19
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Tebu 2.1.1 Deskripsi Tanaman Tebu Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman suku Graminae yang banyak dimanfaatkan sebagai tanaman penghasil gula karena pada batang terdapat banyak cairannya dan memiliki rasa manis ( Steenis, 1987). Batang tebu berdiri lurus dan beruas-ruas yang dibatasi oleh buku. Setiap buku terdapat mata tunas yang mampu tumbuh menjadi individu baru (Gambar 2.1). Diameter batang tebu berkisar antara 3-5 cm dengan tinggi batang antara 2-5 m (Indrawanto et al., 2010). Pada setiap buku juga terdapat akar primordial serta daun yang menempel. Daun tebu berupa pita dengan tulang daun sejajar, berpelepah dan tidak bertangkai. Duduk daun berseling antara kanan dan kiri pada batang (Indrawanto et al., 2010). Gambar 2.1. Batang tanaman tebu (Shandu, et al.,1993). Seperti halnya tanaman menahun yang lain, tebu memiliki akar serabut yang tumbuh dari setiap buku terutama pada bagian pangkal batang (Gambar 2.2). Akar tebu dapat mencapai panjang 3-6 m dan mampu menembus tanah dengan Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.ump.ac.id/10098/3/Bab II_Daryanto.pdf · 2020. 9. 12. · 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Biologi Tebu . 2.1.1 Deskripsi Tanaman Tebu . Tebu (Saccharum

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Tebu

2.1.1 Deskripsi Tanaman Tebu

Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman suku Graminae yang

banyak dimanfaatkan sebagai tanaman penghasil gula karena pada batang terdapat

banyak cairannya dan memiliki rasa manis ( Steenis, 1987). Batang tebu berdiri

lurus dan beruas-ruas yang dibatasi oleh buku. Setiap buku terdapat mata tunas

yang mampu tumbuh menjadi individu baru (Gambar 2.1). Diameter batang tebu

berkisar antara 3-5 cm dengan tinggi batang antara 2-5 m (Indrawanto et al.,

2010). Pada setiap buku juga terdapat akar primordial serta daun yang menempel.

Daun tebu berupa pita dengan tulang daun sejajar, berpelepah dan tidak

bertangkai. Duduk daun berseling antara kanan dan kiri pada batang (Indrawanto

et al., 2010).

Gambar 2.1. Batang tanaman tebu (Shandu, et al.,1993).

Seperti halnya tanaman menahun yang lain, tebu memiliki akar serabut yang

tumbuh dari setiap buku terutama pada bagian pangkal batang (Gambar 2.2).

Akar tebu dapat mencapai panjang 3-6 m dan mampu menembus tanah dengan

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

9

kedalaman sekitar 4 m (James, 2004). Tebu memiliki bunga berupa malai panjang

antara 50-80 cm, pada setiap helaian bunga terdapat benang sari, putik, dan juga

bakal biji (Indrawanto et al., 2010). Malai bunga tebu dapat tersusun atas bunga

kecil yang jumlahnya dapat mencapai 25 ribu (James, 2004). Masing-masing

bunga memiliki satu biji dengan besar lembaga 1/3 panjang biji (Shandu, et

al.,1993). Bunga mulai tumbuh pada tebu yang telah berusia lebih dari 12 bulan

(Insan, 2010). Pada umumnya bunga tebu akan mengalami penyerbukan secara

alami dengan bantuan angin. Setelah terjadi penyerbukan, tebu membutuhkan

waktu 21-25 hari untuk mencapai kematangan biji (James, 2004). Biji tebu

berwarna coklat kekuningan dengan ukuran sekitar 1 mm. Pada umumnya, biji

tebu berkecambah setelah 2-8 hari setelah tanam dan benih tebu siap dipindahkan

ke lahan setelah 6 minggu kemudian (James, 2004).

Gambar 2.2. (A) Akar pada tanaman tebu, (B) Tanaman Tebu (Shandu, et al.,

1993).

2.1.2 Ekologi Tebu

Tanaman tebu merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di

daerah tropik dan sub tropik (Indrawanto et al., 2010). Tanaman tebu dapat

tumbuh optimum pada daerah dengan ketinggian yang tidak melebihi 500 m di

atas permukaan laut, kemiringan tanah tidak lebih dari 8°, temperatur udara

A B

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

10

berkisar antara 24-34 °C, serta curah hujan antara 1.000 – 1.300 mm per tahun

dengan sekurang-kurangnya 3 bulan kering. Tanah yang cocok untuk lokasi

budidaya tebu adalah tanah yang gembur dengan aerasi udara yang baik dan

kondisi pH berkisar antara 6 - 7,5 (Indrawanto et al., 2010).

2.1.3 Varietas Tebu di Indonesia

Indonesia banyak memiliki varietas tebu yang diperkirakan mencapai sekitar

29 varietas (Anonim, 2018). Varietas-varietas tersebut pada umumnya

digolongkan menjadi 3 kelompok berdasarkan waktu kemasakannya, yaitu

varietas genjah, varietas sedang dan varietas dalam. Tebu yang tergolong varietas

genjah (masak awal) memiliki umur masak optimal sekitar 8-10 bulan setelah

tanam. Salah satu varietas unggul yang tergolong masak awal adalah varietas

Pasuruan 865 (PS 865). Tebu varietas sedang (masak tengah) memiliki masak

optimal pada umur 10-12 bulan misalnya varietas PS 864 dan Bululawang (BL).

Sedangkan tebu varietas dalam (masak lambat) menunjukkan umur masak

optimum sekitar 12 – 14 bulan setelah tanam misalnya varietas PS 951

(Indrawanto et al., 2010).

Setiap golongan varietas, terdapat varietas yang diunggulkan dibandingkan

dengan varietas-varietas yang lain, misalnya memiliki kadar gula yang tinggi,

tahan terhadap serangan penyakit, tahan kering ataupun keunggulan yang lain.

Varietas tebu yang unggul berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan kemudian

ditetapkan sebagai varietas unggul melalui melalui sidang tim penetapan varietas

dan dibuatkan surat keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia (Tabel 2.1).

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

11

Tabel 2.1 Beberapa contoh varietas tebu yang termasuk sebagai varietas unggul

(Indrawanto et al., 2010).

Salah satu varietas tebu yang memiliki banyak keunggulan dan paling

banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia adalah varietas Bululawang (BL)

yang mencapai 53% (Anonim, 2016). Varietas tersebut memiliki batang silindris

dengan penampang bulat dan warna batang coklat kemerahan, memiliki daun

berwarna hijau kekuningan yang panjang dan melebar, serta mata tunas berada

pada bekas pangkal pelepah dengan bentuk segitiga. Keunggulan di bidang

produksi tebu dan produksi hablur pada varietas BL menjadikan varietas tersebut

sebagai varietas unggul. Varietas BL memiliki potensi produksi tebu mencapai

94,3 ton per hektar dan hablur gula 6,9 ton per hektar. Varietas tersebut juga tahan

terhadap penyakit luka api dan penyakit mosaik yang banyak menyerang tanaman

tebu pada umumnya. Namun demikian varietas tersebut memiliki randemen

(kadar gula) yang cukup rendah yaitu sekitar 7,51 %. Selain randemen yang

rendah, kemampuan tunas untuk tumbuh pada saat digunakan untuk benih juga

relatif rendah sehingga ketersediaan benih tebu BL di lapangan relatif kurang (SK

Nomor : 322/Kpts/SR.120/5/2004).

Varietas Sifat Masak SK Menteri Pertania

PS 865 Awal 342/Kpts/SR.120/3/2008

Kidang Kencana Tengah 334/Kpts/SR. 120/3/2008

Bululawang Tengah 322/Kpts/SR.120/5/2004

PS 951 Lambat 52/Kpts/SR.120/1/2004

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

12

2.2 Produksi Tebu di Indonesia dan Permasalahannya

Indonesia merupakan salah satu negara dengan perkebunan tebu yang cukup

luas mencapai 472 ribu hektar pada tahun 2016 dan menempati peringkat ke 8

untuk luas perkebunan tebu dari seluruh negara di dunia (FAO, 2018). Jumlah

tersebut hampir 20 kali lebih rendah dibandingkan dengan luas perkebunan tebu di

Brazil. Brazil merupakan negara dengan perkebunan tebu terluas di dunia dengan

luas perkebunan mencapai 10,2 juta hektar sedangkan India menempati posisi ke

dua dengan luas perkebunan tebu sekitar 4,9 juta hektar (FAO, 2018). Perkebunan

tebu di Indonesia tersebar di beberapa provinsi utama seperti Jawa Timur (48%),

Lampung (28%), dan Jawa Tengah (10%). Perkebunan tebu juga dapat ditemukan

di 6 provinsi yang lain diantaranya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi

Selatan, Sumatera Utara, Gorontalo, dan DI Yogyakarta (Pusat Data dan

Informasi Pertanian, 2016)

Luas perkebunan tebu di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun

ke tahun. Pada tahun 1970, luas perkebunan tebu di Indonesia hanya sekitar 120

ribu hektar sedangkan pada tahun 2016, luas perkebunan tebu di Indonesia

meningkat hampir 4 kali lipat mencapai sekitar 445 ribu hektar (Anonim, 2017).

Namun demikian, perkebunan tebu yang relatif luas tidak diikuti dengan

tingginya produktivitas perkebunan tebu di Indonesia. Setiap hektarnya,

perkebunan tebu di Indonesia hanya mampu menghasilkan sekitar 5,7 ton tebu per

tahun (FAO, 2018). Nilai produktivitas perkebunan tebu tersebut masih jauh lebih

rendah bila dibandingkan dengan negara lain seperti Guatemala yang

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

13

poduktivitasnya mampu mencapai 12,9 ton per hektar. Hal tersebut menempatkan

Indonesia sebagai negara urutan ke-52 dalah hal produktivitas perkebunan tebu.

Salah satu akibat rendahnya produktivitas perkebunan tebu di Indonesia

adalah rendahnya produksi gula yang dihasilkan setiap tahunnya. Pada tahun

2016, Indonesia hanya mampu menghasilkan gula sekitar 2,7 juta ton per tahun

(FAO, 2018). Jumlah produksi tersebut masih belum mencukupi seluruh

kebutuhan gula nasional yang mencapai 5,9 Juta ton per tahun. Akibatnya, sejak

tahun 1972 sampai sekarang, Indonesia telah mengimpor gula dari negara lain

seperti Thailand, Australia, dan India. Bahkan impor gula tersebut cenderung

meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990, Indonesia mengimpor gula

sebanyak 280 ribu ton atau setara dengan sekitar 123 ribu US$, sedangkan pada

tahun 2016 import gula di Indonesia mencapai sekitar 3,4 Juta ton atau setara

dengan sekitar 1,3 juta US$ (Anonim, 2017).

Beberapa upaya dilakukan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan

tebu di Indonesia, seperti penyiapan lahan yang sesuai, teknik penanaman tebu

yang benar, pemupukan yang tepat, pengendalian hama dan penyakit, maupun

penggunaan benih tebu yang berkualitas dari varietas unggul (Indrawanto et al.,

2010).

2.3 Benih tebu di Indonesia dan Permasalahannya

Penyediaan benih tebu di Indonesia dapat dilakukan secara generatif

maupun vegetatif. Perbanyakan tebu secara generatif dilakukan menggunakan biji

yang dikecambahkan. Perbanyakan tebu secra generatif umumnya hanya

dilakukan untuk pemuliaan tanaman saja. Meskipun benih tebu yang dihasilkan

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

14

dari biji mampu menghasilkan tanaman tebu dengan tegakkan yang baik (Anonim,

2014) namun dalam perbanyakan benih tebu tersebut diperlukan biji dalam jumlah

yang tinggi (Meihana dan Muhadi, 2015)

Umumnya tebu diperbanyak dengan cara vegetatif, yaitu dengan cara stek

batang yang terdiri atas 2-3 mata tunas ditanam pada lubang tanam dengan

kedalaman 30-40 cm dan ditutup dengan tanah (Indrawanto et al., 2010). Dengan

sistem yang biasanya dinamakan sistem bagal tersebut, produksi benih tebu

memiliki banyak keuntungan seperti mudah dan murah dilakukan, tidak

memerlukan perlengkapan khusus, serta tidak membutuhkan tenaga kerja terampil

untuk melakukannya (Sukmadjaja dan Mulyana, 2011). Namun demikian, sistem

tersebut memiliki beberapa kekurangan seperti dibutuhkannya batang tebu dalam

jumlah yang banyak, 1 hektar lahan membutuhkan sekitar 8 ton batang tebu

(Indrawanto et al., 2010). Disamping itu, sistem bagal mengakibatkan penularan

penyakit termasuk virus kepada tanaman yang dihasilkan sehingga kualitas tebu

yang dibudidayakan semakin menurun (Azizi et al., 2017).

Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk memperoleh benih tebu

berkualitas adalah dengan melakukan pembenihan tebu mata tunas tunggal yang

juga disebut teknik bud chip. Teknik tersebut dilakukan dengan cara mata tunas

diisolasi kemudian diberi perlakuan air panas (hot water treatment, HWT) pada

suhu sekitar 50°C selama 30 menit. Mata tunas kemudian dipelihara selama 15

hari sebelum digunakan sebagai benih di lapangan (Prasetyo, 2014). Benih yang

dihasilkan dengan teknik tersebut terbukti mampu menghasilkan anakan yang

lebih banyak dibandingkan dengan bibit bagal. Setiap mata tunas dari yang

dihasilkan dari teknik bud chip mampu menghasilkan hingga 10 anakan

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

15

dibandingkan dengan hanya sekitar 5 anakan dari setiap tunas yang ditanam

dengan sistem bagal (Saini, et al., 2012). Benih yang berasal dari teknik bud chip

dapat lebih unggul daripada penggunaan teknik bagal karena perlakuan HWT

yang dilakukan dapat memecahkan dormansi pada benih tebu serta meminimalisir

adanya jamur yang dapat menghambat petumbuhan tebu (Prasetyo, 2015). Selain

itu, Produktivitas yang dihasilkan dari perkebunan tebu yang dilakukan melalui

teknik pembenihan bud chip terbukti dapat ditingkatkan dari produktivitas gula

yang awalnya 119 ton tebu / ha menjadi 151 ton tebu / ha (Zainuddin dan

Wibowo, 2017).

Walaupun penggunaan teknik bud chip mampu meningkatkan produktivitas

perkebunan tebu, namun demikian penggunaan teknik bud chip masih belum

mampu mengoptimalkan produktivitas perkebunan tebu di Indonesia. Kendala

utama dalam mengaplikaskan teknik bud chip adalah dibutuhkannya mata tunas

dalam jumlah banyak untuk produksi benih dalam skala besar. Untuk

menyediakan benih tebu skala 1 hektar dibutuhkan sekitar 32 ribu batang atau

setara dengan 6-8 ton batang tebu (Khalid et al., 2015). Selain itu pengunaan

teknik bud chip tidak dapat menghilangkan penyakit pada tanaman tebu yang

berupa virus (Chatenet et al., 2001).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan benih tebu yang

bebas penyakit termasuk virus adalah dengan pembenihan tebu melalui teknik

kultur jaringan khususnya kultur meristem (Fitch et al., 2001). Dengan

penggunaan teknik tersebut, produksi benih dalam jumlah masal serta berkualitas

termasuk bebas virus dan penyakit lainnya dapat dilakukan secara efisien. Teknik

kultur meristem telah terbukti mampu digunakan untuk memproduksi benih yang

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

16

bebas penyakit termasuk virus yang hidup pada jaringan tersebut (Fitch et al.,

2001). Teknik kultur meristem terbukti mampu menghasilkan benih yang bebas

penyakit maupun virus seperti virus SCYLV yang telah terbukti dapat dihilangkan

hingga 100 % (Fitch, et al, 2001) dan juga beberapa virus tanaman tebu lainya

seperti SCMV hingga 61 %, SrMV hingga 33 %, SCSMV hingga 56 %, and FDV

hingga 52 % (Cheong et al., 2012).Dengan penggunaan benih tebu yang bebas

virus, produktivitas tebu terbukti dapat ditingkatkan (Wekesa et al., 2015).

2.4 Perkembangan Penelitian Kultur meristem Tebu

Penelitian kultur jaringan tebu telah banyak dilakukan di Indonesia (Tabel

2.2). Sebagian besar penelitian menggunakan eksplan pucuk dengan tingkat

keberhasilan yang relatif tinggi (85 – 100 %), baik untuk induksi kalus, induksi

tunas, induksi akar maupun tahap aklimatisasi (Sukmadjaja dan Mulyana, 2011;

Sukmadjaja, et al. 2014). Penggunaan eksplan berupa daun menggulung juga

banyak dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilannya relatif

tinggi (80 – 100 %) seperti halnya penelitian yang menggunakan eksplan pucuk

(Suhesti, et al., 2015; Fiah, et al., 2014). Varietas yang dperbanyak dengan

menggunakan kultur jaringan juga bervariasi meliputi BL, PS 951 (Sukmadjaja

dan Mulyana, 2011), PS 864, PS 881 (Sukmadjaja, et al. 2014; Fiah, et al., 2014),

Kidang kencana, PSJT 941 (Suhesti, et al., 2015). Seluruh medium dasar yang

digunakan, baik untuk induksi kalus, induksi tunas maupun induksi akar

menggunakan medium dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962). Ke dalam

medium dasar ditambahkan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang bervariasi

tergantung tahap kultur jaringan. Mayoritas penelitian menggunakan 2,4-

diklorofenoksi asetat (2,4-D) untuk menginduksi kalus (Sukmadjaja dan Mulyana,

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

17

2011; Suhesti, et al., 2015; Fiah, et al., 2014), sedangkan untuk menginduksi

tunas ditambahkan 6-benzilamino purin (BAP) (Sukmadjaja dan Mulyana, 2011;

Sukmadjaja, et al. 2014; Suhesti, et al., 2015) Induksi akar dilakukan dengan cara

memindahkan tunas ke dalam medium MS dengan penambahan IBA maupun

tanpa ZPT (Sukmadjaja dan Mulyana, 2011; Sukmadjaja et al., 2014; Suhesti, et

al., 2015).

Tabel 2.2. Perkembangan Kultur jaringan Tebu di Indonesia

Keterangan :

IK : Induksi Kalus

IT : Induksi Tunas

IA : Induksi Akar

A : Aklimatisasi

H : Hari

TAD : Tidak Ada Data

IK IT IA IK IT IA A

BL

0,01 µM

2.4-D +

0,001 µM

BAP +

CH 2000

mg/l,

(tanpa

ZPT)

0,005 µM

IBA

100 %

(9H)88% 92% 90-100%

PS 951

0,005 µM

2.4-D +

0,001 µM

BAP

1 mg/l

BAP + 1

mg/l

kinetin +

0,5 mg/l

NAA +

0,5 mg/l

GA3

0,005 µM

IBA

100%

(13H)86% 88% 90-100%

PS 8640,5 mg

BAP

0,005 µM

IBA14 H 100% 95%

PS 8810,5 mg

BAP

0,005 µM

IBA14 H 100% 88%

Kidang

Kencana

9 µM 2,4

D + 4,5

µM

Picloram

2,46 µM

IBA +

1,33µM

BAP

(tanpa

ZPT)

98 %

(14H)85% 87% 80-100%

PSJT 941

9 µM 2,4

D + 4,5

µM

Picloram

2,46 µM

IBA +

1,33µM

BAP

2,46 µM

IBA +

1,33µM

BAP

100 %

(15H)82% 80% 80-100%

PS 862 100% 44 tunas

PS 864 100% 30 tunas

PS 881 100% 35 tunas

Sukmadjaja

dan Mulyana,

2011

Pucuk

Sukmadjaja,

et al . 2014

Fiah, et

al., 2014

Jenis

eksplanVarietas

Medium

DasarPustaka

Daun

mengulung

ZPT Hasil

MS

MS

MS TAD TAD

MS0,005 µM

2,4-D

0,001 µM

IAA +

0,001 µM

IBA + 2,0

mg/l

kinetin

TAD TADTAD

Suhesti, et

al ., 2015

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

18

Meskipun kultur jaringan tebu telah banyak dikembangkan di Indonesia,

namun perkembangan teknik kultur mersitem tebu untuk menghasilkan benih

bebas penyakit termasuk virus belum banyak dilakukan di Indonesia (Tabel 2.3).

Azizi et al.,(2017) telah berhasil menginduksi tunas dari jaringan meristem tebu

dengan tingkat keberhasilan mencapai 100%. Varietas tebu yang digunakan pada

penelitian tersebut meliputi PS 881, PS 865 dan GMP 3. Namun demikian, tahap

induksi akar dan aklimatisasi belum dilaporkan.

Di negara lain, upaya produksi benih tebu melalui kultur meristem telah

banyak dilaporkan (Tabel 2.3). Fitch, et al., (2001) berhasil melakukan kultur

meristem tebu dengan varietas H 62-4671, H 65-7052, H 73-6110, H 77-4643,

dan H 87-4094 melalui induksi kalus dengan keberhasilan mencapai 50 % dan

keberhasilan induksi tunas berkisar antara 55-87%. Cheong, et al. (2012)

melaporkan keberhasilan kultur pembentukan kalus dan berhasil menumbuhkan

tunas dalam waktu 7 hari. Namun demikian pada kedua penelitian tersebut juga

belum dilaporkan tingkat keberhasilan induksi akar dan aklimatisasinya.

Salah satu keunggulan dari kultur meristem tebu yang dilakukan Fitch, et

al., (2001) maupun Cheong, et al., (2012) adalah dihasilkannya benih tebu yang

bebas virus. Fitch, et al.,(2001) berhasil membuat benih tebu bebas virus sugar

cane yellow leaf virus (SCYLV) pada lima varietas tebu (H 62-4671, H 65-7052,

H 73-6110, H 77-4643, dan H 87-4094) dengan menggunakan teknik kultur

meristem. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Cheong et al. 2012 yang berhasil

memproduksi benih tebu bebas virus sugarcane streak mosaic virus (SCSMV).

Meskipun demikian beberapa jenis virus tertentu seperti sorghum mosaic virus

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

19

(SrMV) belum berhasil dihilangkan seluruhnya dari benih tebu dengan

menggunakan teknik kultur meristem.

Tabel 2.3. Perkembangan Kultur meristem tebu di dunia sebagai upaya

penyediaan benih tebu bebas virus

Keterangan :

IK : Induksi Kalus

IT : Induksi Tunas

IA : Induksi Akar

A : Aklimatisasi

H : Hari

TAD : Tidak Ada Data

Secara umum, tahapan produksi benih tebu melalui kultur meristem dapat

dilakukan dengan 4 tahapan (Fitch, et al.,), yaitu tahap induksi kalus (IK) yang

berasal dari jaringan meristem, tahap induksi dan multiplikasi tunas (IT), tahap

induksi akar (IA), dan tahap aklimatisasi (A). Sebelum tahap IK dilakukan

tahapan sterilisasi eksplan dan isolasi meristem. Cheong, et al. (2012) melaporkan

bahwa sterilisasi eksplan tebu dilakukan dengan cara memotong bagian pucuk

IK IT IK IT IA A

PS 881 100% TAD TAD

PS 865 100% TAD TAD

GMP 3 100% TAD TAD

H 62-4671

H 65-7052

CP 65-127

H 73-6110

H 77-4643

H 87-4094

TAD MS TAD

0,2 µM BAP +

0,2 µM Kinetin

+ 0,02 µM GA3

+ 0,02 µM NAA

TAD 7H TAD TADCheong, et al.,

2012

VarietasMedium

Dasar

ZPT HasilPustaka

MSAzizi, et al.,

2017TAD

00,1 µM BAP

+ 0,02 µM

IBA+ 300 mg/l

Fitch, et al .,

2001TAD TADMS

0,01 µM 2,4-

D + 0,08 µM

BAP

(Tanpa ZPT) 50% 55-87%

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

20

yang disterilkan dengan alkohol 70 %, kemudian dilakukan isolasi jaringan

meristem (<1 mm) menggunakan mikroskop stereo.

Tahap IK dilakukan dengan cara jaringan meristem yang berhasil diisolasi

ditanam pada medium dasar MS dengan penambahan 0,01 µM 2,4 D yang

dikombinasikan dengan 0,08 µM BAP. Metode tersebut, kalus muncul setelah 2

minggu kultur di tempat gelap dengan tingkat keberhasilan mencapai 50 % (Fitch,

et al., 2001).

Tahap induksi tunas dilakukan dengan cara memindahkan kalus pada

medium dasar MS dengan penambahan BAP 0,01 µM dan 0,002 µM IBA. Tunas

berhasil diinduksi dengan tingkat keberhasilan mencapai 92 % dengan rata-rata

tinggi tunas 6,2 cm (Behera dan Sahoo, 2009). Medium yang sama juga dapat

digunakan untuk multiplikasi tunas guna menggandakan jumlah tunas yang

dihasilkan. Pada umumnya subkultur dilakukan setiap 2 minggu (Cheong et al.,

2012) dan tunas yang dihasilkan bermultiplikasi sampai 4 tunas dari setiap tunas

yang ditanam (Azizi et al., 2017).

Tahap induksi akar dilakukan dengan cara memindahkan kelompok tunas

dengan tinggi 1,75 – 2 cm pada medium induksi akar (IA; Sukmadjaja dan

Mulyana, 2011). Medium IA yang digunakan berupa medium dasar MS dengan

konsentrasi setengahnya serta penambahan 0,001 µM NAA (Behera dan Sahoo,

2009). Setelah 8-10 hari kultur, tingkat keberhasilan induksi akar tebu mencapai

sekitar 85 % (Behera dan Sahoo, 2009).

Tahapan aklimatisasi tebu dilakukan dengan menanam plantet pada ruang

kaca dengan komposisi medium berupa tanah, pupuk kandang, dan pasir dengan

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

21

perbandingan 2:1:1 yang dilakukan selama 30 hari (Behera dan Sahoo, 2009).

Pada umumnya plantet yang paling baik untuk dilakukan aklimatisasi adalah

plantet dengan ukuran 8-10 cm. (Suhesti, et al., 2015). Penyiraman dapat

dilakukan dengan larutan 1/8 MS sebagai nutrisi setiap 4 hari sekali. Dengan

tahapan tersebut dapat menunjukkan keberhasilan aklimatisasi tebu varietas

Nayana mencapai 85 % (Behera dan Sahoo, 2009). Getnet et al., (2016) berhasil

meningkatkan keberhasilan aklimatisasi tebu (96%) pada varietas Pr1013 dengan

cara menanam plantet pada media aklimatisasi berupa tanah, kompos dan pasir

dengan perbandingan 1:1:1. Plantet ditempatkan pada kotak aklimatisasi selama 1

minggu, kemudian diletakkan dibawah sungkup plastik. Pemberian nutrisi

dilakukan dengan pemberian 0,2 % pottasium phosphorus pada awal tahap

aklimatisasi dan dilanjutkan penyiraman dengan air setiap 2 hari sekali.

Meskipun teknik kultur meristem terbukti mampu meghilangkan penyakit

maupun virus dan meningkatan produktivitas tanaman tebu, namun demikian

aplikasi teknik kultur meristem untuk produksi benih tebu secara masal masih

terbatas. Salah satu kendala utama dalam mengaplikasikan teknik tersebut adalah

keberhasilan tahap induksi akar dan aklimatisasi benih tebu hasil kultur meristem

belum optimal (Tesfa et al., 2016). Di Indonesia, aplikasi kultur meristem untuk

produksi benih tebu bebas virus masih sangat terbatas. Oleh karena itu dalam

penelitian ini dilakukan upaya produksi benih tebu kultivar BL melalui kultur

meristem.

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

22

2.5 Induksi Akar Tebu secara In Vitro

Sampai saat ini, tahap induksi akar dari kultur meristem tebu belum banyak

dilaporkan (Tabel 2.3) Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan pendekatan

induksi akar yang dilakukan pada tunas hasil kultur jaringan tebu yang

menggunakan eksplan selain jaringan meristem. Secara umum, upaya

peningkatkan keberhasilan induksi akar dapat dilakukan dengan cara pengaturan

konsentrasi gula pada medium, pH medium, dan penggunaan ZPT.

Tesfa, et.al, (2016) melaporkan bahwa penggunaan gula pada medium

induksi akar tebu mampu meningkatkan keberhasilan induksi akar dari 20 % pada

medium dengan penambahan gula pada konsentrasi 10 g/l menjadi 95 % pada

medium dengan penambahan gula pada konsentrasi 50 g/l. Namun demikian,

penggunaan gula dengan konsentrasi yang lebih tinggi (60 g/l) mengakibatkan

turunnya persentase keberhasilan induksi akar tebu (75%; Bhaksa et al., 2003).

Upaya meningkatkan keberhasilan induksi akar tanaman tebu juga dapat

dilakukan dengan pengaturan derajat keasaman medium (pH). Pengaturan pH

medium terbukti mampu meningkatkan keberhasilan induksi akar dari 30 % pada

medium dengan pH 4,5 menjadi 95 % pada medium dengan pH 5,7. Namun

demikian, penggunaan pH yang lebih tinggi (6,0) mengakibatkan turunnya

persentase keberhasilan induksi akar tebu (78%; Bhaksa et al., 2003)

Selain dari beberapa faktor di atas, cara lain yang dapat digunakan untuk

meningkatkan keberhasilan induksi akar pada tanaman tebu adalah dengan

penambahan ZPT auksin yang tepat ke dalam medium tanam (Bakhsa et al., 2003;

Getnet, et al.,2016; Tesfa, et al.,2016).

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

23

2.6 Zat Pengatur Tumbuh Indoleacetic Acid (IAA) dan Indolebutyric Acid

(IBA)

Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik yang dalam jumlah sedikit

dapat mendukung, menghambat, dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan

(Prastyo, 2016). Zat pengatur tumbuh dalam tanaman terdiri dari lima kelompok

yaitu auksin, sitokinin, giberelin, dan etilen dengan ciri khas dan pengaruh yang

berlainan terhadap proses fisiologis (Prastyo, 2016).

Salah satu zat pengatur tumbuh yang memiliki peran penting dalam

pertumbuhan tanaman adalah auksin. Auksin merupakan zat pengatur tumbuh

yang memiliki pengaruh terhadap beberapa aspek pada pertumbuhan dan

perkembangan pada tanaman (Hemantarajan, et al., 2017). Auksin memiliki

fungsi antara lain dalam pembentukan akar, perkembangan tunas, pembentukan

buah, dan juga untuk perkembangan sel (Nababan, 2009).

Dalam hal pembentukan akar, auksin merupakan hormon utama yang

mengontrol perkembangan akar (Overvoorde et al., 2010). Pada umumnya

kemampuan auksin dalam menginduksi munculnya akar pada tumbuhan terjadi

melalui mekanisme pengendalian aktivitas gen yang mengontrol perakaran

(Salisbury dan Ross, 1995). Mekanisme tersebut yaitu setelah auksin diterima

oleh reseptor pada sel target, rangsang tersebut akan diteruskan ke sitosol dan

berkombinasi dengan protein reseptor. Selanjutnya kompleks protein reseptor

tersebut bergerak ke dalam inti dan mempengaruhi aktivitas gen. Beberapa gen

yang mampu menginduksi akar dan terbukti aktivitasnya dikontrol oleh auksin

antara lain gen Monopteros (gen MP; Yoshida et al., 2013), gen IAA1/AXR5

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

24

(Overvoorde et al., 2010). Aktivitas gen-gen tersebut akan mengontrol munculnya

akar.

Beberapa contoh ZPT yang tergolong sebagai auksin antara lain Indole

Acetic Acid (IAA), Indole Butyric Acid (lBA), u-Naphthalene Acetic lcid (NAA),

Indole Aceto Nitrile (IAN), Phenoxy Acetic Acid (Pott) (Suprapto, 2004). Namun

demikian, dua jenis auksin, IAA dan IBA merupakan auksin sintetik berupa

senyawa indole yang terbukti aktif dan banyak digunakan untuk induksi akar

secara in vitro. (Nababan, 2009; Shahab, 2009).

IAA dan IBA merupakan golongan auksin yang mempunyai struktur kimia

berupa gugus karboksil yang menempel pada gugus lain yang mengandung

karbon (-CH2) dan berikatan dengan cincin aromatik yang memiliki ikatan

rangkap (Salisbury dan Ross, 1995).

Gambar 2.3. Rumus bangun IAA dan IBA (Salisbury dan Ross, 1995).

Kedua auksin tersebut merupakan jenis auksin yang paling banyak

digunakan untuk menginduksi akar secara in vitro. Penelitian efektivitas IAA dan

IBA untuk menginduksi munculnya akar suatu tanaman secara in vitro telah

banyak dilakukan. Pada tanaman stevia penggunaan IAA mampu menginduksi

akar dengan rata-rata jumlah akar mencapai 5 buah setiap plantet (Arlianti et al.,

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

25

2013), Pada tanaman anggrek penggunan 1 µM IBA mampu menginduki akar

dengan rata-rata 3,6 setiap tunas (Fathurrohman, 2013), hal yang sama juga

dilaporkan pada tanaman aren (Kartina et al., 2011).

IAA memiliki pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan IBA dalam

pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hal tersebut terjadi karena karena IAA

dapat dimanfaatkan oleh tanaman secara langsung tanpa melalui proses konversi,

sedangkan IBA harus dikonversikan terlebih dahulu menjadi IAA untuk dapat

dimanfaatkan tanaman (Overvoorde et al., 2010). hal tersebut menyebabkan IAA

memiliki pengaruh yang lebih baik terhadap tanaman.

Pada kultur jaringan tebu, induksi akar secara in vitro juga telah dilakukan

dengan menggunakan IAA dan IBA. Behera dan Sahoo (2009) melaporkan

penggunaan medium induksi akar tebu dengan penambahan IAA terbukti mampu

meningkatkan keberhasilan induksi akar tebu varietas Nayana secara in vitro.

Penggunaan IAA dengan konsentrasi 17 µM mampu meningkatkan keberhasilan

induksi akar tebu secara in vitro menjadi 50% dari awalnya 15 % dengan

penambahan 5,7 µM IAA. Rata-rata jumlah akar juga meningkat dari 2,2 pada

penggunaan 5,7 µM IAA menjadi 5,6 pada penggunaan 17 µM IAA (Behera dan

Sahoo, 2009).

Selain IAA, IBA juga dapat digunakan sebagai ZPT yang dapat

meningkatkan keberhasilan induksi akar tebu. Behera dan Sahoo (2009)

melaporkan keberhasilan induksi akar tebu varietas Nayana secara in vitro juga

dapat ditingkatkan dari tingkat keberhasilan 20% dengan rata-rata jumlah akar 3,2

pada pengunaan 2,4 µM IBA menjadi 4 kali (82 %) dengan jumlah rata-rata akar

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017

26

10,5 pada penggunaan 12 µM IBA. Sukmadjaya dan Mulyana (2011) juga

melaporkan bahwa penambahan IBA ke dalam medium berhasil meningkatkan

keberhasilan induksi akar tebu varietas PS951 dari tingkat keberhasilan 76 %

dengan penambahan 0,003 µM IBA menjadi 88% dengan penggunaan 0,005 µM

IBA.

Meskipun penelitian tentang iduksi akar tebu secara in vitro telah banyak

dilakukan, namun penggunaan IAA maupun IBA dalam induksi akar tebu varietas

BL untuk hasil kultur meristem belum dilaporkan. Oleh karena itu penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunakan IAA dan IBA dalam

menginduksi akar dan aklimatisasi tebu secara in vitro.

Pengaruh Konsentrasi Indoleacetic, Daryanto, FKIP UMP, 2017