Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
33
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab ini menjelaskan hasil telaah terhadap teori dan penelitian terdahulu yang
dimaksudkan untuk mempelajari konsep serta berbagai metodologi dan temuan
mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi dan realisasi anggaran belanja barang
modal serta belanja barang dan jasa terhadap kesejahteraan masyarakat di provinsi
Lampung.
2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
2.1.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun
2004 yang dimaksud dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang
ditetapkan dengan peraturan daerah. Struktur Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) dalam era otonomi daerah disusun dengan
pendekatan kinerja.
Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang
mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil (kinerja) atau output dari
perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. APBD berdasarkan
pendekatan kinerja terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan
34
pembiayaan (Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 pasal 16 PP No. 58
tahun 2005 Pasal 20).
Gambar 12. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Berdasarkan Pendekatan Kinerja
Sumber : Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 pasal 16 PP No. 58 tahun
2005 Pasal 20
Pendapatan adalah semua penerimaan daerah dalam periode tahun anggaran
tertentu yang menjadi hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai
kekayaan bersih. Anggaran pendapatan berasal dari pendapatan asli daerah
(PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Sumber pendapatan asli daerah (PAD) terdiri dari pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain
PAD yang sah. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi
umum (DAU), dan dana alokasi Khusus (DAK). Lain-lain PAD yang sah
meliputi hasil penjualan kekayaan yang tidak dipisahkan, jasa giro,
pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing, dan komisi/potongan sebagai akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Belanja adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran
tertentu yang menjadi beban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
APBD
PENDAPATAN
BELANJA
PEMBIAYAAN
35
kekayaan bersih. Angaran Belanja diklasifikasikan menurut organisasi,
fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja.
Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan berdasarkan susunan
organisasi daerah seperti setda, dinas daerah dan lembaga teknis dinas
daerah lainnya. Klasifikasi belanja menurut fungsinya didasarkan pada
urusan kewenangan pemerintah daerah seperti pelayanan umum, ketertiban
dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum,
kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan serta perlindungan
sosial.
Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Klasifikasi belanja menurut jenis belanja, anggaran belanja dikelompokan
berdasarkan belanja tidak langsung dan belanja langsung.
Menurut Soleh dan Rochmansjah (2010:42), belanja tidak langsung adalah
belanja yang penganggarannya tidak dipengaruhi secara langsung oleh
adanya usulan program atau kegiatan. Belanja tidak langsung merupakan
belanja yang dianggarkan setiap bulan dalam satu tahun anggaran sebagai
konsekuensi dari kewajiban pemerintah daerah secara periodik kepada
pegawai yang bersifat tetap (pembayaran gaji dan tunjangan) dan/atau
kewajiban untuk pengeluaran belanja lainnya, yang umumnya diperlukan
secara periodik.
36
Karakteristik belanja tidak langsung antara lain sebagai berikut:
1. Dianggarkan setiap bulan dalam satu tahun (bukan untuk setiap
program atau kegiatan)
2. Jumlah anggaran belanja tidak langsung sulit diukur atau sulit
dibandingkan secara langsung dengan output program atau kegiatan
tertentu.
Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri
dari:
1. Belanja pegawai
2. Belanja bunga
3. Belanja subsidi
4. Belanja hibah
5. Belanja bantuan sosial
6. Belanja bagi hasil
7. Bantuan keuangan, dan
8. Belanja tidak terduga.
Soleh dan Rochmansjah (2010:46) menyatakan bahwa belanja langsung
adalah belanja yang penganggarannya dipengaruhi secara langsung oleh
adanya program atau kegiatan. Karakteristik belanja langsung adalah
sebagai berikut:
1. Dianggarkan untuk setiap program atau kegiatan yang diusulkan.
37
2. Jumlah anggaran belanja langsung suatu program atau kegiatan dapat
diukur atau dibandingkan secara langsung dengan output program atau
kegiatan yang bersangkutan.
3. Variabilitas jumlah setiap jenis belanja langsung dipengaruhi oleh target
kinerja atau tingkat pencapaian yang diharapkan dari program atau
kegiatan yang bersangkutan.
Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:
1. Belanja pegawai
2. Belanja barang dan jasa, dan
3. Belanja modal.
Belanja pegawai digunakan untuk pengeluaran honorarium/upah dalam
melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah. Menurut konsep
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, pembayaran
honorarium bagi pegawai honorer/pegawai tidak tetap dianggap merupakan
bagian dari kegiatan. Dengan konsep tersebut pegawai honorer/pegawai
tidak tetap adalah bagian dari kegiatan, sehingga termasuk dalam kelompok
langsung.
Belanja barang dan jasa digunakan untuk menganggarkan pengadaan barang
dan jasa yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (duabelas) bulan. Belanja
Barang dan Jasa yang digunakan dalam melaksanakan program dan kegiatan
pemerintah daerah berupa belanja pakai habis, bahan/material, jasa kantor,
38
premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan, sewa
rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa
perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas
dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari-hari tertentu,
perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan pegawai,
pemeliharaan, jasa konsultasi, dan lain-lain pengadaan barang/jasa, dan
belanja lainnya yang sejenis.
Belanja modal merupakan belanja yang digunakan untuk pengeluaran yang
dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai
nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan. Nilai aset tetap berwujud dianggarkan dalam belanja modal
sebesar harga beli/bangunan aset ditambah seluruh belanja yang terkait
dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan.
Untuk memenuhi tujuan tersebut Kepala Daerah menetapkan batas minimal
kapasitas (capitalization threshold) sebagai dasar pembebanan belanja
modal.
Soleh dan Rochmansjah (2010:47) mengatakan bahwa pembiayaan daerah
meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk
memanfaatkan surplus, yang dirinci menurut urusan pemerintahan daerah,
organisasi, kelompok, jenis pembiayaan. Pembiayaan daerah terdiri dari
penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
39
Penerimaan pembiayaan mencakup:
a. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SILPA)
b. Pencairan dana cadangan
c. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. Penerimaan pinjaman daerah
e. Penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan
f. Penerimaan piutang daerah
Pengeluaran pembiayaan mencakup:
a. Pembentukan dana cadangan
b. Penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah
c. Pembayaran pokok utang, dan
d. Pemberian pinjaman daerah
Pembiayaan neto merupakan selisih antara penerimaan pembiayaan dengan
pengeluaran pembiayaan. Jumlah pembiayaan neto harus dapat menutup
defisit anggaran.
Berdasarkan uraian diatas, struktur APBD dan komponen-komponen
penyusunnya di era otonomi daerah dapat dilihat pada Gambar berikut ini.
40
Gambar 13. Struktur APBD dengan Pendekatan Kinerja
Sumber : Soleh dan Rochmansjah (2010:47)
2.1.2 Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBD adalah rencana anggaran tahunan daerah dalam bentuk peraturan
daerah. APBD merupakan instrumen utama untuk melaksanakan kebijakan
dalam satu tahun anggaran.
Penyusunan APBD melibatkan berbagai pihak yang berkompeten.
Perbedaan substansial antara era sebelum otonomi dengan era otonomi
daerah dalam hal penyusunan APBD adalah bahwa pada era sebelumnya
dominasi eksekutif sangat besar dan hampir-hampir menafikan peran DPRD
dan masyarakat.
APBD
PAD
BELANJA
PEMBIAYAAN
PENDAPATAN Dana Perimbangan
Lain-Lain Pendapatan yg Sah
Belanja Tidak Langsung
Belanja Langsung
Pemb. Penerimaan
Pemb. Pengeluaran
41
Pada era otonomi daerah penyusunan APBD harus mengedepankan
partisipasi dan akuntabilitas publik. Karena APBD merupakan
operasionalisasi dari berbagai kebijakan, maka harus mencerminkan suatu
kesatuan sistem perencanaan yang sistematis dan dapat dianalisis
keterkaitannya dengan dokumen-dokumen perencanaan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Prinsip penyusunan APBD harus mengedepankan prinsip-prinsip good
governance, sebagaimana dikemukakan Saragih (2003 : 120) bahwa prinsip-
prinsip dasar pengelolaan keuangan publik adalah akuntabilitas,
transparansi, responsivitas, efektif, efisien dan partisipatif. Untuk
menerjemahkan prinsip-prinsip tersebut, perlu disusun alur perencanaan
anggaran. Mekanisme penyusunan anggaran daerah dengan mekanisme
penjaringan aspirasi dapat dilihat pada gambar berikut :
42
Gambar 14. Mekanisme Penyusunan Anggaran Daerah
TIM AHLI
Data Historis
Arah dan pembinaan dari
Pemerintah atasan
Renstrada
MASYARAKAT
Tokoh masyarakat, LSM
Ormas, Asosiasi Profesi,
Perguruan Tinggi dan lain-lain
Pokok-pokok
Pikiran DPRD
PEMDA
Arah & Kebijakan
Umum APBD DPRD
TIM AHLI
TIM ANGGARAN
EKSEKUTIF
Strategi & Prioritas
APBD PANITIA
AD HOC
Surat Edaran
Memoranda
Anggaran Unit Kerja
RAPBD
Renstra UK
RAPBD
PANITIA LEGISLATIF
ANGGARAN
Rencana Program
/ Kegiatan
Forum Warga
Gambar 1
Mekanisme Penyusunan Anggaran Daerah
Sumber : Mardiasmo, 2002
Pendekatan penyusunan APBD pada masa otonomi daerah menggunakan
pendekatan kinerja, yaitu suatu pendekatan sistem anggaran yang
mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kinerja atau output dari
perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Untuk mengukur
kinerja APBD menggunakan Standar Analisis Belanja (SAB), tolok ukur
kinerja dan standar biaya (Mardiasmo, 2002 : 192).
43
Standar Analisis Belanja (SAB) adalah penilaian kewajaran atas beban kerja
dan beban biaya terhadap suatu kegiatan. Dalam rangka perhitungan SAB,
anggaran belanja unit kerja dikelompokkan menjadi belanja langsung dan
belanja tidak langsung. Belanja langsung adalah belanja yang dipengaruhi
secara langsung oleh adanya program atau kegiatan yang direncanakan. Jadi
keberadaan anggaran belanja langsung merupakan konsekuensi adanya
program atau kegiatan.
Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak dipengaruhi secara
langsung oleh adanya program atau kegiatan. Jadi keberadaan anggaran
belanja tidak langsung bukan merupakan konsekuensi ada atau tidaknya
suatu program atau kegiatan. Tolok ukur kinerja adalah ukuran keberhasilan
yang dicapai pada setiap unit kerja perangkat daerah. Tolok ukur kinerja
ditetapkan dalam bentuk Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang
ditentukan oleh masing-masing daerah. Standar biaya merupakan standar
untuk menentukan kebutuhan pengeluaran daerah.
Pendekatan penyusunan APBD pada masa orde baru menggunakan
pendekatan incrementalism dan line-item budget. Menurut Mardiasmo
(2002 : 168) bahwa incrementalism adalah suatu pendekatan yang
didasarkan pada perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum,
seperti tingkat inflasi dan jumlah penduduk. Bila tingkat infalsi dan jumlah
penduduk meningkat, maka besar alokasi dana untuk tiap kegiatan yang
sudah tertentu meningkat dari besar alokasi semula. Sedangkan line-item
44
budget adalah suatu perencanaan anggaran yang didasarkan atas “pos
anggaran” yang telah ada sebelumnya.
Perbedaan mendasar dari proses penyusunan APBD di era otonomi daerah
dan pada masa orde baru yaitu bahwa APBD di era otonomi daerah disusun
melalui mekanisme bottom up melalui musyawarah rencana pembangunan
(musrenbang) mulai dari tingkat kelurahan/desa, kecamatan sampai dengan
tingkat kota/kabupaten yang selanjutnya ditetapkan melalui peraturan
daerah menjadi APBD. Selain itu APBD di era otonomi daerah disusun
berdasarkan kemampuan daerah masing-masing, tidak berdasarkan plafon
anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Pada masa orde baru mekanisme yang digunakan dalam penyusunan APBD
bersifat top down yaitu APBD disusun berdasarkan plafon anggaran yang
telah ditetapkan dari pemerintah pusat kemudian diuraikan ke tingkat
provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Walaupun pada masa orde baru juga
ada rakorbang (rapat koordinasi pembangunan) yang dimulai dari tingkat
desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat, namun
pelaksanaan rakorbang tersebut dimulainya dari tingkat pusat terlebih
dahulu kemudian berlanjut ke tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.
2.1.3 Peranan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam
Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah
daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada
45
dan membentuk suatu kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor
swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah
tersebut (Arsyad, 2004:298).
Indikator makro ekonomi untuk mengukur tingkat keberhasilan
pembangunan ekonomi daerah salah satunya dengan pendekatan Laju
Pertumbuhan Ekonomi (LPE). LPE dihitung dengan cara membandingkan
pendapatan daerah dari tahun ke tahun. Sedangkan pendapatan daerah
dibentuk dari belanja pemerintah daerah (APBD), belanja swasta (investasi),
dan selisih ekspor impor daerah. Belanja pemerintah daerah itu sendiri
terdiri dari belanja aparatur (rutin) dan belanja Publik (pembangunan).
Daerah yang mempunyai LPE tinggi maka akan berimplikasi pada
penyerapan tenaga kerja daerah yang tinggi pula. Setiap kenaikan LPE 1 %
diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 120.000 orang.
Selanjutnya setiap orang yang sudah bekerja dengan sendirinya
pendapatannya akan meningkat yang pada akhirnya tingkat kesejahteraan
mereka juga ikut meningkat pula.
2.1.4 Kebijakan Fiskal
Menurut Nopirin (2000), kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi
dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik
dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Dari sisi
pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada
46
ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat
akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output.
Sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta
menurunkan output industri secara umum.
Pada prinsipnya Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal lebih besar
pengaruhnya terhadap output daripada kebijakan moneter. Hal ini
didasarkan atas pendapatnya bahwa, pertama elastisitas permintaan uang
terhadap tingkat bunga kecil sekali (extrim-nya nol) (Nopirin, 2000).
Menurut Keynes (dalam Nopirin, 2000), dari sudut ekonomi makro maka
kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi dua yaitu Kebijakan Fiskal
Ekspansif dan Kebijakan Fiskal Kontraktif. Kebijakan Fiskal Ekspansif
adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi
perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan
dan pengeluaran pemerintah, pada saat munculnya kontraksional gap.
Konstraksional gap adalah suatu kondisi dimana output potensial (YF) lebih
tinggi dibandingkan dengan output Actual ( Y1). Pada saat terjadi
kontraksional gap ini kondisi perekonomian ditandai oleh tingginya tingkat
pengangguran dimana Uactual>Ualamiah.
Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan pemerintah dengan cara
menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini
bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi.
47
kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada
pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika
perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas
(overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. pada saat munculnya
ekpansionary gap. Ekspansionary gap adalah suatu kondisi dimana output
potensial (Yf) lebih kecil dibandingkan dengan output Actual (Y1).
2.1.5 Inflasi
Inflasi didefinisikan dengan banyak ragam yang berbeda, tetapi semua
definisi itu mencakup pokok-pokok yang sama. Samuelson (2001)
memberikan definisi bahwa inflasi sebagai suatu keadaan dimana terjadi
kenaikan tingkat harga umum, baik barang-barang, jasa-jasa maupun faktor-
faktor produksi.
Dari definisi tersebut mengindikasikan keadaan melemahnya daya beli yang
diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu
negara. Sementara definisi lain menegaskan bahwa inflasi terjadi pada saat
kondisi ketidakseimbangan (disequilibrium) antara permintaan dan
penawaran agregat, yaitu lebih besarnya permintaan agregat daripada
penawaran agregat. Dalam hal ini tingkat harga umum mencerminkan
keterkaitan antara arus barang atau jasa dan arus uang. Bila arus barang
lebih besar dari arus uang maka akan timbul deflasi, sebaliknya bila arus
uang lebih besar dari arus barang maka tingkat harga akan naik dan terjadi
inflasi.
48
Secara umum, inflasi menyebabkan turunnya daya beli dari nilai uang
terhadap barang-barang dan jasa, besar kecilnya ditentukan oleh elastisitas
permintaan dan penawaran akan barang dan jasa. Faktor lain yang juga turut
menentukan fluktuasi tingkat harga umum diantaranya adalah kebijakan
pemerintah mengenai tingkat harga, yaitu dengan mengadakan kontrol
harga, pemberian subsidi kepada konsumen dan lain sebagainya.
Dari definisi yang ada tentang inflasi dapatlah ditarik tiga pokok yang terkandung
di dalamnya Samuelson (2001), yaitu :
1. Adanya kecenderungan harga-harga untuk meningkat, yang berarti
mungkin saja tingkat harga yang terjadi pada waktu tertentu turun atau
naik dibandingkan dengan sebelumnya, tetapi tetap menunjukkan
kecenderungan yang meningkat.
2. Peningkatan harga tersebut berlangsung terus menerus, bukan terjadi pada
suatu waktu saja.
3. Mencakup tingkat harga umum (general level of prices) yang berarti
tingkat harga yang meningkat itu bukan hanya pada satu atau beberapa
komoditi saja.
Menurut Rahardja dan Manurung (2004) suatu perekonomian dikatakan telah
mengalami inflasi jika tiga karakteristik berikut dipenuhi, yaitu :
1. terjadi kenaikan harga,
2. kenaikan harga bersifat umum,
3. berlangsung terus- menerus.
49
Menurut Rahardja dan Manurung (2004), ada beberapa indikator yang dapat
digunakan untuk mengetahui apakah suatu perekonomian sedang dilanda inflasi
atau tidak. Indikator tersebut diantaranya :
1. Indeks Harga Konsumen (IHK) IHK adalah indeks harga yang paling
umum dipakai sebagai indikator inflasi. IHK mempresentasikan harga
barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat dalam suatu periode
tertentu.
2. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) IHPB mertupakan indikator
yang menggambarkan pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang
diperdagangkan pada tingkat produsen di suatu daerah pada suatu periode
tertentu. Jika pada IHK yang diamati adalah barang-barang akhir yang
dikonsumsi masyarakat, pada IHPB yang diamati adalah barang-barang
mentah dan barang-barang setengah jadi yang merupakan input bagi
produsen.
3. GDP Deflator Prinsip dasar GDP deflator adalah membandingkan antara
tingkat pertumbuhan ekonomi nominal dengan pertumbuhan riil.
2.2 Pertumbuhan Ekonomi
Boediono (1998) menyatakan, bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses
kenaikan output dalam jangka panjang. Pemakaian indikator pertumbuhan
ekonomi akan dilihat dalam kurun waktu yang cukup lama, misalnya sepuluh,
duapuluh, limapuluh tahun atau bahkan lebih. Pertumbuhan ekonomi akan
terjadi apabila ada kencenderungan yang terjadi dari proses internal
50
perekonomian itu, artinya harus berasal dari kekuatan yang ada di dalam
perekonomian itu sendiri. Untuk mengetahui apakah suatu perekonomian
mengalami pertumbuhan, harus dipertimbangkan PDRB riil satu tahun
(PDRBt) dengan PDRB riil tahun sebelumnya (PDRBt-1), atau dapat di
formulasikan sebagai berikut:
Dimana:
Yit = Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/kota i, tahun
PDRBti = PDRB ADHK kabupaten/kota i tahun t
PDRBto = PDRB ADHK kabupaten/kota i tahun t
PDRB = PDRB ADHK kabupaten/kota i tahun t-1
Pengukuran akan kemajuan sebuah perekonomian memerlukan alat ukur yang
tepat, betapa alat pengukur pertumbuhan ekonomi antara lain yaitu Boediono
(1998):
a. Produk Domestik Bruto (PDRB)
Produk Domestik Bruto (PDB) atau di tingkat regional disebut dengan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu jumlah barang atau jasa
yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam jangka 1 (satu) tahun dan
dinyatakan dalam harga pasar. Baik PDB maupun PDRB adalah ukuran
yang global sifatnya, dan keduanya ini bukan merupakan alat ukur yang
sesuai, karena belum dapat mensejahterakan penduduk yang
sesungguhnya, padahal kesejahteraan harus dimiliki oleh setiap negara
maupun daerah yang bersangkutan.
51
b. Produk Domestik Perkapita/Pendapatan perkapita
Produk Domestik Bruto Perkapita atau Produk Domestik Regional Bruto
perkapita pada skala yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan suatu
daerah yang lebih baik karena dapat mencerminkan kesejahteraan
penduduk suatu negara maupun daerah yang bersangkutan dari pada nilai
PDB atau PDRB saja. Produk Domestik Bruto Perkapita baik di tingkat
nasional maupun di daerah adalah jumlah PDB nasional atau PDRB suatu
daerah dibagi dengan jumlah penduduk di negara maupun di daerah yang
bersangkutan, atau dapat disebut sebagai PDB atau PDRB rata-rata.
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu negara, melalui perubahan yang
dilakukannya terhadap struktur ekonomi, secara potensial mempengaruhi
distribusi pendapatan. Secara empiris berdasarkan data antar negara (cross-
section), Kuznets (1995) mempelopori penelitian mengenai hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan pendapatan. Simon Kuznets
menemukan adanya suatu hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan
ketidakmerataan pendapatan, yang kemudian lebih dikenal sebagai hipotesa
“inverted U-curve”. Hipotesa tersebut menyatakan bahwa ketidakmerataan
pendapatan dalam suatu negara meningkat pada tahap-tahap awal
pertumbuhan ekonominya, cenderung tidak berubah pada tahap menengah,
dan terus menurun ketika negara tersebut menjadi sejahtera.
Hipotesa Kuznets bersandar pada asumsi bahwa terdapat dua sektor ekonomi
dalam suatu negara, yaitu sektor tradisional (daerah perdesaan dengan sektor
pertanian) dengan pendapatan per kapita dan ketidakmerataan pendapatan
52
yang rendah dan sektor modern (daerah perkotaan dengan sektor industri dan
jasa-jasa) dengan pendapatan per kapita dan ketidakmerataan pendapatan
yang tinggi. Akibatnya terjadi migrasi tenaga kerja dari sektor tradisional ke
sektor modern yang meningkatkan ketidakmerataan pendapatan di negara
tersebut.
Kuznets juga menekankan terjadinya perubahan struktural dalam
pembangunan ekonomi, dimana dalam prosesnya sektor industri dan jasa-jasa
cenderung berkembang dan terjadi pergeseran dari sektor tradisional ke sektor
modern. Selama masa transisi tersebut, produktivitas dan upah tenaga kerja di
sektor modern lebih tinggi daripada sektor tradisional, sehingga pendapatan
per kapita yang diharapkan juga lebih tinggi, akibatnya ketidakmerataan
pendapatan antara kedua sektor tersebut meningkat pada awal-awal
pembangunan.
Kesahihan hipotesa “inverted U-curve” membawa implikasi bahwa jika suatu
negara berada pada tahap-tahap awal pembangunan, pertumbuhan ekonomi
akan lebih meningkatkan ketidakmerataan pendapatan sehingga pengurangan
kemiskinan akan memakan waktu yang lebih lama (Adams, 2004). Karenanya
hipotesa ini sangat kontroversial dan menjadi bahan perdebatan,
mempengaruhi pemikiran, dan penelitian selanjutnya mengenai hubungan
antara pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan pendapatan. Penelaahan
terhadap penelitian-penelitian selanjutnya juga menjadi sangat menarik
karena begitu beragamnya kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari
53
berbagai penelitian tersebut, ada yang hasilnya mendukung penuh hipotesa
“inverted U-Curve” (Oshima, 1962). Mendukung sebagian (Ahluwalia, 1976a
dan 1976b) ataupun menolaknya sama sekali (Deininger dan Squire, 1996).
Berikut penulis sampaikan uraian singkat mengenai hasil-hasil dari ketiga
penelitian tersebut.
Oshima (1962), menggunakan data pendapatan keluarga di Malaysia (1957-
1958), srilanka (1952-1958), India (1952) dan Jepang (1958-1959), sebagai
referensi penelitiannya di Asia. Setelah menganalisa distribusi quantile dari
pendapatan personal, ia mendukung secara penuh berlakunya hipotesa
“inverted U-curve)”.
Penelitian yang dilakukan oleh Ahluwalia (1976), yaitu dengan sampel 60
negara (40 negara berkembang, 14 negara maju, dan 6 negara sosialis) dan
menggunakan analisis regresi multivariabel untuk mengestimasi hubungan
lintas negara antara share income dari masing-masing group persentil yang
berbeda dengan variabel terpilih yang mencerminkan proses pembangunan
yang mungkin mempengaruhi distribusi pendapatan (pendapatan per kapita),
sebagian hasilnya mendukung hipotesa “inverted U-Curve”. Dalam
kesimpulannya, Ahluwalia menyatakan bahwa pada tingkat pembangunan
tertentu, suatu laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak selalu
mengakibatkan bertambah besarnya ketidakmerataan pendapatan dan terdapat
fakta yang dapat disesuaikan bahwa hubungan antara pendapatan per kapita
54
(dalam logaritma) dengan ketidakmerataan pendapatan (persentil 20%
tertinggi) mengikuti hipotesa “inverted U-Curve”.
Dengan menggunakan set data panel yang lebih baik yang kemudian menjadi
referensi standar bagi beberapa penelitian lainnya, yaitu melibatkan 682
observasi (108) negara dengan 65 persennya diperoleh dari sumber utama
(sekitar 50 persen dari lembaga nasional resmi statistik dan 15 persen dari
lembaga-lembaga internasional yang bereputasi baik) dan 35 persen dari
sumber utama yang telah dikutip oleh sumber kedua yang dapat dipercaya,
Deinenger dan Squire (1996) melakukan serangkaian test yang hasilnya
mengkonfirmasikan bahwa tidak ada hubungan yang sistematik antara
pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan pendapatan, ini berarti
menolak sama sekali hipotesa “inverted U-Curve” dari Kuznets.
Penelitian tersebut diatas dilakukan dengan menggunakan pendekatan data
panel internasional (bukan negara tunggal), sehingga apapun hasil
penelitiannya, baik yang mendukung penuh hipotesa “inverted U-curve”,
mendukung sebagian, maupun menolaknya sama sekali, harus ditanggapai
secara hati-hati. Hal ini terutama sekali karena data distribusi pendapatan
antar negara, betapapun comparabelnya, kemungkinan besar tetap tidak bisa
dibandingkan sebagai akibat adanya perbedaan konsep pendekatan
pendapatan/pengeluaran dalam penghitungan ketidakmerataan pendapatan,
perbedaan unit populasi, dan cakupan survei. Galbraith dan Kum,
memperlihatkan hal tersebut ketika membahas beragamnya hasil-hasil
55
penelitian yang menggunakan data penelitian Deininger dan Squire.
Deinenger dan Squire (1996), juga meringkaskan model yang biasanya
digunakan untuk menguji berlakunya hipotesa “inverted U-curve” dari
Kuznets. Model tersebut adalah:
ln I it = 1 + ln Yit + 2 (ln Yit) 2 + i + it
dimana :
I it = ukuran ketidakmerataan untuk negara ke-i tahun ke-t
Yit = ukuran pertumbuhan ekonomi untuk negara ke-i tahun ke-t
i = common/fixed/random effect untuk negara ke-i
it = disturbance term
Pengujian dilakukan terhadap 1 dan 2 . Kriteria bagi hasil pengujian yang
didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Jika 1 > 0 dan 2 < 0 (1 > 2), berlaku hipotesa “inverted U-
curve” dari Kuznets (Gambar 15 Panel A).
2. Jika 1 < 0 dan 2 < 0 (1 > 2), data yang diperoleh kemungkinan
berasal dari porsi bagian bawah “inverted U-curve)” (gambar 15
Panel B).
Gambar 15. Bentuk-bentuk “inverted U-curve” menurut nilai parameter
1 dan 2 (Deinenger dan Squire, 1996)
(A) (B)
Sumber : Deinenger dan Squire (1996)
56
Perkembangan terakhir dari penelitian-penelitian mengenai pembangunan
ekonomi, juga tidak lagi berfokus pada berlaku atau tidaknya hipotesa
“inverted U-curve” dari Kuznets, tapi lebih kepada pengaruh positif
pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan dengan
kemungkinan terjadi trade-off peningkatan ketidakmerataan pendapatan. Ini
berarti terdapat hubungan korelasi yang positif antara pertumbuhan ekonomi
dengan ketidakmerataan pendapatan. Beberapa penelitian tersebut dilakukan
dengan fokus negara tunggal, diantaranya oleh Ravallion dan Datt (1997),
Wodon (1999), dan Lin (2003).
Dengan menggunakan data time series (1951-1991), Ravallion dan Datt,
melakukan penelitian di India mengenai dampak pertumbuhan ekonomi
sektoral dan migrasi dari desa ke kota terhadap kemiskinan di daerah
perkotaan dan di daerah perdesaan. Sebagai pendekatan pendapatan per
kapita, digunakan jumlah produk domestik (GDP) riil per kapita. Sedangkan
indikator ketidakmerataan pendapatan menggunakan indeks Gini yang
dihitung berdasarkan konsumsi per kapita. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa selama periode tersebut, rata-rata pendapatan per kapita meningkat.
Sedangkan pada saat yang sama, untuk tingkat ketidakmerataan pendapatan
terjadi kecendrungan penurunan. Dalam penelitiannya mengenai kemiskinan
di daerah perdesaan di Republik Rakyat China (RRC), dengan menggunakan
data time series yang terdiri dari data pendapatan bersih per kapita, indeks
Gini, dan berbagai ukuran kemiskinan serta dengan mengasumsikan bahwa
distribusi pendapatan mengikuti pola distribusi log normal dan dengan
57
melakukan dekomposisi indeks pengurangan kemiskinan menurut pendapatan
per kapita dan ketidakmerataan pendapatan. Lin (2003) menemukan fakta
bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di RRC antara tahun 1985 dan
2001 selain mengurangi kemiskinan juga meningkatkan ketidakmerataan
yang pada akhirnya mengurangi efektivitas pengurangan kemiskinan.
Wodon (1999), dengan menggunakan spesifikasi model data panel dalam
bentuk log-log dan melibatkan 70 observasi secara nasional (30 observasi
untuk daerah perkotaan dan 40 untuk daerah perdesaan) selama periode tahun
1983-1996, juga melakukan penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi,
kemiskinan dan ketidakmerataan baik secara nasional maupun menurut
daerah perkotaan dan daerah perdesaan di Bangladesh. Untuk
menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan
ketidakmerataan, Wodon mengajukan model.
Log Gkt = + LogWkt + k + kt
Dimana:
Gkt : Indeks Gini untuk area ke k-periode ke t,
Wkt : rata-rata tingkat konsumsi (welfare ratio) untuk area ke k-periode
ke t,
I : fixed/random effect untuk area ke-k
kt : disturbance term
Berdasarkan hasil penelitiannya, Wodon (1999) menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan korelasi yang positif antara pertumbuhan ekonomi dengan
58
ketidakmerataan pendapatan baik secara nasional maupun di daerah
perkotaan dimana nilai estimasi parameternya untuk daerah perkotaan lebih
besar daripada secara nasional. Sedangkan untuk daerah perdesaan tidak
terdapat hubungan yang sistematik antara pertumbuhan ekonomi dengan
ketidak merataan pendapatan.
Telaah terhadap penelitian-penelitian seperti yang telah penulis uraikan
sebelumnya adalah berkaitan dengan pengaruh pertumbuhan ekonomi
terhadap ketidakmerataan pendapatan yang menjadi salah satu tujuan
penelitian ini. Bagaimana hasil-hasil penelitian mengenai pengaruh
ketidakmerataan pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi, berikut penulis
sampaikan uraian singkatnya.
Ketidakmerataan pendapatan yang telah diterima oleh berbagai kelompok
masyarakat (kondisi awal), dalam jangka panjang akan mengakibatkan
terjadinya ketimpangan dalam distribusi kekayaan. Ketimpangan ini
mendorong terjadinya perbedaan baik dalam kepemilikan aset dan tabungan
masyarakat (investasi) serta status sosial-politik, bahkan dapat mendorong
terjadinya ketidakstabilan politik. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan adanya pengaruh dari ketidakmerataan ini terhadap
pertumbuhan ekonomi, diantaranya seperti yang dilakukan oleh Alesina dan
Rodrik (1994). Alesina dan Perotti (1996), dan Chambers (2003).
59
Alesina dan Rodrik (1994), melakukan penelitian mengenai pengaruh dari
ketidakmerataan pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui
ekonomi politik, yaitu dengan menggunakan indeks Gini pendapatan dan
kepemilikan tanah sebagai dua indikator ketidakmerataan. Hasilnya
ketidakmerataan pendapatan dan kepemilikan telah mempunyai korelasi
negatif dengan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain ketidakmerataan
pendapatan dan kepemilikan tanah yang semakin membesar akan mengurangi
laju pertumbuhan ekonomi selanjutnya.
Alesian dan Perotti (1996), meneliti pengaruh ketidamerataan pendapatan
terhadap pertumbuhan ekonomi melalui ketidakstabilan politik dan investasi
yang menyimpulkan bahwa ketidakmerataan pendapatan meningkatkan
ketidakstabilan politik dan pada gilirannya menurunkan investasi
konsekuensinya, ketidakmerataan pendapatan dengan investasi mempunyai
hubungan korelasi yang negatif. Karena investasi adalah pendorong utama
dari pertumbuhan ekonomi, maka peningkatan ketidakmerataan pendapatan
akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi selanjutnya.
Chambers (2003), meneliti hubungan antara ketidakmerataan pendapatan,
investasi dan pengeluaran pemerintah dan pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi. Hasilnya adalah bahwa tanpa investasi dan atau
pengeluaran pemerintah yang cukup, ketidakmerataan pendapatan yang lebih
tinggi justru meningkatkan pertumbuhan ekonomi selanjutnya. Akan tetapi,
jika investasi dan atau pengeluaran pemerintah adalah hal yang substansial,
60
ketidakmerataan pendapatan yang lebih tinggi boleh jadi mengurangi
pertumbuhan ekonomi selanjutnya.
Laju Pertumbuhan Ekonomi merupakan suatu indikator ekonomi makro yang
menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Indikator ini biasanya
digunakan untuk menilai sampai seberapa jauh keberhasilan pembangunan
suatu daerah periode waktu tertentu. Dengan demikian indikator ini dapat
pula dipakai untuk menentukan arah kebijakan pembangunan yang akan
datang. Pertumbuhan yang positif menunjukkan adanya peningkatan
perekonomian, dan sebaliknya.
2.3 Kesejahteraan Masyarakat
Arsyad (2004 : 25-38) mengatakan bahwa dari aspek ekonomi dan sosial,
kesejahteraan masyarakat diantaranya dapat diukur dengan pendekatan
pendapatan per kapita (PDRB per kapita) per tahun dan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM).
2.3.1 Pendapatan per Kapita
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kesejahteraan mengandung arti
hal atau keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan, ketentraman. Sejahtera
itu sendiri mempunyai arti aman, sentosa, dan makmur, selamat (terlepas dari
segala macam gangguan).(Pusat Bahasa Depdiknas, 2005).
Menurut Adi (2003 : 41) kesejahteraan masyarakat atau sering disebut
kesejahteraan sosial adalah suatu kondisi (keadaan) yang digambarkan oleh
61
suatu tatanan (tata kehidupan) yang seimbang antara kehidupan jasmani dan
rohani atau antara aspek material maupun spiritual.
Arsyad (2004 : 25-38) mengatakan bahwa dari aspek ekonomi dan sosial,
kesejahteraan masyarakat diantaranya dapat diukur dengan pendekatan
pendapatan per kapita (PDRB per kapita) per tahun dan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Kelemahan dari pendekatan pendapatan per kapita adalah
diabaikannya distribusi pendapatan.
Berdasarkan ketentuan World Bank bahwa pendapatan penduduk untuk
memenuhi kebutuhan dasar kehidupan mereka adalah USD $ 1 atau setara
dengan Rp. 10.000 per hari (Sumardjo, 2006 : 25). Namun demikian,
pendapatan penduduk yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendapatan
per kapita yang diperoleh dari PDRB per kapita. Pilihan ini didasarkan pada
argumentasi bahwa data PDRB per kapita mudah diakses dan PDRB per
kapita dapat dijadikan indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan
masyarakat di daerah tersebut.
2.3.2 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang telah
dikembangkan oleh United Nations for Development Program (UNDP)
sejak tahun 1990 merupakan indeks komposit yang merupakan gabungan
dari tiga dimensi pokok kemampuan dasar (basic capabilities) penduduk
62
yang terdiri dari dimensi ekonomi, dimensi sosial dan dimensi kesehatan
(Siregar, 2005 : 3).
Dimensi ekonomi perwujudannya adalah kehidupan yang layak (decent
living) yang diukur dengan pendekatan indikator pengeluaran perkapita riil
dan United Nations for Development Program (UNDP) menggunakan
indikator Pendapatan Domestik Bruto (PDB) riil (adjusted real GDP per
capita). Dimensi sosial perwujudannya adalah pengetahuan (knowledge)
dengan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Indikator
angka melek huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca dan
menulis, sedangkan indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan
menggunakan dua variabel secara simultan yaitu tingkat/kelas yang
sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan.
United Nations for Development Program (UNDP) mengukur komponen
pendidikan dengan indikator partisipasi sekolah dasar, menengah dan tinggi
sebagai pengganti rata-rata lama sekolah yang secara global sulit diperoleh.
Sedangkan dimensi kesehatan perwujudannya yaitu umur panjang dan sehat
(longevity) dengan indikator angka harapan hidup saat lahir. Secara umum
komponen-komponen penyusun IPM dapat dijelaskan dalam Gambar 16.
63
Gambar 16. Komponen-Komponen Penyusun Indeks Pembangunan
Manusia
Sumber : Siregar, 2005.
IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana
dari indeks harapan hidup (e0), indeks pendidikan (angka melek huruf dan
rata-rata lama sekolah), dan indeks standar hidup layak.
Komponen IPM adalah usia hidup (longevity), pengetahuan (knowledge),
dan standar hidup layak (decent living). Usia hidup diukur dengan angka
harapan hidup atau e0 yang dihitung menggunakan metode tidak langsung
(metode Brass, varian Trussel) berdasarkan variabel rata-rata anak lahir
hidup dan rata-rata anak yang masih hidup.
Komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata
lama sekolah yang dihitung berdasarkan data Susenas Kor. Sebagai catatan,
DIMENSI : Umur Panjang
dan Sehat
Pengetahuan Kehidupan
yang Layak
INDIKATOR :
Angka Haparan
Hidup Saat Lahir
Angka
Melek
Huruf
Pengeluaran
Perkapita Rill
INDEKS
DIMENSI :
Indeks Harapan
Hidup Indeks
Pendidikan
Indeks
Pendapatan
Rataan
Lama
Sekolah
IPM
64
United Nations for Development Program (UNDP) dalam publikasi tahunan
Human Development Research (HDR) sejak 1995 menggunakan indikator
partisipasi sekolah dasar, menengah, dan tinggi sebagai pengganti rata-rata
lama sekolah karena sulitnya memperoleh data rata-rata lama sekolah secara
global.
Indikator angka melek huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca
dan menulis, sedangkan indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan
menggunakan dua variabel secara simultan, yaitu tingkat/kelas yang
sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan.
Komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi
riil yang telah disesuaikan. Sebagai catatan, United Nations for
Development Program (UNDP) menggunakan indikator PDB per kapita riil
yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagai ukuran
komponen tersebut karena tidak tersedia indikator lain yang lebih baik
untuk keperluan perbandingan antar negara.
Penghitungan indikator konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan
dilakukan melalui tahapan pekerjaan sebagai berikut :
1. Menghitung pengeluaran konsumsi per kapita dari Susenas Modul (=A) .
2. Mendeflasikan nilai A dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) ibukota
propinsi yang sesuai (=B).
65
3. Menghitung daya beli per unit/ purchasing power parity (=PPP/unit).
Metode penghitungan sama seperti metode yang digunakan International
Comparison Project (ICP) dalam menstandarkan nilai PDB suatu
negara.
4. Membagi nilai B dengan PPP/unit (=C).
5. Menyesuaikan nilai C dengan formula Atkinson sebagai upaya untuk
memperkirakan nilai marginal utility dari C.
Penghitungan purchasing power parity (PPP/unit) dilakukan dengan rumus :
E ( i, j )
j
PPP / unit = --------------------------------------
(p( 9, j ) . q ( i,,j )
J
dimana,
E( i, j ) : pengeluaran untuk komoditi j di propinsi ke-i
P( 9, j ) : harga komoditi j di Provinsi
q( i,,j ) : jumlah komoditi j (unit) yang dikonsumsi di propinsi ke-i
Unit kuantitas rumah dihitung berdasarkan indeks kualitas rumah yang
dibentuk dari tujuh komponen kualitas tempat tinggal yang diperoleh dari
Susenas Kor. Ketujuh komponen kualitas yang digunakan dalam
penghitungan indeks kualitas rumah diberi skor sebagai berikut :
66
Tabel 7.
Komponen Kualitas yang digunakan dalam Penghitungan Indeks
Kualitas Rumah
Komponen Kualitas Skor
A B A B
Lantai Keramik marmer atau granit Lainnya 1 0
Luas lantai per kapita > 10 m2 Lainnya 1 0
Dinding Tembok Lainnya 1 0
Atap Kayu/sirap, beton Lainnya 1 0
Fasilitas penerangan Listrik Lainnya 1 0
Fasilitas air minum Leding Lainnya 1 0
Jamban Milik sendiri Lainnya 1 0
Catatan : Skor awal untuk setiap rumah = 1
Sumber : Siregar, 2005
Indeks kualitas rumah merupakan penjumlahan dari skor yang dimiliki oleh
suatu rumah tinggal dan bernilai antara 1 sampai dengan 8. Kuantitas dari
rumah yang dikonsumsi oleh suatu rumah tangga adalah Indeks Kualitas
Rumah dibagi 8. Sebagai contoh, jika suatu rumah tangga menempati suatu
rumah tinggal yang mempunyai Indeks Kualitas Rumah = 6, maka kuantitas
rumah yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut adalah 6/8 atau 0,75
unit.
Perlu dicatat bahwa sewa rumah, bensin dan air minum merupakan komoditi
baru dalam penghitungan purchasing power parity (PPP/unit). Ketiga
komoditi tersebut tidak diperhitungkan dalam penghitungan PPP/unit
sebagaimana disajikan dalam publikasi BPS sebelumnya (1996). Karena
perbedaan ini maka IPM dalam publikasi tersebut tidak dapat dibandingkan
dengan IPM dalam publikasi ini.
67
Rumus Atkinson yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil
secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :
C (i)* = C(i) jika C(i) < Z
= Z + 2(C(i) – Z) (1/2)
jika Z < C(i) < 2Z
= Z + 2(Z) (1/2)
+ 3(C(i) – 2Z) (1/3)
jika 2Z < C(i) < 3Z
= Z + 2(Z) (1/2)
+ 3(Z) (1/3)
+4(C(i) – 3Z) (1/4)
jika 3Z < C(i) < 4Z
di mana,
CC(I)=
Konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/unit
(hasil tahapan 5) Z = Threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai
batas kecukupan yang dalam laporan ini nilai Z ditetapkan secara
arbiter sebesar Rp 547.500,- per kapita setahun, atau Rp 1.500,- per
kapita per hari.
Skala indeks IPM adalah antara 0 sampai 100. Indeks IPM sampai dengan
kurang dari 50 menunjukkan IPM rendah, indeks IPM antara 50 sampai
dengan 65 menggambarkan IPM menengah rendah, indeks IPM antara 65
sampai dengan 80 menggambarkan IPM menengah tinggi dan indeks IPM
di atas 80 menunjukkan IPM tinggi.
2.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang alokasi belanja publik untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pernah dilakukan oleh Cardiman (2006) dengan subjek
penelitiannya adalah masyarakat kota Bekasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Belanja aparatur dan belanja publik (APBD) Kota Bekasi berpengaruh
signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia kota Bekasi dan
pengaruhnya bersifat positif. Selain itu, Berutu (2009) juga melakukan
penelitian tentang pengaruh APBD terhadap pertumbuhan ekonomi di
Kabupaten Dairi. Hasil penelitiannya adalah pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan mempunyai pengaruh yang positif terhadap
68
pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Dairi. Nilai R2 sebesar 0,8434
menggambarkan bahwa variabel bebas (pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan) yang secara bersama-sama mampu memberikan penjelasan
terhadap variabel terikat (pertumbuhan ekonomi/PDRB) sebesar 84,34%
sedangkan sisanya sebesar 15,66% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
dimasukkan dalam model penelitian tersebut.
Kemudian Kusreni dan Suhab (2009) juga melakukan penelitian tentang
kebijaksanaan APBD dan kesejahteraan Masyarakat di Provinsi Sulawesi
Selatan. Hasil penelitian tersebut yaitu kapasitas fiskal berhubungan positif
dan berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat
Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan, alokasi belanja modal
berhubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan
masyarakat Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan, pembiayaan daerah
berhubungan negatif dan tidak signifikan berpengaruh terhadap kesejahteraan
masyarakat Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan, kesejahteraan
masyarakat Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan secara signifikan
ditentukan oleh 23,1% variabel-variabel kebijaksanaan APBD, selebihnya
76,9% ditentukan oleh variabel-variabel lainnya di luar model, dan kapasitas
fiskal berpengaruh lebih besar terhadap kesejahteraan masyarakat daripada
alokasi belanja modal Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
Sedangkan Widodo, Waridin, dan Maria (2011) yang melakukan penelitian
tentang analisis pengaruh pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan
kesehatan terhadap pengentasan kemiskinan melalui peningkatan
69
pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah mengungkapkan bahwa
alokasi pengeluaran pemerintah sektor publik tidak secara langsung
mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia ataupun kemiskinan, namun
secara bersama-sama (simultan) pengeluaran sektor publik dan Indeks
Pembangunan Manusia dapat mempengaruhi kemiskinan.