27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional Istilah “kecerdasan emosi” (Emotional Quotient) pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosi yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut Emotional Intelligence (EI) sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosi sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dan dapat berubah-ubah setiap saat. Keterampilan EI bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Gardner dalam bukunya yang berjudul “Frame Of Mind”, mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41154/4/Chapter II.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1

  • Upload
    vandieu

  • View
    228

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecerdasan Emosional

2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional

Istilah “kecerdasan emosi” (Emotional Quotient) pertama kali dilontarkan

pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John

Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas

emosi yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer

mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut Emotional

Intelligence (EI) sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan

kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang

lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk

membimbing pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosi sangat dipengaruhi oleh

lingkungan, tidak bersifat menetap, dan dapat berubah-ubah setiap saat.

Keterampilan EI bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan

kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan

konseptual maupun di dunia nyata. Gardner dalam bukunya yang berjudul

“Frame Of Mind”, mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan

monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada

spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik,

matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Robbins (2008:335), kecerdasan emosional (Emotional

Intelligence) adalah kemampuan seseorang untuk mendeteksi serta mengelola

petunjuk – petunjuk dan informasi emosional.

Menurut Suharsono (2005:114) kecerdasan emosional adalah kemampuan

untuk melihat, mengamati, mengenali bahkan mempertanyakan “diri” sendiri.

Kecerdasan emosional tidak hanya berfungsi untuk mengendalikan diri, tetapi

lebih dari itu juga mencerminkan kemampuan dalam “mengelola” ide, konsep,

karya atau produk, sehingga hal itu menjadi minat orang banyak.

Menurut Davies dalam Casmini (2007:17) menjelaskan bahwa kecerdasan

emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dirinya sendiri

dan orang lain, membedakan satu emosi dengan lainnya, dan menggunakan

emosi tersebut untuk menuntun proses berfikir serta perilaku seseorang.

Kemampuan ini merupakan kemampuan yang unik yang terdapat dalam diri

seseorang, sehingga hal ini merupakan suatu yang amat penting dalam

kemampuan psikologis seseorang.

Kecerdasan emosional menurut Goleman (2002) adalah kemampuan-

kemampuan yang mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan dan

kemampuan untuk memotivasi diri sendiri.

Cooper dan Sawaf (2000), juga mengatakan bahwa kecerdasan emosional

adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya

dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh yang

manusiawi sedangkan Patton (2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosional

adalah kekuatan dibalik singasana kemampuan intelktual. Selanjutnya Dameria

Universitas Sumatera Utara

(2005) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk

mengenali, mengekspresikan, mengolah emosi baik emosi dirinya sendiri maupun

emosi orang lain dengan tindakan konstruktif yang mempromosikan kerjasama

sebagai tim yang mengacu pada produktifitas dan bukan pada konflik.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

emosi adalah kemampuan yang menuntut diri sendiri untuk belajar mengakui dan

menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain serta menanggapinya dengan

tepat, menerapkan emosi dengan efektif dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-

hari, serta merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri,

mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati)

dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

Aspek-aspek kecerdasan emosi, antara lain:

1. Mengenali emosi diri.

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk

mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini

merupakan dasar dari kecerdasan emosi, para ahli psikologi menyebutkan

kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan

emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002) kesadaran diri adalah

waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila

kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi

dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin

penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk

mengendalikan emosi sehingga individu lebih mudah menguasai emosi.

Universitas Sumatera Utara

2. Mengelola emosi.

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani

perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai

keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan

tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi

berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan

mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002). Kemampuan ini mencakup

kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan,

kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya

serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

3. Memotivasi diri sendiri.

Setiap individu harus memiliki motivasi dalam dirinya, yang berarti

memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan

mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang

positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

4. Mengenali emosi orang lain.

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati.

Menurut Goleman (2002) kemampuan seseorang untuk mengenali orang

lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu

yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal

sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan

orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain,

Universitas Sumatera Utara

terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang

lain.

5. Membina hubungan dengan orang lain.

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan

yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar

pribadi (Goleman, 2002:230). Keterampilan dalam berkomunikasi

merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan.

Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga

memahami keinginan serta kemauan orang lain. Individu yang memiliki

keterampilan membina hubungan dengan orang lain akan sukses dalam

bidang apapun. Individu berhasil dalam pergaulan karena mampu

berkomunikasi dengan lancar pada orang lain.

2.1.2 Faktor-Faktor Kecerdasan Emosional

Menurut Goleman (2002), ada beberapa faktor yang mempengaruhi

kecerdasan emosional, yaitu :

a. Pengalaman

Kecerdasan emosional dapat meningkat sepanjang hidup manusia.

Sepanjang perjalanan hidup yang normal, kecerdasan emosional

cenderung bertambah sementara manusia belajar untuk menangani suasana

hati, menangani emosi yang menyulitkan, sehingga semakin cerdas dalam

hal emosi dan dalam berhubungan dengan orang lain. Mayer (dalam

Goleman, 2001) menyatakan pendapat yang sama bahwa kecerdasan

Universitas Sumatera Utara

emosional berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari kanak-

kanak hingga dewasa.

b. Usia

Orang yang lebih tua dapat sama baiknya atau lebih baik dibandingkan

orang yang lebih muda dalam penguasaan kecakapan emosi baru.

c. Jenis kelamin

Pria dan wanita mempunyai kemampuan yang sama dalam hal

meningkatkan kecerdasan emosional.tetapi rata-rata wanita mungkin dapat

lebih tinggi dibanding kaum pria dalam beberapa ketrampilan emosi,

walaupun secara statistik ada perbedaan yang nyata diantara kedua

kelompok tersebut.

d. Jabatan

Semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin penting ketrampilan

antar pribadinya dalam membuatnya menonjol dibanding mereka yang

berprestasi biasa-biasa atau dengan kata lain bahwa semakin tinggi

jabatan, maka semakin tinggi kecerdasan emosional yang dimilikinya.

Patton (2002) membagi faktor kecerdasan emosional menjadi 5 bagian

yaitu:

1. Keluarga

Keluarga adalah perekat yang menyatukan struktur dasar dunia kita agar

satu. Kasih sayang dan dukungan kita temukan dalam keluarga dan

merupakan alat untuk mendapatkan kekuatan dan menanamkan kecerdasan

emosional.

Universitas Sumatera Utara

2. Hubungan-hubungan pribadi.

Hubungan-hubungan pribadi (interpersonal) terhadap seseorang dalam

sehari-hari yang memberikan penerimaan dan kedekatan emosional dapat

menimbulkan kematangan emosional pada seseorang dalam bersikap dan

bertindak.

3. Hubungan dengan teman kelompok.

Dalam membangun citra diri sosial diperlukan adanya hubungan dengan

teman sekelompok. Saling menghargai, memberikan dukungan dan umpan

balik diantara sesama, hal ini dapat mempengaruhi dalam pola

pembentukan emosi seseorang.

4. Lingkungan

Keadaan lingkungan individu dimana mereka tinggal dan bergaul

ditengah-tengah masyarakat yang mempunyai nilai-nilai atau norma-

norma tersendiri dalam berinteraksi sehingga mempengaruhi pola

kehidupan seseorang.

5. Hubungan dengan teman sebaya

Pergaulan individu dengan teman sebaya yang saling mempengaruhi baik

secara langsung maupun tidak dapat membentuk kehidupan emosi

tersendiri.

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Ciri-ciri Kecerdasan Emosi Tinggi dan Rendah

Goleman (2002) mengemukakan karakteristik individu yang memiliki

kecerdasan emosi yang tinggi dan rendah sebagai berikut:

1. Kecerdasan emosi tinggi yaitu mampu mengendalikan perasaan marah,

tidak agresif dan memiliki kesabaran, memikirkan akibat sebelum

bertindak, berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan

hidupnya, menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati

pada orang lain, dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif,

memiliki konsep diri yang positif, mudah menjalin persahabatan dengan

orang lain, mahir dalam berkomunikasi, dan dapat menyelesaikan konflik

sosial dengan cara damai.

2. Kecerdasan emosi rendah yaitu bertindak mengikuti perasaan tanpa

memikirkan akibatnya, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar,

memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa,

kurang peka terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain, tidak dapat

mengendalikan perasaan dan mood yang negatif, mudah terpengaruh oleh

perasaan negatif, memiliki konsep diri yang negatif, tidak mampu

menjalin persahabatan yang baik dengan orang lain, tidak mampu

berkomunikasi dengan baik, dan menyelesaikan konflik sosial dengan

kekerasan.

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional.

Goleman (2002) membagi aspek-aspek kecerdasan emosional menjadi 5

wilayah yang menjadi pedoman dalam mencapai kesuksesan dalam kehidupan

sehari-hari, yaitu:

1. Kesadaran Diri (Self Awareness)

Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu

terjadi merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Pada tahap ini

diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul

wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri sendiri. Ketidakmampuan

dalam mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada

dalam kekuasaan perasaan, sehingga tidak peka akan perasaan diri dan

orang lain yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan atas suatu

masalah.

Aspek kesadaran diri atas 3 kecakapan yaitu :

a. Kesadaran emosi

Kesadaran emosi : tahu tentang bagaimana pengaruh emosi

terhadap kinerja, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai untuk

memndu pembuatan keputusan.

b. Penilaian diri secara akurat

Perasaan yang tulus tentang kekuatan-kekuatan dan batas-batas

pribadi, visi yang jelas tentang mana yang perlu diperbaiki, dan

kemampuan belajar dari pengalaman.

Universitas Sumatera Utara

c. Percaya diri

Keberanian yang datang dari diri sendiri dan kepastian tentang

kemampuan, nilai-nilai dan tujuan diri.

2. Pengaturan diri (Self Management)

Pengaturan diri berarti pengelolaan impulse dan perasaan yang

menekan, agar dapat terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan

kecakapan yang sangat tergantung pada kesadaran diri sendiri. Emosi

dikatakan berhasil apabila : mampu menghibur diri sendiri ketika ditimpa

musibah, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan

dan bangkit kembali dengan cepat dari semuanya itu. Sebaliknya orang

yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus

bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal

negatif yang merugikan diri sendiri.

Aspek pengaturan diri terdiri dari 5 kecakapan, yaitu :

a. Pengendalian diri : mengelola emosi dan dampak yang merusak

secara efektif

b. Dapat dipercaya : menunjukkan kejujuran dan integritas.

c. Kehati-hatian : dapat diandalkan dan bertanggung jawab dalam

memenuhi kewajiban

d. Adaptabilitas : keluwesan dalam menangani perubahan dan

tantangan

e. Inovasi : bersikap terbuka terhadap gagasan, pendekatan baru dan

informasi terkini.

Universitas Sumatera Utara

3. Motivasi

Kemampuan seseorang memotivasi diri sendiri dapat ditelusuri

melalui hal-hal sebagai berikut : cara mengendalikan dorongan hati,

kekuatan berpikir positif, optimisme dan keadaan flow, yaitu keadaan

ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah kedalam apa yang sedang

terjadi, pekerjaannya yang hanya terfokus pada satu objek. Dengan

kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan

cenderung memiliki pandangan positif dalam menilai segala sesuatu yang

terjadi dalam dirinya.

Aspek motivasi terdiri dari empat kecakapan, yaitu:

a. Dorongan berprestasi : dorongan untuk meningkatkan kualitas diri

atau memenuhi standart keunggulan.

b. Komitmen : setia pada visi dan sasaran kelompok

c. Inisiatif : menunjukkan produktivitas, menggunakan setiap peluang

dengan baik untuk mencapai sasaran diri.

d. Optimisme : menunjukkan ketekunan diri dalam mengejar sasaran

4. Empati

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada

kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat

dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain

sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya

sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang

lain.

Universitas Sumatera Utara

Aspek empati terdiri dari lima kecakapan, yaitu :

a. Memahami orang lain : mengindera perasaan-perasaan perspektif

orang lain, serta menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan-

kepentingan mereka.

b. Orientasi melayani : mengantisipasi, mengakui, dan memenuhi

kebutuhan-kebetuhan orang lain.

c. Mengembangkan orang lain : mengindera kebutuhan orang lain

untuk berkembvang dan meningkatkan kemampuan mereka.

d. Memanfaatkan keragaman: menumbuhkan kesempatan-

kesempatan melalui keragaman pada orang lain

e. Kesadaran politik : membaca kecenderungan politik dan sosial

dalam lingkungan.

5. Ketrampilan sosial

Ketrampilan sosial merupakan seni dalam membina hubungan

dengan orang lain yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan. Tanpa

memiliki ketrampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam

pergaulan sosial.

Aspek ketrampilan sosial terdiri dari 5 kecakapan yaitu :

a. Pengaruh : menerapkan taktik persuasi secara efektif

b. Komunikasi : mengirimkan pesan secara jelas dan meyakinkan.

c. Kepemimpinan : mampu menjadi pemimpin yang baik dari orang

lain

Universitas Sumatera Utara

d. Katalisator Perubahan : mengawali, mendorong, atau mengelola

perubahan

e. Manajemen konflik : mampu mengatasi dan menyelesaikan konflik

yang ada.

2.2 Stres Kerja

2.2.1 Pengertian Stres Kerja

Menurut Robbins (2003:376) stres menunjukkan suatu kondisi dinamika

yang di dalamnya seorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang,

kendala, atau tuntutan yang dikaitkan dengan apa yang diinginkan dan yang

hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting.

Siagian (2007:300) menyatakan bahwa stres merupakan kondisi

ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran, dan kondisi fisik

seseorang. Stres yang tidak diatasi dengan baik biasanya berakibat pada

ketidakmampuan seseorang untuk berinteraksi secara positif dengan

lingkungannya, baik dalam arti lingkungan pekerjaan maupun lingkungan luar

lainnya. Hal ini berarti karyawan yang bersangkutan akan menghadapi berbagai

gejala negatif yang akhirnya akan berpengaruh terhadap prestasi kerja karyawan.

Veithzal (2004:516) menyatakan stres kerja adalah suatu kondisi

ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang

mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seorang karyawan, dalam hal

ini tekanan tersebut disebabkan oleh lingkungan pekerjaan tempat karyawan

tersebut bekerja. Stres kerja adalah perasaan yang menekan atau merasa tertekan

yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan (Mangkunegara, 2005:29).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa stres

kerja timbul dari adanya tuntutan yang berlebihan dari lingkungan kerja yang

tidak sesuai dengan keinginan atau kemampuan karyawan, dan tanggapan setiap

individu yang menghadapinya bisa berbeda. Stres kerja merupakan reaksi atas

ketidakseimbangan karakteristik karyawan dengan karakteristik elemen-elemen

pekerjaan dan hal ini dapat terjadi pada kondisi tertentu terhadap situasi pekerjaan

yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi fisik karyawan dalam

melakukan pekerjaannya. Karyawan yang mengalami stres biasanya menjadi

nervous dan merasakan kekhatiwaran yang kronis, Karyawan sering mudah marah

dan tidak dapat tenang atau menunjukkan sikap yang tidak bisa bekerjasama

terutama dalam bekerja.

2.2.2 Gejala Stres Kerja

Gejala merupakan penampakan diri suatu sikap atau perasaan.

Penampakan rasa senang bisa dalam bentuk tertawa, ceria, dan girang.

Penampilan rasa tidak senang bisa dalam bentuk diam, murung, marah, dan lain-

lain atau dapat juga dikatakan indikasi atau tanda-tanda dalam berbagai bentuk

dari sesuatu yang abstrak.

Menurut Seyle dalam Gitosudarmo (2000:51) ada 3 (tiga) tingkatan yang

berbeda atau gejala dalam stres yaitu alarm (alarm), perlawanan (resistance), dan

peredaan (exhaustion). Pada tahap peringatan dini (alarm) ini merupakan awal

reaksi tubuh terhadap adanya suatu tekanan atau stres. Reaksi awal pada

umumnya terjadi dalam bentuk suatu pesan biokimia yang ditandai dengan gejala

seperti otot menegang, tekanan darah meningkat, denyut jantung meningkat, dan

Universitas Sumatera Utara

lain sebagainya. Pada tahap perlawanan (resistance) ini ditandai dengan adanya

gejala ketegangan, kegelisahan, kelesuan, dan lain sebagainya yang menandakan

individu itu sedang melakukan perlawanan terhadap stres. Sedangkan pada tahap

peredaan (exhaustion) ini ditandai dengan runtuhnya tingkat perlawanan. Pada

tahap ini akan muncul berbagai macam penyakit seperti: tekanan darah tinggi,

penyakit jantung koroner, penyakit gula darah, dan sebagainya.

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya stres dalam individu dapat

dibedakan menjadi 2 (dua) kategori yaitu faktor yang bersumber dari dalam

maupun dari luar individu itu. Penyebab stres yang bersumber dari dalam individu

itu sendiri seperti kepribadiannya, nilai, kebutuhan, tujuan, umur dan kondisi

kesehatan. Penyebab stres yang bersumber dari luar individu dibedakan lagi

menjadi stres yang bersumber dari dalam organisasi dan dari luar organisasi.

Sumber stres yang berasal dari luar organisasi itu seperti faktor keluarga,

masyarakat, dan faktor keuangan. Sedangkan dari dalam organisasi seperti faktor

lingkungan fisik, faktor pekerjaan, faktor kelompok kerja, faktor organisasi, dan

faktor karier (Gitosudarmo dan Nyoman, 2000:53).

Menurut Hasibuan (2007:201), faktor-faktor yang menyebabkan stres

karyawan antara lain:

1. Beban kerja yang sulit dan berlebihan.

2. Tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar.

3. Waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai.

4. Konflik antara pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja.

5. Balas jasa yang terlalu rendah.

Universitas Sumatera Utara

6. Masalah- masalah keluarga seperti anak, istri, mertua, dan sebagainya.

Dampak stres kerja dapat menguntungkan ataupun merugikan karyawan.

Dampak yang menguntungkan diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat

menyelesaikan pekerjaan dengan bersemangat dan sebaik-baiknya, namun jika

stres tidak mampu diatasi maka akan menimbulkan dampak yang merugikan

karyawan (Gitosudarmo dan Nyoman, 2000:54).

Menurut Robbins (2008) ada tiga kategori sumber-sumber stress potensial

yaitu :

1. Faktor-faktor lingkungan. Atau sering disebut faktor dari luar organisasi,

yaitu ketidakpastian lingkungan dapat mempengaruhi desain dari struktur

organisasi. Ketidakpastian itu juga dapat mempengaruhi tingkat stress

dikalangan para karyawan dalam organisasi. Faktor lingkungan tersebut

dapat berupa ketidakpastian dalam ekonomi, ketidakpastian politis dan

ketidakpastian teknologis.

2. Faktor-faktor organisasi. Banyak faktor didalam organisasi yang dapat

menimbulkan stres diantaranya: (1) Tuntutan tugas merupakan faktor yang

dikaitkan dengan pekerjaan seseorang. Faktor ini mencakup desain

pekerjaan individu (otonomi, keragaman tugas, tingkat otomatisasi),

kondisi dan tata letak kerja fisik. Kemudian semakin banyaknya

kesalingketergantungan antara tugas seseorang dengan tugas orang lain,

makin potensial stres. Tetapi otonomi cenderung mengurangi stres. (2)

Tuntutan peran yang berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada

seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu dalam organisasi.

Universitas Sumatera Utara

Konflik peran menciptakan harapan-harapan hampir tidak bias dirujuk

atau diharapkan untuk melakukan lebih dari pada yang dimungkinkan oleh

waktu. Kedwi-artian peran diciptakan bila harapan peran tidak dipahami

dengan jelas dan karyawan tidak pasti dengan apa yang dikerjakan. (3)

Tuntutan antar pribadi yaitu tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain.

Kurangnya dukungan sosial dari rekan-rekan dan hubungan antar pribadi

yang buruk stres yang cukup besar, terlebih lagi bagi karyawan dengan

kebutuhan sosial yang tinggi.

3. Faktor-faktor individual/pribadi merupakan faktor-faktor dalam kehidupan

pribadi karyawan, terutama faktor keluarga, masalah ekonomi pribadi dan

karakterisktik kepribadian yang inheren.

Rivai (2004) menyatakan bahwa off the job dapat menimbulkan stres seperti:

1. Kekuatiran finansial;

2. Masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak;

3. Masalah-masalah perkawinan (misalnya perceraian);

4. Perubahan-perubahan yang terjadi ditempat tinggal;

5. Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara.

2.2.3 Faktor Penyebab Stres Kerja

Griffin (2002) menyatakan bahwa penyebab-penyebab stres yang

berhubungan dengan pekerjaan dapat dikelompokkan ke dalam 4 kategori yaitu:

1. Tuntutan tugas, terkait dengan tugas itu sendiri. Sejumlah pekerjaan secara

alami lebih cenderung menimbulkan stres dibanding pekerjaan-pekerjaan

lain. Keharusan membuat keputusan cepat, keharusan membuat keputusan

Universitas Sumatera Utara

tanpa informasi yang lengkap, dan keharusan membuat keputusan dengan

konsekuensi yang serius adalah sejumlah situasi yang bisa menimbulkan

stres.

2. Tuntutan fisik adalah penyebab-penyebab stres yang terkait dengan

lingkungan kerja. Bekerja diluar kantor dengan suhu yang sangat dingin

atau panas, atau bahkan di dalam kantor yang tidak ber-AC, bisa

menimbulkan stres. Desain kantor yang buruk yang membuat karyawan

kurang memiliki privasi atau menghambat interaksi sosial juga bisa

menimbulkan stres, begitu juga cahaya yang buruk dan ruang kerja yang

sempit.

3. Tuntutan peran, juga dapat menimbulkan stres. Peran adalah sekelompok

perilaku yang diharapkan dari suatu jabatan dalam kelompok organisasi.

Stres dapat ditimbulkan baik oleh ambiguitas peran atau konflik peran

yang dialami individu dalam kelompok. Ambiguitas peran adalah

ketidakpastian tentang perilaku apa yang diharapkan dari seseorang pada

peran tertentu, dan konflik peran adalah tuntutan yang tidak sesuai dengan

peran yang berbeda.

4. Tuntutan interpersonal, merupakan penyebab stres yang terkait dengan

hubungan antara pribadi dalam organisasi. Sebagai contoh tekanan

kelompok menyangkut restriksi out-put dan kepatuhan terhadap norma

bisa menimbulkan stres. Gaya kepemimpinan juga bisa menyebabkan

stres. Seseorang yang merasa sangat ingin berpartisipasi dalam pembuatan

keputusan akan merasa stres jika atasannya menolak untuk menyediakan

Universitas Sumatera Utara

ruang partisipasi. Dan individu-individu yang memiliki konflik

kepribadian bisa mengalami stres jika diminta bekerjasama.

2.2.4 Hubungan Stres Kerja dengan Produktivitas Karyawan

Menurut Ardana dkk (2009) menyatakan bahwa salah satu alasan mengapa

stres perlu untuk dipahami adalah stres berhubungan erat dengan produktvitas.

Karyawan yang mengalami stres kerja tidak dapat bekerja secara optimal sehingga

akan memberi dampak yang negatif pada hasil kerjanya atau dengan kata lain

karyawan tidak dapat mengoptimalkan hasil kerjanya.

Rendal Shculer dalam Jacinta (2002) mengemukakan bahwa stres kerja

oleh karyawan berhubungan dengan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran

kerja serta tendensi mengalami kecelakaan. Secara singkat beberapa dampak

negatif yang ditimbulkan oleh stres kerja dapat berupa:

1. Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun

operasional kerja.

2. Mengganggu kenormalan aktivitas kerja

3. Menurunkan tingkat produktivitas

4. Menurunkan pemasukan dan keuntumgan perusahaan. Kerugian Finansial

yang dialami perusahaan karena tidak imbangnya produktivitas dengan

biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan dan fasilitas

lainnya.

Munandar dalam Koesmono (2007) menyatakan bahwa pada umumnya

karyawan merasakan bahwa stres merupakan suatu kondisi yang mengarah

timbulnya penyakit fisik maupun mental, atau mengarah ke perilaku yang tidak

Universitas Sumatera Utara

wajar. Demikian pula ada stres yang dapat bersifat positif, semakin tinggi

dorongannya untuk berprestasi, semakin tinggi tingkat stresnya dan makin tinggi

juga produktivitas dan effisiesinya. Stres dalam jumlah tertentu dapat mengarah

ke gagasan yang inovatif dan keluaran yang konstruktif.

2.3 Produktivitas Karyawan

2.1.3 Pengertian Produktivitas Karyawan

Wibisono (2007) mengemukakan bahwa produktivitas adalah rasio

keluaran terhadap masukan; merupakan ukuran efisiensi dalam menggunakan

sumber daya organisasi yang terbatas untuk menghasilkan barang dan jasa.

Semakin besar angka rasio semakin besar efisiensi.

Sutrisno (2009) mendefinisikan produktivitas kerja sebagai rasio dari hasil

kerja dengan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk dari seseorang

tenaga kerja. Klinger dan Nanbaldian dalam Gomes (2003) menyatakan bahwa

produktivitas merupakan fungsi perkalian dari usaha pegawai (effort), yang

didukung dengan motivasi tinggi, dan dengan kemampuan Sumber Daya Manusia

(Ability) yang diperoleh melalui latihan-latihan produktivitas yang meningkat,

berarti performansi yang baik, akan menjadi umpan balik bagi kegiatan organisasi

seterusnya, atau bagi motivasi Sumber Daya Manusia pada tahap berikutnya.

Produktivitas sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang ada pada

setiap orang, yaitu antara lain: Knowlegde (Pengetahuan), Skills (Keterampilan),

Abilities (Kemampuan), Attitudes (Sikap), dan Behaviors (Tingkah laku). Program

peningkatan produktivitas yang berhasil itu ditandai dengan adanya andil yang

luas dari karyawan atau pekerja yang baik, sehingga menghasilkan kinerja yang

Universitas Sumatera Utara

baik dan hal tersebut akan menghasilkan produktivitas yang optimal. Secara

umum produktivitas diartikan sebagai efisien dari penggunaan sumber daya yang

menghasilkan. Sedangkan ukuran produktivitas pada umumnya adalah ratio yang

berhubungan dengan keluaran terhadap satu atau lebih masukan yang

mengeluarkan keluaran (barang dan jasa) tersebut.

2.3.2 Faktor-faktor Produktivitas Karyawan

Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa aktivitas perusahaan tidak terjadi

dalam isolasi. Segala sesuatu yang terjadi dalam perusahaan dipengaruhi oleh hal-

hal yang terjadi diluarnya, seperti sumber-sumber faktor produksi yang

digunakan, prospek pemasaran, perpajakan, perizinan, lingkungan hidup dan lain-

lain. Sedangkan Ravianto (2003) menyatakan bahwa: “Produktivitas tenaga kerja

dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berhubungan dengan tenaga kerja itu

sendiri maupun faktor-faktor lainnya seperti : pendidikan, keterampilan, disiplin,

sikap dan etika kerja, motivasi, gizi dan kesehatan, tingkat penghasilan, jaminan

sosial, lingkungan dan iklim kerja, hubungan industrial pancasila, teknologi,

sarana produksi, manajemen, kesempatan kerja dan kesempatan berprestasi”.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja

dipengaruhi oleh karyawan atau tenaga kerja itu sendiri maupun faktor-faktor

lainnya yang berasal dari dalam manajemen organisasi atau perusahaan itu sendiri

dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu daerah atau negara juga

dapat mempengaruhi produktivitas karyawan.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Yuli (2005) ada beberapa faktor yang menentukan besar kecilnya

produktivitas karyawan. Faktor-faktor tersebut dapat digolongkan dalam tiga

kelompok utama antara lain :

a. Kepuasan kerja.

Karyawan yang merasa puas tentu secara alamiah akan berupaya

mencapai tingkat kepuasan yang tinggi dengan cara mengoptimalkan

hasil kerja (output). Jika output yang dihasilkan tidak sebanding dengan

semangat yang diberikan maka kepuasan kerja justru akan menurun

sehingga produktivitas juga menurun.

b. Input.

Besar kecilnya input yang dimasukkan dalam sebuah proses produksi

akan menentukan hasil akhir dari sebuah pekerjaan. Input yang dimiliki

karyawan dalam bekerja antara lain; motivasi, tenaga, sikap,

pengetahuan dan keterampilan, sarana yang mendukung dan lingkungan

kerja.

c. Waktu kerja.

Jam kerja yang lama mendorong karyawan untuk terus memperbanyak

dan meningkatkan hasil kerja mereka. Namun faktor ini sifatnya sangat

relatif, karena harus didukung oleh faktor lainnya seperti input.

Produktivitas merupakan hal yang sangat penting bagi karyawan dalam

perusahaan, dengan produktivitas diharapkan karyawan dapat

melaksanakan pekerjaan secara efesien dan efektif ntuk mencapai

tujuan yang telah ditetapakan.

Universitas Sumatera Utara

2.3.3 Pengukuran Produktivitas Karyawan

Sutrisno (2009) menyatakan bahwa untuk mengukur produktivitas kerja,

diperlukan suatu indikator, yaitu sebagai berikut :

1 Kemampuan

Memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas. Kemampuan seorang

karyawan sangat tergantung kepada keterampilan yang dimiliki serta

profesionalisme karyawan dalam bekerja. Ini memberikan daya untuk

menyelesaikan tugas-tugas yang diembankan kepada mereka.

2. Meningkatkan hasil yang dicapai.

Berusaha untuk meningkatkan hasil yang dicapai. Hasil merupakan salah

satu yang dapat dirasakan baik oleh yang mengerjakan maupun yang

menikmati hasil pekerjaan tersebut. Jadi upaya untuk memanfaatkan

produktivitas bagi masing-masing yang terlibat dalam suatu pekerjaan.

3. Semangat kerja

Merupakan usaha untuk menjadi lebih baik dari hari kemarin. Indikator ini

dapat dilihat dari etos kerja dan hasil yang dicapai dalam satu hari

kemudian dibandingkan dengan hari sebelumnya.

4. Pengembangan diri.

Senantiasa mengembangkan diri untuk meningkatkan kemampuan kerja.

Pengembangan diri dapat dilakukan dengan melihat tantangan dan harapan

dengan apa yang akan dihadapi. Begitu juga harapan untuk menjadi lebih

baik pada gilirannya dan akan sangat berdampak pada karyawan utuk

meningkatkan kemampuannya.

Universitas Sumatera Utara

5. Mutu

Selalu berusaha meningkatkan mutu lebih baik dari yang telah lalu. Mutu

merupakan hasil pekerjaan yang dapat menunjukkan kualitas kerja seorang

karyawan. Meningkatkan mutu bertujuan untuk memberikan hasil yang

terbaik serta berguna bagi karyawan dan perusahaan.

6. Efisiensi

Perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya

yang digunakan. Masukan dan keluaran merupakan aspek produktivitas

yang memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi karyawan.

Menurut Sinungan dalam Yuli (2005), secara umum pengukuran

produktivitas berarti perbandingan yang dapat dibedakan dalam tiga jenis yang

sangat berbeda yaitu:

a. Perbandingan-perbandingan antara pelaksanaan sekarang dengan

pelaksanaan histiis yang tidak mungkin menunjukkan apakah pelaksanaan

sekarang ini memuaskan, namun hanya mengetengahkan apakah

meningkat atau berkurang serta tingkatannya.

b. Perbandingan pelaksanaan antara satu unit (perorangan tugas, seksi,

proses) dengan lainnya. Pengukuran seperti itu menunjukkan pencapai

relatif.

c. Perbandingan pelaksanaan sekarang dan targetnya. Untuk mengukur suatu

produktivitas dapat digunakan dua jenis ukuran jam kerja manusia yakni

jam – jam kerja yang harus dibayar dan jam–jam kerja yang harus

dipergunakan untuk bekerja

Universitas Sumatera Utara

Menurut Ravianto (2003) ada dua macam alat pengukuran produktivitas,

yaitu:

a. Physical productivity, yaitu produktivitas secara kuantitatif seperti ukuran

(size), panjang, berat, banyaknya unit, waktu, dan biaya tenaga kerja;

b. Value producitivity, yaitu ukuran produktivitas dengan menggunakan nilai

uang yang dinyatakan dalam rupiah, yen, dollar dan seterusnya.

2.4 Penelitian Terdahulu

Mustafa dan Agus (2007) yang berjudul Pengaruh Kecerdasan Emosional

Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Pada Fungsi Operasi dan Penunjang PT.

Pertamina (Persero) Unit Pengolahan Balongan Indramayu. Dimana ada pengaruh

yang signifikan dari variabel kecerdasan emosional secara parsial dan secara

simultan. Secara parsial semua variabel kecerdasan emosional yaitu kesadaran

diri, pengaturan diri, motivasi, empati, keterampilan sosial mempunyai nilai

signifikansi dibawah 0.05 sehingga kelima variabel tersebut dinyatakan

berpengaruh secara parsial terhadap produktivitas kerja karyawan, dan secara

simultan mamunyai nilai signifikansi 0.000 dengan taraf signifikansi 95%.

Penelitian yang dilakukan Susanto dan Wahyudin (2007) yang berjudul

Pengaruh stres, konflik dan hukuman disiplin terhadap produktivitas kerja

pegawai di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Samarinda Kalimantan

Timur. Hasil uji koefisien regresi diperoleh semua variabel independen yang

terdiri stres, konflik dan hukuman disiplin berpengaruh signifikan terhadap

produktivitas kerja. Penelitian ini mengambil sampel 66 orang.

Universitas Sumatera Utara

2.5 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual menjelaskan secara teoritis pertautan antar variabel

yang diteliti. Pertautan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah

dideskripsikan akan dianalisis secara kritis dan sistematis, sehingga menghasilkan

sintesa tentang hubungan antar variabel yang diteliti. Sintesa tentang hubungan

variabel tersebut, selanjutnya digunakan untuk merumuskan hipotesis (Sugiyono,

2005:49).

Kecerdasan emosional menurut Goleman (2002) adalah kemampuan-

kemampuan yang mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan dan

kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Goleman (2002) membagi aspek-

aspek kecerdasan emosional menjadi 5 wilayah yang menjadi pedoman dalam

mencapai kesuksesan atau produktivitas dalam bekerja yaitu kesadaran diri,

pengaturan diri, motivasi, empati dan kemampuan sosial.

Siagian (2007:300) menyatakan bahwa stres merupakan kondisi

ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran, dan kondisi fisik

seseorang. Stres yang tidak diatasi dengan baik biasanya berakibat pada

ketidakmampuan seseorang untuk berinteraksi secara positif dengan

lingkungannya, baik dalam arti lingkungan pekerjaan maupun lingkungan luar

lainnya. Hal ini berarti karyawan yang bersangkutan akan menghadapi berbagai

gejala negatif yang akhirnya akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja

karyawan.

Universitas Sumatera Utara

Sutrisno (2009) mendefinisikan produktivitas kerja sebagai rasio dari hasil

kerja dengan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk dari seseorang

tenaga kerja.

Gambar 2.2 : Kerangka Konseptual

Sumber : Goleman (2002), Siagian (2007) dan Sutrisno (2009) (diolah) 2.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka hipotesis

penelitian ini adalah : “Kecerdasan Emosional dan Stres Kerja berpengaruh secara

parsial dan simultan terhadap Produktivitas Karyawan pada PT. Perkebunan

Nusantara III Kantor Pusat Medan”.

Stres Kerja (X2)

Produktivitas Karyawan (Y)

Kecerdasan Emosional

(X1)

Universitas Sumatera Utara