Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
18
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan tentang Hak Milik atas tanah
Hak Milik atas tanah diatur dalam Pasal 20-27 UUPA. Pasal 20-27
UUPA seharusnya diatur lebih lanjut oleh peraturan pelaksananya, tetapi hingga
saat ini peraturan pelaksana tersebut belum tersedia. Akibat dari belum
tersedianya peraturan pelaksana mengenai Hak Milik atas tanah, pengaturan
tentang Hak Milik atas tanah masih diatur melalui UUPA atau peraturan
perundang-undangan lainnya yang masih berkaitan. Peraturan pelaksana UUPA
mengenai Hak Milik atas tanah belum tersedia, berbeda halnya dengan Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.
1. Pengertian Hak Milik atas tanah
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat bahwa tanah mempunyai fungsi
sosial. Pengertian dari turun-temurun adalah Hak Milik atas tanah dapat
diwariskan kepada keturunan pemiliknya apabila si pemilik telah
meninggal.27 Pengertian dari terkuat adalah Hak Milik atas tanah tidak ada
batas waktunya, tidak seperti HGU, HGB, dan Hak Pakai.28 Pengertian dari
terpenuh adalah Hak Milik atas tanah memiliki ruang lingkup yang lebih luas,
27 Urip Santoso, 2012, Op. Cit., hlm. 92. 28 Ibid.
19
yaitu dapat digunakan untuk tempat tinggal atau tempat usaha.29 Sifat-sifat
Hak Milik atas tanah tersebut tidak berarti bahwa kepentingan pemilik tanah
adalah yang utama, melainkan juga harus diimbangi dengan kepentingan
masyarakat dan negara.30 Kepentingan masyarakat dan negara diwujudkan
dalam suatu tindakan untuk menjaga dan memelihara kesuburan dari tanah
yang dimiliki setiap orang, sehingga tercapainya tujuan pokok yaitu
kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan untuk seluruh masyarakat.
2. Peralihan Hak Milik atas tanah
Hak Milik dapat beralih dan dialihkan. Yang dimaksud Hak Milik
dapat beralih adalah melalui suatu peristiwa hukum, yaitu kematian pemilik
yang menyebabkan kepemilikan tanah beralih kepada ahli warisnya.31 Hak
Milik dapat beralih tidak akan dibahas lebih lanjut didalam penelitian ini,
karena fokus penelitian ini adalah Hak Milik yang dialihkan melalui jual-beli.
Hak Milik dialihkan melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan
dalam perusahaan, dan pembagian hak bersama (Pasal 37 ayat (1) PP No. 24
Tahun 1997 jo. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah). Hak milik dalam peralihannya harus didaftarkan, sesuai
dengan Pasal 19 UUPA.
3. Peralihan Hak Milik atas tanah melalui Jual-Beli
29 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hlm. 287. 30 Urip Santoso, 2012, Loc. Cit. 31 Ibid, hlm. 93.
20
Pengertian jual-beli tanah tidaklah diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Yang dimaksud jual-beli tanah dalam hukum adalah jual-beli hak
atas tanah, bukanlah jual-beli tanahnya, meskipun secara fisik pemilik
menguasai tanah tersebut.32 Effendi Perangin berpendapat bahwa istilah yang
benar bukanlah jual-beli tanah, melainkan jual-beli hak atas tanah.33 Menurut
Boedi Harsono, jual-beli tanah adalah,34
“perbuatan hukum yang berupa penyerahan Hak Milik (penyerahan tanah
untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli
menyerahkan harganya kepada penjual.”
sedangkan menurut Urip Santoso, jual beli tanah adalah35
“perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun untuk selama-lamanya oleh pemegang hak atas tanah atau pemilik
satuan rumah susun sebagai penjual kepada pihak lain sebagai pembeli, dan secara
bersamaan pihak pembeli menyerahkan sejumlah uang sebagai harga, yang besarnya
sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.”
Penulis berpendapat bahwa pengertian jual-beli tanah menurut Urip Santoso
lebih tepat karena jual-beli tanah tidak terbatas Hak Milik saja, melainkan
juga hak atas tanah yang lainnya.
Peralihan Hak Milik atas tanah melalui jual-beli termasuk dalam
kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, yaitu pendaftaran perubahan
dan pembebanan hak (Pasal 12 ayat (2) huruf a PP No. 24 Tahun 1997).
Peralihan Hak Milik atas tanah melalui jual-beli termasuk dalam kegiatan
pemeliharaan data pendaftaran tanah, yaitu pendaftaran perubahan dan
pembebanan hak karena adanya perubahan data yuridis dan atau data fisik
pada obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Adanya peralihan Hak
32 Urip Santoso, 2015, Op. Cit., hlm. 358. 33 Effendi Perangin, 1987, Praktek Jual Beli Tanah, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 8. 34 Urip Santoso, 2015, Op. Cit., hlm. 360. 35 Urip Santoso, 2016, Op. Cit., hlm. 119.
21
Milik atas tanah melalui jual-beli menyebabkan bergantinya nama pemilik
tanah dari penjual kepada pembeli jika tanah dijual seluruhnya, atau dapat
menyebabkan bergantinya nama pemilik tanah dari penjual kepada pembeli
untuk sebagian luas tanah jika tanah dijual hanya sebagian. Pelaksanaan
peralihan Hak Milik atas tanah melalui jual-beli dicatat oleh Kantor
Pertanahan setempat. Pencatatan tersebut tidak bersifat wajib, tetapi hanya
pilihan dari para pihak. Pencatatan peralihan Hak Milik atas tanah melalui
jual-beli di Kantor Pertanahan setempat, mengakibatkan adanya kepastian
hukum karena telah bergantinya data yuridis yang lama dengan data yuridis
yang baru.
Peralihan Hak Milik atas tanah melalui jual-beli memiliki beberapa
tahapan. Tahapan-tahapan peralihan Hak Milik atas tanah melalui jual-beli
terdiri dari pembuatan Akta Jual Beli oleh PPAT, pendaftaran peralihan hak,
dan penerbitan sertipikat.36 Pembuatan Akta Jual Beli oleh PPAT bersifat
wajib dalam peralihan Hak Milik atas tanah melalui jual-beli, jika ingin
didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat (Pasal 37 ayat (1) PP No. 24
Tahun 1997 jo. Pasal 95 ayat (1) huruf a PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997).
Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftarkan peralihan Hak Milik atas
tanah tanpa adanya Akta Jual Beli, tetapi harus dibuktikan dengan akta yang
kadar kebenarannya dianggap cukup (Pasal 37 ayat (2) PP No. 24 Tahun
1997). Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT kemudian diserahkan oleh
PPAT kepada Kantor Pertanahan setempat beserta dokumen-dokumen
36 Urip Santoso, 2015, Op. Cit., hlm. 372-378.
22
lainnya untuk pendaftaran peralihan hak. Kantor Pertanahan setelah
menerima Akta PPAT dan dokumen-dokumen lainnya, kemudian melakukan
pencatatan peralihan hak dalam Buku Tanah, Sertipikat, dan daftar lainnya.
Tahap terakhir setelah pencatatan peralihan hak adalah penyerahan sertipikat
yang dialihkan kepada pemilik yang baru atau kuasanya.
Peralihan Hak Milik atas tanah melalui jual-beli wajib mendapatkan
persetujuan dari Kepala Kantor Pertanahan. Peralihan Hak Milik atas tanah
yang belum mendapatkan persetujuan dari Kepala Kantor Pertanahan, akan
berakibat pada tidak dapat dilakukannya pendaftaran pada Kantor Pertanahan
setempat. Persetujuan Kepala Kantor Pertanahan setempat untuk dapat
dilakukannya peralihan Hak Milik atas tanah melalui jual-beli diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 14 Tahun 1960 tentang Permintaan
dan Pemberian Izin Pemindahan Hak atas Tanah. Aturan mengenai perlunya
persetujuan untuk dapat melakukan peralihan hak atas tanah dipertegas dalam
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan. Peralihan Hak Milik atas tanah
pertanian melalui jual-beli memerlukan ijin peralihan dari BPN melalui
Kanwil BPN (Pasal 18 huruf n dan Pasal 20 ayat (3) Peraturan Kepala BPN
No. 4 Tahun 2006) dan Kantor Pertanahan setempat (Pasal 68 huruf h dan
Pasal 70 ayat (2) Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2006).
4. Subjek dan Objek Jual-Beli Hak Milik atas tanah
23
Subjek dalam jual-beli Hak Milik atas tanah terdiri dari penjual dan
pembeli. Syarat yang harus dimiliki penjual untuk dapat menjual Hak Milik
atas tanahnya adalah telah dewasa dan tidak berada dalam pengampuan,
apabila hal tersebut dilanggar maka jual-beli tersebut dapat dibatalkan. 37
Penjual harus mendapat persetujuan suami atau istri untuk dapat menjual Hak
Milik atas tanah yang termasuk dalam harta bersama, selain itu penjual harus
mendapat persetujuan dari pemilik lainnya apabila tanah yang akan dijual
dimiliki secara bersama-sama, apabila hal tersebut dilanggar maka jual-beli
tersebut batal demi hukum.38 Syarat untuk dapat menjadi pembeli Hak Milik
atas tanah adalah pembeli merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) atau
Badan Hukum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak
Milik atas tanah. Pembeli Hak Milik atas tanah harus memperhatikan luas
tanah yang dimilikinya agar tidak melebihi batas maksimal yang dapat
dimiliki, selain itu apabila tanah yang akan dibeli merupakan tanah pertanian,
pembeli harus memperhatikan letak tanah dengan letak tempat tinggalnya,
sehingga tidak menimbulkan kepemilikan secara absentee.
Objek jual-beli Hak Milik atas tanah terdiri dari tanah pertanian atau
tanah non pertanian. Jual-beli Hak Milik atas tanah tidak hanya terbatas pada
Hak Miliknya saja, melainkan dapat meliputi benda-benda yang melekat di
atas tanah tersebut. Benda yang melekat di atas tanah pertanian adalah
tanaman-tanaman yang ditanami, sedangkan benda yang melekat di atas
37 Effendi Perangin, Op. Cit., hlm. 3-4. 38 Ibid, hlm. 2.
24
tanah non pertanian adalah bangunan yang ada di tanah tersebut. Benda yang
melekat di atas tanah dipisahkan dengan hak atas tanah dalam peralihannya,
sehingga dalam jual-beli Hak Milik atas tanah harus dipastikan mengenai
penjualan hak atas tanahnya saja dan atau termasuk benda di atasnya. 39
Pemisahan tersebut disebut dengan asas Pemisahan Horisontal.40
5. Hapusnya Hak Milik atas tanah
Hak milik hapus apabila tanahnya jatuh kepada negara atau tanahnya
musnah (Pasal 27 UUPA). Tanah jatuh kepada negara dapat terjadi karena
pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA, penyerahan secara sukarela
oleh pemiliknya, diterlantarkan, terkena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal
26 ayat (2) UUPA. Pasal 18 UUPA menetapkan bahwa Hak Milik atas tanah
dapat dicabut oleh Pemerintah apabila tanah tersebut diperlukan untuk
kepentingan umum, bangsa dan negara, dengan adanya pemberian ganti
kerugian yang layak terhadap pemiliknya. Yang dimaksud penyerahan secara
sukarela oleh pemiliknya adalah hibah, misalnya tanah wakaf. Tanah yang
dengan sengaja tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dari hak
atas tanahnya, dapat disebut dengan tanah yang diterlantarkan (Penjelasan
Pasal 27 UUPA). Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA menetapkan
bahwa apabila tanah Hak Milik diwariskan, diperjualbelikan, atau terjadinya
percampuran harta bersama dalam perkawinan dengan Warga Negara Asing,
maka Hak Milik atas tanah tersebut akan hapus. Tanah dapat musnah karena
adanya peristiwa alam, contohnya abrasi.
39 Ibid, hlm. 10. 40 Urip Santoso, 2012, Op. Cit., hlm. 12.
25
B. Tinjauan tentang Land Reform (Absentee)
Land Reform atau Agrarian Reform merupakan salah satu dasar dari
Hukum Agraria Nasional. Land Reform pada dasarnya berisi mengenai tanah
pertanian yang harus dikerjakan sendiri oleh pemiliknya secara aktif
(Penjelasan Umum II angka 7 UUPA). Land Reform mengubah struktur
kepemilikan dan penguasaan tanah yang lebih mencerminkan keadilan,
terutama terhadap petani.41 Land Reform bukanlah kebijakan dari Komunisme,
meskipun negara-negara komunis pernah menjalankannya. 42 Land Reform
secara konsep dan perumusannya telah baik, akan tetapi pada prakteknya tidak
berjalan lancar, sehingga menimbulkan tidak berjalannya program tersebut.43
1. Pengertian Land Reform
Menurut Urip Santoso, land reform adalah perubahan pengaturan
tentang pemilikan dan penguasaan tanah dari sebelum berlakunya UUPA ke
sistem UUPA.44 Land reform menurut Boedi Harsono, dalam buku Hukum
Agraria Kajian Komprehensif karya Urip Santoso, terbagi dalam arti sempit
dan dalam arti luas.45 Land reform dalam arti sempit merupakan serangkaian
tindakan dalam rangka Agrarian Reform. Land reform dalam arti luas
merupakan program-program dalam Agrarian Refom selain dari perombakan
mengenai pemilikan dan penguasaan tanah. A. P. Parlindungan berpendapat
bahwa istilah Land Reform lebih digunakan dalam sikap politik untuk
memenangkan massa, sedangkan istilah Agrarian Reform dalam arti sempit
41 Achmad Sodiki, Op. Cit, hlm. 130. 42 Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 405. 43 Achmad Sodiki, Op. Cit, hlm. 134. 44 Urip Santoso, 2012, Op. Cit., hlm. 207. 45 Ibid.
26
lebih digunakan untuk meningkatkan taraf hidup petani. 46Achmad Sodiki
mengatakan bahwa program Land Reform hanya berjalan selama 5 tahun,
meskipun ia tidak menyebutkan secara rinci tentang rentang waktu tersebut.47
2. Program dan Asas-Asas Land Reform
Program land reform berjumlah enam. Program-program land reform
terdiri dari larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas,
larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee, redistribusi tanah,
pengaturan pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan,
pengaturan perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan penetapan batas
minimum kepemilikan tanah pertanian beserta larangan untuk melakukan
perbuatan yang mengakibatkan tanah pertanian kurang dari batas minimum.48
Larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas, penetapan
batas minimum kepemilikan tanah pertanian, larangan untuk melakukan
perbuatan yang mengakibatkan tanah pertanian kurang dari batas minimum,
dan pengaturan pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang
digadaikan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian. Larangan pemilikan tanah pertanian secara
absentee dan redistribusi tanah, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang
Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1960
46 A. P. Parlindungan, 2008, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju,
Bandung, hlm. 79. 47 Achmad Sodiki, Loc. Cit. 48 Urip Santoso, 2012, Op. Cit., hlm. 213.
27
tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Pengaturan perjanjian bagi hasil tanah pertanian diatur dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Asas-asas land reform dimuat dalam Pasal 7, 17, 11, dan 10 UUPA.
Menurut van Eikema Hommes, asas-asas hukumlah yang menjadi arah dalam
pembentukan hukum positif, sehingga program-program land reform dalam
pembentukan dan pelaksanaannya didasari asas-asas hukum land reform.49
Program-program land reform berasaskan penghapusan tuan tanah,
pembatasan luas maksimum dan minimum tanah, larangan pemerasan orang
lain terhadap pengerjaan tanah pertanian, dan kewajiban untuk mengerjakan
secara aktif dan mandiri tanah pertanian.50 Larangan untuk menguasai tanah
pertanian yang melampaui batas, berasaskan penghapusan tuan tanah,
pembatasan luas maksimum dan minimum tanah, larangan pemerasan orang
lain terhadap pengerjaan tanah pertanian, dan kewajiban untuk mengerjakan
secara aktif dan mandiri tanah pertanian. Larangan pemilikan tanah pertanian
secara absentee, berasaskan kewajiban untuk mengerjakan secara aktif dan
mandiri tanah pertanian. Pengaturan pengembalian dan penebusan tanah
pertanian yang digadaikan dan pengaturan perjanjian bagi hasil tanah
pertanian, berasaskan larangan pemerasan orang lain terhadap pengerjaan
tanah pertanian. Penetapan batas minimum kepemilikan tanah pertanian,
redistribusi tanah, dan larangan untuk melakukan perbuatan yang
49 Sudikno Mertokusumo, 2014, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, hlm. 42. 50 Urip Santoso, 2012, Op. Cit., hlm. 208-209.
28
mengakibatkan tanah pertanian kurang dari batas minimum, berasaskan
pembatasan luas minimum tanah.
3. Tujuan Land Reform
Tujuan land reform tidak dijelaskan oleh peraturan-perundang-
undangan, sehingga untuk mengetahuinya dapat melihat pada pandangan para
ahli. Urip Santoso berpendapat bahwa tujuan akhir dari program land reform
adalah penggunaan tanah untuk menciptakan kemakmuran rakyat yang
sebesar-besarnya.51 Adrian Sutedi dalam bukunya Urip Santoso menyebutkan
bahwa program Land Reform mempunyai 3 tujuan utama, yaitu tujuan Sosial
Ekonomis, Sosial Politik, dan Sosial Psikologis.52 Sosial Ekonomis bertujuan
untuk mempertinggi penghasilan di bidang pertanian dengan memperkuat
Hak Milik atas tanah dan memberi fungsi sosial. Sosial politik bertujuan
supaya adanya pembagian yang adil atas tanah pertanian dengan cara
menghapuskan tuan tanah besar, sehingga setiap orang memperoleh
kesempatan yang sama untuk mencapai kesejahteraan. Sosial psikologis
bertujuan untuk memperbaiki hubungan kerja antara petani penggarap dengan
majikannya sehingga meningkatkan gairah kerja dan harga diri petani
penggarap. Tujuan land reform menurut Boedi Harsono adalah untuk
memperbaiki penghasilan dan taraf hidup petani, terutama petani kecil dan
petani penggarap, sesuai dengan pembangunan ekonomi yang adil dan
makmur, berdasarkan Pancasila. 53 Boedi Harsono dapat menyimpulkan
tujuan land reform seperti itu, karena mengacu pada pernyataan-pernyataan
51 Ibid, hlm. 212. 52 Ibid, hlm. 211. 53 Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 367.
29
Dewan Pertimbangan Agung, Menteri Agraria Sadjarwo, Pidato JAREK
(Jalannya Revolusi Kita, yaitu Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960), Tap
MPRS, Wakil Perdana Menteri Bidang Ekubang Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, dan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud tanggal 3 Juli 1973.54
4. Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee
Yang dimaksud pemilikan tanah pertanian secara absentee adalah
pemilikan tanah pertanian yang letaknya berada di luar kecamatan tempat
tinggal pemilik tanah.55 Seseorang yang akan membeli tanah pertanian, wajib
bertempat tinggal di kecamatan letak tanah pertanian yang akan dibelinya.
Yang dimaksud bertempat tinggal di kecamatan letak tanah pertanian tidak
hanya sekedar tercantum secara formal didalam KTP, tetapi secara nyata
telah hidup dan menjalankan kegiatannya di kecamatan letak tanah pertanian
tersebut.56 Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di kecamatan letak
tanah pertanian yang dimilikinya, diharapkan mampu mengerjakan tanah
pertanian tersebut secara aktif, sehingga hasil dari pertaniannya dapat
bermanfaat untuk dirinya, masyarakat, dan negara. Pemilik tanah pertanian
sulit untuk mengerjakan tanahnya apabila letak tanahnya di luar kecamatan
tempat tinggalnya, karena letaknya yang jauh dari tempat tinggalnya.
Kesulitan pemilik tanah pertanian untuk mengerjakan tanahnya secara aktif
dapat menimbulkan dampak negatif, yaitu tanah pertanian tersebut menjadi
tidak produktif dan atau pemilik tanah akan memperkerjakan orang lain untuk
mengerjakan tanah tersebut, dengan menggunakan cara-cara pemerasan.
54 Ibid, hlm. 364. 55 Urip Santoso, 2012, Op. Cit, hlm. 218. 56 Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 386.
30
Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee diatur dalam
Pasal 10 UUPA, Pasal 1 huruf b dan Pasal 3 PP No. 224 Tahun 1961. Sanksi
terhadap seseorang yang memiliki tanah pertanian secara absentee adalah
tanah tersebut akan diambil oleh Negara. Negara akan memberikan ganti
kerugian kepada pemilik tanah absentee atas pengambilan tersebut.
Pemberian ganti kerugian atas pengambilan tanah absentee diatur dalam PP
No. 224 Tahun 1961 jo. Keputusan Kepala BPN No. 4 Tahun 1992. PP No.
224 Tahun 1961 menetapkan bahwa jumlah ganti kerugian dihitung
berdasarkan hasil bersih rata-rata selama 5 tahun terakhir dengan
degresivitas. Cara menghitung ganti kerugiannya yaitu, untuk 5 hektar
pertama tiap hektarnya dikali 10 kali hasil bersih setahun, untuk 5 hektar
yang kedua, ketiga dan keempat tiap hektarnya dikali 9 kali hasil bersih
setahun, untuk yang selebihnya tiap hektarnya dikali 7 kali hasil bersih
setahun. Keputusan Kepala BPN No. 4 Tahun 1992 menetapkan bahwa ganti
kerugian yang akan diberikan kepada pemilik tanah absentee didasarkan
Pasal 6 PP No. 224 Tahun 1961, dengan ketentuan setinggi-tingginya Rp.
3.500.000,00 per hektar. Tanah yang diambil oleh Negara kemudian akan
dibagikan (diredistribusikan) kepada petani yang tidak mempunyai lahan
garapan, sesuai dengan Pasal 1 PP No. 224 Tahun 1961.57
Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee dikecualikan
terhadap orang-orang yang sedang menjalankan tugas Negara, menunaikan
kewajiban agama, adanya alasan khusus lainnya yang dapat diterima oleh
57 Urip Santoso, 2012, Op. Cit., hlm. 209.
31
Kepala BPN, dan pegawai negeri (PNS) atau pejabat militer (TNI) yang
sedang menjalankan tugas Negara. Perkecualian tersebut diatur dalam PP No.
224 Tahun 1961 jis. PP No. 41 Tahun 1964 dan PP No. 4 Tahun 1977. Pasal
3b ayat (1) PP No. 41 Tahun 1964 mengatur bahwa anggota PNS atau TNI
yang telah selesai menjalankan tugas Negara dan mempunyai tanah pertanian
secara absentee, wajib mengalihkan kepemilikan tanah tersebut atau
berpindah tempat tinggal di kecamatan tempat letak tanah tersebut agar tidak
menimbulkan kepemilikan secara absentee. Pengecualian terhadap anggota
PNS atau TNI hanya sebatas ketika mereka masih menjalankan tugas Negara.
Adanya PP No 4 Tahun 1977 membuat pensiunan PNS atau TNI tetap dapat
memiliki tanah pertanian secara absentee, bahkan para janda anggota PNS
atau TNI juga dapat memiliki tanah pertanian secara absentee selama ia tidak
menikah lagi. PP No. 4 Tahun 1977 juga mengatur bahwa anggota PNS atau
TNI yang dua tahun menjelang pensiun, dapat membeli tanah pertanian
secara absentee yang luasnya tidak melebihi dua perlima dari batas
maksimum penguasaan tanah.
5. Penyelundupan Hukum
Penyelundupan hukum digunakan untuk melanggar ketentuan hukum.
Salah satu cara yang digunakan untuk melanggar larangan pemilikan tanah
pertanian secara absentee adalah dengan menggunakan Kuasa Mutlak. Kuasa
Mutlak adalah pemberian kuasa oleh pemberi kuasa (penjual tanah pertanian)
kepada penerima kuasa (pembeli tanah pertanian) terhadap objek kuasa
32
(tanah pertanian) dan kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali.58 Penerima
kuasa diberikan kuasa mutlak untuk menggunakan dan menguasai suatu
tanah pertanian tanpa perlu persetujuan dari pemberi kuasa. Kuasa Mutlak
digunakan agar sertifikat tanah tetap atas nama pemberi kuasa, tidak perlu
membayar biaya jual-beli termasuk dalam pendaftarannya, penerima kuasa
dapat menguasai objek kuasa (tanah pertanian) layaknya pemiliknya, dan
terhindar dari larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee.59 Larangan
penyelundupan hukum melalui Kuasa Mutlak diatur dalam Instruksi Menteri
Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaaan Kuasa
Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas Tanah.
C. Tinjauan tentang PPAT
PPAT diatur oleh PP No. 37 Tahun 1998 jo. PP No. 24 Tahun 2016.
Peraturan pelaksana yang mengatur tentang PPAT adalah Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1996
tentang Formasi Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. PPAT dapat merangkap
jabatan sebagai Notaris di tempat kedudukan Notaris, tetapi PPAT berbeda
dengan Notaris. PPAT diangkat oleh Kepala BPN, sehingga yang berwenang
memberhentikan mereka adalah Kepala BPN.60 Notaris diangkat oleh Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), sehingga yang berwenang
58 Maria S. W. Sumardjono, Loc. Cit. 59 Effendi Perangin, Op. Cit., hlm. 94. 60 Urip Santoso, 2015, Op. Cit., hlm. 328.
33
memberhentikan mereka adalah Menkumham. Daerah Kerja PPAT diatur
dalam Pasal 12 PP No. 24 Tahun 2016. Daerah kerja PPAT adalah seluas satu
Provinsi tempat kantor PPAT tersebut berada.
1. Jenis-Jenis PPAT
PPAT terbagi menjadi 3 jenis menurut PP No. 37 Tahun 1998 jo. PP
No. 24 Tahun 2016, yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT Sementara,
dan PPAT Khusus. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun. PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di
daerah yang belum cukup terdapat PPAT. PPAT Khusus adalah Pejabat
Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk
melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus
dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu. Pasal 5
ayat (3) huruf a PP No. 37 Tahun 1998 menetapkan bahwa yang dimaksud
PPAT Sementara adalah Camat atau Kepala Desa, sedangkan Pasal 5 ayat (3)
huruf b PP No. 37 Tahun 1998 menetapkan bahwa yang dimaksud PPAT
Khusus adalah Kepala Kantor Pertanahan.
2. Tugas PPAT
Tugas PPAT diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.
37 Tahun 1998 jo. PP No. 24 Tahun 2016 dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Kepala BPN No. 1 Tahun 2006. Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan
34
sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuatkan akta sebagai bukti
telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh
perbuatan hukum itu. Urip Santoso berpendapat bahwa kegiatan yang
menjadi tugas pokok PPAT adalah kegiatan pemeliharaan data pendaftaran
tanah jika dilihat dari Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998. 61 PPAT
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, karena PPAT hanya
bertugas untuk membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melakukan
pendaftaran tanah dengan melakukan kegiatan-kegiatan tertentu (Pasal 6 ayat
(2) PP No. 24 Tahun 1997). Urip Santoso berpendapat bahwa yang dimaksud
perbuatan hukum menurut Pasal 2 PP No. 37 Tahun 1998 adalah perbuatan
yang dilakukan oleh para pihak mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun yang menimbulkan pemberian hak, pembebanan hak,
dan pemindahan hak.62 Perbuatan hukum yang dibuatkan akta oleh PPAT
adalah jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan,
pembagian hak bersama, pemberian HGB/Hak Pakai atas tanah Hak Milik,
pemberian Hak Tanggungan, dan pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan (Pasal 2 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998).
3. Kewenangan PPAT
Kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 37 Tahun
1998 jo. PP No. 24 Tahun 2016 dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala BPN
61 Ibid, hlm. 344. 62 Ibid, hlm. 340.
35
No. 1 Tahun 2006. Pasal 3 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 menetapkan
bahwa, PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai
semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
mengenai hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang
terletak di dalam daerah kerjanya. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala BPN No.
1 Tahun 2006 menetapkan bahwa, PPAT mempunyai kewenangan membuat
akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
Pengertian akta otentik secara teoretis adalah surat atau akta yang dibuat
secara resmi dengan tujuan untuk pembuktian, sedangkan pengertian akta
otentik secara dogmatis adalah:63
“akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh atau di
hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta
dibuatnya”. (terjemahan Soebekti dari Pasal 1868 KUH Perdata)
PPAT mempunyai wewenang membuat akta otentik karena PPAT adalah
pejabat umum (Penjelasan Pasal 3 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998). Akta
yang dibuatkan PPAT untuk menjadi dasar dalam pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah adalah Akta Jual-Beli, Akta Tukar-Menukar, Akta Hibah,
Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan, Akta Pembagian Hak Bersama, Akta
Pemberian Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas
63 Sudikno Mertokusumo, 2015, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi, Cahaya Atma
Pustaka, Yogyakarta, hlm. 162.
36
Tanah Hak Milik, dan Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
(Pasal 95 ayat (1) PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997).
4. Akta Jual-Beli PPAT
Akta Jual-Beli dibuat oleh PPAT untuk menjadi dasar dalam
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah karena dilakukannya peralihan
hak atas tanah melalui jual-beli. Akta Jual Beli tidak hanya terbatas pada
peralihan Hak Milik atas tanah saja, melainkan juga termasuk peralihan
HGU, HGB, dan Hak Pakai atas tanah (Pasal 16 ayat (2) huruf a, Pasal 34
ayat (2) huruf a, dan Pasal 54 ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah). PPAT sebelum membuatkan Akta
Jual-Beli, wajib melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai
kesesuaian data fisik dan data yuridis yang tercantum pada sertipikat yang
bersangkutan dengan data yang terdapat di Kantor Pertanahan (Pasal 97 ayat
(1) PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997). Calon penerima hak atas tanah
sebelum dibuatkan Akta Jual Beli oleh PPAT, wajib membuat pernyataan
bahwa dengan pemindahan hak tersebut yang bersangkutan tidak menjadi
pemegang hak atas tanah absentee dan apabila pernyataan tersebut tidak
benar, maka tanah absentee tersebut akan menjadi obyek Land Reform dan
yang bersangkutan bersedia menerima semua akibat hukumnya. 64 Calon
penerima hak atas tanah tidak diwajibkan untuk membuat pernyataan dengan
jujur, tetapi akibat dari perbuatan tersebut menjadi tanggungjawab dari calon
64 Urip Santoso, 2015, Op. Cit., hlm. 344-345.
37
penerima hak atas tanah. PPAT tidak bertanggungjawab apabila tanah yang
menjadi obyek peralihan tersebut diambil oleh Negara tanpa adanya ganti
kerugian.
5. Larangan PPAT
PPAT dilarang untuk melakukan beberapa perbuatan dan apabila ia
melanggarnya maka akan mendapat sanksi. Perbuatan-perbuatan yang
dilarang dilakukan oleh PPAT berjumlah 12. 65 PPAT dilarang untuk
membuatkan akta apabila para pihak dan atau saksi tidak memenuhi syarat
untuk melakukannya (Pasal 39 ayat (1) huruf c PP No. 24 Tahun 1997),
PPAT dilarang membuatkan akta apabila para pihak menggunakan surat
kuasa mutlak untuk memindahkan hak atas tanah (Pasal 39 ayat (1) huruf d
PP No. 24 Tahun 1997), PPAT dilarang membuatkan akta peralihan hak atas
tanah apabila para pihak belum mendapatkan izin dari pejabat atau instansi
yang berwenang (Pasal 39 ayat (1) huruf e PP No. 24 Tahun 1997), PPAT
dilarang membuatkan akta apabila objeknya sedang dalam sengketa (Pasal 39
ayat (1) huruf f PP No. 24 Tahun 1997), PPAT dilarang membuat akta hak
atas tanah di luar daerah kerjanya (Pasal 3 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 jo.
Pasal 3 ayat (1) Peraturan KBPN No. 1 Tahun 2006), PPAT dilarang
merangkap jabatan kecuali sebagai Notaris (Pasal 7 ayat (2) PP No. 37 Tahun
1998 jo. Pasal 7 ayat (2) PP No. 24 Tahun 2016), PPAT yang belum
mengucapkan sumpah dilarang menjalankan tugas sebagai PPAT (Pasal 18
ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998), PPAT dilarang mempunyai kantor lebih dari
65 Urip Santoso, 2016, Op. Cit., hlm. 106-107.
38
satu (Pasal 20 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 20 ayat (1) PP No 24
Tahun 2016), PPAT dilarang membuat akta untuk dirinya, suami atau
istrinya, keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus tanpa
pembatasan dan dalam garis kesamping sampai derajat kedua (Pasal 23 ayat
(1) PP No. 37 Tahun 1998), PPAT dilarang meninggalkan kantornya lebih
dari 6 hari kerja secara berturut-turut kecuali dalam rangka cuti (Pasal 30 ayat
(1) PP No 37 Tahun 1998), PPAT dilarang membuat akta selama cuti atau
diberhentikan sementara (Pasal 31 ayat (1) PP No. 24 Tahun 2016), dan
PPAT dilarang memungut uang jasa melebihi 1 persen dari harga transaksi
yang tercantum di akta (Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 2016). PPAT juga
dilarang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang termasuk pelanggaran
berat (Pasal 10 ayat (3) PP No. 24 Tahun 2016 jo. Pasal 28 ayat (4) Peraturan
Kepala BPN No. 1 Tahun 2006). Larangan-larangan terhadap PPAT wajib
ditaati agar tidak menimbulkan sanksi terhadap jabatannya. Sanksi yang
diberikan kepada PPAT yang melakukan pelanggaran adalah pemberhentian
terhadap jabatannya.
6. Pemberhentian PPAT yang Melanggar Larangan
Jenis pemberhentian PPAT oleh Menteri yang melanggar larangan
ada dua, yaitu pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan
tidak hormat. PPAT diberhentikan dengan hormat oleh Menteri/Kepala BPN
karena melakukan rangkap jabatan selain dari Notaris (Pasal 10 ayat (2) huruf
c PP No. 24 Tahun 2016). PPAT diberhentikan dengan tidak hormat karena
melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai
39
PPAT dan atau dijatuhi pidana penjara yang telah inkracht yang ancamannya
lima tahun atau lebih, sesuai dengan Pasal 10 ayat (3) PP No. 24 Tahun 2016.
Pelanggaran berat PPAT diatur pada Pasal 10 ayat (3) PP No. 24 Tahun 2016
jo. Pasal 28 ayat (4) Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006. Pelanggaran
berat PPAT terdiri dari sebelas macam. Pembuatan akta di luar daerah kerja,
membuka kantor lebih dari satu, dan membuat akta selama cuti atau
diberhentikan sementara termasuk dalam pelanggaran berat yang dapat
mengakibatkan pemberhentian PPAT dengan tidak hormat.
D. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Bantul merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Utara Kabupaten Bantul berbatasan dengan Kota
Yogyakarta, selatan Kabupaten Bantul berbatasan dengan Samudra
Indonesia, barat Kabupaten Bantul berbatasan dengan Kabupaten Kulon
Progo, dan timur Kabupaten Bantul berbatasan dengan Kabupaten Gunung
Kidul.66 Kabupaten Bantul dialiri oleh enam sungai yang mengalir sepanjang
tahun, yang terdiri dari Sungai Oyo, Sungai Opak, Sungai Code, Sungai
Winongo, Sungai Bedog, dan Sungai Progo.67 Kabupaten Bantul terdiri dari
17 kecamatan, 75 desa, dan 933 pedukuhan.68 Kecamatan-kecamatan yang
terdapat di Kabupaten Bantul memiliki tanah yang dapat digunakan untuk
66 https://bantulkab.go.id/profil/sekilas_kabupaten_bantul.html, diakses pada tanggal 23 Februari
2018 pada pukul 09.16 WIB. 67 https://www.bantulkab.go.id/profil/sekilas_kabupaten_bantul.html, diakses pada tanggal 5
Desember 2017 pada pukul 14.19 WIB. 68 https://www.bantulkab.go.id/datapokok/0402_pembagian_administratif.html, diakses pada
tanggal 5 Desember 2017 pada pukul 14.27 WIB.
40
pemukiman, sawah, tegal, kebun campur, hutan, tambak, dan lain-lain. 69
Berikut ini adalah data mengenai jumlah desa, dusun dan luas kecamatan di
Kabupaten Bantul dan data mengenai penggunaan lahan di Kabupaten
Bantul.
Tabel 1.
Jumlah Desa, Dusun dan Luas Kecamatan di Kabupaten Bantul
Sumber : Data Primer, 2014.
69 https://www.bantulkab.go.id/datapokok/0410_penggunaan_lahan.html, diakses pada tanggal 5
Desember 2017 pada pukul 14.25 WIB.
No Kecamatan Jumlah Desa Jumlah Dusun Luas (Km2)
1. Srandakan 2 43 18,32
2. Sanden 4 62 23,16
3. Kretek 5 52 26,77
4. Pundong 3 49 24,30
5. Bambanglipuro 3 45 22,70
6. Pandak 4 49 24,30
7. Pajangan 3 55 33,25
8. Bantul 5 50 21,95
9. Jetis 4 64 21,47
10. Imogiri 8 72 54,49
11. Dlingo 6 58 55,87
12. Banguntapan 8 57 28,48
13. Pleret 5 47 22,97
14. Piyungan 3 60 32,54
15. Sewon 4 63 27,16
16. Kasihan 4 53 32,38
17. Sedayu 4 54 34,36
Jumlah 75 933 504,47
41
Tabel 2.
Penggunaan Lahan di Kabupaten Bantul Tahun 2013
No Kecamatan Jenis Penggunaan Lahan (Ha)
Jumlah Pemukiman Sawah Lain-lain
1 Bambanglipuro 174,91 1.164,99 111,09 2.270
2 Banguntapan 412,89 1.350,92 352,29 2.297
3 Bantul 169,62 1.217,79 115,60 2195
4 Dlingo 121,55 261,00 888,03 5587
5 Imogiri 238,70 923,44 761,87 5.449
6 Jetis 406,58 1.384,20 38,33 2447
7 Kasihan 543,89 866,76 145,73 3283
8 Kretek 38,12 955,36 701,96 2677
9 Pajangan 111,85 282,15 202,85 3325
10 Pandak 89,55 985,40 248,05 2.430
11 Piyungan 333,45 1.327,57 318,23 3254
12 Pleret 232,21 720,57 352,29 2297
13 Pundong 82,38 875,99 220,13 2368
14 Sanden 51,50 837,37 289,12 2316
15 Sedayu 272,82 977,90 262,70 3436
16 Sewon 472,84 1.417,62 174,66 2716
17 Srandakan 75,21 484,57 396,22 1832
Jumlah 3828,07 16033,63 5634,07 50685
Presentase 7,56 31,633 11,11 100,0
Sumber : Data Primer, 2013.
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa Kecamatan Sewon merupakan
kecamatan dengan jumlah luas tanah untuk pertanian yang paling luas,
sedangkan Kecamatan Dlingo merupakan kecamatan dengan jumlah luas
tanah untuk pertanian yang paling kecil.
Berdasarkan wawancara dengan Kepala Seksi Statistik Produksi
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bantul, diperoleh data mengenai
jumlah petani, luas tanah pertanian, dan hasil pertanian. Jumlah petani di
42
Kabupaten Bantul mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya karena
beralih ke sektor non pertanian. Penurunan jumlah petani juga berkaitan
dengan penurunan jumlah luas tanah pertanian. Luas tanah pertanian di
Kabupaten Bantul mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya karena
adanya alih fungsi tanah pertanian menjadi pemukiman penduduk. Penurunan
jumlah petani dan luas tanah pertanian di Kabupaten Bantul mengakibatkan
hasil pertanian mengalami penurunan. Hasil pertanian mengalami penurunan
karena berkurangnya luas tanah pertanian, tetapi produktivitas tetap dapat
ditingkatkan. Produksi tanaman pangan khususnya padi, di Kabupaten Bantul
dapat mencukupi kebutuhan pangan di Kabupaten Bantul, jika dilihat dari
data produksi tanaman pangan. Perkembangan Kabupaten Bantul dalam
jaman modernisasi jika dilihat dari sektor ekonomi, beralih dari pertanian ke
industri, perdagangan, dan jasa.
2. Data Responden
Responden dalam penelitian ini adalah PPAT yang daerah kerjanya di
Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan pernah
membuat akta peralihan Hak Milik atas tanah pertanian melalui jual beli.
Jumlah PPAT yang merupakan responden dalam penelitian ini adalah
sepuluh orang. Tidak adanya spesifikasi khusus dalam memilih PPAT yang
dijadikan responden. Kemauan pihak PPAT merupakan dasar pertimbangan
pemilihan PPAT menjadi responden, karena tidak semua PPAT bersedia
menjadi responden.
43
3. Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Peralihan Hak Milik atas
tanah Pertanian Melalui Jual Beli agar Tidak Menimbulkan Pemilikan Tanah
Pertanian secara Absentee di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta
Untuk mengetahui peran PPAT dalam peralihan Hak Milik atas tanah
pertanian melalui jual beli agar tidak menimbulkan pemilikan tanah pertanian
secara absentee di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
maka diajukan beberapa daftar pertanyaan. Daftar pertanyaan yang diajukan
kepada masing-masing responden berjumlah sebelas pertanyaan. Jawaban
dari para responden atas pertanyaan-pertanyaan tersebut diuraikan sebagai
berikut.
a. Para responden PPAT pernah membuat akta jual beli mengenai peralihan
Hak Milik atas tanah pertanian.
Salah satu peraturan pelaksana yang mengatur tentang PPAT adalah
Peraturan KBPN No. 1 Tahun 2006. Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan
KBPN No. 1 Tahun 2006 mengatur bahwa PPAT bertugas untuk membuat
akta atas dilakukannya suatu perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah, dan salah satu perbuatan hukum tersebut adalah jual beli hak atas
tanah. Pasal 3 Peraturan KBPN No. 1 Tahun 2006 mengatur bahwa PPAT
mempunyai kewenangan untuk membuat akta mengenai suatu perbuatan
hukum hak atas tanah yang berada di daerah kerjanya. Pasal 5 ayat (1)
Peraturan KBPN No. 1 Tahun 2006 mengatur bahwa daerah kerja PPAT
adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan. Pasal 56-57 Peraturan KBPN
44
No. 1 Tahun 2006 mengatur tentang Buku Daftar Akta PPAT dimana
PPAT wajib membuat buku daftar semua akta yang pernah dibuatnya dan
buku tersebut harus diisi setiap hari kerja.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data sebagai
berikut. Jumlah responden PPAT yang pernah membuat akta jual beli tanah
pertanian adalah sepuluh orang. Persentase PPAT yang pernah membuat
akta jual beli tanah pertanian adalah 100% (seratus persen). Dari sepuluh
responden PPAT tersebut, terdapat dua PPAT (20%) yang sering membuat
akta jual beli tanah pertanian. Para responden tidak menyebutkan mengenai
jumlah akta jual beli tanah pertanian yang pernah dibuatnya beserta tahun
pembuatannya. Responden yang menyatakan bahwa mereka sering
membuat akta jual beli tanah pertanian tidak menyebutkan secara jelas
mengenai jumlah dari akta jual beli tanah pertanian yang pernah
dibuatnya. Para responden juga tidak menyebutkan mengenai kecamatan
letak tanah pertanian yang pernah dibuatkan akta jual belinya. Para
responden tidak menyebutkan mengenai jumlah, tahun pembuatan, dan
mengenai kecamatan letak tanah pertanian yang pernah dibuatkan akta jual
belinya karena sangat menyulitkan mereka dalam pencarian kembali data
tersebut, mengingat jumlah akta yang pernah mereka buat jumlahnya
sangat banyak dan terdiri dari berbagai macam akta.
Para responden PPAT tersebut telah sesuai dengan Peraturan KBPN
No. 1 Tahun 2006. Para responden PPAT tersebut membuat akta karena
dilakukannya suatu perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah,
45
yaitu jual beli hak atas tanah pertanian. Para responden PPAT membuat
akta berdasarkan jual beli hak atas tanah pertanian yang dilakukan di
daerah kerjanya, yaitu Kabupaten Bantul. Setiap akta jual beli hak atas
tanah yang telah dibuat oleh para responden PPAT, dicatat dalam Buku
Daftar Akta PPAT dengan tujuan untuk memudahkan pencarian data. Fakta
di lapangan menunjukan bahwa pencatatan tersebut tidak menjadikan
pencarian data dapat dengan mudah diperoleh. Pencarian data dalam Buku
Daftar Akta PPAT sulit dilakukan karena pencatatannya berdasarkan
tanggal pembuatannya, padahal buku tersebut memuat semua akta yang
pernah dibuat PPAT, tidak hanya memuat tentang akta jual beli hak atas
tanah pertanian, dimana urutannya sesuai dengan tanggal pembuatan akta
tersebut. Pencarian data dapat lebih mudah apabila pencatatan tersebut
didasarkan pada jenis akta dan tanggal pembuatannya.
b. Domisili para calon pembeli tanah terhadap kecamatan letak tanah
pertanian.
Tabel 3
Domisili Calon Pembeli Tanah Pertanian
No Keterangan Jumlah PPAT (orang) Persentase
(%)
1 Di Dalam Kecamatan 7 70
2 Di Luar Kecamatan 3 30
Jumlah 10 100
Sumber : Data Primer, 2018.
Salah satu peraturan tentang Landreform, khususnya mengenai
larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee adalah PP No. 224
Tahun 1961 jo. PP No. 41 Tahun 1964. Pasal 3 ayat (1) PP No. 224 Tahun
1961 jo. PP No. 41 Tahun 1964 mengatur bahwa pemilik tanah yang
46
bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, wajib
mengalihkan kepemilikannya kepada orang yang bertempat tinggal di
kecamatan tempat letak tanahnya, atau berpindah domisili ke kecamatan
tempat letak tanahnya. Pasal 3 ayat (4) PP No. 224 Tahun 1961 jo. PP No.
41 Tahun 1964 mengatur bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (1) dikecualikan
jika adanya suatu alasan tertentu. Salah satu alasan yang menyebabkan
pengecualian tersebut adalah untuk para pegawai negeri dan atau pejabat
militer yang sedang menjalankan tugas Negara. Tanah yang dimiliki oleh
orang yang berdomisili di luar kecamatan tempat letak tanahnya dan tidak
memenuhi Pasal 3 ayat (4) PP No. 224 Tahun 1961 jo. PP No. 41 Tahun
1964, maka tanahnya akan diambil oleh negara dengan adanya ganti
kerugian.
Para responden PPAT menyatakan bahwa calon pembeli tanah
pertanian selalu berdomisili di kecamatan letak tanah pertanian, meskipun
terdapat calon pembeli tanah pertanian yang berdomisili di luar kecamatan
letak tanah pertanian. Calon pembeli tanah pertanian yang berdomisili di
luar kecamatan letak tanah, dapat melakukan jual beli tanah pertanian,
karena calon pembeli tersebut merupakan Pegawai Negeri Sipil atau
pejabat militer yang sedang menjalankan tugas Negara. Responden yang
pernah membuatkan akta jual beli hak atas tanah untuk calon pembeli tanah
yang tidak berdomisili di kecamatan letak tanah pertanian berjumlah tiga
orang. Responden yang menyatakan selalu membuatkan akta jual beli hak
atas tanah untuk calon pembeli tanah yang berdomisili di kecamatan letak
47
tanah pertanian berjumlah tujuh orang. Persentase responden yang
menyatakan pernah membuatkan akta jual beli hak atas tanah untuk calon
pembeli tanah yang tidak berdomisili di kecamatan letak tanah pertanian
adalah 30% (tiga puluh persen). Persentase responden yang menyatakan
selalu membuatkan akta jual beli hak atas tanah untuk calon pembeli tanah
yang berdomisili di kecamatan letak tanah pertanian adalah 70% (tujuh
puluh persen).
Para responden PPAT telah melakukan sesuai dengan PP No. 224
Tahun 1961 jo. PP No. 41 Tahun 1964. Responden PPAT membuatkan
akta jual beli hak atas tanah pertanian kepada para pihak yang
diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan. Calon pembeli tanah
pertanian yang berdomisili di luar kecamatan tempat letak tanah pertanian
yang akan dibelinya, tetap dapat membelinya apabila ia merupakan
pegawai negeri atau pejabat militer yang sedang menjalankan tugas
Negara. Akta jual beli yang dibuat oleh PPAT akan dijadikan dasar dalam
pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan setempat. Tanpa adanya akta jual
beli yang dibuat oleh PPAT, pendaftaran tanah tidak dapat dilakukan.
c. Para responden selalu memeriksa KTP dari para pihak yang akan
melakukan jual beli tanah pertanian.
Peraturan pelaksana terkait dengan jual beli Hak Milik atas tanah
pertanian adalah PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997. Pasal 103 ayat (2)
huruf d dan e PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997, mengatur bahwa PPAT
wajib menyerahkan bukti identitas dari para pihak yang akan melakukan
48
jual beli tanah pertanian ke Kantor Pertanahan setempat. Salah satu
dokumen yang diserahkan kepada PPAT ke Kantor Pertanahan setempat
adalah bukti identitas pihak yang mengalihkan hak dan bukti identitas
penerima hak. Yang dimaksud dengan bukti identitas adalah Kartu Tanda
Penduduk (KTP). Bukti identitas dari para pihak menjadi salah satu syarat
untuk dapat dilakukannya pendaftaran tanah. Tidak adanya bukti identitas
dari para pihak akan mengakibatkan ditolaknya permintaan untuk
pendaftaran tanah.
Jumlah responden PPAT yang melakukan pemeriksaan KTP dari
para pihak adalah sepuluh orang. Persentase jumlah responden yang
melakukan pemeriksaan KTP dari para pihak adalah 100% (seratus
persen). Pemeriksaan tersebut hanya bersifat prosedural, karena para
responden tidak mungkin dapat mengetahui apabila para pihak mempunyai
KTP lebih dari satu (ganda). Responden yang menjawab bahwa tidak
mungkin untuk mengetahui apabila para pihak mempunyai KTP lebih dari
satu (ganda), adalah berjumlah sepuluh orang. Persentase responden yang
menjawab bahwa tidak mungkin untuk mengetahui apabila para pihak
mempunyai KTP lebih dari satu (ganda) adalah 100% (seratus persen).
Para responden PPAT telah melakukan ketentuan dari
PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997. Para responden PPAT selalu
memeriksa KTP dari para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas
tanah. Para responden PPAT memeriksa KTP hanya sebatas memeriksa
tulisan dan foto yang tercantum di KTP, tetapi tidak memeriksa mengenai
49
kebenaran materiilnya. Para responden sebagai PPAT tidak mempunyai
wewenang untuk memeriksa kebenaran materiil dari KTP para pihak.
Tujuan dari pemeriksaan KTP tersebut adalah untuk memastikan
kebenaran identitas para pihak dan untuk memastikan domisili para pihak
dengan letak tanah pertanian yang diperjualbelikan. Pemeriksaan domisili
yang tercantum dalam KTP para pihak dapat mencegah pemilikan tanah
pertanian secara absentee, meskipun hal tersebut dapat disimpangi dengan
adanya kepemilikan KTP lebih dari satu (ganda) yang data domisilinya
berbeda. Adanya KTP ganda yang data domisilinya berbeda dapat
digunakan untuk memiliki tanah pertanian secara absentee. Para responden
meyakini bahwa kepemilikan KTP lebih dari satu (ganda) tidak mungkin
untuk dilakukan karena telah adanya KTP elektronik, tetapi fakta di
lapangan menunjukan bahwa belum semua masyarakat telah mendapat
KTP elektronik.
d. Empat responden PPAT melakukan pemeriksaan letak tanah yang akan
diperjualbelikan, sedangkan enam responden PPAT tidak melakukan
pemeriksaan letak tanah yang akan diperjualbelikan.
Tabel 4
Pemeriksaan Letak Tanah Pertanian
No Keterangan Jumlah PPAT
(orang)
Persentase
(%)
1 Langsung ke Lapangan 4 40
2 Tidak ke Lapangan 6 60
Jumlah 10 100
Sumber : Data Primer, 2018.
Para responden PPAT dalam melakukan pemeriksaan letak tanah
yang akan diperjualbelikan dibagi menjadi dua, yaitu PPAT yang
50
melakukan pemeriksaan letak tanah dan PPAT yang tidak melakukan
pemeriksaan letak tanah. Jumlah responden yang memeriksa letak tanah
pertanian secara langsung adalah empat orang. Jumlah responden yang
tidak memeriksa letak tanah pertanian secara langsung adalah enam orang.
Persentase dari jumlah responden yang memeriksa letak tanah pertanian
secara langsung adalah 40% (empat puluh persen). Persentase dari jumlah
responden yang tidak memeriksa letak tanah pertanian secara langsung
adalah 60% (enam puluh persen).
Pemeriksaan letak tanah pertanian tersebut hanya sebatas untuk
menentukan titik koordinat tanah (ploting). Ploting bukan untuk mencegah
kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Ploting tidak dapat mencegah
kepemilikan tanah pertanian secara absentee, tetapi dapat mencegah
terjadinya sertipikat ganda. Kepemilikan tanah secara absentee dapat
diatasi dengan adanya pendaftaran secara sistematik. Pemeriksaan (ploting)
tersebut merupakan suatu ketentuan baru karena adanya kemajuan
teknologi. Salah satu responden menyatakan bahwa dalam melakukan
ploting, ia hanya menggunakan aplikasi pada handphone, yaitu aplikasi
Global Positioning System (GPS). Mudahnya memiliki handphone
beraplikasi GPS tidak membuat seluruh responden PPAT melakukan
pemeriksaan letak tanah pertanian. Tidak diketahui dengan pasti alasan
responden PPAT tidak melakukan pemeriksaan ke lokasi atau letak tanah
yang akan diperjualbelikan.
51
e. Pengetahuan responden PPAT tentang penggunaan Kuasa Mutlak untuk
melakukan penyelundupan hukum.
Tabel 5
Pemeriksaan Kuasa Mutlak untuk Penyelundupan Hukum
No Keterangan Jumlah PPAT
(orang)
Persentase
(%)
1 Dapat Mengetahui 7 70
2 Tidak Dapat Mengetahui 3 30
Jumlah 10 100
Sumber : Data Primer, 2018.
Kuasa Mutlak yang pada hakekatnya dipergunakan untuk
memindahkan hak atas tanah adalah dilarang. Pelarangan Kuasa Mutlak
diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982
tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas
Tanah. Pengertian Kuasa Mutlak menurut peraturan tersebut adalah kuasa
yang mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa,
dan memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan
menggunakan tanahnya, serta melakukan segala perbuatan hukum yang
menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya. Kuasa Mutlak
yang dimaksud dalam peraturan tersebut dapat digunakan untuk melanggar
ketentuan larangan pemilikan tanah secara absentee. Pihak pemberi kuasa
(penjual) memberikan kuasa mutlak kepada pihak penerima kuasa
(pembeli) yang berdomisili di luar kecamatan tempat letak tanah, untuk
menguasai dan menggunakan tanahnya, serta dapat melakukan segala
perbuatan hukum, dimana penerima kuasa menyerahkan sejumlah uang
kepada pemberi kuasa dan kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali oleh
52
pemberi kuasa. Pemberian kuasa yang seperti itu pada dasarnya adalah jual
beli hak atas tanah pertanian secara absentee.
PPAT selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah dilarang untuk
menguatkan kuasa tersebut. Jumlah responden PPAT yang tidak
mengetahui para pihak melakukan penyelundupan hukum dengan Kuasa
Mutlak adalah tiga orang. Jumlah responden yang dapat mengetahui para
pihak melakukan penyelundupan hukum dengan Kuasa Mutlak adalah
tujuh orang. Persentase jumlah responden yang tidak mengetahui para
pihak melakukan penyelundupan hukum dengan Kuasa Mutlak adalah 30%
(tiga puluh persen). Persentase jumlah responden yang dapat mengetahui
para pihak melakukan penyelundupan hukum dengan Kuasa Mutlak adalah
70% (tujuh puluh persen).
PPAT dilarang menguatkan Kuasa Mutlak yang digunakan untuk
prnyrlundupan hukum. PPAT yang dapat mengetahui para pihak
menggunakan Kuasa Mutlak untuk melakukan penyelundupan hukum,
dapat melaksanakan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982.
PPAT yang tidak mengetahui para pihak melakukan penyelundupan hukum
dengan Kuasa Mutlak, tidak dapat melaksanakan Instruksi Menteri Dalam
Negeri No. 14 Tahun 1982. Dalam surat permohonan Peralihan Hak atas
Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten setempat, terdapat
identitas mengenai pemberi kuasa dan penerima kuasa untuk mengajukan
permohonan tersebut. Surat permohonan tersebut dilampiri dengan surat
53
kuasa yang telah dibuat oleh para pihak, sehingga dapat diketahui apabila
para pihak menggunakan Kuasa Mutlak.
f. Cara responden PPAT mengingatkan dan mencegah para pihak yang akan
mengalihkan kepemilikan tanah pertanian, agar tidak menimbulkan
kepemilikan secara absentee.
Tabel 6
Cara Responden Mengingatkan Para Pihak untuk Mencegah
Kepemilikan secara Absentee
No Keterangan Jumlah PPAT
(orang)
Persentase
(%)
1 Memberitahukan mengenai Aturan
yang Berlaku 5 50
2 Memeriksa Domisili KTP 3 30
3 Mengingatkan supaya Tanah Digarap
secara Aktif 1 10
4 Memastikan Dibuatnya Surat
Pernyataan 1 10
Jumlah 10 100
Sumber : Data Primer, 2018.
Salah satu hal yang diatur dalam PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997
adalah mengenai pencegahan pemilikan tanah pertanian secara absentee.
Cara mencegah memiliki tanah pertanian secara absentee adalah dengan
mensyaratkan bahwa para pihak wajib menyerahkan bukti identitasnya.
Pasal 103 ayat (2) huruf d dan e PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997
menetapkan bahwa, salah satu dokumen yang diserahkan kepada PPAT
oleh para pihak adalah bukti identitas para pihak. Hal tersebut untuk
memastikan mengenai domisili calon penerima hak atas tanah. Cara
lainnya untuk mencegah kepemilikan tanah pertanian secara absentee
diatur dalam Pasal 99 ayat (1) PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997. Pasal 99
ayat (1) PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 mengatur bahwa sebelum
54
dibuatnya akta pemindahan hak atas tanah, dalam hal ini melalui jual beli
hak atas tanah pertanian, calon penerima hak harus membuat surat
pernyataan bahwa pemindahan tersebut tidak menyebabkan kepemilikan
secara absentee dan bersedia menanggung akibatnya jika pernyataan
tersebut tidak benar. Pasal 99 ayat (2) mengatur bahwa PPAT wajib
menjelaskan kepada calon penerima hak atas tanah mengenai maksud dan
isi dari surat pernyataan tersebut. Penyerahan bukti identitas para pihak dan
dibuatnya pernyataan agar tidak menimbulkan kepemilikan secara
absentee, merupakan cara-cara yang diatur dalam PMNA/KBPN No. 3
Tahun 1997 untuk mencegah kepemilikan tanah pertanian secara absentee.
Fakta di lapangan menunjukan bahwa, para responden PPAT
memiliki empat cara untuk mencegah peralihan Hak Milik atas tanah
pertanian secara absentee. Cara-cara tersebut terdiri dari:
1) memberitahukan mengenai aturan yang berlaku;
2) mengingatkan dengan cara memeriksa domisili dari KTP para
pihak;
3) mengingatkan agar tanah pertanian digarap secara aktif;
4) memastikan dibuatnya surat pernyataan.
Jumlah responden yang memberitahukan mengenai aturan yang berlaku
adalah lima orang, jumlah responden yang mengingatkan dengan cara
memeriksa domisili dari KTP para pihak adalah tiga orang, jumlah
responden yang mengingatkan agar tanah pertanian digarap secara aktif
adalah satu orang, dan jumlah responden yang dengan cara memastikan
55
dibuatnya surat pernyataan adalah satu orang. Persentase jumlah responden
yang memberitahukan mengenai aturan yang berlaku adalah 50% (lima
puluh persen), persentase jumlah responden yang mengingatkan dengan
cara memeriksa domisili dari KTP para pihak adalah 30% (tiga puluh
persen), persentase jumlah responden yang mengingatkan agar tanah
pertanian digarap secara aktif adalah 10% (sepuluh persen), dan persentase
jumlah responden yang dengan cara memastikan dibuatnya surat
pernyataan adalah 10% (sepuluh persen).
PPAT yang mengingatkan dengan cara memberitahukan mengenai
aturan yang berlaku dan mengingatkan agar tanah pertanian tersebut
digarap secara aktif, merupakan PPAT yang berinovasi dalam melakukan
pencegahan kepemilikan tanah pertanian secara absentee. PMNA/KBPN
Nomor 3 Tahun 1997 tidak mengatur mengenai kewajiban PPAT untuk
memberitahukan mengenai aturan yang berlaku dan mengingatkan agar
tanah pertanian tersebut digarap secara aktif. Pemeriksaan KTP dan
memastikan dibuatnya surat pernyataan merupakan prosedur dalam
pemindahan hak atas tanah. Prosedur tersebut wajib untuk dilakukan. Tidak
ada yang salah cara dalam melakukan pencegahan kepemilikan secara
absentee, yang terpenting adalah kepemilikan tanah secara absentee dapat
dicegah.
g. Pilihan untuk memproses atau tidak memproses jual beli tanah pertanian
apabila menimbulkan pemilikan secara absentee, meskipun telah
diperingatkan.
56
Tabel 7
Pilihan Responden untuk Memproses atau Tidak Memproses
Kepemilikan Tanah Pertanian secara Absentee
No Keterangan Jumlah PPAT (orang) Persentase (%)
1 Menolak 6 60
2 Memberi Saran 4 40
Jumlah 10 100
Sumber : Data Primer, 2018.
Pasal 10 ayat (3) PP Nomor 24 Tahun 2016 mengatur bahwa PPAT
dapat diberhentikan dengan tidak hormat. PPAT dapat diberhentikan
dengan tidak hormat apabila melakukan pelanggaran berat terhadap
kewajiban PPAT dan atau dijatuhi hukuman pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 tahun atau lebih. Yang dimaksud dengan pelanggaran
berat terhadap kewajiban PPAT diatur dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (3)
huruf a. Pelanggaran berat tersebut tidak termasuk apabila PPAT
memproses kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Pemrosesan
pemilikan tanah pertanian secara absentee tidak berdampak pada profesi
PPAT.
Sebagian dari responden PPAT menolak untuk memproses,
sedangkan sebagian lainnya tidak menolak maupun tidak menerima, tetapi
hanya memberi saran kepada para pihak yang tetap melakukan jual beli
tanah pertanian secara absentee meskipun telah diperingatkan. Jumlah
responden yang menolak untuk memprosesnya adalah enam orang,
sedangkan jumlah responden yang tidak menolak maupun tidak menerima,
tetapi hanya memberi saran adalah empat orang. Tidak ada dari para
57
responden tersebut yang menyatakan bersedia untuk memprosesnya.
Persentase jumlah responden yang menolak untuk memprosesnya adalah
60% (enam puluh persen), sedangkan persentase jumlah responden yang
tidak menolak maupun tidak menerima tetapi hanya memberi saran adalah
40% (empat puluh persen). Persentase dari para responden tersebut yang
menyatakan bersedia untuk memprosesnya adalah 0%.
Saran yang diberikan oleh responden adalah pihak pembeli
berpindah domisili ke kecamatan letak tanah atau tanah pertanian tersebut
diubah menjadi tanah non pertanian. Pihak pembeli disarankan untuk
berpindah domisili ke kecamatan tempat letak tanah, agar tidak melanggar
ketentuan Pasal 3 ayat (1) PP No. 224 Tahun 1961. Para pihak juga
disarankan untuk mengubah status tanah pertanian menjadi tanah non
pertanian terlebih dahulu sebelum melakukan jual beli, apabila pihak
pembeli tidak dapat berpindah domisili ke kecamatan tempat letak tanah.
Kedua saran yang diberikan oleh sebagian responden telah sesuai dengan
saran yang diberikan oleh Kasubsi Pemeliharaan Data Hak Tanah dan
Pembinaan PPAT Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul. Saran yang
diberikan oleh Kasubsi Pemeliharaan Data Hak Tanah dan Pembinaan
PPAT Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul kepada pembeli, apabila telah
terjadi jual beli tanah pertanian secara absentee adalah segera mengalihkan
tanah tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat pemilikan tanah
pertanian, segera mengajukan perubahan peruntukan tanahnya (IPPT)
58
apabila RUTR memungkinkan, dan berpindah alamat sesuai dengan objek
tanah pertanian.
h. Kewajiban calon pembeli untuk membuat pernyataan mengenai peralihan
Hak Milik atas tanah pertanian yang dilakukan, tidak akan menyebabkan
kepemilikan tanah secara absentee.
Dibuatnya pernyataan mengenai peralihan Hak Milik atas tanah
pertanian yang dilakukan tidak akan menyebabkan kepemilikan tanah
secara absentee, diatur dalam Pasal 99 ayat (1) huruf b PMNA No. 3 Tahun
1997. Jumlah responden yang meminta calon pembeli untuk membuat
pernyataan, mengenai peralihan Hak Milik atas tanah pertanian tidak akan
menyebabkan kepemilikan tanah secara absentee adalah sepuluh orang.
Persentase responden yang meminta calon pembeli untuk membuat
pernyataan, mengenai peralihan Hak Milik atas tanah pertanian tidak akan
menyebabkan kepemilikan tanah secara absentee adalah 100% (seratus
persen). Para responden setelah memastikan dibuatnya pernyataan tersebut,
kemudian menjelaskan isinya kepada para pihak. Para responden telah
melakukan sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 99 ayat (1) huruf b
PMNA No. 3 Tahun 1997.
Peran PPAT untuk mencegah jual-beli tanah pertanian secara
absentee di Kabupaten Bantul dibantu oleh Kantor Pertanahan Kabupaten
Bantul. Tindakan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul
apabila pembeli tanah pertanian merupakan calon pemilik tanah secara
absentee, maka ijin/rekomendasi pemindahan hak atas tanah pertanian tidak
59
diberikan. Akta jual-beli PPAT tidak akan diproses oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Bantul apabila calon pemiliknya dapat memiliki secara absentee.
PPAT daerah kerja Bantul dibimbing secara rutin oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Bantul, melalui Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah
mengenai pencegahan peralihan Hak Milik atas tanah pertanian yang
menyebabkan pemilikan secara absentee. Kantor Pertanahan Kabupaten
Bantul dapat memberikan teguran kepada PPAT tersebut, jika terdapat PPAT
yang tidak mengikuti ketentuan, meskipun selama ini Kantor Pertanahan
Kabupaten Bantul belum pernah menemukan PPAT yang tidak mengikuti
ketentuan.