Upload
vandieu
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecerdasan Emosional
2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional
Istilah “kecerdasan emosi” (Emotional Quotient) pertama kali dilontarkan
pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John
Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas
emosi yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer
mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut Emotional
Intelligence (EI) sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan
kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang
lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk
membimbing pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosi sangat dipengaruhi oleh
lingkungan, tidak bersifat menetap, dan dapat berubah-ubah setiap saat.
Keterampilan EI bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan
kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan
konseptual maupun di dunia nyata. Gardner dalam bukunya yang berjudul
“Frame Of Mind”, mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan
monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada
spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik,
matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Robbins (2008:335), kecerdasan emosional (Emotional
Intelligence) adalah kemampuan seseorang untuk mendeteksi serta mengelola
petunjuk – petunjuk dan informasi emosional.
Menurut Suharsono (2005:114) kecerdasan emosional adalah kemampuan
untuk melihat, mengamati, mengenali bahkan mempertanyakan “diri” sendiri.
Kecerdasan emosional tidak hanya berfungsi untuk mengendalikan diri, tetapi
lebih dari itu juga mencerminkan kemampuan dalam “mengelola” ide, konsep,
karya atau produk, sehingga hal itu menjadi minat orang banyak.
Menurut Davies dalam Casmini (2007:17) menjelaskan bahwa kecerdasan
emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dirinya sendiri
dan orang lain, membedakan satu emosi dengan lainnya, dan menggunakan
emosi tersebut untuk menuntun proses berfikir serta perilaku seseorang.
Kemampuan ini merupakan kemampuan yang unik yang terdapat dalam diri
seseorang, sehingga hal ini merupakan suatu yang amat penting dalam
kemampuan psikologis seseorang.
Kecerdasan emosional menurut Goleman (2002) adalah kemampuan-
kemampuan yang mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan dan
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri.
Cooper dan Sawaf (2000), juga mengatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya
dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh yang
manusiawi sedangkan Patton (2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kekuatan dibalik singasana kemampuan intelktual. Selanjutnya Dameria
Universitas Sumatera Utara
(2005) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk
mengenali, mengekspresikan, mengolah emosi baik emosi dirinya sendiri maupun
emosi orang lain dengan tindakan konstruktif yang mempromosikan kerjasama
sebagai tim yang mengacu pada produktifitas dan bukan pada konflik.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosi adalah kemampuan yang menuntut diri sendiri untuk belajar mengakui dan
menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain serta menanggapinya dengan
tepat, menerapkan emosi dengan efektif dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-
hari, serta merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati)
dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Aspek-aspek kecerdasan emosi, antara lain:
1. Mengenali emosi diri.
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk
mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini
merupakan dasar dari kecerdasan emosi, para ahli psikologi menyebutkan
kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan
emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002) kesadaran diri adalah
waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila
kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi
dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin
penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk
mengendalikan emosi sehingga individu lebih mudah menguasai emosi.
Universitas Sumatera Utara
2. Mengelola emosi.
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan
tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi
berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan
mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002). Kemampuan ini mencakup
kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan,
kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya
serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
3. Memotivasi diri sendiri.
Setiap individu harus memiliki motivasi dalam dirinya, yang berarti
memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang
positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
4. Mengenali emosi orang lain.
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati.
Menurut Goleman (2002) kemampuan seseorang untuk mengenali orang
lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu
yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal
sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan
orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain,
Universitas Sumatera Utara
terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang
lain.
5. Membina hubungan dengan orang lain.
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan
yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar
pribadi (Goleman, 2002:230). Keterampilan dalam berkomunikasi
merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan.
Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga
memahami keinginan serta kemauan orang lain. Individu yang memiliki
keterampilan membina hubungan dengan orang lain akan sukses dalam
bidang apapun. Individu berhasil dalam pergaulan karena mampu
berkomunikasi dengan lancar pada orang lain.
2.1.2 Faktor-Faktor Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (2002), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional, yaitu :
a. Pengalaman
Kecerdasan emosional dapat meningkat sepanjang hidup manusia.
Sepanjang perjalanan hidup yang normal, kecerdasan emosional
cenderung bertambah sementara manusia belajar untuk menangani suasana
hati, menangani emosi yang menyulitkan, sehingga semakin cerdas dalam
hal emosi dan dalam berhubungan dengan orang lain. Mayer (dalam
Goleman, 2001) menyatakan pendapat yang sama bahwa kecerdasan
Universitas Sumatera Utara
emosional berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari kanak-
kanak hingga dewasa.
b. Usia
Orang yang lebih tua dapat sama baiknya atau lebih baik dibandingkan
orang yang lebih muda dalam penguasaan kecakapan emosi baru.
c. Jenis kelamin
Pria dan wanita mempunyai kemampuan yang sama dalam hal
meningkatkan kecerdasan emosional.tetapi rata-rata wanita mungkin dapat
lebih tinggi dibanding kaum pria dalam beberapa ketrampilan emosi,
walaupun secara statistik ada perbedaan yang nyata diantara kedua
kelompok tersebut.
d. Jabatan
Semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin penting ketrampilan
antar pribadinya dalam membuatnya menonjol dibanding mereka yang
berprestasi biasa-biasa atau dengan kata lain bahwa semakin tinggi
jabatan, maka semakin tinggi kecerdasan emosional yang dimilikinya.
Patton (2002) membagi faktor kecerdasan emosional menjadi 5 bagian
yaitu:
1. Keluarga
Keluarga adalah perekat yang menyatukan struktur dasar dunia kita agar
satu. Kasih sayang dan dukungan kita temukan dalam keluarga dan
merupakan alat untuk mendapatkan kekuatan dan menanamkan kecerdasan
emosional.
Universitas Sumatera Utara
2. Hubungan-hubungan pribadi.
Hubungan-hubungan pribadi (interpersonal) terhadap seseorang dalam
sehari-hari yang memberikan penerimaan dan kedekatan emosional dapat
menimbulkan kematangan emosional pada seseorang dalam bersikap dan
bertindak.
3. Hubungan dengan teman kelompok.
Dalam membangun citra diri sosial diperlukan adanya hubungan dengan
teman sekelompok. Saling menghargai, memberikan dukungan dan umpan
balik diantara sesama, hal ini dapat mempengaruhi dalam pola
pembentukan emosi seseorang.
4. Lingkungan
Keadaan lingkungan individu dimana mereka tinggal dan bergaul
ditengah-tengah masyarakat yang mempunyai nilai-nilai atau norma-
norma tersendiri dalam berinteraksi sehingga mempengaruhi pola
kehidupan seseorang.
5. Hubungan dengan teman sebaya
Pergaulan individu dengan teman sebaya yang saling mempengaruhi baik
secara langsung maupun tidak dapat membentuk kehidupan emosi
tersendiri.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Ciri-ciri Kecerdasan Emosi Tinggi dan Rendah
Goleman (2002) mengemukakan karakteristik individu yang memiliki
kecerdasan emosi yang tinggi dan rendah sebagai berikut:
1. Kecerdasan emosi tinggi yaitu mampu mengendalikan perasaan marah,
tidak agresif dan memiliki kesabaran, memikirkan akibat sebelum
bertindak, berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan
hidupnya, menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati
pada orang lain, dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif,
memiliki konsep diri yang positif, mudah menjalin persahabatan dengan
orang lain, mahir dalam berkomunikasi, dan dapat menyelesaikan konflik
sosial dengan cara damai.
2. Kecerdasan emosi rendah yaitu bertindak mengikuti perasaan tanpa
memikirkan akibatnya, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar,
memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa,
kurang peka terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain, tidak dapat
mengendalikan perasaan dan mood yang negatif, mudah terpengaruh oleh
perasaan negatif, memiliki konsep diri yang negatif, tidak mampu
menjalin persahabatan yang baik dengan orang lain, tidak mampu
berkomunikasi dengan baik, dan menyelesaikan konflik sosial dengan
kekerasan.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional.
Goleman (2002) membagi aspek-aspek kecerdasan emosional menjadi 5
wilayah yang menjadi pedoman dalam mencapai kesuksesan dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu:
1. Kesadaran Diri (Self Awareness)
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu
terjadi merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Pada tahap ini
diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul
wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri sendiri. Ketidakmampuan
dalam mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada
dalam kekuasaan perasaan, sehingga tidak peka akan perasaan diri dan
orang lain yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan atas suatu
masalah.
Aspek kesadaran diri atas 3 kecakapan yaitu :
a. Kesadaran emosi
Kesadaran emosi : tahu tentang bagaimana pengaruh emosi
terhadap kinerja, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai untuk
memndu pembuatan keputusan.
b. Penilaian diri secara akurat
Perasaan yang tulus tentang kekuatan-kekuatan dan batas-batas
pribadi, visi yang jelas tentang mana yang perlu diperbaiki, dan
kemampuan belajar dari pengalaman.
Universitas Sumatera Utara
c. Percaya diri
Keberanian yang datang dari diri sendiri dan kepastian tentang
kemampuan, nilai-nilai dan tujuan diri.
2. Pengaturan diri (Self Management)
Pengaturan diri berarti pengelolaan impulse dan perasaan yang
menekan, agar dapat terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan
kecakapan yang sangat tergantung pada kesadaran diri sendiri. Emosi
dikatakan berhasil apabila : mampu menghibur diri sendiri ketika ditimpa
musibah, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan
dan bangkit kembali dengan cepat dari semuanya itu. Sebaliknya orang
yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus
bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal
negatif yang merugikan diri sendiri.
Aspek pengaturan diri terdiri dari 5 kecakapan, yaitu :
a. Pengendalian diri : mengelola emosi dan dampak yang merusak
secara efektif
b. Dapat dipercaya : menunjukkan kejujuran dan integritas.
c. Kehati-hatian : dapat diandalkan dan bertanggung jawab dalam
memenuhi kewajiban
d. Adaptabilitas : keluwesan dalam menangani perubahan dan
tantangan
e. Inovasi : bersikap terbuka terhadap gagasan, pendekatan baru dan
informasi terkini.
Universitas Sumatera Utara
3. Motivasi
Kemampuan seseorang memotivasi diri sendiri dapat ditelusuri
melalui hal-hal sebagai berikut : cara mengendalikan dorongan hati,
kekuatan berpikir positif, optimisme dan keadaan flow, yaitu keadaan
ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah kedalam apa yang sedang
terjadi, pekerjaannya yang hanya terfokus pada satu objek. Dengan
kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan
cenderung memiliki pandangan positif dalam menilai segala sesuatu yang
terjadi dalam dirinya.
Aspek motivasi terdiri dari empat kecakapan, yaitu:
a. Dorongan berprestasi : dorongan untuk meningkatkan kualitas diri
atau memenuhi standart keunggulan.
b. Komitmen : setia pada visi dan sasaran kelompok
c. Inisiatif : menunjukkan produktivitas, menggunakan setiap peluang
dengan baik untuk mencapai sasaran diri.
d. Optimisme : menunjukkan ketekunan diri dalam mengejar sasaran
4. Empati
Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada
kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat
dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain
sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya
sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang
lain.
Universitas Sumatera Utara
Aspek empati terdiri dari lima kecakapan, yaitu :
a. Memahami orang lain : mengindera perasaan-perasaan perspektif
orang lain, serta menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan-
kepentingan mereka.
b. Orientasi melayani : mengantisipasi, mengakui, dan memenuhi
kebutuhan-kebetuhan orang lain.
c. Mengembangkan orang lain : mengindera kebutuhan orang lain
untuk berkembvang dan meningkatkan kemampuan mereka.
d. Memanfaatkan keragaman: menumbuhkan kesempatan-
kesempatan melalui keragaman pada orang lain
e. Kesadaran politik : membaca kecenderungan politik dan sosial
dalam lingkungan.
5. Ketrampilan sosial
Ketrampilan sosial merupakan seni dalam membina hubungan
dengan orang lain yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan. Tanpa
memiliki ketrampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam
pergaulan sosial.
Aspek ketrampilan sosial terdiri dari 5 kecakapan yaitu :
a. Pengaruh : menerapkan taktik persuasi secara efektif
b. Komunikasi : mengirimkan pesan secara jelas dan meyakinkan.
c. Kepemimpinan : mampu menjadi pemimpin yang baik dari orang
lain
Universitas Sumatera Utara
d. Katalisator Perubahan : mengawali, mendorong, atau mengelola
perubahan
e. Manajemen konflik : mampu mengatasi dan menyelesaikan konflik
yang ada.
2.2 Stres Kerja
2.2.1 Pengertian Stres Kerja
Menurut Robbins (2003:376) stres menunjukkan suatu kondisi dinamika
yang di dalamnya seorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang,
kendala, atau tuntutan yang dikaitkan dengan apa yang diinginkan dan yang
hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting.
Siagian (2007:300) menyatakan bahwa stres merupakan kondisi
ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran, dan kondisi fisik
seseorang. Stres yang tidak diatasi dengan baik biasanya berakibat pada
ketidakmampuan seseorang untuk berinteraksi secara positif dengan
lingkungannya, baik dalam arti lingkungan pekerjaan maupun lingkungan luar
lainnya. Hal ini berarti karyawan yang bersangkutan akan menghadapi berbagai
gejala negatif yang akhirnya akan berpengaruh terhadap prestasi kerja karyawan.
Veithzal (2004:516) menyatakan stres kerja adalah suatu kondisi
ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang
mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seorang karyawan, dalam hal
ini tekanan tersebut disebabkan oleh lingkungan pekerjaan tempat karyawan
tersebut bekerja. Stres kerja adalah perasaan yang menekan atau merasa tertekan
yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan (Mangkunegara, 2005:29).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa stres
kerja timbul dari adanya tuntutan yang berlebihan dari lingkungan kerja yang
tidak sesuai dengan keinginan atau kemampuan karyawan, dan tanggapan setiap
individu yang menghadapinya bisa berbeda. Stres kerja merupakan reaksi atas
ketidakseimbangan karakteristik karyawan dengan karakteristik elemen-elemen
pekerjaan dan hal ini dapat terjadi pada kondisi tertentu terhadap situasi pekerjaan
yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi fisik karyawan dalam
melakukan pekerjaannya. Karyawan yang mengalami stres biasanya menjadi
nervous dan merasakan kekhatiwaran yang kronis, Karyawan sering mudah marah
dan tidak dapat tenang atau menunjukkan sikap yang tidak bisa bekerjasama
terutama dalam bekerja.
2.2.2 Gejala Stres Kerja
Gejala merupakan penampakan diri suatu sikap atau perasaan.
Penampakan rasa senang bisa dalam bentuk tertawa, ceria, dan girang.
Penampilan rasa tidak senang bisa dalam bentuk diam, murung, marah, dan lain-
lain atau dapat juga dikatakan indikasi atau tanda-tanda dalam berbagai bentuk
dari sesuatu yang abstrak.
Menurut Seyle dalam Gitosudarmo (2000:51) ada 3 (tiga) tingkatan yang
berbeda atau gejala dalam stres yaitu alarm (alarm), perlawanan (resistance), dan
peredaan (exhaustion). Pada tahap peringatan dini (alarm) ini merupakan awal
reaksi tubuh terhadap adanya suatu tekanan atau stres. Reaksi awal pada
umumnya terjadi dalam bentuk suatu pesan biokimia yang ditandai dengan gejala
seperti otot menegang, tekanan darah meningkat, denyut jantung meningkat, dan
Universitas Sumatera Utara
lain sebagainya. Pada tahap perlawanan (resistance) ini ditandai dengan adanya
gejala ketegangan, kegelisahan, kelesuan, dan lain sebagainya yang menandakan
individu itu sedang melakukan perlawanan terhadap stres. Sedangkan pada tahap
peredaan (exhaustion) ini ditandai dengan runtuhnya tingkat perlawanan. Pada
tahap ini akan muncul berbagai macam penyakit seperti: tekanan darah tinggi,
penyakit jantung koroner, penyakit gula darah, dan sebagainya.
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya stres dalam individu dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) kategori yaitu faktor yang bersumber dari dalam
maupun dari luar individu itu. Penyebab stres yang bersumber dari dalam individu
itu sendiri seperti kepribadiannya, nilai, kebutuhan, tujuan, umur dan kondisi
kesehatan. Penyebab stres yang bersumber dari luar individu dibedakan lagi
menjadi stres yang bersumber dari dalam organisasi dan dari luar organisasi.
Sumber stres yang berasal dari luar organisasi itu seperti faktor keluarga,
masyarakat, dan faktor keuangan. Sedangkan dari dalam organisasi seperti faktor
lingkungan fisik, faktor pekerjaan, faktor kelompok kerja, faktor organisasi, dan
faktor karier (Gitosudarmo dan Nyoman, 2000:53).
Menurut Hasibuan (2007:201), faktor-faktor yang menyebabkan stres
karyawan antara lain:
1. Beban kerja yang sulit dan berlebihan.
2. Tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar.
3. Waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai.
4. Konflik antara pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja.
5. Balas jasa yang terlalu rendah.
Universitas Sumatera Utara
6. Masalah- masalah keluarga seperti anak, istri, mertua, dan sebagainya.
Dampak stres kerja dapat menguntungkan ataupun merugikan karyawan.
Dampak yang menguntungkan diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat
menyelesaikan pekerjaan dengan bersemangat dan sebaik-baiknya, namun jika
stres tidak mampu diatasi maka akan menimbulkan dampak yang merugikan
karyawan (Gitosudarmo dan Nyoman, 2000:54).
Menurut Robbins (2008) ada tiga kategori sumber-sumber stress potensial
yaitu :
1. Faktor-faktor lingkungan. Atau sering disebut faktor dari luar organisasi,
yaitu ketidakpastian lingkungan dapat mempengaruhi desain dari struktur
organisasi. Ketidakpastian itu juga dapat mempengaruhi tingkat stress
dikalangan para karyawan dalam organisasi. Faktor lingkungan tersebut
dapat berupa ketidakpastian dalam ekonomi, ketidakpastian politis dan
ketidakpastian teknologis.
2. Faktor-faktor organisasi. Banyak faktor didalam organisasi yang dapat
menimbulkan stres diantaranya: (1) Tuntutan tugas merupakan faktor yang
dikaitkan dengan pekerjaan seseorang. Faktor ini mencakup desain
pekerjaan individu (otonomi, keragaman tugas, tingkat otomatisasi),
kondisi dan tata letak kerja fisik. Kemudian semakin banyaknya
kesalingketergantungan antara tugas seseorang dengan tugas orang lain,
makin potensial stres. Tetapi otonomi cenderung mengurangi stres. (2)
Tuntutan peran yang berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada
seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu dalam organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Konflik peran menciptakan harapan-harapan hampir tidak bias dirujuk
atau diharapkan untuk melakukan lebih dari pada yang dimungkinkan oleh
waktu. Kedwi-artian peran diciptakan bila harapan peran tidak dipahami
dengan jelas dan karyawan tidak pasti dengan apa yang dikerjakan. (3)
Tuntutan antar pribadi yaitu tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain.
Kurangnya dukungan sosial dari rekan-rekan dan hubungan antar pribadi
yang buruk stres yang cukup besar, terlebih lagi bagi karyawan dengan
kebutuhan sosial yang tinggi.
3. Faktor-faktor individual/pribadi merupakan faktor-faktor dalam kehidupan
pribadi karyawan, terutama faktor keluarga, masalah ekonomi pribadi dan
karakterisktik kepribadian yang inheren.
Rivai (2004) menyatakan bahwa off the job dapat menimbulkan stres seperti:
1. Kekuatiran finansial;
2. Masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak;
3. Masalah-masalah perkawinan (misalnya perceraian);
4. Perubahan-perubahan yang terjadi ditempat tinggal;
5. Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara.
2.2.3 Faktor Penyebab Stres Kerja
Griffin (2002) menyatakan bahwa penyebab-penyebab stres yang
berhubungan dengan pekerjaan dapat dikelompokkan ke dalam 4 kategori yaitu:
1. Tuntutan tugas, terkait dengan tugas itu sendiri. Sejumlah pekerjaan secara
alami lebih cenderung menimbulkan stres dibanding pekerjaan-pekerjaan
lain. Keharusan membuat keputusan cepat, keharusan membuat keputusan
Universitas Sumatera Utara
tanpa informasi yang lengkap, dan keharusan membuat keputusan dengan
konsekuensi yang serius adalah sejumlah situasi yang bisa menimbulkan
stres.
2. Tuntutan fisik adalah penyebab-penyebab stres yang terkait dengan
lingkungan kerja. Bekerja diluar kantor dengan suhu yang sangat dingin
atau panas, atau bahkan di dalam kantor yang tidak ber-AC, bisa
menimbulkan stres. Desain kantor yang buruk yang membuat karyawan
kurang memiliki privasi atau menghambat interaksi sosial juga bisa
menimbulkan stres, begitu juga cahaya yang buruk dan ruang kerja yang
sempit.
3. Tuntutan peran, juga dapat menimbulkan stres. Peran adalah sekelompok
perilaku yang diharapkan dari suatu jabatan dalam kelompok organisasi.
Stres dapat ditimbulkan baik oleh ambiguitas peran atau konflik peran
yang dialami individu dalam kelompok. Ambiguitas peran adalah
ketidakpastian tentang perilaku apa yang diharapkan dari seseorang pada
peran tertentu, dan konflik peran adalah tuntutan yang tidak sesuai dengan
peran yang berbeda.
4. Tuntutan interpersonal, merupakan penyebab stres yang terkait dengan
hubungan antara pribadi dalam organisasi. Sebagai contoh tekanan
kelompok menyangkut restriksi out-put dan kepatuhan terhadap norma
bisa menimbulkan stres. Gaya kepemimpinan juga bisa menyebabkan
stres. Seseorang yang merasa sangat ingin berpartisipasi dalam pembuatan
keputusan akan merasa stres jika atasannya menolak untuk menyediakan
Universitas Sumatera Utara
ruang partisipasi. Dan individu-individu yang memiliki konflik
kepribadian bisa mengalami stres jika diminta bekerjasama.
2.2.4 Hubungan Stres Kerja dengan Produktivitas Karyawan
Menurut Ardana dkk (2009) menyatakan bahwa salah satu alasan mengapa
stres perlu untuk dipahami adalah stres berhubungan erat dengan produktvitas.
Karyawan yang mengalami stres kerja tidak dapat bekerja secara optimal sehingga
akan memberi dampak yang negatif pada hasil kerjanya atau dengan kata lain
karyawan tidak dapat mengoptimalkan hasil kerjanya.
Rendal Shculer dalam Jacinta (2002) mengemukakan bahwa stres kerja
oleh karyawan berhubungan dengan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran
kerja serta tendensi mengalami kecelakaan. Secara singkat beberapa dampak
negatif yang ditimbulkan oleh stres kerja dapat berupa:
1. Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun
operasional kerja.
2. Mengganggu kenormalan aktivitas kerja
3. Menurunkan tingkat produktivitas
4. Menurunkan pemasukan dan keuntumgan perusahaan. Kerugian Finansial
yang dialami perusahaan karena tidak imbangnya produktivitas dengan
biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan dan fasilitas
lainnya.
Munandar dalam Koesmono (2007) menyatakan bahwa pada umumnya
karyawan merasakan bahwa stres merupakan suatu kondisi yang mengarah
timbulnya penyakit fisik maupun mental, atau mengarah ke perilaku yang tidak
Universitas Sumatera Utara
wajar. Demikian pula ada stres yang dapat bersifat positif, semakin tinggi
dorongannya untuk berprestasi, semakin tinggi tingkat stresnya dan makin tinggi
juga produktivitas dan effisiesinya. Stres dalam jumlah tertentu dapat mengarah
ke gagasan yang inovatif dan keluaran yang konstruktif.
2.3 Produktivitas Karyawan
2.1.3 Pengertian Produktivitas Karyawan
Wibisono (2007) mengemukakan bahwa produktivitas adalah rasio
keluaran terhadap masukan; merupakan ukuran efisiensi dalam menggunakan
sumber daya organisasi yang terbatas untuk menghasilkan barang dan jasa.
Semakin besar angka rasio semakin besar efisiensi.
Sutrisno (2009) mendefinisikan produktivitas kerja sebagai rasio dari hasil
kerja dengan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk dari seseorang
tenaga kerja. Klinger dan Nanbaldian dalam Gomes (2003) menyatakan bahwa
produktivitas merupakan fungsi perkalian dari usaha pegawai (effort), yang
didukung dengan motivasi tinggi, dan dengan kemampuan Sumber Daya Manusia
(Ability) yang diperoleh melalui latihan-latihan produktivitas yang meningkat,
berarti performansi yang baik, akan menjadi umpan balik bagi kegiatan organisasi
seterusnya, atau bagi motivasi Sumber Daya Manusia pada tahap berikutnya.
Produktivitas sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang ada pada
setiap orang, yaitu antara lain: Knowlegde (Pengetahuan), Skills (Keterampilan),
Abilities (Kemampuan), Attitudes (Sikap), dan Behaviors (Tingkah laku). Program
peningkatan produktivitas yang berhasil itu ditandai dengan adanya andil yang
luas dari karyawan atau pekerja yang baik, sehingga menghasilkan kinerja yang
Universitas Sumatera Utara
baik dan hal tersebut akan menghasilkan produktivitas yang optimal. Secara
umum produktivitas diartikan sebagai efisien dari penggunaan sumber daya yang
menghasilkan. Sedangkan ukuran produktivitas pada umumnya adalah ratio yang
berhubungan dengan keluaran terhadap satu atau lebih masukan yang
mengeluarkan keluaran (barang dan jasa) tersebut.
2.3.2 Faktor-faktor Produktivitas Karyawan
Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa aktivitas perusahaan tidak terjadi
dalam isolasi. Segala sesuatu yang terjadi dalam perusahaan dipengaruhi oleh hal-
hal yang terjadi diluarnya, seperti sumber-sumber faktor produksi yang
digunakan, prospek pemasaran, perpajakan, perizinan, lingkungan hidup dan lain-
lain. Sedangkan Ravianto (2003) menyatakan bahwa: “Produktivitas tenaga kerja
dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berhubungan dengan tenaga kerja itu
sendiri maupun faktor-faktor lainnya seperti : pendidikan, keterampilan, disiplin,
sikap dan etika kerja, motivasi, gizi dan kesehatan, tingkat penghasilan, jaminan
sosial, lingkungan dan iklim kerja, hubungan industrial pancasila, teknologi,
sarana produksi, manajemen, kesempatan kerja dan kesempatan berprestasi”.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja
dipengaruhi oleh karyawan atau tenaga kerja itu sendiri maupun faktor-faktor
lainnya yang berasal dari dalam manajemen organisasi atau perusahaan itu sendiri
dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu daerah atau negara juga
dapat mempengaruhi produktivitas karyawan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Yuli (2005) ada beberapa faktor yang menentukan besar kecilnya
produktivitas karyawan. Faktor-faktor tersebut dapat digolongkan dalam tiga
kelompok utama antara lain :
a. Kepuasan kerja.
Karyawan yang merasa puas tentu secara alamiah akan berupaya
mencapai tingkat kepuasan yang tinggi dengan cara mengoptimalkan
hasil kerja (output). Jika output yang dihasilkan tidak sebanding dengan
semangat yang diberikan maka kepuasan kerja justru akan menurun
sehingga produktivitas juga menurun.
b. Input.
Besar kecilnya input yang dimasukkan dalam sebuah proses produksi
akan menentukan hasil akhir dari sebuah pekerjaan. Input yang dimiliki
karyawan dalam bekerja antara lain; motivasi, tenaga, sikap,
pengetahuan dan keterampilan, sarana yang mendukung dan lingkungan
kerja.
c. Waktu kerja.
Jam kerja yang lama mendorong karyawan untuk terus memperbanyak
dan meningkatkan hasil kerja mereka. Namun faktor ini sifatnya sangat
relatif, karena harus didukung oleh faktor lainnya seperti input.
Produktivitas merupakan hal yang sangat penting bagi karyawan dalam
perusahaan, dengan produktivitas diharapkan karyawan dapat
melaksanakan pekerjaan secara efesien dan efektif ntuk mencapai
tujuan yang telah ditetapakan.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Pengukuran Produktivitas Karyawan
Sutrisno (2009) menyatakan bahwa untuk mengukur produktivitas kerja,
diperlukan suatu indikator, yaitu sebagai berikut :
1 Kemampuan
Memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas. Kemampuan seorang
karyawan sangat tergantung kepada keterampilan yang dimiliki serta
profesionalisme karyawan dalam bekerja. Ini memberikan daya untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang diembankan kepada mereka.
2. Meningkatkan hasil yang dicapai.
Berusaha untuk meningkatkan hasil yang dicapai. Hasil merupakan salah
satu yang dapat dirasakan baik oleh yang mengerjakan maupun yang
menikmati hasil pekerjaan tersebut. Jadi upaya untuk memanfaatkan
produktivitas bagi masing-masing yang terlibat dalam suatu pekerjaan.
3. Semangat kerja
Merupakan usaha untuk menjadi lebih baik dari hari kemarin. Indikator ini
dapat dilihat dari etos kerja dan hasil yang dicapai dalam satu hari
kemudian dibandingkan dengan hari sebelumnya.
4. Pengembangan diri.
Senantiasa mengembangkan diri untuk meningkatkan kemampuan kerja.
Pengembangan diri dapat dilakukan dengan melihat tantangan dan harapan
dengan apa yang akan dihadapi. Begitu juga harapan untuk menjadi lebih
baik pada gilirannya dan akan sangat berdampak pada karyawan utuk
meningkatkan kemampuannya.
Universitas Sumatera Utara
5. Mutu
Selalu berusaha meningkatkan mutu lebih baik dari yang telah lalu. Mutu
merupakan hasil pekerjaan yang dapat menunjukkan kualitas kerja seorang
karyawan. Meningkatkan mutu bertujuan untuk memberikan hasil yang
terbaik serta berguna bagi karyawan dan perusahaan.
6. Efisiensi
Perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya
yang digunakan. Masukan dan keluaran merupakan aspek produktivitas
yang memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi karyawan.
Menurut Sinungan dalam Yuli (2005), secara umum pengukuran
produktivitas berarti perbandingan yang dapat dibedakan dalam tiga jenis yang
sangat berbeda yaitu:
a. Perbandingan-perbandingan antara pelaksanaan sekarang dengan
pelaksanaan histiis yang tidak mungkin menunjukkan apakah pelaksanaan
sekarang ini memuaskan, namun hanya mengetengahkan apakah
meningkat atau berkurang serta tingkatannya.
b. Perbandingan pelaksanaan antara satu unit (perorangan tugas, seksi,
proses) dengan lainnya. Pengukuran seperti itu menunjukkan pencapai
relatif.
c. Perbandingan pelaksanaan sekarang dan targetnya. Untuk mengukur suatu
produktivitas dapat digunakan dua jenis ukuran jam kerja manusia yakni
jam – jam kerja yang harus dibayar dan jam–jam kerja yang harus
dipergunakan untuk bekerja
Universitas Sumatera Utara
Menurut Ravianto (2003) ada dua macam alat pengukuran produktivitas,
yaitu:
a. Physical productivity, yaitu produktivitas secara kuantitatif seperti ukuran
(size), panjang, berat, banyaknya unit, waktu, dan biaya tenaga kerja;
b. Value producitivity, yaitu ukuran produktivitas dengan menggunakan nilai
uang yang dinyatakan dalam rupiah, yen, dollar dan seterusnya.
2.4 Penelitian Terdahulu
Mustafa dan Agus (2007) yang berjudul Pengaruh Kecerdasan Emosional
Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Pada Fungsi Operasi dan Penunjang PT.
Pertamina (Persero) Unit Pengolahan Balongan Indramayu. Dimana ada pengaruh
yang signifikan dari variabel kecerdasan emosional secara parsial dan secara
simultan. Secara parsial semua variabel kecerdasan emosional yaitu kesadaran
diri, pengaturan diri, motivasi, empati, keterampilan sosial mempunyai nilai
signifikansi dibawah 0.05 sehingga kelima variabel tersebut dinyatakan
berpengaruh secara parsial terhadap produktivitas kerja karyawan, dan secara
simultan mamunyai nilai signifikansi 0.000 dengan taraf signifikansi 95%.
Penelitian yang dilakukan Susanto dan Wahyudin (2007) yang berjudul
Pengaruh stres, konflik dan hukuman disiplin terhadap produktivitas kerja
pegawai di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Samarinda Kalimantan
Timur. Hasil uji koefisien regresi diperoleh semua variabel independen yang
terdiri stres, konflik dan hukuman disiplin berpengaruh signifikan terhadap
produktivitas kerja. Penelitian ini mengambil sampel 66 orang.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual menjelaskan secara teoritis pertautan antar variabel
yang diteliti. Pertautan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah
dideskripsikan akan dianalisis secara kritis dan sistematis, sehingga menghasilkan
sintesa tentang hubungan antar variabel yang diteliti. Sintesa tentang hubungan
variabel tersebut, selanjutnya digunakan untuk merumuskan hipotesis (Sugiyono,
2005:49).
Kecerdasan emosional menurut Goleman (2002) adalah kemampuan-
kemampuan yang mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan dan
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Goleman (2002) membagi aspek-
aspek kecerdasan emosional menjadi 5 wilayah yang menjadi pedoman dalam
mencapai kesuksesan atau produktivitas dalam bekerja yaitu kesadaran diri,
pengaturan diri, motivasi, empati dan kemampuan sosial.
Siagian (2007:300) menyatakan bahwa stres merupakan kondisi
ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran, dan kondisi fisik
seseorang. Stres yang tidak diatasi dengan baik biasanya berakibat pada
ketidakmampuan seseorang untuk berinteraksi secara positif dengan
lingkungannya, baik dalam arti lingkungan pekerjaan maupun lingkungan luar
lainnya. Hal ini berarti karyawan yang bersangkutan akan menghadapi berbagai
gejala negatif yang akhirnya akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja
karyawan.
Universitas Sumatera Utara
Sutrisno (2009) mendefinisikan produktivitas kerja sebagai rasio dari hasil
kerja dengan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk dari seseorang
tenaga kerja.
Gambar 2.2 : Kerangka Konseptual
Sumber : Goleman (2002), Siagian (2007) dan Sutrisno (2009) (diolah) 2.4 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka hipotesis
penelitian ini adalah : “Kecerdasan Emosional dan Stres Kerja berpengaruh secara
parsial dan simultan terhadap Produktivitas Karyawan pada PT. Perkebunan
Nusantara III Kantor Pusat Medan”.
Stres Kerja (X2)
Produktivitas Karyawan (Y)
Kecerdasan Emosional
(X1)
Universitas Sumatera Utara