Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Hakikat Novel dalam Karya Sastra
Karya sastra menurut Wellek dan Warren (2016:22), the term literature
seems best if we limit it to the art of literature, that is, to imaginative literature.
Sastra merupakan suatu karya imajinasi pengarang yang tidak hanya merupakan
kumpulan fakta atau fiksi, tetapi dapat berasal dari kejadian yang terjadi dalam
dunia nyata. Secara garis besar Plato dan Aristoteles membagi karya sastra
menjadi tiga kategori (Wellek dan Warren, 1984:300) yakni puisi, prosa dan
drama, kini58451845ketiga kesustraan itu lebih dikenal dengan sebutan fiksi
\4(fictio999914n), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative
discourse).
Novel, karya sastra yang ditulis dalam bentuk naratif yang mengandung
konflik tertentu dalam kisah kehidupan tokoh dalam ceritanya. Hal ini didukung
oleh pendapat Sumardjo (1983: 65) yaitu novel yang ceritanya sering diartikan
sebagai bagian kehidupan seseorang, seperti masa menjelang perkawinan setelah
mengalami masa percintaan; atau bagian kehidupan waktu seseorang tokoh
mengalami krisis dalam jiwanya. Novel menurut Stanton (2007: 90) mampu
menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan
yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa rumit yang
terjadi beberapa waktu silam secara lebih lengkap. Semua itubersifat non-
eksistensial, diimitasikan dan dianalogikan dengan dunia nyata lengkap dengan
peristiwa sehingga tampak sungguhan ada dan terjadi (Nurgiyantoro, 2007: 4).
9
Peneliti menyimpulkan bahwa novel merupakan salah satu genre karya
sastra yang diciptakan pengarang berbentuk teks naratif yang mengandung konflik
kehidupan seseorang untuk mengembangkan karakter tokoh-tokoh, situasi yang
rumit, hubungan yang melibatkan banyak tokoh lainnya. Pada penelitian ini,
peneliti akan menganalisis satu unsur instrinsik yaitu penokohan. Tokoh cerita,
menurut Abrams (1981: 20) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu
karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral
dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa
yang dilakukan dalam tindakan. Dalam novel Laut Bercerita, pengelompokan
tokoh dibagi menjadi tokoh utama serta tokoh tambahan.
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel
yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama paling
banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Pada novel
Laut Bercerita terdapat dua tokoh utama yaitu “Biru Laut” dan “Asmara Jati”.
Keduanya adalah tokoh central yang menggiring alur penceritaan. Kedua tokoh
ini berperan sebagai tokoh protagonis.
Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang kemunculannya tidak intens
dan sesering tokoh utama. Tokoh-tokoh ini dimunculkan karena berhubungan
dengan tokoh utama atau berperan sebagai penunjang alur cerita. Dalam novel
Laut Bercerita terdapat tokoh tambahan yang dianggap sebagai penunjang. Pada
novel ini peran para tokoh tambahan dibagi menjadi tokoh protagonis dan tokoh
antagonis. Adapun tokoh-tokoh tambahan adalah sebagai berikut. Tokoh
protagonis yaitu Kinanti, Alex Parazon, Sunu Dyantoro, Gala Pranaya, Naratama,
10
Daniel, Anjani, Brahmantyo, Julius Sasongko, Orang tua Biru Laut. Sedangkan
tokoh antagonis yaitu anggota intelejen pasukan Elang—si Mata Merah, si
Manusia Pohon, si Manusia Raksasa dan tokoh Gusti sebagai tokoh pengkhianat
dalam organisasi Winatra.
2.2 Pemerintah Orde Baru sebagai Pemicu Gerakan Mahasiswa
Indonesia dalam sewindu akhir masa pemerintahan presiden Soeharto atau
lebih dikenal dengan rezim Orde Baru menampilkan kondisi politik, ekonomi dan
sosial yang dinamis. Gerakan mahasiswa mulai menggeliat kembali pada kurun
waktu 1990 dan memuncak pada peristiwa Reformasi 1998. Bibit-bibit kerusakan
Orde Baru dipandang semakin parah oleh kalangan mahasiswa, hal ini mendorong
munculnya kembali isu suksesi kepresidenan menjelang pemilu 1992.19 Gerakan
mahasiswamenentang Orde Baru pada kurun waktu 1990-1998 bergerak secara
diaspora di berbagai kota di Indonesia
2.2.1. Kondisi Politik Indonesia 1990-1998
Liddle (1992) menyebutkan Orde Baru selama kurun waktu hampir tiga
puluh tahun telah berhasil mempertahankan stabilitas politik dan menjalankan
program pembangunan ekonominya. Namun dibalik keberhasilan itu, Orde Baru
juga tidak dapat lepas dari beberapa kelemahan yang dapat mengancam
kelangsungan hidupnya. Kelemahan itu antara lain (1) kesenjangan ideologi
Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Murni, (2) Ketegangan antara birokrat sipil-
militer, (3) Pembelaan politik massa terutama kesenjangan antara Jawa dan Non
Jawa (4) Ketimpangan akibat kebijakan ekonomi Orde Baru, (5) masalah suksesi.
Transformasi rezim birokratik-otoriter ke bentuk rezim yang lain pada
dasarnya mendorong perpecahan. Pada kasus Orde Baru, permasalahan suksesi
11
menjadi sumber perpecahan politik di lingkungan elit. Politik yang dibangun
Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya menjadikan sumber perpecahan.
Pemilu 1992 dan sidang Umum 1993 ternyata hanya ada satu calon tunggal.
Kemungkinan yang dapat menjelaskan kondisi ini yaitu adanya invisible hands
yang tidak menginginkan suksesi, budaya politik rikuh dan ewuh pakewuh sebagai
konsep mencegah perpecahan dengan menekan usaha menjauhi konflik, dan
spekulasi bahwa suksesi memiliki resiko tinggi terhadap status quo.
Kekuasan teritorial militer yang juga menjadikan Dwifungsi ABRI
(terutama kalangan TNI AD) menjadi satu-satunya institusi politik yang berkuasa
dan dapat mengatur seluruh kehidupan masyarakat. Kekuasaan militer jelas meng-
hegemoni Indonesia. Kemudian adanya redemokrasi kampus. Pemerintah
melemahkan lembaga kampus baik intra maupun ekstra demi meredam kritik dari
lingkungan mahasiswa. Pada awal Orde Baru, pembentukannya dimulai dengan
tiga aliansi yakni militer, teknorat dan mahasiswa. Namun seiring berjalannya
rezim mahasiswa hanya dijadikan sebagai kaki tangan dan diharuskan tunduk
pada birokrasi kampus. Beberapa kebijakan Orde Baru untuk menekan mahasiswa
antara lain (1) penumpasan dan pembubaran Dewan Mahasiswa tahun 1978, (2)
diperkuat dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Kebijakan
ini berlangsung 12 tahun sebelum kemudian pemerintah memberlakukan
organisasi mahasiswa Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi tahun 1990. (Suharsih
& Mahendra, 2007: 85-87). Namun kebijakan ini tidak semua mahasiswa apriori
dengan kebijakan ini, dan perkembangan kelompok alternatif, kelompok studi,
atau kelompok Independen lainnya menjadi pilihan kegiatan organisasi
mahasiswa. Pers mahasiswa dan kelompok mahasiswa ini tidak terikat dengan
12
pihak fakultas dan universitas menjadi wadah baru yang lebih leluasa bagi
kehidupan politik dan dinamika sosial kampus.
Berdasarkan kondisi politik Indonesia pada masa Orde Baru peneliti
menemukan keterkaitan kondisi tersebut dalam novel Laut Bercerita Karya Leila
S. Chudori. Kebijakan yang ditetapkan pemiihan umum dan sidang DPR yang
menyatakan calon tunggal, birokrasi militer mendominasi negara dengan
dwifungsi ABRI, dan kondisi organisasi mahasiswa saat itu mengalami
perpecahan. Ada yang berpihak pada rezim Orde Baru dan ada yang menentang.
2.2.2. Kondisi Ekonomi Indonesia 1990-1998
Pada tahun 1990 sampai 1998 rezim Orde Baru gagal menyeimbangkan
perekonomian Indonesia. Kebijakan yang diambil gagal dan ekonomi
konglomerasi non pribumi meningkat seiring perekonomian nasional. Hal ini
dipicu dengan adanya kebijakan deregulasi dan debiroktasi yang dilakukan
pemerintah pada awal tahun 1980-an. Non pribumi menguasai 70% perekonomian
Indonesia. (Saidi, 1998: 96-97). Rezim Orde Baru ditandai dengan pembangunan
ekonomi yang bersifat sentralis, rezim penguasa yang otoriter, serta birokrasi yang
korupsi. Pembangunan Indonesia hanya mampu mengandalkan modal asing baik
dalam bentuk utang maupun penanaman modal (Saidi, 1992: 198-199).
Ekonomi Indonesia juga ditandai dengan kekuasaan dinasti ekonomi
keluarga Cendana. Praktek kroni mengakar jauh dalam setiap sendi kehidupan di
Indonesia. Hampir semua pejabat militer memberikan fasilitas khusus kepada
kroni-kroninya dengan tujuan keuntungan maksimal dari hubungan ini (Soesilo,
1998: 100). Masing-masing anggota keluarga Cendana memiliki sumber kekayaan
dan jaringan bisnis masing-masing yang menguasai pasar perekonomian. Kondisi
13
ekonomi Indonesia kemudian semakin merosot dan mengalami krisis moneter
pada tahun 1997. Nilai tukar rupiah menurun dan memaksa pemerintah untuk
menerima bantuan ekonomi bersyarat dari International Monetery Fund (IMF).
(Said, 1998 : 117-123).
Berdasarkan novel Laut Bercerita Karya Leila S. Chudori kondisi ekonomi
Indonesia dalam kurun waktu 1990 sampai 1998 mengalami penurunan. Indonesia
gagal menyeimbangkan perekonomian ditandai dengan harga bahan pangan dan
sandang naik dengan signifikan. Sementara itu masyarakat elit semakin
diuntungkan dalam kondisi tersebut. Indonesia akhirnya mengalami krisis
ekonomi yang menyebabkan krisis moneter dan menimbulkan aksi demonstrasi
yang panjang.
2.2.3. Kondisi Sosial Indonesia 1990-1998
Penggusuran demi pembangunan adalah salah satu kondisi sosial Indonesia
di penghujung rezim Orde Baru. “Reforma Agraria” tidak menjadi landasan dasar
pemerintah dalam pembangunan. Alasan-alasan itu antara lain (1) Demi
kelangsungan suatu pemerintahan yang baru lahir, maka stabilitas merupakan
prioritas utama dan secara politis masalah kecukupan pangan merupakan faktor
strategis untuk menangkal keresahan (2) Orde Baru pada saat yang kurang lebih
bersamaan dengan mulainya Revolusi Hijau di Asia. Bisa dipahami bahwa jalan
pragmatis menjadi pilihan. Peningkatan produksi pangan melalui Revolusi Hijau
kemudian menjadi titik sentral pembangunan selama lima Pelita, dan selama itu
pula masalah pertanahan seolah-olah menjadi hilang dalam ingatan.
Pemerintahan Orde Baru dalam hal kebijaksanaan agrarian, mengambil
jalan apa yang sekarang dikenal sebagai by-pass approach, atau pendekatan jalan
14
pintas, by-pass approach itu diabdikan untuk menjalankan strategi pembangunan
yang ditandai oleh ciri pokok; mengandalkan bantuan asing, hutang dan investasi
dari luar negeri, serta bertumpu pada yang kuat. Permasalahan penggusuran tanah
pada awal tahun 1990 menjadi sebuah permasalahn yang menjadi perhatian
masyarakat. Paling tidak terdapat sembilan kasus penggusuran tanah besar-
besaran yang terjadi di Jawa dan Sumatera. Kemunculan kasus-kasus penggusuran
tanah telah menstimulan mahaiswa untuk bergerak membela hak rakyat yang
terampas serta mulai mengorganisir aksi bersamarakyat dengan mengusung isu
kasus-kasus penggusuran tanah.
Kasus pembangunan waduk Kedung Ombo merupakan salah satu kasus
pertanahan yang cukup menyita perhatian publik pada awal dekade 90-an.
Penggusuran yang dilakukan pemerintah, dengan bantuan dana dari Bank Dunia,
atas lahan rakyat disekitar waduk Kedung Ombo mendapatkan perhatian dari
kalangan mahasiswa dengan melakukan aksi-aksi pembelaan hak rakyat yang
hilang akibat pembangunan waduk ini. Kelompok aksi mahasiswa yang intens
melakukanpembelaan ini adalah Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan
Kedung Ombo (KSKPKO) yang merupakan sebuah jaringan koordinasi aktivis
gerakan antar kota diantaranya dari Semarang, Salatiga, Solo, Yogyakarta,
Bandung dan Jakarta. Aksi-aksi yang pernah dilakukan KSKPKO ini diantaranya
dilakukan di Depdagri Jakarta dan Kodim Boyolali Jawa Tengah.
Kondisi sosial lain adalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan
ekonomi selama rezim Orde Baru secara fisik cukup berhasil, namun secara
fundamental sangat rapuh. Orientasi pembangunan selama rezim Orde Baru
secara konseptual juga meyakinkan. Namun, secara praktis dan operasional sangat
15
buruk dan tidak efisien. Permasalahan mengenai Kolusi, Korupsi dan Nepotisme
(KKN) telah menyebar mulai dari aparat desa sampai aparat pemerintah pusat,
baik eksekutif dan legislatif maupun lembaga-lembaga negara yang lain.
Konglomerasi yang merugikan, serta praktek-praktek monopoli dan kartel yang
menyengsarakan masyarakat umum telah terjadi di berbagai industri dan pasar
komoditas. Indonesia memiliki reputasi yang buruk di mata internasional dalam
hal korupsi, berperingkat mendekati paling bawah bersama dengan negara-negara
paling korup lainnya di dunia.
Korupsi menyebabkan hilangnya kepercayaan warga negara kepada
pemerintah. Walaupun korupsi sudah ada sejak lama, namun korupsi berkembang
terus dan berakar disetiap sektor pada masa rezim Orde Baru. Hal inilah yang
memicu kerusuhan, salah satunya kerusuhan pada 27 Juli 1996. Kerusuhan ini
merupakan skenario politik rezim Orde Baru untuk menyingkirkan opisisi yang
sedang berkembang pada saat itu yaitu Megawati. Kedudukan Megawati saat itu
dinilai berbahaya bagi kelangsungan sistem politik yang telah berjalan saat itu
menurut Jatman(dalam Aryono, 2009: 62). Namun pada saat yang bersamaan,
sebagian pendukung Soeharto tidak menyetujui skenario ini dan mulai muncul
bibit perpecahan. Namun cara ini tidak berhasil menjatuhkan Megawati karena
massa dengan ideologi kuat yang dimilikinya. Pada akhirnya rezim Orde Baru
menjadikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai kambing hitam dan
bertanggung jawab atas kerusuhan 27 Juli 1996. Pemerintah kemudian
menangkap beberapa aktivis PRD yang mayoritas berstatus mahasiswa.
Berdasarkan kondisi sosial Indonesia di atas, ketiga kondisi sosial ini juga
diceritakan dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Penggusuran
16
lahan pertanian oleh pihak militer dan penggusuran di Kedung Ombo juga
menjadi latar cerita. Korupsi, kolusi dan nepotisme juga banyak diceritakan
sebagai pemicu pergerakan mahasiswa yang menuntut pertanggungjawaban
pemerintah. Kemudian secara jelas penceritaan perihal kerusuhan yang
menjadikan organisasi mahasiswa Winatra dan Wirasena dijadikan sebagai
kambing hitam. Kondisi Indonesia seperti yang telah dijabarkan diatas adalah
pemicu pergerakan mahasiswa dalam menuntut kebebasan dari hegemoni rezim
Orde Baru. Kemunduran kondisi Indonesia dari segi politik, ekonomi dan sosial
menjadikan alasan kuat bagi mahasiswa untuk menyuarakan reformasi.
2.3 Teori Hegemoni Gramsci
Hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ‘eugemonia’
(hegemonia), yang berarti memimpin. Secara ringkas, pengertian hegemoni adalah
bentuk penguasaan terhadap kelompok tertentu dengan menggunakan
kepemimpinan intelektual dan moral secara konsensus. Artinya, kelompok-
kelompok yang terhegemoni menyepakati nilai-nilai ideologis penguasa
(Hendarto, 1993: 73). Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat
melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan terhadap kelas
sosial lainnya. Hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologi satu atau lebih
kelompok atau kelas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari lainnya (Patria,
dan Arief, 2009: 119-121).
Hegemoni merupakan cara penguasa bermain secara halus dalam
membentuk kesatuan suara dan tindakan rakyatnya dalam mendukung dan
mentaati aturan-aturan yang ia berlakukan ketika telah mendapat kepercayaan
yang mendominasi mereka.Sehingga, secara sadar dan tidak sadar, rakyat telah
17
terhegemoni oleh aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa.
Hegemoni tidak hanya terjadi secara vertikal, yaitu antara penguasa dan rakyatnya
akan tetapi dapat juga terjadi secara horizontal, yaitu suatu kelompok
mendominasi kelompok yang lain dengan mendiktekan ide-ide kepada kelompok
lainnya atau kelompok yang didominasi dengan ide-ide tersebut yang dianggap
wajar, yang bersifat moral, intelektual dan budaya. Teori hegemoni Gramsci
merupakan teori politik yang digagas oleh Antonio Gramsci (1891-1937). Selain
seorang pemikir, Gramsci juga dikenal sebagai kritikus teater dan komentator
politik yang kemudian dipenjara bersama 20 orang aktivis lainnya dengan tuduhan
pemberontakan bersenjata sejak 1928-1937. Selama mendekam di penjara
tersebut, lahirlah karyanya yang berjudul Selection from the prison notebooks. Di
dalam buku tersebutlah segala pemikiran Gramsci tertuang, terutama tentang
hegemoni.
Gramsci adalah pemikir Italia yang pemikirannya dipengaruhi oleh Marxis.
Sebagai pemikir Italia setelah Marx, yang pemikirannya banyak berhubungan
dengan politik praktis, dan terutama yang paling menonjol adalah pandangannya
mengenai hegemoni. Grasmci kemudian justru merevisi dan mengkritik gagasan
Marx. Marx membagi lingkup kehidupan manusia menjadi dua, yaitu infrastruktur
(basis/dasar) dan superstruktur/bangunan atas. Infrastruktur adalah bidang
produksi kehidupan material, sedangkan superstruktur merupakan lembaga yang
mengatur kehidupan masyarakat di luar bidang produksi, terutama sistem hukum
dan negara. Di sisi lain, tatanan kesadaran mencakup segala sistem kepercayaan,
norma, dan nilai yang memberi kerangka pengertian makna dan orientasi spiritual
(pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas, nilai budaya, seni dan sebagainya).
18
Superstruktur ditentukan oleh infrastruktur, dan infrastruktur dibentuk oleh dua
faktor, yaitu tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produktif (Magnis-
Suseno, 1999: 135-148). Dalam teori kelas Marx ada terdapat tiga unsur penting.
Pertama, besarnya peran struktural dibandingkan dengan segi kesadaran dan
moralitas. Kedua, perbedaan kepentingan antara kelas atas dan kelas bawah yang
menyebabkan perbedaan sikap terhadap perubahan sosial. Kelas atas (dominan)
cenderung bersikap konservatif, sedangkan kelas bawah (subaltern) bersikap
progresif dan revolusioner. Kelas atas berkepentingan mempertahankan status
quo, menentang segala perubahan dalam struktur kekuasaan. Sebaliknya, kelas
bawah berkepentingan terhadap perubahan. Ketiga, setiap kemajuan dalam
susunan masyarakat hanya dapat tercapai melalui revolusi (Magnis-Suseno, 1999:
117-119).
Hegemoni menurut Marxis cenderung menekankan betapa pentingnya
sikap refresif dari negara dan masyarakat-masyarakat kelas. Marx beranggapan
bahwa kebudayaan kehidupan manusia adalah cerminan dari dasar ekonomi
masyarakatnya semata. Gramsci menyebut ekonomi ini sebagai “Materialisme
Vulgar”. Perkembangan infrastruktur di dalam masyarakat akan selalu berp
engaruh kepada kehidupan manusianya, di mana kebudayaan yang ada dalam
pikiran Marx semata-mata adalah akibat dari perubahan infrastruktur dan
cerminan ekonomi masyarakatnya. Sementara hegemoni Gramsci berbeda,
Gramsci menolak konsep Marxis yang lebih ortodoks mengenai “dominasi kelas”
dan lebih setuju dengan konsep “kepemimpinan moral”. Jika Marxis
mengedepankan kebenaran mutlak tanpa pernah mau berkompromi, Gramsci
19
justru sebaliknya, melakukan proses kompromi dan negosiasi atas kelas yang
didominasi.
Hegemoni Marxis adalah hegemoni tanpa kompromi. Hegemoni Marxis
membangun hegemoninya secara sepihak dan cenderung semena-mena, seolah-
olah kaum atas superpower dan mampu memiliki segalanya. Namun dampak
negatif hegemoni yang dibangun dengan teori Marxis ini rentan dengan
pemberontakan dan fatalnya mudah terjadi keruntuhan karena pihak-pihak yang
bertentangan tentu tidak akan tinggal diam dan akan berusaha melawan.
Teori hegemoni Gramsci merupakan upaya Gramsci menyempurnakan
teori Marx yang dinilai belum memadai. Berangkat dari pemikiran Marx sendiri,
tetapi berbeda dari kaum Marxis Ortodoks. Gramsci menganggap dunia gagasan,
kebudayaan, superstruktur, bukan hanya sebagai refleksi atau ekspresi dari
struktur kelas ekonomik atau infrastruktur yang bersifat material, melainkan
sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri (Faruk, 2010: 131).
Gramsci menekankan pengaruh gagasan, kebudayaan, superstruktur
merupakan kekuatan material. Gagasan merupakan ide-ide yang ditanamkan,
sementara kebudayaan yang merupakan kebiasaan dari sekelompok masyarakat
itu sendiri sangat erat dan telah menyatu dengannya. Sementara superstruktur
yang merupakan bangunan atas atau lembaga yang mengatur masyarakat tersebut,
dalam hal ini sistem hukum dan negara. Ketiga hal ini harus solid agar dapat
mengorganisasi dan menggerakkan massa. Bagi Gramsci (via Faruk, 2010: 131)
hubungan antara yang ideal dan material tidak berlangsung searah, melainkan
bersifat saling tergantung dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi,
sedangkan ideologi-ideologi akan menjadi khayalan individual belaka tanpa
20
kekuatan material. Di sinilah titik fokus Gramsci yang beranggapan bahwa
hubungan yang ideal dan yang material berlangsung interaktif, bahwasannya,
Gramsci melibatkan kaum yang didominasi dalam menjalankan praktik-praktik
kekuasaan. Intervensi dari kelas yang didominasi inilah yang membuat kelompok
yang sebenarnya didominasi, dibuat seolah-olah bagian dari kelompok yang
berkuasa. Hal inilah yang menyebabkan tidak adanya pertentangan terhadap yang
berkuasa, sebab kelompok yang dikuasai itu turut berperan dan memberikan
suara. Gramsci menganggap bahwa dengan melibatkannya kelompok subaltern
adalah cara untuk meniadakan pemberontakan di kemudian hari serta seakan-akan
kelas penguasa lebih dipandang terbuka dan tidak konservatif. Sehingga
masyarakat mampu menaruh kepercayaan seutuhnya kepada penguasa.
Unsur-unsur yang harus solid agar dapat mengorganisasi massa adalah
gagasan, kebudayaan dan superstruktur. Gagasan adalah ide-ide yang ditanamkan
atau basis bagaimana nantinya hegemoni dapat dijalankan. Kebudayaan adalah
kebiasan dari masyarakat yang sangat erat dan telah menyatu dengannya.
Kebudayaan ini sangatlah menjadi pertimbangan agar hegemoni dapat diteruskan
dengan lancar. Superstruktur adalah Bangunan atas atau lembaga yang mengatur
masyarakat tersebut dalam hal ini sistem hukum dan negara. Ketiga hal inilah
yang menjadi kekuatan untuk menjalankan hegemoni menurut Gramsci.
Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Jika hanya dua yang berjalan, maka akan ada
kekosongan porsi dalam menjalankan praktik-praktik hegemoni tersebut. Ketiga
hal ini saling tergantung dan interaktif. Dalam kerangka teori Gramsci, setidaknya
terdapat enam konsep kunci, yaitu : Kebudayaan, Hegemoni, Ideologi, Kaum
21
Intelektual dan Negara. Pada penelitian ini peneliti berfokus pada satu dari enam
konsep Gramsci yakni Negara.
Gramsci (via Faruk, 2010: 152-153) membedakan negara menjadi dua
wilayah dalam negara : dunia masyarakat sipil dan masyarakat politik. Yang
pertama penting bagi konsep hegemoni karena merupakan wilayah “kesetujuan”,
“kehendak bebas”, sedangkan wilayah kedua merupakan dunia kekerasan,
pemaksaan dan intervensi. Menurut Gramsci, Negara kompleks yang menyeluruh
aktivitas-aktivitas teoritis dan praktis yang dengannya kelas penguasa tidak hanya
membenarkan dan mempertahankan dominasinya, melainkan berusaha
memenangkan persetujuan aktif dari mereka yang diperintahnya (Faruk, 2010:
153).
2.3.1 Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil juga merupakan wilayah di mana kelompok pemilik
modal, pekerja dan kelompok lain terlibat dalam perjuangan politik dan dalam
masyarakat sipil terjadi persaingan hegemoni antar dua kelompok utama
berlangsung. Dalam beberapa paragraf buku Prison Notebooks Gramsci (dalam
Wiharjo, 2018:19) mengatakan masyarakat sipil merupakan masyarakat yang
beretika atau bermoral yang di dalamnya hegemoni kelas dominan dibangun
melalui mekanisme perjuangan politik dan ideologis.
2.3.2 Masyarakat Politik
Untuk masyarakat politik, Gramsci (dalam Wiharjo, 2018:19) memakai
istilah tersebut untuk hubungan-hubungan koersif yang terwujud dalam lembaga
negara angkatan bersenjata, polisi, lembaga hukum dan penjara, serta semua
22
departemen administrasi yang mengurusinya tergantung pada upaya akhir dari
efektivitas monopoli negara dalam melakukan tindakan koersif.
2.4 Counter Hegemoni
Menurut Gramsci, kesadaran adalah hal yang utama untuk membangkitkan
perjuangan menentang kelas dominan (counter-hegemoni) (Partia, 1999:167).
Agar revolusi terwujud maka masyarakat seharusya bertindak. Sebelum mereka
bertindak, mereka harus mampu memahami hakikat dan situasi keberadaan
mereka dalam suatu sistem yang dijalani. Dengan berlatar belakang konteks
kepribadian, latar dan motivasi tokoh memungkinkan counter hegemoni
termanifestasikan ke dalam beragam bentuk. Masing-masing bentuk hadir
berdasarkan kesadaran tokoh perlawanan terhadap kekuasaan dan dominasi yang
mereka hadapi.
2.4.1. Perlawanan Keras
Perlawanan keras berkaitan dengan tindakan perlawanan dengan cara
berhadapan dengan pihak penguasa mengambil sikap atau tindakan yang
bertentangan dengan kehendak kekuasaan (Taum, 2015:98).
2.4.2. Perlawanan Pasif
Perlawanan Pasif adalah dengan tindak melaksanakan kehendak
mainstream atau melakukan tindakan negatif terhadap diri sendiri sebagai bentuk
protes terhadap kekuasaan dan mainstream itu (Taum, 2015:102).
2.4.3. Perlawanan Humanistik
Perlawanan humanistik adalah perlawanan terhadap kekuasaan tanpa
kekerasan, tetapi dengan memberikan renungan alternatif, apakah sikap dan
tindakan mainstream tersebut sudah dipandang tepat (Taum, 2015:104).
23
2.5 Penelitian Relevan
Adapun Penelitian relevan yang peneliti jadikan bahan acuan terdiri atas
tiga penelitian. Pertama, penelitian mengenai novel Laut Bercerita dalam kajian
yang berbeda, sebuah skripsi Gita Yulansari (2019) yang berjudul “Gerakan
Mahasiswa Prareformasi dalam Novel Laut Bercerita Karya Leila S Chudori :
Tinjauan Sosiologi Sastra”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan gerakan mahasiswa prareformasi serta dampak dari gerakan
mahasiswa pra reformasi dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori.
Teori yang digunakan dalam menganalisis novel Laut Bercerita adalah teori
yang dikemukakan oleh Alan Swingewood, salah satu dasar pemikirannya
yang menganggap karya sastra sebagai dokumen sosial budaya yang
merefleksikan keadaan sosial budaya pada suatu zaman.
Pembahasan mencangkup analisis intrinsik terhadap unsur yang
membangun novel ini sebagai hasil karya sastra. Unsur yang dianalisis adalah
tokoh dan penokohan, alur, latar, dan tema. Bentuk-bentuk gerakan mahasiswa
pra reformasi serta dampak dari gerakan mahasiswa prareformasi dalam novel
Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Berdasarkan analisis, dapat
disimpulkan bahwa bentuk-bentuk gerakan mahasiswa prareformasi dalam
novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori meliputi; 1) pertemuan antar
aktivis mahasiswa, 2) demonstrasi, dan 3) melakukan pembelaan langsung
terhadap petani. Dampak dari gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa pra
reformasi adalah; 1) penculikan mahasiswa yang melakukan gerakan, 2)
penyiksaan mahasiswa yang melakukan gerakan, dan 3) penghilangan secara
paksa.
24
Kedua adalah Penelitian Skripsi Fransiska Rini Wiharjo (2018) yang
berjudul “Bentuk Hegemoni dan Counter Hegemoni dalam Novel Entrok Karya
Okki Madasari. Dalam penelitian ini membahas (1) bentuk-bentuk hegemoni
melalui dua konsep, hegemoni-kebudayaan dan hegemoni-negara, (2) bentuk-
bentuk Counter Hegemoni yang terbagi atas tiga bentuk yaitu perlawanan keras,
perlawanan pasif, dan perlawanan humanistik.
Skripsi ini membahas tentang gerakan mahasiswa prareformasi dalam
novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori dengan tinjuan Sosiologi
Sastra. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
sosiologi sastra. Tujuandari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
gerakan mahasiswa prareformasi serta dampak dari gerakan mahasiswa pra
reformasi dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Teori yang
digunakan dalam menganalisis novel Laut Bercerita adalah teori yang
dikemukakan oleh Alan Swingewood, salah satu dasar pemikirannya yang
menganggap karya sastra sebagai dokumen sosial budaya yang
merefleksikan keadaan sosial budaya pada suatu zaman.
Pembahasan mencangkup analisis intrinsik terhadap unsur yang
membangun novel ini sebagai hasil karya sastra. Unsur yang dianalisis adalah
tokoh dan penokohan, alur, latar, dan tema. Bentuk-bentuk gerakan mahasiswa
pra reformasi serta dampak dari gerakan mahasiswa prareformasi dalam novel
Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Berdasarkan analisis, dapat
disimpulkan bahwa bentuk-bentuk gerakan mahasiswa prareformasi dalam
novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori meliputi; 1) pertemuan antar
aktivis mahasiswa, 2) demonstrasi, dan 3) melakukan pembelaan langsung
25
terhadap petani. Dampak dari gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa pra
reformasi adalah; 1) penculikan mahasiswa yang melakukan gerakan, 2)
penyiksaan mahasiswa yang melakukan gerakan, dan 3) penghilangan secara
paksa.