Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Budaya Organisasi
2.1.1 Pengertian Budaya Organisasi
Sebelum mengetahui arti dari budaya organisasi, terlebih dahulu mengetahui
pengertian dari budaya dan organisasi sebagai pemahaman awal.
Menurut Cartwright dalam (Wibowo, 2017) mengemukakan bahwa “Budaya
adalah penentu yang kuat dari keyakinan, sikap dan perilaku orang, dan pengaruhnya
dapat diukur melalui bagaimana orang termotivasi untuk merespon pada lingkungan
budaya mereka”
Menurut Kast dan Rosenzweig dalam (Uha, 2017) mengemukakan bahwa
“Organisasi didefinisikan sebagai sekelompok orang yang terikat secara formal
dalam hubungan atasan dan bawahan yang bekerja sama untuk mencapai tujuan
bersama pula”.
Menurut (Lukman, 2017) menyatakan bahwa “Budaya organisasi adalah
sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi itu sendiri, yang
kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi”.
Menurut (Nurdin & Rohendi, 2016) menyatakan bahwa:
Budaya organisasi merupakan salah satu unsur terpenting dalam perusahaan
yang hakikatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat,
mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada didalamnya. Dengan
demikian, setiap individu yang terlibat didalamnya akan bersama-sama
berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang
mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan.
Menurut Dessler dalam (Andriani, 2014) mengemukakan bahwa:
Budaya organisasi adalah karakteristik nilai, tradisi, dan perilaku perusahaan
yang dimiliki oleh para karyawannya. Nilai merupakan keyakinan dasar
8
tentang benar atau salah, atau tentang apa yang harus atau tidak dilakukan.
Nilai sangat penting karena memberikan pedoman dan menghubungkan
perilaku. Dalam mengelola dan membentuk perilaku tergantung pada
pembentukan nilai-nilai yang mereka gunakan sebagai pedoman perilaku.
2.1.2 Karakteristik Budaya Organisasi
Menurut Robbins dalam (Uha, 2017) mengemukakan bahwa adanya tujuh
karakteristik budaya organisasi, yaitu:
1. Inovasi dan keberanian mengambil risiko (inovation and risk taking), sejauh
mana para karyawan didorong untuk inovasi dan pengambilan risiko.
2. Perhatian terhadap detail (attention to detail), sejauh mana para karyawan
diharapkan memperlihatkan posisi kecermatan, analisis dan perhatian pada
perincian.
3. Berorientasi kepada hasil (outcome orientation), sejauh mana manajemen
memfokuskan pada hasil, bukan pada teknis dan proses dalam mencapai hasil itu.
4. Berorientasi kepada manusia (people orientation), sejauh mana keputusan
manajemen memperhitungkan efek hasil pada orang-orang dalam organisasi itu.
5. Berorientasi pada tim (team orientation), sejauh mana kegiatan kerja
diorganisasikan sekitar tim-tim bukan individu.
6. Agresif (aggressiveness), sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif,
bukannya suatu santai-santai.
7. Stabil (stability), sejauh mana keinginan organisasi menekankan diterapkannya
status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
9
2.1.3 Tipe Budaya Organisasi
Budaya organisasi mempunyai beberapa tipe. Berikut adalah tipe budaya
organisasi menurut Robbins dalam (Wibowo, 2017):
1. Networked Culture
Organisasi memandang anggota sebagai suatu keluarga dan teman (high on
sociability, low on solidarity). Budaya ini ditandai oleh tingkat sosiabilitas atau
kesenangan bergaul tinggi dan tingkat solidaritas atau kesetiakawanan rendah.
Networked culture sangat bersahabat dan bersuka ria dalam gaya. Orang
cenderung membiarkan pintunya terbuka, berbicara tentang bisnis secara bebas,
kebiasaan informal, dan menggunakan banyak waktu untuk sosialisasi, dan tanpa
mendapatkan masalah karenanya. Orang biasanya saling mengetahui satu sama
lain dengan cepat dan merasa bahwa mereka adalah bagian dari kelompok.
2. Mercenary Culture
Organisasi memfokus pada tujuan (low on sociability, high on solidarity).
Budaya organisasi ini ditandai oleh tingkat sosiabilitas rendah dan tingkat
solidaritas tinggi. Mercenary culture melibatkan orang yang sangat fokus dalam
menarik bersama untuk membuat pekerjaan dilakukan. Komunikasi cenderung
cepat, langsung dan dikendalikan dengan cara yang tidak ada yang tidak
mungkin. Kebiasaan seperti menonjolkan bisnis dan omong kosong tidak ada
toleransi karena menghabiskan waktu saja. Kemenangan adalah segalanya dan
orang didorong melakukan berapa lama pun waktu diperlukan untuk
membuatnya terwujud.
3. Fragmented Culture
Organisasi yang dibuat dari para individualis (low on sociability, low on
solidarity). Budaya ini ditandai oleh solidaritas dan sosiabilitas rendah. Orang
10
yang bekerja dalam fragmented culture sedikit melakukan kontak dan dalam
banyak hal mereka bahkan tidak saling mengenal. Meskipun pekerja akan
berbicara dengan orang lain apabila dirasakan perlu dan berguna untuk
melakukannya, orang biasanya meninggalkannya sendiri. Tidak heran bahwa
anggota fragmented culture tidak menampakkan identifikasi dengan organisasi di
mana ia bekerja. Sebaliknya, mereka cenderung mengidentifikasi dengan profesi
di mana mereka menjadi bagiannya.
4. Communal Culture
Organisasi menilai baik persahabatan dan kinerja (high on sociability, high on
solidarity). Budaya ini ditandai oleh sosiabilitas dan solidaritas tinggi. Anggota
communal culture sangat bersahabat satu sama lain dan bergaul dengan baik,
baik secara pribadi maupun profesional. Communal culture sangat luas terdapat
pada perusahaan teknologi tinggi, terutama yang dimulai dengan internet.
Karena individu dalam organisasi seperti ini cenderung berbagi dalam banyak
hal, sering sulit menentukan siapa ditunjuk pada kantor tertentu. Komunikasi
mengalir dengan sangat mudah, di antara orang pada semua tingkatan organisasi
dan dalam semua bentuk. Setiap orang sangat bersahabat sehingga perbedaan
antara pekerjaan dan bukan pekerjaan dalam praktik menjadi kabur. Pekerja
sangat kuat mengidentifikasi dengan communal organization. Mereka
mengenakan logo perusahaan, mereka hidup dalam kepercayaan perusahaan dan
mereka sangat membela ketika berbicara dengan orang luar.
Tipe budaya organisasi menurut Robbins tersebut dapat digambarkan seperti
di bawah ini:
11
Networked Communal
Tinggi
Sosi
abili
tas
Fragmented Mercenary
Rendah
Rendah
Tinggi
Solidaritas
Sumber : Wibowo (2017: 24)
Gambar II.1
Tipe Budaya Organisasi
2.1.4 Manfaat Budaya Organisasi
Menurut (Uha, 2017) budaya organisasi mempunyai manfaat sebagai berikut:
1. Budaya organisasi membantu mengarahkan sumber daya manusia pada
pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi.
2. Meningkatkan kekompakan tim antar berbagai departemen, divisi, atau unit
dalam organisasi, sehingga mampu menjadi perekat yang mengikat orang dalam
organisasi bersama-sama.
3. Membentuk perilaku staf dengan mendorong percampuran core values dan
perilaku yang diinginkan, sehingga memungkinkan organisasi bekerja dengan
lebih efisien dan efektif, meningkatkan konsistensi, menyelesaikan konflik dan
memfasilitasi koordinasi dan kontrol.
4. Meningkatkan motivasi staf dengan memberi mereka perasaan memiliki,
loyalitas, kepercayaan, dan nilai-nilai, dan mendorong mereka berpikir positif
12
tentang mereka dan organisasi. Dengan demikian, organisasi dapat
memaksimalkan potensi stafnya dan memenangkan kompetisi.
5. Dapat memperbaiki perilaku dan motivasi sumber daya manusia, sehingga
meningkatkan kinerjanya dan pada gilirannya meningkatkan kinerja organisasi
untuk mencapai tujuan organisasi.
2.1.5 Fungsi Budaya Organisasi
Fungsi budaya organisasi menunjukkan peranan atau kegunaan pada budaya
organisasi. Menurut Kreitner dan Kinicki dalam (Wibowo, 2017) fungsi budaya
organisasi sebagai berikut:
1. Memberi anggota identitas organisasional, menjadikan perusahaan diakui sebagai
perusahaan yang inovatif dengan mengembangkan produk baru. Identitas
organisasi menunjukkan ciri khas yang membedakan dengan organisasi lain yang
mempunyai sifat khas yang berbeda.
2. Memfasilitasi komitmen kolektif, perusahaan mampu membuat pekerjannya
bangga menjadi bagian daripadanya. Anggota organisasi mempunyai komitmen
bersama tentang norma-norma dalam organisasi yang harus diikuti dan tujuan
bersama yang harus dicapai.
3. Meningkatkan stabilitas sistem sosial, sehingga mencerminkan bahwa
lingkungan kerja dirasakan positif dan diperkuat, konflik, dan perubahan dapat
dikelola secara efektif. Dengan kesepakatan bersama tentang budaya organisasi
yang harus dijalani mampu membuat lingkungan dan interaksi sosial berjalan
stabil dan tanpa gejolak.
13
4. Membentuk perilaku dengan membantu anggota menyadari atas lingkungannya.
Budaya organisasi dapat menjadi alat untuk membuat orang berpikiran sehat dan
masuk akal.
Fungsi budaya organisasi menurut Kreitner dan Kinicki tersebut, dapat
digambarkan seperti di bawah ini:
Sumber : Wibowo (2017: 46)
Gambar II.2
Fungsi Budaya Organisasi
2.1.6 Proses Terbentuknya Budaya Organisasi
Budaya organisasi terbentuk melalui berbagai tahapan dan proses yang
panjang. Menurut Schein dalam (Uha, 2017) proses terbentuknya budaya organisasi
melalui beberapa teori, antara lain:
1. Teori Sociodynamic.
Teori ini mendasarkan pada pengamatan secara detail mengenai kelompok
pelatihan, kelompok tetap dan kelompok kerja yang mempunyai proses
Organizational
Culture
Organizational
Identity
Collective
Commitment
Social System
Stability
Social Making
Device
14
interpersonal dan emosional guna membantu menjelaskan apa yang dimaksud
dengan share terhadap pandangan yang sama dari suatu masalah dan
mengembangkan share tersebut. Setiap individu merasakan bahwa ia termasuk
anggota kelompok organisasi menyelesaikan kembali konflik inti kepentingan
kelompok dan kepentingan individu dan menghilangkan identitas personel
dengan keinginan secara otonomi atau bebas dari kelompok di mana bisa tersisih
atau kehilangan sebagai anggota kelompok.
2. Teori Kepemimpinan.
Teori ini proses pembentukan budaya organisasi menekankan hubungan
pemimpin dengan kelompok anggota organisasi dan pengaruh gaya pemimpin
terhadap formasi kelompok anggota organisasi yang relevan dengan
menitikberatkan pada proses pembentukkan budaya organisasi.
3. Teori Pembelajaran Sosial.
Teori ini menyatakan bahwa budaya organisasi diciptakan oleh pemimpin dan
salah satu fungsi pemimpin yang sangat menentukan adalah kreasi, manajemen
dan jika perlu bisa merusak budaya. Budaya organisasi banyak ditentukan oleh
pendiri organisasi, di mana tindakan pendiri organisasi menjadi inti budaya awal
organisasi. Proses pembentukan budaya ini bisa cepat dan bisa berangsur-angsur.
2.2 Produktivitas Kerja
2.2.1 Pengertian Produktivitas Kerja
Menurut Hasibuan dalam (Yulianto, 2017) menyatakan bahwa “Produktivitas
adalah perbandingan secara ilmu hitung antara jumlah yang dihasilkan dan jumlah
setiap sumber yang dipergunakan selama produksi berlangsung”.
15
Menurut Tohardi dalam (Sutrisno, 2017) mengemukakan bahwa
“Produktivitas kerja merupakan sikap mental. Sikap mental yang selalu mencari
perbaikan terhadap apa yang telah ada. Suatu keyakinan bahwa seseorang dapat
melakukan pekerjaan lebih baik hari ini daripada kemarin dan hari esok lebih baik
hari ini”.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja
Faktor produktivitas memiliki peran penting dalam menentukan suksesnya
suatu usaha. Menurut Sulistiyani dan Rosidah dalam (Yusuf, 2015) menyatakan ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja karyawan, yaitu:
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan dan keterampilan sesungguhnya yang mendasari pencapaian
produktivitas kerja. Konsep pengetahuan lebih berorientasi pada inteligensi, daya
pikir, dan penguasaan ilmu serta luas atau sempitnya wawasan yang dimiliki
seseorang. Pengetahuan merupakan akumulasi hasil proses pendidikan baik yang
diperoleh secara formal maupun non-formal yang memberikan kontribusi pada
seseorang di dalam pemecahan masalah, daya cipta, termasuk dalam melakukan
atau menyelesaikan pekerjaan, sehingga seorang karyawan diharapkan mampu
melakukan pekerjaan secara produktif.
2. Keterampilan (Skills)
Keterampilan adalah kemampuan dan penguasaan teknik operasional mengenai
bidang tertentu yang bersifat kekaryaan. Keterampilan diperoleh melalui proses
belajar dan berlatih. Keterampilan berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan atau menyelesaikan pekerjaan yang bersifat teknis, seperti
16
keterampilan mengoperasikan komputer. Dengan keterampilan yang dimiliki
seorang karyawan diharapkan mampu menyelesaikan pekerjaan secara produktif.
3. Kemampuan (Abilities)
Kemampuan terbentuk dari sejumlah kompetensi yang dimiliki seorang
karyawan. Konsep ini jauh lebih luas karena dapat mencakup sejumlah
kompetensi. Pengetahuan dan keterampilan termasuk faktor pembentuk
kemampuan. Dengan demikian, jika seseorang memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang tinggi, diharapkan ia akan memiliki kemampuan yang tinggi
pula.
4. Sikap (Attitude) dan perilaku (Behaviors)
Sangat erat hubungan antar kebiasaan atau sikap dan perilaku. Sikap merupakan
suatu kebiasaan yang terpolakan. Jika sikap yang terpolakan tersebut memiliki
implikasi positif dalam hubungannya dengan perilaku kerja seseorang, maka
akan menguntungkan, artinya jika sikap karyawan baik, maka hal tersebut dapat
menjamin perilaku kerja juga baik. Dengan demikian, perilaku manusia
ditentukan oleh sikap-sikap yang telah tertanam dalam diri karyawan sehingga
dapat mendukung kerja yang efektif.
2.2.3 Indikator Produktivitas Kerja
Menurut (Sutrisno, 2017) untuk mengukur produktivitas kerja, maka
diperlukan suatu indikator, yaitu:
1. Kemampuan
Mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas. Kemampuan seorang
karyawan sangat bergantung pada keterampilan yang dimiliki serta
17
profesionalisme mereka dalam bekerja. Ini memberikan daya untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang diembannya kepada mereka.
2. Meningkatkan hasil yang dicapai
Berusaha untuk meningkatkan hasil yang dicapai. Hasil merupakan salah satu
yang dapat dirasakan baik oleh yang mengerjakan maupun yang menikmati hasil
pekerjaan tersebut. Jadi, upaya untuk memanfaatkan produktivitas kerja bagi
masing-masing yang terlibat dalam suatu pekerjaan.
3. Semangat kerja
Ini merupakan usaha untuk lebih baik dari hari kemarin. Indikator ini dapat
dilihat dari etos kerja dan hasil yang dicapai dalam satu hari kemudian
dibandingkan dengan hari sebelumnya.
4. Pengembangan diri
Senantiasa mengembangkan diri untuk meningkatkan kemampuan kerja.
Pengembangan diri dapat dilakukan dengan melihat tantangan dan harapan
dengan apa yang akan dihadapi. Sebab semakin kuat tantangannya,
pengembangan diri mutlak dilakukan. Begitu juga harapan untuk menjadi lebih
baik pada gilirannya akan sangat berdampak pada keinginan karyawan untuk
meningkatkan kemampuan.
5. Mutu
Selalu berusaha untuk meningkatkan mutu lebih baik dari yang telah lalu. Mutu
merupakan hasil pekerjaan yang dapat menunjukkan kualitas kerja seorang
pegawai. Jadi, meningkatkan mutu bertujuan untuk memberikan hasil yang
terbaik yang pada gilirannya akan sangat berguna bagi perusahaan dan dirinya
sendiri.
18
6. Efisiensi
Perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang
digunakan. Masukan dan keluaran merupakan aspek produktivitas yang
memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi karyawan.
2.2.4 Upaya Peningkatan Produktivitas Kerja
Berikut upaya peningkatan produktivitas kerja menurut Siagian dalam
(Sutrisno, 2017), yaitu:
1. Perbaikan terus menerus
Dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja, salah satu implikasinya ialah
bahwa seluruh komponen organisasi harus melakukan perbaikan secara terus-
menerus. Pandangan ini bukan hanya merupakan salah satu etos kerja yang
penting sebagai bagian dari filsafat manajemen mutakhir. Pentingnya etos kerja
ini terlihat dengan lebih jelas apalagi diingat bahwa suatu organisasi selalu
dihadapkan kepada tuntutan yang terus-menerus berubah, baik secara internal
maupun eksternal. Tambahan pula, ada ungkapan yang mengatakan bahwa satu-
satunya hal yang konstan di dunia adalah perubahan. Secara internal, perubahan
yang terjadi adalah perubahan kebijaksanaan, dan perubahan dalam praktik-
praktik SDM sebagai akibat diterbitkan perundang-undangan baru oleh
pemerintah dan berbagai faktor lain yang tertuang dalam berbagai keputusan
manajemen. Adapun perubahan eksternal adalah perubahan yang terjadi dengan
cepat karena dampak tindakan suatu organisasi yang dominan peranannya di
masyarakat.
19
2. Peningkatan Mutu Hasil Pekerjaan
Berkaitan erat dengan upaya melakukan perbaikan secara terus-menerus ialah
peningkatan mutu hasil pekerjaan oleh semua orang dan segala komponen
organisasi. Padahal, mutu tidak hanya berkaitan dengan produk yang dihasilkan
dan dipasarkan, baik berupa barang maupun jasa, akan tetapi menyangkut segala
jenis kegiatan di mana organisasi terlibat. Berarti mutu menyangkut semua jenis
kegiatan yang diselenggarakan oleh semua satuan kerja, baik pelaksana tugas
pokok maupun pelaksana tugas penunjang, dalam organisasi. Peningkatan mutu
tersebut tidak hanya penting secara internal, akan tetapi juga secara eksternal
karena akan tercermin dalam interaksi organisasi dengan lingkungannya yang
pada gilirannya turut membentuk citra organisasi di mata berbagai pihak di luar
organisasi. Jika ada organisasi yang mendapat penghargaan dalam bentuk ISO
9000, misalnya penghargaan itu diberikan bukan hanya karena keberhasilan
organisasi meningkatkan suatu produknya, akan tetapi karena dinilai berhasil
meningkatkan mutu semua jenis pekerjaan dan proses manajerial dalam
organisasi yang bersangkutan.
3. Pemberdayaan SDM
SDM merupakan unsur yang paling strategis dalam organisasi. Karena itu,
memberdayakan SDM merupakan etos kerja yang sangat mendasar yang harus
dipegang teguh oleh semua eselon manajemen dalam hierarki organisasi.
Memberdayakan SDM mengandung berbagai kiat seperti mengakui harkat dan
martabat manusia, perkayaan mutu kekaryaan dan penerapan gaya manajemen
yang partisipatif melalui proses demokratisasi dalam kehidupan berorganisasi.
20
2.2.5 Ciri-Ciri Karyawan Produktif
Menurut Sutrisno dalam (Indah, 2017) menyatakan bahwa “Ciri-ciri individu
yang produktif yaitu percaya diri, bertanggung jawab, memiliki rasa cinta terhadap
pekerjaan, mempunyai pandangan ke depan, dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan, memiliki kontribusi yang positif terhadap lingkungan (kreatif,
imaginative, inovatif), memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensinya”.
Menurut Sulistiyani dalam (Indah, 2017) menyatakan bahwa pada dasarnya
setiap individu yang produktif memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Secara konsisten selalu mencari gagasan-gagasan yang lebih baik dan cara
penyelesaian tugas yang lebih baik lagi.
2. Selalu memberikan saran-saran untuk perbaikan secara sukarela.
3. Menggunakan waktu secara efektif dlan efisien.
4. Selalu melakukan perencanaan dan menyertakan jadwal waktu.
5. Bersikap positif terhadap pekerjaan.
6. Dapat berlaku sebagai anggota kelompok yang baik, sebagaimana menjadi
seorang pemimpin yang baik.
7. Dapat memotivasi dirinya sendiri melalui dorongan dari dalam.
8. Memahami pekerjaan orang lain yang lebih baik.
9. Hubungan antar pribadi pada semua tingkatan dalam organisasi berlangsung
dengan baik.
10. Sangat menyadari dan memperhatikan masalah pemborosan dan biaya-biaya.
11. Mempunyai tingkat kehadiran yang baik.
12. Seringkali melampaui standar yang telah ditetapkan.
13. Selalu mempelajari sesuatu yang baru dengan cepat.
14. Bukan merupakan tipe orang yang selalu mengeluh dalam bekerja.
21
2.3 Konsep Dasar Operasional dan Perhitungan
2.3.1 Kisi-kisi Operasional Variabel
Tabel II.1
Kisi-kisi Operasional Variabel Budaya Organisasi
Variabel Dimensi Indikator Item
Soal
Budaya Organisasi
(X)
Inovasi dan
keberanian mengambil
risiko
Mempunyai inovasi /
kreativitas 1
Siap menerima risiko 2
Perhatian terhadap
detail Akurat dan teliti 3
Berorientasi kepada
hasil Berfokus pada hasil 4
Berorientasi kepada
manusia Hasil kerja individu
5
6
Berorientasi tim Kerjasama antar karyawan 7, 8
Agresif Persaingan 9
Stabil Keseimbangan 10
Sumber : Uha (2017: 8)
Tabel II.2
Kisi-kisi Operasional Variabel Produktivitas Kerja
Variabel Dimensi Indikator Item
Soal
Produktivitas Kerja
(Y)
Kemampuan Memiliki kemampuan untuk
melaksanakan tugas 1, 2
Meningkatkan hasil
yang dicapai
Berusaha untuk
mendapatkan hasil yang
baik
3, 4
Semangat kerja Usaha untuk lebih baik dari
hari kemarin 5, 6
Pengembangan diri Meningkatkan kemampuan
diri 7
Mutu Kualitas kerja 8
Efisien
Hasil yang dicapai dengan
sumber daya yang
digunakan
9, 10
Sumber : Sutrisno (2017: 104-105)
22
2.3.2 Uji Instrumen Penelitian
1. Uji Validitas
Menurut (Muhidin & Abdurahman, 2017) mengatakan bahwa “Suatu
instrumen pengukuran dikatakan valid jika instrumen dapat mengukur sesuatu
dengan tepat apa yang hendak diukur”.
Menurut (Sugiyono, 2018) mengemukakan bahwa:
Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan
data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan
untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Meteran valid dapat digunakan
untuk mengukur panjang dengan teliti, karena meteran memang alat untuk
mengukur panjang. Meteran tersebut menjadi tidak valid jika digunakan
untuk mengukur berat.
2. Uji Reliabilitas
Menurut (Siregar, 2014) mengemukakan bahwa “Reliabilitas adalah untuk
mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten, apabila dilakukan
pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat
pengukur yang sama pula”. Metode yang sering digunakan dalam penelitian untuk
mengukur skala rentangan (seperti skala Likert) adalah Alpha Cronbach. Uji
reliabilitas merupakan kelanjutan dari uji validitas, dimana item yang masuk
pengujian adalah item yang valid saja. Menurut (Siregar, 2014) kriteria suatu
instrumen penelitian dikatakan reliable dengan mengunakan teknik Alpha Cronbach,
bila koefisien reliabilitas > 0,6.
2.3.3 Konsep Dasar Perhitungan
Konsep dasar perhitungan yang digunakan oleh peneliti adalah perhitungan
dengan menggunakan SPSS (Stastistical Product and Service Solution) Versi 20.
Serta rumus-rumus yang digunakan dalam penulisan Tugas Akhir (TA), dapat diukur
melalui:
23
1. Populasi dan Sampel
Menurut (Sugiyono, 2018) menyatakan bahwa:
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang,
tetapi juga obyek dan benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar
jumlah yang ada pada obyek/subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh
karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek itu.
Menurut (Sugiyono, 2018) menyatakan bahwa:
Sampel adalah bagian jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua
yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga kerja dan
waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu.
Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan
untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul
representatif (mewakili).
Menurut (Siregar, 2014) berikut adalah rumus slovin yang digunakan dalam
menentukan ukuran sampel dari suatu populasi:
Di mana:
n = sampel, N = populasi, e = perkiraan tingkat kesalahan
Dari uraian tersebut, maka penulis mengambil sampel dengan teknik Simple
Random Sampling, menurut (Sugiyono, 2018) menyatakan bahwa “Dikatakan Simple
(sederhana) karena pengambilan anggota sampel dan populasi dilakukan secara acak
tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu”.
2. Skala Likert
Menurut (Sugiyono, 2018) menyatakan bahwa “Skala Likert digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang
fenomena sosial. Dalam penelitian, fenomena sosial ini telah ditetapkan secara
spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut dengan variabel penelitian”.
24
Menurut (Sugiyono, 2018) untuk keperluan analisis kuantitatif, maka
jawaban dapat diberi skor, misalnya:
Tabel II.3
Skor Jawaban Kuesioner
Keterangan Skor
Setuju/ selalu/ sangat positif diberi skor 5
Setuju/ sering/ positif diberi skor 4
Ragu-ragu/ kadang-kadang/ netral diberi skor 3
Tidak setuju/ hampir tidak pernah/ negatif diberi skor 2
Sangat tidak setuju/ tidak pernah diberi skor 1
Sumber : Sugiyono (2018: 94)
3. Uji Koefisien Korelasi
Menurut (Siregar, 2014) mengemukakan bahwa “Analisis hubungan
(korelasi) adalah suatu bentuk analisis data dalam penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui kekuatan atau bentuk arah hubungan di antara dua variabel atau lebih,
dan besarnya pengaruh yang disebabkan oleh variabel yang satu (variabel bebas)
terhadap variabel lainnya (variabel terikat)”. Berikut rumus koefisien korelasi
menurut (Muhidin & Abdurahman, 2017) dalam menghitung nilai :
∑ ∑ ∑
√[ ∑ ∑ ][ ∑ ∑ ]
Di mana:
N = jumlah data (responden), X = variabel bebas, Y = variabel terikat
Untuk mengetahui kuat atau lemahnya tingkat keeratan hubungan antara
variabel X dan variabel Y, secara sederhana dapat diterangkan berdasarkan tabel
nilai koefisien korelasi berikut:
25
Tabel II.4
Tingkat Korelasi dan Kekuatan Hubungan
Nilai Korelasi (r) Tingkat Hubungan
0,00 ─ 0,199 Sangat Lemah
0,20 ─ 0,399 Lemah
0,40 ─ 0,599 Cukup
0,60 ─ 0,799 Kuat
0,80 ─ 1,00 Sangat Kuat
Sumber : Siregar (2014: 251-252)
4. Koefisien Determinasi
Menurut (Siregar, 2014) mengemukakan bahwa “Koefisien Determinasi
(KD) adalah angka yang menyatakan atau digunakan untuk mengetahui kontribusi
atau sumbangan yang diberikan oleh sebuah variabel atau lebih X (bebas) terhadap
variabel Y (terikat)”. Berikut rumus koefisien determinasi:
KD =
Di mana:
r = Hasil perhitungan Koefisien Korelasi.
5. Persamaan Regresi
Menurut (Muhidin & Abdurahman, 2017) menyatakan bahwa:
“Analisis regresi dipergunakan untuk menelaah hubungan antara dua variabel
atau lebih, terutama untuk menelusuri pola hubungan yang modelnya belum
diketahui dengan sempuna, atau untuk mengetahui bagaimana variasi dari
beberapa variabel independen mempengaruhi variabel dependen dalam suatu
fenomena yang kompleks”.
Menurut (Siregar, 2014) mengemukakan bahwa “Regresi linier sederhana
digunakan hanya untuk satu variabel bebas (independent) dan satu variabel tak bebas
(dependent)”. Berikut adalah rumus regresi:
Y = a + b.X
Di mana:
Y = Variabel terikat, X = Variabel bebas, a dan b = konstanta
26
Rumus yang digunakan untuk mencari konstanta a dan b adalah:
∑ ∑ ∑
∑ ∑
∑ ∑
Di mana:
n = jumlah data