Upload
hathien
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN
ADAT
E. Agama dan Masyarakat
1. Konsep Sakral dan Profan Sebagai Acuan Dasar Agama
Sesuatu yang sakral dan profan tidaklah dapat di pisahkan dari agama
karena agama selalu ditandai oleh sikap sakral. Ada berbagai pendapat mengenai
definisi Agama. Di antaranya menurut Hendropuspito:
“Agama merupakan suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh
penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non
empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai
keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas lainnya”.16
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan, bahwa agama adalah sebuah
sistem buatan manusia dengan menggunakan kekuatan non empiris yang
dipercayai dan didayagunakan untuk memperoleh keselamatan bagi masyarakat
di dalamnya. Atau dengan kata lain dapat disimpulkan, bahwa pengertian agama
menurut Hendropuspito bersifat sosial. Hal ini berkaitan dengan penjelasan
agama menurut Durkheim. Bagi Durkheim Agama pada dasarnya merupakan
sesuatu yang kolektif dan bahwa dasar dari agama adalah tentang yang Sakral.
Dia mengembangkan suatu definisi mengenai religi, bahwa “religi merupakan
sekumpulan keyakinan dan praktek yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral,
yakni sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan upacara
16
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Gunung Mulia, 1986), 34
yang berorientasi kepada suatu komunitas moral tunggal di mana masyarakat
memberikan kesetiaan dan tunduk kepadanya”.17
Bagi Durkheim agama terdiri
dari dua hal yakni sakral dan profan. Dalam agama, sakral dan profan merupkan
dua entitas yang selalu dipisahkan karena kedua hal ini selalu bertolak-belakang.
Durkheim dalam tulisannya menegaskan bahwa agama umat manusia
entah sederhana atau kompleks sekalipun, memperlihatkan karakteristiknya yang
umum, baik secara riil maupun ideal, yakni suatu pembedaan (distinksi) antara
hal-hal yang sakral dengan profan. Keduanya merupakan suatu prinsip kejiwaan
yang ada dalam dinamika hidup agama umat manusia. Distinksi antara dunia
sakral dan profan tidak dapat dilepaspisahkan dalam masyarakat beragama.
Sakral (sacred) merupakan hal-hal yang terlarang dan ditujukan kepada sesuatu
yang tunggal, di mana masyarakat memberikan kesetiaan untuk tunduk
kepadanya.18
Berkaitan erat dengan yang sakral atau suci adalah yang tidak suci;
mencakup apa saja yang dalam keadaan tertentu dianggap mencemarkan yang
suci itu. Untuk menghindari timbulnya pencemaran inilah hal-hal yang sakral
dipagari dengan larangan-larangan atau tabu-tabu.19
Sebagaimana yang
dikatakan oleh Durkheim:
17
Emile Durkheim, Sejarah Agama: The Elementry Form of Religious Life, (Terj: Inyiak Ridwan Muzir) (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), 8
18 Emile Durkheim, The Elementry Form of Religious Life. (Terj. Joseph Word Swain), (London:
George Allen & Uwin Ltd., 1976), 8 19
Elizabeth K. Notingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 10
“Sacred things are those which the interdictions protect and isolate;
profane things, those to which these interdictions are appalied and
which must remain at distance from the first”.20
Dengan demikian, dunia “yang sakral” merupakan bagian terpisah dari
dunia “yang profane”. Yang Profan tidak dapat memasuki dunia Yang Sakral.
Karena, apabila Yang Profan dapat memasuki dunia Yang Sakral, maka Yang
Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu itu menjadi
sakral bila disakralkan oleh masyarakat tertentu. Bellah dalam
“Introduction”nya yang ditulisnya dalam buku Durkheim On Morality and
Society, antara lain juga mengemukakan, bahwa yang sakral adalah
masyarakat itu sendiri.21
Dari definisinya tentang agama ia antara lain dengan
jelas menunjukan bahwa perhatian agama adalah tentang hal-hal yang sakral.
Berikut ini:
“Religious beliefs are the representations which express the nature of sacred
things and the relations which they sustain either with each other or with
profane things.”22
Asal-usul ide tentang “Yang Sakral” melahirkan sejumlah
kepercayaan dalam agama. Durkheim menjelaskan bahwa agama secara
sosial, mencari asal-usul agama dalam tingkat kehidupan sosial (bukan
pada tingkat pribadi). Di mana agama menjadi sumber inspirasi bagi
para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup serta mentaati aturan
yang berlaku dalam hidup bersama. Karena agama juga menjawab
problem dan kebutuhan individu maupun kebutuhan pribadi. Ide
20
Emile Durkheim, The Elementary Forms…,52 21
Robert N. Bellah (Ed.), Emile Durkheim, On Morality and Society, (Chichago and London: The Universitas of Chichago Press, 1973), x
22 Ibid
keagamaan lahir dari lingkungan sosial. Dengan demikian agama
adalah ekspresi dari masyarakat, suatu sistem ide dengan mana
individu-individu menjadi bagian dari masyarakat. Kekuatan
keagamaan merupakan kekuatan manusia, kekuatan moral. Karena
setiap masyarakat adalah sui generis, maka agama adalah juga sui
generis.23
Hal yang sakral dan profan memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri yang
sakral dan profan bagi Durkheim adalah sebagai berikut:
“All known religious beliefs, whether simple of complex, present one
common characteristic: they presuppose a classification of all the
things, real and ideal of which men think, into two classes or
opposed groups, generally designated by two distinct terms which
are translated weel enough by the world profane and sacred.This
division of the world into two domains, the one containing all that is
sacred the other all that is profane, is the distinctive trait of religious
thought; the beliefs, myths, dogmas and legends are either
representations or system of representation which express the nature
of sacred things, the virtues powers which are attributed to them, or
their relations with each other and with profane things”. 24
Uraian di atas pada intinya memberi penjelasan bahwa hal-hal sakral
muncul terutama berkaitan dengan apa yang menjadi konsentrasi sebuah
masyarakat, sedangkan yang profan adalah apa yang menjadi urusan pribadi
dari individu.
23
Emile Durkheim, The Elementary Forms…, 205, 209, 255, 256, 229 24
Ibid., 52
2. Fungsi Agama dalam Masyarakat
Agama memiliki beberapa fungsi bagi manusia, di antaranya fungsi
pertama adalah mengatur kehidupan kolektif. Di sini agama memberi prinsip-
prinsip abadi untuk mengatur kehidupan bersama. Prinsip itu diperlukan
sebagai arah bersama, terutama karena dunia ini terus berubah. Fungsi yang
kedua ialah agama melengkapi pengetahuan manusia dalam usaha menemukan
realitas tertinggi. Manusia memiliki akal budi yang digunakan untuk
memahami agama yang dipandang sebagai buah pewahyuan Sang Realitas
Tertinggi itu sendiri. Jawaban manusia dengan imannya tergantung juga pada
pemahamannya. Dengan demikian, bagi manusia agama akan terus berkembang
menjadi dinamis. Dan fungsi yang ketiga, tidak terlepas dari fungsi kedua yakni
membantu manusia untuk menemukan egonya sendiri, menemukan jati dirinya
sebagai makhluk yang berhadapan dengan penciptanya yang pada akhirnya
mendukung pemahamannya akan jati dirinya dan diharapkan dapat lebih
memperjelas arah hidupnya sebagai pribadi tercipta.25
Selain ketiga fungsi diatas, bagi Durkheim Agama berfungsi sebagai
pembangkit perasaan sosial memberikan simbol dan ritual-ritual yang
memungkinkan masyarakat mengekspresikan perasaan mereka yang selalu
terikat dengan komunitasnya. Karena itu agama merupakan sesuatu yang
bersifat sosial dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling
25
AL Andang, Agama, Yang Berpijak dan Berpihak, Frans Magnis Suseno dalam “Kata Pengantar” (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 92.
berharga dalam kehidupan sosial, agama melayani masyarakat, dengan
menyediakan ide, ritual dan kesadaran akan perasaan tertentu yang akan
menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat, untuk kemudian memperkuat
eksistensi masyarakat itu sendiri.na itu
3. Masyarakat Sebagai Sebuah Komunitas
Durkheim melihat masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna
bagi kehidupan bersama antar manusia, sesuatu yang berada diatas segala-
galanya. Ia bersifat menentukan dalam perkembangannya. Hal-hal yang
paling dalam pada jiwa manusia pun berada di luar diri manusia sebagai
individu, misalnya kepercayaan keagamaan, kategori alam pikir, kehendak
bahkan hasrat untuk bunuh diri. Hal-hal tersebut bersifat sosial dan terletak
dalam masyarakat.26
Yang dimaksud oleh Durkheim disini adalah masyarakat
ada dalam diri individu. Masyarakat bukan melulu jumlah individu-individu
namun tidak lepas dari individu itu sendiri. Disini Durkheim menolak suatu
realisme yang mengakui mayarakat sebagai suatu realitas yang berada “di
atas” individu yang membentuknya. Masyarakat tidaklah transenden dan juga
tidak metafisik, melainkan (nature) – alamiah. Sifat alamiahnya terdiri atas
fakta bahwa ia merupakan pembentuk atau pengelola kebudayaan.
Dari persekutuan individu-individu timbullah ide-ide, cita-cita, bahasa,
kebiasaan, adat-istiadat, simbol-simbol dan norma-norma moral yang
26
Bnd. Djuretna A. Imam Muhni, Moral & Religi: Menurut Emile Durkheim & Henri Bergson (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 28.
keseluruhannya merupakan kesatuan.27
Durkheim mengajukan suatu kategori
fakta dengan sifat-sifat khas yang jelas yaitu cara bertindak berfikir dan
merasa semuanya berada diluar individu dan memiliki kekuatan menguasai,
dengan demikian dapat mengatur individu. Maksudnya di sini adalah setiap
individu membentuk suatu jenis gejala baru dengan istilah sosial, sumbernya
adalah kehidupan bersama.
Masyarakat yang hidup bersama untuk jangka waktu cukup lama ini
menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan
sebagainya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.28
Bergson
berpendapat bahwa manusia ini ingin hidup bersama bukan karena persamaan,
melainkan perbedaan yang terdapat dalam sifat, kedudukan dan sebagainya.
Berdasarkan adat, sifat meniru perasaan solidaritas dalam golongan keluarga,
suku bangsa, negara dan seterusnya akan menjadi kuat dan luas. Ikatan solider
ini berlainan sifatnya ke dalam dan ke luar. Yang ke dalam merupakan ikatan
diantara anggota-anggotanya sedangkan ikatan ke luar, artinya ikatan terhadap
lain golongan.29
Masyarakat juga merupakan suatu kesatuan yang selalu berubah,
karena proses masyarakat yang menyebabkan berubahan itu. Dalam zaman
biasa, masyarakat mengenal kehidupan teratur dan aman, disebabkan oleh
27
Ibid., 38 28
Soerjono, Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali, 1982), 166 29
Hassan Shadily, Sosiologi: Untuk Masyarakat Indonesia, ( Jakarta: Bina Aksara, 1983), 57
pengorbanan sebagian kemerdekaan dari anggota-anggotanya, baik dengan
paksa maupun sukarela. Pengorbanan yang dimaksudkan disini adalah
menahan nafsu makan atau kehendak sewenang-wenang, untuk
mengutamakan kepentingan dan keamanan bersama. Dengan paksa berarti
tunduk kepada hukum-hukum yang telah ditetapkan (negara, perkumpulan
dan sebagainya), dengan sukarela berarti menurut adat dan berdasarkan
keinsyafan akan persaudaraan dalam kehidupan berasama itu.30
Masyarakat yang dimaksudkan oleh Durkheim dalam menganalisis
tindakan-tindakan kemanusiaan adalah masyarakat sebagai komunitas.
Meskipun dalam bahasa Prancis digunakan kata societe dan dalam bahasa
Inggris society, masyarakat bagi Durkheim berakar pada kata Latin
communitas, bukan societas.31
Perkataan society dalam arti umum
diterjemahkan dalam bahasa Indeonesia dengan masyarakat, yaitu suatu badan
atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai suatu anggota
masyarakat. Society dalam arti masyarakat umum lain pula artinya dari pada
community. Community menunjukan arti masyarakat yang terbatas.32
Umpamanya masyarakat Melonguane. Jadi masyarakat yang dimaksud
penulis disini sama dengan yang dimaksud oleh Durkheim yakni masyarakat
sebagai Community.
30
Ibid., 50 31
Bnd. Djuretna A. Imam Muhni, Moral & Religi: Menurut Emile Durkheim & Henri Bergson (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 30
32 Hassan Shadily, Sosiologi: Untuk Masyarakat Indonesia..., 60
Istilah Community (komunitas) dapat diterjemahkan sebagai
“masyarakat setempat”, istilah ini menunjuk pada warga-warga sebuah desa,
kota, suku atau suatu bangsa. Apabila anggota-anggota suatu kelompok baik
dalam jumlah besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga
mereka merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-
kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut masyarakat
setempat. Masyarakat setempat dapat menunjuk pada bagian masyarakat yang
bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batas-batas
tertentu dimana faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang
lebih besar diantara anggota-anggotanya, dibandingkan dengan interaksi
mereka dengan penduduk diluar batas wilayahnya.33
Maka dapat disimpulkan secara singkat bahwa masyarakat setempat
adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat
memiliki hubungan sosial tertentu. Didalamnya terdapat kelompok-kelmpok
dan golongan-golongan lainnya yang dinamakan keluarga, kelas, mungkin
juga sedikit kasta dimana terdapat aksi-reaksi dan kesadaran akan adanya
anggota-anggota lain yang menyebabkan orang-orang itu berhati-hati terhadap
kepentingan-kepentingan sesamanya didalam kelompok masing-masing dan
terhadap masyarakat luas. Baik untuk kepentingan sendiri, kepentingan
golongan dan sebagainya orang pada umumnya hidup menurut yang
33
Bnd. Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Bryan S. Turner, Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 98-99.
diharapkan oleh golongan itu yakni mengikuti atau menaati adat, kebiasaan
dan undang-undang resmi yang berlaku.
Masyarakat seluruhnya itu memang merupakan wadah dimana
kebudayaan seluruhnya tercipta dan tumbuh, dan sekaligus membatasi
kebebasan pribadi para anggotanya.34
Dengan kata lain masyarakat
merupakan suatu sistem sosial yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi
sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok sosial.35
Masyarakat manusia berbeda dengan masyarakat hewan. Yang membedakan
hal tersebut adalah manusia mengenal perubahan. Manusia mengenal masa
depan, mengenal kemungkinan-kemungkinan akan berhasil atau gagal,
manusia juga dikaruniai insting dan intelegensi. Disamping intelegensi
manusia dikaruniai apa yang disebut intuisi.36
Manusia merupakan “homo
religious” (manusia beragama), karena itulah religi memiliki pengaruh besar
dalam sebuah masyarakat.
F. Sistem Adat dalam Masyarakat
Adalah suatu hakekat manusia untuk sedapat mungkin mengetahui
bagaimana timbulnya gejala-gejala dalam kehidupan masyarakat. Keinginan tadi
antara lain juga berwujud sebagai suatu hasrat untuk mengetahui tentang kaidah-
kaidah yang secara sadar maupun tidak sadar menjadi pengatur bagi perikelakuan
sehari-hari dari manusia. Sejak lahir manusia telah dianugerahi suatu naluri untuk
34
Hassan Shadily, Sosiologi: Untuk Masyarakat Indonesia…, 61-62 35
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 91 36
Djuretna A. Imam Muhni, Moral & Religi…, (Yogyakarta: Kanisius: 1994), 16
hidup bersama dengan orang-orang lain. Akibat adanya naluri tersebut dan atas
dasar fikiran, kehendak dan perasaan timbulah hasrat untuk bergaul yang
kemudian dinamakan dengan interaksi sosial yang dinamis. Interaksi tadi mula-
mula berpangkal tolak pada cara yang merupakan suatu bentuk perbuatan.
Apabila bentuk perbuatan tersebut dirasakan sebagai sesuatu yang baik, maka
perbuatan tersebut mungkin menjadi kebiasaan atau perbuatan diulang-ulang
dalam bentuk yang sama. Dengan demikian kebiasaan-kebiasaan itu menjadi tata
kelakuan. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat hidup dari kelompok manusia.
Tata kelakuan yang kekal serta kuat integritasnya dengan pola-pola perikelakuan
masyarakat, dapat meningkat kekuatan mengikatnya sehingga menjadi adat
istiadat. Adat istiadat merupakan kaedah-kaedah yang tidak hanya dikenal, diakui
dan dihargai akan tetapi juga ditaati.
Adat-istiadat mempunyai pengaruh yang kuat dalam masyarakat.
Kekuatan mengikatnya tergantung pada masyarakat atau bahagian masyarakat
yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama berpangkal tolak pada
perasaan keadilannya.37
1. Adat dan Kebiasaan
Adat merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa. Setiap
bangsa memiliki adat kebiasaan yang berbeda-beda. Perbedaan ini merupakan
unsur terpenting yang memberikan identitas terhadap bangsa yang
bersangkutan. Dalam Negara Republik Indonesia juga terdapat berbagai adat
37
Soekanto & Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Hukum Adat (Bandung: Alumni, 1981), 14
yang dimiliki oleh daerah-daerah, suku-suku bangsa, meskipun berbeda
namun dasar dan sifatnya adalah satu, yaitu ke-Indonesiaannya. Oleh karena
itu adat bangsa Indonesia dikatakan “Bhineka” (berbeda-beda di daerah suku
bangsanya), “Tunggal Ika” (tetapi tetap satu juga yaitu sifat keindonesiaanya).
Istilah adat ini berasal dari bahasa Arab „adah’ yang artinya kebiasaan,
yaitu sesuatu yang sering berulang. Tapi kebiasaan dalam arti adat adalah
kebiasaan normatif yang telah berwujud aturan tingkah laku yang berlaku
didalam masyarakat dan dipertahankan oleh masyarakat. Oleh karena adat
adalah kebiasaan yang normatif dan dipertahankan oleh masyarakat, maka
walaupun ia tidak berulang tapi harus dilaksanakan, apabila tidak
dilaksanakan maka masyarakat akan mengadakan reaksi. Selanjutnya
perbedaan adat dan kebiasan dapat dilihat dari pemakaiannya, adat dipakai
secara turun-temurun sedangkan kebiasaan mudah berubah dan tidak turun-
temurun.38
Pada umumnya adat dibagi atas 4 bagian, yaitu:
1. Adat yang sebenar adat. Ini adalah merupakan undang-undang alam. Dimana
dan kapanpun dia tetap akan sama, antara lain adat air membasahi, adat api
membakar dan sebagainya.
2. Adat istiadat. Ini adalah peraturan pedoman hidup di seluruh daerah ini yang
diperturunaikkan selama ini, waris yang dijawek pusako nan ditolong, artinya
38
Hilman Hadikusumah, Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat (Bandung: Alumni, 1980), 16
diterima oleh generasi yang sekarang dari generasi yang dahulu supaya dapat
kokoh berdirinya.
3. Adat nan teradat. Ini adalah kebiasaan setempat. Dapat ditambah ataupun
dikurang menurut tempat dan waktu.
4. Adat yang diadatkan. Ini adalah adat adat yang dapat dipakai setempat seperti
dalam satu daerah adat menyebut dalam perkawinan mempelai harus memakai
pakaian kebesaran, kalau tidak helat tidak akan terjadi; tapi pada waktu
sekarang karena sukar mencari pakaian kebesaran itu maka pakaian bisa saja
dipakai oleh mempelai tadi.
Frank L. Cooley dalam penelitiannya di Maluku memahami adat
dalam beberapa hal. Pertama, adat sebagai keniasaan-kebiasaan dalam
kehidupan; dan kedua, kebiasaan dalam hidup berkenan dengan tetap
dilakukannya hal-hal tertentu yang dianggap wajib bagi seluruh masyarakat
dan harus dilakukan menurut aturan yang telah ditetapkan.39
2. Hukum Adat
Menurut beberapa sarjana misalnya Bushar Muhammad (1961) dan
vsn Dijk (1960), istilah hukum adat merupakan terjemahan dari istilah dalam
bahasa asing yaitu “adatrecht”. Istilah ini diperkenalkan oleh van
Vollenhoven dan murid-muridnya.
39
Bnd. 39
Ermila Jamal, Pemahaman Masyarakat Pelauw Tentang Agama Dan Adat (Suatu
Kajian Sosio – Religi Terhadap Masyarakat Pelauw di Pulau Haruku – Maluku Tengah), (Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana, 2007), 36
Istilah hukum adat bukan rangkaian istilah hukum dan istilah adat
melainkan sebagai terjemahan dari istilah buatan orang Belanda yang disebut
adatrech. Untuk pertama kalinya istilah ini dipakai oleh Snouck Hurgronye
dadalam buku karangan yang berjudul Orang-orang Aceh dengan maksud
untuk menyatakan adanya adat-adat yang mempunyai akibat hukum. Istilah
ini kemudian diambil Van Volenhoven menjadi istilah teknis ilmu
pengetahuan hukum didalam bukunya berjudul Hukum adat Hindia Belanda.40
Berikut ini ada beberapa pengertian para`sarjana hukum mengenai
hukum adat yang di kutib oleh Surojo Wignjodipuro sebagai berikut:41
a. Prof. Dr. Supomo
Dalam karangannya mengenai “Beberapa catatan mengenai
kedudukan hukum adat”, memberi pengertian-pengertian-hukum-adat sebagai
hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (unstautory law)
meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh
peraturan-peraturan yang berwajib, tapi tetap ditaati dan didukung oleh rakyat.
b. Dr. Sukanto
Dalam bukunya “meninjau hukum adat Indonesia” mengartikan
hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan,
tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, mempunyai akibat
hukum.
40
Ibid., 20 41
Bnd. Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Gunung Agung: 1983), 14-15
c. Mr. J. H. P. Bellefroid
Dalam bukunya “Inleiding tot de recchtswetenschap in Nederland”
member pengertian hukum adat sebagai peraturan hidup yang meskipun tidak
diundangkan oleh penguasa tapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan
keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
d. Prof. M.M. Djojodigueno S.H
Dalam bukunya “Asas-asas hukum adat” menurutnya “hukum adat
adalah hukum yang tidak bersumber pada peraturan-peraturan”.
Dari keempat pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa
hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis namun wajib dijalankan
oleh masyarakat. ada pendapat lain pula mengenai hal tersebut. Menurut
Abdulrahman dalam jurnal “Jurnal Pluralisme Hukum” bahwa Hukum adat
merupakan bagian dari adat yang merupakan perasaan langsung dari perasaan
keadilan dan kepatutan dari rakyat mengenai hubungan kemasyarakatan.42
3. Sejarah Hukum Adat
Hukum Adat yang kita kenal sekarang telah ada sejak dulu bahkan
sejak manusia ada di bumi dan hidup sebagai makhluk sosial. Hukum ini juga
dinamakan dengan hukum kebiasaan. Soleman menyatakan timbulnya hukum
kebiasaan karena manusia pada hakekatnya merupakan makhluk sosial.
Menurut Hilman Hadikusuma proses perkembangan hukum adat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor iklim dan keadaan lingkungan
42
H. Abdulrahman., Hukum Adat dalam Perkembangan Hukum Pluralisme Indonesia (Jurnal Pluralisme Hukum, 2007)
serta sifat watak sesuatu bangsa, begitu pula ia dipengaruhi oleh kepercayaan
magi dan animism peninggalan zaman leluhur, masuknya pengaruh agama
dan oleh adanya kekuasaan pemerintah atasan atau dikarenakan pergaulan
dengan orang-orang asing.43
Di Indonesia, faktor magi dan animisme memiliki pengaruh yang
begitu besar, sehingga tidak dapat atau belum dapat hilang didesak oleh
agama yang kemudian datang. Hal ini terlihat dalam wujud pelaksanaan-
pelaksanaan upacara adat yang bersumber pada kepercayaan kepada
kekuasaan-kekuasaan serta kekuatan-kekuatan gaib, yang dapat dimohon
bantuannya. Animisme percaya bahwa segala sesuatu di alam ini bernyawa.
Dan animism ini bercabang dua, yaitu: fetisisme yakni yang memuja jiwa-
jiwa yang ada pada segala sesuatu dalam alam semesta serta memiliki
kemampuan yang jauh lebih besar dari kemampuan manusia. Kedua yakni
Spiritisme yang memuja roh-roh leluhur dan roh-roh lainnya, yang baik
maupun yang jelek sifatnya; percaya bahwa roh-roh dimaksud hidup dalam
dunia ini juga.
Faktor kedua adalah faktor agama (Hindu, Islam dan Kristen). Faktor
agama Hindu kurang lebih apa abad ke-8 dibawah oleh orang-orang India
masuk ke Indonesia dengan membawa agamanya yang berlainan dengan
kepercayaan Bangsa Indonesia. Pengaruh agama Hindu terbesarnya terdapat
di Bali, tapi pengaruh dalam hukum adatnya sedikit sekali. Berikutnya adalah
faktor agama Islam. Agama ini di bawah masuk di Indonesia oleh pedagang-
43
Ibid., Hilman Hadikusuma, 15
pedagang dari Malaka dan Iran pada akhir abad ke-14 dan permulaan abad ke-
15. Agama ini tersebar pesat sekali di Indonesia. penyebarannya berlangsung
secara damai dengan jalan perkawinan oleh karena itu dapat meresap pada
bangsa Indonesia. pengaruh terbesar nyata sekali terlihat dalam hukum
perkawinan yaitu dalam cara melangsungkan dan memutuskan perkawinan
dan lembaga wakaf. Faktor ketiga yakni Agama Kristen. Agama ini dibawa
oleh pedagang-pedagang bangsa Barat masuk Indonesia. kemudian meluas
melalui Zending dan missie ke seluruh kepulauan yang ada di Indonesia.
Pengaruh terbesarnya juga terlihat dalam perkawinan dan resepsinya.44
Namun perkawinan menurut agama ini selalu diikuti dengan perkawinan
menurut adat. Hal ini masih dilakukan dibeberapa tempat termasuk di
Melonguane
Faktor kekuasaan yang lebih tinggi dari pada persekutuan hukum adat
yaitu kekuasaan-kekuasaan yang meliputi daerah-daerah yang lebih luas dari
pada wilayah satu persekutuan hukum, seperti kekuasaan raja-raja.
4. Sifat Hukum Adat
Pada hakekatnya hukum adat bersifat tidak tertulis artinya tidak akan
dijumpai bahan-bahan hukum yang bersifat tertulis. Sehubungan dengan itu
maka hukum adat mempunyai sifat yang mudah untuk menyesuaikan diri,
sehingga hukum adat itu akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut
dilakukan tidak dengan cara menghapuskan dan mengganti aturan-aturan yang
44
Ibid., Surojo Wignjodipuro, 33-34
ada dengan yang lain secara spontan, akan tetapi perubahan itu akan terjadi
karena pengaruh dari situasi-situasi tertentu dalam proses kehidupan
masyarakat. Setiap masyarakat secara pasti akan mengalami perubahan.
Demikian juga dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat.perubahan itu
terjadi karena terjadi perubahan dalam cara berfikir masyarakat yang
disebabkan karena antara lain situasi-situasi tertentu dalam proses kehidupan
masyarakat itu.45
G. Pengaruh Agama Kristen Terhadap Hukum Adat
Agama memiliki pengaruh yang besar dalam sebuah masyarakat. Setiap
agama memiliki peraturan yang harus dipatuhi oeh setiap anggotanya tak terkecuali
dengan agama Kristen. Menurut J Prins Agama Kristen dalam hukum mempunyai
pengaruh yang mengakibatkan pengidividuan, pembedaan dan sekularisasi.46
Sosiologi Hukum menyatakan bahwa agama dapat mempunyai pengaruh
besar dalam menentukan isi hukum dalam suatu masyarakat. Dalam hukum adat hal
tersebut juga menjadi kenyataan. Apabila orang berbicara mengenai pengaruh agama
dalam hukum adat, pada umumnya yang diutarakan adalah unsur atau pengaruh
agama yang kini dianut oleh masyarakat. Agama yang datang dari luar seperti Hindu,
Islam dan Kristen. Perlu disadari pula bahwa sebelum agama-agama ini masuk, adat
sudah mengandung corak keagamaan asli (bahkan mungkin sesudah) menganut
agama yang baru.
45
Soleman Biasane Taneko, Dasar-dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1981), 24-25
46 J. Prins, Pengaruh Kristen Terhadap Hukum Adat, Jakarta: BHRATARA, 1973. 32
Berkaitan dengan pengaruh agama terhadap hukum adat, terdapat
teori receptio in complex. Teori ini dikemukakan oleh Mr. W.C. van den Berg,
Guru Besar di Delf dan Penasihat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada
Pemerintah kolonial Belanda. Dikenal dengan teori “receptio in complexu”. Menurut
Teori ini jika seseorang memeluk suatu agama maka ia akan menerima seluruh
hukum agama itu. Jika diluaskan maka dapat dikatakan, jika suatu masyarakat
menerima suatu agama baru maka masyarakat yang bersangkutan akan menerima
hukum agama baru itu seluruhnya. Atas dasar pandangan tersebut maka orang
menganggap bahwa hukum adat identik dengan hukum agama yang dipeluk
masyarakat bersangkutan.47
Menurut teori ini juga adat-istiadat dan hukum (termasuk hukum adat) suatu
masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh masyarakat yang
bersangkutan. Latar belakang dari teori ini adalah bahwa apabila suatu masyarakat
telah memeluk suatu agama, maka harus mengikuti hukum-hukum atau ajaran-ajaran
agama dengan setia.48
Kesalahan identifikasi ini dimana bagian terbesar hukum adat diidentifikasi
sebagai hukum agama oleh pembuat ordonansi, kemudian ditentang oleh Sbouck
Hurgronje dan van Vollenhoven karena tidak sesuai dengan kenyataan yang berlaku
ketika itu. Pada kenyataannya memang tidak semua ajaran agama diterima dan
47
AGAMA DAN ADAT: Suatu Pemikiran tentang Kehidupan Beragama Sekaligus Beradat (Jakarta: Proyek Penerangan, Bimbingan dan Da’wah/Khotbah Agama Protestan Dep. Agama. RI, 1976), 23-24
48 Soleman Biasane Taneko, Dasar-dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat…, 27
menjadi hukum adat, sebagaimana dilihat dalam hubungan manusia dengan Tuhan
maupun dalam hubungan manusia dengan manusia. Sesungguhnya menyamakan
hukum agama adat dan hukum keagamaan memang tidak sesuai kenyataan dan akan
menyulitkan peradilan, tetapi tidak berarti bahwa hukum adat tidak mengandung
unsur-unsur agama. Oleh karenanya hingga saat ini hukum adat selalu masih
diartikan dengan hukum yang mengandung unsur-unsur agama, disamping unsur-
unsur adatnya.49
Apakah yang menjadi latar belakang dari perundang-undangan dimasa Hindia
Belanda dahulu memakai istilah peraturan keagamaan (godsdienstige weten), adalah
dikarenakan pemerintah Belanda ketika membuat Undang-undang ketatanegaraan
tersebut pada tahun 1947 dipengaruhi oleh teori Van Den Berg dan Salmon Keyzer
yang disebut reception in complex atau penerimaan secara bulat. Menurut teori ini
maka adat-istiadat dan hukum sesuatu golongan masyarakat adalah resepsi
seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Jadi hukum adat
sesuatu golongan masyarakat adalah hasil penerimaan bulat dari hukum agama yang
dianut oleh golongan masyarakat itu.50
49
Ibid, 22 50
Hilman Hadikusumah, Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat (Bandung: ALUMNI, 1980), 21.
H. Hari Minggu dan Hari Sabat
Bangsa Yahudi sejak purbakala merayakan Sabat untuk memperingati hari
Allah berhenti setelah menggenapi karya penciptaan alam semesta. Mereka
merayakan hari sabat pada hari shabbat kodesh dalam kalender Masehi hari itu
disebut hari Sabtu sedangkan Umat Kristen sejak abad pertama merayakan Sabat
pada hari Minggu (hari pertama) sesuai kalender Masehi. Sejarah gereja mencatat
bahwa Yesus Kristus bangkit dari kematian pada hari Minggu menurut kalender
Masehi. Hari kebangkitan itu disebut Hari Tuhan, hari Yesus Kristus berhenti
setelah menggenapi karya penyelamatan manusia. Karena itu Umat Kristen mula-
mula merayakan Hari Tuhan pada hari Minggu dan disebut sebagai hari sabat. 51
Minggu dalam kamus besar bahasa Indonesia merupakan hari pertama
dalam jangka waktu satu Minggu.52
Minggu memiliki sejarahnya sehingga
menjadi hari yang dikuduskan. Kalender modern pertama seperti yang kita miliki
sekarang mulai berlaku pada tahun 45 SM oleh Julius Caesar. Nama-nama hari
seperti yang ada sekarang juga digunakan sejak itu. Karena bangsa Babel
menyembah planet-planet, banyak orang mulai menyebut hari-hari dalam pekan
dengan nama-nama planet.53
Namun orang-orang Ibrani dan para penulis Alkitab
tidak pernah melakukan demikian. Itulah sebabnya mengapa, meskipun nama-
nama hari seperti yang ada sekarang – misalnya Minggu, Senin dan seterusnya –
51
Diakses dari: http/Sabat&Adat/hari_sabat_vs_hari_tuhan.htm, Senin, 19 Maret, 2012, 18.30 WIB
52Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka,2002) 53
A. Jan Marcussen, Undang-undang Hari Minggu Nasional: Kekuatan-kekuatan dunia bersatu di tengah krisis yang hebat, (Yayasan Komunikasi Kristen Indonesia, 1999), 88
sudah ada ketika zaman Kristus, para penulis-penulis Alkitab tidak pernah
merujuk kepada hari-hari dengan nama ini, oleh karena pernah nama-nama itu di
yakini berasal dari kekafiran.
Agama tua dari zaman Babel dan Persia yang menyebutkan nama-nama
hari dalam pekan sesuai nama-nama planet adalah agama Mithra. Yang ilahnya
dipopulerkan oleh Zoroazter di Persia sekitar tahun 630. Oleh sebab Mithra
dianggap sebagai ilah yang besar, para serdadu Romawi menjadi penyembah-
penyembahnya. Dalam perjalanan mereka membawa gagasan penamaan hari-hari
dalam pekan menurut nama-nama planet diantara suku-suku Teutonik, yang
sekarang dikenal sebagai wilayah Jerman. Bangsa Teuton ini menggantikan
beberapa ilah mereka dengan planet-planet untuk nama-nama hari (ini terjadi
sebelum zaman Kristus). Nama-nama ini diberlakukan dan digunakan sampai
sekarang. Berikut ini merupakan daftar ilah-ilah Teutonik dan hari-hari dalam
pekan, yakni:54
Matahari -- Hari Minggu Sunday
Bulan – Hari Senin Monday
Tiu – Hari Selasa Tuestdey
Woden – Hari Rabu Wednesday
Thor – Hari Kamis Thursday
54
Ibid.,
Figg – Hari Jumat Friday
Seturn – Hari Sabtu Saturday
Dengan melihat penjelasan di atas, dapatlah dikatakan bahwa bagi
agama Mithra, nama “Minggu” di gunakan sebagai hari pertama yang berasal
dari nama dewa Matahari. Dewa ini dianggap sebagai dewa tertinggi dan
dikuduskan karena itulah Minggu menjadi hari yang kudus bagi mereka.
Berbeda dengan agama Mithra, Agama Kristen Menguduskan Hari Minggu
untuk memperingati kebangkitan Yesus. Dengan demikian Minggu dikatakan
sebagai hari pertama sabat. Sabat itu sendiri terdapat juga dalam Perjanjian
lama, bagi bangsa Israel disucikan karena untuk memperingati hari
peristirahatan Allah dari proses penciptaan-Nya. dan Allah pun menghendaki
agar manusia melakukan hal yang sama terhadap Sabat-Nya.
Salah satu ayat Alkitab dalam Perjanjian Lama yang berbicara tentang
Sabat dalam adalah Salah satu dari sepuluh hukum taurat khususnya hukum
ke empat berbicara mengenai sabat adalah sebagai berikut:
“Ingatlah akan hari Sabat supaya menyucikannya. Enam hari
lamanya hendaklah engkau bekerja dan melaksanakan semua
tugasmu, tetapi hari yang ke tuju ialah sabat Tuhan Allahmu; pada
hari itu jangan kamu melakukan pekerjaan apapun juga, baik kamu
atau anakmua laki-laki, atau pelayanmu perempuan, atau binatang-
binatangmu, ataupun orang asingmu yang ada didalam pintu-pintu
gerbangmu. Karena dalam enam hari Tuhan teah menjadikan langit
dan bumi, dan beristirahat pada hari ke tujuh.Sebab itu Tuhan
memberkati hari sabat itu dan menyucikannya.” (Kel. 20:8-11).
Ternyata pada perintah yang ke empat dari hukum Taurat itu terdapat
adanya beberapa kewajiban hukum bagi manusia untuk dilaksanakan, yaitu:55
1). Adanya kewajiban untuk selalu ingat akan hari Sabat Tuhan, dan
menyucikannya untuk memperingati Tuhan Allah sebagai pencipta, yang
telah menciptkan langit dan bumi dalam enam hari dari minggu pertama
kejadian yang lalu.
2). Adanya kewajiban untuk bekerja selama enam hari pada setiap
minggu, karena Tuhan Allah sendiri telah bekerja menciptakan langit dan
bumi selama itu.
3). Adanya kewajiban untuk berhenti dan beristirahat pada hari yang ke
tujuh, karena itulah sabat Tuhan Allah kita. Sabat=Istirahat, berhenti atau
libur.
4). Adanya kewajiban untuk selalu mengkhususkan dan menyucikan hari
Sabat Tuhan, karena Tuhan sendiri memberkati dan menyucikannya.
Sabat (שבת shabbāṯ, "istirahat" atau "berhenti bekerja" dalam bahasa
Ibrani, atau Shabbos dalam ucapan Ashkenazi), adalah hari istirahat
setiap Sabtu dalam Yudaisme. Hari Sabat dirayakan dari saat sebelum
matahari terbenam pada hari Jumat hingga tibanya malam pada hari Sabtu.
Perayaan ini dilakukan oleh banyak orang Yahudi dengan berbagai tingkat
keterlibatan dalam Yudaisme. Dari kata Sabat ini diperoleh
55
John Terinathe, Hari Sabat Dan Persiapan Memasuki Kerajaan Daud (Jakarta: Nubuatan Berbicara, 1997), 23.
istilah Sabbath dalam bahasa Inggris, Sabt dalam bahasa Arab (بت س ,(ال
dan Sabtu dalam bahasa Indonesia. Dari kata ini pula muncul konsep
sabatikal, yaitu berhenti bekerja pada Sabat. Orang Yahudi menganggap
peringatan Sabat, sebagai hari ke-7 setiap minggu, tidak terputus sejak
ditetapkan saat Allah menciptakan alam semesta, dimana manusia diciptakan
pada hari ke-6.56
Berdasarkan etimologi, kata benda sabat dari akar kata Ibrani
syin-bet-tau berasal dari kata kerja dengan akar kata yang sama yang
mengandung arti berhenti dari sesuatu.57
Dari berbagai penjelasan diatas maka
dapat disimpulkan bahwa sabat merupakan hari beristirahat atau berhenti dari
pekerjaan.
Perayaan hari Sabat adalah peringatan hari ke tujuh, hari Tuhan selesai
mencipta alam semesta. Mengingat dan menguduskan hari Sabat adalah
perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah. Alkitab Perjanjian Lama
mencatat tiga jenis hukum yang berlaku bagi bangsa Yahudi, yaitu hukum
Taurat atau Sepuluh Perintah Allah, hukum tata ibadah dan hukum
masyarakat. Sepuluh Perintah Allah dianggap sebagai hukum yang paling suci
karena ditulis sendiri oleh tangan Allah pada dua loh batu, sedangkan hukum
tata ibadah dan hukum masyarakat diberikan melalui nabi Musa.58
56
Di akses dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Sabat,, Selasa, 6 Maret 2012, 07.43 WIB 57
Di akses dari: http://www.sarapanpagi.org/sabat-vt311.html., Selasa, 7 Februari 2012, 15.03 WIB
58 Diakses dari: http://bengcumenggugat.wordpress.com/2011/02/02/hari-sabat-bukan-
hari-sabtu/. Pada hari Kamis, 29 Maret 2012, 11.34 WIB
Perayaan Sabat adalah perayaan agama yang paling suci bagi bangsa
Israel yang dimulai saat matahari tenggelam pada hari Jumat hingga Sabtu
malam ketika 3 bintang muncul di langit. Bangsa Israel merayakan hari Sabat
sebagai peringatan atas tiga hal yaitu:59
1. Selesainya penciptaan alam semesta oleh Allah pada hari ketujuh.
2. Hari pembebasan dari perbudakan bangsa Mesir.
3. Kerinduan akan kedatangan Mesias.
Sabat dalam perjanjian lama berbeda dengan sabat dalam Perjanjian
Baru. Jika sabat dalam perjanjian lama dirayakan pada hari ketujuh atau sesuai
kalender Masehi pada hari Sabtu. Maka sabat dalam perjanjian baru justru
dirayakan pada hari Minggu. Karena itu umat Kristen sejak jaman para Rasul
hingga sekarang merayakan Sabat pada hari Minggu dan menyebutnya sebagai
Hari Tuhan. Perayaan sabat adalah untuk memperingati:60
1. Selesainya penciptaan alam semesta oleh Allah pada hari ketujuh.
2. Selesainya pekerjaan penebusan oleh Kristus, kebangkitan Kristus dari
kematian pada hari ketiga.
3. Kerinduan akan kedatangan Kristus yang kedua kali.
Dari penjelasan di atas mengenai sabat dalam perjanjian lama dan perjanjian
baru, maka terdapat berbedaan. Sabat dalam Perjanjian Lama yakni hari ketujuh atau
59
Ibid 60
Ibid
dalam kalender Masehi disebut Sabtu sedangkan sabat Perjanjian Baru yaitu hari
pertama sabat (Minggu) ketika Yesus bangkit dari antara orang mati pada hari
Minggu pagi kurang lebih pada tahun 33 Masehi. Jadi hari Minggu tidak sama
dengan Hari sabat.