Upload
buikhuong
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perilaku Membolos
1. Pengertian Membolos
Perilaku membolos dapat dimasukkan sebagai salah satu bagian
dari kenakalan remaja. Masalah ini berkaitan dengan pelanggaran norma
hukum dan norma-norma sosial. Dalam hal ini siswa yang melakukan
pelanggaran terhadap aturan atau norma atau tata tertib yang diterapkan di
sekolah.
Membolos menurut Poerwadarminto W.J.S (1986) diartikan
sebagai tidak masuk sekolah yaitu siswa yang absen dari sekolah tanpa
izin dan tanpa sepengetahuan dari orang tua, meninggalkan sekolah atau
tidak masuk sekolah dari awal pelajaran sampai akhir. Menurut
Simandjuntak (1975) membolos juga dapat diartikan sebagai bentuk
penarikan diri dari kenyataan di sekolah untuk menghindari tugas-tugas
sekolah yang dirasakan tidak menyenangkan.
Menurut Apriyatni (2006) membolos sering terjadi tidak hanya saat
ingin berangkat sekolah, namun saat jam pelajaran ketika dimulai pun
terkadang ada siswa yang memanfaatkan waktu untuk membolos.
Keinginan membolos ini bermacam-macam, ada yang sekedar
9
menghilangkan rasa suntuk karena pelajaran di sekolah atau sedang
mempunyai masalah pribadi yang membuat siswa tidak berkonsentrasi
belajar di sekolah. Membolos merupakan salah satu bentuk dari kenakalan
siswa, yang jika tidak segera diselesaikan atau dicari solusinya dapat
menimbulkan dampak yang lebih parah. Oleh karena itu, penanganan
terhadap siswa yang suka membolos menjadi perhatian yang sangat serius.
Menurut Yuli Setyowati (2004) bahwa pengertian membolos
adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh siswa dalam bentuk
pelanggaran tata tertib sekolah dengan cara atau meninggalkan sekolah
pada jam pelajaran tertentu, meninggalkan pelajaran sampai akhir
sepanjang hari yaitu dari awal pelajaran sampai akhir pelajaran guna
menghindari pelajaran efektif tanpa ada keterangan yang dapat diterima
oleh pihak sekolah atau dengan keterangan palsu.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa perilaku membolos
adalah tindakan yang dilakukan oleh siswa dalam bentuk pelanggaran tata
tertib yaitu meninggalkan sekolah pada jam pelajaran berlangsung atau
tidak masuk sekolah tanpa izin dari guru dan orang tua yang bertujuan
untuk menghindari jam pelajaran efektif. Membolos sebagai perilaku
individu yang absen dari sekolah tanpa izin dan tanpa sepengetahuan dari
orang tua, meninggalkan sekolah pada jam sekolah berlangsung dan
membolos dari awal pelajaran sampai akhir pelajaran.
10
Menurut Yuli Setyowati (2004) beberapa masalah yang dihadapi
siswa yang membolos antara lain :
1. Adanya perasaan tidak nyaman
2. Mempunyai musuh di sekolah
3. Tidak suka dengan beberapa mata pelajaran yang dianggap tidak
penting atau tidak disukai
4. Merasa tertinggal dalam pelajaran dan tidak mampu
5. Tidak suka guru yang mengajar
6. Adanya tekanan dari teman
7. Situasi rumah yang tidak mendukung untuk belajar
8. Memang karena tidak berminat pada sekolah
Menurut Yuli Setyowati (2004) ada siswa yang dengan alasan sakit
atau ada keperluan keluarga mendapat izin untuk meninggalkan pelajaran
padahal kenyataannya alasan-alasan itu tidak benar atau palsu. Sekolah
tidak mengetahui bahwa siswanya telah memanfaatkan alasan tersebut
agar diizinkan untuk meninggalkan pelajaran atau tidak masuk sekolah.
Hampir setiap sekolah menerapkan peraturan disiplin siswa dengan
menetapkan kegiatan belajar pagi mulai pukul 07.00 WIB. Para siswa
harus sudah berada di sekolah lima belas menit sebelum kegiatan belajar
dimulai. Bagi siswa yang terlambat akan diperkenankan masuk kelas,
setelah mendapat surat izin dari kepala sekolah atau guru piket.
11
Menurut Priyatno dan Erman Amti (1999) adapun gambaran rinci
mengenai perilaku membolos meliputi :
1. Berhari-hari tidak masuk sekolah
2. Tidak masuk sekolah tanpa izin
3. Sering keluar pada jam pelajaran tertentu
4. Mengajak teman-teman untuk keluar pada mata pelajaran yang tidak
disenangi
2. Faktor Yang Melatarbelakangi Perilaku Membolos Siswa
Menurut Indri Setyawati (2007) menyebutkan banyak faktor yang
menyebabkan anak malas datang ke sekolah. Faktor ini dapat berasal dari
dalam diri siswa itu sendiri maupun dari faktor lingkungan. Siswa yang
membolos biasanya akan mengemukakan alasan yang masuk akal
sehingga diberi izin oleh orang tua, guru piket atau guru BK. Padahal
tujuan utamanya adalah untuk menghindari jam efektif belajar di sekolah.
Menurut Kresno Mulyadi (2005), penyebab rasa takut bersekolah ini
beragam antara lain karena berbagai persoalan yang didapatinya saat di
sekolah seperti di ejek teman, menghadapi guru yang galak. Sebab yang
lain adalah anak tidak dapat beradaptasi dengan suasana sekolah.
Ferry Hendra Prajaka (2009) mengungkapkan bahwa teman
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku sosial. Teman
memainkan peran dalam berinteraksi dan beraktivitas. Teman menjadi
perantara awal bagi anak untuk bersosialisasi secara aktif. Teman menjadi
tempat pembelajaran nilai-nilai dan peraturan social yang bersifat informal
12
yang tidak mereka dapatkan dari keluarga maupun sekolah. Teman yang
baik tingkah lakunya akan memberikan dampak yang positif bagi
seseorang. Sebaliknya jika bergaul dengan teman yang tingkah lakunya
buruk bahkan menyimpang dapat juga memberikan pengaruh negatif bagi
seseorang.
Suasana sekolah yang menyenangkan menurut VM Tri Mulyani W
(2004) adalah sekolah-sekolah yang aman, tenang, bebas dari rasa takut
terhadap guru-guru dan staf administrasinya. Suasana sekolah yang
menyenangkan mempunyai andil besar untuk menarik siswa. Hari pertama
masuk sekolah hendaknya semua guru berada di kelas memberikan
penjelasan kepada siswa dengan berwajah ceria, murah senyum. Hal ini
akan memberikan kesan yang menyenangkan. Masih menurut VM Tri
Mulyani (2004) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang di
lingkungan sekolah yang tidak menyenangkan seorang siswa Sekolah
Menengah, diantaranya yang menyangkut faktor guru, mata pelajaran dan
faktor lain yang menyangkut anak itu sendiri. Bila faktor-faktor ini dialami
anak di sekolah, maka siswa tersebut akan malas masuk kelas, bolos, ingin
meninggalkan sekolah lebih dini, tidak bertujuan memperoleh keahlian
dan cita-citanyapun menjadi kabur.
Menurut Chairil Anwar (2006) ada beberapa faktor yang
menyebabkan siswa membolos dari sekolah yaitu karena adanya
permasalahan yang muncul, baik di lingkungan sekolah sendiri, kemudian
13
di luar lingkungan sekolah, persoalan dengan teman, kurang menyukai
pelajaran atau bahkan tidak senang dengan guru yang mengajar.
Dian Apriyatni (2006) mengatakan ada beberapa faktor yang
menyebabkan siswa bolos sekolah diataranya karena merasa bosan dengan
gaya mengajar guru. Penyebab lainnya adalah adanya masalah pribadi baik
dengan orang tua, pacar maupun teman-teman, namun bolos sekolah juga
dilakukan oleh siswa karena pengaruh dari teman-teman.
Menurut Priyatno dan Erman Amti (1999) penyebab siswa
membolos dari sekolah adalah sebagai berikut:
a. Tak senang dengan sikap dan perilaku guru
b. Merasa kurang mendapatkan perhatian dari guru
c. Merasa dibeda-bedakan oleh guru
d. Proses belajar mengajar yang membosankan
e. Merasa gagal dalam belajar
f. Kurang berminat terhadap mata pelajaran
g. Terpengaruh oleh teman yang suka membolos
h. Takut masuk karena tidak membuat tugas
Menurut Priyatno dan Erman Amti (1999) kemungkinan akibat
siswa membolos dari sekolah adalah sebagai berikut:
a. Minat terhadap pelajaran akan semakin kurang
b. Gagal dalam ujian
c. Hasil belajar yang diperoleh tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki
d. Tidak naik kelas
14
e. Penguasaan terhadap materi pelajaran tertinggal dari teman-teman
lainnya
f. Dikeluarkan dari sekolah
Menurut Yuli Setyowati (2004) menyatakan bahwa ada beberapa
gejala yang nampak menyebabkan siswa membolos adalah sebagai berikut
ini :
a. Ada siswa yang tidak hadir pada hari-hari sekolah tertentu
b. Dari mereka yang tidak hadir itu ada yang memberitahu dengan alasan
sakit atau ada urusan keluarga yang penting, tetapi ada pula yang
tanpa pemberitahuan
c. Ada pula yang memberitahu tetapi alasan tidak sesuai dengan alasan
sesungguhnya
d. Ada pula siswa yang sekalipun hadir pada hari sekolah tetapi tidak
hadir pada jam pelajaran tertentu
e. Ada yang hadir pada jam pelajaran tetapi di tengah jam pelajaran
minta izin keluar lalu tidak masuk lagi
Menurut Yuli Setyowati (2004) dalam hal ini faktor-faktor yang
diduga melatarbelakangi perilaku membolos siswa diantaranya adalah
faktor ekstern maupun faktor intern. Adapun faktor ekstern tersebut adalah
a. Peran teman: siswa tersebut ikut-ikutan membolos karena pengaruh
teman yang suka membolos
b. Persepsi tentang mata pelajaran : pelajaran hari tersebut tidak
menyenangkan dan ada tugas yang belum dikerjakan
15
c. Persepsi tentang guru : guru yang mengajar hari tersebut galak dan
tidak toleran, terlalu banyak mengatur siswa-siswanya
d. Persepsi terhadap pelaksanaan tata tertib : tata tertib yang
diberlakukan di sekolah
e. Tempat tinggal : tempat tinggal siswa jauh dan sulit transportasinya
sehingga memungkinkan siswa untuk membolos
f. Keadaan orang tua : keadaan ekonomi orang tuanya kurang dan belum
melunasi administrasi sekolah
Sedangkan faktor internnya adalah sebagai berikut :
a. Kematangan untuk belajar
Kematangan belajar ada kaitannya dengan pertumbuhan biologis.
Misalnya : anak yang dalam masa pertumbuhannya belum tiba pada
suatu tahap untuk belajar berjalan, janganlah dipaksa untuk mulai
belajar berjalan. Anak belum matang untuk mulai belajar berjalan.
Pemaksaan untuk belajar sesuatu sebelum sampai pada tahap
kematanganya akan menimbulkan akibat yang tidak menyenangkan.
b. Kemampuan atau ketrampilan dasar untuk belajar
Faktor ini merupakan prasyarat bagi keberhasilan proses belajar.
Seseorang yang memiliki kemampuan belajar asli yang tinggi akan
lebih cepat berhasil dalam belajar. Selanjutnya, apabila seorang siswa
belajar terlebih dahulu bekal kemampuan yang dipersyaratkan untuk
mempelajari sesuatu, maka dia cenderung akan lebih berhasil dalam
belajar dalam hal itu.
16
c. Dorongan untuk berprestasi
Dorongan ini pada dasarnya telah ada pada diri seseorang sejak
dilahirkan. Tinggi rendahnya dorongan ini akan sangat tergantung
kepada pengalaman orang yang bersangkutan dalam menggunakan
dorongan itu.
Kartini Kartono (1985) menyebutkan bahwa seringkali ada anak
yang merasa bahwa anak tidak diinginkan atau diterima di kelasnya. Anak-
anak yang ditolak oleh kawan-kawan sekelasnya, akan merasa lebih aman
berada di rumah. Ada juga anak yang tidak diperhatikan atau diacuhkan
oleh teman-teman sekelasnya. Siswa tidak diajak bermain, tidak pernah
dipilih dalam kelompok bermain. Penolakan terhadap anak oleh anak lain
dapat disebabkan oleh waktak tertentu, tetapi dapat juga disebabkan karena
status sosial. Anak yang ditolak di sekolah, baik oleh guru maupun oleh
teman-teman sekelasnya akan mencari-cari alasan untuk tinggal di rumah.
Menurut Bambang Moelyono (1984) menyebutkan bahwa keluarga
merupakan wadah pembentukan pribadi anggota keluarga terutama untuk
anak-anak yang sedang mengalami pertembuhan fisik dan rohani. Dengan
demikian keadaan dan kedudukan keluarga mempunyai peran penting bagi
pendidikan seorang anak. Perhatian orang tua terhadap anak, rukun dan
tidaknya kedua orang tua, akrab atau tidaknya hubungan orang tua dan
anak berpengaruh besar terhadap keberhasilan pendidikan anak.
Menurut Indri Setyawati (2007) menyebutkan bahwa sikap orang
tua juga memberi pengaruh yang sangat besar pada anak. Apabila orang
17
tua tidak melihat pentingnya anak masuk sekolah, atau mengganggap
sekolah itu hanya membuang waktu saja, atau juga jika mereka
menanamkan perasaan pada anak bahwa anak tidak akan berhasil, anak itu
akan berkurang semangatnya untuk masuk sekolah.
John Pearce (1990) mengatakan ada beberapa kemungkinan siswa
membolos dari sekolah :
a. Sekolahnya membosankan atau sulit bagi anak dan tampaknya tidak
memberikan banyak hal
b. Anak disesatkan oleh anak lain
c. Sekolahnya tidak terorganisasi dengan baik dan tidak pernah
memperhatikan masalah membolos
d. Tindakan membolos mungkin terjadi bila orang tua asyik dengan
masalah yang lain, seperti kedua orang tua bekerja
e. Bila anak berperilaku antisocial yang lain dan juga membolos, siswa
mengalami masalah yang sangat serius dan lepas dari pengawasan
f. Kadang anak membolos karena mereka mendapatkan sesuatu yang
lebih menarik untuk dikerjakan, seperti pekerjaan yang dibayar atau
menemui teman-teman
Menurut Singgih D Gunarsa (1980) penyebab siswa tidak mengikuti
pelajaran di sekolah adalah : kemampuan belajar dan berfikir yang sudah
memang tidak sama denga murid-murid lain. Atau karena lain sebab dari
luar, mungkin karena keadaan keluarga kurang memberikan kesempatan
belajar baginya. Dapat pula karena guru baginya kurang memberikan
18
semangat belajar, disebabkan suatu peristiwa antara guru dan murid,
sehingga bagi anak berada di sekolah berarti suatu siksaan dan
membosankan. Akhirnya siswa membolos dari sekolah.
Sedang menurut Gunarsa dan Gunarsa (1987) ada dua faktor yang
melatarbelakangi perilaku membolos siswa yaitu :
a. Sebab yang bersumber pada anak
1. Pada umumnya anak tidak sekolah karena sakit
2. Ketidakmampuan anak dalam mengikuti pelajaran di sekolah
3. Kemampuan intelek yang tarafnya lebih tinggi daripada teman-
temannya
4. Kekurangan motivasi untuk belajar
b. Sebab yang bersumber di luar anak
1) Keluarga
a) Keadaan keluarga
Keadaan keluarga tidak selalu memudahkan anak didik untuk
memakai waktu untuk belajar sekehendak hatinya. Banyak
keluarga yang masih memerlukan bantuan semua anggota
keluarga, juga anak-anak, untuk melaksanakan tugas-tugas
rumah tangga. Bahkan tidak jarang pula terlihat adanya anak
didik yang membantu orang tua mencari nafkah. Remaja yang
merasa diri sudah “dewasa” acap kali tergoda oleh keinginan
untuk mencari nafkah, dan meninggalkan bangku sekolah untuk
“ngobyek”.
19
b) Sikap orang tua
i) Sikap orang tua yang masa bodoh terhadap sekolah,
tentunya kurang membantu anak dalam mendorong anak
hadir di sekolah. Orang tua dengan mudah memberi surat
keterangan sakit untuk sekolah, padahal anak membolos
untuk menghindari ulangan. sikap orang tua yang tidak
mementingkan kehadiran anak di sekolah, juga tidak akan
membangkitkan “kegairahan” anak untuk ke sekolah.
ii) Sikap orang tua yang terlalu cemas mengenai kesehatan
anak, sehingga anak terlalu lama ditahan di rumah sesudah
sembuh dari sakit
iii) Sikap orang tua yang terlalu tinggi harapannya terhadap
prestasi sekolah anak, yang tidak dapat dipenuhinya. Anak
ingin menghindarinya dari situasi yang mengecewakan,
sehingga ingin menjauhkan diri dari sekolah, dengan
perkataan lain membolos.
2) Sekolah
a. Hubungan anak dengan sekolah dapat dilihat dalam
hubungannya dengan anak-anak lain, yang menyebabkan siswa
tidak senang di sekolah, lalu membolos
i. Anak mungkin lain dari anak-anak lain seperti cacat,
berkelainan
20
ii. Anak mungkin tidak disenangi oleh kawan-kawan sekelasnya
karena termasuk kelompok minoritas atau anak kesayangan
guru
b. Anak tidak senang ke sekolah karena tidak senang dengan
gurunya
i. Guru yang mungkin menakutkan bagi anak
ii. Guru yang membedakan murid-murid, menganakemaskan
anak
iii. Guru yang tidak mau mendengar atau menjawab pertanyaan
murid
iv. Ada persoalan antara anak didik dengan guru
Menurut Yuli Setyowati (2004) faktor yang melatarbelakangi
perilaku membolos siswa dapat dilihat dari dua faktor yaitu :
a. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan tempat pendidikan formal yang
mempunyai peranan mengembangkan kepribadian siswa sesuai
dengan pengetahuan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas di
masyarakat. Lingkungan sekolah di sini meliputi guru, mata pelajaran
dan teman.
1) Guru
Dalam proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas
untuk mendorong, membimbing, dan memberikan fasilitas belajar
bagi siswa untuk menciptaka tujuan. Guru mempunyai tanggung
21
jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi di dalam kelas
untuk membantu proses perkembangan siswa.
Guru yang baik harus mampu menciptakan proses belajar
mengajar yang baik antara lain dengan menggunakan metode
mengajar yang tepat sehingga siswa tidak bosan mengikuti mata
pelajaran yang diampu oleh guru tersebut.
Menurut Nana Sudjana (1989) metode mengajar merupakan
cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan
siswa pada saat berlangsungnya proses belajar mengajar. Dalam
proses belajar mengajar yang baik hendaknya mempergunakan
berbagai jenis metode mengajar secara bervariasi. Masing-masing
metode mengajar yang tepat untuk menciptakan proses belajar
mengajar. Gaya belajar siswa bermacam-macam ada siswa yang
cocok dengan metode tertentu adapula yang kurang cocok dengan
metode yang digunakan oleh gurunya. Hal ini supaya siswa tetap
setia mengikuti pelajaran yang diampunya.
Guru di sekolah berpengaruh terhadap perilaku membolos
siswa, karena ada guru yang bersikap otoriter, suka membeda-
bedakan murid. Guru yang suka bertindak keras, tidak memahami
pokok-pokok studi yang akan diajarkannya. Guru yang bersikap
otoriter, menbeda-bedakan murid akan menyebabkan siswa merasa
resah, tidak nyaman sehingga siswa tidak mengikuti pelajaran
karena akan menimbulkan perasaan takut dalam diri siswa.
22
Salah satu yang penting dalam menghindari siswa
melakukan pembolosan selain guru harus mempunyai kecakapan
yang baik dalam menyampaikan materi pelajaran, juga harus dapat
menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, sehingga siswa
tidak merasa bosan di dalam kelas dan mau mengikuti pelajaran
dari awal sampai akhir pelajaran usai.
2) Mata Pelajaran
Guru dalam mengajarkan materi pelajaran harus sesuai
dengan kemampuan atau potensi masing-masing siswa sesuai
dengan tujuan yang telah dirumuskan. Untuk meningkatkan mutu
seorang guru harus memberikan materi pelajaran sesuai dengan
ukuran standar siswa.
Selain itu, guru yang terlalu banyak memberikan tugas
pada suatu mata pelajaran juga menyebabkan siswa menjadi jenuh
dan merasa terbebani setiap bertemu dengan mata pelajaran
tersebut.
Untuk itu, seorang guru harus dapat mengelola proses
belajar mengajar dengan cara menciptakan kondisi belajar yang
menyenangkan. Selain itu, cara penyampaian materi oleh guru
harus bervariasi tidak monoton dengan satu metode saja. Ini
menimbulkan kebosanan bagi siswa sehingga siswa menghindari
mata pelajaran tersebut karena tidak menarik dan membuat siswa
bosan.
23
3) Ajakan Teman
Siswa yang memiliki teman di sekolah maupun di luar
sekolah banyak menyita waktu belajarnya yang digunakan untuk
kegiatan dengan teman-temannya. Ini menyebabkan pengaruh
teman dalam hal sikap, perilaku, pembicaraan, minat dan
penampilan lebih menentukan dibandingkan orang tua. Lagi pula
kegiatan yang dilakukan teman-temannya “menyenangkan” bagi
mereka, sehingga siswa dengan mudah meninggalkan sekolah
yakni dengan membolos
Ada beberapa siswa yang ikut-ikutan membolos karena
tidak mau dikatakan tidak “gaul”. Siswa membutuhkan pengakuan
dari teman satu “geng”, siswa tidak mau dikatakan penakut dan
ditinggalkan oleh gengnya. Oleh karena itu, siswa lebih memilih
sebagai “anggota geng” dengan ikut-ikutan membolos.
Siswa membolos daripada mengikuti pelajaran di sekolah
hal ini dikarenakan siswa tidak mempunyai teman, sering
ditinggalkan atau tidak diikutsertakan oleh teman-temannya di
dalam suatu kegiatan. Reaksi ini sering terjadi pada siswa yang
oleh teman-temanya dikatagorikan “kuper” (kurang pergaulan).
Siswa merasa tidak dibutuhkan di kegiatan tersebut, padahal
mereka mampu untuk mengerjakannya. Siswa merasa terasing dan
tidak dapat mengikuti cara pergaulan teman-temannya, sehingga
24
dengan demikian siswa-siswa ini lebih memilih membolos daripada
merasakan terasingkan dari teman-teman siswa.
Simandjuntak (1975) menyatakan bahwa kelompok lebih
penting artinya dibadingkan dengan guru dan pelajaran. Mereka
menganggap teman bisa memberikan perhatian yang lebih, yang
tidak diperoleh di tempat lain (misalnya keluarga, lingkungan
sekitar dimana siswa tinggal).
Apabila remaja merasa ditolak atau diterima oleh
lingkungan sosialnya, maka remaja merasa gagal dan dapat
mengakibatkan timbulnya perilaku salah seperti membolos dari
sekolah, pergi dari rumah, membentuk kelompok dipinggir jalan
dan mengaggu orang lain
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan
dengan teman-teman sebaya mudah berpengaruh terhadap perilaku
membolos dibandingkan keberadaan guru, orang tua maupun tata
tertib sekolah
John Pearce (1990) menyatakan bahwa anak yang
membolos sendirian lebih merasa terganggu daripada membolos itu
dilakuka dalam kelompok. Sedangkan Yusuf Tj (1990) menyatakan
bahwa kelompok kadang-kadang akan menekan remaja sebagai
anggota jika tidak memberikan toleransi kepada kelompok,
sehingga lebih mementingkan kelompoknya dibandingkan orang
tua, guru atau sekolahannya.
25
Siswa yang membolos mengikuti perilaku yang tidak baik
dari temannya dikarenakan siswa takut tidak mempunyai teman,
takut tidak diakui dalam kelompok, takut dikatakan pengecut dan
tidak setia kawan.
b. Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga yaitu merupakan wadah pembentukan
pribadi anggota keluarga siswa. Keluarga merupakan tempat pertama
dan terutama bagi setiap insan untuk tumbuh dan berkembang, maka
keluarga akan memegang peranan yang sangat penting dalam
perkembangan seseorang. Pendidikan dan pembinaan anak dalam
keluarga sangat menentukan perkembangannya di kemudian hari
1) Sikap Orang Tua
Orang tua memang memegang peran penting dalam mendidik
anak karena anak secara psikologis lebih dekat kepada orang
tuanya. Orang tua uang kurang atau tidak memperhatikan
pendidikan anaknya, misalnya saja siswa acuh terhadap belajar
ananknya, tidak memperhatikan kebutuhan dan kepentingan dalam
belajar akan menyebabkan anak tidak akan berhasil dalam
belajarnya. Sikap orang tua terhadap sekolah memberikan pengaruh
yang besar kepada anak. Orang tua yang tidak melihat pentingnya
anak masuk sekolah atau menganggap sekolah itu hanya
membuang waktu saja atau mereka menanamkan pada anak, bahwa
anak tidak akan berhasil, anak ini akan berkurang semangatnya
26
untuk masuk sekolah. Sikap orang tua yang tidak mementingkan
kehadiran anak di sekolah, juga tidak akan membangkitkan
“kegairahan” anak untuk ke sekolah.
2) Keharmonisan Keluarga
Keadaan keluarga menentukan keberhasilan belajar.
Keluarga harmonis, penuh perhatian dan paham akan pentingnya
pendidikan merupakan motivator utama berprestasi. Namun
keadaan keluarga disharmonis membuat konsentrasi siswa menjadi
terganggu, pikirannya terpecah antara tugas di sekolah dan suasana
rumah yang tak nyaman.
Bila kedudukan keluarga mempunyai tempat yang primer
dalam pembentukan primer dalam pembentukan pribadi seorang
anak, maka kehilangan kerharmonisan itu akan mempunyai
pengaruh yang destruktif bagi perkembangan diri
Keseringan siswa mempunyai masalah dalam keluarga
berpengaruh terhadap belajarnya. Siswa yag mempunyai banyak
masalah dalam keluarga akan menyebabkan siswa tersebut tidak
konsentrasi belajar pada sekolah karena pikirannya terpecah
sehingga mencari suasana baru dengan cara membolos.
Apapun yang melatarbelakangi perilaku membolos siswa,
membolos akan merugikan siswa itu sendiri antara lain minat
terhadap pelajaran berkurang, gagal dalam ujian, hasil belajar yang
diperoleh tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya, tidak naik
27
kelas, penguasaan terhadap materi pelajaran tertinggal dari teman-
temannya bahkan dikeluarkan dari sekolah.
Bimo Walgito (1982) mengungkapkan bahwa keluarga
yang disebut broken home adalah sebagai berikut :
a. Orang tua yang bercerai
b. Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan di luar
pernikahan
c. Tidak adanya komunikasi yang sehat dalam keluarga
d. Kematian salah satu orang tua atau kedua-duanya, bisa
berakibat fatal jikalau masa depan anak menjadi terlantar,
kurang mendapatkan kasih sayang dan tidak memperoleh
tempat bergantung hidup yang layak
e. Adanya ketidakcocokan antara pihak orang tua dan
senantiasa berada dalam suasana perselisihan atau konflik
karena faktor perbedaan agama, perbedaan norma dan
ambisi-ambisi
B. Konseling
1. Pengertian Konseling
Prayitno dan Erman Amti (1999) konseling adalah proses
pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh
seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami
sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah
yang dihadapi klien.
28
Menurut Division of Conseling Psychology dalam Prayitno dan
Erman Amti (1999) konseling adalah suatu proses untuk membantu
individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangan dirinya dan untuk
mencapai perkembangan optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya.
Menurut Blocher (1990, dalam Prayitno dan Erman Amti, 1999)
konseling adalah membantu individu agar dapat menyadari sendiri dan
memberikan reaksi terhadap pengaruh-pengaruh lingkungan yang
diterimanya, selanjutnya, membantu yang bersangkutan menentukan
beberapa makna pribadi bagi tingkah laku tersebut dan mengembangkan
serta memperjelas tujuan-tujuan dan nilai-nilai untuk perilaku dimasa yang
akan datang.
Menurut Burk dan Stefflre (1979) yang dikutip dalam Prayitno dan
Erman Amti (1999) konseling mengidentifikasikan hubungan professional
antara konselor terlatih dengan klien, hubungan yang terbentuk biasanya
bersifat individu ke individu.
Menurut Pietrofesa, Leonard dan Hoose (1978) yang dikutip oleh
dalam Prayitno dan Erman Amti (1999) konseling merupakan suatu proses
dengan adanya seseorang yang dipersiapkan secara professional untuk
membantu orang lain dalam pemahaman diri pembuatan keputusan dan
pemecahan masalah dari hati ke hati.
29
2. Tujuan Konseling
Kumboltz (1996, dalam Farid Mashudi, 2011) menjelaskan bahwa
tujuan konseling adalah sebagai berikut :
a. Membantu klien belajar membuat keputusan-keputusan
b. Membantu klien memecahkan problem-problemnya
Tujuan konseling berdasarkan penanganan oleh konselor
dikemukakan oleh Shertzer dan Stone yang dikutip oleh Mc Leod (2004)
dapat diperinci sebagai berikut
a. Kesehatan Mental Positif
Konselor yang berkocondong efektif menyatakan bahwa
pemeliharaan atau mendapatkan mental sehat merupakan tujuan
konseling. Jika mental sehat dicapai maka individu memiliki integrasi,
penyesuaian dan identitas positif terhadap orang lain. Di sini individu
belajar menerima tanggung jawab, jadi madiri dan mencapai integritas
tingkah laku.
Beberapa pakar memandang bahwa tujuan konseling adalah
pencegahan terhadap timbulnya masalah-masalah jenis tertentu.
Konseling mengidentifikasi dan merawat orang yang memiliki
kemungkinan besar mengidap suatu sakit jiwa akibat masalah tertentu
dan berat yang dihadapinya.
b. Keefektifan Pribadi
Seseorang diharapkan mempunyai pribadi yang dapat
menyelaraskan diri dengan cita-cita, memanfaatkan waktu dan tenaga
30
serta bersedia mengambil tanggung jawab ekonomi, psikologis dan
fisik.
c. Pembuatan Keputusan
Para konselor yang condong pada orientasi kognitif, ,
menyatakan tujuan konseling sebagai pembuatan keputusan
mengenai hal-hal genting bagi seluruh konseli. Dalam hal ini,
konselor tidaklah menetapkan keputusan-keputusan yang akan
dibuat konseli ataupun memilihkan cara alternatif bagi tindakan
konseli. Konseli harus tahu mengapa dan bagaimana konseli
membuat keputusan. Ia belajar memperkirakan konsekuensi-
konsekuensi yang mungkin timbul berkenaan dengan pengorbanan
pribadi, waktu, tenaga, uang dan resiko-resiko lainnya. Williamson
(2000) menjelaskan mengenai hal ini, bahwa konselor membantu
siswa memilih tujuan-tujuan dengan tingkat kepuasan tertinggi yang
dapat dicapai dalam keterbatasan factor-faktor lingkungan maupun
factor-faktor pribadi klien.
d. Perubahan Tingkah Laku
Inilah pertanyaan tujuan-tujuan konseling yang paling banyak dipakai
orang akhir-akhir ini. Para pakar konseling ada yang memadukan
antara tujuan-tujuan berkenaan dengan perubahan struktur pribadi
sampai pada perubahan perilaku tampak, ada yang ketat terpaku hanya
pada perubahan perilaku tampak saja. Perubahan tingkah laku sebagai
tujuan konseling mungkin terbatas khusus seperti perubahan respon
31
khusus terhadap frustasi ataupun peubahan-perubahan sikap terhadap
orang lain dan terhadap diri sendiri.
3. Pengertian Konseling Kelompok
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan bahwa konseling
kelompok proses dua orang atau lebih yang bekerja bersama-sama dengan
bantuan seorang konselor yang terlatih untuk menjelajahi dan
mengembangkan dasar-dasar pengalaman dan pertimbangan umum dengan
lebih efektif.
Menurut Corey (1995) konseling kelompok adalah satu kelompok
konseling yang mempunyai focus yang khusus, mungkin berhubungan
dengan pendidikan, pekerjaan, sosial atau pribadi. Proses hubungan antar
pribadi dalam konseling kelompok menekankan berpikir secara sadar,
perasaan dan perilaku. Isi dan pokok pembicaraan dalam konseling
kelompok sebagian besar ditentukan oleh anggota-anggota yang terdiri
daru siswa yang masih dalam kategori normal, bukan bergangguan jiwa
Konseling kelompok menurut Ketut (dalam JT Lobby Loekmono,
2003) adalah layanan yang memungkinkan peserta didik memperoleh
kesempatan untuk pemahaman dan pengentasan permasalahan yang
dialaminya melalui dinamika kelompok
Menurut Winkel dan Hastuti (2006) konseling kelompok merupakan
bentuk khusus dari layanan konseling yaitu wawancara konseling antara
konselor professional dengan beberapa orang sekaligus yang tergabung
dalam suatu kelompok kecil.
32
Menurut Prayitno (1999) mengemukakan bahwa layanan konseling
kelompok adalah layanan yang menggunakan dinamika kelompok sebagai
media kegiatannya, apabila dinamika kelompok dikembangkan dan
dimanfaatkan secara efektif maka dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Dinamika kelompok perlu dibentuk pada sesi awal konseling. Apabila
pembentukan dinamika antar kelompok gagal maka konseling akan
berjalan tidak efektif.
Rachman Natawidjaja (1987) menyatakan bahwa konseling
kelompok adalah bantuan kepada individu dalam rangka memberikan
kemudahan dalam perkembangan dan pertumbuhan (bersifat pencegahan)
dan juga dapat bersifat penyembuhan
Melalui konseling kelompok dengan siswa yang memiliki kesamaan
masalah dapat disadarkan bahwa banyak siswa lain yang mengalami
permasalahan tersebut. Penyadaran tersebut akan memberikan suatu
penguatan kepada siswa untuk terbuka dan bebas dalam mengutarakan
permasalahan pribadinya.
Menurut Meador dalam JT Lobby Loekmono, 2003 konseling
kelompok adalah pertolongan sosial dan psikologis, tujuannya adalah
untuk merubah perilaku yang menghambat individu berperan dan
mengalami dengan sempurna, di samping mengizinkan konseli untuk
memperoleh perubahan baru dalam perilaku serta pendampingan dirinya
secara alami.
33
Menurut Gibson dan Mitchell dalam JT Lobby Loekmono, 2003
merumuskan konseling kelompok adalah satu proses untuk membantu
konseli untuk menyesuaikan diri mereka dalam hidup sehari-hari, tentang
perkembangan dan memperbaiki perkembangan itu seperti perbaikan
terhadap perilaku, hubungan pribadi, memberi perhatian tentang jenis
kelamin, sikap dan juga pilihan karier di samping membina ketrampilan
untuk hal-hal yang relevan.
Menurut Gazda (1989) mengemukakan konseling kelompok adalah
upaya untuk membantu individu agar dapat menjalani perkembangannya
dengan lebih lancar, upaya ini bersifat perbaikan. Dengan kata lain
konseling kelompok merupakan usaha bantuan yang diberikan pada
individu dalam suasanan kelompok yang bersifat pencegahan serta
perbaikan supaya individu yang bersangkutan dapat menjalani
perkembangan dengan lebih mudah.
Prayitno (1999) mengemukakan bahwa layanan konseling kelompok
adalah layanan yang meggunakan dinamika kelompok sebagai media
kegiatannya, apabila dinamika kelompok dikembangkan dan dimanfaatkan
secara efektif dalam layanan ini diharapkan tujuan yang ingin dicapai akan
tercapai. Salah satu tujuan dari konseling kelompok ini adalah agar para
konseli belajar berkomunikasi dengan seluruh anggota kelompok secara
terbuka, dengan saling menghargai dan saling menaruh perhatian.
Pengalaman berkomunikasi yang demikian akan membawa dampak positif
dalam kehidupan dengan orang lain yang dekat padanya.
34
Farid Mashudi (2011) mengemukakan konseling kelompok adalah
suatu kumpulan dari orang-orang yang mengadakan interaksi dengan
sesamanya lebih sering daripada mereka mengadakan interaksi yang
bersifat perorangan. Jadi, setiap kelompok masing-masing individu
mempunyai sikap dan tingkah laku yang sama dengan anggota kelompok
yang lain, sehingga semua anggota kelompok memiliki sikap dan tingkah
laku yang seragam.
Konseling merupakan upaya untuk membantu siswa agar dapat
menjalani perkembagannya dengan lebih lancar, upaya ini bersifat
perbaikan. Dengan kata lain, konseling kelompok merupakan usaha
bantuan yang diberikan pada siswa dalam suasana kelompok yang bersifat
pencegahan serta perbaikan agar siswa dapat menempuh
perkembangannya dengan lebih mudah.
Selanjutnya Konseling Kelompok diuraikan Gazda (1989) sebegai
berikut :
a. Kegiatan konseling kelompok bersifat pencegahan dalam arti bahwa
klien yang bersangkutan mempunyai fungsi dalam masyarakat, tetapi
mungkin mempunyai kelemahan-kelemahan tertentu dalam
kehidupannya. Dengan konseling kelompok kelemahan-kelemahan ini
dapat diatasi tanpa menimbulkan masalah-masalah yang gawat
b. Konseling kelompok membantu siswa dalam menjalani
perkembangannya dengan lebih lancar, dalam artian bahwa konseling
kelompok member dorongan dan motivasi kepada siswa untuk
35
membuat perubahan-perubahan dan memanfaatkan potensinya secara
maksimal. Selanjutnya Gadza menyebutkan bahwa konseling kelompok
dapat digunakan untuk membantu siswa dalam menyelesaikan tugas-
tugas perkembangan dalam tujuh bidang yaitu psikososial, vokasional,
kognitif, fisik, seksual, moral da afektif
c. Konseling kelompok bersifat perbaikan untuk siswa-siswa yang
mempunyai perilaku suka menyalahkan diri sendiri, tetapi mempunyai
kemampuan untuk mengatasi masalah-masalahnya tanpa bantuan
konseling. Walaupun demikian, dengan bantuan konseling kelompok
siswa diharapkan dapat mengatasi masalahnya dengan lebih cepat dan
tidak menimbulkan gangguan emosi yang berarti
Menurut Meador dalam JT Lobby Loekmono, 2003 konseling
kelompok adalah pertolongan sosial dan psikologis, tujuannya adalah
untuk merubah perilaku yang menghambat individu berperan dan
mengalami dengan sempurna, di samping mengizinkan konseli untuk
memperoleh perubahan baru dalam perilaku serta pendampingan dirinya
secara alami.
Menurut Gibson dan Mitchell dalam JT Lobby Loekmono, 2003
merumuskan konseling kelompok adalah satu proses untuk membantu
konseli untuk menyesuaikan diri mereka dalam hidup sehari-hari, tentang
perkembangan dan memperbaiki perkembangan itu seperti perbaikan
terhadap perilaku, hubungan pribadi, memberi perhatian tentang jenis
36
kelamin, sikap dan juga pilihan karier di samping membina ketrampilan
untuk hal-hal yang relevan.
4. Tujuan Konseling Kelompok
JT Lobby Loekmono (2003) menyebutkan bahwa ada tujuan
konseling kelompok yang meliputi antara lain :
a. Melatih anggota kelompok agar berani berbicara dengan orang banyak
b. Melatih anggota kelompok dapat bertenggang rasa terhadap teman
sebaya
c. Dapat mengembangkan bakat dan minat masing-masing anggota
kelompok
d. Mengentaskan permasalahan-permasalahan kelompok
Dalam literatur mengenai konseling kelompok karya Erle M.
Ohlsen, Don C. Dinkmeyer, James J. Muro dan Gerald Corey (dalam
Winkel dam Sri Hastuti, 2007) disebutkan bahwa tujuan umum dari
konseling kelompok adalah :
a. Masing-masing konseli memahami dirinya dengan lebih baik dan
menemukan dirinya sendiri
b. Para konseli mengembangkan kemampuan berkomunikasi satu sama
lain, sehingga dapat saling memberikan kemampuan bantuan dalam
menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang khas untuk fase
perkembangan
c. Para konseli mempeorleh kemampuan mengatur dirinya sendiri dan
mengarahkan hidupnya sendiri, mula-mula dalam kontak antarpribadi
37
di dalam kelompok dan kemudian dalam kehidupan sehari-hari di luar
lingkungan kelompoknya
d. Para konseli menjadi lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan
lebih mampu menghayati perasaan orang lain
e. Masing-masing konseli menetapkan suatu sasaran yang ingin dicapai
yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang lebih konstruktif
f. Para konseli lebih menyadari dan menghayati makna dari kehidupan
manusia sebagai kehidupan bersama, yang mengandung tuntutan
menerima orang lain dan harapan akan diterima oleh orang lain
g. Masing-masing konseli semakin menyadari bahwa hal-hal yang
memperhatinkan bagi dirinya kerap juga menimbulkan rasa priharin
dalam hati orang lain
h. Para konseli belajar berkomunikasi dengan seluruh anggota kelompok
secara terbuka, dengan saling menghargai dan saling menaruh
perhatian
Tujuan konseling kelompok menurut Gibson dan Mitchell (1981,
dalam Moch. Nursalim dan Suradi, 2002) adalah pencapaian suatu tujuan
pemenuhan kebutuhan dan pemberian suatu pengalaman nilai bagi setiap
anggota kelompok.
Gazda (1984) mengemukakan tujuan yang dapat dicapai siswa
sebagai anggota konseling kelompok yaitu :
a. Membantu masing-masing anggota kelompok untuk memahami dan
mengenali diri, membantu dalam proses mencari identitas diri
38
b. Membantu individu mengembangkan penerimaan diri yang makin
tinggi dan perasaan berharga sebagai pribadi
c. Mengembangkan ketrampilan sosial dan kemampuan interpersonal
pada diri anggota yang memungkinkan mereka untuk mengatasi tugas-
tugas perkembangan di dalam pribadi dan sosial
d. Mengembangkan kemampuan self-direction, problem solving dan
membantu anggota mengalihkan kemampuan ini untuk digunakan
dalam perkerjaan dan kontak sosial regular
e. Mengembangkan kepekaan terhadap kebutuhan orang lain yang
menimbulkan penyaluran yang bertambah terhadap tanggung jawab
atas perilaku sendiri, untuk membantu anggota menjadi mampu
mengidentifikasi diri dengan perasaan orang lain serata untuk
mengembangkan kemampuan yang lebih tinggi untuk bersikap empati
f. Membantu anggota menjadi pendengar yang empatik yang tidak
hanya mendengar apa yang dikatakan tetapi juga mengenali perasaan
yang menyertai apa yang dikatakan
g. Mengembangkan kemampuan anggota untuk kongruen dengan diri
sendiri, benar-benar mampu menawarkan secara akurat apa yag
dipikirkan dan dipercayainya
h. Membantu anggota merumuskan tujuan-tujuan khusus yang dapat
diukur dan diamati dari segi perilaku, dan membantu konseli membuat
komitmen untuk bergerak menuju tujuan-tujuan itu
39
i. Membantu anggota mengembangkan perasaan berkelompok dan
penerimaan oleh orang lain yang memberikan rasa aman dalam
menghadapi tantangan hidup
j. Membantu anggota dalam mengembangkan keberanian dan
kemampuan untuk mengambil resiko
5. Fungsi Konseling Kelompok
Gazda (1984) merumuskan fungsi konseling kelompok dalam
seting sekolah adalah konseling kelompok dapat membanu siswa dalam
menyesuaikan sosial di lingkungan yang baru, sebab pada masa ini
dorongan dari teman sebaya merupakan sesuatu yang amat penting yang
dapat memotivasi mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
Selain itu konseling kelompok dapat digunakan untuk membantu individu
dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dalam tujuan bidang
yaitu : psikososial, vokasional, kognitif, fisik, seksual, moral dan afektif.
Di pihak lain konseling kelompk diadakan untuk mereka yang
memerlukan pertolongan atau lebih tepat orang yang merasa
membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, masalah pemilihan anggota
kelompok adalah masalah yang perlu mendapatkan perhatian karena
berkaitan erat dengan keberfungsinya dari konseling kelompok
Konseling kelompok tidak hanya merupakan pertolongan yang
kuratif dan orefentif tetapi juga bersifat preseveratif. Konseling kelompok
dapat berfungsi prefentif, bagi individu-individu yang memiliki tingkah
40
laku yang ditolak atau diterima, yang bisa dibantu tanpa keterlibatan
konselor dalam penyembuhannya.
6. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Konseling Kelompok
Corey (2005) ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam
menyelenggarakan konseling kelompok seperti :
a. Pemimpin harus betul-betul menyadari tujuan dan membawa diskusi
karena tujuan tanpa memaksa proses kelompok
b. Konselor harus dapat membedakan antara kegiatan kelompok dan
kebutuhan kelompok
c. Para anggota kelompok pelru dipilih dengan teliti dengan menyisihkan
orang yang menderita malajuted yang berat atau orang yang
mendapatkan pengobatan
d. Anggota perlu betul-betul dipersiapkan sebelumnya, supaya mereka
siap bertindak sebagai anggota yang mau berbagi (share) dan menolong
anggota lainnya dalam kelompok, peka dan menyesuaiakn diri dengan
pribadi lain
7. Kompetensi Pemimpin Kelompok
Corey (2005) menjelaskan tentang karakteristik pemimpin
kelompok yang efekif yaitu :
a. Kehadiran emosional (precence). Kehadiran konselor dalam konseling
kelompok sangat besar artinya bagi anggota kelompok. Kehadiran
bukan hanya secara fisik melainkan juga secara emosional
41
b. Kekuatan pribadi (personal power). Kekuatan pribadi ini mencangkup
kepercayaan diri dan kesadaran akan pengaruh dirinya terhadap orang
lain
c. Keberanian (courage) konselor menunjukkan keberanian mengambil
resiko dalam kelompok, dan dengan mengakui kesalahan yang mungkin
diperbuatnnya
d. Kemauan untuk mengkonfrontasi diri sendiri (willingness to confront
one self). Keberanian konselor hanya dalam rangka interaksi dengan
kelompok dan anggota-anggotanya secara individual, melainkan juga
keberanian dalam menghadapi keadaan dirinya sendiri.
e. Kesadaran diri (slef awareness). Kesadaran diri merupakan titik
pangkal dari kesediaan untuk mengkonfrontasikan diri dan
mengevaluasi diri sendiri
f. Keikhlasan (sincerity). Salah satu kualitas pemimpin yang paling
penting adalah keikhlasan dalam memperhatikan kesejahteraan orang
lain dan dalam menumbuhka cara-cara pemecahan masalah yang
konstruktif
g. Kentetika (authenticity). Kentetika ini erat hubungannya dengan
keikhlasan. Keberhasilan dalam memimpin konseling kelompok
menuntut konselor untuk berbuat secara otentik, benar, kongruen dan
jujur
42
h. Rasa beridentitas (sense of identity). Salah satu tugas konselor
kelompok adalah membantu anggota kelompok untuk menemukan diri
mereka sendiri
i. Yakin akan memanfaatkan proses konselor (belif in group process).
Keyakinan ini merupakan faktor essensial menuju keberhasilan
kegiatan konseling kelompok
j. Antusias (enthusiasm). Antusias atau kegairahan kerja merupakan ciri
penting yang perlu dimiliki konselor kelompok. Apalagi konselor
mendorong anggota kelompok untuk turut serta secara baik-baik di
dalam kelompoknya
k. Dengan temu dan kreativitas (inventiveness an creativity). Daya temu
kreatvitas salah satu faktor yang dapat meningkatkan keberhasilan
konseling kelompok
l. Daya tahan (stamina). Konselor konseling kelompok membutuhkan
ketahanan fisik dan psikis yang tinggi dalam memimpin kelompok
8. Prinsip-prinsip dalam Konseling Kelompok
Dalam kerja kelompok ada beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan seperti diungkapkan oleh Gazda (1984) yaitu :
a. Konseling kelompok akan sangat efektif dalam lingkungan yang
demokratis
b. Konseling kelompok dapat efektif hanya dicapai bila terdapat
orientasi, administrasi yang lengkap dan intensif
c. Konseling kelompok sangat efektif apabila bersifat sukarela
43
d. Karena memulai kelompok adalah faktor yang sangat menentukan,
nama kelompok harus menarik artinya banyak yag berminat
e. Masing-masing anggota kelompok harus bertanggung jawab atas
perilakunya dalam kelompok
f. Konselor harus sadar
9. Ciri-Ciri Konseling Kelompok
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan bahwa ada beberapa
ciri konseling kelompok yang nampak antara lain :
a. Adanya pelepasan ketegasan emosi dengan jalan tukar pengalaman
atau pendapat
b. Adanya katarsis (mengeluarkan unek-unek) dan perkembangan ke
arah makin mengenal diri sendiri, bertindak sebagai penolong serta
mempunyai sikap menurut
c. Mempunyai tekanan terutama pada minat dan perhatian terhadap
penjelasan masalah agar anggota yang bermasalah dapat merubah
sikapnya menjadi lebih positif/baik
d. Konselor sebagai pemimpin pada awalnya adalah orang yang terlatih
dalam konseling kelompok. Konselor berperan sebagai pemimpin
situasional
e. Setiap anggota bebas mengemukakan hal-hal yag rahasia, anggota-
anggota kelompok terdiri dari anggota yang sebaya
f. Anggota minimal 2 dan maksimal 10 orang. Semua diharapkan aktif
berpartisipasi dalam kelompoknya
44
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan bahwa konseling
kelompok mempunyai cirri-ciri sebagai berikut ini :
a. Kegiatan konseling kelompok bersifat pencegahan. Dengan konseling
kelompok diharapkan klien termotivasi untuk dapat mengembangkan
kemampuan sesuai dengan potensi yang dimilikinya
b. Kegiatan konseling kelompok bersifat perbaikan. Dalam hal ini
biasanya digunakan bagi siswa yang mempunyai perilaku suka
menyalahkan diri sendiri, tetapi memiliki potensi untuk menyelesaikan
masalahnya tanpa bantuan konseling
c. Kegiatannya biasanya berpusat pada hal-hal yang khusus seperti
masalah pendidikan, pekerjaan, sosial, dan pribadi dari kesepakatan
anggota kelompok
d. Pembicaraannya bersifat rahasia
e. Kegiatan ini merupakan hubungan antar pribadi yang menekankan pada
proses berpikir secara sadar, perasaan dan perilaku anggotanya
f. Kegiatan ini berkaitan erat dengan penyelesaian tugas-tugas
perkembangan siswa selama hidupnya
g. Konseling kelompok menumbuhkan empati dan dorongan yang
memungkinkan terciptanya rasa saling percaya dan saling peduli yang
diawali antara sesama anggota kelompok dan antar sesama anggota
kelompok dengan konselor
h. Kegiatan konseling kelompok biasanya dilakukan di dalam situasi
kelembagaan, contohnya di sekolah.
45
10. Kelebihan Konseling Kelompok
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan kelebihan konseling
kelompok antara lain adalah :
a. Lebih efisien sebab seorang konselor dapat melayani beberapa konseli
sekaligus. Ada efisien waktu, tenaga dan biaya.
b. Lebih menari bagi individu dan kesempatan lebih luas di tawarkan
melalui konseling kelompok ini
c. Membimbing ke arah tambahan konseling individual yang dibutuhkan
tetapi jika tidak dibutuhkan tidak diberikan
d. Memberikan kesempatan latihan praktis dari perkembangan sosial
yang lebih daripada yang hanya dikatakan, konseli memberikan
kesempatan untuk memberi sebagaimana konseli menerima
pertolongan dan konseli dapat mencoba perilaku baru
e. Memberikan kesempatan dan pengaruh yang diharapkan dari teman
sebaya yang sering lebih kuat daripada orang-orang berkuasa
f. Menambah konseling dari anggota dalam kelompok selain
pemimpinnya (konselor), konseli membuat support sistem bagi
anggota satu dengan yang lainnya
g. Menambah prosedur dari anggota-anggota selain dari pemimpinnya
karena konseli belajar ketrampilan berkomunikasi antar pribadi
h. Sering dapat lebih cepat mendorong atau menstimulir kemajuan dan
dengan mengurangi ancaman daripada konseling indivdiu
46
11. Kelemahan Konseling Kelompok
JT Lobby Loekmono (2003) menyebutkan ada beberapa kelemahan
dari konseling kelompok meliputi :
a. Kesulitan praktis untuk bertemu/berkumpul
b. Masalah kesetiaan peserta untuk datang dalam setiap pertemuan dan
bila ada yang berhalangan akan mempengaruhi suasana, kekuatan dan
semangat konseling kelompok
c. Banyak konselor atau konseli yang berharap banyak atau tinggi dari
pengalaman kelompok tetapi sedikit untuk bagian terapinya
d. Peranan konselor dalam konseling kelompok kadang-kadang
membingungkan anggota karena peranannya kadang-kadang kabur
e. Beberapa konseli belum siap memasuki konseling kelompok dan
merkea membutuhkan konseling individual terlebih dahulu sehingga
konseling kelompok belum dapat berjalan
f. Konseli mengungkapkan masalahnya dan senang dibahas oleh
kelompok tetapi konseli sendiri tidak bersedia untuk berubah
perilakunya
g. Masih kabur bagi konseli untuk membuat keputusan sebaiknya untuk
memecahkan masalahnya cocok memilih konseling kelompok atau
konseling individual karena kurangnya informasi tentang konseling
kelompok ini
h. Ada bahaya bila pimpinan kelompok atau konselor misalnya kurang
terlatih mempimpin konseling kelompok daripada konseling individu
47
karena konseling kelompok lebih kompleks dan lebih dinamika
permasalahan untuk diantisipasi oleh konselor
12. Unsur-Unsur Konseling Kelompok
JT Lobby Loekmono (2003) menyebutkan unsur-unsur dalam
konseling kelompok adalah sebagai berikut :
a. Anggota kelompok adalah siswa normal yang mempunyai masalah
penyesuaian yang masih dapat diatasi
b. Konseling kelompok dipimpin oleh konselor atau psikolog dengan
latihan khusus bekerja dengan kelompok
c. Permasalahan yang dihadapi antar anggota adalah sama
d. Metode berpusat pada proses kelompok dan perasaan kelompok
e. Interaksi antar anggota sangat penting
f. Berdasar pada alam kesadaran
g. Menekankan pada perasaan dan kebutuhan anggota
13. Pelaksanaan Konseling Kelompok
Latipun (2006) menyatakan bahwa pada dasarnya tidak terdapat
perbedaan yang foundamental dalam pelaksanaan konseling individual
dan konseling kelompok. Akan tetapi dalam hal tertentu ada beberapa
pertimbangan yang harus diperhatikan dalam melaksanakan konseling
kelompok yaitu sebagai berikut :
a. Memilih Anggota Kelompok
Anggota kelompok yang akan berpartisipasi di dalam konseling
kelompok hendaknya dipertimbangkan dan dipilih secara cermat agar
48
pelaksanaannya dapat berjalan secara baik. Para anggota hendaknya
memiliki kesamaan minat dan masalah, adanya homogenitas dalam
pengelompokkan dilihat dari usia, kematanga sosial, pengalaman. Di
samping itu, klien hendaknya memiliki keinginan untuk memperoleh
bantuan, memiliki kemauan untuk mengemukakan masalah dan
keadaan dirinya dan bersedia berpartisipasi dalam kelompok.
Konselor hendaknya mampu meyakinkan para anggota kelompok
sebagai klien tentang manfaat konseling kelompok, peranan dan
fungsi para anggota kelompok dalam kegiatan konseling kelompok
b. Ukuran Kelompok
Mochamad Nursalim (2002) menyebutkan bahwa banyaknya anggota
kelompok dapat mempengaruhi komunikasi dan interaksi antar
konseli. Oleh karena itu, konselor memperhitungkan banyaknya
anggota dalam kaitannya dengan keefektifan interaksi di dalamnya.
Biasanya antara 5 sampai 6 orang anggota dapat dipandang cukup
memadai, namun dalam pelaksanaannya tergantung dari proses dan isi
konseling
Latipun (2006) menjelaskan bahwa sebagaimana terapi kelompok
interaktif, konseling kelompok umumnya beranggota berkisar antara 4
sampai 12 orang. Berdasarkan hasil berbagai penelitian, jumlah
anggota kelompok yang kurang dari 4 orang tidak efektif karena
dinamika kelompok menjadi kurang hidup. Sebaliknya jika jumlah
49
klien melebihi 12 orang adalah terlalu besar untuk konseling karena
terlalu berat dalam mengelola kelompok
c. Lama dan Frekuensi Pertemuan
Mochamad Nursalim (2002) menyebutkan bahwa konselor hendaknya
mempertimbangkan berapa lama dan berapa kali pertemuan
berlangsung. Biasanya berkisar antara 30 menit sampai dengan 1 jam
untuk setiap pertemuan dan dapat dilakukan seminggu sekali atau
seminggu dua kali atau dua minggu sekali. Semuanya tergantung dari
kondisi, proses dan isi konseling
Latipun (2006) menjelaskan bahwa lama waktu penyelenggaraan
konseling kelompok sangat bergantung kepada kompleksitas
permasalahan yang dihadapi kelompok. Secara umum konseling
kelompok yang bersifat jangka pendek (short term group counseling)
membutuhkan waktu pertemuan antara 8 sampai 20 pertemuan,
dengan frekuensi pertemuan antara 1 sampai 3 kali dalam
seminggunya, dan durasinya antara 60 sampai 90 menit setiap
pertemuannya.
Durasi pertemuan konseling kelompok pada prinsipnya sangat
ditentukan dan kondisi anggota kelompok. Menurut Latipun (2006)
durasi konseling yang terlalu lama yaitu di atas 2 jam menjadi tidak
kondusif karena beberapa alasan yaitu 1) anggota telah mencapai
tingkat kelelahan dan 2) pembicaraan cenderung diulang-ulang. Oleh
karena itu, aspek durasi pertemuan harus menjadi perhitungan bagi
50
konselor. Konseling tidak dapat diselesaikan dengan
memperpanjangan durasi pertemuan, tetapi pada proses pembelajaran
selama proses konseling
Dalam kaitannya dengan waktu yang digunakan, konseling kelompok
tidak biasa diselenggarakan dalam interval waktu yang pendek.
Konseling kelompok umumnya diselenggarakan satu hingga dua kali
dalam seminggu. Penyelenggaraan dengan interval yang lebih sering
akan mengurangi penerapan dari informasi dan umpan balik yang
didapatkan selama proses konseling. Jika terlalu jarang, misalnya satu
dalam dua minggu, banyak informasi dan umpan balik yang dapat
dilupakan.
d. Sifat Kelompok
Sifat kelompok dapat terbuka dan tertutup. Terbuka jika pada suatu
saat dapat menerima anggota baru dan dikatakan tertutup jika
keanggotaannya tidak memungkinkan adanya anggota baru.
Kelompok terbuka maupun tertutup terdapat keuntungan dan
kerugiannya. Sifat kelompok adalah terbuka maka setiap saat
kelompok dapat menerima anggota baru sampai batas yang dianggap
cukup. Namun demikian adanya anggota baru dalam kelompok akan
menyulitkan pembentukan kohesivitas anggota kelompok.
Konseling kelompok yang menerapkan anggota tetap dapat lebih
mudah membentuk dan memelihara kohesivitasnya. Tetapi jika
terdapat anggota kelompok yang keluar, dengan system keanggotaan
51
demikian tidak dapat ditambahkan lagi dan harus menjalankan
konseling berapapun jumlah anggotanya.
e. Mengembangkan dan Memelihara hubungan
Dalam melaksanakan konseling kelompok, konselor hendaknya dapat
menciptakan dan mengembangkan hubungan antara anggota dengan
konselor dan antar anggota kelompok. Para anggota hendaknya
diusahakan agar selama konseling setiap anggota dapat :
1) Mendengarkan secara mendalam
2) Membantu orang lain untuk berbicara
3) Mendiskusikan masalah
4) Mendiskusikan perasaan
5) Mengkonfrontasi
6) Merencanakan tindakan.
Hubungan ini hendaknya terus dipelihara dengan baik sejak dimulai
sampai selesai
14. Tahapan Konseling Kelompok
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan proses pelaksanaan
konseling kelompok dilaksanakan melalui 4 (empat) tahap sebagai
berikut :
a. Tahap Pembentukan
Farid Mashudi (2011) mengungkapkan bahwa pada tahap ini terjadi
dimulai sejak klien menemui konselor hingga berjalan sampai
52
konselor dan klien menemukan masalah klien. Pada tahap ini beberapa
hal yang perlu dilakukan, antara lain :
1. Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien (rapport).
Kunci keberhasilan membangun hubungan terletak pada
terpenuhinya asas-asas bimbingan dan konseling terutama asas
kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan dan kegiatan
2. Memperjelas dan mendefinisikan masalah. Jika hubungan
konseling sudah terjalin dengan baik dank lien telah melibatkan
diri, maka konselor harus dapat membantu memperjelas masalah
klien
3. Membuat penaksiran dan perjajaga. Konselor berusaha menjajagi
atau menafsirkan kemungkinan masalah dan merancang bantuan
yang mungkin dilakukan yaitu dengan membangkitkan semua
potensi klien dan menentukan berbagai alternatif yang sesuai
antisipasi masalah
4. Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor
dengan klien yang berisi
i. Kontrak waktu yaitu berapa lama waktu pertemuan yang
diinginkan oleh klien dan konselor tidak berkeberatan
ii. Kontrak tugas yaitu berbagi tugas antara konselor dan klien
iii. Kontrak kerjasama dalam proses konseling yaitu terbinanya
peran dan tanggung jawab bersama antara konselor dan
konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan konseling
53
Tahap ini merupakan tahap pengenalan dan penjajakan, dimana para
peserta diharapkan dapat lebih terbuka menyampaikan harapan
keinginan dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing
anggota. Penampilan pemimpin kelompok pada tahap ini hendaknya
benar-benar bisa menyakinkan anggota kelompok sebagai orang yang
bisa dan bersedia membantu anggota kelompok mencapai tujuan yang
diharapkan
Dalam fase ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikann :
1) Cara menentukan masalah
Di dalam pelaksanannya perlu diingat :
i. Masalah yang bersifat umum : isi masalah, sering tidaknya
masalah itu datang
ii. Masalah pribadi (yang menyangkut diri sendiri)
iii. Masalah yang memenuhi pikiran dan yang tidak memenuhi
pikiran
iv. Masalah yang relatif lama
v. Masalah yang insidental
vi. Masalah yang dapat dibicarakan dengan orang lain
vii. Masalah yang dapat dibicarakan dengan kelompok
2) Cara memilih anggota
Sebenarnya tidak ada kriteria yang tertentu untuk dipakai sebagai
dasar dalam pemilihan anggota kelompok. Namun demikian perlu
diperhatikan fakta-fakta antara lain :
54
i. Anggota tidak terlalu besar jumlahnya
ii. Mereka yang terlibat adalah yang berminat atau tidak terpaksa
iii. Anggota kelompok dapat menerima tujuan masing-masing
oleh karena itu diadakan wawancara pendahuluan
iv. Untuk menghindari subjektifitas anggota yang bersaudara
dekar dipisahkan dalam satu kelompok, anggota yang terlalu
pemalu atau agresif di tempatkan pada kelompok yang cocok
3) Pemilihan anggota kelompok
Penentuan anggota kelompok dilakukan oleh konselor dengan cara
i. Mereka yang memiliki masalah yang mirip dan mempunyai
keinginan yang sama untuk membahas masalah tersebut
ii. Mempunyai kematangan pribadi
iii. Siap dan mampu untuk member dan menerima
iv. Terbuka untuk mengutarakan masalahnya sendiri
v. Percaya kepada konselor dan anggota-anggota yang lain
4) Tanggung jawab konselor
Dalam fase persiapan yaitu pada pembentukan kelompok,
konselor hendaknya memikirkan juga tanggung jawab dalam
proses konseling yang akan diadakan meliputi antara lain :
i. Berusaha mengenal dan memahami seluruh anggota
kelompok
55
ii. Menolong setiap anggota untuk berbicara tentang perasaan
dan menolong supaya anggota makin memperoleh
kebahagiaan
iii. Menolong agar tiap-tiap anggota peka terhadap anggota lain
serta bersedia untuk mengemukakan pendapat atau
perasaannya
iv. Mencari jalan agar suasana kerjasama dalam kelompok
dapat tercipta
v. Mengarahkan pembicaraan-pembicaraan anggota menuju
pada pokok bahasan dan tujuan konseling kelompok
Mochamad Nursalim dan Suradi (2002) mengungkapkan bahwa
ketrampilan dan kepercayaan konselor pada dasarnya merupakan
kunci suksesnya konseling kelompok. Pengalaman dalam konseling
individu dapat merupakan dasar bagi kelancaran bekerja dalam
kelompok. Tanggung jawab konselor dalam konseling kelompok
adalah sejajar dengan situsasi konseling individual, yaitu
menumbuhkan perasaan diterima, hangat dan pemahaman.
Konselor hendaknya memperhatikan anggota dalam interaksinya,
menumbuhkan rasa percaya diri pada anggota dalam memecahkan
masalahnya, menciptakan hubungan kerja yang baik. Mochamad
Nursalim dan Suradi (2002) menyatakan bahwa ketrampilan
konselor meliputi :
56
a. Diagnosis yaitu menemukan masalah dan latar belakangnya
b. Mengenal, menjelaskan dan menafsirkan makna di belakang
perilaku klien
c. Berkomunikasi dengan para anggota
d. Menggunakan humor dan strategi inovatif untuk menjaga agar
pertemuan tetap menarik
e. Memvariasi metode untuk menyegarkan kebutuhan para
anggota
f. Menghadapi para anggota yang berperilaku tidak sesuai
Berikut ini dikemukakan langkah-langkah pelaksanaan kegiatan
yang seharusnya dilakukan dalam tahap pembentukan :
a) Menerima secara terbuka dan menucapkan terima kasih atas
kehadiran dan kesediaan anggota kelompok melaksakan
kegiatan
b) Berdoa secara bersama, sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing. Menjelaskan pengertian konseling kelompok
c) Menjelaskan tujuan konseling kelompok
d) Menjelaskan cara pelaksanaan konseling kelompok
e) Menjelaskan asas-asas konseling kelompok yaitu asas
kerahasiaan, kesukarelaan, kegiatan, keterbukaan dan
kenormatifan
f) Melaksanakan perkenalan dilanjutkan dengan permainan
pengakraban
57
5) Tanggung jawab anggota kelompok
Dalam konseling kelompok para anggota mempunyai tanggung
jawab tertentu dalam pembentukan kelompok, pertumbuhan
kelompok, pelaksanaan kegiatan kelompok dan mengatasi
hambatan-hambatan kelompok. Para anggota kelompok
bertanggung jawab untuk membentuk suatu hubungan yang
bersifat membantu. Melalui interaksi, setiap anggota membantu
menumbuhkan dan memelihara suasana psikologis yang kondusif
bagi pertukaran pengalaman dan pemecahan masalah. Dalam hal
ini konselor hendaknya mampu menumbuhkan rasa tanggung
jawab para anggota kelompok
b. Tahap Peralihan atau Tahap Transisi
Tahap transisi adalah suatu tahap setelah proses pembentukan dan
sebelum tahap kerja kelompok. Dalam kelompok yang diperkirakan
berakhir 12-15 sesi, tahap transisi terjadi pada sesi kedua atau ketiga
biasanya berlangsung satu sampai tiga pertemuan. Tahap ini
merupakan transisi antara tahap pembentukan dengan tahap kegiatan.
Pada tahap ini pemimpin kelompok sekali lagi harus jeli dalam
melihat dan membaca situasi. Apabila masih terlihat gejala-gejala
penolakan, rasa enggan, salah paham, kurang bersemangat dalam
melaksanakan kegiatan maka pemimpin kelompok tidak boleh
bingung apalagi putus asa.
58
Perlu diingat bahwa tahap kedua ini merupakan “jembatan” antara
tahap pertama dan tahap ketiga. Adakalanya untuk menempuh
jembatan itu dapat dilalui dengan mudah dan adakalanya ditempuh
dengan sukar. Dalam keadaan seperti ini pemimpin kelompok harus
berhasil membawa anggota kelompok meniti jembatan itu dengan
selamat. Kalau perlu beberapa hal pokok yang sudah dibahas pada
tahap pertama dapat dibahas kembali seperti asas kerahasiaan,
keterbukaan.
Tahap peralihan dapat dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai
berikut :
a) Menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnys
b) Menawarkan sambil mengamati apakah para anggota sudah siap
menjalankan kegiatan pada tahap selanjutnya (tahap ketiga)
c) Membahas suasana yang terjadi
d) Meningkatkan kemampuan keikutserraan anggota
e) Kalau dipandang perlu, kembali ke beberapa aspek tahap pertama
(tahap pembentukan)
c. Tahap Kegiatan
Tahap kegiatan merupakan tahap inti dari proses suatu kelompok dan
merupakan kehidupan yang sebenarnya dari kelompok. Tahap
kegiatan selalu dianggap sebagai tahap yang selalu produktif dalam
perkembangan kelompok yang bersifat membangun dan dengan
59
pencapaian hasil yang baik selama tahapan kerja hubungan anggota
kelompok lebih bebas dan lebih menyenangkan.
Hubungan antar anggota berkembang dengan baik (saling tukar
pengalaman, membuka diri secara bebas, saling tanggap dan tukar
pendapat dan saling membantu). Dalam perkembangan kelompok,
tahapan kegiatan merupakan kekuatan therapeutic seperti keterbukaan
terhadap diri sendiri dan orang lain dan munculnya ide-ide baru yang
membangun.
Apapun yang menjadi tujuan, suatu kelompok yang sehat akan
menampilkan keakraban, keterbukaan, umpan balik, kerja kelompok,
konfrontasi dan humor. Perilaku-perilaku positif yang dinyatakan
dalam hubungan interpersonal antar anggota aka muncul dalam
hubungan sebaya. Tahap ini sangat menentukan keberhasilan kegiatan
kelompok. Jika tahap sebelumnya berhasil dengan baik, maka tahap
ini akan berlangsung dengan lancar.
Farid Mashudi (2011) mengungkapkan bahwa pada tahap ini terdapat
beberapa hal yang harus dilakukan diantaranya :
a. Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah klien lebih dalam.
Penjelajahan masalah dimaksudkan agar klien mempunyai
perspektif dan alternatif baru terhadap masalah yang sedang
dialaminya
b. Konselor melakukan penilaian kembali, bersama-sama klien
meninjau kembali permasalahan yang dihadapi klien
60
c. Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara. Hal ini bisa
terjadi jika :
1. Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau
wawancara konseling, serta menampakkan kebutuhan untuk
mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang
dihadapinya
2. Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik
konseling yang bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang
jujur, ikhlas dan benar-benar peduli terhadap klien
3. Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan
yang telah dibangun pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh
pihak konselor maupun klien.
Dalam kegiatan konseling kelompok, tahap ini diwujudkan dalam
kegiatan-kegiatan :
a) Setiap anggota kelompok mengemukakan masalah pribadi yang
perlu mendapatkan bantuan kelompok untuk pengentasannya
b) Kelompok memilih masalah mana yang hendak dibahas dan
dientaskan pertama, kedua, ketiga, dst.
c) Klien (anggota kelompok yang masalahnya dibahas) memberikan
gambaran yang lebih rinci mengenai masalah yang dialaminya
d) Seluruh anggota kelompok aktif membahas masalah klien melalui
berbagai cara seperti bertanya, menjelaskan, mengkritisi, member
contoh, mengemukakan pengalaman pribadi dan menyarankan
61
e) Klien setiap kali diberi kesempatan untuk merespons apa-apa yang
ditampilkan oleh rekan-rekan anggota kelompok
f) Kegiatan selingan
d. Tahap Pengakhiran
Tahap pengakhiran secara keseluruhan merupakan akhir dari
serangkaian pertemuan kelompok. Keseluruhan pengalaman yang
diperoleh anggota selama proses kerja ini memerlukan perhatian
khusus dari pemimpin kelompok, terutama ketika kelompok hendak
dibubarkan. Pembubaran kelompok secara keseluruhan idealnya
dilakukan setelah tujuan kelompok tercapai. Tetapi adakalanya terjadi
lebih cepat dari yang direncanakan atau yang disebut pembubaran
dini.
Oleh karena itu, kegiatan utama anggota kelompok, menjelang
kelompok dibubarkan adalah :
a) Membayangkan kembali pengalaman mereka selama kerja
kelompok berlangsung
b) Memproses kembali ingatannya
c) Mengevaluasi
d) Mengakui dan mengakomodasikan perasaan-perasaan anggota
kelompok dan mengakomodasi perasaan-perasaan anggota yang
saling bertentangan
e) Membantu anggota dalam membuat keputusannya secara kognitif
untuk menghadapi masa depan
62
Sebagai tahap penutup dari kegiatan konseling kelompok, tugas
pemimpin kelompok dalam tahap ini adalah sebagai berikut :
a) Mengemukakan bahwa kegiatan akan segera diakhiri
b) Pemimpin kelompok dan anggota kelompok mengemukakan kesan
dan hasil-hasil kegiatan
c) Membahas kegiatan lanjutan
d) Doa penutup
e. Evaluasi Kegiatan
Penilaian terhadap kegiatan konseling kelompok dapat dilakukan
secara tertulis dimana para peserta diminta mengungkapkan
perasaannya, harapannya, minat dan sikapnya terhadap berbagai hal
baik yang telah dilakukan selama kegiatan kelompok (yang
menyangkut isi maupun proses) maupun kemungkinan keterlibatan
mereka untuk kegiatan serupa selanjutnya. Pada tahap ini dilakukan
tinjauan terhadap kualitas kelompok dan hasil-hasilnya melalui
pengungkapan kesan-kesan peserta. Penilaian dilakukan dalam tiga
tahap yaitu penilaian segera (laiseg) dilakukan pada akhir setiap sesi
layanan, penilaian jangka pendek (laijapen) dan penilaian jangka
panjang (laijapang).
C. Pendekatan Behavioral
1. Pengertian Konseling Behavioral
Menurut Corey (1993) konseling behavioral merupakan bentuk
tertentu dari modivikasi perilaku. Walaupun perubahan perilaku
63
berhubungan dengan penggunaan umum asumsi-asumsi, konsep dan
teknik yang berhubungan dengan perilaku yang mengendalikan,
mengubah atau memodifikasi perilaku, konseling behavioral secara
khusus mencoba menghapus perilaku yang salah dan membantu konseli
untuk memperoleh ketrampilan baru serta terdapat terapi behavioral yang
menekankan dimensi kognitif manusia dan berbagai macam metode yang
diorintesikan pada tindakan.
Hansen (dalam Rasjidan, 1994) merumuskan pengertian konseling
behavioral cenderung lebih dekat dengan teori belajar. Konseling adalah
situasi belajar yang khusus. Semua perubahan perilaku konseli sebagai
hasil proses konseling merupakan hasil langsung penerapan prinsip
belajar yang sama dengan prinsip belajar di luar suasana konseling. Proses
konseling berurusan langsung dengan bagaiaman menerapkan prinsip-
prinsip belajar.
2. Sifat Manusia
Konsep behavioral adalah perilaku manusia merupakan hasil
belajar, sehingga dapat diubah dan mengkreasi kondisi-kondisi belajas.
Proses konseling merupakan penataan proses atau pengalaman belajar
untuk membantu siswa mengubah perilakunya agar dapat memecahkan
masalah.
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan bahwa manusia
adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol atau dipengaruhi
oleh faktor-faktor dari luar. Manusia memulai kehidupannya dengan
64
memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini
menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.
Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan
yang diterima dalam situasi hidupnya. Tingkah laku dipelajari ketika
individu berinteraksi dengan lingkungan, melalui hukum-hukum belajar
seperti pembiasaan klasik, pembiasaan operand dan peniruan. Manusia
bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil
belajar, sehingga anak dapat diubah dengan memanipulasi dan
mengkreasi kondisi-kondisi pembentukkan tingkah laku. Manusia
cenderung akan mengambil stimulus yang menyenangkan dan
menghindarkan stimulus yang tidak menyenangkan. Kepribadian
seseorang merupakan cerminan dari pengalaman yaitu situasi atau
stimulus yang diterimanya. Memahami kepribadian manusia yaitu
mempelajari dan memahami bagaimana terbentuknya suatu tingkah laku.
3. Ciri Konseling Behavioral
DR. Rochman Natawidjaja (1987) menyebutkan cirri konseling
behavioral adalah sebagai berikut ini :
a. Memusatkan perhatian kepada pemilihan sasaran perilaku yang akan
diubah dan mengkhususkan unsur-unsur yang ingin diubah dari
perilaku itu
b. Mempelajari peristiwa-peristiwa yang dapat diamati di dalam
lingkungan yang mempertahankan perilaku itu
65
c. Mengkhususkan secara jelas perubahan lingkungan dan strategi
intervensi yang dapat mengubah perilaku
d. Bertahan pada assesmen dan penilaian terhadap perlakuan dalam
penyuluhan berdasarkan data yang ada
e. Memperhatikan bagaimana seseorang dapat mempertahankan dan
menggeneralisasikan perilaku yang telah diperolehnya di dalam
penyuluhan kelompok itu, untuk diterapkan dalam situasi baru dan
kehidupan sehari-hari pada jangka waktu lama
4. Karakteristik Konseling Behavioral
Rosjidan (1994) mengemukakan karakteristik konseling behavioral
yang bersifat universal adalah :
a. Fokusnya pada pengaruh-pengaruh tingkah laku yang dapat diamati
yang dipertentangkan dengan determinan-determinan historis
b. Penekanan diberikan pada perubahan tingkah laku yang dapat diamati
dengan jelas sebagai kriteria utama dalam menilai treatment
c. Tujuan-tujuan treatment ditentukan secara nyata dalam istilah yang
obyektif agar memungkinkan adanya pengulangan atau peninjauan
kembali. Kepercayaan adalah pada penelitian dasar sebagai sumber
hipotesis tentang treatment dan teknik-teknik terapi tertentu
d. Masalah-masalah yang menjadi sasaran dalam terapi secara khusus
ditentukan, sehingga memungkinkan adanya treatment dan penilaian
66
5. Sifat Khas Konseling Behavior
Rasjidan (1994) mengemukakan enam sifat khas konseling
behavioral adalah :
a. Konseling behavioral adalah proses yang terancang dan sistematik
b. Problem manusia umumnya akibat kurang atau salah belajar karena
itu konseling dipandang sebagai proses belajar mengajar
c. Tujuan konseling adalah membantu klien mengubah tingkah laku
yang ditentukan dan masalahnya khusus, meneliti variabel eksternal
dan internal yang mungkin menstimulasi dan mereinforce perilakunya
dan lebih lanjut membuat pernyataan perilaku baru sebagaimana yang
diharapkan
Dalam melakukan perannya, dituntut adanya kesadaran dan
partisipasi klien dalam proses terapiutik. Klien harus mau bekerjasama
dengan konselor dan anggota yang lain baik selama terapi maupun dalam
situasi kehidupan nyata bila memungkinkan. Keefektifan sangat dituntut
bagi memperoleh keberhasilan yang diikuti dengan adanya kemauan untuk
memperbaiki perilakunya.
6. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan tentang asumsi
tingkah laku bermasalah adalah sebagai berikut ini :
a. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-
kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat yaitu tingkah laku
yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan
67
b. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara belajar atau
lingkungan yang salah
c. Manusia bermasalah mempunyai kecenderungan merespons tingkah
laku negatif dari lingkungannya
d. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga
dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
7. Tujuan Konseling Behavioral
JT Lobby Loekmono (2003) menyatakan tentang tujuan utama
konseling behavioral adalah menyediakan keadaan-keadaan lingkungan-
lingkungan agar perilaku yang tidak sesuai dapat dihapuskan dan sesudah
itu konseli akan diajarkan untuk menguasai perilaku baru yang sesuai
untuk menggantikan perilaku yang tidak sesuai.
Tujuan dari konseling behavioral adalah sebagai berikut ini :
a. Menghapus atau menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah)
untuk digantikan dengan tingkah laku yang baru yaitu adaptif yang
diinginkan klien
b. Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang
spesifik :
a) Diinginkan oleh klien
b) Konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut
c) Klien dapat mencapai tujuan tersebut
d) Dirumuskan secara spesifik
68
c. Konselor dan klien bersama-sama (bekerjasama) menetapkan atau
merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling
Cormier dan Cormier (1979 dalam JT Lobby Loekmono, 2003)
menjelaskan bahwa proses penentuan tujuan ini biasanya dilakukan
bersama antara konselor dan konseli menurut urutan berikut :
a. Konselor menjelaskan kepada konseli sifat dan maksud tujuan
b. Konseli menentukan perubahan atau tujuan khusus yang diinginkan
c. Konseli dan konselor mengkaji dan menilai kesesuaian tujuan yang
dinyatakan oleh konseli
d. Secara bersama mereka mengidentifikasi resiko-resiko yang
berhubungan dengan tujuan itu dan menilai resiko-resiko itu
e. Secara bersama juga mereka mendiskusikan kebaikan yang mungkin
diperoleh dari tujuan itu
f. Berdasarkan informasi yang didapat mengenai tujuan yang dinyatakan
konseli, konselor dan konseli akan membuat salah satu dari keputusan
berikut :
1. Untuk meneruskan konseling atau
2. Untuk mempertimbangkan kembali tujuan yang dinyatakan oleh
konseli atau
3. Untuk merujuk konseli pada konselor lain agar keinginan dan
hasrat konseli tidak kosong dan konselor sendiri tidak merasa
hampa dan kecewa
69
Latipun (2006) mengemukakan bahwa konseling behavioral itu
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Berfokus pada perilaku yang tampak dan spesifik
b. Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan terapeutik
c. Mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah
klien
d. Penaksiran objektif atas tujuan terapeutik
Latipun (2006) juga mengemukakan tujuan umum konseling
behavioral adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku
simtomatik yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan
perilaku, yang dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang dan
atau mengalami konflik dengan kehidupan sosial.
Latipun (2006) mengemukakan tujuan khusus konseling behavioral
adalah mengubah perilaku salah dalam penyesuaian dengan cara-cara
memperkuat perilaku yang diharapkan dan meniadakan perilaku yang
tidak diharapkan serta membantu menemukan cara-cara berperilaku yang
tepat
8. Peranan Konselor
Sebagai pemimpin kelompok dalam konseling kelompok, seorang
konselor harus mempunyai kemampuan atau ketrampilan, kemampuan
seorang konselor dalam memimpin konseling kelompok antara lain :
a. Menciptakan suasanan kelompok sehingga terciptanya dinamika
kelompok
70
b. Berwawasan luas (ilmiah dan moral)
c. Mampu membina hubungan antarpersonal yang hangat, damai,
berbagi, empatik
Seorang konselor yang mempunyai kemampuan dan ketrampilan
seorang konselor juga mempunyai peranan sebagai pemimpin kelompok
antara lain :
a. Membentuk kelompok
Seorang konselor mempunyai tugas untuk membentuk kelompok dan
memilih para anggotanya untuk melakukan konseling kelompok
b. Melakukan penstrukturan
Sebelum melaksanakan proses konseling kelompok, konselor
melakukan penstrukturan dalam kelompok dan menjelaskan
bagaimana langkah-langkah dalam melaksanakan konseling kelompok
ini
c. Mengembangkan dinamika kelompok
Konselor juga berkewajiban untuk mengembangkan dinamika
kelompok supaya dalam proses konseling kelompok ini dapat berjalan
dengan lancar dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan
d. Mengevaluasi proses dan hasil belajar
Setelah kegiatan konseling kelompok berlangsung, konselor harus
mengevaluasi dan menilai hasil kegiatan konseling kelompok yang
sudah dilaksanakan
71
J.T. Lobby Loekmono (2003) ada empat peranan utama yang harus
dimainkan konselor dalam konseling behavioral adalah sebagai berikut :
a. Dalam konseling ini, konselor mempunyai kedudukan sebagai pakar,
guru yang aktif karena konselor mempunyai pengetahuan dan
ketrampilan yang dapat dipakai untuk mengobati masalah-masalah
yang dihadapi konselinya. Oleh karena itu konselor hendaknya
berusaha untuk mendiagnosis masalah yang dihadapi oleh konselinya
dan selanjutnya membuat saran dan rencana untuk mengatasi
masalahnya.
b. Sebagai seorang pakar, yang akan dikagumi dan dihormati oleh
konseli, konselor dapat menjadi model atau contoh untuk diteladani
oleh konselinya. Sikap, nilai, filsafat, kepercayaan, perilakunya dan
segala yang berkaitan dengan dirinya akan dicontoh atau diikuti oleh
konselinya. Justru karena itu, amatlah penting bagi konselor
menyadari hakikatnya dan selanjutnya waspada agar konseli menjadi
model yang sesuai untuk dicontoh.
c. Konselor hendaknya terampil dengan semua ataupun dengan sebagian
besar teknik yang dipakai dalam konseling behavioral yang beraneka
ragam
d. Konselor juga harus mempunyai orientasi yang baik ke arah
penyelidikan dan statistik agar konseli dapat melaksanakan penilaian
yang objektif
72
9. Peranan Konseli
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan bahwa konseling
behavioral memakai strategi yang khusus dan jelas bukan saja untuk
diikuti oleh konselor, tetapi juga oleh konseli. Di samping itu konseling
behavioral bukan saja memakai bahasa di dalam mengatasi suatu masalah,
tetapi juga amat menitikberatkan tindakan berupa perilaku tindakan yang
harus dilakukan sewaktu konseling dan lebih penting lagi sesudah sesi
konseling.
Oleh karena itu ada ketentuan, konseli yang dibantu dengan
konseling ini harus setia pada strategi dan prosedur konseling behavioral.
Konseli juga harus mempunyai motivasi untuk mengubah apa saja perilaku
yang menjadi kebiasaannya, konseli harus bersedia melakukan apa yang
disetujui atau diarahkan serta bersedia menghadapi dan menerima resiko
dari percobaan di luar ruang konseling. Hanya dengan cara ini
keberhasilan suatu konseling behavioral dapat lebih dijamin.
Peran anggota kelompok dalam layanan konseling kelompok antara
lain :
a. Aktif, mandiri melalui aktivitas langsung melalui sikap 3M
(mendengar dengan aktif, memahami dengan positif dan merespon
dengan tepat), sikap seperti seorang konselor
b. Berbagi pendapat, ide dan pengalaman
Konseli diharapkan dapat menceritakan pengalaman pribadinya untuk
dapat bertukar pendapat dengan anggota kelompok yang lainnya
73
c. Empati
Konseli dapat merasakan dan mengidentifikasi dirinya dalam keesaan
perasaan atau pikiran yang sama dengan anggota kelompok yang
lainnya
d. Aktif membina keakraban, membina keikatan emosional
Konseli hendaknya membina keakraban dan ikatan emosional diantara
anggota kelompok yang lain sehingga dapat terjalin hubungan yang
baik dengan anggota kelompok yang lain
e. Mematuhi etika kelompok
Anggota kelompok harus mematuhi etika dan peraturan yang telah
diberikan konselor dan disepakati oleh semua anggota kelompok
supaya dalam proses konseling kelompok dapat berjalan dengan lancar
f. Menjaga kerahasiaan, perasaan dan membantu anggota kelompok lain,
dalam kegiatan konseling kelompok konseli diharapkan untuk menjaga
kerahasiaan dan perasaan anggota kelompok lainnya
g. Membina kelompok untuk menyukseskan kegiatan kelompok
10. Deskripsi Proses Konseling
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan deskripsi proses
konseling behavioral adalah sebagai berikut :
a. Proses konseling dibingkai oleh kerangka kerja untuk mengajar klien
dalam mengubah tingkah lakunya
b. Proses konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya
proses belajar tersebut
74
c. Konselor mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang
benar-benar dialaminya pada waktu itu
d. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi metode atau teknik maa
yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah
e. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment dan
klien menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam
konseling
f. Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut :
1) Konselor dan klien mendefinisikan masalah yang dihadapi klien
2) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai
hasil konseling
g. Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan klien :
1) Apakah merupakan tujuan yang benar-benar diinginkan oleh klien
2) Apakah tujuan itu realistic
3) Kemungkinan manfaatnya
4) Kemungkinan kerugiannya
h. Konselor dan klien membuat keputusan apakah :
1) Melanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan
dilaksanakan
2) Mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai
3) Melakukan referral
75
i. Technique Implementation adalah menentukan dan melaksanakan
teknik konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang
diinginkan yang menjadi tujuan konseling
j. Evaluation Termination adalah melakukan penilaian apakah kegiatan
konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil
sesuai dengan tujuan konseling
k. Feedback adalah memberikan dan menganalisis umpan balik untuk
memperbaiki dan meningkatkan proses konseling
11. Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral
JT Lobby Loekmono (2003) mengemukakan prinsip kerja teknik
konseling behavioral adalah sebagai berikut :
a. Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan
Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya hendaknya
mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis
dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien
b. Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak
diinginkan
c. Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan
mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak
diinginkan
d. Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh
atau model (film, tape recorder atau contoh nyata langsung)
76
e. Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku
yang diinginkan dengan sistem kontrak
12. Tahap-tahap Konseling Behavioral
Tahap konseling behavioral menurut Rasjidan (1994) adalah :
a. Memulai kelompok (beginning the group) yaitu konselor
mengadakan pertemua dengan setiap individu untuk menentukan
apakah individu-individu itu cocok untuk ditangani dalam
kelompok dan memiliki kemauan untuk berpartisipasi dalam
kelompok. Aktivitas permulaan dipusatkan pada pengorganisasian
kelompok, mengorientasi klien ke proses kelompok dan memulai
proses pembangunan kebersamaan kelompok. Untuk
mengorganisasi kelompok, secara sederhana meliputi penentuan
hal-hal semacam waktu pertemuan, memberikan tugas tertentu yang
dirancang untuk memperluas hubungan interpersonal dalam
komunikasi antar anggota
b. Pembatasan atau penentuan masalah (definition of the problem)
pendapat dari Rose dan Hansen (1980) menyebutkan tahap
klarifikasi ini sebagai tahap asesmen yaitu kegiatan kelompok untuk
menentukan masalah yang akan diubah dan sumber-sumber
individual beserta lingkungannya yang dapat mempermudah bagi
mengatasi masalah klien. Masalah klien yang diceritakan kepada
kelompok perlu dianalisis lebih jauh. Kapan, dimana, bagaiamana
kejadiannya dan dengan siapa masalah itu muncul?
77
c. Perkmebangan dan sejarah sosial (the development and social
history) pada tahap ini konselor meminta klien untuk
mengungkapkan keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya,
kelebihan dan kekurangannya, hubungan sosial, penghambat
tingkah laku dan konflik-konflik yang dialami
d. Pernyataan tujuan behavioral (stating behavioral goals) yaitu
menjadi dasar bagi system memodifikasi tingkah laku dan
mengembangkan tingkah laku baru
e. Siasat pengubah tingkah laku (strayegies for behavioral change)
dalam tahap ini akan sangat membantu jika konselor
mengembangkan kontrak behavioral yang spesifik yaitu kontrak
mingguan dengan setiap anggota. Itu sangat membantu untuk
menentukan kemajuan klien. Selama proses ini konselor
memberikan kesempatan bagi klien untuk bertanya,
mengungkapkan sikap dan perasaannya mengenai prosedur dan
proses konseling ini. Penting pula untuk memanfaatkan anggota
kelompok dalam membantu mengevaluasi kemajuan yang telah
dicapai oleh anggota tertentu
f. Pengalihan dan memelihara tingkah laku yang dikehendaki (transfer
and maintenance of desired behavioral) beberapa prosedur dapat
membantu klien bagi memelihara tingkah laku yang dikehendaki.
Salah satu cara adalah dengan pemberian tugas rumah. Tugas ini
harus menspesifikasi tingkah laku yang dikehendaki secara jelas
78
demikian pula dengan kondisinya. Pada pertemuan berikutnya klien
diminta untuk melaporkan hasilnya
13. Hasil yang Diinginkan Dalam Konseling Behavioral
JT. Lobby Loekmono (2003) ada beberapa hasil yang diinginkan
dalam konseling kelompok behavioral adalah sebagai berikut ini :
a. Anggota lebih menyadari perilaku-perilaku spesifik dan kebutuhan
lain untuk berubah dan cara menyelesaikannya
b. Melalui konseling kelompok behavioral anggota akan mampu
menilai bagaimana sebaiknya siswa mengubah perilakunya
sebagaimana dibutuhkan dalam lingkungan kehidupan keseharian
siswa
c. Anggota akan lebih mengetahui akan model-model baru untuk
mencapai tujuan-tujuan siswa
d. Anggota lebih bisa mengungkapkan secara lengkap kekuatan
penguatan kelompok, sebagai hasil dukungan sosial dan psikologis,
siswa juga dapat merancang kehidupan siswa dalam kelompok yang
berbeda
14. Teknik-Teknik Konseling Behavioral
JT Lobby Loekmono (2003) ada beberapa teknik konseling
behavioral adalah sebagai berikut :
a. Latihan relaksasi
Latihan ini merupakan suatu metode yang makin popular di masa
kini untuk mengurangi ketegangan yang muncul hasil dari kehidupan
79
sehari-hari. Latihan ini bertujuan untuk mengendurkan ketegangan otot
dan mental. Teknik ini juga ditemukan berguna membantu konseli yang
mengalami darah tinggi dan masalah-masalah lain yang berkaitan
dengan sakit jantung, sakit kepala, lelah dan insomania (susah tidur)
b. Latihan Asertif
Alberti dan Emmons (2002 dalam Lutfifauzan 2007)
mendefinisikan asertivitas sebagai perilaku yang mempromosikan
kesetaraan dalam hubungan manusia, yang memungkinkan konselor
untuk bertindak menurut kepentingan diri sendiri, untuk membela diri
sendiri tanpa kecemasan yang tidak semestinya, untuk mengekspresikan
perasaan dengan jujur dan nyaman, untuk menerapkan hak-hak pribadi
kita tanpa menyangkali hak-hak orang lain. Menurut Sunardi (2010)
asertif dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyatakan diri
dengan tulus, jujur, jelas, tegas, terbuka, sopan, spontan, apa adanya,
dan tepat tentang keinginan, pikiran, perasaan dan emosi yang dialami.
Pernyataan diri itu meliputi hal yang dianggap menyenangkan ataupun
mengganggu sesuai dengan hak-hak yang dimiliki dirinya tanpa
merugikan, melukai, menyinggung, atau mengancam hak-hak,
kenyamanan, dan integritas perasaan orang lain.
Rosjidan (1994) mengungkapkan bahwa teknik ini cocok untuk
individu yang mempunyai kebiasaan respon cemas dalam hubungan
interpersonal yang tidak adaptif, kecemasan menghambat mereka dalam
80
mengekspresikan perasaan dan tindakan yang tegas dan tepat, sehingga
konseli mengalami kesulitan.
Rosjidan (1999) assertive training adalah latihan yang diberikan
kepada individu yang diganggu kecemasan, yang tidak mampu
mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain
merongrong dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya dengan
benar dan cepat tersinggung. Hal ini dialami individu hanya lantaran
konseli belum terbiasa bersikap atau bertingkah laku yang tegas atau
asertif
Lebih lanjut Rosjidan (1999) mengungkapkan assertive training
dimulai dengan meengilustrasikan kepada klien bahwa ekspresi
perasaan yang dilakukan secara tepat akan menghambat munculnya
kecemasan. Konseli kemudian mendiskusikan topik ini dan meneliti
tugas-tugas yang mudah yang memungkinkan untuk mereka lakukan.
Tugas yang mudah itu harus memungkinkan individu memperoleh
reinforcement dari pengalaman yang positif. Memberikan pengajaran
kepada individu adalah penting.
Singgih D Gunarsa (2001) mengungkapkan bahwa perilaku asertif
adalah perilaku antarperorangan yang melibatkan aspek kejujuran dan
keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku asertif ditandai oleh
kesesuaian sosial dan seseorang yag berperilaku asertif
mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain.
81
Singgih D Gunarsa (2001), ada 3 (tiga) kategori perilaku asertif
yaitu :
a. Asertif penolakan. Ditandai oleh ucapan untuk memperhalus
seperti : maaf!
b. Aserif pujian. Ditandai oleh kemampuan untuk mengekspresikan
perasaan positif seperti menghargai, menyukai, mencintai,
mengagumi, memuji dan bersyukur
c. Asertif permintaan. Jenis asertif ini terjadi kalau seseorang
meminta orang lain melakukan sesuatu yang memungkinkan
kebutuhan atau tujuan seseorang tercapai tanpa tekanan atau
paksaan. Dari uraian ini terlihat bahwa perilaku asertif adalah
perilaku yang menunjukkan adanya ketrampilan untuk bisa
menyesuaikan dalam hubungan interpersonal dalam lingkungan
sosial. Sebaliknya, dari perilaku yang tidak asertif adalah misalnya
agresivitas
Latihan asertif menururt Singgih D Gunarsa (2001), bisa
bermanfaat untuk dipergunakan dalam menghadapi konseli yang :
a. Tidak bisa mengekspresikan kemarahan atau perasaannya yang
tersinggung
b. Mengalami kesulitan untuk mengatakan “tidak”
c. Terlalu halus (sopan) yang membiarkan orang lain mengambil
keuntungan dari keadaannya
82
d. Mengalami kesulitan untuk mengekspresikan afeksi (perasaan yang
kuat) dan respons-respons lain yang positif
e. Merasa tidak memiliki hak untuk mengekspresikan pikiran,
kepercayaan dan perasaannya
c. Desensitisasi Sistematis
JT Lobby Loekmono (2003) merupakan teknik konseling
behavioral yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan klien dari
ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks.
Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat
secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan
tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik
respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara
bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik
relaksi yang digunkan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat
secara negatif biasanya merupakan kecemasan dan ia menyertakan
respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.
d. Konseling Implusif
JT Lobby Loekmono (2003) menyatakan bahwa suatu teknik yang
dapat dikatakan berlawanan dengan teknik desensitisasi sistematik. Di
dalam konseling implusif konseli akan diminta menggambarkan situasi-
situasi yang paling menakutkan atau mencemaskan.
Suatu alternatif teknik ini disarankan yang dinamakan
“pembanjiran” (flooding). Di dalam pembanjiran, hal yang menakutkan
83
atau mencemaskan itu hendaknya dibayangkan lama-lama tanpa akibat
yang tidak diinginkan.
e. Ekonomi-token
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan bahwa ekonomi
token adalah salah satu teknik yang biasanya digunakan untuk
menghapuskan suatu perilaku yang tidak diinginkan dan mengganti
suatu perilaku yang diinginkan.
Di dalam ekonomi token biasanya konselor dan konseli akan
membahas terlebih dahulu untuk menentukan :
1) Perilaku yang ingin dihapuskan
2) Perilaku yang ingin dibentuk
3) Penguatan-penguatan yang dapat ditukar dengan token-token.
Token-token ini dapat diukur dengan sesuatu yang amat diinginkan
oleh konseli
Setiap kali perilaku yang diinginkan itu dilakukan konseli akan
mendapat token dan apabila cukup jumlahnya dapatlah konseli
menukar token-token ini dengan apa yang diinginkannya. Ekonomi
token ini biasanya lebih sesuai dipakai di dalam kelompok karena di
samping token yang diperoleh konseli juga akan mendapat penguatan
sosial dari teman-teman sebayanya.
84
f. Contoh dan Model (Modelling)
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan bahwa peniruan atau
modeling dapat juga dilakukan dengan memakai model lambang
(symbol model) melalui film dan lain-lain alat visual. Di dalam
konseling kelompok, model berganda (multiple model) selalu terjadi
karena peserta-peserta bebas meniru perilaku pimpinan atau
membantunya ataupun peserta-peserta lain di dalam usahanya
menguasai perilaku alternatif.
g. Pendekatan Kognitif di dalam Konseling Behavioral
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan pada prinsipnya
pendekatan-pendekatan kognitif ini membuat andaian bahwa proses
kognitif yang terjadi secara convert ini juga dapat menghasilkan
perilaku overt atau nyata yang tidak lazim. Di antara konseling-
konseling yang memberikan penekanan pada proses kognitif termasuk
di dalamnya adalah :
1) Konseling rasional emotif oleh Ellis
2) Konseling penstrukturan kembali kognitif oleh Beck (1967, 1976)
3) Konseling pengubahan struktur kognitif oleh Meichenbaum (1977)
4) Konseling penghentian pemikiran ole Rudestam (1980) dan Cormier
dan Cormier (1979).
85
Pendekatan-pendekatan yang disarankan oleh teori-teori di atas ini
mempunyai banyak persamaan yaitu :
1) Mengenal struktur pemikiran yang salah yang menyebabkan perilaku
tak lazim
2) Berusaha menggantikan struktur pemikiran itu dengan struktur yang
lebih sesuai
3) Menafsirkan suatu keadaan itu berdasarkan struktur pemikiran baru
h. Latihan Ketrampilan Sosial
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan satu teknik konseling
ini yang mengajar konseli ketrampilan-ketrampilan sosial seperti
bagaimana berteman, bagaimana berinteraksi secara efektif dengan
teman-teman sejawat atau pimpinan. Latihan ini biasanya diberikan
kepada konselin yang:
1) Tidak dapat melepaskan kemarahannya
2) Tidak dapat mengatakan tidak
3) Tidak tertib dan karena itu dimanfaatkan orang lain
4) Tidak dapat menyatakan isi hati dan perasaan serta respon-respon
positif
5) Merasa bahwa mereka tidak mempunyai hak untuk menyatakan
pikiran, kepercayaan dan perasaan mereka.
Sebaiknya dikatakan bahwa walaupun latihan ketrampilan sosial ini
menegaskan bahwa setiap individu itu mempunyai hak-hak sendiri
untuk menyatakan buah pikirannya, kepercayaan dan juga perasaannya,
86
konselor tidak melatih individu untuk bersikap dan bertindak secara
agresif.
i. Perilaku Pengarahan Diri
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan bahwa ada individu
yang dapat mengatur dan mengarahkan diri mereka untuk mencapai
tujuan tertentu. Dengan demikian individu ini kadang-kadang tidak
mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang mencukupi untuk
mencapai tujuan yang dituju.
Watson dan Thorp telah menyarankan empat langkah utama untuk
menolong individu menguasai ketrampilan tertentu di dalam usaha
mengatur dan mengarahkan hidupnya yaitu :
1) Memilih tujuan-tujuan yang akan dipakai yaitu yang dapat diukur,
dicapai, positif dan penting untuk individu itu.
2) Tujuan itu hendaknya diuraikan dengan jelas dari segi perilaku
3) Pengawasan diri individu bersangkutan hendaknya mencatat di
dalam buku hariannya perilaku yang telah dilakukan berkaitan
dengan tujuan yang hendak dicapai
4) Menyediakan rencana tindakan untuk mencapai tujuan
j. Pengkondisian Aversi
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan bahwa teknik ini
dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati
87
respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus
tersebut.
Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut
diberikan secara bersama dengan munculnya tingkah laku yang tidak
dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk
asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus
yang tidak menyenangkan.
k. Pembentukan Tingkah Laku Model
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan bahwa teknik ini
dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien dan
memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor
menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat
menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang
teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh.
Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari
konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
Rasjidan (1994) mengelompokkan kedalam tiga siasat : teknik-
teknik yang mengandung siasat penguatan perilaku, modeling dan
melemahkan perilaku :
a. Siasat penguatan perilaku (strengthtning behaviors)
1) Shaping adalah metode mengajarkan tingkah laku melalui
perkiraan secara terus menerus dan berantai. Hasford mengajukan
empat pertimbangan dalam proses penggunaan reinforcement
88
sebagai teknik shoping. Pertama, konselor harus yakin bahwa
reinforcement cukup kuat untuk memotivasi munculnya tingkah
laku yang dikehendaki. Kedua, reinforcement harus dipakai secara
sistematik yaitu dengan membentuk tingkah laku baru yang
dikehendaki. Ketiga, untuk menjadi reward efektif, kita harus
membuat cara sedemikian sehingga klien dapat mengalami
dengan jelas bahwa reward itu ada hubungannya dengan tingkah
laku yang dikehendaki. Keempat, konselor harus dapat
memunculkan taksiran klien tentang respon yang diinginkan dari
klien.
2) Kontrol tingkah laku (behavior contracts) yaitu perjanjian dua
orang atau lebih untuk bertingkah laku dengan cara tertentu dan
untuk menerima hadiah bagi tingkah laku itu. Syarat-syarat dalam
memantapkan kontrak tingkah laku adalah batasan yang cermat
mengenai masalah klien, situasi dimana masalah itu muncul dan
kesediaan klien untuk mencoba suatu prosedur
3) Asserive training adalah latihan yang diberikan kepada individu
yang diganggu kecemasannya, yang tidak mampu mempertahakan
hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain mengrongrong
dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya dengan benar
dan cepat tersinggung. Assertive training dimulai dengan
mengilustrasikan kepada klien bahwa ekspresi perasaan yang
dilakukan secara tepat akan menghambat munculnya kecemasan.
89
Klien lalu berdiskusikan topik ini dan meneliti tugas-tugas yang
mudah yang memungkinkan klien melalukan. Dan untuk
memperoleh reinforcement yang positif
b. Latihan tingkah laku (behavioral rehearsal)
Yaitu digunakan untuk mengkombinasikan dengan ancangan
behavioral yang lain. Dalam latihan laku, anggota kelompok dapat
mencoba tingkah laku yang dikehendaki dalam lingkungan kelompok
yang aman. Dengan cara ini klien mampu mempraktrkkan tingkah
laku yang dikehendaki dan menerima balikan dari anggota dan
konselor. Adapun tingkah laku tersebut yaitu :
1) Cognitive restructuting yaitu untuk membetulkan informasi,
penghentian jalan berpikir, membuang keyakinan yang salah,
pelabelan kembali dan pemecahan masalah yang sistematik
2) Convert reinforcement yaitu klien dilibatkan dengan memasang-
masangkan imaginasi tentang tingkah laku yang dikehendaki
dengan sesuatu yang negatif maupun sesuatu yang positif
3) Extinction yaitu proses melemahkan frekuensi tingkah laku dan
menghilangkan reinforcement-nya
4) Reindorcing incompatible behavioral yaitu dengan memperkuat
tingkah laku yang positif, seseorang dapat mengurangi beberapa
tingkah laku yang menyimpang. Untuk menggunakan teknik ini,
hal pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi tingkah laku
yang akan dihilangkan dan tingkah laku yang dimunculkan. Hal ini
90
harus diikuti dengan observasi sistematik dan pencatatan untuk
menentuka garis dasar
5) Systematic desensitization yaitu proses kontrekondisioning, salah
satu teknik melemahkan respon terhadap stimulus yang tidak
menyenangkan dengan mengintrodusir stimulus yang berlawanan
(menyenangkan)
15. Keterbatasan Pendekatan
JT Lobby Loekmono (2003) ada beberapa keterbatasan pendekatan
sebagai berikut :
a. Bersifat dingin, kurang menyentuh aspek pribadi, bersifat manipulasi
dan mengabaikan hubungan antar pribadi
b. Lebih terkonsentrasi kepada teknik
c. Pemilihan tujuan sering ditentukan oleh konselor
d. Konstruksi belajar yang dikembangkan dan digunakan oleh konselor
behavioral tidak cukup komprehensif untuk menjelaskan belajar dan
harus dipandang hanya sebagai suatu hipotesis yang harus diuji
e. Perubahan klien hanya berupa gejala yang dapat berpindah kepada
bentuk tingkah laku yang lain
16. Kesimpulan dan Evaluasi
JT Lobby Loekmono (2003) mengungkapkan walaupun konseling
ini amat mementingkan teknik dan memberi perhatian pada aspek-aspek
khusus, namun tidaklah dapat disangkal bahwa konseling ini telah
91
berhasil memberikan dua sumbangan besar yaitu penekanannya pada
pengukuran, penilaian dan penyelidikan.
Penekanan demikian memberi kepada konseli terhadap kesempatan
menilai kemajuan atau kemunduran di dalam usaha pertolongan konselor,
konseling ini juga mempunyai teknik, prosedur dan strategi yang
beranekaragam. Dengan adanya kombinasi antara perilaku dan struktur
kognitif, konselor yakin bahwa konseling behavioral ini akan berhasil
merawat macam-macam masalah yang dihadapi oleh konseli.
Meskipun demikian, konseling perilaku ini selalu di kritik karena :
a. Hanya berhasil mengubah perilaku dan tidak untuk aspek perasaan
b. Menolak keras pentingnya hubungan antara konselor dengan konseli
c. Tidak mendorong sampai ke aspek tilikan atau insight
d. Menyisihkan faktor-faktor historis yang menjadi penyebab pada
perilaku masa kini
D. Asertif
Perilaku asertif tidak dilatarbelakangi maksud-maksud tertentu, seperti untuk
memanipulasi, memanfaatkan, memperdaya atau pun mencari, keuntungan
dari pihak lain.
1. Perbedaan Asertif, Non Asertif, dan Agresif
Sunardi (2010) menyatakan bahwa dalam kehidupan atau
komunikasi sehari-hari, orang yang asertif akan lebih memilih pola
interaksi “I’m okay, you’re okay” atau menggunakan pernyataan-
pernyataan yang lebih mencermintan tangung jawab pribadi, seperti
92
penggunaan kata-kata ”saya” dari pada ”mereka ” atau ”kamu”. Misalnya,
”saya sedih, marah, dan malu ketika saya tahu ...” dari pada ”kamu
pembohong, tidak disiplin, dan tidak dapat dipercaya karena ....”. Dengan
demikian, orang yang asertif akan memiliki kebebasan untuk meluapkan
perasaan apa pun yang dirasakan, dan berani mengambil tanggung jawab
terhadap perasaan yang dialaminya dan menerima orang lain secara
terbuka. Memiliki keberanian untuk tidak membiarkan orang lain
mengambil manfaat dari perasaan yang dialaminya, tetapi orang lain pun
memiliki kebebasan untuk mengungkap apa yang dirasakannya.
Dalam perilaku pasif, seseorang tidak tidak memberikan reaksi atau
mengekspresikan perasaan negatif yang dialaminya secara jujur dan
terbuka, tetapi dilakukan dengan menyimpan perasaannya tersebut,
menarik diri, menerima, atau menggerutu. Perilaku non asertif-pasif
hakekatnya adalah bentuk ketidakjujuran emosi, kegagalan diri atau
kekalahan diri yang didasari oleh perasaan-perasaan takut, cemas,
mengindari konflik, keininginan untuk mencari jalan keluar paling
mudah, dan bahkan ketidakmampuan untuk memahami diri dan
memenuhi kebutuhan untuk bersikap sabar. Pola komunikasi yang
berkembang pada kelompok nonasertif-pasif adalah “I’m not okay, you’re
okay”.
Sedangkan pada perilaku nonasertif-agresif, reaksi yang diberikan
diekspresikan keluar dan dilakukan secara terbuka melalui tindakan aktif
berupa pengancaman atau penyerangan, dilakukan secara langsung atau
93
tidak langsung, baik dalam bentuk fisik atau verbal. Tindakan yang
dilakukan secara langsung, misalnya marah-marah, memukul, menuntut,
dominan, egois, menyerang, dsb. Sedangkan tindakan tidak langsung,
misalnya dengan menyindir, menyebar gosip, dsb. Tindakan agresif ini
biasanya sengaja dilakukan dengan maksud untuk melukai, melecehkan,
menghina, mempermalukan, menyakiti, merendahkan dan bahkan
menguasai pihak lain. Dalam pola komunikasi mereka cenderung
menggunakan pola “You’re not okay, I’m okay”. Dengan kata lain,
seseorang dikatakan bersikap non-asertif, jika ia gagal mengekspresikan
perasaan, pikiran dan p ngan/keyakinannya secara tulus, jujur, sopan, dan
apa adanya tanpa maksud untuk merendahkan hak-hak atau mengancam
integritas perasaan orang lain, sehingga justru menimbulkan respon dari
orang lain yang tidak dikehendaki atau negatif.
2. Karakteristik Orang yang Asertif
Sunardi (2010) menyebutkan bahwa secara umum, orang yang
asertif dicirikan dengan sikapnya yang terbuka, jujur, sportif, adaptif,
aktif, positif, dan penuh penghargaan terhadap diri sendiri maupun orang
lain. Beberapa ciri lain, diantaranya adalah:
a. Mampu mengekspresikan pikiran, perasaan, dan kebutuhan dirinya,
baik secara verbal maupun non verbal secara bebas, tanpa perasaan
takut, cemas, dan khawatir.
b. Mampu menyatakan “tidak” pada hal-hal yang memang dianggap tidak
sesuai dengan kata hati atau nuraninya.
94
c. Mampu menolak permintaan yang dianggap tidak masuk akal,
berbahaya, negatif, tidak diinginkan, atau dapat merugikan orang lain.
d. Mampu untuk berkomunikasi secara terbuka, langsung, jujur, terus
terang sebagaimana mestinya
e. Mampu menyatakan perasaannya secara jelas, tegas, jujur, apa adanya,
dan sopan.
f. Mampu untuk meminta tolong pada orang lain pada saat kita memang
membutuhkan pertolongan.
g. Mampu mengekspresikan kemarahan, ketidak setujuan, perbedaan
pandangan secara proporsional.
h. Tidak mudah tersingung, sensitif, dan emosional.
i. Terbuka untuk ruang kritik
j. Mudah berkomunikasi, hangat, dan menjalin hubungan sosial dengan
baik.
k. Mampu memberikan pangan secara terbuka terhadap hal-hal yang tidak
sepaham.
l. Mampu meminta bantuan, pendapat, atau pandangan orang lain ketika
sedang menghadapi masalah.
3. Tipe-tipe Perilaku Asertif
L’Abate & Milan (1985) dalam Sunardi (2010) menjelaskan ada 3
(tiga) tipe perilaku asertif yaitu,
95
a. Asertif untuk menolak (Refusal Assertiveness)
Perilaku asertif dalam konteks ketidaksetujuan atau ketika seseorang
berusaha untuk menghalangi atau mencampuri pencapaian tujuan orang
lain. hal ini membutuhkan keterampilan social untuk menolak atau
menghindari campur tngan orang lain.
b. Asertif untuk memuji (Commendatory Assertiveness)
Ekspresi-ekspresi dari perasaan positif seperti penghargaan, apresiasi dan
menyukai dapat dilihat untuk memfasilitasi hubungan interpersonal yang
baik. Kemampuan untuk memuji orang lain dalam cara yang hangat,
tulus dan bersahabat dapat menjadi kemampuan yang memiliki kekuatan
hebat dan berfungsi untuk membuat seseorang menjadi penguat dan
partner interaksi yang menyenangkan.
c. Asertif untuk meminta (Request Assertiveness)
Perilaku asertif jenis ini terjadi ketika seseorang meminta orang lain
untuk membantunya mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhannya.
Perilaku asertif ini sering dipadukan dengan penolakan, dalam situasi
menolak permintaan orang lain dan meminta perubahan tingkah laku
peminta. Fungsi dari jenis perilaku asertif ini adalah agar menghindari
terjadinya konflik yang sama dikemudian hari.
Digunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk
menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini
terutama berguna diantaranya untuk membantu individu yang tidak
mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan
tidak, mengungkapkan afeksi dan positif lainnya. Cara yang digunakan
96
adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-
diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif.
4. Latihan Asertif
a. Tujuan Latihan Asertif
Sunardi (2010) menyebutkan bahwa tujuan utama dari latihan
asertif adalah untuk mengatasi kecemasan yag dihadapi oleh seseorang
akibat perlakuan yang dirasakan tidak adil oleh lingkungan,
meningkatkan kemampuan untuk bersikap jujur terhadap diri sendiri
dan lingkungan, serta meningkatkan kehidupan pribadi dan sosial agar
lebih efektif.
Lutfifauzan (2010) menyebutkan ada 5 (lima) tujuan latihan
asertif adalah :
a. Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam suatu
cara sehingga memantulkan kepekaan kepada perasaan dan hak-hak
orang lain.
b. Meningkatkan keterampilan behavioralnya sehingga mereka bisa
menentukan pilihan apakah pada situasi tertentu perlu berperilaku
seperti apa yang diinginkan atau tidak
c. Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri dengan cara
sedemikian rupa sehingga terefleksi kepekaanya terhadap perasaan
dan hak orang lain
d. Meningkatkan kemampuan individu untuk menyatakan dan
mengekspresikan dirinya dengan enak dalm berbagai situasi sosial
97
e. Menghindari kesalah pahaman dari pihak lawan komunikasi
b. Strategi yang Dipakai dalam Latihan Asertif
Ada enam strategi yang biasanya dipakai di dalam latihan asertif :
a. Pengajaran. Konselor menerangkan konseli perilaku khusus yang
diharapkannya
b. Respons. Konselor memberikan respons positif dan juga negatif
kepada konseli berkaitan dengan perilakunya sesudah diberi
pengarahan
c. Percontohan. Ada kalanya konselor menunjukkan contoh perilaku
kepada konseli. Ini dapat dilakukan secara hidup atau dengan
memakai audio visual
d. Keasyikan. Konseli akan berlatih melalui permainan peranan
perilaku tertentu dan konseli akan dikritik oleh konselor
e. Penguatan sosial. Dari waktu ke waktu konseli akan diberi pujian
f. Tugas atau PR. Konseli akan diberi tugas untuk dikerjakan
c. Prosedur Umum dalam Latihan Asertif
Sunardi (2010) menyebutkan ada 9 (Sembilan) prosedur umum
dalam latihan asertif adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi masalah yaitu dengan menganalisis permasalahan klien
secara komprehensif yang meliputi situasi-situasi umum dan
khusus di lingkungan yang menimbulkan kecemasan, pola respons
yang ditunjukkan, faktor-faktor yang mempengaruhi, tingkat
98
kecemasan yang dihadapi, motivasi untuk mengatasi masalahnya,
serta sistem dukungan
b. Pilih suatu situasi yang akan diatasi, denga memilih terlebih dahulu
situasi yang menimbulkan kesulitan atau kecemasan paling kecil.
Selanjutnya secara bertahap menuju pada situasi yang lebih berat
c. Analisis situasi yaitu dengan menunjukkan kepada klien bahwa
terdapat banyak alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalahnya tersebut. Identifikasi alternatif penyelesaian masalah
d. Menetapkan alternatif penyelesaian masalah. Bersama-sama klien
berusaha untuk memilih dan menentukan pilihan tindikan yang
dianggap paling sesuai, mungkin, cocok, layak dengan keinginan
dan kemampuan klien serta memiliki kemungkinan peluang
berhasil paling besar
e. Mencoba alternative yang dipilih. Dengan bimbingan, secara
bertahap klien diajarkan untuk mengimplementasikan pilihan
tindakan yang telah dipilih
f. Dalam proses latihan, hendaknya diperhatikan hal-hal yang
terkaitan dengan kontak mata, postur tubuh, gerak isyarat, ekpresi
wajah, suara, pilihan kalimat, tingkat kecemasan yang terjadi, serta
kesungguhan dan motivasinya
g. Diskusikan hasil, hambatan dan kemajuan-kemajuan yang terjadi,
serta tindak lanjut
99
h. Klien diberi tugas untuk mencoba melakukan hal-hal yang sudah
dibicarakan secara langsung dalam situasi yang nyata
i. Evaluasi hasil dan tindak lanjut
Dalam latihan asertif, perilaku berbahasa yang terkait dengan
intonasi, kesantunan, cara mengungkapkan, pemilihan kalimat, dan
ketrampilan-ketrampilan pragmatis lainnya sangat penting, sehingga
harus diperhatikan dan dilatihkan. Misalnya, dengan mengucapkan
dengan lembut kata ”maaf” terlebih dahulu sebelum merespon atau
menyatakan perasaan yang sebenarnya, menyatakan alasan yang
sebenarnya berdasarkan pada fakta yang dilihat, didengar, dipikir, dan
dirasakannya, bukan berdasar kepada sifat-sifat pribadi, serta dalam
memberi masukan sebagai alternatif yang lebih baik. Sedangkan secara
teknis, pelatihan asertif disamping dapat dilakukan secara langsung,
dapat pula dilakukan melalui teknik modeling ataupun bermain peran.
Dalam kaitan dengan latihan asertif, Rini (2001 dalam Sunardi 2010)
mengajukan beberapa saran untuk mampu mengatakan “tidak” terhadap
permintaan yang tidak diinginkan, yaitu:
a. Tentukan sikap yang pasti, apakah ingin menyetujui atau tidak. Jika
belum yakin dengan pilihan, maka bisa minta kesempatan berpikir
sampai mendapatkan kepastian. Jika sudah merasa yakin dan pasti
akan pilihan sendiri, maka akan lebih mudah menyatakannya dan
juga merasa lebih percaya diri.
100
b. Jika belum jelas dengan apa yang dimintakan, bertanyalah untuk
mendapatkan kejelasan atau klarifikasi.
c. Berikan penjelasan atas penolakan secara singkat, jelas, dan logis.
Penjelasan yang panjang lebar hanya akan mengundang
argumentasi pihak lain.
d. Gunakan kata-kata yang tegas, seperti secara langsung mengatakan
“tidak” untuk penolakan, dari pada “sepertinya saya kurang setuju..
sepertinya saya kurang sependapat...saya kurang bisa.....”
e. Pastikan bahwa sikap tubuh juga mengekspresikan atau
mencerminkan “bahasa” yang sama dengan pikiran dan verbalisasi.
Seringkali orang tanpa sadar menolak permintaan orang lain namun
dengan sikap yang bertolak belakang, seperti tertawa-tawa dan
tersenyum.
f. Gunakan kata-kata “Saya tidak akan....” atau “Saya sudah
memutuskan untuk.....” dari pada “Saya sulit....”. Karena kata-kata
“saya sudah memutuskan untuk....” lebih menunjukkan sikap tegas
atas sikap yang tunjukkan.
g. Jika berhadapan dengan seseorang yang terus menerus mendesak
padahal juga sudah berulang kali menolak, maka alternatif sikap
atau tindakan yang dapat lakukan : mendiamkan, mengalihkan
pembicaraan, atau bahkan menghentikan percakapan.
h. Tidak perlu meminta maaf atas penolakan yang disampaikan
(karena berpikir hal itu akan menyakiti atau tidak mengenakkan
101
buat orang lain). Sebenarnya, akan lebih baik katakan dengan
penuh empati seperti : “saya mengerti bahwa berita ini tidak
menyenangkan bagimu.....tapi secara terus terang saya sudah
memutuskan untuk ...”
i. Janganlah mudah merasa bersalah, karena seseorang tidak
bertanggung jawab atas kehidupan orang lain...atau atas
kebahagiaan orang lain.
j. Bila perlu lakukan negoisasi dengan pihak lain agar kedua belah
pihak mendapatkan jalan tengahnya, tanpa harus mengorbankan
perasaan, keinginan dan kepentingan masing-masing.
E. Temuan Relevan
Dalam hasil penelitian Dino Rozano Suriswo tentang Konseling
Kelompok Terhadap Perilaku Membolos Siswa SMA Negeri 1 Pangkah
Kabupaten Tegal. (Studi Kasus Pada Siswa Kelas XI Tahun Pelajaran
2009/2010) menemukan bahwa konseling kelompok dapat dikatakan efektif
terhadap pengentasan pelanggaran perilaku membolos siswa kelas XI SMA
Negeri 1 Pangkah, Kabupaten Tegal.
Dalam hasil penelitian Happy Lailatul Fajri (2011) tentang Efektivitas
Teknik Latihan Asertif untuk Mengurangi Perilaku Membolos Siswa Kelas X
Di SMA Negeri 5 Malang menunjukkan bahwa 1) frekuensi membolos
subjek penelitian sebelum diadakan treatment tergolong cukup tinggi, 2)
frekuensi membolos subjek penelitian tergolong rendah setelah pemberian
102
treatment, 3) teknik latihan asertif dalam mengurangi perilaku membolos
siswa.
F. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
Konseling Kelompok Pendekatan Behavioral Teknik Latihan Asertif dapat
mengentaskan perilaku membolos pada siswa kelas VIII di SMP Negeri 9
Salatiga.