Upload
truongtruc
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
1. Filosofi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Dan
Penataan Ruang
Sesuai dengan yang telah disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa tujuan bernegara adalah
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, perlindungan segenap bangsa dan
peningkatan kesejahteraan umum merupakan tanggung jawab penting bernegara.
Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah terjaminnya hak atas pangan bagi
segenap rakyat yang merupakan hak asasi manusia yang sangat fundamental
sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya.
Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,
termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang
angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat
penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita
cita-citakan. Untuk mencapai cita-cita tersebut, diperlukanlah suatu hukum agraria
yang nasional, yang tidak lagi bersifat dualisme, yang sederhana dan yang
menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum agraria harus
16
memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa
sebagai yang dimaksud di atas dan harus sesuai pula dengan kepentingan rakyat
dan negara serta memenuhi keperluannya menurut permintaan zaman dalam
segala soal agraria. Lain dari itu hukum agraria nasional harus mewujudkan
penjelmaan daripada asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial
serta khususnya harus merupakan pelaksanaan daripada ketentuan dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara yang tercantum di
dalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan
ditegaskan di dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960. Maka, pada
pokoknya tujuan Undang-Undang Pokok Agraria adalah:
a) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional,
yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat
tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
b) Meletakkan dasar-dasar bagi untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Pemerintah memperoleh kewenangan untuk mengatur bidang pertanahan
berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.” Ketentuan ini selanjutnya diturunkan dan dijabarkan
17
lebih lanjut dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Aturan pelaksaan dari Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945 tersebut terdapat didalam Pasal 2 Undang-Undang Pokok
Agraria. Tanah atau lahan merupakan sumber kehidupan, kekuasaan, dan
kesejahteraan. Oleh karena kedudukan tanah yang bersifat sedemikian strategis
ini, negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang paling tinggi, menguasai
tanah untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia
dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.1 Wewenang yang didapat oleh
negara ini bersumber dari hak menguasai sumber daya alam oleh negara yang
bersifat publik. Artinya, disini negara hanya memiliki wewenang untuk mengatur
(wewenang regulasi) dan bukan untuk menguasai tanah secara fisik dan
menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang
bersifat pribadi. Adapun kekuasaan negara itu mengenai semua bumi, air, dan
ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak.
Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak
dibatasi oleh isi hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan
kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas
kekuasaan negara tersebut.
1
Hak menguasai dari negara tersebut memberi wewenang untuk: a. mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi. Air dan ruang angkasa. Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria.
18
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan
Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan perlu
diselenggarakan pembangunan dan perlindungan pertanian berkelanjutan. Terkait
hal tersebut, pemerintah telah membentuk Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149). Dengan adanya undang-
undang tersebut, pemerintah telah mengupayakan untuk melindungi keberadaan
lahan untuk kepentingan pertanian pangan dari laju pertumbuhan penduduk dan
perekonomian di berbagai wilayah Indonesia. Kata berkelanjutan seringkali
digunakan dalam berbagai konteks, termasuk diantaranya adalah pembangunan.
Makna yang sesungguhnya dari kata berkelanjutan adalah menjaga agar suatu
proses terus berlangsung atau juga dapat diartikan sebuah kemampuan untuk
bertahan dan menjaga agar tidak terjadi penurunan atau degradasi.2
Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan jantungnya ilmu hukum.
Karena merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum
dan sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, ini berarti bahwa peraturan-
peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan pada asas-asas tersebut.3
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terdapat 13 asas
yang menjadi dasar diselenggarakannya perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan yaitu:
2 Abdul Sukur, Pertanian Berkelanjutan, Malang, 2008, hal. 25
3 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cetakan keenam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 45
19
a) Asas manfaat;
Yang dimaksud dengan manfaat adalah perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan diselenggarakan untuk
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
dan mutu hidup rakyat, baik generasi kini maupun generasi masa
depan.
b) Asas keberlanjutan dan konsisten;
Yang dimaksud dengan keberlanjutan dan konsisten adalah
perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang Fungsi,
pemanfaatan, dan produktivitas lahan dipertahankan secara
konsisten dan lestari untuk menjamin terwujudnya kemandirian,
ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional dengan
memperhatikan generasi masa kini dan masa mendatang.
c) Asas keterpaduan;
Yang dimaksud dengan keterpaduan adalah perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan yang diselenggarakan dengan
mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas
sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.
d) Asas keterbukaan dan akuntabilitas;
Yang dimaksud dengan keterbukaan dan akuntabilitas adalah
perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang
diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya
untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan
perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
e) Asas kebersamaan dan gotong royong;
Yang dimaksud dengan kebersamaan dan gotong royong adalah
perlindungan lahan pertanian pangan diselenggarakan secara
bersama-sama baik antara pemerintah, pemerintah daerah,
pemilik lahan, petani, kelompok tani, dan dunia usaha untuk
meningkatkan kesejahteraan petani.
f) Asas partisipatif;
Yang dimaksud dengan partisipatif adalah perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan yang melibatkan masyarakat
dalam perencanaan, pembiayaan, dan pengawasan.
g) Asas keadilan;
Yang dimaksud dengan keadilan adalah perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan yang harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
terkecuali.
h) Asas keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
Yang dimaksud dengan keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan adalah perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan yang harus mencerminkan keserasian, keselarasan,
20
dan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat,
lingkungan, dan kepentingan bangsa dan negara serta kemampuan
maksimum daerah.
i) Asas kelestarian lingkungan dan kearifan lokal;
Yang dimaksud dengan kelestarian lingkungan dan kearifan lokal
adalah perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang
harus memperhatikan kelestarian lingkungan dan ekosistemnya
serta karakteristik budaya dan daerahnya dalam rangka
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
j) Asas desentralisasi;
Yang dimaksud dengan desentralisasi adalah perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan yang diselenggarakan di daerah
dengan memperhatikan kemampuan maksimum daerah.
k) Asas tanggung jawab negara;
Yang dimaksud dengan tanggung jawab negara adalah
perlindungan lahan pertanian yang dimiliki negara karena peran
yang kuat dan tanggung jawab terhadap keseluruhan aspek
pengelolaan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
l) Asas keragaman;
Yang dimaksud dengan keragaman adalah perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan yang memperhatikan
keankearagaman pangan pokok, misalnya padi, jagung, sagu, dan
ubi kayu.
m) Asas sosial dan budaya.
Yang dimaksud dengan sosial dan budaya adalah perlindungan
lahan pertanian pangan berkelanjutan yang memperhatikan fungsi
sosial lahan dan pemanfaatan lahan sesuai budaya yang bersifat
spesifik lokasi dan kearifan lokal misalnya jagung sebagai
makanan pokok penduduk Pulau Madura dan sagu sebagai
makanan pokok penduduk Kepulauan Maluku.
Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan
fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi
penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk
secara alami maupun akibat pengaruh manusia.4 Lahan merupakan sumber daya
alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan
4 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan
21
terhadap lahan selalu meningkat. Sedangkan lahan pertanian adalah bidang lahan
yang digunakan untuk usaha pertanian.5 Lahan pertanian memiliki peran dan
fungsi yang strategis bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris karena
terdapat sejumlah besar penduduk Indonesia yang menggantungkan hidup pada
sektor pertanian. Dengan demikian, lahan tidak saja memiliki nilai ekonomis,
tetapi juga sosial, dan bahkan memiliki nilai religius. Dalam rangka pembangunan
pertanian yang berkelanjutan, lahan merupakan sumber daya pokok dalam usaha
pertanian, terutama pada kondisi yang sebagian besar bidang usahanya masih
bergantung pada pola pertanian berbasis lahan. Maka, tujuan dibentuknya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 ini adalah:6
a. melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;
b. menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;
c. mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan;
d. melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani;
e. meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat;
f. meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani;
g. meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak;
h. mempertahankan keseimbangan ekologis; dan
i. mewujudkan revitalisasi pertanian.
Sementara itu alih fungsi lahan pertanian merupakan ancaman terhadap
pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan. Alih fungsi lahan merupakan
perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya yang
direncanakan semula menjadi fungsi lain. Alih fungsi lahan mempunyai implikasi
5 Ibid. Pasal 1 angka 2
6 Ibid. Pasal 3
22
yang serius terhadap produksi pangan, lingkungan fisik, serta kesejahteraan
masyarakat pertanian dan perdesaan yang kehidupannya bergantung pada
lahannya. Alih fungsi lahan pertanian terbesar adalah untuk lahan industri,
pemukiman dan sarana publik. Alih fungsi lahan pertanian (dalam hal ini kasus
sawah) menjadi penggunaan non pertanian seperti kompleks perumahan, kawasan
industri, kawasan perdagangan dan sarana publik dapat menimbulkan dampak
negatif secara ekonomi, sosial dan lingkungan.7 Alih fungsi lahan-lahan pertanian
subur selama ini kurang diimbangi oleh upaya-upaya terpadu mengembangkan
lahan pertanian melalui pencetakan lahan pertanian baru yang potensial. Di sisi
lain, alih fungsi lahan pertanian pangan menyebabkan makin sempitnya luas lahan
yang diusahakan dan sering berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan
petani. Oleh karena itu, pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan melalui
perlindungan lahan pertanian pangan merupakan salah satu upaya untuk
mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, dalam rangka meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya.
Ancaman terhadap ketahanan pangan telah mengakibatkan Indonesia harus
sering mengimpor produk-produk pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri. Dalam keadaan jumlah penduduk yang masih terus meningkat jumlahnya,
ancaman-ancaman terhadap produksi pangan telah memunculkan kerisauan akan
terjadi keadaan rawan pangan pada masa yang akan datang. Akibatnya dalam
waktu yang akan datang Indonesia membutuhkan tambahan ketersediaan pangan
dan lahan pangan.
7 Bambang Irawan, “Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor
Determinan”. Forum Penelitian Agroekonomi, 2005, Vol. 23 (1): 1-18.
23
Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan upaya yang tidak
terpisahkan dari reforma agraria, yang mencakup upaya penataan yang terkait
dengan aspek penguasaan atau pemanfaatan sebagaimana yang ditetapkan dalam
Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam.
Aspek penguasaan/pemilikan berkaitan dengan hubungan hukum antara
manusia dan lahan, sedangkan aspek penggunaan/pemanfaatan terkait dengan
kegiatan pengambilan manfaat atau nilai tambah atas sumber daya lahan.
Ketentuan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dimaksudkan agar
bidang-bidang lahan tertentu hanya boleh digunakan untuk aktifitas pertanian
pangan yang sesuai. Untuk mengimplementasikannya, diperlukan pengaturan-
pengaturan terkait dengan penguasaan/pemililikan lahannya agar
penguasaan/pemilikan lahan terdistribusikan secara efisien dan berkeadilan. Pada
saat yang sama diharapkan luas lahan yang diusahakan petani dapat meningkat
secara memadai sehingga dapat menjamin kesejahteraan keluarga petani serta
tercapainya produksi pangan yang mencukupi kebutuhan.
Seperti halnya dalam rangka program pemerintah untuk menunjang
pelaksanaan pembangunan pada umumnya dan PELITA II pada khususnya, perlu
digariskan kebijaksanaan dan ditetapkan ketentuan-ketentuan mengenai
penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan perusahaan-perusahaan, baik
yang diselenggarakan dengan maupun tanpa fasilitas-fasilitas penanaman modal,
dibentuklah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan Dan Pemberian Tanah Untuk
24
Keperluan Perusahaan jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987
tentang Penyediaan Dan Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan
Pembangunan Perumahan. Pengaturan ini tidak terlepas dari keberadaan tanah
yang merupakan salah satu modal pokok Bangsa Indonesia dan adalah salah satu
unsur utama dalam pembangunan menuju terbentuknya masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan hal tersebut, kebijaksanaan
dan ketentuan-ketentuan untuk mengatur pemberian tanah untuk keperluan
perusahaan haruslah dapat menciptakan suasana dan keadaan yang
menguntungkan dan serasi untuk menunjang kegiatan-kegiatan pembangunan,
dengan tujuan agar pada satu pihak kebutuhan pengusaha akan tanah dapat
dicukupi dengan memuaskan dan pada pihak lain sekaligus terselenggara tertib
penguasaan dan penggunaan tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, hingga tanah yang tersedia benar-benar dapat dimanfaatkan sesuai
dengan fungsi sosialnya.
Seperti pendapat Bambang Irawan, bahwa alih fungsi lahan pertanian yang
terbesar adalah untuk lahan industri.8 Pembangunan dan pengembangan kawasan
industri ini secara umum telah diatur melalui kebijakan pemerintah dengan
dibuatnya Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri.
Tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan membuat Keputusan Presiden
Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri ini adalah untuk mendorong
serta mengatur perkembangan kegiatan industri di Indonesia untuk dapat lebih
maju serta pengembangan kegiatan industri yang akan terjadi lebih dapat teratur
dengan menempati kawasan-kawasan industri yang telah ditentukan lebih lanjut.
8 Ibid.
25
Kebijakan ini diperlukan untuk mengatur penguasaan kawasan industri secara
produktif dan efisien dalam rangka mempercepat pertumbuhan industri, baik
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor.
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan, hal
yang terkait dengan penggunaan tanah perlu selalu diarahkan sehingga dapat
berlangsung sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang telah ditentukan.
Maka, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990
tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri untuk
menghindari salah penafsiran mengenai penggunaan tanah. Keputusan Presiden
Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan
Industri ini bertujuan sebagai tindak lanjut serta pedoman penggunaan tanah bagi
kawasan industri sebagaimana apa yang telah dimaksud dalam ketentuan
Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri.
Jadi pada dasarnya penyelenggaraan perlindungan lahan pertanian ini
berdasarkan pada asas keberlanjutan dan konsisten agar fungsi serta pemanfaatan
lahan pertanian yang ada dapat dipertahankan secara konsisten dan lestari dengan
melindungi kawasan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. Hal ini tidak
terlepas dari tujuan penyelenggaraan perlindungan lahan pertanian pangan yang
menjamin bahwa kesediaan lahan pertanian pangan dijamin secara berkelanjutan
serta demi terwujudnya kemandirian, ketahanan, serta kedaulatan pangan. Dan
pada akhirnya kesejahteraan dan kemakmuran para petani serta masyarakat akan
meningkat.
26
3. Asas Dan Tujuan Penataan Ruang
Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam penataan ruang, dalam hal ini terdapat dalam rencana tata
ruang wilayah di daera. Maka pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4725).
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan ruang ini berdasarkan pada asas:
a) Keterpaduan
Yang dimaksud dengan “keterpaduan” adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai
kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas
pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain,
adalah Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
b) Keserasian, keselarasan, keseimbangan
Yang dimaksud dengan “keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan
dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola
ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan
lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan
antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan
perdesaan.
c) Keberlanjutan
Yang dimaksud dengan “keberlanjutan” adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan
kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan
memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
d) Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan
Yang dimaksud dengan “keberdayagunaan dan keberhasilgunaan”
adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang
terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang
yang berkualitas.
e) Keterbukaan
Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-
27
luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang
berkaitan dengan penataan ruang.
f) Kebersamaan dan kemitraan
Yang dimaksud dengan “kebersamaan dan kemitraan” adalah
bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan
seluruh pemangku kepentingan
g) Perlindungan kepentingan umum
Yang dimaksud dengan “pelindungan kepentingan umum” adalah
bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan
kepentingan masyarakat.
h) Kepastian hukum dan keadilan
Yang dimaksud dengan “kepastian hukum dan keadilan” adalah
bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan
hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa
penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa
keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua
pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum.
i) Akuntabilitas
Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah bahwa
penyelenggaraan penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan,
baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya.
Sedangkan berdasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan ruang ini bertujuan
untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan:
a) Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan;
b) Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya
manusia; dan
c) Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
28
Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya
tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut, dan untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
wawasan nusantara dan ketahanan nasional, undang-undang tentang penataan
ruang ini mengamanatkan perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat
mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu
mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan, serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang.
Kaidah penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap
proses perencanaan tata ruang wilayah.
Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas wilayah.
Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional, serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang nyata, luas, dan
bertanggung jawab, penataan ruang menuntut kejelasan pendekatan dalam proses
perencanaannya demi menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan
keterpaduan antar daerah, antara pusat dan daerah, antar sektor, dan antar
pemangku kepentingan. Dalam Undang-Undang ini, penataan ruang didasarkan
pada pendekatan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan
kawasan, dan nilai strategis kawasan.
29
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut, wewenang
penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah dan pemerintah daerah, yang
mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan
penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah
administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah
nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap
wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut batasan administratif. Di
dalam subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam
kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan dengan
tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata dengan
baik dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan
antarwilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan ruang. Berkaitan dengan
penataan ruang wilayah kota, Undang-Undang ini secara khusus mengamanatkan
perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau, yang proporsi
luasannya ditetapkan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota,
yang diisi oleh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja
ditanam.
Penataan ruang dengan pendekatan kegiatan utama kawasan terdiri atas
penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan.
Kawasan perkotaan, menurut besarannya, dapat berbentuk kawasan perkotaan
kecil, kawasan perkotaan sedang, kawasan perkotaan besar, kawasan
metropolitan, dan kawasan megapolitan. Penataan ruang kawasan metropolitan
dan kawasan megapolitan, khususnya kawasan metropolitan yang berupa kawasan
30
perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki
keterkaitan fungsional dan dihubungkan dengan jaringan prasarana wilayah yang
terintegrasi, merupakan pedoman untuk keterpaduan perencanaan tata ruang
wilayah administrasi di dalam kawasan, dan merupakan alat untuk
mengoordinasikan pelaksanaan pembangunan lintas wilayah administratif yang
bersangkutan. Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada kawasan
perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten atau pada kawasan yang
secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah
kabupaten pada 1 (satu) atau lebih wilayah provinsi. Kawasan perdesaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten dapat berupa kawasan agropolitan.
Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang memerintahkan perlunya perlindungan terhadap kawasan lahan abadi
pertanian pangan yang pengaturannya dengan Undang-Undang. Untuk itu,
perlindungan lahan pertanian pangan perlu dilakukan dengan menetapkan
kawasan-kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi. Kawasan pertanian
pangan merupakan bagian dari penataan kawasan perdesaan pada wilayah
kabupaten. Dalam kenyataannya lahan-lahan pertanian pangan berlokasi di
wilayah kota juga perlu mendapat perlindungan. Perlindungan kawasan pertanian
pangan dan lahan pertanian pangan meliputi perencanaan dan penetapan,
pengembangan, penelitian, pemanfaatan dan pembinaan, pengendalian,
pengawasan, pengembangan sistem informasi, perlindungan dan pemberdayaan
petani, peran serta masyarakat, dan pembiayaan. Perlindungan kawasan dan lahan
pertanian pangan dilakukan dengan menghargai kearifan budaya lokal serta hak-
hak komunal adat.
31
Maka sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, strategi dan arahan kebijaksanaan
pemanfaatan ruang wilayah nasional perlu dijabarkan ke dalam rencana tata ruang
provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. Sebagai pelaksanaan
peraturan perundang-undangan tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Semarang
telah membuat Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang Tahun 2011-2031.
Kota Salatiga juga telah membuat Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 4 Tahun
2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010-2030. Hal
ini bertujuan agar pembangunan di Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga perlu
diarahkan dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil
guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan. Selain itu, dalam rangka
mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah, dan masyarakat
maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi investasi pembangunan
yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat, dan/atau dunia usaha. Dalam hal ini,
pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga harus sesuai
dengan rencana tata ruang, agar dalam pemanfaatan ruang tidak bertentangan
dengan substansi RTRW daerah yang telah disepakati.
Jadi pada dasarnya asas dan tujuan penyelenggaraan penataan ruang
didasarkan pada asas keberlanjutan dimana kelestarian dan kelangsungan daya
dukung dan daya tampung lingkungan yang ada selalu memperhatikan
kepentingan generasi mendatang, tidak hanya kepentingan di masa sekarang saja
dengan mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan
32
berkelanjutan. Arti penting dan bernilainya ruang yang bisa di mukimi manusia
dan makluk hidup lainnya, telah diterjemahkan oleh setiap negara melalui ikhtiar
pengaturan penataan ruang, yang hampir bisa dipastikan misinya adalah
bagaimana menjadikan ruang semakin habitable (layak huni) seraya kelangsungan
manfaat ruang untuk manusia generasi mendatang.9
B. Hasil Penelitian
1. Isi Pengaturan Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan
Keberhasilan pembangunan pertanian tidak lepas dari upaya secara
berkelanjutan untuk melakukan pemanfaatan lahan dengan sebaik-baiknya. Lahan
memiliki fungsi yang sangat penting dalam pengembangan usaha pertanian. Oleh
karena itu, keberadaan lahan pertanian perlu dilindungi, dijaga serta
dikembangkan secara terus menerus sehingga mampu mendukung peningkatan
produksi dan ketahanan pangan nasional.
Akan tetapi, muncul suatu persoalan bahwa ketersediaan lahan pertanian,
terutama lahan untuk sawah, semakin lama malah semakin berkurang.
Ketersediaan luas lahan yang ada bersifat tetap, sedangkan jumlah pengguna akan
lahan ini semakin meningkat seiring dengan lajunya pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi. Yang terjadi kemudian adalah sulitnya untuk menghindari
alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan yaitu perubahan fungsi sebagian atau seluruh
kawasan lahan dari fungsinya seperti yang direncanakan semula. perubahan
9 Herman Hermit, Pembahasan Undang-Undang Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007),
Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 57.
33
penggunaan lahan. Alih fungsi lahan yang terjadi di tingkat daerah ini seolah-olah
tidak terbendung. Oleh karena itu, pemerintah telah mengeluarkan peraturan
perundang-undangan baik itu di tingkat pusat, provinsi, maupun di daerah sebagai
acuan pelaksanaan dalam rangka untuk melindungi lahan pertanian serta menekan
lajunya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.
a. Peraturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Di Tingkat Pusat
Terdapat 14 peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya
perlindungan lahan pertanian. Peraturan tersebut diantaranya adalah sebagai
berikut:
1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan
Isi dari ketentuan undang-undang ini dapat dibagi ke dalam:
a) Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan
Pasal 1 ayat (3):
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan
pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan
secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian,
ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
Pasal 6:
Perlindungan lahan pertanian pangan mencakup lahan pertanian
pangan dan lahan cadangan pangan berkelanjutan yang berada di
dalam atau di luar kawasan pertanian pangan.
Pasal 18:
Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan dilakukan dengan
penetapan:
(a) kawasan pertanian pangan berkelanjutan
(b) lahan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan di luar
kawasan pertanian pangan berkelanjutan
(c) lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan
di luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan.
34
b) Pengaturan alih fungsi lahan
Pasal 44 ayat (1), (2) dan (3):
(1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan
berkelanjutan dilarang dialihfungsikan.
(2) Dalam hal untuk kepentingan umum, lahan pertanian pangan
berkelanjutan dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(3) Pengalihfungsian lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan
pertanian pangan berkelanjutan hanya dapat dilakukan dengan
syarat yaitu:
(a) dilakukan kajian kelayakan strategis,
(b) disusun rencana alih fungsi lahan,
(c) dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik, dan
(d) disediakan lahan pengganti terhadap lahan pertanian
pangan berkelanjutan yang dialihfungsikan.
Pasal 46 ayat (1):
(1) Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan yang dialihfungsikan dilakukan atas dasar
kesesuaian lahan, dengan ketentuan sebagai berikut:
(a) Paling sedikit tiga kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan beririgasi
(b) Paling sedikit dua kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan
nonpasang surut (lebak), dan
(c) Paling sedikit satu kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan tidak beririgasi.
Pasal 49:
Lahan pengganti lahan pertanian pangan berkelanjutan ditetapkan
dengan:
(a) Peraturan daerah kabupaten/kota dalam hal lahan pengganti
terletak di dalam satu kabupaten/kota pada satu provinsi,
(b) Peraturan daerah provinsi dalam hal lahan pengganti terletak di
dalam dua kabupaten/kota atau lebihpada satu provinsi, dan
(c) Peraturan pemerintah dalam hal lahan pengganti terletak di
dalam dua provinsi atau lebih.
Pasal 50 ayat (1) dan (2):
(1) Segala bentuk perizinan yang mengakibatkan alih fungsi lahan
pertanian pangan berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk
kepentingan umum;
(2) Setiap orang yang melakukan alih fungsi lahan pertanian pangan
berkelanjutan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib mengembalikan keadaan tanah lahan pertanian pangan
berkelanjutan ke keadaan semula.
35
2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan Dan alih
Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Pasal 35:
(1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.
(2) Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hanya dapat
dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka
pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau terjadi bencana.
Pasal 38:
(1) Penyediaan lahan pengganti lahan pertanian pangan berkelanjutan
dilakukan oleh pihak yang mengalihfungsikan
(2) Dalam hal alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan
dilakukan karena terjadi bencana, lahan pengganti wajib disediakan
oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
3) Keputusan Presiden Republik Indonesia No 53 Tahun 1989 Tentang
Kawasan Industri
Pasal 7:
Pembangunan Kawasan Industri tidak mengurangi areal tanah
pertanian dan tidak dilakukan di atas tanah yang mempunyai fungsi
utama untuk melindungi sumber daya alam dan warisan budaya.
4) Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 Tentang Penggunaan Tanah
Bagi Pembangunan Kawasan Industri
Pasal 1 ayat (1):
Pencadangan tanah dan/atau pemberian ijin lokasi dan ijin
pembebasan tanah bagi setiap perusahaan kawasan industri,
dilakukan dengan ketentuan tidak mengurangi areal tanah pertanian
Pasal 2 huruf (a):
Pelaksanaan kegiatan pembangunan kawasan industri juga tidak
dapat dilakukan pada kawasan pertanian.
5) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 590/11108/SJ tanggal 24
Oktober 1984 Tentang Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian
Menginstruksi kepada semua Gubernur untuk melaksanakan
koordinasi antar instansi Pemerintah Daerah untuk mencegah
terjadinya alih fungsi tanah pertanian sehingga tidak mengganggu
36
usaha peningkatan produksi pangan. Mengintruksikan kepada
Bappeda untuk melaksanakan inventarisasi yang teliti tentang
status penggunaan tanah yang dialih fungsi berdasarkan data dari
instansi-instansi yang berkaitan. Mengeluarkan Perda sesuai
dengan Peraturan Perundangan yang berlaku berkaitan dengan
penggunaan tanah pertanian.
6) Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 410-1851 tanggal 15
Juni 1994 Tentang Pencegahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi
Teknis Untuk Penggunaan Non Pertanian Melalui Penyusunan Rencana
Tata Ruang
Menginstruksikan kepada semua Gubernur dan semua
Bupati/Walikota untuk menghindarkan ketidakcocokan antara
Rencana Tata Ruang dan larangan penggunaan tanah sawah
beririgasi teknis untuk non pertanian, maka dalam menyusun
Rencana Tata Ruang wilayah agar tidak memperuntukkan tanah
sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian. apabila
terpaksa harus memperuntukkan tanah sawah beririgasi teknis
untuk kegiatan non pertanian karena pertimbangan-pertimbangan
tertentu, agar terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Badan
Koordinasi Tata Ruang Nasional yang diberi tugas antara lain
untuk menangani masalah tata ruang yang terjadi di daerah.
7) Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 410-2261 tanggal 22 Juli 1994 tentang Pencegahan
Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah
Non-Pertanian
Memberikan petunjuk kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota untuk tidak melakukan tindakan yang mengarah
kepada pengurangan lahan sawah beririgasi teknis dengan tidak
memberikan izin lokasi untuk pembangunan non-pertanian di areal
sawah beririgasi teknis, tidak memberikan persetujuan izin
pengeringan lahan sawah beririgasi teknis, serta secara aktif
membantu Pemda dalam menyusun RTRW Kabupaten/Kota, dan
tidak memperuntukkan lahan sawah beririgasi teknis bagi
penggunaan lahan non-pertanian dalam RTRW tersebut.
37
8) Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua
Bappenas Nomor: 5334/MK/9/1994 Tanggal 29 September 1994
tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk
Penggunaan Non-Pertanian yang ditujukan kepada Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Jo. Surat Edaran Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 460-3346
Tanggal 31 Oktober 1994 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah
Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Nonpertanian
Menyampaikan petunjuk agar dalam rangka pemberian izin
pemanfaatan ruang atau izin lokasi harus mengacu ke RTRW tang
telah ada dan tidak memberikan izin lokasi kepada lahan sawah
beririgasi teknis. Terhadap izin lokasi yang terlanjur diterbitkan,
diberlakukan pembatasan-pembatasan sampai izin lokasinya habis
dan tidak dapat diperpanjang lagi, dengan memperhatikan
kemajuan pembebasan tanah dan kegiatan pembangunan dimaksud.
9) Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional /Ketua
BAPPENAS Nomor 5335/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994
tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah tingkat
Kabupaten/Kota
Menginstruksikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mencegah
perubahan penggunan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan
diluar pertanian. Dalam menegakkan ketentuan tersebut maka
Rencana Tata Ruang Wilayah yang didalamnya tercantum rencana
penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan bukan
pertanian perlu disempurnakan. Selain itu Rencana Tata Ruang
Wilayah yang telah ada dan yang sedang dipersiapkan agar
sungguh-sungguh sesuai dengan kaidah-kaidah tata ruang yang
benar.
10) Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua BAPPENAS
Nomor 5417/MK/10/1994 tanggal 4 Oktober 1994 tentang Efisiensi
Pemanfaatan Lahan Bagi Pembangunan Perumahan
38
Ditujukan kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat
untukmengarahkan lokasi pengembangan perumahan pada lahan-
lahanyang telah diberikan izin lokasi yang telah ada serta
menghindari lahan sawah beririgasi teknis.
11) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 474/4263/SJ tanggal 27
Desember 1994 tentang Peninjauan Kembali RTRW Provinsi dan
Kabupaten/Kota
Ditujukan kepada Gubernur serta tembusannya kepada
Bupati/Walikota se-Indonesia, menyampaikan petunjuk agar
keberadaan lahan sawah beririgasi teknis dipertahankan, dengan
cara tidak mengijinkan perubahan penggunaan lahan pertanian
irigasi teknis menjadi penggunaan lahan non-pertanian,
mengamankan jaringan beririgasi teknis yang ada serta
memanfaatkannya semaksimal mungkin untuk peningkatan
produksi pertanian. Bagi RTRW Kabupaen/Kota yang didalamnya
tercantum rencana alih fungsi penggunaan lahan sawah beririgasi
teknis ke penggunaan lahan non-pertanian, maka RTRW tersebut
agar disempurnakan atau ditinjau kembali dengan mengikuti
kaidah-kaidah tata ruang yang benar.
12) Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 460-1594 tanggal 5
Juni 1996 tentang Pencegahan Konversi Tanah Sawah Irigasi Teknis
Menjadi Tanah Kering
Ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia
untuk memberikan petunuk kepada masyarakat agar tidak menutup
saluran-saluran irigasi, tidak mengeringkan sawah beririgasi teknis
dan menjadikannya untuk penggunaan pertanian lahan kering, serta
tidak merubah sawah beririgasi teknis miliknya untuk keperluan
bangunan. Bagi yang telah mengubah lahan sawah beririgasi teknis
bagi penggunaan non-pertanian, agar mengembalikannya menjadi
lahan sawah beririgasi teknis seperti semula.
39
b. Peraturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Di Tingkat Provinsi
Terdapat 3 peraturan perundang-undangan di tingkat Provinsi Jawa
Tengah yang terkait dengan upaya perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan. Peraturan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan Provinsi Jawa Tengah
Pasal 23:
Pemerintah Daerah melindungi luasan lahan pertanian pangan
berkelanjutan dan dilarang untuk dialihfungsikan. Larangan alih
fungsi tersebut dikecualikan lahan pertanian pangan berkelanjutan
dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau
terjadi bencana. Setiap orang yang melakukan alih fungsi pada
lahan pertanian pangan berkelanjutan di luar ketentuan wajib
mengembalikan keadaan tanah lahan pertanian pangan
berkelanjutan ke keadaan semula.
2) Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 47 Tahun 2013 tentang Petunjuk
Teknis, Kriteria, Persyaratan, Dan Tata Cara Alih Fungsi Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan Provinsi Jawa Tengah
Pasal 11:
Lahan yang sudah ditetapkan berdasarkan kriteria dan persyaratan
sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan
dilarang dialihfungsikan serta hanya dapat dilakukan oleh
pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka pengadaan tanah
untuk kepentingan umum atau terjadi bencana.
3) Instruksi Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/107/1985 tanggal 25 Maret
1985 tentang Pencegahan Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian
yang Tidak Terkendalikan
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 24
Oktober 1984 Nomor 590/11108/SJ perihal perubahan tanah
pertanian ke non pertanian, bahwa disinyalir adanya kecenderungan
terjadinya alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian yang tidak
40
terkendali sehingga dapat mengganggu usaha peningkatan produksi
pangan. Berhubung dengan itu, dipandang perlu mengeluarkan
instruksi untuk pencegahan terjadinya hal tersebut.
Menginstruksikan kepada semua Bupati/Walikota untuk
melaksanakan upaya pencegahan terjadinya alih fungsi tanah
pertanian ke non pertanian yang tidak terkendali, juga
menginstruksikan kepada Kepala BPN Propinsi untuk membantu
Bupati/Walikota dalam melaksanakan instruksi tersebut dan
mengeluarkan petunjuk teknis instruksi tersebut serta melakukan
pengawasan atas pelaksanaan instruksi tersebut.
Setiap perubahan tanah pertanian ke non pertanian harus dengan
ijin dari Bupati/Walikota. Dalam rangka penyelesaian permohonan
ijin perubahan tanah pertanian ke non pertanian, harus
memperhatikan pertimbangan dari Panitia Pertimbangan Perubahan
Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang dibentuk oleh
Bupati/Walikota. Bupati/Walikota melakukan pengawasan
terhadap terjadinya atau kemungkinan terjadinya perubahan tanah
pertanian ke non pertanian di secara koordinatif dengan instansi-
instansi pemerintah yang ada di daerah.
Bupati/Walikota dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
selalu memonitor dan melakukan pendataan terhadap pelaksanaan
ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian.
c. Peraturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Di Kabupaten Semarang
Pemerintah Kabupaten Semarang belum menetapkan peraturan daerah
tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pengaturan
terkait perlindungan lahan pertanian di Kabupaten Semarang hanya dapat
ditemukan di dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Semarang yang akan dibahas dalam sub bab berikutnya dalam
penelitian ini.
41
d. Peraturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Di Kota Salatiga
Terdapat 1 peraturan perundang-undangan di Kota Salatiga yang terkait
dengan upaya perlindungan lahan pertanian. Peraturan tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor 591.05/23/2002 tanggal 1
Februari 2002 tentang Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan Tanah
Pertanian ke Non Pertanian
Memperhatikan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor
590/11108/SJ tanggal 24 Oktober 1984 tentang Perubahan Tanah
Pertanian ke Non Pertanian dan Instruksi Gubernur Jawa Tengah
Nomor 590/107/1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pencegahan
Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang Tidak
Terkendali, Walikota Salatiga memutuskan Panitia Pertimbangan
Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang
memiliki tugas yaitu:
a. Membantu Walikota dalam pengendalian dan penyelesaian
ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian
dari seseorang/badan hukum dengan menyajikan bahan-
bahan pertimbangan tentang tanah yang menjadi obyek
permohonan,
b. Mengadakan peninjauan lapangan dan wawancara dengan
pemohon menyangkut status tanah, keadaan fisik tanah dan
lingkungan hidup sekitarnya,
c. Membuat Berita Acara hasil-hasil sidang dan pemeriksaan
tanah,
d. Bertanggung jawab dan melaporkan hasilnya kepada
Walikota.
2. Isi Pengaturan Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Tujuan dari diadakannya suatu pembangunan berkelanjutan adalah dalam
rangka mencapai sebuah kualitas kehidupan yang lebih baik bagi semua secara
adil dan seimbang untuk saat ini, esok dan juga generasi mendatang. Dalam
tingkat pelaksanaannya, pembangunan nasional dihadapkan pada tantangan
42
terjadinya menurunnya kualitas lingkungan yang secara perlahan dampaknya
mulai dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan
berkelanjutan yang ada harus mampu menjaga serta meningkatkan kualitas
lingkungan.
Dalam upaya mencapai tujuan nasional, dilakukanlah kegiatan
pembangunan nasional sebagai rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara.10
Dampak dari dilakukannya kegiatan tersebut adalah memungkinkan
terjadinya pemanfaatan lingkungan secara berlebihan sehingga dapat
mengakibatkan pengrusakan dan pencemaran lingkungan secara global. Maka,
dalam rangka untuk mengurangi kemungkinan timbulnya dampak negatif dari
kegiatan pembangunan nasional tersebut diperlukanlah suatu perencanaan
pembangunan yang baik.
Fenomena mengenai alih fungsi lahan juga tidak lepas dari pengaruh adanya
kegiatan pembangunan nasional. Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian
yang terjadi seperti pembangunan di sektor industri, perumahan, jasa serta
kegiatan pembangunan perekonomian lainnya telah memicu terjadinya alih fungsi
lahan yang tak terkendali. Hal ini tentunya juga berkaitan dengan pengaturan
tentang penataan ruang.
Penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional diatur dalam Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Penataan ruang adalah
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dapat menjadi fungsi koordinasi
10
Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
43
dan pengendalian dengan munculnya pemahaman bersama mengenai
pembangunan nasional kedepannya. Tata ruang merupakan wujud struktur ruang
dan pola ruang yang disusun secara nasional, regional, dan lokal. Secara nasional,
pengaturan tata ruang ini diatur dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
yang kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan
juga diturunkan kembali ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur bahwa rencana tata ruang
wilayah nasional yang ada haruslah diatur lebih lanjut ke dalam peraturan
pemerintah, maka terbentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Salah satu tujuan dari perencanaan tata ruang wilayah nasional
adalah untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif dan
berkelajutan. Menurut penjelasan dalam Pasal 2 PP No. 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, produktif disini berarti
proses produksi dan distribusi yang berjalan secara efisien sehingga mampu
memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat,
sekaligus meningkatkan daya saing. Sementara itu berkelanjutan dapat
diartikan sebagai kondisi kualitas lingkungan fisik yang dapat dipertahankan
bahkan ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan
orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak
terbarukan. Makna kata produktif dan berkelanjutan ini menjadi titik berat
44
dalam kegiatan ekonomi serta dukungan sumber daya alam yang ada dalam
rangka pembangunan kegiatan ekonomi tersebut.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam PP No. 26 tahun 2008
tentang RTRW Nasional, kawasan peruntukan pertanian masuk ke dalam
kategori kawasan budidaya. Penetapan kawasan peruntukan pertanian ini
dilakukan dengan memperhatikan beberapa kriteria yaitu:11
a) Memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan
pertanian;
b) Ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan abadi;
c) Mendukung ketahanan pangan nasional; dan/atau
d) Dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat ketersediaan air.
Kriteria-kriteria tersebut sangatlah perlu untuk diperhatikan karena
apabila alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian berlangsung secara
terus-menerus akan berdampak pada sulitnya untuk memperoleh kesesuaian
lahan yang dapat digunakan untuk mengembangkan kawasan pertanian.
Dengan adanya kesesuaian lahan ini maka langkah selanjutnya yaitu perlu
adanya penetapan perlindungan atas lahan pertanian tersebut agar dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan dalam rangka mendukung program
ketahanan pangan nasional.
Selain itu pula, menurut penjelasan Pasal 66 ayat (1) PP No. 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, penetapan
kriteria kawasan peruntukan pertanian secara tepat diharapkan akan
11
Pasal 66 ayat (1) PP No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
45
mendorong terwujudnya kawasan pertanian yang memberikan manfaat
berikut:
a) Memelihara dan meningkatkan ketahanan pangan nasional;
b) Meningkatkan daya dukung lahan melalui pembukaan lahan baru
untuk pertanian tanaman pangan (padi sawah, padi gogo, palawija,
kacang-kacangan dan umbi-umbian), perkebunan, peternakan,
holtikultura dan pendayagunaan investasi;
c) Meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub
sektorserta kegiatan ekonomi sekitarnya;
d) Meningkatkan upaya pelestarian dan konservasi sumber daya alam
untuk pertanianserta fungsi lindung;
e) Menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan serta
kesejahteraan masyarakat;
f) Meningkatkan pendapatan nasional dan daerah;
g) Mendorong perkembangan industri hulu dan hilir melalui efek kaitan;
h) Mengendalikan adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke non
pertanian agar keadaan lahan tetap abadi;
i) Melestarikan nilai sosial budaya dan daya tarik kawasan perdesaan;
dan/atau
j) Mendorong pengembangan sumber energi terbarukan.
Terkait dengan upaya agar kriteria penetapan kawasan pertanian ini
ditaati oleh semua pihak, maka diperlukanlah suatu instrumen
pengendaliannya yaitu salah satunya dengan menyusun peraturan zonasi.
Hal ini diatur dalam Pasal 108 PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional yang menyatakan bahwa peraturan zonasi untuk
kawasan peruntukan pertanian disusun dengan memperhatikan:
a) Pemanfaatan ruang untuk pemukiman petani dengan kepadatan
rendah; dan
b) Ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya non
pertanian kecuali untuk pembangunan sistem jaringan prasarana
utama.
Peraturan mengenai zonasi ini tentunya mendukung pula dengan
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 UU No. 41 Tahun 2009 tentang
46
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang pada dasarnya
mengatur tentang adanya larangan pengalihfungsian lahan pertanian ke non
pertanian.
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah
Sesuai dengan ketentuan Pasal 78 ayat (4) huruf b UU No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang yaitu setiap daerah provinsi diwajibkan untuk
menyusun peraturan daerah mengenai rencana tata ruang wilayah provinsi,
maka Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah membentuk Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029. Rencana tata ruang
wilayah Provinsi Jawa Tengah ini merupakan arahan kebijakan dan strategi
pemanfaatan ruang wilayah daerah yang menjadi pedoman bagi penataan
ruang wilayah daerah yang merupakan dasar dalam penyusunan program
pembangunan.
Tujuan dari dibentuknya penataan ruang wilayah provinsi ini adalah
demi terwujudnya ruang Provinsi Jawa Tengah yang lestari dengan
memperhatikan pemerataan pembangunan wilayah.12
Selain itu, rencana tata
ruang wilayah Provinsi Jawa Tengah juga dijadikan pedoman untuk:13
a) Pembangunan dan rujukan bagi penyusunan rencana pembangunan
jangka panjang daerah dan rencana pembangunan jangka menengah
daerah;
b) Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah
provinsi;
12
Pasal 4 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029 13
Ibid. Pasal 3.
47
c) Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan wilayah provinsi serta keserasian antar sektor;
d) Pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah daerah
dan/atau masyarakat;
e) Pengawasan terhadap perizinan lokasi pembangunan;
f) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
g) Rujukan bagi penyusunan rencana penanggulangan bencana; dan
h) Penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Terkait dengan upaya untuk melindungi lahan pertanian, pemerintah
daerah Provinsi Jawa Tengah telah menetapkan kawasan peruntukan
pertanian yang masuk ke dalam kategori kawasan budidaya. Kawasan
budidaya ini merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Dalam ketentuan Pasal 30
Perda Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2009-2029 menyebutkan bahwa pola ruang wilayah
provinsi menggambarkan rencana sebaran kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Dan pola ruang untuk kawasan budidaya tersebut salah satunya
meliputi kawasan peruntukan pertanian.
Kawasan peruntukan pertanian itu sendiri dibagi lagi ke dalam 2
jenis yaitu kawasan pertanian lahan basah dan kawasan pertanian lahan
kering. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah menetapkan kawasan
pertanian lahan basah yang diarahkan untuk dipertahankan sebagai kawasan
lahan pertanian pangan berkelanjutan seluas ± 990.652 hektar, serta ±
48
955.587 hektar ditetapkan sebagai kawasan pertanian lahan kering yang
disebar ke dalam beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah.
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang
Sebagaimana apa yang telah dijelaskan dalam UU No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang bahwa penataan ruang wilayah kota, wilayah
provinsi, dan wilayah kabupaten/kota dilakukan secara terpadu dan tidak
dipisah-pisahkan. Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota
mengacu kepada rencana tata ruang wilayah nasional dan rencana tata ruang
wilayah provinsi. Di Kabupaten Semarang, peraturan mengenai penataan
ruang ini diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang
Tahun 2011-2031.
Dalam penjelasan umum Perda RTRW Kabupaten Semarang antara
lain disebutkan bahwa wilayah Kabupaten Semarang meliputi daratan,
perairan dan udara, terdiri dari wilayah kecamatan yang masing-masing
merupakan suatu ekosistem. Masing-masing subsistem meliputi aspek
politik, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan kelembagaan dengan
corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan yang lainnya.
penataan ruang daerah yang yang didasarkan pada karakteristik dan daya
dukungnya serta didukung oleh teknologi yang sesuai, akan meningkatkan
keserasian, keselarasan dan keseimbangan subsistem yang satu berpengaruh
pada subsistem yang lainnya, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi
sistem ruang secara keseluruhan serta dalam pengaturan ruang yang
dikembangkan perlu suatu kebijakan penataan ruang daerah yang
49
memadukan berbagai kebijakan pemanfaatan ruang. Dengan maksud
tersebut, maka pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Semarang harus
sesuai dengan rencana tata ruang agar dalam pemanfaatan ruang tidak
bertentangan dengan substansi RTRW daerah yang telah disepakati.
Tujuan dibentuknya penataan ruang wilayah ini adalah terwujudnya
daerah sebagai penyangga ibukota Provinsi Jawa Tengah dalam arti
penyangga perekonomian wilayah terutama pada sektor industri, jasa-jasa,
dan pertanian, serta penyangga ekologi wilayah berkaitan dengan
keberadaan kawasan lindung dan pemanfaatan sumberdaya air lintas
wilayah. Selain itu juga bertujuan sebagai kawasan pertumbuhan dalam
rangka mendorong pembangunan ekonomi di selurung wilayah Kabupaten
Semarang berbasis industri, pertanian dan pariwisata yang aman, nyaman,
produktif, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Penyusunan rencana
tata ruang wilayah Kabupaten Semarang ini juga menjadi pedoman dan
rujukan bagi:14
a) Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang wilayah;
b) Terwujudnya keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antar wilayah serta keserasian antar sektor;
c) Pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan/atau
masyarakat; dan
d) Pengawasan terhadap perijinan lokasi pembangunan.
Terkait dengan upaya perlindungan lahan pertanian di Kabupaten
Semarang, masuk ke dalam ruang lingkup rencana pola ruang wilayah. Pola
14
Pasal 94 Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Semarang Tahun 2011-2031
50
ruang wilayah kabupaten ini merupakan rencana distribusi peruntukan ruang
wilayah kabupaten yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung
dan budidaya yang dituju sampai dengan akhir masa berlakunya RTRW
Kabupaten Semarang 20 tahun yang dapat memberikan gambaran
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang dituju sampai dengan akhir
masa berlakunya perencanaan 20 tahun. Kawasan budidaya adalah wilayah
yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar
kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber
daya buatan. Pola ruang kawasan budidaya salah satunya meliputi kawasan
peruntukan pertanian dan kawasan pertanian tanaman pangan masuk ke
dalam salah satu kategori tersebut. Kawasan pertanian tanaman pangan
merupakan lahan pertanian sawah atau lahan basah yang digunakan untuk
tanaman pangan sesuai dengan pola tanamnya yang perairannya dapat
diperoleh secara alamiah maupun teknis.
Upaya perlindungan lahan pertanian oleh Pemerintah Kabupaten
Semarang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 32 ayat (1) sampai ayat (3)
Perda Kabupaten Semarang No. 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupten Semarang Tahun 2011-2031 yang berbunyi:
1) Kawasan peruntukan pertanian meliputi:
a) Kawasan pertanian tanaman pangan;
b) Kawasan holtikultura;
c) Kawasan perkebunan;
d) Kawasan peternakan.
2) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a tersebar di seluruh Kabupaten Semarang, dengan
luas keseluruhan kurang lebih 24.340 hektar.
3) Luas kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) yang diperuntukkan untuk lahan pertanian pangan
berkelanjutan adalah kurang lebih 22.896 hektar, tersebar di seluruh
kecamatan di daerah kecuali di Kecamatan Getasan.
51
Dari ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa Pemerintah
Kabupaten Semarang telah menargetkan keseluruhan kawasan pertanian
tanaman pangan seluas ± 24.340 hektar pada tahun 2031 mendatang. Selain
itu, luas kawasan pertanian pangan berkelanjutan yang dipenuhi dari luas
kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan yang diperthanakan
keseluruhan atau sekurang-kurangnya seluas ± 22.896 hektar juga telah
ditetapkan.
Dalam rangka untuk mempertahankan luas kawasan pertanian
tanaman pangan diperulakanlah upaya pengendalian pemanfaatan ruang
untuk mencegah adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Pasal
61 huruf (b) dan (c) Perda RTRW Kabupaten Semarang telah mengatur
bahwa “ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pertanian
tanaman pangan disusun dengan memperhatikan mencegah alih fungsi
lahan pertanian lahan basah terutama lahan sawah beririgasi menjadi
lahan budidaya non-pertanian dan ketentuan pelarangan alih fungsi lahan
basah beririgasi menjadi lahan budidaya non-pertanian kecuali untuk
pembangunan kepentingan umum harus mengacu peraturan perundang-
undangan yang berlaku.”15
Ketentuan mengenai peraturan zonasi ini
tentunya sangat mendukung program pemerintah pusat untuk menekan
terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian.
15
Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat yang
meliputi kepentingan untuk pembuatan jalan umum, waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum
atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan perairan, pelabuhan, bandar udara, stasiun dan
jalan kereta api,t erminal, fasilitas keselamatan umum, cagar alam, serta pembangkit dan jaringan
listrik.
52
d. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga
Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (7) UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota
ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota. Maka berdasarkan
ketentuan tersebut RTRW Kota Salatiga diatur dalam Peraturan Daerah
Kota Salatiga Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Salatiga Tahun 2010-2030.
Sebagai salah satu rencana tata ruang skala kota, rencana tata ruang
wilayah kota merupakan tahapan penting dalam proses penataan ruang
secara keseluruhan, memuat konsep-konsep dan kebijakan pengembangan,
serta koordinasi antar instansi terkait dalam proses pengaturan ruang.
Dengan ditetapkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan
PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
mengamanatkan bahwa dalam penataan ruang perlu diperhatikan 3 tahapan
yaitu perencanaan ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian ruang.
Rencana tata ruang wilayah Kota Salatiga ini memiliki peran dan
fungsi sebagai alat operasionalisasi pelaksanaan pembangunan di wilayah
Kota Salatiga. Selain itu rencana tata ruang wilayah Kota Salatiga juga
menjadi pedoman untuk:16
a) Memformulasikan kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah
kota;
b) Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan
perkembangan wilayah Kota Salatiga serta keserasian antarsektor;
c) Memberikan arah bagi penyusunan indikasi program utama dalam
RTRW kota;
d) Pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan/atau
masyarakat; dan
16
Pasal 3 Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010-2030
53
e) Penetapan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota.
Terkait dengan upaya perlindungan lahan pertanian, Pemerintah
Kota Salatiga telah menetapkan ketentuan luas kawasan peruntukan
pertanian. Hal itu masuk ke dalam kategori rencana pola ruang wilayah kota
untuk kawasan budidaya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 55
ayat (1) sampai dengan ayat (4) Peraturan Daerah Kota Salatiga No. 4
Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga yang
berbunyi:
1) Kawasan peruntukan pertanian meliputi:
a) Pertanian tanaman pangan;
b) Holtikultura;
c) Perkebunan; dan
d) Peternakan.
2) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf a meliputi:
a) Kawasan pertanian peruntukan lahan basah; dan
b) Kawasan pertanian peruntukan lahan kering.
3) Kawasan peruntukan lahan basah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a meliputi:
a) Sawah beririgasi teknis ditetapkan sebagai kawasan lahan
pertanian pangan berkelanjutan dengan luas kurang lebih 274
hektar terletak di sebagian Kelurahan Ledok, Kelurahan
Tingkir Tengah, Kelurahan Tingkir Lor, Kelurahan
Kalibening, Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan
Mangunsari, Kelurahan Salatiga, dan Kelurahan Kauman
Kidul.
b) Sawah beririgasi setengah teknis terletak di sebagian
Kelurahan Tingkir Tengah, Kelurahan Sidorejo Kidul,
Kelurahan Kecandran, Kelurahan Pulutan, Kelurahan
Sidorejo Lor, Kelurahan Bugel, dan Kelurahan Kauman
Kidul; dan
c) Sawah beririgasi sederhana terletak di sebagian Kelurahan
Ledok, Kelurahan Pulutan, Kelurahan Blotongan, dan
Kelurahan Kauman Kidul.
4) Kawasan peruntukan pertanian lahan kering ditetapkan sebagai
kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan luas kurang
lebih 205 hektar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
meliputi:
a) Sebagian Kecamatan Sidorejo;
b) Sebagian Kecamatan Tingkir;
54
c) Sebagian Kecamatan Argomulyo; dan
d) Sebagian Kecamatan Sidomukti.
Dengan ketentuan tersebut berarti bahwa Pemerintah Kota Salatiga
pada tahun 2030 mendatang telah menargetkan seluas ± 274 hektar sawah
beririgasi teknis sebagai kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan
untuk kawasan peruntukan pertanian lahan basah. Serta yang ditambah
dengan kawasan peruntukan pertanian lahan kering seluas ±205 hektar
sebagai kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Selain itu pula terkait dengan permasalahan adanya alih fungsi lahan
pertanian ke nonpertanian, Pemerintah Kota Salatiga juga telah berupaya
untuk menekan laju alih fungsi lahan tersebut. Hal ini didasarkan pada
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 55 ayat (8) huruf a dan b Peraturan
Daerah Kota Salatiga No. 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Salatiga yang berbunyi Rencana pengembangan kawasan
peruntukan pertanian meliputi:
a) Pembatasan alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan
untuk kegiatan non pertanian;
b) Peningkatan status sawah beririgasi sederhana dan setengah
teknis secara bertahap menjadi sawah beririgasi teknis.
C. Analisis
Terkait dengan ketentuan hukum mengenai pengaturan perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan dalam wujud larangan alih fungsi lahan dan juga
soal penataan ruang secara nasional terdapat pada 16 peraturan perundang-
undangan di tingkat pusat, 4 peraturan perundang-undangan di tingkat provinsi,
55
dan masing-masing 1 peraturan daerah tentang RTRW di Kabupaten Semarang
dan Kota Salatiga serta ditambah dengan 1 Surat Keputusan Walikota Salatiga.
Berikut ini adalah tabel daftar peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
perlindungan lahan pertanian dan penataan ruang:
Tabel 1
Peraturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Dan
Rencana Tata Ruang Wilayah
No. Peraturan Di Tingkat
Pusat
Peraturan Di Tingkat
Provinsi
Peraturan Di
Tingkat
Kabupaten/Kota
1. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Tengah
Nomor 6 Tahun 2010
Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi
Jawa Tengah Tahun
2009-2029
Peraturan Daerah
Kota Salatiga Nomor
4 Tahun 2011
Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota
Salatiga Tahun 2010-
2030
2. Undang-Undang
Nomor 56 Prp Tahun
1960 Tentang
Penetapan Luas Tanah
Pertanian
Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Tengah
Nomor 2 Tahun 2013
Tentang Perlindungan
Lahan Pertanian
Berkelanjutan Provinsi
Jawa Tengah
Peraturan Daerah
Kabupaten Semarang
Nomor 6 Tahun 2011
Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah
Kabupaten Semarang
Tahun 2011-2031
3. Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan
Ruang
Peraturan Gubernur Jawa
Tengah Nomor 47 Tahun
2013 Tentang Petunjuk
Teknis, Kriteria,
Persyaratan, Dan Tata
Cara Alih Fungsi Lahan
Pertanian Pangan
Berkelanjutan Provinsi
Jawa Tengah
Surat Keputusan
Walikota Salatiga
Nomor
591.05/23/2002
tanggal 1 Februari
2002 tentang Panitia
Pertimbangan
Perubahan
Penggunaan Tanah
Pertanian ke Non
Pertanian
4. Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2009
Tentang Perlindungan
Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan.
Instruksi Gubernur Jawa
Tengah Nomor
590/107/1985 tanggal 25
Maret 1985 tentang
Pencegahan Perubahan
Tanah Pertanian ke Non
Pertanian yang Tidak
56
Terkendalikan
5. Peraturan Pemerintah
Nomor 26 Tahun 2008
Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah
Nasional
6. Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2011
Tentang Penetapan dan
Alih Fungsi Lahan
Pertanian Pangan
Berkelanjutan
7. Keputusan Presiden
Nomor 53 Tahun 1989
Tentang Kawasan
Industri
8. Keputusan Presiden
Nomor 33 Tahun 1990
Tentang Penggunaan
Tanah Bagi
Pembangunan Kawasan
Industri
9. Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri Nomor
590/11108/SJ tanggal
24 Oktober 1984
tentang Perubahan
Tanah Pertanian ke
Non Pertanian
10. Surat Edaran Menteri
Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan
Nasional Nomor 410-
1851 Tanggal 15 Juni
1994 tentang
Pencegahan
Pengurangan Tanah
Sawah Beririgasi
Teknis untuk
Penggunaan Non
pertanian Melalui
Penyusupan Rencana
Tata Ruang
11. Surat Edaran Menteri
Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan
Nasional Nomor 410-
2261 tanggal 22 Juli
57
1994 tentang
Pencegahan
Penggunaan Tanah
Sawah Beririgasi
Teknis untuk
Penggunaan Tanah
Non-Pertanian
12. Surat Menteri Negara
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/ Ketua
Bappenas Nomor:
5334/MK/9/1994
Tanggal 29 September
1994 tentang Perubahan
Penggunaan Tanah
Sawah Beririgasi
Teknis untuk
Penggunaan tanah
Nonpertanian Jo. Surat
Edaran Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional
Nomor 460-3346
Tanggal 31 Oktober
1994 tentang Perubahan
Penggunaan Tanah
Sawah Beririgasi
Teknis untuk
Penggunaan Tanah
Nonpertanian
13. Surat Menteri Negara
Perencanaan
Pembangunan Nasional
/Ketua BAPPENAS
Nomor
5335/MK/9/1994
tanggal 29 September
1994 tentang
Penyusunan Rencana
Tata Ruang Wilayah
tingkat Kabupaten/Kota
14. Surat Menteri Negara
Perencanaan
Pembangunan/Ketua
BAPPENAS Nomor
5417/MK/10/1994
tanggal 4 Oktober 1994
58
tentang Efisiensi
Pemanfaatan Lahan
Bagi Pembangunan
Perumahan
15. Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri Nomor
474/4263/SJ tanggal 27
Desember 1994 tentang
Peninjauan Kembali
RTRW Provinsi dan
Kabupaten/Kota
16. Surat Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN
Nomor 460-1594
tanggal 5 Juni 1996
tentang Pencegahan
Konversi Tanah Sawah
Irigasi Teknis Menjadi
Tanah Kering
Sesuai dengan tujuan penyelenggaraan penataan ruang berdasarkan UU No.
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan yang berlandaskan
wawasan nusantara dan ketahanan nasional, diharapkan penataan ruang di tingkat
kabupaten/kota selaras juga dengan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan demi mewujudkan ketahanan,
kemandirian, dan kedaulatan pangan. Agar cita-cita tersebut tercapai,
diperlukanlah suatu lahan pertanian yang cukup dan tidak dialihfungsikan untuk
keperluan selain pertanian pangan. Akan tetapi, rupanya keberadaan lahan
pertanian ini tidak dapat dipertahankan lagi akibat lajunya alih fungsi lahan yang
terjadi di tingkat kabupaten/kota.
59
1. Konsistensi Pengaturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan Dalam RTRW Di Kabupaten Semarang
Ketentuan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dimaksudkan
agar bidang-bidang lahan tertentu hanya dapat digunakan untuk aktivitas pertanian
yang sesuai. Undang-undang tentang penataan ruang telah memerintahkan
perlunya perlindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan yang
diatur lebih lanjut ke dalam peraturan daerah kabupaten/kota. Hal ini bertujuan
untuk menekan laju alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di tingkat daerah.
Inilah yang menjadi jiwa dari pengaturan perlindungan lahan pertanian
berkelanjutan dan penataan ruang di Kabupaten Semarang.
Sesuai dengan ketentuan yang diatur pada tingkat pusat, yakni dalam Pasal
18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan yaitu “perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan dilakukan dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan” serta
dalam Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 yang mengatur
bahwa “penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan kabupaten/kota
diatur dalam peraturan daerah mengenai rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota.” Maka Pemerintah Kabupaten Semarang telah menetapkan
kawasan peruntukan pertanian pangan yang diatur dalam Pasal 32 ayat (1) sampai
(3) Peraturan Daerah Kabupaten Semarang No. 6 Tahun 2011 tentang RTRW
Kabupaten Semarang yang berbunyi:
1) Kawasan peruntukan pertanian meliputi:
e) Kawasan pertanian tanaman pangan;
f) Kawasan holtikultura;
g) Kawasan perkebunan;
h) Kawasan peternakan.
60
2) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a tersebar di seluruh Kabupaten Semarang, dengan
luas keseluruhan kurang lebih 24.340 hektar.
3) Luas kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) yang diperuntukkan untuk lahan pertanian pangan
berkelanjutan adalah kurang lebih 22.896 hektar, tersebar di
seluruh kecamatan di daerah kecuali di Kecamatan Getasan.
Selain itu, dalam Pasal 61 Peraturan Daerah RTRW Kabupaten Semarang,
Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang telah menetapkan salah satu strategi
pengendalian alih fungsi lahan dengan mencegah alih fungsi lahan pertanian lahan
basah terutama lahan sawah beririgasi menjadi lahan budidaya nonpertanian. Bagi
ketentuan pelarangan alih fungsi lahan pertanian lahan basah beririgasi menjadi
lahan budidaya nonpertanian, kecuali untuk pembangunan kepentingan umum,
harus sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini sesuai pula dengan
amanat ketentuan Pasal 44 UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan yang pada hakekatnya lahan pertanian pangan
berkelanjutan dapat dialihfungsikan hanya untuk kepentingan umum saja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan. Itupun harus sesuai dengan syarat-
syarat tertentu yang salah satunya adalah disediakan lahan pengganti terhadap
lahan pertanian pangan berkelajutan yang dialihfungsikan. Lebih lanjut dalam
Pasal 72 hingga Pasal 74 Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 ini telah ditentukan
ancaman pidana apabila terjadi alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan syarat
yang telah ditentukan yakni berupa ancaman pidana penjara dan denda. Hal ini
berlaku pula bagi mereka tidak melakukan kewajiban mengembalikan keadaan
lahan pertanian pangan berkelanjutan ke keadaan semula setelah melakukan alih
fungsi lahan.
61
Menurut penulis, ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Daerah RTRW
Kabupaten Semarang sebenarnya telah sesuai dan sinkron dengan apa yang telah
diatur di tingkat pusat. Dimana dalam peraturan daerah RTRW Kabupaten
Semarang telah secara jelas menentukan besaran luas kawasan peruntukan
pertanian yang hendak dicapai serta aturan pengendaliannya dengan melarang
adanya kegiatan alih fungsi lahan dengan mencegah alih fungsi lahan pertanian
lahan basah terutama lahan sawah beririgasi menjadi lahan budidaya
nonpertanian. Sehingga disini penulis tidak menemukan adanya inkonsistensi
pengaturan perlindungan lahan pertanian di Kabupaten Semarang dengan
peraturan di tingkat pusat.
2. Konsistensi Pengaturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan Dalam RTRW Di Kota Salatiga
Jiwa dari pengaturan perlindungan lahan pertanian adalah untuk memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat dalam pemenuhan hak atas pangan secara
berkelanjutan menuju masyarakat yang sejahtera dan mandiri dalam kecukupan
pangan. Pemerintah Daerah dalam hal ini Kota Salatiga wajib melakukan
perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dapat dipergunakan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya. Guna melindungi kawasan lahan
pertanian dari alih fungsi lahan yang terjadi, maka diperlukan suatu pengaturan
mengenai perlindungan lahan pertanian dan penataan ruang.
Pemerintah Kota Salatiga telah menetapkan kawasan peruntukan pertanian
sebagai rencana pola ruang wilayah kota untuk kawasan budidaya. Hal ini dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 55 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Daerah No. 4
Tahun 2010 tentang RTRW Kota Salatiga yang berbunyi
62
1) Kawasan peruntukan pertanian meliputi:
a) Pertanian tanaman pangan;
b) Holtikultura;
c) Perkebunan; dan
d) Peternakan.
2) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud ayat
(1) huruf a meliputi:
a) Kawasan pertanian peruntukan lahan basah; dan
b) Kawasan pertanian peruntukan lahan kering.
3) Kawasan peruntukan lahan basah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a meliputi:
a) Sawah beririgasi teknis ditetapkan sebagai kawasan
lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan luas
kurang lebih 274 hektar terletak di sebagian Kelurahan
Ledok, Kelurahan Tingkir Tengah, Kelurahan Tingkir
Lor, Kelurahan Kalibening, Kelurahan Kutowinangun,
Kelurahan Mangunsari, Kelurahan Salatiga, dan
Kelurahan Kauman Kidul.
b) Sawah beririgasi setengah teknis terletak di sebagian
Kelurahan Tingkir Tengah, Kelurahan Sidorejo Kidul,
Kelurahan Kecandran, Kelurahan Pulutan, Kelurahan
Sidorejo Lor, Kelurahan Bugel, dan Kelurahan Kauman
Kidul; dan
c) Sawah beririgasi sederhana terletak di sebagian
Kelurahan Ledok, Kelurahan Pulutan, Kelurahan
Blotongan, dan Kelurahan Kauman Kidul.
4) Kawasan peruntukan pertanian lahan kering ditetapkan sebagai
kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan luas kurang
lebih 205 hektar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
meliputi:
a) Sebagian Kecamatan Sidorejo;
b) Sebagian Kecamatan Tingkir;
c) Sebagian Kecamatan Argomulyo; dan
d) Sebagian Kecamatan Sidomukti.
Ketentuan dalam Pasal 55 Peraturan Daerah RTRW Kota Salatiga ini
sebenarnya telah memenuhi apa yang telah diatur dalam Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan yaitu perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan
dilakukan dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan. Lebih lanjut lagi
dalam Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 mengatur bahwa
63
penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan kabupaten/kota diatur dalam
peraturan daerah mengenai rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. Hal ini
menunjukkan bahwa apa yang telah diatur di tingkat pusat dikuatkan kembali ke
dalam peraturan di daerah.
Selain itu terkait dengan upaya untuk membendung laju alih fungsi lahan,
diatur dalam ketentuan Pasal 55 ayat (8) huruf a Peraturan Daerah RTRW Kota
Salatiga, Pemerintah Kota Salatiga telah melakukan pembatasan alih fungsi lahan
pertanian tanaman pangan untuk kegiatan non pertanian. Hal ini telah sesuai pula
dengan ketentuan di Pasal 44 UU No. 41 Tahun 2009 yang pada intinya mengatur
bahwa lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dialihfungsikan hanya untuk
kepentingan umum saja.
Maka menurut penulis, secara pengaturan sebenarnya sudah ada sinkronisasi
antara pengaturan dari tingkat pusat ke daerah terkait dengan upaya perlindungan
lahan pertanian.
3. Hubungan Antara Hukum Dan Lahan Pertanian
Pada dasarnya, hukum ada untuk melindungi kepentingan manusia.
Kepentingan manusia yang dimaksudkan disini adalah subyek hukum yang
memiliki hak milik atas tanah. Masalah yang kemudian muncul adalah manusia
sebagai subyek hukum pemegang hak milik atas tanah ini dibatasi oleh status
tanahnya sendiri oleh negara sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Dengan status lahan pertanian pangan berkelanjutan tersebut sejatinya pemilik
lahan tidak dapat mengubah atau mengalihfungsikan menjadi kawasan lahan
nonpertanian, seperti misalnya kawasan perumahan atau industri. Pembatasan ini
tentunya akan merugikan pemilik lahan jika lahan pertanian itu tidak
64
dialihfungsikan sementara nilai ekonomis yang begitu tinggi dan lebih
menguntungkan bagi pemilik lahan. Dengan demikian, pemerintah dalam hal ini
tidak memberikan alternatif pilihan terhadap subyek hukum tersebut.
Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang terjadi saat ini
akibat arus urbanisasi dan industrialisasi, harusnya menjadikan pemerintah
mempertegas untuk mengatur kebijakan pertanian. Kaitannya adalah dengan
rencana tata ruang wilayah yang ada di daerah melalui penetapan status zonasi
daerah pertanian. Dimana tanah yang berlokasi di kawasan tersebut tidak dapat
dijadikan sebagai kawasan perumahan ataupun industri. Akan tetapi, yang harus
diperhatikan disini adalah nilai tanah. Dalam hal suatu kebijakan tertentu kadang
nilai tanah itu dapat menjadi sangat tinggi. Kemudian hal ini membuat pemilik
hak atas tanah berpikir lain untuk memanfaatkan tanahnya dengan mengubah
yang tadinya lahan pertanian sawah menjadi perumahan misalnya. Negara disini
harus dapat mengakomodasi kepentingan tersebut. Negara juga harus pandai-
pandai memainkan hak atas tanah yang diberikan tersebut.
Disini pemerintah harus mampu melihat bahwa apabila terdapat lahan
pertanian yang berada di kawasan strategis, meskipun itu merupakan lahan
pertanian pangan berkelanjutan, bisa saja lahan tersebut dialihfungsikan ke
nonpertanian. Pertimbangannya adalah apabila pemanfaatan lahan tersebut
berlipat ganda dari sisi ekonomis maka bukan menjadi suatu masalah jika pemilik
lahan tersebut menjualnya menjadi lahan nonpertanian. Memang hal ini akan
berdampak berkurangnya lahan pertanian terutama lahan pertanian pangan
berkelanjutan di suatu daerah. Maka pemerintah harus dapat melihat pula bahwa
65
di daerah tersebut, terutama di Pulau Jawa, memang dimungkinkan untuk
mempertahankan lahan pertanian atau tidak.
Ironis memang bahwa Indonesia yang memiliki wilayah begitu luas harus
berhadapan dengan masalah keberadaan lahan pertanian. Masalah yang terjadi
adalah segala aspek pembangunan nasional sebagian besar terpusat di Pulau Jawa.
Banyak orang berurbanisasi ke Pulau Jawa dengan kepentingannya masing-
masing membuat keberadaan lahan di Pulau Jawa semakin menyempit jumlahnya
dan tidak dapat bertambah dengan sendirinya. Lahan pertanian di Pulau Jawa pun
juga terkena imbasnya dengan semakin lama semakin berkurang.
Atas dasar hal tersebut, sudah tidak pada tempatnya untuk mengorientasikan
Pulau Jawa sebagai daerah pertanian. Pembuat kebijakan kemudian secara tidak
sadar hanya membuat generalisasi bahwa setiap daerah di Indonesia harus
memiliki lahan pertanian pangan berkelanjutan sesuai dengan ketentuan UU No.
41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Tentunya hal ini akan sulit diterapkan di Pulau Jawa mengingat begitu pesatnya
pembangunan yang ada, tidak terkecuali di Kabupaten Semarang dan Kota
Salatiga. Adanya pabrik-pabrik industri besar yang memiliki ribuan karyawan
yang beroperasi berdampak pada berkurangnya lahan yang ada. Bukan tidak
mungkin bahwa pemilik lahan pertanian karena nilai ekonomis tanah yang
meningkat akan menjadikan lahan pertanian tersebut dialihfungsikan menjadi
kawasan perumahan. Bukan menjadi suatu masalah apabila hal ini terjadi di Pulau
Jawa mengingat faktor penariknya yang begitu kuat.
Sehingga yang harus diperhatikan disini adalah pembuat kebijakan harus jeli
melihat kondisi yang ada. Kekhawatiran mengenai terus berkuangnya lahan
66
pertanian yang mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan dapat diatasi
dengan mengupayakan pembukaan lahan pertanian pangan berkelanjutan di luar
Pulau Jawa. Hal ini tentunya untuk mengurai pula kepadatan yang sudah terjadi di
Pulau Jawa. Sehingga pada akhirnya, pemerintah nantinya dapat menetapkan
beberapa kawasan di luar Pulau Jawa yang potensial untuk diorientasikan sebagai
daerah pertanian. Ketentuan yang terdapat dalam UU No.41 Tahun 2009 yang
terkait dengan lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat diterapkan secara
maksimal sehingga tujuan negara untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan
pangan nasional akan tercapai.