Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Pondasi
Pondasi masuk dalam kategori struktur bagian dasar dari sebuah bangunan
yang memiliki fungsi untuk meneruskan semua beban yang diakibatkan dari beban
struktur atas kedalam lapisan tanah yang ada bawahnya. Dalam sebuah perencanaa
suatu pondasi untuk bangunan dapat menggunakan jenis pondasi yang sesuai
dengan kondisi yang dibutuhkan. Untuk menentukan jenis pondasi dapat ditentukan
berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :
1. Fungsi dan kriteria bangunan
2. Beban yang diakibatkan oleh struktrur atas
3. Jenis tanah yang ada di lokasi pembangunan
4. Biaya untuk perencanaan pondasi tersebut.
Sudah dijelaskan bahwa dalam pemilihan pondasi perlu memperhatikan
beberapa pertimbangan. Dalam studi ini akan menggunakan jenis pondasi strauss
dalam perencanaan.
2.1.1 Pondasi Strauss
Pondasi Strauss merupakan kategori pondasi dangkal yang masih satu tipe
dengan pondasi bore pile, hanya tetapi untuk kapasitas diameter dan kedalamannya
lebih kecil dibanding dengan pondasi bore pile karena tenaga penggerak mata
bornya menggunakan tenaga manusia atau masih manual tidak seperti pondasi bore
pile yang menggunakan mesin bor. Pengerjaan dalam metode yang digunakan ini
termasuk metode bor pile kering. Pengoperasian alat bor lebih praktis karena
alatnya yang mudah dioperasikan saat digunakan. Hal ini membuat pondasi strauss
tepat digunakan dalam proyek berskala menengah seperti gudang, kantor, pasar,
rumah, dan bangunan yang memiliki lokasi padat penduduk.
Keuntungan penggunaan pondasi strauss, yaitu :
1. Pondasi strauss tunggal dapat diaplikasikan pada tiang kelompok
2. Pondasi strauss dapat diselesaikan sebelum tahapan berikutnya
6
3. Tidak menyebabkan adanya suara dan getaran yang dapat mengganggu
lingkungan selama pembuatan pondasi strauss
4. Pondasi strauss cocok untuk daerah padat penduduk
Kelemahan penggunaan pondasi strauss, yaitu :
1. Proses pengecoran pondasi strauss dapat terhambat apabila cuaca buruk
2. Mutu beton tidak bisa dikontrol dengan baik selama pengecoran karena
adanya air tanah
3. Kedalaman yang dimiliki pondasi strauss termasuk dangkal
4. Variasi diameter pondasi strauss ada yang 30 cm, 40 cm, dan 50 cm.
Cara pembuatan pondasi strauss, yaitu :
1. Menyiapkan alat bor manual meliputi; Mata bor, Steng bor, Pipa, dan Kunci
kunci.
2. Melakukan proses pengeboran sampai kedalaman yang telah direncanakan
dengan menggunakan alat bor yang telah disiapkan.
3. Merakit tulangan besi dimana tahap pertamanya membuat spiral,
selanjutnya melakukan pemotongan besi pokok yang lebih panjang daripada
kedalaman lubang.
4. Tahapan terakhir yaitu pengecoran. Apabila lubang pengeboran strauss pile
terdapat air didalamnya, maka selama proses pengecoran menggunakan
pipa paralon yang memiliki fungsi sebagai penyalur adukan beton hingga
sampai ke dasar lubang pengeboran yang ada airnya tersebut agar mutu
beton terjamin.
2.2 Penyelidikan Tanah
Penyelidikan tanah yang digunakan merupakan data sekunder yang didapatkan
dari instansi yang terkait dimana peneliti tidak langsung melakukan penyelidikan.
Sebagai gambaran dasar dalam perencanaan, penyelidikan tanah sangat penting
untuk dilakukan guna mengetahui kondisi tanah pada titik yang ditentukan. Dalam
7
penyelidikan tanah ini menggunakan data sondir dengan data pada 2 titik yang
berbeda. Denah titik sondir adalah sebagai berikut :
S.2 S.1
DIREKSI KID
KETERANGAN
S : SONDIR
Data tanah ini didapatkan dari hasil uji Cone Penetration Test
(CPT)/sondir pada 2 titik berbeda seperti disajikan dalan tabel sebagai
berikut : Tabel 2.2 Data Penyelidikan Tanah S-2
Tabel 2.1 Data Penyelidikan Tanah S-1
Kedalaman
(m)
qc
(kg/cm2) Fr (%) Klasifikasi Tanah
0.0 - 5.8 0 - 20 0 - 4.79 clayey silt
6.0 - 6.20 65 - 160 1.97 - 0.99 sand to silty sand
6.4 205 0.31 sand to clayey sand
Tabel 2.2 Data Penyelidikan Tanah S-2
Kedalaman
(m)
qc
(kg/cm2) Fr (%) Klasifikasi Tanah
0.0 - 1.2 0 - 15 0 - 2.132 clayey silt
1.4 - 4.6 20 - 70 3.19 - 1.83 sand to silty sand
4.8 225 0.28 sand to clayey sand
8
2.3 Pembebanan
Dalam analisa suatu struktur bangunan perlu memperhatikan model struktur
yang dipakai tanpa memperhatikan proses pembangunan. Perhitungan pembebanan
menggunakan metode pembebanan langsung dimana dalam poses perhitungan
pembebanan untuk berat sendiri dan beban-beban lain tidak bekerja saat
pembangunan dan akan baru dihitung setelah struktur selesai.
2.3.1 Beban Mati (D)
Beban mati adalah berat yang ditumpu oleh suatu bangunan berasal dari
seluruh berat material yang digunakan pada kontruksi tersebut dan bersifat tetap.
Beban mati didapatkan dengan menghitung volume material dikalikan dengan berat
jenis material yang dipakai.
Tabel 2.3 Berat Material Konstruksi
No. Jenis Material Berat Volume Satuan
1 Air 10 kN/m3
2 Adukan semen (spesi) 22 kN/m3
3 Beton 22 kN/m3
4 Beton bertulang 24 kN/m3
5 Dinding bata (pasangan 1/2 bata) 2.5 kN/m2
6 Plafond/langit-langit 0.11 kN/m2
7 Pasir 16 kN/m3
8 Tegel 0.24 kN/m2
9 Penggantung langit-langit 0.07 kN/m2
10 Plumbing dan ME 0.25 kN/m2
11 Pelapis kedap air 0.14 kN/m3
Sumber : Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung (PPPURG) 1987
2.3.2 Beban Hidup atau Live Load (L)
Beban hidup adalah beban yang diakibatkan oleh pengguna bangunan gedung
dan stuktur lain yang tidak dipengaruhi oleh beban lingkungan dan beban
konstruksi. Klasifikasi beban hidup diatur sesuai dengan fungsi bangunan yang sudah
diatur di SNI 1727-2013.
2.3.3 Beban Gempa atau Earthquake Load (E)
9
Beban gempa sangat penting dalam perencanaan konstruksi. Mengingat
Indonesia bisa dikategorikan negara yang memiliki tingkat gempa yang besar
tentunya faktor beban gempa sangat diperlukan untuk merencanakan suatu struktur
bangunan. Untuk merencakan struktur pondasi, gaya gempa sangat diperlukan
perhitungnnya untuk memperoleh beban maksimum yang bekerja. Beban gempa
dapat diperoleh berdasarkan SNI 1726:2012. Dalam perencanaan studi pondasi
strauss ini akan menggunakan metode analisis gempa statik ekivalen dan respon
spektrum.
2.3.3.1 Faktor Keutamaan dan Kategori Risiko Struktur Bangunan
Faktor keutamaan dan kategori risiko menjadi hal pertama yang dijadikan
pertimbangan dalam menghitung beban gempa. Dua hal tersebut sudah disajikan
dalam bentuk tabel di SNI 1726-2012.
Tabel 2.4 Kategori Risiko Bangunan Gedung dan Non Gedung untuk BebanGempa
Jenis Pemanfaatan Kategori
risiko
Gedung dan non gedung yang memiliki risiko rendah terhadap jiwa manusia pada
saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk, antara lain:
Fasilitas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan
Fasilitas sementara
Gudang penyimpanan
Rumah jaga dan struktur kecil lainnya
I
Semua gedung dan struktur lain, kecuali yang termasuk dalam kategori risiko
I,III,IV, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:
Perumahan
Rumah toko dan rumah kantor
Pasar
Gedung perkantoran
Gedung apartemen/ rumah susun
Pusat perbelanjaan/ mall
Bangunan industri
Fasilitas manufaktur
Pabrik
II
Gedung dan non gedung yang memiliki risiko tinggi terhadap jiwa manusiapada
saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:
Bioskop
Gedung pertemuan
Stadion
Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki unit bedah dan unit gawat
darurat
Fasilita penitipan anak
Penjara
Bangunan untuk orang jompo
Gedung dan non gedung,tidak termasuk kedalaman kategori risiko IV, yang
memiliki potensi untuk menyebabkan dampak ekonomi yang besar dan gangguan
massal terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari bila terjadi kegagalan,
III
10
termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:
Pusat pembangkit listrik biasa
Fasilitas penganganan limbah
Pusat telekomunikasi
Gedung dan non gedung yang tidak termasuk dalam kategori risiko IV, (termasuk,
tetapi tidak dibatasi untuk fasilitas manufaktur, proses, penanganan, penggunaan
atau tempat pembuangan bahan bakar berbahaya, bahan kimia berbahaya, limbah
berbahaya, atau bahan yang mudah meledak) yang mengandung bahan beracun
atau peledak dimana di mana jumlah kandungan bahannya melebihi nilai batas
yang diisyaratkan oleh instansi berwenang dan cukup menimbulkan bahaya bagi
masyarakat jika terjadi kebocoran
Gedung dan non gedung yang ditunjukkan sebagai fasilitas yang penting,
termasuk tetapi tidak dibatasi untuk:
Bangunan-bangunan monumental
Gedung sekolah dan fasilitas pendidikan
Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki fasilitas
bedah dan unit gawat darurat
Fasilitas pemadam kebakaran, ambulans, dan kantor polisi, serta garasi
kendaraan dadrurat
Tempat perlindungan terhadap gempa bumi, angin badai, dan tempat
perlindungan darurat lainnya
Fasilitas kesiapan darurat, komunikasi, pusat operasi, dan fasilitas
lainnya untuk tanggap darurat
Struktur tambahan (termasuk menara telekomunikasi, tangki
penyimpanan bahan bakar, menara pendingin, struktur stasion listrik,
tangki air pemadam kebakaran atau struktur rumah atau struktur
pendukung air atau material atau peralatan pemadaman kebakaran) yang
diisyaratkan untuk beroperasi pada saat keadaan darurat.
Gedung dan non gedung yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi struktur
bangunan lain yang masuk ke dalam kategori risiko IV
IV
Sumber: SNI 1726 (2012:14)
Tabel 2.5 Faktor Keutamaan Gempa
Kategori risiko Faktor keutamaan gempa, Ie
I atau II 1,0
III 1,25
IV 1,5
Sumber: SNI 1726 (2012:14)
Untuk jenis bangunan gedung dan non-gedung memiliki jenis sendiri dalam
menentukan kategori risiko. Dari kategori risiko dapat diperoleh faktor keutamaan
gempa. Sebagaimana tertera di SNI 1726-2012, maka pengaruh gempa rencana
dikalikan dengan faktor keutamaan Ie menurut tabel 2.5.
2.3.3.2. Klasifikasi situs
Untuk menentukan besaran implikasi percepatan suatu gempa puncak mulai
dari batuan dasar sampai ke permukaan tanah untuk suatu situs, maka situs
tersebut lebih baik diklarifikasi terlebih dahulu. Tipe kelas situs ditetapkan sesuai
pada tabel 2.6.
11
Tabel 2.6 Klasifikasi Situs
Kelas Situs Vs (m/dt) N atau Nch U (kPa)
SA (batuan keras) > 1500 N/A N/A
SB (batuan) 750 sampai 1500 N/A N/A
SC (tanah keras, sangat padat
dan batuan lunak) 350 sampai 750 > 50 ≥ 100
SD (tanah sedang) 175 sampai 350 15 sampai 50 50 sampai 100
SE (tanah lunak)
< 175 < 15 < 50
Atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari 3m tanah
dengan karakteristik sebagai berikut :
Indeks plastisitas, PI > 20
Kadar air, w ≥ 40%
Kuat geser niralisir, Su < 25 kPA
SF (tanah khusus, yang
membutuhkan investigasi
geoteknik spesifikasi dan
analisis respon spesifik-situs)
Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih
dari karakteristik berikut :
Rawan dan berpotensi gagal atau runtuh akibat beban gempa
seperti mudah likuifaksi, lempung sangat sensitive, tanah
tersementasi lemah
Lempung sangat organik dan atau gambut (ketebalan H > 3 m)
Lempung berplastisitas sangat tinggi (ketebalan H > 7.5 m
dengan Indeks Plastisitas PI > 75
Lapisan lempung lunak setengah teguh dengan ketebalan H >
35 m dengan Su < 50 kPA
Sumber: SNI 1726 (2012:17)
2.3.3.3 Koefisien Situs
Tabel 2.7 Koefisien Situs, Fa
KELAS
SITUS
PARAMETER RESPONS SPEKTRAL PERCEPATAN GEMPA MCER
TERPETAKAN PADA PERIODA PENDEK, T=0,2 DETIK,SS
SS≤0,25 SS=0,5 SS =0,75 SS =1,0 SS ≥ 1,25
SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
SC 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0
SD 1,6 1,4 1,2 1.1 1,0
SE 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9
SF SSb
Sumber: SNI 1726: 2012
12
Tabel 2.8 Koefisien Situs, Fv
KELAS
SITUS
PARAMETER RESPONS SPEKTRAL PERCEPATAN GEMPA MCER
TERPETAKAN PADA PERIODA 1 DETIK. S1
SS≤0,25 SS=0,5 SS =0,75 SS =1,0 SS ≥ 1,25
SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
SC 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3
SD 2,4 2 1,8 1.6 1,5
SE 3,5 3,2 2,8 2,4 2,4
SF SSb
Sumber: SNI 1726: 2012
CATATAN
a) Untuk nilai-nilai antara, Ss dapat dilakukan interpolasi linier
b) SS = Situs yang memerlukan investigasi geoteknik spesifik dan analisis
respon situs-spesifik
2.3.3.4 Kecepatan Rata – Rata Gelombang Geser, 𝑽𝒔 ̅̅̅̅̅̅ ̅̅̅
Menurut SNI 1726-2012 ; 19, Nilai 𝑉𝑠 ̅̅̅ ditentukan sesuai dengan
rumus sebagai berikut :
[2.1]
Keterangan :
𝑑𝑖 = tebal setiap lapisan antara kedalaman 0 sampai 30 meter
𝑉𝑠𝑖 = kecepatan gelombang geser lapisan i dinyatakan dalam meter per detik
(m/detik)
2.3.3.5 Pengaruh Beban Gempa
Menurut SNI 1726-2012 ; 48, pengaruh beban gempa (E) ditentukan sesuai
dengan rumus sebagai berikut :
1. Untuk penggunaan dalam kombinasi beban 5, E, harus ditentukan E=Eh+Ev
2. Untuk penggunaan dalam kombinasi beban 7, E, harus ditentukan E=Eh-Ev
Keterangan :
E = pengaruh beban gempa
13
Eh = pengaruh gaya gempa horizontal
Ev = pengaruh gaya gempa vertikal
2.3.3.6 Pengaruh Beban Gempa Horisontal
Menurut SNI 1726-2012 ; 48, pengaruh beban gempa horizontal (Eh)
ditentukan sesuai dengan rumus sebagai berikut :
Eh = QE = pengaruh gaya gempa horizontal V atau Vp
2.3.3.7 Pengaruh Beban Gempa Vertikal
Menurut SNI 1726-2012 ; 48, pengaruh beban gempa vertikal ditentukan sesuai
dengan rumus sebagai berikut :
Ev= 0,2. SDS.D [2.2]
Dan
𝑆𝐷𝑆 = 2
3 . 𝑆𝑀𝑆 [2.3]
𝑆𝐷1 = 2
3 . 𝑆𝑀1 [2.4]
Keterangan :
SDS = Parameter percepatan spektrum respons desain pada periode pendek
D = Pengaruh beban mati
Fa = Faktor amplifikasi getaran terkait percepatan pada getaran periode pendek
SMS = Parameter spektrum respons percepatan pada periode pendek
Ss = Parameter respons spektral percepatan gempa MCER terpetakan
untuk periode Pendek
Gambar 2.1 Spektrum Respon Desain
14
2.3.3.8 Periode Fundamental Pendekatan
Dalam SNI 1726 (2012: 55) bahwa pelaksanaan analisis yang digunakan untuk
menentukan periode fundamental struktur (T), maka terizinkan dengan langsung
untuk menggunakan periode bangunan pendekatan (Ta), yang dapat dihitung
sebagai berikut:
[2.5]
Keterangan
Ta : Perioda fundamental pendekatan (detik)
hn : Ketinggian struktur (m), dari dasar sampai tingkat tertinggi struktur
Ct dan x : ditentukan dari tabel 2.12
Ta max: Perode fundamental pendekatan maximum (detik)
Tabel 2.9 Koefisien untuk Batas pada Perioda yang Dihitung
Parameter percepatan
respons spektral desain
pada 1 detik, SD1
Koefisien Cu
≥ 0,4 1,4
0,3 1,4
0,2 1,5
0,15 1,6
≤ 0,1 1,7
Tabel 2.10 Nilai Parameter Perioda pendekatan Ct dan X
Tipe struktur Ct X
Sistem rangka pemikul momen dimana
rangka memikul 100 persen gaya gempa
yang disyaratkan dan tidak dilingkupi atau
dihubungkan dengan komponen yang lebih
kaku dan akan mencegah rangka dari defleksi
jika dikenai gaya gempa:
Rangka baja pemikul momen 0,0724a 0,8
Rangka beton pemikul momen 0,0466a 0,9
Rangka baja dengan bresing eksentris 0,0731a 0,75
Rangka baja dengan bresing terkekang
terhadap tekuk
0,0731a 0,75
Semua sistem struktur lainnya 0,0488a 0,75
Sumber: SNI 1726 (2012:56)
15
2.3.3.9 Koefisien Respon Seismik
Menurut SNI 1726-2012 ; 54, koefisien respon seismik ditentukan sesuai
dengan rumus sebagai berikut :
[2.6]
Keterangan:
SDS : Parameter percepatan spektrum respon desain dalam
R : Faktor modifikasi respon
Le : Faktor keutamaan gempa
Nilai Cs yang dihitung sesuai dengan persamaan diatas tidak perlu melebihi
dari hasil persamaan berikut:
[2.7]
Nilai Cs yang dihitung sesuai dengan persamaan diatas juga harus tidak kurang
dari hasil persamaan sebagai berikut:
Cs = 0,044 SDS le ≥ 0,01 [2.8]
2.3.3.10 Geser Dasar Seismik
Menurut SNI 1726-2012 ; 54, nilai geser dasar seismik (V) ditentukan sesuai
dengan sebagai berikut :
V = Cs.W [2.9]
Keterangan:
Cs : Koefisien respons seismik yang ditentukan
W : Berat seismik efektif
2.3.3.11 Distribusi Vertikal Gaya Gempa
Berdasarkan SNI 1726 (2012:57), gaya gempang lateral (Fx) [KN] yang timbul
di semua tingkat ditentukan sebagai berikut :
16
Fx = Cvx . V [2.10]
Dan
[2.11]
Keterangan:
Cvx : Faktor distribusi vertikal
V : Gaya lateral desain total atau geser di dasar struktur [Kn]
Wi dan Wx : Bagian berat seismik efektif total struktur (W) yang ditempatkan
atau dikenalkan pada tingkat i atau x
hi dan hx : Tinggi dari dasar sampai tingkat i atau x, [m]
k : Eksponen yang terkait dengan perioda struktur sebagai berikut :
Untuk struktur yang mempunyai perioda sebesar 0,5 detik atau kurang, k = 1
Untuk struktur yang mempunyai perioda sebesar 2,5 detik atau lebih, k = 2
Untuk struktur yang mempunyai perioda antara 0,5 dan 2,5 detik, k harus sebesar 2
atau harus ditentukan dengan interpolasi linear antara 1 dan 2
2.3.3.12 Distribusi Horisontal Gempa
Berdasarkan pada SNI 1726-2012;57, geser tingkat desain gempa di semua
tingkat (Vx) (kN) ditentukan dari persamaan berikut :
[2.12]
Keterangan :
𝐹𝑖 merupakan bagian dari geser dasar seismik (V) yang timbul di tingkat i, dalam
(kN)
2.3.3.13 Beban Kombinasi Terfaktor
Hasil perhitungan dari suatu perencanaan pembebanan gedung atau non-
gedung dikombinasikan dan dimasukkan kedalam program pendukung yang sesuai
dengan SNI 03-1726-2012.
17
Kombinasi Beban untuk Metode Ultimit
Beban Mati : 1,4 D
Beban Hidup : 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (Lr atau R)
Beban Angin : 1,2 D + 1,6 (Lr atau R) + (L atau 0,5 W)
1,2 D + 1,0 W + L +0,5 (Lr atau R)
0,9 D + 1,0 W
Beban Gempa : 1,2 D + 1,0 E + L
0,9 D + 1,0 E
Sumber : SNI-1726- (2012:15)
Berdarakan SNI 1726:2012 ketika perencanaan gedung, arah utama pengaruh
gempa rencana harus ditentukan sedemikian rupa sehingga menghasilkan pengaruh
beban paling kritis. (Pasal 7.5.1)
2.4 Daya Dukung Ijin Tiang
Daya dukung yang diperbolehkan dari ijin tiang dapat dilihat dari besarnya
kekuatan yang dihasilkan dari ijin tarik dan kekuatan yang dihasilkan dari ijin tekan.
Hal itu dapat dipengaruhi oleh kekuatan material dan bagaimana kondisi tanah tiang
yang dialami oleh tiang itu sendiri.
2.4.1 Daya Dukung Ijin Tekan
Analisis daya dukung ijin tekan pondasi tiang terhadap kekuatan tanah
mempergunakan formula sebagai berikut :
Berdasarkan data sondir (Guy Sangrelat)
Qu = Qp + Qs [2.13]
Qu = 𝑞𝑐𝑥𝐴𝑝 + 𝑇𝑓𝑥𝐴𝑠𝑡 [2.14]
𝑄𝑎 =𝑞𝑐𝑥𝐴𝑝
𝐹𝐾1+
𝑇𝑓𝑥𝐴𝑠𝑡
𝐹𝐾2 [2.15]
Sumber : Pamungkas, 2013: 43
dimana:
Qu = daya dukung ultimit tekan tiang
Qp = daya dukung ujung tiang
18
Qs = daya dukung friksi
Qa = daya dukung ijin tekan tiang
qc = tahanan ujung konus sondir
Ap = luas penampang tiang
Tf = total friksi/jumlah hambatan pelekat
Ast = keliling penampang tiang
FK1, FK2 = faktor keamanan, 3 dan 5
2.4.2 Daya Dukung Ijin Tarik
Analisis daya dukung ijin tarik pondasi tiang terhadap kekuatan tanah
mempergunakan formula sebagai berikut:
Berdasarkan Data sondir (Guy Sangrelat, Mayerhof) :
[2.16]
dimana:
Ta : Daya dukung ijin tarik tiang [Ton]
Wp : Berat pondasi
Ast : keliling penampang tiang
FK2 : Faktor keamanan, 3 dan 5
2.5 Jumlah Tiang yang Dibutuhkan
Jumlah tiang yang diperlukan dihitung dengan membagi gaya aksial yang
terjadi dengan daya dukung tiang (Pamungkas, 2013: 54).
Np = 𝑷
𝑷𝒂𝒍𝒍 [2.17]
dimana:
np = jumlah tiang
P = gaya aksial yang terjadi
P all = daya dukung ijin tiang
𝑻𝒂 = (𝑻𝒇 . 𝑨𝒔𝒕) . 𝟎, 𝟕𝟎
𝑭𝑲𝟐+ 𝑾𝒑
19
2.6 Daya Dukung Ijin Kelompok Tiang
Perhitungan untuk mengetahui efisiensi kelompok tiang berdasarkan rumus
Converse-Labbare dari Uniform Building Code AASHTO adalah:
𝐄𝐠 = 𝟏 – 𝛉 (𝒏′ − 𝟏)𝒎 + (𝒎 − 𝟏)𝒏′
𝟗𝟎 𝒎𝒏′ [2.18]
Sumber: Pamungkas, 2013: 55
dimana:
Eg = efisiensi kelompok tiang
𝜃 = arc tg (D/s) (derajat)
D = ukuran penampang tiang
s = jarak antar tiang (as ke as)
m = jumlah tiang dalam satu kolom
n = jumlah tiang dalam satu baris
2.7 Jarak antar Tiang dalam Kelompok
Berdasarkan perhitungan yang diperoleh dari daya dukung tanah oleh Dirjen
Bina Marga Departemen P.U.T.L disyaratkan:
S ≥ 2,5D [2.19]
S ≥ 3D [2.20]
dimana:
S : jarak masing-masing tiang dalam kelompok (spacing)
D : diameter tiang
Gambar 2.2 Jarak Pusat ke Pusat Tiang
Pemberian syarat pada jarak antara dua tiang dalam kelompok tiang
minimum 0,60 m dan maximum 2,00 m.
20
2.8 Beban Maksimum Tiang pada Kelompok Tiang
Setiap tiang akan mengalami suatu gaya tekan atau gaya tarik yang diakibatkan
dari beban-beban atas dan formasi tiang dalam satu kelompok tiang,. Oleh karena
itu setiap masing-masing tiang harus dikontrol untuk memastikan bahwa tiang
tersebut dapat menahan beban dari struktur atas sesuai dengan daya dukungnya.
𝐏𝐦𝐚𝐤𝐬 = 𝑷𝒖
𝒏𝒑 ±
𝑴𝒚 . 𝑿𝒎𝒂𝒙
𝒏𝒚 Ʃ𝑿𝟐 ±
𝑴𝒙 . 𝒀𝒎𝒂𝒙
𝒏𝒙 Ʃ𝒀𝟐 [2.21]
Sumber : Pamungkas, 2013: 57
dimana:
P max = beban maksimum tiang
Pu = gaya aksial yang terjadi (terfaktor)
My = momen yang bekerja tegak lurus sumbu y
Mx = momen yang bekerja tegak lurus sumbu x
X max = jarak tiang arah sumbu x terjauh
Y max = jarak tiang arah sumbu y terjauh
Ʃx² = jumlah kuadrat X
Ʃy² = jumlah kuadrat Y
nx = banyak tiang dalam satu baris arah sumbu x
ny = banyak tiang dalam satu baris arah sumbu y
np = jumlah tiang
Bila P maksimum yang terjadi bernilai positif, maka pile mendapatkan gaya tekan.
Bila P maksimum yang terjadi bernilai negatif, maka pile mendapatkan gaya tarik.
2.9 Daya Dukung Horizontal
Kondisi tanah pada proyek condotel ini adalah tanah berlapis sehingga untuk
menghitung daya dukung horizontal digunakan metode Brinch Hansen. M.J.
Tomlinson (1977) menyebutkan bahwa langkah pertama untuk menghitung daya
dukung horizontal adalah menentukan apakah tiang berperilaku short rigid atau
long flexible / long elastic dengan cara menghitung faktor kekakuan R atau T.
21
T = √𝐸𝐼
𝑛ℎ
5 Rigid L ≤ 2T Elastic L ≥ 4T
dimana:
E = modulus elastis beton 𝑛ℎ = koefisien modulus variasi
I = momen inersia L = panjang tiang
M.J Tomlinson (1977) menyebutkan bahwa penelitian lain mengenai nilai
nh sebagai berikut:
Soft normally-consolidated clays : 350 – 700 kN/m3
Soft organic silts : 150 kN/m3
pz = c . Kcz
dimana:
pz = tahanan pasif elemen pada kedalaman z di bawah permukaan tanah
c = kohesi tanah
Kcz = koefisien tekanan pasif
Gambar 2.3 Koefisien Brinch Hansen Kc
∑ 𝑀 = ∑ 𝑝𝑧 𝐿
𝑛 (𝑒 + 𝑧)𝑧=𝑥
𝑧=0 B - ∑ 𝑝𝑧 𝐿
𝑛 (𝑒 + 𝑧)𝑧=𝐿
𝑧=𝑥 B [2.22]
dimana:
M = momen titik beban horizontal
L = panjang tiang e = tinggi dari permukaan tanah
n = convenient number ke titik beban
z = kedalaman tahanan pasif B = lebar tiang
22
Hu (e + x) = ∑ 𝑝𝑧 𝐿
𝑛 (𝑥 − 𝑧)𝑥
0 B + ∑ 𝑝𝑧 𝐿
𝑛 (𝑧 − 𝑥)𝑥+𝐿
𝑥 B [2.23]
dimana:
Hu = gaya horizontal x = titik rotasi
2.10 Penurunan Tiang Kelompok
2.10.1 Penurunan segera (Immediate Settlement
Penurunan yang diakibatkan oleh distorsi massa tanah yang tertekan dan
terjadi pada volume konstan disebuy dengan penurunan segera. Penurunan segera
dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
𝑺𝒊 = µ𝟏 µ𝟎𝒒 𝑩
𝑬 [2.24]
Dimana :
Si : Penurunan segera [m]
Q : Tekanan yang terjadi [Pu/A]
B : Lebar kelompok tiang [m]
Eu : Modulus deformasi pada kondisi undrained [kN/m2]
µi : Faktor koreksi untuk lapisan tanah dengan tebal terabatas H
µo :: Faktor koreksi untuk kedalaman pondasi Df
2.10.2 Penurunan Konsolidasi (Consolidation Settlement)
Konsolidasi adalah suatu proses pengecilan isi tanah jenuh secara perlahan-
lahan dengan permeabilitas rendah akibat keluarnya air pori. Proses tersebut
berlangsung terus sampai kelebihan tekanan air pori yang disebabkan oleh kenaikan
tegangan total telah benar-benar hilang. Pada kondisi konsolidasi tanah yang
terkonsolidasi normal, jika tebal lapisan tanah sama dengan H maka penurunan
yang terjadi:
Sc = e0−e
1+ e0 . H [2.25]
Dengan subtitusi persamaan menjadi:
Sc = e0−e
1+ e0 . H =
H
1+ e0 . Cc . Log
P0+ ∆P
Po [2.26]
23
Dimana :
Sc : penurunan konsolidasi (m).
H : tebal lapisan tanah (m).
e0 : angka pori pada tegangan Po (angka pori asli).
e : angka pori pada tegangan P.
Cc : indeks pemampatan (compression index).
: 0,156 . e0 + 0,0107 (Rendon-Herrero-1980)
Po : tegangan efektif pada lapisan tanah (t/m2).
: γ1 x h1 + (γ sat – γw) x h2 + …
Δp : perubahan tegangan pada lapisan tanah (t/m2).
: A0
A1 . q
2.11 Perencanaan Pile Cap
Perencanaan pile cap dilakukan dengan anggapan sebagai berikut
(Hardiyatmo, 2010:284).
1. Pile cap sangat kaku.
2. Ujung atas tiang menggantung pada pile cap. Karena itu, tidak ada momen
lentur yang diakibatkan oleh pelat penutup ke tiang.
3. Tiang merupakan kolom pendek dan elastis. Karena itu, distribusi tegangan dan
deformasi membentuk bidang rata.
2.11.1 Dimensi pile cap
Ukuran suatu pile cap sangat dipengaruhi oleh jarak tiang. Untuk penentuan
jarak tiang di setiap masing-masing kelompok akan diambil 2,5D – 3D, yang
dimaksud D adalah diameter tiang. Penggambaran jarak tiang pada pile cap dapat
dilihat pada Gambar 2.4
24
Gambar 2. 4 Jarak Tiang
SNI-03-2847-2002 pasal 17.7
Ketebalan pondasi telapak di atas lapisan tulangan bawah tidak boleh
kurang dari 300 mm untuk pondasi telapak di atas.
SNI-03-2847-2002 pasal 9.7
Tebal selimut beton minimum untuk beton yang dicor langsung di atas tanah
dan selalu berhubungan dengan tanah adalah 75 mm. Kontrol geser.
SNI-03-2847-2002 pasal 13.12
Kuat geser pondasi telapak di sekitar kolom, beban terpusat, atau daerah
reaksi ditentukan oleh kondisi terberat dari dua hal berikut :
1. Aksi balok satu arah di mana masing-masing penampang kritis yang akan
ditinjau menjangkau sepanjang bidang yang memotong seluruh lebar pondasi
telapak.
2. Aksi dua arah di mana masing-masing penampang kritis yang akan ditinjau
harus ditempatkan sedimikian hingga perimeter penampang adalah minimum.
Perhitungan gaya geser 1 arah dan 2 arah untuk pile cap sama dengan
perhitungan gaya geser 1 arah dan 2 arah pada pondasi telapak. (Pamungkas, 2010
88).
25
2.11.2 Penulangan pile cap
Perencanaan suatu penulangan pile cap dapat dianggap sama dengan
penulangan balok. Perencanaan suatu penulangan pile cap mempunyai beberapa
langkah pengerjaan yaitu sebagai berikut (Rusdianto, 2005: 118).
1. Direncanakan sebagai balok persegi dengan lebar (b) dan tinggi efektif (d).
𝑲𝒑𝒆𝒓𝒍𝒖 = 𝑴𝒖
𝒃 . 𝒅𝟐 [2.27]
dimana:
Mu: momen yang terjadi pada balok (kgm)
b : lebar balok (m)
h : tinggi balok (m)
d : tinggi efektif (m) = h – 60 mm
2. Rasio penulangan dapat diperoleh dengan persamaan:
𝝎 = 𝟎, 𝟖𝟓 − √𝟎, 𝟕𝟐 − 𝟏, 𝟕 𝑲
𝑭𝒄′
[2.28]
𝝆 = 𝝎 .𝑭𝒄′
𝑭𝒚
[2.29]
𝝆𝒃 = 𝟎, 𝟖𝟓 . 𝑭𝒄′
𝑭𝒚 . 𝜷𝟏 . (
𝟔𝟎𝟎
𝟔𝟎𝟎 + 𝑭𝒚)
[2.30]
𝝆𝒎𝒂𝒙 = 𝟎, 𝟕𝟓 𝝆𝒃 [2.31]
𝝆𝒎𝒊𝒏 = 𝟏, 𝟒
𝑭𝒚
[2.32]
Pemeriksaan terhadap rasio tulangan tarik : ρ min < ρ < ρ max
dimana:
Fc’ : mutu beton (MPa)
Fy : mutu baja (Mpa)
β1 : 0,85
26
1) Bila harga rasio penulangan tarik memenuhi syarat maka dilanjut dengan
perhitungan luas tulangan.
𝑨𝒔 = 𝝆 . 𝒃 . 𝒅𝒓𝒆𝒏𝒄𝒂𝒏𝒂 [2.33]
dimana:
As : luas tulangan (mm²)
2) Dengan hasil luas tulangan yang telah diketahui, maka dapat dilanjut dengan
merencanakan diameter dan jarak tulangan yang disesuaikan dengan luas
tulangan yang telah dihitung.
3) Pemeriksaan terhadap tinggi efektif yang dipakai (d pakai > d rencana)
𝒅𝒑𝒂𝒌𝒂𝒊 = 𝒉 − 𝒔𝒆𝒍𝒊𝒎𝒖𝒕 𝒃𝒆𝒕𝒐𝒏 − ∅𝒔𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏𝒈 − 𝟏
𝟐 ∅𝒕𝒖𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 [2.34]
2.11.3 Tinjauan Terhadap Geser
2.11.3.1 Kontrol Terhadap Geser Pons yang Bekerja Satu Arah
Suatu beton dapat mengalirkan kekuatan apabila hanya geser dan lentur yang
bekerja, maka dapat dihitung dengan persamaan sebagi berikut :
Vc = 𝟏
𝟔√𝐟𝐜′ . 𝐛𝐰 . 𝐝 [2.35]
Kekuatan geser beton harus lebih besar atau sama dengan gaya geser nominal
penampang dengan jarak d dari muka kolom sehingga Vc≥Vn
27
Gambar 2.5 Penampang Kritis pada Pelat Pondasi pada Geser Satu Arah 𝐕𝐮
𝛟 ≤
𝟏
𝟔√𝐟𝐜′ . 𝐛𝐰 . 𝐝 [2.36]
dimana:
Vu : gaya geser sejarak d dari muka kolom
Vc : geser beton
bw : lebar pondasi (m)
d : h – d’ (h adalah tinggi pelat dan d’ adalah selimut beton)
ϕ : 0,6 (reduksi kekuatan untuk geser)
2.11.3.2 Kontrol Terhadap Geser Pondasi yang Bekerja Dua Arah
Bidang penampang kritis mempunyai keliling dengan masing-masing sisi
sebesar b0 dan disetiap jarak ½ d dari muka tumpuan yang diperlihatkan pada
Gambar 2.5 terjadi penampang kritis. Kekuatan geser beton yang terjadi pada
penampang kritis dapat dilihat pada gambar 2.5 sebagai berikut:
28
12 d
h
12 d
12 d h 1
2 d
ho
bo
Gambar 2.6 Daerah Geser Aksi Dua Arah pada Pelat Pondasi
Vc = (𝟏 + 𝟐
𝛃𝟎) 𝟐 . √𝐟𝐜′ . 𝐛𝐨 . 𝐝 [2.37]
dimana:
bo : keliling daerah kritis
: 2 (bo + ho)
βo : h
b ; h (sisi panjang kolom)
; b (sisi pendek kolom)
d : tinggi efektif penampang (m)
Gaya geser nominal penampang:
𝐕𝐮
𝛟= 𝐕𝐧 ≤ 𝐕𝐜 + 𝐕𝐬 ≤ 𝟒. √𝐟𝐜′ . 𝐛𝐰 . 𝐝 [2.38]
Vs : kuat geser tulangan geser.
Vu = 𝐏𝐮
𝐀 (𝐡𝐨𝟐 − 𝐛𝐨𝟐) [2.39]
Pu : beban berfaktor pada kolom
A : luas pondasi (B x L)
2.12 Penulangan Pondasi Tiang Bor (Bored Pile)
Penulangan pada pondasi strauss sama dengan penulangan pada kolom,
terdapat perbedaan pada penampang yang digunakan yaitu penampang yang
29
memiliki bentuk bulat atau bentuk lingkaran, beberapa langkah-langkah dalam
perencanaa penulangan dapat dilihat sebagai berikut :
Menentukan luas tulangan longitudinal (Ast) yang akan digunakan. Menurut
SNI 2847:2013, luas tulangan struktur komponen tekan tidak boleh kurang
dari 0,01 Ag atau lebih dari 0,08 Ag.
Ag = ¼ . 𝝅 . D2 [2.40]
Ast = ¼ . 𝝅 . Dst2 . n [2.41]
dimana:
Ag : luas penampang beton (mm2)
Ast : luas tulangan (mm2)
D : diameter penampang beton (mm)
Dst : diameter tulangan (mm)
n : jumlah tulangan
Penampang pondasi tiang bor (bored pile) yang berbentuk lingkaran
selanjutnya diekuivalenkan menjadi penampang segi empat guna menentukan
eksentrisitas dalam keadaan seimbang (balance).
Gambar 2.7 Penampang Lingkaran dan Penampang Ekuivalen Persegi
1. Tebal ekuivalen penampang segi empat
heq = 0,8 x D [2.42]
2. Lebar ekuivalen penampang segi empat
beq =
𝟏
𝟒 . 𝝅 . 𝑫𝟐
𝒉𝒆𝒒 [2.43]
3. Luas tulangan total Ast didistribusikan pada dua lapis
As = As’ = ½ . Ast [2.44]
4.Jarak antar lapis tulangan
30
Dseq = 𝟐
𝟑 x Ds [2.45]
dimana:
Ds = tinggi efektif penampang (mm)
Cek eksentrisitas rencana yang diberikan (e) dibandingkan terhadap
eksentrisitas balance (eb).
deq= Dseq + 𝒉𝒆𝒒−𝑫𝒔𝒆𝒒
𝟐 [2.46]
Cb = 𝟔𝟎𝟎
𝟔𝟎𝟎+𝒇𝒚 x deq [2.47]
Ab = 𝜷1 x Cb [2.48]
Gambar 2.8 Diagram Regangan dan Tegangan Penampang Ekuivalen Persegi
Regangan pada baja tulangan
𝜺s’ = [2.49]
Tegangan leleh baja tulangan
Fs’ = Es x 𝜺s’ [2.50]
Gaya aksial tekan dalam keadaan seimbang (balance)
Pub = (0,85 x fc’ x Ab x Beq) + (As’ x fs’ – As x fy) [2.51]
Momen dalam keadaan seimbang (balance)
Mub = 0,85 . fc’ . Ab. Beq . (1/2 heq – ½ Ab) + As’ . fs’ .
(1/2 heq - 𝒉𝒆𝒒−𝑫𝒔𝒆𝒒
𝟐) + As . fy . (deq – ½ heq) [2.52]
31
E = 𝑴𝒖
𝑷𝒖 [2.53]
eb = 𝑴𝒖𝒃
𝑷𝒖𝒃 [2.54]
- Jika keadaan Pu < Pb atau e > eb, maka keruntuhan yang terjadi adalah
keruntuhan tarik dengan eksentrisitas besar.
- Jika keadaan Pu > Pb atau e < eb, maka keruntuhan yang terjadi adalah
keruntuhan tekan dengan eksentrisitas kecil.
Whitney juga memberikan persamaan pendekatan empiris untuk dimensi
penampang kolom bulat, baik hancur tekan maupun tarik (Istimawan, 1993).
- Persamaan untuk penampang bulat dengan hancur tarik menentukan:
Pn = 0,85 fc’ h2 (√(𝟎,𝟖𝟓 𝒆𝒃
𝒉− 𝟎, 𝟑𝟖)𝟐 +
𝝆𝒈𝒎𝑫𝒔
𝟐,𝟓 𝒉− (
𝟎,𝟖𝟓 𝒆𝒃
𝒉− 𝟎, 𝟑𝟖)) [2.55]
- Persamaan untuk penampang bulat dengan hancur tekan menentukan:
Pn = 𝑨𝒔 .𝒇𝒚
𝟑 𝒆
𝑫𝒔+𝟏,𝟎
+ 𝑨𝒈 .𝒇𝒄′
𝟗,𝟔 𝒉 𝒆
(𝒐,𝟖 𝒉+𝟎,𝟔𝟕 𝑫𝒔)𝟐+𝟏,𝟏𝟖 [2.56]
dimana:
h = diameter penampang
Ds = diameter lingkaran tulangan terjauh dari sumbu
e = eksentrisitas terhadap pusat plastis penampang
𝝆g = 𝑨𝒔𝒕
𝑨𝒈 =
𝒍𝒖𝒂𝒔 𝒑𝒆𝒏𝒖𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍
𝒍𝒖𝒂𝒔 𝒑𝒆𝒏𝒂𝒎𝒑𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒓𝒖𝒕𝒐 [2.57]
m = 𝒇𝒚
𝟎,𝟖𝟓 𝒇𝒄′ [2.58]
Syarat : ∅Pn ≥ Pu [2.59]
2.12.1 Perencanaan Sengkang
Dalam perencanaan sengkang terdapat beberapa langkag-langkah perhitungan
sebagai berikut :
Tinggi efektif penampang (d)
d = D – 2.dc [2.60]
Luas penampang lintang kotor dari kolom
Ac = ¼ x 𝜋 x Dc2 [2.61]
32
Rasio volume tulangan spiral
𝜌𝑠 = 0,45 x (𝐴𝑔
𝐴𝑐 – 1) x
𝑓𝑐′
𝑓𝑦𝑡 [2.62]
Perencanaan jarak sengkang
as = ¼ x 𝜋 x ds2 [2.63]
s = 4 . 𝑎𝑠 . (𝐷𝑐−𝑑𝑠)
𝜌𝑠 . 𝐷𝑐2 [2.64]
Dimana:
S = jarak sengkang (m)