14
BAB II KAJIAN TEORITIS A. Hasil Belajar Matematika 1. Hakekat Hasil Belajar Sudjana (2005 : 22) dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom (dalam, Abdurrahman, 2003 : 38) yang secara garis besar membaginya menjadi 3 ranah yaitu: ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek. Kedua aspek yang pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi (Sudjana, 2005 : 22). Enam aspek itu, yaitu: pertama adalah pengetahuan, mencakup ingatan akan halhal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan berupa fakta, kaidah, dan prinsip serta metode yang diketahui; kedua pemahaman, mencakup kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari; ketiga penerapan atau aplikasi, mencakup kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah atau metode bekerja pada suatu kasus atau problem yang konkret dan baru; keempat analisis, mencakup kemampuan untuk menerima suatu kesautan ke dalam bagianbagian sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik; kelima sintetis, mencakup kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan pola baru, bagianbagian dihubungkan satu sama lain sehingga tercipta suatu bentuk baru; keenam evaluasi, mecakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai suatu atau beberapa hal bersama dengan pertanggungjawaban pendapat itu yang berdasarkan suatu kriteria tertentu. Halhal yang berkenaan dalam ranah afektif ada dua hal yang perlu dinilai, yaitu: kompetensi afektif dan sikap serta minat siswa terhadap mata pelajaran dan proses pembelajaran (Sudjana, 2005 : 22). Terdapat lima tingkatan dalam ranah afektif ini, pertama penerimaan, yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lainlain; kedua respon atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar; ketiga penilaian, berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus; keempat organisasi, yakni pengembangan dari nilai ke dalam suatu sistem organisasi; kelima internalisasi termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas yang dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Sedangkan yang ketiga adalah ranah psikomotorik yang tampak dalam bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar Abdurrahman (2003 : 37). Kegiatan pembelajaran yang terprogram dan terkontrol yang disebut kegiatan pembelajaran atau kegiatan instruksional, tujuan belajar telah ditetapkan lebih dahulu oleh guru. Anak yang berhasil belajar 5

BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

  

BAB II KAJIAN TEORITIS 

 A. Hasil Belajar Matematika 

1. Hakekat Hasil Belajar Sudjana  (2005  :  22)  dalam  sistem  pendidikan  nasional  rumusan  tujuan 

pendidikan  baik  tujuan  kurikuler  maupun  tujuan  instruksional,  menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom (dalam, Abdurrahman, 2003 : 38) yang secara garis besar membaginya menjadi 3 ranah yaitu: ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. 

Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar  intelektual yang terdiri dari enam  aspek.  Kedua  aspek  yang  pertama  disebut  kognitif  tingkat  rendah  dan keempat  aspek  berikutnya  termasuk  kognitif  tingkat  tinggi  (Sudjana,  2005  :  22). Enam aspek  itu, yaitu: pertama adalah pengetahuan, mencakup  ingatan akan hal‐hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam  ingatan berupa  fakta, kaidah, dan prinsip  serta metode yang diketahui; kedua pemahaman, mencakup kemampuan untuk menangkap makna  dan  arti  dari  bahan  yang  dipelajari;  ketiga  penerapan atau aplikasi, mencakup kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah atau metode bekerja pada suatu kasus atau problem yang konkret dan baru; keempat analisis, mencakup  kemampuan untuk menerima  suatu  kesautan  ke dalam bagian‐bagian sehingga  struktur  keseluruhan  atau  organisasinya  dapat  dipahami  dengan  baik; kelima  sintetis,  mencakup  kemampuan  untuk  membentuk  suatu  kesatuan  pola baru, bagian‐ bagian dihubungkan  satu  sama  lain  sehingga  tercipta  suatu bentuk baru; keenam evaluasi, mecakup kemampuan untuk membentuk  suatu pendapat mengenai  suatu  atau  beberapa  hal  bersama  dengan  pertanggungjawaban pendapat itu yang berdasarkan suatu kriteria tertentu. 

Hal‐hal yang berkenaan dalam ranah afektif  ada dua hal yang perlu dinilai, yaitu: kompetensi afektif dan sikap serta minat siswa terhadap mata pelajaran dan proses  pembelajaran  (Sudjana,  2005  :  22).  Terdapat  lima  tingkatan  dalam  ranah afektif  ini,  pertama  penerimaan,  yakni  semacam  kepekaan  dalam  menerima rangsangan  dari  luar  yang  datang  kepada  siswa  dalam  bentuk masalah,  situasi, gejala, dan  lain‐lain; kedua respon atau  jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang  terhadap  stimulasi  yang  datang  dari  luar;  ketiga  penilaian,  berkenaan dengan nilai dan kepercayaan  terhadap gejala atau  stimulus; keempat organisasi, yakni  pengembangan  dari  nilai  ke  dalam  suatu  sistem  organisasi;  kelima internalisasi    termasuk  hubungan  satu  nilai  dengan  nilai  lain,  pemantapan  dan prioritas yang dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.  Sedangkan  yang  ketiga  adalah  ranah  psikomotorik  yang  tampak  dalam bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak individu. 

Hasil  belajar  adalah  kemampuan  yang  diperoleh  anak  setelah  melalui kegiatan belajar Abdurrahman (2003 : 37). Kegiatan pembelajaran yang terprogram dan  terkontrol  yang  disebut  kegiatan  pembelajaran  atau  kegiatan  instruksional, tujuan belajar telah ditetapkan  lebih dahulu oleh guru. Anak yang berhasil belajar 

5  

Page 2: BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

6  

adalah  anak  yang  berhasil  mencapai  tujuan‐tujuan  pembelajaran  atau  tujuan‐tujuan instruksional. 

Hasil belajar menurut Anni (2004 : 4) merupakan perubahan perilaku yang diperoleh  pembelajar  setelah  mengalami  aktivitas  belajar.  Pendapat  lain mengatakan  hasil  belajar  merupakan  kemampuan  yang  dimiliki  siswa  setelah mengalami pengalaman belajar (Sudjana, 2009 : 3). 

Soedijarto  (dalam Abidin 2012  : 49) mengungkapkan hasil belajar  sebagai hasil yang dicapai oleh  siswa yang  telah mengikuti proses belajar mengajar. Hasil pada dasarnya merupakan sesuatu yang diperoleh dari suatu aktivitas, sedangkan belajar merupakan  suatu  proses  yang mengakibatkan  perubahan  pada  individu, yakni  perubahan  tingkah  laku,  baik  aspek  pengetahuannya,  keterampilannya, maupun  aspek  sikapnya.  Hasil  belajar merupakan  istilah  yang  digunakan  untuk menunjukkan tingkat keberhasilan yang dicapai siswa dalam bidang studi tertentu setelah mengikuti poses belajar mengajar. 

Hasil  belajar sebagai suatu hasil yang pembelajaran yang telah ditetapkan dalam rumusan perilaku tertentu sebagai akibat dari proses belajarnya (Rifa’i, 2003 : 143). 

Sebenarnya  hasil  belajar  merupakan  relisasi  pemekaran  dari  kecakapan atau  kapasitas  yang  dimilki  seseorang.  Penguasaan  hasil  belajar  dari  seseorang dapat  dilihat  dari  perilakunya,  baik  perilaku  dalam  bentuk  penguasaaan pengetahuan, keterampilan berpikir, maupun keterampilan motorik (Sukmadinata, 2003 : 101). 

Bagi  seorang  guru,  menilai  belajar  siswa  sebenarnya  juga  menilai  hasil usahanya sendiri. Menilai hasil belajar siswa berfungsi untuk dapat membantu guru dalam menilai kesiapan anak pada suatu mata pelajaran, mengetahui status anak dalam kelas, membantu guru dalam usaha memperbaiki metode belajar mengajar. 

Berdasarkan  beberapa  pendapat  di  atas  bahwa  hasil  belajar  adalah kemampuan  yang  diperoleh  anak  setelah  melalui  kegiatan  belajar  baik  berupa pengetahuan, sikap maupun keterampilan yang  intinya adalah sebuah perubahan. Siswa dikatakan mempunyai hasil belajar matematika tinggi jika dapat mengerjakan soal dan mendapat hasil yang baik, menguasai kompetensi‐kompetensi yang ada, mampu menyelesaikan  tugas atau masalah dalam belajar dengan baik, haus akan ilmu  pengetahuan,  menyukai  dan  sering  mengikuti  berbagai  perubahan  dan perkembangan ilmu pengetahuan, mampu secara tepat menarik suatu generalisasi, cepat dalam menerima, mengolah, memahami dan menguasai pembelajaran, cepat mengerjakan tugas dengan hasil baik, cepat dan tepat dalam bertindak.  

 2. Hasil Belajar Matematika Purwoto  (2003  :  12)  mengemukakan  bahwa  matematika  adalah 

pengetahuan  tentang  pola  keteraturan  pengetahuan  tentang  struktur  yang terorganisasi mulai  dari  unsur‐unsur  yang  tidak  terdefinisi  ke  unsur‐unsur  yang terdefinisi ke aksioma dan postulat dan akhirnya ke dalil. 

Page 3: BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

7  

Matematika  berfungsi  mengembangkan  kemampuan  menghitung, mengukur,  menurunkan  dan  menggunakan  rumus  matematika  yang  diperlukan dalam  kehidupan  sehari‐hari melalui materi  geometri,  aljabar,  dan  trigonometri. Matematika  juga  berfungsi  mengembangkan  kemampuan  mengkomunikasikan gagasan  dengan  bahasa  melalui  metode  matematika  yang  berupa  kalimat  dan persamaan matematika,  diagram,  grafik  atau  tabel  (Depdiknas,  2004). Menurut Purwanto  (2004  :  102) hasil belajar matematika  adalah hasil  yang dicapai  dalam suatu usaha. Hal ini usaha dalam perwujudan hasil belajar siswa yang didapat pada nilai setip tes 

Pengertian  di  atas  dapat  diambil  kesimpulan  bahwa  hasil  belajar matematika  adalah  suatu  proses  perubahan  kemampuan  yang  berupa pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman baru yang diperoleh melalui proses interaktif  dalam  proses  pembelajaran  matematika  antara  peserta  didik  dengan lingkungannya  dan  dapat  diukur  melalui  tes  serta  hasilnya  dihitung  dengan menggunakan  analisis  statistik.  Sehingga  yang  dimaksud  dengan  hasil  belajar matematika dalam penelitian  ini  adalah  skor berupa  angka  yang diperoleh  siswa setelah menyelesaikan proses pembelajaran matematika yang diukur melalui tes. 

 3. Faktor ‐  Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Slameto (2003 : 54) berpendapat bahwa faktor‐faktor yang mempengaruhi 

hasil belajar dapat dibedakan menjadi 2  faktor yaitu: pertama adalah  faktor yang ada pada diri siswa  itu sendiri yang disebut faktor  individu (intern) meliputi faktor biologis  (terdiri dari kesehatan, pendengaran dan penglihatan. Jika salah satu dari faktor  biologis  terganggu  akan  mempengaruhi  hasil  belajar),  faktor  psikologis (terdiri dari intelegensi, minat dan motivasi serta perhatian ingatan berpikir), faktor kelelahan  (terdiri  dari  kelelahan  jasmani  dan  rohani).  Kelelahan  jasmani  tampak dengan adanya lemah tubuh, lapar dan haus serta mengantuk sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan  sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu akan hilang). Kedua,  faktor yang ada pada luar  individu  (ekstern)  meliputi  faktor  keluarga  (keluarga  adalah  lembaga pendidikan  yang  pertama  dan  terutama  dan  lembaga  pendidikan  dalam  ukuran kecil  tetapi  bersifat menentukan  untuk  pendidikan  dalam  ukuran  besar),    faktor sekolah  (terdiri dari metode mengajar,  kurikulum,  hubungan  guru dengan  siswa, siswa  dengan  siswa  dan  berdisiplin  di  sekolah),  faktor  masyarakat  (terdiri  dari bentuk kehidupan masyarakat sekitar dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Jika lingkungan  siswa adalah  lingkungan  terpelajar maka  siswa akan  terpengaruh dan mendorong untuk lebih giat belajar). 

Faktor‐faktor  yang mempengaruhi  prestasi  atau  hasil  belajar matematika menurut  Purwanto  (2006  :  112)  yaitu  faktor  intern  dan  faktor  ekstern.  Faktor intern,  yaitu  faktor  yaitu  faktor  yang  ada  pada  diri  individu  sendiri.  Faktor  dari dalam  ini  antara  lain  adalah  perhatian,  kesehatan,  intelegensi, minat, motivasi, aktivitas  belajar  dan  cara  belajar.  Faktor  ekstern  yaitu meliputi  faktor  keluarga keadaan  awal,  guru  dan  cara mengajarnya,  kurikulum,  dan  lingkungan  sekolah. 

Page 4: BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

8  

Sehingga  dalam  penelitian  ini,  akan  dilihat  dua  faktor  yang mempengaruhi  hasil belajar, yaitu metode pembelajaran (cara guru mengajar). 

 4. Jenis − Jenis Penilaian Hasil Belajar Matema ka Penilaian hasi belajar siswa dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu penilaian 

tes dan penilaian non tes. a. Tes 

Tes  hasil  belajar  menurut  Purwanto  (2009  :  3)  merupakan  tes penguasaan,  karena  tes  ini  mengukur  penguasaan  siswa  terhadap materi yang diajarkan oleh guru atau dipelajari oleh siswa. Tes diujikan setelah siswa memperoleh sejumlah materi sebelumnya dan pengujian dilakukan  untuk mengetahui  penguasaan  siswa  atas materi  tersebut. Macam‐macam tes meliputi  : pertama, tes formatif. Tes formatif yang dimaksud  sebagai  tes  yang digunakan untuk mengetahui penguasaan siswa  atas  semua  jumlah  materi  yang  disampaikan  dalam  waktu tertentu.  Kedua,  tes  sumatif  adalah  tes  yang  digunakan  untuk mengetahui  penguasaan  siswa  atas  semua  jumlah  materi  yang disampaikan dalam satuan waktu tertentu seperti semester. Ketiga, tes diagnostik. Tes  ini digunakan untuk mengidentifikasi  siswa‐siswa yang mengalami  masalah  dan  menelusuri  jenis  masalah  yang  dihadapi. Keempat,  tes  penempatan  yaitu  pengumpulan  data  tes  hasil  belajar yang  diperlukan  untuk  menempatkan  siswa  dalam  kelompok  siswa sesuai dengan minat dan bakatnya. 

b. Non Tes Penilaian  non  tes  merupakan  prosedur  yang  dilalui  untuk 

memperoleh  gambaran  mengenai  karakteristik  minat,  sifat,  dan kepribadian melalui  : pertama, pengamatan  yakni  alat penilaian  yang pengisiannya  dilakukan  oleh  guru  atas  dasar  pengamatan  terhadap perilaku siswa, baik perorangan maupun kelompok, di kelas maupun di luar  kelas.  Kedua,  skala  sikap  yaitu  penilaian  yang  digunakan  untuk mengungkapkan sikap siswa melalui pengerjaan tugas dengan soal‐soal yang  lebih mengukur daya nalar atau pendapat  siswa. Ketiga, angket yaitu  alat  penilaian  yang  menyajikan  tugas‐tugas  atau  mengerjakan dengan cara  tertulis. Keempat, catatan harian yaitu catatan mengenai perilaku  siswa  yang  dipandang  mempunyai  kaitan  dengan perkembangan pribadinya. Kelima, daftar  cek  yaitu  suatu daftar  yang dipergunakan  untuk  mengecek  terhadap  perilaku  siswa  telah  sesuai dengan yang diharapkan atau belum (Purwanto, 2009 : 3). 

Penelitian ini menggunakan jenis penilaian hasil belajar tes dengan menggunakan  pretest  untuk  mengukur  kemampuan  awal  siswa  dan post‐test  untuk  mengukur  kemampuan  akhir  siswa  setelah  diberi perlakuan.   

 

Page 5: BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

9  

B. Metode Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share  (TPS) Think  Pair  Share  adalah  suatu  bagian  dari  cooperative  learning.  Sebelum 

membahas  tentang  Think  Pair  Share,  terlebih  dahulu  akan  dijabarkan  sekilas mengenai Cooperative Learning. 

Cooperative  learning didefinisikan sebagai sistem kerja atau belajar kelompok yang  terstruktur  (Lie, 2007  : 18).  Struktur  yang  termasuk dalam definisi  tersebut yaitu saling ketergantungan positif,  tanggung  jawab  individual,  interkasi personal, keahlian  bekerjasama,  dan  proses  kelompok.  Cooperative  learning  atau pembelajaran  kooperatif  merupakan  pondasi  yang  baik  untuk  meningkatkan dorongan berprestasi siswa. 

Isjoni (2009 : 8) menjabarkan bahwa kooperatif berarti bekerja bersama dalam mencapai tujuan. Kegiatan kooperatif meliputi pertama, aktivitas individu. Aktivitas individu  adalah  mencari  hasil  yang  menguntungkan  untuk  semua  anggota kelompok  yang  lain.  Pembelajaran  kooperatif  adalah  metode  digunakan  oleh kelompok  kecil  yang  terdiri  dari  siswa  untuk  bekerja  bersama  untuk memaksimalkan  belajar  mereka  sendiri  dan  teman‐teman  dalam  kelompok. Pembelajaran  kooperatif   mengandung  arti  bekerjasama  dalam mencapai  tujuan bersama.  Kedua,  siswa mencari  hasil  yang menguntungkan  bagi  seluruh  anggota kelompok.  Pembelajaran  kooperatif  adalah  pemanfaatan  kelompok  kecil  untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok. Salah satu metode pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa adalah cooperative learning.  

Menurut  Lie  (2007  :  18)  pada  dasarnya manusia  senang  berkumpul  dengan yang sepadan dan membuat jarak dengan yang berbeda. Pengelompokkan dengan orang  sepadan  dan  serupa  bisa  menghilangkan  kesempatan  anggota  kelompok untuk memperluas wawasan dan untuk memperkaya diri, karena dalam kelompok homogen  tidak  terdapat  banyak  perbedaan  yang  bisa mengasah  proses  berpikir, bernegosiasi, berargumentasi, dan berkembang. 

Pada  pembelajaran  cooperatif  learning  siswa  dikelompokkan  berdasarkan heterogenitas  (keanekaragaman).  Kelompok  heterogenitas  bisa  dibentuk  dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang sosial ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. Kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar dan saling mendukung, meningkatkan relasi dan  interaksi dengan orang lain, serta memudahkan pengelolaan kelas. Jumlah anggota setiap kelompok bervariasi mulai  2  sampai  5 orang. Anggota  yang memiliki  sedikit personil dapat lebih meningkatkan partisipasi tiap anggota tetapi sedikit pula ide yang muncul dan kesulitan  memonitor,  unutk  anggota  yang  memilki  4  atau  5  personil  dapat memperbanyak tugas yang dilakukan tetapi memakan banyak waktu. 

Suparno (2007 : 134 ‐ 135) cooperative learning adalah pembelajaran di mana siswa  dibiarkan  belajar  dalam  kelompok,  saling  menguatkan,  mendalami,  dan bekerjasama untuk semakin menguasai bahan. 

Terdapat  beberapa  karakteristik  cooperative  learning menurut  Hilda  K.  dan Margaretha S. Y.  (2002  : 71) antara  lain:  individual accountability  (setiap  individu 

Page 6: BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

10  

dalam kelompok mempunyai tanggung  jawab untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi kelompok), social skill (meliputi seluruh hidup sosial, kepekaan sosial dan  mendidik  siswa  untuk  menumbuhkan  pengarahan  diri  demi  kepentingan kelompok),  positive  interdependence  (sifat  yang  menunjukkan  saling ketergantungan  satu  terhadap  yang  lain  dalam  kelompok  secara  positif),  group processing  (proses  perolehan  jawaban  permasalahan  dikerjakan  oleh  kelompok secara bersama‐sama). 

Salah  satu  dari  sekian  banyak  metode  pembelajaran  kooperatif  yang menjadikan  pembelajaran  menjadi  lebih  bermakna  dan  dapat  meningkatkan penguasaan  akademis  siswa  terhadap  materi  yang  diajarkan  adalah  Think  Pair Share  (TPS).  Metode  pembelajaran  TPS  dikembangkan  oleh  Frank  Lyman  dan rekan‐rekannya dari Universitas Maryland. Pendekatan struktural TPS memberikan siswa  waktu  untuk  berpikir  dan  merespon  serta  satu  cara  yang  efektif  untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. 

Metode pembelajaran TPS mempunyai metode struktural yaitu, pertama siswa berpikir dan mencatat secara individu, kemudian mereka bekerja berdua‐dua untuk menciptakan beberapa pertimbangan untuk mendukung kedua pemikiran mereka atas  suatu masalah. Selanjutnya, dua pasangan bekerjasama untuk mendapatkan suatu  kesepakatan  yang  mendukung  dan  memurnikan  beberapa  pertimbangan mereka  atas  permasalahan  tersebut. Akhirnya, masing‐masing  kelompok  berbagi kesimpulan dan argumentasi pendukungnya dengan  keseluruhan  kelas  (Kennedy, 2007). 

TPS  memilki  prosedur  secara  eksplisit  dapat  memberi  siswa  waktu  lebih banyak untuk berpikir, menjawab,  saling membantu  satu  sama  lain  (Estiti, 2007  : 10). Melalui cara  ini diharapkan siswa mampu bekerja sama, saling membutuhkan dan saling bergantung pada kelompok‐kelompok kecil secara kooperatif. 

TPS merupakan  suatu cara yang efektif untuk membuat variasi  suasana pola diskusi  kelas  (Trianto,  2009  :  811).  Berdasarkan  asumsi  bahwa  semua  diskusi membutuhkan  pengaturan  untuk mengendalikan  kelas  secara  keseluruhan,  dan prosedur yang digunakan dalam TPS dapat memberi siswa banyak berpikir, untuk merespon dan saling membantu. TPS ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. 

Metode TPS merupakan metode pembelajaran yang dapat digunakan  secara efektif  untuk  mengarahkan  peserta  didik  dalam  mempelajari  sebuah  materi pelajaran (Suprijono, 2009 : 54). TPS dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu thinking (berpikir  secara  individu),  pairing  (berdiskusi  dengan  berpasangan),  dan  sharing (berbagi dengan teman). 

Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran TPS merupakan metode sederhana yang memiliki keuntungan dapat mengoptimalkan  partisipasi  siswa  dalam  mengeluarkan  pendapat,  dan meningkatkan  pengetahuan.  Siswa  meningkatkan  daya  pikir  terlebih  dahulu (thinking), kemudian siswa masuk ke dalam kelompok kecil atau dalam hal ini siswa mencari  satu  orang  teman  untuk  bekerja  berpasangan  (pairing),  dan  berbagi 

Page 7: BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

11  

dengan teman yang  lain (sharing). Setiap siswa berbagi pendapat, pemikiran, atau informasi  yang  sudah  diketahui  tentang  masalah  yang  diberikan  oleh  guru, kemudian bersama‐sama mencari solusi.  C. Prosedur Pelaksanaan Metode Pembelajaran Kooperatif Think Pair  Share (TPS) 

Nurhadi (2003 : 66) menggunakan langkah‐langkah thinking (berpikir), pairing (berpasangan),  sharing  (berbagi) dalam menerapkan metode pembelajaran Think Pair  Share  (TPS).  Langkah  Pertama,  guru  memberikan  pertanyaan  yang berhubungan  dengan  pelajaran,  kemudian  siswa  diminta  untuk  memikirkan pertanyaan  tersebut  secara mandiri  untuk  beberapa  saat.  Kedua,  guru meminta siswa untuk berpasangan dengan  siswa  yang  lain untuk mendiskusikan  apa  yang telah dipikirkannya pada  langkah pertama. Interaksi pada tahap kedua diharapkan dapat berbagi  jawaban  jika telah diajukan suatu pertanyaan atau berbagai  ide  jika suatu  persoalan  khusus  telah  diidentifikasi.  Biasanya  guru  memberi  waktu  4‐5 menit untuk berpasangan. Ketiga, guru meminta pasangan‐pasangan  siswa untuk berbagi  atau  bekerjasama  dengan  kelas  secara  keseluruhan mengenai  apa  yang telah mereka  diskusikan  dengan  cara  bergantian  pasangan  demi  pasangan  dan dilanjutkan  sampai  beberapa  siswa  telah  mendapat  kesempatan  untuk melaporkan,  paling  tidak  sekitar  seperampat  pasangan,  tetapi  sesuaikan  dengan waktu  yang  tersedia.  Pada  langkah  ini  akan  efektif  apabila  guru berkeliling  kelas dari pasangan yang satu ke pasangan yang lain. 

Pendapat yang hampir serupa disampaikan oleh Lie (2008 : 54) yaitu terdapat empat  langkah metode  pembelajaran  kooperatif  TPS  antara  lain:  pertama,  guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan memberikan  tugas kepada semua kelompok.  Kedua,  setiap  siswa  memikirkan  dan  mengerjakan  tugas  tersebut sendiri. Ketiga,  siswa berpasangan dengan  salah  satu  rekan dalam kelompok dan berdiskusi  dengan  pasangannya.  Keempat,  pasangan  bertemu  kembali  dalam kelompok.  Siswa  mempunyai  kesempatan  untuk  membagikan  hasil  kerjanya kepada kelompok lain. 

Jurnal internasional center for Learning and Teaching Excellence, Susan Ledlow dalam artikelnya yang berjudul “Using Think Pair Share  in the College Classroom”, menyatakan  bahwa  Think  Pair  Share  adalah  sebuah  strategi  dengan  resiko  yang kecil  untuk  membuat  siswa  menjadi  aktif  di  dalam  berbagai  kelas.  Langkah‐langkahnya  sederhana:  setelah menanyakan  sebuah  pertanyaan, mintalah  siswa untuk  berpikir  tentang  jawabannya.  Sebagai  variasi,  guru mungkin  bisa meminta siswa  menuliskan  jawaban  individu  (dalam  penelitiannya  berdasarkan  tingkat kesulitan  soal  dan  berapa waktu  yang  guru  pikir  cukup  untuk  aktivitas  tersebut. Susan Ledlow memberikan 10 detik hingga 5 menit pada mahasiswa untuk bekerja secara  individu).  Setelah  itu,  mahasiswa  diminta  untuk  berpasangan membandingkan  atau mendiskusikan  jawaban  atau  respon mahasiswa. Akhirnya, panggil  secara  acak  beberapa  mahasiswa  untuk  merangkum  hasil  diskusi  dan memberikan  jawaban. Pemanggilan secara acak sangat penting untuk memastikan bahwa setiap individu sudah berpartisipasi. 

Page 8: BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

12  

Beberapa  langkah‐langkah  TPS  yang  telah  dikemukakan  para  ahli  di  atas, langkah  pembelajaran  TPS  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah  pertama, siswa  mendengarkan  dengan  seksama  tujuan  pembelajaran  yang  akan  dicapai disampaikan  oleh  guru.  Kedua,  guru  menyampaikan  pentingnya  belajar matematika.  Ketiga,  siswa  diarahkan  untuk  mempersiapkan  buku  paket  dan sumber  belajar  lainnya.  Keempat,  siswa mendapat  soal  untuk  dikerjakan  secara individual pada  tahap Think. Kelima,  siswa mengerjakan  soal  secara berpasangan (Pair) dan menuliskan jawaban tahap pair pada format LKS. Keenam, guru meminta beberapa kelompok secara acak mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas dan ditanggapi oleh teman satu kelas yang lainnya. Ketujuh, guru dan siswa melakukan diskusi  untuk  penarikan  kesimpulan.  Kedelapan,  pasangan  siswa  yang  aktif mendapat hadiah. Kesembilan, semua hasil diskusi dicatat oleh siswa. 

Pengembangan  tahap‐tahap  atau  prosedur  TPS  dapat  dimodifikasi  sesuai dengan  kreatifitas  guru  yang  akan  menggunakan  metode  TPS.    Bisa  juga menggunakan  variasi  media  pembelajaran  untuk  memudahkan  siswa  dalam menangkap materi. 

 D. Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share         (TPS) 

Suatu metode  pembelajaran  tentu  saja memiliki  kelebihan  dan  kekurangan. Begitu pula dengan metode pembelajaran Think Pair Share (TPS) yang juga memiliki kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaannya.  

Lie  (2008  :  46)  menyatakan  kelebihan  dan  kekurangan  dari  kelompok berpasangan  (kelompok  yang  terdiri  dari  2  orang  siswa).  Kelebihan  TPS  yang pertama yaitu meningkatkan pertisipasi  siswa dalam pembelajaran. Kedua,  cocok digunakan  untuk  tugas  yang  sederhana.  Ketiga,  memberikan  lebih  banyak kesempatan  untuk  konstribusi  masing‐masing  anggota  kelompok.  Keeempat, interaksi  antar  pasangan  lebih  mudah.  Kelima,  lebih  mudah  dan  cepat  dalam membentuk  kelompok. Menurut  Lie  keuntungan  lain  dari metode  pembelajaran TPS  adalah  dapat  digunakan  dalam  semua  mata  pelajaran  dan  untuk  semua tingkatan usia peserta didik.  Kekurangan metode  pembelajaran  TPS  adalah  lebih banyak  kelompok  yang akan melapor dan perlu dimonitor,  lebih  sedikit  ide  yang muncul, dan jika ada masalah tidak ada penengah. 

Kelebihan  metode  pembelajaraan  kooperatif  TPS  juga  dikemukakan  oleh Hartina  (2008  :  12)  pertama,  memungkinkan  siswa  untuk  merumuskan  dan mengajukan  pertanyaan‐pertanyaan  yang  diajukan  oleh  guru,  serta memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi  yang diajarkan. Kedua,  siswa akan  terlatih menerapkan  konsep  karena bertukar  pendapat dan pemikiran  dengan  temannya untuk mendapatkan kesempatan dalam memecahkan masalah. Ketiga, siswa  lebih aktif  dalam  pembelajaran  karena  menyelesaikan  tugasnya  dalam  kelompok,  di mana  tiap  kelompok  hanya  terdiri  dari  2  orang.  Keempat,  siswa  memperoleh kesempatan  untuk  mempresentasikan  hasil  diskusinya  dengan  seluruh  siswa sehingga  ide yang ada menyebar. Kelima, memungkinkan guru untuk  lebih banyak 

Page 9: BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

13  

memantau  siswa  dalam  proses  pembelajaran.  Kelemahannya  yaitu  waktu  yang terbatas sedangkan jumlah kelompok yang terbentuk banyak. 

 E. Metode Pembelajaran Ekspositori 

Salah satu metode pembelajaran yang sering digunakan guru adalah metode ekspositori.  Metode  ekspositori  adalah  metode  pembelajaran  yang  digunakan dengan memberikan keterangan terlebih dahulu definisi, prinsip dan konsep materi pelajaran  serta  memberikan  contoh‐contoh  latihan  pemecahan  masalah  dalam bentuk ceramah, demonstrasi,  tanya  jawab dan penugasan. Siswa mengikuti pola yang  ditetapkan  oleh  guru  secara  cermat.  Penggunaan  metode  ekspositori merupakan metode pembelajaran mengarah kepada tersampaikannya isi pelajaran kepada siswa secara langsung. 

Menurut  Sanjaya  (2008  :  181)  metode  ekspositori  merupakan  bentuk  dari pendekatan  pembelajaran  yang  berorientasi  kepada  guru  (teacher  centered approach). Dikatakan demikian sebab guru memegang peran yang sangat dominan. Berbeda  dengan  pernyataan Mudjiono  (1999  :  172)  bahwa  metode  ekspositori adalah  memindahkan  pengetahuan,  keterampilan,  dan  nilai‐nilai  kepada  siswa. Peranan  guru  yang  penting  adalah menyusun  program  pembelajaran, memberi informasi  yang  benar,  pemberi  fasilitas  yang  baik,  pembimbing  siswa  dalam perolehan  informasi  yang  benar,  dan  penilai  perolehan  informasi.  Sedangkan peranan  siswa  adalah pencari  informasi  yang benar, pemakai media dan  sumber yang benar, dan menyelesaikan tugas dengan penilaian guru.  

Metode ekspositori dapat meliputi gabungan metode ceramah, metode drill, metode  tanya  jawab,   metode penemuan dan metode peragaan  (Hudoyo, 1998  : 133).  Pembelajaran  menggunakan  metode  ekspositori,  pusat  kegiatan  masih terletak  pada  guru  (Gunawibowo,  1998  :  6).  Dominasi  guru  pada  metode ekspositori  sudah banyak berkurang  bila dibandingkan dengan metode  ceramah. Selain  itu, dalam metode ekspositori siswa  tidak hanya mendengar dan membuat catatan  saja,  tetapi  juga membuat  soal   dan bisa bertanya  kalau  tidak mengerti. Guru dapat memeriksa pekerjaan siswa secara individual atau menjelaskan kembali kepada siswa secara individual atau klasikal. Pada metode ekspositori siswa belajar lebih aktif daripada metode ceramah. Siswa mengerjakan  latihan soal sendiri atau juga dapat berdiskusi dengan temannya.  

Berdasarkan  definisi metode  ekspositori  di  atas  bahwa metode  ekspositori mengandung ceramah tetapi siswa dituntut untuk lebih kreatif. Metode ekspositori kegiatannya  meliputi  ceramah,  tanya  jawab,  demonstrasi,  penugasan.  Siswa dituntut  untuk mengerjakan  latihan  soal  sendiri  yang  diberikan  oleh  guru  serta dapat berdiskusi dengan temannya.  

     

Page 10: BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

14  

F. Prosedur Pelaksanaan Metode Pembelajaran Ekspositori Metode  ekspositori memiliki  prosedur‐prosedur  dalam    pelaksanaannya. 

Prosedur‐prosedur pelaksanaan metode ekspositori menurut Hudoyo (1998  : 107) meliputi pertama, mengetahui dengan jelas dan merumuskan secara khusus tujuan penyampaian  atau  hal‐hal  yang  hendak  dipelajari  oleh  siswa.  Kedua, menyusun materi yang akan disampaikan  sebaik‐baiknya  sehingga dapat dimengerti dengan jelas,  menarik  perhatian  siswa.  Ketiga,  menyampaikan  informasi  atau  materi kepada siswa. Keempat,  tanya  jawab  tentang hal‐hal yang belum dimengerti oleh siswa. Kelima, memberikan contoh‐contoh soal dalam menjelaskan kepada siswa. Keenam,  siswa mencatat hal‐hal yang dianggap perlu. Ketujuh, guru memberikan soal‐soal latihan dan dikerjakan oleh siswa sesuai dengan contoh‐contoh soal.      

Wina  Sanjaya  (2008  :  181)  menyatakan  prosedur‐prosedur  dalam pelaksanaan  metode  ekspositori  yaitu  pertama,  persiapan  (preparation)  yang berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran. Dalam metode ekspositori,  keberhasilan  pelaksanaan  pembelajaran  sangat  bergantung  pada langkah  persiapan.  Tujuan  yang  ingin  dicapai  dalam melakukan  persiapan  yaitu: mengajak siswa keluar dari kondisi mental yang pasif, membangkitkan motivasi dan minat siswa untuk belajar, merangsang dan mengubah  rasa  ingin  tahu siswa, dan menciptakan suasana dan iklim pembelajaran yang terbuka. 

Kedua,  penyajian  (presentation)  adalah  langkah  penyampaian  materi pelajaran  sesuai  dengan  persiapan  yang  telah  dilakukan.  Hal  yang  harus diperhatikan oleh  guru  adalah bagaimana materi pelajaran dapat dengan mudah ditangkap  dan  dipahami  oleh  siswa.  Oleh  sebab  itu,  ada  beberapa  hal  harus diperhatikan  dalam  pelaksanaan  langkah  ini  diantaranya:  penggunaan  bahasa, intonasi  suara,  menjaga  kontak  mata  dengan  siswa,  serta  menggunakan kemampuan  guru  untuk  menjaga  agar  suasana  kelas  tetap  hidup  dan menyenangkan. 

Ketiga,  korelasi  (correlation)  merupakan  langkah  yang  dilakukan  untuk memberikan  makna  untuk  meningkatkan  kualitas  kemampuan  berpikir  dan kemampuan motorik siswa. 

Keempat, menyimpulkan  (generalization) yaitu  tahapan untuk memahami inti  (core)  dari  materi  pelajaran  yang  telah  disajikan.  Sebab  melalui  langkah menyimpulkan,  siswa  dapat  mengambil  inti  sari  dari  proses  penyajian. Menyimpulkan  berarti  pula  memberikan  keyakinan  kepada  siswa  tentang kebenaran suatu paparan. Sehingga siswa  tidak merasa  ragu  lagi akan penjelasan guru. Menyimpulkan bisa dilakukan dengan cara mengulang kembali inti‐inti materi yang  diajarkan,  dan membuat maping  atau  pemetaan  keterkaitan  antar  pokok‐pokok materi. 

Kelima, mengaplikasikan  (application)  adalah  langkah  untuk  kemampuan siswa setelah mereka menyimak penjelasan guru. Langkah  ini merupakan  langkah yang sangat penting dalam proses pembelajaran ekspositori. Sebab melalui langkah ini  guru  akan  dapat  mengumpulkan  informasi  tentang  penguasaan  dan pemahaman  siswa  terhadap  materi  yang  telah  diajarkan.  Teknik  yang  biasa 

Page 11: BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

15  

dilakukan pada  langkah  ini antaranya, dengan membuat tugas yang relevan, serta dengan memberikan tes materi yang telah diajarkan untuk dikerjakan oleh siswa.  G. Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Ekspositori 

Hudoyo  (1998:  133) menyatakan metode  ekspositori memiliki  kelebihan dan kekurangan. Kelebihan pertama yaitu dapat menampung kelas besar. Kedua, mendorong  siswa  untuk  mengembangkan  tentang  sesuatu.  Ketiga,  guru  dapat mengajarkan  materi  pelajaran  lebih  banyak.  Keempat,  waktu  yang  dibutuhkan relatif  singkat.  Kekurangan  pertama  yaitu  pada  metode  ekspositori  tidak menemukan penonjolan aktivitas  fisik  seperti aktivitas mental  siswa. Kedua, guru bertindak  sebagai  pusat  pembelajaran  (teacher  center)  sehingga  siswa  terkesan pasif  dalam  pembelajaran  ini.  Ketiga,  pengetahuan  yang  didapat  dari  metode ekspositori cepat hilang. 

Menurut Gunawibowo (1998  : 6‐7) metode ekspositori memiliki kelebihan dan  kekurangan.  Kelebihan  pertama  yaitu  dengan metode  ekspositori  guru  bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran, dengan demikian  ia dapat mengetahui  sejauh  mana  siswa  menguasai  bahan  pelajaran  yang  disampaikan. Kedua, metode ekspositori dianggap  sangat efektif apabila materi pelajaran yang harus dikuasai  siswa  cukup  luas,  sementara  itu waktu yang dimiliki untuk belajar terbatas. Ketiga, melalui metode ekspositori selain siswa dapat mendengar melalui penuturan  tentang  suatu materi pelajaran  juga  sekaligus  siswa bisa melihat  atau mengobservasi  (melalui  pelaksanaan  demonstrasi).  Keempat,  keuntungan  lain adalah metode ini bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar. Kekurangan metode ekspositori  yaitu pertama, metode  ini hanya mungkin dapat dilakukan  terhadap  siswa  yang memiliki  kemampuan mendengar  dan menyimak secara  baik,  untuk  siswa  yang  tidak  memiliki  kemampuan  seperti  itu  perlu digunakan  strategi  yang  lain.  Kedua, metode  ini  tidak mungkin  dapat melayani perbedaan setiap  individu baik perbedaan kemampuan, pengetahuan, minat, dan bakat,  serta  perbedaan  gaya  belajar.  Ketiga,  karena  metode  ekspositori  lebih banyak diberikan melalui ceramah, maka akan sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisasi, hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir  kritis.  Keempat,  keberhasilan  metode  ekspositori  sangat  tergantung kepada apa  yang dimiliki guru  seperti persiapan, pengetahuan,  rasa percaya diri, semangat,  antusiasme,  motivasi  dan  berbagai  kemampuan  seperti  kemampuan bertutur  (berkomunikasi) dan kemampuan mengelola kelas,  tanpa  itu sudah pasti proses  pembelajaran  tidak  mungkin  berhasil.  Kelima,  gaya  komunikasi  metode eksporitori  lebih  banyak  terjadi  satu  arah, maka  kesempatan  untuk mengontrol pemahaman siswa sangat terbatas.  

     

Page 12: BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

16  

H. Penelitian yang Relevan   Atik  Widarti  (2007)  berjudul  “Efektivitas  Penggunaan  Metode 

Pembelajaran  Kooperatif  Think  Pair  Share  Terhadap Hasil Belajar  Pokok Bahasan Segi  Empat  Pada  Siswa  Kelas  VII  SMP N  1  Semarang  Tahun  Ajaran  2006/2007”. Berdasarkan  hasil  uji  normalitas  dan  homogenitas  data  hasil  tes  dari  kedua kelompok, diperoleh bahwa data  kedua  kelompok  sampel normal dan homogen, sehingga untuk pengujian hipotesis pertama digunakan uji  t dua pihak dan untuk pengujian  hipotesis  kedua  digunakan  uji  t  satu  pihak  (pihak  kanan).  Hasil perhitungan dengan uji t dua pihak pada ketiga aspek hasil belajar diperoleh bahwa thitung > ttabel sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Hal ini berarti, terdapat perbedaan rata‐rata  hasil  belajar  yang  signifikan.  Pada  pengujian  hipotesis  kedua  diperoleh thitung > ttabel maka H0 ditolak dan H1 diterima. Jadi rata‐rata hasil belajar kelompok eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh bahwa ada perbedaan rata‐rata hasil belajar yang signifikan antara  kelompok  eksperimen  dan  kelompok  kontrol  dan  rata‐rata  hasil  belajar kelompok  eksperimen  lebih  baik  daripada  kelompok  kontrol.  Sehingga Pembelajaran kooperatif TPS  lebih efektif daripada pembelajaran dengan metode ekspositori. Disarankan guru dapat mengembangkan pembelajaran kooperatif TPS dan menerapkan pada pokok bahasan lain. 

Arum  Puspasari  (2012)  dengan  judul  penelitian  “Eksperimentasi Metode Pembelajaran  Kooperatif  Think  Pair  Share  dan Metode  Pembelajaran  Ekspositori Pada  Materi  Bangun  Ruang  Kelas  V  SD  Se‐gugus  Pangeran  Diponegoro  Tahun Ajaran 2011/2012 Kecamatan Pituruh Kabupaten Purworejo”. Hasil penelitian yang diperoleh  rerata  untuk  kelas  eksperimen  adalah  75,583  dengan  standar  deviasi 10,023, sedangkan rerata untuk kelas kontrol adalah 66,90 dengan standar deviasi 16,913. Berdasarkan hasil pengolahan data juga diketahui  bahwa data berdistribusi normal  dan  juga  homogen.  Perhitungan  hipotesis  dengan  uji  t,  diperoleh  nilai  = 2,475  dan  =1,681  pada  taraf  signifikan  0,05,  karena  >  atau  2,475  >  1,681 maka dapat  ditarik  kesimpulan  bahwa  H0  ditolak,  sehingga  dapat  disimpulkan  bahwa metode pembelajaran kooperatif TPS menghasilkan hasil belajar matematika yang lebih baik dari metode ekspositori pada materi bangun ruang siswa kelas V SD Se‐gugus Pangeran Diponegoro tahun ajaran 2011/2012. 

Robert E. Slavin (1996) yang berjudul “Research on Cooperative Learning and Achievement: What We Know, What We Need  to Know”, penelitian dilaksanakan dengan  bantuan  Departemen  Pendidikan  Amerika  Serikat  (U.S  Department  of Education)   yang melibatkan penelitian 79% guru SD dan 62% guru SMP dan SMA seluruh Amerika  Serikat mendapatkan  hasil  bahwa  antara metode  pembelajaran kooperatif TPS dan metode pembelajaran ekspositori memiliki potensi yang sama untuk memperoleh hasil belajar yang baik. 

 I. Kerangka Berpikir 

Pengunaan  metode  pembelajaran  ekspositori  dalam  mengajar  seringkali menyebabkan  siswa  pasif  dan  kurang  berpikir  kreatif.  Padahal  banyak  metode 

Page 13: BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

17  

pembelajaran  yang  dapat  mengaktifkan  siswa  sehingga  siswa  lebih  termotivasi untuk  belajar  dan  proses  belajar mengajar  dapat  berlangsung  lebih  berkualitas. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan  struktural  “Think  Pair  Share”.  Penelitian  ini  menggunakan  metode pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural “Think Pair Share”  (untuk kelas eksperimen 1) dan metode pembelajaran ekspositori (untuk kelas eksperimen 2). Metode  pembelajaran  ekspositori  lebih  cenderung membuat  siswa  pasif  dan merasa  kesulitan  ketika  dihadapkan  pada  soal‐soal  yang  agak  sulit  atau  berbeda dari  contohnya.  Tahap  pembelajaran  metode  ekspositori  siswa  diberikan  soal, berpikir  secara  individu,  dan  mengerjakan  soal  tanpa  guru  mengawasi  proses pengerjaannya. 

Metode  pembelajaran  TPS,  siswa  dapat  menyelesaikan  masalah  dalam matematika  dengan  bekerjasama  dengan  pasangannya  yang  diawali  dengan pemikiran secara  individu sehingga siswa dapat menggali potensi yang dimilikinya dan  dapat  didiskusikan  pada  kelompok.  Proses  pembelajaran  dibutuhkan keterlibatan siswa dan keaktifan siswa. Tingkat keterlibatan dan keaktifan ini dapat mempengaruhi hasil belajar siswa terhadap mata pelajaran matematika. 

Pada  tahap  thinking, siswa diberi kesempatan untuk memikirkan pemecahan dari  suatu  soal  secara  mandiri.  Kegiatan  itu  akan  sangat  membuat  mereka bertanya‐tanya  sehingga  akhirnya  akan  timbul  interaksi  yang  kuat  antara  siswa dengan materi. 

Pada tahap pairing dan sharing, siswa perlu melakukan diskusi dengan teman dalam  satu  kelompok  dan  teman  sekelas mengenai  pemecahan  soal  yang  telah diberikan  sebelumnya  secara  mandiri  oleh  masing‐masing  siswa.  Selanjutnya, antara  metode  pembelajaran  kooperatif  Think  Pair  Share  dan  Metode pembelajaran  ekspositori  diberikan  posttest  untuk membandingkan  hasil  belajar antara  kedua  metode  yang  digunakan.  Pemikiran‐pemikiran  di  atas  dapat digambarkan kerangka berpikir sebagai berikut.            

   

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir 

PBM Pre‐test 

Hasil Homogen

Hasil Homogen

Kelas Eksperimen 1 Think Pair Share 

- Berpikir individu (Thinking) 

- Berdiskusi dengan teman (Pairing) 

- Berbagi dengan teman di luar kelompok (Sharing) 

Post‐test

Kelas Eksperimen 2 Ekspositori Post‐test

Hasil Belajar Think Pair Share 

Hasil Belajar Ekspositori

Page 14: BAB II KAJIAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3639/3/T1_202009088_BAB II.pdfBAB II KAJIAN TEORITIS ... 6 adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan

18  

J. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini yaitu: H0: tidak ada perbedaan hasil belajar matematika dengan menggunakan metode          pembelajaran kooperatif Think Pair Share dan metode pembelajaran           ekspositori pada siswa Kelas VII SMP Kristen 2 Salatiga . H1: ada perbedaan hasil belajar matematika dengan menggunakan metode         pembelajaran kooperatif Think Pair Share dan metode pembelajaran         ekspositori segitiga pada siswa Kelas VII SMP Kristen 2 Salatiga .