Upload
doxuyen
View
223
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
PERENCANAAN RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK
MENINGKATKAN KUALITAS UDARA DI PERKOTAAN
II.1 Pencemaran Udara Akibat Kendaraan Bermotor
Pencemaran udara di daerah perkotaan merupakan fenomena baru dalam masalah
perencanaan kota yang mendapat perhatian yang terus meningkat. Boubel et al.
(1994) menyatakan bahwa dalam beberapa dekade ini masyarakat dunia mulai
menggeser masalah pencemaran udara dari sekedar masalah regional kepada
masalah global. Perubahan pandangan ini terutama disebabkan meningkatnya
jumlah kendaraan bermotor di seluruh dunia Hal ini mendorong para pembuat
kebijakan untuk melakukan pengelolaan terhadap pencemaran udara yang
dihubungkan dengan isu-isu lingkungan (Faiz et al.,1996; Mage et al., 1996 etc.).
Pencemaran udara saat ini telah menjadi salah satu masalah lingkungan utama
baik di negara berkembang maupun negara maju. Pencemaran udara dapat
menyebabkan penyakit pernafasan dan penyakit kronis lainnya yang
berhubungan dengan pernafasan (McCubbin and Delucchi, 1999) dan juga
mempengaruhi kondisi tanah (El Desouky et al., 1998) dan hutan (Zhang et al.,
2000). Kegiatan manusia dan proses alami di alam juga bisa menyebabkan
pencemaran udara. Perubahan musim (Cheng and Lam, 1997) dan reaksi kimia di
udara memberi kontribusi pada kualitas udara. Banyak faktor yang
mempengaruhi penyebaran kontaminan di udara seperti cuaca, kelembaban,
topografi, dan kondisi lokal area lainnya. Akibatnya mencemaran udara memiliki
variansi yang tinggi secara spasial, bahkan dalam jarak yang relatif dekat.
Sumber pencemaran udara berdasarkan sifat kegiatannya ada 4 (empat), yaitu:
a. Sumber Tetap yang berasal dari kegiatan proses industri pengolahan,
konsumsi bahan bakar dari industri dan rumah tangga;
b. Sumber Tetap Spesifik yang berasal dari kegiatan pembakaran hutan dan
pembakaran sampah;
18
c. Sumber Bergerak yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar kendaraan
bermotor; dan
d. Sumber Bergerak Spesifik yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar
kereta api, kapal laut, pesawat, dan alat berat.
Dalam seminar internasional The Utilization of Catalytic Converter and
Unleaded Gasoline for Vehicle terungkap bahwa 70 persen gas beracun yang ada
di udara, terutama di kota besar, berasal dari kendaraan bermotor padahal jumlah
kendaraan di kota-kota besar terus meningkat hingga mencapai 15% per tahun.
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor akan meningkatkan pemakaian bahan
bakar gas, dan hal itu akan membawa risiko pada penambahan gas beracun di
udara terutama CO, HC, SO2. Sedangkan 30% sumber pencemar udara berasal
dari kegiatan industri, rumah tangga, pembakaran sampah, efek tambahan dari
turbulensi zat pencemar udara pada lokasi pemusatan bangunan tinggi.
Beberapa zat pencemar yang berasal dari emisi kendaraan bermotor adalah:
• Karbon monoksida. WHO telah membuktikan bahwa karbon monoksida
yang secara rutin mencapai tingkat tak sehat, dapat mengakibatkan kecilnya
berat badan janin, meningkatnya kematian bayi dan kerusakan otak,
bergantung pada lamanya seorang wanita hamil terpajan, dan bergantung pada
konsentrasi polutan di udara.
• Nitrogen Oksida. Zat nitrogen oksida dapat menyebabkan kerusakan paru-
paru. Setelah bereaksi di atmosfer, zat ini membentuk partikel-partikel nitrat
amat halus yang menembus bagian terdalam paru-paru. Partikel-partikel nitrat
ini pula, jika bergabung dengan air baik air di paru-paru atau uap air di awan
akan membentuk asam. Bila zat-zat oksida ini bereaksi dengan asap bensin
yang tidak terbakar dan zat-zat hidrokarbon lain di bawah sinar matahari,
maka akan terbentuk "smog", yaitu kabut berwarna coklat kemerahan yang
menyelimuti sebagian besar kota di dunia.
• Sulfur Dioksida. Emisi sulfur dioksida timbul dari pembakaran bahan bakar
fosil yang mengandung sulfur terutama batubara yang digunakan untuk
pembangkit tenaga listrik atau pemanasan rumah tangga. Gas yang berbau
19
tajam tapi tak bewarna ini dapat menimbulkan serangan asma dan, karena gas
ini menetap di udara, sulfur dioksida dapat bereaksi dan membentuk partikel-
partikel halus dan zat asam di atmosfer.
• Benda Partikulat. Zat ini sering disebut sebagai asap atau jelaga; benda-
benda partikulat ini merupakan pencemar udara yang paling kentara, dan
biasanya juga paling berbahaya. Sebagian besar partikel halus ini terbentuk
dengan polutan lain, terutama sulfur dioksida dan oksida nitrogen, dan secara
kimiawi berubah dan membentuk zat-zat nitrat dan sulfat.
• Hidrokarbon. Zat ini kadang disebut sebagai senyawa organik yang mudah
menguap ("volatile organic compounds/VOC"), dan juga sebagai gas organik
reaktif ("reactive organic gases/ROG"). Hidrokarbon merupakan uap bensin
yang tidak terbakar dan produk samping dari pembakaran tak sempurna.
• Ozon atau Asap Kabut Fotokimiawi. Asap kabut terdiri dari beratus-ratus
zat kimiawi yang terdapat dalam asap kabut, terbentuk ketika hidrokarbon
pekat di perkotaan bereaksi dengan oksida nitrogen. Tetapi, karena salah satu
zat kimiawi itu, yaitu ozon, adalah yang paling dominan, pemerintah
menggunakannya sebagai tolok ukur untuk menetapkan konsentrasi oksidan
secara umum.
II.2 Peningkatan Kualitas Udara dengan Ruang Terbuka Hijau
Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, ruang terbuka hijau adalah
ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk
area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana di dalam
penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam
ruang terbuka hijau pemanfatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau
tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan
pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya.
Sebenarnya tidak ada apa yang dinamakan dalil khusus dalam pemilihan jenis
tanaman yang sesuai pada suatu lokasi. Namun kondisi bio-geografi lingkungan
secara alami telah menunjukkan habitat berbagai jenis-jenis tanaman (keaneka-
20
ragaman hayati endemic/existing) yang paling tepat sebagai acuan pemilihan
tanaman untuk RTH sesuai tapak masing-masing. Kemudian baru dilakukan
pertimbangan yang didasarkan pada pengalaman akan kesesuaian bentuk dan
fungsi wujud arsitektural tanaman-tanaman tersebut.
Dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 14/1988 tentang
Penataan RTH di Wilayah Perkotaan terdapat kriteria jenis tanaman yang
disesuaikan dengan jenis peruntukkan lahan. Namun perlu diingat bahwa
pemilihan jenis tanaman pelindung bagi RTH kota tentu akan berlainan antar
berbagai kota di Indonesia, karena sangat tergantung pada kondisi ekosistem
setempat.
Dari berbagai penelitian (Dahlan, 1992 dalam Purnomohadi 1995, 2002) yang
sebagian besar didasarkan pada penerapan pelaksanaan RTH Kota yang
disesuaikan dengan fungsinya tersebut, maka pemilihan jenis tanaman yang
sesuai pada umumnya dapat diuraikan sebagai:
a. Penahan dan Penyaring Partikel Padat di Udara
Tanaman dengan daun berbulu atau permukaan yang kasar, secara mekanistis-
fungsional sangat baik dalam menyerap polutan debu. Demikian pula jumlah
stomata daun yang relatif banyak akan mudah menyerap dan menjerap partikel
padat yang melayang-layang di udara bebas.
b. Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal (Dahlan et.al., 1990)
• Tanaman berkemampuan sedang-tinggi menurunkan kandungan timbal di
udara adalah Damar (Agathis alba), Mahoni (Swietenia microphylla dan S.
macrophylla), Jamuju (Podocarpus imbricatus), Pala (Myristica fragrans),
Asam Landi (Pithecelebium dulce), dan Johar (Cassia siamea)
• Yang berkemampuan sedang dan rendah adalah Glodogan (Polyalthea
longifolia), Keben (Baringtonia asiatica), dan Tanjung (Mimusops elengi).
21
• Tanaman yang berkemampuan rendah dan tak tahan terhadap zat pencemar
dari kendaraan bermotor, antara lain adalah Bunga Kupu-kupu (Bauhinia
purpurea), dan Kesumba (Bixa orellana).
c. Penyerap dan Penjerap Debu Semen (Irawati, 1990 dalam Dahlan, 1992)
Tanaman yang tahan dan mampu mengendalikan sekaligus sebagai penjerap
(adsorpsi) dan penyerap (absorbsi) zat pencemar (debu semen), antara lain adalah
Mahoni (Swietenia macrophylla), Bisbul (Diospyros discolor), Tanjung
(Mimusops elengi), Kenari (Canarium commune), Meranti Merah (Shorea
leprosula), Kirai Payung (Filicium decipiens), Kayu Hitam (Diospyros celebica),
Duwet/Jamblang (Eugenia cuminii), Medang Lilin (Litsea roxburghii), dan
Sempur (Dillenia ovata).
d. Peredam Kebisingan
Tanaman dapat meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh
daun, cabang, dan ranting dari berbagai strata tanaman. Pohon yang paling efektif
meredam suara ialah yang bertajuk tebal karena dedaunan tanaman dapat
menyerap kebisingan sampai 95 persen (Grey dan Deneke, 1978).
e. Mengurangi Bahaya atau Dampak Hujan Asam
Fungsi ini diperoleh dari proses fisiologis tanaman yang disebut ‘gutasi’, dan
akan menghasilkan unsur Ca, Na dan Mg, serta bahan organik seperti glutamine
dan gula (Smith, 1985 dalam Dahlan 1992). Bahan in-organik yang diturunkan ke
lantai hutan dan tajuk melalui proses throughfall dengan urutan K>Ca>Mg>Na,
baik untuk tajuk dari tegakan daun lebar maupun dari daun jarum (Henderson
et.al, 1977 dalam Dahlan, 1992). Proses intersepsi dan gutasi oleh permukaan
daun, akan sangat membantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi
tidak begitu berbahaya lagi. Penelitian Hoffman et.al, (1980) menunjukkan
bahwa pH air hujan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi, jika
dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak melewati tajuk pohon.
22
f. Penyerap Karbon monoksida (CO)
Kacang merah (Phaseolus vulgaris) dapat menyerap gas karbon monoksida (CO)
sebesar 12-120 kg/km2/hari. Mikro-organisme dalam tanah berperan baik, dalam
menyerap gas ini dari udara dari yang semula konsentrasinya sebesar 120 ppm
(13,8X104 ug/m3) menjadi hampir mendekati nol, hanya dalam waktu tiga jam
saja (Smith, 1981, Bidwell & Fraser dalam Smith, 1981 dalam Dahlan, 1992).
g. Penyerap Karbondioksida (CO2) dan Penghasil Oksigen (O2)
Tanaman pada ekosistem daratan dan ekosistem lahan basah lain(selain
fitoplankton, ganggang dan rumput laut) dan tumbuhan lain dalam perairan laut
(padang lamun) mampu menyerap karbondioksida dan penghasil oksigen dari
proses fotosintesis. Dalam ekosistem daratan, jumlah luasan hutan sudah sangat
jauh berkurang, maka pembangunan dan penataan hutan kota sebagai bagian
RTH kota, sudah sangat mendesak. Tanaman yang baik dalam menyerap gas
karbon dioksida (CO2) dan menghasilkan oksigen (O2), antara lain: Damar
(Agathis alba), Kupu-kupu (Bauhinia purpurea), Lamtoro Gung (Leucena
leucocephala), Akasia (Acacia auriculiformis), dan Beringin (Ficus benyamina).
Hasil penelitian Purnomohadi (1994) yang dilakukan untuk mengetahui
eksistensi RTH kota dengan potensi redaman dan jerapan terhadap terhadap tujuh
zat pencemar udara, menunjukan korelasi yang nyata. Fungsi RTH kota yang
ditata secara estetis fungsional dapat digolongkan sesuai kegunaannya sebagai
pembatas/pengaman; kawasan konservasi terletak antara dua wilayah jalur lalu
lintas dan kereta api, sempadan sungai, listrik tegangan tinggi, dan hutan kota;
kawasan rekreasi aktif: lapangan olahraga atau taman bermain; kawasan rekreasi
pasif taman relaksasi dan kawasan produktif pertanian kota, pekarangan/halaman
rumah; dan lahan yang sengaja disisihkan untuk kegunaan khusus atau lahan
cadangan.
Sifat alami organisme tanaman dalam RTH mampu memperbaiki kualitas
lingkungan, sehingga dapat menjadi pedoman dalam memilih jenis tanaman
pengisi RTH dari berbagai fungsi. Dari segi efektivitas menekan pencemaran
23
udara, menyerap dan menjerap debu, mengurangi bau, meredam kebisingan,
mengurangi erosi tanah, penahan angin dan hujan secara menyeluruh.
Kemampuan tanaman menyerap dan menjerap (intersepsi) debu dan unsur
pencemar udara lain (TSP: total suspended particulate), dipengaruhi oleh:
(1) Jenis tanaman berkaitan dengan sifat-sifatnya sebagai berikut :
• Kekasaran permukaan daun, potensi pengendapan timbal akan
semakin besar, sebab kemampuan mengakumulasi timbal (Pb) dan
seng (Zn) pada daun berstruktur kasar, semakin tinggi dibanding yang
licin terutama untuk zarah timbal (Pb) bisa tujuh kali lebih banyak.
• Struktur ranting dan batang yang berbulu, akan mampu lebih banyak
menjerap dan mengintersepsi zarah timbal (Pb) dan seng (Zn),
dibanding ranting/batang yang berkulit licin atau berlilin.
• Arsitektur dan morfologi pohon (Halle dan Oldeman, 1975 dalam
Purnomohadi, 1994), mempengaruhi kemampuan tanaman untuk
mengintersepsi berbagai zarah dan unsur cemaran udara.
(2) Perancangan maupun perencanaan arsitektur lansekap yang sesuai
permasalahan lokal akan mampu meredam berbagai zarah dan unsur
cemaran udara secara lebih efektif, yaitu dengan menggunakan berbagai
jenis tanaman yang mempunyai sifat dan kemampuan berbeda dalam
meredam pencemaran udara, menerapkan pola multi tajuk dan campuran
berlapis-lapis.
(3) Sebaran komunitas tumbuhan dalam berbagai fungsi dan bentuk RTH
kota yang menyebar merata di seluruh bagian kota, akan lebih efektif,
dalam meredam pencemaran lingkungan dibandingkan dengan RTH
yang luas tetapi hanya pada lokasi tertentu. Sedang kenaikan laju
pengurangan SO2 pada jarak antara tepian taman di atas, tenyata
berhubungan langsung dengan kenaikan waktu, dan bukan pada
kecepatan angin. Bila tak ada angin, maka efek pengurangan zarah,
khususnya debu, maka debu tersebut akan menempel pada tanaman,
misalkan melalui gerak elektromagnetik. Lebar sabuk hijau (green belt)
berukuran lebih dari dua meter tanpa mengabaikan fungsi padang
rumput akan mampu mengurangi debu sampai 75 persen.
24
(4) Pepohonan pun mampu menurunkan konsentrasi partikel timbal (Pb)
yang melayang di udara, karena kemampuannya untuk dapat
meningkatkan turbulensi dan mengurangi kecepatan angin. Celah
stomata mulut daun yang berkisar antara 2-4 μm atau 10 μm dengan
lebar 2-7 μm, maka ukuran partikel timbal yang demikian kecil, rata-rata
2 μm, akan dapat masuk ke dalam daun dengan mudah, serta akan
menetap dalam jaringan daun, menumpuk di antara sel jaringan pagar
(palisade), dan atau jaringan bunga karang (spongious tissue).
(5) Sedang zarah yang lebih besar ukurannya akan terakumulasi pada
permukaan kulit luar tanaman. Cemaran yang terakumulasi ini sebagian
kecil dapat terjerap secara kimiawi (chemically adsorbed) dan akhirnya
terserap (absorbed) oleh jaringan hijau, dan sebagian lagi akan tersapu
oleh angin atau air hujan, yang kemudian dibawa aliran angin/air dan
atau diendapkan ke dalam tanah. Partikel berukuran sub-mikron akan
terdifusi ke dalam jaringan tanaman melalui stomata dan akhirnya
terbawa ke dalam sistem metabolisme tanaman.
II.3 Dasar Hukum dalam Perencanaan Ruang Terbuka Hijau
II.3.1 Undang-undang dan Peraturan Terkait dengan Ruang Terbuka Hijau
Undang-Undang Dasar (UUD):
UUD 1945, terutama Bab VI Pemerintahan Daerah Pasal 18A tentang wewenang
dan pemanfaatan SDA, Bab XA HAM Pasal 28A, 28B (2), 28C (1), 28H (1),
tentang hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, Bab XIV
Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 (3) tentang
pengelolaan bumi dan air dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran
rakyat.
Undang-Undang (UU):
(1) Undang-undang No. 4/1982 yang disempurnakan dalam UU No. 23/1997
tentang Ketentutan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
(2) Undang-undang No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya.
25
(3) Undang-undang No. 24/1992 tentang Penataan Ruang.
(4) Undang-undang No. 5/1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati.
(5) Undang-undang No. 47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional.
(6) Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
(7) Undang-undang No. 63/2002 tentang Hutan Kota.
Peraturan Pemerintah (PP):
(1) Peraturan Pemerintah No. 69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam
Penataan Ruang.
(2) Peraturan Pemerintah No. 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara.
(3) Peraturan Pemerintah No. 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air.
(4) Peraturan Pemerintah No. 63/2002 tentang Hutan Kota.
Keputusan Presiden (Keppres):
Keppres RI No. 23/1979 tentang Peningkatan Peran Serta Generasi Muda dalam
Pelestarian Sumber Daya Alam.
Keputusan Menteri (Kepmen):
(1) SKB Menhut dan Mendikbud No. 967A/Menhut-V/90 dan No. 0387/U/1990
tentang Peningkatan Peran Serta Pelajar, Mahasiswa dan Lingkungan Hidup
melalui Pendidikan Nasional.
(2) Kepmen PU No. 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota.
(3) Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 35 Tahun 1993 Tentang :
Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
(4) Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep
45/MENLH/10/1997 tentang: Indeks Standar Pencemar Udara
26
Peraturan Menteri (Permen):
(1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan
(2) Permendagri No. 4/1996 tentang Pedoman Perubahan Pemanfaatan Lahan
Perkotaan.
Instruksi Menteri (Inmen):
(1) Inmendagri No. 14/1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah
Perkotaan.
(2) Inmen PU No. 31/IN/N/1991 tentang Penghijauan dan Penanaman Pohon di
Sepanjang Jalan di Seluruh Indonesia.
II.3.2 Standar Kualitas Udara di Indonesia
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep
45/MENLH/10/1997 tentang: Indeks Standar Pencemar Udara Tanggal: 13
Oktober 1997 kualitas udara di suatu kawasan permukiman harus memenuhi
Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang
meliputi parameter partikulat (PM10), karbondioksida (CO),sulfur dioksida (SO2),
nitrogen dioksida (NO2) dan ozon (O3)
Tabel II.1 Kategori Kualitas Udara Berdasarkan Rentang Nilai ISPU KATEGORI RENTANG PENJELASAN
Baik 0 – 50 Tingkat kualitas udara yang tidak memberikan efek bagi kesehatan manusia atau hewan dan tidak
berpengaruh pada tumbuhan, bangunan atau nilai estetika.
Sehat 51 – 100 Tingkat kualitas udara yang tidak berpengaruh pada kesehatan manusia ataupun hewan tetapi berpengaruh
pada tumbuhan yang sensitif, dan nilai estetika. Tidak sehat 101 – 199 Tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada
manusia ataupun kelompok hewan yang sensitif atau bisa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun
nilai estetika Sangat tidak
sehat 200 – 299 Tingkat kualitas udara yang dapat merugikan
kesehatan pada sejumlah segmen populasi yang terpapar
Berbahaya 300 – lebih Tingkat kualitas udara berbahaya yang secara umum dapat merugikan kesehatan yang serius.
Sumber: Kep 45/MENLH/10/1997
27
Tabel II.2 Batas Indeks Standar Pencemar Udara dalam Satuan SI ISPU 24 jam
PM10
(µg/m3)
24 jam
SO2
(µg/m3)
8 jam
CO
(µg/m3)
1 jam
O3
(µg/m3)
1 jam
NO2
(µg/m3)
50 50 80 5 120 (2)
100 150 365 10 235 (2)
200 350 800 17 400 1130
300 420 1600 34 800 2260
400 500 2100 46 1000 300
500 600 2621 57,5 1200 3750
Keterangan: 1. Pada 25° C dan 760 mm Hg 2. Tidak ada indeks yang dapat dilaporkan pada konsentrasi rendah
dengan jangka pemaparan yang pendek
Sumber: Kep 45/MENLH/10/1997
II.3.3 Pedoman Perencanaan Ruang Terbuka Hijau di Indonesia
Kajian yang dilakukan pada penelitian ini akan dilakukan mengacu pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. Berdasarkan peraturan tersebut, jenis
RTHKP meliputi yang dapat diterapkan adalah :
taman kota, taman wisata alam, taman rekreasi, taman lingkungan
perumahan dan permukiman, taman lingkungan perkantoran dan
gedung komersial, taman hutan raya, hutan kota, hutan lindung,
bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah, cagar alam,
kebun raya, kebun binatang, pemakaman umum, lapangan olah raga,
lapangan upacara, parkir terbuka, lahan pertanian perkotaan, jalur
dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET), sempadan sungai,
pantai, bangunan, situ dan rawa, jalur pengaman jalan, median jalan,
rel kereta api, pipa gas dan pedestrian, kawasan dan jalur hijau, daerah
penyangga (buffer zone) lapangan udara dan taman atap (roof garden).
28
Beberapa prinsip perencanaan RTHKP yang ditentukan dalam adalah:
(1) RTHKP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana tata ruang
wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
(2) RTHKP dituangkan dalam Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan
dengan skala peta sekurang-kurangnya 1:5000.
(3) Luas ideal RTHKP minimal 20% dari luas kawasan perkotaan.
(4) Luas RTHKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup RTHKP
publik dan privat.
(5) Luas RTHKP publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penyediaannya
menjadi tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota yang dilakukan secara
bertahap sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah.
(6) RTHKP privat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penyediaannya
menjadi tanggung jawab pihak/lembaga swasta, perseorangan dan
masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali Provinsi DKI Jakarta oleh Pemerintah
Provinsi.
II.4 Inventarisasi Beban Pencemaran dari Kendaraan Bermotor II.4.1 Metode Top-Down dan Bottom-Up
Secara spesifik, emisi dari kendaraan bermotor ditimbulkan dari proses
pembakaran di dalam mesin yang mengeluarkan gas buang (nitrogen, CO2, air,
dan pencemar-pencemar udara); evaporasi bahan bakar pada mesin, saat
pengisian bahan bakar, dan lainnya (Niemeier dkk., 2004; Hao dkk., 2000).
Gambar II.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emisi Kendaraan Bermotor Sumber: Meyer dan Miller, 2001
Kualitas Udara Ambien
Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
Karakteristik Mesin
Perilaku Berkendara
Penggunaan Kendaraan
Karakteristik Bahan Bakar
29
Beban pencemar udara dapat diperkirakan dari pengukuran langsung dan
perhitungan berdasarkan statistik (Klimont dkk., 2002; Streets dan Waldhoff,
2000; Akimoto dan Narita, 1994). Metode pengukuran langsung seperti source
testing (pengukuran dalam satu kurun waktu) dan continuous monitoring
(pengukuran terus menerus) biasanya dipilih karena metode tersebut
menunjukkan nilai beban pencemar yang sesungguhnya dari sumber pencemaran
yang diukur (Leask, 2003). Namun demikian, pengukuran langsung setiap
sumber pencemaran tidak mungkin dilakukan, sehingga mayoritas beban
pencemar diperkirakan dengan cara perhitungan berdasarkan statistik, walaupun
di dalam metode ini terdapat keterbatasan-keterbatasan dalam pemilihan faktor-
faktor emisi (Hao dkk., 2000).
Rumus dasar perkiraan beban pencemar adalah perkalian antara variabel:
- statistik kegiatan dan faktor emisi rerata spesifik untuk kegiatan tersebut, atau
- pengukuran emisi selama satu kurun waktu dan jumlah waktu terjadinya emisi
dalam periode yang ditetapkan untuk perhitungan emisi
Sebagai contoh, untuk memperkirakan beban pencemar karbon monoksida (CO)
dalam gram per hari dari mobil penumpang berbahan bakar bensin, dapat
dilakukan salah satu dari berikut ini:
- perkalian antara intensitas kegiatan (konsumsi bahan bakar dalam liter/hari
- panjang perjalanan dalam km/hari) dan faktor emisi (dalam gram CO per liter
atau kg bahan bakar yang dikonsumsi, atau gram CO per kilometer tempuh)
- hasil pengukuran emisi CO (dalam gram per jam) dan jumlah jam
pengoperasian kendaraan per hari.
Pada umumnya, metode perhitungan yang pertama lebih dipilih terutama di
dalam inventarisasi emisi pada suatu wilayah dimana pengukuran emisi satu per
satu kegiatan tidak dapat dilakukan.
30
Untuk menghitung beban pencemar udara dirumuskan suatu pendekatan untuk
memperkirakan besarnya beban pencemar dengan menggunakan persamaan dasar
berikut:
Beban pencemar = ƒ { Intensitas kegiatan, Faktor emisi}…….(1)
Terdapat dua parameter penentu dalam perhitungan beban pencemar, yaitu faktor
emisi dan intensitas/statistik kegiatan. Faktor emisi diperoleh dari pengukuran
sejumlah instalasi yang mewakili suatu sumber pencemaran. Faktor emisi yang
dihasilkan diasumsikan berlaku bagi semua instalasi dari sumber pencemaran
tersebut (Bond dkk., 2004; Elbir dan Muezzinoglu, 2004; Garg dkk., 2001).
Metodologi dan statistik (data input) merupakan faktor-faktor yang menentukan
dalam perhitungan beban pencemar. Faktor emisi dapat diklasifikasikan atas yang
berbasis bahan bakar dan berbasis kegiatan. Yang pertama mengkaitkan
perubahan laju kegiatan proses, distribusi, dan pembakaran bahan bakar dengan
perubahan konsumsi bahan bakar. Sedangkan faktor emisi berbasis kegiatan
mengkaitkan perubahan kegiatan proses, distribusi, dan pembakaran bahan bakar
dengan intensitas kegiatan. (Sumber: Draf Petunjuk Teknis Perkiraan Beban
Pencemar Udara dari Kendaraan Bermotor di Indonesia tentang Faktor Emisi
untuk Asisten Deputi 5/II Urusan Pengendalian Pencemaran Emisi Sumber
Bergerak Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia).
Negara-negara di Asia seperti Malaysia, Thailand, dan Indonesia lebih memilih
penggunaan faktor emisi dibandingkan dengan pengukuran langsung untuk
menghitung beban pencemar (Che Abu Bakar, 2001; Syahril dkk., 2002;
www.pcd.go.th). Dalam beberapa situasi seperti memperkirakan beban pencemar
dari sumber area, penggunaan faktor emisi lebih sesuai (Streets dan Waldhoff,
2000). Namun demikian, terdapat variasi yang cukup besar dalam faktor emisi
antar negara karena adanya perbedaan kualitas bahan bakar, teknologi (industri
dan transportasi), kondisi berkendara, komposisi armada kendaraan, dan
distribusi usia kendaraan (Reynolds dan Broderich, 2000; Niemeier dkk., 2004).
31
Berdasarkan bagaimana data intensitas kegiatan direpresentasikan, maka beban
pencemar dari kendaraan bermotor dapat diperkirakan dengan dua pendekatan:
a. Metode A: Pendekatan Konsumsi Bahan Bakar (The Top-Down Approach)
Metode top-down dimulai dari data yang menggambarkan jumlah total
kegiatan pencemaran di seluruh wilayah geografis yang dikaji, seperti total
penjualan bahan bakar atau total panjang jalan. Keduanya terkait dengan
faktor emisi yang umumnya didefinisikan sebagai massa pencemar per
bahan bakar yang dikonsumsi atau per kilometer tempuh (Colvile dkk.,
2001). Distribusi spasial (disagregasi) total emisi dilakukan dengan
mengasumsikan bahwa beban pencemar adalah proporsional terhadap
variabel yang memiliki distribusi geografis yang sama dengan kegiatan
pencemaran tersebut. Contoh variabel-variabel tersebut adalah jumlah
penduduk dan panjang jalan per satuan luas wilayah.
Persamaan (1) merupakan rumus dasar untuk menghitung beban pencemar
udara dari kendaraan bermotor yang umumnya dapat diturunkan lebih
lanjut menjadi:
Beban emisi (gram/waktu) = faktor emisi (gram/km) x jumlah kendaraan x panjang perjalanan (km/waktu)….(2)
Metodologi yang sederhana menghitung beban emisi secara rerata untuk
suatu kategori kendaraan. Dalam metodologi yang lebih rinci, faktor emisi
ditetapkan berdasarkan beberapa parameter seperti kategori kendaraan,
tahun produksi, berat kotor, klasifikasi jalan, dan laju kendaraan.
Pendekatan ini digunakan dengan menghubungkan sumber emisi dengan
faktor emisi yang sudah ditentukan berdasarkan hasil penelitian di
laboratorium. Di asumsikan bahwa kinerja pembakaran bahan bakar pada
setiap mesin adalah tipikal untuk setiap liter bahan bakar yang dikonsumsi.
∑ , ….. (3)
Keterangan:
Ei = Beban pencemar untuk polutan i (ton/tahun)
Voll = Konsumsi bahan bakar tipe l (liter/tahun)
FEi,l = Besarnya polutan i yang diemisikan dari setiap (liter) pengunaan
bahan bakar tipe l (g/liter bahan bakar)
32
b. Metode B: Pendekatan Panjang Perjalanan Kendaraan Bermotor (The
Bottom-Up Approach)
Pendekatan ini dimulai dengan data geografis seperti jumlah traffic flow
pada setiap ruas jalan. Metode bottom-up dimulai dari satuan data lokal
(terkecil), misalnya volume lalu lintas pada satu ruas jalan. Untuk
memperoleh total emisi untuk suatu wilayah geografis, semua beban
pencemar individu dijumlahkan. Penggunaan kedua metode ditentukan oleh
faktor-faktor seperti: ketersediaan data lokal, tingkat kualitas data yang
diperlukan, kegunaan dari perkiraan beban pencemar, dan lain-lain.
Karena perhitungan beban emisi untuk setiap kendaraan bermotor sulit
dilakukan, maka digunakan kembali faktor emisi, misalnya rata-rata emisi
NOx/kendaraan/km. Total beban emisi pada area studi diperoleh dengan
menjumlahkan kontribusi emisi individu.
∑ , ….. (4)
Keterangan:
Ei = Beban pencemar untuk polutan i (ton/tahun)
VKTj = Total panjang perjalanan kendaraan bermotor kategori j (km
kendaraan/tahun)
FEi,j = Besarnya polutan i yang diemisikan untuk setiap (kilometer)
perjalanan yang dilakukan kendaraan bermotor kategori j (g/km
kendaraan)
• Polutan yang dihitung (i) CO, NO2, HC, PM10, SO2, CO2
• Jenis kendaraan bermotor (j): mobil pribadi, taksi, pick-up,
mobil penumpang umum, sepeda motor serta kendaraan roda
tiga. Setiap polutan dan jenis kendaraan dihitung
berdasarkan jenis bahan bakar: bensin, solar dan BBG.
• Data yang diperlukan adalah konsumsi bahan bakar, panjang
jalan umum berdasarkan fungsi dan status, volume lalu-
lintas, jumlah penduduk, dan populasi kendaraan bermotor
33
Kedua metode memberikan hasil perkiraan beban pencemar yang berbeda karena
memiliki sumber kesalahan perhitungan yang berbeda pula (Samaras dkk., 1995).
Pada prakteknya, hasil perhitungan dengan metode bottom-up umumnya
diverifikasi dengan data statistik seperti konsumsi bahan bakar untuk sektor
transportasi (Saija and Romano, 2002; Borego dkk., 2000; Hao dkk., 2000).
Pada metode B, perhitungan emisi tahunan dilakukan untuk seluruh kota dimana
aktivitasnya lebih bisa teridentifikasi sehingga akan menghasilkan estimasi yang
lebih tepat bila dibandingkan dengan perhitungan pada satu bagian kecil kota
dengan waktu survei yang lebih pendek. Metode A memiliki kelemahan karena
memerlukan data yang sangat besar, sehingga ada tendensi untuk memakai
beberapa asumsi dan aproksimasi. Sebagai contoh survei kuantitas kendaraan di
setiap ruas jalan biasanya diambil secara manual dan hanya dilakukan dalam
beberapa hari dalam satu tahun sehingga karakteristik pada saat akhir pekan dan
masa liburan belum tentu bisa tergambarkan melalui survei tersebut.
II.4.2 Perhitungan Beban Pencemar Sumber Garis dan Sumber Area
Pada dasarnya, perhitungan beban pencemar dari kendaraan bermotor dapat
dibagi atas perhitungan untuk sumber garis dan sumber area. Sumber garis
mewakili emisi gas buang kendaraan di suatu ruas jalan. Sedangkan sumber area
mewakili emisi gas buang kendaraan-kendaraan di jalan-jalan kecil yang
informasi tentang ruas jalannya tidak diketahui, seperti panjang, lebar, dan
volume lalu lintas, sehingga dikategorikan sebagai sumber area yaitu gabungan
emisi dari jalan-jalan yang membentuk suatu area. Perkiraan angka VKT sumber
garis ditetapkan dengan menggunakan data yang dikumpulkan untuk keperluan
perencanaan jaringan lalu lintas atau dikenal dengan metode tradisional. Metode
tradisional menggunakan data volume lalu lintas, sampling acak, data historis,
dan ekstrapolasi statistik (U.S.EPA, 1996).
Persamaan untuk menghitung beban pencemar sumber garis dapat diturunkan
sebagai berikut:
∑ ∑ , …… (5)
34
dimana:
Ec = emisi pada ruas jalan per satuan waktu
EFi,j = faktor emisi untuk pencemar i dan kategori kendaraan j
Aj = volume lalu lintas per satuan waktu untuk kategori kendaraan j
L = panjang ruas
Volume lalu lintas dapat diperoleh dari pencacahan jumlah kendaraan (traffic
count) atau perkiraan kebutuhan transportasi (transport demand). Yang pertama
dilakukan dalam survei lalu lintas, yang menghitung jumlah kendaraan yang
melintas suatu ruas jalan pada satu titik dalam selang waktu tertentu. Yang kedua
diperoleh dari modeling yang memperkirakan jumlah perjalanan kendaraan yang
diproduksi di suatu zona atau berasal dari suatu zona, dan jumlah perjalanan
kendaraan yang menuju ke zona lainnya. Dalam hal ini, wilayah kajian dibagi
atas beberapa zona, dan matriks asal-tujuan (origin-destination - OD). Data yang
diperlukan berasal dari survei perilaku perjalanan, yang dapat berbasis rumah
tangga atau tempat kerja (Ortuzar dan Willumsen, 2001).
Bila data lalu lintas tidak tersedia, misalnya lalu lintas pada jalan-jalan kecil,
maka metode top-down dapat diterapkan. Hao dkk. (2000) dan Alexopoulos dan
Assimacopoulos (1993) menyarankan pendekatan ini untuk menghitung emisi
sumber area. Total VKT sumber area, yang dihitung dengan mengurangkan total
VKT sumber transportasi dengan total VKT sumber garis, didistribusikan ke
dalam zona atau grid yang berbeda mengikuti kepadatan penduduk dan panjang
jalan di dalam zona/grid. Variabel yang pertama mewakili kebutuhan transportasi
penduduk yang bertempat tinggal di suatu wilayah, sedangkan variabel yang
kedua mewakili kapasitas lalu lintas di wilayah tersebut. VKT sumber area
didistribusikan ke setiap grid dengan persamaan seperti dalam Hao dkk. (2000).
Untuk grid k,
…………(6)
Keterangan:
VKTkj = VKT sumber area untuk grid k dan kategori kendaraan j
M = total VKT sumber area
35
ej = fraksi kategori kendaraan j
t = faktor pembobot kepadatan penduduk
…………(7)
K = faktor pembobot panjang jalan
…………(8)
pk = penduduk di grid k
pt = total penduduk di wilayah
Lk = panjang jalan di grid k
Lt = total panjang jalan di wilayah
a = faktor (dalam fraksi) yang mendefinisikan pengaruh penduduk,
panjang jalan terhadap VKT
II.4.3 Faktor Emisi Kendaraan Bermotor di Indonesia
Faktor emisi menunjukkan laju suatu pencemar yang dikeluarkan ke atmosfer
sebagai hasil dari suatu proses. Faktor emisi dapat memberikan perkiraan yang
memadai tentang emisi keseluruhan suatu kategori sumber pencemaran. Beberapa
faktor dapat mempengaruhi faktor/laju emisi kendaraan bermotor. Pada
umumnya, faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelompok,
yaitu (Meyer dan Miller, 2001):
(1) Parameter kendaraan: kategori kendaraan; model dan tahun (berat
kotor, ukuran mesin, dan lain-lain); jarak tempuh akumulatif; sistem
bahan bakar; sistem control emisi; sistem diagnosa on-board;
penyalahgunaan sistem kontrol; pemeriksaan dan perawatan
(2) Parameter bahan bakar: jenis bahan bakar; kandungan oksigen;
penguapan; kandungan benzena, olefin, dan aromatik; kandungan
sulfur; kandungan timbel dan logam lainnya; efek katalis sulfur
(3) Faktor lingkungan: ketinggian dari permukaan laut, kelembaban,
temperature ambien, variasi temperatur harian, dan klasifikasi jalan
(4) Kondisi pengoperasian kendaraan: moda pemanasan kendaraan (dingin
atau panas), laju kendaraan rerata, beban, moda pengayaan bahan
bakar, panjang perjalanan dan jumlah perjalanan per hari, dan perilaku
pengemudi.
36
Hasil kesepakatan para ahli sebagai narasumber dalam pembahasan mengenai
penetapan faktor emisi kendaraan bermotor pada tanggal 19-20 Pebruari 2008
yang diselenggarakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia disajikan
pada tabel berikut ini.
Tabel II.3. Kesepakatan Penetapan Nilai Faktor Emisi NO
Jenis Kendaraan CO2 SO2 PM10
Angka (g/km) Angka (kg/km) Angka (g/km) 1 Sepeda Motor 266 Dihitung formula (**) 0.312 Mobil Penumpang
a. bensin 270 Dihitung formula (**) 0.01b. Solar 190 Dihitung formula (**) 0.532
3 Bis 770 Dihitung formula (**) 1.0514 Truk 770 Dihitung formula (**) 3.69NO
Jenis Kendaraan NOx CO HC
Angka (g/km) Angka (g/km) Angka (g/km) 1 Sepeda Motor 0.2 15.38 6.462 Mobil Penumpang
a. bensin 2 40 42. Solar 3.48 2.76 0.17
3 Bis 11.85 9.46 1.094 Truk 17.67 8.35 1.79
Sumber: Notulensi Pembahasan Penetapan Nilai Faktor Emisi (KLH, Februari 2008)
Keterangan: Faktor Emisi untuk SO2 ditetapkan dengan persamaan berdasarkan kandungan S% dalam bahan bakar. Data S% akan digunakan hasil pemantauan BBM KLH Persamaan yang digunakan adalah : SO2 (g/km) = konsumsi bahan bakar (L/km) * S%/100 * BJ (g/m3) * (64/32)__(**)
II.5 Perhitungan Luas RTH Kota
Terdapat beberapa macam cara untuk menetapkan luasan RTH kota, ditinjau dari
berbagai kebutuhan penduduk kota sebagai berikut:
(1) Pendekatan Gerakis melalui Perhitungan Kebutuhan Oksigen (O2)
Sebagai contoh, hasil penelitian di sebuah kota dengan luas 431 km2, jumlah
penduduk 2,6 juta jiwa, jumlah kendaraan bermotor 200.000, maka:
Kebutuhan O2 =5,352 X 10 gr ekivalen 5.709 X 10 gr berat kering tanaman
37
Untuk memproduksi oksigen oleh kelompok tanaman sebesar jumlah tersebut
perlu dibuat:
(5.709 X 10) : 24 = 105.7 km2 atau 24.6% luas kota adalah RTH
Dengan catatan asumsi bahwa setiap meter persegi (m2) tanaman menghasilkan
54 gram bahan kering.
(2) Perhitungan Berdasarkan Kebutuhan Air
Berdasarkan pertimbangan isu-isu penting, luas RTH yang harus dibangun,
khususnya pada kota-kota yang memiliki masalah kekurangan air bersih,
sebaiknya ditetapkan berdasarkan pemenuhan kebutuhan akan air yang
tergantung pada beberapa faktor (Sutisna et.al, 1987 dalam Dahlan, 1992).
Faktor yang mempengaruhi kebutuhan air dalam kota adalah
a. Kebutuhan air bersih per tahun
b. Jumlah air yang dapat disediakan oleh PAM
c. Potensi air saat ini
d. Kemampuan hutan menyimpan air
Faktor-faktor di atas dapat ditulis dalam persamaan :
…………(9) Keterangan:
L = Luas hutan yang untuk mencukupi kebutuhan air (dalam Ha)
Po = Jumlah penduduk kota pada tahun ke-0
K = Konsumsi air per kapita (liter/hari)
r = Laju kebutuhan air bersih (biasanya seiring dengan laju pertambahan
penduduk kota setempat)
t = tahun
c = faktor koreksi (tergantung upaya pemerintah dalam penurunan laju
pertumbuhan penduduk)
PAM = kapasitas suplai air oleh PAM (dalam m3/tahun)
Pa = Potensi air tanah saat ini
z = kemampuan lahan menyimpan air (m3/Ha/tahun)
38
LAI diperhitungkan dengan menggunakan rumus:
LAI = CT [Ls-0,27*EXP{0,035*CS*0,15/(*(CS/1,25)*2}]……(10)
Keterangan:
LS = Koefisien Bentuk Daun Rata-Rata (Mean Leaf-Shape Coefficient)
untuk masing-masing kelompok tumbuhan pembentuk hutan kota yang
merupakan nisbah antara lebar daun dan panjang daun rata-rata.
CS = Koefisen Bentuk Tajuk Rata-Rata (Mean Crown-Shape Coefficient)
untuk masing-masing kelompok tumbuhan pembentuk hutan kota,
yang merupakan nisbah antara lebar tajuk dan tinggi tajuk rata-rata
CT = Koefisien Model Arsitektur Tumbuhan (Plant Architectural Mode
Coefficient), yang diperhitungkan berkisar antara 10-25, dengan rata-
rata sebesar 19,72. LS, CS dan CT tidak diukur secara langsung di
lapangan, melainkan dianalisis berdasarkan Model Arsitektur Pohon
yang diperkenalkan pada tahun 1975 oleh Halle & Oldeman
(Purnomohadi, 1995)
Lain halnya pada kota berpenduduk padat, dengan jumlah kendaraan bermotor
dan industri yang tinggi, maka luas RTH kota yang dibangun dapat dihitung
berdasar pendekatan pemenuhan oksigen (Kunto, 1986), dengan rumus:
…………(11)
Keterangan: L = luas RTH kota (m2)
A = kebutuhan oksigen per orang (kg/jam)
b = rerataan kebutuhan oksigen per kendaraan bermotor (kg/jam)
V = jumlah Penduduk
W = jumlah kendaraan bermotor
20 = tetapan (kg/jam/Ha)
Kemudian dimodifikasi oleh Dahlan (2003) sebagai berikut:
∑ ∑ ∑ …………(12)
39
Keterangan:
L = Luas Hutan Kota (Ha)
Ai = Kebutuhan Oksigen (O2) per orang (ug/jam)
Bi = Kebutuhan Oksigen (O2) per satuan kendaraan bermotor (kg/jam)
Ci = Kebutuhan Oksigen (O2) per satuan industri (kg/jam)
Vi = jumlah penduduk
Wi = jumlah kendaraan bernotor dari berbagai jenis
Zi = jumlah industri dari berbagai jenis
20 = konstanta (rerataan oksigen/O2) yang dihasilkan (20kg/jam/Ha)
Selain menggunakan pendekatan Metode Kunto, penentuan luasan RTH
berdasarkan kebutuhan oksigen, juga dapat dilakukan dengan Metode Gerakis
(1974) yang dimodifikasi dalam Wisesa (1988) dengan rumus :
, …………(13)
Keterangan:
Lt = luas RTH Kota pada Tahun ke-t (m2)
Pt = jumlah kebutuhan oksigen bagi penduduk pada tahun ke-t
Kt = jumlah kebutuhan oksigen bagi kendaraan bermotor pada tahun ke–t
Tt = jumlah Kebutuhan oksigen bagi ternak pada tahun ke-t
54 = tetapan yang menunjukan bahwa 1 m2 luas lahan menghasilkan 54
gram berat kering tanaman per hari
0,9375 = tetapan yang menunjukan bahwa 1 gram berat kering tanaman adalah
setara dengan produksi oksigen 0,9375