60
13 BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA A. KONFLIK 1. KONFLIKTUAL HUBUNGAN ISLAM KRISTEN: LINTAS SEJARAH 1.1.Konteks Timur Tengah - Eropa Hugh Goddard, 1 mengungkapkan bahwasannya hubungan Islam-Kristen dalam bingkai sejarah dunia menorehkan catatan yang panjang dan meyakitkan. Keduanya lahir dan berkembang di Timur Tengah, dan berangsur-angsur merebah dan menancapkan pengaruh ke berbagai benua: Kristen di Eropa dan Amerika, sementara Islam di Afrika dan Asia. Selama dua abad terakhir, sebagai akibat dari hubungan dagang, migrasi dan pertumbuhan berbagai kerajaan, kedua komunitas itu berkembang semakin mendunia. Perjumpaan Islam-Kristen cenderung menimbulkan konflik di Eropa terutama di negara-negara pecahan Yugoslavia. Asia-Afrika: Filipina, sudan, Nigeria diricuhkan oleh konflik yang melahirkan sikap saling curiga dan mengikis rasa percaya. Selain itu, warisan konflik mulai dari ekspansi Islam pada periode awal, perang salib, hinga imperialisme Eropa. Goddard, 2 memberikan pemahaman yang fundamental dalam melihat hubungan Islam-Kristen melalui penelitian sejarahnya, sebagaimana teruraikan dalam periodesasi, sebagai berikut: 1.1.1. Periode perkembangan Kekritenan dan awal perjumpaannya dengan Islam di Timur Tengah (Abad IV) Pada periode ini, perkembangan yang penting berkaitan dengan asal-usul gereja Kristen dan komunitas Islam di Timur Tengah yakni, sebagai akibat dari masuknya Kaisar Romawi, Konstantinus ke dalam agama Kristen. Kekristenan yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi agama resmi negara. Konversi 1 Hugh Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen: Titik Temu dan Titik Seteru Dua Komunitas Agama Terebesar di Dunia. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013), 17 2 Hugh Goddard , Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen… (2013),7-190

BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

13

BAB II

KONFLIK, PELA GANDONG,

KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA

A. KONFLIK

1. KONFLIKTUAL HUBUNGAN ISLAM KRISTEN: LINTAS SEJARAH

1.1.Konteks Timur Tengah - Eropa

Hugh Goddard,1 mengungkapkan bahwasannya hubungan Islam-Kristen

dalam bingkai sejarah dunia menorehkan catatan yang panjang dan meyakitkan.

Keduanya lahir dan berkembang di Timur Tengah, dan berangsur-angsur merebah

dan menancapkan pengaruh ke berbagai benua: Kristen di Eropa dan Amerika,

sementara Islam di Afrika dan Asia. Selama dua abad terakhir, sebagai akibat dari

hubungan dagang, migrasi dan pertumbuhan berbagai kerajaan, kedua komunitas

itu berkembang semakin mendunia. Perjumpaan Islam-Kristen cenderung

menimbulkan konflik di Eropa terutama di negara-negara pecahan Yugoslavia.

Asia-Afrika: Filipina, sudan, Nigeria diricuhkan oleh konflik yang melahirkan

sikap saling curiga dan mengikis rasa percaya. Selain itu, warisan konflik mulai

dari ekspansi Islam pada periode awal, perang salib, hinga imperialisme Eropa.

Goddard,2 memberikan pemahaman yang fundamental dalam melihat

hubungan Islam-Kristen melalui penelitian sejarahnya, sebagaimana teruraikan

dalam periodesasi, sebagai berikut:

1.1.1. Periode perkembangan Kekritenan dan awal perjumpaannya dengan

Islam di Timur Tengah (Abad IV)

Pada periode ini, perkembangan yang penting berkaitan dengan asal-usul

gereja Kristen dan komunitas Islam di Timur Tengah yakni, sebagai akibat dari

masuknya Kaisar Romawi, Konstantinus ke dalam agama Kristen. Kekristenan

yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa

pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi agama resmi negara. Konversi

1 Hugh Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen: Titik Temu dan Titik Seteru Dua

Komunitas Agama Terebesar di Dunia. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013), 17 2 Hugh Goddard , Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen… (2013),7-190

Page 2: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

14

agama konstantinus ke agama Kristen justru melahirkan perpecahan di tubuh

gereja yang semakin lama semakin berkembang dan memunculkan berbagai

komunitas Kristen. Islam sendiri muncul pada abad ketujuh dalam konteks

tercabik-cabiknya kekristenan oleh konflik internal dengan alasan teologis3

maupun geografis. Kondisi ini berperan penting dalam pembentukan peta politik

dan sosial di kawasan Timur Tengah yang kemudian menjadi panggung bagi

kelahiran komunitas Islam.4

1.1.2. Periode setelah wafatnya Muhamad (Abad VII).

Pada periode ini, Negara Islam berkembang dengan sangat pesat. Komunitas

Islam berkembang menjadi kekuatan dominan di Arab dan merambat sepuluh

tahun berikutnya. Ketika berhadapan dengan komunitas Kristen, kaum Muslim

mengambil dua sikap utama: keras atau konfrontatif dan lemah lembut atau

toleran. Dengan dasar ajaran agama (alquran), mereka lebih banyak menerapkan

pendekatan militeris yang sangat keras. Pemeluk agamanya diminta untuk

menerima Islam atau hengkam dari tanah Arab. Akan tetapi, sesekali bersikap

toleran, ketika menerapkan beberapa syarat dan batasan terhadap kaum Kristen,

memberikan jaminan perlindungan atas jiwa dan harta mereka, serta memberikan

kebebasan beribadah. Sikap yang negositif, juga diperlihatkan penguasa muslim

terhadap kaum kristen, seperti kepada Kerajaan Bizantium, meskipun harus

menyerahkan sebagian wilayahnya, tetapi masih memiliki kedudukan yang kuat.5

3 Sama halnya dengan agama-agama lain: Yahudi, agama kristen memandang keberadaan agama

lain dalam sikap eksklusivisme atau antagonisme. Sebaliknya, pandangan Islam terhadap agama

lain: Kristen-Yahudi berdasarkan penafsiran teks Alquran, sebagai orang “kafir“. Islam pun

menolak pengakuan “Ketuhanan Yesus“. Paradigma eklusivis dan biblisentris inilah yang

kemudian memanifestasikan kebencian dan permusuhan. Olehnya, persoalan dalam sejarah

hubungan Islam-Kristen yakni adanya penerapan “Standar Ganda“. Penjelasan mengenai ini dapat

dilihat dalam Goddard, Hugh. Menepis Standar Ganda: Membangun Saling PengertianMuslim-

Krsiten. (Terj). (Yogjakarta: Qalam). 2000. 4 Di Jazirah Arab (pusat Islam), terdapat dua kerajaan adidaya (Bizantium dan Persia), beberapa

suku Arab yang tinggal berbatasan dengan wilayah Bizantium telah menerima agama Kristen sejak

awal abad keempat dan pada abad ke enam kekristenan mendapat peranan politik yang dominan

karena salah satu pimpinan suku arab (Kabilah), Harits ibn Jabalah, diangkat oleh Bizantium

sebagai pemimpin suku. Penyebaran kekristenan sekaligus berarti perluasan kebijakan politik

kerajaan Bizantium (Kristen). Bdg. Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen…,2013,39-43 5 Hugd. Goddard. Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen… (2013),90-102

Page 3: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

15

Jhon. L. Esposito,6 juga menekankan hal yang senada, berkaitan dengan

keadaan dunia timur tengah di abad ketujuh, masa lahirnya Islam adalah dunia

yang keras, di mana ada peperangan antar suku. Timur tengah terbagi dua,

diantara dua kekuasaan besar yang saat itu saling berperang yakni kekaisaran

Bizantium dan Persia,yang saling bersaing satu sama lain untuk mendominasi

dunia.

Menurut Crone dan Cook,7 serangan-serangan awal cenderung menampakan

fakta sikap permusuhan terhadap agama Kristen. Seperti yang dialami oleh

pasukan Bizantium, ketika menolak anjuran pasukan Islam untuk beralih agama,

mengingkari Kristus maka mereka semua dibunuh. Contoh sikap antipati lainnya

yakni, pembakaran Gereja, penghancuran Biara, hujatan terhadap Kristus dan

Gereja. Sikap keras negara Muslim terhadap komunitas Kristen masih nampak

terhadap para penduduk di kota-kota taklukan (Toledo, Kordoba), mereka

diberikan pilihan untuk menyerah -dengan jaminan perlindungan nyawa,

kekayaan, memberi kebebasan- atau diperangi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hubungan Islam-Kristen pada

periode pasca wafatnya Nabi Muhamad, dalam konteks bangkitnya negara Islam,

Umat Muslim mengambil sikap keras (memaksa) dan sekaligus toleran (bersyarat)

terhadap orang Kristen yang pada saat itu merupakan kelompok minoritas di

Arab.

1.1.3. Periode ekspansi Islam (Abad pertengahan).

Periode Abad pertengahan menandai tentang bagaimana kaum Islam memulai

perluasan ekspansinya sampai ke Eropa. Berawal dengan penaklukan Afrika

kemudian ke Spanyol dan Prancis Selatan. Dalam konteks masa spanyol,

hubungan Islam-Kristen semakin pelik ditandai dengan berdirinya kekhalifahan

Bani Umayyah, sehingga agenda Harun al-Rasyhid (khaliah Abbasyiyah)

membina hubungan baik dengan bangsa Frangka untuk mendapatkan dukungan

untuk melawan Bani Umayyah dan menciptakan perlawanan antar sesama Bangsa

Muslim. Raja Karolus Agung (penguasa Roma) mengirimkan pasukan ke spanyol

6 Jhon.L. Esposito. Unholy war: Teror Atas Nama Islam. (Yogyakarta: IkonTeralitera, 2003),33

7 P.Crone dan M.Cook, Hagarisme:The Making of the Islamic World. (Cambridge:University

Press, 1977),120

Page 4: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

16

untuk membantu Harun. Namun, ketika kembali ke Prancis, pasukan yang

membantu itu diserang dari belakang dan dibantai oleh kaum Muslim.

Rangkaian peristiwa konfliktual dalam sejarah perjumpaan Islam-Kristen di

Spanyol menimbulkan tanggapan khas Barat yang cenderung negatif terhadap

Islam. Pandangan tersebut dilatari oleh keadaan yang menyakitkan -seperti

larangan beribadah di muka umum, terisolasi dari ilmu pengetahuan agama

mapun sekuler- yang dialami orang Kristen dalam penguasaan kekhalifahan Bani

Umayyah di Spanyol. 8

Pandangan itu akhirnya memicu bangkitnya sebuah gerakan kekristenan,

yakni gerakan kemartiran Spanyol“ yang menganggap Islam sebagai ancaman

bagi kekristenan, sebagai tanda kemunculan “antikritus“ (beberapa Pendeta,

menggunakan bagian-bagian Alkitab seperti: Daniel, Injil, dan Wahyu untuk

melegitimasi pandangan ini), karenanya memerangi Islam berarti memerangi

Iblis, atau mati karena mempertahankan iman adalah mati bagi Kristus, mati

sebagai seorang Martir. 9

Jadi, point penting dalam melihat hubungan Islam-Kristen pada periodesasi

ini yakni bahwa, pandangan negatif umat Kristen Barat terhadap kaum Islam

dilatar belakangi oleh serangkaian sikap dan perilaku kaum Islam yang keras

terhadap Kristen (Barat). Sikap kaum Islam terhadap Kristen inilah yang menjadi

pemicu lahirnya gerakan perlawanan dan permusuhan dengan motif religius.

1.1.4. Periode perang Salib (Abad XI).

Perang Salib (1095-1272) merupakan perang untuk memperebutkan

Yerusalem. Perang ini kemudian meluas menjadi konflik antar agama paling

dasyat sepanjang sejarah. Perang salib diawali dengan munculnya gerakan Kristen

Militan yang juga bagian dari pasukan salib. Pemicu gerakan ini sendiri adalah

pemahaman buruk di masa Spanyol yang kemudian melekat dan mempengaruhi

pikiran kaum Kristen Barat. Pecahnya Perang Salib (1095) dilatarbelakangi

8 R.W.Souther, Westren Views of Islam in the Middle Ages, (Amerika:Harvard University

Press,1992),19-21 9 Hugh. Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen… (2013),153-163

Page 5: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

17

dengan motif religius, dalam artian kerinduan untuk merebut tanah suci dari kaum

“kafir“ muslim dan juga motif duniawi yakni mendapatkan harta dan tanah.10

Pada peristiwa penaklukan Yerusalem (1099), terdapat ribuan anggota

pasukan dan bahkan seluruh penduduk Muslim dan orang Yahudi yang melarikan

di ke sinagoge kemudian dibantai habis, dan hanya dalam waktu dua hari, sekitar

40.000 umat Muslim dibantai habis oleh pasukan Salib. Salah satu keanehan

terjadi pada peristiwa tersebut adalah bahwa ketika orang Kristen khususnya para

pendeta yang tetap memilih bertahan ketika terjadi pembantaian itu diusir oleh

pasukan Salib. Fenomena ini mempertegaskan tujuan mereka bahwa Yerusalem

bukan hanya kota Kristen, melainkan kota Kristen Latin/Barat. Hal ini

mengindikasikan bahwa, seruan Perang Salib oleh Paus Ubanus adalah demi

alasan politik dari pada religius. Olehnya, masing-masing komunitas: Islam

maupun Kristen dapat menciptakan spirit dan komitmennya untuk membela

keyakinannya dan berjuang melawan orang “kafir“.11

Senada dengan ini, bagi Amstrong12

, perang salib menjadi gambaran konflik,

prasangka dan tindak kekerasan antara dunia Islam dan Barat. Goddard13

melanjutkan bahwa: warisan perang salib dapat dilihat dalam enam aspek, antara

lain: kecurigaan abadi terhadap kalangan Kristen Barat; mendorong ekspansi

Islam; sentimen bahwa Yeruslem merupakan tempat suci Ketiga bagi Islam;

kecurigaan terhadap kaum Kristen (“dicurigai sebagai pasukan salib berikutnya“)

yang hidup di bawah pemerintahan Islam; meningkatkan perkembangan antara

Islam dan Eropa Barat.

Berdasarkan paparan para hali dapat disimpulkan bahwa hubungan Islam-

Kristen secara menglobal telah menampakan keadaan yang sarat dengan

pertentangan. Isu global yang sentral dalam hubungan kedua agama besar di dunia

ini tidak lain adalah tentang pandangan “standar ganda“ (Goddard) yang dianut

kedua agama ini yang memunculkan prasangka teologis dan memperkeruh

hubungan kedua agama ini.

10

Hugh. Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen… (2013),164 11

John. L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau realita? (Terj). (Bandung: Mizan. 1994),50-51 12

Karen Amstrong. Holly War. (Londong: Maximilian. 1998), xiv. 13

Hugh. Goddard. Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen. . . (2013),164-180

Page 6: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

18

Selanjutnya, Konfliktual interaksi Islam dengan Kekristenan Barat, yang

nampak melalui konflik, kekerasan, ditaklukkan dan menaklukan antara

keduanya, (mis, di Timur Tengah, spanyol hingga perang salib, ), sebagaimana

yang diungkapkan Esposito:14

...Baik orang Muslim mapun Nasarani melihat

yang lainnya sebagai suatu ketetapan yang untuk ditaklukan, diajak masuk

agama, atau membasmi yang lainnya dan dengan demikian sebagai musuh

Tuhan“... menimbulkan dampak yang membekas dalam imajinasi kedua

komunitas. Orang Barat memandang Islam sebagai agama pedang, agama jihad.

Sebaliknya, bagi kaum Muslim, Nasarani adalah agama perang salib dan ambisi

hegemoni. Dalam konteks itulah berkembang kecurigaan-kecurigaan: stereotip

yang melatari pandangan Islam di seluruh dunia tentang kekristen barat dan

berimbas sampai ke komunitas kristen di seluruh dunia.

1.2.Konteks Indonesia

Jan S. Aritonang15

, meneliti perjumpaan Islam-Kristen di Indonesia secara

khusus pada tataran konseptual, dan lebih difokuskan pada perjumpaan bidang

politik di aras Nasional baik dalam konteks zaman pemerintahan penjajahan

maupun pada zaman Indonesia Merdeka. Pada perjumpaan itu, bisa terjadi

persesuaian atau terlihat akrab, tetapi sebaliknya bisa juga terjadi konflik.

Pembabakan perjumpaan Islam-Kristen didasarkan pada periode pemerintahan di

negeri ini, yakni antara lain:

1.2.1. Masa Portugis dan VOC (1511-1799).

Pada masa ini, Portugis (juga spanyol) dan Belanda yang dikenal dengan

negara Kristen Katolik dan protestan hendak meluaskan jaringan perdagangan dan

penyebaran agama mereka. Pada kenyataannya, Maluku sebagai salah satu

kawasan Indonesia Timur telah dihuni oleh Agama Islam yang tersebar oleh

pedagang Islam Timur Tengah melalui kerajaan-kerajaan lokal di Maluku Utara:

Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo, serta menjelma menjadi agama kerajaan.

Islam menguasai perdagangan. Para sultan-sultan Tarnate tercatat sebagai

14

Jhon.L. Esposito. Unholy war. . . (2003),91 15

Jan.S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia. (Jakarta:BPK. G.

Mulia. 2006),1.

Page 7: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

19

penakluk wilayah dan penyebar agama Islam. Dalam rangka perluasan jaringan

kekuasaannya ia menuntut pengakuan bahwa kerajaan-kerajaan itu mengakui

kesultanan Tarnate dan menuntut penduduknya menganut agama Islam. Bertolak

dari kepentingan perdagangan inilah maka tak jarang kerajaan-kerajaan ini

beraliansi dengan Portugis bahkan juga Belanda yang menjanjikan keuntungan

dan kekayaan yang lebih besar.16

Salah satu peristiwa pemicu konflik Islam-Kristen yang berkepanjangan pada

masa portugis yang terjadi sampai kedatangan VOC adalah kasus pembunuhan

Sultan Tarnate, seperti dicatat oleh Radjawane:17

Sultan Hairun berkoalisi dengan

raja-raja di Maluku berencana untuk membasmi semua orang Kristen dan orang-

orang asing terutama Portugis dan menanamkan Islam di Pulau Ambon. Atas

keikut sertaan Hitu (1558) mereka melakukan pemberontakan dan mengusir orang

Portugis. Banyak kampung-kapung pesisir di pulau Ambon yang berhasil

diislamkan dengan kekerasan, dan terutama sekali hampir semua negeri di Hitu

yang baru saja di Kristenkan oleh Xaverius dijadikan negeri-negeri Islam.

Bermula dari peristiwa tersebut, banyak juga pertikaian dan perang antara

masyarakat Islam-Kristen terjadi di Pulau Ambon, yaitu setelah penyerbuan

tersebut ada sejumlah pejabat Portugis yang mendukung Sultan Hairun dalam

menghadapi lawannya, yakni kerajaan-kerajaan di Maluku untuk memperoleh

keuntungan bisnis yang besar bagi bisnis pribadi.18

Oleh karena itu, penyebab

pertikaian yang melibatkan Islam-Kristen di Ambon bukan semata-mata karena

masalah agama melainkan juga masalah sosial-politik.19

Kedatangan belanda pada

umumnya tak lepas dari pertarungan di bidang politik, persaingan dagang dan

ekonomi, untuk kepentingan ini berkoalisi dengan Islam untuk menguasai

Portugis.

16

Aritonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia… (2006),13-22 17

A.N. Rajawane, “Islam di Ambon dan Haruku”, dalam Panggilan Kita di Indonesia Dewasa

ini, Editor:W. B. Sidjabat(Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1964),78 18

M.P.M. Muskens (red), Sejarah Gereja Katolik di Indonesia, jilid 1. (Jakarta: Dokpen

MAWI,1974), 223 19

Th. Van Den End. Ragi Carita1. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cetakan ke-6,1996),61

Page 8: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

20

1.2.2. Masa Hindia Belanda (1800-1942).

Pada masa ini, eksistensi keberagamaan Islam-Kristen sama-sama mengalami

perkembangan yang cukup pesat. Kondisi ini didorong oleh semangat kebebasan

beragama yang dirancang H-B (PP 1818 dan 1854) dan buah dari kebangunan

semangat penginjilan yang terjadi di Eropa (Kristen). Akan tetapi, kenyataanya

terdapat campur tangan pemerintah H-B melalui kebijakan yang tidak netral, yang

menguntungkan pihak Kristen dan merugikan serta mendiskriminasikan pihak

Islam.20

Realita ini sering kali menjadi pemicu ketegangan hubungan di antara

umat Kristen dan Islam. Pemerintah H-B juga membatasi dan melarang

penginjilan (mengawasi gerak-gerik para ulama yang dicurigai sebagai fanatik

pemberontak) karena dianggap sebagai ancaman dan demi ketertiban dan

keamanan.21

Khusus di Pulau Jawa, Sumartana,22

mengungkapkan bahwa hubungan di

antara masyarakat pribumi Kristen dan Islam masih sangat terbatas dan terutama

di daerah pedalaman karena sejak awalnya agama Kristen sering dicap sebagai

“Agama Belanda“ atau “Stigma soaial“ sebagai agama kolonial23

. Pelabelan

negatif ini semakin nampak ketika ada dari orang Kristen Jawa itu berlagak

seperti orang Belanda dan ikut-ikutan mencap kaum Islam sebagai “orang kafir“.

Kendati demikian, hubungan keduanya semakin lebih baik ketika tokoh-tokoh

penginjil memperlihatkan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, sehingga

perjumpaan itu bukan lagi terutama berlangsung diantara orang Eropa yang

Kristen dan orang Arab yang Muslim, melainkan di antara sesama orang jawa

yang Kristen dan Islam.

Kebijakan pemerintah H-B di kala ini melahirkan gerakan-gerakan

keagamaan baik di pihak Kristen maupun islam, seperti Pan Islamisme (yang

muncul dari Turki abad ke-18, pada masa dinasi kesultanan Usami) yang hendak

20

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985),19 21

Aritonang. Sejarah Perjumpaan…(2006),73-96 22

Th. Sumartana, Mission At The Groossroads-Indigenous Church, European Missionaries,

Islamic Assocoation Socio-Religious Change in Java1812-1936. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1997),22-27. 23

“Stigma Sosial” agama Kolonial oleh umat Islam terhadap Kekristenan berkaitan dengan

hubungan sejarah Kristen dengan sejarah kolonialisme. Dalam artian bahwa masuknya kekristenan

di Indonesia bersamaan dengan ekspansi bangsa-bangsa barat (Portugis dan Belanda) berdasarkan

kepentingan ekonomi dan perdagangan. Stigma Sosial bertransformasi menjadi Stereotip sosial

pada masa Orde Baru. Lht. Julianus Mojau, Mediakan atau Merangkul: Pergulatan Teologis

Protestan dengan Islam Politik di Indonesia. (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2012),1-4

Page 9: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

21

menegakan kembali kekuasaan pada kalifah sebagai penguasa di bidang politik

dan agama. Di mata H-B, Pan Islamisme ditenggarai membangkitkan semangat

melawan penjajah. Gagasan Pan Islamisme kembali dihidupkan di Indonesia pada

masa selanjutnya melalui beberapa partai politik (Era Reformasi 1998). Selain itu,

terdapat juga gerakan dan partai politik Islam yang muncul: Sarekat Islam,

Muhammadiyah; dan Kristen: Perserikatan Kaum Christen, Partai Kaum Masehi

Indonesia.24

1.2.3. Masa Jepang dan Revolusi (1942-1949).

Pada masa ini, Jepang berusaha menjalin hubungan yang baik dengan semua

pihak di Indonesia sebagai jalan untuk mendukung tujuan menopang perang dan

mendominasi ekonomi jangka panjang di Asia Timur dan Tengah. Propaganda

pro Islam dilakukan untuk menarik para pemimpin Islam.25

Melalui politik

mobilisasinya, Jepang merangkul kekuatan Islam Indonesia dan penghubung

antara mereka dengan masyarakat Jawa. Pemerintah Jepang berusaha menghapus

pengaruh-pengaruh Barat, khususnya Belanda dengan mendorong penyebaran

konsep Indonesia kepada rakyat. Pada bulan Maret 1942, Jepang membubarkan

partai politik yang ada, namun khusus buat Islam organisasi kemasyarakatan

seperti NU dan Muhamadiah dibiarkan tetap hidup.26

Sementara itu, terhadap Zending dan kaum Kristen dituduh sebagai kaki

tangan Belanda, mereka dianiaya, ditangkap bahkan dibunuh. Seperti dikatakan

Kahin:27

“...dalam waktu enam bulan sejak kedatangannya, Jepang memenjarakan

semua penduduk Belanda, sebagian besar orang Indo, dan sejumlah orang Kristen

Indonesia yang dicurigai Pro Belanda, ke dalam Kamp Konsentrasi.

Selain itu, kependudukan Jepang membuka ruang bagi proses berdirinya atau

kemerdekaan bangsa Indonesia. Proses perumusan dasar negara dan UUD

didapati ternyata sarat dengan muatan dan kepentingan agama tertentu, bermula

dengan berdebatan antara tokoh Islam dan nasional-sekuler tentang bentuk

24

Aritonang,, Sejarah Perjumpaan... (2006),122-132 25

Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Terj), (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985),133-

134 26

Aritonang. Sejarah Perjumpaan. . . ,. (2006), 215 27

George Mc Turnan. Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (terj), (Solo: Press,

1995),131

Page 10: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

22

Negara. Pertanyaan pokok perdebatan para tokoh BPUPKI adalah: haruskah dasar

resmi untuk negara Indonesia terbentuk dari asas-asas Islam, dinyatakan dengan

peristilahan Islam, ataukah Indonesia didasarkan kepada Pancasila dan menjadi

suatu contoh dari negara yang rakyatnya menganut beranekaragam agama, yang

di dalamnya para pengikut dari berbagai agama hidup dan bekerjasama dengan

saling menghormati?28

Pembahasan terhadap pertanyaan yang menjadi polimek

tersebut kemudian digodok dalam kelompok kecil: “Tim 9“, dijadikan dokumen

politik yang dinamai: “Piagam Jakarta“.

Alwi Hihab29

, melihat persoalan Piagam Jakarta yang kontroversial di

kalangan pemimpin Indonesia pada saat menjelang kemerdekaan itu, mencirikan

ketegangan pertama dalam hubungan Kristen-Muslim di Indonesia selama era

pasca penjajahan. Persoalan tersebut hampir merusak kesatuan dan persatuan

negeri Indonesia.

1.2.4. Masa Orde Lama (1950-1965).

Pada masa ini,kedaulatan penuh yang telah dimiliki oleh Indonesia sebagai

suatu negara pada kurun waktu ini justru memunculkan gejolak internal dan

ancaman dari berbagai gerakan separatis yang sebagian bermuatan atau berlabel

agama: Darul Islam/Tentara Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia (DI/TII/NII).

Kalangan islam “menagih janji“ perwujudan negara (berdasarkan) Islam.

Terutama mereka yang bercorak modernis terus berlanjut. Keadaan ini ikut

mempengaruhi hubungan dan perjumpaan Kristen dan Islam, karena mereka

bersikap paling keras terhadap kalangan Kristen.30

Islam menjadi Ideologi politik yang diperjuangkan kaumnya dalam konteks

perpolitikan dalam pemerintahan Soekarno. Pemilu 1955 merupakan ajang

perjuangan mereka yang pertama. Akan tetapi toh gagal mencapai kemenangan

mayoritas dalam pemilu tersebut. Selain masalah Dasar Negara, Kebebasan

Beragama pun menjadi perdebatan-perdebatan sengit diantara kalangan Kristen

dan Islam. Misalnya, Masyumi yang dengan tegas mengusulkan agar agama resmi

28

B.J. Bolan. Pergumulan Islam di Indonesia (Terj). (Jakarta: Grafiti Pers, 1985),25-26 29

Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhhamadiyah terhadap Penetrasi Misi

Kristen di Indonesia (Terj). (Bandung: Mizan, 1998),167 30

Aritonang. Sejarah Perjumpaan… (2006),277

Page 11: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

23

negara adalah agama Islam -atas alasan posisi mayoritas kewarganegaraan yang

didominasi Islam- ditentang Parkindo karena ketika Islam dijadikan dasar negara

berarti hukum Islam akan menjadi superior dan ini bertentangan dengan asas

kedudukan yang sama (asas demokrasi). Di dalam negara Islam, golongan non

muslim (zimmi) diperlakukan sebagai golongan inferior.31

1.2.5. Masa Orde Baru (1966-1998).

Pada masa ini, ketegangan antara umat Islam dan Kristen merebak seiring

tudingan umat Islam bahwa umat Kristen lebih diuntungkan oleh pemerintah32

dan adanya semangat kristenisasi yang ditandai dengan bertambahnya jumlah

umat Kristen secara signifikan. Penginjilan kristen dianggap tidak sehat, dengan

masifnya pembangunan Gedung Gereja di berbagai daerah. Contohnya di Aceh.

Kondisi ini memunculkan konflik langsung, seperti yang terjadi di Makasar pada

tanggal 1 oktober 1967, ketika sejumlah pemuda Islam di Makasar merusak

sejumlah gedung Gereja, dan kantor organisasi Kristen, termasuk melukai

beberapa pemuda Kristen. Peristiwa ini dinilai oleh para tokoh Islam, Natzir:33

. . .

sebagai akibat dari kegiatan mengkristenkan orang Islam. Kekuasaan mutlak

dalam materi dan keuangan pihak Kristen yang digunakan untuk mengkristenkan

umat Islam melukai hati umat Muslim.

Ada juga konflik antar umat Kristen dan Islam yang berkaitan dengan

pembangunan Gedung Gereja -yang dilakukan di daerah-daerah yang dikenal

sebagai basis Islam ini- yang membuat sebagian umat Islam merasa terganggu,

bahkan terancam dan yang menuntut pemerintah menerbitkan SKB no. 1/1969.

Keputusan pemerintah ini segera ditanggapi DGI dengan memorandum yang

mencatat bahwa:34

adanya pertentangan di dalam SKB tersebut. Di satu pihak, hak

kebesan beragama dan mengekspresikan kehidupan beragama dijamin, namun

dipihak lain karena tidak ada petunjuk yang jelas tentang implementasi dari

31

Daniel. Sopamena, Perjumpaan Islam dan Kristen pada Pentas Politik di Indonesia 1945-

1985. (Jakarta: STT Jakarta, 1996). (Tesis),133-134 32

Salah satu penulis Muslim. Husein. Mengungkapkan kedekatan hubungan antara penguasa:

Soeharto dengan pengusaha tionghoa (sering diasosiakan dengan orang Kristen) membuat Islam

sangat marah, iri dan curiga dengan orang Kristen. 33

M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia,(Jakarta: Media Da’wah,1988),208-210. 34

Teks lengkap memorandum tsb. Dimuat dalam Sairin, Himpunan Peraturan di Bidang

Keagamaan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994),443-44.

Page 12: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

24

peraturan perijinan tentang pendirian rumah ibadah tersebut sehingga kebebasan

mengekspresikan kehidupan beragama menjadi tidak terjamin.

Selanjutnya, pada masa akhir era Orde Baru, terdapat suatu perkembangan

penting yaitu pembentukan ICMI yang memperlihatkan kebangkitan kalangan

Islam dan kedekatan mereka dengan kekuasaan (pemerintah) dan membuat

kalangan Kristen merasa semakin terdesak dan terpinggir.35

ICMI kemudian

menjadi wadah politik bagi tokoh intelektual Islam untuk mencapai kekuasaan.

ICMI dikendalikan oleh penguasa dan peran sentral Habibie. Keberadaan ICMI

oleh Gus Dur36

dipandang sebagai organisasi yang cenderung sektarian dan

eksklusif. Secara tajam, Gus Dur menilai bahwa dengan wataknya yang sektarian

itu, beberapa tokoh ICMI berdiri dibalik berbagai peristiwa kerusuhan dan

pengrusakan rumah ibadah sejak tahun 1996:37

Situbondo, Sidotopo,

Rengasdengklok, Banjarmasin.

1.2.6. Masa Reformasi (1998-2003).

Pada Masa ini, Indonesia mengalami beberapa gejolak politik dalam konteks

pergantian rezim orde baru; peristiwa-peristiwa internasional 2001 di New York;

ledakan bom bali 2002; serangan AS bersama sekutu atas Irak 2003 tak diduga

berdampak negatif nampak pada buruknya hubungan di antara penganut agama

Islam-Kristen. Belum lagi serangkaian kerusuhan, pertikaian dan bencana yang

bersimpah darah, berskala besar memunculkan permasalahan yang isu pokoknya

sudah sebenarnya sangat klasik, yaitu upaya kalangan Islam tertentu untuk

memberlakukan Syariat Islam yang mengarah pada perwujudan negara Islam.

Hancurnya hubungan kedua agama ini dilatari oleh gejolak-gejolak sosial-

ekonomi-politis.38

Gerakan reformasi muncul dalam pemilu, rangkaian krisis dan protes sejak

tahun 1997. Sejak tahun 1997 pula badai krisis perekonomian berkepanjangan

35

Aritonang. Sejarah Perjumpaan… (2006), 453 36

Gus Dur menilai bahwa yang berwatak sectarian itu sebenarnya bukan ICMI-nya, melainkan

sejumlah pengurus dan anggota yang menduduki jabatan strategis di ICMI mapupun di birokrasi.

Dalam Abdul. Aziz. Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. (Jakarta: Fema Insani

Press. 1996), 94. 37

K.A.Van Dijk, A Country in Despair. Indonesia between 1997-2000. (Leiden. KITLV.

2001),18 38

Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia… (2006),514

Page 13: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

25

menerpa Indonesia, disusul krisis politik, sosial, budaya, moral pada pemerintahan

orde baru ini. Serangkaian aksi protes, demonstrasi dari mahasiswa mengkritisi

pemerintah soeharto yang dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan-

persoalan tersebut, maka 1998 soeharto lengser pada tahun 1998. Tercatat dalam

peristiwa kerusuhan itu, terdapat luka fisik maupun batin, penuh keberengisan dan

kebiadaban dilakukan oleh segerombolan orang yang meneriakan yel-yel

keagamaan sambil melecehkan agama lain, kasus pemerkosaan terhadap

perempuan china yang dilakukan oleh umat muslim39

dan pengrusakan dan

pembakaran beberapa fasilitas pemerintah dan juga gedung Gereja.40

Selanjutnya, terjadi beberapa peristiwa dan bencana lanjutan yang melibatkan

penganut kedua agama mewarnai masa transisi pergantian kepemimpinan negara.

Peristiwa kerusuhan sering kali dipicu oleh peristiwa yang sepele dan tidak punya

hubungan dengan masalah agama, tetapi ketika kerusuhan kian berkobar, muatan

keagamaanya semakin meningkat dan menjadi tanda tanya tentang siapa dan

apakah yang menjadi faktor pemicu atau dalang dari peristiwa itu. Adakalanya

peristiwa kerusuhan diakibatkan karena provokasi dari kalangan tertentu di luar

daerah konflik (Jakarta). Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain: Ketapang,

Posso, Ambon, kalimantan barat dan tenggah, peledakan Bom di malam Natal,

Bom Bali 12 oktober 2002.41

Peristiwa Ketapang Jakarta dan Kupang 1998, misalnya yang dipicu oleh

perkelahian antar pribadi, dan para preman yang sebagian besar dari suku

Ambon42

yang menjaga lokasi tempat hiburan bulu tangkas alias judi di jalan. Z.

Arifin. Penyebabnya adalah perebutan tempat parkir, dan ketersinggungan Islam

yang terganggu dengan keramaian di lokasi itu. Terjadi pengeroyokan terhadap

pemuda kampung yang penyelesaiannya berujung pada bentrok dengan para

preman itu. Di keesokan harinya tepat pada hari raya Isra’Mi’raj gerembolan

39

Menurut H. Sudarto Kalangan Islam menilai hal ini sebagai pencitraan buruk yang dilakukan

terhadap barat dan kekristenan, yang mamandang penyebaran agama Islam melalui kekerasan. Lht.

H. Sudarto, Konflik-Islam Kristen- menguak akar Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di

Indonesia. (Semaran: Pustaka Rizki Putra. Cetakan ke2),133 40

Aritonang, Sejarah Perjumpaan…(2006),520 41

Aritonang, Sejarah Perjumpaan. . . (2006),532 42

Seluk beluk preman ambon di Jakarta sejak 1980-an, termasuk akses mereka dengan kalangan

penguasa, dan persaingan diantara penguasa terungkapkan oleh Aditjondro, bahwa Ternyata,

preman Ambon bukan hanya terdiri dari orang Kristen tetapi juga Islam. G. Adhicondro, Orang-

Orang Jakarta Di Balik Tragedi Maluku. 2001, Moluccas International Campaign for Human

Right.

Page 14: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

26

preman itu datang menentang warga kampung dan menyerang warga secara

membabi buta, mengrusakan Mesjid dan seorang preman ditahan oleh pihak FPI,

terungkap oleh Tahan bahwa dia bayar untuk melakukan peneroran terhadap umat

Islam di situ. Disusul dengan kerusuhan besar-besaran antara masa dari warga

kampung sekitar Ketapang dengan preman-preman itu.

Pokok isu dibalik amukan masa itu adalah bahwa mesjid telah dibakar (yang

terbukti tidak benar), akibatnya terjadi pengrusakan dan pembakaran gedung

Gereja yang berada di sekitar lokasi preman-preman itu. Melalui peristiwa itu,

preman-preman itu kemudian dipulangkan ke Ambon, dan diduga menjadi

provokator dalam konflik Ambon, disamping ada juga keterlibatan militer. Kasus

ketapang ini kemudian diduga telah diskenariokan oleh kalangan militer, dengan

tujuan mengalihkan isu dan perhatian masyarakat dari tuntutan

pertanggungjawaban mantan Presiden Soeharto, Wakil Presiden Habibie dan

Menhankam/Pangab Wiranto atas tragedi Semanggi dan lainnya, menjadi isu

SARA. Jadi kerusuhan ini di duga adalah skenario, upaya untuk mengalihkan dari

konflik vertikal (Pemerintah vs Masyarakat) menjadi konflik horizontal (Rakyat

vs Rakyat). 43

Berkaitan dengan catatan peristiwa-peristiwa konflik dan kekerasan dalam

hubungan antar Agama Islam-Kristen. Khususnya pada kasus pengrusakan

gedung Gereja. Richard M. Dauly mengkaji tentang dua masalah pokok

pergulatan Kekristenan dalam konteks perkembangan perpolitikan di Indonesia

pada Era Reformasi, antara lain: sikap intoleransi dan pengingkaran terhadap

kebebasan beragama dan politik Syariat Islam dan diskriminasi.44

Untuk itu, menurut Van Klinken,45

konflik atau kekerasan kolektif (konflik

komunal) dalam episode-episode sejarah Indonesia –Sebelum Orde Baru hingga

pasca Orde Baru atau pada masa pergantian rezim politik Soekarno ke Soeharto

hingga Soeharto ke Reformasi- dironai dengan masalah-masalah ideologi politik

bangsa atau kelas yang berbaur dengan identitas-identitas etnis atau religious.

43

PGI Mengeluarkan surat pernyataan keprihatinan atas peristiwa ini, sambil meminta

pemerintah agar mengusutnya dengan tuntas. Lih. Sairin Weinata(peny), Pesan-pesan Kenabian

di Pusaran Zaman. (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2002),171-172 44

Lht. Richard M. Daulay, Agama dan Politik di Indonesia: Umat Kristen di Tengah

Kebangkitan Islam. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015),1-16. 45

Gerry. Van Klinkel. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokrasi Di Indonesia.

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007),1-9.

Page 15: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

27

Khusus pada masa pasca Orde Baru pertarungan-pertarungan yang terjadi hampir

sepenuhnya berdasarkan identitas-identitas komunal tersebut.

2. Defenisi, Jenis, Penyebab,Dampak, dan Proses Konflik.

2.1. Defenisi Konflik

Cummings, P. W46

mendefenisikan konflik sebagai suatu proses interaksi

sosial di antara dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih, berbeda atau

bertentangan dalam pendapat atau tujuan mereka. Oleh S. T. Alisyabana, aspek

perbedaan pendapat dan pandangan di antara kelompok-kelompok masyarakat

juga dilihat sebagai konflik47

.

Selain aspek perbedaan pendapat dan pandangan, seperti yang dikatakan

kedua ahli diatas, adapun menurut Stoner dan Wankel konflik organisasi adalah

ketidaksesuaian antara dua orang anggota organsisasi yang timbul karena fakta

bahwa mereka harus berbagi dalam hal mendapatkan sumber –sumber daya yang

terbatas, atau aktifitas-aktifitas pekerjaan, dan atau karena fakta bahwa mereka

memiliki status, tujuan, nilai-nilai atau persepsi yang berbeda.48

Menurut Wahyudi, konflik dari prespektif interpersonal atau dalam lingkup

organisasi atau masyarakat yang majemuk adalah sebuah kondisi wajar manakala

ada saling berbenturan kepentingan di antara anggotanya.49

Senada dengan itu,

Wirawan mendefisinikan konflik sebagai proses pertentangan yang diekspresikan

di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik,

menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran

konflik.50

Berdasarkan pemikiran para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa konflik

merupakan salah satu realitas esensial dari kehidupan dan perkembangan manusia

sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial

dan ekomoni, sistem hukum bangsa, suku, agama, kepercayaan, aliran politik,

46

P.W. Cummings, “Open Management: Guides to Succesful Praktice”, dalam Manajemen

Konflik Organisasi Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner , Editor:Wahyudi. (Bandung: CV.

Alfabeta. 2011),16 47

S.T. Alisjahbana, Antropologi Baru. (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986),41 48

Wahyudi, Manajemen Konflik… (2011),18 49

Wahyudi, Manajemen Konflik… (2011),16 50

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori dan Aplikasi (Jakarta: Salemba Humanika,

2010),5-7

Page 16: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

28

serta budaya dan tujuan hidupnya. Perbedaan-perbedaan atau keberagaman

tersebut merupakan identitas yang di bawa individu atau kelompok dalam proses

interaksinya dengan pihak lain dapat menimbulkan pertentangan.

2.2. Jenis-jenis Konflik

Konflik memiliki banyak jenis dan dapat dikelompokan berdasarkan berbagai

kriteria. Sebagai contoh, konflik dapat dikelompokan berdasarkan latar terjadi

konflik, pihak-pihak yang terkait dalam konflik dan substansi konflik:51

2.2.1. Konflik menurut bidang kehidupan: Konflik bidang kehidupan adalah

objek konflik. Sering berdiri sendiri atau saling kait mengaitkan. Contoh,

konflik sosial yang sering kali tidak hanya oleh perbedaan suku, ras, atau

kelompok sosial tetapi disebakan oleh kecemburuan ekonomi, kehidupan

politik dan perbedaan agama. Oleh karena itu sering sulit membedakan

suatu fenomena konflik apakah merupakan konflik sosial, konflik politik,

atau konflik ekonomi. Maka sejak merdeka bangsa dan negara Indonesia

mengalamai berbagai jenis konflik. Berikut adalah contoh konflik

multidimensional yang melandai bangsa Indonesia:52

1. Konflik ekonomi. Konflik ekonomi adalah konfilk yang terjadi karena

perbutan sumber-sumber ekonomi yang terbatas. Seperti, sengketa batas

tanah antara warga dan perusahaan perkebunan, antara warga dengan warga

yang lain; perebutan wilayah pasar oleh para pedagang pada satu daerah.

2. Konflik politik. Konflik politik adalah konflik yang terjadi karena pihak-

pihak yang terlibat konflik berupaya mendapatkan dan mengumpulkan

kekuasaan yang sama pada jumlahnya yang terbatas dan menggunakan

kekuasaan untuk mencapai tujuan atau ideologinya.

3. Konflik agama. Konflik agama adalah konflik diantar pemeluk, bukan konflik

diantara ajaran atau kitab suci agama. Terdapat banyak jenis konflik agama,

salah satunya yakni: konflik antara individu atau komunitas yang menganut

agama yang berbeda. Konflik ini sering menimbulkan konflik fisik dan

kekerasan, seperti perang salib. Ada juga konflik agama yang terjadi karena

pemanfaatan agama untuk tujuan tertentu. Agama dijadikan alat untuk

mencapai tujuan politik, ekonomi, dan sosial dari satu kelompok atau

51

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik… (2010), 55-93 52

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik… (2010), 62-105

Page 17: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

29

individu tertentu. Dalam bidang politik, agama dijadikan sebagai ideologi dan

simbol partai untuk mencapai kekuasaan partai: berikut akan dikemukakan

contoh kasus konflik di antara pemeluk agama.

4. Konflik Sosial. Konflik sosial adalah konflik yang dilatarbelakangi oleh

berbagai faktor. Pertama, karena masyarakat terdiri atas sejumlah kelompok

sosial mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain: konflik kelas-

kelas sosial. Kedua, kemiskinan bisa menjadi pemicu terjadinya konflik

ketika ada ketimpangan antara jumlah orang miskin dan orang kaya, yang

pada akhirnya dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Ketiga, karena migrasi

manusia dari suatu tempat ke tempat yang lain. Orang yang bermigrasi adalah

orang yang ingin memperbaiki kehidupannya: perdagangan, pekerjaan. Pada

konteks ini, konflik sering terjadi antara para imigran dan penduduk asli suatu

daerah. Keempat, konflik sosial terjadi karena kelompok mempunyai

karakteristik dan perilaku yang inklusif. Kelompok-kelompok sosial tersebut

saling terpisah dan ingin mendominasi kehidupan politik, ekonomi dan

kemasyarakatan. Perpisahan ini menimbulkan prototype, prasangka, stigma

dan curiga atau kecemburuan satu antar yang lain.

Salah satu contoh konflik sosial, yakni: Konflik Maluku. Konflik Maluku

merupakan konflik horizontal yang menimbulkan banyak korban jiwa,

rusaknya fasilitas pemerintah, sekolah, rumah penduduk serta terjadi dalam

kurun waktu lama. Konflik kecil terjadi antara warga Kristen-Muslim telah

terjadi semenjak tahun 1995, dan secara terbuka tahun 1999, 2005. Konflik

ini terjadi secara sporadis, bersifat multidimensi, meliputi konflik politik,

konflik sosial, konflik ekonomi, konflik agama, dan konflik budaya. Oleh

karena itu, faktor penyebabnya beragam: Politik. Pencalonan dan pemilihan

kepala daerah yang nepotisme, gerakan separatism RMS. Ekonomi,

penduduk Maluku terdiri dari berbagai suku/ras. Penduduk Maluku, orang

bugis, buton, makasar, cina, arab, dan jawa. Orang pendatang menguasai

perdagangan, ini menimbulkan kecemburuan ekonomi.

Konflik yang terjadi makin memiskinkan sebagian besar warga Maluku.

Agama, Maluku sebelum konflik merupakan pemeluk yang hidup rukun dan

toleransi. Konflik didorong oleh sentiment agama. Kemiskinan, yang

Page 18: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

30

bersumber pada penurunan harga cengekh dan pala. Kemiskinan disebabkan

oleh rendahnya jiwa berwirausaha generasi muda. Keterlibatan TNI dan Polri.

Ada kecenderungan TNI membela kelompok-kelompok yang bertikai

berdasarkan hubungan keluarga dan agama. Premanisme, sering kali konflik

terjadi antar kelompok preman maupun individu. Pada akhir November 1999

sejumlah preman Maluku pulang ke Ambon karena kasus bentrok ketapang

Jakarta. Di ambon mereka kemudian ikut memicu konflik. Laskar Jihad, Jilid

satu dipimpin oleh Jafar Umar Talib, yang dibentuk FKAW untuk membantu

umat Islam di Poso dan Ambon yang diserang oleh kelompok FKM dan

untuk mempertahankan NKRI. Mereka membentuk pusat pelatihan militer di

sejumlah kota di Indonesia. Ketika terjadi konflik di Poso dan Ambon,

mereka dikirim. Ada juga jemaah Islamiah yang membangun dan membiayai

kekuatan para militer di Poso dan Maluku untuk mempertahankan umat

Islam. Memudarnya pelaksanaan dan norma adat: pela gandong, masohi dan

badati. Penegakan hukum. Karena lemahnya penegakan hukum. Pada awal

reformasi, terjadi reformasi TNI dan Polri yang sebelumnya merupakan suatu

kesatuan dalam ABRI. Perubahan tersebut menurunkan kemampuan dan

koordinasi dalam penegakan hukum.

2.3. Penyebab Konflik

Menurut Wirawan,53

Konflik dapat terjadi secara alami karena adanya

“kondisi objektif”. Misalnya, keterbatasan sumber; tujuan yang berbeda; saling

tergantung atau interdependensi tugas; diferensiasi organisasi; sistem imbalan

yang tidak layak; komunikasi yang tidak baik; perilaku yang tidak manusiawi,

melanggar hak asasi manusia dan melanggar hukum; beragam interaksi sitem

sosial: perbedaan agama, suku, ideologi; pribadi orang: egoism, curiga, berpikir

negatif, kurang dapat mengendalikan emosi, ingin menang sendiri.

Berkaitan dengan kondisi objektif sebagai penyebab konflik seperti yang

dibahasakan wirawan, Alo liliweri mencatat kondisi-kondisi yang memungkinkan

terjadinya konflik, yakni: ada sejumlah individu atau kelompok yang merasa

bahwa mereka dipisahkan, dibedakan, dianaktirikan dari suatu kebersamaan; tidak

53

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik… (2010),7-14

Page 19: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

31

ada interaksi antar anggota kelompok. Interaksi mengandalkan kontak dan

komunikasi; ada perbedaan posisi dan peran para anggota kelompok; ada

kelangkaan kebutuhan dan keinginan terhadap sumber daya yang membuat

banyak orang merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi sumber daya

tersebut; karena ada suatu perbedaan yang menyulut ketidaksepakatan dalam

mengambil keputusan bersama antara dua pihak.54

2.4. Dampak Konflik

Konflik mempunyai pengaruh atau berdampak positif dan negatif bagi

kehidupan manusia baik secar aindividu maupun kelompok. 55

Dampak positif,

yakni menciptakan perubahan, misalnya, antara penjajah dan bangsa yang dijajah,

antara ras menciptakan pesamaan hak, konflik dengan orde lama dan baru, baru

dan reformasi; membawa objek konflik kepermukaan; memahami orang lain lebih

baik, memahami adanya perbedaan pendapat, pola pikir, dan karakter;

menstimulus cara berpikir kritis dan meningkatkan kreativitas; konflik

menyebabkan revitalisasi norma.

Sedangkan Pengaruh negatif, yakni seperti menurunnya produktifitas karena

hilangnya jam kerja, penurunan kesehatan fisik dan jiwa; merusak hubungan

komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat konflik; menciptakan rasa tidak

tenang, marah, benci, antipasti dan agresi terhadap lawan konflik; merusak sistem

organisasi; kerusakan sistem menciptakan sinergi negatif; menurunkan mutu

pengambilan keputusan karena kebuntuan diskusi, fitnah, agresi, sabotase dan

hilangkanya rasa saling percaya.

2.5. Proses Konflik

Menurut wirawan, konflik merupakan proses yang berawal dari adanya

sesuatu yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik-objek konflik-sampai

terjadinya solusi. Proses konflik terdiri dari beberapa fase. Fase-fase tersebut

antara lain: Pertama, penyebab konflik. Pada fase ini, perbedaan tujuan terjadi.

Atau tujuan sama, tetapi perbedaan untuk mencapai tujuan tersebut. Kelangkaan

54

Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural.

(Yogjakarta: LKIS, 2005), 256-261 55

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik…,(2010),109-110

Page 20: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

32

sumberdaya terjadi, seperti anggaran, seumberdaya manusia dan alam terbatas.

Terjadi kompetisi dan perbutan sumberdaya dan kemudian menciptakan konflik.

kedua, laten atau tidak terlihat. Pada fase ini, penyebab konflik telah ada.

perbedaan pendapat telah terjadi. Akan tetapi pihak-pihak yang terlibat konflik

diam saja dan belum mengekspresikannya. Konflik belum disadari.

Ketiga, pemicu. Pada fase ini, masing-masing pihak telah mengekspresikan

pertentangan mereka. Ekspresi tersebut merupakan pemicu konflik secara terbuka.

Ekspresi pertentangan berupa: sikap, perilaku dengan menggunakan kata atau

tulisan. Konflik terbuka dan menyadarkan masing-masing pihak akan konflik

tersebut. Masing mencari asal-usul, menentukan posisi dalam konflik, dan

menentukan strategi untuk menghadapi lawan konfliknya. Dalam fase ini terjadi

proses diferensiasi (menyadari perbedaan diantara keduanya. Masing-masing

pihak menganalisis posisi lawan konfliknya). Kemudian menyusun strategi dan

taktik konflik untuk melakukan interaksi konflik.

Keempat, eskalasi. Konflik tidak terselesaikan, perbedaan pendapat semakin

tajam sehingga kedua pihak akan mengalami frustrasi karena tidak dapat

mencapai tujuannya. Masing-masing mengembakan polarisasi. Konflik yang

awalnya konflik interpersonal kemudian berubah menjadi konflik personal

diantara individu atau kelompok yang menjadi aktor dalam konflik. Sikap negatif

terhadap lawan konflik semakin membesar. Masing-masing merasa dirinya yang

benar dan lawannya yang salah. Kekuasaan mulai digunakan untuk mendesak

posisi lawannya.

Kelima, krisis. Jika fase eskalasi tidak menghasilkan solusi, konflik

meningkat menjadi fase krisis. Ciri-ciri fase ini, antara lain: Konflik membesar

dan sering kali melibatkan pihak lainnya yang memihak salah satu pihak yang

terlibat konflik. ; Konflik menjadi emosional dan irasional; Norma dan peraturan

tidak berlaku; Pihak yang merasa kuat melakukan agresi; Pihak yang terlibat

konflik berusaha menghancurkan lawannya dan memenangkan konflik dengan

konsekuensi apapun.

Keenam, resolusi konflik. Pada fase ini terjadi salah satu fenomena: diantara

pihak yang terlibat konflik tidak ada yang menang atau tidak ada yang kalah.

Keduanya akan kehabisan energi. Konflik akan berhenti sementara dan

Page 21: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

33

kemungkinan akan terjadi lagi. Terjadi solusi dengan cara mengatur sendiri atau

melalui pihak ketiga. Ketujuh, pasca konflik. Pada fase ini terjadi beberapa

kemungkinan antara lain: Hubungan antar pihak sedikit demi sedikit kembali

harmonis dan membaik. Terjadi win & win solution sehingga ada kepuasan.

Apabila solusi ini diikuti dengan kembalinya saling membutuhkan dan saling

percaya, maka hubungan akan menjadi harmonis kembali; Hubungan antar pihak

kembali renggang. Apabila tidak ada kepuasaan antara pihak-pihak yang terlibat.

3. Manajemen Konflik

3.1. Defenisi dan Tujuan Manajemen Konflik

Wirawan, mendefenisikan manajemen konflik sebagai proses pihak-pihak

yang berkonflik menyusun strategi konflik dan diterapkan untuk mengendalikan

konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan56

. Senada dengan Wirawan,

Otomar J.Bartos dan Paul Wehr Manajemen konflik adalah proses setiap pihak,

termasuk pihak ketiga, untuk menggunakan keahlian dan pengetahuan untuk

menciptkan strategi konflik yang tepat57

. Jadi manajemen konflik merupakan

proses penyusunan strategi konflik yang dilakukan bersama keduabelah pihak

atau pihak ketiga sebagai rencana untuk menangani atau menyelesaikan konflik.

Adapun menurut Ross, manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang

diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan konflik kearah

hasil-hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketegangan,

hali positif, kreatif, bermufakat, kerjasama dan pemecahan masalah (dengan atau

tanpa pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak pihak ketiga. Suatu

pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik meunjukan pada

pola komunikasi (termasuk perilaku) dan bagaimana mereka mempengaruhi

kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.58

Jadi sebagai langkah penanganan

konflik, manajemen konflik yang efektif dapat mengarah pada penyelsaiannya

atau sebaliknya tidak efektif maka konflik tidak dapat terselesaikan.

56

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik.. . (2010),129-134 57

Lht. Novri Susan, Penghantar Sosiologi Konflik (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009),123 58

Marc. Howard Ross, The management of conflict: interpretations and interest in comparative.

(Yale University Press. 1993), 3

Page 22: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

34

Sementara, tujuan manajemen konflik menurut wirawan antara lain,

mencegah gangguan kepada anggota organisasi untuk memfokuskan diri pada

visi, misi dan tujuan organisasi atau kelompok; memahami orang lain dan

menghormati keragaman; meningkatkan kreatifitas; meningkatkan keputusan

melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran berbagai informasi dan sudut

pandang; memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman

bersama, dan kerjasama; menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian

konflik.59

Dalam konteks organisatoris, manajemen konflik betujuan untuk mencapai

kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan

meminilakan akibat konflik yang merugikan; pemeliharaan dan meminimalkan

konflik diperjuangkan dalam hubungan yang baik antar pihak-pihak yang

berkonflik.60

Jadi tujuan manajemen konflik dalam pemikiran para ahli diatas

hendak menjelaskan tentang berbagai langkah-langkah positif penuntun kerjasama

pihak-pihak yang berkonflik pada upaya penyelesaian konflik.

3.2. Gaya Manajemen Konflik

Menurut Wirawan, gaya manajemen konflik atau teknik penyelesaian

konflik61

adalah pola perilaku tertentu yang diekspresikan pihak-pihak berkonflik.

Terdapat beberapa gaya manajemen konflik yang telah dikembangkan oleh para

ahli, diantaranya: Teori Grid, Teori Thomas dan Kilmann62

, dan Teori Rahim.

Ketiganya memiliki masing-masing lima jenis gaya manajemen konflik. pertama,

memaksa, konfrontasi, kompromi, menarik diri, mengakomodasi; kedua,

kompetisi, kolaborasi, kompromi, menghindar, mengakomodasi; ketiga,dominasi,

integrasi, kompromi, menghindar, menurut. Salah satu jenis yang sama terdapat

dalam ketiga teori tersebut, yakni kompromi, dengan mencari alternatif titik

tengah yang memuaskan sebagian keinginan dan tujuan masing-masing pihak.

59

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik… (2010), 147,173 60

Pemikiran-pemikian terkait tujuan manajemen konflik ini di kemukakan oleh R. E. Walton

dan Hardjana yang dapat dilihat dalam Wahyudi Manajemen Konflik…. (2011), 48 61

Hendrik,W dalam Wahyudi, Manajemen Konflik.. . (2011),61 menyamakan istilah teknik

penyelesaian konflik dengan gaya (Style) manajemen konflik yang dapat diterapkan dalam

penyelesaian konflik. 62

Lht. Wahyudi Manajemen Konflik... (2011), 50

Page 23: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

35

Sedangkan, kelima jenis gaya manajemen konflik yang dikembangkan dalam

teori Thomas Killmann–Rahim memiliki kesamaan makna hanya saja berbeda

dari segi pengistilahannya. Kompetisi atau dominasi, dengan kekuasaan yang

dimiliki pihak berkonflik hanya berupaya memenuhi tujuan sendiri dan tidak

memperhatikan kebutuhan lawannya; kolaborasi atau integrasi, menciptakan

resolusi konflik -saling memahami permasalahan atau ketidaksepakatan-yang

secara maksimal memenuhi tujuan dirinya sendiri dan tujuan lawannya; menarik

diri63

atau menghindar, tidak mau menghadapi konflik, menolak untuk berdiskusi

mengenai pokok permasalahan konflik yang terjadi. Ia menolak untuk memenuhi

kebutuhan dirinya sendiri dan kebutuhan lawannya dengan jalan menunda waktu

penyelesaian; mengakomodasi atau menurut, mengkombinasikan perhatiannya

yang tinggi terhadap lawannya dengan perhatiannya yang rendah terhadap

diirinya sendiri.64

Selanjutnya, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi gaya manajemen

konflik yang digunakan oleh para pelaku konflik. Menurut wirawan, antara lain:65

Pertama, asumsi mengenai konflik, yakni pendapat pihak-pihak yang terlibat

terhadap suatu konflik akan mempengaruhi perilakunya; Kedua: persepsi

mengenai penyebab konflik, atau pandangan terhadap penyebab konflik

menentukan gaya manajemen yang akan dipilih; Ketiga, ekspektasi atas reaksi

lawan konflik. Kesadaran akan reaksi lawan konflik turut mempengaruhi gaya

manajemen konflik; Keempat, pola komunikasi dalam interaksi konflik. Gaya

manajemen juga ditentukan berdasarkan pola komunikasi yang terjadi dalam

interaksi pihak-pihak yang berkonflik.

Kelima, kekuasaan yang dimiliki. Jika pihak yang terlibat konflik memiliki

kekuasaan maka gaya manajemen yang dipilih juga biasanya ditentukan oleh

pihak yang lebih besar kuasanya. Keenam, pengalaman menghadapi situasi

konflik. pengalaman pihak yang terlibat konflik menentukan gaya manajemen

konflik yang berdasarkan konflik yang dihadapi; Ketujuh, Sumber yang dimiliki.

63

Menurut Blake dan Mouton, Pruit, Walton dan Mckersie, dalam Dr. Wahyudi, Manajemen

Konflik…. 2011. Menarik diri merupakan perilaku reaktif yang paling utama dan sering digunakan

individu atau kelompok yang terlibat konflik 64

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik... (2010),138-144 65

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik... (2010),135-136

Page 24: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

36

Sumber daya yang dimiliki turut menentukan bagi pihak yang berkonflik meilih

gaya manajemen konflik yang akan digunakan. Kedelapan, jenis kelamin.

4. Resolusi Konflik

Diskursus penyelesaian konflik umumnya telah menghasilkan definisi yang

beragam tentang resolusi konflik (conflict Resolution). Dalam webster Dictionary

menurut Levine, Resolusi adalah rangkaian tindakan yang dimulai dari penguraian

suatu permasalahan, pemecahan, hingga penghapusan atau penghilangan

permasalahan.66

Sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah dalam konflik,

resolusi konflik menurut Weitzman & Weitman, dilakukan bersama oleh pihak-

pihak yang terlibat konflik (solve a problem together).67

Sementara itu, Fisher et

al mendefenisikan resolusi konflik sebagai upaya menangani sebab-sebab konflik

dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama diantara

kelompok-kelompok yang berseteru.68

Berdasarkan pemikiran para ahli diatas,

dapat dipahami bahwa resolusi konflik merupakan serangkain tindakan yang

mengarah pada upaya penyelesaian konflik melalui hubungan kerjasama yang

dibangun oleh pihak-pihak yang berkonflik.

4.1. Metode Resolusi Konflik

Menurut Wirawan, metode resolusi konflik adalah proses manajemen konflik

yang digunakan untuk menghasilkan keluaran konflik. Metode resolusi konflik

dapat dikelompokan menjadi: pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat

konflik untuk menyelesaikan konflik, dan atau melalui intervensi pihak ketiga,

melalui pengadilan, proses adminstratif, dan perselisihan alternatif. Khususnya

dalam metode konflik pengaturan sendiri oleh pihak yang terlibat konflik, mereka

menyusun strategi konflik dan menggunakan taktik konflik untuk mencapai tujuan

terlibat konflik melalui saling pendekatan dan negosiasi.69

66

Levine, Webstern Dictionary, 1998,3 67

Deutch Morton & P. T. Coleman, The Handbooks of Conflict Resolution: Teori & Practice.

(San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. 2000), 89 68

Fisher et al. Mengelolah konflik, Keterampilan dan stategi, Resolusi Konflik Berbasis

Kearifan Lokal, (Terj). (Jogjakarta: Global Pustaka Utama, 2001),7 69

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik… (2010),177

Page 25: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

37

Sementara itu, Hugh Miall, mengungkapkan konsep negosiasi sebagai alat

bagi masing-masing individu atau kelompok menghasilkan suatu kerjasama atau

konsensus. Miall mendefenisikan negosiasi sebagai suatu proses di mana individu

atau kelompok yang bertikai mencari cara untuk mengakhiri atau menyelesaikan

konflik mereka. Proses ini biasanya melalui mediasi yang melibatkan pihak

ketiga.70

Sejalan dengan Miall, menurut Wirawan, dalam proses pengupayaan

penyelesaian sebuah konflik, mediasi juga merupakan salah satu jenis resolusi

konflik alternatif untuk mencapai penyelesaian konflik. Mediasi adalah proses

manajemen konflik yang dilangsungkan melalui negosiasi untuk mencapai

kesepakatan bersama atau sebagai solusi mengenai objek konflik. Mediasi

memerlukan keinginan dan keterlibatan pihak-pihak yang berkonflik dengan

bantuan mediator (profesional). Negosiasi sebagai sebuah hubungan sementara,

yang didalamnya terdapat tawar-menawar (bergaining) secara sukarela. Negosiasi

dapat dilakukan secara rahasia –hanya diketahui pihak-pihak yang terlibat– atau

secara terbuka –diketahui oleh masyarakat. Terdapat beberapa tujuan spesifik dari

mediasi, antara lain: menciptakan win-win solution; memfokuskan diri lebih ke

mana depan daripada sebaliknya; kontrol hubungan; menyediakan pilihan-pilihan

alternatif penyelesaian konflik; mencari kesepakatan yang memuaskan bersama.71

Pemikiran diatas hendak menjelaskan tentang resolusi konflik sebagai suatu

metode penyelesaian konflik yang berlangsung atas dasar keinginan bersama

pihak-pihak yang berkonflik untuk bernegosiasi (perundingan antara kedua belah

pihak), dan atau melalui mediasi (perundingan antar kedua pelah pihak dengan

melibatkan pihak ketiga yang netral) membangun kesepakatan atau konsensus

bersama. Dengan demikian, maka sebuah penyelesaian konflik merupakan sebuah

kesepakatan bersama antar pihak-pihak yang berkonflik melalui proses negosiasi

dan mediasi.

70

H.Miall, dkk.“Resolusi Damai Konflik Kontemporer:menyelesaikan, mencegah, mengelolah,

dan mengubah konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras.(Jakarta:PTRaja Grafindo

Persada, 2002),31-32 71

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik…,(2010),201-202.

Page 26: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

38

4.2. Rekonsiliasi

Dalam kamus bahasa Indonesia, rekonsiliasi (to reconsile) merupakan upaya

membangun kembali hubungan erat yang menenangkan, membereskan,

menyelesaikan dan membawa seseorang untuk menerima. Rekonsiliasi juga

berarti perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula.72

Dalam manajemen konflik, rekonsiliasi merupakan proses resolusi konflik yang

mentransformasi ke keadaan sebelum terjadinya konflik, yaitu keadaan kehidupan

yang harmonis dan damai.73

Berkaitan dengan model resolusi konflik, secara khusus rekonsililiasi,

Menurut Wirawan merupakan proses tua yang berakar pada agama dan adat

istiadat masyarakat.74

Ia mencontohkan masyarakat yang berbudaya islam, dimana

rekonsiliasi terdiri atas beberapa ritual antara lain sebagai berikut: Fase pertama

sulh. ritual memilih muslihs atau mediator yang dihormati keduabelah pihak.

Kedua belah pihak mengakui telah terjadi perbuatan kriminal. Fase kedua

Musalaha. Muslihs bekerja untuk menciptakan situasi yang saling memaafkan

dan menyelesaikan. Kedua belah pihak wajib menghormati masyarakat (baik

individu maupun komunal) bahkan ketika terjadi kejahatan. Fase ketiga

rekonsiliasi. Ritual masyarakt dilakukan sehingga membawa masyarakat yang

bersatu sebagai jaminan pemberian maaf. Model rekonsiliasi yang berbasis pada

adat istiadat sebagai penyelesaian konflik mengingatkan kita tentang karakter

bangsa Indonesia sebagai yang memiliki keberagaman budaya. Setiap budaya

memiliki kearifan lokal (local wisdom) sendiri dalam menyikapi permasalahan

hidup, termasuk didalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik.75

Selanjutnya, dalam studi konflik dan perdamaian, Johan Galtung membagi

perdamaian menjadi dua tipe: positif dan negatif peace. Positif peace adalah

keadaan dimana tidak adanya kekerasan langsung di tingkat struktural, sedangkan

72

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) 73

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik…. (2010),197 74

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik…. (2010),195. 75

Konjtaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta: Penerbit Djambatan,

1993),31

Page 27: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

39

negatif peace adalah keadaan ketika kekerasan yang terjadi secara langsung sudah

tidak ada lagi.76

Oleh Yulius Hermawan, kedua tipe perdamaian dalam pemandangan Galtung,

dijabarkan kedalam tiga tahap proses penyelesaian konflik, antara lain:77

Pertama:

Peacekeeping, adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan

melalui intervensi militer78

yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian

yang netral. Kedua, Peacemaking, adalah proses yang tujuannya mempertemukan

atau merekonsiliasi sikap politik dan stategi dari pihak yang bertikai melalui

mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan. Ketiga,

Peacebuilding, adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial,

politik, dan ekonomi (perubahan struktur dalam masyarakat yang menimbulkan

ketidakadilan, kecemburuan, kesenjangan, kemiskinan dsb) demi terciptanya

perdamaian yang langgeng. Melalui proses peacebuilding diharapkan negative

peace (atau the absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana

masyarakat merasakan adanya keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi dan

keterwakilan politik yang efektif.

76

Johan Galtung and Carl G. Jacobsen, Searching for Peace: The Road to TRANSCEND, (Pluto

Press: London, 2000). 77

Yulius Hermawan, Transformasi dalam studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan

Metodologi, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007), 93 78

Lht. Jhon. Galtung. “Three Approaches to Peace: Peacekeeping, Peacemaking, and

Peacebuilding””. In Editor, J. Galtung. Peace, War and Defence: Essays in Peace Research.

(Copenhagen: Christian Ejlders, 1976),284-288, Ia meneliti tentang pola-pola intervensi PBB

selaku pihak ketiga dalam penanganan konflik struktural, peran militer sebagai peacekeeping

cenderung bersifat memihak. Namun tidak sertamerta Galtung menolak pendekatan ini, baginya,

peacekeeping dapat efektik menghentikan konflik horizontal ketika peacekeeping bisa mengambil

posisi seperti dinding perbatasan antara kedua belah pihak yang berkonflik dengan menolak

kekerasan dari dalam.

Page 28: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

40

B. PELA GANDONG

1. Sejarah pembentukan dan Pemaknaan Pela Gandong

Ikatan pela hanya dapat di Maluku Tengah mencakup wilayah pulau Ambon

dan pulau-pulau lease (Saparua, Nusa Laut, Seram). Dieter Bartles membuat

suatu rekonstruksi yang bersifat etnohistoris, dia memulai rekonstruksi tersebut di

masa sebelum ekspansi Islam ke Maluku Tengah, dari suatu masa yang disebut

“masa perburuan kepala manusia“, kemudian masa ekspansi Islam lau berakhir

pada waktu bercokol orang Belanda di Maluku.79

Hubungan pela yang dibangun di Maluku Tengah dalam rekonstruksi Bartles,

dikembangkan oleh John Chr. Ruhulessin80

. Ia membagi tahap-tahap

pembentukan pela dalam 3 Fase, yaitu: sebelum masuknya Islam Kristen; masa

masuknya Islam-Kristen dan sesudah masuknya Islam Kristen; masa sesudah

masuknya kolonialisme Protugis dan Belanda. Kronologis ketiga fase tersebut,

sebagai berikut:

1.1.Masa sebelum masuknya Islam.

Asal mula Pela di Maluku Tengah berkaitan dengan kehidupan sosial yang

berkembang di masyarakat Nunusaku di Pulau Seram. Perkembangan kehidupan

sosial masyarakat Nunusaku yang dari satu segi mengalami pertumbuhan

penduduk yang mengakibatkan keterbatasannya ketersediaan dan pengelolaan

sumberdaya alam. Perkembangan tersebut mengakibatkan perpecahan dan terjadi

migrasi kelompok suku, selain ke daerah timur maupun barat pulau itu, juga ke

arah Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease. Proses migrasi cenderung

mengakibatkan peperangan antar kelompok (Patasiwa dan Patalima) bahkan

internal kelompok sebagai upaya untuk mempertahankan diri dan perebutan

wilayah kekuasaan.81

79

Dieter, Bartels. Guarding the Invisibles Mountain; Inter-village Alliences, Religious

Syncretism and Ethnic Identity Among Ambonese Christian and Moslems In The Moluccas.

(Ithaca: Cornell University (Ph. D. Dissetation),24 80

John.Chr. Ruhulessin,. Etika Publik: Menggali dari Tradisi Pela di Maluku. (Salatiga: Satya

Wacana University Press-Program Pasca Sarjana Program Studi Sosiologi Agama. 2007),155-170 81

C.M.Pattiruhu dkk. Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon, Ambon: Lembaga

Kebudayaan Daerah Maluku, 1997, 8. Salah satu contoh perpecahan internal (serumpun) yang

terjadi yakni dalam rumpun Patasiwa: Patasiwa Putih dan Patasiwa Hitam. Untuk mengantipasi

perpecahan tersebut maka dibentuklah Lembaga Pendidikan Kakehang. Peperangan sering diatasi

dengan Ikrar atau perjanjian yang selalu disertai dengan nyanyian atau “Kapata” yang hidup di

Page 29: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

41

Cerita tentang pemisahan yang terjadi dalam wilayah Pulau Seram itu sering

dikaitkan dengan tiga batang Air Tala Eti Sapalewa. Tempat ini menjadi tempat

terpisahnya adik dan kakak. Contohnya, adik-kakak sekandung yang memutuskan

tinggal berpisah, sebagian di Seram, Saparua, pulau Ambon. Begitu juga antara

adik-kakak sekandung (berbeda ayah) yang memutuskan tinggal di pulau Ambon

dan di Nusa laut. Faktor yang berfungsi menyatukan mereka terletak pada

kesadaran mengenai ikatan genealogis (satu nenek moyang) dan teritorial (pernah

menetap pada satu tempat). Dengan demikian, maka jenis hubungan pela yang

menonjol terbangun pada masa ini dapat dipahami sebagai ikatan persaudaraan

antar negeri-negeri (terpisah secara teritorial) namun berasal dari satu nenek

moyang.

1.2.Masa masuknya Islam-Kristen.

Pada masa ini, hubungan pela antar dua negeri yang pertama-tama terbentuk

yakni antara negeri Passo dan Batu Merah. Pembentukannya terjadi pada masa

pemerintahan kerajaan Ternate yang pada saat itu telah berhasil membangun

kekuasaannya hingga mencapai sebagian pesisir pulau Ambon. Ikatan tersebut

dimulai ketika kora-kora (perahu) milik orang Passo mengalami kecelakaan

sehingga hampir menenggelamkan orang serta isinya. Pada saat itu datang

bantuan dari orang Hatukau (Batu Merah) sehingga mereka (Passo)

terselematkan. Semenjak itulah diangkat janji disertai sumpah yang mengikat

keduanya sebagai orang yang berpela. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa

latar belakang terbentuknya hubungan pela pada masa ini secara khusus bukan

karena faktor geneologis melainkan oleh adanya sebuah peristiwa penting yang

dialami bersama antara negeri yang berpela.

1.3. Masa setelah Pemerintahan VOC.

Hubungan pela yang terjadi antara negeri Waai dan Kaibobu82

; Hatuhaha

(Pulau Haruku) dan Tuhaha (Pulau Saparua); Hatuhaha dan Oma; Hatuhaha dan

Pulau Seram yang selanjutnya menjadi prototype dari pela gandong. Implementasi makna

perjanjian pela ditandai dengan saling berpeluk atau berciuman dengan mengosokan hidung (antar

wanita) atau saling menepuk bahu sebagai tanda saling mengasihi dan akrab dalam persaudaraan

sekandung dan persahabatan sejati. 82

C.M. Pattiruhu dkk. Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon... (1997),83-84

Page 30: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

42

Tihulale. Hubungan pela terbangun pada masa berlangsungnya perang Hongi

(abad 17-18) yang bergerak dan beroperasi pada wilayah sekitar seram-Leihitu di

pulau Ambon. Diperparah dengan hadirnya para bajak laut orang Tobelo yang

melakukan perampokan barang dan manusia untuk dijadikan budak. Hal tersebut

tidak menguntungkan bagi masyarakat Kaibobu di pesisir pulau Seram Barat yang

sebagian besar nelayan. Untuk menghadapi persoalan itu, Raja Kaibobu

memutuskan untuk meminta bantuan dari VOC agar dibangun sebuah pos

keamanan di daerah pesisir. Di situlah Raja Waai membantu dengan

mempertemukan Raja Kaibobu dengan Pihak VOC di Benteng Victoria (Kota

Ambon). Atas kebaikan budi itu maka Kaibobu mengangkat Waai sebagai

saudara-pelanya.

Lebih lanjut, Pattiruhu, C.M (et al) memberikan catatan tambahan bahwa

pada masa VOC ini, terbentuk juga pela antara negeri akibat perlawanan terhadap

VOC sendiri. Misalnya, pela antara Ema dan Ameth; Iha (Islam) dan Samasuru

(Kristen). Dikisahkan bahwa ketika penduduk Iha terhalau oleh Belanda, mereka

melarikan diri ke Seram. Akan tetapi di sana mereka menghadapi penduduk

Seram. Hanya dengan batuan orang Samasuru, orang Iha diselamatkan.83

Selain itu, pada rentanan abad ke-20 juga terbangun hubungan pela: Galala

(Negeri Kristen) dan Hitu Lama (Negeri Islam) di tahun 1959. Relasi pela ini

dibangun karena kebiasaan bekersajama antara raja dan masyarakat kedua negeri.

Ada juga, hubungan pela yang terbangun antara beberapa negeri, di Ambon

dengan negeri-negeri di pantai Seram. Hubungan ini terbangun karena situasi

ekonomi yang memburuk di kalangan para penduduk Maluku Tengah. Ambon

menjadi wilayah kekurangan makanan, terutama sagu. Sedangkan Seram

memiliki kelimpahan makanan, dan pohon sagu sehingga melalui saling

membantu, bergotong royong maka hubungan pela terbangun.

Selanjutnya, ada juga hubungan pela yang terbangun atas motif kemanusiaan:

cinta. Misalnya, negeri Nolot (di Pulau Saparua) dan Haruku. Dikisahkan, bahwa

pada suatu saat bekas Raja Nolot berangkat ke Tulehu. Di tengah jalan, jangkar

perahu Nolot terputus. Karena itu, perahu Nolot singgah di Haruku untuk

meminjam jangkar. Raja haruku mengabulkan permintaan mereka. Raja Nolot

83

Dieter, Bartels. Guarding the Invisibles Mountain…(1977),134-218

Page 31: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

43

kemudian jatuh cinta pada puteri Raja Haruku. Sekembali dari Tulehu, raja Nolot

singgah di Haruku dengan alasan ingin mengembalikan jangkar yang

dipinjamnya. Pada saat itu raja Nolot menyampaikan isi hatinya pada raja Haruku.

Kedua orang itu kemudian diizinkan menikah. Tetapi belum ditentukan kepastian

tanggal menikahnya, dan ketika bekas raja Nolot itu datang kembali ke Haruku

untuk menikah, tetapi ternyata puteri raja Haruku telah meninggal. Karena

cintanya yang luar biasa, ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan upacara

pernikahannya sekalipun dengan mayat. Tekad ini yang menyatukan kedua

negeri, Nolot dan Haruku dalam ikatan hubungan berpela.

Perlu disampaikan pula, terkait dengan hubungan pela yang mengakomodasi

penganut agama berbeda (Islam-Kristen). Dalam sejarah pela negeri Booy, Aboru,

Kariuw, dan Huakoy, yang terbangun sebelum masuknya agama ke negeri-negeri

ini, dan berkembang sampai saat masuknya agama ke Maluku. Persaudaraan

natara negeri-negeri ini berawal dari migrasi di Nunusaku. Moyang mereka

bersaudara dan saat migrasi terjadi, mereka melakukan perjalanan bersama

menelusuri air (sungai) Tala dan tinggal di Wae Tuni. Karena kurang betah,

mereka pindah ke daerah selatan, menetap di dusun Wae Lei. Migrasi tetap

mereka lakukan ke desa-desa lainnya, dan akhirnya tiba di Nunu Hatu. Di tempat

itu, mereka berpisah, dan sebelum itu mereka bersumpah “Kapala Soka, Nusa

Soka Mo Tasio Kusue, Nusa Kusue Mo“, artinya “Meskipun kami berpisah ke

berbagai tempat seperti kapal berlayar, namun persekutuan persaudaraan tetap

utuh bagaikan sebuah pulau di tengah samudera“.

Ikatan pela keempat negeri ini semakin mengental sejak peristiwa perang

Mosol Amaika (±14). Amaika (negeri Islam) adalah nama sebuah negeri yang

terletak di pedalaman bagian timur pulau Haruku. Negeri ini merupakan salah satu

pusat perdagangan yang strategis di pulau Haruku; tempat penukaran hasil Hutan:

rotan, damar antara orang pribumi dengan pedagang dari China, dan juga dengan

pedagang dari kepulauan Banda yang beragama Islam.

Peperangan saat itu disebabkan karena beberapa hal seperti, perampokan,

pembunuhan, dan ancaman kekerasan yang sering dilakukan orang-orang Amaika

terhadap orang-orang kariuw dan Aboru. Panglima perang negeri Aboru menahan

gempuran pasukan Amaika. Tetapi karena kesaktian panglima Amaika, maka

Page 32: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

44

panglima Aboru meminta bantuan dari ketiga saudaranya, yaitu: Kariuw, Booy,

Hualoy. Mereka berkumpul dan mengatur strategi perang mereka. Akhirnya

panglima Amaika berhasil dibunuh panglima Aboru. Seluruh penduduk kota

Amaika dibunuh, dan semua bangunan dibakar habis.

Aspek yang menonjol yang mewarnai hubungan pela di Maluku Tengah

hingga saat ini adalah kerjasama untuk membangun rumah ibadah milik anggota

dari saudara pela. Dari pengalaman itu, ditemukan bahwa hubungan Islam dan

Kristen di Maluku bersifat ambigu: satu sisi hormanis dan tidak harmonis.

Ketidak harmonisan diperparah dengan konteks masuknya penjajah belanda yang

melanggengkan pola-pola hubungan yang tidak saling menghormati. Sisa-sisa

dari hubungan seperti itu telah mengatur hubungan Islam dan Kristen di Maluku

dalam kemelut sejarah yang kelam dan suram.

Berdasarkan tinjauan perkembangan hubungan pela, ditemukan bahwa

sesungguhnya esensi dari pela ini menerangkan hubungan antar saudara yang

terbatas pada klan atau suku terkait. Latar belakang pemahan ini menimbulkan

persekutuan pela di mana jumlah anggota-anggota dikenal dengan dengan bi-

negeri dan multi-negeri.84

Persekutuan bi-negeri terbentuk karena konteks tertentu

seperti perang dan saling menolong tanpa faktor kedekatan geneologi. Sedangkan

persekutuan pela multi-negeri cenderung memiliki latar belakang mengenai

hubungan-hubungan geneologi.

Nilai dari persekutuan itu dihidupi dan tampak dari tindakan mereka yang

saling membantu untuk menyelesaikan persoalan masing-masing. Aspek lain yang

penting juga adalah makna dari pela sebagai saudara menempatkan masing-

masing anggota pela dalam posisi yang setara, harus dihormati, saling

membutuhkan (mutual). Tindakan kepada orang lain diartikan sama dengan

terhadap dirinya sendiri.

2. Pela Gandong Dalam Tatanan Struktur Sosial Masyarakat Ambon

F.Sahusilawane mengelompokan susunan masyarakat Ambon (Pulau Ambon)

berdasarkan ukuran geneologis atau keturunan dan ukuran teritorial atau

84

Lht. C.M. Pattiruhu, dkk, Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon… (1997),25-26.

Persekutuanan bi-negeri antara lain: perserikatan Halong, Hitu, Hukurila-Kilang. Dan persekutuan

multi-negeri: antara Tulehu, Tial, Asilulu, Hulaliu, Paperu, SIla dan Laimu.

Page 33: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

45

kedaerahan. Kedua ukuran ini memang real ada dalam masyarakat adat pada

negeri-negeri di Ambon. Berasaskan geneologis dan teritorial masyarakat adat

pada negeri-negeri tersusun atas beberapa wilayah hukum adat menurut besar-

kecil dan luas kedudukannya yang tergabung atau terpisah. Masing-masing

hukum adat wilayah itu yakni, hukum adat wilayah rumatau, uku, soa, hena,

aman, negeri, uli serta Pela Gandong.85

2.1. Masyarakat Adat Pela

Menurut Ruhulesin86

, sekurang-kurangnya terdapat tiga pengertian mengenai

kata Pela. Pertama, dalam lingkungan kebahasaan daerah Uli Hatuhaha di pulau

Haruku (Pelauw, Kailolo, Kabauw, Ruhumoni dan Hulaliu) kata pela berarti

“sudah“, dan dalam lingkungan kebahasaan Uli Solimata di Pulau Ambon

(Tulehu, Tengah-tengah dan Tial), Pela berarti “cukup“. Ada juga Istilah “Pela

nia“ yang berarti “sampe jua“ (atau “berhentilah“). Biasanya hubungan pela yang

muncul dilatari konflik atau perang yang pernah terjadi. Dengan bertolak dari

kedua pengetian tersebut Lestaluhu87

berpendapat bahwa munculnya hubungan

pela disebabkan hancurnya ikatan-ikatan kekeluargaan. Dalam konteks itu pela

dimaksudkan sebagai cara untuk mengakhiri kondisi kehancuran itu.

Kedua, dalam lingkungan kebahasaan masyarakat di Seram kata ini

diaksarakan dengan kata “Peia“ yang menunjuk pada pengertian “saudara“ yang

terambil dari tradisi kakehang. Saudara dalam tradisi kakehang tidak menunjuk

pada suatu hubungan yang didasarkan pada satu hubungan geneologis melainkan

pada keanggotaan suku. Sebuah ikatan yang menyatukan satu dengan yang

lainnya sebagai “orang basudara“. Ketiga. Kata pela berasal dari istilah pela-

laha yang berarti “orang tatua (baca: tua-tua) dulu punya keterkaitan“. Jadi Pela

merupakansuatu yang berasal dari orang orang tua atau leluhur.

Pengormatan terhadap orang tua dalam konsep masyarakat Seram sangat

kuat. Mereka mengaggap apa yang telah dilakukan oleh orang tua (datuk-

datuk)adalah ajaran kebijaksanaan yang bersifat etik. Jadi hubungan pela dalam

85

F.Sahusilawane ,Sejarah Lahirnya Pela dan Gandong Antara Negeri-negeri Di Pulau Ambon.

(Ambon: Balai Kajian Jarahnita. 2004), 4-12 86

J.Ch. Ruhulesin, Etika Publik… (2007),148-153 87

Maryam R.L.Lestaluhu “Pela Sebagai Perekat Kerukunan Masyarakat Maluku” dalam

Ruhulesin, Etika Publik. . . (2007), 148

Page 34: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

46

masyarakat Maluku adalah hubungan yang dihormati karena berasal dari orang

tua. Keempat, dari Bartles, pela didefenisikan sebagai hubungan persahabatan,

atau sistem persaudaraan, atau sistem persekutuan yang dikembangkan antar

seluruh penduduk asli dari dua negeri atau lebih.88

Selain itu, Lekahena mengajukan, pengertian kata Pela,Pertama, menurut

Manussama,89

Pela berasal dari akar kata “Ela“ berarti “besar“ atau “sesuatu yang

menjadi besar“. Ada juga yang mengatakan bahwa pela berasal dari kata “Pila“

yang berarti “berbuat sesuatu untuk (kepentingan bersama)“, sering kali kata itu

diberi akhira “tu“ sehingga menjadi “Pilatu“ yang berarti “menguatkan,

mengamankan, mengusahakan agar sesuatu tidak mudah rusak atau pecah“.

Berdasarkan pengertian-pengertian itu, Lekahena menyimpulkan bahwa Pela

berarti “sesuatu yang besar yang diadakan“ dengan tujuan “menguatkan,

mengokohkan“- sesuatu itu agar tidak mudah rusak atau pecah“. Jadi sesuatu yang

dimaksudkan itu adalah ikatan atau persekutuan, karena Pela kenyataannya adalah

hubungan atau ikatan antar negeri. Karena itu, dalam rumusannya, Pela adalah

suatu ikatan persaudaraan antara suatu kelompok masyarakat (negeri) dengan

kelompok masyarakat yang lain, sehingga menjadi suatu kelompok masyarakat

yang besar.

Persekutuan itu dibentuk dengan tujuan membentuk persekutuan yang lebih

besar untuk menjaga, menguatkan, mengokohkan masing-masing kelompok

masyarakat yang kecil itu agar tidak binasa. Jaringan persekutuan antar masing-

masing-kelompok (negeri) inilah yang disebut masyarakat adat Pela. 90

Berdasarkan gambaran pengertian diatas, maka pela dapat dipahami sebagai

suatu sistem kekerabatan (persaudaraan) telah berlangsung sejak masyarakat di

sana menemukan dirinya sebagai sebuah ikatan masyarakat. Pela diharapkan

menjadi cara untuk membangun kedekatan serta solidaritas yang lebih empatik.

Ia berfungsi secara lebih efektik untuk meredam kemungkinan gejolak dan

88

Dieter Bartles, “Guarding the Invisibles Mountain. . . ”, dalam John. Chr. Ruhulessin,. Etika

Publik,,,(2007),153. Lihat juga, F. Coley, Mimbar dan Tahta. . . (Jakarta: Penerbit sinar

harapan, 1987),183-189 89

Dr.Z.J. Manusama, “Hikayat Tanah Hitu”,dalam Herman Lekahena, Studi Terhadap

Pemahaman Masyarakat Adat di Pulau Nusalaut tentang Adat Pela (Salatiga:Universitas Satya

Wacana, 1984) Thesis.51. 90

H. Lekahena,. Studi terhadap pemahaman... (1984),52

Page 35: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

47

perpecahan dalam kesatuan sebagai masyarakat suku, serta usaha membangun

intergitas sebagai sebuah masyarakat. 91

Sejalan dengan pemaparan Ruhulessin, tentang pengertian pela dari kata peia,

menurut C. Patiruhhu, Istilah Pela berasal dari kata “Pela Laha luia“ artinya suatu

perjanjian untuk hidup dalam kasih atau saling mengasihi dalam suasana

persaudaraan. Ikatan persaudaraan ini dilembagakan oleh masyarakat Maluku

yang terdiri dari dua negeri atau lebih (di pulau Ambon, leasa dan pulau sera).

Perserikatan Pela Gandong didasarkan pada hubungan persaudaraan sekandung

sejati yang terpahami dalam sapaan ade-kaka-bongso, dengan isi dan tatalaku

perserikatan yang diatur dalam perjanjian baik lisan maupun tulisan, di mana para

pihak berjanji untuk tunduk kepada perjanjian dimaksud sebagai dasar hukum

bagi implementasi dari waktu ke waktu.92

Segi pembentukan hubungan pela antara negeri-negeri di Ambon (Maluku)

mencirikan kedudukan dan peranan pela dalam masyarakat Adat Maluku. Pela

memiliki fungsi sosial. Pela menghubungkan anak negeri Maluku (individu)

dengan anak negeri yang lain. Menurut Coley, adat pela merupakan bagian dari

adat negeri yang berhubungan dengan seluruh anak negeri.93

Menurut Bartels, fungsi-fungsi pela dalam masyarakat Maluku antara lain:

pertama, negeri-negeri yang yang terikat dalam hubungan pela saling membantu

dalam saat-saat krisis (perang atau bencana alam); kedua, jika dibutuhkan satu

negeri berpela harus membantu sekutu pela nya dalam menangani proyek-proyek

bersama masyarakat, seperti pembangunan gereja, mesjid dan sekolah; ketiga, saat

seseorang mengunyungi negeri pelanya, ia berhak mendapat makanan dan ia tidak

perlu meminta ijin untuk memenuhi kebutuhannya akan hasil-hasil pertanian

sehingga ia dapat membawanya pulang; keempat, semua anggota negeri yang

termasuk dalam hubungan berpela diperlakukan sebagai satu darah. 94

91

John.Chr. Ruhulessin, Etika Publik … (2007),155 92

C.M. Pattiruhu, Seri Kebudayaan Maluku… (1997), 24 93

Frank.L. Coley, Mimbar dan Tahta, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1987), 238 94

Dieter Bartles, “Tuhanmu Bukan lagi Tuhanku: Perang Saudara Muslim-Kristen di Maluku

Tengah (Indonesia) Setelah Hidup Berdampingan dengan Toleransi dan Kesatuan Etnis yang

Berlangsung Selama Setengah Milenium”,1999/2000.

Page 36: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

48

3. Jenis-Jenis Hubungan Pela

Bartles95

membuat klasifikasi pela berdasarkan perkembangan pembentukan

hubungan tersebut, dan dapat dibedakan dalam dua kategori, yakni: pertama,

sejarah: war aliance and peace treaty; kedua, fungsi: muttual assistence.

Klasifikasi pela dalam kategori sejarah dapat dipahami dalam jenis Pela Tuni.

Sedangkan kategori fungsi, terlihat dalam bentuk pela gandong dan pela tempat-

siri. Adapun, berdasarkan sebab-sebab terjadinya pela, dapat dibedakan menjadi

tiga jenis.

Pertama, Pela Tuni96

, atau pela Darah dan Pela Batu Karang. 97

Dalam pela

batu karang98

atau pela darah ini, hubungan pela antar sekutu pela ditetapkan

dengan ketat, melalui sumpah oleh para leluhur dengan cara mengangkat sumpah,

minum darah. Sumpah itu melegitimasi hubungan pela itu untuk selamanya atau

abadi. Termasuk pelarangan perkawinan antar sekutu pela. Anggota-anggota pela

terikat oleh kewajiban saling membantu dalam suka-duka, dalam masa

peperangan atau krisis, memenuhi permintaan sekutu pela untuk kehidupan

bersama sebagai sekutu pela. Pela ini terbentuk karena berbagai peristiwa yang

dasyat seperti musibah dan peperangan.

Kedua, Pela-gandong. Pela Gandong atau disebut gandong saja (pela adik-

kakak, pela saudara). Hubungan pela ini bersifat keras dalam arti hubungan antar

dua negeri dianalogikan sebagai hubungan persaudaraan. Fungsinya untuk saling

membantu dalam hal sosial dan ekonomi. Jenis pela ini dihubungkan dengan

perkawinan. Atau dengan kata lain, hubungan pela ini di dasarkan pada ikatan

keturunan keluarga, yaitu satu atau beberapa suku/marga di negeri-negeri yang

berbeda mengklaim memiliki leluhur yang sama. Pela ini terbentuk berdasarkan

95

Dieter, Bartels. Guarding... (1977),181-189 96

Istilah tuni berasal dari bahasa Alifuru yang artinya asli atau sejati. 97

Histori lahirnya ikatan pela keras terjadi pada abad ke-15. Ketika Maluku mulai terbuka

kepada dunia luar, ketika Sultan Ternate, Ticore, Bacan, Jailolo bersaing untuk memperluas

kekuasaannya ke wilayah selatan, menguasai wilayah dan tanah di Pulau Seram. Tekanan

bertambah kuat dengan ekspansi Portugis dan Belanda yang dialami orang asli Maluku Tengah.

Situasi itu menimbulkan ketegangan, ketidakstabilan dan perpindahan pemukiman untuk

melepaskan diri dari penindasan politik dan agama. dalam keadaan terjepit, maka dua atau lebih

kelompok mengadakan ikatan diantara mereka dengan sumpah persaudaraan yang ketetapannya

dipertahankan hingga kini. 98

Istilah Batu karang mensifatkan perjanjian-perjanjian pela tersebut yang sekokoh “batu

karang”

Page 37: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

49

pengakuan terhadap adanya hubungan darah (genealogis) antara negeri-negeri

berpela.

Ketiga: Pela tempat-siri99

. Hubungan Pela tempat siri yang dibuat pada saat

dua individu yang tidak terlalu bersahabat bertemu untuk menghindari konflik.

Bentuk pela ini bersifat tidak abadi. Untuk itu tidak ditetapkan dengan sumpah,

serta tidak terikat dengan kewajiban yang ketat. Jenis pela ini terbentuk karena

kebiasaan saling membantu untuk kebutuhan pokok yang dibutuhkan masing-

masing negeri berpela. Sesama sekutu pela diperlakukan sebagai saudara sendiri,

dan secara tradisional memiliki hak-hak sesuai kedudukan mereka di dalam fakta

perjanjian hubungan berpela. Jenis pela ini dihasilkan setelah ada peristiwa kecil,

untuk memulihkan kedamaian setelah ada pertikaian, atau setelah satu negeri

memberi bantuan kepada negeri yang lain. Pela ini juga dibuat untuk mendukung

hubungan-hubungan ekonomi atau perdagangan. Berbeda dengan kedua jenis pela

diatas, jenis pela tampa sirih, tidak terkandung prinsip kekerabatan atau

persaudaraan darah, melainkan hanya prinsip persahabtan saja. Akibatnya

perkawinan kedua pelah pihak tidak dilarang oleh adat.100

Sementara itu, Coley,101

membagikan Pela berdasarkan sifatnya, yakni pela

keras dan pela tampat siri. Pembagian ini didasarkan pada eratnya ikatan. Pela

keras menunjuk pada kerasnya larangan serta ancaman-ancaman yang terkandung

di dalam dalamnya. Jenis pela keras ini, kadang-kadang diberi nama pela darah

atau pela minum darah, hal ini berdasarkan akta minum darah sebagai materai

pensyarahan hubungan tersebut. Dengan meminum campuran darah bersama itu

maka kedua belah pihak menjadi orang basudara secara genealogis, sebagaimana

orang yang dilahirkan sekandungan. Konsekuensi keduanya tidak boleh kawin.

Sumpah adalah janji untuk menaati semua hal yang ditetapkan pada waktu itu.

Sumpah terkandng sebuah kewajiban. Sumpah berlaku kepada semua orang

termasuk mereka yang tidak hadir pada saat itu.

Sedangkan, pela tampa siri, karena disahkan dengan dengan makan sirih

pinang, suatu tradisi adat di dalam masyarakat Alifuru sama dengan sekarang

99

Istilah tampa-siri merupakan dua suku kata dalam dialek Ambon untuk menyebutkan kata

tempat-sirih. Bagi masyarakat Ambon, tampat-siri adalah sebuah kotak untuk menyimpan sirih-

pinang, kapur dan tembakau. 100

Dieter, Bartels. Guarding…(1977), 37 101

Frank.L. Coley, Mimbar… (1987), 261

Page 38: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

50

orang melayani tamunya dengan menyuguhkan rokok. Siri pinang bukan hanya

kebiasaan belaka, karena bagi orang Alifuru masing-masing ramuan yang

dikunyah itu mempunyai arti tertentu yang menjadikan ramuan itu penting di

dalam upacara-upacara Adat.102

Pandangan kedua ahli diatas secara subsansi adalah sama dan berbeda dari

sisi mana cara pandangnya. Coley sendiri bertolak dari sifatnya. Sedangkan,

Bartels dari latar belakang pembentukannya. Senada dengan itu, C.M. Pattiruhu

pun mengungkapkan tentang, sifat-sifat perserikatan Pela, yakni:persaudaraan

sekandung sejati, persaudaraan sekandung biasa berdasarkan pengakuan bersama;

persaudaraan batu karang; dan persaudaraan tampa-siri.103

4. Panas Pela

Panas pela merupakan salah satu upacara adat antar negeri-negeri berpela

yang bertujuan untuk memperekat kembali ikatan hubungan pela tersebut. Riri &

Pieter menjelas panas pela adalah:

Menghangatkan kembali ikatan pela yang sudah ada sebelumnya agar

nuansa/makna yang terkandung di dalam pela itu tetap terjaga. Dalam

prosesinya, tuan rumah penyelenggaraan upacara akan menghamparkan kain

putih sebagai pelambang kesucian dan keiklasan hati ketika menyambut

saudara pela. Tuan rumah akan menggunakan ikat kepala merah yang

dianggap sebagai pelambang keberanian mempertahankan diri (dan ikatan

pela yang ada). jika dipadukan maka dua warna kain itu menunjukan makna

panas pela untuk menggugah rasa persaudaraan dan kasih sayang, namun

juga mengingatkan untuk selalu mempertahankan diri dan ikatan pela yang

ada. Di antara mereka kemudian ada yang menganut agama Islam dan ada

yang Kristen. Lama mereka diketahui ada dirantau orang, lalu saling

mengadakan hubungan dan kemudian pula berhimpun bersama untuk

mendudukan kembali posisi persaudaraan orang-orang satu kandung itu, yang

sampai sekarang tetap hidup dan berperanan, yang selanjutnya dapat juga

dilihat dalam ikatan Hena dan Uli.104

Upacara panas pela yang selalu diselenggarakan secara teratur (diulang-

ulang) oleh masyarakat adat memiliki dua dimensi pokok, yakni: penegasan dan

102

Dieter, Bartels. Guarding… (1977), 239-240 103

C. M. Pattiruhu dkk, Seri Budaya Pela-Gandong… (1997),5 104

R.Abubakar & M G.Pieter. Manantang Badai Menabur Damai. ( Jakarta: Insos Book.

2007),210

Page 39: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

51

pembaruan janji antar negeri berpela; penurun alihan nilai kepada generasi

muda.105

Menurut Coley106

, moment panas pela juga dilaksanakan manakala hubungan

antara kedua pihak mengalami persoalan-persoalan tertentu yang perlu diputuskan

dan diselesakan. Biasanya pihak yang merasa berkepentingan di dalam satu

masalah akan mengundang pihak lain; ada juga karena ketetapan bersama

dilakukan secara periodek, misalnya selama lima tahun sekali, negeri-negeri yang

berpela secara bergantian menjadi tuan dan nyonya rumah, tempat pelaksanaan

upacara panas pela tersebut.

Rachel Iwamony, merunutkan ritual atau upacara panas pela dalam tahapan-

tahapan sebagai berikut:107

pada awal upacara, warga desa pela dimana panas pela

akan diselenggarakan harus mengambil atau menyambut saudara-saudara pela

mereka –tuan rumah membentangkan kain putih “kain gandong”- di gerbang desa.

Dalam lingkaran kain gandong, mereka berarak-arakan pergi ke baileu atau rumah

tua (rumah tua) di mana mereka harus berkomunikasi dengan nenek moyang

mereka. Dalam baileu atau rumah tua upacara adat dilakukan. Berikutnya, dalam

ritual adat itu, tua-tua adat dua desa pela menceritakan kisah hubungan pela

mereka. Kemudian, para tetua membaca ikrar atau sumpah janji panas pela.

Pada akhir upacara adat di baileu, raja-raja setiap desa berpela meminum sopi

- minuman khas lokal yang selalu digunakan dalam setiap seremonial adat-.

Dalam ritual panas pela, “sopi adat”, menurut Y. T sebagai seorang pelaksana

adat negeri Passo mengatakan bahwa sopi itu sebelumnya telah disediakan oleh

masing-masing negeri, dan kemudian dicampur/ diaduk/ dijadikan satu dalam

“tampayang” dan dituangkan ke dalam satu cangkir untuk diminum bersama.

Ritual minum sopi bersama ini melambangkan bagaimana tetenene moyang

mereka meminum campuran darah. Pada akhir upacara panas pela, setiap orang

mengambil bagian dalam pesta yang disebut “makan patita” atau makan bersama.

105

John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik… (2007),266 106

F.L. Coley, Ambonese Adat: A. General Description. (Michigan: The Cellar Book Shop,

1962), 75 107

R. Iwamony, The Reconciliatory Potential Of The Pela In The Moluccas The Role Of The

Gpm In This Transformation Process. (Belanda: Amsterdam University, Disertasi Digital Version

2010),70

Page 40: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

52

Dalam upacara panas pela semua warga pela diharapkan hadir terutama Saniri

Negeri dan tua-tua adat. Menurut Cooley, bagian-bagian penting dari upacara

panas pela yakni, antara lain: pembacaan kembali sejarah pela; pengambilan

sumpah dan minum campuran darah bersama (untuk jenis pela keras) atau makan

sirih-pinang bersama (untuk jenis pela tampa-siri). Kedua upacara ini merupakan

inti proses pada saat hubungan itu dibentuk sebelumnya. Tujuannya sebagai

regenerasi atau pewarisan tradisi ini kepada anak-cucu. Sesudah kedua prosesi inti

itu selesai dilakukan, biasanya diadakan rapat Saniri kedua pihak.108

5. Nilai-nilai Budaya Pela Gandong

Pela Gandong sebagai sebuah realitas eksistensi kehidupan orang Maluku

yang berakar historis memiliki nilai guna yang membuktikan hakikat keberadaan

dan kebermaknaannya sebagai sebuah “Jenius Kehidupan (loval genius) yang

khas“. Van Peirsen menegaskan, bahwa suatu realitas itu bukan sekedar realitas

fakta tapi juga realitas nilai, ia mengandung nilai kultural, agama dan sosial.109

Pela dapat dikatakan sebagai momen-moment historis dari cara berada orang

Maluku yang tidak dapat disangkal intrinsik memperlihatkan realitas nilai. Nilai-

nilai Pela antar lain:

Pertama, nilai Persaudaraan: hubungan persaudaraan (adik-kakak), dalam

pela gandong tidak dapat dipisahkan walaupun berbeda tempat hunian atau

berbeda agama seperti antara negeri-negeri Islam-Kristen, seperti negeri

Batumerah-Passo; Hitulama-Nusaniwe; Hutumuri-Tamilau (Seram); Negeri-

tengah-tengah-Abobu (Nusalaut); Morela-Waai; Wakal, Hitumessy-Rumah tiga;

Pelauw-Titaway.110

Pattikayhattu (ed) juga mencatat tentang nyanyian adat atau

kapata “Henamasawaya“ yang mengkisahkan betapa negeri-negeri Islam di

seputar gunung Salahutu, begitu mengenangkan saudara mereka negeri Waai yang

telah turun bermukim di pantai “Honimua“ dan telah berpindah agama Kristen,

108

F.L. Coley, Ambonese Adat… (1962),76 109

Van Peursen, Fakta, Nilai dan Peristiwa. (Terj) Jakarta: Gramedia, 1990, viii 110

Pattikayhattu. J.R.Z. Leirissa, M. Soenjata Kartadarmadja (ed). Sejarah Sosial Di Daerah

Maluku. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai-nilai

Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983),5

Page 41: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

53

namun mereka tetap bersaudara.111

Terdapat juga hubungan persaudaraan antar

negeri-negeri juga lima negeri: Pelauw, Kailolo, Karbau, Rohomi dan Hulaliu.

Kedua, nilai solidaritas. Menurut Bartles, indikasi nilai solidaritas pela

nampak dalam praktik membantu atau tolong menolong.112

Ketiga, Nilai

kerukunan. Menurut Uhi, kerukunan terjalin karena asas kekerabatan (dikenal

dengan istilah gandong, ade-kakak, bungso) dalam hubungan sosial antara

masyarakat yang satu dengan yang lain, walaupun berbeda agama. Kerukunan

dalam tradisi masyarakat Maluku berarti upaya menjaga dan mempertahankan

eksistensi masyarakat serta memegang teguh ikatan persaudaraan. Kerukunan

disini lebih lebih mempertegaskan adanya upaya mengembangkan nilai-nilai

hidup yang dapat menciptakan kembali keharmonisan, keselarasan dan

keseimbangan hidup. 113

Keempat, nilai Religius. Dalam praktik adat Pela Gandong, tidak terlepas dari

penyembahan kepada leluhur, masyarakat adat Pela mengakui akan adanya suatu

kekuatan adi kodrati. Karena itu, mereka selalu terhubung dan bergantung

kepadanya (Baca leluhur/tetenene-moyang). Manusia Ambon percaya terhadap

leluhur sebagai yang menurunkan kebijakan-kebijakan berupa tata tertib atau adat

untuk menata kehidupan mereka secara selaras, serasi dan harmoni dalam suatu

totalita. Tata tertib yang bersumber dari leluhur karena itu bersifat sakral. Olehnya

pelanggaran adat akan menimbulkan sanksi. Relasi antar masyarakat dan leluhur

yang terwujud dalam seluruh aktivitas atau tindakan masyarakat BerPela Gandong

bertujuan untuk mencapai keharmonisan dan kesatuan masyarakat. Artinya, nilai

religius menjadi pendorong bagi individu-komunitas berPela untuk berbuat

baik.114

111

J.S Pattikayhattu, (ed), Sejarah Sosial... (1983), 5 112

Dieter, Bartels. Guarding... (1977), 203 113

Jannes Alexander Uhi, Filsafat Kebudayaan :konstruksi pemikiran Cornelius Anthonie van

Peursen dan catatan reflektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 129-130. 114

Jhon.Ch. Ruhulesin, Etika Publik… (2007), 253

Page 42: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

54

C. KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA

1. Agama dan Budaya

Swidler,115

memahami agama dari akar kata Latin "re-ligare” yang berarti

pemahaman tentang makna akhir dari kehidupan, didasarkan pada gagasan dan

pengalaman transenden seseorang. Agama adalah sistem yang terorganisir dari

keyakinan, praktik, ritual, dansimbol-simbol yang dirancang (a) untuk

memfasilitasi kedekatan transenden, dan (b) untuk mendorong pemahaman

tentang hubungan dan tanggung jawab sosial perseorangan dalam sebuah

komunitas.

Swidler melanjutkan bahwa: agama mengandung empat "C": Creed, Code, Cult,

and Community-structure: a) Creed mengacu pada aspek kognitif agama

yang menjelaskan tentang makna akhir dari kehidupan; b) Code adalah

perilaku atau etika yang mencakup semua aturan dan kebiasaan dari tindakan

manusia; c) Cult berarti semua kegiatan ritual dan devosional yang

berhubungan dengan kepercayaan yang transenden, seperti doa, kebiasaan

ibadah, perilaku terhadap figur otoritas, perayaan, dan lain-lain; d)

Community-structure mengacu pada hubungan antara orang-orang beragama;

ini bisa bervariasi, dari hubungan yang sangat egaliter, melalui sebuah

'struktur dalam suatu masyarakat. Agama dipahami sebagai makna eksterior

atau eksternal kemanusiaan yang terbentuk dari kehidupaan sosial dan

budaya masyarakat.116

Menurut pandangan Pedersen,117

budaya membentuk perilaku manusia baik

sadar maupun tak sadar mengenai pemikiran, persepsi, nilai, tujuan, moral, dan

proses kognitif. Apa yang diklaim sekelompok orang sebagai bagian dari budaya

dan warisan mereka, tidaklah selalu tampak dengan jelas pada pandangan

pertama. Senada dengan itu, Ramdani118

mendefinisikan kebudayaan sebagai

sistem pengetahuan yang meliputi sistem idea atau gagasan yang terdapat dalam

pikiran manusia. Perwujudan dari budaya adalah benda-benda yang diciptakan

oleh manusia yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat

nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,

115

Leonard, Swidler. “Sorting Out Meanings: Religion, Spiritual, Interreligious, Interfaith”,

Etc, dalam J. D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, (Jakarta: BPK. Gunung

Mulia, 2016), 12 116

Leonard, Swidler. “Sorting Out Meanings: Religion, Spiritual, Interreligious, Interfaith”,

Etc, dalam J. D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, (Jakarta: BPK. Gunung

Mulia, 2016),12 117

P. Pedersen(Ed. ). Handbook of cross-culturalcounseling and therapy. (New York: Praeger,

1987). 118

Wahyu, Ramdani. Ilmu Budaya Dasar. (Bandung: Pustaka Setia,2007), 97

Page 43: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

55

religi, seni, dan-lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia

dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Sulistyarini dan Jauhar,119

mengungkapkan sifat budaya ada dua, yaitu:

universal (umum) dan khas (unik). Nilai budaya yang universal yakni nilai-nilai

yang umum dimiliki dan dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Contoh dari nilai

budaya yang universal yakni, manusia bebas menentukan hidupnya sendiri,

manusia anti peperangan, mementingkan perdamaian. Sedangkan budaya yang

unik adalah satu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu, yang berbeda dengan

kelompok atau bangsa lain. Keunikan tersebut menjadi ukuran mengenal karakter

kelompok tersebut.

Dengan demikian, konstruksi pemahaman agama dan budaya di atas,

memperlihatkan adanya keterkaitan antara keduanya. Agama maupun budaya

sama-sama membentuk pola kepribadian, pola bertingkah laku manusia, sehingga

baik agama dan budaya mengatur sistem nilai dan pola hidup manusia dalam

hubungan sekitar individu, keluarga, dan masyarakat. Pemahaman tentang agama

dan budaya terkait dimensi nilai-nilai120

menjadi faktor penting, karena turut

mempengaruhi kesadaran dan pemaknaan hidup manusia. Pemahaman tersebut

akhirnya dapat membuahkan kemampuan untuk mengembangkan nilai-nilai

kebudayaan.

Engel,121

mengkaji beberapa hasil penelitian terbaru tentang spiritual,

spiritualitas dan kemudian menghubungkannya dengan agama dalam kerangka

berpikir Swidler, yang dapat mendukung penggalian nilai-nilai hidup dalam

kearifan lokal yang berakar pada kehidupan sosial dan budaya bangsa Indonesia.

Spiritual dipahami sebagai energi kehidupan, yang membuat kita dapat hidup,

bernapas dan bergerak termasuk pikiran, perasaan, tindakan dan karakter kita pada

tataran konseptual.122

Sedangkan, spiritualitas adalah kapasitas dan keunikan,yang

119

Sulistyarini & Mohamad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling. (Jakarta: Prestasi Pustaka,

2014),265. 120

C Klukhohn dalam Jhon W. Berry dkk, Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1999), 102, mengungkapkan bahwa Istilah nilai menunjuk pada

“sesuatu konsep yang dikukuhi individu atau satu anggota kelompok secara kolektif mengenai

sesuatu yang diharapkan berpengaruh pada pemilihan cara maupun tujua ntindakan dari beberapa

alternatif”. 121

J.D. Engel,Konseling Pastoral. . . ,(2016),12 122

Ralph.W. Kraus, Religion, Spiritual, Condurcth of Life: Manners Customs dalam J.D. Engel,

Konseling Pastoral. . . . ,(2016),12

Page 44: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

56

mendorong seseorang untukbergerak melampauidirisendiri mencari makna dan

menyatu dalam keterhubungan dengan dunia kehidupan nyata. Spiritualitas adalah

mencari dan mengenali hubungan antara diri dan orang lain, dan menganggap

hubungan ini sebagai ungkapan gerakan keluar dari batin dan diri sendiri untuk

mencari makna dalam realitas kehidupan (pengalaman transenden).123

Definisi

tersebut mengacu pada bentuk dari tradisi budaya dan agama, serta substansi yang

berhubungan dengan energi kehidupan yang mencakup pikiran, perasaan,

tindakan dan karakter pribadi setiap individu maupun kelompok.124

Pemaknaan spiritual (sebagai nilai) dan spiritualitas dalam agama dapat

ditemukan dalam falsafah hidup kearifan lokal yang berdasarkan kesepakatan

sosial dan budaya agama masyarakat (civil religion) di Indonesia. Agama sipil

menurut Rosseau merupakan agama masyarakat yang memperhatikan bagaimana

orang harus hidup bersama dengan orang lain dan dengan lingkungan alam

sekitarnya.

Agama sipil adalah kesetiaan warga suatu masyarakat yang terikat pada

kontrak sosial yang mereka bangun sendiri untuk mencapai bersama-sama

kehendak umum mereka (general will), yaitu keadilan dan kesejahteraan

bersama. Kalau kehendak umum tersebut dipahami baik dan memiliki nilai

transendental, maka adalah tugas setiap warga Negarauntuk melakukan

tugasnya dengan baik sehingga berguna bagi sesamanya.125

Menurut Engel, penemuan falsafah hidup dalam kearifan lokal agama

masyarakat dapat menjadi kontribusi dalam menyikapi dilema konseling

(pastoral) secara khusus dalam masyarakat Indonesia yang plural,antara lain:126

1. Falsafah hidup orang Timor, hutan adalah rambut, batu adalah tulang, tanah

adalah tubuh, darah adalah air, alam adalah rahim perempuan, tenun

diidentikkan dengan perempuan Mollo. Merusak alam sama dengan merusak

perempuan, merusak perempuan sama dengan merusak generasi. Nilai-nilai

inilah yang menjadi spiritualitas perempuan Mollo bersama Mama Aleta

melawan masuknya perusahaan asing terutama perusahan tambang Mangan di

123

Stanford. Stoyles, A measure of Spirituality Sensitif of Children, dalam J.D.Engel, Konseling

Pastoral. . . ,(2016),12 124

J.D. Engel, Konseling Pastoral... (2016), 12 125

Jean.J. Rossou, ”On Social Contrat ” dalam Jhon. A. Titaley, Religiotitas Di Alinea Tiga:

Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana University

Press, 2013),6 126

J.D. Engel, Konseling Pastoral... (2016), 12

Page 45: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

57

NTT, dengan cara yang sangat khas perempuan, melalui tenun sebagai dirinya

sendiri.

2. Filosofi orang Minahasa, si tou timou tumou tou mengandung arti manusia

hidup untuk memanusiakan sesama manusia. Dapat dikatakan manusia jika

sudah dapat memanusiakan manusia. Ungkapan ini berhubungan dengan

solidaritas kemanusiaan dan kesetiakawanan yang menghidupkan, berarti

menghargai kehadirannya, memberdayakan dalam kebersamaan.

3. Mangrambu langi adalah upacara adat di Toraja yang merupakan acara

pembakaran hewan (dalam hal ini kerbau atau babi) yang dilakukan oleh yang

bersalah (berbuat zinah dan membakar kuburan). Mangrambu langi

mengandung makna penerimaan kembali dalam rangka penguatan dan

pemberdayaan orang yang telah melakukan kesalahan.

4. Giwu dalam masyarakat Pamona Sulawesi Tengah adalah sanksi adat bagi

mereka yang melanggar ketentuan adat sebagai kontrak sosial, demi untuk

menjaga keseimbangan kosmos dengan membayar sejumlah kain, binatang dan

uang sesuai besar-kecil pelanggaran. Sanksi adat tersebut memberi pemahaman

ganda tentang dampak psikologis seperti rasa malu, rasa bersalah, tidak layak,

penyesalan, dan di sisi lain memberdayakan mereka yang kena giwu keluar dari

keterpurukan untuk menjalani suatu kehidupan yang diperbaharui.

Kajian diatas hendak mengartikan bahwa dimensi spiritual sebagai nilai-nilai

kehidupan dalam falsafah budaya lokal dari sudut pandang agama masyarakat

Indonesia dapat menjadi fondasi membangun pendekatan konseling berbasis

budaya yang kontekstual untuk mengatasi problematika kemajemukan.

2. Konseling Lintas Agama dan Budaya

Engel,127

mengartikan konseling sebagai proses pertolongan antar seorang

penolong (Konselor) dan yang ditolong (Konseli), dengan maksud untuk

meringankan penderitaan orang yang ditolong. Konseling menempatkan seorang

konselor bersentuhan selalu dengan apa yang disebut relasi terhadap sesamanya.

Kedalaman relasi terbangun jika seorang konselor memandang orang yang

bermasalah itu berharga, yang bukan hanya dikasihani tetapi dicintai. Perwujudan

127

J. D. Engel, Konseling dasar dan pendampingan Pastoral: Pemahaman dan pengalaman

dalam praktek (Salatiga: Widya Sari Press, 2003),1

Page 46: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

58

cinta kasih dalam proses konseling adalah tentang bagaimana memperhatikan

orang lain dengan kehadirannya, penuh perhatian, menghargai, mendengarkan,

saling bekerjasama, bersikap lembah lembut, ramah dan penuh kehangatan, serta

menyatakan empati yang tepat, tidak berpura-pura.

Proses konseling bermaksud bukan hanya meringankan penderitaan konseling,

tetapi memberdayakan. Jadi, konseling merupakan suatu relasi pertolongan atau

saling menolong antar-manusia (konselor-konseli) dengan maksud

memberdayakan konseli untuk mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Karena itu, konseli harus dipandang sebagai individu yang berharga untuk

dicintai.

Dalam prespektif lintas budaya, praktik konseling dapat muncul pada suatu

suku bangsa yang sama. Contohnya, konselor yang berasal dari jawa timur

memberikan layanan pada klien yang berasal dari jawa tengah, dimana mereka

berasal dari suku atau etnis jawa. Sekecil apapun perbedaannya, contoh, orang

jawa timur terkesan “kasar”, sedangkan orang Jawa tengah lebih “halus”.

artinyadalam relasi konseling antara konselor-konseli mempunyai nilai-nilainya

sendiri, yang terbungkus dalam kata “kasar/halus”. Perbedaan ini sulit untuk

disatukan, karena itu cenderung akan menjadi permasalahan tersendiri dalam

proses konseling.128

Clemon E. Vontres129

juga mengemukakan bahwa jika konselor dan klien

secara budaya sama tetapi masing-masing mereka merasa berbeda budaya maka

interaksinya dapat dinamakan lintas budaya. Standar konseling lintas budaya

adalah interaksi yang terjadi dalam hubungan konseling dan bagaimana interaksi

dirasakan serta dihayati oleh konselor dan klien. Dengan demikian dalam

konseling lintas budaya perbedaan antara konselor dan klien bukan hanya terletak

pada adanya perbedaan bangsa saja, tetapi juga mencakup perbedaan aspek-aspek

kebudayaan yang lebih luas.

Sue,130

mengidentifikasi beberapa karakter konselor lintas budaya sebagai

berikut: a) konselor sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya (termasuk

128

Sulistyarini & Mohamad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling… (2014), 274. 129

C.E. Vontress,“Existentialism as a cross-culturalcounseling modality”. In P. Pedersen (Ed. ),

Handbook of cross-culturalcounseling and therapy. (New York: Praeger, 1987), 207-212 130

Sulistyarini & Mohamad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling…(2014), 278

Page 47: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

59

norma-norma agama dan budaya yang unik) dan asumsi-asumsi terbaru tentang

perilaku manusia. Klien adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma

yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa menerima

nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya; b) konselor sadar

terhadap karakteristik: pengertian dan kaidah konseling secara umum. Kaidah

konseling yang terbaru membantu konselor dalam memecahkan masalah yang

dihadapi oleh klien. Konseling lintas budaya merupakan kekuatan baru dalam

dunia konseling. Terkhusus dalam praktek konseling di Indonesia, harus sadar

bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis dalam keragaman

keagamaan, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda.

Sejalan dengan itu, menurut Pedersen,131

konselor lintas budaya mesti

mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Kesadaran,

bahwa ada perbedaan prinsipal antara dia dengan klien yang akan dibantunya.

Konflik mungkin akan timbul dalam konseling lintas budaya. Karena konselor

harus mengerti dan memahami konteks budaya konseling, terutama nilai budaya

yang dimiliki. Kesadaran konselor akan nilai-nilai budaya yang dimiliki klien

dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan konseling; pengetahuan,terkait

dengan budaya sebaiknya harus dikembangkan. Terkait dengan sisi sosio-politik

dan sosio-budaya dari kelompok etnis tertentu; keterampilan, dalam berhubungan

dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Sebagai

contoh, konselor banyak berhubungan dengan orang jawa, maka ia akan belajar

bagaimana berperilaku sebagai orang jawa.

Berdasarkan pemikiran mengenai dasar konseling dan prespektif konseling

lintas budaya diatas, maka secara spesifik, konseling lintas agama dan budaya

dapat dipahami sebagai suatu proses pemberian bantuan: menolong antara

konselor dan konseli yang berbeda latar belakang agama dan budaya. Penggunaan

istilah lintas agama dan budaya memuat perbandingan antara dua kelompok,

kelompok standar dan kelompok lain yang berbeda agama atau budaya yang

bermuatan nilai-nilai. Individu-individu dalam suatu kelompok dengan

identitasnya yang berbeda memungkinkan terjadinya interaksi antar budaya yang

131

Pederson, “Kompetensi Konselor Lintas Budaya”, dalam Sulistyarini & Mohamad Jauhar,

Dasar-Dasar Konseling… (2014), 284

Page 48: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

60

berbeda.132

Engel, melihat aspek-aspek yang harus ada dan diperhatikan dalam

konseling lintas agama dan budaya, antara lain: a) latar belakang agama dan

budaya yang dimiliki oleh konselor; b) latar belakang agama dan budaya yang

dimiliki oleh klien; c) asumsi-asumsi terhadap masalah yang dihadapi selama

konseling; dan d) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan dan proses

konseling.133

Senada dengan Engel, Prayitno dan Erman Amti134

dengan mengutip hipotesis

Pedersen, menjelaskan bahwa konseling berprespektif lintas budaya harus

memperhatikan berbagai aspek dan seluk beluknya, yaitu: pertama, makin besar

kesamaan harapan tentang tujuan konseling lintas budaya yang pada diri klien dan

konselornya, maka dimungkinkan konseling itu akan berhasil; kedua, makin besar

kesamaan pemahaman tentang ketergantungan, komunikasi terbuka, dan berbagai

aspek hubungan konseling lainnya pada diri klien dan konselornya, makin besar

kemungkinan konseling itu akan berhasil; ketiga, makin besar kemungkinan

penyederhanaan harapan yang ingin dicapai oleh klien menjadi tujuan-tujuan

operasional yang bersifat tingkah laku dalam konseling lintas budaya, makin

efektiflah konseling dengan klien tersebut;

Keempat, makin bersifat personal dan penuh dengan nuansa emosional

suasana konseling lintas budaya, makin mungkinlah klien menanggapi

pembicaraan dalam konseling dengan bahasa ibunya, dan makin mungkinlah

konselor memahami sosialisasi klien dalam budayanya; kelima, keefektifan

konseling lintas budaya tergantung pada kesensitifan konselor terhadap proses

komunikasi pada umumnya (baik verbal maupun non-verbal), dan terhadap gaya

komunikasi dalam budaya klien; keenam, latar belakang dan latihan khusus, serta

pemahamanterhadap permasalahan hidup sehari-hari yang relevan dengan budaya

tertentu, akan meningkatkan keefektifan konseling dengan klien yang berasal dari

latar belakang budaya tersebut;

132

J.D. Engel. Konseling Pastoral… (2016),80 133

D. Rusell. Religious and Values As Cross CulturalIssues in Counseling. Dalam J.D. Engel.

Konseling Pastoral… (2016),80 134

Pederson, “Aspek-aspek Konseling Lintas Budaya”dalam Prayitno & Erman Amti, 1999,

Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan dan PT Rineka Cipta),175-176

Page 49: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

61

Ketujuh, makin klien lintas budaya kurang memahami proses konseling,

makin perlu konselor atau program konseling lintas budaya memberikan

pengarahan/pengajaran/latihan kepada klien itu tentang keterampilan

berkomunikasi, pengambilan keputusan, dan transfer (mempergunakan

keterampilan tertentu pada situasi-situasi yang berbeda); kedelapan, keefektifan

konseling lintas budaya akan meningkat sesuai dengan pemahaman (klien dan

konselor) tentang nilai-nilai dan kerangka budaya asli klien dalam hubungannya

dengan budaya yang sekarang dan yang akan datang yang akan dimasuki klien.

Sehubung dengan pemikiran diatas, maka dasar pikir diperlukannya konseling

lintas agama dan budaya, dalam prespektif lintas budaya yang berkaitan dengan

pengembangkan pendekatan konseling, yakni tentang adanya berbagai

keterbatasan, hambatan dalam praktek konseling yang selama ini dilakukan,

terutama pendekatan psikodinamik, behavioristik, eksistensi, dan humanistik,

yang kurang mempertimbangkan aspek budaya; terdapat berbagai pendekatan

konseling yang bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya asli masyarakat

(indegineous value), yang berkembang dalam praktik konseling di masyarakat.

Olehnya itu, dalam praktek konseling lintas agama dan budaya tidak semua

pendekatan dapat dipraktekkan secara efektif, terutama dalam setting budaya yang

tidak sama dengan budaya barat.135

Selanjutnya, Engel136

merangkum beberapa isu hambatan praktik pelayanan

konseling (pastoral) di Indonesia yang ahistoris, kristenisasi, dan berbenturan-

benturan dengan kearifan lokal. Olehnya itu, diperlukannya Indigenous konseling

yang setidaknya berpijak di atas dua alasan. Pertama, metode konseling pastoral

yang meliputi asumsi-asumsi nilai, preferensi ideologis, apriori kognitif dan

orientasi filsafat Barat, berbenturan dengan falsafah hidup dan nilai-nilai spiritual

dalam kearifan lokal dengan latar sosial dan budaya Indonesia. Kedua, isu ahistori

dan paradigma konseling pastoral yang menekankan kekristenan Barat yang

individualis, egaliter dan otonom berlawanan karakteristiknya dengan sosial

budaya masyarakat Indonesia yang komunal, dan deterministik. Engel

135

M. Jumarin, (2002). Dasar-Dasar Konseling Lintas Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),23 136

J.D. Engel. Konseling Pastoral…, (2016),14

Page 50: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

62

membandingkan pemikiran Kim et.al,137

tentang indigenous psikologi maka

indigenous konseling, adalah suatu pendekatan pada konteks keluarga, sosial,

budaya dan ekologi yang memiliki sistem nilai, makna dan keyakinan. Indigenius

konseling Indonesia merupakan konseling yang berakar dan lahir (native) dari

kearifan lokal serta dirancang untuk masyarakat dan sosial budaya bangsa

Indonesia.

Isu-isu penghambat praktek konseling pastoral dalam analisa sosio-kultural

dalam mensikapi dilema pelayanan konseling (pastoral) dalam masyarakat

Indonesia yang majemuk, menurut Engel membuka cakrawala berpikir untuk

memiliki kemampuan: 1) mengkaji falsafah dan nilai-nilai hidup dalam kearifan

lokal budaya bangsa Indonesia; 2) mentransformasi, menginternalisasi,

memodifikasi, dan mengintegrasikan teori-teori konseling Barat ke dalam falsafah

hidup dan nilai-nilai kearifan lokal menjadi suatu teori konseling yang kontekstual

dan berpusat budaya Indonesia; 3) mengaplikasikan bidang keahlian dalam

konseling dengan memanfaatkan nilai-nilai spiritual dalam ritus dan simbol-

simbol budaya untuk menyelesaian masalah.

Isu-isu penghambat proses konseling secara khusus dalam pengembangan

pendekatan konseling yang lebih kontekstual (Indonesia) mengartikan bahwa

pemilihan pendekatan konseling mesti fleksibel dan bijaksana. Pendekatan

konseling sebaiknya sesuai dengan dengan paham filsafat atau karakteristik

konteks konseling (setting konseling). Menurut Willis, pengaplikasian

pendekatan-pendekatan konseling yang kontekstual adalah pendekatan yang harus

berdasarkan pada kebutuhan serta kondisi sosial, budaya. Olehnya pendekatan

atau teori konseling bukanlah tunggal untuk semua kasus yang diselesaikan, tetapi

dapat dicoba secara kreatif memilih beberapa pendekatan yang relevan.138

Menurut Engel,139

terdapat tiga pendekatan konseling prespektif lintas

budaya, yakni: pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan

inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua,

pendekatan emik (kekhususan budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik

137

UIchol. Kim, “Indegouneus and Culturl Psychology”dalam J.D. Engel: Konseling Pastoral…

(2016), 15 138

Sofyan S. Willis, Konseling Individual: Teori dan Praktek (Bandung: ALFABETA, 2007),55 139

J. D. Engel. Konseling PastoraL… (2016), 68-69

Page 51: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

63

khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus

mereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak

diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s. Mereka menggunakan istilah

trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan

bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal.

Pandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula

konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik

anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai,

dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki

perbedaan budaya dominan. Cakupan komponen pendekatan konseling

transcultural, yaitu: pertama, sensitifitas konselor terhadap variasi-variasi dan

bias budaya dari pendekatan konseling yang digunakan; kedua,pemahaman

konselor tentang pengetahuan budaya konselingnya; ketiga, kemampuan dan

komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang

merefleksikan kebutuhan budaya konseli; dan keempat, kemampuan konselor

untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya. Adapun asumsi yang

mendasari pendekatan ini, yakni bahwa semua kelompok budaya memiliki

kesamaan kebenaran untuk kepentingan konseling.

Selain tiga pendekatan diatas, terdapat pula tiga model konseling lintas

budaya yang diajukan Palmer and Laungani,140

yakni (1) culture centred model,

(2) integrative model, dan (3)ethnomedical model. Pertama, Culture Centred

Model atau model berpusat pada budaya, berfokus pada pemahaman yang tepat

atas nilai-nilai budaya yang telah diyakini dan menjadi pola perilaku individu.

Olehnya itu, penemuan akar budaya menjadi sangat penting, agar dalam proses

konseling ada upaya evaluasi terhadap dirinya masing-masing sehingga terjadi

pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing;

kedua, integrative Model atau model integratif, berfokus pada asesmen yang tepat

terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber

perkembangan pribadi dari beberapa variabel kelas, seperti: reaksi tekanan rasial,

pengaruh budaya mayoritas, pengaruh budaya tradisional, dan pengalaman

keluarga yang saling berkaitan. Olehnya itu, kemampuan mengakses nilai-nilai

140

Stephen, Palmer & Laungani, Pittu, “Tiga Model Konseling Lintas Budaya” dalam J.D.

Engel. Konseling Pastoral…, (2016),69-72

Page 52: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

64

budaya tradisional penting Budaya tradisional yang dimiliki individu sangat

penting untuk menentukan keberhasilan konseling;

Ketiga, ethnomedical Model atau model etnomedikal, berorientasi pada

paradigma memfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan sensitifitas

transkultural. Model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam

budaya sebagai kerangka pikirnya. Artinya seseorang dikatakan sakit apa bila :

melakukan penyimpangan norma-norma budaya, melanggar batas-batas

keyakinan agama dan berdosa, melakukan pelanggaran hukum, mengalami

masalah interpersonal. Penyembuhan terhadap keadan sakit tersebut dapat

dilakukan dengan mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan

konseli. Seseorang dikatakan sehat jika fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan

secara penuh dapat melakukan aturan-aturan sosial dalamkomunitasnya,

memahami permasalahan sesuai dengan konteks, mampu memecahkan

ketidakberfungsian interpersonal, menyadari dan memahami budayanya sendiri

Peninjauan tentang konsepsi agama, budaya dan konseling lintas agama,

memberi arti bahwa dimensi nilai-nilai agama dan budaya dapat mewarnai seluruh

sistem konseling. Sistem nilai mewarnai dan mempengaruhi sistem konseling,

salah satunya yakni, bahwa budaya memberi arah bagi subsistem konsep dasar

konseling yang mencakup landasan filosofis dan tujuan konseling. Landasarn

filosofis konseling pada dasarnya adalah nilai-nilai budaya. Tujuan konseling

yang akan dicapai harus sejalan atau diwarnai nilai budaya, orientasi nilai. Selain

itu, budaya juga menentukan dan mewarnai metode memahami individu dan

metode/teknik konseling.141

Jadi, dalam proses konseling berwawasan lintas

budaya tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan masing-masing individu. Bahkan

kebudayaan mempengaruhi pendekatan142

dan teknik layanan konseling.

141

M. Jumarin, Dasar-dasar Konseling… (2002), 61-63 142

Sofyan S. Willis, Konseling Individual:Teori dan Praktek(Bandung: ALFABETA, 2007), 55.

Pendekatan konseling (counseling approach)disebut juga teori konseling merupakan dasar bagai

suatu pelaksanaan konseling. Pendekatan atau teori konseling akan memudahkan dalam

menentukan arah proses konseling.

Page 53: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

65

D. Rangkuman

Berdasarkan sejumlah paparan yang telah disajikan sepanjang Bab ini, maka

tampak ada beberapa hal yang menarik untuk disimak, sebagai berikut:

1. Konfliktual hubungan Islam-Kristen dalam lintasan sejarah: konteks timur

tengah-eropa, yang mana kedua agama saling bersikap dan berperilaku keras

(permusuhan, intoleransi, peperangan) telah menciptakan kecurigaan dan

mengikis rasa percaya. Tindak kekerasan pada masa ekspansi Islam (di

Spanyol) telah memicu bangkitnya Gerakan-gerekan berbasis keagamaan

yang memandang Islam sebagai ancaman keberimanan mereka. Karena itu,

harus dilawan atau perangi. Peristiwa perang Spanyol menjadi pemicu

peristiwa perang salib (abad kesebelas), yang bermotif religious, ekonomi,

politik, meluas menjadi konflik antar agama. Perang salib antar dunia Islam

dan Barat yang telah menetapkan streotipe kedua komunitas: Islam sebagai

“agama pedang“ dan kristen sebagai “agama perang“.

Selain itu, pada konteks Indonesia, konfliktual (perpecahan) hubungan

Islam-Kristen, tidak dapat dilihat terlepas dari dinamika politik, sosial,

ekonomi Nasional: pemerintahan penjajah-indonesia. Penjajah dengan tujuan

perluasan jaringan perdagangan dan penyebaran agama berhadapan

(berperang atau berkoalisi) dengan komunitas agama Islam yang telah

menjadi agama kerajaan dan menguasai perdagangan (khusus di kawasan

Timur-Maluku). Konflik berlatar politik (mobilisasi dan dominasi kekuasaan)

dan ekonomi (perebutan sumberdaya, bisnis). Konflik nampak langsung

dalam sikap dan tindakan kekerasan (saling membunuh, mengkristenkan-

mengislamkan wilayah (pada zaman protugis-VOC)). Agama Kristen dicap

sebagai agama kolonial, dan Islam dicap sebagai “orang kafir“.

Pada pemerintahan Orde Baru-Reformasi Islam-Kristen berkembang

menjadi gerakan-gerakan politik berbasis keagamaan (salah satunya

perjuangan ideologi politik Islam telah dimulai pada masa pra kemerdekaan).

Kelengseran resim Orde Baru berimplikasi politis yakni: berdirinya

Organisasi dan Partai Politik berbasis Agama salah satunya Islam yang

mengadopsi Islam sebagai Ideologis mengantikan Pancasila. Politisasi agama

yang demikian cenderung menciptakan batas-batas sektarian dan komunal.

Page 54: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

66

Pada masa reformasi sendiri, persoalan hubungan agama lebih cenderung

berkisar antara masalah kebebasan beragama. Konflik dan kekerasan nampak

melalui pengrusakan, penganiayaan, berbuatan amoral golongan-golongan

yang mengatasnamakan agama tertentu. Fenomena kerusuhan Islam-Kristen

(konflik komunal) cenderung dipicu oleh peristiwa yang tidak bersangkutan

dengan agama (hanyalah hasil provokasi), tetapi berkobar dan meningkat

ketika disusupi muatan keagamaan.

Akhirnya, sejarah konfliktual hubungan Islam-kristen: Timur tengah-

Indonesia memperlihatkan adanya sikap dan perilaku negositif, kerjasama,

koalisi dalam menyikapi dinamika sosial, ekonomi, politik terkait hubungan

kedua agama. Kedua agama dapat bersatu (harmonis) atau sebaliknya pecah

(konflik), manakala keduanya berada dalam ikatan sosial dan kultrul yang

sama: sama-sama orang Maluku, orang Jawa yang memperjuangkan tujuan

yang sama, yaitu kemanusiaan dan membebaskan (misalnya, perjuangan

melawan penjajah). Sebaliknya, manakala ikatan sosial itu rentan oleh

kepentingan-kepentingan dan tujuan politik (pribadi, golongan: yang

sektarian) tertentu, sehingga sering kali, terkesan termanfaatkan atau

terpolitisasi pada konteks hubungan-hubungan semu (materialism) yang

eksploitatif, diskrimitaf dan destruktif.

2. Konflik terdefenisikan sebagai suatu proses interaksi sosial di antara dua

orang-kelompok atau lebih (masyarakat), yang berbeda atau bertentangan

dalam pendapat atau tujuan mereka. Secara khusus, dalam konteks organisasi

atau komunal, konflik merupakan ketidaksesuaian anggota organsisasi yang

timbul karena fakta bahwa mereka harus berbagi dalam hal mendapatkan

sumber–sumber daya yang terbatas, memiliki status, tujuan, nilai-nilai atau

persepsi yang berbeda, dan benturan kepentingan.

Selanjutnya, Jenis-jenis konflik dapat terklasifikasikan berdasarkan altar

terjadinya, konflik atau objek konflik, pelaku konflik dan substansinya.

Khususnya dalam konteks Indonesia, antara lain: konflik ekonomi atau

perebutan sumberdaya ekonomi yang terbatas, seperti tanah, perkebunan,

pasar oleh pihak-pihak yang berkepentingan; konflik politik atau konflik yang

Page 55: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

67

terjadi karena pihak yang berkonflik perupaya mengumpulkan, mendapatkan

dan menggunakan kekuasaan untuk menggolkan tujuan atau ideologinya;

konflik agama atau konflik diantar pemeluk (individu-komunitas) yang bukan

karena dasar perbedaan ajaran atau kitab suci agama, seperti perang salib.

Agama juga dapat dimanfaatkan atau menjadi alat ideologi golongan

tertentu untuk pencapaian tujuan politik, ekonomi, dan sosial dari satu

kelompok atau individu tertentu. Disini, agama bersangkut paut dengan

politik ideologi; konflik sosial atau konflik karena latar multidimensi

(kemiskinan, ketidakadilan, perbedaan cultural, perbedaan pandangan dan

sikap hidup dsb) konflik sosial dapat menimbulkan streotipe, prasangka,

stigma, curiga atau kecemburuan antar suku, seperti konflik Maluku.

Konflik alamiah karena adanya penyebab atau “kondisi objektif”, antara

lain: keterbatasan sumber; tujuan yang berbeda; saling tergantung; sistem

imbalan yang tidak layak; beragam interaksi sitem sosial: perbedaan agama,

suku, ideologi. Penyebab konflik lainnya juga, seperti: ada rasa dipisahkan,

dibedakan, dianaktirikan dari suatu kebersamaan; tidak ada interaksi antar

anggota kelompok; ada perbedaan posisi dan peran para anggota kelompok;

ada kelangkaan kebutuhan dan keinginan terhadap sumber daya yang

membuat banyak orang merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi

sumber daya tersebut.

Konflik mempunyai pengaruh atau berdampak positif dan negatif bagi

kehidupan manusia baik secara individu maupun kelompok. Dampak positif,

yakni menciptakan perubahan, pesamaan hak; membawa objek konflik

kepermukaan; memahami orang lain lebih baik, memahami adanya perbedaan

pendapat, pola pikir, dan karakter; konflik menyebabkan revitalisasi norma.

Sedangkan Pengaruh negatif, yakni seperti menurunnya produktifitas karena

hilangnya jam kerja, penurunan kesehatan fisik dan jiwa; merusak hubungan

komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat konflik; menciptakan rasa

tidak tenang, marah, benci, antipasti dan agresi terhadap lawan konflik;

merusak sistem organisasi; kerusakan sistem menciptakan sinergi negatif;

menurunkan mutu pengambilan keputusan karena kebuntuan diskusi, fitnah,

agresi, sabotase dan hilangkanya rasa saling percaya.

Page 56: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

68

Konflik sebagai suatu proses sirkul yang berawal dari adanya sesuatu yang

menyebabkan terjadinya konflik-konflik-objek konflik-sampai terjadinya

solusi. Secara bertahap, konflik berproses dari Penyebab Konflik; Laten atau

tidak terlihat; Fase Pemicu; Fase eskalasi; Fase Krisis; Fase resolusi konflik;

Fase Pasca Konflik.

3. Serangkaian upaya menggiring konflik kearah yang positif atau membangun

memerlukan suatu instrument pengelolaan konflik. Manajemen konflik

menjadi alat yang penting untuk pihak-pihak yang berkonflik untuk belajar

mengenali konflik dan cara mengelolah konflik itu. Manajemen konflik

merupakan proses pihak-pihak yang berkonflik menyusun strategi konflik dan

diterapkan untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang

diinginkan. Strategi konflik sebagai bagian dari upaya manajemen konflik

merupakan langkah-langkah penanganan konflik yang terarah pada

penyelesaian atau sebaliknya tidak menyelesaikan konflik.

Manajemen konflik bertujuan untuk mengarahkan fokus pihak-pihak

berkonflik terhadap visi-misi dan tujuan sebuah organisasi; memahami orang

lain dan menghormati keragaman; meningkatkan kreatifitas; meningkatkan

keputusan melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran berbagai informasi

dan sudut pandang; memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta,

pemahaman bersama, dan kerjasama; menciptakan prosedur dan mekanisme

penyelesaian konflik.

Adapun strategi konflik atau gaya manajemen konflik, diantaranya:

pertama, memaksa, konfrontasi, kompromi, menarik diri, mengakomodasi;

kedua, kompetisi, kolaborasi, kompromi, menghindar, mengakomodasi;

ketiga, dominasi, integrasi, kompromi, menghindar.

4. Terakhir, resolusi konflik dapat dipahami sebagai rangkaian tindakan yang

dimulai dari penguraian suatu permasalahan, pemecahan, hingga

penghapusan atau penghilangan permasalahan. Resolusi konflik sebagai

sebuah tindakan pemecahan masalah konflik, dapat dilakukan bersama dalam

kerjasama pihak-pihak yang terlibat konflik (dan atau melalui pihak ketiga

dengan persetujuan pihak-pihak yang terlibat konflik). Resolusi konflik

sebagai bagian dari manajemen konflik, yakni sebagai sebuah metode

Page 57: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

69

penyeleasian konflik yang bisa digunaka oleh pihak-pihak yang teliba konflik

atau melaui intervensi pihak ketiga. Metode resolusi konflik, diantaranya

yakni: mediasi, negosiasi untuk mengasilkan kesepakatan bersama

menciptakan win-win solution, fokus kemasa depan, memfokuskan diri lebih

ke mana depan; kontrol hubungan; menyediakan pilihan-pilihan alternatif

penyelesaian konflik.

Salah satu metode resolusi konflik yang lain, yakni rekonsiliasi.

Rekonsiliasi merupakan upaya membangun kembali kerekatan hubungan,

membereskan, dan menyelesaikan konflik. Rekonsiliasi adalah bentuk

akomodatif dari pihak-pihak yang terlibat konflik destruktif untuk saling

menghargai satu sama lain, menyingkirkan rasa sakit, dendam, takut, benci,

dan bahaya terhadap pihak lawan. Rekonsiliasi merupakan Wirawan adalah

proses tua yang berakar pada agama dan adat istiadat masyarakat. Adat-

istiadat atau budaya Indonesia memiliki kearifan lokal penyelesaian konflik.

Rekonsiliasi atau perdamaian terbagi dalam dua tipe: positif dan negatif

peace. Keduanya dijabarkan dalam tiga tahap, yakni: Peacekeeping,

Peacemaking, dan Peacebuilding

5. Budaya Pela Gandong merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat

Ambon (Maluku). Rekonstruksi sejarah hubungan Pela Gandong, dimulai

dari masa sebelum masuknya Islam, yang berkembang seturut dengan

kemajuan masyarakat Nunusaku (Pulau Seram). Hubungan pela yang

terbangun pada masa ini dapat dipahami sebagai ikatan persaudaraan antar

negeri-negeri (terpisah secara teritorial) namun berasal dari satu nenek

moyang (jenis Pela Gandong); pada masa masuknya Islam-Kristen.

Hubungan Pela terbangun bukan karena faktor geneologis melainkan oleh

adanya sebuah peristiwa penting yang dialami bersama antara negeri yang

berpela; masa setelah Pemerintahan VOC. Hubungan pela terbangun pada

masa ini dilatari pada hubungan kemanusiaan, saling tolong-menolong dan

kerjasama saat peperangan melawan VOC (Jenis Pela Tuni, Keras, Darah,

Tampa-siri).

6. Pela Gandong dalam sistem sosial masyarakat Maluku adalah sebuah jaringan

persekutuan antar masing-masing kelompok (negeri). Hakekat hubungan Pela

Page 58: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

70

Gandong yang mengakomodir atau mengintegrasikan masyarakat Maluku

yang berbeda agama (Islam-Kristen) dan etnis dalam perserikatan yakni nilai

Gandong: Sekandung atau sebagai “orang basudara“. Orang Maluku terikat

dengan kesepakatan bersama melalui perjanjian “angkat sumpah“ Pela yang

menjadi hak dan kewajiban atau seperangkat aturan yang harus ditaati oleh

seluruh komponen masyarakat berpela Gandong. Makna kemanusian dalam

Pela Gandong membentuk hakekat manusia Maluku yang setara dan solider.

Pela Gandong juga menjadi alat, media penyelesaian masalah (konflik)

internal sekutu Pela Gandong.

7. Pela Gandong memiliki fungsi sosial, menghubungkan seluruh anak negeri,

orang asli-pendatang dalam wilayah kedua komunitas yang berPela

Gandong. Fungsi dan peranan Pela Gandong bagi masyarakat, yakni:

pertama, negeri-negeri yang yang terikat dalam hubungan pela saling

membantu dalam saat-saat krisis (perang atau bencana alam); kedua, jika

dibutuhkan satu negeri berpela harus membantu sekutu pela nya dalam

menangani proyek-proyek bersama masyarakat, seperti pembangunan gereja,

mesjid dan sekolah; ketiga, saat seseorang mengunyungi negeri pelanya, ia

berhak mendapat makanan dan ia tidak perlu meminta ijin untuk memenuhi

kebutuhannya akan hasil-hasil pertanian sehingga ia dapat membawanya

pulang; keempat, semua anggota negeri yang termasuk dalam hubungan

berpela diperlakukan sebagai satu darah.

8. Pela Gandong sebagai adat istiadat mengungkapkan jatidiri dan identitas

orang Maluku sebagai “orang basudara“ yang menghargai, menerima

keragaman (kemajemukan) eksistensi individu-komunitas terlestarikan dan

terwariskan dalam ritus panas pela atau “pembaruan pakta Pela“ Ritual panas

pela dilaksanakan secara periodik dan juga manakala hubungan antara kedua

pihak mengalami persoalan-persoalan tertentu yang perlu diputuskan dan

diselesaikan.

9. Manusia adalah insan yang beragama dan berbudaya. Agama dan Budaya

bertumbuh dan berkembang dalam konteks bermasyarakat. Keduanya dapat

membedakan individu-komunitas. Tetapi juga saling terkait sebagai piranti

pembentukan identitas individu-komunitas. Agama dan budaya memiliki

Page 59: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

71

mekanisme ritual (berdimensi spiritual) yang memfasilitasi kedekatan dengan

yang transenden dan mengatur pola pikir atau pandangan dan perilaku

masyarakat (nilai budaya universal juga terdapat dalam agama). Karena itu,

dimensi nilai dalam agama dan budaya yang menjadi faktor penting dalam

interaksi manusia yang dapat dipelajari, dipahami dan dikembangkan sebagai

pedoman membentuk karakter manusia (hakekat manusia). Dimensi spiritual

dalam agama dan budaya masyarakat, dapat berkontribusi dalam menyikapi

dilema konseling dalam masyarakat majemuk (konteks Indonesia).

10. Konseling merupakan relasi pertolongan, dan pemberdayaan antar sesama

(konselor-konseli). Keberhasilan proses konseling ditentukan oleh pandangan

bahwa manusia (konseli) adalah orang yang berharga, karena itu harus

dicintai. Perwujudan cinta kasih dalam proses konseling adalah tentang

bagaimana memperhatikan orang lain dengan kehadirannya, penuh perhatian,

menghargai, mendengarkan, saling bekerjasama, bersikap lembah lembut,

ramah dan penuh kehangatan, serta menyatakan empati yang tepat, tidak

berpura-pura.

11. Konseling Lintas Agama dan Budaya merupakan suatu proses pemberian

bantuan: menolong antara konselor dan konseli (individu-komunitas) yang

berbeda latar belakang agama dan budaya. Perbedaan-perbedaan

memungkinkan terjadinya interaksi antar budaya yang berbeda. Olehnya itu,

konseling menurut supriadi adalah perjumpaan antar budaya. Menyikapi

aspek persamaan budaya, konseling lintas agama dan budaya juga dapat

terjadi atas dasar pemahaman bahwa individu-komunitas berbudaya tetapi

memiliki keunikan (sifat unik budaya).

12. Konseling lintas agama dan budaya harus mempertimbangkan aspek latar

belakang agama dan budaya, dan nilai-nilai yang dianut konselor dan konseli.

Latar belakang tersebut mempengaruhi dan menentukan proses, pendekatan

dan teknik konseling. Artinya, berbagai pendekatan yang telah berkembang

secara historis dan dalam konteks budaya barat (Individualtistik) dapat

kurang sesuai dan bahkan menghambat proses konseling khusus dalam

konteks Indonesia yang memiliki sifat-sifat budaya yang kolektif. Karena itu,

Page 60: BAB II KONFLIK, PELA GANDONG, KONSELING LINTAS …...yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi

72

konseling lintas agama dan budaya mesti memperhitungkan pendekatan-

pendekatan yang bersumber dari budaya asli masyarakat.

13. Konselor lintas agama dan budaya juga harus memiliki kompetensi atau

ketrampilan yang berwawasan lintas agama dan budaya, diantaranya yakni,

sadar dan menerima perbedaan dan persamaan nilai-nilai sosio-budaya yang

dimiliki konselor-konseli; sadar tentang kaidah, terutama tentang

implementasi pendekatan-pendekatan dan teknik konseling; konselor dalam

melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekatan eklektik;

kesadaran konselor akan nilai-nilai budaya yang dimiliki konseli dapat

dijadikan landasan untuk melaksanakan konseling; menjadi pengetahuan,

terkait dengan budaya yang sebaiknya harus dikembangkan dan tentang

bagaiman konteks sosio-politik dan sosio-budaya dari kelompok etnis tertentu

mempengaruhi proses konseling, dan keterampilan membangun hubungan

dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda.