merancang jalur pejalan kaki yang nyaman pada lokasi penelitian. Adapun fasilitas
yang dapat menjadi acuan dari preseden ini yaitu penempatan lampu penerangan,
perambuan, pembatas jalur, kotak sampah, pot tanaman, dan penyediaan jalur
khusus disabilitas.
2.9 Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan melalui
hasil kajian literatur terkait substansi-substansi yang relevan dengan sasaran
penelitian ini. Berikut variable yang digunakan berdasarkan sasaran penelitian.
56
TABEL II. 2
VARIABEL PENELITIAN
No Sasaran Variabel Sub-variabel Sumber
1
Mengidentifika
si kondisi fisik
dan lingkungan
jalur pejalan
kaki
berdasarkan
aspek
kenyamanan di
Jalan Raden
Intan, Kota
Bandarlampung
1. Sirkulasi
Kejelasan jalur pejalan
kaki dan jalur kendaraan
Hakim dan
Utomo,
Unterman
Arus dan ruang pejalan
kaki Unterman
2. Aksesibilitas
Hambatan jalur pejalan
kaki
Hakim dan
Utomo,
Unterman
Lebar jalur pejalan kaki
Hakim dan
Utomo,
Unterman
3. Daya alam dan
iklim
Ruang berteduh
(Pepohonan dan tempat
duduk)
Hakim dan
Utomo,
Unterman
4. Bentuk
Ketinggian jalur pejalan
kaki
Hakim dan
Utomo
Perkerasan jalur pejalan
kaki
Hakim dan
Utomo
5. Keamanan
Kondisi lantai jalur
pejalan kaki (licin/tidak)
Hakim dan
Utomo,
Unterman
Lampu penerangan
Hakim dan
Utomo,
Unterman
Pembatas jalur pejalan
kaki dengan jalur
kendaraan
Hakim dan
Utomo,
Unterman
6. Kebersihan Bak sampah
Hakim dan
Utomo,
Unterman
7. Keindahan
Pot tanaman Hakim dan
Utomo
Desain jalur pejalan kaki Hakim dan
Utomo
Penataan Rambu-rambu Hakim dan
Utomo
8. Infrastruktur
penunjang
disabilitas
Jalur khusus disabilitas
UU Nomor
22 tahun
2009
2
Mengidentifika
si persepsi
pengguna jalur
1. Sirkulasi Kejelasan jalur pejalan
kaki
Hakim dan
Utomo,
Unterman
57
No Sasaran Variabel Sub-variabel Sumber
pejalan kaki
berdasarkan
aspek
kenyamanan di
Jalan Raden
Intan, Kota
Bandarlampung
Keleluasaan berjalan Unterman
2. Aksesibilitas
Jalur pejalan kaki bebas
hambatan
Hakim dan
Utomo,
Unterman
Lebar jalur pejalan kaki
yang memadai
Hakim dan
Utomo,
Unterman
3. Daya alam
dan klim Pelayanan ruang berteduh
Hakim dan
Utomo,
Unterman
4. Bentuk
Ketinggian jalur pejalan
kaki
Hakim dan
Utomo
Perkerasan jalur pejalan
kaki
Hakim dan
Utomo
5. Keamanan
Lantai jalur pejalan kaki
tidak licin
Hakim dan
Utomo,
Unterman
Pelayanan lampu
penerangan
Hakim dan
Utomo,
Unterman
Pembatas jalur pejalan
kaki dengan jalur
kendaraan
Hakim dan
Utomo,
Unterman
6. Kebersihan Pelayanan bak sampah
Hakim dan
Utomo,
Unterman
7. Keindahan
Penyediaan pot tanaman Hakim dan
Utomo
Desain jalur pejalan kaki
menarik
Hakim dan
Utomo
Penataan perambuan Hakim dan
Utomo
8. Infrastruktur
penunjang
disabilitas
Jalur khusus disabilitas
UU Nomor
22 tahun
2009
3
Merumuskan
konsep
pengembangan
jalur pejalan
kaki di Jalan
Raden Intan.
Variabel yang
digunakan untuk
analisis adalah
hasil analisis pada
sasaran 1 dan 2
Variabel yang digunakan
untuk analisis adalah
hasil analisis pada sasaran
1 dan 2
Peneliti
Sumber: Peneliti, 2021
58
Untuk dapat menjawab sasaran pada penelitian ini, maka variabel yang akan
digunakan pada setiap sasarannya adalah sama yaitu komponen yang termasuk di
dalam aspek kenyamanan yaitu sirkulasi, aksesibilitas, daya alam dan iklim, bentuk,
keamanan, kebersihan dan keindahan. Perbedaan yang ada pada setiap sasaran
yaitu:
1. Sasaran pertama akan diidentifikasi menggunakan variabel kenyamanan yang
ditinjau dengan cara observasi dan pedestrian counting.
2. Sasaran kedua akan diidentifikasi menggunakan variabel kenyamanan dengan
cara melihat persepsi pengguna jalur pejalan kaki.
3. Sasaran ketiga yang menghasilkan luaran berupa konsep pengembangan jalur
pejalan kaki yang didapatkan melalui identifikasi kondisi eksisiting (sasaran 1)
dan persepsi pengguna terhadap fasilitas jalur pejalan kaki (sasaran 2).