25
16 BAB II KERANGKA TEORI A. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaar feit dimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit 1 . Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum yang artinya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana 2 . Menurut Simons, tindak pidana adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab 3 . Berdasarkan pada pengertian diatas maka tindak pidana memiliki unsur-unsur, sebagai berikut: 1) Kelakuan dan akibat (perbuatan); 2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; 4) Unsur melawan hukum yang objektif; 5) Unsur melawan hukum yang subektif 4 . B. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Korupsi Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa latin, corruption atau menurut webstudent dictionary adalah coruptus . Selanjutnya dijelaskan bahwa corruptio berasal dari suatu kata latin yang lebih tua yaitu corumpere . Dari bahasa latin itulah turun dalam berbagai bahasa di eropa, seperti Inggris: corruption , corrupt ; Prancis: corruption ; dan Belanda yaitu corruptie (korruptie). Dapat diduga kata korupsi yang digunakan di Indonesia saat ini berasal dari bahasa Belanda yang kemudian diadopsi 1 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 2014, h. 46. 2 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014. h. 47. 3 Moeljatno, Azaz-Azaz Hukum Pidana, Buna Aksara, Jakarta, 1983, h. 56 4 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, h. 25.

BAB II KERANGKA TEORI A. Tinjauan Umum Mengenai Tindak …

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

16

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaar feit dimana dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan mengenai

apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit1. Biasanya tindak pidana

disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum yang

artinya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran

terhadap undang-undang tindak pidana2. Menurut Simons, tindak pidana adalah

kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang

berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu

bertanggung jawab3. Berdasarkan pada pengertian diatas maka tindak pidana memiliki

unsur-unsur, sebagai berikut:

1) Kelakuan dan akibat (perbuatan);

2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;

4) Unsur melawan hukum yang objektif;

5) Unsur melawan hukum yang subektif 4

.

B. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Korupsi

Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa latin, corruption atau menurut

webstudent dictionary adalah coruptus . Selanjutnya dijelaskan bahwa corruptio

berasal dari suatu kata latin yang lebih tua yaitu corumpere . Dari bahasa latin itulah

turun dalam berbagai bahasa di eropa, seperti Inggris: corruption , corrupt ; Prancis:

corruption ; dan Belanda yaitu corruptie (korruptie). Dapat diduga kata korupsi yang

digunakan di Indonesia saat ini berasal dari bahasa Belanda yang kemudian diadopsi

1 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 2014, h. 46.

2 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014. h. 47.

3 Moeljatno, Azaz-Azaz Hukum Pidana, Buna Aksara, Jakarta, 1983, h. 56

4 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, h.

25.

17

atau diterima ke dalam bahasa Indonesia yaitu “korupsi” 5 Dalam perkembangannya

istilah dan arti kata korupsi tersebut akhirnya diterima dalam perbendaharaan kata

Bahasa Indonesia yang oleh Poerwadarminta, kata korupsi dimaknai sebagai

perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan

sebagainya.6

2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Pengertian mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan

Pasal 3 Undang -Undang Nomor 31 Tahun 1999. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tindak pidana korupsi diartikan: “setiap orang yang

secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan

paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling banyak

Rp 1.000.000.000,00”7

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tindak pidana korupsi

diartikan: “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan

atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)” 8.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, setidaknya ada 8 (delapan) kelompok delik korupsi, yaitu :

1) Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara;

2) Kelompok delik penyuapan (aktif maupun pasif);

3) Kelompok delik penggelapan dalam jabatan;

5 Hamzah, Andi, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta. h. 4. 6 Poerwadarminta, W.J.S., Op. Cit., h. 616.

7 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

8 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

18

4) Kelompok delik pemerasan dalam jabatan ( knevelarij, extortion );

5) Kelompok delik pemalsuan;

6) Kelompok delik berkaitan dengan pemborongan, leveransir, dan rekanan;

7) Kelompok delik gratifikasi;

8) Kelompok delik yang merintangi dan menghalang-halangi penanganan

perkara korupsi.9

Selanjutnya bila berpijak pada United Nations Convention Againts Corruption

(UNCAC) Tahun 2003 yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts

Corruption, 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003), ruang lingkup korupsi

ternyata lebih luas yaitu :

1) Penyuapan pejabat publik nasional ( briberry of national publici);

2) Penyuapan terhadap pejabat publik asing dan pejabat organisasi

internasional publik ( briberry of foreign public official and officials of

public international organization );

3) Penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan lain oleh seorang

pejabat publik ( embezzlement, misappropriation or other diversion of

property by a public official );

4) Memperdagangkan pengaruh ( trading in influence );

5) Penyalahgunaan jabatan atau wewenang ( abuse of functions );

6) Memperkaya diri secara tidak sah ( illicit enrichment );

7) Penyuapan pada sektor privat ( briberry in the private sector );

8) Penggelapan kekayaan di sektor privat ( embezzlement of property in the

privat sector).

C. Tinjauan Umum Mengenai Hakim dan Kekuasaan Kehakiman

1. Pengertian Hakim

Dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP, menyebutkan bahwa Hakim merupakan

pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk yang

menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman

yang diatur dalam Undang-Undang. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim

9 Bambang Waluyo, “Optimalisasi Pemberantasan Korupsi di Indonesia” Jurnal Yuridis Vol. 1 No. 2,

Desember, 2014, h. 171-172.

19

untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,

jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 9 KUHAP).

Pengertian hakim di Indonesia kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal 1 angka 5

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa :

“Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan

tersebut”

2. Pengertian Kekuasaan Kehakiman

Menurut Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, “Kekuasan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

meyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan

menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman, “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan yang bebas dari

pengaruh pihak manapun dalam mengadili dan menegakkan hukum10

. Kebebasan

hakim dalam memberikan pertimbangan dan menjatuhkan putusan dalam proses

peradilan pidana terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan dalam menjalankan

tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan dan segala campur

tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain luar kekuasaan kehakiman dilarang,

kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945. Secara

kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam

melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:11

a) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.

10

Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

2012, h. 34. 11

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif , Sinar Grafika, Jakarta,

2010, h. 104.

20

b) Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau

mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim.

c) Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan

tugas dan fungsi yudisialnya.

Akan tetapi, kebebasan dalam konsep kekuasaan hakim bukanlah suatu

kebebasan mutlak. Kebebasan disini adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan

tidak boleh melanggar dan merugikan kebebasan orang lain. Kebebasan seorang

hakim terbagi dalam dua jenis yaitu kebebasan eksistensial hakim dan kebebasan

sosial hakim. Kebebasan eksistensial adalah kebebasan hakiki yang dimiliki oleh

setiap manusia tanpa melihat predikat yang melekat padanya. Pada profesi hakim

kebebasan eksistensial menegaskan bahwa seorang hakim harus mampu menentukan

dirinya sendiri dalam membuat putusan pengadilan.12

Sementara itu, kebebasan sosial

merupakan ruang gerak bagi kebebasan eksistensial, kita hanya dapat menentukan

sikap dan tindakan kita sendiri sejauh orang lain membiarkan kita.13

3. Tugas, Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim

Seorang Hakim memiliki tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan

melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya dengan memutus perkara-

perkara tersebut seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku. Untuk menegakkan

hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggung

jawab hukum. Tugas hakim secara normatif diatur dalam UndangUndang Nomor 48

Tahun 2009 yaitu:

a) Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

b) Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan

dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat

dan biaya ringan.

c) Menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat.

d) Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau

kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

12

H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, h. 170. 13

Ibid., h. 171.

21

e) Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum

kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta.

D. Tinjauan Umum Mengenai Putusan Hakim

1. Pengertian & Jenis Putusan Hakim

Perihal putusan hakim atau ”putusan pengadilan” merupakan aspek penting

dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian, dapatlah

dikonklusikan lebih jauh bahwasanya ”putusan hakim” di satu pihak berguna bagi

terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang ”statusnya” dan

sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan hakim tersebut.

Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara,

putusan hakim adalah ”mahkota” dan ”puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan,

kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan,

mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim

yang bersangkutan.14

Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan oleh

Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang

dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis

ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan sebagai terjemahan dari kata vonis,

yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.15

Sedangkan dalam Bab I Pasal 1 Angka 11 KUHAP, putusan pengadilan

diartikan sebagai pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka,

yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal

serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Leden Marpaung memberikan pengertian putusan hakim adalah hasil atau

kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-

masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan.16

Jenis-jenis putusan hakim

menurut KUHAP dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:

1) Putusan yang bukan putusan akhir.

Dalam praktik, bentuk putusan yang bukan putusan akhir dapat

berupa penetapan atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada

14

Lilik Mulyadi,Op. Cit., h. 119. 15

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. h. 52. 16

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 1992. h. 406.

22

ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yaitu dalam hal

setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasehat

hukumnya mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan

jaksa/penuntut umum.17

Putusan yang bukan putusan akhir antara lain

sebagai berikut:

a) Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili

Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat

terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum

membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasihat hukum

terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan).

Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa Pengadilan

Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif

maupun absolut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan

penasihat hukum, maka dapat dijatuhkan putusan bahwa

pengadilan negeri tidak berwenang mengadili (Pasal 156 ayat (2)

KUHAP).

b) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum.

Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan apabila

dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, kurang jelas, dan

tidak lengkap.

c) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima

Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat

diterima pada dasarnya termsuk kekurangcermatan penuntut umum

sebab putusan tersebut dijatuhkan karena:

a. Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan

tidak ada

b. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah

diadili (nebis in idem), dan

17

Lilik Mulyadi, Op.Cit., h. 125.

23

c. Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa

(verjaring).

2) Putusan Akhir

Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan isyilah putusan

atau eind vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada

hakekatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa

terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan pokok perkara selesai

diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP).18

Putusan akhir antara lain sebagai berikut:

a) Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan

hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang

dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa

perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan

itu bukan merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat terjadi karena:

1. Materi hukum pidana yang didakwakan terbukti, tapi bukan

merupakan tindak pidana.

2. Terdapat hal-hal yang menghapuskan pidana, antara lain:19

Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP).

Melakukan di bawah pengaruh daya paksa/overmacht

(Pasal 48 KUHP).

Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP).

Adanya ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP).

Adanya perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).

b) Putusan bebas (vrijspraak)

Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang

berbunyi “ Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan

18

Lilik Mulyadi, Op.Cit., h. 124. 19

Evi Hartanti, Op.Cit., h. 54.

24

di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada

terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa

diputus bebas”.

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP

dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ perbuatan yang didakwakan

kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan ” adalah tidak

cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan

menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

Beberapa bentuk putusan bebas (vrijspraak) adalah sebagai

berikut:20

1) Pembebasan murni atau de ”zuivere vrijspraak”, dimana sama

sekali tidak terbukti tindak pidananya.

2) Pembebasan tidak murni atau de ”onzuivere vrijspraak” dalam

hal ”bedekte nietigheid van dagvaarding” (batalnya dakwaan

secara terselubung) atau pembebasan yang menurut

kenyataanya tidak didasarkan pada ketidakterbuktian dalam

surat dakwaan. Putusan bebas tidak murni atau de ”onzuivere

vrijspraak” mempunyai kualifikasi, sebagai berikut :

(a) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru

terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat

dakwaan.

(b) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui

batas kewenangannya baik absolut maupun relatif dan

sebagainya.21

3) Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaan atau

de ”vrijspraak op grond van doelmatigheid overwegingen”

bahwa berdasarkan pertimbangan haruslah diakhiri suatu

penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya.

20

Lilik Mulyadi, Op.Cit., h. 158-159. 21

Oemar Seno Adjie, KUHAP Sekarang, Jakarta : Erlangga, 1989, h. 167.

25

4) Pembebasan yang terselubung atau de ”bedekte vrispraak”

dimana hakim telah mengambil putusan tentang ”feiten” dan

menjatuhkan putusan ”pelepasan dari tuntutan hukum”, padahal

menurut putusan tersebut berisikan suatu ”pembebasan secara

murni”.

c) Putusan pemidanaan

Putusan Pemidanaan adalah putusan yang dijatuhkan terhadap

terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara

sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan

padanya.

Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim yang berpendapat

bahwa:22

1. Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut

umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan

meyakinkan menurut hukum;

2. Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak

pidana (kejahatan/misdrijven atau pelanggaran/overtredingen);

dan

3. Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta

persidangan (Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP).

2. Isi Putusan Hakim

Secara umum formalitas yang harus ada dalam putusan hakim diatur dalam

ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Dari ketentuan tersebut sedikitnya sepuluh

elemen harus terpenuhi sehingga menurut ayat (2) pasal tersebut kalau ketentuan itu

tidak terpenuhi kecuali yang tercantum dalam huruf a s.d. e, putusan batal demi

hukum (van rechtswege nietig atau null and void). Ketentuan-ketentuan formalitas itu

adalah sebagai berikut:23

1) Kepala putusan yang bertuliskan berbunyi: ”DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

22

Lilik Mulyadi, Op.Cit., h. 173. 23

Evi Hartanti, Op.Cit., h. 63.

26

2) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa;

3) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. Pertimbangan yang

disusun secara ringkas mengenai pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar

penentuan kesalahan terdakwa;

4) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan

beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang

menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

5) Tuntutan pidana, sebagaimana yang diatur dalam surat tuntutan;

6) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau

tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum

dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa;

7) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali perkara

diperiksa oleh hakim tunggal;

8) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhi semua unsur dalam

rumusan tindak pidana disertai kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan

yang dijatuhkan;

9) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan

jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

10) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana

letaknya kepalsuan itu, terdapat surat otentik dianggap palsu;

11) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

12) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, hakim yang memutus, dan

nama panitera.

3. Pertimbangan Hakim dalam Putusan

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan menurut Rusli Muhammad

dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

1) Pertimbangan yang bersifat yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim

yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam

persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang

harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud tersebut antara

lain:

27

a) Dakwaan jaksa penuntut umum

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena

berdasar itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaan

selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak

pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat

tindak pidana itu dilakukan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan

hakim adalah dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang

pengadilan.

b) Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa menurut Pasal 184 butir e KUHAP,

digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa

yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia

lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau dialami sendiri. Dalam

praktik, keterangan terdakwa dapat dinyatakan dalam bentuk

pengakuan ataupun penolakan, baik sebagian ataupun keseluruhan

terhadap dakwaan penuntut umum dan keterangan yang

disampaikan oleh para saksi. Keterangan terdakwa sekaligus juga

merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum

ataupun dari penasihat hukum.

c) Keterangan Saksi

Salah satu komponen yang harus diperhatikan dalam

menjatuhkan putusan adalah keterangan saksi. Keterangan saksi

dapat dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu

mengenai sesuatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri, alami sendiri, dan harus disampaikan di dalam sidang

pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi menjadi

pertimbangan utama dan selalu dipertimbangkan oleh hakim dalam

putusannya

d) Barang-barang bukti

Pengertian barang bukti disini adalah semua benda yang

dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di

depan sidang pengadilan, yang meliputi:

28

1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau

sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil

tindak pidana;

2. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan

tindak pidana atau untuk mempersiapkan;

3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan

tindak pidana;

4. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak

pidana yang dilakukan.

Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk

alat bukti. Sebab Undang-Undang menetapkan 5 (lima) macam alat

bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan

keterangan terdakwa. Adanya barang bukti yang terungkap pada

persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai

benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, dan

sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu

dikenal dan diakui oleh terdakwa ataupun saksi-saksi.

e) Pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana

Dalam praktek persidangan, pasal peraturan hukum pidana

itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini,

penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan

memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan

terdakwa telah atau tidak memenuhi unsurunsur yang dirumuskan

dalam pasal peraturan hukum pidana. Apabila ternyata perbuatan

terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar,

berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa, yakni telah

melakukan perbuatan seperti diatur dalam pasal hukum pidana

tersebut.

2) Pertimbangan yang bersifat non yuridis

Pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain:24

24

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007, h. 212-220.

29

a) Latar Belakang Terdakwa

Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan

yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pasa

diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal.

b) Akibat Perbuatan Terdakwa

Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti

membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat

dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut

dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak

keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam.

c) Kondisi Diri Terdakwa

Pengertian kondisi terdakwa adalah keadaan fisik maupun

psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula

status sosial yang melekat pada terdakwa. Keadaan fisik

dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara

keadaan psikis dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan

yang dapat berupa: mendapat tekanan dari orang lain, pikiran

sedang kacau, keadaan marah dan lain-lain. Adapun yang

dimaksudkan dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki

dalam masyarakat.

d) Agama Terdakwa

Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup

bila sekedar meletakkan kata “Ketuhanan” pada kepala putusan,

melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik

tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap

tindakan para pembuat kejahatan.

E. Tinjauan Umum Mengenai Teori Pemidanaan

1. Teori Pemidanaan

Terdapat beberapa teori dalam pemidanaan, yaitu:

30

1) Teori Absolut (Teori Pembalasan)

Immanuel Kant memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatif”

yakni seseorang harus dipidana oleh Hakim karena ia telah melakukan kejahatan

sehingga pidana menunjukan suatu tuntutan keadilan. Tuntutan keadilan yang

sifatnya absolute ini terlihat pada pendapat Imamanuel Kant di dalam bukunya

“Philosophy of Law” sebagai berikut:25

“Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk

mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi

masyarakat tapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang yang

bersangkutan telah melakukan sesuatu kejahatan.”

Mengenai teori pembalasan tersebut, Andi Hamzah juga memberikan

pendapat sebagai berikut:

“Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk

yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang

mengandung unsur-unsur dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak, karena

dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan

pidana”

Dalam buku John Kalpan, teori retribution ini dibedakan lagi menjadi

dua teori, yaitu:

(1) Teori pembalasan (the revenge theory), dan

(2) Teori penebusan dosa (the expiation theory)..

Menurut John Kalpan kedua teori ini sebenarnya tidak berbeda,

tergantung dari cara orang berpikir pada waktu menjatuhkan pidana yaitu apakah

pidana itu dijatuhkan karena kita “menghutangkan sesuatu kepadanya” atau

karena “ia berhutang sesuatu kepada kita”. Pembalasan mengandung arti bahwa

hutang si penjahat “telah dibayarkan kembali” (the criminal is paid back)

sedangkan penebusan mengandung arti bahwa si penjahat “membayar kembali

hutangnya” (the criminal pays back).26

Pompe mengatakan orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan.

Memang pidana dapat di bedakan dengan saksi-saksi lain tetapi tetap ada ciri-

cirinya, tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu saksi dan

25

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., h. 11. 26

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., h. 13.

31

dengan demikian terikat dengan tujuan saksi-saksi itu. Karena itu hanya akan

diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi

kepentingan umum.27

Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah

melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus

diadakan pembalasan yang berupa pidana, tidak dipersoalkan akibat dari

pemidanaan bagi terpidana.28

Teori pembalasan ini terbagi menjadi 5, yaitu:

a) Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari etika.

Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant yang

mengatakan bahwa pemidanaan adalah merupakan tuntutan

mutlak dari kesusilaan (etika) terhadap seorang penjahat yang

telah merugikan orang lain.

b) Pembalasan bersambut.

Teori ini dikemukakan oleh Hegel, yang menyatakan

bahwa hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan

kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan

keadilan. Menurut Hegel untuk mempertahankan hukum yang

merupakan perwujudan dari kemerdekaan dan keadilan,

kejahatan-kejahatan secara mutlak harus dilenyapkan dengan

memberikan pidana kepada penjahat.

c) Pembalasan demi keindahan dan kepuasan.

Teori ini dikemukakan oleh Herbart, yang mengatakan

bahwa pembalasan merupakan tuntutan mutlak dari perasaan

ketidakpuasan masyarakat, sebagai akibat dari kejahatan, untuk

memidana penjahat, agar ketidakpuasan masyarakat terpulihkan

kembali.

27

Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 135-137 28

Tri Andrisman, Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar

Lampung, Fakultas Hukum UNILA, 2007, h. 30.

32

d) Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan (agama).

Teori ini dikemukakan Stahl (termasuk juga Gewin dan

Thomas Aquino) yang mengemukakan bahwa kejahatan

adalah merupakan pelanggaran terhadap peri keadilan Tuhan

dan harus ditiadakan. Karenanya mutlak harus diberikan

penderitaan kepada penjahat demi terpeliharanya peri keadilan

Tuhan. Cara mempertahankan peri keadilan Tuhan ialah

melalui kekuasaan yang diberikan Tuhan kepada penguasa

Negara.

e) Pembalasan sebagai kehendak manusia.

Teori ini dikemukakan oleh J.J. Rousseau, Grotius,

yang mendasarkan pemidanaan juga sebagai perwujudan dari

kehendak manusia. Menurut ajaran ini adalah merupakan

tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan, dia

akan menerima sesuatu yang jahat.

Teori ini mengatakan bahwa di dalam kejahatan itu sendiri terletak

pembenaran dari pemidanaan terlepas dari manfaat yang hendak dicapai.

Adanya pemidanaan karena ada pelanggaran hukum. Jadi menurut teori

ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan

kejahatan atau tindak pidana.

2. Teori Relatif (Teori Tujuan)

Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak

pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang

membuat kesalahan) melakukan ne peccetur (supaya orang jangan

melakukan kejahatan), maka cukup jelas bahwa teori tujuan ini berusaha

mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.29

Menurut Zevenbergen ”terdapat tiga macam memperbaiki si

penjahat, yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan

moral.”30

29

Bambang Waluyo, Loc.Cit. 30

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1981, hal., 26.

33

3. Teori Gabungan

Teori gabungan adalah kombinasi dari teori absolut (teori

pembalasan) dan teori relatif (teori tujuan). Menurut teori gabungan,

tujuan pidana selalu membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan

untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban dengan

ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang

adil.31

Menurut Pellegrino Rossi dalam bukunya “Traite de Droit Penal”

yang ditulis pada tahun 1828 menyatakan : „Sekalipun pembalasan sebagai

asas dari pidana bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu

pembalasan yang adil, namun pidana mempunyai berbagai pengaruh

antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi

general‟.32

Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar,

yaitu :33

- Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan

itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk

dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.

- Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib

masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh

lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.

2. Tujuan Pemidanaan

Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman dalam proses peradilan pidana berperan sebagai pihak yang

memberikan pemidanaan dengan tidak mengabaikan hukum atau norma serta

peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 sebagai berikut:

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembangan dalam

masyarakat.”

31

Samosir Djisman, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung,

1992, h. 25. 32

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2002, h. 13. 33

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2010, hal., 162-163

34

Hakim dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang

mendukung pembuktian dan keyakinannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 183

KUHAP, yaitu:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.”

Pasal 183 KUHAP tersebut menentukan pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan pidana harus memenuhi dua persyaratan yaitu dua alat bukti sah yang

ditentukan secara limitatif di dalam undang-undang dan apakah atas dasar dua alat

bukti tersebut timbul keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 menegaskan tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum

dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa

keadilan rakyat Indonesia. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Alat bukti yang

dimaksud ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan

ahli, alat bukti surat, petunjuk dan keterangan terdakwa menjadi dasar jaksa dalam

membuat tuntutannya.

Teori tujuan sebagai Theological Theory dan teori gabungan sebagai

pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan beranggapan bahwa pemidanaan

mempunyai tujuan pliural, di mana kedua teori tersebut menggabungkan pandangan

Utilitarian dengan pandangan Retributivist. Pandangan Utilitarians yang menyatakan

bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat

dibuktikan dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat

dicapai apabila tujuan yang Theological tersebut dilakukan dengan menggunakan

ukuran prinsip-prinsip keadilan.34

F. Tinjauan Umum Mengenai Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian dalam persidangan mempunyai peranan yang sangat penting,

karena segala alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan akan menjadi tolok ukur

34

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2002.

35

bagi hakim dalam membangun pertimbangannya. Pembuktian jugalah yang nantinya

akan memberikan petunjuk bagi hakim untuk menentukan apakah seseorang memang

benar telah melakukan tindak pidana atau tidak.

“Pembuktian merupakan ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman

tentang cara – cara yang dibenarkan undang – undang membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan kesatuan yang mengatur

alat – alat bukti yang dibenarkan undang – undang dan yang boleh dipergunakan

hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan ”35

Dalam proses pembuktian, Indonesia juga menggunakan empat prinsip

pembuktian dalam persidangan pidana, yaitu:

1) Dibutuhkannya 2 alat bukti (Pasal 183 KUHAP)

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan (Pasal 184

ayat (2) KUHAP)

Prinsip ini diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi

“Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau biasa

disebut dengan istilah notoire feiten notorius (generally known). Lilik

Mulyadi kemudian membagi notoire feiten ke dalam 2 golongan, yaitu:36

a) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau

peristiwa tersebut memang sudah demikian hal yang benarnya atau

semestinya demikian.

b) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu

mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian.

3) Satu saksi bukan saksi (Pasal 185 ayat (2) KUHAP)

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan

bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan 35

M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan,

banding, Kasasi dan Peninjauan kembali) Edisi ke2, jakarta, Sinar Grafika, 2000, h. 252. 36

Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung. Alumni.

2007. h. 199.

36

kepadanya”, prinsip ini sering dikenal dengan istilah unus testis nullum

testis.

4) Pengakuan terdakwa tidak mengahapuskan kewajiban penuntut umum

membuktikan kesalahan terdakwa (Pasal 189 ayat (4) KUHAP)

“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa

ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan

harus disertai dengan alat bukti yang lain.”

2. Teori Pembuktian

Menurut Lilik Mulyadi37

, secara teoretis dalam asas Ilmu Pengetahuan Hukum

Acara Pidana dikenal 3 (tiga) teori tentang sistem pembuktian, yaitu :

a) Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif (Positief

Wettelijke Bewijs Theorie).

Sistem pembuktian Positif (positief wetwlijk) adalah sistem

pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti

yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Seorang terdakwa dapat

dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya didasarkan pada alat

bukti yang sah. Alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang adalah

penting. Keyakinan hakim sama sekali diabaikan. Pada pokoknya apabila

seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti

yang sah, yakni yang ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa

tersebut dapat dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Serang hakim

laksana robot yang menjalankan undang-undang.38

b) Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (Conviction Intime)

Dalam sistem pembuktian ini, polarisasinya hakim dapat

menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan tidak terikat

oleh suatu peraturan.39

“Sistem pembuktian conviction-in time menentukan

salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian

37

Lilik Mulyadi, Op.Cit., h. 158-159. 38

Suhartoyo, Argumen Pembalikan Beban Pembuktian, PT.Raja Grafindo Persada, Kota Depok, 2019, h. 149. 39

Ibid.

37

keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian

kesalahan terdakwa, yakni dari mana hakim menarik dan menyimpulkan

keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh

diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya

dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu

diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau

pengakuan terdakwa.”40

Sistem atau teori ini memberi kebebasan yang besar kepada hakim

sehingga sulit untuk diawasi. Sehingga dengan adanya hal demikian

terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan.

Sistem ini menganggap bahwa hakim cukuplah mendasarkan terbuktinya

suatu keadaan atas keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu

peraturan. Hakim dapat menurut perasaan belaka dalam menentukan

apakah suatu keadaa harus dianggap telah terbukti.41

c) Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang secara Negatif (Negatieve

Wettelijke Bewijs Theorie)

Dalam sistem pembuktian ini, hakim hanya boleh menjatuhkan

pidana kepada terdakwa apabila alat bukti yang secara limitatif ditentukan

Undang-Undang dan didukung pula adanya keyakinan terhadap

eksistensinya alat-alat bukti yang bersangkutan.42

Sistem pembuktian negative (negatief wettelijk) sangat mirip

dengan sistem pembuktian conviction in rasione. Hakim di dalam

mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat

oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan

(nurani) hakim sendiri. Jadi, di dalam sistem negative ada 2 (dua) hal yang

merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni :43

(1) Wettelijk, yakni adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh

undang-undang.

40

Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung. Mandar

Maju. 2004, h. 39. 41

Susanti Ante, Pembuktian dan Putusan Pengadilan Dalam Acara Pidana, Jurnal Lex Crimen Vol. II/No.

2/Apr-Jun/2013, h. 100. 42

Suhartoyo, Loc. Cit. 43

Suhartoyo, Op. Cit, h. 150.

38

(2) Negatief, yakni adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni

berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.

Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa

ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan

di persidangan serta yang ditentukan oleh undang-undang belum bisa

memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan

tindak pidana yang didakwakan.44

Sistem pembuktian yang dianut oleh di Indonesia adalah sistem

pembuktian Undang-Undang secara negatif (Negatiefe Wettelijke Bewijs

Theorie), yaitu dalam pembuktian perkara pidana berpangkal tolak dari

aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif dalam Undang-

Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan Hakim45

. Sistem

pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pada sistem pembuktian

secara negatif diperlukan minimal 2 alat bukti yang sesuai dengan

ketentuan Undang-Undang dan kemudian berdasarkan hasil pemeriksaan

dari 2 alat bukti itulah hakim akan menentukan pertimbangannya. Alat

bukti yang sah menurut Undang-Undang yaitu Pasal 184 ayat (1) KUHAP

adalah:

a) Keterangan saksi ;

b) Keterangan ahli ;

c) Surat ;

d) Petunjuk ;

e) Keterangan terdakwa.

G. Tinjauan Umum Mengenai Teori Pertimbangan Hakim

Hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan atau yang telah ditentukan

oleh Undang-Undang. Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih rendah dari

batas minimal dan juga hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih tinggi dari

batas maksimal hukuman yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Dalam memutus

44

Ibid. 45

M.Haryanto, Hukum Acara Pidana, Salatiga, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2007, h. 86.

39

putusan, ada beberapa teori yang dapat digunakan oleh hakim. Menurut Mackenzie, ada

beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam

mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:46

1) Teori Keseimbangan

“Teori keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang

ditentukan oleh Undang Undang dan kepentingan pihak-pihak yang

tersangkut atau berkaitan dengan perkara”.

2) Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan

dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan

menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku

tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak

yang berperkara, yaitu penggugat dan tergugat, dalam perkara perdata pihak

terdakwa atau Penuntut Umum dalam perkara pidana. Penjatuhan putusan,

hakim mempergunakan pendekatan seni, lebih ditentukan oleh instink atau

instuisi daripada pengetahuan dari Hakim.

3) Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari ilmu ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan

pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya

dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin

konsistensi dari putusan hakim

4) Teori Pendekatan Keilmuan

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat

membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang di hadapinya sehari-

hari.

5) Teori Ratio Decidendi

46

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, h. 102.

40

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang

di sengketakan kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam

penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi

yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para

pihak yang berperkara.

6) Teori Kebijaksanaan

Aspek dari teori ini adalah menekankan bahwa pemerintah,

masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk

membimbing, mendidik, membina dan melindungi terdakwa, agar kelak dapat

menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya.

Dalam memutus suatu perkara pidana, hakim harus memutus dengan seadil-

adilnya dan harus sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Menurut Van Apeldoorn,

hakim itu haruslah:47

a) Menyesuaikan Undang-Undang dengan faktor-faktor konkrit, kejadian-kejadian

konkrit dalam masyarakat.

b) Menambah Undang-Undang apabila perlu.

47

E. Utrecht an Moch Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan, 1980, h.

204.