Upload
muhammad-harir
View
257
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Skripsi Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam
Citation preview
15
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DAN PAULO FREIRE
A. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Pengertian pendidikan secara etimologis, usaha yang paling tepat
dilakukan adalah meninjau kata-kata arab, karena ajaran Islam itu sendiri
diturunkan dalam bahasa arab. Istilah-istilah yang pengertiaanya terkait
dengan pendidikan yaitu berwal dari ���� dengan kata kerja yang رب
memiliki beberapa arti, antara lain mengasuh, mendidik dan memelihara.
Sedangkan kata pendidikan yang dalam bahasa arabnya ���� dengan kata
kerja ��� berarati mengajar yang lebih bersifat pemberian atau
penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan. Kata lain yang
mengandung makna pendidikan adalah dapat ادب dengan kata kerja ��د��
diartikan mendidik yang secara sempit mendidik budi pekerti dan secara
luas meningkatkan peradaban.17
Dengan pemikiran sederhana, pendidikan Islam dapat dimaknai sebagai
proses pengembangan seluruh potensi peserta didik secara bertahap
menurut nilai-nilai normatif Islam. Sementara itu menurut Hasan
Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu “proses
penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan
17
Baharuddin, Moh. Makin, op. cit., hlm. 140
15
16
pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi
manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat”.18
Pendidikan berarti tidak sekedar transfer of knowledge akan tetapi juga
transfer of value juga berorientasi dunia akhirat (teosentris dan
antroposentris) sebagai tujuannya. Sementara itu Ahmad D. Marimba
mendefinisikan pendidikan Islam dengan “bimbingan jasmani dan rohani
menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.19
Dengan pengertian pendidikan Islam tersebut di atas lebih global
sifatnya. Jadi pendidikan Islam Tidak sekedar mengajarkan, tetapi lebih
ditekankan pada “bimbingan” atau memelihara dan mengembangkan fitrah
dan sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan
kamil) yakni manusia yang berkualitas sesuai dengan pandangan Islam.20
Dengan demikian, guru atau pendidik bukanlah segala-galanya, sehingga
cenderung dalam kebiasaan menganggap peserta didik sebagai bejana
kosong yang perlu diisi. Dengan kerangka dasar pengertian ini maka
pendidik harus menghormati peserta didik sebagai individu yang memiliki
potensi. Dari kerangka antara hubungan antara pendidik dan peserta didik
semacam ini, dapat pula sekaligus dihindari. Karena dalam pedidikan
seperti itu sebagai konsep pendidikan “gaya bank” yang banyak dikritik
dewasa ini.
18 Prof. Dr. Azyumardi Azra, op. cit., hlm. 5 19 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, cet. ke-2, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 54 20 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam (Paradigma Humanisasi Teosentris), cet. ke-2 (ed. Revisi), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 32
17
2. Dasar Pendidikan Islam
Dasar adalah landasan untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar adalah
memberikan arahan kepada tujuan yang akan dicapai sekaligus menjadi
landasan untuk berdirinya sesuatu. Dasar pendidikan Islam adalah identik
dengan ajaran Islam itu sendiri, Islam sebagai pandangan hidup yang
berdasarkan nilai-nlai Ilahiyah, baik termuat dalam al-Qur’an maupun
Sunnah Rasul diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat
trasendental, universal dan eternal (abadi), sehingga secara akidah diyakini
oleh pemeluknya akan selalu sesuai dengan fitrah manusia, artinya
memenuhi kebutuhan manusia kapan dan dimana saja.21
Dasar pendidikan Islam secara prinsipal diletakkan pada dasar-dasar
ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaanya. Dasar-dasar ajaran
pembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan
utama tentu saja adalah al-Qur’an dan al-Hadist. Secara eksplisit dapat
dideskripsikan sebagai berikut :
a. Al - Qur’an
Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang memiliki
perbendaharaan luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan umat
manusia. Nabi Muhammad SAW sebagai pendidik pertama, pada masa
awal pertumbuhan Islam telah menjadikan al-Qur’an sebagai dasar
pendidikan Islam disamping Sunnah beliau sendiri. Kedudukan al-
21 Umiarso, Haris Fathoi Makmur, Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern, cet, ke-1, Yogyakarta, IRCiSoD, 2010, hlm. 50
18
Qur’an sebagai sumber pokok pendidikan Islam dapat dipahami dalam
al-Qur’an surat an-Nahl : 64 yang berbunyi:
!$ tΒuρ $uΖø9 t“Ρ r& y7ø‹n=tã |=≈ tGÅ3 ø9 $# ωÎ) t Îit7çFÏ9 ÞΟ çλm; “Ï% ©!$# (#θà�n=tG÷z $# ϵŠÏù “Y‰ èδuρ Zπ uΗ÷qu‘uρ
5Θöθ s) Ïj9 šχθãΖÏΒ÷σ ム∩∉⊆∪
Artinya : “Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (Q.S. Al-Nahl : 64)22
Pada hakikatnya al-Qur’an itu adalah merupakan perbendaharaan
yang besar untuk kebudayaan manusia, terutama bidang kerohanian. Ia
pada umumnya adalah merupakan kitab pendidikan kemasyarakatan
(sosial), moril (akhlak) dan spiritual (kerohanian).23
Bila melihat begitu luas dan persuasifnya al-Qur’an dalam
menuntun manusia, yang kesemuannya merupakan proses pendidikan
kepada manusia menjadikan al-Qur’an sebagai kitab dasar utama bagi
pengemban ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pelaksanaan
pendidikan Islam haruslah senantiasa mengacu pada sumber tersebut
dengan berpegangan kepada nilai-nilai al-Qur’an terutama dalam
pendidikan Islam sehingga akan mampu mengarahkan dan
menghantarkan manusia bersifat dinamis, kreatif, serta mampu
mencapai nilai-nilai ubudiyah pada khaliknya. Dengan sikap ini maka
proses pendidikan Islam akan senantiasa terarah dan mampu
22 Departemen Agama, op. cit., hlm. 218 23 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Ke-4, Jakarta, Kalam Mulia, 2004, hlm. 55
19
menciptakan sekaligus menghantarkan out putnya sebagai manusia
yang berkualitas dan bertanggung jawab terhadap semua aktivitas yang
dilakukan.
b. Hadist (as-Sunnah)
Dasar yang kedua selain al-Qur’an adalah al-Hadist atau as-Sunnah
merupakan jalan atau cara yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad
SAW dalam perjalanan kehidupannya melaksanakan dakwah Islam.
Beliau adalah satu-satunya sumber utama yang bisa dijadikan souri
tauladan bagi umat Islam. Eksistensi Hadist Nabi merupakan sumber
inspirasi ilmu pengetahuan yang berisikan keputusan dan penjelasan
Nabi dari pesan-pesan Ilahiyah yang tidak terdapat dalam al-Qur’an,
maupun yang terdapat dalam al-Qur’an tetapi memerlukan penjelasan
yang lebih lanjut dan terperinci.24
Untuk memperkuat kedudukan Hadist sebagai sumber atau dasar
inspirasi pendidikan dan ilmu pengetahuan, dapat dilihat dari firman
Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 80 yang berbunyi :
¨Β Æì ÏÜ ãƒ tΑθ ß™§�9 $# ô‰s) sù tí$sÛr& ©! $# ( tΒuρ 4’ ¯< uθs? !$yϑsù y7≈oΨ ù=y™ö‘r& öΝÎγøŠn=tæ $ ZàŠÏ�ym ∩∇⊃∪
Artinya : “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (Q.S. An-Nissa’ : 80)25
24 Umiarso, Haris Fathoi Makmur, op. cit., hlm. 53 25 Ibid., h. 72
20
Dari ayat di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa kedudukan
Hadist Nabi merupakan dasar utama yang dapat dipergunakan sebagai
acuan bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang dapat ditiru dan
dijadikan referensi teoritis maupun praktis. Dalam dataran pendidikan
Islam acuan tersebut dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu yang pertama,
sebagai acuan syari’ah yang meliputi muatan-muatan pokok ajaran
Islam secara tertulis. Kedua, acuan oprasional aplikasi yang meliputi
cara Nabi memainkan peranannya sebagai pendidik dan sekaligus
sebagai evaluator yang professional adil dan tetap mejunjung tinggi
nilai-nilai ajaran Islam.26
Disamping itu, dasar pendidikan Islam juga memuat tentang nilai-
nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran-
ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah atas prinsip yang mendatangkan
kemanfaatan dan menjauhkan kemudharatan bagi manusia. Dengan
dasar ini maka pendidikan Islam dapat diletakkan di dalam kerangka
sosiologis, selain menjadi sarana transmisi pewarisan kekayaan sosial
budaya yang positif bagi kehidupan manusia. Dengan ini pendidikan
Islam dapat dijadikan sebagai piranti yang tangguh dan adaptik dalam
mengantarkan peserta didiknya membangun peradapan yang bernuansa
Islami.
26 Umiarso, Haris Fathoi Makmur, op. cit., hlm. 54
21
3. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan Pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya
pendidikan sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya sebelum semua
kegiatan pendidikan dilaksanakan. Pandangan Objective Oriented
(berorientasi pada tujuan) mengajarkan bahwa tugas pendidik yang
sesungguhnya bukanlah mengajarkan ilmu atau kecakapan tertentu pada
peserta didik saja, akan tetapi juga merealisasi atau mencapai tujuan
pendidikan. Melihat posisi sentral manusia dalam proses pendidikan yang
meilbatkan potensi fitrah, cita rasa ketuhanan dan hakikat serta wujud
manusia menurut pandangan Islam, maka tujuan pendidikan Islam adalah
aktualisasi dari potensi-potensi tersebut. Karena potensi yang merupakan
nilai-nilai ideal yang dalam wujud implementasinya akan membentuk
pribadi manusia secara utuh dan mandiri.
Tujuan itu sendiri menurut Zakiah Drajat, adalah “sesuatu yang
diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai”.27
Sedangkan menurut Arifin, “tujuan itu bisa menunjukkan kepada futuritas
(masa depan) yang terletak suatu jarak tertetu yang tidak dapat dicapai
kecuali dengan usaha memalui proses tertentu”.28 Meskipun banyak
pendapat mengenai pengertian tujuan, akan tetapi pada umumnya
pengertian itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan
untuk suatu maksud tertentu. Disamping itu Omar Muhammad Attoumy
27 Ramayulis, op. cit., hlm. 65 28 Ibid.
22
Asy Syaebani, berpendapat mengenai Tujuan Pendidikan Islam yang
memiliki empat ciri pokok yaitu:
a. Sifat yang bercorak agama dan akhlak
b. Sifat kemenyeluruhannya yang mencakup segala aspek pribadi (subjek
didik), dan semua aspek perkembangan dalam masyarakat.
c. Sifat keseimbangan, kejelasan, tidak hanya adanya pertentangan antara
unsur-unsur dan cara pelaksnaanya.
d. Sifat realistik dan dapat dilaksanakan, penekanan pada perubahan yang
dikehendaki pada tingkah laku dan pada kehidupan, memperhitungkan
perbedaan-perbedaan perseorangan diantara individu, masyarakat dan
kebudayaan di mana-mana dan kesanggupannya untuk berubah dan
berkembang bila diperlukan.29
Upaya untuk memformulasikan suatu bentuk tujuan, tidaklah terlepas
dari pandangan masyarakat dan nilai yang dianut pelaku aktifitas itu.Maka
tidaklah heran jika terdapat perbedaan tujuan yang ingin dicapai oleh
masing-masing manusia baik dalam suatu masyarakat, bangsa maupun
Negara, karena perbedaan kepentingan yang ingin dicapai.
1) Pembagian dan Tahapan Tujuan Pendidikan
Berdasarkan catatan di atas, dapat dikemukakan pentahapan sebagai
berikut:
a) Tujuan tertinggi dan terakhir
b) Tujuan umum
29 Achmadi, op. cit., hlm. 94
23
c) Tujuan khusus
(1) Tujuan tertinggi / terakhir
Tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan
karena sesuai dengan konsep Ilahi yang mengandung
kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi dan terakhir
ini pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan
peranannya sebagai ciptaan Allah, yaitu:
(a) Menjadi hamba Allah
Tujuan sejalan dengan hidup dan penciptaan manusia,
yaitu semata-mata untuk beribadat kepada Allah. Dalam hal
ini pendidikan memungkinkan manusia untuk memahami
dan menghayati tentang tuhannya sedemikian rupa, sehingga
semua peribadatannya dilakukan dengan penghayatan dan
kekhusu’an terhadap-Nya. Melakukan seremoni ibadah dan
tunduk senantiasa pada syari’ah dan petunjuk Allah.30
Dari pengertian yang sedemikian itu, implikasinya dalam
pendidikan adalah: pendidikan Islam harus mencakup dua
hal yaitu : Pertama, Pendidikan memungkinkan manusia
mengerti tuhannya secara benar, sehingga semua
perbuatannya terbingkai ibadah yang dilakukan dengan
penuh penghayatan akan keesan-Nya. Kedua, Pendidikan
harus menggerakkan seluruh potensi manusia (sumber daya
30 Ibid., h. 98
24
manusia) untuk memahami Sunnah Allah di atas bumi,
menggalinya dan memanfaatkannya untuk mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan bersama (rahmatan
lil’alamin).
(b) Mengantarkan subyek didik menjadi khalifatullah fil ard
(wakil tuhan di bumi) yang mampu memakmurkannya
(membudayakan alam sekitarnya). Dalam konteks sosiologis
sebagai khlifatullah mampu menata kehidupan yang baik
yang dilandasi norma-norma Ilahiyah dan insaniyah. Dalam
konteks teknologis seorang khalifatullah mampu menggali
potensi-potensi alam agar dapat terpelihara dan terjaga dari
kerusakan lingkungan, dan sebaliknya dapat mendatangkan
rahmat bagi seluruh alam.31
(2) Tujuan umum
Berbeda dengan tujuan tertinggi yang lebih mengutamakan
pendekatan filosofis, tujuan umum lebih bersifat empirik dan
realistik. Tujuan umum berfungsi yang taraf arah
pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan
sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik.32 Sehingga
mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang
utuh. Itulah yang disebut realisasi diri.
31 Ibid., h. 100 32 Ramayulis, op. cit., hlm. 68
25
Proses pencapaian realisasi diri tersebut dalam istilah
psikologi disebut becoming, yakni menjadikan diri dengan
keutuhan pribadinya. Sedangkan untuk sampai pada keutuhan
pribadi diperlukan proses perkembangan tahap demi tahap yang
disebut proses development. Tercapainya self realization
sebagai pribadi muslim yang utuh dan ditandai dengan semakin
tampaknya aktualisasi diri dalam konteks upaya pada
pembentukan akhlak al-karimah dan taqarrub ilallah.33
Dimulai dari melakukan ibadah ritual secara sadar tergantung
pada orang lain, sampai pada terkendalinya perilaku dalam
menghadapi tantangan dan godaan-godaan dalam
kehidupannya, dan teraktualisasikannya sumber daya manusia
(SDM) dalam kerangka ibadah kepada Allah. Begitu
kompleksnya proses realisasi diri sebagai seorang pribadi
muslim, maka Pendidikan Islam harus komprehensif dalam
membimbing peserta didik baik dari segi tujuan, kurikulum
maupun lingkungan yang kondusif bagi terciptanya suasana
yang demokratis, humanis dengan paradigma pembebasan.
Untuk melakukan transformasi sosial memiliki prasayarat yaitu
manusia tercerahkan, kreatif dan dinamis. Pemberdayaannya
adalah melalui pendidikan pembebasan, yang dilakukan oleh
33 Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam (Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif), cet. ke-1, Jakarta, PT GrafindoPersada, 2011, hlm. 8
26
tripartite pendidikan, yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat.
Baik itu formal, non formal dan informal.
Salah satu formulasi “realitas diri” sebagai tujuan
pendidikan ialah rumusan yang disarankan dalam Konferensi
International Pertama tentang pendidikan Islam di Mekah 8
April 1977, sebagai berikut:
“Pendidikan harus diarahkan mencapai pertumbuhan keseimbangan kepribadian manusia menyeluruh, melalui latihan jiwa, intelek, rasio, perasaan dan penghayatan. Karena itu, pendidikan harus menyiapkan pertumbuhan manusia dalam segala seginya; sepritual, intelektual, imajinatif, jasmani, ilmiah, linguistik, baik individu maupun kolektif, dan semua itu didasari motivasi ibadah karena tujuan akhir pendidikan muslim itu terletak pada aktivitas merealisasikan pengabdian dan kemanusiaan”.34
Kenyataan menunjukkan bahwa baik tujuan tertinggi atau
terakhir maupun tujuan umum, dalam praktik pendidikan boleh
dikatakan tidak pernah tercapai sepenuhnya. Dengan perkataan
lain, untuk mencapai tujuan tertinggi atau terakhir itu
diperlukan upaya yang tidak pernah berakhir, sedangkan tujuan
umum “realisasi diri” adalah becoming, selama hayat proses
pencapaiannya tetap berlangsung.
(3) Tujuan khusus
Tujuan khusus ialah pengkhususan atau oprasionalisasi
tujuan tertinggi atau terakhir dan tujuan umum (pendidikan
Islam). Tujuan khusus bersifat relative sehingga dimungkinkan
34 Achmadi, op. cit., hlm. 94
27
untuk diadakan perubahan di mana perlu sesuai dengan
tuntunan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka
tujuan tertinggi atau terakhir dan umum itu. Pengkhususan
tujuan tersebut dapat didasarkan pada:35
(a) Kultur Cita-cita satu bangsa
Setiap bangsa pada umumnya memiliki tradisi dan
budaya sendiri-sendiri. Perbedaan antara berbagai bangsa
inilah yang memungkinkan sekali adanya perbedaan cita–
citanya, sehingga terjadi pula perbedaan dalam
merumuskan tujuan yang dikehendakinya di bidang
pendidikan.
(b) Minat, bakat dan kesanggupan subjek didik
Islam mengakui perbedaan individu dalam hal minat,
bakat, dan kemampuan. Hal itu bisa dilihat dalam
keterangan-keterangan Al-Qur’an surat al-Isra’ ; 84 yaitu:
ö≅ è% @≅ à2 ã≅yϑ ÷ètƒ 4’n?tã ϵ ÏFn=Ï.$x© öΝä3š/ t� sù ãΝn=÷æ r& ô yϑÎ/ uθèδ 3“y‰ ÷δr&
Wξ‹Î6y™ ∩∇⊆∪
Artinya : Katakanlah; "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (Q.S. Al-Israa’ : 84)
35 Ibid., h. 106
28
Untuk mencapai prestasi sebagaimana yang diharapkan,
kesesuaian tujuan khusus dengan minat, bakat, dan
kemampuan subyek didik sangat menentukan.
(c) Tuntutan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu
Apabila tujuan khusus pendidikan tidak
mempertimbangkan faktor situasi dan kondisi pada kurun
waktu tertentu, maka pendidikan akan kurang memiliki
daya guna sebagaimana minat dan perhatian subyek didik,
dasar pertimbangan ini sangat penting terutama bagi
perencanaan pendidikan. Mereka harus mengadaptasi masa
depan.
B. Riwayat Hidup Paulo Freire
Paulo Freire lahir pada 19 September 1921 di Recife, Pernambuco, daerah
Timur Laut Brazil. Ayahnya bernama Joaquim Temistocles Freire, berprofesi
sebagai polisi militer di Pernambuco yang berasal dari Rio Grande de Norte.
Ayahnya adalah seorang pengikut aliran kebatinan, tanpa menjadi anggota
dari agama resmi, sangat baik budi, cakap, dan sangat mencintai Paulo Freire.
Ibunya bernama Edeltrus Neves Freire, berasal dari Pernambuco, beragama
Katolik, orangnya lembut, baik budi, dan adil. Kedua orang tuanyalah yang
29
memberi contoh dan mengajarkan kepada Paulo Freire untuk selalu
menghargai dialog dan menghormati pendapat orang lain.36
Paulo Freire segera dipaksa untuk mengalami realitas tersebut secara
langsung, sebagaimana getirnya kemiskinan dan kelaparan yang terjadi pada
massa depresi besar di tahun 1929 ketika krisis ekonomi di Amerika Serikat
yang mulai mempengaruhi Negara Brazil. Dari latar belakang keluarga kelas
menengah, Freire menyadari bahwa dirinya sedang bersentuhan langsung
dengan kemiskinan dan kelaparan, itulah yang membangun semangatnya
dalam membangunkan masyarakat miskin dari ketertindasannya sehingga
anak-anak lain nantinya tidak akan mengenal penderitaan seperti yang pernah
dia alami. 37
Masa mudanya Freire ketika berumur 20-an, sudah tertarik dengan
praktik-praktik kependidikan. Dalam usia yang cukup belia itu, dia pernah
menjadi guru Sekolah Menengah Atas (SMA), yang dalam pengajaranya
menggunakan bahasa Portugis.38 Dan ditahun 1943 Paulo Freire belajar
hukum di Universitas Recife. Meski menjadi mahasiswa di bidang hukum, dia
juga tertarik untuk mempelajari mengenai linguistik, filologi dan filsafat
bahasa. Berkaitan dengan ilmu-ilmu yang dipelajari oleh Freire ini, ada hal
yang menarik untuk dicermati. Yakni meski dia belajar dibidang hukum dan
36 Y. Suyitno, Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia ; dari dunia timur, timur tengah dan barat, (online), (http://file.upi.edu/direktori/fip/jur._pedagogik/195009081981011-y._suyitno/tokoh-tokoh_pendidikan_dunia.pdf), diakses pada tanggal 21 april 2011. 37 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, op. cit., hlm. x 38 Paulo Freire, Politik Pendidikan (kebudayaan, kekuasaan & pembebasan), terj. Agung Prihantoro, Fuad Arif Fudiyartanto, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 284
30
lulus sebagai sarjana hukum, dia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam
bidang tersebut. Melainkan malah tertarik dengan dunia pendidikan dan
menjadi guru di sekolah-sekolah menengah ke atas. Setahun kemudian, yakni
pada tahun 1944, Freire menikah dengan rekan sesama guru yang bernama
Elza Maia Costa de Oliveira. Sewaktu menikah dengan istrinya Elza, Freire
lebih menekuni dalam bidang pendidikan. Akhirnya di tahun 1946, diangkat
menjadi Direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dinas Sosial di
State of Pernambuco .39
Pemikirannya mengenai filsafat pendidikan telah diungkapkan pertama
kali pada tahun 1959 dalam desertasi doktornya di Universitas Recife. Dan
kemudian pada 1961, diangkat sebagai direktur dari Departemen Kebudayaan
Ekstensi Universitas Recife. Pada tahun 1962 Freire memiliki kesempatan
pertama untuk aplikasi yang signifikan dari teori-teorinya, ketika 300 petani
tebu diajarkan untuk membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Menanggapi
eksperimen ini, pemerintah Brazil menyetujui pembentukan ribuan lingkaran
budaya di seluruh negeri. Diantara tahun 1964 -1969, sebuah kudeta militer
mengakhiri upaya itu. Freire dipenjarakan sebagai pengkhianat selama 70 hari.
Setelah pengasingan singkat di Bolivia, Freire bekerja di Chili selama lima
tahun menjadi konsultan UNESCO dan Lembaga Pembaruan Agraria
Demokratis Kristen dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa
Bangsa.40
39Wikipedia Ensklopedi Bebas, 2011, Biografi Paulo Freire, (online), (http://en.wikipedia.org/wiki/Paulo_Freire), diakses tanggal 22 Oktober 2011. 40 Ibid.
31
Freire kemudian menjadi guru besar tamu di Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Harvard, dia lalu menjabat sebagai penasehat ahli kantor
pendidikan dewan Gereja sedunia di Jenewa. Pada tahun 1979, dia dapat
kembali ke Brazil dan pindah kembali pada tahun 1980. Freire bergabung
dengan Partai Pekerja di kota Sao Paulo, dan bertindak sebagai pengawas
untuk proyek keaksaraan orang dewasa yang 1980 - 1986. Ketika Partai
Pekerja menang dalam pemilihan kotapraja pada 1988, Freire diangkat
menjadi Sekretaris Pendidikan untuk Sao Paulo. Pada tahun 1986, istrinya
Elza meninggal, setelah ditinggalkan istrinya dari muka dunia ini, Freire
menikah lagi dengan Maria Araujo Freire, yang melanjutkan dengan pekerjaan
pendidikannya sendiri. Paulo Freire meninggal dunia di Rumah Sakit Albert
Einstein, Sao Paulo, Brazil. Dia wafat dalam usia 75 tahun akibat gagal
jantung pada tanggal 2 Mei 1997 di Sao Paulo.41
C. Karya – karya dan Pemikiran Paulo Freire
1. Karya-karya Paulo Freire
Pemikiran Paulo Freire yang terkenal dengan sebutan pendidikan
pembebasan antara lain yaitu tertuang dalam karya - karya bukunya
sebagai berikut :
a. Educacao Como Pratica Da Liberdade
Buku Educacao Como Patrica Da Liberdade atau lebih dikenal
dengan Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan. Buku ini lahir dari
41 Ibid.
32
usaha-usaha kreatif Paulo Freire dalam pemberantasan buta huruf
orang-orang dewasa di seluruh Brazilia sebelum kudeta 1 April 1964,
Sehingga pada akhirnya menyebabkan Freire hidup dalam pengasingan
singkat di Bolivia.42
Buku pertamanya ini diterbitkan pada 1976 di Brazil. Setelah buku
ini diterbitkan, Paulo Freire menemukan kegembiraan yang tiada tara,
karena buku tersebut merupakan himpunan gagasan dan idealismenya
yang berkaitan dengan pendidikan yang membebaskan.
b. Cultural Action for Freedom
Mengutip dari tinjauan Oleh Tamara Oyala (UCLA) mengenai buku
Cultural Action for Freedom yang diterbitkan dalam bahasa Inggris
pada tahun 1970 yaitu :
“Buku ini menyajikan ide-ide budaya diam, pembatalan pemberitaan, keaksaraan orang dewasa sebagai proses pemberdayaan dan pendidikan sebagai aksi budaya untuk kebebasan. Tinjauan Buku ini disusun di sekitar tema, definisi dan ilustrasi praktis Freire sendiri menulis sebagai contoh proses keaksaraan orang dewasa menggunakan refleksi dan aksi. Diselingi dengan konseptualisasi akan refleksi kritis oleh resensi buku; ini tentu begitu mengingat 40-an tahun hampir berlalu sejak penerbitan buku ini dan tidak hanya memiliki dunia berubah, namun Freire sepanjang hidupnya disesuaikan dan direvisi ide-ide yang disajikan dalam Aksi Budaya untuk Kebebasan”.43
42 Filsuf Gaul’s Weblog, 2009, Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan, (online), (http://filsufgaul.wordpress.com/2009/08/08/pendidikan-sebagai-praktik-pembebasan/), diakses pada tanggal 24 oktober 2011. 43 Daniel Schugurensky, Reviews of Paulo Freire’s Books, (online), (http://www.oise.utoronto.ca/legacy/research/freire/to.html?cms_page=freire/to.html), t.th, diakses pada tanggal 24 oktober 2011.
33
Aksi budaya untuk kebebasan, serta karya-karya yang lainnya, telah
mendapatkan respon dan dibaca oleh spektrum banyak orang yang dari
latar belakang beragam dan multi kultural kepentingan
menggambarkan popularitas pedagoginya.
c. Pedagogy of the Oppressed atau lebih dikenal dengan Pendidikan
Kaum Tertindas.
Dalam buku Pedagogy of the Oppressed adalah karya yang
diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada tahun 1970 di
Amerika Serikat. Empat tahun kemudian, yakni pada tahun 1974 di
terbitkan dalam bahasa Brazil.44
Karya tersebut merupakan hasil dari pengalaman hidup Paulo Freire
dan pengamatan selama pengasingannya. Freire berkata dalam buku
(Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan) yaitu:
“ Buku ini lahir melalui pernikahan saya dengan berbagai bagian dunia
di mana saya hidup, mendapatkan banyak pengalaman, bekerja dan
mengajar dengan penuh komitmen, perasaan, kekuatan, kepercayaan
dan semangat”. 45 Buku yang lahir dari pengalaman hidup Paulo Freire
sebagai tokoh pendidikan multi kultural, telah banyak mendapatkan
praktik pendidikan di berbagai belahan dunia yang tampak terinspirasi
oleh pemikiran-pemikirannya.
44 Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit., hlm. 12 45 Paulo Freire, Politik Pendidikan (kebudayaan, kekuasaan & pembebasan), op.cit., hlm. 323
34
d. Pedagogy of Hope (Pedagogi Pengharapan)
Dalam rangka memperingati 24 tahun terbitnya buku Pedagogy of
The Oppressed pada 1970.46 Yakni ditahun 1994 Paulo Freire
menerbitkan buku baru yaitu Pedagogy of Hope (Pedagogi
Pengharapan). Sebagaimana yang ditulis dalam turunan judulnya, buku
ini dimaksud untuk menghayati kembali buku Pendidikan Kaum
Tertindas. Terbitnya Pedagogy of Hope, merupakan sebuah kronik dan
sintesis perjuangan-perjuangan sosial yang tak kunjung henti di
Amerika Latin dan dunia ketiga semenjak terbitnya Pedagogy of the
Oppressed.
e. Pedagogy of Heart (Pedagogi Hati)
Buku ini diterbitkan pada 1997 di Amerika Serikat. Dalam buku ini
Freire mengajak kita demikian :
“Mari kita mempertahankan harapan kendati realitas yang kejam mengajak kita untuk tidak berharap. Dalam situasi demikian, perjuangan demi harapan berarti kesediaan untuk menanggalkan semua bentuk penistaan, rencana tak terpuji, dan ketidak pedulian. Kalau kita menanggalkan itu semua berarti kita membangkitkan dalam diri kita dan diri orang lain perlunya dan cita rasa harapan.47
Inti pokok buku ini hanya untuk membangkitkan harapan-harapan baru
di tengah-tengah situasi dimana kita masih hidup di tengah-tengah
lembaga-lembaga pendidikan yang cenderung beku oleh birokrasi yang
rapih dan selalu di bayang-bayangi oleh bahaya komersialisasi.
46 Paulo Freire, Pedagogi Pegharapan (menghayati kembali pedagogi kaum tertindas), cet. ke-5, Yogyakarta, Kanisius, hlm. 158 47 Paulo Freire, Conscientizacao (Tujuan Pendidikan Paulo Freire), op.cit., hlm. ix
35
f. The Politics of Education ; Culture, Power and Liberation (Politik
Pendidikan ; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan)
Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto yang diterbitkan oleh
Pustaka Pelajar, Yogyakarta pada 1999. Isi buku ini merupakan solusi
atau angin segar bagi perkembangan teori pendidikan dan secara
politisnya telah memeberi jalan keluar bagi kebuntuan praktik
pendidikan yang melanda di seluruh dunia.
Melihat buku ini, Freire mengambil ide pembebasan
(emancipatory) dari fersi filsafat sekular dan relegius di dalam inti
pemikiran kaum borjuis. Kemudian dia juga memasukkan pemikiran-
pemikiran yang radikal ke dalam bukunya, tetapi tentu saja tidak
menerima begitu saja permasalahan yang dibidik dari kaca mata
kelompok radikal itu, karena mereka sudah menodai sejarah.
Pendeknya, Freire telah mengkombinasikan bahasa kritik dan bahasa
alternatif (the language of possibility).48
g. Pedagogy in Process ; The Letters to Guinea- Bissau.
Dari kata pengantar yang dibawakan oleh Jonatan Kozal dalam
buku Pendidikan Sebagai Proses ; Surat menyurat pedagogis dengan
para pendidik Guinea – Bissau yaitu :
“Buku yang memuat surat-surat Freire yang padat dan logis alur berpikirnya, bukan hanya akan memperluas wawasan pembaca yang bersifat substansial dalam memandang karya-karya Freire,
48 Paulo Freire, Politik Pendidikan (kebudayaan, kekuasaan & pembebasan), op.cit., hlm. 2
36
tetapi juga akan memperjelas pemahaman atas pandangan-pandangan Freire dan menempatkannya secara lebih proposional, terutama bagi mereka yang menganggap Freire sebagai orang yang menakutkan dan tidak menyenangkan, bukannya sebagai orang yang sangat gentle, terbuka dan penuh dengan kasih sayang yang dikenal secara singkat baik dikalangan teman-temannya dan anak-anak. Selain itu juga berisi tulisan Freire yang sangat diomatik. Lebih dari itu, buku ini menguak kedirian Freire melalui teman- teman dan Elza istrinya dalam kondisi khusus dan dalam ikatan emosional dengan pendidik-pendidik lainnya.”49
Surat-menyurat itu, terjadi ketika Freire berada di Jenewa dan Mario
Cabral di Guinea-Bissau. Namun demikian, korespondensi ini segera
melibatkan anggota-anggota lain dari sebuah tim, baik yang tinggal di
Jenewa maupun di Guinea-Bissau. Surat-menyurat itu berlangsung
sejak bulan januari 1957 sampai musim semi tahun 1976, tetapi dialog
mereka sebagaimana ditunjukkan oleh sebuah pos-krip terakhir yang
bernuansa nostalagis terus berlangsung sampai pada tahun 1977 dan
bahkan lebih lama lagi.
2. Pemikiran Paulo Freire
Berawal dari pembacaan terhadap karya-karyanya dan hampir disetiap
gagasan-gagasan Paulo Freire selalu dituangkan kedalam tulisan yang
dipublikasikan sehingga dapat mengasumsi dan mengidentifikasi dengan
secara general terhadap pemikiran dan gagasan Freire, beberapa pemikiran
dan gagasannya yang sangat mempengaruhi paradigma pendidikan antara
lain:
49 Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Proses, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, hlm. viii
37
a. Teologi Pembebasan
Konsep politik dan pendidikan Freire mempunyai visi filosofis
yakni manusia yang terbebaskan (Liberated Humanity). Visi ini
berpijak pada penghargaan terhadap manusia dan pengakuan bahwa
harapan dan masa depan yang disampaikan kepada kaum tertindas
tidak hanya sekedar menjadi hiburan semata, sebagaimana juga bukan
untuk terus - menerus mengecam dan menantang kekuatan objektif
kaum tertindas. Teologi pembebasan ini pertama kali muncul di
Amerika Latin pada tahun 1970-an. Di sini sebenarnya Freire
mengkritik pembangunan yang dilakukan oleh Negara dan agama
Kristen terhadap rakyat atau pengikutnya dan pembangunan ini pula
didukung oleh militer dan institusi agama (gereja) dalam melegitimasi
kepentingan agama. Disamping itu Freire tidak hanya mengkritik saja,
tetapi juga sekaligus menyelamatkan ajaran agama yang progresif dan
revolusioner agar tercipta suatu kondisi yang seharusnya menerapkan
rasa cinta dan kasih sayang agama dan menaruh perhatian terhadap
kasus-kasus eksploitasi manusia.50
Dalam membicarakan teologi pembebasan, Freire memberi obat
penangkal teoritis yang meyakinkan terhadap sinisme dan
keputusasaan banyak kelompok kiri yang juga melancarkan kritik
secara radikal terhadapnya. Analisanya yang tampak utopis menjadi
kongkret karena semangat pembebasan dan rangsangannya, serta
50 Paulo Freire, Politik Pendidikan (kebudayaan, kekuasaan & pembebasan), op. cit., hlm. 13
38
menjadi starting poin yang bersifat kolektif di dalam berbagai macam
keadaan sejarah dan khususnya tatkala terjadi penindasan. Analisanya
dikatakan utopis karena menolak untuk menghindar dari resiko dan
bahaya yang mengancamnya sebab dia menantang struktur kekuasaan
yang dominan. Sekali lagi dalam teologi pembebasan ini memang
sengaja diabdikan untuk mendukung perkembangan pendidikan secara
radikal dan terciptanya suatu pendidikan yang bisa dirasakan oleh
semua umat manusia.51
b. Pemberantasan Buta Huruf
Dalam pemberantasan buta huruf yang dilakukan oleh Paulo Freire
berawal dari kehidupan dia sewaktu di Brazil dan pengalaman masa
lalu Freire selama pengasingan di Chili yang pada waktu itu
masyarakatnya masih mempunyai keterbelakangan dan kebodohan.
Hal itulah yang melandasi mengapa Freire tergerak melakukan
pemberantasan buta huruf, karena menurutnya orang yang buta huruf
akan selalu menjadi objek dan eksploitasi oleh kalangan penindas.
Karena orang yang buta huruf sama halnya seperti manusia kosong dan
termarjinalkan.
Pemberantasan buta huruf yang dilakukan oleh Freire adalah
sebagai aksi budaya menuju kebebasan. Karena dengan “melek huruf”
dan pendidikanlah yang akan membedakan anatara manusia dengan
binatang. Jika dilihat dari tujuan hidup binatang yang hanya untuk
51 Ibid., h. 14
39
beradaptasi dengan alam, maka tujuan hidup manusia adalah
memanusiakan manusia melalui proses transformasi. Maka dari itu,
hanya dengan kemampuan membaca dan menulis sebagai hasil dari
program pemberantasan buta huruf yang dilakukan secara kreatif yang
nantinya dapat menguji pemahaman kritis orang-orang atas
pengalaman hidupnya. Hal ini menjadi awal dari pembebasan nasib
seseorang.
c. Pendidikan “Gaya Bank” dan “Hadap Masalah”
Dalam konsep pendidikan “gaya bank”, pengetahuan merupakan
sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap
dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki
pengetahuan apa-apa. Menganggap bodoh secara mutlak pada orang
lain, sebuah cirri dari ideologi penindasan, berarti mengingkari
pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian. Pendidikan
“gaya bank” ini sepertihalnya model pembelajaran di kelas yang hanya
berjalan satu arah (monolog), yakni dari guru kepada murid.52
Pendidikan gaya bank adalah bentuk pendidikan yang hanya sebagai
praktik dominasi belaka, akan tetapi bukan sebgai praktik untuk
membebaskan. Karena pendidikan semacam itu lebih didominasi oleh
pihak yang berkuasa yang akhirnya akan menindas kaum yang lemah
dan dianggap tidak berpengatahuan.
52 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, op. cit., hlm. 51
40
Pendidikan model seperti itulah yang dikritik secara keras oleh
Freire, karena menganggap pendidikan seperti itu sangat tidak
manusiawi. Maka hadirlah pendidikan “hadap-masalah” yang
menyangkut suatu proses penyingkapan realitas secara terus menerus.
Yang disebut pertama berusaha mempertahankan penenggelaman
kesadaran, sementara yang disebut terakhir berjuang bagi kebangkitan
kesadaran dan keterlibatan kritis dalam realitas. Konsep dan praktik
pendidikan hadap-masalah menganggap bahwa dialog sebagai
prasyarat bagi pelaku pemahan untuk menguak realitas. Sehingga
dalam pelaksanaan pembelajaran bisa menjadikan antara guru dan
murid menjadi pemikir yang kritis. Perlu diketahui bahwa pendidikan
hadap masalah adalah lawan dari pendidikan gaya bank yang
cenderung monolog. Pendidikan hadap masalah sadalah sikap
revolusioner terhadap masa depan. Karena itu ia adalah nubuwatan
(dan artinya; penuh harapan), dan dengan begitu ia sesuai dengan
watak kesejahteraan manusia.53
d. Conscientizacao (Kesadaran)
Memahami dan membangkitkan kesadaran conscintizacao telah
dilakukan oleh Paulo Freire, seorang pendidik masyarakat dan
organisator politik berkebangsaan Brazil. Pemahamannya tentang
conscientizacao telah dijelaskan dalam beberapa risalah filsafat dan
telah mendorong kita untuk lebih meyadari proses berlangsungnya
53 Ibid, h. 68
41
penindasan politik di Ekuador dan Amerika serikat. Conscientizacao
merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu-individu
secara bersama-sama untuk memecahkan ekstensial mereka.
Conscientizacao mengemban tugas pembebasan, dan pembebasan itu
berarti penciptaan norma, aturan, prosedur dan kebijakan baru.
Conscientizacao bukan tujuan sederhana yang yang harus dicapai,
tetapi merupakan tujuan puncak dari pendidikan untuk kaum
tertindas.54
e. Dialog
Suatu analisa yang cermat yang dibangun Paulo Freire dalam
melawan adanya pendidikan gaya bank, maka Freire lebih
menonjolkan model pembelajaran yang dialogis, karena dengan dialog
akan membentuk perjuampaan diantara sesama manusia yang dibebani
tugas bersama untuk belajar dan berbuat, akan rusak jika para
pelakunya (atau salah satu diantara mereka) tidak memiliki sikap
kerendahan hati.55 Dialog merupakan metode yang tepat untuk
mendapatkan pengetahuan, maka subjek harus memakai pendekatan
ilmiah dalam berdialektika dengan dunia, sehingga dapat menjelaskan
realitas secara benar. Dalam pemikirannya Freire, dialog sebagai
metodologi dalam pembelajaran untuk bagaimana menciptakan
pendidikan yang menghargai pendapat orang lain dan memiliki rasa
humanisme yang tinggi kepada setiap manusia.
54 Paulo Freire, Conscientizacao (Tujuan Pendidikan Paulo Freire), op. cit., hlm. 5 55 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, op. cit., hlm. 73