Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
16
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaar feit dimana dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan mengenai
apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit1. Biasanya tindak pidana
disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum yang
artinya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang tindak pidana2. Menurut Simons, tindak pidana adalah
kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggung jawab3. Berdasarkan pada pengertian diatas maka tindak pidana memiliki
unsur-unsur, sebagai berikut:
1) Kelakuan dan akibat (perbuatan);
2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
4) Unsur melawan hukum yang objektif;
5) Unsur melawan hukum yang subektif 4
.
B. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Korupsi
Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa latin, corruption atau menurut
webstudent dictionary adalah coruptus . Selanjutnya dijelaskan bahwa corruptio
berasal dari suatu kata latin yang lebih tua yaitu corumpere . Dari bahasa latin itulah
turun dalam berbagai bahasa di eropa, seperti Inggris: corruption , corrupt ; Prancis:
corruption ; dan Belanda yaitu corruptie (korruptie). Dapat diduga kata korupsi yang
digunakan di Indonesia saat ini berasal dari bahasa Belanda yang kemudian diadopsi
1 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 2014, h. 46.
2 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014. h. 47.
3 Moeljatno, Azaz-Azaz Hukum Pidana, Buna Aksara, Jakarta, 1983, h. 56
4 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, h.
25.
17
atau diterima ke dalam bahasa Indonesia yaitu “korupsi” 5 Dalam perkembangannya
istilah dan arti kata korupsi tersebut akhirnya diterima dalam perbendaharaan kata
Bahasa Indonesia yang oleh Poerwadarminta, kata korupsi dimaknai sebagai
perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya.6
2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Pengertian mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 Undang -Undang Nomor 31 Tahun 1999. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tindak pidana korupsi diartikan: “setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan
paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00”7
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tindak pidana korupsi
diartikan: “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)” 8.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, setidaknya ada 8 (delapan) kelompok delik korupsi, yaitu :
1) Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
2) Kelompok delik penyuapan (aktif maupun pasif);
3) Kelompok delik penggelapan dalam jabatan;
5 Hamzah, Andi, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta. h. 4. 6 Poerwadarminta, W.J.S., Op. Cit., h. 616.
7 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
8 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
18
4) Kelompok delik pemerasan dalam jabatan ( knevelarij, extortion );
5) Kelompok delik pemalsuan;
6) Kelompok delik berkaitan dengan pemborongan, leveransir, dan rekanan;
7) Kelompok delik gratifikasi;
8) Kelompok delik yang merintangi dan menghalang-halangi penanganan
perkara korupsi.9
Selanjutnya bila berpijak pada United Nations Convention Againts Corruption
(UNCAC) Tahun 2003 yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts
Corruption, 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003), ruang lingkup korupsi
ternyata lebih luas yaitu :
1) Penyuapan pejabat publik nasional ( briberry of national publici);
2) Penyuapan terhadap pejabat publik asing dan pejabat organisasi
internasional publik ( briberry of foreign public official and officials of
public international organization );
3) Penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan lain oleh seorang
pejabat publik ( embezzlement, misappropriation or other diversion of
property by a public official );
4) Memperdagangkan pengaruh ( trading in influence );
5) Penyalahgunaan jabatan atau wewenang ( abuse of functions );
6) Memperkaya diri secara tidak sah ( illicit enrichment );
7) Penyuapan pada sektor privat ( briberry in the private sector );
8) Penggelapan kekayaan di sektor privat ( embezzlement of property in the
privat sector).
C. Tinjauan Umum Mengenai Hakim dan Kekuasaan Kehakiman
1. Pengertian Hakim
Dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP, menyebutkan bahwa Hakim merupakan
pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk yang
menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman
yang diatur dalam Undang-Undang. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim
9 Bambang Waluyo, “Optimalisasi Pemberantasan Korupsi di Indonesia” Jurnal Yuridis Vol. 1 No. 2,
Desember, 2014, h. 171-172.
19
untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,
jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 9 KUHAP).
Pengertian hakim di Indonesia kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal 1 angka 5
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa :
“Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
tersebut”
2. Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Menurut Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, “Kekuasan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
meyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan
menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan yang bebas dari
pengaruh pihak manapun dalam mengadili dan menegakkan hukum10
. Kebebasan
hakim dalam memberikan pertimbangan dan menjatuhkan putusan dalam proses
peradilan pidana terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan dalam menjalankan
tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan dan segala campur
tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain luar kekuasaan kehakiman dilarang,
kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945. Secara
kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:11
a) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.
10
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2012, h. 34. 11
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif , Sinar Grafika, Jakarta,
2010, h. 104.
20
b) Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim.
c) Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan
tugas dan fungsi yudisialnya.
Akan tetapi, kebebasan dalam konsep kekuasaan hakim bukanlah suatu
kebebasan mutlak. Kebebasan disini adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan
tidak boleh melanggar dan merugikan kebebasan orang lain. Kebebasan seorang
hakim terbagi dalam dua jenis yaitu kebebasan eksistensial hakim dan kebebasan
sosial hakim. Kebebasan eksistensial adalah kebebasan hakiki yang dimiliki oleh
setiap manusia tanpa melihat predikat yang melekat padanya. Pada profesi hakim
kebebasan eksistensial menegaskan bahwa seorang hakim harus mampu menentukan
dirinya sendiri dalam membuat putusan pengadilan.12
Sementara itu, kebebasan sosial
merupakan ruang gerak bagi kebebasan eksistensial, kita hanya dapat menentukan
sikap dan tindakan kita sendiri sejauh orang lain membiarkan kita.13
3. Tugas, Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim
Seorang Hakim memiliki tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan
melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya dengan memutus perkara-
perkara tersebut seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku. Untuk menegakkan
hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggung
jawab hukum. Tugas hakim secara normatif diatur dalam UndangUndang Nomor 48
Tahun 2009 yaitu:
a) Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
b) Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan
dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan.
c) Menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
d) Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
12
H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, h. 170. 13
Ibid., h. 171.
21
e) Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum
kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta.
D. Tinjauan Umum Mengenai Putusan Hakim
1. Pengertian & Jenis Putusan Hakim
Perihal putusan hakim atau ”putusan pengadilan” merupakan aspek penting
dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian, dapatlah
dikonklusikan lebih jauh bahwasanya ”putusan hakim” di satu pihak berguna bagi
terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang ”statusnya” dan
sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan hakim tersebut.
Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara,
putusan hakim adalah ”mahkota” dan ”puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan,
kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan,
mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim
yang bersangkutan.14
Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan oleh
Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis
ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan sebagai terjemahan dari kata vonis,
yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.15
Sedangkan dalam Bab I Pasal 1 Angka 11 KUHAP, putusan pengadilan
diartikan sebagai pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka,
yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Leden Marpaung memberikan pengertian putusan hakim adalah hasil atau
kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-
masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan.16
Jenis-jenis putusan hakim
menurut KUHAP dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1) Putusan yang bukan putusan akhir.
Dalam praktik, bentuk putusan yang bukan putusan akhir dapat
berupa penetapan atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada
14
Lilik Mulyadi,Op. Cit., h. 119. 15
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. h. 52. 16
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 1992. h. 406.
22
ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yaitu dalam hal
setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasehat
hukumnya mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan
jaksa/penuntut umum.17
Putusan yang bukan putusan akhir antara lain
sebagai berikut:
a) Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili
Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat
terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum
membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasihat hukum
terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan).
Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa Pengadilan
Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif
maupun absolut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan
penasihat hukum, maka dapat dijatuhkan putusan bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang mengadili (Pasal 156 ayat (2)
KUHAP).
b) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum.
Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan apabila
dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, kurang jelas, dan
tidak lengkap.
c) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat
diterima pada dasarnya termsuk kekurangcermatan penuntut umum
sebab putusan tersebut dijatuhkan karena:
a. Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan
tidak ada
b. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah
diadili (nebis in idem), dan
17
Lilik Mulyadi, Op.Cit., h. 125.
23
c. Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa
(verjaring).
2) Putusan Akhir
Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan isyilah putusan
atau eind vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada
hakekatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa
terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan pokok perkara selesai
diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP).18
Putusan akhir antara lain sebagai berikut:
a) Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan
hukum (onslag van alle rechtsvervolging).
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang
dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan
itu bukan merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat terjadi karena:
1. Materi hukum pidana yang didakwakan terbukti, tapi bukan
merupakan tindak pidana.
2. Terdapat hal-hal yang menghapuskan pidana, antara lain:19
Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP).
Melakukan di bawah pengaruh daya paksa/overmacht
(Pasal 48 KUHP).
Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP).
Adanya ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP).
Adanya perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).
b) Putusan bebas (vrijspraak)
Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang
berbunyi “ Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
18
Lilik Mulyadi, Op.Cit., h. 124. 19
Evi Hartanti, Op.Cit., h. 54.
24
di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa
diputus bebas”.
Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan ” adalah tidak
cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.
Beberapa bentuk putusan bebas (vrijspraak) adalah sebagai
berikut:20
1) Pembebasan murni atau de ”zuivere vrijspraak”, dimana sama
sekali tidak terbukti tindak pidananya.
2) Pembebasan tidak murni atau de ”onzuivere vrijspraak” dalam
hal ”bedekte nietigheid van dagvaarding” (batalnya dakwaan
secara terselubung) atau pembebasan yang menurut
kenyataanya tidak didasarkan pada ketidakterbuktian dalam
surat dakwaan. Putusan bebas tidak murni atau de ”onzuivere
vrijspraak” mempunyai kualifikasi, sebagai berikut :
(a) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru
terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat
dakwaan.
(b) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui
batas kewenangannya baik absolut maupun relatif dan
sebagainya.21
3) Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaan atau
de ”vrijspraak op grond van doelmatigheid overwegingen”
bahwa berdasarkan pertimbangan haruslah diakhiri suatu
penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya.
20
Lilik Mulyadi, Op.Cit., h. 158-159. 21
Oemar Seno Adjie, KUHAP Sekarang, Jakarta : Erlangga, 1989, h. 167.
25
4) Pembebasan yang terselubung atau de ”bedekte vrispraak”
dimana hakim telah mengambil putusan tentang ”feiten” dan
menjatuhkan putusan ”pelepasan dari tuntutan hukum”, padahal
menurut putusan tersebut berisikan suatu ”pembebasan secara
murni”.
c) Putusan pemidanaan
Putusan Pemidanaan adalah putusan yang dijatuhkan terhadap
terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara
sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan
padanya.
Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim yang berpendapat
bahwa:22
1. Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut
umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum;
2. Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak
pidana (kejahatan/misdrijven atau pelanggaran/overtredingen);
dan
3. Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta
persidangan (Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP).
2. Isi Putusan Hakim
Secara umum formalitas yang harus ada dalam putusan hakim diatur dalam
ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Dari ketentuan tersebut sedikitnya sepuluh
elemen harus terpenuhi sehingga menurut ayat (2) pasal tersebut kalau ketentuan itu
tidak terpenuhi kecuali yang tercantum dalam huruf a s.d. e, putusan batal demi
hukum (van rechtswege nietig atau null and void). Ketentuan-ketentuan formalitas itu
adalah sebagai berikut:23
1) Kepala putusan yang bertuliskan berbunyi: ”DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
22
Lilik Mulyadi, Op.Cit., h. 173. 23
Evi Hartanti, Op.Cit., h. 63.
26
2) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa;
3) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. Pertimbangan yang
disusun secara ringkas mengenai pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa;
4) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
5) Tuntutan pidana, sebagaimana yang diatur dalam surat tuntutan;
6) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum
dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa;
7) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal;
8) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhi semua unsur dalam
rumusan tindak pidana disertai kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan
yang dijatuhkan;
9) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
10) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana
letaknya kepalsuan itu, terdapat surat otentik dianggap palsu;
11) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
12) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, hakim yang memutus, dan
nama panitera.
3. Pertimbangan Hakim dalam Putusan
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan menurut Rusli Muhammad
dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
1) Pertimbangan yang bersifat yuridis
Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim
yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam
persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang
harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud tersebut antara
lain:
27
a) Dakwaan jaksa penuntut umum
Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena
berdasar itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaan
selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak
pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat
tindak pidana itu dilakukan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan
hakim adalah dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang
pengadilan.
b) Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa menurut Pasal 184 butir e KUHAP,
digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa
yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau dialami sendiri. Dalam
praktik, keterangan terdakwa dapat dinyatakan dalam bentuk
pengakuan ataupun penolakan, baik sebagian ataupun keseluruhan
terhadap dakwaan penuntut umum dan keterangan yang
disampaikan oleh para saksi. Keterangan terdakwa sekaligus juga
merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum
ataupun dari penasihat hukum.
c) Keterangan Saksi
Salah satu komponen yang harus diperhatikan dalam
menjatuhkan putusan adalah keterangan saksi. Keterangan saksi
dapat dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu
mengenai sesuatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, alami sendiri, dan harus disampaikan di dalam sidang
pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi menjadi
pertimbangan utama dan selalu dipertimbangkan oleh hakim dalam
putusannya
d) Barang-barang bukti
Pengertian barang bukti disini adalah semua benda yang
dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di
depan sidang pengadilan, yang meliputi:
28
1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau
sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil
tindak pidana;
2. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkan;
3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
tindak pidana;
4. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak
pidana yang dilakukan.
Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk
alat bukti. Sebab Undang-Undang menetapkan 5 (lima) macam alat
bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa. Adanya barang bukti yang terungkap pada
persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai
benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, dan
sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu
dikenal dan diakui oleh terdakwa ataupun saksi-saksi.
e) Pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana
Dalam praktek persidangan, pasal peraturan hukum pidana
itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini,
penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan
memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan
terdakwa telah atau tidak memenuhi unsurunsur yang dirumuskan
dalam pasal peraturan hukum pidana. Apabila ternyata perbuatan
terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar,
berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa, yakni telah
melakukan perbuatan seperti diatur dalam pasal hukum pidana
tersebut.
2) Pertimbangan yang bersifat non yuridis
Pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain:24
24
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007, h. 212-220.
29
a) Latar Belakang Terdakwa
Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan
yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pasa
diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal.
b) Akibat Perbuatan Terdakwa
Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti
membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat
dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut
dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak
keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam.
c) Kondisi Diri Terdakwa
Pengertian kondisi terdakwa adalah keadaan fisik maupun
psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula
status sosial yang melekat pada terdakwa. Keadaan fisik
dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara
keadaan psikis dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan
yang dapat berupa: mendapat tekanan dari orang lain, pikiran
sedang kacau, keadaan marah dan lain-lain. Adapun yang
dimaksudkan dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki
dalam masyarakat.
d) Agama Terdakwa
Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup
bila sekedar meletakkan kata “Ketuhanan” pada kepala putusan,
melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik
tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap
tindakan para pembuat kejahatan.
E. Tinjauan Umum Mengenai Teori Pemidanaan
1. Teori Pemidanaan
Terdapat beberapa teori dalam pemidanaan, yaitu:
30
1) Teori Absolut (Teori Pembalasan)
Immanuel Kant memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatif”
yakni seseorang harus dipidana oleh Hakim karena ia telah melakukan kejahatan
sehingga pidana menunjukan suatu tuntutan keadilan. Tuntutan keadilan yang
sifatnya absolute ini terlihat pada pendapat Imamanuel Kant di dalam bukunya
“Philosophy of Law” sebagai berikut:25
“Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk
mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi
masyarakat tapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang yang
bersangkutan telah melakukan sesuatu kejahatan.”
Mengenai teori pembalasan tersebut, Andi Hamzah juga memberikan
pendapat sebagai berikut:
“Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk
yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang
mengandung unsur-unsur dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak, karena
dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan
pidana”
Dalam buku John Kalpan, teori retribution ini dibedakan lagi menjadi
dua teori, yaitu:
(1) Teori pembalasan (the revenge theory), dan
(2) Teori penebusan dosa (the expiation theory)..
Menurut John Kalpan kedua teori ini sebenarnya tidak berbeda,
tergantung dari cara orang berpikir pada waktu menjatuhkan pidana yaitu apakah
pidana itu dijatuhkan karena kita “menghutangkan sesuatu kepadanya” atau
karena “ia berhutang sesuatu kepada kita”. Pembalasan mengandung arti bahwa
hutang si penjahat “telah dibayarkan kembali” (the criminal is paid back)
sedangkan penebusan mengandung arti bahwa si penjahat “membayar kembali
hutangnya” (the criminal pays back).26
Pompe mengatakan orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan.
Memang pidana dapat di bedakan dengan saksi-saksi lain tetapi tetap ada ciri-
cirinya, tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu saksi dan
25
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., h. 11. 26
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., h. 13.
31
dengan demikian terikat dengan tujuan saksi-saksi itu. Karena itu hanya akan
diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi
kepentingan umum.27
Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah
melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus
diadakan pembalasan yang berupa pidana, tidak dipersoalkan akibat dari
pemidanaan bagi terpidana.28
Teori pembalasan ini terbagi menjadi 5, yaitu:
a) Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari etika.
Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant yang
mengatakan bahwa pemidanaan adalah merupakan tuntutan
mutlak dari kesusilaan (etika) terhadap seorang penjahat yang
telah merugikan orang lain.
b) Pembalasan bersambut.
Teori ini dikemukakan oleh Hegel, yang menyatakan
bahwa hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan
kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan
keadilan. Menurut Hegel untuk mempertahankan hukum yang
merupakan perwujudan dari kemerdekaan dan keadilan,
kejahatan-kejahatan secara mutlak harus dilenyapkan dengan
memberikan pidana kepada penjahat.
c) Pembalasan demi keindahan dan kepuasan.
Teori ini dikemukakan oleh Herbart, yang mengatakan
bahwa pembalasan merupakan tuntutan mutlak dari perasaan
ketidakpuasan masyarakat, sebagai akibat dari kejahatan, untuk
memidana penjahat, agar ketidakpuasan masyarakat terpulihkan
kembali.
27
Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 135-137 28
Tri Andrisman, Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar
Lampung, Fakultas Hukum UNILA, 2007, h. 30.
32
d) Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan (agama).
Teori ini dikemukakan Stahl (termasuk juga Gewin dan
Thomas Aquino) yang mengemukakan bahwa kejahatan
adalah merupakan pelanggaran terhadap peri keadilan Tuhan
dan harus ditiadakan. Karenanya mutlak harus diberikan
penderitaan kepada penjahat demi terpeliharanya peri keadilan
Tuhan. Cara mempertahankan peri keadilan Tuhan ialah
melalui kekuasaan yang diberikan Tuhan kepada penguasa
Negara.
e) Pembalasan sebagai kehendak manusia.
Teori ini dikemukakan oleh J.J. Rousseau, Grotius,
yang mendasarkan pemidanaan juga sebagai perwujudan dari
kehendak manusia. Menurut ajaran ini adalah merupakan
tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan, dia
akan menerima sesuatu yang jahat.
Teori ini mengatakan bahwa di dalam kejahatan itu sendiri terletak
pembenaran dari pemidanaan terlepas dari manfaat yang hendak dicapai.
Adanya pemidanaan karena ada pelanggaran hukum. Jadi menurut teori
ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan
kejahatan atau tindak pidana.
2. Teori Relatif (Teori Tujuan)
Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak
pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang
membuat kesalahan) melakukan ne peccetur (supaya orang jangan
melakukan kejahatan), maka cukup jelas bahwa teori tujuan ini berusaha
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.29
Menurut Zevenbergen ”terdapat tiga macam memperbaiki si
penjahat, yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan
moral.”30
29
Bambang Waluyo, Loc.Cit. 30
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1981, hal., 26.
33
3. Teori Gabungan
Teori gabungan adalah kombinasi dari teori absolut (teori
pembalasan) dan teori relatif (teori tujuan). Menurut teori gabungan,
tujuan pidana selalu membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan
untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban dengan
ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang
adil.31
Menurut Pellegrino Rossi dalam bukunya “Traite de Droit Penal”
yang ditulis pada tahun 1828 menyatakan : „Sekalipun pembalasan sebagai
asas dari pidana bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu
pembalasan yang adil, namun pidana mempunyai berbagai pengaruh
antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi
general‟.32
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar,
yaitu :33
- Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan
itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk
dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.
- Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh
lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
2. Tujuan Pemidanaan
Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dalam proses peradilan pidana berperan sebagai pihak yang
memberikan pemidanaan dengan tidak mengabaikan hukum atau norma serta
peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 sebagai berikut:
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembangan dalam
masyarakat.”
31
Samosir Djisman, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung,
1992, h. 25. 32
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2002, h. 13. 33
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2010, hal., 162-163
34
Hakim dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang
mendukung pembuktian dan keyakinannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 183
KUHAP, yaitu:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.”
Pasal 183 KUHAP tersebut menentukan pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana harus memenuhi dua persyaratan yaitu dua alat bukti sah yang
ditentukan secara limitatif di dalam undang-undang dan apakah atas dasar dua alat
bukti tersebut timbul keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 menegaskan tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa
keadilan rakyat Indonesia. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Alat bukti yang
dimaksud ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan
ahli, alat bukti surat, petunjuk dan keterangan terdakwa menjadi dasar jaksa dalam
membuat tuntutannya.
Teori tujuan sebagai Theological Theory dan teori gabungan sebagai
pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan beranggapan bahwa pemidanaan
mempunyai tujuan pliural, di mana kedua teori tersebut menggabungkan pandangan
Utilitarian dengan pandangan Retributivist. Pandangan Utilitarians yang menyatakan
bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat
dibuktikan dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat
dicapai apabila tujuan yang Theological tersebut dilakukan dengan menggunakan
ukuran prinsip-prinsip keadilan.34
F. Tinjauan Umum Mengenai Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian dalam persidangan mempunyai peranan yang sangat penting,
karena segala alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan akan menjadi tolok ukur
34
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2002.
35
bagi hakim dalam membangun pertimbangannya. Pembuktian jugalah yang nantinya
akan memberikan petunjuk bagi hakim untuk menentukan apakah seseorang memang
benar telah melakukan tindak pidana atau tidak.
“Pembuktian merupakan ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman
tentang cara – cara yang dibenarkan undang – undang membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan kesatuan yang mengatur
alat – alat bukti yang dibenarkan undang – undang dan yang boleh dipergunakan
hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan ”35
Dalam proses pembuktian, Indonesia juga menggunakan empat prinsip
pembuktian dalam persidangan pidana, yaitu:
1) Dibutuhkannya 2 alat bukti (Pasal 183 KUHAP)
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan (Pasal 184
ayat (2) KUHAP)
Prinsip ini diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi
“Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau biasa
disebut dengan istilah notoire feiten notorius (generally known). Lilik
Mulyadi kemudian membagi notoire feiten ke dalam 2 golongan, yaitu:36
a) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau
peristiwa tersebut memang sudah demikian hal yang benarnya atau
semestinya demikian.
b) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu
mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian.
3) Satu saksi bukan saksi (Pasal 185 ayat (2) KUHAP)
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan 35
M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan,
banding, Kasasi dan Peninjauan kembali) Edisi ke2, jakarta, Sinar Grafika, 2000, h. 252. 36
Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung. Alumni.
2007. h. 199.
36
kepadanya”, prinsip ini sering dikenal dengan istilah unus testis nullum
testis.
4) Pengakuan terdakwa tidak mengahapuskan kewajiban penuntut umum
membuktikan kesalahan terdakwa (Pasal 189 ayat (4) KUHAP)
“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti yang lain.”
2. Teori Pembuktian
Menurut Lilik Mulyadi37
, secara teoretis dalam asas Ilmu Pengetahuan Hukum
Acara Pidana dikenal 3 (tiga) teori tentang sistem pembuktian, yaitu :
a) Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif (Positief
Wettelijke Bewijs Theorie).
Sistem pembuktian Positif (positief wetwlijk) adalah sistem
pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti
yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Seorang terdakwa dapat
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya didasarkan pada alat
bukti yang sah. Alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang adalah
penting. Keyakinan hakim sama sekali diabaikan. Pada pokoknya apabila
seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti
yang sah, yakni yang ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa
tersebut dapat dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Serang hakim
laksana robot yang menjalankan undang-undang.38
b) Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (Conviction Intime)
Dalam sistem pembuktian ini, polarisasinya hakim dapat
menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan tidak terikat
oleh suatu peraturan.39
“Sistem pembuktian conviction-in time menentukan
salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian
37
Lilik Mulyadi, Op.Cit., h. 158-159. 38
Suhartoyo, Argumen Pembalikan Beban Pembuktian, PT.Raja Grafindo Persada, Kota Depok, 2019, h. 149. 39
Ibid.
37
keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian
kesalahan terdakwa, yakni dari mana hakim menarik dan menyimpulkan
keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh
diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya
dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu
diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau
pengakuan terdakwa.”40
Sistem atau teori ini memberi kebebasan yang besar kepada hakim
sehingga sulit untuk diawasi. Sehingga dengan adanya hal demikian
terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan.
Sistem ini menganggap bahwa hakim cukuplah mendasarkan terbuktinya
suatu keadaan atas keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu
peraturan. Hakim dapat menurut perasaan belaka dalam menentukan
apakah suatu keadaa harus dianggap telah terbukti.41
c) Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang secara Negatif (Negatieve
Wettelijke Bewijs Theorie)
Dalam sistem pembuktian ini, hakim hanya boleh menjatuhkan
pidana kepada terdakwa apabila alat bukti yang secara limitatif ditentukan
Undang-Undang dan didukung pula adanya keyakinan terhadap
eksistensinya alat-alat bukti yang bersangkutan.42
Sistem pembuktian negative (negatief wettelijk) sangat mirip
dengan sistem pembuktian conviction in rasione. Hakim di dalam
mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat
oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan
(nurani) hakim sendiri. Jadi, di dalam sistem negative ada 2 (dua) hal yang
merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni :43
(1) Wettelijk, yakni adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh
undang-undang.
40
Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung. Mandar
Maju. 2004, h. 39. 41
Susanti Ante, Pembuktian dan Putusan Pengadilan Dalam Acara Pidana, Jurnal Lex Crimen Vol. II/No.
2/Apr-Jun/2013, h. 100. 42
Suhartoyo, Loc. Cit. 43
Suhartoyo, Op. Cit, h. 150.
38
(2) Negatief, yakni adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni
berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.
Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa
ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan
di persidangan serta yang ditentukan oleh undang-undang belum bisa
memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan
tindak pidana yang didakwakan.44
Sistem pembuktian yang dianut oleh di Indonesia adalah sistem
pembuktian Undang-Undang secara negatif (Negatiefe Wettelijke Bewijs
Theorie), yaitu dalam pembuktian perkara pidana berpangkal tolak dari
aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif dalam Undang-
Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan Hakim45
. Sistem
pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pada sistem pembuktian
secara negatif diperlukan minimal 2 alat bukti yang sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang dan kemudian berdasarkan hasil pemeriksaan
dari 2 alat bukti itulah hakim akan menentukan pertimbangannya. Alat
bukti yang sah menurut Undang-Undang yaitu Pasal 184 ayat (1) KUHAP
adalah:
a) Keterangan saksi ;
b) Keterangan ahli ;
c) Surat ;
d) Petunjuk ;
e) Keterangan terdakwa.
G. Tinjauan Umum Mengenai Teori Pertimbangan Hakim
Hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan atau yang telah ditentukan
oleh Undang-Undang. Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih rendah dari
batas minimal dan juga hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih tinggi dari
batas maksimal hukuman yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Dalam memutus
44
Ibid. 45
M.Haryanto, Hukum Acara Pidana, Salatiga, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2007, h. 86.
39
putusan, ada beberapa teori yang dapat digunakan oleh hakim. Menurut Mackenzie, ada
beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam
mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:46
1) Teori Keseimbangan
“Teori keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang
ditentukan oleh Undang Undang dan kepentingan pihak-pihak yang
tersangkut atau berkaitan dengan perkara”.
2) Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan
dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan
menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku
tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak
yang berperkara, yaitu penggugat dan tergugat, dalam perkara perdata pihak
terdakwa atau Penuntut Umum dalam perkara pidana. Penjatuhan putusan,
hakim mempergunakan pendekatan seni, lebih ditentukan oleh instink atau
instuisi daripada pengetahuan dari Hakim.
3) Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari ilmu ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan
pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya
dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin
konsistensi dari putusan hakim
4) Teori Pendekatan Keilmuan
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat
membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang di hadapinya sehari-
hari.
5) Teori Ratio Decidendi
46
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, h. 102.
40
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
di sengketakan kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam
penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi
yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para
pihak yang berperkara.
6) Teori Kebijaksanaan
Aspek dari teori ini adalah menekankan bahwa pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk
membimbing, mendidik, membina dan melindungi terdakwa, agar kelak dapat
menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya.
Dalam memutus suatu perkara pidana, hakim harus memutus dengan seadil-
adilnya dan harus sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Menurut Van Apeldoorn,
hakim itu haruslah:47
a) Menyesuaikan Undang-Undang dengan faktor-faktor konkrit, kejadian-kejadian
konkrit dalam masyarakat.
b) Menambah Undang-Undang apabila perlu.
47
E. Utrecht an Moch Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan, 1980, h.
204.